Top Banner

of 55

Lapsus Tb Charles

Mar 08, 2016

Download

Documents

tb
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I

PENDAHULUANPenyakit tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap TB. Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan China dalam menyumbang TB di dunia.Menurut WHO estimasi insidence rate untuk pemeriksaan dahak didapatkan basil tahan asam (BTA) positif adalah 115 per 100.000 (WHO, 2003).Dari hasil data WHO tahun 2009, lima negara dengan insidens kasus terbanyak yaitu India (1.6-2.4 juta), China (1.1-1.5 juta), Afrika Selatan (0.4-0.59 juta), Nigeria (0.37-0.55 juta) dan Indonesia (0.35-0.52 juta). Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 TBC menduduki rangking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4 % dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernafasan. Hasil survei prevalensituberkulosis di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi tuberkulosisBasil Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2007).Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 % berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10orang akan terinfeksi.

Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan terjadi penderita tuberkulosis, hanya10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TBC. Oleh sebab itu,apabilapenyebab terjadinya penyakit TBC di Indonesia tidak segera ditanggulangi maka angka kejadian penyakit TBC di Indonesia tiap tahunnya akan semakin tinngi.Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada majalah Health Horizon menyajikan hasil studi selama 4 tahun yang dilakukan WHO di 35 negara yang secara umum menyimpulkan bahwa telah ditemukan resistensi terhadap TB di semua daerah yang diteliti. Pada penderita yang telah mendapat pengobatan kurang dari 1 bulan ternyata ditemukan 36% yang telah resisten terhadap sedikitnya 1 macam OAT. Bahkan sekitar 10% penderita yang belum pernah mendapat pengobatan sama sekali ternyata juga telah mempunyai kuman yang resisten terhadap OAT. Oleh karena itu ditakutkan penderita TB paru BTA positif yang resisten akan menularkan kuman yang resisten pula. Sedangkan setiap penderita aktif mampu menularkan 10-15 orang disekitarnya, rendahnya angka kesembuhan berkaitan dengan karakteristik penderita diantaranya umur, jenis kelamin, dan tipe penyakit karena terjadinya perubahan keadaan fisiologis, imunitas, dan perubahan kebiasaan makanan atau perilaku hidup sehat.

Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Tingginya angka putus obat mengakibatkan tingginya kasus resistensi kuman terhadap OAT (obat anti TB) yang membutuhkan biaya yang lebih besar dan bertambah lamanya pengobatan. Berdasarkan laporan Subdit TB Depkes RI tahun 2009, proporsi putus obat pada pasien TB paru kasus baru dengan hasil basil tahan asam (BTA) positif berkisar antara 0,6%-19,2% dengan angka putus obat tertinggi yaitu di provinsi Papua Barat.

BAB IIKASUSII.1 Identitas Pasien

Nama

: Tn. DJenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 57 Tahun

Alamat

: jl. Badak VIAgama

: Islam

Tgl dtg

: 13 Desember 2015

II.2 Anamnesis

Keluhan UtamaTn. D, 57 tahun datang dengan keluhan batuk 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Riwayat Penyakit SekarangPasien datang dengan keluhan batuk disertai bercak berwarna merah 2 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Batuk sudah dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Batuk diawali dengan batuk kering, batuk bertambah banyak pada saat malam hari. Keluhan sering berkeringat saat malam dan nafsu makan berkurang diakui pasien. Pasien tidak ada mengeluh demam dan penurunan berat badan selama 2 minggu ini. Buang air besar dan buang air kecil diakui pasien tidak ada keluhan. Pasien mengaku memiliki riwayat menggunakan obat herbal. Riwayat tansfusi dan pemakaian jarum suntik disangkal pasien. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma pada dada.

Riwayat Penyakit DahuluPasien memiliki riwayat diabetes sejak 3 tahun yang lalu, pasien mengaku tidak pernah mengontrol diabetes tersebut. Riwayat pengobatan paru sebelumnya disangkal pasien. Pasien Riwayat asma, alergi,darah tinggi, penyakit jantung maupun penyakit kuning disangkal pasien.Riwayat Keluarga Riwayat keluarga yang mengalami keluhan atau penyakit serupa dengan pasien disangkal.

II.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang

kesadaran Compos Mentis

Berat Badan : 55 kg

Tinggi Badan : 160 cm

BMI

: 21,84 (status gizi baik)

TD

: 110/60 mmHgNadi

: 87x/menitSuhu

: 36oCPernafasan

: 22x/menitKepalaRambut

: Hitam, tidak mudah dicabut.Mata

: sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (+), pupil isokor,

Hidung

:Pernapasan cuping hidung (-), Epistaksis (-), sekret (-)

Telinga

:Gangguan pendengaran (-), Perdarahan dari liang telinga (-)

Mulut

: Bibir kering (-), Perdarahan gusi (-), Hipertrofi gusi (-), karies

dentis (-)LeherTekanan vena jugularis (JVP): 5+ 2 cmH2OKelenjar Tiroid

: Tidak teraba pembesaran Kelenjar Limfe

: Tidak teraba pembesaranKelenjar Getah Bening

: Tidak teraba pembesaranThoraxParu-ParuInspeksi: Tidak simetris hemitorak kanan-kiri, depan-belakang saat statis dan dinamis, dan tidak ada kelainan kulitPalpasi: Tidak teraba adanya masa ataupun benjolan, tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas, fremitus vokal dan taktil melemahPerkusi: Sonor pada lapang paru kanan dan pekak pada lapang paru kiriAuskultasi: Vesikuler +/+ (paru-paru depan-belakang), Ronkhi +/+ basah kasar, Wheezing -/-Jantung

Inspeksi: Ictus cordis terlihat di ICS V MCV sinistraPalpasi: Ictus cordis teraba di ICS V MCV sinistra

Perkusi: Batas jantung kanan ICS V linea midclavicula dextra

Batas jantung kiri ICS VI linea midclavicula sinistraBatas pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra

Auskultasi: Bunyi jantung S1-S2 tunggal reguler, Gallop (-), Murmur (-)

AbdomenInspeksi

: Datar, tidak membuncit , distensi (-), massa (-)Auskultasi: Bising usus (+) normal 8 x/menitPerkusi: Terdengar suara timpani di seluruh kuadran abdomen, Shifting dullness (-), ketok CVA (-)Palpasi

:Tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh 4 kuadran abdomen, Pembesaran hepar, lien, ginjal, kandung kemih tidak teraba,Undulasi (-)Ekstremitas :Akral hangat, CRT 5 mm dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant 3) Berkomplikasi dan menyebar secara :

a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.

Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.7b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus

c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan yang cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB, typhobachillosis Landouzy.7

Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan Tuberkulosis primer.5III.4.2 Tuberkulosis Pasca Primer ( Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (Tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior lobus sduperior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.5

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.5

Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi:51) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran.

3) Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan firbroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena adanya hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya.

Bentuk perkijuan lain yang jarang terjadi adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat menjadi:5a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan diatas. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura,

b) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas ini adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma,

c) Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga meyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir dengan kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbentuk seperti bintang yang disebut stellate shape.

III.5 Klasifikasi

American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat:81) Kelas 0: Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang pada kelas ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin menunjukkan hasil negatif (jika dilakukan)

2) Kelas 1 : Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada kelas ini mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin menunjukkan hasil negatif. Tindakan yang diambil untuknya tergantung pada derajat dan kebaruan paparan M. tuberculosis, serta kekebalan tubuhnya. Jika terpapar secara signifikan selama 3 bulan, tes tuberkulin lanjutan harus dilakukan 10 minggu setelah paparan terakhir, dan sementara itu pengobatan terhadap infeksi tuberkulosis laten harus dipertimbangkan terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun dan penderita infeksi HIV.

3) Kelas 2 : Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada kelas 2 menunjukkan hasil tes tuberkulin positif, pemeriksaan radiologi dan bakteriologi negatif.

4) Kelas 3 : Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua pasien dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah selesai. Jika diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus diklasifikasikan sebagai tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk ke kelas 3, seseorang harus memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi TB saat ini. Hal ini dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang yang menderita TB di masa lalu dan juga yang saat ini memiliki penyakit aktif secara klinis termasuk dalam kelas 3. Seseorang tetap di kelas 3 sampai pengobatan untuk episode penyakit saat ini selesai.

5) Kelas 4: TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang abnormal atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan tidak ada bukti klinis.6) Kelas 5: Tersangka TB(diagnosis tertunda). Seseorang termasuk dalam kelas iniketikadiagnosisTBsedang dipertimbangkan. Seseorangseharusnya tidak tetapdi kelasini selama lebih dari3 bulan. Ketikaprosedur diagnostik telah selesai, orang tersebutharus ditempatkan pada salah satu kelassebelumnya.

KlasifikasiTuberkulosis paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (Basil Tahan Asam / BTA), TB paru dibagi atas:71) TB paru BTA (+), adalah :

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

2) TB paru BTA (-), adalah :

a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radologi menunjukkan Tuberkulosis aktif.

b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. Tuberkulosis positif.

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien dari riwayat pengobatan sebelumnya yaitu6:

1) Kasus baru : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan untuk tuberkulosis atau sudah mendapakan obat-obat anti tuberkulosis kurang dari satu bulan.

2) Kasus pengobatan ulang :

a) Kasus kambuh (relaps) : pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

b) Kasus gagal (smear positive failure) : pasien yang menjalani pengobatan ulang karena pengobatan sebelumnya gagal, ditandai dengan sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapatkan obat anti tuberkulosis pada akhir bulan ke 5.

c) Kasus defaulted atau drop out : pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

3) Kasus kronik : pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.

4) Kasus Bekas TB :a) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.b) Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.Klasifikasi Tuberkulosis ekstraparu:7

Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.

Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif.

Gambar 3. Skema klasifikasi Tuberkulosis7.III.6 Gejala KlinisIII.6.1 Gejala Respiratori

Gejala respiratori yaitu5:1) Batuk / Batuk Darah

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lanjut adalah batuk darah (hemoptisis).

Kavitas dapat menjadi sumber hemoptisis mayor. Menetapnya arteri pulmonalis terminal didalam kavitas dapat menjadi sumber perdarahan yang hebat (aneurisma Rasmussen). Penyebab perdarahan lainnya adalah aspergiloma pada kavitas tuberkulosis kronik.

2) Sesak Napas

Sesak napas akan dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.3) Nyeri dada

Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik / melepaskan nafasnya.

III.6.2Gejala SistemikGejala sistemik yaitu5:

1) Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya, sehingga pasien tidak pernah merasa terbebas dari serangan demam influenza.

2) Malaise

Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan hilang timbul secara tidak teratur.

III.6.3GejalaTuberkulosis ekstrapulmonal Gejala Tuberkulosis ekstrapulmonal yaitu:41) Pleuritis dengan Efusi

Pleuritis dengan efusi terjadi bila rongga pleura terinfeksi oleh M. tuberkulosis. Setelah infeksi primer perifer, rongga pleura dapat terkontaminasi dengan organisme yang diangkut melalui aliran limfe ke pleura dan kemudian melintasi permukaan paru ke hilus. Efusi pleura terjadi, kadangkala massif, biasanya dengan nyeri pleura yang amat sangat. Efusi terjadi paling sering unilateral, tetapi tidak selalu. Efusi bersifat eksudatif, dan gambaran cairan pleura yang paling khas adalah konsentrasi protein yang lebih dari 3,0 g/dL. Biopsi jarum pada pleura parietal dapat mengungkap adanya granuloma, yang menguatkan diagnosis pleuritis tuberkulosis.Respons terhadap kemoterapi baik. Pengeluaran seluruh cairan pleura tidak diperlukan. Pada kasus yang jarang diperlukan dekortikasi secara bedah.

Fistula bronkopleura dan empiema tuberkulosis merupakan penyulit yang sangat berbahaya pada tuberkulosis yang tidak diobati akibat terjadinya ruptur lesi paru ke dalam rongga pleura. Diagnosis biasanya tidak sukar, dan basil tahan asam biasanya dengan mudah tampak pada eksudat pleura. Pengobatan terdiri dari drainase secara bedah dan kemoterapi yang adekuat.

2) Peritonitis dan Perikarditis tuberkulosis

Perikardium dan peritoneum dapat menjadi tempat tuberkulosis. Perikarditis kadang terjadi bersama dengan pleuritis. Yang lebih sering, perikardium terinfeksi akibat drainase dari kelenjar limfe yang terinfeksi. Terjadilah efusi eksudatif, dan pasien datang dengan demam dan nyeri perikardial. Bisa didapati bising gesek (friction rub). Diagnosis perikarditis tuberkulosis sering sukar dan kadang-kadang memerlukan torakotomi untuk melakukan biopsi perikardial.

Peritonitis tuberkulosis disebabkan penyebaran secara hematogen pada peritoneum atau jalan masuk basilus dari sumber organ kemih kelamin atau limfatik abdomen. Diagnosisnya seringkali sukar. Mungkin diperlukan biopsi secara bedah untuk menegakkan diagnosis.

3) Tuberkulosis Meningeal

Infeksi kronik ini berwujud tidak saja sebagai tanda meningeal tetapi sering juga sebagai tanda saraf kranialis. Yang khas pada cairan serebrospinal adalah kandungan protein yang tinggi, glukosa rendah, dan limfositosis. Kemoterapi yang efektif adalah isoniazid, rifampisin dan etambutol. Tuberkuloma pada selaput otak atau otak dapat menjadi nyata pada orang dewasa, beberapa tahun setelah infeksi primer, dan kejang seringkali menjadi manifestasi utamanya.4) Tuberkulosis Laring dan Endobronkial

Tuberkulosis laring biasanya didapati bersama dengan penyakit paru yang sudah sangat lanjut. Penyakit terjadi akibat terinfeksinya permukaan mukosa selama ekspektorasi. Penyakit berkembang dari laringitis superficial menjadi tukak dan granuloma. Suara parau merupakan gejala utama. Dengan cara yang sama, mukosa bronkus dapat terkena yang menyebabkan bronkhitis tuberkulosis. Batuk dan hemoptisis minor merupakan manifestasi klinis utama. Pasien dengan laringitis tuberkulosis dan bronkhitis yang luas biasanya sangat infeksius.

5) Tuberkulosis Tulang

Penyakit yang mengenai tulang dan sendi bukanlah manifestasi tuberkulosis yang jarang. Penyakit Pott, yaitu tuberkulosis tulang belakang, biasanya mengenai vertebra midtorakal. Basilus tuberkel mencapai vertebra secara hematogen atau melalui saluran limfatik dari rongga pleura ke kelenjar limfe pravertebra. Gejala awal yang paling umum adalah nyeri punggung yang mungkin ada selama berminggu-minggu atau bulan sebelum diagnosis.Tuberkulosis sendi paling sering mengenai sendi penopang berat badan yang besar seperti panggul dan lutut. Tuberkulosis sendi berespon baik terhadap imobilisasi dan kemoterapi. Sinovitis tuberkulosa dapat terjadi sendiri atau bersama arthritis tuberkulosa.

6) Tuberkulosis Genitourinarius

Tuberkulosis ginjal biasanya berawal dari hematuria dan piuria mikroskopik dengan biakan urin yang steril. Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukannya basilus tuberkel pada biakan urin. Seiring dengan berkembangnya penyakit, terjadi kavitas parenkim ginjal. Dengan kemoterapi yang adekuat, pengangkatan ginjal secara bedah hampir tidak diperlukan. Ureter dan kandung kemih dapat terinfeksi akibat penyebaran organisme lewat tubulus, dan dapat terjadi striktur ureter.

Salpingitis tuberkulosis sering mengakibatkan sterilisitas pada perempuan. Tuberkulosis genital pada laki-laki paling sering mengenai prostat, vesika seminalis dan epididimis. Tuberkulosis epididimis dan prostat ditandai oleh indurasi noduler yang tidak nyeri tekan yang dapat diketahui dari pemeriksaan fisik. Diagnosis biasanya dibuat dengan kultur basil tahan asam.

7) Adenitis Tuberkulosis

Gambar 4. Limfadenitis TuberkulosisScrofula merupakan limfadenitis tuberkulosis kronik pada kelenjar limfe leher. Beberapa kelenjar leher munkin terkena tetapi tempat yang paling sering adalah segitiga anterior leher tepat dibawah mandibula. Pembesaran kelenjar tuberkulosis biasanya kenyal dan tidak nyeri tekan. Dengan perkembangan penyakit pembesaran kelenjar ini menjadi lebih keras dan kasar. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan biopsi secara bedah.

8) Tuberkulosis pada AIDS

Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik utama pada penderita infeksi HIV. Pada pasien yang terinfeksi pertama kali dengan M. tuberkulosis dan kemudian dengan HIV, risiko perkembangan tuberkulosis adalah 5 hingga 10 persen pertahun.

Limfosit dan monosit, yaitu sel-sel pertahanan primer yang dikerahkan untuk infeksi tuberkulosis, dihancurkan oleh HIV. Reaktivasi uji kulit tuberkulin dapat tidak ada pada individu yang terinfeksi HIV yang masih sehat dan bebas gejala klinis AIDS, sekalipun begitu banyak dua pertiga persen pasien yang terinfeksi HIV dengan tuberkulosis memiliki uji kulit tuberkulin positif. Jumlah limfosit T CD4 pada pasien tuberkulosis seropositif-HIV yang khas berada dalam rentang 150-200 sel per milimeter kubik.

Hampir separuh pasien AIDS dengan tuberkulosis memiliki bentuk ekstrapulmonal, dengan limfadenitis tuberkulosa yang menonjol, biasanya di leher anterior. Hampir setengah pasien ditemukan gambaran rontgen yang atipik, dengan infiltrat halus yang difus, infiltrat pneumonik, adenopati hilus, dan infiltrat perihilus, serta seringkali tampak efusi pleura.

9) Tuberkulosis Saluran Makanan

Lambung sangat resisten terhadap infeksi tuberkulosis. Hal yang jarang, yang biasanya terjadi bersama dengan penyakit paru yang berkavitas luas dan kecacatan berat, organisme yang tertelan mencapai ileum terminalis, dan sekum sehingga timbul ileutis tuberkulosa. Diare kronik dan terbentuknya fistula merupakan manifestasi utama, dan penyakit ini sulit dibedakan dari penyakit Crohn.

10) Tuberkulosis Milier

Tuberkulosis milier disebabkan oleh penyebaran hematogen yang luas. Cenderung lebih fulminan pada anak daripada orang dewasa. Yang klasik, tuberkulosis milier timbul setelah penyebaran hematogen sewaktu infeksi primer, dan pasien datang tanpa adanya riwayat tuberkulosis sebelumnya. Lesi timbul serempak diseluruh tubuh. Pasien menjadi sakit sebelum terdapat perubahan radiografik, yang memakan waktu 4 hingga 6 minggu untuk dapat dikenali.

Temuan radiologi yang khas adalah nodul-nodul halus, tersebar secara uniformis, dan lembut pada kedua lapangan paru. Temuan ini sering dapat diketahui pertama kali pada foto toraks lateral, atau foto toraks posteroanterior yang penyinarannya dikurangi. Diagnosisnya sulit, dan sputum yang dibatukkan jarang mengandung organisme.III.7 Pemeriksaan FisikPada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung kelainan struktur paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.7Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut menjadi cold abcess.7III.8 Pemeriksaan Penunjang

Gambar 5. Pemeriksaan Tuberkulosis paruIII.8.1 Pemeriksaan Bakteriologi1) Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan. Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage).5Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL sputum. (3) Kuman berbentuk batang yang ramping (diameter kurang dari 0,5 m), kadang melengkung, sering bermanik-manik polikromatik, seringkali tampak pada spesimen klinis sebagai pasangan atau kelompok beberapa organisme yang terletak bersisian4.

Gambar 6. Sputum BTAUntuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.

Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :

a) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa,

b) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus),

c) Pemeriksaan dengan biakan (kultur),

d) Pemeriksaan terhadap resistensi obat.

Pemeriksaan dengan mikroskoskop fluoresens dengan sinar ultraviolet walaupun sensitifitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan yang dipakai (auramin-rhodamin) dicurigai bersifat karsinogenik.5Pewarnaan yang lebih pasti adalah dengan karbofluksin, pewarnaan ini membutuhkan pembacaan yang teliti dengan mikroskop imersi minyak, basilus tuberkulosa dapat dilihat dengan pembesaran 1000 kali.4Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkolosis mulai tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negatif. Medium biakan telur yang sering dipakai yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa3. Sementara medium biakan agar adalah Middle Brook.7Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomena dead bacilli, atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat anti tuberculosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA.panduan obat anti tuberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA.52) Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari :

a) Cairan serebrospinal sebaiknya dianalisis untuk mengetahui kadar proteindan glukosa (dibandingkan dengan total serumsimultan protein danglukosa).Jumlahsel darahputihjuga harus diperoleh. Protein yang tinggi (50% dari konsentrasi serumprotein), limfositosis, dan glukosayang rendah adalah khasmeningitis tuberkulosis.8b) Bilasan lambung sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya.5 Sekitar 50 ml isi lambung harus diaspirasi pada pag hari, setelah pasien menjalani puasa selama 8-10 jam, dan lebih baik jika pasien masih di tempat tidur.

c) Cairanpleura, peritoneum, dan perikardialdapat dianalisis untuk mengetahui kadar proteindan glukosa (dibandingkan dengan total serumsimultan protein danglukosa). Sel dandiferensialjumlahharus diperoleh. Protein yang tinggi (50% dari konsentrasiserum protein), limfositosis, danglukosa yang rendahbiasanya ditemukanpada infeksituberkulosis. d) Bilasanurinbiasanya menunjukkan hasilnegatif dan karenanya tidakefektifuntuk dilakukan.

III.8.2 Pemeriksaan Radiologi

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis serta memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal ini diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum selalu negatif.5Pemeriksaan standar adalah foto toraks posterior-anterior. Gambaran yang dicurigai sebagi lesi tuberkulosis aktif adalah :

1) Pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru serta segmen superior lobus bawah paru ditemukan berupa bercak-bercak seperti awan / nodular.72) Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal,

3) Bayangan bercak milier, berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.54) Efusi pleura unilateral atau bilateral.

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tuberkulosis inaktif adalah:71) Fibrotik, terlihat bayangan yang bergaris-garis,

2) Kalsifikasi, terlihat seperti bercak-bercak padat dengan densitas tinggi,3) Schwarte atau penebalan pleura. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah bayangan hitam radio-ulsen di pinggir paru atau pleura (pneumotoraks) dan atelektasis yang terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru

Berdasarkan luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut:51) Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya, tidak melebihi satu lobus paru.

2) Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian paru.

3) Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebih keadaan pada moderately advanced tuberculosis.

Gambar 7. Rontgen Toraks Tuberkulosis Paru

III.8.3 Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai utuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita).5Teknik standar tes Mantoux adalah dengan menyuntikkan tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 T.U. tuberkulin secara intrakutan, pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Jarum dipegang dengan permukaan miring diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat dan cermat.3Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 48-72 jam sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam periode tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Hanya indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan eritem yang bernilai.3Hasil tes mantoux ini dibagi dalam:51) Indurasi berdiameter 0-5 mm : Mantoux negatif

2) Indurasi berdiameter 6-9 mm : hasil meragukan

3) Indurasi berdiameter 10-15 mm : Mantoux positif

4) Indurasi berdiameter > 15 mm : Mantoux positif kuat

5) Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantous 5 mm, dinilai positif.

Gambar 8. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)Tes Mantoux hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis memberikan reaksi Mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak dijumpai daripada positif palsu.5Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni:51) Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis.

2) Penyakit sistemik berat (Sarkoidosi, LE),

3) Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili, cacar air, poliomielitis,

4) Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit Hodgkin.

5) Pemberian kortikosteroid yang lama,

6) Usia tua, malutrisi, uremia, penyakit keganasan. III.8.4 Pemeriksaan Penunjang Lain1) Pemeriksaan Histopatologi Jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu:7a) Biopsi aspirasi dengan jarum halum (BJH) kelenjar getah bening (KGB),

b) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum Abram, Cope dan Veen Silverman),

c) Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB) dengan bronkoskopi,

d) Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai tuberkulosis.

e) Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil dua sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan di kirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur, serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.72) Pemeriksaan Darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifk untuk tuberkulosis. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal, dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.5III.9 PenatalaksanaanPengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3 bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan.7Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.9III.9.1 Obat Anti TuberkulosisObat yang dipakai :

1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunaka adalah :

INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin.

2) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

Kanamisin, PAS (para amino salicylic acid), Ofloksasin, Tiasetazon, Etionamid, Sikloserin, Protionamid, Viomisin, Kapreomisin, Amikasin, Norfloksasin, Levofloksasin, Klofazimin.5Kemasan :

1) Obat tunggal : obat disajikan secara terpisah.

Berat BadanDosis Obat (mg)

Rifampisin

(R)INH

(H)Pirazinamid

(Z)Etambutol

(E)Streptomisin

(S)

< 40300150750750Sesuai BB

40-6045030010001000750

>60600450150015001000

Tabel 1. Jenis dan dosis OAT2) Obat kombinasi dosis tetap/KDT (Fixed Dose Combination-FDC)

Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. International union Againts Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat kombinasi tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada berikut:9Berat BadanTahap Intensif

tiap hari selama 56 hari

RHZE (150/75/400/275)Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu

RH (150/150)

30-372 tablet2 tablet

38-543 tablet3 tablet

55-704 tablet4 tablet

>715 tablet5 tablet

Tabel 2. Dosis OAT KDTObat kombinasi dosis tetap mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:9a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

d) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.III.9.2 Paduan obat Anti Tuberkulosis

Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:71) Pasien kasus baru TB paru dengan BTA positif, dan TB dengan BTA negatif beserta gambaran foto toraks lesi luas (termasuk luluh paru).

Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3atau 2RHZE/6HE. Pengobatan fase inisial resimennya 2HRZE, maksudnya Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) diberikan setiap hari selama dua bulan.

Kemudian diteruskan ke fase lanjutan 4RH atau 4R3H3 atau 6HE, maksudnya Rifampisin dan Isoniazid diberikan selama empat bulan setiap hari atau tiga kali seminggu, atau diberikan selama 6 bulan. Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi.

2) Pasien baru TB paru dengan BTA negatif beserta gambaran foto toraks lesi minimal.

Panduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3 atau 6RHE

3) Pasien TB paru kasus kambuh.

Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.

4) Pasien TB paru kasus gagal pengobatan.

Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZES/1RHZE/5RHE.

Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan : 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.

5) Pasien TB kasus putus obat.

Paduan obat yang disediakan oleh Program Nasional TB : RHZES/1RHZE/5R3H3E3.

Pasien TB paru kasus lalai berobat akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria berikut :

a) Berobat < 4 bulan

Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif, TB aktif pengobatan diteruskan.

b) Berobat 4 bulan

Bila BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiolologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila BTA saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

6) Pasien TB paru kasus kronik.

a) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dan lain-lain. Pengobatan minimal selama 18 bulan.

b) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup

c) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.

d) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.

Sedangkan menurut buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:91) Kategori-1 (2HRZE/ 4R3H3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

a) Pasien baru TB paru BTA positif.

b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

c) Pasien TB ekstra paru2) Kategori -2 (2RHZES/ RHZE/5R3H3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

a) Pasien kambuh

b) Pasien gagal

c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)Berat BadanTahap Intensif

tiap hari

RHZE (150/75/400/275) + STahap Lanjutan

3 kali seminggu

RH (150/150) + E(400)

Selama 56 hariSelama 28 hariselama 20 minggu

30-372 tab 4KDT

+ 500 mg Streptomisin inj.2 tab 4KDT2 tab 2KDT

+ 2 tab Etambutol

38-543 tab 4KDT

+ 750 mg Streptomisin inj3 tab 4KDT3 tab 2KDT

+ 3 tab Etambutol

55-704 tab 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.4 tab 4KDT4 tab 2KDT

+ 4 tab Etambutol

>715 tab 4KDT

+ 1000mg Streptomisin inj.5 tab 4KDT5 tab 2KDT

+ 5 tab Etambutol

Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2III.9.3 Efek samping obat dan penatalaksanaannyaEfek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomats maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. Tabel pada halaman berikutnya, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.9Efek SampingPenyebabPenatalaksanaan

Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perutRifampisin Semua OAT diminum malam sebelum tidur

Nyeri Sendi PirasinamidBeri Aspirin

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INHBeri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per hari

Warna kemerahan pada air seni (urine)RifampisinTidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu penjelasan kepada pasien

Tabel 4. Efek samping ringan OATEfek SampingPenyebabPenatalaksanaan

Gatal dan kemerahan kulitSemua jenis OATIkuti petunjuk penatalaksanaan dibawah *).

Tuli StreptomisinStreptomisin dihentikan, ganti Etambutol.

Gangguan keseimbangan

.StreptomisinStreptomisin dihentikan, ganti

Etambutol

Ikterus tanpa penyebab lain

Hampir semua

OATHentikan semua OAT sampai

ikterus menghilang.

Bingung dan muntah-muntah (permulaan ikterus karena obat)Hampir semua

OAT

Hentikan semua OAT, segera

lakukan tes fungsi hati.

Gangguan penglihatan EtambutolHentikan Etambutol.

Purpura dan renjatan (syok) RifampisinHentikan Rifampisin.

Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.III.9.4 Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus

Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus dibagi menjadi:91) Kehamilan dan menyusui

Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan Pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Tidak ada indikasi penguguran pada pasien TB dengan kehamilan.

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.

Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.2) Pasien TB pengguna kontrasepsi

Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).

3) Pasien TB dengan hepatitis akut

Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.

4) Pasien TB dengan kelainan hati kronik

Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan TB. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan (rekomendasi WHO) adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. 5) Hepatitis Imbas ObatDikenal sebagai kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis). Penatalaksanaannya :

a) Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) ( OAT Stop

b) Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT 3 kali ( OAT stop

c) Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 ( OAT stop

d) SGOT, SGPT > 5 kali ( OAT stop

e) SGOT, SGPT > 3 kali ( teruskan pengobatan, dengan pengawasanPaduan OAT yang dianjurkan :

a) Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)

b) Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normalkembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampaidengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratoriumsaat INH dosis penuh, bila klinik dan laboratorium normal , tambahkan rifampisin,desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obatmenjadi RHES3.

c) Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

6) Pasien TB dengan gagal ginjal

Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal.

Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.

7) Pasien TB dengan Diabetes Melitus

Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopati diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. Apabila kadar gula darah tdak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan.8) Pasien TB Milier

Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH dan diindikasikan untuk rawat inap. Pada gejala meningitis, sesak napas, gejala toksik, dan demam tinggi dapat diberikan kortikosteroid prednison dengan dosis 30-40 mg per hari kemudian diturunkan secara bertahap.

9) Pasien Efusi Pleura TB

Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH. Evakuasi cairan dilakukan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan kortikosteroid. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM. Evakuasi cairan dapat diulang jika diperlukan.

10) Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:

a) Untuk TB paru:

a. Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.

b. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif.

c. Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir

b) Untuk TB ekstra paru:

Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.

11) Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS

Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.

Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal).

Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu unit pelayanan kesehatan untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).

12) Tuberkulosis pada organ lain

Paduan OAT untuk pengobatan tuberkulosis di berbagai organ tubuh sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya lama pengobatan untuk TB tulang, TB sendi, dan TB kelenjar adalah 9-12 bulan. Paduan OAT yang diberikan adalah : 2HRZE/7-10RH.III.9.5 Evaluasi Pengobatan 1) Evaluasi klinisPasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis.72) Evaluasi bakteriologiEvaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan). Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan. Bila ada fasiliti biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.73) Evaluasi radiologisEvaluasi radiologis (0-2-6/9 bulan pengobatan). Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) dan pada akhir pengobatan.74) Evaluasi efek samping secara klinis.7a) Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal, dan darah lengkap. b) Fungsi hati : SGOT, SGPT, bilirubin. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit peyerta atau efek samping pengobatan.

c) Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.

d) Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)

e) Pasien yang mendapat streptomisin harus diuji keseimbangan dan audiometric (bila ada keluhan)f) Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.5) Kriteria sembuh:7a) BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase itensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.

b) Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/perbaikan.

c) Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif. 6) Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).7III.10 Directly Obeserved Treatmen Short Course (DOTS)Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS yang juga telah dianut oleh negara kita. Karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar tuberkulosis dapat ditanggulangi dengan baik. DOTS memiliki komponen, yaitu:71) Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional,

2) Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Obsered Therapy),

3) Pengadaan OAT secara berkesinambungan,

4) Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku / standar.III.10.1 Strategi stop TB oleh WHO 1) Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu.

2) Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, Multi Drug Resistance (MDR)-TB, dengan aktivitas gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS, dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan.

3) Konstribusi pada sistem kesehatan dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum.

4) Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan non pemerintah dengan pendekatan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standarts of TB care.

5) Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif.

6) Memunkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik, dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program.7III.10.2 Tujuan DOTS1) Mencapai angka kesembuhan yang tinggi.

2) Mencegah putus berobat.

3) Mengatasi efek samping obat jika timbul.

4) Mencegah resistensiIII.10.3 Langkah Pelaksanaan DOT

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang pengawasan menelan obat (PMO) dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapatkan penjelasan tentang DOT.7III.10.4 Persyaratan PMO 1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.9Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.7III.10.5 Tugas PMO

1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

5) Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (UPK).9III.10.6 Informasi penting oleh PMO 1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan

2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya

4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)

5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur

6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.9III.11 PencegahanPencegahan dapat dilakukan dengan cara :

1) Terapi pencegahan.

2) Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan. Terapi pencegahan :4Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg/kgBB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan.

III.12 PenyuluhanPenyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara:7

1) Perorangan/Individu

Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dan lain-lain.

2) Kelompok

Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit, dan lain-lain.

Cara memberikan penyuluhan :a) Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada.

b) Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannyasebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya.

c) Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas.

d) Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perludengan alat peraga (brosur, leaflet dan lain-lain)

III.13 Pencatatan dan PelaporanPencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi & tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.7Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu:71) Kartu pengobatan TB (TB01)

2) Kartu identitas penderita TB (TB02)

3) Register laboratorium TB (TB04)

4) Formulir permohonan pemeriksaan dahak (TB05)

5) Daftar tersangka penderita TB (TB06)

6) Formulir pindah penderita TB (TB09)7) Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)

Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional (P2TB). Untuk pembuatan laporan, data yang ada dari formulir TB (TB01) dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03) dan direkap ke dalam formulir rekapan yang ada di tingkat kabupaten/kota.7BAB IVKESIMPULAN

Tuberkulosis paru adalah infeksi paru yang menyerang jaringan parenkim paru, disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dankesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien.Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit; tidaksekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapijuga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yangterkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.Penatalaksanaan TB dimulai dari penemuan pasien TB yang terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Setelah pasien masuk dalam klasifikasi yang telah ditentukan, barulah pengobatan yang tepat dapat dilaksanakan. Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:

1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).3. Kategori Anak: 2HRZ/4HR.Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Pada Kasus ini Ny.Y pada pemeriksaan sputum didapatkan TB Paru BTA negatif, dari 3 spesimen sputum BTA negatif, foto toraks positif, berdasarkan tingkat keparahan penyakit ditunjukkan oleh foto toraks didapatkan TB paru dengan kelainan paru luas, berdasarkan riwayat pengobatannya didapatkan bahwa pada kasus ini merupakan kasus baru. Dalam pengobatannya tn. D termasuk dalam pengobatan TB kategori 2. DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006.

2. Sastroasmoro N, et all. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: RSUP Nasional DR. Cipto Mangunkusumo,2007.3. Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005.

4. Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 2. Edisi 13. Hal 799-808. Jakarta: EGC, 1999.

5. Amin Z dan Asril B. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Hal 988-992. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.

6. Mansjoer A, et all. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Hal 472-476. Jakarta: Media Aesculapius, 2001.7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006.

8. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161. 2000; p:13761395. 9. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.

TB paru BTA (+)

TB paru

TB

TB paru BTA (-)

TB ekstraparu

Kasus baru

Kasus kambuh

Tipe penderita

TB paru

Kasus Drop Out

Kasus gagal pengobatan

Kasus kronik

55