-
Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 1
Ensefalopati Hepatik:Apa, Mengapa dan Bagaimana?
Irsan Hasan, Abirianty P. AramintaDivisi Hepatologi, Departemen
Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN
Cipto Mangunkusumo
Leading article
PENDAHULUAN
Dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati
hepatik semakin besar. Hal ini memicu pesatnya perkembangan
pengetahuan terkait masalah ensefalopati hepatik serta kemajuan
dalam diagnosis dan tata laksananya. Beragam studi terkait
diagnosis, tata laksana, serta pencegah-an enefalopati hepatik
menjadi dasar penatalaksanaan ensefalopati hepatik di seluruh
dunia, ter-masuk Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki
panduan penatalaksanaan ensefalopati hepatik yang diterbitkan oleh
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) pada tahun 2014.1
APA ITU ENSEFALOPATI HEPATIK?
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang
dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan
beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup
pe-rubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan
kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya.2 Di
Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan
pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan
terjadi pada 30%-84% pasien sirosis he-patis.3 Data dari Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar
63,2% pada tahun 2009.4 Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH
stadium 2-4 sebesar 14,9%.5 Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun
berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani
trans-plantasi hati.6
EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang
mendasarinya; tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan
ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur
pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan
hati, dan tipe C yang berhubung-an dengan sirosis dan hipertensi
portal, sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati.7,8 Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya
dibagi menjadi EH minimal (EHM) dan EH overt. EH minimal merupakan
istilah yang digunakan bila ditemukan adanya defisit kognitif
se-perti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif
melalui pemeriksaan psikometrik atau elektrofisiologi,9,11
sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam
waktu singkat dengan tingkat keparahan yang befluktuasi) dan EH
persisten (terjadi secara progresif dengan gejala neurologis yang
kian memberat).2,9-11
PATOFISIOLOGI ENSEFALOPATI HEPATIK
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien
gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen
positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan
-
Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS2
ginjal, perdarahan varises esofagus dan konstipasi), gangguan
elektrolit dan asam basa (hipona-tremia, hipokalemia, asidosis dan
alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi
(pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan lain-lain,
seperti pembedahan dan alkohol. Faktor tersering yang mencetuskan
EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan
gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.8
Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam
peredaran darah yang melewati sa-war darah otak.7 Amonia merupakan
molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam
terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis
hati.7,12 Beberapa studi lain juga mengemukakan faktor pencetus
lain penyebab EH seperti pada gambar 1 berikut.
Seperti yang digambarkan pada gambar 2, amonia diproduksi oleh
berbagai organ. Amonia meru- pakan hasil produksi koloni bakteri
usus dengan aktivitas enzim urease, terutama bakteri gram negatif
anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus dan Clostridium.12 Enzim
urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida.
Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui
glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus)
menjadi glutamat dan amonia.12,13 Pada individu sehat, amonia juga
diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis, amonia akan
dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal
juga akan men-detoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana
otot rangka memegang peranan utama dalam metabolisme amonia melalui
pemecahan amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase.12 Ginjal
berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi
oleh keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia
melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin menjadi glutamat,
bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan
melalui urin dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun
diserap kembali ke dalam tubuh yang dipengaruhi oleh pH tubuh.
Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion amonium dan
urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan
laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan
menahan ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan
hiperamonia.
Gambar 1. Patofisiologi ensefalopati hepatik12
leading article
-
Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 3
Gambar 2. Metabolisme amonia oleh berbagai organ dalam
tubuh14
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses
detoksifiaksi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu
sel hati periportal yang memetabolisme amonia menjadi urea melalui
siklus Krebs-Henseleit dan sel hati yang terletak dekat vena
sentral dima-na urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin.8,12
Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat
menyebab-kan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah
adanya shunting portosistemik yang membawa darah yang mengandung
amonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati.15
Peningkatan kadar amonia dalam darah me-naikkan risiko
toksisitas amonia. Meningkatnya permebialitas sawar darah otak
untuk amonia pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia
terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme amonia
melalui kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang
ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin
merupakan molekul osmotik sehingga menyebabkan pembeng-
kakan astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang stres
oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui peningkatan kalsium
intraselu-lar yang menyebabkan disfungsi mitokondria dan kegagalan
produksi energi selular mela-lui pembukaan pori-pori transisi
mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi
protein kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada
peningkatan aktivitas sitokin dan repson inflamasi sehingga
meng-ganggu aktivitas pensignalan intraselular.16
BAGAIMANAKAH GEJALA DAN CARA MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI
HEPATIK?
Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spek-trum luas
manifestasi neurologis dan psikiatrik nonspesifik. Pada tahap yang
paling ringan, EH memperlihatkan gangguan pada tes psiko-metrik
terkait dengan atensi, memori jangka pendek dan kemampuan
visuospasial. Dengan berjalannya penyakit, pasien EH mulai
memper-lihatkan perubahan tingkah laku dan kepriba-
leading article
-
Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS4
leading article
dian, seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta
perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang nyata. Selain itu,
gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat
memperlihatkan dis-orientasi waktu dan ruang yang progresif,
tingkah laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut dengan
agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam
koma.17
Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya
(Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan
derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam
EH overt, seperti pada tabel 1.
Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE) dapat
digunakan sebagai deteksi dini dalam menegakkan diagnosis EH.
Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A dan NCT-B, mau-pun
Critical Flicker Frequency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk
mendiagnosis EH. Namun, pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit
untuk dilakukan secara merata di Indonesia. Oleh karena itu, para
klinisi diharapkan memberi penjelasan terhadap pasien beserta
keluarganya mengenai tanda-tanda EH, seperti komunikasi, perubahan
pola tidur, penurunan aktivitas sehari-hari pasien hingga
tanda-tanda seperti asteriksis, klonus maupun penurunan kesadaran
yang jelas. Pemeriksaan radiologis berupa magnetic resonance
imaging (MRI) serta elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi
pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak.
Elektroensefalografi akan me-nunjukkan perlambatan (penurunan
frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan EH.2,8
Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis
pasti EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml
darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien dengan EH.18
Pemeriksaan kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di
Indonesia mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada
setiap rumah sakit di Indonesia. Gambar 3 menunjukkan alur
diagnosis pasien dengan kecurigaan EH.
TERAPI TERKINI ENSEFALOPATI HEPATIK
Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi.
Dasar penatalaksanaan EH adalah: identifikasi dan tatalaksana
faktor presipitasi EH, pengaturan keseimbangan nitrogen, pencegahan
perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi ensefalopati
hepatik.
Tatalaksana Faktor Presipitasi
Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH,
seperti dehidrasi, infeksi, obat-obatan sedatif dan perdarahan
saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap
faktor-faktor tersebut berperan penting dalam perbaikan EH.
Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu dipantau untuk
mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotik spektrum luas
diindikasikan pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi
tersering, baik pada saluran cerna maupun organ lain. Konsumsi
alkohol dan obat-obatan sedatif harus dihentikan sejak awal
timbulnya manifestasi
Tabel 1. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West
Haven18
-
Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 5
leading article
EH. Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan
tekanan vena porta perlu dilakukan dengan tepat dan cepat bila
ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama pecahnya varises
esofa-gus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH
pada pasien sirosis sehingga membu-tuhkan penanganan yang
adekuat.12,19
Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin
menguatkan diagnosis EH. Faktor presipi-tasi dapat diidentifikasi
pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi
secara aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan. Tabel 2
memperlihatkan pembagian faktor presipitasi dengan EH yang
ditimbulkan.
Tatalaksana Farmakologis
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang
diterapkan dalam tatalaksana EH. Be-berapa modalitas untuk
menurunkan kadar amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa,
anti-biotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai
terapi potensial lainnya.
- Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH.7
Sifatnya yang laksatif menyebabkan
-
Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS6
leading article
penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon
dan juga mengurangi uptake glutamin.12,18,20 Selain itu, laktulosa
diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang diguna-kan
sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan
menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini
menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada
amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi
ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah
menuju lumen.
Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak
lebih baik dalam mengurangi amo-nia dibandingkan dengan penggunaan
antibiotik.12 Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih
baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan
menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien dengan EH
minimal.
Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan
dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan
laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan
laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena
akan memunculkan faktor pre-sipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan
hiponatremia.18
- Antibiotik
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan
pertumbuhan bakteri yang ber-tanggung jawab menghasilkan amonia,
sebagai salah satu faktor presipitasi EH.7,12,18 Selain itu,
anti-biotik juga memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation
aktivitas glutaminase.12 Antibiotik yang menjadi pilihan saat ini
adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.13,23
Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6
bulan.12,21 Rifaximin dipilih mengganti-kan antibiotik yang telah
digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin,
metronida-zole, paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik
lainnya.12
- L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino,
bekerja sebagai substrat yang berper-an dalam perubahan amonia
menjadi urea dan glutamine. LOLA meningkatkan metabolisme amonia di
hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di dalam darah.7 Selain
itu, LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH.
LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea,
menurunkan kadar amonia dengan me-rangsang ureagenesis. L-ornithine
dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan -ketoglutarate menjadi
glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase (OAT) dan aspartate
aminotransferase (AAT), berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan
dapat digunakan untuk menstimulasi glutamine syn-thetase, sehingga
membentuk glutamin dan mengeluarkan amonia. Meskipun demikian,
glutamin dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated glutaminase
(PAG), dan menghasilkan amonia kembali.
Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari
pada pasien sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki
status mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang
mendapatkan LOLA diperkirakan hanya sementara.18 Beberapa
penelitian RCT (Kirchets dkk, 1997 dan Ahmad dkk, 2008) menunjukkan
bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena da-pat memperbaiki
kadar amonia dan EH yang ada.22,23 Studi metaanalisis terkini
(Jiang Q, 2009 dan Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada
pasien EH overt dan EH minimal dalam perbaikan EH dengan menurunkan
konsentrasi amonia serum.24,25
-
Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 7
leading article
- Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis
hidup yang bermanfaat un-tuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi
neu-rotoksik telah lama dipikirkan berperan penting dalam timbulnya
EH. Amonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga
manipulasi flora usus menjadi salah satu strategi terapi EH.
Me-kanisme kerja probiotik dalam terapi EH diper-caya terkait
dengan menekan substansi untuk bakteri patogenik usus dan
meningkatkan produk akhir fermentasi yang berguna untuk bakteri
baik.26,27
Liu, et al., melakukan studi terhadap feses pasien EH minimal
dan menemukan pembe-rian suplementasi sinbiotik (serat dan
probiotik) berhubungan dengan menurunnya jumlah bak-teri patogenik
Escherichia coli, Fusobacterium, dan Staphylococcus dengan
peningkatan pada Lactobacillus penghasil nonurease.28 Penelitian
metaanalisis dari 9 laporan penelitian menun-jukkan prebiotik,
probiotik dan sinbiotik mem-punyai manfaat pada pasien EH.29
Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut masih dibu-tuhkan dalam
penggunaan probiotik pada tata-laksana dan prevesi sekunder EH
overt.30
-
Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS8
leading article
daftar pustaka1. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I,
Sanityoso A, Lesmana CRA, et al.
Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di
Indonesia 2014. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia,
2014.
2. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K,
Blei AT. Hepatic encephalopathyDefinition, nomenclature, diagnosis,
and quantifica-tion: Final report of the Working Party at the 11th
World Congresses of Gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology.
2002;35(3):716-21.
3. Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Beijeman SJ, de Man RA,
Hop WC, et al. The prognostic significance of subclinical hepatic
encephalopathy. Am J Gastroenterol. 2000;95(8):2029-34.
4. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. Prevalensi Ensefalopati
Hepatik Minimal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Bulan Mei -
Agustus 2009: KO-PAPDI; 2009.
5. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibra-ta M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.
6. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic
Encephalopathy: Review of the Latest Data from EASL 2010.
Gastroenterol Hepatol. 2010;6(7):1-16.
7. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy
therapy: An over-view. World J Gastrointest Pharmacol Ther.
2010;1(2):54-63.
8. Wakim FJ. Hepatic encephalopathy: suspect it early in
patients with cir-rhosis. Cleve Clin J Med. 2011;78(9):597-605.
9. Amodio P, Montagnese S, Gatta A, Morgan M. Characteristics of
Minimal Hepatic Encephalopathy. Metab Brain Dis.
2004;19(3-4):253-67.
10. Groeneweg M, Moerland W, Quero JC, Hop WCJ, Krabbe PF,
Schalm SW. Screening of subclinical hepatic encephalopathy. J
Hepatol. 2000;32(5):748-53.
11. Quero JC, Hartmann IJ, Meulstee J, Hop WC, Schalm SW. The
diagnosis of subclinical hepatic encephalopathy in patients with
cirrhosis using neu-ropsychological tests and automated
electroencephalogram analysis. Hepatology. 1996;24(3):556-60.
12. Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and
management of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol.
2011;7(4):222-33.
13. Perazzo JC, Tallis S, Delfante A, Souto PA, Lemberg A,
Eizayaga FX, et al. Hepatic encephalopathy: An approach to its
multiple pathophysiological features. World J Hepatol.
2012;4(3):50-65.
14. Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver
Dis. 2008;28(1):70-80.
15. Chatauret N, Butterworth RF. Effects of liver failure on
inter-organ traffick-ing of ammonia: implications for the treatment
of hepatic encephalopa-thy.J Gastroenterol Hepatol.
2004;19:S219-223.
16. Norenberg MD, Rama Rao KV, Jayakumar AR. Signaling factors
in the mechanism of ammonia neurotoxicity. Metab Brain Dis.
2009;24(1):103-17.
17. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen
KD, et al. Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: 2014
practice guideline by the European Association for the Study of the
Liver and the American As-sociation for the Study of Liver
Diseases. J Hepatol (2014),
http://dx.doi.org/10.1016/j.hep.2014.05.042
18. Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal
hepatic en-cephalopathy. Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7.
19. Crdoba J. New assessment of hepatic encephalopathy. J
Hepa-tol.54(5):1030-40.
20. Sanyal A, Bass N, Mullen K, Poordad F, Shaw A, Merchant K,
et al. Recent advances in the diagnosis and treatment of hepatic
encephalopathy. Gas-troenterol Hepatol. 2010;6(7):5-13.
21. Wright G, Chatree A, Jalan R. Management of Hepatic
Encephalopathy. Int J Hepatol. 2011;2011.
22. Kircheis G, Nilius R, Held C, Berndt H, Buchner M,
Gortelmeyer R, et al. Therapeutic efficacy of
L-ornithine-L-aspartate infusions in patients with cirrhosis and
hepatic encephalopathy: Results of a placebo-controlled,
double-blind study. Hepatology. 1997;25(6):1351-60.
23. Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F, et
al. L-ornithine-L-aspartate infusion efficacy in hepatic
encephalopathy. Journal of the College of Physicians and
Surgenons--Pakistan:JCPSP. 2008;18(11):684-7.
24. Jiang Q, Jiang X-H, Zheng M-H, Chen Y-P.
l-Ornithine-l-aspartate in the management of hepatic
encephalopathy: A meta-analysis. J Gastroen-terol Hepatol.
2009;24(1):9-14.
25. Bai M, Yang Z, Qi X, Fan D, Han G. l-ornithine-l-aspartate
for hepatic en-cephalopathy in patients with cirrhosis: A
meta-analysis of randomized controlled trials. J Gastroenterol
Hepatol. 2013;28(5):783-92.
26. Solga, SF. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med
Hypothesses 2003;61:307-13.
27. Bongaerts G, Severijnen R, Timmerman H. Effect of
antibiotics, prebiotics and probiotics in the treatment for hepatic
encephalopathy. Med Hypoth-eses 2005;64:64-8.
28. Liu Q, Duan ZP, Ha DK, et al. Synbiotic modulation of gut
flora: Effect on minimal hepatic encephalopathy in patients with
cirrhosis. Hepatology 2004;39:1441-9.
29. Shukla S, Shukla A, Mehboob S, Guha S. Meta-analysis: the
effects of gut flora modulation using prebiotics, probiotics and
synbiotics on minimal hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol
Ther. 2011;33(6):662-71.
30. Sharma V, Garg S, S A. Probiotics and Liver Disease. Perm J.
2013;17(4):62-7.
TERAPI POTENSIAL LAINNYA
Beberapa obat lain saat ini masih dalam penelitian, antara lain
ammonia scavenger, activated char-coal, dan L-Ornithine
Phenylacetate (OP). Ammonia scavenger (natrium benzoat, natrium
fenilasetat, natrium fenilbutirat) digunakan untuk memintas siklus
urea yang telah tersaturasi penuh. Obat ini diberikan secara
intravena dan baru digunakan pada pasien dengan gangguan siklus
urea dan hi-peramonemia, namun belum disetujui untuk digunakan pada
pasien EH. Activated charcoal bekerja menyerap molekul kecil,
diantaranya amonia, lipopolisakarida dan sitokin. AST-120, karbon
berben-tuk sferis saat ini sedang diteliti efikasinya pada pasien
dengan EH. Pada pilot study terlihat bah-wa AST-120 memiliki
efikasi yang sama dengan laktulosa namun dengan efek samping yang
lebih sedikit.12 L-Ornithinge Phenylacetate (OP) bekerja menurunkan
kadar amonia dengan berfungsi seba-gai substrat pebentukan glutamin
dari amonia pada otot rangka.8
PENUTUP
Ensefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi yang sering
dijumpai pada pasien dengan sirosis hati. Tatalaksana optimal EH
akan memperpanjang survival dan memperbaiki kualitas hidup pasien
sirosis. Prinsip tatalaksana EH adalah mengidentifikasi dan
mengatasi pencetus serta terapi medikamentosa.