1 LAPORAN HASIL PENELITIAN Tim Studi Perkumpulan Link-AR Borneo, Pontianak Studi Pengakuan Hak Atas Tanah dan Kekayaan Alam di Kalangan Suku Bangsa Minoritas Dayak Desa, Toba, Mali dan Gorai di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat Disusun oleh Erpan Faryadi Ahmad Asmungin Zulfie Rahardi Desember 2012
Ini merupakan riset yang dilakukan link-AR Borneo, dan saat ini riset dilakukan di Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Tim Studi Perkumpulan Link-AR Borneo, Pontianak
Studi Pengakuan Hak Atas Tanah dan Kekayaan Alam di Kalangan Suku Bangsa Minoritas
Dayak Desa, Toba, Mali dan Gorai di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sanggau
Provinsi Kalimantan Barat
Disusun oleh
Erpan Faryadi
Ahmad Asmungin
Zulfie Rahardi
Desember 2012
2
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Tim Studi Perkumpulan Link-AR Borneo, Pontianak
Studi Pengakuan Hak Atas Tanah dan Kekayaan Alam di Kalangan Suku Bangsa Minoritas
Dayak Desa, Toba, Mali dan Gorai di Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua,
Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat
8 November – 17 November 2012
Pengantar
Laporan studi ini disusun berdasarkan sejumlah wawancara dengan responden terpilih dan
observasi lapangan yang dilakukan oleh Tim Studi Link-AR Borneo di dalam rangka “Studi Pengakuan
Hak Atas Tanah dan Kekayaan Alam di Kalangan Suku Bangsa di Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten
Ketapang di Provinsi Kalimantan Barat”. Studi lapangan ini diadakan selama 10 hari efektif dari
tanggal 8 November sampai dengan 17 November 2012 di lapangan.
Lokasi studi lapangan mengambil tempat di Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang
Provinsi Kalimantan Barat. Di dalam prakteknya, riset lapangan ini juga menjangkau daerah-daerah
yang berdekatan dengan Kecamatan Simpang Hulu, yakni Kecamatan Simpang Dua Kabupaten
Ketapang dan Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Hal tersebut dilakukan guna mengejar
substansi dan tujuan riset, yakni mengenal dan memahami tentang asal-usul suku bangsa yang
diteliti, sistem penguasaan tanah serta tata guna tanah dan kawasan, dan mekanisme dan
kelembagaan adat di dalam mengatur dan menyelesaikan sengketa-sengketa tanah yang terjadi baik
di antara suku-suku bangsa maupun dengan pihak luar terutama dengan perusahaan-perusahaan
yang mengantongi izin dan konsesi dari pemerintah untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi
tanah dan kekayaan alam.
Laporan studi lapangan berhasil memotret pandangan dari para responden terpilih di dalam
menanggapi pertanyaan-pertanyaan studi yang diajukan ditambah dengan sejumlah observasi
lapangan. Analisis terhadap data primer yang berhasil dikumpulkan tersebut disertai dengan
observasi lapangan kemudian diolah menjadi laporan hasil studi seutuhnya.
Tim Studi Perkumpulan Link-AR Borneo
Erpan Faryadi
Ahmad Asmungin
Zulfie Rahardi
3
DAFTAR ISI
HAL PENGANTAR 2 PENDAHULUAN 3
1. Latar Belakang 3 2. Tujuan Studi 6 3. Metodologi 6
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 9 1. Lokasi Penelitian 9 2. Temuan-temuan Lapangan Mengenai Suku Bangsa, Sistem Tenurial,
Sistem Produksi, dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Tenurial 10
ANALISIS TERHADAP TEMUAN-TEMUAN LAPANGAN 34 1. Sistem Produksi Suku Bangsa Minoritas 34 2. Sistem Tenurial Suku-suku Bangsa Minoritas 36 3. Mekanisme Penyelesaian Konflik Tenurial 40
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 42 1. Kesimpulan 42 2. Rekomendasi 43
4
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Setelah berakhirnya masa jaya industri kayu yang berlangsung di Indonesia selama
kurang lebih 30 tahun—hampir sama umurnya dengan rezim Orde Baru—banyak orang
sekarang mempertanyakan kenapa industri kayu yang dipromosikan sebagai penyumbang
devisa negara terbesar setelah migas tidak menghasilkan perubahan apa pun bagi ekonomi
nasional Indonesia dan apalagi bagi masyarakat lokal. Malah menimbulkan dampak
sebaliknya yaitu semakin merosotnya kehidupan masyarakat lokal dan semakin merosotnya
daya dukung lingkungan karena hancurnya hutan alam akibat ekspansi HPH (Hak
Pengusahaan Hutan). Pertanyaan tersebut semakin terkuak, karena dewasa ini berbagai
masalah lingkungan dan masalah tenurial di kawasan hutan telah menjadi pusat perhatian
dan perlu segera mendapatkan penyelesaian yang memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat yang hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam telah dilanggar selama ini.
Sistem tenurial yakni sistem yang mengatur mengenai pemilikan dan penguasaan
tanah dan sumber daya alam sering merupakan fondasi dari identitas sosial, keamanan
individual maupun keberlangsungan kebudayaan dari suku-suku bangsa dan minoritas etnis.
Karena adanya ketegangan-ketegangan khusus antara sistem tenurial yang dianut
masyarakat (customary tenure systems) dengan sistem tenurial yang dianut negara
(statutory tenure systems), maka masalah-masalah tenurial akan selalu melekat di dalam
perkembangan masyarakat, terutama di dalam masyarakat yang masih didominasi oleh
pengolahan tanah dan sumber daya alam (masyarakat agraris), seperti Indonesia.
Ketegangan ini terutama dipicu oleh tiadanya pengakuan negara terhadap sistem tenurial
yang dianut oleh masyarakat pada tingkat lokal dan biasanya berdasarkan kesepakatan-
kesepakatan yang tidak tertulis. Demikian pula masalah tenurial semakin rumit bila dimasuki
oleh sistem penjajahan yang juga mempunyai sejarah tenurial dan membawa sistem
tenurialnya sendiri ketika memasuki daerah jajahan. Akibatnya, negeri yang pernah dijajah
seperti Indonesia banyak mengalami masalah tenurial yang bahkan banyak yang belum
terpecahkan hingga sekarang, walaupun sudah ada aturan-aturan konversi dari hukum
nasionalnya mengenai sistem pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber
daya alam.
Dewasa ini, meskipun banyak negeri telah mengalami kemerdekaan secara formal,
masalah-masalah tenurial semakin kompleks apabila sistem ekonomi yang berlaku dan
mendominasi di negeri-negeri tersebut adalah sistem ekonomi yang memberikan peluang
besar kepada pihak swasta didalam mengolah dan memanfaatkan tanah dan sumber daya
alam, dengan menggunakan konsesi dan hak pemanfaatan yang diberikan oleh negara
kepada badan-badan usaha, baik nasional maupun asing.
5
Itulah sejumlah kondisi yang dihadapi oleh suku-suku bangsa minoritas (national
minority)1 sebagai golongan khusus dalam masyarakat Indonesia dewasa ini yang pada
umumnya masih mengandalkan kehidupannya pada pengolahan dan pemanfaatan tanah
dan sumber daya alam, terutama hutan, sungai dan rawa-rawa dengan menggunakan sistem
perladangan rotasi (gilir balik). Sistem perladangan ini merupakan bentuk khusus pertanian
ekstensif yang selama lebih dari ratusan tahun telah dipraktekkan oleh banyak suku-suku
bangsa di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Sistem perladangan rotasi (gilir balik)
ini sudah lama menghilang dari sistem pertanian di Pulau Jawa karena perkembangan
penduduk dan tenaga kerja serta perkembangan alat kerja dalam pertanian di kalangan suku
bangsa Jawa dan juga tingkat kesuburan tanah yang berbeda antara tanah-tanah pertanian
di Pulau Jawa dan tanah-tanah pertanian di luar Pulau Jawa. Sistem perladangan rotasi oleh
karenanya merupakan sistem pertanian ekstensif yang dominan pada ketiga pulau ini
menyusul makin mengecilnya kawasan berburu dan meramu pada masyarakat-masyarakat
ini. Pemilihan sistem perladangan rotasi (gilir balik) telah dikenal luas sebagai praktek
pertanian—sistem produksi untuk menghasilkan pangan—yang ramah lingkungan karena
penggunaan bahan kimia berupa herbisida dan pestisida yang sangat rendah, bahkan di
beberapa tempat tidak digunakan sama sekali.
Sistem perladangan rotasi (gilir balik) meskipun demikian membutuhkan luas tanah
yang cukup memadai guna mengistirahatkan (memberakan) tanah hutan primer yang telah
dibuka untuk dijadikan tanah ladang, dalam rangka menjaga kesuburan tanah dan
menumbuhkan hutan-hutan sekunder. Demikian pula halnya sistem perladangan rotasi (gilir
balik) dari segi tenaga produktif dipraktekkan untuk menyiasati kurangnya tenaga kerja
produktif untuk mengolah tanah. Sehingga pada umumnya di dalam sistem perladangan
rotasi, masih sangat dikenal adanya kerja bersama (saling bantu atau gotong royong yang
bersifat resiprokal) di antara para peladang di dalam beberapa tahapan pekerjaan
perladangan, terutama pada tahapan-tahapan kerja ladang yang membutuhkan curahan
tenaga kerja yang banyak seperti menebas, menanam, dan memanen.
Atas dasar inilah maka di dalam sistem perladangan rotasi, tradisi dan kebiasaan
(adat) masih melekat dan menjadi panutan dalam seluruh ataupun sebagian dari seluruh
sistem perladangan rotasi baik berupa ritual-ritual adat maupun pengambilan keputusan
bersama untuk menentukan kawasan atau lokasi perladangan sampai ritual-ritual untuk
menyambut kedatangan musim panen padi. Artinya di dalam sistem perladangan rotasi
1 Penggunaan frase suku bangsa minoritas ini dengan sengaja digunakan di dalam keseluruhan teks hasil studi
ini untuk memberikan gambaran bahwa di dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai suku bangsa yang membentuk apa yang kemudian disebut sebagai bangsa Indonesia. Berbagai suku bangsa ini mempunyai sistem produksi dan kebudayaannya masing-masing yang mencerminkan tingkat kedudukannya di dalam masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh suku bangsa Jawa adalah suku bangsa yang paling mendominasi di dalam masyarakat Indonesia karena kekuatan politik dan jumlahnya yang paling besar di dalam masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Karenanya suku bangsa Jawa dalam kategori ini dapat disebut sebagai suku bangsa mayoritas di dalam masyarakat Indonesia. Sebaliknya sebagai contoh suku bangsa Dayak yang menempati Pulau Kalimantan digolongkan sebagai suku bangsa minoritas di dalam keseluruhan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan kedudukan sosial ekonominya yang tidak begitu dominan di dalam masyarakat Indonesia. Perbedaan kedudukan sosial ekonomi berbagai suku bangsa ini sering digunakan dan dimanipulasi oleh berbagai kekuatan politik anti rakyat untuk menekan protes-protes rakyat Indonesia yang menuntut hak-hak dasarnya di dalam pembangunan.
6
sebagai salah satu penanda pokok dalam masyarakat peladang, penguasaan dan pemilikan
tanah dan sumber daya alam secara bersama-sama (komunal) masih dikenal karena kondisi
alam dan masyarakat mengharuskan demikian. Seperti terhadap hutan lindung yang
dicadangkan kampung sebagai milik bersama, rawa-rawa, sungai ataupun pohon madu.
Namun penguasaan dan pemilikan tanah dan sumber daya alam secara pribadi ataupun
keluarga juga telah mulai dikenal seperti penguasaan pribadi atau keluarga tertentu
terhadap kebun atau ladang.
Masuknya sistem tenurial negara baik berupa konsesi kehutanan (HPH dan HTI),
perkebunan besar (HGU) maupun kuasa dan izin pertambangan (KP) telah merubah dan
kemudian merusak sistem tenurial suku-suku bangsa minoritas ini. Bila diletakkan dalam
konteks yang lebih luas, bisa dikatakan bahwa cara berproduksi yang diperkenalkan melalui
sistem tenurial negara itu sama sekali tidak dikenal atau asing di dalam cara berproduksi
yang selama ini dianut oleh suku-suku bangsa minoritas.
Dominasi sistem tenurial negara terhadap sistem tenurial masyarakat ataupun
sistem tenurial suku-suku bangsa minoritas merupakan sebab-sebab pokok dari terjadinya
sengketa ataupun masalah-masalah tenurial di kawasan hutan Indonesia dewasa ini.
Meskipun masalah-masalah tenurial di antara masyarakat misalnya sengketa tapal batas
antar kampung ataupun sengketa di antara warga dan keluarga di dalam satu kampung
mengenai batas kebun ataupun ladang kerap pula terjadi, masalah-masalah tenurial
semacam ini dapatlah dikategorikan sebagai masalah-masalah tenurial yang sekunder
sifatnya. Yaitu merupakan dampak dari tiadanya penyelesaian atas masalah dominasi sistem
tenurial negara terhadap sistem tenurial masyarakat.
Telah dipahami bersama pula bahwa dominasi sistem tenurial negara terhadap
sistem tenurial masyarakat yang beragam bentuknya itu semula dimaksudkan oleh negara
untuk menyederhanakan sistem penguasaan dan pemilikan tanah dan sumber daya alam
(sistem tenurial) yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Demikian pula mengenai
sistem pembuktian atas hak penguasaan dan pemilikan atas tanah dan sumber daya alam
turut disederhanakan dan diseragamkan. Penetapan suatu kawasan atau bentang alam
tertentu sebagai kawasan hutan negara, merupakan salah satu contoh dari adanya dominasi
sistem tenurial negara terhadap sistem tenurial masyarakat. Izin konsesi pertambangan, izin
penebangan kayu, dan konsesi perkebunan besar yang diberikan negara kepada badan-
badan usaha merupakan contoh pembuktian legal atas pemberian suatu kawasan hutan
atau sebidang tanah guna dimanfaatkan oleh suatu badan usaha.
Penetapan suatu kawasan yang digolongkan sebagai kawasan hutan negara telah
lama menyebabkan masalah tenurial yang berat bagi suku-suku bangsa yang menetap di
sekitar maupun di dalam kawasan hutan itu. Suku bangsa Dayak dan berbagai sub suku
bangsa Dayak yang telah menetap di Pulau Kalimantan sejak beberapa abad yang lalu,
mengalami serangan yang sangat hebat atas sistem tenurial yang telah dianutnya selama ini,
ketika industri kayu mulai berkembang terutama sejak tahun 1970-an, yang kemudian
diperhebat lagi dengan ekspansi perkebunan besar (terutama sawit), dan pertambangan
(batu bara). Masalah serupa pernah dialami oleh suku bangsa Jawa dan suku bangsa Sunda
7
ketika pada masa kolonial Belanda hutan-hutan rimba di pulau Jawa dibuka untuk tanaman
monokultur, perkebunan tebu dan teh, serta pertambangan.
Akibat eksploitasi terhadap hutan-hutan tropis Kalimantan ini, maka konflik tenurial
merebak begitu dahsyat. Di masa Orde Baru, konflik tenurial ini diredam dengan kekerasan
bersenjata oleh aparat keamanan negara sehingga tidak mencuat luas ke permukaan.
Namun di masa sekarang, konflik tenurial yang sama telah mencuat dan meluas, dan sulit
untuk dipadamkan karena terkait dengan persoalan aspirasi mengenai keadilan dalam
pengolahan dan pemanfaatan tanah dan hutan. Di dalam wilayah-wilayah lain di luar
Kalimantan yang mempunyai kekayaan alam yang luar biasa, seperti Provinsi Irian Jaya
(Papua) dan Aceh, aspirasi mengenai keadilan agraria bahkan telah meletupkan gerakan
bersenjata untuk pemisahan diri dari negara Indonesia.
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa pengenalan dan pemahaman mengenai
sistem tenurial yang selama ini telah dipraktekkan oleh suku-suku bangsa, terutama suku
bangsa Dayak di Kalimantan, merupakan pekerjaan penting yang harus dilakukan di dalam
rangka memperjuangkan pengakuan sistem tenurial suku-suku bangsa di hadapan sistem
tenurial negara yang dominan dan ditetapkan di dalam hukum negara. Selain itu pengenalan
terhadap sistem tenurial dan tata guna tanah suku-suku bangsa yang selama ratusan tahun
telah menjaga kelestarian hutan tropis Kalimantan perlu diangkat ke permukaan sebagai
prinsip-prinsip konservasi dan pembangunan yang berkelanjutan bahkan sebelum tema-
tema besar ini diperkenalkan pada tingkat dunia dan menjadi perhatian dunia dewasa ini.
Di dalam latar belakang semacam itulah, asesmen atau studi pendahuluan mengenai
masalah-masalah tenurial di kalangan suku-suku bangsa minoritas di Kabupaten Ketapang
dan Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat ini diadakan.
2. Tujuan Studi
Studi ini secara umum bermaksud mengenali sistem dan masalah tenurial yang pada
saat ini berkembang di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat khususnya di
Kecamatan Simpang Hulu yang menjadi lokasi studi. Secara khusus, studi tenurial ini
mempunyai tujuan sebagai berikut:
Melakukan pemetaan terhadap sistem tenurial, tata guna tanah, dan masalah-masalah tenurial yang berkembang pada suku bangsa minoritas Dayak di lokasi studi.
Menganalisis pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan tanah dan sumber daya alam di Kecamatan Simpang Hulu.
Hasil asesmen atau studi pendahuluan ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai
bahan masukan bagi Perkumpulan Link-AR Borneo dalam implementasi program/proyek
pemberdayaan masyarakat lokal di Kabupaten Ketapang khususnya dan Provinsi Kalimantan
Barat pada umumnya. Hasil-hasil yang diperoleh juga dapat menjadi masukan bagi lembaga-
8
lembaga dan pihak berkepentingan yang lain di dalam pengelolaan tanah dan sumber daya
alam di Provinsi Kalimantan Barat.
3. Metodologi
3.1 Lokasi dan Waktu
Studi dilakukan di Kecamatan Simpang Hulu sebagai wilayah kerja Perkumpulan
Link-AR Borneo di Kabupaten Ketapang. Untuk pengambilan data lapangan tim studi
juga melakukan studi lapangan di Kecamatan Simpang Dua Kabupaten Ketapang dan
Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau, yang data primernya diolah menjadi bagian
keseluruhan dari hasil studi ini.
Lokasi studi untuk pengambilan data primer di lapangan di dalam studi ini secara
keseluruhan dilakukan pada tujuh desa/kampung di Provinsi Kalimantan Barat, yakni:
1. Desa Labai Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang
2. Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang
3. Desa Sekucing Labai, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang
4. Desa Sekucing Kualan, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang
5. Desa Balai Berkuak, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang
6. Desa Gerai, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang
7. Desa Baru Lombak, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau
Pemilihan lokasi studi pada empat desa di Kecamatan Simpang Hulu didasarkan
pada pertimbangan bahwa ekspansi badan usaha besar seperti perkebunan skala raksasa
dan pertambangan telah cukup masif. Sementara pemilihan tiga desa terakhir dilakukan oleh
tim studi di lapangan berdasarkan temuan-temuan lapangan pada empat desa sebelumnya,
yang membutuhkan konfimasi mengenai sejumlah substansi studi yaitu mengenai migrasi
penduduk dan kelembagaan sosial dari suku bangsa minoritas yang diteliti terutama
mengenai Dayak Desa, yang informannya cukup tersedia di Desa Balai Berkuak dan Desa
Baru Lombak (Kecamatan Meliau).
Waktu keseluruhan untuk pelaksanaan studi ini dari mulai persiapan, pengumpulan
data/informasi lapangan, dan pengolahannya hingga pelaporan adalah selama dua bulan,
antara bulan November sampai dengan Desember 2012. Pengumpulan data primer di
lapangan sendiri dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja efektif, yaitu dari mulai
tanggal 8 November sampai dengan 17 November 2012.
3.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup topik dalam studi ini adalah aspek-aspek penting yang terkait dengan
sistem tenurial yang dianut oleh suku bangsa minoritas Dayak di lokasi studi lapangan,
9
sistem produksi, tata guna tanah dan kawasan, masalah-masalah tenurial yang mereka
hadapi dan cara penyelesaiannya.
Yang dimaksud dengan sistem tenurial adalah sistem pemilikan dan penguasaan
tanah dan sumber daya alam yang dianut dan dijalankan, baik oleh masyarakat maupun oleh
negara. Dengan demikian, di dalam setiap negeri yang sebagian besar penduduknya masih
menggantungkan diri pada pengolahan tanah dan sumber daya alam, selalu dikenal adanya
dua sistem tenurial yang berbeda. Dominasi sistem tenurial negara terhadap sistem tenurial
masyarakat selalu menimbulkan masalah-masalah tenurial yang menuntut penyelesaian
yang adil, terutama bagi suku-suku bangsa minoritas Dayak.
3.3 Pengumpulan dan Analisis Data
Studi ini menggunakan sejumlah teknik pengumpulan data berupa pengumpulan data
primer (wawancara dengan responden dan narasumber, observasi lapangan, dan diskusi)
dan pengumpulan data sekunder (referensi, data statistik, peta, dan lain-lain).
Untuk pengumpulan data lapangan yang dibatasi oleh keterbatasan waktu, maka
pengumpulan data dilakukan melalui cara sebagai berikut:
Dilakukan secara cepat dan partisipatif dengan mewancara sejumlah responden dan tokoh kunci. Namun demikian, diskusi terfokus dalam rangka mengklarifikasi sejumlah temuan lapangan pada tingkat lapangan, tidak dilakukan dalam studi ini, karena keterbatasan waktu.
Wawancara dilakukan secara intensif dengan sejumlah tokoh kunci yang dianggap mengetahui masalah-masalah yang menjadi ruang lingkup studi. Sejumlah tokoh kunci yang diwawancarai di dalam studi ini adalah Petinggi (Kepala Kampung/Desa), Kepala Adat, Juru Tulis (Sekretaris Desa), LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), BPK (Badan Perwakilan Kampung), pihak kecamatan, saksi sejarah, serta tokoh masyarakat yang lain. Beberapa warga biasa juga diwawancarai dalam rangka mengklarifikasi sejumlah informasi dan temuan studi.
Observasi lapangan juga dilakukan dalam rangka melihat secara fisik keadaan bentang alam yang telah diubah oleh konsesi-konsesi pertambangan, konsesi kayu maupun konsesi perkebunan di sekitar kampung.
Berdasarkan urutan waktunya, proses pentahapan pelaksanaan studi ini dilakukan melalui tahapan
kerja berikut:
1. Melakukan pengumpulan data sekunder mengenai daerah Kabupaten Ketapang dan khususnya Kecamatan Simpang Hulu yang menjadi fokus lokasi studi beserta suku bangsa yang menetap di dalamnya (Suku bangsa minoritas Dayak Desa, Dayak Toba atau Dayak Tebang Benuak, dan Dayak Gorai). Data dan informasi tersebut umumnya didapat dari sejumlah dokumen, referensi, statistik resmi yang terkait dengan tujuan studi ini.
2. Menentukan dan menetapkan kampung-kampung yang menjadi lokasi studi di Kecamatan Simpang Hulu, beserta karakteristik suku-suku bangsa yang hidup di dalamnya, serta investasi yang masuk di dalamnya, sesuai dengan hasil observasi, rekomendasi dan kepentingan studi.
10
3. Membuat jadwal sementara kunjungan lapangan dalam rangka pengambilan data primer di kampung-kampung dan observasi lapangan berdasarkan rekomendasi yang diberikan.
4. Melakukan pengambilan data primer melalui wawancara dengan informan dan institusi terkait serta menjalankan observasi lapangan sesuai dengan metodologi dan tujuan studi.
5. Kompilasi dan komparasi data untuk tabulasi, validasi, dan analisis data lapangan serta tinjauan terhadap temuan-temuan sementara lapangan.
6. Penulisan dan pelaporan hasil studi tenurial. Setelah melalui tahap-tahap di atas, hasil dan temuan studi dituangkan dalam sebuah laporan penelitian, yang kurang lebih mencakup mengenai latar belakang diadakannya studi, tujuan dan metode yang digunakan, hasil yang didapat serta analisisnya dan diakhiri dengan kesimpulan dan rekomendasi-rekomendasi.
11
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian
Lokasi studi tenurial ini mengambil fokus di kampung-kampung yang terletak di Kecamatan
Simpang Hulu dan Kecamatan Simpang Dua di Kabupaten Ketapang serta di Kecamatan
Meliau di Kabupaten Sanggau. Lokasi studi dapat ditempuh dengan memakai sarana
transportasi darat melalui jalan trans Kalimantan dan transportasi sungai Kapuas dan anak-
anak sungai Kapuas yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat.
Tidak ada sarana angkutan umum antar kecamatan di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten
Sanggau, sehingga seluruh keperluan transportasi penduduk pada tujuh desa yang menjadi
lokasi studi mengandalkan transportasi pribadi seperti sepeda motor dan mobil pribadi atau
mobil sewaan. Sehingga apa yang disebut ibukota kecamatan seperti ibukota Kecamatan
Simpang Hulu yaitu Balai Berkuak tampak seperti desa-desa agraris pada umumnya di Pulau
Jawa, di mana mereka yang tidak mempunyai alat transportasi harus berjalan kaki di
sepanjang kota ini.
Kantor Camat Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang di Balai Berkuak, 12 November 2012.
12
Desa yang menjadi tempat tujuan pertama tim studi adalah Desa Labai Hilir, yang ditempuh
dari kota Pontianak melalui transportasi sungai dengan memakai long boat atau perahu
motor cepat, sekitar 6 jam. Long boat berkekuatan 200 PK ini hanya berangkat satu kali
setiap hari dari Pontianak sekitar jam 10:30 pagi menuju arah hulu Sungai Kapuas. Kapasitas
penumpang adalah 30 orang. Ongkos long boat Rp 170.000 per orang.
Transportasi sungai yang lain adalah perahu klotok yang berangkat sore hari dari Pontianak
dan tiba di Desa Labai Hilir sekitar jam 3 dinihari. Lokasi studi di Desa Labai Hilir dapat pula
dijangkau melalui transportasi darat dari Pontianak selama 5 jam, dengan biaya Rp 150.000
per orang.
2. Temuan-temuan Lapangan Mengenai Suku Bangsa, Sistem Tenurial, Sistem
Produksi, dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Tenurial
DESA LABAI HILIR, KECAMATAN SIMPANG HULU
Keadaan Desa Labai Hilir
Desa Labai Hilir merupakan desa yang terletak di pinggir Sungai Labai, dengan ciri khas permukiman
penduduk yang memadati pinggiran sungai. Sarana mandi, cuci dan kakus penduduk Desa Labai Hilir
sepenuhnya mengandalkan diri pada Sungai Labai yang pada saat musim hujan sering digelontori
limbah pembuangan pestisida dari perkebunan sawit dan limbah pembuangan tambang bauksit.
Kondisi Sungai Labai dapat dikatakan tidak layak untuk digunakan, karena selain memperoleh
gelontoran limbah pestisida sawit dan limbah tambang bauksit, sungai ini juga dipenuhi dengan
jajaran jamban/kakus dan kandang ternak babi penduduk.
Akses jalan darat untuk masuk ke Desa Labai Hilir harus melewati jalan kebun sawit dan jalan
tambang.
Sumber mata air di desa ini ada di Bukit Trap, berjarak sekitar 16 kilometer dari pusat desa. Sumber
mata air ini hanya bisa diakses oleh PT KUTJ2 dan terbatas untuk keperluan air minum PT KUTJ.
Penduduk terkadang dapat mengambil air bersih dari perusahaan.
Penduduk
Penduduk Desa Labai Hilir sudah dihuni oleh berbagai suku bangsa. Selain suku Dayak, desa ini juga
dihuni oleh suku Jawa, Bugis, Flores, dan lain-lain. Mayoritas penduduk Desa Labai Hilir adalah suku
Dayak Toba. Sementara suku-suku Dayak yang lain adalah: Dayak Mali, Manyuke, dan Ribun.
2 PT Karya Utama Tambangjaya (KUTJ) merupakan anak perusahaan langsung dari PT Cita Mineral Investindo
Tbk (CMI). Mulai beroperasi secara komersial di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang sejak bulan September 2008. Sementara PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM) yang juga merupakan anak perusahaan langsung dari PT CMI Tbk mulai beroperasi secara komersial di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang sejak Agustus 2005. Keduanya bergerak dalam pertambangan bauksit dan telah mempunyai Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi dari Bupati Ketapang. Kedua perusahaan ini berkantor pusat di Jakarta. Lihat dokumen “PT Cita Mineral Investindo Tbk dan Anak Perusahaan, Catatan Atas Laporan Keuangan Konsolidasian, Untuk Periode Enam Bulan Terakhir, Jakarta, tanggal 30 Juni 2011.”
13
Pendatang yang bekerja di perusahaan bauksit selain dari penduduk lokal, juga berasal dari
beberapa suku dari luar Kalimantan.
Monografi desa belum dibuat dan belum tersedia. Karena Desa Desa Labai merupakan desa yang
baru ditetapkan sebagai desa definitif pada tahun 2010. Sebelumnya desa ini merupakan salah satu
dusun dari Desa Sekucing Labai, yang merupakan desa induk dan desa tertua di wilayah ini.
Penduduk Desa Labai Hilir, 377 KK. Foto diambil pada tanggal 10 November 2012 di Kantor Desa.
Pada saat ini, Desa Labai Hilir terdiri dari dua dusun, yakni: Dusun Labai Hilir dan Dusun Kucai. Lebih
dari 80% penduduk Desa Labai Hilir tinggal di Dusun Labai Hilir, yang umumnya dihuni oleh berbagai
suku bangsa.
Sementara untuk Dusun Kucai penduduknya 100% pendatang luar yang berasal dari Kabupaten
Sanggau. Dusun ini berjarak sekitar 1 jam dari pusat desa yang berada di Dusun Labai Hilir dengan
menggunakan transportasi sungai (motor tempel). Penduduk dari Kabupaten Sanggau banyak tinggal
di dusun ini karena letaknya dekat, tinggal menyeberangi Sungai Labai.
Tata Guna Tanah dan Kawasan Hutan
Masih ada hutan rimba dan hutan lindung di desa ini. Hutan rimba dialokasikan untuk pembukaan
ladang-ladang baru. Sementara hutan lindung difungsikan sebagai wilayah konservasi. Namun
keberadaan hutan rimba dan lindung di desa ini semakin terancam oleh kehadiran sejumlah
perusahaan baik tambang maupun HTI yang beroperasi di Desa Labai Hilir.
Ada dua jenis hutan di Desa Labai Hilir yang mulai dicuri-curi oleh perusahaan, yaitu:
14
1. Hutan rimba (Bukit Tunggal)
2. Hutan cadangan/lindung (Bukit Trap)
Lokasi hutan rimba atau Bukit Tunggal berjarak sekitar lebih dari 10 kilometer dari pusat desa.
Sementara hutan cadangan/lindung atau Bukit Trap terletak sekitar 16 kilometer dari pusat desa.
Pada tahun 2010 ada perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang bernama PT DTK (Duta Tani
Kalbar) yang masuk Desa Labai Hilir berdasarkan penetapan kawasan hutan negara. Dan masyarakat
sedikit pun tidak tahu mengenai hal ini. Inilah yang dimaksudkan dengan pencurian hutan rimba dan
hutan lindung milik bersama desa oleh perusahaan.
Hutan adat atau hutan rimba harus tetap ada sebagai sarana mata pencaharian masyarakat untuk
mengambil hasil hutan non-kayu seperti rotan dan kayu madu, yang sekarang ini sudah dibabat
habis oleh perusahaan. Hutan rimba dan hutan rawa tetap harus dilestarikan agar sumber makanan
orang desa tetap terjaga.
Masuknya perusahaan PT DTK dan PT ATP ke Desa Labai Hilir
Pada saat ini, selain kehadiran perusahaan tambang seperti PT Harita dan PT KUTJ, Desa Labai Hilir
juga dimasuki oleh perusahaan konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) seperti PT DTK (Duta Tani
Kalbar) dan PT ATP (Asia Tani Persada).
AMDAL PT ATP untuk Desa Labai Hilir terbit pada tahun 2011. Sementara AMDAL PT ATP untuk Desa
Sekucing Kualan akan terbit pada tahun 2013. Pada saat studi ini berlangsung, keadaan di Desa
Sekucing Kualan sedang panas karena masalah pemberian sanksi adat kepada PT ATP yang tidak
disepakati oleh perusahaan. Sehingga menyebabkan masyarakat Desa Sekucing Kualan memblokade
jalan tambang yang biasa dilalui oleh masyarakat umum. Blokade ini juga ikut menyebabkan akses
jalan menuju Desa Kualan Hilir (Maraban) yang termasuk desa lokasi studi terhambat, sehingga
pengumpulan data primer untuk Desa Kualan Hilir ikut terhambat karena panasnya situasi konflik
agraria tersebut.
Luas konsesi PT DTK dan PT ATP digabungkan adalah sekitar 23.000 hektar. Sedangkan wilayah
konsesi PT DTK yang bersengketa di Desa Labai Hilir adalah seluas 15.100 hektar.
Penyelesaian Sengketa Tanah dengan Perusahaan
Penyelesaian sengketa tanah di kalangan suku Dayak Toba di Desa Labai Hilir dengan perusahaan
diselesaikan secara adat. Misalnya dengan memberikan denda adat kepada perusahaan yang
melakukan pelanggaran adat.
Pelanggaran adat yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya terkait dengan:
1. Ingkar janji untuk memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat sekitar seperti
penyediaan akses air bersih, kesehatan, pendidikan, listrik, dan sarana jalan.
2. Nilai ganti rugi tanah yang rendah.
3. Ingkar janji dalam hal pelibatan masyarakat sebagai tenaga kerja di perusahaan.
Walaupun dilibatkan, biasanya hanya bekerja sebagai tenaga kerja rendahan di dalam
perusahaan.
15
Dibandingkan dengan PT KUTJ (tambang bauksit), masuknya PT ATP dan PT DTK pada tahun 2010
tanpa memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Mereka langsung membabat hutan rawa milik
desa dengan berbekal konsesi dari pemerintah semata.
Kelembagaan Sosial dan Penyelesaian Sengketa Tanah
Setiap suku Dayak mempunyai Temenggungnya (Kepala Adat) masing-masing. Termasuk Dayak Toba
dan Mali juga mempunyai kepala adatnya masing-masing.
Sengketa tanah antar penduduk diselesaikan oleh Temenggung. Sementara sengketa tapal batas
desa diselesaikan oleh Tim 8 yang dibentuk oleh Kabupaten.
Sengketa tapal batas desa pada awalnya disebabkan oleh adanya pemekaran desa. Karena desa
dimekarkan terlebih dahulu, baru batasnya ditetapkan kemudian.
Sistem Produksi dan Keadaan Sosial Ekonomi
Sebagian anak muda yang berusia produktif di desa bekerja menjadi karyawan perusahaan bauksit
PT KUTJ. Selain penduduk lokal, karyawan perusahaan tambang mengambil tenaga kerja dari pulau
Jawa. Kebanyakan ditempatkan di mess perusahaan.
Sementara para orang tua tetap menekuni ladang sebagai sumber pangan masyarakat. Untuk yang
masih berladang, mengandalkan padi gunung yang diproduksi sendiri untuk memenuhi kebutuhan
pangan beras.
Meskipun demikian, secara umum sayur mayur dan beras yang dikonsumsi oleh penduduk Desa
Labai Hilir didatangkan dari kota Pontianak. Harga beras pada saat studi ini dilakukan adalah Rp
11.000 per kilogram.
Bekas ladang yang ditanami karet dan kebun buah di Desa Labai Hilir sudah banyak dibeli oleh
perusahaan tambang bauksit. Sehingga hutan rimba yang ada menjadi target pembukaan ladang-
ladang penduduk untuk ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di desa ini.
Pada umumnya lokasi perladangan sebelum perusahaan tambang masuk berada dekat dengan
pemukiman penduduk. Di lokasi perladangan ini penduduk membuat pondok-pondok berladang di
tanah perladangan untuk menjaga ladangnya dari hama dan penyakit padi terutama menjelang masa
panen.
Biasanya mereka turun ke desa setelah berada di pondok-pondok ladang sekitar 2-3 bulan. Setelah
itu balik lagi ke pondok berladang.
Sungai Labai sebagai Pembatas Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sanggau
Sungai Labai – anak Sungai Kapuas—merupakan pembatas alam antara Kabupaten Ketapang dan
Kabupaten Sanggau. Jika diambil dari arah hilir, maka letak Kabupaten Sanggau terletak di sebelah
kiri Sungai Labai dan letak Kabupaten Ketapang berada di sebelah kanan Sungai Labai.
16
Sistem Perladangan Setelah Perusahaan Beroperasi
Perladangan penduduk pada saat ini setelah masuknya perusahaan tambang bauksit dan HTI sering
menumpang berladang di Kabupaten Sanggau. Karena ladangnya semula yang terletak di Kabupaten
Ketapang yakni di Desa Labai Hilir sudah banyak yang dijual kepada perusahaan bauksit dan HTI.
Perladangan menumpang di kawasan orang lain (Kabupaten Sanggau) ini terutama mulai muncul
sejak tahun 2006, saat perusahaan tambang bauksit mulai beroperasi di Desa Labai Hilir. Umumnya
dilakukan penduduk desa yang bertempat tinggal di Dusun Labai Hilir dengan menyeberangi Sungai
Labai.
Bekas ladang-ladang warga banyak yang dibeli oleh perusahaan. Nilai ganti rugi tanah ladang rata-
rata mencapai Rp 300.000 per hektar. Ada juga yang nilai ganti ruginya di bawah itu.
Karenanya pada saat ini perladangan penduduk desa terutama yang tinggal di Dusun Labai Hilir yang
masih ada terletak di kanan-kiri Sungai Labai. Lokasi ini sering mereka sebut sebagai pantai yang
ditanami padi gunung tahan banjir dan jagung.
Tanah ladang Dayak Mali dan Toba di pinggiran Sungai Labai (pantai), 8 November 2012.
Dari segi perladangan, penduduk yang betul-betul masih berladang di Desa Labai Hilir yang tinggal di
Dusun Labai Hilir ada kurang lebih 20 KK dari sekitar 304 KK penduduk Dusun Labai Hilir. Tanah
ladang penduduk yang belum kena tambang umumnya tanah ladang penduduk RT 05 di lokasi
Pabonto. Sementara di Dusun Kucai situasinya cukup berbeda. Penduduk yang berladang masih
mayoritas, sekitar 100%.
Pada awalnya perusahaan hendak membuka tambang di Kecamatan Simpang Dua yang juga terletak
di Kabupaten Ketapang. Namun ditolak oleh penduduk, karena penduduk di kecamatan itu sudah
merasa cukup makmur dari hasil tanaman karet.
17
Masalah Kesehatan dan Air Bersih
Air bersih untuk penduduk pernah dijanjikan oleh perusahaan tambang bauksit PT KUTJ. Namun
sampai sekarang belum pernah direalisasikan oleh perusahaan. Dan sebaliknya juga, pihak desa
(maksudnya Kepala Desa) belum pernah membicarakan hal ini untuk dipecahkan secara bersama-
sama.
Air bersih untuk keperluan desa sebetulnya dapat diambil dari sumber mata air di hutan lindung
adat (Bukit Trap). Tapi air bersih ini dimonopoli oleh PT KUTJ yang menggunakannya hanya untuk
keperluan karyawannya semata yang berada di perkantoran dan mess.
Tempat bongkar muat (pelabuhan) tambang bauksit perusahaan terletak di Kuala Labai. Sementara
jarak dari pelabuhan ke kantor perusahaan PT KUTJ adalah 1 kilometer.
Sungai Labai, andalan penduduk Desa Labai Hilir untuk transportasi sungai, ke ladang, mandi, cuci dan kakus (MCK) sehari-hari, 9 November 2012.
Pandangan Masyarakat terhadap Perusahaan Tambang Bauksit
Secara umum adanya perusahaan tambang bauksit PT KUTJ tidak menguntungkan masyarakat Desa
Labai Hilir, karena: (1) Hutan dan perladangan penduduk habis oleh pembukaan tambang bauksit. (2)
Sungai Labai tercemar oleh limbah buangan perusahaan sehingga menyebabkan banyak ikan yang
mati. Pada tahun 2011, ikan yang mati antara lain adalah ikan belidak dan kelabau (bersisik). (3)
18
Lapangan kerja yang dijanjikan akan meningkatkan kesejahteraan penduduk ternyata tidak
terwujud. Karena hanya pekerjaan rendahan yang dapat diakses penduduk lokal.
Pada saat ini, ada program reklamasi konsesi tambang dari Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang
untuk menanam pohon sawit. Dinas Kehutanan menyarankan masyarakat bermitra dengan PT
Aditya Agroindo (perusahaan sawit yang beroperasi di Desa Sekucing Labai). Namun hal ini tidak
diterima oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Ketapang.
Mulai banyak penduduk yang menanam kelapa sawit dalam rangka paska tambang. Ada sekitar 30%
penduduk yang sudah mulai menanam sawit di lokasi eks tambang. Rata-rata mereka mulai
menanam tahun 2012. Bibit sawit umumnya dibeli di Tayan. Yang menanam sawit sejak lebih dari 4
tahun, sudah mulai panen sawit (buah pasir).
Di lokasi eks tambang, penduduk sudah pernah mencoba untuk menanam karet. Namun tidak
pernah berhasil. Karena sebagai tanah eks tambang, kesuburan tanahnya sudah habis. Bagian tanah
yang subur (top soil) atau OB sudah digunakan oleh perusahaan untuk membangun jalan tambang.
Masa Depan Operasi Tambang Bauksit
Dulu operasinya non-stop (24 jam). Sekarang sudah mulai sepi. Banyak warung penduduk yang
dulunya buka, sekarang banyak yang tutup.
Diperkirakan 5 tahun lagi operasi tambang bauksit akan berhenti beroperasi, seiring dengan semakin
habisnya kandungan tambang bauksit di daerah Desa Labai Hilir.
Sistem Kerja Kontrak dan Hak-hak Buruh Perusahaan Tambang di Desa Labai Hilir
Perusahaan kontraktor tambang PT LTM (Labai Teknik Metal) menerapkan sistem kerja kontrak dan
alih daya sehingga banyak merugikan hak-hak pekerja, terutama menyangkut hak-hak atas
tunjangan kesehatan keluarga dan pendidikan. Umumnya kontrak kerja yang ditandatangani dengan
pekerjanya adalah untuk masa kerja 3 bulan. Setelah itu bila pekerja yang bersangkutan tetap
bekerja di perusahaan itu, diberikan kontrak kerja baru lagi untuk masa 3 bulan.
Beberapa waktu yang lalu, perusahaan PT LTM pernah memecat 100% buruhnya dan dua hari
kemudian membuka kembali lowongan kerja. Ini merupakan taktik perusahaan untuk mengetatkan
penerapan sistem kerja kontrak dan alih daya.
Sementara itu, perusahaan tambang yang lain yang beroperasi di desa yang sama, yakni PT KUTJ
beberapa waktu juga melakukan pemecatan terhadap tenaga kerjanya. Total tenaga kerja PT KUTJ
semula berkisar sekitar 500 orang. Tenaga kerja lokalnya ada sekitar 50%. Setelah diadakan
pemecatan tenaga kerjanya tinggal 400 orang.
Banyak yang sebenarnya dipecat oleh perusahaan, terpaksa mengundurkan diri dari perusahaan,
sehingga perusahaan tidak perlu mengeluarkan uang pesangon. Pada saat ini, ada kurang lebih 200
orang tenaga kerja lokal dari Desa Labai Hilir yang bekerja di PT KUTJ.
Dari penuturan yang disampaikan responden, jam kerja di PT KUTJ adalah dari jam 7 pagi sampai
dengan jam 6 sore, dengan istirahat satu jam dari jam 12 sampai dengan jam 13. Artinya jam kerja di
PT KUTJ adalah rata-rata 10 jam per hari.
19
Belum ada serikat buruh independen di dalam dua perusahaan ini. Oleh karenanya diperlukan
penyadaran mengenai hak-hak buruh, apalagi mengingat keterbelakangan lokasi yang jauh dari
akses bantuan hukum dan akses transportasi bila terjadi sengketa antara buruh dan perusahaan
tambang.
DESA SEKUCING LABAI, KECAMATAN SIMPANG HULU
Keadaan Desa Sekucing Labai
Perjalanan menuju Desa Sekucing Labai ditempuh dalam waktu lebih kurang dua jam perjalanan
darat atau berjarak sekitar lebih dari 70 kilometer dari Desa Labai Hilir, melalui jalan tambang
perusahaan bauksit PT KUTJ dan jalan perkebunan PT Aditya Agroindo. Ujung dari jalan ini adalah
jalan trans Kalimantan, di sekitar Jembatan Labai yang menghubungkan kota Pontianak dan kota
Balai Berkuak, ibukota Kecamatan Simpang Hulu.
Biaya perjalanan memakai mobil sewa dari Desa Labai Hilir menuju Desa Sekucing Labai (daerah
dekat Jembatan Labai) adalah Rp 60.000 per orang. Sementara untuk biaya perjalanan dari Desa
Labai Hilir menuju Pontianak adalah Rp 150.000 per orang dengan memakai mobil sewa (taksi).
Jalan tambang dan jalan perkebunan ini dulunya pada tahun 1996 dirintis pertama kalinya oleh
perusahaan kayu PT Kayu Mukti. Proyek rintisan jalan oleh perusahaan kayu ini sejauh 27 kilometer
tembus ke Dusun Bagan Kapas.
Keseluruhan jalan pada saat ini didominasi oleh jalan tambang dan kemudian diikuti oleh jalan
perkebunan dan diakhiri dengan ruas jalan arteri trans Kalimantan. Jalan tambang dan perkebunan
ini membelah hutan-hutan rimba dan hutan sekunder yang semula dikuasai oleh warga yang berada
di sekitar lokasi ini.
Di sepanjang kanan kiri jalan, terutama pada ruas jalan tambang, bekas-bekas pohon kayu yang
mengering akibat pengaruh obat pengeras jalan untuk jalan tambang tampak mendominasi
beberapa ruas jalan. Sementara pada ruas jalan kebun, sisa-sisa pohon kayu yang ditebang dari
hutan masih ditumpuk-tumpuk.
20
Jalan tambang dari Desa Labai Hilir menuju Desa Sekucing Labai, 10 November 2012.
Kebun sawit PT Aditya Agroindo di jalan kebun menuju Desa Sekucing Labai, 10 November 2012.
21
Penduduk
Desa Sekucing Labai dikenal di wilayah ini sebagai desa induk dan tua, sebelumnya terdiri dari 3
dusun, yaitu:
1. Dusun Labai Hilir.
2. Dusun Labai Tengah.
3. Dusun Labai Hulu.
Pada tahun 2010, Dusun Labai Hilir menjadi desa tersendiri menjadi Desa Labai Hilir. Jadi, pada saat
ini Desa Sekucing Labai hanya terdiri dari dua dusun, yaitu; Dusun Labai Tengah dan Dusun Labai
Hulu.
Penduduk Desa Sekucing Labai pada saat ini terutama didominasi oleh suku Dayak Desa. Selain itu,
suku-suku yang menetap di desa ini adalah Dayak Toba, dan rumpun suku Dayak yang lain.
Konsesi Sawit PT Aditya Agroindo di Desa Sekucing Labai
Desa Sekucing Labai dimasukioleh konsesi sawit PT Aditya Agroindo, yang mempunyai konsesi seluas
10.000 hektar. Dari konsesi seluas ini, ada sekitar 7.000 hektar hutan yang sudah dibuka oleh
perusahaan sawit ini, dan yang sudah ditanam mencapai seluas 5.000 hektar. Diperkirakan ada
sekitar 1.000 hektar yang sudah panen sawit untuk pertama kalinya yakni panen pasir.
Konsesi sawit PT Aditya Agroindo terletak di dalam hutan rimba dan hutan sekunder yang dulunya
milik Desa Sekucing Labai hingga kanan kiri jalan trans Kalimantan menuju arah Desa Baru Lombak
yang terletak di Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau.
Upah buruh yang berlaku di kebun kelapa sawit yaitu Rp 38.000 per hari. Upah buruh kebun kelapa
sawit ini lebih rendah dibandingkan dengan upah bekerja di kebun atau ladang milik pribadi
penduduk sebesar Rp 50.000 per hari.
22
Konsesi sawit PT Aditya Agroindo di pinggir jalan trans Kalimantan di Desa Sekucing Labai, 10 November 2012.
Penyelesaian Sengketa Tanah
Di dalam sengketa tanah yang terjadi antar keluarga misalnya, umumnya diselesaikan dengan
musyawarah desa.
Sementara nilai denda adat biasanya dihitung dalam bentuk real. Ada denda adat yang disebut
“setengah hati” misalnya bila kita mengaku salah karena pohon yang sedang kita tebang merusak
kebun milik orang lain.
Sistem Sosial
Di desa ini masih berlaku nilai sosial yang memberikan perhatian terhadap orang yang
membutuhkan sesuatu. Misalnya orang yang kehausan atau kelaparan di tengah kebun atau ladang
dapat mengambil durian atau singkong yang ada, dengan memberikan semacam tanda kepada
pemilik kebun atau ladang. Seperti patahan ranting yang ditaruh di pondok ladang atau ditempat
yang mudah dilihat. Meskipun demikian, durian yang boleh dimakan di kebun durian orang lain,
tidak boleh dibawa pulang.
Hutan Lindung dan Hasil Hutan Non-Kayu
Di Desa Sekucing Labai, terdapat dua hutan lindung, yaitu:
1. Bukit Plaik, hutan lindung, yang merupakan milik persekutuan kecamatan termasuk Desa
Sekucing Labai.
2. Bukit Genilau, hutan lindung, yang airnya masih mengalir ke Desa Sekucing Labai.
23
Sumber air bersih berada di dekat sungai, selain air hujan, sumur galian dan hutan lindung yang ada
dan air sungai.
Hasil hutan non-kayu terutama rotan sudah mulai habis. Seiring dengan menipisnya hutan setelah
beroperasinya perusahaan kayu dan kehadiran perkebunan kelapa sawit. Sementara sisa-sisa kayu
madu (lalau) yang dimiliki secara komunal masih bisa dimanfaatkan sebagai kayu penghasil madu
hutan.
Kayu madu (lalau) umumnya adalah:
Kayu Bengkiray
Kayu Plaik
Kayu Tapang, dapat mencapai 30 sarang per pohon
Berburu, sudah mulai berkurang. Sedangkan menangkap ikan di sungai masih dilakukan untuk
konsumsi keluarga sendiri melalui cara pasang pukat, pancing ataupun tajur yaitu pancing yang
ditinggal. Umumnya hasil tangkapan ikan dari sungai yang dikonsumsi sendiri adalah ikan parau.
Kebutuhan Hidup Orang Dayak Desa
Di Desa Sekucing Labai, orang sudah mulai membeli beras, dengan harga rata-rata Rp 9.000 per
kilogram. Biaya keperluan sehari-hari yang cukup berat adalah biaya solar untuk listrik. Rata-rata
solar yang digunakan dalam semalam dari jam 6 – 9 malam adalah sebanyak 3 liter. Dengan harga
solar per liter Rp 8.000 maka biaya solar untuk listrik adalah Rp 24.000 per malam.
Selain itu adalah biaya pendidikan atau sekolah untuk anak-anak yang semakin hari semakin besar
serta biaya kesehatan.
DESA BARU LOMBAK, KECAMATAN MELIAU, KABUPATEN SANGGAU
Migrasi Suku Dayak Desa
Suku Dayak Desa dari hasil observasi lapangan dan keterangan sejumlah responden, memang
banyak yang menyeberang ke Kabupaten Sanggau. Sebaliknya, suku Dayak Toba dan Mali
menyeberang ke Kabupaten Ketapang.
Desa Baru Lombak yang terletak di Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau dari keterangan
responden ternyata banyak ditempati oleh Suku Dayak Desa. Oleh karenanya kemudian Tim Studi
juga melakukan observasi lapangan dan wawancara di Desa Baru Lombak yang letaknya dipisahkan
oleh Sungai Labai.
Keadaan Desa Baru Lombak
Desa Baru Lombak terdiri dari beberapa dusun, salah satu di antaranya adalah Dusun Pelanjau.
Dusun Pelanjau terdiri dari 4 RT, di mana RT 03 yang ditempati oleh responden dihuni oleh sekitar
24
30 pintu (KK = kepala keluarga). Mayoritas penduduk adalah Suku Dayak Desa. Sementara letak
Kantor Desa Baru Lombak sendiri berjarak sekitar 20 kilometer dari Dusun Pelanjau.
Secara umum Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau dapat disebut sebagai Raja Sawit, karena
hampir sekitar 80% daerah ini dikuasai oleh konsesi kebun sawit. Perusahaan-perusahaan sawit yang
beroperasi di kecamatan ini antara lain adalah: PT SJAL, BHD, AC, SDK, SBI, PTP, NSP.
Konsesi Sawit PT Sumatera Jaya Agro Lestari (SJAL) di Desa Baru Lombak
Secara keseluruhan, Desa Baru Lombak dan Dusun Pelanjau terkepung oleh konsesi kebun sawit
besar milik PT Sumatera Jaya Agro Lestari (SJAL). Pada tahun 2005 para petani yang sebelumnya
menanam karet menyerahkan tanah kepada PT SJAL. Hampir semua (90%) penduduk Dusun
Pelanjau yang berjumlah sekitar 100 KK telah menyerahkan kebun karet produktif kepada
perusahaan sawit PT SJAL.
Dalam Berita Acara Kesepakatan antara PT Sumatera Jaya Agro Lestari dan Masyarakat Pemilik
Lahan di Kecamatan Toba dan Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau pada tanggal 22 September
2005 disebutkan bahwa total tanah yang diserahkan oleh masyarakat pemilik tanah kepada
perusahaan akan dialokasikan sebagai berikut melalui pola kemitraan:
80% dijadikan kebun inti, jalan, perkantoran, pabrik dan kepentingan perusahaan lainnya
akan diberi ganti ganti rugi
20% dijadikan kebun plasma dan tidak diberi ganti rugi
Berita acara kesepakatan ini diketahui dan disahkan oleh Bupati Sanggau, dengan disaksikan oleh
antara lain para Camat Meliau dan Toba, Kapolsek Toba dan Danramil Meliau, Kadis Hutbun dan
Kepala Bappeda Kabupaten Sanggau.
Kebun karet yang diserahkan kepada perusahaan kemudian digolongkan oleh perusahaan dalam tiga
golongan yakni:
Tanah yang tidak ada pohon karet (tanah kosong)
Karet produktif
Karet non-produktif
Nilai ganti rugi tanah yang ditawarkan perusahaan adalah sebesar Rp 400.000 per hektar untuk
tanah kategori satu, yakni tanah kosong. Untuk tanah kategori dua, yakni tanah kebun non-produktif
atau baru ditanam satu tahun diberi ganti rugi sebesar Rp 600.000 per hektar. Dan untuk nilai ganti
rugi untuk tanah kategori tiga, yaitu kebun produktif diberi ganti rugi sebesar Rp 1.100.000 per
hektar.
Selain kebun karet milik perorangan, perusahaan juga mengambil tanah adat yang berada di dalam
kawasan hutan adat milik desa, yang transaksinya dilakukan oleh kepala adat dan tokoh masyarakat.
Ada sekitar 30 hektar hutan adat milik bersama yang diserahkan kepada perusahaan untuk dijadikan
kebun plasma perusahaan.
Setelah perusahaan beroperasi selama 6 tahun, kebun plasma yang dijanjikan oleh perusahaan akan
dibagikan kepada masyarakat belum terwujud. Oleh karenanya pada tahun 2011, masyarakat Desa
Baru Lombak melakukan demonstrasi di lokasi perkebunan PT SJAL dengan memblokade kebun
25
sawit. Dalam menghadapi demonstrasi ini, perusahaan mendatangkan Brimob. Hasil dari
demonstrasi ini adalah pada tanggal 21 Juni 2011 perusahaan mengeluarkan surat untuk melakukan
konversi kebun plasma tahap 1 yang akan dilakukan pada bulan Februari 2012.
Pada saat ini masalah ganti rugi tanah sudah tidak lagi menjadi isu yang hangat di desa. Masalah
yang sedang menjadi masalah besar adalah masalah bagi hasil produksi. Menurut masyarakat, bagi
hasil produksi yang ada tidak mencukupi. Pada awalnya, perusahaan menjanjikan bagi hasil produksi
sebesar 20% kepada masyarakat. Namun ternyata dalam realisasinya perusahaan hanya
memberikan bagi hasil produksi sebesar Rp 100.000 per hektar kepada masyarakat pada tahun 2010.
Konsesi sawit PT Sumatera Jaya Agro Lestari (SJAL) pada awalnya meliputi 12.000 hektar yang
mencakup Desa Baru Lombak dan Desa Bagan Asam. Kemudian ada tambahan konsesi seluas 11.400
hektar yang mencakup Desa Baru Lombak dan Desa Kunyil. Sehingga total konsesi sawit PT SJAL
adalah seluas 23.400 hektar di Kecamatan Meliau.
Upah Kerja di Perusahaan Sawit PT Sumatera Jaya Agro Lestari (SJAL)
Responden untuk masalah upah kerja ini bekerja sebagai Pembantu Humas di perusahaan sawit
sejak tahun 2005. Sebagai Pembantu Humas dia bertugas untuk menyelesaikan persoalan yang
terjadi di antara perusahaan dan masyarakat.
Dari catatan pembayaran upah bulanan yang disampaikannya kepada Tim Studi, untuk periode 16
s/d 30 September 2011, sebagai pembantu humas PT SJAL dia mendapatkan pembayaran bulanan
sebagai berikut:
Setiap hari kerja mendapatkan upah kerja hari biasa sebesar Rp 35.868. Sehingga untuk kerja selama
25 hari mendapatkan upah sebesar Rp 992.250. Ditambah dengan insentif kerajinan sebesar Rp
10.000 per hari. Sehingga jumlah insentif yang diperolehnya dalam 25 hari kerja adalah Rp 250.000.
Dengan demikian, total upah kerja yang diterimanya sebelum dipotong astek dan tunjangan bensin
adalah Rp 1.242.250. Potongan Astek (Asuransi Tenaga Kerja) adalah Rp 19.845 ditambah dengan
potongan uang bensin sebesar Rp 148.750. Total potongan upahnya adalah Rp 168.595. Sehingga
secara keseluruhan, upah kerja yang diterimanya pada bulan September 2011 setelah dikurangi
potongan Astek dan bensin adalah Rp 1.073.655.
Sistem Perladangan Suku Dayak Desa
Suku Dayak Desa masih mengandalkan diri pada sistem perladangan berputar. Rata-rata pemilikan
dan penguasaan tanah ladang suku Dayak Desa untuk satu ladang berputar adalah seluas 1 hektar.
Selain berladang, suku Dayak Desa juga mengandalkan diri pada komoditas tanaman karet, yang
rata-rata ditanam sejak tahun 1960-an. Rata-rata orang Dayak Desa di Desa Baru Lombak sudah
menyerahkan satu ladang berputar (satu ladang rotasi) kepada perusahaan sawit PT SJAL. Sedangkan
ladang berputarnya yang masih tersisa tetap digunakan untuk berladang.
Umumnya ladang yang terletak di hamparan tanah yang datar dikerjakan oleh perempuan (ibu-ibu).
Untuk ladang yang terletak diperbukitan dikerjakan oleh laki-laki.
Beras diproduksi sendiri di ladang. Tapi hanya cukup untuk akhir tahun. Sisanya dibeli, dengan harga
beras saat studi ini dilakukan sekitar Rp 10.000 per kilogram.
26
Ladang tipe gilir balik orang Dayak Desa, 11 November 2012.
Populasi
Di Desa Baru Lombak, jumlah populasi yang tercatat pada tahun 2012 kurang lebih 2.000 jiwa.
Sementara jumlah pemilih ada sekitar 1.444 jiwa.
Asal-usul Suku Dayak Desa
Asal usul suku Dayak Desa menurut penuturan yang disampaikan responden berasal dari Jawa
Melaka. Kemudian menyebar ke Batu Ampar (Kubu Raya). Setelah itu berpindah lagi ke Bunbun dan
Durian Sebatang. Kemudian berpindah lagi ke Laway Labai dan Bukit Trap. Di daerah Bukit Trap
disebutkan ada sejumlah peninggalan orang Jawa. Lalu pada perpindahan terakhir, suku Dayak Desa
berpindah ke Gadai (kampung tua), sebelum berpindah-pindah lagi dalam kelompok yang kecil-kecil
ke kampung-kampung dan dusun-dusun yang ada sekarang.
Dari Gadai ada yang berpindah-pindah ke kampung Nek Bindang, Nek Raong dan Nek Lembu. Desa
Anggadai yang terletak di Kecamatan Meliau ditempati oleh asli suku Dayak Desa.
Di Kampung Nek Bindang Blungai yang masih ada rumah adat dan berjarak sekitar 40 kilometer dari
Dusun Pelanjau juga dihuni oleh suku Dayak Desa.
27
Suasana diskusi antara Tim Studi Link-AR Borneo dengan Suku Dayak Desa di Dusun Pelanjau, Desa Baru Lombak, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, 11 November 2012.
Suku Dayak Desa Melawan Penjajahan Jepang
Salah satu pahlawan Kalimantan Barat di masa penjajahan Jepang yakni Pang Suma berasal dari suku
Dayak Desa. Kampung Nek Bindang adalah kampung kelahiran Pang Suma, yang bernama asli
Mendera. Nek Bindang merupakan pemukiman lama dari suku Desa, sebelum berpindah ke daerah
yang dikenal sekarang sebagai Desa Baru Lombak Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Anak cucu
Pang Suma sampai sekarang masih bertempat tinggal di kampung Nek Bindang yang terletak dekat
Tayan.
Dari Kampung Nek Bindang, suku Desa berpindah ke Dusun Pelanjau dan kemudian Kampung
Pemasak pada tahun 1991. Orang Kampung Pemasak kebanyakan keturunan Pang Suma (Dayak
Desa).
Letak kampung Nek Bindang kurang lebih sekitar 7 kilometer dari Dusun Pelanjau, di balik Gunung
Engkalat dan Gunung Bawang. Kampung Nek Bindang berada di Desa Baru Lombak. Pemukiman di
Baru Lombak mulai banyak sekitar tahun 1993.
Adiknya Pang Suma yaitu Nek Mandak, Nek Betup dan Nek Sayang tinggal di Jembatan Labai, Dusun
Labai Hulu, Desa Sekucing Labai, Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang. Sementara
keturunan Pang Linggan dan Pang Rangon (keduanya suku Dayak Desa) tinggal di Dusun Pelanjau
dan kampung Nek Bindang, Desa Barulombak, Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Pang Linggan
28
yang nama aslinya Ajun merupakan abang dari Pang Suma. Pang Linggan juga merupakan pahlawan
Kalbar dari suku Dayak Desa yang bersama-sama Pang Suma dan Pang Rangon melawan Jepang pada
tahun 1945.
Secara keseluruhan, ada 6 pahlawan lokal dari Suku Dayak Desa yang melawan Nipon dengan
memenggal 5 kepala orang perwira Nipon pada tahun 1945, sewaktu Nipon memasuki daerah
Sekucing Labai yakni:
1. Pang Suma
2. Pang Yo
3. Pang Dosi
4. Pang Linggan
5. Pang Rangon
6. Pang Rati
Oleh anak cucu keturunannya, keenam pahlawan Suku Dayak Desa ini sedang diperjuangkan agar
peran mereka dalam melawan penjajahan Jepang lebih dihargai oleh Pemerintah Indonesia. Rujukan
mengenai sejarah suku Dayak Desa dan pahlawan lokal ini dapat ditelusuri dari buku “Sejarah Pang
Suma tentang Penyerahan 5 Tengkorak Jepang”. Saksi sejarah yang menyerahkan tengkorak ini
adalah Pak Katta (74 tahun) orang Dayak Desa yang bertempat tinggal di Balai Berkuak, ibukota
Kecamatan Simpang Hulu.
Tata Guna Tanah dan Kawasan Suku Dayak Desa
1. Perladangan.
2. Kebun Karet.
3. Pemukiman.
4. Hutan adat desa, sudah tidak ada lagi di Desa Baru Lombak, sudah habis oleh sawit.
5. Hutan lindung, di Desa Baru Lombak sudah tidak ada lagi, karena sudah habis oleh sawit.
6. Kebun buah milik bersama dan campuran dengan pemilikan perorangan, yakni Gunung
Engkalat dan Gunung Bawang. Merupakan pusat produksi buah di Desa Barulombak. Di balik
kedua gunung ini terletak kampung Nek Bindang yang merupakan desa pedalaman Suku
Dayak Desa. Di kedua gunung masih terdapat para penyembah (pedagi) yang melakukan
ritual adat pada saat buah berbunga dan buah masak.
Kelembagaan sosial dan mekanisme adat
Yang melanggar aturan, akan diberikan hukuman adat. Denda adat umumnya diberikan dalam
bentul real. Nilai 1 real adalah sebesar Rp 100.000. Untuk orang biasa, denda adat adalah 1 real.
Sedangkan untuk ketua adat dan temenggung diberikan denda sebesar dua kali lipat, yaitu dua real.
Masalah-masalah yang tidak mampu diselesaikan oleh kepala adat, biasanya diselesaikan di tingkat
dusun. Jika belum berhasil, maka diselesaikan di tingkat Temenggung. Bila temenggung tidak mampu
menyelesaikan, maka diserahkan kepada tingkat desa. Pada tingkat terakhir sebelum dilimpahkan ke
sistem peradilan, masalah yang belum berhasil diselesaikan pada tingkat desa, diserahkan kepada
Dewan Adat Dayak (DAD).
29
Masalah yang ditangani di tingkat kepala adat termasuk juga masalah tanah antar keluarga dan
pencurian.
DESA GERAI, KECAMATAN SIMPANG DUA, KABUPATEN KETAPANG
Penduduk
Suku bangsa minoritas yang menetap di Desa Gerai atau Gema (Gerai Mantuk) kebanyakan adalah
suku Dayak Gorai. Dengan jumlah penduduk desa Gema adalah sekitar 500 KK.
Sistem Produksi
Sistem produksi di kalangan suku Dayak Gorai pada umumnya mengandalkan diri pada tiga jenis
sistem produksi yaitu perladangan gilir balik, kebun karet, dan kebun sawit rakyat. Perladangan gilir
balik (berputar) umumnya untuk ditanami tanaman pangan seperti padi gunung, jagung, dan
singkong. Sistem produksi ini telah lama menjadi kebiasaan pertanian di kalangan Dayak Gorai,
semenjak sistem produksi berburu dan meramu hasil hutan merosot.
Sementara itu, pada bekas-bekas ladang warga biasanya menanam karet yang telah ditanam sejak
tahun 1960-an di daerah Gerai Mantuk. Hasil karet digunakan untuk memenuhi kebutuhan uang
tunai sehari-hari.
Penduduk juga sudah mulai menanam kelapa sawit di bekas-bekas ladangnya sejak beberapa tahun
terkakhir. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh maraknya perkebunan kelapa sawit yang mulai
mendekati lokasi Desa Gema.
Tata Guna Tanah dan Kawasan Suku Dayak Gorai
Tata guna tanah dan kawasan di Desa Gema terdiri dari:
1. Hutan lindung adat/air terjun tujuh lapis. Hutan lindung adat yang di dalamnya terdapat
air terjun tujuh lapis menjadi sumber mata air penduduk Desa Gema yang disalurkan
melalui pipa-pipa paralon ke rumah-rumah penduduk.
2. Perladangan. Untuk ditanami tanaman pangan seperti padi dan palawija serta singkong.
Dikuasai secara perorangan atau keluarga.
3. Bekas ladang. Umumnya digunakan untuk menanam pohon karet dan sawit rakyat.
4. Kebun durian nenek moyang orang Gorai (orang luar bisa nyandau, mengambil durian
yang jatuh dari pohonnya pada saat musim durian). Letak kebun durian nenek moyang
ada sekitar 6 kilometer dari pemukiman penduduk. Ada sekitar 5.000 pohon durian di
dalam kebun durian nenek moyang ini.
5. Hutan sekunder. Bekas HPH PT Hutan Raya tahun 1980-an, yang pada saat ini dijadikan
ladang-ladang baru.
6. Perkebunan karet rakyat. Tanaman karet digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-
hari di luar keperluan pangan. Penduduk sudah mulai menanam pohon karet sejak tahun
1960-an.
7. Perkebunan sawit rakyat. Kecenderungan penduduk menanam sawit merupakan
perkembangan baru, yaitu sejak mulai masuknya perkebunan besar kelapa sawit yang
30
sudah mulai masuk di kawasan sekitar desa Gema. Desa ini sendiri belum dimasuki oleh
konsesi perkebunan besar kelapa sawit.
8. Pemukiman, terdiri dari pemukiman baru dan pemukiman lama (bekas-bekas rumah
adat/betang/laman).
9. Sungai yang masih jernih airnya dan dipakai untuk keperluan air bersih, mandi dan cuci.
Kerja Perladangan dan Sistem Sosial
Kerja wajib bersama berupa regu kerja bersama di ladang masih merupakan tradisi yang tetap
dipelihara di suku Dayak Gorai. Ini yang disebut sebagai gotong royong wajib atau pengari atau
arisan kerja. Bentuknya saling tukar tenaga kerja untuk mengerjakan ladang seseorang. Kemudian
sebaliknya, orang yang dibantu tadi wajib memberikan tenaga kerjanya kepada tetangganya yang
sedang bekerja di ladang. Biasanya yang dibantu hanya memberikan makan dan minuman saja
kepada orang-orang yang membantunya mengerjakan ladang, tanpa memberikan upah.
Sistem sosial lain yang masih berlaku di suku Dayak Gorai adalah nyandau, yang artinya orang luar
suku dapat menikmati hasil kebun durian nenek moyang orang Gorai. Namun hasil kebun durian
milik bersama ini hanya boleh digunakan untuk konsumsi sendiri. Sayangnya saat ini, tradisi nyandau
ini mulai digerogoti oleh kedatangan orang dari luar suku Dayak Gorai yang memanfaatkan kebaikan
sistem sosial ini dengan memperdagangkan hasil kebun durian untuk kepentingan keuntungan
mereka sendiri.
Masalah-masalah yang terjadi di kalangan suku Gorai masih mengandalkan mekanisme adat dalam
penyelesaiannya. Termasuk masalah-masalah tanah dan keluarga. Pada saat ini konsesi sawit dan
tambang belum memasuki wilayah Desa Gema. Walaupun di era tahun 1980-an perusahaan kayu PT
Hutan Raya pernah membabat hutan rimba di desa ini.
31
Ladang Suku Dayak Gorai ditanami padi gunung dan jagung, di Desa Gema, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, 12 November 2012.
DESA BALAI BERKUAK, KECAMATAN SIMPANG HULU, KABUPATEN KETAPANG
Asal Usul Suku Dayak Desa
Menurut responden, yang merupakan keturunan ke-13 dari suku Dayak Desa (orang Dayak Desa)
yang masuk Ketapang dan menetap di Balai Berkuak Kecamatan Simpang Hulu sejak tahun 1965,
populasi suku Dayak Desa lebih banyak berada di Kecamatan Sandai Kabupaten Ketapang daripada
di Kecamatan Simpang Hulu.
Pusat populasi suku Dayak Desa adalah Desa Randau Jekak, Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang.
Dengan jumlah populasi sekitar 6.000 jiwa. Sementara di kecamatan yang lain di Kabupaten
Ketapang jumlahnya lebih sedikit, yakni rata-rata 2.000 jiwa per satu desa. Waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai Kecamatan Sandai dari Balai Berkuak adalah 2 jam.
Sebaran suku Dayak Desa di Kabupaten Ketapang adalah:
1. Kecamatan Sandai (6.000 jiwa)
2. Kecamatan Sukadana
3. Kandang Kerbau
4. Tanah Rentap
5. Tanjung Tuba
6. Muara Jekak
7. Hulu Keriau
32
Menurut penuturannya, asal pertama kali suku Dayak Desa adalah kepindahan dari Jawa (Pulau
Jawa), yang kemudian mendarat di Bunbun di Mayak (Pulau Mayak Karimata-pesisir). Dari Bunbun
Mayak (Ketapang) kemudian berpindah lagi ke daerah-daerah berikut ini di Kabupaten Ketapang:
1. Tambak Rawang, Kecamatan Sukadana
2. Sukadana, Kecamatan Sukadana
3. Batu Bekajang, Kecamatan Sukadana
Dari Tambak Rawang dan Batu Bekajang, kemudian berpecah lagi menuju:
1. Labai Laway (Kualan)
2. Kandang Kerbau (Ketapang Kota-Desa Sukabangun), yang kemudian menyebar lagi ke
Sandai, Melamu dan Labai.
Anggota Tim Studi Link-AR Borneo sedang melakukan wawancara dengan Pak Lorentius Katta di Desa Balai Berkuak mengenai suku bangsa Dayak Desa dan sistem penguasaan tanahnya, 14 November 2012.
Sistem Perladangan, Kawasan Hutan dan Tata Guna Tanah Suku Dayak Desa
Tanah ladang yang dibuka dari hutan rimba merupakan pemilikan keluarga atau perorangan.
Sementara hutan yang merupakan milik adat atau hutan adat terbagi dalam dua kategori:
1. Hutan bungas atau hutan adat berupa hutan rimba, yang masih banyak terdapat kayu
bengkiray, dan lain-lain.
33
2. Hutan bawas atau hutan muda menjadi ladang perorangan atau keluarga setelah dibuka.
Pada saat ini banyak orang-orang yang mengaku mempunyai hutan bungas untuk diperjualbelikan
kepada perusahaan. Padahal sudah disepakati di kalangan suku Dayak Desa bahwa hutan bungas
(hutan rimba adat) merupakan milik bersama bukan milik perseorangan atau keluarga.
Tanah ladang umumnya pertama kali dibuka dari hutan bungas (hutan rimba). Dalam membuka
hutan bungas untuk dijadikan tanah ladang seluas 4 hektar misalnya saat ini dibutuhkan biaya
sekitar Rp 3 juta, terutama untuk biaya menebang dan menebas hutan bungas.
Kawasan hutan bungas yang dibuka untuk tanah perladangan ini memang dalam kenyataannya tidak
mempunyai surat-menyurat tanah atau kelengkapan administrasi pertanahan. Karena bukti
penguasaan atas tanah ladang biasanya berupa bukti sosial yakni saksi-saksi yang melihat pada saat
saat hutan itu dibuka untuk menjadi ladang dan batas-batas alam yang menandai batas penguasaan
dari pemilik tanah ladang yang bersangkutan.
Tanah ladang umumnya ditanami padi gunung, singkong dan tebu. Sementara bekas ladang ditanami
karet. Pada umumnya karet ditanam sejak tahun 1960-an.
Penyelesaian Sengketa Tanah dan Mekanisme Adat
Bila terjadi masalah tanah di antara warga pada umumnya diselesaikan menurut adat. Namun
terdapat dua jenis adat, yakni lemah dan keras. Maksudnya adat lemah adalah meskipun benar,
seringkali yang lemah dikalahkan. Sebaliknya, meskipun salah, jika kuat sering dimenangkan perkara
adatnya.
Sengketa tanah antara warga terjadi karena: patok atau batas alam ditandai oleh orang lain.
Sengketa tanah semacam ini biasanya diselesaikan secara berjenjang atau bertingkat, yaitu:
1. Di tingkat RT (Rukun Tetangga) diselesaikan oleh Singa atau kepala adat tingkat RT.
2. Di tingkat dusun diselesaikan oleh Ria atau kepala adat tingkat dusun.
3. Di tingkat desa diselesaikan oleh Temenggung atau kepala adat tingkat desa.
Sengketa tanah antara masyarakat dengan perusahaan biasanya terjadinya karena penggusuran
hutan bawas (tanah ladang atau kebun) ataupun hutan bungas (rimba) oleh perusahaan.
Biasanya dalam kasus semacam ini, perusahaan yang bersangkutan dikenakan hukuman adat
berupa sanksi yang dihitung dalam bentuk uang. Istilah adat dalam hal ini dikenal sebagai “Babi
hutan mengalahkan babi rumah”. Di mana perusahaan diibaratkan sebagai “babi hutan” dan
penduduk diibaratkan sebagai “babi rumah”. Kalau perusahaan tidak setuju untuk membayar denda
adat yang telah ditetapkan penduduk, biasanya perusahaan yang bersangkutan didemo oleh
penduduk. PT Aditya Agroindo (perusahaan kebun kelapa sawit) yang beroperasi di Kecamatan
Simpang Hulu sudah pernah dihukum adat di Desa Sekucing Labai sebesar Rp 150 juta.
Rata-rata denda hukum adat yang ditetapkan penduduk kepada perusahaan adalah sebesar Rp 50 –
150 juta per orang. Untuk hukum adat yang senilai Rp150 juta biasanya berupa tanah yang isinya
komplit seperti mempunyai:
Kebun buah
34
Tembawang (kuburan)
Kayu madu
Karet
Ladang
Penetapan dan Pemberian Hukum Adat untuk Perusahaan
Dalam penetapan dan pemberian hukum adat kepada perusahaan, dapat terjadi dalam dua bentuk
berikut ini yaitu:
1. Setelah denda adat dibayar oleh perusahaan, maka tanah atau ladang tersebut beralih
menjadi lokasi kebun perusahaan. Ini merupakan proses peralihan hak tanah kepada
perusahaan melalui pemberian ganti rugi tanah kepada pemilik tanah sebelumnya.
2. Ada juga setelah denda adat dibayar, tanah tetap dipertahankan oleh pemiliknya.
Sengketa tanah yang terjadi dengan perusahaan juga dapat terjadi karena: tanah milik kita ikut
terukur oleh perusahaan ketika mengukur tanah orang lain, padahal kita sebenarnya tidak
bermaksud menjual tanah yang ikut terukur tersebut.
Setelah pembayaran denda adat yang disaksikan Temenggung Adat biasanya masalah selesai. Dalam
penetapan denda itu, temenggung menjatuhkan bentuk hukuman kepada perusahaan dan
menetapkan pula jumlah atau besaran sanksi adatnya.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Tanah antar Penduduk
Penyelesaian sengketa tanah antar penduduk di kampung diselesaikan dengan cara adat. Biasanya
hukuman yang dijatuhkan kepada penduduk adalah sebesar 20 real. Nilai 1 real adalah setara Rp
10.000 di kalangan orang Desa.
Kalau yang bersangkutan tidak terima atas denda adat itu, maka tiga orang kepala adat dari berbagai
jenjang yaitu Temenggung (tingkat desa), Ria (tingkat dusun) dan Singa (tingkat RT) diminta hadir
kembali untuk memastikan batas-batas penguasaan tanah dan ladang yang sedang disengketakan
antar warga tadi.
Biasanya hukuman adat yang dikenakan dalam kasus semacam ini dinamakan olas (barang saksi).
Yakni barang perdamaian berupa pembayaran denda adat yang lebih besar. Umumnya memberikan
denda adat berupa ayam, tuak, minum dan makan kepada ketiga tetua adat.
Jika warga yang bersangkutan tetap juga tidak menerima hukuman itu,maka dikenakan denda adat
dua kali lipat. Yakni harus membayar denda berupa babi, tuak tajaw (keras), karena melawan
Temenggung. Nilai babi adalah 4 real = 60 kilogram. Pesta tuak tajaw dan makan minum sehari
semalam yang dihadiri oleh orang banyak harus diadakan sebagai bentuk hukuman adat yang
dikenakan terhadap orang yang bersangkutan.
Kelembagaan Adat dan Denda Adat kepada Pemerintah
Kelembagaan adat ada dua yakni Dewan Adat Dayak (DAD) untuk tingkat kota dan Temenggung
untuk tingkat desa.
35
Kantor polisi Balai Berkuak pada bulan Agustus 2011 pernah dibakar massa karena soal adat.
Anggota polisi Balai Berkuak melakukan tindakan tercela terhadap perempuan Dayak Kualan/Dayak
Balai. Setelah pembakaran kantor polisi, Kapolres harus membayar denda kepada kepala adat
sebesar Rp 35 juta.
DESA SEKUCING KUALAN, KECAMATAN SIMPANG HULU
Penduduk dan Suku Bangsa di Desa Sekucing Kualan
Penduduk Desa Sekucing Kualan umumnya campuran, yaitu terdiri dari suku Dayak: Mali, Ahe,
Ribun, Kualan, dan Toba. Yang paling banyak menetap di Desa Sekucing Kualan adalah suku Dayak
Toba, yakni sekitar 400 KK (kepala keluarga). Dayak Toba disebut juga Sepodek (bahasa kampung),
berasal dari Sungai Kapuas.
Desa Sekucing Kualan terdiri dari tiga dusun, yaitu:
1. Dusun Sekucing Bulin, pusat desa, kebanyakan dihuni oleh Dayak Toba, dengan kepala
dusun Pak Dewa (orang Bali).
2. Dusun Kuala Melawi, dihuni oleh 60 KK Dayak Toba, selain itu juga ada Dayak Kancing,
kepala dusun Pak Iwan.
3. Dusun Selimbung.
36
ANALISIS TERHADAP HASIL-HASIL TEMUAN LAPANGAN
1. Sistem Produksi Suku Bangsa Minoritas
Sistem produksi yang dimaksudkan di sini adalah cara berproduksi masyarakat untuk menghasilkan
barang-barang kebutuhan hidupnya. Barang-barang yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup
masyarakat pada prinsipnya terbagi dalam dua bagian besar yaitu barang-barang yang dihasilkan
dari dunia pertanian seperti produk pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Dan barang-
barang yang dihasilkan dari dunia industri seperti pakaian, alat-alat transportasi, dan lain-lain.
Secara umum, sistem produksi yang terkait pemanfaatan dan pengolahan tanah dan sumber daya
alam atau singkatnya sistem produksi pertanian di kalangan suku-suku bangsa minimal dapat
mencakup meramu hasil-hasil hutan, berburu, dan berladang (berputar maupun menetap).
Untuk konteks Indonesia, sistem produksi masyarakat yang mengandalkan peramuan hasil-hasil
hutan dan berburu terutama di empat pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua
(Irian Jaya) sudah mulai merosot kedudukannya, karena sistem produksi semacam ini sangat
mengandalkan hutan ramuan dan kawasan berburu yang luas dan subur. Padahal kawasan berburu
dan hutan ramuan di Indonesia sejak tahun 1967 sudah hampir habis dihancurkan oleh konsesi
industri kayu, pertambangan dan kemudian dilanjutkan oleh konsesi perkebunan skala raksasa.
Memang di beberapa tempat baik di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua masih ada
suku bangsa minoritas yang mengandalkan diri pada sistem produksi peramuan hasil hutan dan
berburu, tetapi sifatnya sudah sangat terbatas dan terisolasi. Sehingga kedudukan sosial ekonomi
dari suku bangsa minoritas yang menganut sistem produksi ini sudah sangat lemah. Apalagi dewasa
ini hak-haknya atas tanah dan hutan semakin hari semakin terancam oleh perampasan tanah di
dalam era krisis umum imperialisme yang harus terus mencari tanah dan kawasan hutan untuk
kepentingan pengembangan energi nabati dan pangan skala raksasa.
Untuk bertahan hidup, maka sistem produksi yang dipertahankan oleh suku bangsa minoritas adalah
sistem pertanian ekstensif yaitu sistem perladangan, baik perladangan gilir balik (perladangan rotasi
atau berputar) maupun sistem perladangan menetap. Pada umumnya di dalam tahapan
perkembangan sistem produksi suku-suku bangsa minoritas, sistem perladangan gilir balik atau
rotasi mendahului sistem perladangan menetap. Karena di dalam sistem perladangan gilir balik
membutuhkan kawasan perladangan atau tanah yang cukup luas untuk ditanami bahan-bahan
pangan maupun komoditas pertanian lainnya.
Akibat semakin menciutnya kawasan perladangan gilir balik, muncullah kemudian sistem produksi
perladangan menetap di mana di dalam suatu kawasan tanah, atau kebun ataupun ladang ditanami
tanaman jangka panjang seperti kebun karet, kopi ataupun coklat selain ditanami tanaman pangan.
Karena perbedaan alam dan tingkat kesuburan tanah, serta perbedaan di dalam perkembangan
tenaga produksi di dalam masyarakat pertanian di beberapa pulau di luar Pulau Jawa maka pada
umumnya suku-suku bangsa minoritas di luar Pulau Jawa amat sulit untuk menerapkan sistem
produksi pertanian intensif menetap di tanah basah (sistem produksi persawahan), di dalam upaya
panjangnya untuk bertahan hidup dari serangan agresi kapitalisme di lapangan agraria. Beberapa
37
upaya yang pernah dilakukan oleh para transmigran dari Jawa yang datang ke Pulau Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua untuk mengubah tanah pertanian di empat pulau ini menjadi tanah
pertanian sawah seperti di Pulau Jawa kerap mengalami kegagalan pertanian yang menghancurkan.
Dihadapkan dalam situasi semacam ini maka tidak ada pilihan bagi suku-suku bangsa minoritas
terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua kecuali mempertahankan sistem
produksi pertanian ekstensif perladangan gilir balik maupun menetap. Karena dewasa ini hanya
sistem produksi pertanian model ini yang masih mungkin dipertahankan di kalangan suku-suku
bangsa minoritas agar keberadaan kehidupannya tetap berlangsung.
Sistem produksi meramu dan berburu yang sebelumnya merupakan sistem produksi utama yang
diandalkan oleh suku-suku bangsa minoritas sudah hampir mengalami kepunahan akibat rusaknya
ekosistem hutan yang dihancurkan oleh Orde Baru selama hampir lebih dari 30 tahun. Bila pada
kolonial Belanda yang berlangsung selama lebih dari 300 tahun, ekosistem hutan yang dirusak baru
mencakup seluruh hutan di Pulau Jawa dan sebagian hutan di Pulau Sumatera yang diubah menjadi
tanah-tanah untuk perkebunan-perkebunan besar dan pertambangan, maka pada masa Orde Baru
seluruh ekosistem hutan pada seluruh hutan di lima pulau besar Indonesia (Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua) mengalami kerusakan hutan yang tidak akan mungkin terpulihkan
lagi selamanya. Jika periode perusakan hutan ini digabungkan seluruhnya sejak era kolonial Belanda
sampai dengan era sekarang yakni perusakan hutan di era otonomi daerah, maka hutan Indonesia
telah mengalami perusakan selama kurang lebih 417 tahun lamanya, dengan tingkat kerusakan
terberat berturut-turut di alami pada masa Orde Baru, era SBY dan era pembukaan hutan untuk
perkebunan besar (tembakau, karet, tebu, dan teh) dan pertambangan di masa kolonial Belanda.
Konsesi HPH, HTI, penetapan kawasan taman nasional, pertambangan dan perkebunan besar telah
merusak total sistem produksi meramu dan berburu ini. Seperti yang telah banyak disampaikan oleh
para ahli kehutanan, untuk menumbuhkan kembali hutan tropis Kalimantan misalnya membutuhkan
waktu ribuan tahun. Sehingga tidaklah mungkin bagi suku-suku bangsa minoritas termasuk suku-
suku Dayak di Pulau Kalimantan untuk mempertahankan sistem produksi meramu dan berburu,
karena ekosistem hutannya sudah tidak ada lagi.
Pilihan untuk mempertahankan sistem produksi perladangan gilir balik maupun menetap, saat
inipun sedang mengalami gempuran yang tidak ada habis-habisnya dari agresi kapitalisme di
lapangan agraria. Jadi yang diserang sesungguhnya di dalam skema perampasan tanah kaum
imperialis saat ini adalah sistem produksi pertanian lokal yang masih bertahan, yang menjadi
andalan kehidupan suku-suku bangsa minoritas. Begitu sistem produksi pertanian lokal tersebut
hancur, maka hancurlah kehidupan suku-suku bangsa minoritas.
Dari temuan-temuan lapangan di dalam studi ini terlihat jelas bagaimana agresi kapitalisme dalam
bentuk industri pertambangan bauksit dan hutan tanaman industri mengubah bentang alam dan
menghancurkan kehidupan sosial di kalangan suku bangsa minoritas di Desa Labai Hilir. Desa ini
mengalami kehancuran kehidupan yang luar biasa cepat, dari yang semula adalah dominan peladang
menetap dan gilir balik menjadi pekerja tambang bauksit. Karena tambang bauksit mempunyai
keterbatasan cadangan, maka operasi tambang ini sudah dapat diperkirakan akan berhenti
beroperasi di dalam beberapa tahun mendatang. Sementara lapisan tanah bagian atas di wilayah ini
yang semula subur dan dapat ditanami berbagai produk pertanian, sekarang hanya bisa ditanami
pohon kelapa sawit, yang terkenal rakus air. Di lokasi eks tambang, penduduk tidak berhasil
38
menanam pohon karet, yang secara tradisional merupakan tanaman andalan kehidupan bagi suku-
suku bangsa minoritas Dayak sejak lama.
Demikian pula halnya di Desa Sekucing Labai. Desa ini sesungguhnya sudah habis terkepung ekspansi
perkebunan besar kelapa sawit PT Aditya Agroindo dan tambang bauksit PT KUTJ. Hutan-hutan
rimba dan sekunder yang sebelumnya merupakan sumber penghidupan utama masyarakat telah
berubah konturnya menjadi perkebunan besar kelapa sawit. Sebelum sawit dan tambang masuk,
hutan-hutan di desa ini telah dihancurkan melalui konsesi kayu HPH pada tahun 1996. Sebagian
besar masyarakat yang sebelumnya menggantungkan diri sebagai pekebun karet dewasa ini telah
menjadi buruh upahan kebun sawit dengan upah yang rendah, yaitu Rp 38.000 per hari.
Perubahan sistem produksi pertanian lokal juga terlihat dengan jelas di kalangan suku Dayak Desa di
Desa Baru Lombak. Bila sebelumnya mereka merupakan pemilik tanah dengan sistem produksi
peladang menetap dengan berkebun karet, dengan hadirnya perusahaan sawit PT Sumatera Jaya
Agro Lestari (SJAL) pada tahun 2005 statusnya berubah. Banyak yang telah berubah menjadi buruh
upahan kebun sawit perusahaan dan juga bermasalah dengan sistem bagi hasil produksi yang
diterapkan oleh perusahaan yang dianggap merugikan mereka.
Dari temuan lapangan, yang masih agak bertahan sistem produksi pertaniannya adalah suku Dayak
Gorai di Desa Gerai. Tiga jenis sistem produksi pertanian lokal yaitu perladangan gilir balik,
perladangan menetap kebun karet, dan perladangan menetap kebun sawit rakyat masih menjadi
andalan suku Dayak Gorai di Desa Gerai. Perladangan gilir balik (berputar) umumnya untuk ditanami
tanaman pangan seperti padi gunung, jagung, dan singkong. Ketiga model sistem produksi pertanian
lokal ini telah lama menjadi kebiasaan pertanian di kalangan Dayak Gorai, semenjak sistem produksi
berburu dan meramu hasil hutan merosot kedudukannya. Hasil karet dan sawit rakyat digunakan
untuk kebutuhan uang tunai sehari-hari. Meskipun demikian patut dicatat bahwa hutan rimba desa
ini pernah menjadi target operasi industri kayu HPH PT Hutan Raya pada tahun 1980-an. Demikian
pula ekspansi kebun sawit raksasa semakin dekat menjangkau wilayah ini, walaupun pada saat ini
(November 2012) belum berhasil memasuki wilayah Desa Gerai.
Desa-desa yang lain seperti Desa Sekucing Kualan dan Desa Kualan Hilir, juga mengalami serangan
yang brutal terhadap sistem produksi pertanian lokal yang masih dipertahankannya. Sehingga
penduduk dari dua desa ini melakukan blokade jalan terhadap rencana perluasan tambang dan
tanaman industri yang hendak memasuki wilayahnya pada saat studi ini berlangsung. Akibat
keadaan ini, pengumpulan data primer yang memadai mengenai kedua desa ini sangat terhambat.
Serangan mematikan terhadap sistem produksi pertanian lokal yang dianut oleh suku-suku bangsa
minoritas selalu dimulai dari pokok persoalan di dalam masalah agraria yakni masalah hak atas tanah
(land tenure rights), yang akan menjadi bahasan berikut ini.
2. Sistem Tenurial Suku-suku Bangsa Minoritas
Sistem tenurial yang dimaksudkan di sini adalah sistem penguasaan dan pemilikan atas tanah dan
sumber daya alam. Dengan demikian, sistem tenurial mendefinisikan bagaimana status hukum dari
suatu penguasaan dan pemilikan atas tanah dan sumber daya alam atau sumber-sumber agraria di
dalam masyarakat.
39
Sistem tenurial (sistem penguasaan tanah) sangat erat kaitannya dengan sistem produksi yakni cara
masyarakat menghasilkan barang-barang yang dibutuhkannya, seperti yang telah kita uraikan di
depan. Misalnya cara berproduksi ladang berputar hampir selalu membutuhkan sistem penguasaan
tanah luas yang dikerjakan secara ekstensif. Sebaliknya, sistem penguasaan tanah yang sempit yang
dikerjakan secara intensif, umumnya mencirikan cara berproduksi atau sistem pertanian menetap.
Sistem pertanian menetap dan intensif di atas tanah basah (sawah) misalnya adalah sistem produksi
pertanian yang dilakukan oleh petani-petani di Pulau Jawa, sejak ratusan tahun yang lalu.
Oleh karena itu, sistem tenurial mengatur siapa yang menguasai atau memiliki tanah, hutan, rawa-
rawa, kebun ataupun sungai. Karena dari situlah barang-barang yang dibutuhkan manusia dihasilkan
atau diproduksi. Sistem tenurial juga membicarakan siapa yang berhak atau boleh memanfaatkan
sumber daya alam tertentu dan berapa lama pemanfaatan tersebut. Inilah yang dimaksudkan
dengan kepastian tenurial (tenurial security) yang biasanya menjadi pegangan di dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa terkait tenurial atau penguasaan atas tanah dan sumber daya
alam.
Di kalangan suku-suku bangsa minoritas, sistem tenurial dan kepastian tenurial pada umumnya
terkait pada siapa yang menguasai dan memiliki tanah dan kawasan hutan tertentu. Pembukaan
hutan primer yang biasanya dikuasai secara bersama (hak perdata bersama) untuk dijadikan tanah
perladangan keluarga atau perorangan hampir disepakati oleh banyak suku bangsa sebagai proses
terjadinya hak perdata perseorangan atau hak milik atas tanah. Dalam proses selanjutnya, maka
orang itu menegaskan hak milik atas tanah sebatas yang ditanaminya itu bagi diri sendiri dan
kemudian keluarganya. Penegasan terhadap penguasaan dan pemilikan tanah itu biasanya dilakukan
dengan menanam kebun buah, budidaya rotan, dan batas-batas alam lainnya.
Hak milik perorangan dan hak milik bersama atas tanah dan sumber daya alam maupun batas-batas
alamnya sebagai sistem tenurial masyarakat atau dalam hal ini sistem tenurial suku-suku bangsa
minoritas seringkali tidak diakui oleh sistem tenurial negara. Dengan mudahnya negara memberikan
hak-hak baru yang sifatnya nasional dan berlaku merata di seluruh Indonesia, seperti HPH, HTI, HGU
maupun konsesi pertambangan ataupun penetapan kawasan taman nasional tertentu di atas tanah-
tanah yang secara fisik telah dikuasai dan dimanfaatkan turun-temurun oleh masyarakat setempat.
Inilah sumber sengketa tenurial yang bersifat struktural karena melibatkan masyarakat dengan
pemerintah dan badan usaha. Dalam banyak kasus, negara atau administrasi pemerintahan pada
semua level seringkali membela dan bahkan mewakili kepentingan badan-badan usaha ketika terjadi
konflik tenurial semacam ini.
Meskipun demikian tentu saja terdapat sengketa tenurial yang bersifat internal, antara anggota
masyarakat atau keluarga di dalam kampung ataupun sengketa tanah antara anggota keluarga di
dalam satu keluarga misalnya menyangkut tanah warisan ataupun sengketa tapal batas antar
kampung.
40
2.1 Sistem Tenurial Dayak Desa
Sistem tenurial Dayak Desa umumnya terdiri dari pemilikan perorangan atau keluarga atas kebun
karet dan ladang gilir balik serta pemilikan dan penguasaan bersama atas hutan adat desa. Rata-rata
pemilikan perorangan untuk pembukaan satu ladang gilir balik adalah sekitar 1 (satu) hektar. Proses
terjadinya pemilikan perorangan atas kebun karet dan ladang gilir balik adalah melalui pembukaan
hutan rimba milik bersama untuk dijadikan tanah-tanah ladang perorangan atau keluarga.
Di dalam sistem tenurial Dayak Desa, hutan yang merupakan milik adat atau hutan adat terbagi
dalam dua kategori:
1. Hutan bungas atau hutan adat berupa hutan rimba, yang masih banyak terdapat kayu
bengkiray, dan lain-lain.
2. Hutan bawas atau hutan muda menjadi ladang perorangan atau keluarga setelah dibuka.
Pada saat ini banyak orang-orang yang mengaku mempunyai hutan bungas untuk diperjualbelikan
kepada perusahaan. Padahal sudah disepakati di kalangan suku Dayak Desa bahwa hutan bungas
(hutan rimba adat) merupakan milik bersama bukan milik perseorangan atau keluarga.
Tanah ladang umumnya pertama kali dibuka dari hutan bungas (hutan rimba). Dalam membuka
hutan bungas untuk dijadikan tanah ladang seluas 4 hektar misalnya saat ini dibutuhkan biaya
sekitar Rp 3 juta, terutama untuk biaya menebang dan menebas hutan bungas.
Kawasan hutan bungas yang dibuka untuk tanah perladangan ini memang dalam kenyataannya tidak
mempunyai surat-menyurat tanah atau kelengkapan administrasi pertanahan. Karena bukti
penguasaan atas tanah ladang biasanya berupa bukti sosial yakni saksi-saksi yang melihat pada saat
saat hutan itu dibuka untuk menjadi ladang dan batas-batas alam yang menandai batas penguasaan
dari pemilik tanah ladang yang bersangkutan.
Tanah ladang umumnya ditanami padi gunung, singkong dan tebu. Sementara bekas ladang ditanami
karet. Pada umumnya karet ditanam sejak tahun 1960-an.
Saat ini terdapat pemilikan kebun karet perorangan yang mencapai lebih dari 20 (dua puluh) hektar.
Kenyataan ini di lapangan ditemui di Desa Sekucing Labai (100 hektar) dan Desa Balai Berkuak (20
hektar). Hal ini tentu mencerminkan kecenderungan semakin terjadinya konsentrasi penguasaan dan
pemilikan tanah secara perorangan pada beberapa orang tertentu. Untuk mengerjakan tanah kebun
seluas itu, maka biasanya sang pemilik tanah juga ikut mengajak orang lain bekerja di tanah kebun
karetnya dengan memakai sistem upah kerja dengan upah Rp 50.000 per hari.
2.2 Sistem Tenurial Dayak Toba
Di kalangan Dayak Toba, pembukaan ladang-ladang untuk dijadikan tanah milik perorangan
umumnya dimulai dengan membuka hutan rimba yang ada. Memang sedari awal dari segi tata guna
tanah dan kawasan, hutan rimba dialokasikan untuk pembukaan ladang-ladang baru orang Toba.
41
Sementara hutan lindung difungsikan sebagai wilayah konservasi. Namun keberadaan hutan rimba
dan lindung semakin terancam oleh kehadiran sejumlah perusahaan baik tambang maupun HTI yang
beroperasi di Desa Labai Hilir, yang banyak dihuni oleh suku bangsa minoritas Dayak Toba.
Bekas ladang yang ditanami karet dan kebun buah di Desa Labai Hilir sudah banyak dibeli oleh
perusahaan tambang bauksit. Sehingga hutan rimba yang ada menjadi target pembukaan ladang-
ladang penduduk untuk ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di desa ini.
Keadaan ini menggambarkan bahwa di kalangan Dayak Toba terutama yang tinggal di Desa Labai
Hilir, akibat hadirnya perusahaan tambang bauksit dan hutan tanaman industri telah merusak sistem
tenurial semula yang dianut oleh masyarakat lokal. Sudah tidak ada pembedaan antara sistem
pemilikan perorangan dan sistem pemilikan bersama atas tanah dan sumber daya alam seperti yang
pada umumnya berlaku di kalangan suku-suku bangsa minoritas. Semuanya menjadi diinvidualkan,
sehingga mudah untuk diperjualbelikan kepada perusahaan-perusahaan yang masuk dan hendak
membeli tanah dan hutan.
Bekas ladang-ladang warga banyak yang dibeli oleh perusahaan. Nilai ganti rugi tanah ladang rata-
rata mencapai Rp 300.000 per hektar. Ada juga yang nilai ganti ruginya di bawah itu.
Pada umumnya lokasi perladangan sebelum perusahaan tambang masuk berada dekat dengan
pemukiman penduduk. Di lokasi perladangan ini penduduk membuat pondok-pondok berladang di
tanah perladangan untuk menjaga ladangnya dari hama dan penyakit padi terutama menjelang masa
panen.
Perladangan penduduk pada saat ini setelah masuknya perusahaan tambang bauksit dan HTI sering
menumpang berladang di Kabupaten Sanggau. Karena ladangnya semula yang terletak di Kabupaten
Ketapang yakni di Desa Labai Hilir sudah banyak yang dijual kepada perusahaan bauksit dan HTI.
Perladangan menumpang di kawasan orang lain (Kabupaten Sanggau) ini terutama mulai muncul
sejak tahun 2006, saat perusahaan tambang bauksit mulai beroperasi di Desa Labai Hilir.
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa perubahan sistem tenurial suku bangsa minoritas Dayak
Toba yang menetap di Desa Labai Hilir didorong terutama oleh proses jual beli tanah milik
perorangan maupun bersama kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah ini
terutama perusahaan tambang bauksit PT KUTJ (Karya Utama Tambangjaya) dan perusahaan HTI PT
DTK (Duta Tani Kalbar) dan PT ATP (Asia Tani Persada).
2.3 Sistem Tenurial Dayak Gorai
Perladangan yang umumnya dikuasai secara perorangan atau keluarga ditanami dengan tanaman
pangan seperti padi gunung, singkong dan palawija. Ladang-ladang ini dibuka untuk pertama kalinya
dari hutan-hutan rimba yang ada di sekitar kampung, termasuk hutan adat durian di Desa Gerai.
Sementara bekas perladangan biasanya ditanam dengan tanaman karet dan kebun sawit rakyat.
Sistem tenurial Dayak Gorai pada tahun 1980-an pernah dimasuki oleh konsesi industri kayu melalui
HPH PT Hutan Raya. Bekas konsesi industri kayu ini sekarang menjadi hutan sekunder yang pada saat
ini oleh masyarakat dijadikan lokasi untuk pembukaan ladang-ladang baru.
42
Di kalangan suku Dayak Gorai sampai saat masih terdapat arisan kerja bersama di atas tanah-tanah
ladang milik tetangganya. Ini berupa regu kerja bersama di ladang, dengan sistem upah yang
didominasi oleh pemberian makanan dan minuman buat yang sedang bekerja di tanah ladang. Selain
itu, ada sistem sosial lain yang disebut nyandau, di mana orang dari luar suku dapat mengambil
durian yang jatuh dari pohon dan kebun durian milik nenek moyang suku Gorai.
3. Mekanisme Penyelesaian Konflik Tenurial
Di kalangan suku Dayak Desa, penyelesaian sengketa tanah antar penduduk di kampung diselesaikan
dengan cara adat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan kepada penduduk adalah sebesar 20 real. Nilai
1 real adalah setara Rp 10.000 di kalangan orang Desa.
Kalau yang bersangkutan tidak terima atas denda adat itu, maka tiga orang kepala adat dari berbagai
jenjang yaitu Temenggung (tingkat desa), Ria (tingkat dusun) dan Singa (tingkat RT) diminta hadir
kembali untuk memastikan batas-batas penguasaan tanah dan ladang yang sedang disengketakan
antar warga tadi. Dan kemudian mengambil keputusan yang adil atas persoalan yang sedang
diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Sementara sengketa tanah antara masyarakat dengan perusahaan biasanya terjadinya karena
penggusuran hutan bawas (tanah ladang atau kebun) ataupun hutan bungas (rimba) oleh
perusahaan.
Biasanya dalam kasus semacam ini, perusahaan yang bersangkutan dikenakan hukuman adat
berupa sanksi yang dihitung dalam bentuk uang. Istilah adat dalam hal ini dikenal sebagai “Babi
hutan mengalahkan babi rumah”. Di mana perusahaan diibaratkan sebagai “babi hutan” dan
penduduk diibaratkan sebagai “babi rumah”. Kalau perusahaan tidak setuju untuk membayar denda
adat yang telah ditetapkan penduduk, biasanya perusahaan yang bersangkutan didemo oleh
penduduk. PT Aditya Agroindo (perusahaan kebun kelapa sawit) yang beroperasi di Kecamatan
Simpang Hulu sudah pernah dihukum adat di Desa Sekucing Labai sebesar Rp 150 juta.
Pada suku Dayak Gorai penyelesaian terhadap masalah-masalah yang terjadi masih mengandalkan
mekanisme adat dalam penyelesaiannya. Termasuk masalah-masalah tanah dan keluarga.
Untuk penyelesaian sengketa tanah di kalangan suku Dayak Toba di Desa Labai Hilir dengan
perusahaan diselesaikan secara adat. Misalnya dengan memberikan denda adat kepada perusahaan
yang melakukan pelanggaran adat.
Pelanggaran adat yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya terkait dengan:
1. Ingkar janji untuk memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat sekitar seperti
penyediaan akses air bersih, kesehatan, pendidikan, listrik, dan sarana jalan.
2. Nilai ganti rugi tanah yang rendah.
3. Ingkar janji dalam hal pelibatan masyarakat sebagai tenaga kerja di perusahaan.
Walaupun dilibatkan, biasanya hanya bekerja sebagai tenaga kerja rendahan di dalam
perusahaan.
43
Sengketa tanah antar penduduk diselesaikan oleh Temenggung. Sementara sengketa tapal batas
desa diselesaikan oleh Tim 8 yang dibentuk oleh Kabupaten. Sengketa tapal batas desa pada awalnya
disebabkan oleh adanya pemekaran desa. Karena desa dimekarkan terlebih dahulu, baru batasnya
ditetapkan kemudian.
44
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
Dalam situasi yang terus berubah ini, pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam memberikan
konsesi-konsesi untuk penguasaan dan pemanfaatan tanah, hutan ataupun perairan harus cermat
agar konsesi-konsesi yang diberikannya tidak bertabrakan dengan klaim atau hak yang sudah ada
sebelumnya di dalam masyarakat.
Masalah-masalah tenurial yang timbul pada umumnya meliputi pertentangan klaim antara berbagai
pihak terhadap hak atas tanah, kawasan hutan maupun perairan yang sama. Masalah-masalah itu
sampai sekarang belum terpecahkan dengan baik. Bahkan semakin rumit karena dewasa ini,
pemberian izin lokasi untuk investasi di sektor sumber daya alam telah didelegasikan pada tingkat
pemerintahan kabupaten, sementara konsesi-konsesi sebelumnya seperti HPH, HTI ataupun HGU
yang dikeluarkan pada tingkat nasional juga belum terpecahkan konflik tenurialnya.
Pemecahan masalah tenurial atau pemecahan masalah status hak atas tanah dan hutan sangat
penting baik bagi pemerintah, sektor swasta, apalagi bagi masyarakat dalam hal suku bangsa
minoritas yang selama ini telah banyak diabaikan hak-hak dasarnya di dalam pembangunan. Karena
pemecahan masalah tenurial merupakan dasar untuk pemecahan masalah pengelolaan hutan.
Masalah tenurial merupakan kepastian hukum tentang hak atas tanah dan sumber daya alam.
Sistem penguasaan dan pemilikan atas tanah, kawasan hutan, dan rawa-rawa yang berlaku di
kalangan suku bangsa Dayak Desa dan Toba seperti yang telah ditemukan dan dianalisis dalam studi
tenurial ini memperlihatkan bahwa sistem penguasaan tanah yang dulu sepenuhnya bersifat
komunal seperti terhadap penguasaan kawasan hutan dan rawa-rawa yang dikuasai dan dimiliki
secara bersama-sama oleh kampung dan masyarakat, pada saat ini sedang mengalami kehancuran
yang luar biasa. Perubahan itu berupa munculnya klaim-klaim baru yang datang dari perorangan
atau keluarga tertentu atas tanah, kawasan hutan, dan rawa-rawa yang pada umumnya dikuasai dan
dimiliki secara bersama-sama (komunal) atau yang biasa dikenal sebagai hak perdata bersama.
Kemunculan klaim-klaim tenurial yang baru yang berwatak perorangan atau individual ini
berlangsung dalam tingkatan yang berbeda-beda karena perbedaan sistem produksinya.
Sistem produksi di kalangan suku Gorai dalam studi tenurial ini masih didominasi oleh sistem
perladangan gilir balik (berputar) dan perladangan menetap kebun karet dan kebun sawit rakyat.
Karena sebagian besar masyarakat masih mempunyai tanah yang cukup memadai untuk menjadi
andalan kehidupannya, maka klaim-klaim tenurial yang baru di kalangan suku Dayak Gorai belum
begitu mendominasi kehidupan masyarakat.
Di kalangan suku Toba sistem produksinya yang semula didominasi peladang gilir balik sekarang
sudah berubah menjadi buruh upahan perusahaan tambang bauksit. Sistem tenurialnya sama sekali
sudah berubah total, dari yang semula dimiliki oleh perorangan dan komunal masyarakat saat ini
menjadi dimiliki oleh perusahaan tambang bauksit dan perusahaan hutan tanaman industri (HTI).
Akibat situasi semacam ini, tanah-tanah yang sebelumnya disepakati secara bersama oleh warga
45
menjadi tanah milik bersama pada saat ini semakin banyak diaku-aku oleh warga sebagai tanah
miliknya pribadi untuk maksud diperjualbelikan kepada perusahaan-perusahaan yang masuk
melakukan investasi di wilayah ini.
Sementara di kalangan suku Dayak Desa, terutama yang menetap di Desa Baru Lombak, sistem
produksinya masih bersifat campuran, yakni peladang menetap kebun karet dan buruh upahan
kebun sawit perusahaan. Sistem penguasaan tanahnya masih sebagian dimiliki oleh suku Dayak
Desa, karena mereka hanya menyerahkan satu rotasi ladang – dari beberapa rotasi ladang yang
umumnya dipunyai warga—kepada perusahaan sawit pada saat terjadi transaksi jual beli tanah.
Namun saat studi ini dilakukan terdapat gejala yang sangat mengkhawatirkan di suku Dayak Desa
yang menghuni Desa Sekucing Labai dan Desa Balai Berkuak, yaitu terjadinya konsentrasi
penguasaan tanah kebun karet secara individual di kalangan warga. Bahkan ada warga yang
menguasai tanah kebun karet seluas 100 hektar di Desa Sekucing Labai dan kemudian untuk
mengerjakan tanah seluas itu dia harus menggunakan tenaga buruh upahan kebun karet.
Konsentrasi penguasaan tanah secara individual serupa ini sudah merupakan gejala umum yang
terjadi di pantai utara utara Pulau Jawa atas tanah-tanah pertanian sawah yang subur di wilayah itu
sejak tahun 1970-an.
2. Rekomendasi
Berdasarkan temuan-temuan lapangan, analisis dan kesimpulan yang telah disampaikan, maka
berikut dapat disampaikan rekomendasi-rekomendasi hasil studi:
1. Penetapan wilayah-wilayah yang penguasaannya semula adalah kawasan dan tanah milik
warga menjadi kawasan hutan negara untuk kepentingan hutan tanaman industri dan
tambang di wilayah-wilayah lokasi studi yang dilakukan secara sewenang-wenang harus
dihentikan, terutama di Desa Labai Hilir, Sekucing Kualan, dan Kualan Hilir.
2. Untuk Desa Labai Hilir yang sistem produksinya sudah berubah drastis dari semula peladang
gilir balik menjadi buruh upahan perusahaan tambang, perlu diadakan pendidikan dan
pelatihan mengenai hak-hak buruh di dalam usaha pertambangan, agar jam kerja dan hak-
haknya dapat lebih terjamin.
3. Untuk Desa Baru Lombak, masyarakat perlu dibantu di dalam memastikan hak-hak warga di
dalam pembagian hasil produksi dengan perusahaan sawit PT Sumatera Jaya Agro Lestari
(SJAL) dapat lebih terjamin.
4. Untuk Desa Sekucing Labai, warga yang bekerja sebagai buruh kebun sawit PT Aditya
Agroindo perlu dibantu untuk memperjuangkan peningkatan upah buruh kebun sawit.
5. Secara umum, pemerintahan pada tingkat pusat dan tingkat provinsi dan kabupaten harus
mengakui dan menghargai adanya sistem tenurial yang berlaku di kalangan suku-suku
bangsa yang sistem pembuktian haknya sangat berbeda dengan sistem pembuktian di dalam
sistem tenurial dan administrasi pertanahan nasional.