1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Mikropaleontologi merupakan cabang paleontologi yang mempelajari mikrofosil, ilmu ini mempelajari masalah organisme yang hidup pada masa yang lampau yang berukuran sangat renik (mikroskopis),yang dalam pengamatannya harus menggunakan Mikroskop atau biasa disebut micro fossils (fosil mikro). Pembahasan mikropaleontologi ini sesungguhnya sangat heterogen, berasal baik dari hewan maupun tumbuhan ataupun bagian dari hewan atau tumbuahan. Pada ilmu Mikropaleontologi ini dikenal adanya Analisis Biostratigrafi. Dimana biostratigrafi tersebut memiliki hubungan yang sangat erat dalam penentuan umur relatif dan lingkungan pengendapan dari suatu Batuan berdasarkan kandungan fosil yang terkandung dalam Batuan tersebut. Oleh karena itu diadakanlah praktikum Mikropaleontologi dengan acara Biostratigrafi, praktikum ini dilakukan agar
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Mikropaleontologi merupakan cabang paleontologi yang mempelajari mikrofosil,
ilmu ini mempelajari masalah organisme yang hidup pada masa yang lampau yang
berukuran sangat renik (mikroskopis),yang dalam pengamatannya harus
menggunakan Mikroskop atau biasa disebut micro fossils (fosil mikro). Pembahasan
mikropaleontologi ini sesungguhnya sangat heterogen, berasal baik dari hewan
maupun tumbuhan ataupun bagian dari hewan atau tumbuahan. Pada ilmu
Mikropaleontologi ini dikenal adanya Analisis Biostratigrafi. Dimana biostratigrafi
tersebut memiliki hubungan yang sangat erat dalam penentuan umur relatif dan
lingkungan pengendapan dari suatu Batuan berdasarkan kandungan fosil yang
terkandung dalam Batuan tersebut. Oleh karena itu diadakanlah praktikum
Mikropaleontologi dengan acara Biostratigrafi, praktikum ini dilakukan agar
memudahkan mahasiswa dalam membuat analisa masalah Biostratigrafi.
I.2 Letak dan Kesampaian Daerah
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tektonik Regional dan Fisografi
A. Tatanan Tektonik Pulau Jawa
Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur geologi
dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola-pola
yang teratur. Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah penurunan
basin, pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang
berbeda-beda dari waktu ke waktu.
Gambar 1. Geologi Pulau Jawa
Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur yaitu arah Timur Laut–Barat Daya
(NE-SW) yang disebut pola Meratus, arah Utara–Selatan (N-S) atau pola Sunda dan
arah Timur–Barat (E-W). Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah
Timur Laut – Barat Daya (NE-SW) menjadi relatif Timur–Barat (E-W). sejak kala
3
Oligosen sampai sekarang telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa
yang sangat rumit disamping mengundang pertanyaan bagaimanakah mekanisme
perubahan tersebut.
Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah
sekitarnya. Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di
bagian tengah terekspresikan dari pola penyebaran singkapan batuan pra-Tersier di
daerah Karang Sambung. Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas
Cekungan Pati, “Florence” timur, “Central Deep”. Cekungan Tuban dan juga
tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan
Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih dominan terekspresikan di bagian
timur.
Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan sementara
perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan. Ekspresi yang mencerminkan pola
ini adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan
Arjuna. Pola Sunda pada Umumnya berupa struktur regangan. Pola Jawa di bagian
barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti sesar Beribis dan sesar-sesar
dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat
pada zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh arah
Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik.
Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus merupakan pola yang
paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur sampai Paleosen
dan tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melalui Karang Sambung
4
hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh aktivitas
tektonik yang lebih muda.
Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola Sunda
telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir
hingga Oligosen Akhir. Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan
kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik
menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga
sekarang.
Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat dari pola struktur dan persebaran
tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan pola yang tertentu pula. Penampang
stratigrafi yang diberikan oleh Kusumadinata, 1975 dalam Pulunggono, 1994
menunjukkan bahwa ada dua kelompok cekungan yaitu Cekungan Jawa Utara bagian
barat dan Cekungan Jawa Utara bagian timur yang terpisahkan oleh tinggian Karimun
Jawa.
Kelompok cekungan Jawa Utara bagian barat mempunyai bentuk geometri
memanjang relatif utara-selatan dengan batas cekungan berupa sesar-sesar dengan
arah utara selatan dan timur-barat. Sedangkan cekungan yang terdapat di kelompok
cekungan Jawa Utara Bagian Timur umumnya mempunyai geometri memanjang
timur-barat dengan peran struktur yang berarah timur-barat lebih dominan.
Pada Akhir Cretasius terbentuk zona penunjaman yang terbentuk di daerah
Karangsambung menerus hingga Pegunungan Meratus di Kalimantan. Zona ini
membentuk struktur kerangka struktur geologi yang berarah timurlaut-baratdaya.
5
Kemudian selama tersier pola ini bergeser sehingga zona penunjaman berada di
sebelah selatan Pulau Jawa. Pada pola ini struktur yang terbentuk berarah timur-barat.
Tumbukkan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia menghasilkan gaya
utama kompresi utara-selatan. Gaya ini membentuk pola sesar geser (oblique wrench
fault) dengan arah baratlaut-tenggara, yang kurang lebih searah dengan pola
pegunungan akhir Cretasisus.
Pada periode Pliosen-Pleistosen arah tegasan utama masih sama, utara-selatan.
Aktifitas tektonik periode ini menghasillkan pola struktur naik dan lipatan dengan
arah timur-barat yang dapat dikenali di Zona Kendeng.
Meskipun secara regional seluruh pulau Jawa mempunyai perkembangan tektonik
yang sama, tetapi karena pengaruh dari jejak-jejak tektonik yang lebih tua yang
mengontrol struktur batuan dasar, khususnya pada perkembangan tektonik yang lebih
muda, terdapat perbedaan antara Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Secara regional di pulau Jawa dapat dibedakan adanya 3 satuan tektonik, yaitu:
a) Cekungan Jawa Utara, yang terdiri dari cekungan Jawa Baratlaut (NW Java Basin)
dan cekungan Jawa Timurlaut (NE Java Basin)
b) Daerah cekungan Bogor-Kendeng
c) Daerah cekungan Pegunungan Selatan
6
Gambar 2. Pola Struktur Pulau Jawa
B. Tatanan Tektonik Jawa Tengah
Secara fisiografi, jawa tengah dibagi menjadi 4 bagian:
1. Dataran pantai selatan
2. Pegunungan serayu selatan
3. pegunungan serayu utara, dan
4. Dataran pantai utara
Salah satu batuan tertua di pulau jawa tersingkap di jawa tengah tepatnya di daerah
sungai LOH-ULO.
a. Pola struktur
Pola struktur di jawa tengah memperlihatkan adanya 3 arah utama yaitu baratlaut-
tenggara, timurlaut-barat daya, timur-barat. Di daerah loh ulo dimana batuan pra-
terser dan tersier tersingkap dapat dibedakan menjadi 2 pola struktur utama yaitu
arah timurlaut-baratdaya, dan barat-timur. Hubungan antar satu batuan dengan yang
lainnya mempunyai lingkungan dan ganesa pembentukan yang berbeda yang terdapat
didalam mélange.
7
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa pola yang arah timurlaut-baratdaya
yang sangat dominan didaerah ini. Data gaya berat dari untung dan sato 1979,
sepanjang penampang utara-selatan melalui bagian tengah jawa tengah dan
dilengkapi dengan data geologi permukaan memperlihatkan perbedaan yang sangat
mencolok pada urut-urutan lapisan miosen antara bagian utara dan bagian selatan
jawa tengah.
Bagian utara jawa tengah urut-urutan lapisan miosen sebagian besar terdiri dari
endapan laut dalam yang berupa kipas-kipas turbidit. Jenis endapan tersebut
menyebar sampai hampir dekat cilacap. Tetapi keselatannya stratigrafinya berubah
dan didominasi oleh endapan laut dangkal dengan lingkungan yang tenang seperti
batu pasir dan batugamping.
b. Satuan-satuan tektonik
Batuan tertua dijawa tengah tersingkap di dua tempat yaitu di loh-ulo dan di Bayat
(pegunungan jiwo, selatan kota klaten). Batuan yang berumur kapur itu bercampur
aduk, terdiri dari ofiolit, sedimen laut dalam, batuan malihan berderajat fasies sekis
hijau yang tercampur secara tektonik dalam masa dasar serpih sampai batu sabak
dengan bongkah-bongkah batu pasir greywackey yang termalihkan, masa dasarnya
memperlihatkan bidang-bidang belah gerus dengan arah sama.
II.2 Geologi Sangiran
Struktur Geologi Regional
Secara struktural, kawasan sangiran merupakan suatu kubah yang mana perlapisan
batuan di bagian tengah berada di atas sebagai puncak , sedangkan sisi-sisi lainnya
8
memiliki kemiringan ke arah luar. Kubah ini memiliki bentuk memanjang dari arah
utara timur laut menuju selatan barat daya. Kubah ini diperkirakan terbentuk 0,5 juta
tahun yang lalu yang dilihat dari formasi batuan termuda yang ikut terlipat atau
termiringkan pada saat terkena gaya endogen ( Wartono R., 2007). Berbagai pendapat
para ahli bermunculan mengenai asal-usul kubah ini, salah satunya oleh Van
Bemmelem pada tahun 1949 yang mengatakan bahwa kubah ini terbentuk sebagai
akibat tenaga endogen yakni gaya kompresif yang berhubungan dengan proses
vulkano-tektonik sebagai akibat longsornya G. Lawu tua. sementara Van Gorsel pada
tahun 1987 berpendapat bahwa kubah ini terbentuk akibat proses pembentukan
gunung api yang baru mulai, pendapat lain mengenai asal-usul terbentuknya kubah
ini seperti akibat adanya struktur diapir dan adanya struktur lipatan yang disebabkan
oleh proses wrencing.
Kawasan sangiran tersusun oleh batuan yang berumur pleistosen dengan morfologi
berupa daerah berbukit-bukit rendah yang mana dijumpai singkapan endapan laut
dangkal, endapan rawa, endapan sungai, dan endapan vulkanis rombakan seperti
endapan lahar dan endapan tuff. Disamping itu terdapat adanya endapan mud volcano
yang mengandung exotic block batuan yang berumur eosen dan batuan metamorf
sebagai basement batuan. Endapan mud volcano ini terletak dekat dengan pusat
kubah, selatan desa Sangiran yang terbentuk akibat adanya sesar yang memotong
jurus perlapisan, membentuk pola radial dari pusat kubah, semakin ke arah pusat
semakin banyak dijumpai sesar naik dan sesar turun, dan akibatnya terjadi retakan
9
yang sangat dalam yang memotong perlapisan tua yang bersifat lapuk, karena tersedia
celah, maka batuan tersebut mencuat sebagai mud volcano.
Pada saat ini sangiran dikenal dengan kubah sangiran (sangiran dome), namun
struktur tersebut sudah tidak terlihat akibat adanya erosi dari sungai di bagian utara
dan bagian selatan, yakni sungai Brangkal dan sungai cemoro yang keduanya
memotong kubah secara anteseden dengan arah aliran dari barat ke timur.
II. 3 Stratigrafi
Stratigrafi adalah studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif serta distribusi
perlapisan tanah dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah
Bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan yang berbeda dapat
dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil
(biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita
pelajari untuk mengetahui luas penyebaran lapisan batuan. Kata stratigrafi berasal
dari kata Latin stratum dan kata Yunani graphia, secara tradisional dianggap sebagai
ilmu deskriptif mengenai strata batuan.
Satuan stratigrafi (stratigraphic unit). Satuan stratigrafi adalah tubuh batuan yang
dianggap sebagai satu kesatuan (satu entitas khas) berdasarkan banyak sifat atau
gejala yang dimiliki oleh batuan. Satuan stratigrafi yang ditentukan keberadaannya
berdasarkan satu sifat tidak harus identik dengan satuan stratigrafi lain yang
ditentukan keberadaanya berdasarkan sifat yang lain. Oleh karena itu, serangkaian
istilah yang berbeda perlu dibuat untuk menyatakan satuan yang didasarkan pada
aspek yang berbeda sedemikian rupa sehingga satuan yang didasarkan pada satu
10
aspek batuan dapat dengan mudah dibedakan dari satuan lain yang didasarkan pada
aspek batuan yang lain pula. Definisi yang jelas mengenai suatu satuan stratigrafi
sangat penting artinya.
Peristilahan stratigrafi (stratigraphic terminology). Peristilahan stratigrafi adalah
semua istilah yang digunakan dalam penggolongan stratigrafi seperti formasi,
jenjang, dan biozona. Peristilahan stratigrafi dapat bersifat resmi maupun tidak resmi.
Adapun peristilahan dari stratigrafi yang bersifat resmi maupun tidak resmi adalah
sebagai berikut:
1. Tatanama stratigrafi (stratigraphic nomenclature). Tatanama stratigrafi adalah
sistem penamaan yang tepat terhadap suatu satuan stratigrafi, misalnya Formasi
Trenton, Sistem Jura, dan Zona Kisaran Dibunophyllum.
2. Zona (zone). Zona adalah satuan stratigrafi dalam beberapa kategori satuan
stratigrafi yang berbeda. Oleh karena itu, ada beberapa jenis zona, tergantung pada
sifat-sifat batuan yang dipakai sebagai dasar penentuan zona tersebut, misalnya
litozona, biozona, kronozona, zona mineral, zona metamorf, zona polaritas-magnet,
dsb. Bila digunakan secara resmi, istilah zona diawali dengan huruf besar (Zona)
untuk membedakannya dengan peristilahan tidak resmi. Jenis zona yang digunakan
dalam sebuah komunikasi hendaknya dijelaskan.
3. Horizon (horizon). Horizon stratigrafi adalah sebuah bidang yang mengindikasikan
suatu posisi pada suatu sekuen stratigrafi. Dalam prakteknya, istilah "horizon" sering
diterapkan pada suatu lapisan yang sangat tipis dan bersifat khas. Dalam stratigrafi
dikenal adanya beberapa jenis horizon, tergantung pada sifat stratigrafi yang
11
digunakan sebagai dasar penentuannya: litohorizon, biohorizon, kronohorizon,
horizon seismik, horizon elektrolog, dsb. Horizon stratigrafi tidak hanya dapat
berperan sebagai pembatas suatu satuan stratigrafi, namun juga sebagai suatu lapisan
penciri di dalam suatu satuan yang terutama penting artinya untuk tujuan korelasi.
4. Korelasi (correlation). Kata "korelasi," dalam pengertian stratigrafi, diartikan
sebagai penunjukkan korespondensi karakter dan/atau posisi stratigrafi. Ada beberapa
jenis korelasi, tergantung pada gejala yang digunakan sebagai dasar pengkorelasian.
Korelasi litologi (lithologic correlation) adalah usaha untuk menunjukkan
korespondensi sifat-sifat litologi dan posisi litostratigrafi; biokorelasi (biocorrelation)
adalah usaha untuk memperlihatkan korespondensi kandungan fosil dan posisi
biostratigrafi; kronokorelasi (chronocorrelation) adalah usaha untuk memperlihatkan
korespondensi umur dan posisi kronostratigrafi.
5. Geokronologi (geochronology). Geokronologi adalah ilmu yang mempelajari cara-
cara penentuan umur batuan dan menentukan urut-urutan peristiwa geologi dalam
sejarah bumi.
6. Satuan geokronologi (geochronologic unit). Satuan geokronologi adalah suatu
satuan waktu geologi (waktu yang ditentukan berdasarkan metoda-metoda geologi).
Satuan ini bukan berupa batuan dan, oleh karenanya, bukan merupakan satuan
stratigrafi, meskipun satuan ini berkorespondensi dengan rentang waktu yang
dicerminkan oleh suatu satuan stratigrafi.
7. Geokronometri (geochronometry). Geokronometri adalah cabang geokronologi
yang membahas tentang pengukuran waktu geologi kuantitatif (numerik), biasanya
12
dalam satuan ribuan atau jutaan tahun. Singkatan ka untuk ribuan (103), Ma untuk
jutaan (106), dan Ga untuk milyar (109) tahun dewasa ini biasa digunakan untuk
menyatakan rentang waktu sebelum masa sekarang, bukan untuk menyatakan rentang
waktu yang ditampilkan oleh suatu interval rekaman geologi.
8. Fasies (facies). Dalam stratigrafi, istilah fasies berarti aspek, khuluk, atau
manifestasi sifat (biasanya mencerminkan asal-usul) batuan atau material penyusun
batuan. Mungkin tidak ada satupun istilah dalam geologi, selain istilah fasies, yang
telah digunakan untuk menyatakan konsep yang berbeda-beda. Sebagaimana yang
telah didefinisikan oleh Gressly (1838), istilah fasies dimaksudkan untuk menyatakan
perubahan aspek litologi pada arah lateral. Walau demikian, pengertiannya kemudian
diperluas hingga istilah itu kemudian dipakai untuk menyatakan lingkungan
pengendapan atau lingkungan pembentukan batuan (fasies delta, fasies bahari, fasies
vulkanik, fasies laut dalam), untuk menyatakan komposisi litologi (fasies batupasir,
fasies batugamping, fasies red-bed), untuk menyatakan wilayah geografis atau iklim
(fasies Tethys, fasies boreal, fasies tropis, fasies Jerman), untuk menyatakan fosil
yang terkandung di dalam batuan (fasies graptolit, shelly facies), untuk menyatakan
rezim tektonik (fasies geosinklin, fasies orogen), dan untuk menyatakan tingkatan
metamorfisme. Istilah fasies juga digunakan sebagai nomina untuk menyatakan
aspek, kenampakan, atau sifat tubuh batuan yang khas. Jika kita akan menggunakan
istilah fasies, sebaiknya kita menyatakan dengan jelas jenis fasies apa yang
dimaksudkan dalam tulisan atau pembicaraan yang kita sampaikan: litofasies,
biofasies, fasies metamorf, tektonofasies, dsb.
13
9. Pemakaian istilah umum untuk pengertian yang spesifik. Pemakaian istilah yang
memiliki pengertian umum untuk menyatakan sesuatu yang memiliki pengertian
spesifik merupakan salah satu sumber yang menyebabkan timbulnya banyak
kerancuan dan perdebatan mengenai tata peristilahan stratigrafi. Sebagai contoh,
istilah "stratigrafi" hendaknya tidak dibatasi hanya untuk menyatakan hubungan umur
antara berbagai tubuh atau strata batuan; istilah "korelasi" tidak hanya berarti korelasi
waktu; istilah "geokronologi" hendaknya tidak dibatasi untuk penentuan umur
berdasarkan isotop; istilah "zona" dapat digunakan pada zona-zona selain zona fosil;
istilah "biozona" tidak menyatakan satu tipe satuan biostratigrafi tertentu; dan istilah
"interval" dapat menyatakan waktu selain ruang. Prosedur yang disarankan adalah
mempertahankan istilah lama dengan pengertian asalnya, kemudian mencari istilah
baru untuk menyatakan hal yang lebih khusus serta menggunakan istilah yang tidak
rancu untuk hal tersebut.
Selain itu, ada dua kategori satuan stratigrafi yang makin lama makin sering
digunakan dalam penelitian stratigrafi yakni:
a. Satuan yang dibatasi oleh ketidakselarasan, yaitu tubuh batuan yang di atas dan
dibawahnya dibatasi oleh diskontinuitas lintap stratigrafi yang berarti.
b. Satuan polarisasi magnetostratigrafi, yakni satuan yang didasarkan pada orientasi
magnetisasi remanen dari tubuh batuan.
Kategori-Kategori Penggolongan Stratigrafi. tubuh-tubuh batuan dapat digolongkan
ke dalam sejumlah kategori, dimana setiap kategori itu memerlukan satuan yang
14
tersendiri. Ada tiga kategori satuan stratigrafi resmi yang paling banyak dikenal dan
digunakan dalam penelitian geologi yakni:
a. Satuan litostratigrafi, yakni satuan yang didasarkan pada sifat-sifat litologi tubuh
batuan.
b. Satuan biostratigrafi, yakni satuan yang didasarkan pada fosil-fosil yang
terkandung dalam tubuh batuan.
c. Satuan kronostratigrafi, yakni satuan yang didasarkan pada waktu pembentukan
tubuh batuan.
Satuan biostratigrafi adalah tubuh lapisan batuan yang dikenali berdasarkan
kandungan fosil atau ciri-ciri paleontologi sebagi sendi pembeda tubuh batuan di
sekitarnya. Kelanjutan satuan biostratigrafi ditentukan oleh penyebaran gejala
paleontologi yang mencirikannya (Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996).
Biostratigrafi merupakan ilmu penentuan umur batuan dengan menggunakan fosil
yang terkandung didalamnya. Biasanya bertujuan untuk korelasi, yaitu menunjukkan
bahwa horizon tertentu dalam suatu bagian geologi mewakili periode waktu yang
sama dengan horizon lain pada beberapa bagian lain. Fosil berguna karena sedimen
yang berumur sama dapat terlihat sama sekali berbeda dikarenakan variasi lokal
lingkungan sedimentasi. Sebagai contoh, suatu bagian dapat tersusun atas lempung
dan napal sementara yang lainnya lebih bersifat batu gamping kapuran, tetapi apabila
kandungan spesies fosilnya serupa, kedua sedimen tersebut kemungkinan telah
diendapkan pada waktu yang sama.
15
Tingkat dan jenis biostratigrafi, dimana didalamnya adalah zona. Zona adalah satuan
lapisan atau tubuh batuan yang dicirikan oleh fosil planktonik dan bentonik yang
terkandung dalam batuan itu sendiri.
Dalam biostartigrafi terdapat beberapa macam zona adal sebagai berikut :
a. Zona kumpulan
Zona kumpulan adalah suatu lapisan atau kesatuan sejumlah lapisan yang terdiri oleh
kmpulan alamiah fosil yang khas atau kumpulan suatu jenis fosil. Kegunaan zona
kumpulan selin sebagai penunjuk lingkungan kehidupan purba, dapat dipakai sebagai
penciri waktu.
b. Zona kisaran
Zona kisaran adalah tubuh lapisan batuan yang mengcakup kisaran stratigrafi unsure
terpilih dari kemapuan seluruh foisl yang ada. Kegunaan zona kisaran terutama
korelasi tubuh-tubuh lapisan batuan dan sebagai dasar untuk penempatan batuan-
batuan dalam skala waktu geologi.
c. Zona puncak
Zona puncak adalah tubuh lapisan batuan yang menunjukan perkembangan
maksimun suatu takson tertentu. Kegunaan zona puncak dalam hal tertentu ialah
untuk menunjukkan kedudukan kronostratigrafi tubuh lapisan batuan dan dapat
dipakai sebagai penunjuk lingkungan pengendapan purba, iklim purba.
d. Zona selang
16
Zona selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal/akhir dari dua takson
penciri. Kegunaan dari zona selang yaitu pada umumnya untuk korelasi tubuh-tubuh
lapisan batuan.
e. Zona rombakan
Zona rombakan adalah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh banyaknya fosil
rombakan berbeda jauh daripada tubuh lapisan batuan diatas dan dibawahnya.
f. Zona padat
Zona padat adalah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh melimpahnya fosil dengan
kepadatanpopulasinya jauh lebih banyak daripada tubuh batuan diatas dan
dibawahnya.
Dalam biostartigrafi dikenal istilah ketidak-selarasan. Ketidak selarasan adalah bukti
untuk adanva ketidak-lanjutan vertikal dari sedimentasi yang disebabkan oleh adanya
gejala tektonik. seperti pengangkatan, yang dapat disebabkan pelipatan yang disusul
oleh pengangkatan (orogenesa) ataupun pengangkatan dan pemiringan semata
ataupun semata-mata pengangkatan atau epirogenesa. Adapun jenis-jenis ketidak
selarasan adalah sebagai berikut :
a. Angular Unconformity
Angular Unconformity adalah tipe ketidak selaran yang menunjukkan batuan tipe
ketidak selaran yang menunjukkan batuan sedimen yang lebih mudah menumpang
diatas bidang miring tererosi yang merupakan batuan yang lebih tua dan telah
mengalami pemiringan (tilted) atau perlipatan. Angular unconformity dapat
menunjukkan ukuran sepuluh hingga seratus kilometer, jarang berupa hubungan
17
individu batuan tetapi selalu dalam satuan batuan. Struktur seperti submarine slide,
cross bedding tidak termasuk tipe ini.
b. Disconformity
Disconformity ialah perlapisan sejajar diatas dan dibawah bidang ketidak-selarasan,
bidang kontaknya ditandai oleh kenampakan bidang erosi yang nyata dan tidak rata.
Disconformity lebih mudah dikenal karena adanya permukaan erosi mungkin karena
saluran (channel). Seperti halnya angular unconformity dapat pula ditandai dengn
fosil, zona soil (paleosols) yang mungkin ditandai oleh gravel tertinggal (lag-gravel)
pada bagian atas bidang ketidak selarasan dan menunjukkan bongkah litologi yang
sama dengan litologi bagian bawahnya.
Paraconformity ketidak selarasan sejajar, perlapisan batuan sejajar diatas dan
dibawah bidang ketidak-selarasan. Tidak menunjukkan tanda erosi dan proses fisika
lainnya. Hanya bisa ditentukan dengan mengetahui perbedaan kandungan fauna atau
perubahan zonasi faunanya.
c. Paraconformity
Paraconformity ketidak selarasan sejajar, perlapisan batuan sejajar diatas dan
dibawah bidang ketidak-selarasan. Tidak menunjukkan tanda erosi dan proses fisika
lainnya. Hanya bisa ditentukan dengan mengetahui perbedaan kandungan fauna atau
perubahan zonasi faunanya.
d. Nonconformity
Ketidak selarasan antara batuan sedimen dengan batuan beku atau metamorf yang
lebih tua dan telah tererosi sebelum batuan sedimen terendapkan diatasnya.
18
Stratigrafi Regional
Stratigrafi daerah sangiran disusun oleh batuan sedimen yang terendapkan oleh bahan
rombakan yang terjadi pada dan setelah terangkatnya perbukitan kendeng, sebelah
utara daerah sangiran. Urutan stratigrafinya yakni bagian terbawah tersusun oleh
formasi kalibeng yang menunjukkan gejala pendangkalan ke atas. Selanjutnya
formasi ini ditumpangi oleh urutan sedimen paralik-non marin, yang terdiri dari
formasi pucangan, kabuh, dan notopuro.
A. Formasi Kalibeng
Formasi ini tersusun atas napal dan batulempung gampingan berwarna abu-abu
kebiru-biruan di bagian bawah kemudian diikuti dengan batugamping kalkarenit dan
kalsirudit bagian atas yang tersingkap di daerah pusat kubah, yakni pada daerah
depresi di utara desa sangiran serta sepanjang aliran sungai Puren di sebelah timur
dan tenggara desa Sangiran dengan tebal ± 125 m.
Napal dan batulempung sangat mudah tererosi karena bersifat liat dan lunak. Pada
napal banyak dijumpai fosil foraminifera bentonik yang berupa Operculina
complanata, Ammonia beccari, Elphidium Craticulatum bersama dengan fosil gigi
ikan hiu (Soedarmadji, 1976). Selain itu juga dijumpai foraminifera planktonik
seperti Globoratalia acostaensis, G. tumida flexuosa, dan Sphaeroidinella dehiscens.
ini menunjukkan batuan tersebut terendapkan pada akhir pliosen di laut dangkal yang
berhubungan langsung dengan laut terbuka.
Batulempung abu-abunya juga bersifat lunak sehingga sering terjadi gerakan massa di
musim hujan, baik dalam bentuk rayapan, aliran, maupun bongkahan. Pada batuan
19
ini dijumpai fosil gastropoda dan pelecypoda seperti Turitella bantamensis,
Cominella sangiranensis, Placenfa sp., yang mana menunjukkan pengendapan pada
kondisi laut dangkal di akhir pliosen. Selain itu juga terkandung fosil yang
menunjukkan kondsisi air payau, yakni fosil ostrakoda an pelecypoda jenis Ostrea.
Diatas batulempung dijumpai lapisan kalkarenit dan kalsirudit yang tersusun oleh
fragmen fosil (coquina) yang saling bertumpu yang menunjukkan pengendapan di
laut dangkal dengan energi besar. Adanya fosil Balanus pada kalsirudit menunjukkan
pengendapan terjadi pada daerah pasang surut (litoral). Disamping itu juga dijumpai
lapisan batugamping diatas gamping balanus yang mengandung fosil Ccarbicula
yang menunjukkan kondisi pengendapan air tawar.
Berdasarkan kandungan fosil dan litologi tersebut menunjukkan gejala pengkasaran
ke atas dan pendangkalan ke atas dari kondisi laut laut dangkal terbuka, mnejadi
kondisi pasng surut dan berakhir pada kondisi air tawar dan iar payau.
B. Formasi Pucangan
Formasi ini terendapkan di atas formasi pucangan yang tersusun oleh breksi vulkanik
di bagian bawah dan lempung hitam di bagian atas. Breksi vulkanik membentuk
deretan bukit kecil yang tahan erosi yang ditempati desa Sangiran itu sendiri dan
menumpang secara tidak selaras di atas formasi kalibeng. Diantara breksi dijumpai
sisipan batupasir konglomeratan dengan fragmen andesit berukuran pasir hingga
kerakal. Di beberapa tempat menunjukkan struktur silang siur tipe palung yang
menunjukkan endapan pasng pada daerah sungai ternyam. Pada batupasir
konglomeratan ini dijumpai fosil vertebrata jenis kuda air dan gajah purba.
20
Di atas breksi vulkanik terendapkan batulempung hitam yang mana berdasarkan
kandungan fosilnya dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
Bagian bawah hasil pengendapan air laut dan air payau yang terdiri dari perselingan
antara lempung abu-abu kebiruan dengan sisipan tanah diatome dan lapisan yang
mengandung fosil moluska secara melimpah, ostracoda, dan foraminifera yang
menunjukkan kondisi transisi.
Bagian atas yang mana dijumpai lapisan tanah yang menunjukkan struktur laminasi
dan mengandung fosil spesies yang hidup di laut, seperti Chyclothella, Actinocyclus,
Diploneis.
Pergantian asosiasi fauna laut dan air tawar, menunjukkan pengendapan terjadi di
dekat laut, dimana selama pengendapan, terjadi beberapa kali invasi laut, akibat
tektonik atau perubahan muka laut.
Dari urutan litologi yang menyusun formasi pucangan dapat ditafsirkan bahwa
pengendapanya semula merupakan aliran lahar ke cekungan yang berair payau, yang
terbentuk sejak akhir pengendapan formasi kalibeng, dengan ciri utama berupa fosil
Corbicula. Endapan lahar tersebu mempersempit cekungan air payau tersebut, yang
kemudian akibat sedimentasi yang terus menerus berubah mnejadi cekungan air
tawar, berupa danau atau rawa yang sudah tidak lagi berhubungan dengan laut.
Semua proses ini terjadi pada kala pliosen awal.
C. Formasi Kabuh
Formasi ini terendapkan di atas formasi pucangan. Bagian terbawah dari formasi ini
tersusun oleh perlapisan tipis batugamping konglomeratan yang tidak menerus
21
dengan ketebalan bervariasi antara 0,5-3 meter. Tersusun oleh fragmen membulat
yang terdiri dari kalsedon dan beberapa batuan lain yang telah mengalami alterasi
hidrothermal, bercampur dengan pelecypoda yang cangkangnya menebal dan
membulat karena kalsifikasi dan tersemen dengan kuat. Lapisan ini terendapkan oleh
energi yang tinggi sehingga menghasilkan onggokan yang berbutir kasar
Pada lapisan batas (grenzbank) ditemukan fosil mamalia, termasuk juga fragmen fosil
hominid, sedangkan diatasnya terdapat perulangan endpan batupasir konglomeratan
di bagian bawah dan berubah ke arah atas menjadi lapisan batupasir. Batupasir
konglomeratannya menunukkan struktur silang siur paralel dengan skala sedang
ketebalan antara 0,3-1,5 meter. Sedangkan batupasir yang ada di sebelah atas
menunjukkan silang siur tipe palung dengan tebal antara 0,3-0,8 meter. Kelompok
batu pasir ini diperkirakan terendapkan pada lingkungan sungai teranyam (Rahardjo,
1981) dalam situasi lingkungan vegetasi terbuka(semah, 1984). Pada bagian bawah
batupasir dijumpai fosil yang merupakan anggota dari fauna trinil, seperti Binos
palaeosundaecus, Bubalus palaeokerabau, Duboisia santeng. Ke arah atas dijumpai
perwakilan dari fauna kedungbrubus. Kumpulan ini menunjukkan umur sekitar 0,8
juta tahun.
Beberapa tuff dijumpai pada batupasir menunjukkan pada saat pengendapan terjadi
beberapa kali letusan gunung api, yang mana pada batupasir ini sebagian besar fosil
hominid ditemukan. Di bagian tengah dari formsi ini dijumpai tektit yang berukuran
kerikil hingga kerakal (13-40 mm).
22
Salah satu temuan yang paling penting adalah penemuan fosil manusia purba yang
disebut Pithecantropus erectus ( Homo erectus). Tetapt lokasi asal fosil ini belum
sepenuhnya diketahui karena penemuan fosil ini dalam bentuk material yang lepas-
lepas.
D. Formasi Notopuro
Terendapkan di atas formasi kabuh yang tersusun oleh material vulkanik brupa
batupasir vulkanik, konglomerat, dan breksi yang mengandung fragmen batuan beku
yang berukuran berangkal hingga bongkah, ini menunjukkan bahwa batuan tesebut
terbentuk sebagai hasil pengendapan lahar. Pada dasar dari formasi ini dijumpai
lapisan yang mengandung fragmen kalsedon dan kuarsa susu.
Pada formasi ini sangat jarang dijumpai fosil, formasi notopuro ditafsirkan sebagai
hasil akibat aktivitas vulkanik yang kuat dan terjadi di lingkungan darat.
23
BAB III
DATA DESKRIPSI LAPANGAN
III. 1 Lokasi Pengamatan 1
1. Lokasi : Menara Pandang
2. Cuaca : Berawan
3. Waktu : 10.00 WIB
Sangiran dikenal dengan kubah sangiran (sangiran dome), namun struktur
tersebut sudah tidak terlihat dengan jelas akibat adanya erosi dari sungai di bagian
utara dan bagian selatan, yakni sungai Brangkal dan sungai cemoro yang
keduanya memotong kubah secara anteseden dengan arah aliran dari barat ke
timur.
Di sini kami di putarkan film tentang evolusi manusia dan beberapa temuan fosil
di daerah Sangiran.
Gambar 3. Sangiran
24
III. 2 Lokasi Pengamatan 2
1. Lokasi : Formasi Pucangan
2. Cuaca : Berawan
3. Waktu : 12.30 WIB
4. Morfologi : Lereng perbukitan
5. Litologi : Batupasir dan batupasir (2 mm-64 mm)
6. Vegetasi : Jarang (Pohon jati)
7. Slope : ± 60°
Pada formasi ini terdapat tanah diatom pada bagian atas dan breksi pada bagian
bawah.
Terdapat batulempung berwarna hitam dengan sifat lunak, mudah hancur, berlapis
buruk, sortasi buruk-sedang, mengandung mineral gamping dan fosil brachiopada,
mollusca.
Terdapat pula batupasir tuff berwarna putih kekuningan, butir halus, dengan fragmen
andesit, kemas terbuka, menyudut tanggung dan tidak mengandung fosil. Dengan
sifat lunak, ringan, tebal ± (4-5) m berstruktur laminasi.
Dan terdapat batuan dengan warna berkarat. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari
udara dan air. Sedangkan pelapukan yang tidak kontak dengan udara akan
menghasilkan warna abu-abu.
Dengan mendeskripsi fosil, kita dapat mengetahui lingkungan pengendapan. Apabila
daerah tersebut di dominasi oleh fosil berukuran besar maka dapat di simpulkan
25
daerah tersebut merupakan laut dangkal. Dan apabila daerah terebut di dominasi oleh
fosil berukuran kecil, maka daerah tersebut merupakan laut dalam.
Gambar 4. Formasi Pucangan
III. 3 Lokasi Pengamatan 3
1. Lokasi :
2. Cuaca : Berawan
3. Waktu : 13.19 WIB
4. Morfologi : Persawahan
5. Litologi : Batulempung
6. Vegetasi : Jarang (Pohon jati)
Pada lokasi ini terdapat batu breksi, tuffan, batulempung dan tanah diantom. Terdapat
pula mataair yang mengandung garam. Daerah ini melewati retakan batuan yang
diakibatkan oleh tektonik.
26
Gambar 5. Sumber mataair
III. 4 Lokasi Pengamatan 4
1. Lokasi : Museum Sangiran
2. Cuaca : Berawan
3. Waktu : 13.53 WIB
Dalam museum ini terdapat berbagai jenis fosil. Museum ini jukup luas. Terdapat
pula pemutaran film. Namun, kami tidak menonton film di sini. Dalam musem
tedapat patung yang yang menggambarkan evolusi manusia, kehidupan masa lampau
dan berbagai temuan fosil.
27
28
29
30
Gambar 6. Beberapa Fosil dalam Museum
III. 5 Lokasi Pengamatan 5
1. Lokasi :
2. Cuaca : Berawan
3. Waktu : 15.00 WIB
4. Morfologi : Perbukitan
5. Litologi :
6. Vegetasi : Jarang (pohon jati)
Pada daerah ini banayk di temukan fosil mollusca. Terdapat batuan berukuran pasir
halus sapai kerakal. Terdapat pada lokasi persawahan.
31
Gamabr 7. Lokasi Pengamatan 5
32
BAB IV
DESKRIPSI FOSIL
33
BAB V
PENUTUP
V. 1 Kesimpulan
Mikropaleontologi merupakan cabang paleontologi yang mempelajari mikrofosil,
ilmu ini mempelajari masalah organisme yang hidup pada masa yang lampau yang
berukuran sangat renik (mikroskopis),yang dalam pengamatannya harus
menggunakan Mikroskop atau biasa disebut micro fossils (fosil mikro).
Secara fisiografi, jawa tengah dibagi menjadi 4 bagian:
1. Dataran pantai selatan
2. Pegunungan serayu selatan
3. Pegunungan serayu utara, dan
4. Dataran pantai utara
Pada saat ini sangiran dikenal dengan kubah sangiran (sangiran dome), namun
struktur tersebut sudah tidak terlihat akibat adanya erosi dari sungai di bagian utara
dan bagian selatan, yakni sungai Brangkal dan sungai cemoro yang keduanya
memotong kubah secara anteseden dengan arah aliran dari barat ke timur.
Secara struktural, kawasan sangiran merupakan suatu kubah yang mana perlapisan
batuan di bagian tengah berada di atas sebagai puncak , sedangkan sisi-sisi lainnya
memiliki kemiringan ke arah luar.
34
Stratigrafi daerah sangiran disusun oleh batuan sedimen yang terendapkan oleh bahan
rombakan yang terjadi pada dan setelah terangkatnya perbukitan kendeng, sebelah
utara daerah sangiran.
Urutan stratigrafinya yakni formasi kalibeng, pucangan, kabuh, dan notopuro.
V.2 Saran
Pelaksanaan field trip ke Sangiran ini sudah bagus. Namun, sebaiknya di bacakan
susunan acaranya terlebih dahulu sebelum berangkat.