BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kejang dapat disebabkan oleh banyak factor, seperti penyakit, demam, epilepsy, rangsangan electroshock atau pengaruh bahan kimia. Sebagai seorang dokter kadang-kadang kita harus dapat memberikan pengobatan awal untuk menghentikan kejang yang terjadi. Pada umumnya obat-obat penghambat Sistem Saraf Pusat (SSP) yang trgolong sedative hipnotik mempunyai efek antikonvulsi. Obat-obat yang tersedia di puskesmas untuk mengatasi kejang adalah Phenobarbital dan Diazepam. Phenobarbital diketahui memiliki efek antikonvulsi spesifik, yang berarti efek antikonvulsinya tidak berkaitan langsung dengan efek hipnotiknya. Di Indonesia Phenobarbital ternyata masih digunakan, walaupun di luar negeri obat ini mulai banyak ditinggalkan. (Utama dan Gan, 2007) Sebagai model kejang pada praktikum ini digunakan striknin dan pentylentetrazol (metrazol). Pada tikus striknin menyebabkan kejang tonik dari badan dan semua anggota gerak, sedangkan metrazol menyebabkan kejang yang mirip dengan serangan klinis 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kejang dapat disebabkan oleh banyak factor, seperti penyakit, demam,
epilepsy, rangsangan electroshock atau pengaruh bahan kimia. Sebagai
seorang dokter kadang-kadang kita harus dapat memberikan pengobatan awal
untuk menghentikan kejang yang terjadi. Pada umumnya obat-obat
penghambat Sistem Saraf Pusat (SSP) yang trgolong sedative hipnotik
mempunyai efek antikonvulsi. Obat-obat yang tersedia di puskesmas untuk
mengatasi kejang adalah Phenobarbital dan Diazepam.
Phenobarbital diketahui memiliki efek antikonvulsi spesifik, yang
berarti efek antikonvulsinya tidak berkaitan langsung dengan efek
hipnotiknya. Di Indonesia Phenobarbital ternyata masih digunakan, walaupun
di luar negeri obat ini mulai banyak ditinggalkan. (Utama dan Gan, 2007)
Sebagai model kejang pada praktikum ini digunakan striknin dan
pentylentetrazol (metrazol). Pada tikus striknin menyebabkan kejang tonik
dari badan dan semua anggota gerak, sedangkan metrazol menyebabkan
kejang yang mirip dengan serangan klinis epilepsi petit mal, dan dengan dosis
yang lebih tinggi umumnya akan terjadi klonik yang asiknron.
1.2 TUJUAN
1.2.1 Umum
Mempelajari efek obat yang menimbulkan konvulsi dan efek anti
konvulsi.
1.2.2 Khusus
Mengamati efek konvulsi akibat stimuli pentilentetrazol dan strychnine
dan mengamati efek konvulsan diazepam dan dilantin.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KEJANG
Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam
otak. Secara pasti, apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian
otak yang memiliki muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah
yang sempit, maka penderita hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika
melibatkan daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di
seluruh tubuh. Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran,
kehilangan kesadaran, kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan
menjadi linglung. (Medicastore, 2008)
Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi
dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau
berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak
dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu
serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal
secara berlebihan. (Mardjono, 1988)
Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi.
Timbulnya parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai
manifetasi epileptic. Tetapi suatu manifestasi motorik dan sensorik ataupun
sensomotorik ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba dan berkala adalah
epilepsi. (Mardjono, 1988)
Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan
letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus
dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan
neuron epileptic yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptic.
Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi. (Utama dan Gan,
2007)
Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
2
1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum)
a. Bangkitan tonik-konik (epilepsi grand mall)
b. Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)
c. Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan
tonik, bangkitan klonik, bangkitan infantile
2. Bangkitan pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)
a. Bangkitan parsial sederhana
b. bangkitan parsial kompleks
c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II)
(Utama dan Gan, 2007)
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena
adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan
melampaui ambang inhibisi neuron disekitarnya., kemudian menyebar melalui
hubungan sinaps kortiko-kortikal. Kemudian, cetusan korteks tersebut
menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus
subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi.
Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke focus korteks asalnya
sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan
listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal
sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu terjadi
diensefalon. (Utama dan Gan, 2007)
Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi eua
fase, yakni fase inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan
potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan
Na+ serta hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor
GABA atau ion K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang
mendepolarisasi neuron di sekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre
sinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor
eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi
oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan
3
penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsy
umum/epilepsy sekunder. (Utama dan Gan, 2007).
2.2 STRIKTIN
Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan
fisiologi dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama
diantara obat yang bekerja secara sentral. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif
terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan
pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat
pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di SSP. (Louisa dan
Dewoto, 2007)
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini
merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan
coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak.
Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang
merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin
ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan
sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini
juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin
ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek
striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya
disebut konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang
menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung
mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi
perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat
vasomotor. Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral
striknin.pada hewan coba dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran
cerna. Striknin digunakan sebagai perangsanmg nafsu makan secara irasional
berdasarkan rasanya yang pahit. (Louisa dan Dewoto, 2007)
4
Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera
meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih
daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh enzim
mikrosom sel hati dan diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap dalam waktu
10 jam, sebagian dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot
muka dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan
motorik hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih
terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada
dalam sikap hiperekstensi (opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit
saja yang menyentuh alas tidur. Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi
penuh. Napas terhenti karena kontraksi otot diafragma, dada dan perut.
Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan hebatnya kejang bertambah
dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri
hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya. Kematian biasanya
disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan napas.
Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang hebat dapat
menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat; yang
terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma.
(Louisa dan Dewoto, 2007)
Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV,
sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap
depresi post ictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau
obat penekan ssp non-selektif lain. Kadang-kadang diperlukan tindakan
anastesia atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan
yang hebat. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan
membantu pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untuk
memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan kurariform
untuk mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga
masih ada striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung
5
digunakan larutan KMnO4 0,5 ‰ atau campuran yodium tingtur dan air
(1:250) atau larutan asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya
rangsangan sensorik. (Louisa dan Dewoto, 2007)
2.3 PENTILENTERAZOL (METRAZOL)
Pentilentetrazol ( pentametilentetrazol), yang di Amerika serikat
dikenal dengan nama dagang metrazol dan di Eropa kardiazol merupakan
senyawa sintetik. Kejang oleh pentilentetrazol mirip hasil perangsangan listrik
pada otak dengan intensitas sebesar ambang rangsang, juga mirip sekali
dengan serangan klinik epilepsy petit mal pada manusia. Dengan dosis yang
lebih tinggi umumnya akan terjadi klonik yang asiknron. (Louisa dan Dewoto,
2007)
Mekanisme kerja utama Pentilentetrazol ialah penghambatan system
GABA-ergik, dengan demikian akan meningkatkan eksitabilitas SSP; adanya
efek perangsangan secara langsung masih belum dapat disingkirkan. (Louisa
dan Dewoto, 2007)
Sebagai analeptic Pentilentetrazol yidak sekuat pikrotoksin. Dahulu
Pentilentetrazol digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis epilepsi
yaitu sebagai EEG activator. Dengan dosis subkonvusi yang disuntik IV
terjadi aktivasi focus epilepsi. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Pentilentetrazol segera diabsorbsi dari berbagai tempat pemberian.
Distribusi merata ke semua jaringan dan cepat diinaktivasi dalam hati.
Sebagain besar (75%) diurin dalam bentuk tidak aktif. (Louisa dan Dewoto,
2007)
Pentilentetrazol merupakan Kristal putih yang mudah larut dalam air,
diperdagangkan dalam bentuk tablet 100 mg, ampul 3 mL dan vial berisi
larutan 10%. (Louisa dan Dewoto, 2007)
2.4 DIAZEPAM
Diazepam termasuk golongan obat benzidiazepin. Diazepam terutama
digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, miksalnya status epileptikus. Obat
6
ini juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya
bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrrakter terhadap terapi lazim.
Diazepam efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan
ombak yang terjadi dalam satu detik. (Utama dan Gan, 2007)
Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa,
disuntikkan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam IV secara
lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu 15-20
menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20-30 mg. Sedangkan pada anak-
anak dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,15-0,30 mb/kgBB selama 2
menit dan dosis maksimal 5-10 mg. Diazepam dapat mengendalikan 80-90%
pasien bangkitan rekuren. Pemberian per rektal dengan dosis 0,5 mg atau 1
mg/kgBB diazepam untuk bayi dan anak di bawah 11 tahun dapat
menghasilkan kadar 500 μg/mL dalam waktu 2-6 menit bagi anak yang lebih
besar dan orang dewasa pemberian rektal tidak bermanfaat untuk mengatasi
kejang akut, karena kadar puncak lambat tercapai dan kadar plasmanya
rendah. Walaupun diazepam telah sering digunakan untuk mengatasi konvulsi
rekuren, belum dapat dipastikan kelebihan manfaatnya dibandingkan obat lain,
seperti barbiturat atau anastesi umum; untuk ini masih diperlukan suatu uji
terkendali perbandingan efektivitas. (Utama dan Gan, 2007)
2.4.1 Farmakokinetik
Benzodiazepin merupakan obat-obat basa lemah dan diabsorpsi
sangat efektif pada pH tinggi yang ditemukan dalam duodenum.
Kecepatan absorpsi benzodiazepine yang diberikan tergantung pada
beberapa factor termasuk sifat kelarutannya dalam lemak. Absorpsi per
oral diazepam sangat cepat sekali. (Katzung, 1997)
Waktu paruh benzodiazepine penting secara klinis karena lama
kerja dapat menentukan penggunaan dalam terapi. Benzodiazepine dibagi
atas kelompok kerja jangka pendek, sedang, dan panjang. Diazepam
7
termasuk dalam kelompok kerja lama. Obat jangka panjang membentuk
metabolit akitf dengan waktu paruh panjang. Diazepam dimetabolisme
oleh system metabolic mikrosomal hati menjadi senyawa yang juga aktif.
(Mycek, 2001) Desmetildiazepam yang mempunyai waktu paruh 40-140
jam merupakan metabolit aktif diazepam yang kemudian
dibiotransformasikan menjadi senyawa aktif oksazepam. Selain diazepam
dimetabolisme terutama menjadi desmetildiazepam, juga dikonversi
menjadi tamazepam, yang sebagian dimetabolisme lebih lanjut menjadi
oksazepam. (Katzung, 1997)
2.4.2 Mekanisme Kerja
Pengikatan GABA (asam gama aminobutirat) ke reseptornya pada
membrane sel akan membuka salutan klorida, meningkatkan efek
konduksi korida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan
hiperpolarisasi lemah menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup
dan meniadakan pembentukan kerja potensial. Benzodiazepin terikat pada
sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari membrane sel, yang terpisah tetapi
dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepine terdapat hanya pada SSP
dan lokasinya sejajar dengan neuron GABA. Peningkatan benzodiazepine
mamacu afinitas reseptor GABA untuk neurotransmitter yang
bersangkutan, sehingga saluran klorida yang berdekatan lebih sering
terbuka. Keadaan tersebut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat
letupan neuron. (Mycek, 2001)
2.4.3 Efek Samping
Efek samping berat dan berbahaya dan menyertai penggunaan
diazepam intravena ialah obstruksi saluran napas oleh lidah, akibat
relaksasi otot. Di samping ini dapat terjadi depresi napas sampai henti
napas, hipotensi, henti jantung dan kantuk. (Utama dan Gan, 2007)
8
2.5 FENOBARBITAL
Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil-barbiturat) merupakan senyawa organik
pertama yang digunakan dalam pengobatan antikolvulsi. Kerjanya membatasi
penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang.
Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang
demam pada anak. Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah 2x120-250 mg
sehari. Dosis anak ialah 30-100 mg sehari. Penghentian fenobarbital harus
secara bertahap untuk mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi
bangkitan kembali, atau malah bangkitan status epileptikus. Penggunaan
fenobarbital menyebabkan berbagai efeksamping seperti sedasi, psikosis akut,
dan agitasi. Interaksi fenobarbital dengan obat lain umumnya terjadi karena