Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Ablasio retina merupakan suatu penyakit yang tidak umum atau jarang, terjadi hanya pada satu orang setiap 10.000 penduduk per tahunnya dan tidak disebabkan oleh hanya satu penyakit keadaan patologis spesifik tetapi merupakan hasil akhir dari berbagai proses penyakit yang mana melibatkan cairan subretina. Terdapat tiga tipe ablasio retina: eksudatif, traksi, dan regmatogenosa. Tipe yang paling umum adalah regmatogenosa yang disebabkan oleh robekan retina akibat traksi vitreoretina. Faktor resiko ablasio retina antara lain: umur tua, riwayat operasi katarak, myopia, dan trauma. Pasien biasanya mengalami gejala fotopsia, floaters, kehilangan lapangan pandang bagian perifer, dan pandangan kabur. Penyakit ini apabila tidak ditangani secara tepat akan mengakibatkan hal yang terburuk bagi mata yaitu kebutaan. Apabila dideteksi secara awal, ternyata penyakit ini dengan penanganan yang sesuai akan menghasilkan suatu perbaikan dalam hal visus atau tajam penglihatan. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas secara umum mengenai penyakit ablasio retina itu sendiri, sehingga nantinya dapat dipergunakan oleh tenaga kesehatan untuk mendiagnosis ablasio retina secara dini untuk segera bisa mereferal kepada ahli bedah mata untuk penangannya atau bahkan yang lebih baik lagi dapat mendeteksi gejala awal robekan retina sehingga dengan penangannan yang awal dan 1
38
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

BAB I

PENDAHULUAN

Ablasio retina merupakan suatu penyakit yang tidak umum atau jarang, terjadi hanya

pada satu orang setiap 10.000 penduduk per tahunnya dan tidak disebabkan oleh hanya

satu penyakit keadaan patologis spesifik tetapi merupakan hasil akhir dari berbagai

proses penyakit yang mana melibatkan cairan subretina. Terdapat tiga tipe ablasio

retina: eksudatif, traksi, dan regmatogenosa. Tipe yang paling umum adalah

regmatogenosa yang disebabkan oleh robekan retina akibat traksi vitreoretina. Faktor

resiko ablasio retina antara lain: umur tua, riwayat operasi katarak, myopia, dan trauma.

Pasien biasanya mengalami gejala fotopsia, floaters, kehilangan lapangan pandang

bagian perifer, dan pandangan kabur. Penyakit ini apabila tidak ditangani secara tepat

akan mengakibatkan hal yang terburuk bagi mata yaitu kebutaan. Apabila dideteksi

secara awal, ternyata penyakit ini dengan penanganan yang sesuai akan menghasilkan

suatu perbaikan dalam hal visus atau tajam penglihatan.

Oleh karena itu tulisan ini akan membahas secara umum mengenai penyakit

ablasio retina itu sendiri, sehingga nantinya dapat dipergunakan oleh tenaga kesehatan

untuk mendiagnosis ablasio retina secara dini untuk segera bisa mereferal kepada ahli

bedah mata untuk penangannya atau bahkan yang lebih baik lagi dapat mendeteksi

gejala awal robekan retina sehingga dengan penangannan yang awal dan tepat,

perjalanan penyakit ke arah ablasio retina dapat dihentikan sehingga outcome yang

dihasilkan akan lebih baik.

1

Page 2: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang retina

dengan sel epitel pigmen retina. Hal ini disebabkan karena sesungguhnya tidak ada

perlekatan struktural antara sel batang dan kerucut dengan epitel berpigmen, sehingga

merupakan titik lemah yang mudah terlepas.1

Gambar 1. Ablasio Retina2

2.2 Klasifikasi

Dikenal tiga bentuk ablasio retina:

1. Ablasio Retina Regmatogenosa

Tipe ini merupakan ablasio retina yang paling sering. Pada tipe ini ablasio

timbul akibat adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel

epitel berpigmen dengan sel batang dan sel kerucut. Terjadi pendorongan retina oleh

badan kaca cair (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan pada retina menuju rongga

subretina. Miopia, afakia, laticce degeneration, dan trauma okuli merupakan faktor

resiko terjadinya ablasio retina regmatogenosa.1,3

2

Page 3: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Gambar 2. Ablasio Retina Regmatogenosa4

2. Ablasio Retina Traksi

Ablasio retina tipe tarikan atau traksi merupakan tipe ablasi yang tersering

kedua. Tipe ini biasanya timbul akibat retinopati diabetika, proliferasi vitreoretinopati,

retinopati akibat prematuritas, atau trauma okuli. Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina

terjadi akibat tarikan jaringan parut pada badan kaca yang akan melepaskan tautan

retina. Berbeda dengan tipe regmatogenosa dengan kelainan berbentuk koveks, bentuk

kelainan pada tipe traksi biasanya konkaf dan lebih terlokalisir. 1,3

Gambar 3. Ablasio Retina Traksi4

3. Ablasio Retina Eksudatif

3

Page 4: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Ablasio retina eksudatif terjadi tanpa adanya robekan atau traksi vitreoretina.

Ablasi terjadi akibat penimbunan cairan pada ruang subretina akibat penyakit primer

pada epitel berpigmen dan koroid. Kelainan ini terjadi pada skleritis, koroiditis, tumor

retrobulber, uveitis, atau idiopatik.1,3

Gambar 4. Ablasio Retina Eksudatif4

2.3 Pathogenesis

Dalam keadaan normal terdapat gaya yang menjaga agar bagian sensoris tetap melekat

pada epitel berpigmen. Gaya ini dibentuk oleh tekanan negatif pada ruang subretina

sebagai hasil metabolic pump epitel berpigmen dan tekanan onkotik yang relatif lebih

tinggi pada koroid, serta adanya lem yang terbuat dari mukopolisakarida yang

melekatkan epitel berpigmen dan sensori retina (sel batang dan kerucut). 5

Ablasi retina eksudatif atau tipe serus timbul akibat akumulasi cairan serus atau

hemoragik pada ruangan subretina akibat faktor hidrostatik seperti contohnya akibat

hipertensi akut yang berat. Dapat pula timbul akibat eksudasi cairan karena proses

inflamasi seperti pada uveitis atau efusi neoplastik. Cairan eksudat maupun darah akibat

perdarahan akan tertimbun pada ruangan subretina yang jika jumlahnya terus bertambah

akan mendorong retina dan menyebabkan retina terlepas.6

4

Page 5: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Tipe kedua yaitu ablasi retina traksi terjadi akibat tenaga sentripetal pada retina

akibat adanya jaringan fibrotik. Tenaga sentripetal ini kemudian akan menarik jaringan

retina sehingga terlepas dari lapisan epitel berpigmen tanpa adanya robekan.

Jaringan fibrotik ini timbul akibat perdarahan profuse, trauma, pembedahan, infeksi,

atau inflamasi. Penyebab tersering adalah proliferatif diabetic retinopathy. 5,7

Pada tipe regmatogenosa yang memegang perananan kunci adalah perubahan

pada badan kaca. Badan kaca merupakan gel dengan struktur yang terdiri dari matrix

kolagen dan mukopolisakarida. Sejalan dengan pertumbuhan umur maka struktur

makromolekul ini akan mencair dan kolaps, badan kaca menyusut dan timbullah daya

tarik atau traksi vitreus. Akhirnya vitreus sebagian akan terlepas dari permukaan retina

yang dikenal sebagai posterior vitreus detachment (PVD). Sekitar ¼ orang mengalami

PVD pada usia 61-70 tahun dan 1/3 mengalami PVD pada usia diatas 70 tahun. Pada

sekitar 10-15% pasien PVD dapat terjadi robekan retina atau pembentukan lubang

karena penarikan oleh vitreus ini, terutama terjadi pada daerah perifer dimana retina

lebih tipis. Ablasi regmatogenosa terjadi ketika cairan vitreus memasuki ruang subretina

melalui robekan retina. Sejalan dengan waktu daerah yang terlepas bertambah luas

karena semakin banyak cairan yang tertimbun.6

5

Page 6: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Gambar 5. Patogenesis Ablasio Retina Tipe Regmatogenosa6

Darimana sumber cairan subretina tersebut masih kontroversial. Konsentrasi

asam askorbat yang relatif tinggi pada badan kaca, dan lebih tinggi pada subretina

dibanding dalam plasma menimbulkan dugaan bahwa cairan subretina tersebut berasal

dari cairan badan kaca. Seiring berjalannya waktu, konsentrasi asam askorbat pada

cairan subretinal semakin menurun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa cairan serum

berpindah dari koriokapiler mengisi ruang subretina. Konsep ini diperkuat dengan

kenyataan bahwa jumlah protein pada cairan subretinal mulanya rendah kemudian

meningkat sejalan waktu.

Kini gabungan kedua teori ini lebih diakui yang menyatakan bahwa cairan subretina

sebagian besar berasal dari cairan vitreus kemudian perlahan-lahan diperbanyak oleh

cairan serum yang berasal dari koriokapiler.5

2.4 Epidemiologi

6

Page 7: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

1. Umur

Insiden ablasio retina meningkat antara usia 40-80 tahun, dengan insiden tertinggi pada

usia 60-70 tahun.

2. Jenis kelamin

Kurang lebih 60% ablasi retina ditemukan pada laki-laki. Insiden tetap lebih tinggi pada

laki-laki meskipun telah dikoreksi untuk trauma okuli karena trauma okuli umumnya

terjadi pada laki-laki. Kecuali pada miopia berat (lebih dari 6 dioptri) insiden ablasi

retina tetap lebih tinggi pada pria dibanding wanita.

3. Suku

Insiden ablasio retina lebih tinggi pada orang Yahudi dan relatif rendah pada Afrika-

Amerika

4. Herediter

Karena miopi dan lattice degeneration memiliki kecenderungan menurun secara

herediter, maka ablasi retina juga memiliki kecenderungan menurun. Namun

kebanyakan kasus terjadi secara sporadik.

5. Faktor-faktor lain

Kelainan yang paling sering dihubungkan dengan ablasi retina adalah miopi, afakia

termasuk pseudofakia, lattice degeneration, dan trauma. Kurang lebih 40-55% pasien

ablasi memiliki miopia, 20-30% memiliki lattice degeneration, dan 10-20% memiliki

riwayat trauma okuli langsung. Kurang lebih 30-40% ablasi berhubungan dengan afakia

pembedahan, pseudofakia, dan insidennya meningkat ketika terjadi ruptur kapsul

posterior, kehilangan vitreus, atau setelah YAG laser capsulotomy. Ablasi akibat trauma

paling sering pada anak-anak, ablasi miopi paling sering diantara orang-orang berumur

25-45 tahun dan ablasi karena afakia meningkat sesuai dengan bertambahnya umur.5

2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis dari ablasi retina adalah :

1. Fotopsia.

Pada awal penyakit biasanya penderita mengeluh melihat kilatan cahaya

(fotopsia) maupun melihat adanya bercak bercak yang bergerak pada lapangan

penglihatanya (floaters). Setelah itu timbul bayangan pada lapangan pandang

7

Page 8: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

perifer yang jika diabaikan akan menyebar dan melibatkan seluruh lapangan

penglihatan. 6

Dalam keadaan normal stimulasi terhadap retina terjadi jika terdapat

cahaya. Namun retina juga dapat terstimulasi jika terdapat kerusakan mekanik.

Saat terjadi kerusakan mekanik akibat separasi badan kaca posterior, akan

terjadi pelepasan fosfen lalu retina akan terstimulasi dan terjadilah sensasi

cahaya yang dirasakan oleh penderita sebagai kilatan cahaya (fotopsia).7

2. Floaters.

Floaters (melihat bercak bergerak) merupakan gejala yang umum di

populasi namun etiologinya harus dibedakan karena banyak penyakit dapat

menimbulkan gejala ini. Floaters yang timbul mendadak dan terlihat sebagai

bercak-bercak besar pada tengah lapangan penglihatan biasanya

mengindikasikan posterior vitreous detachment (PVD). Pasien akan mengeluh

timbulnya floaters seperti cincin jika vitreous terlepas dari insersinya yang

anular pada papil nervus optikus. Floaters berupa garis-garis kurva timbul pada

degenerasi badan kaca. Kadang-kadang timbul ratusan bintik-bintik hitam

dibelakang mata. Hal ini patognomonik untuk perdarahan vitreus sebagai akibat

pecahnya pembuluh darah retina akibat robekan atau lepasnya perlekatan badan

kaca pada retina. Beberapa saat setelah itu dapat timbul jaring laba-laba yang

mengindikasikan pembentukan klot (bekuan darah).

Sebagai catatan lokasi dari kilatan cahaya maupun floaters dalam lapangan

pandang ini tidak menunjukkan lokasi defek pada retina.

3. Penurunan visus

Gejala ini dapat terjadi jika ablasi melibatkan makula dan kadang kadang

benda terlihat seperti bergetar atau disebut pula metamorphopsia.

4. Defek lapangan pandang

Gejala ini adalah merupakan gejala lanjut dari ablasio retina. Berbeda dengan

lokasi fotopsia dan floaters yang tidak menunjukkan lokasi kerusakan, defek

lapangan pandang sangat spesifik untuk menentukan lokasi dari robekan atau

ablasi retina.

Ablasi di depan ekuator tidak dapat dinilai melalui pemeriksaan lapangan

pandang. Sedangkan lesi di belakang ekuator dapat ditentukan dengan

8

Page 9: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

pemeriksaan lapangan pandang namun biasanya tidak jelas dirasakan sebelum

melibatkan makula. Defek lapangan pandang di superior menunjukan ablasio

retina di inferior, sedangkan defek lapangan pandang di superior menunjukkan

ablasio retina inferior.4

2.6 Diagnosis

Pemeriksaan pada kasus yang dicurigai ablasio retina meliputi pemeriksaan dengan slit

lamp biomicroscopy dimana biasanya kamera okuli anterior ditemukan dalam batas

normal. Pada pemeriksaan badan kaca kadang-kadang ditemukan adanya pigmen yang

terlihat sebagai tobacco dust. Hal ini merupakan tanda patognomonik untuk robekan

retina pada 70 % kasus tanpa riwayat penyakit mata atau pembedahan sebelumnya. 6

Diagnosis pasti ditegakkan dengan oftalmoskopi. Direct oftalmoscopy dapat

mendeteksi perdarahan vitreus dan ablasi retina yang luas. Daerah ablasi ditandai

dengan daerah abu-abu dengan warna pembuluh darah lebih gelap yang terletak pada

daerah yang melipat. Daerah ablasi akan terlihat berundulasi atau bergelombang ketika

mata digerakkan, namun jika ablasi masih dangkal akan sangat sulit untuk dievaluasi.

Dengan daya pandang pemeriksaan yang sempit sering diagnosis ablasio retina

terlewatkan, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan secara indirek yang secara

signifikan meningkatkan visualisasi fundus bagian perifer. 6,8

2.7. Diagnosis Banding

Penyakit utama yang merupakan diagnosis banding ablasio retina khususnya

tipe regmatogenosa adalah retinoschisis. Retinoschisis menyebabkan skotoma absolut

sedangkan ablasio retina menyebabkan skotoma relatif. Tobaco dust dan atau

perdarahan jarang ditemukan pada vitreus dengan retinoschisis sedangkan hal tersebut

sering ditemukan pada ablasio retina . Retinoschisis memiliki permukaan yang halus

dan biasanya muncul berbentuk kubah. Kebalikannya ablasio retina dengan permukaan

yang tidak rata. Pada kasus ablasio retina yang lama, retina dapat muncul halus dan

tipis hampir sama dengan retinoschisis. Pada ablasio retina yang lama biasanya epitel

pigmen retina di bawah garis demarkasi dan makrosit mengalami atrofi sedangkan pada

retinoschisis normal.9

Temuan klinik Ablasio Retina Schisis

Permukaan Bergelombang/berkerut Kubah dan halus

9

Page 10: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

(tidak rata)

Perdarahan/pigmen + -

Skotoma relatif Absolute

Reaksi fotokoagulasi - Biasanya ada

Cairan yang berpindah bervariasi -

Tabel 1. Perbedaan Retinoschisis dengan Ablasio Retina9

2.8 Penanganan Ablasio Retina

Retina mendapatkan oksigen dan nutrien dari koroid yang mendasarinya (lapisan

vaskuler). Saat ablasio retina muncul, retina yang lepas mulai mengalami disfungsi dan

akhirnya nekrosis (mati) yang merupakan akibat apabila retina tidak dikembalikan pada

tempatnya semula pada koroid. Oleh karena itu ablasio retina merupakan tindakan

darurat yang mana retina yang terlepas harus dikenali dan diberikan penanganan yang

tepat.10

Apabila robekan retina ditemukan sebelum ablasio terjadi, hal tersebut dapat

ditangani dan dicegah agar retina tidak lebih lanjut terlepas. Biasanya laser dapat

digunakan untuk menangani robekan retina. Laser tersebut dapat membuat “luka bakar”

baru disekitar robekan yang pada akhirnya nanti membentuk jaringan parut dan

menahan retina pada jaringan di bawahnya. Hal ini mencegah cairan (cairan vitreus)

agar tidak masuk melalui robekan dan melepaskan retina. 4

Gambar 6. Penggunaan Laser pada Ablasio Retina2,6

10

Page 11: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Pada kasus-kasus yang lebih jarang, laser tidak bisa dipergunakan dan sebagai

gantinya dipakai cryoprobe retina untuk menangani robekan tersebut. Cryoprobe

tersebut dapat membuat suatu reaksi pembekuan yang dapat membentuk jaringan parut

di sekitar robekan.

Gambar 7. Penggunaan Cryoprobe pada Ablasio Retina2

Hal inilah yang menyebabkan pentingnya suatu pemeriksaan awal apabila

terdapat gejala PVD (flashes, floaters, shower of spots). Pemeriksaan menggunakan

oftalmoskopi indirek, pemeriksaan lensa kontak, dan depresi sklera diperlukan untuk

menemukan robekan retina secara dini dan daerah di sekitarnya yang beresiko terlepas.

Jika tidak ditemukan robekan pada pemeriksaan awal, sangat penting untuk

mengadakan pemeriksaan lagi dalam waktu 1 sampai 2 minggu atau lebih awal lagi

apabila terdapat gejala baru. Walaupun robekan ditemukan dan telah ditangani,

pemeriksaan lanjutan sangat diperlukan untuk memastikan reaksi laser bekerja dan tidak

berkembang robekan baru.4

Tidak semua robekan retina memerlukan penanganan. Banyak orang memiliki

lubang bundar atau atrofi pada retina mereka yang ditemukan pada pemeriksaan rutin

dan biasanya hal ini tidak perlu ditangani. Tetapi secara umum jika suatu robekan retina

ditemukan yang berhubungan dengan temuan gejala PVD atau terdapat faktor resiko

tinggi untuk mengalami ablasio retina diperlukan suatu penanganan yang tepat.4

11

Page 12: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Penanganan robekan retina dengan laser atau cryoprobe tersebut memiliki

tingkat kesuksesan yang tinggi dan biasanya ablasio retina dapat dihindari. Sayangnya

pada kasus-kasus tertentu, terkadang robekan retina secara cepat mengarah kepada

ablasio retina tanpa ada gejala PVD. Untuk ini dan alasan lainnya banyak orang

didiagnosis dengan ablasio retina pada awal pemeriksaan dan hampir selalu

memerlukan perbaikan melalui tindakan pembedahan. 4

Tindakan pembedahan untuk menangani ablasio retina meliputi berbagai macam

prosedur tergantung pada keadaan penyakit. Prosedur pembedahan yang dimaksud

meliputi scleral buckle procedure, vitrectomy dan pneumatic retinopexy.

1. Scleral Buckling

Posedur pembedahan ini telah dipergunakan lebih dari 30 tahun dan biasanya

dipergunakan untuk menangani ablasio retina tipe regmatogenosa. Operasi pemasangan

scleral buckle itu adalah merupakan prosedur yang paling umum untuk memperbaiki

ablasio retina. Prosedur ini meliputi melokalisir posisi keseluruhan robekan retina,

menangani semua robekan retina dengan cryoprobe dan mempertahankan dengan

menggunakan gesper sclera (scleral buckle). Gesper yang digunakan biasanya adalah

sebuah busa silicon atau silicon padat. Tipe dan bentuk gesper bervariasi tergantung

lokasi dan jumlah robekan retina. Gesper tersebut dipasang pada dinding luar bola mata

(sclera) untuk menciptakan sebuah indentasi atau efek gesper di dalam mata. Gesper

diposisikan di bawah muskulus rektus sehingga dapat menekan robekan retina dan

secara efektif menutup robekan dan dipertahankan pada tempatnya dengan jahitan yang

minimalis pada sklera mata. Setelah robekan tertutup, cairan di bawah retina biasanya

secara spontan akan kembali pada posisinya semula dalam 1 sampai 2 hari

(menghilangkan traksi vitreus). Pada banyak kasus dilakukan dreinase terhadap cairan

yang berada di bawah retina pada bagian retina yang terlepas dan kemudian menutup

lubang yang terjadi dengan laser atau cryoterapy. 4,10

12

Page 13: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Gambar 8. Prosedur Scleral Buckling2,4

2. Vitrectomy

Prosedur ini dikenal juga dengan sebutan Trans Pars Plana Vitrectomy (TPPV),

dan telah digunakan sejak 20 tahun yang lalu untuk menangani ablasio retina tipe traksi

pada pasien diabetes tapi dapat juga dipergunakan untuk ablasio retina tipe

regmatogenosa khususnya kasus-kasus yang berhubungan dengan traksi vitreus atau

pendarahan pada vitreus. Prosedur tersebut meliputi membuat insisi kecil pada dinding

bola mata agar dapat memasukkan alat yang disebut vitrector ke dalam kavitas vitreus

(bagian tengah bola mata). Langkah yang pertama dilakukan adalah menghilangkan

vitreus humor menggunakan vitreus cutter. Kemudian tergantung pada tipe dan

penyebab ablasio retina, berbagai macam instrumen (gunting, forcep, laser, dll) dan

teknik (eksisi lingkaran yang mengalami traksi, pertukaran gas-cairan, pemberian

minyak silikon, dll) dipergunakan untuk mengembalikan retina pada lapisan di

bawahnya. 4,10

13

Page 14: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Gambar 9. Vitrektomi4

3. Pneumatic Retinopexy

Prosedur ini dilakukan untuk memperbaiki ablasio retina tipe regmatogenosa

khususnya yang memiliki robekan tunggal terletak di bagian superior retina (straight-

forward rhegmatogenous retinal detachment). Prosedur ini meliputi menginjeksikan

gelembung gas ke dalam bagian tengah bola mata (kavitas vitreus) baik sebelum atau

sesudah lubang pada retina dirawat dengan laser atau cryoterapy untuk menutup lubang

secara permanen. Gelembung gas tersebut harus diposisiskan di atas lubang agar dapat

mencegah cairan masuk ke lubang sementara retina menyembuh. Keuntungan utama

dari prosedur ini adalah dapat dilakukan di praktek dokter tanpa harus lama menginap di

rumah sakit dan juga dapat dihindari komplikasi dari prosedur sclera buckling walaupun

tentunya memiliki komplikasi tersendiri. Sedangkan keburukannya adalah prosedur ini

memerlukan posisi kepala yang tetap selama 7 – 10 hari mendatang dan memiliki angka

kesuksesan yang lebih rendah dibandingkan prosedur sclera buckling. 4,10

14

Page 15: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Gambar 10. Pneumatic Retinopexy4

4. Laser Photocoagulation (Fotokoagulasi Laser)

Terapi laser photocoagulation merupakan suatu metode untuk menangani

ablasio retina dengan laser argon. Sinar laser berintensitas tinggi ini dikonversi menjadi

energi panas, yang kemudian mampu mengubah molekul-molekul protein pada jaringan

yang ditarget dengan laser dan dapat mengatasi robekan pada retina. Jadi, tujuan dari

terapi laser ini adalah untuk merekatkan kembali suatu robekan ataupun detachment

pada bagian tertentu dari retina dan atau untuk mencegah pertumbuhan lebih jauh dari

pembuluh-pembuluh darah retina yang dapat menimbulkan detachment.

2.9. Prognosis

Jika makula sentralis belum terlibat saat perbaikan dilakukan, biasanya tajam

penglihatan diharapkan kembali normal seperti sebelum terjadi ablasio retina. Akan

tetapi jika makula sentralis telah terlepas saat perbaikan dilakukan dan penglihatan

bagian sentral telah terganggu, mungkin akan terdapat kehilangan penglihatan secara

permanen walaupun retina telah dikembalikan pada posisi anatomisnya. Semakin lama

makula terlepas, kemungkinan kehilangan penglihatan secara total semakin besar

berhubung terjadi kerusakan yang irreversible pada fotoreseptor (tergantung pada durasi

dan derajat elevasi lepasnya makula dan umur pasien). 4,10

BAB III

15

Page 16: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita

Nama : Wayan Sari

Umur : 64 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Br. Tegal Sumaga, Tejakula, Buleleng

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Hindu

Suku Bangsa : Bali

3.2 Anamnesis

Keluhan utama : Penglihatan kabur

Riwayat Penyakit Sekarang

Penderita datang dengan membawa surat pengantar dengan diagnosis PDR. Penderita

mengeluh penglihatan kabur pada kedua mata disertai dengan adanya bayang-bayang

seperti sarang laba-laba. Penglihatan lebih kabur pada mata kanan. Penglihatan mulai

kabur sejak + 6 bulan yang lalu. Keluar air mata disangkal, nyeri mata disangkal, silau

ada (+ sejak 6 bulan yang lalu).

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan

Riwayat DM dan hipertensi ada, diketahui sejak 3 tahun yang lalu. Penderita memakai

insulin suntik sejak + 3 tahun yang lalu. Riwayat trauma maupun kemasukan benda

asing sebelumnya disangkal. Pasien juga mengatakan tidak pernah sakit mata seperti ini

sebelumnya. Riwayat pemakaian obat tetes mata sebelumnya juga disangkal. Riwayat

sakit gigi, sakit tenggorokan, sakit telinga disangkal.

Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.

Riwayat Sosial

16

Page 17: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Penderita adalah seorang ibu rumah tangga.

3.3 Pemeriksaan Fisik

3.3.1 Pemeriksaan Fisik Umum

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Nadi : 76 kali / menit

Temperatur aksila : 36,6 °C

3.3.2 Pemeriksaan Fisik Khusus (Lokal pada Mata)

Okuli Dekstra (OD) Okuli Sinistra

Visus

Refraksi/Pin Hole

1/300

NI

3/60

6/30

Supra cilia

Madarosis

Sikatriks

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Palpebra superior

Edema

Hiperemi

Enteropion

Ekteropion

Benjolan

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Palpebra inferior

Edema

Hiperemi

Enteropion

Ekteropion

Benjolan

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Pungtum lakrimalis

17

Page 18: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Pungsi

Benjolan

Tidak dilakukan

Tidak ada

Tidak dilakukan

Tidak ada

Konjungtiva palpebra superior

Hiperemi

Folikel

Sikatriks

Benjolan

Sekret

Papil

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Konjungtiva palpebra inferior

Hipermi

Folikel

Sikatriks

Benjolan

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Konjungtiva bulbi

Kemosis

Hiperemi

- Konjungtiva

- Silier

Perdarahan di bawah konjungtiva

Pterigium

Pingueculae

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Sklera

Warna

Pigmentasi

Putih

Tidak ada

Putih

Tidak ada

Limbus

Arkus senilis Ada Ada

18

Page 19: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

Kornea

Odem

Infiltrat

Ulkus

Sikatriks

Keratik presifitat

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Kamera okuli anterior

Kejernihan

Kedalaman

Keruh

Normal

Keruh

Normal

Iris

Warna

Koloboma

Sinekia anterior

Sinekia posterior

Coklat

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Coklat

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Pupil

Bentuk

Regularitas

Refleks cahaya langsung

Refleks cahaya konsensual

Bulat

Reguler

Ada

Ada

Bulat

Reguler

Ada

Ada

Lensa

Kejernihan

Dislokasi/subluksasi

Keruh

Tidak ada

Keruh

Tidak ada

Pemeriksaan Lain

Funduskopi

OD OS

Papil N II bulat, batas tegas, aa : vv = 2:3,

fibrosis (+), eksudat (+), perdarahan (+),

Papil N II bulat, batas tegas, aa : vv = 2:3,

fibrosis (+), eksudat (+), perdarahan (-),

19

Page 20: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

RM sulit dievaluasi RM menurun

Foto Fundus :

USG Mata :

OD Moderate viterous opacity + PVR + Retinal Detachment

3.4 Resume

Pasien perempuan, 64 tahun mengeluh penglihatan kabur pada kedua mata, keluhan

tersebut dirasakan lebih berat pada mata sebelah kanan. nyeri pada mata kiri sejak 4 hari

sebelum masuk rumah sakit. Mata kiri dirasakan sangat perih sehingga membuat pasien

kesulitan untuk membuka mata. Nyeri mata kiri dirasakan pada awalnya saat pasien

baru bangun tidur, mata dirasakan perih yang sifatnya ringan kemudian lama-kelamaan

nyeri memberat terutama saat pasien membuka mata dan berkedip.

Pasien juga mengeluh mata kiri merah, berair, silau, kadang-kadang keluar

kotoran berwarna kekuningan dan kabur bersamaan dengan keluhan nyeri tersebut.

Pemeriksaan lokal

OD Pemeriksaan OS

20

Page 21: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

1/300, PH : NI Visus 1/60, PH : 6/30

Normal Palpebra Normal

Tenang Konjungtiva Palpebra tenang

Tenang Konjungtiva Bulbi tenang

Arcus senilis (+) Kornea Arcus senilis (+)

Bulat,regular,sentral Iris/Pupil Bulat,regular,sentral

Positif Refleks Pupil Positif

keruh Lensa keruh

9/5,5 Schiotz 8/5,5

3.5 Diagnosis Banding

1. Ablasio retina tipe traksi (Tractional Retinal Detachment)

2. Retinoschisis degeneratif

3. Choroidal detachment

3.6 Diagnosis Kerja

OD Ablasio Retina tipe Traksi

OS PDR + CSME

3.7 Usulan Pemeriksaan

- FFA

- Gula darah puasa dan 2 jam PP

3.8 Terapi

- Vitrektomi OD

- Laser Fotokoagulasi OS

3.9 Prognosis

In Dubia

21

Page 22: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

BAB III

PEMBAHASAN

Faktor resiko terjadinya ablasio retina meliputi umur (dengan insiden tertinggi pada

usia 60-70 tahun), jenis kelamin (sering ditemukan pada laki-laki), suku, herediter, dan

factor-faktor lainnya seperti diabetes mellitus, miopia, afakia, pseudoafakia, lattice

degeneration dan trauma okuli. Pada penderita, didapatkan faktor resiko berupa usia (64

tahun) dan adanya riwayat diabetes mellitus yang baru diketahui sejak 3 tahun yang

lalu. Kemungkinan kasus ini tidak bersifat herediter namun bersifat sporadic karena

tidak ditemukan adanya riwayat keluarga dengan penyakit serupa.

Diagnosis ablasio retina ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Keluhan utama pasien biasanya mengeluh kehilangan

pengelihatan secara tiba-tiba yang didahului oleh kilatan-kilatan sinar ataupun melihat

bayang-bayang seperti nyamuk-nyamuk yang beterbangan, sarang laba-laba atau

pengelihatan yang tertutup korden serta pandangan mata kabur. Secara obyektif visus

penderita juga menurun. Pada kasus ini di dapatkan gejala adanya kehilangan

pengelihatan secara tiba-tiba, yang didahului oleh munculnya bayang-bayang seperti

sarang laba-laba.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan oftalmoskopi. Oftalmoskopi direk dapat

mendeteksi pendarahan vitreus dan ablasio retina yang luas. Fibrosis yang menimbulkan

tarikan pada retina juga dapat terlihat melalui pemeriksaan ini. Pada tipe

regmatogenosa, kelainan yang terjadi berbentuk konveks, sedangkan pada tipe traksi

biasanya konkaf dan lebih terlokalisir. Daerah ablasi ditandai dengan daerah abu-abu

dengan warna pembuluh darah lebih gelap yang terletak pada daerah yang melipat. Pada

penderita didapatkan pada mata kanan papil N II bulat, batas tegas, aa : vv = 2:3,

fibrosis (+), eksudat (+), perdarahan (+), RM sulit dievaluasi. Sedangkan pada mata kiri

didapatkan papil N II bulat, batas tegas, aa : vv = 2:3, fibrosis (+), eksudat (+),

22

Page 23: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

perdarahan (-), RM menurun. Temuan funduskopik ini sesuai dengan teori yang

menyatakan bahwa ablasio retina traksional ditandai dengan adanya kelainan berupa

fibrosis pada badan kaca yang dapat menimbulkan tarikan pada retina. Fibrosis ini dapat

dijelaskan karena pada penderita didapatkan PDR dengan neovaskularisasi. Secara

patofisiologik, neovaskularisasi yang mengalami perdarahan dapat menyebabkan

terjadinya fibrosis badan kaca yang menjadi dasar timbulnya traksi. Diagnosis juga

didukung hasil USG mata dan foto fundus, yang sama-sama menunjukkan adanya

retinal detachment.

Diagnosis banding pada kasus ablasio retina adalah retinoschisis degenerative dan

choroidal detachment. Retinoschisis degeneratif, yaitu degenerasi peripheral tipikal

sering ditemukan pada orang dewasa, berlanjut dan meninggi 2-3 mm posterior ke ora

serrata. Daerah yang degenerasi tampak adanya gelembung dan paling mudah diamati

adanya depresi skleral. Kavitas kistoid pada lapisan pleksiform luar mengandung

hyalorinidase-mukopolisakarida sensitif. Komplikasi yang diketahui dari degenerasi

kistoid yang tipikal adalah koalesensi dan ekstensi kavitas dan peningkatan kearah

retinoskisis degenerasi tipikal. Gejala fotopsia dan floaters tidak ada karena tidak ada

traksi vitreoretinal. Defek lapangan pandang jarang. Sementara pada choroidal

detachment, gejala fotopsia dan floaters tidak ada karena tidak ada traksi viteroretinal.

Defek lapangan pandang ada pada mata dengan detachment choroidal yang luas. Karena

ditemukan gejala floaters dan traksi vitreoretinal maka kedua diagnosis banding tersebut

diatas dapat disingkirkan.

Penatalaksanaan yang sesuai pada ablasio retina tipe traksi pada penderita diabetes

mellitus adalah viterektomi. Prosedur ini dikenal juga dengan sebutan Trans Pars Plana

Vitrectomy (TPPV), dan telah digunakan sejak 20 tahun yang lalu untuk menangani

ablasio retina tipe traksi pada pasien diabetes tapi dapat juga dipergunakan untuk

ablasio retina tipe regmatogenosa khususnya kasus-kasus yang berhubungan dengan

traksi vitreus atau pendarahan pada vitreus. Prosedur tersebut meliputi membuat insisi

kecil pada dinding bola mata agar dapat memasukkan alat yang disebut vitrector ke

dalam kavitas vitreus (bagian tengah bola mata). Langkah yang pertama dilakukan

adalah menghilangkan vitreus humor menggunakan vitreus cutter. Kemudian

tergantung pada tipe dan penyebab ablasio retina, berbagai macam instrumen (gunting,

forcep, laser, dll) dan teknik (eksisi lingkaran yang mengalami traksi, pertukaran gas-

23

Page 24: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

cairan, pemberian minyak silikon, dll) dipergunakan untuk mengembalikan retina pada

lapisan di bawahnya.

Penurunan ketajaman penglihatan dan kebutaan merupakan komplikasi yang paling

umum terjadi pada ablasio retina. Penurunan penglihatan terhadap gerakan tangan atau

persepsi cahaya adalah komplikasi yang sering dari ablasio retina yang melibatkan

makula.

Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali dan pembedahan mengalami

komplikasi, maka dapat timbul perubahan fibrotik pada vitreous (vitreoretinopati

proliferatif, PVR). PVR dapat menyebabkan traksi pada retina dan ablasio retina lebih

lanjut.

Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio,

diagnosisnya dan tindakan bedah yang dilakukan.

Terapi yang cepat prognosis lebih baik. Prognosis lebih buruk bila mengenai makula

atau jika telah berlangsung lama. Jika makula melekat dan pembedahan berhasil

melekatkan kembali retina perifer, maka hasil penglihatan sangat baik. Jika makula

lepas lebih dari 24 jam sebelum pembedahan, maka tajam penglihatan sebelumnya

mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya.

24

Page 25: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

BAB IV

PENUTUP

Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang retina

dengan sel epitel pigmen retina. Dikenal tiga bentuk ablasio retina: ablasio retina

regmatogenosa, ablasio retina traksi, dan ablasio retina eksudatif. Dari ketiga tipe ini

yang paling sering dijumpai adalah tipe regmatogenosa yang terjadi oleh karena

disebabkan oleh robekan retina akibat traksi vitreoretina.

Penanganannya diutamakan saat terjadi baru pada tahap robekan retina yang

tentunya dapat didiagnosis dengan pemeriksaan dini secara rutin sehingga hasil yang

didapatkan nanti lebih baik dalam artian tajam penglihatan diharapkan kembali normal

seperti sebelum terjadi ablasio retina. Adapun teknik pembedahan yang bisa dilakukan

untuk menangani ablasio retina diantaranya, sclera buckling, vitrectomy, dan pneumatic

retinopaxy yang mana diantara teknik ini dapat dikombinasikan dalam pelaksanaannya

sesuai dengan kasus yang ditemui.

25

Page 26: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S, Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kedua. Balai penerbit FK UI Jakarta. 2002.

2. A.D.A.M. Medical Illustration Team. Retinal Detachment Repair.

http://www.shands.org/health/surgeries/100132.html#. Akses; 20 Januari 2010.

3. Vaughan DV, Asbury T, Riordan-Eva P, General Ophthalmology. 5 th Edition.

Prentice Hall, New Jersey 2003.

4. Angeles Vision Clinic. Retinal Detachment.

http://www.avclinic.com/RetinalDetachment.htm. Akses : 20 Januari 2010.

5. Hilton GF, Mc.Lean EB, Brinton DA, Retinal Detachment Principles and

Practice. 2nd Edition, American Academy of Ophthalmology, San Francisco,

1989.

6. Gariano, Cang-Hee. Evaluation and Management of Suspected Retinal

Detachment. http://www.aafp.org/afp/20040401/1691.html. Update : 1 April

2004. Akses : 20 Januari 2010.

7. Gregory. Retinal Detachment. http://www.emedicine.com/emerg/topic504.htm.

Akses : 20 Januari 2010.

8. Khurana AK. Ophthalmology: Quick Text Revision & MCQ, 1st .Edition. CBS

publisher and Distributors, New Delhi, 1997.

9. LEO.Retina and Vitreous. Section 12. Hal: 245-255. American Academy of

Ophtalmology. USA. 2003.

10. Anonim. Retinal Detachment Repair.

http://www.eyemdlink.com/EyeProcedure.asp?EyeProcedureID=52.

EyeMDLink.com.2005. Akses : 20 Januari 2010.

26

Page 27: Lapsus Mata Eka-Sinta (Autosaved)

27