LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGIMORFIN
Kelompok C-7Bernadina Novindra Surat Lewowerang 102011303Maria
Sunvratys 102011313Satrio Adiras Putra 102011323Gita Puspitasari
102011327Christopher 102011333Daniel Hosea102011358Dilianty
AnugerahMana 102011366Olivia Christy Kaihatu 102011370Stefanus
Jonathan102011376
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl.Arjuna
Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp.021-569 42061 Fax 021-563
1731
A. Latar BelakangDalam blok neuroscience, untuk ilmu farmakologi
mahasiswa akan belajar mengenai obta-obat yang dipakai untuk
penyakit saraf dan jiwa, serta penyalahgunaan obat (drug abuse).
Masalah drug abuse merupakan masalah besar bagi generasi usia
remaja dan kematian akibat over dosis (OD) kian bertambah tiap
tahunnya. Untuk itulah dipilih praktikum mengenai morfin yang
metodenya telah dikenal melalui praktikum selama ini. Dalam
praktikum ini digunakan hewan kelinci sebagai hewan coba yang
memperlihatkan efek morfin paling mirip pada manusia,
memperlihatkan efek depresi nafas yang dapat timbul pada kelebihan
dosis morfin (OD), serta pemberian antidotum yang dapat segera
mengatasi depresi nafas tersebut. Juga akan memperlihatkan efek
yang berlainan pada berbagai spesies (species difference), antara
lain kucing, tikus dan mencit. Sebelum melaksanakan praktikum ini
mahasiswa harus menguasai teori tentang morfin,
reseptor-reseptornya, efek farmakologinya, indikasinya, sifat
agonis, agonis partial, antagonis partial dan antagonis murni.
B. Sasaran belajar 1. Melihat efek morfin, terutama depresi
nafas, miosis dan gejala lain yang terjadi pada over dosis ( OD )
pada manusia, yang diperlihatkan pada kelinci. 2. Memperlihatkan
efek species difference akibat morfin pada berbagai hewan coba. 3.
Memperlihatkan efek antidotum pada keracunan/ over dosis morfin. 4.
Melatih mahasiswa menghitung dosis yyang tepat yang akan diberi
pada masing- masing hewan coba dan memberi suntikan yang tepat
sesuai petunjuk. C. Persiapan1. Hewan coba : kelinci, tikus putih,
mencit dan kucing. 2. Obat-obatan: larutan morfin 4%, kafein
benzoate 4%, dan larutan nalokson. 3. Alat-alat : timbangan hewan
coba, baskom plastic, penggaris, semprit, dan kandang hewan. 4.
Dosis larutan morfin 4% yang akan diberikan pada hewan coba :
Kucing : 20mg/kgbb Kelinci : 0,5 ml/kgbb Tikus : 40-60mg/kgbb
Mencit : 40 mg/kgbb Nalokson : untuk kelinci 0,01 mg/kgbb (=0,2ml )
5. Cara perhitungan dosis yang akan disuntikkan : Misalnya : BB
mencit = X gram X/1000 x 40 mg = Y mg Larutan 40% ialah 40 mg/1 ml
Yang akan disuntikkan = Y/40 x 1 = Z mlD. Tatalaksana1. Efek
overdosis morfin dan antidoktumnya\Untuk memperlihatkan efek morfin
pada manusia seperti sedasi, lemas, dan miosis terutama gejala
overdosis (OD) morfin dimana terjadi trias intoksikasi akut :
depresi nafas, miosis hebat dan koma, maka observasi pada kelinci
paling tepat menggambarkan hal tersebut.A. Kelinci1. Ambillah
seekor kelinci, perlakukan hewan coba dengan baik dan tidak
kasar.2. Timbanglah kelinci anda dengan timbangan hewan coba dengan
akurat dan catat.3. Lakukan observasi parameter dasar: sikap
kelinci, reflex otot, diameter pupil kanan dan kiri, hitung
frekuensi pernafasan dan denyut jantung, kelakukan kelinci. Sikap
kelinci : biasanya lincah, jalan-jalan di meja laboratorium Refleks
otot: tariklah (jangan terlalu keras) tungkai kaki depannnya,
normal biasanya ada tahanan Diameter pupil diukur dalam kondisi
cahaya yang constant Frekuensi nafas dapat dihitung dengan meraba
dada kelinci atau dengan menghitung kembang-kempinya cuping
hidungnnya.Karena frekuensi nafas kelinci cepat maka hitunglah
menit kemudian kalikan 4 Denyut jantung dihitung dengan meraba
bagian dada bawah tubuh kelinci.4. Setelah seluruh parameter dasar
selesai, hitunglah berapa ml, larutan morfin yang akan disuntik
pada kelinci dengan cara perhitungan diatas.5. Mintalah pada
instruktur larutan morfin 4% yang akan disuntik, dalam semprit yang
telah disediakan.6. Lakukan tindakan asepsis, dengan mengosok
tempat suntikan dengan larutan alcohol 70%.7. Suntikan larutan
morfin 4% yang sesuai dengan perhitungan untuk kelinci anda secara
subkutan di daerah subscapula.Pastikan seluruh cairan morfin tadi
masuk ke dalam tubuh kelinci dan tidak ada yang tercecer keluar.8.
Biarakan kelinci tetap diatas meja laboratorium, dan lakukan
observasi seluruh parameter tiap 5 menit.9. Bila frekuensi
pernafasan telah 20X/menit, laporkan pada instruktur dan mintalah
larutan kafien benzoate 0,5ml dan suntikan secara subkutan pada
daerah subscapula.10. Bila frekuensi pernafasan tetap turun sampai
kurang dari 15X/menit, laporkan pada instruktur agar disuntikan
nalorfin 0,2ml pada vena marginalis kelinci.11. Perhatikan pada
saat terjadi overdosis pada kelinci yang ditandai dengan : depresi
pernafasan, miosis, dan sikap kelinci menjadi cemas, tonus otot
sangat menurun, maka beberapa detik setelah penyuntikan nalorfin,
maka kelinci akan pulih seperti semula; aktif, tonus otot baik,
frekuensi nafas normal.
2. Efek spesies difference morfinSelanjutnya untuk
memperlihatkan adanya spesies difference pada morfin, kita
menggunakan beberapa hewan coba yang akan memperlihatkan efek yang
berlawanan dari kelinci yang mengalami depresi, beberapa jenis
binatang seperti kucing, kuda, mencit dan tikus akan mengalami efek
eksitasi.Efek muntah oleh morfin yang disebabkan rangsangan pada
medulla oblongata dapat diperhatikan pada anjing, namun sudah tidak
dilakukan lagi karena anjing tersebut akan sangat menderita.A.
Tikus1. Ambil dan timbanglah berat badan tikus putih dan taruh
dalam baskom plastic.2. Hitunglah dosis larutan morfin 4% yang akan
diberikan sesuai berat badan tikus dengan menggunakan rumus
perhitungan diatas.3. Laporkan hasil perhitungan dosis anda pada
instruktur dan ambil larutan morfin 4% dalam semprit dengan jumlah
yang tepat.4. Lakukan tindakan asepsis pada suntikan.5. Peganglah
kuduk tikus dengan hati-hati, suntikan larutan morfin secara
subkutan di daerah interskapula.Lakukan dengan baik sehingga
seluruh larutan dalam semprit masuk ke dalam tubuh tikus dan tidak
tercecer keluar.6. Biarkan tikus tetap dalam baskom plastic dan
lakukan observasi sampai timbul sikap katatonik, tikus akan tetap
bertahan pada sikap yang diberikan oleh anda, misalnya sikap
duduk.Sikap katatonik disebabkan karena kekakuan otot tubuh tikus.
B. Mencit1. Ambil dan timbanglah seekor mencit dengan menggunakan
timbangan surat.2. Hitung dosis larutan morfin 4% seperti rumus
diatas.3. Laporkan perhitungan dosis anda apada instructor dan
mintalah larutan morfin 4% sebanyak dosis yang harus disuntikan 4.
Lakukan tindakan asepsis pada daerah yang akan disuntik.5.
Peganglah kuduk mencit dengan halus, suntikan larutan morfin secara
subkutan pada daerah interskapula, perhatikan jangan sampai ada
larutan morfin yang tidak masuk ke dalam tubuh tikus.6. Letakkan
mencit dalam baskom plastic dan lakukan observasi sampai timbul
efek rangsangan otot diafragma pelvis dan sfingter ani, yang akan
terlihat sebagai efek Straub, yaitu ekor mencit menjadi tegang dan
terangkat membentuk huruf S atau lurus ke atas.C. Kucing1. Hanya
dilakukan dalam bentuk demonstrasi.2. Ambil dan timbang kucing.3.
Hitung dosis larutan morfin yang harus diberikan.4. Lakuakan
tindakan asepsis pada daerah yang akan disuntik.5. Suntikan larutan
morfin 4% sesuai perhitungan dosis secara subkutan pada daerah
interskapula.6. Masukan kucing ke dalam kandang dan lakukan
observasi sampai terjadi efek eksitasi dimana kucing akan terlihat
liar, pupilnya midriasis, keluar saliva dan gelisah.Lakukan
obervasi dengan teliti dan catat hasilnya dengan tepat, dan
bandingkan data anda dengan data dari kelompok lain.
E. Dasar teori A. Morfin Analgesik opioid merupakan kelompok
obat yang memiliki sifat seperti opium. Opium yang berasal dari
getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid
diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin. Opium atau candu
adalah getah Papaver somniferum L yang telah dikeringkan. Alkaloid
secara kimia dibagi dalam dua golongan :Golongan fenantren : Morfin
dan kodeinGolongan benzilisokinolin : Noskapin dan
papaverinFarmakodinamik Efek morfin pada susunan saraf pusat dan
usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada
reseptor . Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih
lemah terhadap reseptor dan . 1. Susunan saraf pusat Narkosis Efek
orfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh
morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum pasien tidur seringkali
analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosisi kecil
(5-10mg) menimbulkan euforia pada pasien yang menderita nyeri,
sedih dan gelisah. Sebaliknya pada orang normal pada dosis yang
sama menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir, atau takut
disertai mual dan muntah. Morfin juga menimbulkan rasa kantuk,
tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas
motorik berkurang, ketajaman penglihtan berkurang, badan terasa
panas, muka gatal, mulut terasa kering. Dosis terapi (15-20mg)
morfin akan menyebabkan orang tertidur cepat dan nyenyak disertai
mimpi, nafas lambat dan miosis. AnalgesiaEfek analgesia yang
ditimbulkan dari opioid akibat kerja opioid pada reseptor .
Reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia
terutama pada tingkat spinal. EksitasiMorfin dan opioid sering
menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan konvulsi lebih
jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah eksitasi morfin adalah
idiosinkrasi dan tingkat eksitasi refleks (reflex excitatoty level)
SSP. Pada wanita mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan
muntah yang mendahului depresi tetapi depresi dan delirium jarang
timbul. Pada beberapa spesie efek eksitasi morfin jauh lebih jelas
misalnya pada kucing dapat menimbulkan mania, midriasis,
hipersalivasi dan hipertermia, konvulsi tonik, dan klonik yang
dapat menimbulkan kematian. MiosisMorfin dan kebanyakan agonis
opioid yang bekerja pada reseptor dan menyebabkan miosis. Miosis
disebabkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf
okulomotor. Miosis dapat dilawan oleh atropin dan skolopamin. Pada
intoksikasi morfin, pin point pupil merupakan gejala yang khas.
Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan
menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun
pasien glaucoma. Depresi napas Morfin menimbulkan depresi napas
secara primer dan efek langsung terhadap pusat napas di batang
otak. Pada dosis kecil sudah langsung menimbulkan depresi napas
tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Mual dan
muntahEfek emetik morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung
pada emetic chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema
medulla oblongata, bukan di stimulasi pusat emetic sendiri. Efek
mual dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi vestibuler,
sebaliknya analgetik opioid sintetik meningkatkan sensitivitas
vestibuler.
2. Saluran cerna Morfin berefek langsung pada saluran cerna.
Bukan melalui efeknya pada SSP. LambungMorfin menghambat sekresi
HCI, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya morfin menyebabkan
pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan
motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus berkontraksi.
Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat.
Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus duodenum.
Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi efek
terhadap lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot polos
lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropin. Usus
HalusMorfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan
memperlambat pencernaar makanan di usus halus. Pada manusia, morfin
mengurangi kontraksi propulsif, meninggikan tonus dan spasme
periodik usus halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada
duodenum. Penerusan isi usus yang lambat disertai sempurnanya
absorps air menyebabkan isi usus menjadi lebih pada: Tonus valvula
ileosekalis juga meninggi. Atropin dosis besar tidak lengkap
melawan efek morfin ini. Usus besarMorfin mengurangi atau
menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus jan
meyebabkan spasme usus besar; akibatnya penerusan isi kolon
diperlambat dan tinja menjadi ebih keras. Daya persepsi korteks
telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak merasakan kebutuhan
untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap efek morfin pada kolon dapat
diantagonis oleh stropin. Efek konstipasi kodein lebih lemah
daripada morfin. Pecandu opioid terus menerus menderita periode
konstipasi dan diare secara bergantian. Duktus KoledokusDosis
terapi morfin, kodein: nidromorfinon dan metilhidromorfinon
menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus koledokus; zan efek ini
dapat menetap selama 2 jam atau ebih. Keadaan ini sering disertai
perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat.
Menghilangnya nyeri setelah pemberian morfin cada pasien kolik
empedu disebabkan oleh efek sentral morfin, namun pada beberapa
pasien justru mengalami eksaserbasi nyeri. Pada pemeriksaan
radiografis terlihat konstriksi sfingter Oddi. Atropin
menghilangkan sebagian spasme ini. Pemberian nalorfin, amilniltrit
secara inhalasi, nitrogliserin sublingual dan aminofilin IV akan
meniadakan spasme saluran empedu oleh morfin.3. Sistem
kardiovaskular Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi
tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan
yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat
vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun
akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Hal ini
terbukti dengan dilakukannya napas buatan atau jengan memberikan
oksigen; tekanan darah naik meskipun depresi medula oblongata masih
berlangsung.Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem
kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan sikap. Pasien
mungkin mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh pingsan,
terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek
langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin dan opioid lain
melepaskan histamin yang merupakan faktor penting dalam timbulnya
hipotensi.Efek morfin terhadap miokard manusia tidak berarti;
frekuensi jantung tidak dipengaruhi atau hanya menurun sedikit,
sedangkan efek terhadap curah jantung tidak konstan. Gambaran
elektrokardiogram tidak berubah.Morfin dan opioid lain harus
digunakan dengan hati-hati pada keadaan hipovolemia karena mudah
timbul hipotensi. Penggunaan opioid bersama derivat fenotiazin
menyebabkan depresi napas dan hipotensi yang lebih besar. Morfin
harus digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien cor-pulmonale,
sebab dapat menyebabkan kematian.4. Otot polos lainMorfin
menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta kontraksi ureter dan
kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6 mg
atropin subkutan. Hilangnya rasa nyeri pada kolik ginjal disebabkan
oleh efek analgetik morfin. Peninggian tonus otot detrusor
menimbulkan rasa ingin miksi, tetapi karena sfingter juga
berkontraksi maka miksi sukar. Morfin dapat menimbulkan
bronkokonstriksi, tetapi pada dosis terapi efek ini jarang timbul.
Morfin memperlambat berlangsungnya partus. Pada uterus aterm morfin
menyebabkan interval antar-kontraksi lebih besar dan netralisasi
efek oksitosin. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan
menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas
dasar ini morfin mengurangi nyeri dismenore. Kulit Dalam dosis
terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga
kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka,
leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian
disebabkan oleh terjadinya penglepasan histamin oleh morfin dan
seringkali disertai dengan kulit yang berkeringat. Pruritus
kadang-kadang dapat terjadi mungkin akibat penglepasan histamin
atau pengaruh langsung morfin pada saraf. MetabolismeMorfin
menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun,
vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP.
Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul
tidak tetap akibat penglepasan adrenelin yang menyebabkan
gliko-genolisis. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang,
disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal,
dan penglepasan. FarmakokinetikMorfin tidak dapat menembus kulit
utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat
menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi morfin
kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik
yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama.
Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat,
sedangkan setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid
opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian
morfin mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hepar,
sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui
nasibnya.Morfin dapat melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin
bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi
ditemukan dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan
bersama cairan lambung.
IndikasiMorfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati
dengan analgesik non-opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri
yang menyertai: 1) infark miokard; 2) neoplasma; 3) kolik renal
atau kolik empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal
atau koroner; 5) perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks
spontan, dan 6) nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur
dan nyeri pasca bedah. Sebagai medikasi praanestesik, morfin
sebaiknya hanya diberikan pada pasien yang sedang menderita nyeri.
Bila tidak ada nyeri dan obat praanestesik hanya dimaksudkan untuk
menimbulkan ketenangan atau tidur, lebih baik digunakan
penobarbital atau diazepam.Efek Samping Idiosinkrasi dan
alergiMorfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lain adalah timbulnya
eksitasi dengan tremor, dan jarang-jarang delirium; lebih jarang
lagi konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergi dapat
menimbulkan gejala seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak,
pruritus, dan bersin. Intoksikasi akutIntoksikasi akut morfin
biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau pada overdosis.
Penderita tidur atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi
napas lamabt. Penderita sianotik, kulit muka merah tidak merata dan
agak kebiruan. Tekanan darah akan menurun sampai terjadi syok bila
napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen.
Pupil sangat kecil (pin point pupil), kemudian midriasis jika telah
terjadi anoksia. Pembentukan urine sangat berkurang karena terjadi
pelepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan rendah, kulit
terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan
relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Kematian biasanya
disebabkan oleh depresi napas.Dosis dan sediaan Morfin tersedia
dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk
larutandiberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk
menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg
BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravenadan dapat diulang
sesuai yamg diperlukan. Gejala kelebihan dosis : Pupil mata sangat
kecil, depresi pernafasan dan coma. Bila sangat hebat, dapat
terjadi midriasis, sering disertai juga nausea . Kadang-kadang
timbul edema paru. Gejala-gejala lepas obat : Agitasi,nyeri otot
dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak
dapat terjadi konvulsi dan koma, keluar airmata, keluar air dari
hidung, berkeringat banyak, cold turkey, pupil dilatasi, tekanan
darah meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia, gelisah dan
cemas, tremor, kadang-kadang psikosis toksik.
B. Kafein benzoat Kafein adalah stimulan yang mempercepat
aktivitas fisiologis. Kafein tersebut dikenal sebagai
trimethylxantine dengan rumus kimia C8H10N4O2 dan termasuk jenis
alkaloida. Kafein disebut juga tein, merupakan kristal putih yang
larut dalam air dengan perbandingan 1 : 46. Kafein-Na benzoate dan
kafein sitrat, berupa senyawa putih, agak pahit, larut dalam air.
Kafein-Na benzoat tersedia dalam ampul 2 ml mengandung 500 mg untuk
suntikan IM. Farmakodinamik Susunan saraf pusatOrang yang minum
kafein merasakan tidak begitu mengantuk, tidak begitu lelah, dan
daya pikirnya lebih cepat dan lebih jernih ; tetapi kemampuannya
berkurang dalam pekerjaan yang memerlukan koordinasi otot halus (
kerapihan) , ketepatan waktu dan ketepatan berhitung. Efek diatas
timbul pada pemberian kafein 85-250 mg. Sistem kardiovaskularKafein
rendah dalam plasma akan menurunkan denyut jantung yang mungkin
disebabkan oleh perangsangan nervus vagus di medula oblongata.
Sebaliknya kadar teofilin dan kafein yang lebih tinggi menyebabkan
takikardi, bahkan pada individu yang sensitif mungkin dapat
menyebabkan aritmia, misalnya kontraksi ventrikel yang prematur.
Aritmia ini dapat dialami oleh orang yang minum kafein berlebihan.
Pembuluh darahKafein dan teofilin menyebabkan dilatasi pembuluh
darah, termasuk pembuluh darah koroner dan pulmonal karena efek
langsung pada otot pembuluh darah. Dosis terapi kafein akan
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer yang bersama dengan
peninggian curah jantung yang mengakibatkan bertambahnya aliran
darah. Terapi vasodilatasi perifer ini hanya berlangsung sebentar
sehingga tidak mempunyai kegunaan terapi. Otot polosEfek terpenting
xantin adalah relaksasi otot polos bronkus, terutama bila otot
bronkus dalam keadaan konstriksi secara eksperimental akibat
histamin atau secara klinis pada pasien asma bronkial. Otot rangka
Dalam kadar terapi, kafein dan teofilin ternyata dalam memperbaiki
kontraktilitas dan mengurangi kelelahan otot diafragma pada orang
normal maupun pada pasien COPD. Diuresis Semua xantin meninggikan
produksi urin. Sekresi urin Sekresi lambung setelah pemberian
kafein memperlihatkan gambaran khas pada orang normal maupun pada
orang tukak lambung duodenum. Individu dengan presdisposisi tukak
peptik atau pasien dengan tukak peptik yang mengalami remisi juga
menunjukan respon yang abnormal terhadap pemberian kafein. Efek
metabolikPemberian kafein orang sehat ataupun orang yang gemuk
dapat menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma
dan juga meninggikan metabolisme basal.
FarmakokinetikMetilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian
oral, rectal atau parenteral. Sediaan bentuk cair dan tablet yang
tidak bersalut akan diarbsorbsi lengkap dan cepat.
IntoksikasiPada manusia, kematian akibat keracunan kafein jarang
terjadi. Gejala yang biasanya paling mencolok pada penggunaan
kafein dosis berlebihan ialah muntah dan kejang. Kadar kafein dalam
darah pascamati ditemukan antara 80 g/mL sampai lebih dari 1
mg/mL.
C. Nalokson Nalokson merupakan antagonis murni opioid. Ia
bekerja di kesemua receptor opioid yaitu receptor-, receptor- dan
receptor-. Nalokson adalah antagonis opiat yang utama yang tidak
mempunyai atau hanya sedikit mempunyai aktivitas agonis. Jika
diberikan pada pasien yang tidak menerima opiat dalam waktu dekat,
nalokson hanya memberi sedikit atau bahkan tidak memberikan efek.
Sedangkan pada pasien yang sudah menerima morfin dosis tinggi atau
analgesik lain dengan efek mirip morfin, nalokson mengantagonis
sebagian besar efek opiatnya. Akan terjadi peningkatan kecepatan
respirasi dan minute volume, penurunan arterial PCO2 menuju normal,
dan tekanan darah menuju normal jika ditekan. Nalokson
mengantagonis depresi pernapasan ringan akibat opiat dosis rendah.
Karena durasi kerja nalokson lebih singkat dibandingkan durasi
kerja opiat, maka efek opiat mungkin muncul kembali begitu efek
nalokson menghilang. Nalokson mengantagonis efek sedasi atau
tertidur yang dipicu oleh opiat. Nalokson tidak mengakibatkan
toleransi atau ketergantungan fisik maupun psikologis.
Efek Tanpa Pengaruh Opioid Pada beberapa eksperimen
diperlihatkan bahwa nalokson:1. Menurunkan ambang nyeri pada mereka
yang biasanya ambang nyerinya tinggi2. Mengantagonis efek analgetik
plasebo3. Mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan
lewat jarum akupuntur Semua efek ini diduga berdasarkan antagonisme
nalokson terhadap opioid endogen yang dalam keadaan lebihaktif.
Namun masih perlu pembuktian lebih lanjut efek nalokson ini sebab
banyak faktor fisiologi yang berperan dalam anagesia diatasdugaan
yang sama juga timbul tentang efek nalokson terhadap hipotensi pada
hewan dalam keadaan syok danefeknya dalam mencegah efek overeating
dan obesitas pada tikus-tikus yang diberi stress berat.Efek
subjektif yang ditimbulkan nalorfin pada manusia bergantung pada
dosis , sifat orang bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10-15mg
nalorfin atau 10 mg morfin menimbulkananalgesiasamakuatpada
pasiendengannyeripascabedah.Efek tersebut diduga disebabkan oleh
kerja agonis pada reseptor kappa. Pada beberapa persen timbul
reaksi yang tidak menyenangkan misalnya rasa cemas, perasaan yang
aneh, sampai timbulnya day dreams yang mengganggu atau lebih berat
lagi timbul halusinasi. Paling sering halusinasi visual. Semua efek
ini juga timbul akibat sifas agonisnya pada reseptor opioid kappa
meskipun kerjanya pada reseptor delta juga berperan.Nalorfin dan
levalorvan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga karena
kerjanya pada reseptor kappa. Berbeda dengan morfin, depresi nafas
ini tidak bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini
terutama levalorvan memperberat depresi nafas oleh morfin dosis
kecil tetapi menghambat antagonis depresi napas akibat morfin dosis
besar.
Efek dengan pengaruh opioidSemua efek agonis opioid pada
reseptor mu diantagonis oleh nalokson dosis kecil(0,4-0,8mg) yang
diberikan IM atauIV. Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit
setelah pemberian nalokson pada pasien dengan depresi nafas akibat
agonis opioid, efek sedatif dan efek pada tekanan darah juga segera
dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson juga menyebabkan kebalikan
efek dari efekpsikomimetik dan disforia akibat agonis antagonis.
Antagonisme nalokson ini berlangsung selama 1-4jam tergantung dari
dosisnya. Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering
disertai dengan terjadinya fenomena overshoot misalnya berupa
peningkatan frekuensi nafas melebihi frekuensi sebelum dihambat
oleh opioid. Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya
ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis
besar. Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik
terhadap morfin, dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala
putus obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat
penghentian tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbul beberapa menit
setelah penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat dan lama
berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan
beratnya ketergantungan. Hal yang sama terjadi pada orang dengan
ketergantungan fisik terhadap agonis parsial tetapi diperlukan
dosis lebih besar.
FarmakokinetikNalokson hanya dapat diberikan parenteral dan
efeknya segera terlihat setelah penyuntikan intravena. Secara oral
nalokson juga diserap tetapi karena hampir seluruhnya mengalami
metabolisme lintas pertama maka harus diberikan parenteral. Obat
ini dimetabolisme di hati terutama dengan glukoronidasi. Waktu
paruhnya sekitar 3jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam.
Metabolitnya 6 naltrekson merupakan antagonis opioid yang lemah dan
masa kerjanya panjang. Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada
pasien adiksi opioid pemberian 100mgsecaraoraldapatmenghambat efek
euforia yanditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam.
Toleransi dan Ketergantungan FisikToleransihanya terjadi
terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat agonis jadi hanyatimbul
pada efek subjektif sedatif dan psikomimetik dari nalorfin.
Penghentian tiba-tiba nalorfin dosis tinggi menyebabkan gejala
putus obat yang khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat
morfin.
Nalokson,nalorfindanlevalorfankecilkemungkinannyauntukdisalahgunakan,
sebab tidak menyebabkan ketergantungan fisik, tidak menyokong
ketergantungan fisik morfin, dan dari segi subjektif dianggap
sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi para pecandu.
IndikasiAntagonis opioid ini diindikasikan untuk mengatasi
depresi napas akibat takar layak opioid pada bayi baru lahir oleh
ibu yang mendapat opioid pada waktu persalinan akibat suicide
dengan suatu opioid, dalam hal ini nalokson merupakan obat
terpilih. Obat ini juga digunakan untuk ketergantungan fisik
terhadap opioid.
Sediaan dan Posologi Nalorfin HCL tersedia untuk penggunaan
parenteral masing-masing mengandung 0,2 mg nalorfin/ml untuk anak
dan 5 mg nalokson 0,4 mg/ml. Pada intoksikasi opioid diberikan 2 mg
nalokson dalam bolus IV yang mungkin perlu diulang. Karena
waktuparuh yang singkat dosis ini diulang tiap 20-60 menit terutama
pada keracunan opioid kerja lama seperti metadon. Cara lainialah
memberikan dosis 60% dari dosisawal setiap jam setelah dosis awal.
Untuk mengatasi depresi nafas oleh opioid pada neonatus biasanya
diberikan dosis awal 0,01mg/kgBB intravena, intramuskular, atau
subkutan yang dapat diulang 3-5 menit bila respon belum tampak.
Tergantung dari beratnya depresi nafas dosis ini dapat diulang tiap
30-90 menit.
F. Hasil dan pembahasan Pengamatan pada kelinci Berat kelinci :
(1600 gr/1000) x 0,5 ml = 0,8 ml
Sebelum pemberian morfinSelepas pemberian morfin
5 menit10 menit
Sikap kelinciLincahPasifPasif
Reflek ototKuatSedikit lemahLemah
Diameter pupil kanan kiri (cm)0,80,70,6
Frekuensi napas /menit1168018
Denyut jantung/menit1127155
Selepas pemberian kafein benzoate 4%Selepas pemberian
nalokson
Waktu 15 menit20 menit
Sikap kelinciMulai lincahLincah
Reflek ototSedikit melemahKuat
Diameter pupil kanan kiri (cm)0,70,8
Frekuensi napas/menit4486
Denyut jantung/menit82104
Pada kelinci dilakukan penyuntikan morfin secara subkutan dengan
dosis yang telah disesuaikan dengan berat badannya dosis morfin
ialah 0,5 ml/kgBB. Lalu setiap 5 menit observasi dilakukan terhadap
beberapa parameter: frekuensi napas, diameter pupil. Selain itu
kita juga melihat aktivitas kelinci tersebut. pada kelinci kelompok
kami, frekuensi napas setiap 5 menit turun dan bermakna. Ketika
baru mencapai 5 menit frekuensi napas sudah mencapai 80x per menit
(frekuensi napas mula-mula ialah 116 x per menit). Selain itu
diameter pupil semakin kecil (miosis). Karena sudah mencapai