Page 1
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
“OBAT ANTITUBERKULOSIS DAN OBAT ANTI ASMA”
Asisten:
Nur Huda Satria Kusuma
Kelompok II
BLOK RESPIRASIFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN PENDIDIKAN DOKTERUNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2011
G1A009002 AULIA DYAH FEBRIANTIG1A009012 NOVIA MANTARIG1A009022 ROSTIKAWATY AZIZAHG1A009032 YULITA SWANDANI AZIZG1A009042 KINANTHI CAHYANING U.G1A009101 FAIDH HUSNANG1A009111 ARGO MULYOG1A009121 UNGGUL ANUGRAH PEKERTIG1A009127 HAFIDH RIZA PERDANAG1A009131 HERIYANTO EDY I.G1A009136 KHAFIZATI AMALINA FR
Page 2
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Kelompok II
disusun untuk memenuhi persyaratan
mengikuti ujian praktikum Farmakologi Blok Respirasi
Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
diterima dan disahkan
Purwokerto, April 2011
Asisten,
Nur Huda Satria Kusuma
NIM. ..............
G1A009002 AULIA DYAH FEBRIANTIG1A009012 NOVIA MANTARIG1A009022 ROSTIKAWATY AZIZAHG1A009032 YULITA SWANDANI AZIZG1A009042 KINANTHI CAHYANING U.G1A009101 FAIDH HUSNANG1A009111 ARGO MULYOG1A009121 UNGGUL ANUGRAH PEKERTIG1A009127 HAFIDH RIZA PERDANAG1A009131 HERIYANTO EDY I.G1A009136 KHAFIZATI AMALINA FR
Page 3
BAB I
PENDAHULUAN
I. Judul Praktikum
Obat Tuberkulosis dan Obat Anti Asma
II. Tanggal Praktikum
Rabu, 20 April 2011
III. Tujuan Praktikum
a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam obat antituberkulosis dan
obat anti asma
b. Tujuan Instruksional Khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme kerja obat
antituberkulosis.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat
antituberkulosis.
3. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan tuberkulosis.
4. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antituberkulosis.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme kerja obat antiasma.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat
antiasma.
7. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan asma.
8. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan status asmatikus.
9. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antiasma.
10. Mahasiswa mampu membuat peresepan untuk obat antituberkulosis
dan obat antiasma.
IV. Binatang / Responden Percobaan
Tidak ada
Page 4
V. Definisi
a. OAT
Obat anti tuberkulosis (OAT) merupakan suatu obat yang
digunakan untuk mengatasi penyakit tuberkulosis. Tujuan pemberian obat
anti tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan pasien TB, mencegah
kematian atau bahaya lanjutan, mencegah kekambuhan, dan mencegah
penularan tuberkulosis terhadap orang lain (FK UNSRI, 2007).
b. OAT KDT
Tablet OAT - KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam
satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien (Depkes RI, 2007).
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 4 macam OAT yaitu
rifampisin 150 mg, isoniasid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol
275 mg. Rekomendasi WHO tahun 1999 kombinasi dosis tetap diberikan
berdasarkan berat badan untuk dewasa dan dosis anak. Pada saat ini
Kombinasi Dosis Tetap yang ada di Indonesia hanya terdapat RHZE dan
RH (Soepandi, 2009).
c. OAT Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT (Depkes RI, 2007).
d. Bakterisid
Memiliki kemampuan membunuh bakteri. Jadi dalam keadaan ini
bakteri mulai berkurang bahkan sampai habis. Mekanismenya bisa
bekerja pada bakteri yang sedang tumbuh dan pada bakteri yang sedang
dalam fase istirahat (FK UNSRI, 2009)
e. Bakteriostatik
Menghambat atau menghentikan pertumbuhan bakteri, dalam
keadaan ini bakteri jumlahnya tetap dan tidak bisa berkembang biak lagi.
Page 5
Sehingga bakteri ini mampu mengurangi penyebaran infeksi ke seluruh
tubuh (FK UNSRI, 2009).
VI. Dasar Teori
a. Komponen Obat
1) OAT
Terdiri dari obat lini pertama dan obat lini kedua
Obat lini pertama
1. Lini pertama :
a. Rifampisin (R)
b. INH (H)
c. Pirazinamid (Z)
d. Etambutol (E)
e. Streptomisin (S) (Setiabudi, Riyanto dkk. 2007)
2. Lini kedua :
a. suntikan ( kanamisin, kapreomisin, amikasin )
b. fuorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin)
c. tionamid ( etionamid, protionamid )
d. sikloserin
e. paraaminosalisilat (Setiabudi, Riyanto dkk. 2007)
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia WHO dan IUATLD
(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)
a) Kategori I:
1. 2HRZE/4H3R3
2. 2HRZE/4HR
3. 2HRZE/6HE
Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus:
1. TB Paru BTA (+) kasus baru
2. TB Paru BTA (-), RÖ (+) lesi luas / sakit berat
3. TB ekstra paru (Depkes RI, 2007)
b) Kategori II:
1. 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Page 6
2. 2HRZES/HRZE/5HRE (Depkes RI, 2007)
Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus pasien BTA (+) yang
telah diobati sebelumnya:
1. Pasien kambuh
2. Pasien gagal
3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
(Depkes RI, 2007)
c) Kategori III:
1. 2HRZ/4H3R3
2. 2HRZ/4HR
3. 2HRZ/6HE
Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus:
1. Penderita baru BTA (-), Ro (+) sakit ringan
2. TB ekstra paru sakit ringan (KGB, pleuritis unilateral, kulit,
tulang, sendi, kelenjar adrenal ) (DEPKES RI, 2007)
d) Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan TB di Indonesia:
1. Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
2. Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3
Panduan OAT Sisipan : HRZE
OAT Anak : 2HRZ/4HR
2) Obat Asma
Terdiri dari:
1. Simpatomimetika
Terdiri dari:
1) ß2 agonis: salbutamol, prokaterol,albuterol, metoproterenol,
terbutaline, salmeterol
2) ß1 agonis: epinephrine, ephedrine, isoproterenol
2. Derivat xanthine (theofilin dan aminofilin)
3. Kortikosteroid (prednisone, dexamethasone, prednisolone,
cortisone, triamcinolone, metilprednisolone)
Page 7
4. Biskromones: kromolyn, ketotifen.
5. Antikolinergik (ipratropium bromide, oxytropium bromide,
tiotropium bromide) (Depkes RI, 2009).
Obat asma terdiri dari golongan pengontrol dan pelega
1. Golongan obat pengontrol (anti inflamasi)
a. Steroid inhalasi (flutikason propionate, budesonide)
b. Antileukotrien (zafirlukast)
c. Kortikosteroid sistemik (metilprednisolone, prednisolone)
d. ß2 agonis kerja lama (prokaterol,formoterol,salmeterol)
e. Kombinasi steroid dan ß2 agonis kerja lama (flutikason +
salmeterol, budesonide+ formoterol) (DEPKES RI, 2009)
2. Golongan obat pelega (bronkodilator)
a. ß2 agonis kerja cepat (salbutamol, terbutalin, prokaterol,
fenoterol)
b. antikolinergik (ipratropium bromide, oxytropium bromide,
tiotropium bromide)
c. Derivat xanthine (theofilin dan aminofilin)
d. Kortikosteroid sistemik (metilprednisolone, prednisone)
(Depkes RI, 2009).
b. Penjelasan obat OAT & Anti Asma
Obat OAT yang dijelaskan disini adalah obat OAT lini pertama, yaitu
INH, Rifampisin, Etambutol, Pirazinamid, dan Streptomisin. Sementara
obat asma yang dijelaskan adalah fenoterol dan aminofilin.
1. Isoniazid
a) Bentuk sediaan obat
Bentuk sediaan isoniazid adalah tablet dan sirup. Dalam bentuk
tablet 50, 100, 300 dan 400 mg sedangkan pada sediaan sirup
10mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah ditambahkan vit B6.
Isoniazid biasanya diberikan dalam dosis tunggal per orang tiap
hari. Dosis biasa 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari. Untuk TB
berat dapat diberikan 10 mg/kgB, maksimumnya 600 mg/hari. Anak
Page 8
dibawah 4 tahun dosisnya 10 mg/kgBB/hari. Isoniazid juga dapat
diberikan secara intermiten 2 kali seminggu dengan dosis 15
mg/kgBB/hari.
b) Farmakokinetik
a. Absorbsi
Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun
parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah
pemberian oral (Istiantoro,2009).
b. Metabolisme
Di hati, isoniazid mengalami asetilasi dan pada manusia
kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik. Pada
pasien yang tergolong asetilator cepat, kadar isoniazid dalam
sirkulasi berkisar antara 30-50% kadar pasien dengan asetilator
lambat. Masa paruhnya pada keseluruhan populasi antara 1-4
jam. Masa paruh rata-rata pada asetilator cepat hampir 70 menit,
dan pada asetilator lambat antara 2-5 jam. Masa paruh akan
memanjang bila terjadi insufisiensi hati (Istiantoro,2009).
c. Distribusi
Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh.
Obat terdapat dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan
cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal pada radang
selaput otak kira-kira sama dengan kadar dalam cairan plasma.
Isoniazid mudah mencapai material kaseosa. Kadar obat ini
mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot daripada dalam
jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di
jaringan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup
sebagai bakteriostatik (Istiantoro,2009).
d. Ekskresi
75-95% diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir
seluruhnya dalam bentuk metabolit (Istiantoro,2009).
a) Ekskresi utama : asetil isoniazid dan asam isonikotinat.
Page 9
b) Sejumlah kecil : isonikotinil glisin dan isonikotilin hidrazon.
c) Jumlah sangat kecil : N-metil isoniazid.
c) Farmakodinamik
Isoniazid bersifat bakterisid dan menghambat sintesis asam
mikolat yang merupakan komponens penting dalam dinding sel
mikobakteri. Isoniazid yang merupakan pr diaktivasi oleh KatG,
peroksidase katalase mikobakteri. Bentuk aktif dari isoniazid akan
membentuk komplek kovalen dengan protein pembawa-asil atau
acyl carrier protein (AcpM) dan KasA (beta-ketoacyl carrier
protein synthetase) yang akan memberikan efek letal dengan cara
menyekat sintesis asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat
tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstrasi oleh
methanol dari mikobakterium (Chambers, Henry F., 2002).
Efek bakterisid hanya terlihat pada kuman yang sedang
tumbuh aktif. Mikroorganisme yang ”istirahat” akan mulai
membelah lagi jika pengobatan dihentikan.
Mekanisme resistensi isoniazid berhubungan dengan
kegagalan obat mencapai kuman, ekspresi berlebihan gen inhA,
mutasi atau delesi enzim KatG, ekspresi berlebihan gen jefA
(Rv2459) pada bakteri. Resistensi isoniazid berhubungan dengan
peningkatan kematian pasien pada tuberculosis meningitis. Produksi
berlebihan dari gen inhA menimbulkan resistensi isoniazid tingkat
rendah dan resistensi silang terhadap etionamida. Mutan katG
menimbulkan resistensi isoniazid tingkat tinggi dan seringkali tidak
menimbulkan resistensi silang dengan etionamida (Chambers,
Henry F., 2002).
Mutan yang resisten obat biasanya dijumpai dalam populasi
mikobakterium yang rentan kira-kira sebanyak 1 basil dalam 106.
Karena lesi tuberkulosa serinhgkali mengandung basil tuberkel
lebih dari 108, mutan yang resisten dengan mudah akan terseklesi
(bertahan hidup) ketika isoniazid atau obat lain digunakan sebagai
Page 10
obat tunggal. Probabilitas satu basil yang resisten terhadap kedua
obat adalah 1 dalam 106x106 atau 1 dalam 1012. Jadi setidaknya dua
agen aktif (atau lebih pada beberapa kasus) harus digunakan dalam
pengobatan tb aktif untuk mencegah resistensi (Chambers, Henry
F., 2002).
d) Indikasi
Indikasi isoniazid yaitu untuk penyakit karena infeksi m.
Tuberkulosis, dan bersifat bakterisid.
e) Kontra indikasi
Kontraindikasinya antara lain sakit hepar karena terapi isoniazid
sebelumnya, penyakit liver akut, dan hipersensitivitas
f) Interaksi obat
Dapat meningkatkan kadar di jaringan dengan asam p-
aminosalisilat meningkatkan reiko keruaskan hati dengan
rifampicin, toksisitas meningkat dengan disulfiram. piridoxin
meurunkan efek INH, INH juga dapat meningkatkan efek dari
fenitoin, menghambat metabolisme primidone dan meurunkan
toleransi alkohol.
Isoniazid dapat meningkatkan kadar/efek amiodaron,
ampfetamin, benzodiazepin, beta-blocker, calcium channel blocker,
citalopram, deksmedetomidin, antidepresan trisiklik, trimetadon,
venlafaxin. Menurunkan efek: efek/kadar isoniazid diturunkan oleh
garam aluminium atau antasida. Isoniasid dapat menurunkan
efek/kadar subsrat prodrug CYP2D6 (seperti kodein, hidrokodone,
oksikodon, tramadol)
Interaksi dengan makanan, INH harus digunakan satu jam
sebelum atau dua jam sesudah makan pada keadaan lambung
kosong; peningkatan asupan makanan yang mengandung folat,
niasin, magnesium. Tidak diperlukan pembatasan makanan yang
mengandung tyramin.
g) Efek samping obat
Page 11
a) Neuritis perifer
Adalah efek samping yang paling sering timbul karena efisiensi
piridoksin yang relative. Ini disebabkan karena suatu kompetisi
INH dengan piridoksal fosfat untuk enzim apotriptofanase.
Sebagian besar reaksi toksik diperbaiki dengan penambahan
piridoksin. (catatan : INH dapat mencapai konsentrasi dalam air
susu ibu yang cukup tinggi untuk menyebabkan suatu defisiensi
piridoksin pada bayi kecuali si ibu diberikan vitamin tersebut)
b) Hepatitis dan Hepatotoksisitas Idiosinkrasi
Hepatitis yang kemungkinan fatal adalah efek samping INH
yang paling berat. Telah disarankan bahwa ini disebabkan oleh
suatu metabolit toksik monoasetilhidrazin ynag terbentuk selam
metabolism INH. Kejadian meningkat pada penderita-penderita
dengan bertambahnya usia, juga pada penderita-penderita yang
mendapatkan rifampisin atau diantara mereka yang minum
alkohol setiap hari.
c) Efek Samping Lainnya
Abnormalitas mental, kejang-kejang pada penderita yang
mudah kejang dan neuritis optikus telah dilaporkan. Reaksi-
eaksi hipersensitivitas seperti ruam dan demam. (Dinkes,
2. Rifampisin
a) Bentuk sediaan obat
Rifampisin di Indonesia terdapat dalam kapsul 150 mg dan 300
mg. Selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta
suspensi yang mengandung 100 mg/5 mL rifampisin. Obat ini
biasanya diberikan sehari sekali sebaiknya 1 jam sebelum
makan atau 2 jam setelah makan. Dosis untuk orang dewasa
dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 400 mg/hari dan
untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 60 mg/hari. Untuk
anak-anak dosisnya 10-20 mg/kgB/hari dengan dosisi
maksimum 600 mg/hari
Page 12
b) Farmakokinetik
a. Absorbsi
Rifampisin diserap dalam saluran cerna. Pemberian
rifampisin per oral menghasilkan kadar puncak dalam
plasma setelah 2-4 jam. Dosis tunggal sebesar 600 mg
menghasilkan kadar sekitar 7 µg/ml. Setelah diserap dalam
saluran cerna, obat ini cepat dieksresi melalui empedu dan
kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik.
Penyerapannya dihambat oleh adanya makanan, sehingga
dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada dalam
empedu berbetuk diasetil rifampisin, yang menyebabkan
aktivitas antibakteri penuh (Istiantoro,2009).
b. Metabolisme
Rifampisin menyebabkan induksi metabolisme. Sehingga,
walaupun bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya
meningkat pada pemberian berulang. Masa paruh
rifampisin bervariasi antara 1,5-5 jam dan akan memanjang
bila ada kelainan fungsi hepar. Pada pemberian berulang
masa paruh ini memendek sampai kira-kira 40% dalam
waktu 14 hari. Pada pasien asetilator lambat masa paruh
memendek bila rifampisin diberikan bersama isoniazid
(Istiantoro,2009).
c. Distribusi
Sekitar 75% rifampisin terikat pada protein plasma. Obat
ini berdifusi baik ke berbagai jaringan termasuk ke cairan
otak. Luasnya distribusi ini tercermin dari warna merah
pada urine, tinja, sputum, air mata dan keringat pasien
(Istiantoro,2009).
d. Ekskresi
Page 13
Ekskresi melalui urine mencapai 30%, setengahnya
merupakan rifampisin utuh sehingga pasien gangguan
fungsi ginjal tidak perlu penyesuaian dosis. Obat ini juga
dieliminasi lewat ASI (Istiantoro,2009).
c) Farmakodinamik
Rifampisin mempunyai aktivitas tinggi terhadap
mycobakterium termasuk M. Tuberculosis dan M. Leprae. Obat
tersebut juga sangat aktif terhadap Staphylococcus aures,
coagulase-negative staphylococci, Listeria monocytogenes,
Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae beberapa
bakteri lain (Hartigan, 1990).
Rifampisin juga dilaporkan menunjukkan efek
imunosupresif yang terhlihat pada hewan coba tapi mungkin
tidak berpengaruh klinis pada manusia. Rifampisin bersifat
bakterisid dengan cara menghambat sintesis asam nukleat
dengan menghambat DNA-dependent RNA polymers pada sub-
unit β serta mencegah inisiasi transkripsi RNA bukan
perpanjangan rantai (Hartigan, 1990).
Resistensi timbul akibat salah satu dari beberapa kemungkinan
mutasi titik pada rpoB, gen untuk sub unit β RNA polimerase.
Mutasi ini menyebabkan berkurangnya ikatan rifampisin pada
RNA polimerase. RNA polimerase manusia tidak megikat
rifampisin dan tidak dihambat olehnya. Obat ini cepat
mempenetrasi sebagian besar jaringan dan ke dalam sel
fagositik. Rifampisin dapat membunuh organisme intrasel dan
organisme yang terkuestrasi dalam abses dan jaringan paru
(Chambers, Henry F., 2002).
d) Indikasi obat
Indikasi dari obat rifampisin antara lain:
a. Pengobatan TB,
b. kombinasi dengan antituberkulosis lain,
Page 14
c. Pengobatan Lepra
d. Kombinasi dengan obat lepra lain
e. Penyakit hati
f. Kerusakan ginjal
e) Kontraindikasi
Kontraindikasi dari Rifampisin antara lain:
a. Hipersensitivitas
b. Ikterus
f) Interaksi obat
Efek menurun dengan pemberian bersama-sama dnegan
kortoksteroid, anti koagulan kumarin, digitoxin, metadon,
kontrasepsi oral, tolbutamide.
Rifampisin dapat meningkatkan efek terapeutik clopidogrel,
penggunaan bersama dengan isoniazid pyrazinamide atau
protease inhibitor (amprenavir saquinavir/ritonavir) dapat
meningkatkan resiko hepatotoksisitas; antibiotika makrolida
dapat meningkatkan kadar/toksisitas rifampin.
Rifampisin dapat menurunkan efek/kadar obat-obat berikut:
asetaminofen, alfentanil, amiodaron,angiotensin II receptor
blocker (irbesartan dan losartan), 5-HT3 antagonis, antifungi
imidazol, aprepitant, barbiturat, benzodiazepin (dimetabolisme
melalui oksidasi), beta blocker, buspiron, calsium channel
blocker, kloramfenikol, kortikosteroid, siklosporin; substrat
CYP1A2, 2A6, 2B6, 2C8/9, 2C19 DAN 3A4 (contoh :
aminofilin, amiodaron, bupropion, fluoksetin, fluvoksamin,
ifosfamid, methsuksimid, mirtazapin, nateglinid, pioglitazon,
promethazin, inhibitor pompa proton, ropinirol, rosiglitazon,
selegilin, sertralin, teofilin, venlafaxin dan zafirlukast; dapson,
disopiramid, kontrasepsi estrogen dan progestin, feksofenadin,
flukonazol, asam fusidat, HMG-CoA reductase inhibitor,
metadon, morfin, fenitoin, propafenon, inhibitor protease,
Page 15
quinidin, repaglinid, inhibitor reverse transkriptase (non-
nucleoside), sulfonilurea, takrolimus, tamoksifen, terbinafin,
tocainide, antidepresan trisiklik, warfarin,zaleplon, zidovudin,
zolpidem. Efek rifampisin diturunkan oleh inducer CYP2A6,
2C8/9, dan 3A4 (seperti : aminoglutethimide, barbiturat,
karbamazepin, nafcillin, nevirapin dan fenitoin)
Makanan menurunkan absorbsi; konsentrasi rifampin dapat
diturunkan jika digunakan bersama dengan makanan.
g) Efek Samping Obat
Rifampisin terdistribusi luas ke cairan tubuh serta dapat
menembus sawar darah otak. Luasnya distribusi rifampisin
tercermin dari timbulnya warna oranye kemerahan yang tidak
berbahaya pada urin, keringat, air mata dan lensa mata. Efek
samping lain yang sering terjadi termasuk kulit kemerahan,
trombositopenia, nefritis dan gangguan fungsi hati. Rifampisin
juga dapat menyebabkan proteinuria rantai ringan serta flu like
syndrom dan anemia pada pemberian kurang dari 2 x seminggu
(Katzung, 2002).
3. Pirazinamid
a) Bentuk sediaan obat
Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.
Dosis oral ialah 20-35 mg/kgBB sehari (maksimum 3 gram).
b) Farmakokinetik
a. Absorbsi
Pirazinamid mudah diserap di usus. Dosis 1 gram
menghasilkan kadar plasma sekitar 45 µg/mL pada 2 jam
setelah pemberian obat (Istiantoro,2009).
b. Metabolisme
Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim
piramidase menjadi asam pirazinoat. Asam pirazinoat
yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi
Page 16
asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama.
Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam
(Istiantoro,2009).
c. Distribusi
Tersebar luas ke seluruh tubuh (Istiantoro,2009).
d. Ekskresi
Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerolus
(Istiantoro,2009).
c) Farmakodinamik
Pirazinamid merupakan kerabat nikotinamid, stabil, dan
sedikit larut dalam air. Obat ini tidak aktif dalam pH netral,
tetapi pada pH 5,5 obat ini menghambat basil tuberkel dan
beberapa mikobakterium lain pada kadar sekitar 20 mcg/mL.
Pirazinamid diambil oleh makrofag dan memunculkan
aktivitasnya terhadap mikobakterium yang tinggal dalam
lingkungan lisosom yang bersifat asam
Pirazinamid diubah menjadi asam pirazinoat-bentuk aktif
obat ini-oleh pirazinamidase mikobakterium, yang dikode
oleh pncA. Target dan mekanisme kerja obat tersebut tidak
diketahui. Resistensi dapat disebabkan oleh gangguan ambilan
pirazinamid atau mutasi pada pncA yang mengganggu
konversi pirazinamid menjadi bentuk aktifnya (Chambers,
Henry F., 2002).
d) Indikasi Obat
Tuberkulosis, dalam kombinasi dengan obat lain. Infeksi M.
Leprae. Profilaksis meningitis meningococcal dan infeksi
haemophilus influenzae. Brucellosis, penyakit legionnaires,
endocarditis dan infeksi staphylococcus yang berat dalam
kombinasi dengan obat lain (Dinkes, 2010).
e) Kontra indikasi
a. Porfiria.
Page 17
b. Hipersensitivitas terhadap rifampisin atau komponen lain
yang terdapat dalam sediaan; penggunaan bersama
amprenavir, saquinafir/rotonavir (kemungkinan dengan
proease inhibitor), jaundice (penyakit kuning).( Dinkes,
2010)
c. Kehamilan,
d. kerusakan hati
f) Interaksi obat
Dengan acetest dan test urin ketostik untuk keton, probenezid,
sulfin pirazon, allopurinol, dan anti diabetik oral. Selain itu,
kombinasi terapi dengan rifampin dan pirazinamid
berhubungan dengan reaksi hepatotoksik yang fatal dan berat.
g) Efek Samping Obat
Hepatotoksisitas termasuk demam, anoreksia, hepatomegali,
splenomegali, jaundice, gagal hati; mual, muntah,kemerahan,
disuria, atralgia, anemia sideroblastik.
4. Etambutol
a) Bentuk sediaan obat
Etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.
Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari. Obat ini
juga dapat dalam sediaan yang telah dicampur dengan isoniazid
bentuk sediaan tetap.
b) Farmakokinetik
a. Absorbsi
Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap dari
saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam
waktu 2-4 jam setelah pemberian (Istiantoro,2009).
b. Metabolisme
Dosis tunggal 15 mg/kgBB menghasilkan kadar dalam
plasma sekitar 5µg/mL pada 2-4 jam. Masa paruh
eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2
Page 18
kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu, eritrosit dapat
berperan sebagai depot etambutol yang kemudian
melepaskan sedikit demi sedikit ke dalam plasma
(Istiantoro,2009).
c. Distribusi
Etambutol tidak dapat menembus sawar darah otak, tetapi
pada meningitis tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapi
dalam cairan otak (Istiantoro,2009).
d. Ekskresi
Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol yang diberikan
diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai
metabolit, berupa derivate aldehid dan asam karboksilat
(Istiantoro,2009).
c) Farmakodinamik
Etambutol merupakan obat antituberkulosis, yang berperan
dalam menghambat arabinosil transferase mikobakterium yang
dikode oleh operon embCAB sehingga reaksi polimerasi
biosintesis dari arabinogalactan dan arabinomanan terhambat,
selain itu juga karena menghambat Decaprenil - R aktivitas
arabinosa. Etambutol memiliki efek bakteriostatik baik pada
bakteri tuberkulosis yang sensitif dan bakteri tuberculosis
resisten, serta pada mycobacterium non-typical
photochromogene (Chambers, Henry F., 2002).
Obat ini tidak bereaksi pada jamur, virus, dan bakteri
lainnya. Tidak ada resistensi silang terhadap obat-obatan anti-
tuberkulosis lainnya yang terdaftar sejauh ini. Dalam
pengobatan bersamaan dengan isoniazid dapat mengurangi
risiko pengembangan resistensi. Aktivitas anti-mikroba nya
terbukti pada sel yang berproliferasi, karena hal ini dapat
mengganggu fungsi sel polyamines (spermidine dan spermine).
Struktur polyamines ini juga merupakan kompleks ion bivalen
Page 19
yang berpartisipasi dalam biosintesis dan stabilisasi DNA
(Sopharma, 2008).
d) Indikasi
Penderita Tuberculosis (TBC)
e) Kontraindikasi
a. Neuritis optik (peradangan pada saraf mata)
b. Gangguan ginjal berat
c. Kehamilan
d. Anak di bawah 5 tahun (Sopharma, 2008).
f) Interaksi obat
Dapat menurunkan khasiat urikosuri, terutama pemakaian
bersama isoniazid, dan piridoxin. antasid yang mengandung
AL.
Absorbsi menurun jika digunakan bersama alumunium
hidroksida. Hindari penggunaan bersama dengan antasida yang
mengandung alumunium, beri jarak minimal 4 jam dari
pemberian etambutol
Dapat digunakan bersama dengan makanan karena absorbsi
tidak dipengaruhi oleh makanan, dapat menyebabkan iritasi
lambung.
g) Efek Samping Obat
Neuritis optik, buta warna merah/hijau , neuritis perifer, ruam
(jarang terjadi) , pruritus, urtikaria dan trombositopenia.
5. Streptomisin
a) Bentuk sediaan obat
Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang
mengandung 1 atau 5 g zat. Kadar larutan tergantung dari cara
pemberian yang direncanakan; dan cara penyuntikan tergantung
dari jenis dan lokasi infeksi. Suntikan IM merupakan cara yang
paling sering diberikan. Dosis total sehari berkisar 1-2 g (15-25
mg/kg BB); 500 mg - 1 g disuntikkan setiap 12 jam. Untuk
Page 20
infeksi berat dosis harian dapat mencapai 2-4 g dibagi dalam 2-
4 kali pemberian. Dosis untuk anak ialah 20-30 mg/kgBB
sehari, dibagi untuk dua kali penyuntikkan.
b) Farmakokinetik
a. Absorbsi
Streptomisin diserap di tempat-tempat suntikan, kemudian
hampir seluruhnya berada dalam plasma. Hanya sedikit
sekali yang berada di eritrosit (Istiantoro,2009).
b. Distribusi
Streptomisin menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira-kira
sepertiga streptomisin yang berada dalam plasma, terikat
protein plasma (Istiantoro,2009).
c. Metabolisme
Masa paruh obat ini pada orang dewasa normal antara 2-3
jam, dan sangat memanjang pada gagal ginjal. Ototoksisitas
lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya
terganggu (Istiantoro,2009).
d. Ekskresi
Streptomisin diekskresi melalui filtrasi glomerolus. Kira-kira
50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral
diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama.
Sebagian besar jumlah ini diekskresi dalam waktu 12 jam
(Istiantoro,2009).
c) Farmakodinamik
Dosis dewasa normal adalah 1g/hari (15 mg/kg/hari). Jika
bersihan kreatinin kurang dari 30 mL/menit atau pasien
menjalani hemodialisis, dosisnyua menjadi 15 mg/kg dua atau
tiga kali seminggu. Kebanyakan basil tuberkel dihambat oleh
strsptomisin dengan kadar sebesar 1-10 mcg/ml in vitro
(Chambers, Henry F., 2002).
Page 21
Obat streptomisin in vitro bersifat bakteriosid dan
bakteriostatik terhadap bakteri tuberculosis. Kadar serendah 0,4
mikro gram/ mL sudah dapat menghambat pertumbuhan
kuman. Mikrobakterium atipik fotokromatogen,
skotokromatogen, nokromatogen, dan spesies yang tumbuh
cepat tidak peka terhadap streptomisin.
Semua populasi besar basil tuberkel mengandung beberapa
mutan yang resisten terhadap streptomisin. Rata-rata, 1 dalam
108 basil tuberkel diperkirakan menjadi resisten terhadap
streptomisin pada kadar 10-100 mcg/mL. Resistensi terjadi
akibat mutisi titik pada gen rpsL yang mengode rRNA
ribosomal 16S, yang mengubah lokasi oengkatan ribosomal
(Chambers, Henry F., 2002).
Penetrasi strreptomisin kedalam sel buruk, dan obat ini
aktif terutama pada basil tuberkel ekstrasel. Sterptomisin
melintasi sawar darah otak dan mencapai kadar terapeutik bila
meninges meradang (Chambers, Henry F., 2002).
d) Indikasi
Pasien TB paru dengan fungsi ginjal normal.
e) Kontraindikasi
Ibu hamil, pasien usia lanjut, orang dewasa yang memiliki
ukuran tubuh kecil, dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
f) Interaksi obat
Interaksi dapat terjadi dengan obat penghambat neuromuscular
berupa potensial penghambatan. Selain itu interaksi juga terjadi
dengan obat lain yang juga bersifat ototoksik. Dan yang bersifat
nefrotoksik.
g) Efek Samping obat
Reaksi hipersensitivitas seperti pusing, demam, dan
sebagainya, parestesi di muka, rasa kesemutan di tangan,
Page 22
ganguan keseimbangan serta gangguan pendengaran dapat
terjadi pada pasien. Ada risiko syok.
6. Fenoterol
a) Bentuk sediaan obat
Inhaler dosis terukur 200 µg/hirupan x 200 hirupan x 10 mL
b) Farmakokinetik.
Fenoterol adalah obat golongan β2-Agonis. Yang termasuk
golongan β2-Agonis adalah proterenol, salbutamol, terbutalin,
fenoterol, formoterol, prokaterol, salmeterol, pirbuterol,
bitolterol, isoetarin, dan ritodrin (Setiawati, 2009).
Selain efektif pada pemberian oral, juga diabsorbsi dengan
baik dan cepat pada pemberian sebagai aerosol. Obat-obat ini
bukan katekolamin, maka resisten terhadap COMT, kecuali
isoetarin yang merupakan katekolamin. Terbutalin merupakan
satu-satunya β2-Agonis yang mempunyai sediaan parenteral
untuk pengobatan darurat status asmatikus. Formoterol dan
Salmeterol mempunyai masa kerja yang panjang (> 12 jam)
sehingga disebut long-acting β2-Agonis (LABA) (Setiawati,
2009).
c) Farmakodinamik
Obat simpatomimetika merupakan obat yang memiliki aksi
serupa dengan aktivitas saraf simpatis. Sistem saraf simpatis
memegang peranan penting dalam emnentukan ukuran diameter
bronkus. Ujung saraf simpatis yang menghasilkan
norepinepherine, ephinepherine, isoprotenerol disebut
adrenergic. Adrenergic memiliki dua reseptor α dan β (β1 dan
β2). Adrenergic menstimulasi reseptor β2 (pada kelenjar dan
otot halus bronkus) sehingga terjadi bronkodilatasi. Mekanisme
kerja obat simpatomimetika adalah melalui stimulus reseptor β2
pada bronkus menyebabkan aktivasi adenilsiklase. Enzim ini
mengubah ATP (Adenosintrifosfat) menjadi cAMP (cyclic-
Page 23
adenosine-monophosphat) dengan pembebasan energi yang
digunakan untuk proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP
dalam sel menghasilkan efek bronkodilatasi
d) Indikasi obat
a. Digunakan untuk terapi simtomatik (hanya bersifat
menghilangkan gejala, tidak
menghilangkan/menyembuhkan penyebab utamanya)
episode asma akut.
b. Pencegahan asma yang dipicu oleh olah raga.
c. Terapi simtomatik asma bronkhial & kondisi lain yang
disertai dengan penyempitan saluran pernafasan yang
bersifat reversibel seperti bronkhitis obstruktif kronis.
e) Kontraindikasi
Penggunaan β2 agonis sebagai bronkodilator harus hati-hati
pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal
jantung kongestif, hipertiroid atau diabetes. Juga dapat
menyebabkan kardiomiopati obstruktif hipertrofik,
takhiaritmia.
f) Interaksi obat
Hipersensitif terhadap benzodiazepin, glaukoma sudut sempit
akut, miastenia gravis, insufisiensi paru akut, psikosis obsesif
kronik dan fobia, juga pada anak dan bayi prematur.
g) Efek Samping obat
Gemetar halus otot rangka & gugup, takhikardia (tidak terlalu
sering), pusing, berdebar atau sakit kepala. Kasus yang sangat
jarang : iritasi lokal atau reaksi alergi; batuk, bronkhokonstriksi
paradoksikal (sangat jarang). Hipokalemia yang berpotensi
menjadi serius dapat terjadi dari terapi β2-agonis.
7. Aminofilin
a) Bentuk sediaan obat
Page 24
Sediaan obat ini adalah tablet dan ampul. Sediaan tablet yaitu
225 mg dan 350 mg, sedangkan pada sediaan parenteral
24mg/ml dalam 10ml. Pada sediaan oral yaitu tablet harus di
simpan pada suhu ruang 20°C-25°C, terlindung cahaya dan
lembab. Sedangkan pada sediaan parenteral disimpan pada suhu
15°C-30°C, terlindung dari cahaya.
b) Farmakokinetik
Aminofilin dan teofilin adalah obat yang termasuk ke dalam
golongan metilxantin.
a. Absorbsi
Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal,
atau parenteral. Sediaan bentuk cair atau tablet tidak bersalut
akan diabsorbsi secara cepat dan lengkap (Louisa, 2009).
b. Distribusi
Metilxantin didistribusikan ke seluruh tubuh, melewati
plasenta dan masuk ke air susu ibu. Volume distribusi kafein
dan teofilin ialah antara 400 dan 600 mL/kg. Pada bayi
premature nilai ini lebih tinggi (Louisa, 2009).
c. Metabolisme
Waktu paruh plasma kafein antara 3-7 jam, nilai ini akan
menjadi 2 kali lipat pada wanita hamil tua atau wanita yang
menggunakan pil kontrasepsi jangka panjang. Sedangkan
waktu paruh plasma teofilin pada orang dewasa 8-9 jam dan
pada anak muda kira-kira 3,5 jam (Louisa, 2009).
d. Ekskresi
Eliminasi metilxantin terutama melalui metabolisme dalam
hati. Sebagian besar diekskresi bersama urin dalam bentuk
asam metilurat atau metilxantin. Kurang dari 20% teofilin
dan 5% kafein akan ditemukan di urin dalam bentuk utuh
(Louisa, 2009).
c) Farmakodinamik
Page 25
Beberapa mekanisme telah diajukan utnuk menjelaskan
kerja metilxantin, tidak ada yang ditetapkan sebagai mekanisme
kerja pasti metilxantin. Secara in vitro, konsentrasi tinggi
berbagai metilxantin tersebut dapat menghambat famili enzim
fosfodiesterase. Karena fosfodiesterse menghidrolisis siklik
nukleotida, penghambatan ini menghasilkan konsentrasi cAMP,
dan pada beberapa jaringan, konsentrasi cGMP, intra sel yang
lebih tinggi. cAMP bertanggung jawab untuk berbagai fungsi
sel, seperti perangsangan fungdi jantung, relaksasi otot polos,
penurunan aktivitas imun dan inflamasi sel-sel tertentu, dan
lainya (Chambers, Henry F., 2002).
Isoenzyme P450 CYP1A2, CYP2E1, CYP3A3 dengan
pasien lebih dari 1 tahun, 90% metabolisme terjadi di hati.
Metabolit aktif: 3-methylxanthine. Caffeine (tidak ditemukan
pada pasien dewasa, diduga dapat terakumulasi pada neonatus
dan dapat menyebabkan efek farmakologi)
d) Indikasi
a. Asma
b. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
e) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap teofilin dan ethylendiamine
f) Interaksi obat
a. Obat-obat yang dapat meningkatkan kadar teofilin :
propanolol, allopurinol (>600 mg/day), Erythromycin,
Cimetifin, Troleandomycin, Ciprofloxacin (golongan
Quinolon yang lain, kontrasepsi oral, Beta-blocker,
Calcium Channel Blocker, Kortikosteroid, Disulfiram,
Efedrin, Vaksin influenza, Interferon, Makrolida,
Mexilitine, Thiabendazole, Hormon Thyroid,
Carbamazepine, Isonazid, Loop diuretics.
b. Obat lain yang dapat menghambat
Page 26
Cytochrome P450 1A2, seperti : Amiodaron, Fluxosamine,
Ketonazole, Antibiotik Quinolon.
c. Dengan makanan :
1) Menghindari konsumsi kafein yang berlebihan.
2) Menghindari diet protein dan karbohidrat yang
berlebihan.
3) Batasi konsumsi charcoal-broiled foods.
g) Efek Samping obat
Efek samping yang sering terjadi :
1) Saluran cerna : diare, mual dan muntah;
2) Neurologi : pusing, sakit kepala, insomnia, dan tremor;
3) Renal : diuresis;
VII. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Alat tulis
b. Kertas
c. Stopwatch
d. Alat penanda waktu
2. Bahan
Sediaan obat antituberkulosis dan obat anti asma
VIII. Alur Praktikum
a. Menyiapkan kertas dan alat tulis.
b. Tiap pasang praktikan masuk berpasangan ke dalam laboratorium untuk
menulis sediaan dan komposisi obat.
c. Setiap stase disediakan waktu kurang lebih satu menit untuk menulis
sediaan dan komposisi obat yang tersedia dalam stase tersebut
Page 27
BAB II
ISI
I. Hasil Praktikum
Dalam praktikum, ada beberapa obat yang ditempatkan dalam tiap stase.
1. OAT KDT Kategori 1 Fase Awal
a. Komponen : Rifampisin (R) 150 mg / Isoniazid (H) 75 mg /
Pirazinamid (Z) 400 mg / Ethambutol (E) 275 mg,
b. Sediaan: Tablet (warna merah)
2. OAT KDT Kategori 1 Fase Lanjutan
a. Komponen: Rifampisin (R) 150 mg / Isoniazid 150 mg,
b. Sediaan : Tablet (warna kuning)
3. OAT KDT Kategori 2 Fase Awal dan Lanjutan
a. Komponen :
Fase Awal Fase Lanjutan
RHZE (4 KDT) 9 blister @ 28
tablet untuk 3 bulan
RH (2 KDT) 7 blister @ 28
tablet untuk pemakaian 5
bulan
Streptomisin Inj. & API 60 vial
spuit 5 mL, 56 buah, selama 2
bulan
Ethambutol 400 mg 7 blister
Untuk pemakain 5 bulan
4. OAT KDT Kategori 3 Fase Awal
a. Komponen : Rifampisin (R) 150 mg / Isoniazid (H) 75 mg /
Pirazinamid (Z) 400 mg / Ethambutol Hidrochloride (E) 275 mg
b. Sediaan : Tablet (warna merah)
5. OAT KDT Kategori 3 Fase Lanjutan
a. Komponen: Rifampisin (R) 150 mg / Isoniazid (H) 150 mg
b. Sediaan : Tablet (warna kuning)
6. OAT Kombipak untuk Anak Fase Awal
a. Komponen: Isoniazid (H) 1 tablet @ 100 mg, Rifampisin (R) 2 kapsul
@ 75 mg, Pirazinamid (Z) 2 tablet @ 200 mg
b. Sediaan : Kapsul dan Tablet
Page 28
7. OAT Kombipak untuk Anak Fase Lanjutan
a. Komponen: Isoniazid (H) 1 tablet @ 100 mg, Rifampisin (R) 2 kapsul
@ 75 mg
b. Sediaan : Kapsul dan Tablet
8. Aminofilin Inj.
a. Komponen: Aminofilin 24 mg
b. Sediaan : Ampul
9. Metered Doses Inhaler (MDI)
a. Komponen: Fenoterol Hydrobromide 100 mcg/semprot (Berotec® 10
mL untuk 200 dosis terukur)
b. Sediaan : Metered Doses Inhaler (MDI)
II. Pembahasan
Setiap OAT untuk pemberiannya tergantung dari kategori pengobatan. Cara
pemberiannya adalah sebagai berikut:
a) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
Paduan OAT-KDT Kategori 1: 2(RHZE)/4(RH)3 (Depkes, 2009)
Sediaan:
1. Rifampisin : 150 gram
2. Isoniazid: 75 gram
3. Pyrazinamid : 400 gram
4. Streptomisin : 275 gram
Berat Badan(kg)
Tahap Insentif (RHZE) setiap hari selama 56 hari
Tiap Lanjutan RH 3x seminggu selama 16
minggu30 – 37 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT38 – 54 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT55 – 70 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥70 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT
Page 29
b) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
d. Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan
rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang
efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter
spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya
Paduan OAT-KDT Kategori 2: 2(RHZE)S/RHZE/5(RH)3E3 (Depkes,
2009)
Berat Badan(Kg)
Tahap Insentif tiap hari RHZE+S
Tahap Lanjutan 3x seminggu RH+E
Selama 56 hari Selama 28 hari
Selama 20 minggu
30 – 37 2 tab 4 KDT + 500 mg Streptomisin
injeksi
2 tab 4 KDT
2 tab 2 KDT +2 tab Etambutol
38 – 54 3 tab 4 KDT + 750 mg Streptomisin
injeksi
3 tab 4 KDT
3 tab 2 KDT +3 tab Etambutol
55 – 70 4 tab 4 KDT + 1000 mg Streptomisin
injeksi
4 tab 4 KDT
4 tab 2 KDT +4 tab Etambutol
≥70 5 tab 4 KDT + 1000 5 tab 4 5 tab 2 KDT +5 tab
Page 30
mg Streptomisin injeksi
KDT Etambutol
Paduan OAT-KDT sisipan: (RHZE) (Depkes, 2009)
Berat Badan(kg)
Tahap Instensif tiap hari selama 28 hari RHZE
30 – 37 2 tablet 4 KDT38 – 54 3 tablet 4 KDT55 – 70 4 tablet 4 KDT
≥70 5 tablet 4 KDT
c) Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan
dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada
tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan
berat badan anak.
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c. Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.
Paduan OAT Kombipak kategori 1: (Depkes, 2009)
Tahap Pengobat
an
Lama Pengobat
an
Dosis per hari / kali Jumlah
hari / kali
menelan obat
Tablet Isoniazi
d @ 300 mgr
Kaplet Rifampisin @ 450
mgr
Tablet Pirazinamid @ 500
mgr
Tablet Etambutol @ 250
mgr
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Paduan OAT Kombipak kategori 2: (Depkes, 2009)
Tahap Pengob
atan
Lama Pengob
atan
Tablet Isoniazi
d @ 300mgr
Kaplet Rifampisin @450
mgr
Tablet Pirazina
mid @500 mgr
Etambutol Streptomisin
injeksi
Jumlah hari/kal
i menelan obat
Tablet @250 mgr
Tablet @400 mgr
Page 31
Intensif (dosis harian)
2 bulan1 bulan
11
11
33
33
--
0,75 gr-
5628
Lanjutan
(dosis 3x
seminggu)
4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Setiap pemberian obat asma, juga tergantung golongan apa yang
diberikan. Cara pemberian golongan Xantin dan Beta-2 agonis adalah sebagai
berikut:
a. Dosis Pemberian Aminofilin (golongan Xantin)
Untuk mengatasi episode spasme bronkus hebat dan status asmatikus,
diberikan aminofilin IV dengan dosis muat 6 mg/kg BB, diberikan
secara infus selama 20 – 40 menit. Bila tidak terjadi efek terapi dan
tidak terdapat tanda intoksikasi maka dapat ditambah dosis 3 mg/kg
BB dengan infus perlahan-lahan. Selanjutnya efek optimal dapat
dipertahankan dengan pemberian infus aminofilin 0,5 mg/kg BB/jam
untuk dewasa normal dan bukan perokok. Anak di bawah 12 tahu
memerlukan dosis lebih tinggi yaitu 0,8 – 0,9 mg/kg BB/jam. (Louisa,
2009)
b. Dosis fenoterol hidrobromid
Dosis lazim fenoterol inhalasi aerosol yaitu 200mcg (2 semprotan) 1-3
kali sehari. Diberikan dalam bentuk MDI (Meterde Dosis Inhalan).
(Chumaeroh, 2007)
Untuk penggunaan obat asma, ada yang melalui oral atau MDI. Yang digaris
bawahi disini adalah penggunaan MDI. Penggunaan alat yang benar akan
memberikan dosisi obat yang tepat ke jalan napas.
1) Lepaskan penutup dari mouth path
2) Lalu kocoklah inhaler, supaya obat merata campurannya
3) Pegang inhaler, keluarkan napas maksimal tetapi perlahan
4) Letakkan mouth piece dalam mulut dan rapatkan bibir anda
Page 32
5) Bersamaan dengan anda menarik napas,tekanlah inhaler sambil terus
bernapas secara perlahan dan dalam
6) Lepaskan mouth piece dari mulut anda.
7) Tahan napas untuk 10 detik hitungan atau selama mungkin sebelum
mengeluarkan napas perlahan-lahan
8) Keluarkan napas perlahan-lahan
III. Jawaban Evaluasi
1) Perbedaan OAT KDT dan Kombipak
a. OAT KDT
Ketidakpatuhan pasien TB paru bisa saja disebabkan karena tingkat
pendidikan yang rendah. Namun, tingkat pendidikan yang rendah
tidak selalu memiliki pengaruh langsung pada kepatuhan pasien untuk
mengonsumsi obat. Kepatuhan bisa saja meningkat bila pasien sudah
percaya bahwa penyakitnya dapat disembuhkan oleh dokter atau
dengan kata lain perlu adanya peningkatan hubungan dokter – pasien.
Oleh karena, itu dibuat sediaan obat baru yang berisi dua atau lebih
OAT yang disebut dalam satu tablet dengan Kombinasi Dosis Tetap
(KDT) (Soehardiman, Dicky, et al, 2008).
Kemajuan dalam bidang farmakologi memungkinkan OAT dapat
dikombinasi dalam satu KDT dengan tidak menurunkan
bioavailabilitas obat tersebut. Pemantauan mutu KDT dapat dilakukan
secara berkala untuk menjamin kualitas mutu obat seperti pada obat
tunggal. World Health Organization (WHO) merekomendasikan
penggunaan OAT KDT dalam strategi DOTS yang bertujuan
meningkatkan mutu hasil pengobatan (Nurhayati Herman, et al,
2008).
b. Kombipak
Merupakan kombinasi OAT dosis tetap yang berisi dua atau lebih
OAT dalam dosis tertentu yang dikemas dalam satu paket yang seperti
RH (Kombipak 3),RHZ (Kombipak 1),dan RHZE (Kombipak 2) Satu
paket untuk satu penderita dengan satu masa pengobatan. Dosis OAT
Page 33
dapat diberikan sesuai dengan program pengobatan dari Departemen
Kesehatan RI dalam bentuk kombipak yang diberikan sesuai dengan
berat badan 33-50 kg. Paduan OAT yang dilaksanakan dengan strategi
DOTS ini juga memiliki efektifitas yang tinggi dalam pengobatan tb
paru Tetapi memiliki angka kesembuhan yang relatif lebih rendah
(Soehardiman, Dicky, et al, 2008).
Ketidakberhasilan tersebut diduga akibat kepatuhan yang rendah
untuk berobat secara teratur dan jumlah obat yang diminum terlalu
banyak sehingga dikembangkan teknik yang dapat menjamin
kepatuhan pasien menelan obat yang disebut dengan DOTS
(Nurhayati Herman, et al, 2008).
No. Perbedaan OAT - KDT Kombipak
1. Kategori Kategori 1
(2HRZE/4H3R3)
TB Paru kambuh
TB Paru gagal
TB Paru lalai (D.O)
Kategori 2
(2HRZES/HRZE/
5H3R3E3)
TB Paru kambuh
TB Paru gagal
TB Paru lalai (D.O)
Kategori 3
(2HRZE/4H3R3)
TB Paru BTA (-),
RÖ (+) lesi ringan /
sakit ringan
TB ekstra paru
Kategori anak
2(HRZ)/4(HR)
Kategori anak diberikan
kepada :
Penderita TBC anak
adalah penderita yang
berusia 0-
14 tahun
Page 34
ringan
2. Fase a.Tahap intensif
terdiri dari :
(H) 1 tablet @150 mg
(R) 1 tablet @75 mg
(Z) 1 tablet @400 mg
(E) 1 tablet 275 mg
Obat-obat tersebut diberikan
setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE).
b.Tahap lanjutan
terdiri dari:
(H) 1 tablet @150 mg
(R) 1 tablet @150 mg
diberikan tiga kali dalam
seminggu selama 4 bulan
(4H3R3).
a. Tahap awal
(H) 1 tablet @100mg
(R) 2 kapsul @75 mg
(Z) 2 tablet @200mg
b.Tahap lanjutan
(H) 1 tablet @100mg
(R) 2 kapsul @75 mg
2) Keuntungan dan Kerugian OAT KDT dan OAT Kombipak
OAT KDT
Kerugian kelebihan
a. memungkinkan terjadinya reaksi
obat yg berlebihan
b. Harga obat lebih mahal
c. jika terjadi efek samping, tidak
diketahui obat mana yang
menyebabkan, sehingga
diperlukan penggantian ke obat
a. mudah cara pemberian
b. pemberian obat lebih sederhana
c. Mengurangi kesalahan dalam
pembuatan resep
d. Menurunkan risiko penggunaan
obat tunggal yang salah yang dapat
menimbulkan MDR (Multi Drug
Page 35
lepas
d. Dapat terjadi kesalahan
preskripsi obat, dosis sangat
berlebihan (resiko toksisitas)
atau kadar sub-inihibitor semua
obat (resiko timbul resistensi).
e. Petugas kesehatan dapat
cenderung menghindarai DOT
terapi, karena merasa yakin
kepatuhan makan obat terjamin.
f. Bioavailabilitas rifampisin
rendah untuk beberapa FDC
dapat terjadi terutama dalam
kombinasi 3 atau 4 obat.
g. Penggunaan FDC tidak
menghilangkan kebiasaan makan
lebih dari satu obat sehingga
timbul toksistas (Yati, 2008).
diketahui obat mana yang menyebabkannya
Resistence)
e. Dosis obat dapat disesuaikan
dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan
mengurangi efek samping.
f. Meningkatkan kepatuhan pasien
berobat karena jumlah obat yang
diminum lebih sedikit
g. Meningkatkan kepatuhan tenaga
kesehatan terhadap penatalaksanaan
tb
h. Memungkinkan mengurangi
supervisi
i. meningkatkan penerimaan penderita
untuk menelan obat
j. mudah menyesuaikan dosis obat
dengan berat badan penderita
k. Penatalaksanaan dan persediaan
obat menjadi sederhana
1. Dalam hal penghitungan
jumlah obat
2. Dalam hal pemesanan obat
3. Distribusi stok obat
4. Mengurangi risiko stok obat
habis
5. Yakin bahwa kualiti obat baik
l. memudahkan akselerasi program
DOTS secara lebih cepat mencapai
target
m. Mengurangi angka resistensi obat
1. Pasien menerima obat dengan
Page 36
regimen dan dosis yang benar
2. Pemberian obat TB KDT
(kombinasi dosis tetap), dapat
mencegah penggunaan obat
tunggal oleh pasien.
(Soehardiman, Dicky, et al, 2008).
(Kepmenkes, 2009).
KOMBIPAK
Kerugian kelebihan
a. memiliki angka kesembuhan yang
relatif lebih rendah
b. Kepatuhan dalam meminum obat
berkurang karena jumlah tablet
yang diberikan terlalu banyak
c. Angka kekambuhan sedikit lebih
banyak dibandingkan dengan
penggunaan KDT.
d. Dapat meningkatkan penggunaan
monoterapi sehingga
penyalahgunaan dosis tunggal
meningkat ( Soehardiman, 2007).
diketahui obat mana yang
menyebabkannya
a. Satu paket untuk satu penderita
dengan satu masa pengobatan
b. efektifitas yang tinggi dalam
pengobatan tb paru
c. pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT
KDT
d. Paduan Obat Anti TB (OAT)
disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat
dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai
selesai
e. kombipak dikemas dalam
bentuk paket perhari sehibgga
kemungkinan lupa menelan
salah satu obat sangat kecil
f. dapat mendeteksi adanya obat
yang tidak sesuai untuk per
Page 37
personal
g. bioavailibility lebih stabil
3) Peresepan
1. OAT-KDT kategori 1 fase awal
dr. Argo DOKTER UMUM
SIP. 04/DU/JKT/2010 Jln. Taman Mini Telp. 085718919059
Jakarta, 18 April 2011 R/ OAT-KDT kategori 1 fase awal tab. No. XXI
∫1 dd . tab3. a . c
Pro : UnggulUmur : 20 tahunAlamat : Jalan Bekasi Indah No 3
2. OAT-KDT kategori 1 fase lanjutan
a.
3. OAT-KDT kategori 2 fase lanjutan
dr. HafidhDOKTER UMUM
SIP. 04/DU/SBG/2010Jln. Subang Raya 2Telp. 0987684567
Subang , 18 April 2011
R/ OAT-KDT kategori 1 fase lanjutan tab. No. IX
∫ seminggu3 kali tab 3. a .c .
Pro : LiaUmur : 20 tahunAlamat : Jalan Martadireja 3
Page 38
OAT-KDT kategori 2 fase awal
4. Kategori 2 fase awal
OAT-KDT kategori 3 fase awal
5. OAT KDT Kategori III Fase Awal
dr. FaidhDOKTER UMUM
SIP. 04/DU/BDG/2010Jln. Soekarno HattaTelp. 085722088720
Bandung , 18 April 2011R/ OAT-KDT kategori 2 fase lanjutan tab. No. IX
∫ seminggu3 kali . tab3. a . c
Pro : HeriUmur : 20 tahunAlamat : Jalan Madura Sehat No56
dr. UnggulDOKTER UMUM
SIP. 04/DU/BKS/2010Jln. Bekasi Indah
Telp. 085885833357Bekasi , 18 April 2011
R/ OAT-KDT kategori 2 fase awal tab. No. XXI
∫1dd . tab3.a . c
R/ injeksi streptomisin ampul fl no I
∫ i . m. m.
Pro : Argo Umur : 19 tahunAlamat : Jalan Taman Mini II
Page 39
OAT-KDT kategori 3 fase lanjutan
6. OAT Kategori III Fase Lanjutan
OAT Kombipak Anak fase lanjutan
7. OAT Kombipak anak fase lanjutan
dr. HeriDOKTER UMUM
SIP. 04/DU/MDR/2010Jln. Madura 2
Telp. 085747049449Madura , 18April 2011
R/ OAT-KDT kategori 3 fase awal tab. No. XXI
∫1 dd . tab3. a . c
Pro : HafidhUmur : 19 tahunAlamat : Jalan Subang Raya 3
dr. NoviaDOKTER UMUM
SIP. 04/DU/PTI/2010Jln. Pati Makmur
Telp. 085641656006 Pati , 18 April 2011
R/ OAT-KDT kategori 3 fase lanjutan tab. No. IX
∫ seminggu3 kali tab 3. a .c .
Pro : FaidhUmur : 19 tahunAlamat : Jalan Bandung Raya 2
Page 40
OAT Kombipak Anak fase awal
8. OAT Kombipak anak fase awal
aminophyline ampul
9. Aminofiline ampul
dr. Atik DOKTER UMUM
SIP. 04/DU/CRB/2010Jln. Aksara tunakarya 21
Telp. 085224954939Cirebon , 18 April 2011
R/ OAT Kombipak Anak fase lanjutan tab. No. VII
∫1dd . sachet 1. a .c .
Pro : FitriUmur : 2 tahunAlamat : Jalan Banyumas 4
dr. LiaDOKTER UMUM
SIP. 04/DU/BMS/2010Jln. Soedirman
Telp. 081391497486 Banyumas , 18 April 2011
R/ OAT Kombipak Anak fase awal tab. No. VII
∫1dd . sachet 1. a .c .
Pro : LitaUmur : 2 tahunAlamat : Jalan Grendeng
Page 41
10. Meterered dose inhaler (MDI)
dr. FitriDOKTER UMUM
SIP. 04/DU/BMS/2010Jln. Sokaraja
Telp. 085726105222 Banyumas , 18 April 2011
R/ aminophyline ampul fl no I
∫ i . m. m.
Pro : AtikUmur : 20 tahunAlamat : Jalan Cirebon Asri 2
dr. LitaDOKTER UMUM
SIP. 04/DU/BMS/2010Jln. Pabuaran No 2Telp. 02815777963
Banyumas , 18 April 2011R/ Berotec inhaler fl no I
∫ p . r . n. 3 dd puff . I
Pro : KinantiUmur : 20 tahunAlamat : Jalan Baturaden Purwokerto
Page 42
KESIMPULAN
1. Obat anti tuberkulosis (OAT) merupakan suatu obat yang digunakan untuk
mengatasi penyakit tuberkulosis.
2. Tujuan pemberian obat anti tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan pasien
TB, mencegah kematian atau bahaya lanjutan, mencegah kekambuhan, dan
mencegah penularan tuberkulosis terhadap orang lain
3. Pemberian obat OAT dibagi berdasarkan kategori penyakitnya.
4. OAT dibagi 2 jenis, OAT KDT dan OAT Kombipak.
5. Obat Asma adalah obat yang digunakan untuk mengatasi gejala asma. Dibagi
dua jenis, obat pelega dan obat pengontrol.
Page 43
DAFTAR PUSTAKA
Boushey, Homer A. 2002. Obat yang Digunakan Pada Asma dalam Farmakologi
Dasar & Klinik. Jakarta: EGC.
Chambers, Henry F. 2002. Obat Antimikobakterium dalam Farmakologi Dasar &
Klinik. Jakarta: EGC.
Chumaeroh, Siti. 2007. Drug Related Program pada Pengobatan Asma Bronkial di
Instalasi Rawat Inap RSUD DR. Moewardi Surakarta Tahun 2007.
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Cornwall, Janet. 1997. Tuberculosis: A Clinical Problem of International
Importance. The Lancet, Hal. 660.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2. Jakarta: DEPKES RI
DEPKES RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta : DEPKES RI
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2006. Informasi obat anti tuberkulosis.
Available from URL:http://www.diskes.jabarprov.go.id/index.php?
mod=pubInformasiObat&idMenuKiri=45&idSelected=1&idObat=52&p
age=3
Gale Group. 2008. Gale Encyclopedia of Medicine. The Gale Group, Inc.
Hartigan, Kenneth. 1990. Rifampicin. Diakses pada 12 April 2011. Available at
http://www.inchem.org/documents/pims/pharm/rifam.htm
Istiantoro,Yati H.dan Rianto S. 2009. Tuberkulostatik dan Leprostatik.
Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta : Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FK UI.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2009 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis (TB).
Louisa, Melva dan Dewoto, Hedi R. 2009. Perangsang Susunan Saraf Pusat.
Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Teraupetik FK UI.
Page 44
Nurhayati Herman, Tjandra Yoga Aditama dan Mukhtar Iksan. 2008.
Perbandingan Hasil Akhir Pengobatan Obat Anti Tuberculosis Kombinasi
Dosis Tetap (KDT) Dengan Kombipak pada Pengobatan Tuberkulosis
Paru Dengan Strategi DOTS di Puskesmas Kecamatan Jatinegara,
Pulogadung Dan Matraman, Jakarta Timur. Jurnal Respiratory, vol 28
no. 3
PDPI. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, Jakarta.
Setiabudi, Riyanto dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FK UI; Hal. 613-620.
Setiawati, Arini. Gan, Sulistia. 2009. Obat Adregenik dalam Farmakologi dan
Terapi Edisi V. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soehardiman, Dicky, Priyanti Z. Soepandi,dan M. Arifin Nawas. 2008.
Perbandingan Hasil Akhir Pengobatan OAT Kombinasi Dosis Tetap
(KDT) dengan Kombipak pada Pengobatan TB Paru Dengan Strategi
DOTS di RS Persahabatan Jakarta. Jurnal Respiratory, vol 28 no.3
Supriyaningsih, Dewi Supriyaningsih. 2005. Perbedaan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) Kombipak Dan Fdc Terhadap Hasil Pengobatan Penderita Tb-
Paru Bta Positif. Universitas Diponegoro.
WHO. 2003. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes. 3
rd edition. Geneva: WHO; Hal.28-35