Top Banner

of 17

Laporan Praktikum 2 (Pengukuran Sudut)

Jul 19, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK PENGAWETAN TANAH DAN AIR (II. Mengukur Kemiringan Lahan Dengan Alat Pengukur Sudut )

Oleh :

Kelompok Hari, tanggal praktikum Nama

:5 : Selasa, 10 April 2012 : 1. Norman Fajar (240110090088) 2. Lauravista S. F (240110090096) 3. Ray Chandra (240110090103)

4. Adhi Karno W. (240110090108) 5. Gina Yunitasari (240110090109) 6. Humam M.Z (240110090073)

7. Grafi Tungga A. (240110090138) Asisten : Anggita Agustin

LABORATORIUM KONSERVASI TANAH DAN AIR JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2012

BAB I 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Selain dari lereng juga

memperbesar

jumlah

aliran

permukaan,

makin

curamnya

memperbesar kecepatan aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar energi angkut air. Untuk merancang maupun mengaplikasikan teknik konservasi yang akan diterapkan pada suatu lahan, umumnya diperlukan pembuatan garis kontur lahan, yaitu garis atau lintasan yang menunjukkan ketinggian yang sama dimana garis atau lintasan tersebut selanjutnya digunakan sebagai batas bidang olah. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menentukan kemiringan lahan dengan menggunakan alat ukur sudut (Sunto Level, Abney Level, Hagameter, Theodolit dan Meteran) Pembuatan kontur lahan umumnya terdiri dari tiga tahapan yaitu pematokan, recleaning/perbaikan garis kontur dan pembuatan garis kontur lahan. 1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah : 1. Praktikan dapat melakukan pengukuran kemiringan lahan dengan benar menggunakan alat pengukur sudut dalam satuan persen atau derajat. 2. Praktikan dapat mengetahui dan memahami cara pembuatan garis kontur pada suatu lahan sebagai salah satu penerapan teknik konservasi. 1.3 Metodologi Pengamatan dan Pengukuran

1.3.1 Waktu dan Tempat Hari/Tanggal Waktu Tempat : Selasa, 10 April 2012 : Pkl. 13.00 15.00 WIB : Lahan Fakultas Peternakan

1.3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah : 1. Patok 2. Rambu ukur 3. Tali 4. Pita ukur 5. Alat ukur sudut (Sunto Level, Abney Level, Hagameter) 6. Alat ukur Theodolit dan meteran

1.3.3 Prosedur Praktikum 1. 2. Menentukan lokasi lahan yang akan diukur kemiringan lerengnya Pasang patok pada lahan sesuai dengan bentuk kemiringan lereng lahan atau jarak antar patok tetap (mis : per 10 meter) 3. 4. Memasang alat ukur teodolit dan waterpass diatas kaki tiga Mendirikan alat ukur teodolit : - Alat yang sudah dipasang diatas kaki tiga tersebut didirikan tepat diatas titik ukur - Mengatur sumbu satu (Sb I) dalam keadaan tegak dan sumbu dua (Sb2) dalam keadaan mendatar dengan cara mengatur kedua nivo tabung yang ada pada Bausol dibagian atas alat, gelembungnya ada ditengah yang diatur dengan ketiga skrup mendatar 5. 6. 7. Ukur tiap segmen dengan alat ukur sudut dan alat ukur Teodolit Catat dan hitung jarak datar dan jarak miringnya Gambarkan profil kemiringan lahan serta tentukan kelas kemiringan lahanrata-rata dan reliefnya.

A. Theodolit Digital 1. Mensetting alat pada tripot tepat dialat ukur. 2. Mengatur nivo kotak dan nivo tabung 3. Mengukur tinggi alat

4. Membidik rambu ukur yang telah disesuaikan dengan jalur pada jarak 5 meter pertama, bidik angka pada rambu ukur sama dengan tinggi alat. 5. Lakukan pada pengukuran selanjutnya dengan memindahkan theodolit dengan mengunci bidikan horozontal trlebih dahulu agar jalur tetap lurus. 6. Catat hasil pengukuran.

B. Haga Meter 1. Mengkalibrasikan alat ditempat datar, untuk menetukan titik yang dibidik pada jalan dengan kemiringan 0%. 2. Dengan pengamat yang sama, lakukan bidikan pada jalur titik pengukur. 3. Catat kemiringan yang ditunjukan oleh skala pada hagameter.

C. Sunto Level 1. Mengukur tinggi mata kita, sebagai tinggi alat 2. Bidikan ke rambu ukur yang dipasang di titik berikutnya/titik yang akan dibidik, atur bacaan bidikan sama tingginga dengan ketinggian alat 3. Baca skala kemiringannya dan catat.

D. Abney Level 1. Mengukur tinggi mata kita, sebagai tinggi alat 2. Bidikan ke rambu ukur yang dipasang di titik berikutnya/titik yang akan dibidik, atur bacaan bidikan sama tingginga dengan ketinggian alat 3. Baca skala kemiringannya dan catat.

E. Meteran 1. Merentangkan meteran dari ujung satu ke ujung lain dari objek yang diukur. 2. Tarik meteran selurus mungkin dan letakan meteran dititik yang dituju. 3. Baca angka meteran yang tepat dititik tersebut.

BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Peran Pengukuran Sudut dalam Teknik Konservasi Tanah Teknik konservasi tanah dan air di lahan pekarangan difokuskan pada

penanaman mengikuti kontour di alam lorong dengan menggunakan tanaman penyangga (hedge row) berupa campuran tanaman tahunan (perkebunan, buahbuahan, polong-polongan, dan tanaman tindustri/obat), sayuran dan rumput pakan ternak. Bagian atas lorong tanaman penyangga dibuat saluran penampung air sehingga aliran permukiman dan erosi akan terkontrol. Sisa-sisa tanaman dan hasil pangkasan hendaknya tidak dibakar tetapi dibuat kompos, atau dibenamkan kedalam tanah, atau digunakan sebagai mulsa Di LU I teknik konservasi tanah dan air yang akan diterapkan adalah pengolahan tanah dan penamanan mengikuti kontour didalam lorong berselang seling antara lorong tanaman pangan, tanaman penyangga, tanaman kacangkacangan atau rumput pakan ternak. Di belakang lajur tanaman penyangga dibangun teras guludan yang dilengkapi dengan saluran air. Penaman tanaman pangan dan kacang-kacangan serta rumput pakan ternak diroatasikan secara teratur. Teknik Konservasi Tanah dan Air yang diterapkan di LU II yang berlereng C (8-15%) atau lebih adalaha penamaman tanaman tahunan dalam teras tersendiri (individual terrace) yang mengikuti kontour. Sengkedan dan jalur rorak perlu dibangun pada jarak tertentu yang berkisar dari 15-25 m tergantung pada kemiringan lereng. Penebangan pohon harus dilakukan secara bertahap. Erosi adalah peristiwa pengikisan tanah oleh angin, air atau es. Erosi dapat terjadi karena sebab alami atau disebabkan oleh aktivitas manusia. Penyebab alami erosi antara lain adalah karakteristik hujan, kemiringan lereng, tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam lapisan tanah dangkal. Erosi yang disebabkan oleh aktivitas manusia umumnya disebabkan oleh adanya penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, perkebunan dan perladangan.

Dampak dari erosi adalah menipisnya lapisan permukaan tanah bagian atas, yang akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan (degradasi lahan). Akibat lain dari erosi adalah menurunnya kemampuan tanah untuk meresapkan air (infiltrasi). Penurunan kemampuan lahan meresapkan air ke dalam lapisan tanah akan meningkatkan limpasan air permukaan yang akan mengakibatkan banjir di sungai. Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan pada akhirnya akan mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya akibat tingginya sedimentasi akan mengakibatkan pendangkalan sungai sehingga akan mempengaruhi kelancaran jalur pelayaran.

Gambar 2.1 Relief (Sumber : Agus et al. 1999)

2.2

Klasifikasi Lahan Menurut Kemiringannya

Tabel 2.1 Klasifikasi lahan Kemiringan Lahan (%) Kelas Kemiringan Lahan 03 38 8 15 15 25 25 40 > 40 Datar Agak Miring Miring Agak Terjal Terjal Curam Relief Datar Landai Berombak Bergelombang Berbukit Bergunung

Land slope atau kemiringan lahan merupakan faktor yang sangat perlu untuk dperhatikan, sejak dari penyiapan lahan pertanian, usaha penanamannya, pengambilan produk-produk serta pengawetan lahan tersebut, karena lahan yang mempunyai kemiringan itu dapat dikatakan lebih mudah terganggu atau rusak, lebih-lebih kalau derajat kemiringanya besar. Derajat kemiringan dan panjang lereng merupakan dua sifat yang utama dari topografi yang memepengaruhi besarnya erosi. Makin curam dan makin panjang lereng maka makin besar pula besar kecepatan aliran air permukaan dan bahaya erosi. Bila kita hubungkan kenyataan ini dengan lereng yang gundul, maka inilah yang termudah untuk terjadinya erosi ditijau dari sudut topografi, karena kecepatan daripada aliran air di permukaan dapat dengan mudah mengikis lapisan atas tanah. 2.2.1 Wilayah Datar Wilayah ini mempunyai relief datar dengan kemiringan lereng < 2% dengan ketinggian tempat berkisar antara 0 50 m dpl. Daerah ini berada di sepanjang sungai, dataran bergambut dan sebagian kecil di daerah pesisir pantai. Kondisi penutupan lahan ini merupakan hutan rawa, hutan mangrove dan sebagian telah digunakan masyarakat berupa ladang. Luas wilayah areal inimencapai 2.241 Km2 (12,11%) dengan penyebaran terluas di Kecamatan Teluk Etna. 2.2.2 Wilayah Bergelombang Wilayah bergelombang dengan kemiringan lereng dominan berkisar antara 2-8% dan berada pada ketinggian tempat antara 0 150 m dpl. Kondisi penutupan lahan ini berupa hutan dataran rendah. Daerah ini tersebar di 4 kecamatan dengan luas areal 3.610 Km2 (1,95%). 2.2.3 Wilayah Bergelombang Hingga Berbukit Kecil Wilayah ini menempati areal yang sangat sempit yang berada di Kecamatan Teluk Etna bagian utara, yaitu di sekitar Desa Urubika, Yapima dan Desa Ure. Kemiringan lereng daerah ini berkisar antara 9 15% (0,40%) dengan ketinggian tempat 20 -800 m dpl, kondisi penutup lahan berupa kebun dan belukar.

2.2.4 Wilayah Berbukit Wilayah ini berbukit-bukit dengan kondisi lahan terjal dan mempunyai kemiringan lereng antara 15 25% dan setempat hingga 40%, dengan ketinggian tempat 5 600 m dpl. Daerah ini penyebarannya paling luas mulai dari bagian tenggara hingga barat daya seperti di Kecamatan Buruway dan Kecamatan Kaimana dengan luas areal 1503,9 Km2 (8,61%) dengan penutupan lahan berupa hutan sekunder dan hutan primer. 2.2.5 Wilayah Berbukit Hingga Bergunung Daerah ini mempunyai bentuk wilayah berbukit-bukit hingga bergunung dengan kemiringan lereng > 40% dan setempat bisa mencapai 70%. Ketinggian tempat 100 m 2.800 m dpl. Daerah seperti ini tersebar luas di bagian utara merupakan Gunung Wagura Kote dan sebelah barat merupakan pegunungan Kumawa dengan luas areal 14.415,8 Km2 (77,92%). 2.3 Abney Level Abney level adalah suatu instrument atau peralatan dalam keteknikan rancang-bangun yang digunakan untuk menentukan tinggi suatu benda atau bangunan dan kemiringan suatu tempat atau areal. [Itu] dan [tentang] sedang mahal ukuran menengah dan berat/beban.

Gambar 2.2 Abney level (Sumber : id.wikipedia.org)

2.4

Suunto level Suunto PM-5 digunakan untuk mengukur suatu ketinggian, seperti

mengukur tingginya pohon, dengan ketelitian besar dan cepat.Juga dapat digunakan untuk menentukan sudut suatu gradien. Suunto Klinometer merupakan instrumen yang penggunanya seluruh penjuru dunia seperti para pensurvei,

insinyur, orang yang membuat peta, geolog, buruh tambang dan arsitek dan banyak orang yang lain untuk mengukur sudut vertical dan keserongan dengan cepat dan dengan mudah.

Gambar 2.3 Suunto level PM-5 (Sumber : id.wikipedia.org)

Suunto tandem adalah suatu klinometer dan kompas ketepatan liquid-filled di dalam satu alat. Instrument ini adalah suatu alat sempurna untuk para pensurvei, insinyur, orang yang membuat peta, geolog, buruh tambang, arsitek dan untuk siapa yang perlu untuk mengukur indikasi directional, sudut vertikal dan keserongan dengan kecepatan dan ketelitian.

Gambar 2.4 Suunto tandem (Sumber : id.wikipedia.org)

2.5

Hagameter Hand Gun Altimeter (HAGA) adalah suatu alat ukur untuk mengukur

ketinggian, mulai dari ketinggian yang sedang sampia yang tinggi. Alat ini harganya tidak terlalu mahal dan cukup akurat (sempurna). Kemuliaan di atas dan di bawah mata pengamat dapat dibaca secara langsung dari skala jika pengamat berdiri pada jarak 15, 20, 25 atau 30 m dari pohon. Skala yang sesuai dapat

terpilih dengan

berputar pemilihan [itu] memutar angka telepon pusat

perhatian/paling depan instrumen Ketika digunakan dengan tepat, Blume Leiss mempunyai suatu ketelitian sekitar+/- 0.5 m untuk suatu 20 m pohon jangkung ( dengan kata lain sekitar 2.5%).

Gambar 2.5 Hagameter (Sumber : id.wikipedia.org)

Gambar 2.6 Perbandingan alat pengukur sudut (Sumber : id.wikipedia.org)

Tabel 2.2 Perbandingan alat pengukur sudut

2.6

Meteran Meteran, sering disebut pita ukur atau tape karena umumnya tersaji dalam

bentuk pita dengan panjang tertentu. Sering juga disebut rol meter karena umumnya pita ukur ini pada keadaan tidak dipakai atau disimpan dalam bentuk gulungan atau rol. Kegunaan utama atau yang umum dari meteran ini adalah untuk mengukur jarak atau panjang. Kegunaan lain yang juga pada dasarnya adalah melakukan pengukuran jarak, antara lain (1) mengukur sudut baik sudut horizontal maupun sudut vertikal atau lereng, (2) membuat sudut siku-siku, dan (3) membuat lingkaran. Meteran mempunyai spesifikasi antara lain : 1. Satuan ukuran yang digunakan Ada 2 satuan ukuran yang biasa digunakan, yaitu satuan Inggris ( inch, feet, yard) dan satuan metrik ( mm, cm, m) 2. Satuan terkecil yang digunakan mm atau cm , inch atau feet 3. Daya muai, yaitu tingkat pemuaian akibat perubahan suhu udara 4. Daya regang, yaitu perubahan panjang akibat tegangan atau tarikan 5. Penyajian angka nol. Angka atau bacaan nol pada meteran ada yang dinyatakan tepat di ujung awal meteran dan ada pula yang dinyatakan pada jarak tertentu dari ujung awal meteran. Daya muai dan daya regang meteran dipengaruhi oleh jenis meteran, yang dibedakan berdasar-kan bahan yang digunakan dalam pembuatannya

BAB III 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

3.1

Hasil Percobaan

Tabel 1. Hasil pengukuran sudut dengan hagameter, abney level, dan sunto level Titik Pengukuran 1-2 2-3 3-4 Hagameter (%) -28.7 -30 -30.2 Abney level (%) -28.5 -32 -31 -16 -16.5 -17 (o ) Sunto level Konversi ke % -28.6 -29.6 -30.57

Tabel 2. Hasil pengukuran sudut dengan theodolit digital dan meteran Titik Pengukuran 1-2 2-3 3-4 BB 134.8 132.3 130.2 Theodolit Digital BT 137.5 137.5 137.5 BA 140.2 143.2 145.7 VA (%) -28.675 -31.724 -32.627 dt (m) 100.5 117.5 97 Meteran dh (m) 500 500 500 (%) -20.1 -23.5 -19.4

Tabel 3. Hasil pengukuran sudut rata-rata Titik Pengukuran 1-2 2-3 3-4 -26.915 -29.3648 -28.7594 -15.064 -16.362 -16.03

3.2

Pembahasan Setelah melakukan praktikum dengan menggunakan alat-alat pengukur

sudut maka didapati suatu pembahasan mengenai masing-masing alat tersebut terhadap pembacaan sudut pada suatu lahan miring karena terdapat perbedaan dari tiap alat baik cara pengukuran ataupun cara pembacaan sudutnya.

Alat pengukur sudut yang digunakan terdapat 5 jenis yaitu Haga, Abney, Sunto, Theodolit Digital dan Meteran. Pengukuran dilakukan pada lahan yang sama yaitu lahan miring dengan jarak pengukuran 15 meter dengan penempatan 3 titik pengukuran pada tiap 5 meter, pengukuran ini dilakukan dari atas menuju bawah lereng. Parameter utama yang sangat terlihat adalah tingkat keakuratan hasil pembacaan sudut tiap alat. Secara umum, theodolit digital memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding keempat alat lainnya karena pengukuran dengan Haga, Abney, Sunto dan meteran murni manual sesuai kemampuan pembaca sudut. Faktor kurangnya tingkat ketelitian yang utama yaitu keterbatasan pembaca sudut karena terbatasnya pandangan atau posisi pemegangan alat ukur yang berubah-ubah belum lagi faktor eksternal dimana kondisi lingkungan yang panas dan angin yang cukup kencang. Namun bila dimisalkan patokan nilai kemiringan lahan adalah nilai dari teodolit digital maka dari keempat alat lainnya yang mendekati nilai presentase yaitu pembacaan sudut dengan alat Abney. Sedangkan dengan menggunakan alat yang terakhir atau menggunakan teodolit. Alat teodolit memiliki tingkat ketelitian yang hampir sempurna. Hanya saja dalam pengoperasiannya sangat kompleks. Pertama-tama kita harus mensejajarkan nivo kotak dan nivo tabung dan harus sangat hati-hati. Dalam melakukan pengukuran dengan menggunakan alat teodolit kita tidak dapat lepas dari rambu ukur untuk mendapatkan nilai batas bawah, batas tengah dan batas atas. Berdasarkan kelima alat tersebut apabila dibandingkan tingkat

keakurasiannya, meteran adalah yang paing rendah. Alat ini penggunaannya sangat manual dan sangat bergantung pada tingkat ketelitian pengamat/praktikan. Hasil besarnya sudut yang dihasilkan dari pengukuran menggunakan meteran sangat berbeda jauh dengan alat pengukur sudut lainnya yang relatif saling mendekati. Setelah pengukuran selesai, kemudian dibuatlah profil lahan dari nilai rataratanya. Didapat kemiringan lahan rata-rata yaitu 26,9 % - 29,4 %. Berdasarkan pengklasifikasian, lahan ini termasuk pada kelas terjal dengan relief berbukit.

Kendala yang dialami saat pengukuran yaitu penentuan titik ukur lahan dan titik ukur patokan pengukuran yang disesuaikan dengan tinggi si pembaca sudut karena banyak faktor keterbatasan terseut yang membuat hasil pengukuran kurang akurat. Namun secara garis besar pembacaan sudut dengan kelima alat tersebut memiliki fungsi penting dalam penentuan kemiringan suatu lahan agar hasil data tersebut dapat diolah dan dimanfaatkan untuk konservasi, dsb.

BAB IV 4 KESIMPULAN DAN SARAN

4.1

Kesimpulan Pada praktikum kali ini dapat kita simpulkan bahwa : 1. Untuk mengukur tingkat kemiringan lahan dapat dilakukan dengan 5 alat, yaitu suunto level, haga meter, abney, theodolit dan meteran murni manual. 2. Theodolit digital memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi. 3. Pada dasarnya, setiap alat mampu menghasilkan data yang hampir sama besarannya. Perbedaan hasil pengamatan kemungkinan terjadi akibat prosedur penggunaan dan pengamatan alat yang kurang baik. 4. Apabila nilai hasil pengamatan menggunakan theodolit dijadikan acuan, maka hasil pengamatan menggunakan abney merupakan nilai yang paling mendekati akurat. 5. Penggunaan meteran untuk pengukuran sudut sulit untuk dilakukan karena keterbatasan ketelitian pengamat. 6. Lahan yang diamati tergolong lahan yang memiliki tingkat kemiringan yang terjal dengan lahan berbukit, sangat memungkinkan terjadi kerusakan akibat erosi bila tidak ditanggulangi.

4.2

Saran 1. Usahakan alat yang digunakan dalam kondisi layak pakai. 2. Usahakan pembagian tugas antar anggota jelas sehingga waktu praktikum dapat lebih efisien. 3. Usahakan orang yang melakukan pengamatan pada setiap alatnya dilakukan oleh orang yang sama guna mengurangi tingkat kesalahan pengamatan. 4. Guna menghasilkan kontur lahan yang lebih nyata, usahakan pengamatan titik dilakukan lebih dari 5 patok.

DAFTAR PUSTAKA

Bafdal, N., Amaru, K., Suryadi, E., & Ardiansah, I. (2012). Menghitung Curah Hujan. In N. Bafdal, K. Amaru, E. Suryadi, & I. Ardiansah, Penuntun Praktikum Teknik Pengawetan Tanah dan Air (pp. 01-02). Bandung: Jurusan Teknik dan Manajemen Industri Pertanian, FTIP, Universitas Padjadjaran.

Petunjuk Teknis Teknologi Konservasi Tanah dan Air. 2007. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Schwab, Glen O; dkk. 1981. Soil and Water Conservation Engineering. United States of America: John Wiley and Sons, Inc.

Soetomo Wongsotjitro.1992. Ilmu Ukur Tanah. Kanisius, Jogyakarta.

Saifudin Arief, 1985. Konservasi Tanah dan Air . C.V. Pustaka Buana. Bandung.

Anonim.

Pengolahan

Tanah

/

Penanaman

Menurut

Kontur.

http://bebasbanjir2025.wordpress.com/teknologi-pengendalianbanjir/pengolahan-tanahpenanaman-menurut-kontur/ diakses Selasa, 10 April 2012 pukul 20.15 WIB

LAMPIRAN

Gambar 1. Lokasi praktikum

Gambar 2. Penentuan jalur pengukuran

Gambar 3. Pengkalibrasian theodolit

Gambar 4. Penggunaan hagameter

Gambar 4. Pemberian batas untuk bidikan

Gambar 4. Penggunaan abney level