Top Banner
Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 1 Ensefalopati Hepatik: Apa, Mengapa dan Bagaimana? Irsan Hasan, Abirianty P. Araminta Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Leading article PENDAHULUAN Dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati hepatik semakin besar. Hal ini memicu pesatnya perkembangan pengetahuan terkait masalah ensefalopati hepatik serta kemajuan dalam diagnosis dan tata laksananya. Beragam studi terkait diagnosis, tata laksana, serta pencegah- an enefalopati hepatik menjadi dasar penatalaksanaan ensefalopati hepatik di seluruh dunia, ter- masuk Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki panduan penatalaksanaan ensefalopati hepatik yang diterbitkan oleh Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) pada tahun 2014. 1 APA ITU ENSEFALOPATI HEPATIK? Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup pe- rubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. 2 Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis he- patis. 3 Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar 63,2% pada tahun 2009. 4 Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 14,9%. 5 Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani trans- plantasi hati. 6 EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang berhubung- an dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati. 7,8 Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal (EHM) dan EH overt. EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila ditemukan adanya defisit kognitif se- perti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau elektrofisiologi, 9,11 sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat keparahan yang befluktuasi) dan EH persisten (terjadi secara progresif dengan gejala neurologis yang kian memberat). 2,9-11 PATOFISIOLOGI ENSEFALOPATI HEPATIK Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan
8

LEADING ARTICLE Enselofati Hepatik APa Mengapa Dan Bagaimana

Nov 11, 2015

Download

Documents

Salilah Mahfudz

enselofati hepatik
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 1

    Ensefalopati Hepatik:Apa, Mengapa dan Bagaimana?

    Irsan Hasan, Abirianty P. AramintaDivisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo

    Leading article

    PENDAHULUAN

    Dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati hepatik semakin besar. Hal ini memicu pesatnya perkembangan pengetahuan terkait masalah ensefalopati hepatik serta kemajuan dalam diagnosis dan tata laksananya. Beragam studi terkait diagnosis, tata laksana, serta pencegah-an enefalopati hepatik menjadi dasar penatalaksanaan ensefalopati hepatik di seluruh dunia, ter-masuk Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki panduan penatalaksanaan ensefalopati hepatik yang diterbitkan oleh Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) pada tahun 2014.1

    APA ITU ENSEFALOPATI HEPATIK?

    Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup pe-rubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya.2 Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis he-patis.3 Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar 63,2% pada tahun 2009.4 Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 14,9%.5 Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani trans-plantasi hati.6

    EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang berhubung-an dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati.7,8 Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal (EHM) dan EH overt. EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila ditemukan adanya defisit kognitif se-perti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau elektrofisiologi,9,11 sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat keparahan yang befluktuasi) dan EH persisten (terjadi secara progresif dengan gejala neurologis yang kian memberat).2,9-11

    PATOFISIOLOGI ENSEFALOPATI HEPATIK

    Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan

  • Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS2

    ginjal, perdarahan varises esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa (hipona-tremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol. Faktor tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.8

    Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati sa-war darah otak.7 Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati.7,12 Beberapa studi lain juga mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar 1 berikut.

    Seperti yang digambarkan pada gambar 2, amonia diproduksi oleh berbagai organ. Amonia meru- pakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus dan Clostridium.12 Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia.12,13 Pada individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis, amonia akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal juga akan men-detoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka memegang peranan utama dalam metabolisme amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase.12 Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui urin dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali ke dalam tubuh yang dipengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia.

    Gambar 1. Patofisiologi ensefalopati hepatik12

    leading article

  • Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 3

    Gambar 2. Metabolisme amonia oleh berbagai organ dalam tubuh14

    Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifiaksi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati periportal yang memetabolisme amonia menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral dima-na urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin.8,12 Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebab-kan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik yang membawa darah yang mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati.15

    Peningkatan kadar amonia dalam darah me-naikkan risiko toksisitas amonia. Meningkatnya permebialitas sawar darah otak untuk amonia pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin merupakan molekul osmotik sehingga menyebabkan pembeng-

    kakan astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui peningkatan kalsium intraselu-lar yang menyebabkan disfungsi mitokondria dan kegagalan produksi energi selular mela-lui pembukaan pori-pori transisi mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan repson inflamasi sehingga meng-ganggu aktivitas pensignalan intraselular.16

    BAGAIMANAKAH GEJALA DAN CARA MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK?

    Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spek-trum luas manifestasi neurologis dan psikiatrik nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan, EH memperlihatkan gangguan pada tes psiko-metrik terkait dengan atensi, memori jangka pendek dan kemampuan visuospasial. Dengan berjalannya penyakit, pasien EH mulai memper-lihatkan perubahan tingkah laku dan kepriba-

    leading article

  • Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS4

    leading article

    dian, seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat memperlihatkan dis-orientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut dengan agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam koma.17

    Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH overt, seperti pada tabel 1.

    Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE) dapat digunakan sebagai deteksi dini dalam menegakkan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A dan NCT-B, mau-pun Critical Flicker Frequency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk mendiagnosis EH. Namun, pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit untuk dilakukan secara merata di Indonesia. Oleh karena itu, para klinisi diharapkan memberi penjelasan terhadap pasien beserta keluarganya mengenai tanda-tanda EH, seperti komunikasi, perubahan pola tidur, penurunan aktivitas sehari-hari pasien hingga tanda-tanda seperti asteriksis, klonus maupun penurunan kesadaran yang jelas. Pemeriksaan radiologis berupa magnetic resonance imaging (MRI) serta elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak. Elektroensefalografi akan me-nunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan EH.2,8 Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien dengan EH.18 Pemeriksaan kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia. Gambar 3 menunjukkan alur diagnosis pasien dengan kecurigaan EH.

    TERAPI TERKINI ENSEFALOPATI HEPATIK

    Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar penatalaksanaan EH adalah: identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH, pengaturan keseimbangan nitrogen, pencegahan perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi ensefalopati hepatik.

    Tatalaksana Faktor Presipitasi

    Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi, infeksi, obat-obatan sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktor-faktor tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotik spektrum luas diindikasikan pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi tersering, baik pada saluran cerna maupun organ lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya manifestasi

    Tabel 1. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven18

  • Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 5

    leading article

    EH. Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan vena porta perlu dilakukan dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama pecahnya varises esofa-gus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH pada pasien sirosis sehingga membu-tuhkan penanganan yang adekuat.12,19

    Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin menguatkan diagnosis EH. Faktor presipi-tasi dapat diidentifikasi pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi secara aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan. Tabel 2 memperlihatkan pembagian faktor presipitasi dengan EH yang ditimbulkan.

    Tatalaksana Farmakologis

    Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam tatalaksana EH. Be-berapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa, anti-biotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya.

    - Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)

    Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH.7 Sifatnya yang laksatif menyebabkan

  • Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS6

    leading article

    penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin.12,18,20 Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang diguna-kan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen.

    Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam mengurangi amo-nia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik.12 Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien dengan EH minimal.

    Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor pre-sipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.18

    - Antibiotik

    Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang ber-tanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH.7,12,18 Selain itu, anti-biotik juga memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase.12 Antibiotik yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.13,23 Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.12,21 Rifaximin dipilih mengganti-kan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronida-zole, paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik lainnya.12

    - L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)

    LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja sebagai substrat yang berper-an dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamine. LOLA meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di dalam darah.7 Selain itu, LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH.

    LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea, menurunkan kadar amonia dengan me-rangsang ureagenesis. L-ornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan -ketoglutarate menjadi glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase (OAT) dan aspartate aminotransferase (AAT), berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk menstimulasi glutamine syn-thetase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan amonia. Meskipun demikian, glutamin dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated glutaminase (PAG), dan menghasilkan amonia kembali.

    Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan hanya sementara.18 Beberapa penelitian RCT (Kirchets dkk, 1997 dan Ahmad dkk, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena da-pat memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada.22,23 Studi metaanalisis terkini (Jiang Q, 2009 dan Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada pasien EH overt dan EH minimal dalam perbaikan EH dengan menurunkan konsentrasi amonia serum.24,25

  • Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 7

    leading article

    - Probiotik

    Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup yang bermanfaat un-tuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neu-rotoksik telah lama dipikirkan berperan penting dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora usus menjadi salah satu strategi terapi EH. Me-kanisme kerja probiotik dalam terapi EH diper-caya terkait dengan menekan substansi untuk bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk akhir fermentasi yang berguna untuk bakteri baik.26,27

    Liu, et al., melakukan studi terhadap feses pasien EH minimal dan menemukan pembe-rian suplementasi sinbiotik (serat dan probiotik) berhubungan dengan menurunnya jumlah bak-teri patogenik Escherichia coli, Fusobacterium, dan Staphylococcus dengan peningkatan pada Lactobacillus penghasil nonurease.28 Penelitian metaanalisis dari 9 laporan penelitian menun-jukkan prebiotik, probiotik dan sinbiotik mem-punyai manfaat pada pasien EH.29 Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut masih dibu-tuhkan dalam penggunaan probiotik pada tata-laksana dan prevesi sekunder EH overt.30

  • Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS8

    leading article

    daftar pustaka1. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, et al.

    Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di Indonesia 2014. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, 2014.

    2. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. Hepatic encephalopathyDefinition, nomenclature, diagnosis, and quantifica-tion: Final report of the Working Party at the 11th World Congresses of Gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology. 2002;35(3):716-21.

    3. Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Beijeman SJ, de Man RA, Hop WC, et al. The prognostic significance of subclinical hepatic encephalopathy. Am J Gastroenterol. 2000;95(8):2029-34.

    4. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. Prevalensi Ensefalopati Hepatik Minimal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Bulan Mei - Agustus 2009: KO-PAPDI; 2009.

    5. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibra-ta M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.

    6. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic Encephalopathy: Review of the Latest Data from EASL 2010. Gastroenterol Hepatol. 2010;6(7):1-16.

    7. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: An over-view. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63.

    8. Wakim FJ. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cir-rhosis. Cleve Clin J Med. 2011;78(9):597-605.

    9. Amodio P, Montagnese S, Gatta A, Morgan M. Characteristics of Minimal Hepatic Encephalopathy. Metab Brain Dis. 2004;19(3-4):253-67.

    10. Groeneweg M, Moerland W, Quero JC, Hop WCJ, Krabbe PF, Schalm SW. Screening of subclinical hepatic encephalopathy. J Hepatol. 2000;32(5):748-53.

    11. Quero JC, Hartmann IJ, Meulstee J, Hop WC, Schalm SW. The diagnosis of subclinical hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis using neu-ropsychological tests and automated electroencephalogram analysis. Hepatology. 1996;24(3):556-60.

    12. Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and management of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2011;7(4):222-33.

    13. Perazzo JC, Tallis S, Delfante A, Souto PA, Lemberg A, Eizayaga FX, et al. Hepatic encephalopathy: An approach to its multiple pathophysiological features. World J Hepatol. 2012;4(3):50-65.

    14. Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver Dis. 2008;28(1):70-80.

    15. Chatauret N, Butterworth RF. Effects of liver failure on inter-organ traffick-ing of ammonia: implications for the treatment of hepatic encephalopa-thy.J Gastroenterol Hepatol. 2004;19:S219-223.

    16. Norenberg MD, Rama Rao KV, Jayakumar AR. Signaling factors in the mechanism of ammonia neurotoxicity. Metab Brain Dis. 2009;24(1):103-17.

    17. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen KD, et al. Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: 2014 practice guideline by the European Association for the Study of the Liver and the American As-sociation for the Study of Liver Diseases. J Hepatol (2014), http://dx.doi.org/10.1016/j.hep.2014.05.042

    18. Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic en-cephalopathy. Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7.

    19. Crdoba J. New assessment of hepatic encephalopathy. J Hepa-tol.54(5):1030-40.

    20. Sanyal A, Bass N, Mullen K, Poordad F, Shaw A, Merchant K, et al. Recent advances in the diagnosis and treatment of hepatic encephalopathy. Gas-troenterol Hepatol. 2010;6(7):5-13.

    21. Wright G, Chatree A, Jalan R. Management of Hepatic Encephalopathy. Int J Hepatol. 2011;2011.

    22. Kircheis G, Nilius R, Held C, Berndt H, Buchner M, Gortelmeyer R, et al. Therapeutic efficacy of L-ornithine-L-aspartate infusions in patients with cirrhosis and hepatic encephalopathy: Results of a placebo-controlled, double-blind study. Hepatology. 1997;25(6):1351-60.

    23. Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F, et al. L-ornithine-L-aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy. Journal of the College of Physicians and Surgenons--Pakistan:JCPSP. 2008;18(11):684-7.

    24. Jiang Q, Jiang X-H, Zheng M-H, Chen Y-P. l-Ornithine-l-aspartate in the management of hepatic encephalopathy: A meta-analysis. J Gastroen-terol Hepatol. 2009;24(1):9-14.

    25. Bai M, Yang Z, Qi X, Fan D, Han G. l-ornithine-l-aspartate for hepatic en-cephalopathy in patients with cirrhosis: A meta-analysis of randomized controlled trials. J Gastroenterol Hepatol. 2013;28(5):783-92.

    26. Solga, SF. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med Hypothesses 2003;61:307-13.

    27. Bongaerts G, Severijnen R, Timmerman H. Effect of antibiotics, prebiotics and probiotics in the treatment for hepatic encephalopathy. Med Hypoth-eses 2005;64:64-8.

    28. Liu Q, Duan ZP, Ha DK, et al. Synbiotic modulation of gut flora: Effect on minimal hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis. Hepatology 2004;39:1441-9.

    29. Shukla S, Shukla A, Mehboob S, Guha S. Meta-analysis: the effects of gut flora modulation using prebiotics, probiotics and synbiotics on minimal hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther. 2011;33(6):662-71.

    30. Sharma V, Garg S, S A. Probiotics and Liver Disease. Perm J. 2013;17(4):62-7.

    TERAPI POTENSIAL LAINNYA

    Beberapa obat lain saat ini masih dalam penelitian, antara lain ammonia scavenger, activated char-coal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP). Ammonia scavenger (natrium benzoat, natrium fenilasetat, natrium fenilbutirat) digunakan untuk memintas siklus urea yang telah tersaturasi penuh. Obat ini diberikan secara intravena dan baru digunakan pada pasien dengan gangguan siklus urea dan hi-peramonemia, namun belum disetujui untuk digunakan pada pasien EH. Activated charcoal bekerja menyerap molekul kecil, diantaranya amonia, lipopolisakarida dan sitokin. AST-120, karbon berben-tuk sferis saat ini sedang diteliti efikasinya pada pasien dengan EH. Pada pilot study terlihat bah-wa AST-120 memiliki efikasi yang sama dengan laktulosa namun dengan efek samping yang lebih sedikit.12 L-Ornithinge Phenylacetate (OP) bekerja menurunkan kadar amonia dengan berfungsi seba-gai substrat pebentukan glutamin dari amonia pada otot rangka.8

    PENUTUP

    Ensefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada pasien dengan sirosis hati. Tatalaksana optimal EH akan memperpanjang survival dan memperbaiki kualitas hidup pasien sirosis. Prinsip tatalaksana EH adalah mengidentifikasi dan mengatasi pencetus serta terapi medikamentosa.