Top Banner
1 LAPORAN HASIL PENELITIAN Tim Studi Perkumpulan Link-AR Borneo, Pontianak Studi Pengakuan Hak Atas Tanah dan Kekayaan Alam di Kalangan Suku Bangsa Minoritas Dayak Desa, Toba, Mali dan Gorai di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat Disusun oleh Erpan Faryadi Ahmad Asmungin Zulfie Rahardi Desember 2012
45

Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

Apr 24, 2015

Download

Documents

linkarborneo

Ini merupakan riset yang dilakukan link-AR Borneo, dan saat ini riset dilakukan di Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

1

LAPORAN HASIL PENELITIAN

Tim Studi Perkumpulan Link-AR Borneo, Pontianak

Studi Pengakuan Hak Atas Tanah dan Kekayaan Alam di Kalangan Suku Bangsa Minoritas

Dayak Desa, Toba, Mali dan Gorai di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sanggau

Provinsi Kalimantan Barat

Disusun oleh

Erpan Faryadi

Ahmad Asmungin

Zulfie Rahardi

Desember 2012

Page 2: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

2

LAPORAN HASIL PENELITIAN

Tim Studi Perkumpulan Link-AR Borneo, Pontianak

Studi Pengakuan Hak Atas Tanah dan Kekayaan Alam di Kalangan Suku Bangsa Minoritas

Dayak Desa, Toba, Mali dan Gorai di Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua,

Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat

8 November – 17 November 2012

Pengantar

Laporan studi ini disusun berdasarkan sejumlah wawancara dengan responden terpilih dan

observasi lapangan yang dilakukan oleh Tim Studi Link-AR Borneo di dalam rangka “Studi Pengakuan

Hak Atas Tanah dan Kekayaan Alam di Kalangan Suku Bangsa di Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten

Ketapang di Provinsi Kalimantan Barat”. Studi lapangan ini diadakan selama 10 hari efektif dari

tanggal 8 November sampai dengan 17 November 2012 di lapangan.

Lokasi studi lapangan mengambil tempat di Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang

Provinsi Kalimantan Barat. Di dalam prakteknya, riset lapangan ini juga menjangkau daerah-daerah

yang berdekatan dengan Kecamatan Simpang Hulu, yakni Kecamatan Simpang Dua Kabupaten

Ketapang dan Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Hal tersebut dilakukan guna mengejar

substansi dan tujuan riset, yakni mengenal dan memahami tentang asal-usul suku bangsa yang

diteliti, sistem penguasaan tanah serta tata guna tanah dan kawasan, dan mekanisme dan

kelembagaan adat di dalam mengatur dan menyelesaikan sengketa-sengketa tanah yang terjadi baik

di antara suku-suku bangsa maupun dengan pihak luar terutama dengan perusahaan-perusahaan

yang mengantongi izin dan konsesi dari pemerintah untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi

tanah dan kekayaan alam.

Laporan studi lapangan berhasil memotret pandangan dari para responden terpilih di dalam

menanggapi pertanyaan-pertanyaan studi yang diajukan ditambah dengan sejumlah observasi

lapangan. Analisis terhadap data primer yang berhasil dikumpulkan tersebut disertai dengan

observasi lapangan kemudian diolah menjadi laporan hasil studi seutuhnya.

Tim Studi Perkumpulan Link-AR Borneo

Erpan Faryadi

Ahmad Asmungin

Zulfie Rahardi

Page 3: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

3

DAFTAR ISI

HAL PENGANTAR 2 PENDAHULUAN 3

1. Latar Belakang 3 2. Tujuan Studi 6 3. Metodologi 6

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 9 1. Lokasi Penelitian 9 2. Temuan-temuan Lapangan Mengenai Suku Bangsa, Sistem Tenurial,

Sistem Produksi, dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Tenurial 10

ANALISIS TERHADAP TEMUAN-TEMUAN LAPANGAN 34 1. Sistem Produksi Suku Bangsa Minoritas 34 2. Sistem Tenurial Suku-suku Bangsa Minoritas 36 3. Mekanisme Penyelesaian Konflik Tenurial 40

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 42 1. Kesimpulan 42 2. Rekomendasi 43

Page 4: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

4

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Setelah berakhirnya masa jaya industri kayu yang berlangsung di Indonesia selama

kurang lebih 30 tahun—hampir sama umurnya dengan rezim Orde Baru—banyak orang

sekarang mempertanyakan kenapa industri kayu yang dipromosikan sebagai penyumbang

devisa negara terbesar setelah migas tidak menghasilkan perubahan apa pun bagi ekonomi

nasional Indonesia dan apalagi bagi masyarakat lokal. Malah menimbulkan dampak

sebaliknya yaitu semakin merosotnya kehidupan masyarakat lokal dan semakin merosotnya

daya dukung lingkungan karena hancurnya hutan alam akibat ekspansi HPH (Hak

Pengusahaan Hutan). Pertanyaan tersebut semakin terkuak, karena dewasa ini berbagai

masalah lingkungan dan masalah tenurial di kawasan hutan telah menjadi pusat perhatian

dan perlu segera mendapatkan penyelesaian yang memberikan rasa keadilan bagi

masyarakat yang hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam telah dilanggar selama ini.

Sistem tenurial yakni sistem yang mengatur mengenai pemilikan dan penguasaan

tanah dan sumber daya alam sering merupakan fondasi dari identitas sosial, keamanan

individual maupun keberlangsungan kebudayaan dari suku-suku bangsa dan minoritas etnis.

Karena adanya ketegangan-ketegangan khusus antara sistem tenurial yang dianut

masyarakat (customary tenure systems) dengan sistem tenurial yang dianut negara

(statutory tenure systems), maka masalah-masalah tenurial akan selalu melekat di dalam

perkembangan masyarakat, terutama di dalam masyarakat yang masih didominasi oleh

pengolahan tanah dan sumber daya alam (masyarakat agraris), seperti Indonesia.

Ketegangan ini terutama dipicu oleh tiadanya pengakuan negara terhadap sistem tenurial

yang dianut oleh masyarakat pada tingkat lokal dan biasanya berdasarkan kesepakatan-

kesepakatan yang tidak tertulis. Demikian pula masalah tenurial semakin rumit bila dimasuki

oleh sistem penjajahan yang juga mempunyai sejarah tenurial dan membawa sistem

tenurialnya sendiri ketika memasuki daerah jajahan. Akibatnya, negeri yang pernah dijajah

seperti Indonesia banyak mengalami masalah tenurial yang bahkan banyak yang belum

terpecahkan hingga sekarang, walaupun sudah ada aturan-aturan konversi dari hukum

nasionalnya mengenai sistem pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber

daya alam.

Dewasa ini, meskipun banyak negeri telah mengalami kemerdekaan secara formal,

masalah-masalah tenurial semakin kompleks apabila sistem ekonomi yang berlaku dan

mendominasi di negeri-negeri tersebut adalah sistem ekonomi yang memberikan peluang

besar kepada pihak swasta didalam mengolah dan memanfaatkan tanah dan sumber daya

alam, dengan menggunakan konsesi dan hak pemanfaatan yang diberikan oleh negara

kepada badan-badan usaha, baik nasional maupun asing.

Page 5: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

5

Itulah sejumlah kondisi yang dihadapi oleh suku-suku bangsa minoritas (national

minority)1 sebagai golongan khusus dalam masyarakat Indonesia dewasa ini yang pada

umumnya masih mengandalkan kehidupannya pada pengolahan dan pemanfaatan tanah

dan sumber daya alam, terutama hutan, sungai dan rawa-rawa dengan menggunakan sistem

perladangan rotasi (gilir balik). Sistem perladangan ini merupakan bentuk khusus pertanian

ekstensif yang selama lebih dari ratusan tahun telah dipraktekkan oleh banyak suku-suku

bangsa di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Sistem perladangan rotasi (gilir balik)

ini sudah lama menghilang dari sistem pertanian di Pulau Jawa karena perkembangan

penduduk dan tenaga kerja serta perkembangan alat kerja dalam pertanian di kalangan suku

bangsa Jawa dan juga tingkat kesuburan tanah yang berbeda antara tanah-tanah pertanian

di Pulau Jawa dan tanah-tanah pertanian di luar Pulau Jawa. Sistem perladangan rotasi oleh

karenanya merupakan sistem pertanian ekstensif yang dominan pada ketiga pulau ini

menyusul makin mengecilnya kawasan berburu dan meramu pada masyarakat-masyarakat

ini. Pemilihan sistem perladangan rotasi (gilir balik) telah dikenal luas sebagai praktek

pertanian—sistem produksi untuk menghasilkan pangan—yang ramah lingkungan karena

penggunaan bahan kimia berupa herbisida dan pestisida yang sangat rendah, bahkan di

beberapa tempat tidak digunakan sama sekali.

Sistem perladangan rotasi (gilir balik) meskipun demikian membutuhkan luas tanah

yang cukup memadai guna mengistirahatkan (memberakan) tanah hutan primer yang telah

dibuka untuk dijadikan tanah ladang, dalam rangka menjaga kesuburan tanah dan

menumbuhkan hutan-hutan sekunder. Demikian pula halnya sistem perladangan rotasi (gilir

balik) dari segi tenaga produktif dipraktekkan untuk menyiasati kurangnya tenaga kerja

produktif untuk mengolah tanah. Sehingga pada umumnya di dalam sistem perladangan

rotasi, masih sangat dikenal adanya kerja bersama (saling bantu atau gotong royong yang

bersifat resiprokal) di antara para peladang di dalam beberapa tahapan pekerjaan

perladangan, terutama pada tahapan-tahapan kerja ladang yang membutuhkan curahan

tenaga kerja yang banyak seperti menebas, menanam, dan memanen.

Atas dasar inilah maka di dalam sistem perladangan rotasi, tradisi dan kebiasaan

(adat) masih melekat dan menjadi panutan dalam seluruh ataupun sebagian dari seluruh

sistem perladangan rotasi baik berupa ritual-ritual adat maupun pengambilan keputusan

bersama untuk menentukan kawasan atau lokasi perladangan sampai ritual-ritual untuk

menyambut kedatangan musim panen padi. Artinya di dalam sistem perladangan rotasi

1 Penggunaan frase suku bangsa minoritas ini dengan sengaja digunakan di dalam keseluruhan teks hasil studi

ini untuk memberikan gambaran bahwa di dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai suku bangsa yang membentuk apa yang kemudian disebut sebagai bangsa Indonesia. Berbagai suku bangsa ini mempunyai sistem produksi dan kebudayaannya masing-masing yang mencerminkan tingkat kedudukannya di dalam masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh suku bangsa Jawa adalah suku bangsa yang paling mendominasi di dalam masyarakat Indonesia karena kekuatan politik dan jumlahnya yang paling besar di dalam masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Karenanya suku bangsa Jawa dalam kategori ini dapat disebut sebagai suku bangsa mayoritas di dalam masyarakat Indonesia. Sebaliknya sebagai contoh suku bangsa Dayak yang menempati Pulau Kalimantan digolongkan sebagai suku bangsa minoritas di dalam keseluruhan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan kedudukan sosial ekonominya yang tidak begitu dominan di dalam masyarakat Indonesia. Perbedaan kedudukan sosial ekonomi berbagai suku bangsa ini sering digunakan dan dimanipulasi oleh berbagai kekuatan politik anti rakyat untuk menekan protes-protes rakyat Indonesia yang menuntut hak-hak dasarnya di dalam pembangunan.

Page 6: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

6

sebagai salah satu penanda pokok dalam masyarakat peladang, penguasaan dan pemilikan

tanah dan sumber daya alam secara bersama-sama (komunal) masih dikenal karena kondisi

alam dan masyarakat mengharuskan demikian. Seperti terhadap hutan lindung yang

dicadangkan kampung sebagai milik bersama, rawa-rawa, sungai ataupun pohon madu.

Namun penguasaan dan pemilikan tanah dan sumber daya alam secara pribadi ataupun

keluarga juga telah mulai dikenal seperti penguasaan pribadi atau keluarga tertentu

terhadap kebun atau ladang.

Masuknya sistem tenurial negara baik berupa konsesi kehutanan (HPH dan HTI),

perkebunan besar (HGU) maupun kuasa dan izin pertambangan (KP) telah merubah dan

kemudian merusak sistem tenurial suku-suku bangsa minoritas ini. Bila diletakkan dalam

konteks yang lebih luas, bisa dikatakan bahwa cara berproduksi yang diperkenalkan melalui

sistem tenurial negara itu sama sekali tidak dikenal atau asing di dalam cara berproduksi

yang selama ini dianut oleh suku-suku bangsa minoritas.

Dominasi sistem tenurial negara terhadap sistem tenurial masyarakat ataupun

sistem tenurial suku-suku bangsa minoritas merupakan sebab-sebab pokok dari terjadinya

sengketa ataupun masalah-masalah tenurial di kawasan hutan Indonesia dewasa ini.

Meskipun masalah-masalah tenurial di antara masyarakat misalnya sengketa tapal batas

antar kampung ataupun sengketa di antara warga dan keluarga di dalam satu kampung

mengenai batas kebun ataupun ladang kerap pula terjadi, masalah-masalah tenurial

semacam ini dapatlah dikategorikan sebagai masalah-masalah tenurial yang sekunder

sifatnya. Yaitu merupakan dampak dari tiadanya penyelesaian atas masalah dominasi sistem

tenurial negara terhadap sistem tenurial masyarakat.

Telah dipahami bersama pula bahwa dominasi sistem tenurial negara terhadap

sistem tenurial masyarakat yang beragam bentuknya itu semula dimaksudkan oleh negara

untuk menyederhanakan sistem penguasaan dan pemilikan tanah dan sumber daya alam

(sistem tenurial) yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Demikian pula mengenai

sistem pembuktian atas hak penguasaan dan pemilikan atas tanah dan sumber daya alam

turut disederhanakan dan diseragamkan. Penetapan suatu kawasan atau bentang alam

tertentu sebagai kawasan hutan negara, merupakan salah satu contoh dari adanya dominasi

sistem tenurial negara terhadap sistem tenurial masyarakat. Izin konsesi pertambangan, izin

penebangan kayu, dan konsesi perkebunan besar yang diberikan negara kepada badan-

badan usaha merupakan contoh pembuktian legal atas pemberian suatu kawasan hutan

atau sebidang tanah guna dimanfaatkan oleh suatu badan usaha.

Penetapan suatu kawasan yang digolongkan sebagai kawasan hutan negara telah

lama menyebabkan masalah tenurial yang berat bagi suku-suku bangsa yang menetap di

sekitar maupun di dalam kawasan hutan itu. Suku bangsa Dayak dan berbagai sub suku

bangsa Dayak yang telah menetap di Pulau Kalimantan sejak beberapa abad yang lalu,

mengalami serangan yang sangat hebat atas sistem tenurial yang telah dianutnya selama ini,

ketika industri kayu mulai berkembang terutama sejak tahun 1970-an, yang kemudian

diperhebat lagi dengan ekspansi perkebunan besar (terutama sawit), dan pertambangan

(batu bara). Masalah serupa pernah dialami oleh suku bangsa Jawa dan suku bangsa Sunda

Page 7: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

7

ketika pada masa kolonial Belanda hutan-hutan rimba di pulau Jawa dibuka untuk tanaman

monokultur, perkebunan tebu dan teh, serta pertambangan.

Akibat eksploitasi terhadap hutan-hutan tropis Kalimantan ini, maka konflik tenurial

merebak begitu dahsyat. Di masa Orde Baru, konflik tenurial ini diredam dengan kekerasan

bersenjata oleh aparat keamanan negara sehingga tidak mencuat luas ke permukaan.

Namun di masa sekarang, konflik tenurial yang sama telah mencuat dan meluas, dan sulit

untuk dipadamkan karena terkait dengan persoalan aspirasi mengenai keadilan dalam

pengolahan dan pemanfaatan tanah dan hutan. Di dalam wilayah-wilayah lain di luar

Kalimantan yang mempunyai kekayaan alam yang luar biasa, seperti Provinsi Irian Jaya

(Papua) dan Aceh, aspirasi mengenai keadilan agraria bahkan telah meletupkan gerakan

bersenjata untuk pemisahan diri dari negara Indonesia.

Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa pengenalan dan pemahaman mengenai

sistem tenurial yang selama ini telah dipraktekkan oleh suku-suku bangsa, terutama suku

bangsa Dayak di Kalimantan, merupakan pekerjaan penting yang harus dilakukan di dalam

rangka memperjuangkan pengakuan sistem tenurial suku-suku bangsa di hadapan sistem

tenurial negara yang dominan dan ditetapkan di dalam hukum negara. Selain itu pengenalan

terhadap sistem tenurial dan tata guna tanah suku-suku bangsa yang selama ratusan tahun

telah menjaga kelestarian hutan tropis Kalimantan perlu diangkat ke permukaan sebagai

prinsip-prinsip konservasi dan pembangunan yang berkelanjutan bahkan sebelum tema-

tema besar ini diperkenalkan pada tingkat dunia dan menjadi perhatian dunia dewasa ini.

Di dalam latar belakang semacam itulah, asesmen atau studi pendahuluan mengenai

masalah-masalah tenurial di kalangan suku-suku bangsa minoritas di Kabupaten Ketapang

dan Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat ini diadakan.

2. Tujuan Studi

Studi ini secara umum bermaksud mengenali sistem dan masalah tenurial yang pada

saat ini berkembang di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat khususnya di

Kecamatan Simpang Hulu yang menjadi lokasi studi. Secara khusus, studi tenurial ini

mempunyai tujuan sebagai berikut:

Melakukan pemetaan terhadap sistem tenurial, tata guna tanah, dan masalah-masalah tenurial yang berkembang pada suku bangsa minoritas Dayak di lokasi studi.

Menganalisis pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan tanah dan sumber daya alam di Kecamatan Simpang Hulu.

Hasil asesmen atau studi pendahuluan ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai

bahan masukan bagi Perkumpulan Link-AR Borneo dalam implementasi program/proyek

pemberdayaan masyarakat lokal di Kabupaten Ketapang khususnya dan Provinsi Kalimantan

Barat pada umumnya. Hasil-hasil yang diperoleh juga dapat menjadi masukan bagi lembaga-

Page 8: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

8

lembaga dan pihak berkepentingan yang lain di dalam pengelolaan tanah dan sumber daya

alam di Provinsi Kalimantan Barat.

3. Metodologi

3.1 Lokasi dan Waktu

Studi dilakukan di Kecamatan Simpang Hulu sebagai wilayah kerja Perkumpulan

Link-AR Borneo di Kabupaten Ketapang. Untuk pengambilan data lapangan tim studi

juga melakukan studi lapangan di Kecamatan Simpang Dua Kabupaten Ketapang dan

Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau, yang data primernya diolah menjadi bagian

keseluruhan dari hasil studi ini.

Lokasi studi untuk pengambilan data primer di lapangan di dalam studi ini secara

keseluruhan dilakukan pada tujuh desa/kampung di Provinsi Kalimantan Barat, yakni:

1. Desa Labai Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang

2. Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang

3. Desa Sekucing Labai, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang

4. Desa Sekucing Kualan, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang

5. Desa Balai Berkuak, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang

6. Desa Gerai, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang

7. Desa Baru Lombak, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau

Pemilihan lokasi studi pada empat desa di Kecamatan Simpang Hulu didasarkan

pada pertimbangan bahwa ekspansi badan usaha besar seperti perkebunan skala raksasa

dan pertambangan telah cukup masif. Sementara pemilihan tiga desa terakhir dilakukan oleh

tim studi di lapangan berdasarkan temuan-temuan lapangan pada empat desa sebelumnya,

yang membutuhkan konfimasi mengenai sejumlah substansi studi yaitu mengenai migrasi

penduduk dan kelembagaan sosial dari suku bangsa minoritas yang diteliti terutama

mengenai Dayak Desa, yang informannya cukup tersedia di Desa Balai Berkuak dan Desa

Baru Lombak (Kecamatan Meliau).

Waktu keseluruhan untuk pelaksanaan studi ini dari mulai persiapan, pengumpulan

data/informasi lapangan, dan pengolahannya hingga pelaporan adalah selama dua bulan,

antara bulan November sampai dengan Desember 2012. Pengumpulan data primer di

lapangan sendiri dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja efektif, yaitu dari mulai

tanggal 8 November sampai dengan 17 November 2012.

3.2 Ruang Lingkup

Ruang lingkup topik dalam studi ini adalah aspek-aspek penting yang terkait dengan

sistem tenurial yang dianut oleh suku bangsa minoritas Dayak di lokasi studi lapangan,

Page 9: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

9

sistem produksi, tata guna tanah dan kawasan, masalah-masalah tenurial yang mereka

hadapi dan cara penyelesaiannya.

Yang dimaksud dengan sistem tenurial adalah sistem pemilikan dan penguasaan

tanah dan sumber daya alam yang dianut dan dijalankan, baik oleh masyarakat maupun oleh

negara. Dengan demikian, di dalam setiap negeri yang sebagian besar penduduknya masih

menggantungkan diri pada pengolahan tanah dan sumber daya alam, selalu dikenal adanya

dua sistem tenurial yang berbeda. Dominasi sistem tenurial negara terhadap sistem tenurial

masyarakat selalu menimbulkan masalah-masalah tenurial yang menuntut penyelesaian

yang adil, terutama bagi suku-suku bangsa minoritas Dayak.

3.3 Pengumpulan dan Analisis Data

Studi ini menggunakan sejumlah teknik pengumpulan data berupa pengumpulan data

primer (wawancara dengan responden dan narasumber, observasi lapangan, dan diskusi)

dan pengumpulan data sekunder (referensi, data statistik, peta, dan lain-lain).

Untuk pengumpulan data lapangan yang dibatasi oleh keterbatasan waktu, maka

pengumpulan data dilakukan melalui cara sebagai berikut:

Dilakukan secara cepat dan partisipatif dengan mewancara sejumlah responden dan tokoh kunci. Namun demikian, diskusi terfokus dalam rangka mengklarifikasi sejumlah temuan lapangan pada tingkat lapangan, tidak dilakukan dalam studi ini, karena keterbatasan waktu.

Wawancara dilakukan secara intensif dengan sejumlah tokoh kunci yang dianggap mengetahui masalah-masalah yang menjadi ruang lingkup studi. Sejumlah tokoh kunci yang diwawancarai di dalam studi ini adalah Petinggi (Kepala Kampung/Desa), Kepala Adat, Juru Tulis (Sekretaris Desa), LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), BPK (Badan Perwakilan Kampung), pihak kecamatan, saksi sejarah, serta tokoh masyarakat yang lain. Beberapa warga biasa juga diwawancarai dalam rangka mengklarifikasi sejumlah informasi dan temuan studi.

Observasi lapangan juga dilakukan dalam rangka melihat secara fisik keadaan bentang alam yang telah diubah oleh konsesi-konsesi pertambangan, konsesi kayu maupun konsesi perkebunan di sekitar kampung.

Berdasarkan urutan waktunya, proses pentahapan pelaksanaan studi ini dilakukan melalui tahapan

kerja berikut:

1. Melakukan pengumpulan data sekunder mengenai daerah Kabupaten Ketapang dan khususnya Kecamatan Simpang Hulu yang menjadi fokus lokasi studi beserta suku bangsa yang menetap di dalamnya (Suku bangsa minoritas Dayak Desa, Dayak Toba atau Dayak Tebang Benuak, dan Dayak Gorai). Data dan informasi tersebut umumnya didapat dari sejumlah dokumen, referensi, statistik resmi yang terkait dengan tujuan studi ini.

2. Menentukan dan menetapkan kampung-kampung yang menjadi lokasi studi di Kecamatan Simpang Hulu, beserta karakteristik suku-suku bangsa yang hidup di dalamnya, serta investasi yang masuk di dalamnya, sesuai dengan hasil observasi, rekomendasi dan kepentingan studi.

Page 10: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

10

3. Membuat jadwal sementara kunjungan lapangan dalam rangka pengambilan data primer di kampung-kampung dan observasi lapangan berdasarkan rekomendasi yang diberikan.

4. Melakukan pengambilan data primer melalui wawancara dengan informan dan institusi terkait serta menjalankan observasi lapangan sesuai dengan metodologi dan tujuan studi.

5. Kompilasi dan komparasi data untuk tabulasi, validasi, dan analisis data lapangan serta tinjauan terhadap temuan-temuan sementara lapangan.

6. Penulisan dan pelaporan hasil studi tenurial. Setelah melalui tahap-tahap di atas, hasil dan temuan studi dituangkan dalam sebuah laporan penelitian, yang kurang lebih mencakup mengenai latar belakang diadakannya studi, tujuan dan metode yang digunakan, hasil yang didapat serta analisisnya dan diakhiri dengan kesimpulan dan rekomendasi-rekomendasi.

Page 11: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

11

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian

Lokasi studi tenurial ini mengambil fokus di kampung-kampung yang terletak di Kecamatan

Simpang Hulu dan Kecamatan Simpang Dua di Kabupaten Ketapang serta di Kecamatan

Meliau di Kabupaten Sanggau. Lokasi studi dapat ditempuh dengan memakai sarana

transportasi darat melalui jalan trans Kalimantan dan transportasi sungai Kapuas dan anak-

anak sungai Kapuas yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat.

Tidak ada sarana angkutan umum antar kecamatan di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten

Sanggau, sehingga seluruh keperluan transportasi penduduk pada tujuh desa yang menjadi

lokasi studi mengandalkan transportasi pribadi seperti sepeda motor dan mobil pribadi atau

mobil sewaan. Sehingga apa yang disebut ibukota kecamatan seperti ibukota Kecamatan

Simpang Hulu yaitu Balai Berkuak tampak seperti desa-desa agraris pada umumnya di Pulau

Jawa, di mana mereka yang tidak mempunyai alat transportasi harus berjalan kaki di

sepanjang kota ini.

Kantor Camat Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang di Balai Berkuak, 12 November 2012.

Page 12: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

12

Desa yang menjadi tempat tujuan pertama tim studi adalah Desa Labai Hilir, yang ditempuh

dari kota Pontianak melalui transportasi sungai dengan memakai long boat atau perahu

motor cepat, sekitar 6 jam. Long boat berkekuatan 200 PK ini hanya berangkat satu kali

setiap hari dari Pontianak sekitar jam 10:30 pagi menuju arah hulu Sungai Kapuas. Kapasitas

penumpang adalah 30 orang. Ongkos long boat Rp 170.000 per orang.

Transportasi sungai yang lain adalah perahu klotok yang berangkat sore hari dari Pontianak

dan tiba di Desa Labai Hilir sekitar jam 3 dinihari. Lokasi studi di Desa Labai Hilir dapat pula

dijangkau melalui transportasi darat dari Pontianak selama 5 jam, dengan biaya Rp 150.000

per orang.

2. Temuan-temuan Lapangan Mengenai Suku Bangsa, Sistem Tenurial, Sistem

Produksi, dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Tenurial

DESA LABAI HILIR, KECAMATAN SIMPANG HULU

Keadaan Desa Labai Hilir

Desa Labai Hilir merupakan desa yang terletak di pinggir Sungai Labai, dengan ciri khas permukiman

penduduk yang memadati pinggiran sungai. Sarana mandi, cuci dan kakus penduduk Desa Labai Hilir

sepenuhnya mengandalkan diri pada Sungai Labai yang pada saat musim hujan sering digelontori

limbah pembuangan pestisida dari perkebunan sawit dan limbah pembuangan tambang bauksit.

Kondisi Sungai Labai dapat dikatakan tidak layak untuk digunakan, karena selain memperoleh

gelontoran limbah pestisida sawit dan limbah tambang bauksit, sungai ini juga dipenuhi dengan

jajaran jamban/kakus dan kandang ternak babi penduduk.

Akses jalan darat untuk masuk ke Desa Labai Hilir harus melewati jalan kebun sawit dan jalan

tambang.

Sumber mata air di desa ini ada di Bukit Trap, berjarak sekitar 16 kilometer dari pusat desa. Sumber

mata air ini hanya bisa diakses oleh PT KUTJ2 dan terbatas untuk keperluan air minum PT KUTJ.

Penduduk terkadang dapat mengambil air bersih dari perusahaan.

Penduduk

Penduduk Desa Labai Hilir sudah dihuni oleh berbagai suku bangsa. Selain suku Dayak, desa ini juga

dihuni oleh suku Jawa, Bugis, Flores, dan lain-lain. Mayoritas penduduk Desa Labai Hilir adalah suku

Dayak Toba. Sementara suku-suku Dayak yang lain adalah: Dayak Mali, Manyuke, dan Ribun.

2 PT Karya Utama Tambangjaya (KUTJ) merupakan anak perusahaan langsung dari PT Cita Mineral Investindo

Tbk (CMI). Mulai beroperasi secara komersial di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang sejak bulan September 2008. Sementara PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM) yang juga merupakan anak perusahaan langsung dari PT CMI Tbk mulai beroperasi secara komersial di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang sejak Agustus 2005. Keduanya bergerak dalam pertambangan bauksit dan telah mempunyai Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi dari Bupati Ketapang. Kedua perusahaan ini berkantor pusat di Jakarta. Lihat dokumen “PT Cita Mineral Investindo Tbk dan Anak Perusahaan, Catatan Atas Laporan Keuangan Konsolidasian, Untuk Periode Enam Bulan Terakhir, Jakarta, tanggal 30 Juni 2011.”

Page 13: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

13

Pendatang yang bekerja di perusahaan bauksit selain dari penduduk lokal, juga berasal dari

beberapa suku dari luar Kalimantan.

Monografi desa belum dibuat dan belum tersedia. Karena Desa Desa Labai merupakan desa yang

baru ditetapkan sebagai desa definitif pada tahun 2010. Sebelumnya desa ini merupakan salah satu

dusun dari Desa Sekucing Labai, yang merupakan desa induk dan desa tertua di wilayah ini.

Penduduk Desa Labai Hilir, 377 KK. Foto diambil pada tanggal 10 November 2012 di Kantor Desa.

Pada saat ini, Desa Labai Hilir terdiri dari dua dusun, yakni: Dusun Labai Hilir dan Dusun Kucai. Lebih

dari 80% penduduk Desa Labai Hilir tinggal di Dusun Labai Hilir, yang umumnya dihuni oleh berbagai

suku bangsa.

Sementara untuk Dusun Kucai penduduknya 100% pendatang luar yang berasal dari Kabupaten

Sanggau. Dusun ini berjarak sekitar 1 jam dari pusat desa yang berada di Dusun Labai Hilir dengan

menggunakan transportasi sungai (motor tempel). Penduduk dari Kabupaten Sanggau banyak tinggal

di dusun ini karena letaknya dekat, tinggal menyeberangi Sungai Labai.

Tata Guna Tanah dan Kawasan Hutan

Masih ada hutan rimba dan hutan lindung di desa ini. Hutan rimba dialokasikan untuk pembukaan

ladang-ladang baru. Sementara hutan lindung difungsikan sebagai wilayah konservasi. Namun

keberadaan hutan rimba dan lindung di desa ini semakin terancam oleh kehadiran sejumlah

perusahaan baik tambang maupun HTI yang beroperasi di Desa Labai Hilir.

Ada dua jenis hutan di Desa Labai Hilir yang mulai dicuri-curi oleh perusahaan, yaitu:

Page 14: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

14

1. Hutan rimba (Bukit Tunggal)

2. Hutan cadangan/lindung (Bukit Trap)

Lokasi hutan rimba atau Bukit Tunggal berjarak sekitar lebih dari 10 kilometer dari pusat desa.

Sementara hutan cadangan/lindung atau Bukit Trap terletak sekitar 16 kilometer dari pusat desa.

Pada tahun 2010 ada perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang bernama PT DTK (Duta Tani

Kalbar) yang masuk Desa Labai Hilir berdasarkan penetapan kawasan hutan negara. Dan masyarakat

sedikit pun tidak tahu mengenai hal ini. Inilah yang dimaksudkan dengan pencurian hutan rimba dan

hutan lindung milik bersama desa oleh perusahaan.

Hutan adat atau hutan rimba harus tetap ada sebagai sarana mata pencaharian masyarakat untuk

mengambil hasil hutan non-kayu seperti rotan dan kayu madu, yang sekarang ini sudah dibabat

habis oleh perusahaan. Hutan rimba dan hutan rawa tetap harus dilestarikan agar sumber makanan

orang desa tetap terjaga.

Masuknya perusahaan PT DTK dan PT ATP ke Desa Labai Hilir

Pada saat ini, selain kehadiran perusahaan tambang seperti PT Harita dan PT KUTJ, Desa Labai Hilir

juga dimasuki oleh perusahaan konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) seperti PT DTK (Duta Tani

Kalbar) dan PT ATP (Asia Tani Persada).

AMDAL PT ATP untuk Desa Labai Hilir terbit pada tahun 2011. Sementara AMDAL PT ATP untuk Desa

Sekucing Kualan akan terbit pada tahun 2013. Pada saat studi ini berlangsung, keadaan di Desa

Sekucing Kualan sedang panas karena masalah pemberian sanksi adat kepada PT ATP yang tidak

disepakati oleh perusahaan. Sehingga menyebabkan masyarakat Desa Sekucing Kualan memblokade

jalan tambang yang biasa dilalui oleh masyarakat umum. Blokade ini juga ikut menyebabkan akses

jalan menuju Desa Kualan Hilir (Maraban) yang termasuk desa lokasi studi terhambat, sehingga

pengumpulan data primer untuk Desa Kualan Hilir ikut terhambat karena panasnya situasi konflik

agraria tersebut.

Luas konsesi PT DTK dan PT ATP digabungkan adalah sekitar 23.000 hektar. Sedangkan wilayah

konsesi PT DTK yang bersengketa di Desa Labai Hilir adalah seluas 15.100 hektar.

Penyelesaian Sengketa Tanah dengan Perusahaan

Penyelesaian sengketa tanah di kalangan suku Dayak Toba di Desa Labai Hilir dengan perusahaan

diselesaikan secara adat. Misalnya dengan memberikan denda adat kepada perusahaan yang

melakukan pelanggaran adat.

Pelanggaran adat yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya terkait dengan:

1. Ingkar janji untuk memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat sekitar seperti

penyediaan akses air bersih, kesehatan, pendidikan, listrik, dan sarana jalan.

2. Nilai ganti rugi tanah yang rendah.

3. Ingkar janji dalam hal pelibatan masyarakat sebagai tenaga kerja di perusahaan.

Walaupun dilibatkan, biasanya hanya bekerja sebagai tenaga kerja rendahan di dalam

perusahaan.

Page 15: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

15

Dibandingkan dengan PT KUTJ (tambang bauksit), masuknya PT ATP dan PT DTK pada tahun 2010

tanpa memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Mereka langsung membabat hutan rawa milik

desa dengan berbekal konsesi dari pemerintah semata.

Kelembagaan Sosial dan Penyelesaian Sengketa Tanah

Setiap suku Dayak mempunyai Temenggungnya (Kepala Adat) masing-masing. Termasuk Dayak Toba

dan Mali juga mempunyai kepala adatnya masing-masing.

Sengketa tanah antar penduduk diselesaikan oleh Temenggung. Sementara sengketa tapal batas

desa diselesaikan oleh Tim 8 yang dibentuk oleh Kabupaten.

Sengketa tapal batas desa pada awalnya disebabkan oleh adanya pemekaran desa. Karena desa

dimekarkan terlebih dahulu, baru batasnya ditetapkan kemudian.

Sistem Produksi dan Keadaan Sosial Ekonomi

Sebagian anak muda yang berusia produktif di desa bekerja menjadi karyawan perusahaan bauksit

PT KUTJ. Selain penduduk lokal, karyawan perusahaan tambang mengambil tenaga kerja dari pulau

Jawa. Kebanyakan ditempatkan di mess perusahaan.

Sementara para orang tua tetap menekuni ladang sebagai sumber pangan masyarakat. Untuk yang

masih berladang, mengandalkan padi gunung yang diproduksi sendiri untuk memenuhi kebutuhan

pangan beras.

Meskipun demikian, secara umum sayur mayur dan beras yang dikonsumsi oleh penduduk Desa

Labai Hilir didatangkan dari kota Pontianak. Harga beras pada saat studi ini dilakukan adalah Rp

11.000 per kilogram.

Bekas ladang yang ditanami karet dan kebun buah di Desa Labai Hilir sudah banyak dibeli oleh

perusahaan tambang bauksit. Sehingga hutan rimba yang ada menjadi target pembukaan ladang-

ladang penduduk untuk ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di desa ini.

Pada umumnya lokasi perladangan sebelum perusahaan tambang masuk berada dekat dengan

pemukiman penduduk. Di lokasi perladangan ini penduduk membuat pondok-pondok berladang di

tanah perladangan untuk menjaga ladangnya dari hama dan penyakit padi terutama menjelang masa

panen.

Biasanya mereka turun ke desa setelah berada di pondok-pondok ladang sekitar 2-3 bulan. Setelah

itu balik lagi ke pondok berladang.

Sungai Labai sebagai Pembatas Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sanggau

Sungai Labai – anak Sungai Kapuas—merupakan pembatas alam antara Kabupaten Ketapang dan

Kabupaten Sanggau. Jika diambil dari arah hilir, maka letak Kabupaten Sanggau terletak di sebelah

kiri Sungai Labai dan letak Kabupaten Ketapang berada di sebelah kanan Sungai Labai.

Page 16: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

16

Sistem Perladangan Setelah Perusahaan Beroperasi

Perladangan penduduk pada saat ini setelah masuknya perusahaan tambang bauksit dan HTI sering

menumpang berladang di Kabupaten Sanggau. Karena ladangnya semula yang terletak di Kabupaten

Ketapang yakni di Desa Labai Hilir sudah banyak yang dijual kepada perusahaan bauksit dan HTI.

Perladangan menumpang di kawasan orang lain (Kabupaten Sanggau) ini terutama mulai muncul

sejak tahun 2006, saat perusahaan tambang bauksit mulai beroperasi di Desa Labai Hilir. Umumnya

dilakukan penduduk desa yang bertempat tinggal di Dusun Labai Hilir dengan menyeberangi Sungai

Labai.

Bekas ladang-ladang warga banyak yang dibeli oleh perusahaan. Nilai ganti rugi tanah ladang rata-

rata mencapai Rp 300.000 per hektar. Ada juga yang nilai ganti ruginya di bawah itu.

Karenanya pada saat ini perladangan penduduk desa terutama yang tinggal di Dusun Labai Hilir yang

masih ada terletak di kanan-kiri Sungai Labai. Lokasi ini sering mereka sebut sebagai pantai yang

ditanami padi gunung tahan banjir dan jagung.

Tanah ladang Dayak Mali dan Toba di pinggiran Sungai Labai (pantai), 8 November 2012.

Dari segi perladangan, penduduk yang betul-betul masih berladang di Desa Labai Hilir yang tinggal di

Dusun Labai Hilir ada kurang lebih 20 KK dari sekitar 304 KK penduduk Dusun Labai Hilir. Tanah

ladang penduduk yang belum kena tambang umumnya tanah ladang penduduk RT 05 di lokasi

Pabonto. Sementara di Dusun Kucai situasinya cukup berbeda. Penduduk yang berladang masih

mayoritas, sekitar 100%.

Pada awalnya perusahaan hendak membuka tambang di Kecamatan Simpang Dua yang juga terletak

di Kabupaten Ketapang. Namun ditolak oleh penduduk, karena penduduk di kecamatan itu sudah

merasa cukup makmur dari hasil tanaman karet.

Page 17: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

17

Masalah Kesehatan dan Air Bersih

Air bersih untuk penduduk pernah dijanjikan oleh perusahaan tambang bauksit PT KUTJ. Namun

sampai sekarang belum pernah direalisasikan oleh perusahaan. Dan sebaliknya juga, pihak desa

(maksudnya Kepala Desa) belum pernah membicarakan hal ini untuk dipecahkan secara bersama-

sama.

Air bersih untuk keperluan desa sebetulnya dapat diambil dari sumber mata air di hutan lindung

adat (Bukit Trap). Tapi air bersih ini dimonopoli oleh PT KUTJ yang menggunakannya hanya untuk

keperluan karyawannya semata yang berada di perkantoran dan mess.

Tempat bongkar muat (pelabuhan) tambang bauksit perusahaan terletak di Kuala Labai. Sementara

jarak dari pelabuhan ke kantor perusahaan PT KUTJ adalah 1 kilometer.

Sungai Labai, andalan penduduk Desa Labai Hilir untuk transportasi sungai, ke ladang, mandi, cuci dan kakus (MCK) sehari-hari, 9 November 2012.

Pandangan Masyarakat terhadap Perusahaan Tambang Bauksit

Secara umum adanya perusahaan tambang bauksit PT KUTJ tidak menguntungkan masyarakat Desa

Labai Hilir, karena: (1) Hutan dan perladangan penduduk habis oleh pembukaan tambang bauksit. (2)

Sungai Labai tercemar oleh limbah buangan perusahaan sehingga menyebabkan banyak ikan yang

mati. Pada tahun 2011, ikan yang mati antara lain adalah ikan belidak dan kelabau (bersisik). (3)

Page 18: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

18

Lapangan kerja yang dijanjikan akan meningkatkan kesejahteraan penduduk ternyata tidak

terwujud. Karena hanya pekerjaan rendahan yang dapat diakses penduduk lokal.

Pada saat ini, ada program reklamasi konsesi tambang dari Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang

untuk menanam pohon sawit. Dinas Kehutanan menyarankan masyarakat bermitra dengan PT

Aditya Agroindo (perusahaan sawit yang beroperasi di Desa Sekucing Labai). Namun hal ini tidak

diterima oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Ketapang.

Mulai banyak penduduk yang menanam kelapa sawit dalam rangka paska tambang. Ada sekitar 30%

penduduk yang sudah mulai menanam sawit di lokasi eks tambang. Rata-rata mereka mulai

menanam tahun 2012. Bibit sawit umumnya dibeli di Tayan. Yang menanam sawit sejak lebih dari 4

tahun, sudah mulai panen sawit (buah pasir).

Di lokasi eks tambang, penduduk sudah pernah mencoba untuk menanam karet. Namun tidak

pernah berhasil. Karena sebagai tanah eks tambang, kesuburan tanahnya sudah habis. Bagian tanah

yang subur (top soil) atau OB sudah digunakan oleh perusahaan untuk membangun jalan tambang.

Masa Depan Operasi Tambang Bauksit

Dulu operasinya non-stop (24 jam). Sekarang sudah mulai sepi. Banyak warung penduduk yang

dulunya buka, sekarang banyak yang tutup.

Diperkirakan 5 tahun lagi operasi tambang bauksit akan berhenti beroperasi, seiring dengan semakin

habisnya kandungan tambang bauksit di daerah Desa Labai Hilir.

Sistem Kerja Kontrak dan Hak-hak Buruh Perusahaan Tambang di Desa Labai Hilir

Perusahaan kontraktor tambang PT LTM (Labai Teknik Metal) menerapkan sistem kerja kontrak dan

alih daya sehingga banyak merugikan hak-hak pekerja, terutama menyangkut hak-hak atas

tunjangan kesehatan keluarga dan pendidikan. Umumnya kontrak kerja yang ditandatangani dengan

pekerjanya adalah untuk masa kerja 3 bulan. Setelah itu bila pekerja yang bersangkutan tetap

bekerja di perusahaan itu, diberikan kontrak kerja baru lagi untuk masa 3 bulan.

Beberapa waktu yang lalu, perusahaan PT LTM pernah memecat 100% buruhnya dan dua hari

kemudian membuka kembali lowongan kerja. Ini merupakan taktik perusahaan untuk mengetatkan

penerapan sistem kerja kontrak dan alih daya.

Sementara itu, perusahaan tambang yang lain yang beroperasi di desa yang sama, yakni PT KUTJ

beberapa waktu juga melakukan pemecatan terhadap tenaga kerjanya. Total tenaga kerja PT KUTJ

semula berkisar sekitar 500 orang. Tenaga kerja lokalnya ada sekitar 50%. Setelah diadakan

pemecatan tenaga kerjanya tinggal 400 orang.

Banyak yang sebenarnya dipecat oleh perusahaan, terpaksa mengundurkan diri dari perusahaan,

sehingga perusahaan tidak perlu mengeluarkan uang pesangon. Pada saat ini, ada kurang lebih 200

orang tenaga kerja lokal dari Desa Labai Hilir yang bekerja di PT KUTJ.

Dari penuturan yang disampaikan responden, jam kerja di PT KUTJ adalah dari jam 7 pagi sampai

dengan jam 6 sore, dengan istirahat satu jam dari jam 12 sampai dengan jam 13. Artinya jam kerja di

PT KUTJ adalah rata-rata 10 jam per hari.

Page 19: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

19

Belum ada serikat buruh independen di dalam dua perusahaan ini. Oleh karenanya diperlukan

penyadaran mengenai hak-hak buruh, apalagi mengingat keterbelakangan lokasi yang jauh dari

akses bantuan hukum dan akses transportasi bila terjadi sengketa antara buruh dan perusahaan

tambang.

DESA SEKUCING LABAI, KECAMATAN SIMPANG HULU

Keadaan Desa Sekucing Labai

Perjalanan menuju Desa Sekucing Labai ditempuh dalam waktu lebih kurang dua jam perjalanan

darat atau berjarak sekitar lebih dari 70 kilometer dari Desa Labai Hilir, melalui jalan tambang

perusahaan bauksit PT KUTJ dan jalan perkebunan PT Aditya Agroindo. Ujung dari jalan ini adalah

jalan trans Kalimantan, di sekitar Jembatan Labai yang menghubungkan kota Pontianak dan kota

Balai Berkuak, ibukota Kecamatan Simpang Hulu.

Biaya perjalanan memakai mobil sewa dari Desa Labai Hilir menuju Desa Sekucing Labai (daerah

dekat Jembatan Labai) adalah Rp 60.000 per orang. Sementara untuk biaya perjalanan dari Desa

Labai Hilir menuju Pontianak adalah Rp 150.000 per orang dengan memakai mobil sewa (taksi).

Jalan tambang dan jalan perkebunan ini dulunya pada tahun 1996 dirintis pertama kalinya oleh

perusahaan kayu PT Kayu Mukti. Proyek rintisan jalan oleh perusahaan kayu ini sejauh 27 kilometer

tembus ke Dusun Bagan Kapas.

Keseluruhan jalan pada saat ini didominasi oleh jalan tambang dan kemudian diikuti oleh jalan

perkebunan dan diakhiri dengan ruas jalan arteri trans Kalimantan. Jalan tambang dan perkebunan

ini membelah hutan-hutan rimba dan hutan sekunder yang semula dikuasai oleh warga yang berada

di sekitar lokasi ini.

Di sepanjang kanan kiri jalan, terutama pada ruas jalan tambang, bekas-bekas pohon kayu yang

mengering akibat pengaruh obat pengeras jalan untuk jalan tambang tampak mendominasi

beberapa ruas jalan. Sementara pada ruas jalan kebun, sisa-sisa pohon kayu yang ditebang dari

hutan masih ditumpuk-tumpuk.

Page 20: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

20

Jalan tambang dari Desa Labai Hilir menuju Desa Sekucing Labai, 10 November 2012.

Kebun sawit PT Aditya Agroindo di jalan kebun menuju Desa Sekucing Labai, 10 November 2012.

Page 21: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

21

Penduduk

Desa Sekucing Labai dikenal di wilayah ini sebagai desa induk dan tua, sebelumnya terdiri dari 3

dusun, yaitu:

1. Dusun Labai Hilir.

2. Dusun Labai Tengah.

3. Dusun Labai Hulu.

Pada tahun 2010, Dusun Labai Hilir menjadi desa tersendiri menjadi Desa Labai Hilir. Jadi, pada saat

ini Desa Sekucing Labai hanya terdiri dari dua dusun, yaitu; Dusun Labai Tengah dan Dusun Labai

Hulu.

Penduduk Desa Sekucing Labai pada saat ini terutama didominasi oleh suku Dayak Desa. Selain itu,

suku-suku yang menetap di desa ini adalah Dayak Toba, dan rumpun suku Dayak yang lain.

Konsesi Sawit PT Aditya Agroindo di Desa Sekucing Labai

Desa Sekucing Labai dimasukioleh konsesi sawit PT Aditya Agroindo, yang mempunyai konsesi seluas

10.000 hektar. Dari konsesi seluas ini, ada sekitar 7.000 hektar hutan yang sudah dibuka oleh

perusahaan sawit ini, dan yang sudah ditanam mencapai seluas 5.000 hektar. Diperkirakan ada

sekitar 1.000 hektar yang sudah panen sawit untuk pertama kalinya yakni panen pasir.

Konsesi sawit PT Aditya Agroindo terletak di dalam hutan rimba dan hutan sekunder yang dulunya

milik Desa Sekucing Labai hingga kanan kiri jalan trans Kalimantan menuju arah Desa Baru Lombak

yang terletak di Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau.

Upah buruh yang berlaku di kebun kelapa sawit yaitu Rp 38.000 per hari. Upah buruh kebun kelapa

sawit ini lebih rendah dibandingkan dengan upah bekerja di kebun atau ladang milik pribadi

penduduk sebesar Rp 50.000 per hari.

Page 22: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

22

Konsesi sawit PT Aditya Agroindo di pinggir jalan trans Kalimantan di Desa Sekucing Labai, 10 November 2012.

Penyelesaian Sengketa Tanah

Di dalam sengketa tanah yang terjadi antar keluarga misalnya, umumnya diselesaikan dengan

musyawarah desa.

Sementara nilai denda adat biasanya dihitung dalam bentuk real. Ada denda adat yang disebut

“setengah hati” misalnya bila kita mengaku salah karena pohon yang sedang kita tebang merusak

kebun milik orang lain.

Sistem Sosial

Di desa ini masih berlaku nilai sosial yang memberikan perhatian terhadap orang yang

membutuhkan sesuatu. Misalnya orang yang kehausan atau kelaparan di tengah kebun atau ladang

dapat mengambil durian atau singkong yang ada, dengan memberikan semacam tanda kepada

pemilik kebun atau ladang. Seperti patahan ranting yang ditaruh di pondok ladang atau ditempat

yang mudah dilihat. Meskipun demikian, durian yang boleh dimakan di kebun durian orang lain,

tidak boleh dibawa pulang.

Hutan Lindung dan Hasil Hutan Non-Kayu

Di Desa Sekucing Labai, terdapat dua hutan lindung, yaitu:

1. Bukit Plaik, hutan lindung, yang merupakan milik persekutuan kecamatan termasuk Desa

Sekucing Labai.

2. Bukit Genilau, hutan lindung, yang airnya masih mengalir ke Desa Sekucing Labai.

Page 23: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

23

Sumber air bersih berada di dekat sungai, selain air hujan, sumur galian dan hutan lindung yang ada

dan air sungai.

Hasil hutan non-kayu terutama rotan sudah mulai habis. Seiring dengan menipisnya hutan setelah

beroperasinya perusahaan kayu dan kehadiran perkebunan kelapa sawit. Sementara sisa-sisa kayu

madu (lalau) yang dimiliki secara komunal masih bisa dimanfaatkan sebagai kayu penghasil madu

hutan.

Kayu madu (lalau) umumnya adalah:

Kayu Bengkiray

Kayu Plaik

Kayu Tapang, dapat mencapai 30 sarang per pohon

Berburu, sudah mulai berkurang. Sedangkan menangkap ikan di sungai masih dilakukan untuk

konsumsi keluarga sendiri melalui cara pasang pukat, pancing ataupun tajur yaitu pancing yang

ditinggal. Umumnya hasil tangkapan ikan dari sungai yang dikonsumsi sendiri adalah ikan parau.

Kebutuhan Hidup Orang Dayak Desa

Di Desa Sekucing Labai, orang sudah mulai membeli beras, dengan harga rata-rata Rp 9.000 per

kilogram. Biaya keperluan sehari-hari yang cukup berat adalah biaya solar untuk listrik. Rata-rata

solar yang digunakan dalam semalam dari jam 6 – 9 malam adalah sebanyak 3 liter. Dengan harga

solar per liter Rp 8.000 maka biaya solar untuk listrik adalah Rp 24.000 per malam.

Selain itu adalah biaya pendidikan atau sekolah untuk anak-anak yang semakin hari semakin besar

serta biaya kesehatan.

DESA BARU LOMBAK, KECAMATAN MELIAU, KABUPATEN SANGGAU

Migrasi Suku Dayak Desa

Suku Dayak Desa dari hasil observasi lapangan dan keterangan sejumlah responden, memang

banyak yang menyeberang ke Kabupaten Sanggau. Sebaliknya, suku Dayak Toba dan Mali

menyeberang ke Kabupaten Ketapang.

Desa Baru Lombak yang terletak di Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau dari keterangan

responden ternyata banyak ditempati oleh Suku Dayak Desa. Oleh karenanya kemudian Tim Studi

juga melakukan observasi lapangan dan wawancara di Desa Baru Lombak yang letaknya dipisahkan

oleh Sungai Labai.

Keadaan Desa Baru Lombak

Desa Baru Lombak terdiri dari beberapa dusun, salah satu di antaranya adalah Dusun Pelanjau.

Dusun Pelanjau terdiri dari 4 RT, di mana RT 03 yang ditempati oleh responden dihuni oleh sekitar

Page 24: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

24

30 pintu (KK = kepala keluarga). Mayoritas penduduk adalah Suku Dayak Desa. Sementara letak

Kantor Desa Baru Lombak sendiri berjarak sekitar 20 kilometer dari Dusun Pelanjau.

Secara umum Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau dapat disebut sebagai Raja Sawit, karena

hampir sekitar 80% daerah ini dikuasai oleh konsesi kebun sawit. Perusahaan-perusahaan sawit yang

beroperasi di kecamatan ini antara lain adalah: PT SJAL, BHD, AC, SDK, SBI, PTP, NSP.

Konsesi Sawit PT Sumatera Jaya Agro Lestari (SJAL) di Desa Baru Lombak

Secara keseluruhan, Desa Baru Lombak dan Dusun Pelanjau terkepung oleh konsesi kebun sawit

besar milik PT Sumatera Jaya Agro Lestari (SJAL). Pada tahun 2005 para petani yang sebelumnya

menanam karet menyerahkan tanah kepada PT SJAL. Hampir semua (90%) penduduk Dusun

Pelanjau yang berjumlah sekitar 100 KK telah menyerahkan kebun karet produktif kepada

perusahaan sawit PT SJAL.

Dalam Berita Acara Kesepakatan antara PT Sumatera Jaya Agro Lestari dan Masyarakat Pemilik

Lahan di Kecamatan Toba dan Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau pada tanggal 22 September

2005 disebutkan bahwa total tanah yang diserahkan oleh masyarakat pemilik tanah kepada

perusahaan akan dialokasikan sebagai berikut melalui pola kemitraan:

80% dijadikan kebun inti, jalan, perkantoran, pabrik dan kepentingan perusahaan lainnya

akan diberi ganti ganti rugi

20% dijadikan kebun plasma dan tidak diberi ganti rugi

Berita acara kesepakatan ini diketahui dan disahkan oleh Bupati Sanggau, dengan disaksikan oleh

antara lain para Camat Meliau dan Toba, Kapolsek Toba dan Danramil Meliau, Kadis Hutbun dan

Kepala Bappeda Kabupaten Sanggau.

Kebun karet yang diserahkan kepada perusahaan kemudian digolongkan oleh perusahaan dalam tiga

golongan yakni:

Tanah yang tidak ada pohon karet (tanah kosong)

Karet produktif

Karet non-produktif

Nilai ganti rugi tanah yang ditawarkan perusahaan adalah sebesar Rp 400.000 per hektar untuk

tanah kategori satu, yakni tanah kosong. Untuk tanah kategori dua, yakni tanah kebun non-produktif

atau baru ditanam satu tahun diberi ganti rugi sebesar Rp 600.000 per hektar. Dan untuk nilai ganti

rugi untuk tanah kategori tiga, yaitu kebun produktif diberi ganti rugi sebesar Rp 1.100.000 per

hektar.

Selain kebun karet milik perorangan, perusahaan juga mengambil tanah adat yang berada di dalam

kawasan hutan adat milik desa, yang transaksinya dilakukan oleh kepala adat dan tokoh masyarakat.

Ada sekitar 30 hektar hutan adat milik bersama yang diserahkan kepada perusahaan untuk dijadikan

kebun plasma perusahaan.

Setelah perusahaan beroperasi selama 6 tahun, kebun plasma yang dijanjikan oleh perusahaan akan

dibagikan kepada masyarakat belum terwujud. Oleh karenanya pada tahun 2011, masyarakat Desa

Baru Lombak melakukan demonstrasi di lokasi perkebunan PT SJAL dengan memblokade kebun

Page 25: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

25

sawit. Dalam menghadapi demonstrasi ini, perusahaan mendatangkan Brimob. Hasil dari

demonstrasi ini adalah pada tanggal 21 Juni 2011 perusahaan mengeluarkan surat untuk melakukan

konversi kebun plasma tahap 1 yang akan dilakukan pada bulan Februari 2012.

Pada saat ini masalah ganti rugi tanah sudah tidak lagi menjadi isu yang hangat di desa. Masalah

yang sedang menjadi masalah besar adalah masalah bagi hasil produksi. Menurut masyarakat, bagi

hasil produksi yang ada tidak mencukupi. Pada awalnya, perusahaan menjanjikan bagi hasil produksi

sebesar 20% kepada masyarakat. Namun ternyata dalam realisasinya perusahaan hanya

memberikan bagi hasil produksi sebesar Rp 100.000 per hektar kepada masyarakat pada tahun 2010.

Konsesi sawit PT Sumatera Jaya Agro Lestari (SJAL) pada awalnya meliputi 12.000 hektar yang

mencakup Desa Baru Lombak dan Desa Bagan Asam. Kemudian ada tambahan konsesi seluas 11.400

hektar yang mencakup Desa Baru Lombak dan Desa Kunyil. Sehingga total konsesi sawit PT SJAL

adalah seluas 23.400 hektar di Kecamatan Meliau.

Upah Kerja di Perusahaan Sawit PT Sumatera Jaya Agro Lestari (SJAL)

Responden untuk masalah upah kerja ini bekerja sebagai Pembantu Humas di perusahaan sawit

sejak tahun 2005. Sebagai Pembantu Humas dia bertugas untuk menyelesaikan persoalan yang

terjadi di antara perusahaan dan masyarakat.

Dari catatan pembayaran upah bulanan yang disampaikannya kepada Tim Studi, untuk periode 16

s/d 30 September 2011, sebagai pembantu humas PT SJAL dia mendapatkan pembayaran bulanan

sebagai berikut:

Setiap hari kerja mendapatkan upah kerja hari biasa sebesar Rp 35.868. Sehingga untuk kerja selama

25 hari mendapatkan upah sebesar Rp 992.250. Ditambah dengan insentif kerajinan sebesar Rp

10.000 per hari. Sehingga jumlah insentif yang diperolehnya dalam 25 hari kerja adalah Rp 250.000.

Dengan demikian, total upah kerja yang diterimanya sebelum dipotong astek dan tunjangan bensin

adalah Rp 1.242.250. Potongan Astek (Asuransi Tenaga Kerja) adalah Rp 19.845 ditambah dengan

potongan uang bensin sebesar Rp 148.750. Total potongan upahnya adalah Rp 168.595. Sehingga

secara keseluruhan, upah kerja yang diterimanya pada bulan September 2011 setelah dikurangi

potongan Astek dan bensin adalah Rp 1.073.655.

Sistem Perladangan Suku Dayak Desa

Suku Dayak Desa masih mengandalkan diri pada sistem perladangan berputar. Rata-rata pemilikan

dan penguasaan tanah ladang suku Dayak Desa untuk satu ladang berputar adalah seluas 1 hektar.

Selain berladang, suku Dayak Desa juga mengandalkan diri pada komoditas tanaman karet, yang

rata-rata ditanam sejak tahun 1960-an. Rata-rata orang Dayak Desa di Desa Baru Lombak sudah

menyerahkan satu ladang berputar (satu ladang rotasi) kepada perusahaan sawit PT SJAL. Sedangkan

ladang berputarnya yang masih tersisa tetap digunakan untuk berladang.

Umumnya ladang yang terletak di hamparan tanah yang datar dikerjakan oleh perempuan (ibu-ibu).

Untuk ladang yang terletak diperbukitan dikerjakan oleh laki-laki.

Beras diproduksi sendiri di ladang. Tapi hanya cukup untuk akhir tahun. Sisanya dibeli, dengan harga

beras saat studi ini dilakukan sekitar Rp 10.000 per kilogram.

Page 26: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

26

Ladang tipe gilir balik orang Dayak Desa, 11 November 2012.

Populasi

Di Desa Baru Lombak, jumlah populasi yang tercatat pada tahun 2012 kurang lebih 2.000 jiwa.

Sementara jumlah pemilih ada sekitar 1.444 jiwa.

Asal-usul Suku Dayak Desa

Asal usul suku Dayak Desa menurut penuturan yang disampaikan responden berasal dari Jawa

Melaka. Kemudian menyebar ke Batu Ampar (Kubu Raya). Setelah itu berpindah lagi ke Bunbun dan

Durian Sebatang. Kemudian berpindah lagi ke Laway Labai dan Bukit Trap. Di daerah Bukit Trap

disebutkan ada sejumlah peninggalan orang Jawa. Lalu pada perpindahan terakhir, suku Dayak Desa

berpindah ke Gadai (kampung tua), sebelum berpindah-pindah lagi dalam kelompok yang kecil-kecil

ke kampung-kampung dan dusun-dusun yang ada sekarang.

Dari Gadai ada yang berpindah-pindah ke kampung Nek Bindang, Nek Raong dan Nek Lembu. Desa

Anggadai yang terletak di Kecamatan Meliau ditempati oleh asli suku Dayak Desa.

Di Kampung Nek Bindang Blungai yang masih ada rumah adat dan berjarak sekitar 40 kilometer dari

Dusun Pelanjau juga dihuni oleh suku Dayak Desa.

Page 27: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

27

Suasana diskusi antara Tim Studi Link-AR Borneo dengan Suku Dayak Desa di Dusun Pelanjau, Desa Baru Lombak, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, 11 November 2012.

Suku Dayak Desa Melawan Penjajahan Jepang

Salah satu pahlawan Kalimantan Barat di masa penjajahan Jepang yakni Pang Suma berasal dari suku

Dayak Desa. Kampung Nek Bindang adalah kampung kelahiran Pang Suma, yang bernama asli

Mendera. Nek Bindang merupakan pemukiman lama dari suku Desa, sebelum berpindah ke daerah

yang dikenal sekarang sebagai Desa Baru Lombak Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Anak cucu

Pang Suma sampai sekarang masih bertempat tinggal di kampung Nek Bindang yang terletak dekat

Tayan.

Dari Kampung Nek Bindang, suku Desa berpindah ke Dusun Pelanjau dan kemudian Kampung

Pemasak pada tahun 1991. Orang Kampung Pemasak kebanyakan keturunan Pang Suma (Dayak

Desa).

Letak kampung Nek Bindang kurang lebih sekitar 7 kilometer dari Dusun Pelanjau, di balik Gunung

Engkalat dan Gunung Bawang. Kampung Nek Bindang berada di Desa Baru Lombak. Pemukiman di

Baru Lombak mulai banyak sekitar tahun 1993.

Adiknya Pang Suma yaitu Nek Mandak, Nek Betup dan Nek Sayang tinggal di Jembatan Labai, Dusun

Labai Hulu, Desa Sekucing Labai, Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang. Sementara

keturunan Pang Linggan dan Pang Rangon (keduanya suku Dayak Desa) tinggal di Dusun Pelanjau

dan kampung Nek Bindang, Desa Barulombak, Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Pang Linggan

Page 28: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

28

yang nama aslinya Ajun merupakan abang dari Pang Suma. Pang Linggan juga merupakan pahlawan

Kalbar dari suku Dayak Desa yang bersama-sama Pang Suma dan Pang Rangon melawan Jepang pada

tahun 1945.

Secara keseluruhan, ada 6 pahlawan lokal dari Suku Dayak Desa yang melawan Nipon dengan

memenggal 5 kepala orang perwira Nipon pada tahun 1945, sewaktu Nipon memasuki daerah

Sekucing Labai yakni:

1. Pang Suma

2. Pang Yo

3. Pang Dosi

4. Pang Linggan

5. Pang Rangon

6. Pang Rati

Oleh anak cucu keturunannya, keenam pahlawan Suku Dayak Desa ini sedang diperjuangkan agar

peran mereka dalam melawan penjajahan Jepang lebih dihargai oleh Pemerintah Indonesia. Rujukan

mengenai sejarah suku Dayak Desa dan pahlawan lokal ini dapat ditelusuri dari buku “Sejarah Pang

Suma tentang Penyerahan 5 Tengkorak Jepang”. Saksi sejarah yang menyerahkan tengkorak ini

adalah Pak Katta (74 tahun) orang Dayak Desa yang bertempat tinggal di Balai Berkuak, ibukota

Kecamatan Simpang Hulu.

Tata Guna Tanah dan Kawasan Suku Dayak Desa

1. Perladangan.

2. Kebun Karet.

3. Pemukiman.

4. Hutan adat desa, sudah tidak ada lagi di Desa Baru Lombak, sudah habis oleh sawit.

5. Hutan lindung, di Desa Baru Lombak sudah tidak ada lagi, karena sudah habis oleh sawit.

6. Kebun buah milik bersama dan campuran dengan pemilikan perorangan, yakni Gunung

Engkalat dan Gunung Bawang. Merupakan pusat produksi buah di Desa Barulombak. Di balik

kedua gunung ini terletak kampung Nek Bindang yang merupakan desa pedalaman Suku

Dayak Desa. Di kedua gunung masih terdapat para penyembah (pedagi) yang melakukan

ritual adat pada saat buah berbunga dan buah masak.

Kelembagaan sosial dan mekanisme adat

Yang melanggar aturan, akan diberikan hukuman adat. Denda adat umumnya diberikan dalam

bentul real. Nilai 1 real adalah sebesar Rp 100.000. Untuk orang biasa, denda adat adalah 1 real.

Sedangkan untuk ketua adat dan temenggung diberikan denda sebesar dua kali lipat, yaitu dua real.

Masalah-masalah yang tidak mampu diselesaikan oleh kepala adat, biasanya diselesaikan di tingkat

dusun. Jika belum berhasil, maka diselesaikan di tingkat Temenggung. Bila temenggung tidak mampu

menyelesaikan, maka diserahkan kepada tingkat desa. Pada tingkat terakhir sebelum dilimpahkan ke

sistem peradilan, masalah yang belum berhasil diselesaikan pada tingkat desa, diserahkan kepada

Dewan Adat Dayak (DAD).

Page 29: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

29

Masalah yang ditangani di tingkat kepala adat termasuk juga masalah tanah antar keluarga dan

pencurian.

DESA GERAI, KECAMATAN SIMPANG DUA, KABUPATEN KETAPANG

Penduduk

Suku bangsa minoritas yang menetap di Desa Gerai atau Gema (Gerai Mantuk) kebanyakan adalah

suku Dayak Gorai. Dengan jumlah penduduk desa Gema adalah sekitar 500 KK.

Sistem Produksi

Sistem produksi di kalangan suku Dayak Gorai pada umumnya mengandalkan diri pada tiga jenis

sistem produksi yaitu perladangan gilir balik, kebun karet, dan kebun sawit rakyat. Perladangan gilir

balik (berputar) umumnya untuk ditanami tanaman pangan seperti padi gunung, jagung, dan

singkong. Sistem produksi ini telah lama menjadi kebiasaan pertanian di kalangan Dayak Gorai,

semenjak sistem produksi berburu dan meramu hasil hutan merosot.

Sementara itu, pada bekas-bekas ladang warga biasanya menanam karet yang telah ditanam sejak

tahun 1960-an di daerah Gerai Mantuk. Hasil karet digunakan untuk memenuhi kebutuhan uang

tunai sehari-hari.

Penduduk juga sudah mulai menanam kelapa sawit di bekas-bekas ladangnya sejak beberapa tahun

terkakhir. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh maraknya perkebunan kelapa sawit yang mulai

mendekati lokasi Desa Gema.

Tata Guna Tanah dan Kawasan Suku Dayak Gorai

Tata guna tanah dan kawasan di Desa Gema terdiri dari:

1. Hutan lindung adat/air terjun tujuh lapis. Hutan lindung adat yang di dalamnya terdapat

air terjun tujuh lapis menjadi sumber mata air penduduk Desa Gema yang disalurkan

melalui pipa-pipa paralon ke rumah-rumah penduduk.

2. Perladangan. Untuk ditanami tanaman pangan seperti padi dan palawija serta singkong.

Dikuasai secara perorangan atau keluarga.

3. Bekas ladang. Umumnya digunakan untuk menanam pohon karet dan sawit rakyat.

4. Kebun durian nenek moyang orang Gorai (orang luar bisa nyandau, mengambil durian

yang jatuh dari pohonnya pada saat musim durian). Letak kebun durian nenek moyang

ada sekitar 6 kilometer dari pemukiman penduduk. Ada sekitar 5.000 pohon durian di

dalam kebun durian nenek moyang ini.

5. Hutan sekunder. Bekas HPH PT Hutan Raya tahun 1980-an, yang pada saat ini dijadikan

ladang-ladang baru.

6. Perkebunan karet rakyat. Tanaman karet digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-

hari di luar keperluan pangan. Penduduk sudah mulai menanam pohon karet sejak tahun

1960-an.

7. Perkebunan sawit rakyat. Kecenderungan penduduk menanam sawit merupakan

perkembangan baru, yaitu sejak mulai masuknya perkebunan besar kelapa sawit yang

Page 30: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

30

sudah mulai masuk di kawasan sekitar desa Gema. Desa ini sendiri belum dimasuki oleh

konsesi perkebunan besar kelapa sawit.

8. Pemukiman, terdiri dari pemukiman baru dan pemukiman lama (bekas-bekas rumah

adat/betang/laman).

9. Sungai yang masih jernih airnya dan dipakai untuk keperluan air bersih, mandi dan cuci.

Kerja Perladangan dan Sistem Sosial

Kerja wajib bersama berupa regu kerja bersama di ladang masih merupakan tradisi yang tetap

dipelihara di suku Dayak Gorai. Ini yang disebut sebagai gotong royong wajib atau pengari atau

arisan kerja. Bentuknya saling tukar tenaga kerja untuk mengerjakan ladang seseorang. Kemudian

sebaliknya, orang yang dibantu tadi wajib memberikan tenaga kerjanya kepada tetangganya yang

sedang bekerja di ladang. Biasanya yang dibantu hanya memberikan makan dan minuman saja

kepada orang-orang yang membantunya mengerjakan ladang, tanpa memberikan upah.

Sistem sosial lain yang masih berlaku di suku Dayak Gorai adalah nyandau, yang artinya orang luar

suku dapat menikmati hasil kebun durian nenek moyang orang Gorai. Namun hasil kebun durian

milik bersama ini hanya boleh digunakan untuk konsumsi sendiri. Sayangnya saat ini, tradisi nyandau

ini mulai digerogoti oleh kedatangan orang dari luar suku Dayak Gorai yang memanfaatkan kebaikan

sistem sosial ini dengan memperdagangkan hasil kebun durian untuk kepentingan keuntungan

mereka sendiri.

Masalah-masalah yang terjadi di kalangan suku Gorai masih mengandalkan mekanisme adat dalam

penyelesaiannya. Termasuk masalah-masalah tanah dan keluarga. Pada saat ini konsesi sawit dan

tambang belum memasuki wilayah Desa Gema. Walaupun di era tahun 1980-an perusahaan kayu PT

Hutan Raya pernah membabat hutan rimba di desa ini.

Page 31: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

31

Ladang Suku Dayak Gorai ditanami padi gunung dan jagung, di Desa Gema, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, 12 November 2012.

DESA BALAI BERKUAK, KECAMATAN SIMPANG HULU, KABUPATEN KETAPANG

Asal Usul Suku Dayak Desa

Menurut responden, yang merupakan keturunan ke-13 dari suku Dayak Desa (orang Dayak Desa)

yang masuk Ketapang dan menetap di Balai Berkuak Kecamatan Simpang Hulu sejak tahun 1965,

populasi suku Dayak Desa lebih banyak berada di Kecamatan Sandai Kabupaten Ketapang daripada

di Kecamatan Simpang Hulu.

Pusat populasi suku Dayak Desa adalah Desa Randau Jekak, Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang.

Dengan jumlah populasi sekitar 6.000 jiwa. Sementara di kecamatan yang lain di Kabupaten

Ketapang jumlahnya lebih sedikit, yakni rata-rata 2.000 jiwa per satu desa. Waktu yang dibutuhkan

untuk mencapai Kecamatan Sandai dari Balai Berkuak adalah 2 jam.

Sebaran suku Dayak Desa di Kabupaten Ketapang adalah:

1. Kecamatan Sandai (6.000 jiwa)

2. Kecamatan Sukadana

3. Kandang Kerbau

4. Tanah Rentap

5. Tanjung Tuba

6. Muara Jekak

7. Hulu Keriau

Page 32: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

32

Menurut penuturannya, asal pertama kali suku Dayak Desa adalah kepindahan dari Jawa (Pulau

Jawa), yang kemudian mendarat di Bunbun di Mayak (Pulau Mayak Karimata-pesisir). Dari Bunbun

Mayak (Ketapang) kemudian berpindah lagi ke daerah-daerah berikut ini di Kabupaten Ketapang:

1. Tambak Rawang, Kecamatan Sukadana

2. Sukadana, Kecamatan Sukadana

3. Batu Bekajang, Kecamatan Sukadana

Dari Tambak Rawang dan Batu Bekajang, kemudian berpecah lagi menuju:

1. Labai Laway (Kualan)

2. Kandang Kerbau (Ketapang Kota-Desa Sukabangun), yang kemudian menyebar lagi ke

Sandai, Melamu dan Labai.

Anggota Tim Studi Link-AR Borneo sedang melakukan wawancara dengan Pak Lorentius Katta di Desa Balai Berkuak mengenai suku bangsa Dayak Desa dan sistem penguasaan tanahnya, 14 November 2012.

Sistem Perladangan, Kawasan Hutan dan Tata Guna Tanah Suku Dayak Desa

Tanah ladang yang dibuka dari hutan rimba merupakan pemilikan keluarga atau perorangan.

Sementara hutan yang merupakan milik adat atau hutan adat terbagi dalam dua kategori:

1. Hutan bungas atau hutan adat berupa hutan rimba, yang masih banyak terdapat kayu

bengkiray, dan lain-lain.

Page 33: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

33

2. Hutan bawas atau hutan muda menjadi ladang perorangan atau keluarga setelah dibuka.

Pada saat ini banyak orang-orang yang mengaku mempunyai hutan bungas untuk diperjualbelikan

kepada perusahaan. Padahal sudah disepakati di kalangan suku Dayak Desa bahwa hutan bungas

(hutan rimba adat) merupakan milik bersama bukan milik perseorangan atau keluarga.

Tanah ladang umumnya pertama kali dibuka dari hutan bungas (hutan rimba). Dalam membuka

hutan bungas untuk dijadikan tanah ladang seluas 4 hektar misalnya saat ini dibutuhkan biaya

sekitar Rp 3 juta, terutama untuk biaya menebang dan menebas hutan bungas.

Kawasan hutan bungas yang dibuka untuk tanah perladangan ini memang dalam kenyataannya tidak

mempunyai surat-menyurat tanah atau kelengkapan administrasi pertanahan. Karena bukti

penguasaan atas tanah ladang biasanya berupa bukti sosial yakni saksi-saksi yang melihat pada saat

saat hutan itu dibuka untuk menjadi ladang dan batas-batas alam yang menandai batas penguasaan

dari pemilik tanah ladang yang bersangkutan.

Tanah ladang umumnya ditanami padi gunung, singkong dan tebu. Sementara bekas ladang ditanami

karet. Pada umumnya karet ditanam sejak tahun 1960-an.

Penyelesaian Sengketa Tanah dan Mekanisme Adat

Bila terjadi masalah tanah di antara warga pada umumnya diselesaikan menurut adat. Namun

terdapat dua jenis adat, yakni lemah dan keras. Maksudnya adat lemah adalah meskipun benar,

seringkali yang lemah dikalahkan. Sebaliknya, meskipun salah, jika kuat sering dimenangkan perkara

adatnya.

Sengketa tanah antara warga terjadi karena: patok atau batas alam ditandai oleh orang lain.

Sengketa tanah semacam ini biasanya diselesaikan secara berjenjang atau bertingkat, yaitu:

1. Di tingkat RT (Rukun Tetangga) diselesaikan oleh Singa atau kepala adat tingkat RT.

2. Di tingkat dusun diselesaikan oleh Ria atau kepala adat tingkat dusun.

3. Di tingkat desa diselesaikan oleh Temenggung atau kepala adat tingkat desa.

Sengketa tanah antara masyarakat dengan perusahaan biasanya terjadinya karena penggusuran

hutan bawas (tanah ladang atau kebun) ataupun hutan bungas (rimba) oleh perusahaan.

Biasanya dalam kasus semacam ini, perusahaan yang bersangkutan dikenakan hukuman adat

berupa sanksi yang dihitung dalam bentuk uang. Istilah adat dalam hal ini dikenal sebagai “Babi

hutan mengalahkan babi rumah”. Di mana perusahaan diibaratkan sebagai “babi hutan” dan

penduduk diibaratkan sebagai “babi rumah”. Kalau perusahaan tidak setuju untuk membayar denda

adat yang telah ditetapkan penduduk, biasanya perusahaan yang bersangkutan didemo oleh

penduduk. PT Aditya Agroindo (perusahaan kebun kelapa sawit) yang beroperasi di Kecamatan

Simpang Hulu sudah pernah dihukum adat di Desa Sekucing Labai sebesar Rp 150 juta.

Rata-rata denda hukum adat yang ditetapkan penduduk kepada perusahaan adalah sebesar Rp 50 –

150 juta per orang. Untuk hukum adat yang senilai Rp150 juta biasanya berupa tanah yang isinya

komplit seperti mempunyai:

Kebun buah

Page 34: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

34

Tembawang (kuburan)

Kayu madu

Karet

Ladang

Penetapan dan Pemberian Hukum Adat untuk Perusahaan

Dalam penetapan dan pemberian hukum adat kepada perusahaan, dapat terjadi dalam dua bentuk

berikut ini yaitu:

1. Setelah denda adat dibayar oleh perusahaan, maka tanah atau ladang tersebut beralih

menjadi lokasi kebun perusahaan. Ini merupakan proses peralihan hak tanah kepada

perusahaan melalui pemberian ganti rugi tanah kepada pemilik tanah sebelumnya.

2. Ada juga setelah denda adat dibayar, tanah tetap dipertahankan oleh pemiliknya.

Sengketa tanah yang terjadi dengan perusahaan juga dapat terjadi karena: tanah milik kita ikut

terukur oleh perusahaan ketika mengukur tanah orang lain, padahal kita sebenarnya tidak

bermaksud menjual tanah yang ikut terukur tersebut.

Setelah pembayaran denda adat yang disaksikan Temenggung Adat biasanya masalah selesai. Dalam

penetapan denda itu, temenggung menjatuhkan bentuk hukuman kepada perusahaan dan

menetapkan pula jumlah atau besaran sanksi adatnya.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Tanah antar Penduduk

Penyelesaian sengketa tanah antar penduduk di kampung diselesaikan dengan cara adat. Biasanya

hukuman yang dijatuhkan kepada penduduk adalah sebesar 20 real. Nilai 1 real adalah setara Rp

10.000 di kalangan orang Desa.

Kalau yang bersangkutan tidak terima atas denda adat itu, maka tiga orang kepala adat dari berbagai

jenjang yaitu Temenggung (tingkat desa), Ria (tingkat dusun) dan Singa (tingkat RT) diminta hadir

kembali untuk memastikan batas-batas penguasaan tanah dan ladang yang sedang disengketakan

antar warga tadi.

Biasanya hukuman adat yang dikenakan dalam kasus semacam ini dinamakan olas (barang saksi).

Yakni barang perdamaian berupa pembayaran denda adat yang lebih besar. Umumnya memberikan

denda adat berupa ayam, tuak, minum dan makan kepada ketiga tetua adat.

Jika warga yang bersangkutan tetap juga tidak menerima hukuman itu,maka dikenakan denda adat

dua kali lipat. Yakni harus membayar denda berupa babi, tuak tajaw (keras), karena melawan

Temenggung. Nilai babi adalah 4 real = 60 kilogram. Pesta tuak tajaw dan makan minum sehari

semalam yang dihadiri oleh orang banyak harus diadakan sebagai bentuk hukuman adat yang

dikenakan terhadap orang yang bersangkutan.

Kelembagaan Adat dan Denda Adat kepada Pemerintah

Kelembagaan adat ada dua yakni Dewan Adat Dayak (DAD) untuk tingkat kota dan Temenggung

untuk tingkat desa.

Page 35: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

35

Kantor polisi Balai Berkuak pada bulan Agustus 2011 pernah dibakar massa karena soal adat.

Anggota polisi Balai Berkuak melakukan tindakan tercela terhadap perempuan Dayak Kualan/Dayak

Balai. Setelah pembakaran kantor polisi, Kapolres harus membayar denda kepada kepala adat

sebesar Rp 35 juta.

DESA SEKUCING KUALAN, KECAMATAN SIMPANG HULU

Penduduk dan Suku Bangsa di Desa Sekucing Kualan

Penduduk Desa Sekucing Kualan umumnya campuran, yaitu terdiri dari suku Dayak: Mali, Ahe,

Ribun, Kualan, dan Toba. Yang paling banyak menetap di Desa Sekucing Kualan adalah suku Dayak

Toba, yakni sekitar 400 KK (kepala keluarga). Dayak Toba disebut juga Sepodek (bahasa kampung),

berasal dari Sungai Kapuas.

Desa Sekucing Kualan terdiri dari tiga dusun, yaitu:

1. Dusun Sekucing Bulin, pusat desa, kebanyakan dihuni oleh Dayak Toba, dengan kepala

dusun Pak Dewa (orang Bali).

2. Dusun Kuala Melawi, dihuni oleh 60 KK Dayak Toba, selain itu juga ada Dayak Kancing,

kepala dusun Pak Iwan.

3. Dusun Selimbung.

Page 36: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

36

ANALISIS TERHADAP HASIL-HASIL TEMUAN LAPANGAN

1. Sistem Produksi Suku Bangsa Minoritas

Sistem produksi yang dimaksudkan di sini adalah cara berproduksi masyarakat untuk menghasilkan

barang-barang kebutuhan hidupnya. Barang-barang yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup

masyarakat pada prinsipnya terbagi dalam dua bagian besar yaitu barang-barang yang dihasilkan

dari dunia pertanian seperti produk pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Dan barang-

barang yang dihasilkan dari dunia industri seperti pakaian, alat-alat transportasi, dan lain-lain.

Secara umum, sistem produksi yang terkait pemanfaatan dan pengolahan tanah dan sumber daya

alam atau singkatnya sistem produksi pertanian di kalangan suku-suku bangsa minimal dapat

mencakup meramu hasil-hasil hutan, berburu, dan berladang (berputar maupun menetap).

Untuk konteks Indonesia, sistem produksi masyarakat yang mengandalkan peramuan hasil-hasil

hutan dan berburu terutama di empat pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua

(Irian Jaya) sudah mulai merosot kedudukannya, karena sistem produksi semacam ini sangat

mengandalkan hutan ramuan dan kawasan berburu yang luas dan subur. Padahal kawasan berburu

dan hutan ramuan di Indonesia sejak tahun 1967 sudah hampir habis dihancurkan oleh konsesi

industri kayu, pertambangan dan kemudian dilanjutkan oleh konsesi perkebunan skala raksasa.

Memang di beberapa tempat baik di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua masih ada

suku bangsa minoritas yang mengandalkan diri pada sistem produksi peramuan hasil hutan dan

berburu, tetapi sifatnya sudah sangat terbatas dan terisolasi. Sehingga kedudukan sosial ekonomi

dari suku bangsa minoritas yang menganut sistem produksi ini sudah sangat lemah. Apalagi dewasa

ini hak-haknya atas tanah dan hutan semakin hari semakin terancam oleh perampasan tanah di

dalam era krisis umum imperialisme yang harus terus mencari tanah dan kawasan hutan untuk

kepentingan pengembangan energi nabati dan pangan skala raksasa.

Untuk bertahan hidup, maka sistem produksi yang dipertahankan oleh suku bangsa minoritas adalah

sistem pertanian ekstensif yaitu sistem perladangan, baik perladangan gilir balik (perladangan rotasi

atau berputar) maupun sistem perladangan menetap. Pada umumnya di dalam tahapan

perkembangan sistem produksi suku-suku bangsa minoritas, sistem perladangan gilir balik atau

rotasi mendahului sistem perladangan menetap. Karena di dalam sistem perladangan gilir balik

membutuhkan kawasan perladangan atau tanah yang cukup luas untuk ditanami bahan-bahan

pangan maupun komoditas pertanian lainnya.

Akibat semakin menciutnya kawasan perladangan gilir balik, muncullah kemudian sistem produksi

perladangan menetap di mana di dalam suatu kawasan tanah, atau kebun ataupun ladang ditanami

tanaman jangka panjang seperti kebun karet, kopi ataupun coklat selain ditanami tanaman pangan.

Karena perbedaan alam dan tingkat kesuburan tanah, serta perbedaan di dalam perkembangan

tenaga produksi di dalam masyarakat pertanian di beberapa pulau di luar Pulau Jawa maka pada

umumnya suku-suku bangsa minoritas di luar Pulau Jawa amat sulit untuk menerapkan sistem

produksi pertanian intensif menetap di tanah basah (sistem produksi persawahan), di dalam upaya

panjangnya untuk bertahan hidup dari serangan agresi kapitalisme di lapangan agraria. Beberapa

Page 37: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

37

upaya yang pernah dilakukan oleh para transmigran dari Jawa yang datang ke Pulau Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi dan Papua untuk mengubah tanah pertanian di empat pulau ini menjadi tanah

pertanian sawah seperti di Pulau Jawa kerap mengalami kegagalan pertanian yang menghancurkan.

Dihadapkan dalam situasi semacam ini maka tidak ada pilihan bagi suku-suku bangsa minoritas

terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua kecuali mempertahankan sistem

produksi pertanian ekstensif perladangan gilir balik maupun menetap. Karena dewasa ini hanya

sistem produksi pertanian model ini yang masih mungkin dipertahankan di kalangan suku-suku

bangsa minoritas agar keberadaan kehidupannya tetap berlangsung.

Sistem produksi meramu dan berburu yang sebelumnya merupakan sistem produksi utama yang

diandalkan oleh suku-suku bangsa minoritas sudah hampir mengalami kepunahan akibat rusaknya

ekosistem hutan yang dihancurkan oleh Orde Baru selama hampir lebih dari 30 tahun. Bila pada

kolonial Belanda yang berlangsung selama lebih dari 300 tahun, ekosistem hutan yang dirusak baru

mencakup seluruh hutan di Pulau Jawa dan sebagian hutan di Pulau Sumatera yang diubah menjadi

tanah-tanah untuk perkebunan-perkebunan besar dan pertambangan, maka pada masa Orde Baru

seluruh ekosistem hutan pada seluruh hutan di lima pulau besar Indonesia (Jawa, Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi dan Papua) mengalami kerusakan hutan yang tidak akan mungkin terpulihkan

lagi selamanya. Jika periode perusakan hutan ini digabungkan seluruhnya sejak era kolonial Belanda

sampai dengan era sekarang yakni perusakan hutan di era otonomi daerah, maka hutan Indonesia

telah mengalami perusakan selama kurang lebih 417 tahun lamanya, dengan tingkat kerusakan

terberat berturut-turut di alami pada masa Orde Baru, era SBY dan era pembukaan hutan untuk

perkebunan besar (tembakau, karet, tebu, dan teh) dan pertambangan di masa kolonial Belanda.

Konsesi HPH, HTI, penetapan kawasan taman nasional, pertambangan dan perkebunan besar telah

merusak total sistem produksi meramu dan berburu ini. Seperti yang telah banyak disampaikan oleh

para ahli kehutanan, untuk menumbuhkan kembali hutan tropis Kalimantan misalnya membutuhkan

waktu ribuan tahun. Sehingga tidaklah mungkin bagi suku-suku bangsa minoritas termasuk suku-

suku Dayak di Pulau Kalimantan untuk mempertahankan sistem produksi meramu dan berburu,

karena ekosistem hutannya sudah tidak ada lagi.

Pilihan untuk mempertahankan sistem produksi perladangan gilir balik maupun menetap, saat

inipun sedang mengalami gempuran yang tidak ada habis-habisnya dari agresi kapitalisme di

lapangan agraria. Jadi yang diserang sesungguhnya di dalam skema perampasan tanah kaum

imperialis saat ini adalah sistem produksi pertanian lokal yang masih bertahan, yang menjadi

andalan kehidupan suku-suku bangsa minoritas. Begitu sistem produksi pertanian lokal tersebut

hancur, maka hancurlah kehidupan suku-suku bangsa minoritas.

Dari temuan-temuan lapangan di dalam studi ini terlihat jelas bagaimana agresi kapitalisme dalam

bentuk industri pertambangan bauksit dan hutan tanaman industri mengubah bentang alam dan

menghancurkan kehidupan sosial di kalangan suku bangsa minoritas di Desa Labai Hilir. Desa ini

mengalami kehancuran kehidupan yang luar biasa cepat, dari yang semula adalah dominan peladang

menetap dan gilir balik menjadi pekerja tambang bauksit. Karena tambang bauksit mempunyai

keterbatasan cadangan, maka operasi tambang ini sudah dapat diperkirakan akan berhenti

beroperasi di dalam beberapa tahun mendatang. Sementara lapisan tanah bagian atas di wilayah ini

yang semula subur dan dapat ditanami berbagai produk pertanian, sekarang hanya bisa ditanami

pohon kelapa sawit, yang terkenal rakus air. Di lokasi eks tambang, penduduk tidak berhasil

Page 38: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

38

menanam pohon karet, yang secara tradisional merupakan tanaman andalan kehidupan bagi suku-

suku bangsa minoritas Dayak sejak lama.

Demikian pula halnya di Desa Sekucing Labai. Desa ini sesungguhnya sudah habis terkepung ekspansi

perkebunan besar kelapa sawit PT Aditya Agroindo dan tambang bauksit PT KUTJ. Hutan-hutan

rimba dan sekunder yang sebelumnya merupakan sumber penghidupan utama masyarakat telah

berubah konturnya menjadi perkebunan besar kelapa sawit. Sebelum sawit dan tambang masuk,

hutan-hutan di desa ini telah dihancurkan melalui konsesi kayu HPH pada tahun 1996. Sebagian

besar masyarakat yang sebelumnya menggantungkan diri sebagai pekebun karet dewasa ini telah

menjadi buruh upahan kebun sawit dengan upah yang rendah, yaitu Rp 38.000 per hari.

Perubahan sistem produksi pertanian lokal juga terlihat dengan jelas di kalangan suku Dayak Desa di

Desa Baru Lombak. Bila sebelumnya mereka merupakan pemilik tanah dengan sistem produksi

peladang menetap dengan berkebun karet, dengan hadirnya perusahaan sawit PT Sumatera Jaya

Agro Lestari (SJAL) pada tahun 2005 statusnya berubah. Banyak yang telah berubah menjadi buruh

upahan kebun sawit perusahaan dan juga bermasalah dengan sistem bagi hasil produksi yang

diterapkan oleh perusahaan yang dianggap merugikan mereka.

Dari temuan lapangan, yang masih agak bertahan sistem produksi pertaniannya adalah suku Dayak

Gorai di Desa Gerai. Tiga jenis sistem produksi pertanian lokal yaitu perladangan gilir balik,

perladangan menetap kebun karet, dan perladangan menetap kebun sawit rakyat masih menjadi

andalan suku Dayak Gorai di Desa Gerai. Perladangan gilir balik (berputar) umumnya untuk ditanami

tanaman pangan seperti padi gunung, jagung, dan singkong. Ketiga model sistem produksi pertanian

lokal ini telah lama menjadi kebiasaan pertanian di kalangan Dayak Gorai, semenjak sistem produksi

berburu dan meramu hasil hutan merosot kedudukannya. Hasil karet dan sawit rakyat digunakan

untuk kebutuhan uang tunai sehari-hari. Meskipun demikian patut dicatat bahwa hutan rimba desa

ini pernah menjadi target operasi industri kayu HPH PT Hutan Raya pada tahun 1980-an. Demikian

pula ekspansi kebun sawit raksasa semakin dekat menjangkau wilayah ini, walaupun pada saat ini

(November 2012) belum berhasil memasuki wilayah Desa Gerai.

Desa-desa yang lain seperti Desa Sekucing Kualan dan Desa Kualan Hilir, juga mengalami serangan

yang brutal terhadap sistem produksi pertanian lokal yang masih dipertahankannya. Sehingga

penduduk dari dua desa ini melakukan blokade jalan terhadap rencana perluasan tambang dan

tanaman industri yang hendak memasuki wilayahnya pada saat studi ini berlangsung. Akibat

keadaan ini, pengumpulan data primer yang memadai mengenai kedua desa ini sangat terhambat.

Serangan mematikan terhadap sistem produksi pertanian lokal yang dianut oleh suku-suku bangsa

minoritas selalu dimulai dari pokok persoalan di dalam masalah agraria yakni masalah hak atas tanah

(land tenure rights), yang akan menjadi bahasan berikut ini.

2. Sistem Tenurial Suku-suku Bangsa Minoritas

Sistem tenurial yang dimaksudkan di sini adalah sistem penguasaan dan pemilikan atas tanah dan

sumber daya alam. Dengan demikian, sistem tenurial mendefinisikan bagaimana status hukum dari

suatu penguasaan dan pemilikan atas tanah dan sumber daya alam atau sumber-sumber agraria di

dalam masyarakat.

Page 39: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

39

Sistem tenurial (sistem penguasaan tanah) sangat erat kaitannya dengan sistem produksi yakni cara

masyarakat menghasilkan barang-barang yang dibutuhkannya, seperti yang telah kita uraikan di

depan. Misalnya cara berproduksi ladang berputar hampir selalu membutuhkan sistem penguasaan

tanah luas yang dikerjakan secara ekstensif. Sebaliknya, sistem penguasaan tanah yang sempit yang

dikerjakan secara intensif, umumnya mencirikan cara berproduksi atau sistem pertanian menetap.

Sistem pertanian menetap dan intensif di atas tanah basah (sawah) misalnya adalah sistem produksi

pertanian yang dilakukan oleh petani-petani di Pulau Jawa, sejak ratusan tahun yang lalu.

Oleh karena itu, sistem tenurial mengatur siapa yang menguasai atau memiliki tanah, hutan, rawa-

rawa, kebun ataupun sungai. Karena dari situlah barang-barang yang dibutuhkan manusia dihasilkan

atau diproduksi. Sistem tenurial juga membicarakan siapa yang berhak atau boleh memanfaatkan

sumber daya alam tertentu dan berapa lama pemanfaatan tersebut. Inilah yang dimaksudkan

dengan kepastian tenurial (tenurial security) yang biasanya menjadi pegangan di dalam

menyelesaikan sengketa-sengketa terkait tenurial atau penguasaan atas tanah dan sumber daya

alam.

Di kalangan suku-suku bangsa minoritas, sistem tenurial dan kepastian tenurial pada umumnya

terkait pada siapa yang menguasai dan memiliki tanah dan kawasan hutan tertentu. Pembukaan

hutan primer yang biasanya dikuasai secara bersama (hak perdata bersama) untuk dijadikan tanah

perladangan keluarga atau perorangan hampir disepakati oleh banyak suku bangsa sebagai proses

terjadinya hak perdata perseorangan atau hak milik atas tanah. Dalam proses selanjutnya, maka

orang itu menegaskan hak milik atas tanah sebatas yang ditanaminya itu bagi diri sendiri dan

kemudian keluarganya. Penegasan terhadap penguasaan dan pemilikan tanah itu biasanya dilakukan

dengan menanam kebun buah, budidaya rotan, dan batas-batas alam lainnya.

Hak milik perorangan dan hak milik bersama atas tanah dan sumber daya alam maupun batas-batas

alamnya sebagai sistem tenurial masyarakat atau dalam hal ini sistem tenurial suku-suku bangsa

minoritas seringkali tidak diakui oleh sistem tenurial negara. Dengan mudahnya negara memberikan

hak-hak baru yang sifatnya nasional dan berlaku merata di seluruh Indonesia, seperti HPH, HTI, HGU

maupun konsesi pertambangan ataupun penetapan kawasan taman nasional tertentu di atas tanah-

tanah yang secara fisik telah dikuasai dan dimanfaatkan turun-temurun oleh masyarakat setempat.

Inilah sumber sengketa tenurial yang bersifat struktural karena melibatkan masyarakat dengan

pemerintah dan badan usaha. Dalam banyak kasus, negara atau administrasi pemerintahan pada

semua level seringkali membela dan bahkan mewakili kepentingan badan-badan usaha ketika terjadi

konflik tenurial semacam ini.

Meskipun demikian tentu saja terdapat sengketa tenurial yang bersifat internal, antara anggota

masyarakat atau keluarga di dalam kampung ataupun sengketa tanah antara anggota keluarga di

dalam satu keluarga misalnya menyangkut tanah warisan ataupun sengketa tapal batas antar

kampung.

Page 40: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

40

2.1 Sistem Tenurial Dayak Desa

Sistem tenurial Dayak Desa umumnya terdiri dari pemilikan perorangan atau keluarga atas kebun

karet dan ladang gilir balik serta pemilikan dan penguasaan bersama atas hutan adat desa. Rata-rata

pemilikan perorangan untuk pembukaan satu ladang gilir balik adalah sekitar 1 (satu) hektar. Proses

terjadinya pemilikan perorangan atas kebun karet dan ladang gilir balik adalah melalui pembukaan

hutan rimba milik bersama untuk dijadikan tanah-tanah ladang perorangan atau keluarga.

Di dalam sistem tenurial Dayak Desa, hutan yang merupakan milik adat atau hutan adat terbagi

dalam dua kategori:

1. Hutan bungas atau hutan adat berupa hutan rimba, yang masih banyak terdapat kayu

bengkiray, dan lain-lain.

2. Hutan bawas atau hutan muda menjadi ladang perorangan atau keluarga setelah dibuka.

Pada saat ini banyak orang-orang yang mengaku mempunyai hutan bungas untuk diperjualbelikan

kepada perusahaan. Padahal sudah disepakati di kalangan suku Dayak Desa bahwa hutan bungas

(hutan rimba adat) merupakan milik bersama bukan milik perseorangan atau keluarga.

Tanah ladang umumnya pertama kali dibuka dari hutan bungas (hutan rimba). Dalam membuka

hutan bungas untuk dijadikan tanah ladang seluas 4 hektar misalnya saat ini dibutuhkan biaya

sekitar Rp 3 juta, terutama untuk biaya menebang dan menebas hutan bungas.

Kawasan hutan bungas yang dibuka untuk tanah perladangan ini memang dalam kenyataannya tidak

mempunyai surat-menyurat tanah atau kelengkapan administrasi pertanahan. Karena bukti

penguasaan atas tanah ladang biasanya berupa bukti sosial yakni saksi-saksi yang melihat pada saat

saat hutan itu dibuka untuk menjadi ladang dan batas-batas alam yang menandai batas penguasaan

dari pemilik tanah ladang yang bersangkutan.

Tanah ladang umumnya ditanami padi gunung, singkong dan tebu. Sementara bekas ladang ditanami

karet. Pada umumnya karet ditanam sejak tahun 1960-an.

Saat ini terdapat pemilikan kebun karet perorangan yang mencapai lebih dari 20 (dua puluh) hektar.

Kenyataan ini di lapangan ditemui di Desa Sekucing Labai (100 hektar) dan Desa Balai Berkuak (20

hektar). Hal ini tentu mencerminkan kecenderungan semakin terjadinya konsentrasi penguasaan dan

pemilikan tanah secara perorangan pada beberapa orang tertentu. Untuk mengerjakan tanah kebun

seluas itu, maka biasanya sang pemilik tanah juga ikut mengajak orang lain bekerja di tanah kebun

karetnya dengan memakai sistem upah kerja dengan upah Rp 50.000 per hari.

2.2 Sistem Tenurial Dayak Toba

Di kalangan Dayak Toba, pembukaan ladang-ladang untuk dijadikan tanah milik perorangan

umumnya dimulai dengan membuka hutan rimba yang ada. Memang sedari awal dari segi tata guna

tanah dan kawasan, hutan rimba dialokasikan untuk pembukaan ladang-ladang baru orang Toba.

Page 41: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

41

Sementara hutan lindung difungsikan sebagai wilayah konservasi. Namun keberadaan hutan rimba

dan lindung semakin terancam oleh kehadiran sejumlah perusahaan baik tambang maupun HTI yang

beroperasi di Desa Labai Hilir, yang banyak dihuni oleh suku bangsa minoritas Dayak Toba.

Bekas ladang yang ditanami karet dan kebun buah di Desa Labai Hilir sudah banyak dibeli oleh

perusahaan tambang bauksit. Sehingga hutan rimba yang ada menjadi target pembukaan ladang-

ladang penduduk untuk ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di desa ini.

Keadaan ini menggambarkan bahwa di kalangan Dayak Toba terutama yang tinggal di Desa Labai

Hilir, akibat hadirnya perusahaan tambang bauksit dan hutan tanaman industri telah merusak sistem

tenurial semula yang dianut oleh masyarakat lokal. Sudah tidak ada pembedaan antara sistem

pemilikan perorangan dan sistem pemilikan bersama atas tanah dan sumber daya alam seperti yang

pada umumnya berlaku di kalangan suku-suku bangsa minoritas. Semuanya menjadi diinvidualkan,

sehingga mudah untuk diperjualbelikan kepada perusahaan-perusahaan yang masuk dan hendak

membeli tanah dan hutan.

Bekas ladang-ladang warga banyak yang dibeli oleh perusahaan. Nilai ganti rugi tanah ladang rata-

rata mencapai Rp 300.000 per hektar. Ada juga yang nilai ganti ruginya di bawah itu.

Pada umumnya lokasi perladangan sebelum perusahaan tambang masuk berada dekat dengan

pemukiman penduduk. Di lokasi perladangan ini penduduk membuat pondok-pondok berladang di

tanah perladangan untuk menjaga ladangnya dari hama dan penyakit padi terutama menjelang masa

panen.

Perladangan penduduk pada saat ini setelah masuknya perusahaan tambang bauksit dan HTI sering

menumpang berladang di Kabupaten Sanggau. Karena ladangnya semula yang terletak di Kabupaten

Ketapang yakni di Desa Labai Hilir sudah banyak yang dijual kepada perusahaan bauksit dan HTI.

Perladangan menumpang di kawasan orang lain (Kabupaten Sanggau) ini terutama mulai muncul

sejak tahun 2006, saat perusahaan tambang bauksit mulai beroperasi di Desa Labai Hilir.

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa perubahan sistem tenurial suku bangsa minoritas Dayak

Toba yang menetap di Desa Labai Hilir didorong terutama oleh proses jual beli tanah milik

perorangan maupun bersama kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah ini

terutama perusahaan tambang bauksit PT KUTJ (Karya Utama Tambangjaya) dan perusahaan HTI PT

DTK (Duta Tani Kalbar) dan PT ATP (Asia Tani Persada).

2.3 Sistem Tenurial Dayak Gorai

Perladangan yang umumnya dikuasai secara perorangan atau keluarga ditanami dengan tanaman

pangan seperti padi gunung, singkong dan palawija. Ladang-ladang ini dibuka untuk pertama kalinya

dari hutan-hutan rimba yang ada di sekitar kampung, termasuk hutan adat durian di Desa Gerai.

Sementara bekas perladangan biasanya ditanam dengan tanaman karet dan kebun sawit rakyat.

Sistem tenurial Dayak Gorai pada tahun 1980-an pernah dimasuki oleh konsesi industri kayu melalui

HPH PT Hutan Raya. Bekas konsesi industri kayu ini sekarang menjadi hutan sekunder yang pada saat

ini oleh masyarakat dijadikan lokasi untuk pembukaan ladang-ladang baru.

Page 42: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

42

Di kalangan suku Dayak Gorai sampai saat masih terdapat arisan kerja bersama di atas tanah-tanah

ladang milik tetangganya. Ini berupa regu kerja bersama di ladang, dengan sistem upah yang

didominasi oleh pemberian makanan dan minuman buat yang sedang bekerja di tanah ladang. Selain

itu, ada sistem sosial lain yang disebut nyandau, di mana orang dari luar suku dapat mengambil

durian yang jatuh dari pohon dan kebun durian milik nenek moyang suku Gorai.

3. Mekanisme Penyelesaian Konflik Tenurial

Di kalangan suku Dayak Desa, penyelesaian sengketa tanah antar penduduk di kampung diselesaikan

dengan cara adat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan kepada penduduk adalah sebesar 20 real. Nilai

1 real adalah setara Rp 10.000 di kalangan orang Desa.

Kalau yang bersangkutan tidak terima atas denda adat itu, maka tiga orang kepala adat dari berbagai

jenjang yaitu Temenggung (tingkat desa), Ria (tingkat dusun) dan Singa (tingkat RT) diminta hadir

kembali untuk memastikan batas-batas penguasaan tanah dan ladang yang sedang disengketakan

antar warga tadi. Dan kemudian mengambil keputusan yang adil atas persoalan yang sedang

diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Sementara sengketa tanah antara masyarakat dengan perusahaan biasanya terjadinya karena

penggusuran hutan bawas (tanah ladang atau kebun) ataupun hutan bungas (rimba) oleh

perusahaan.

Biasanya dalam kasus semacam ini, perusahaan yang bersangkutan dikenakan hukuman adat

berupa sanksi yang dihitung dalam bentuk uang. Istilah adat dalam hal ini dikenal sebagai “Babi

hutan mengalahkan babi rumah”. Di mana perusahaan diibaratkan sebagai “babi hutan” dan

penduduk diibaratkan sebagai “babi rumah”. Kalau perusahaan tidak setuju untuk membayar denda

adat yang telah ditetapkan penduduk, biasanya perusahaan yang bersangkutan didemo oleh

penduduk. PT Aditya Agroindo (perusahaan kebun kelapa sawit) yang beroperasi di Kecamatan

Simpang Hulu sudah pernah dihukum adat di Desa Sekucing Labai sebesar Rp 150 juta.

Pada suku Dayak Gorai penyelesaian terhadap masalah-masalah yang terjadi masih mengandalkan

mekanisme adat dalam penyelesaiannya. Termasuk masalah-masalah tanah dan keluarga.

Untuk penyelesaian sengketa tanah di kalangan suku Dayak Toba di Desa Labai Hilir dengan

perusahaan diselesaikan secara adat. Misalnya dengan memberikan denda adat kepada perusahaan

yang melakukan pelanggaran adat.

Pelanggaran adat yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya terkait dengan:

1. Ingkar janji untuk memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat sekitar seperti

penyediaan akses air bersih, kesehatan, pendidikan, listrik, dan sarana jalan.

2. Nilai ganti rugi tanah yang rendah.

3. Ingkar janji dalam hal pelibatan masyarakat sebagai tenaga kerja di perusahaan.

Walaupun dilibatkan, biasanya hanya bekerja sebagai tenaga kerja rendahan di dalam

perusahaan.

Page 43: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

43

Sengketa tanah antar penduduk diselesaikan oleh Temenggung. Sementara sengketa tapal batas

desa diselesaikan oleh Tim 8 yang dibentuk oleh Kabupaten. Sengketa tapal batas desa pada awalnya

disebabkan oleh adanya pemekaran desa. Karena desa dimekarkan terlebih dahulu, baru batasnya

ditetapkan kemudian.

Page 44: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

44

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan

Dalam situasi yang terus berubah ini, pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam memberikan

konsesi-konsesi untuk penguasaan dan pemanfaatan tanah, hutan ataupun perairan harus cermat

agar konsesi-konsesi yang diberikannya tidak bertabrakan dengan klaim atau hak yang sudah ada

sebelumnya di dalam masyarakat.

Masalah-masalah tenurial yang timbul pada umumnya meliputi pertentangan klaim antara berbagai

pihak terhadap hak atas tanah, kawasan hutan maupun perairan yang sama. Masalah-masalah itu

sampai sekarang belum terpecahkan dengan baik. Bahkan semakin rumit karena dewasa ini,

pemberian izin lokasi untuk investasi di sektor sumber daya alam telah didelegasikan pada tingkat

pemerintahan kabupaten, sementara konsesi-konsesi sebelumnya seperti HPH, HTI ataupun HGU

yang dikeluarkan pada tingkat nasional juga belum terpecahkan konflik tenurialnya.

Pemecahan masalah tenurial atau pemecahan masalah status hak atas tanah dan hutan sangat

penting baik bagi pemerintah, sektor swasta, apalagi bagi masyarakat dalam hal suku bangsa

minoritas yang selama ini telah banyak diabaikan hak-hak dasarnya di dalam pembangunan. Karena

pemecahan masalah tenurial merupakan dasar untuk pemecahan masalah pengelolaan hutan.

Masalah tenurial merupakan kepastian hukum tentang hak atas tanah dan sumber daya alam.

Sistem penguasaan dan pemilikan atas tanah, kawasan hutan, dan rawa-rawa yang berlaku di

kalangan suku bangsa Dayak Desa dan Toba seperti yang telah ditemukan dan dianalisis dalam studi

tenurial ini memperlihatkan bahwa sistem penguasaan tanah yang dulu sepenuhnya bersifat

komunal seperti terhadap penguasaan kawasan hutan dan rawa-rawa yang dikuasai dan dimiliki

secara bersama-sama oleh kampung dan masyarakat, pada saat ini sedang mengalami kehancuran

yang luar biasa. Perubahan itu berupa munculnya klaim-klaim baru yang datang dari perorangan

atau keluarga tertentu atas tanah, kawasan hutan, dan rawa-rawa yang pada umumnya dikuasai dan

dimiliki secara bersama-sama (komunal) atau yang biasa dikenal sebagai hak perdata bersama.

Kemunculan klaim-klaim tenurial yang baru yang berwatak perorangan atau individual ini

berlangsung dalam tingkatan yang berbeda-beda karena perbedaan sistem produksinya.

Sistem produksi di kalangan suku Gorai dalam studi tenurial ini masih didominasi oleh sistem

perladangan gilir balik (berputar) dan perladangan menetap kebun karet dan kebun sawit rakyat.

Karena sebagian besar masyarakat masih mempunyai tanah yang cukup memadai untuk menjadi

andalan kehidupannya, maka klaim-klaim tenurial yang baru di kalangan suku Dayak Gorai belum

begitu mendominasi kehidupan masyarakat.

Di kalangan suku Toba sistem produksinya yang semula didominasi peladang gilir balik sekarang

sudah berubah menjadi buruh upahan perusahaan tambang bauksit. Sistem tenurialnya sama sekali

sudah berubah total, dari yang semula dimiliki oleh perorangan dan komunal masyarakat saat ini

menjadi dimiliki oleh perusahaan tambang bauksit dan perusahaan hutan tanaman industri (HTI).

Akibat situasi semacam ini, tanah-tanah yang sebelumnya disepakati secara bersama oleh warga

Page 45: Laporan Riset Simpang Hulu Kalbar

45

menjadi tanah milik bersama pada saat ini semakin banyak diaku-aku oleh warga sebagai tanah

miliknya pribadi untuk maksud diperjualbelikan kepada perusahaan-perusahaan yang masuk

melakukan investasi di wilayah ini.

Sementara di kalangan suku Dayak Desa, terutama yang menetap di Desa Baru Lombak, sistem

produksinya masih bersifat campuran, yakni peladang menetap kebun karet dan buruh upahan

kebun sawit perusahaan. Sistem penguasaan tanahnya masih sebagian dimiliki oleh suku Dayak

Desa, karena mereka hanya menyerahkan satu rotasi ladang – dari beberapa rotasi ladang yang

umumnya dipunyai warga—kepada perusahaan sawit pada saat terjadi transaksi jual beli tanah.

Namun saat studi ini dilakukan terdapat gejala yang sangat mengkhawatirkan di suku Dayak Desa

yang menghuni Desa Sekucing Labai dan Desa Balai Berkuak, yaitu terjadinya konsentrasi

penguasaan tanah kebun karet secara individual di kalangan warga. Bahkan ada warga yang

menguasai tanah kebun karet seluas 100 hektar di Desa Sekucing Labai dan kemudian untuk

mengerjakan tanah seluas itu dia harus menggunakan tenaga buruh upahan kebun karet.

Konsentrasi penguasaan tanah secara individual serupa ini sudah merupakan gejala umum yang

terjadi di pantai utara utara Pulau Jawa atas tanah-tanah pertanian sawah yang subur di wilayah itu

sejak tahun 1970-an.

2. Rekomendasi

Berdasarkan temuan-temuan lapangan, analisis dan kesimpulan yang telah disampaikan, maka

berikut dapat disampaikan rekomendasi-rekomendasi hasil studi:

1. Penetapan wilayah-wilayah yang penguasaannya semula adalah kawasan dan tanah milik

warga menjadi kawasan hutan negara untuk kepentingan hutan tanaman industri dan

tambang di wilayah-wilayah lokasi studi yang dilakukan secara sewenang-wenang harus

dihentikan, terutama di Desa Labai Hilir, Sekucing Kualan, dan Kualan Hilir.

2. Untuk Desa Labai Hilir yang sistem produksinya sudah berubah drastis dari semula peladang

gilir balik menjadi buruh upahan perusahaan tambang, perlu diadakan pendidikan dan

pelatihan mengenai hak-hak buruh di dalam usaha pertambangan, agar jam kerja dan hak-

haknya dapat lebih terjamin.

3. Untuk Desa Baru Lombak, masyarakat perlu dibantu di dalam memastikan hak-hak warga di

dalam pembagian hasil produksi dengan perusahaan sawit PT Sumatera Jaya Agro Lestari

(SJAL) dapat lebih terjamin.

4. Untuk Desa Sekucing Labai, warga yang bekerja sebagai buruh kebun sawit PT Aditya

Agroindo perlu dibantu untuk memperjuangkan peningkatan upah buruh kebun sawit.

5. Secara umum, pemerintahan pada tingkat pusat dan tingkat provinsi dan kabupaten harus

mengakui dan menghargai adanya sistem tenurial yang berlaku di kalangan suku-suku

bangsa yang sistem pembuktian haknya sangat berbeda dengan sistem pembuktian di dalam

sistem tenurial dan administrasi pertanahan nasional.