UJIAN TERBUKA UNTUK MEMPEROLEH DERAJAT DOKTOR
DALAM BIDANG ILMU-ILMU TEKNIK PROGRAM STUDI
TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
TUNGGAL BAGENEN-BOTOLAN SEBAGAI KESADARAN TRANSENDENTAL PADA
PEMBENTUKAN PERMUKIMAN DI PEGUNUNGAN DIENG
Oleh Heri Hermanto
Tim Promotor
Prof.Ir.Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D Prof.Ir. Sudaryono, M.Eng,
Ph.D
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2015
LATAR BELAKANG Pegunungan Dieng merupakan wilayah yang
memiliki banyak peninggalan sejarah yang tinggi dan budaya yang
unik. Masyarakat di Pegunungan Dieng telah mengalami perubahan
budaya dari tradisi Jawa, Hindu, kemudian Islam. Beberapa tradisi
yang ada, adalah; 1) Merdi Desa, 2) Bebersih, 3) Nyelameti Kali, 4)
Baritan, 5) Riyoyo, 6) Pemotongan rambut gembel, dan 7) Tradisi
Pengajian Rutin. Sedangkan kebiasaan lokal yang sudah berlangsung
sejak jaman dulu, adalah; 1) Genen, 2) Berkumpul di rumah orang
tua, dan 3) Karing. Keadaan alam, aspek sosial, dan budaya tersebut
memberikan pengaruh pada wujud permukimannya.
Pada skala mikro, ditemukan fenomena bagenen yang terhubung oleh
botolan. Bagenen yang terhubung oleh botolan merupakan elemen
permukiman yang selalu terdapat di dalam rumah masyarakat Dieng.
Bagenen-botolan menjadi wadah utama berlangsungnya aktivitas
sosial, budaya, dan ekonomi.
Ketika permukiman berkembang, masyarakat kemudian menggunakan
latar ombo untuk aktivitas sosial, budaya, ekonomi dan olah raga
yang tidak dapat dilakukan di bagenen-botolan. Di dalam satu desa,
antara latar ombo yang satu dengan yang lainnya selalu terhubung
oleh jalan latar dan jalan tritian. Fenomena tersebut menimbulkan
dugaan, bahwa dalam skala desa latar ombo yang terhubung jalan
latar dan jalan tritian menjadi semacam bagenen-botolan. Dugaan
tersebut semakin diperkuat dengan keberadaan fasilitas umum desa
yang juga terhubung oleh jalan terabasan dan lapangan desa yang
terhubung oleh jalan terabasan antar desa.
Bagenen yang terhubung oleh botolan di pegunungan Dieng
merupakan perwujudan dari kondisi alam, sosial, budaya, ekonomi,
dan sistem nilai pada masyarakat yang tinggal di dalamnya. Bagenen
yang terhubung oleh botolan menjadi ruang inti dan wadah utama
berbagai aktivitas tradisi, sosial dan ekonomi masyarakat di
pegunungan Dieng, sehingga patut diduga bahwa di dalam fenomena
bagenen dan botolan terkandung konsep-konsep atau nilai yang
sangat berarti bagi kehidupan masyarakat di pegunungan Dieng, dan
nilai-nilai tersebut terwujud pada permukimannya.
PERTANYAAN PENELITIAN. Pertanyaan penelitian yang diajukan
adalah
sebagai berikut: 1) Konsep apakah yang mendasari pembentukan
permukiman di Pegunungan Dieng, 2) Bagaimanakah wujud kesadaran
empiris konsep tersebut pada permukiman di pegunungan Dieng, 3)
Konsep apakah yang kemudian menjadi kesadaran transendental pada
pembentukan permukiman di pegunungan Dieng.
Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Untuk menemukan
konsep-konsep yang mendasari pembentukan permukiman di Pegunungan
Dieng, 2) Untuk menemukan bentuk-bentuk kesadaran empiris
konsep-konsep yang ditemukan pada skala mikro, messo, dan makro, 3)
Menemukan teori lokal tentang sejauh mana bagenen-botolan membentuk
permukiman di Pegunungan Dieng pada skala mikro, messo, dan
makro.
METODE PENELITIAN Adapun metode yang digunakan pada
penelitian
ini adalah metode fenomenologi. Pendekatan fenomenologi tidak
terbatas pada pemahaman fisik atas fenomena bagenen dan botolan.
Tetapi juga mengungkap yang ada dibalik di fenomena tersebut.
Gambar . Wilayah Penelitian 15 desa di Kecamatan Kejajar dan 2
desa di Kecamatan Batur.
Sumber : RTRW Kabupaten Wonosobo 2001
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil grandtour dan minitour menemukan
8
buah tema, yaitu, 1) Sistem kekerabatan sebagai pembentuk desa,
2) Bagenen sebagai ruang multifungsi, 3) Latar ombo sebagai bagenen
dalam skala desa, 4) Lapangan sebagai ruang multifungsi dalam skala
antar desa, 5) Bagenen yang terhubung botolan, 6) Latar ombo yang
dihubungkan oleh jalan latar dan jalan tritian, 7) Mushola yang
dihubungkan oleh jalan latar dan jalan tritian, dan 8) Lapangan
yang dihubungkan oleh jalan terabasan dalam skala antar desa.
Analisis induktif terhadap 8 buah tema berhasil menemukan tiga
buah konsep yang mendasari terbentuknya permukiman di pegunungan
Dieng, yaitu, 1) Konsep terhubung, 2) Konsep Nyepetno laku, dan 3)
Konsep brayan. Konsep Terhubung, terhubung berarti, bersambung atau
berangkaian satu dengan lainnya. Konsep terhubung juga bermakna
adanya wadah yang saling terhubung untuk mempererat, menyambung,
dan membangun persaudaraan, sehingga terbentuklah persaudaraan yang
tidak hanya dibatasi oleh hubungan kekerabatan. 2) Konsep nyepetno
laku berarti mempercepat waktu dan memperpendek jarak. Dalam
istilah lokal botolan go nyepetno laku artinya botolan untuk
memperpendek jarak dan menyingkat waktu. Bermakna menyegerakan
kepentingan bersama. 3) Konsep Brayan mempunyai arti ngganggo
bareng artinya bersama-sama menggunakan. Bermakna berbagi dengan
lainnya.
Tiga konsep temuan mengarahkan pada temuan inti yaitu
kemenyatuan bagenen-botolan. Dalam bahasa lokal disebut dengan
istilah tunggal bagenen-botolan. yang bermakna kemenyatuan dalam
wadah yang saling terhubung. Tunggal bagenen-botolan menjadi dasar
pembentukan permukiman di Pegunungan Dieng. Tunggal bagenen-botolan
sebagai dasar pembentukan permukiman di Pegunungan Dieng secara
empiris dapat dilihat pada semua skala ruang. Pengaturan tata letak
elemen-elemen fisik permukiman di
Pegunungan Dieng, selalu mengacu pada konsep tunggal
bagenen-botolan baik pada skala mikro, skala meso, dan skala makro.
Kesadaran tunggal bagenen botolan mengatur keterhubungan ruang pada
semua skala ruang pada permukiman di Pegunungan Dieng.
Kesadaran tersebut melampaui kesadaran adanya hubungan
kekerabatan, pertalian darah, dan kemudian dipahami sebagai
persaudaraan yang luas yang tidak hanya terikat oleh hubungan
kekerabatan tetapi persaudaraan antar sesama, sehingga memiliki
rasa tunggal botolan-bagenen atau kemenyatuan dalam wadah yang
saling terhubung.
KESIMPULAN Hasil analisis induktif yang telah dilakukan
menghasilkan 3 buah konsep yaitu ; 1) konsep terhubung, 2)
konsep nyepetno laku, dan 3) konsep brayan. Ketiga buah konsep
tersebut secara nyata terwujudkan pada permukiman di Pegunungan
Dieng. Pada skala mikro, bagenen yang terhubung oleh botolan. Latar
ombo yang terhubung oleh jalan latar dan jalan tritian pada skala
meso, fasilitas umum yang terhubung oleh jalan terabasan pada skala
meso, dan lapangan yang terhubung oleh jalan terabasan pada skala
makro.
Teori tunggal bagenen-botolan merupakan sumbangan yang sangat
berarti bagi ilmu
pengetahuan arsitektur khususnya yang berkaitan dengan tata
nilai yang membentuk permukiman Pegunungan. Temuan tersebut
melahirkan pengetahuan baru, yaitu, permukiman pegunungan yang
dalam penataannya tidak mendasarkan pada kosmologi yang berkaitan
dengan keberadaan gunung. Permukiman di Pegunungan Dieng terbentuk
karena tata nilai yang bersifat universal yang dianut oleh
masyarakat. Di dalamnya terkandung nilai-nilai Islam seperti
silaturahmi, sodaqoh, dan egaliter. Tata nilai tersebut diyakini
masyarakat sejak jaman dulu, kemudian mengalami penguatan ketika
dakwah Islam masuk di Pegunungan Dieng. Teori tersebut melengkapi
teori Ekistics (Doxiadis, 1971), teori organisasi spasial (Richard
and Pearson, 2005) dan linkage theory (Trancik, 1986).
Beberapa konsep yang dapat ditawarkan untuk penataan kawasan
Pegunungan Dieng, adalah, 1. Menggunakan konsep tunggal pada setiap
kegiatan yang akan dilaksanakan di Pegunungan Dieng, yaitu, dengan
cara menyatukan dan merangkul berbagai kepentingan yang terlibat
dalam proses. Kemenyatuan tersebut tidak terikat oleh wilayah desa,
gender, kedudukan, golongan, dan kekerabatan. 2. Berkaitan dengan
perencanaan permukiman di Pegunungan Dieng, perlu dipertimbangkan
penggunaan konsep pertalian, yaitu adanya sistem sirkulasi yang
dapat menjangkau seluruh fasilitas permukiman dengan
mempertimbangkan aspek kedekatan dan kecepatan.
PROMOVENDUS
Heri Hermanto Prodi Arsitektur Fakultas Teknik dan Ilmu
Komputer
Universitas Sains Al Quran Wonosobo
Gambar . Tunggal bagenen-botolan sebagai kesadaran transendental
pada pembentukan permukiman di Pegunungan Dieng
Tema-tema : 1. Sistem kekerabatan sebagai pembentuk desa
2. Bagenen sebagai ruang multifungsi. 3. Latar ombo sebagai
bagenen dalam skala desa.
4. Lapangan sebagai ruang multifungsi dalam skala antar desa. 5.
Bagenen yang terhubung oleh botolan.
6. Latar ombo yang terhubung oleh jalan latar dan jalan tritian.
7. Mushola yang terhubung oleh jalan latar dan jalan tritian.
8. Lapangan yang terhubung oleh jalan terabasan.
Konsep-konsep : 1. Terhubung.
2. Nyepetno laku (memperpendek jarak). 3. Brayan
(kebersamaan)
Teori lokal Tunggal Bagenen-botolan