Top Banner
BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTIDAKA A. Seven Jump a. Antigen : substansi yang dapat menginduksi suatu respons imun. b. Imunogen : Setiap substansi yang dapat menimbulkan respons imun. c. Hapten : Bahan kimia kecil yang diikat antibodi, tetapi harus diikat oleh makromolekul sebagai pembawa untuk dapat merangsang respons imun spesifik. d. Pseudo-alergi : reaksi sistemik umum yang melibatkan pelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tanpa melalui IgE e. Hipersensitivitas : Peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen. f. Allergen : substansi antigenik yang dapat menyebabkan hipersensitivitas yang cepat. g. Atopi : suatu kecenderungan genetik untuk perkembangan reaksi hipersensitivitas cepat terhadap antigen lingkungan umum. 1. Langkah II : a. Mengapa pasien mengalami gatal-gatal hebat dan bentol-bentol di seluruh tubuh dan wajah ? b. Apa hubungan antara gejala yang ada dengan zat yang dikonsumsi pasien ? c. Mengapa dokter memberikan injeksi anti-histamin ? d. Mengapa setelah dilakukan injeksi anti-histamin pasien mengalami pusing, keringat dingin, penurunan kesadaran dan sesak nafas ? e. Mengapa pasien diletakkan dengan posisi kaki lebih tinggi daaripada kepala ? f. Apa dasar pasien diberikan bantuan oksigen dan memeriksa jalan nafas? g. Apa dasar dokter melakukan injeksi adrenalin pada pasien ? h. Mengapa dalam pemerikasaan fisik pasca injeksi anti-histamin terjadi wheezing saat auskultasi 0
39

Laporan Tutorial 2 Imunologi

Dec 10, 2015

Download

Documents

laporan tutorial blok imonu skenario 2
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Tutorial 2 Imunologi

BAB IIDISKUSI DAN TINJAUAN PUSTIDAKA

A. Seven Jumpa. Antigen : substansi yang dapat menginduksi suatu respons imun.b. Imunogen : Setiap substansi yang dapat menimbulkan respons imun.c. Hapten : Bahan kimia kecil yang diikat antibodi, tetapi harus diikat

oleh makromolekul sebagai pembawa untuk dapat merangsang respons imun spesifik.

d. Pseudo-alergi : reaksi sistemik umum yang melibatkan pelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tanpa melalui IgE

e. Hipersensitivitas : Peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen.

f. Allergen : substansi antigenik yang dapat menyebabkan hipersensitivitas yang cepat.

g. Atopi : suatu kecenderungan genetik untuk perkembangan reaksi hipersensitivitas cepat terhadap antigen lingkungan umum.

1. Langkah II : a. Mengapa pasien mengalami gatal-gatal hebat dan bentol-bentol di seluruh tubuh

dan wajah ?b. Apa hubungan antara gejala yang ada dengan zat yang dikonsumsi pasien ?c. Mengapa dokter memberikan injeksi anti-histamin ?d. Mengapa setelah dilakukan injeksi anti-histamin pasien mengalami pusing,

keringat dingin, penurunan kesadaran dan sesak nafas ?e. Mengapa pasien diletakkan dengan posisi kaki lebih tinggi daaripada kepala ?f. Apa dasar pasien diberikan bantuan oksigen dan memeriksa jalan nafas?g. Apa dasar dokter melakukan injeksi adrenalin pada pasien ?h. Mengapa dalam pemerikasaan fisik pasca injeksi anti-histamin terjadi wheezing

saat auskultasi paru-paru, kesadaran sopor, hipotensi, takiradi, dan tachypnea ?

2. Analisis : Alergi terjadi setelah mengonsumsi substansi tertentu.- Substansi zat yang dapat menimbulkan alergi.- Mekanisme terjadinya alergi dan pseudoalergi.- Penatalaksanaan kejadian alergi.- Tes diagnostik alergi terhadap suatu substansi zat.- Kriteria alergi.- Faktor resiko serta faktor pencetus alergi.- Reaksi inflamasi.

a. Hipersensitivitas terhadap suatu substansi zat.- Klasifikasi serta definisi hipersensitivitas.- Patogenesis serta patofisiologis hipersensitivitas.- Penatalaksanaan kejadian hipersensitivitas.

b. Sistem Imun yang bekerja dalam tubuh kita.- Definisi hapten, antigen, immunogen serta perbedaannya.- Definisi MHC.

0

Page 2: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Sistem Imun

Respon Imun

Fisiologis Patologis

Hipersensitivitas

Atopi

- Mekanisme aktivasi sel B dan sel T.- Mekanisme pembentukan sel memori.- Definisi komplemen.

3. LOa. Memahami kronologi serta mekanisme kerja sistem imunb. Memahami atopi beserta pemeriksaan atopic. Memahami hipersensitivitas serta penatalaksanaannya

4. Langkah VI : Mekanisme Sistem Imun

Mekanisme Pertahanan Lini Pertama dalam Sistem Imun1) Pertahanan fisika) Kulit

Kulit yang normal dan utuh berupa keratinosit serta lapisan epidermis yang sehat menjadi salah satu garis pertahanan karena syarat yang permeabel terhadap infeksi berbagai organisme.

b) Asam LaktatDalam keringat dan sekresi sebasea dalam pertahanan tubuh PH kulit tetap rendah, sehingga sebagian besar mikroorganisme tidak mampu bertahan hidup dalam kondisi ini.

c) SiliaMikroorganisme yang masuk melalui saluran nafas akan diangkut keluar oleh gerakan cillia yang melekat pada sel epitel.

d) Mukus Membran mukosa mensekresiakan mukus untuk menjebak mikroba dan partikel asing lainnya serta menutup masuk jaringan virus/bakteri.

2) Pertahanan Mekanika) Bersin Bersin adalah reaksi tubuh karena adanya benda asing seperti bakteri, virus, dan benda

lainnya yang masuk ke hidung, maka reaksi tubuh untuk mengeluarkannya dengan cara bersin.

1

Page 3: Laporan Tutorial 2 Imunologi

b) Bilasan Air MataDimana saat benda asing memproduksi air mata berlebihan untuk mengeluarkan benda

tsb.c) Bilasan SalivaJika ada zat berbahaya maka produksi saliva bertujuan untuk menetralkan.d) Urine dan FesesJika berlebihan maka respon tubuh untuk segera mengeluarkannya sehingga patogen yang

berada pada saluran ekskresi juga akan ikut terdorong untuk keluar secara mekanik.3) Pertahanan Kimiawia) EksresiDi kulit, pH asam keringat dan sekresi sebasea serta berbagai asam lemak yang dilepas

kulit mempunyai efek denaturasi terhadap protein membran sel sehingga dapat mencegah infeksi dari patogen. Selain itu juga disekresikann lisozim yang melindungi tubuh dengan cara menghancurkan dinding peptidoglikan dinding bakteri. Dalam ekskresi urin, urin juga menjaga lingkungan biologis dengan pH yang rendah.

b) MataIgA dan lisozim merupakan pertahanan biokima yang terdapat pada mata. IgA mampu

mempertahankan bentuk permukaan mukosa serta memusnahkan banyak bakteri dengan merusak dinding selnya, begitu juga dengan Lisozim.

c) Telinga Terdapat serumen yang dikeluarkan guna membuat kondisi pH yang rendah serta

memperangkap patogen dengan cara perlengketan.d) PernafasanTerdapat mukus yang melindungi permukaan epitel mukosa dari bakteri yang akan

dikeluarkan oleh gerakan silia dalam saluran pernafasan.e) PencernaanLisozim seperti pada fisiologisnya juga ditemukan pada air ludah. Selain itu, dalam saliva

juga ditemukan enzim laktooksidase yang dapat merusak dinding sel serta terdapat juga antibodi dan komplemen yang berfungsi dalam opsonisasi. Dalam Lambung terdapat HCl yang menjaga lambung dalam pH yang rendah serta terdapat enzim proteolitik, antibodi, dan empedu dalam usus halus guna menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi banyak mikroba.

f) Air Susu IbuLaktooksidase seperti pada fisiologisnya juga ditemukan pada air susu ibu.g) ReproduksiAssiditas vagina dan spermin dalam semen dapat mencegah bertumbuhnya bakteri gram

positif.

Respon Imun Respon imun merupakan reaksi dair sel-sel dan molekul-molekul tubuh yang

terlibat dalam system imun dan dikoordinir oleh sistem imun terhadap mikroba infeksius. Respon imun ada 2 bagian yaitu :

1) Respon Imun Non-SpesifikImunitas bawaan adalah imunitas non-spesifik. Imunitas ini diperoleh sejak lahir.

Imunitas ini dipengaruhi oleh usia, hormonal, dan aktivitas metabolik. Imunitas

2

Page 4: Laporan Tutorial 2 Imunologi

didapat terdiri atas kulit, membran mukosa, sel – sel fagosit, mediator inflamasi, komplemen, interferon, dan sel natural killer.

Sel – sel fagositSel – sel fagosit mononuklear terdapat di dalam darah , jaringan limfoid, hati, lien,

paru – paru , dan di jaringan – jaringan lain. Fungsi dari lien adalah memfiltrasi mikroorganisme dari aliran darah. Mekanisme fagositosis berawal ketika makrofag menempel pada unsur – unsur mikroba , mereka akan menstimulasi untuk pelepasan sitokin yang menyebabkan datangnya lebih banyak sel – sel fagositik di daerah infeksi.

KomplemenKomplemen merupakan system yang terdiri atas sejumlah protein yang berperan

dalam pertahanan pejamu, baik dalam system imun non-spesifik maupun spesifik. Komplemen merupakan salah satu system enzim serum yang berfungsi dalam inflamasi, oponisasi, dan kerusakan (lisis) membrane pathogen. Dewasa ini diketahui sekitar 20 jenis protein yang berperan dalam system komplemen.

Komplemen merupakan molekul larut system imun nonspesifik dalam keadaan tidak aktif yang dapat diaktifkan berbagai bahan seperti LPS bakteri. Komplemen dapat juga berperan dalam system imun spesifik yang setiap waktu dapat diaktifkan kompleks imun. Hasil aktivasi tersebut menghasilkan berbagai mediator yang mempunyai sifat biologic aktif dan beberapa diantaranya merupakan enzim untuk reaksi berikutnya. Produk lainnya berupa protein pengontrol dan beberapa lainnya tidak mempunyai aktivitas enzim. Aktivasi komplemen merupakan usaha tubuh untuk menghancurkan antigen asing, namun sering pula menimbulkan kerusakan jaringan sehingga merugikan tubuh sendiri.

Ada 9 komponen dasar komplemen yaitu C1 sampai C9 yang bila diaktifkan, dipecah menjadi bagian-bagian yang besar dan kecil (C3a, C4b, dan sebagainya). Fragmen yang besar dapat berupa enzim tersendiri dan mengikat serta mengaktifkan molekul lain. Fragmen tersebut dapat juga berinteraksi dengan inhibitor yang menghentikan reaksi selanjutnya. Komplemen sangat sensitive terhadap sinyal kecil, misalnya jumlah bakteri yang sangat sedikit sudah dapat menimbulkan reaksi beruntun yang biasanya menimbulkan respons lokal.

Aktivasi KomplemenSistem komplemen yang semula diketahui diaktifkan melalui 2 jalur, yaitu jalur

klasik an alternative, sekarang diketahui juga dapat terjadi melalui jalur lektin. Jalur klasik diaktifkan oleh kompleks imun sedang jalur alternative dan jalur lektin tidak.

Perbandingan aktivasi komplemen jalur klasik dan alternatifJalur klasik Jalur alternative

Imunitas spesifikDimulai oleh antibodyBiasanya diikat antigenMemerlukan interaksi dengan

C2

Imunitas nonspesifikDimulai oleh dinding sel bakteri

Tidak memerlukan komponen C1, C4

3

Page 5: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Semua komponen majorTiga fase :- Fase inisiasi- Fase amplifikasi- Fase membrane attack akhir

jalur umum

Tiga fase :- Fase inisiasi- Fase amplifikasi- Fase membrane attack

Jalur lektin diawali dengan pengenalan manosa dari karbohidrat membrane pathogen oleh lektin dan jalur alternative diawali oleh pengenalan permukaan se lasing. Meskipun aktivasi system komplemen diawali oleh tiga jalur yang berbeda, namun semua jalur berakhir dalam produksi C3b.

4

Page 6: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Aktivasi Komplemen Jalur Klasik

5

Page 7: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Penggunaan istilah klasik berdasarkan penemuannya yang pertama kali, meskipun aktivasi jalur klasik terjadi sesudah jalur lainnya. Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dimulai dengan dibentuknya kompleks antigen-antibodi larut atau dengan ikatan antibody dan antigen pada sasaran yang cocok, seperti sel bakteri. Aktivasi jalur klasik dimulai dengan C1 yang dicetuskan oleh kompleks imun antibody dan antigen.

IgM yang memiliki lima Fc mudah diikat oleh C1. Meskipun C1 tidak mempunyai sifat enzim, namun setelah berikatan dengan Fc, dapat mengaktifkan C4 dan C2 yang selanjutnya mengaktifkan C3. IgM dan IgG1, IgG2, IgG3 (IgM lebih kuat disbanding dengan IgG) yang membentuk kompleks imun dengan antigen., dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik. Jalur klasik melibatkan 9 komplemen protein utama yaitu C1-C9. Selama aktivasi, protein-protein tersebut diaktifkan secara berurutan. Produk yang dihasilkan menjadi katalisator dalam reaksi berikutnya. Jadi stimulus kecil dapat menimbulkan reaksi aktivasi komplemen berurutan. Lipid A dari endotoksin, protease, Kristal urat, polinukleotide, membrane virus tertentu dan CPR dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik.

Permukaan pathogen tidak memiliki inhibitor komplemen. Setiap sel yang tidak dilindungi oleh inhibitor komplemen akan diserang oleh komplemen. Aktivasi komplemen yang berlebihan tidak diinginkan oleh karena menimbulkan inflamasi dan kematian sel yang luas. Untuk mencegah hal itu diperlukan inhibitor komplemen.

Aktivasi Komplemen Jalur AlternatifAktivasi jalur alternative memproduksi produk aktif

seperti halnya dengan jalur klasik, tetapi untuk awal reaksi tidak diperlukan kompleks antigen-antibodi. Jalur alternative tidak terjadi melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1, C4 dan C2). Aktivasi jalur alternative dimulai dengan C3 yang merupakan molekul yang tidak stabil dan terus menerus ada dalam aktivasi spontan derajat rendah dan klinis yang tidak berarti. Aktivasi spontan C3 diduga terjadi pada permukaan sel, meskipun sel normal mengekspresikan inhibitor permukaan yang mencegah aktivasi C3.

Bakteri (endotoksin), jamur, virus, parasit, kontras (pada pemeriksaan radiologi), agregat IgA (IgA1, IgA2), IgG4, dan factor nefritik dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternative. Protein tertentu dan

6

Page 8: Laporan Tutorial 2 Imunologi

lipopolisakarida dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik dan alternative. Aktivasi Komplemen Jalur Lektin

Lektin adalah protein larut yang mengenal dan mengikat residu manosa dari hidrat arat yang merupakan bagian dinding sel mikroba. Oleh karena itu jalur lektin disebut jalur MBL atau jalur ikatan manan. Lektin adalah golongan family kolektin, yang merupakan protein fase akut dan kadarnya meningkat pada respons inflamasi.

Aktivasi jalur lektin diawali oleh terjadinya ikatan antara polisakarida mikroba dengan lektin dalam sirkulasi. Seperti halnya dengan C1q, MBL mengaktifkan kompleks enzim C1r-C1s atau serin esterase yang lain yang disebut mannose binding protein-associated serine-esterase. Sesudah itu semua jalur lektin adalah sama dengan jalur klasik melalui C4.Opsonisasi

Opsonisasi adalah proses melapisi partikel antigen oleh antibodi dan/atau oleh komponen komplemen sehingga lebih mudah dan cepat dimakan fagosit. C3b dan C4b mempunyai sifat opsonin. Opsonin adalah molekul yang dapat diikat disatu pihak leh partikel (kuman) dan dilain pihak oleh reseptornya pada fagosit sehingga memudahkan fagositosis bakteri atau sel lain. C3 yang banyak diaktifkan pada aktivasi komplemen merupakan sumber opsonin utama (C3b). Molekul C3b dalam bentuk inaktif (iC3b), juga berperan sebagai opsonin dalam fagositosis oleh karena fagositosis juga memiliki reseptor untuk CiC3b.

IgG juga dapat berfungsi sebagai opsonin, bila berikatan dengan reseptor Fc pada permukaan fagosit. Oleh karena fagosit tidak memiliki reseptor Fc untuk IgM, opsonisasi yang dibantu konplemen merupakan hal yang sangat penting selama terjadi respon antibody primer yang didominasi IgM yang merupakan activator komponen poten. CRP juga berfungsi sebagai opsonin.

(Abbas, 2004)Respon Inflamasi

Respon imun bawaan makrofag melepaskan mediator inflamasi seperti interleukin -1 ( IL – 1) dan tumor necrosis factor – α (TNF – α). Mediator – mediator inflamasi lainnya dikeluarkan dari makrofag teraktivasi termasuk prostaglandin dan leukotrin. Interferon

Infeksi virus memicu keluarnya antivirus yang disebut interferon. Protein - protein ini disebut sebagai interferon – α ( IFN – α) dan interferon - β ( IFN – β), yang merupakan hasil diferensiasi interferon - ᵞ (IFN - ᵞ ) yang diproduksi oleh sel limfosit T teraktivasi. Interferon

7

Page 9: Laporan Tutorial 2 Imunologi

alfa dan beta membantu mengendalikan replikasi virus melalui penghambatan sintesis protein sel.Sel Natural Killer (NK Cell)

Sel –sel natural killer ini dapat berperan dalam antibodi yang bergantung pada sel sitotoksik. Sel – sel pembunuh ini tidak mengekspresikan reseptor antigen yang spesifik. Sel – sel ini mengikat pada satu buah reseptor yaitu MHC class 1. Aktivitas sel pembunuh ini diperkuat oleh tinggi rendahnya level dari interferon alfa dan beta.

(Baratawidjaja, 2010)2) Respon Imun Spesifik

Respon imun spesifik berupa seluler dan humoral.a) Respon Imun Spesifik Seluler

i. Fase aktifasiDimulai ketika APC (Antigen Presenting Cell) dari

organisme (host) menyerang virus. Sementara itu virus yang lain mencari sel terdekat, seperti sel epitel untuk di infeksi. Virus memasuki APC yang kemudian disebut fagosom. Lisosom kemudian bergabung dengan fagosom membentuk fagolisosom. Lisosom mengandung enzim pencernaan untuk memproses antigen. Antigen yang diproses menyatu dengan MHC (Mayor Histocompatibility Complex) kelas II kemudian mempresentasikan reseptor di permukaan APC yang disebut MHC II-antigen peptide complex.

Virus juga menginfeksi sel epitel yang berada di dekatnya. Pada saat virus menginfeksi, virus tersebut di dalam sel epitel bergabung dengan lisosom dan MHC kelas I, setelah di proses kemudian mempresentasikan reseptor di permukaan sel epitel sebagai MHC I-antigen peptide complex. T helper (CD4+) mengenali antigen APC dan mengikat MHC kelas II-antigenic peptide complex. T helper teraktivasi dan mengeluarkan sitokin IL-2 dan IFN-γ yang digunakan untuk memanggil T sitotoksik.

ii. Fase EfektorDimulai ketika T sitotoksik (CD8+) aktif . Aktifnya T

sitotoksik menstimulasi terjadinya poliferasi oleh sitokin IL-2 dan mengenali MHC I antigenic peptide complex yang terdapat pada epitel. Sitokin juga menarik T killer ke situs infeksi. T sitotoksik yang teraktifasi ini mengikat MHC kelas I di Epitel. Pengikatannya mengakibatkan T sitotoksik mengeluarkan zat disebut perforin. Perforin melubangi sel membran di sel yang terinfeksi dan mengakibatkan sel meledak dan mati. Setelah itu T sitotoksik yang teraktivasi akan di nonaktifkan oleh T sel regulatory. T memory akan tinggal dan merespon lebih cepat untuk melawan virus yang sama.

b) Respon Imun Spesifik Humoral i. Fase Aktivasi

8

Page 10: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Di mulai ketika bakteri di makan oleh makrofag sebagai APC membentuk fagosom. Fagosom kemudian bergabung dengan lisosom yang mengandung enzim untuk mencerna atau memproses antigen. Antigen yang diproses menyatu dengan MHC kelas II kemudian mempresentasikan reseptor di permukaan APC yang disebut MHC II-antigen peptide complex.

Sel T helper (CD4+) mengenali antigen pada APC dan mengikat MHC kelas II-antgenic peptide complex. Ikatan tersebut memicu pengeluaran sitokin IL-1 dari APC yang mengaktifkan T helper. T helper yang aktif mengeluarkan sitokin IL-2 yang menstimulasi sel T untuk berproliferasi menghasilkan banyak sel T dan reseptornya spesifik dengan reseptor antigen yang di kenalinya.

ii. Fase EfektorDimulai ketika Sel B yang menunjukkan IgM sebagai

reseptor pengenal antigen di permukaannya yang spesifik. Pada awal proses, bakteri yang terikat pada reseptor IgM ditelan oleh sel B (endositosis) kemudian membentuk fagosom, fagosom bergabung dengan lisosom membentuk fagolisosom dan akhirnya antigen diproses. Pada proses antigen, MHC kelas II bergabung dengan fagolisosom kemudian mempresentasikan reseptor antigen pada permukaann sel B yang disebut MHC II-antigene peptide complex. Hal tersebut mengaktifkan sel T helper yang kemudian mengikat reseptor MHC II-antigenic peptide complex mengeluarkan sitokin IL-2. Sitokin menstimulasi sel B untuk berproliferasi menjadi sel B yang identik dengan Sel B induknya. Sel B berkembang menjadi sel plasma dan sel memori. Sel plasma menghasilkan antibodi yang identik dan spesifik dengan sel B asal yang telah terikat dengan reseptor. Antibodi ini akan menyerang agen asing yang masuk.

Selanjutnya jika antibodi ini terikat dengan bakteri, hal ini menyebabkan sel T killer lebih mudah untuk menyerang dan menghancurkan bakteri dengan fagositosis dan memicu pengeluaran protein perforin yang menyebabkan bakteri hancur secara langsung. Secara besamaan komplemen juga menyerang dengan cara melubangi bakteri tersebut.

b. Atopi dan Pemeriksaan AtopiIstilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu “atopos” yang berarti

“out of place” atau “di luar dari tempatnya”, dan ditujukan pada penderita dengan penyakit yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Bayi atopi memiliki predisposisi herediter untuk menghasilkan antibodi IgE melawan alergen yang berasal dari lingkungan sekitarnya dan memiliki satu atau lebih penyakit yang berkaitan dengan atopi seperti dermatitis atopi, rinitis alergi dan asma.

9

Page 11: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Faktor risiko terhadap perkembangan penyakit yang berkaitan dengan atopi adalah riwayat atopi dalam keluarga, hal ini dapat dilihat dari bayi yang baru lahir akan dijumpai adanya peningkatan kadar IgE dari sampel darah tali pusat.

Penyakit yang berkaitan dengan atopi diturunkan secara genetik dan dipengaruhi faktor lingkungan dan riwayat keluarga. Hubungan antara kelainan atopi orang tua dan anaknya bervariasi mengikut jenis kelainan atopi yang diderita orang tuanya.

Imunglobulin E merupakan golongan imunoglobulin yang paling akhir ditemukan, dan baru teridentifikasi dan dipastikan sebagai bahan aktif pada proses alergi pada tahun 1967. IgE merupakan mediator kunci dari penyakit alergi. IgE sudah dapat dideteksi pada usia tiga bulan, sebelum gejala klinis timbul. Pembentukan IgE dimulai pada masa awal kehidupan dimana sensitisasi sering dapat terdeteksi sebelum gejala klinis timbul. Ia merupakan suatu antibodi khusus yang diproduksi sistem imun sebagai respons terhadap antigen tertentu.

Setelah disekresikan oleh limfosit B, IgE mengikuti sirkulasi aliran darah hingga ia berikatan dengan permukaan membran sel mast dan basofil yang terdapat dipermukaan epitel di seluruh tubuh, misalnya pada saluran nafas, saluran cerna dan kulit. Pada paparan ulang, alergen akan bereaksi dengan membran yang terikat dengan IgE spesifik tersebut dan mencetuskan pelepasan zat mediator inflamasi seperti: histamin, leukotrin, prostaglandin, dan protease, sehingga menimbulkan tanda dan gejala alergi.

Atopic march, atau lebih dikenal dengan allergic march, merupakan istilah yang menggambarkan adanya riwayat alami dari alergi atau manifestasi atopi dengan karakteristik berupa urutan yang khas dari gejala dan kondisi klinis yang muncul pada usia tertentu. Secara umum gambaran klinis dermatitis atopi merupakan yang pertama kali muncul kemudian diikuti asma dan rinitis alergi. Atopi dapat juga bersifat asimtomatik dimana terdapat banyak orang dengan status atopi yang mempunyai IgE spesifik dalam tubuhnya namun tidak menunjukkan gejala klinis alergi.insidens infeksi yang lebih rendah pada masa awal kehidupan atau yang didapat sebelum lahir, mungkin menjadi penyebab meningkatnya penyakit alergi. Fasilitas peralatan rumah tangga yang lebih baik dan standar kebersihan pribadi yang tinggi juga dikatakan mengurangi kesempatan infeksi-silang pada keluarga, yang berakibat penyakit atopi meningkat.

Paparan terhadap lingkungan merupakan faktor utama sensitisasi alergi terhadap alergen lingkungan sehingga muncul penyakit alergi. Faktor lingkungan tersebut antara lain paparan yang sering terhadap alergen, paparan terhadap binatang peliharaan dan ternak, tingkat sosio-ekonomi, status nutrisi, dan jumlah saudara kandung. Tempat penitipan anak, faktor gaya hidup seperti diet, pemberian ASI, dan kebiasaan merokok pada ibu juga merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi munculnya penyakit alergi

10

Page 12: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Paparan terhadap lingkungan merupakan faktor utama sensitisasi alergi terhadap alergen lingkungan sehingga muncul penyakit alergi. Faktor lingkungan tersebut antara lain paparan yang sering terhadap alergen, paparan terhadap binatang peliharaan dan ternak, tingkat sosio-ekonomi, status nutrisi, dan jumlah saudara kandung. Tempat penitipan anak, faktor gaya hidup seperti diet, pemberian ASI, dan kebiasaan merokok pada ibu juga merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi munculnya penyakit alergi.

Pemeriksaan Tes AlergiPemeriksaan untuk diagnosis alergi inhalan dapat dilakukan secara

in vivo dan in vitro untuk alergi terhadap alergen yang spesifik. Tes ini diindikasikan tidak hanya pada pasien alergi saja, namun juga pada terkena alergen yang spesifik. Tes pada inhalasi relatif lebih sederhana, sejak mekanisme terjadinya diketahui (IgE – mediator reaksi tipe I) dan reaksi alergi inhalasi bisa didapatkan dalam beberapa menit. Bagaimanapun bisa didapatkan sebuah hasil yang positif walaupun tanpa gejala klinik.1. Metode In Vivo

Berbagai metode in vivo digunakan dalam penelitian sistem immunoglobulin maupun sistem seluler.  Tes alergi secara in vivo terdiri atas dua kategori : uji kulit dan uji tantangan pada organ (tes provokasi). Uji kulit merupakan cara in vivo utama dalam mengenali IgE atau antibodi reagenik. Reaksi ini terjadi beberapa menit setelah masuknya alergen. Alergen berinteraksi dengan antibodi reagenik yang melekat pada sel pelepas zat mediator. Akibatnya terjadi suatu peradangan atau pembengkakan segera, demikian pula suatu reaksi fase lambat. Pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan suatu jarum atau garukan dan injeksi intradermal. Pemeriksaan Tes Kulit

Uji kulit sampai saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang diagnosis alergi terhadap alergen-alergen tertentu. Metode ini dapat dilakukan secara massal dalam waktu singkat dengan hasil cukup baik. Prinsip test ini adalah adanya IgE spesifik pada permukaan basofil atau sel matosit pada kulit akan merangsang pelepasan histamin, leukotrien dan mediator lain bila IgE tersebut berikatan dengan alergen yang digunakan pada uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif berupa bentol (wheal) dan kemerahan (flare).Tetapi uji kulit tidak selalu memberikan hasil positif walaupun pemeriksaan dengan cara lain berhasil positif, terutama alergi terhadap obat.

Tujuan tes kulit pada alergi adalah untuk menentukan macam alergen sehingga dikemudian hari bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian imunoterapi.

- Scracth : Epicutaneus TesIni merupakan teknik yang paling awal ditemukan oleh

Charles Blackley pada tahun 1873. Pemeriksaan ini didasari dengan membuat laserasi superficial kecil dari 2 mm pada kulit pasien dan diikuti dengan menjatuhkan antigen konsentrat.

11

Page 13: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Keuntungan : Aman, jarang menyebabkan reaksi sistemik Terdapat kekurangan pada reaksi kulit tipe lambat Konstrate yang digunakan  nilai ekonominya lebih baik dan

mempunyai daya hidup yang lama.Kerugian :

Terjadi false positif (akibat iritasi pada kulit dibandingkan dengan reaksi alergi)

Lebih menyakitkan Tidak reproducible sebagai intradermal skin test

Karena kurang reproducibility  dan berbagai gambaran dibelakang, bentuk tes ini tidak direkomendasikan lagi sebagai prosedur diagnostik pada Alergi panel dari AMA Council Of Scientific Affairs.Prick : Epicutaneus

Teknik ini pertama kali dijelaskan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1926. Hal ini digambarkan dimana satu tetesan konsentrat antigen ke dalam kulit . kemudian jarum steril 26 G melalui tetesan tadi ditusukkan ke dalam kulit bagian superficial sehingga tidak berdarah. Variasi dari tes ini adalah dengan menggunakan applikator sekali pakai dengan delapan mata jarum yang bisa digunakan. Digunakan secara simultan dengan 6 antigen dan control positif (histmin) dan kontrol negative (glyserin).

Keuntungan :  Cepat Mempunyai korelasi yang baik dengan tes intradermal Relative lebih aman

Kerugian : Hanya memberikan penilaian kualitatif pada alergi Bisa terjadi kesalahan pada keadaan alergi yang lemah

(false – negatif) Grade pada kulit bersifat subjektif

Prick tes merupakan jalan cepat untuk menyeleksi antigen yang banyak. Jika skin tes positif, kemudian pasien lebih sering alergi, tetapi konversi yang didapat tidak benar. Jika pasien mempunyai sejarah yang positif dan negative pada prick test, maka dokter harus menggabungkan prosedur dengan pemeriksaan tes intradermal.

Kontraindikasi Skin Prick Test Penderita dengan riwayat yang meyakinkan adanya reaksi

anafilaksis terhadap allergen. Penderita dengan gejala alergi terhadap makanan sampai

dengan gejala yang timbul stabil. Penderita dengan penyakit kulit  misalnya urtikaria, SLE

dan lesi yang luas pada kulit.

12

Page 14: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Kesalahan yan sering terjadi pada Skin Prick Testa.   Tes dilakukan pada jarak yang sangat berdekatan ( < 2 cm )b.   Terjadi perdarahan, yang memungkinkan terjadi false

positive.c.   Teknik cukitan yang kurang benar sehingga penetrasi

eksrak ke kulit kurang, memungkinkan terjadinya false-negative.

d.   Menguap dan memudarnya larutan alergen selama tes.Intradermal test

Tes intradermal atau tes intrakutan secara umum biasa digunakan ketika terdapat kenaikan sensitivitas merupakan tujuan pokok dari pemeriksaan (misalnya ketika skin prick test memberikan hasil negatif walaupun mempunyai riwayat yang cocok terhadap paparan). Tes intradermal lebih sensitive namun kurang spesifik dibandingkan dengan skin prick test terhadap sebagian besar alergen, tetapi lebih baik daripada uji kulit lainnya dalam mengakses hipersensitivitas terhadap Hymenoptera (gigitan serangga) dan penisilin atau alergen dengan potensi yang rendah.

Keuntungan :

Lebih sensitive (dapat mendeteksi alergi dengan kadar rendah)

Lebih reproducible dalam satu tempatKerugian :

Lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif Tingkat dalam respon lebih bersifat subjektif Tidak ada standarisasi dalam banyaknya dosis atau

konsentrasinya Mungkin dapat muncul reaksi positif palsu pada sensitivitas

tinggi- Pacth Test

Tes pacth merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi zat yang memberikan alergi  jika terjadi kontak langsung dengan kulit. Metode ini sering digunakan oleh para ahli kulit untuk mendiagnosa dermatitis kontak yang merupakan reaksi alergi tipe lambat, dimana reaksi yang terjadi baru dapat dilihat dalam 2 – 3 hari.

Pemeriksaan pacth tes biasa dilakukan jika pemeriksaan dengan menggunakan skin prick tes memberikan hasil yang negative. Pada pelaksanaan pemeriksaan disiapkan 25 – 150 material yang dimasukkan ke dalam kamar plastic atau aluminium dan di letakkan di belakang punggung. Sebelumnya pada punggung diberikan tanda tempat-tempat yang akan ditempelkan bahan allergen tersebut. Setelah ditempelkan, kemudian dibiarkan selama 48 sampai 72 jam. Kemudian

13

Page 15: Laporan Tutorial 2 Imunologi

diperiksa apakah ada tanda reaksi alergi yang dilihat dari bentol yang muncul dan warna kemerahan.

a. Pemeriksaan Uji Provokasi Hidung (Nasal Provocation Test)Tes ini merupakan cara menilai yang paling baik untuk

rhinitis alergi. Hanya ini metode yang digunakan dengan menempatkan secara langsung allergen spesifik terhadap mukosa hidung. Metode ini menimbulkan gejala utama atau tanda dari pasien  dengan cara mengontrol antigen yang diduga dapat menimbulkan alergi dengan aplikasi langsung ke membrane mucous hidung. Dan evaluasi dari respon pasien di catat. Tehnik ini meliputi aplikasi yang selektif atas solution allergen ke kepala turbin inferior. Sebelumnya dilakukan rhinomanometri dan 20 menit setelah pemberian allergen. Untuk mengkonfirmasi efek alergi dari zat yang dites dengan menampakkan reduksi yang significant dari kemampuan hidung untuk pembengkakan mukosa yang reaktif. Sejak tes provokasi meliputi penempatan allergen secara langsung pada turbin, mungkin dapat menimbulkan reaksi alergi yang hebat atau mungkin syok anafilaksis, dan sepantasnya alat emergency tersedia pada ruang pemeriksaan.

2. Metode In VitroSetelah sifat-Sifat IgE diketahui pada tahun 1968, Maka

dimungkinkan pembentukan antisera terhadap kelas immunoglobulin ini. Hal ini membuka jalan untuk pelaksanaan peneraan imun. Telah ditemukan beberapa cara pemeriksaan in vitro terhadap alergi, yang pertama sekali yaitu metode uji Radioalergosorbent (RAST) yang kemudian mendapat modifikasi dan Enzyme-linked immunoassay (ELISA).

Indikasi untuk tes secara in vitro :- Pasien yang tidak respon terhadap control lingkungan dan

pengobatan konservatif.- Kekhawatiran pada bayi dan anak yang sensitive terhadap

reaksi atopi- Pasien yang tidak mungkin diberhentikan pengobatan yang

mungkin mempengaruhi pada pemeriksaan uji kulit- Pasien dengan reaksi yang jelek pada imunoterapi- Evaluasi individu yang sensitive ketika diprakarsai imunoterapi

pada pasien atopi.- Pemindahan pasien alergi pada imunoterapi- Sensitive terhadap racun- Diagnosis reaksi sensitive IgE pada makananKontra indikasi untuk tes secara invitro :- Pasien dengan positif riwayat sensitivitas dimana dengan terapi

non spesifik dapat efektif untuk mengurangi gejala.- Pasien atopi yang asimtomatik terutama dalam imunoterapi

14

Page 16: Laporan Tutorial 2 Imunologi

- Pasien dengan gejala namun pada uji kulit negative- Pasien dengan total IgE level dibawah 10 U/ml- Pasien dengan diagnosis gangguan penghantar non IgE

a. Metode RASTDalam garis besar ada 2 macam metode, yaitu metode yang

berdasarkan reaksi antigen antibody dalam larutan (liquid fase) dan yang berdasarkan reaksi antigen antibody pada benda padat atau partikel (solid phase). Pada umumnya tehnik RIA dalam larutan menggunakan prinsip kompetitif, yaitu mereaksikan antigen (Ag) yang tidak dilabel dan terdapat dalam specimen, bersama Ag yang dilabel 125I (Ag*) dengan antibody (Ab) spesifik, sehingga Ag berlabel (Ag*) dan Ag dalam specimen akan berkompetisi untuk mengikat Ab membentuk kompleks Ag*-Ab-Ag. Apabila kadar Ag* sebelum reaksi diketahui, maka sisa Ag* yang tidak bereaksi atau yang terikat pada kompleks dapat diukur radioaktivitasnya dan hasilnya merupakan parameter kadar Ag dalam specimen. Di samping tehnik kompetitif, ada juga tehnik non kompetitif dengan cara melekatkan Ag atau Ab pada suatu partikel kemudian mereaksikannya dengan specimen yang diuji. Apabila yang diuji adalah antigen, maka partikel dilapisi dengan Ab spesifik, kemudian direaksikan dengan specimen. Setelah itu ditambahkan Ab berlabel 125I (Ab*), kemudian kompleks Ab-Ag-Ab* dipisahkan dan diukur radioaktivitasnya. Banyaknya Ab* yang terikat merupakan ukuran untuk kadar Ag dalam specimen. Tehnik ini disebut tehnik sandwich dan merupakan tehnik yang banyak digunakan. Suatu modifikasi tehnik sandwich adalah setelah specimen direaksikan dengan partikel berlapis Ab, ditambahkan Ab spesifik yang tidak berlabel, baru kemudian dibubuhkan anti – Ig universal berlabel 125I (anti – Ig*).(2)

  b. Metode Elisa (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

Prinsip tehnik ELISA sama dengan tehnik RIA, hanya saja pada tehnik ELISA indicator (label) yang digunakan adalah enzim dan bukan radioisotope. Kelebihan tehnik ELISA adalah : cukup sensitive, reagen mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan reagen RIA, dapat menggunakan spektrofotometer biasa dan mudah dilakukan automatisasi, dan yang paling penting adalah tidak mengandung bahaya radioaktif. Seperti halnya pada tehnik RIA, pada tehnik ELISA juga dikenal metode kompetitif dan non kompetitif. Apabila Ab digunakan untuk melapisi partikel maka metode ini sering disebut capture, karena antigen dalam specimen seolah ditangkap oleh matriks yang dilapisi Ab. Fase solid atau partikel yang dapat digunakan bermacam-macam, diantaranya plastic, nitroselulosa, agarose, gelas, polyacrylamida, dan dekstran.

15

Page 17: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Bergantung pada apa yang ingin diuji, pada tehnik ELISA harus ada antibody atau antigen yang dikonjugasikan dengan enzim dan substrat yang sesuai. Enzim yang paling disukai untuk digunakan adalah fosfatase alkali (AP) dan horseradish peroxidase (HRP) sedangkan substrat yang paling sering digunakan adalah o-phenylenediamine (OPD), dan tetramethylbenzidine (TMB). Substrat para-nitrophenylphospate (pNPP) dapat dipilih apabila enzim yang digunakan adalah fosfatase alkali. Hidrolisis substrat oleh enzim biasanya berlangsung dalam waktu tertentu dan reaksi dihentikan dengan membubuhkan asam atau basa kuat. Karena banyaknya antibody berlabel enzim (AbE) yang terikat pada kompleks Ag - AbE sesuai dengan kadar Ag dalam specimen, maka banyaknya enzim yang terikat pada kompleks dan intensitas warna yang timbul setelah substrat dihidrolisis oleh enzim yang terikat pada kompleks Ag - AbE merupakan untuk kadar Ag yang diuji.

c. Reaksi HipersensitivitasReaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Disebut juga sebagai reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen.

Urutan kejadian reaksi Tipe 1:1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE

sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast/basofil.

2. Fase aktivasi yaitu waktu antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel mast/basofil melepaskan granula yang menimbulkan reaksi.

3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respon kompleks sebagai efek mediator yang dilepas sel mast atau basofil.

Manifestasi reaksi tipe I:1. Reaksi lokal : rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi.2. Reaksi sistemik : anafilaksis.3. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid.

Gambar 1. Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

16

Page 18: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Antigen mengaktifkan TH2 sehinggga sel TH2 ini akan merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE akan diikat oleh Fcε-RI pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast. Kemudian, ikatan silang tersebut akan mengawali jalur sinyal multiple dan merangsang pelepasan granula-granula sel mast yang mengandung amin protease. Pelepasan granula-granula ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan(amin vasoaktif), sintesis metabolit asam arakidonat (prostaglandin, leukotrin) dan aktivasi transkripsional gen sitokin yang kemudian melepaskan sitokin. Mediator dari sel mast akan menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan serta anafilaksis.

Tabel 1. Mediator primer utama pada hipersensitivitas Tipe IMediator EfekHistamin H1: permeabilitas vaskular meningkat, vasodilatasi,

kontraksi otot polosH2: sekresi mukosa gaster, aritmia jantungH3: SSPH4: Eosinofil

ECF-A Kemotaksis eosinofilNCF-A Kemotaksis neutrofilProtease (triptase, kimase)

Sekresi mukus bronkial, degradasi membran basal pembuluh darah, pembentukan produk pemecahan komplemen

Eosinophil Chemotactic Factor

Kemotaktik untuk eosinofil

Neutrophil Chemotactic Factor

Kemotaktik untuk neutrofil

Hidrolase asam Degradasi matriks ekstraselulerPAF Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos

paruNCA Kemotaksis neutrofilBK-A Kalikrein; kininogenaseProteoglikan Heparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan: mencegah

komplemen yang menimbulkan koagulasiEnzim Kimase, triptase, proteolisis

Tabel 2. Mediator sekunder utama pada hipersensitivitas Tipe IMediator EfekLTR (SRS-A) Kemotaktik neutrofilPG Vasodilatasi, kontraksi otot polos paru, agregasi

trombosit, kemotaktik neutrofil, potensiasi mediator lainBradikinin Peningkatan permeabilitas vaskular, vasodilatasi,

kontraksi otot polos paru, stimulasi ujung saraf nyeri

17

Page 19: Laporan Tutorial 2 Imunologi

Sitokin BervariasiIL-1 dan TNF-α Anafilaksis, peningkatan ekspresi CAM pada sel endotel

venulIL-4 dan IL-13 Peningkatan produksi IgEIL-3, IL-5, IL-6, IL-10, TGF-β, dan GM-CSF

Berbagai efek (dapat dilihat pada sitokin)

IL-4, PMN, demam TNF-α

Aktivasi monosit, eosinofil, demam

FGF FibrosisInhibitor protease Mencegah kimaseLipoksin BronkokonstriksiLeukotrin (LTC4 LTD4 LTE4)

Kontraksi otot polos (jangka lama), meningkatkan permeabilitas, kemotaksis

Leukotrin B4, 15-HETE

Sekresi mukus

PAF Kemotaksis (terutama eosinofil), bronkospasme

Manifestasi Hipersensitivitas Tipe 1: Reaksi Pseudoalergi atau Anafilaktoid

Reaksi pseudoalergi/anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan pelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis, reaksi ini menyerupai reaksi Tipe 1 seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, dan pruritus, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terlebih dahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dll.

Tabel 3. Kriteria kasar untuk membedakan alergi dan pseudoalergiAlergi Pseudoalergi

Perlu sensitisasi Tidak perlu sensitisasiReaksi setelah pajanan berulang Reaksi pada pajanan pertamaJarang (<5%) Sering (>5%)Gejala klinis khas Gejala tidak khasDosis pemicu kecil Tergantung dosis (tergantung kecepatan

pemberian pada infus)Ada kemungkinan riwayat keluarga Tidak ada riwayat keluarga (kecuali

defek enzim)Pengaruh fisiologis sedang Pengaruh fisiologis kuat

Reaksi Hipersensitivitas Tipe II Disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik. Dibentuk antibody jenis IgG dan IgM terhadap antigen.

18

Page 20: Laporan Tutorial 2 Imunologi

IgG dan IgM mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan sel NK → menimbulkan kerusakan melalui ADCC.

Mekanisme sitolisis dengan bantuan antibodi dikenal sebagai ADCC bermanfaat untuk membantu sel sitotoksik mengahancurkan selsasaran yang berukuran terlalu besar untuk difagositosis.

Mekanisme sitolisis dengan bantuan antibodi bermanfaat untuk mengahancurkan sel patologis, misalnya sel tumor, terutama apabila antibodi yang terbentuk justru melindungi permukaan selsasaran dari serangan sel T sitotoksik secara langsung.

Tetapi apabila immunoglobulin melapisi sel tubuh → reaksi ADCC → sitolisis, sitolisis dalam hal ini merugikan.

Kepekaan berbagai jenis sel sasaran terhadap aksi perusakan oleh sel efektor maupun oleh aktivasi komplemen berbeda-beda, tergantung jumlah antigen pada permukaan sel sasaran dan daya tahan sel sasaran terhadap pengrusakan.

Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit akibat :1. Reaksi transfusi.2. Hemolytic disease of the newborn (HDN).3. Anemia hemolitik.

Gambar 2.MekanismeReaksiHipersensitivitasTipe2 (HDN)Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitivitas Tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen – antibodi (imun), diikuti dengan aktivasi komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear (PMN).Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus atau antigen endogen seperti DNA.

Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi dan mengendap dalam berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu.Tanpa memerhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jaringan adalah sama. Namun, urutan kejadian

19

Page 21: Laporan Tutorial 2 Imunologi

dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda-beda.

 Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi(imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen sepertiDNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi, kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleksimun in situ).

Progenesis penyakit kompleks imun terbagi menjadi tiga tahap :1. Pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi2. Pengendapan kompleks imun di berbagai jaringan 3. Reaksi radang di berbagai tempat di seluruh tubuh

Gambar 3. Tahap progenesis penyakit kompleks imun

Dua faktor penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan penyakit dan pengendapan pada jaringan : Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar, yang terbentuk

pada keadaan jumlah antibodi yang berlebihan akan segera disingkirkan dari sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan. Kompleks paling patogen adalah kompleks yang terbentuk dengan antigen berlebih dan berukuran kecil atau sedang. Kompleks ini disingkirkan secara lebih lambat oleh sel fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi.

Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun, makrofag yang berlebihan atau disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun dalam sirkulasi dan meningkatkan kemungkinan pengendapan jaringan. (Kumar,2007)Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu

muatan kompleks (anionik vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan,arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang ada. Tempat pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa,dan pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasiglomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum

20

Page 22: Laporan Tutorial 2 Imunologi

ada penjelasan yang memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat predileksilainnya.

 Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Halini mungkin berlangsung pada saat kompleks imun yang berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b, memicu pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks tersebutmengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga,yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira10 hari setelah pemberian antigen), mungkin munculgambaran klinis, seperti demam, utikaria,artralgia, pembesaran kelenjar getah bening,dan proteinuria. Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa.

Aktivitaskomplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, yaitu melepaskan fragmen yangaktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleksimun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk prostaglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis,serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago.Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofilteraktivasi.

Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan aktivasi faktor Hageman. Kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali pembentukanmikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jikaterjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya.Jelasnya, hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapatmenginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan lesi. Demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi komplemenmenurunkan kadar neutrofil dalam serum.Hipersensitivitas Tipe IV

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitashumoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitasseluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respon terhadap berbagai mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan

21

Page 23: Laporan Tutorial 2 Imunologi

infeksi yang normal ataupun sebagai respon terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun) (Guyton Hall, 2009).

Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi. Hipersensitivitas tipe IV dibagi lebih lanjutmenjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, selT CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutamamakrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor. Hipersensitivitas tipe IV tibagi menjadi 4 macam , yaitu :

I. Hipersensitivitas Jones MoteTerjadi karena infiltrasi leukosit basofil di bawah epidermis.Disebut juga hipersesitivitas basofil kulit.

II. Dermatitis kontakDermatitis ini sifatnya lokal, yaitu terjadi pada kulit dimana terdapat kontak dengan alergen.

III. Tipe tuberkulinReaksi dermal yang terjadi sekitar 20 jam setelah paparan antigen, hal ini diakibatkan karena infiltrasi sel - sel mononuklear (limfosit dan monosit). Delapan hingga 12 jam setelah injeksituberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehinggadigunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan. Secara histologis, reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokalsitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitasmikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin. Penyebab utamaindurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel Tmemori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+(misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapatsuatu infeksi yang berat.Patofisiologi :

Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut.Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasiselama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurunganuntuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan

22

Page 24: Laporan Tutorial 2 Imunologi

tuberkulin berikutnya pada orangtersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC danakan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresisitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT.

IV. Reaksi GranulomataReaksi ini paling penting dalam tipe 4 karena paling sering memberikan manifestasi klinis. Reaksi ini adalah reaksi tubuh untuk membatasi terjadinya antigen persisten. Hal ini diakibatkan sensitasi terhadap antigen makrofag.

Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses DTH adalah sebagai berikut:1. IL-12Merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awaldengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokinutama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1. Selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γoleh sel T dan sel NK yang poten.2.  IFN-γMempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekulkelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen.Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat,demikian pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasimenyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α yang merangsang proliferasi fibroblas danmeningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkankemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan. Jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.3.  IL-2Menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yangtermasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik,meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal.4. TNF dan limfotoksinAdalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel:(1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatanaliran darah melalui vasodilatasi lokal; (2) meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitusuatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksidan sekresi faktor kemotaksis

23

Page 25: Laporan Tutorial 2 Imunologi

seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkankeluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T

Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi membunuh seltarget yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, molekul MHC tipe I berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan pentingdalam resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virusyang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa banyak peptidayang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel tumor sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor.

Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1) pembunuhanyang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung pada ligan Fas-Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam granula CTL, yangmenyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel target. Hal tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya menyebabkan lisiosmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut dengan granzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel,granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatumolekul yang homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi inimenyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkan untuk melawanantigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam penolakan graft.

KESIMPULANSistem imun adalah gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam

resistensi terhadap infeksi. System imun di bagi menjadi system imun spesifik/ adaptif dan nonspesifik/innate/alamiah. Ada 3 garis pertahanan, yang pertama pertahanan eksternal contohnya kulit, yang kedua adalah pertahanan nonspesifik yang internal melalui sel fagositik. Pertahanan ketiga adalah pertahanan spesifik. System imun juga terdapat organ limfoid primer untuk menghasilkan dan maturasi sel imun dan organ limfoid sekunder untuk mengaktifkan sel imun dari organ limfoid sekunder. Selain itu setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda dalam pemberian obat atau substansi tertentu. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan genetik pada manusia.

24