Top Banner
1 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara yang berasal dari kelompok non migas. Kondisi laut yang luas dan iklim tropis di Indonesia mendukung pertumbuhan dan perkembangan udang windu (Penaeus monodon). Sekarang ini, udang windu semakin sulit untuk didapat secara alami. Penyebab utama adalah ketersediaan benih yang kurang serta adanya bakteri yang menghambat pertumbuhan udang khususnya pada larva. Sehingga dilakukan berbagai cara agar produksi udang windu tetap berjalan. Salah satunya adalah penerapan sistem budidaya atau pembenihan udang windu secara intensif yang dimulai sejak pertengahan tahun 1986 (Agustina, 2013). Benur udang windu merupakan salah satu faktor bagi usaha pembenihan yang tidak tergantung pada benur alam yang terdapat disekitar. Oleh sebab itu penyediaan benur mendapatkan perhatian yang utama untuk memudahkan budidaya udang windu. Untuk menunjang usaha budidaya, yang harus dilakukan adalah dengan mendirikan balai-balai pembenihan. Keberhasilan usaha pembenihan udang windu merupakan langkah
32

Laporan PKL udang windu

Apr 14, 2016

Download

Documents

nurulfadhiilah

laporan pkl di barru
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan PKL udang windu

1

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu komoditas

unggulan Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara yang berasal dari

kelompok non migas. Kondisi laut yang luas dan iklim tropis di Indonesia

mendukung pertumbuhan dan perkembangan udang windu (Penaeus monodon).

Sekarang ini, udang windu semakin sulit untuk didapat secara alami. Penyebab

utama adalah ketersediaan benih yang kurang serta adanya bakteri yang

menghambat pertumbuhan udang khususnya pada larva. Sehingga dilakukan

berbagai cara agar produksi udang windu tetap berjalan. Salah satunya adalah

penerapan sistem budidaya atau pembenihan udang windu secara intensif yang

dimulai sejak pertengahan tahun 1986 (Agustina, 2013).

Benur udang windu merupakan salah satu faktor bagi usaha pembenihan

yang tidak tergantung pada benur alam yang terdapat disekitar. Oleh sebab itu

penyediaan benur mendapatkan perhatian yang utama untuk memudahkan

budidaya udang windu. Untuk menunjang usaha budidaya, yang harus dilakukan

adalah dengan mendirikan balai-balai pembenihan. Keberhasilan usaha

pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai

budidaya. Keberhasilan pembenihan tersebut pada akhirnya akan mendukung

usaha penyediaan benih udang windu yang berkualitas (Agustina, 2013).

Salah satu yang dapat diterapkan dalam pembenihan udang windu

adalah usaha pembenihan skala rumah tangga. Usaha pembenihan skala rumah

tangga ini sudah menjadi usaha alternatif bagi para pengusaha benur, akan

tetapi karena kasus kematian masih tetap tinggi, sehingga perlu penerapan

teknologi-teknologi pemeliharaan yang benar untuk meningkatkan hasil

panennya. Kendala utama penyebab menurunnya hasil panen benur di

Page 2: Laporan PKL udang windu

2

pembenihan udang skala rumah tangga adalah adanya serangan penyakit dan

penyediaan kualitas air agar kandungan oksigen dalam bak pembenihan dapat

optimal. Untuk mengatasi kendala tersebut perlu dilakukan suatu upaya agar

larva udang yang dipelihara di panti pembenihan tahan terhadap lingkungan

yang kurang sesuai dan tahan terhadap serangan penyakit (Mahasri dkk., 2014).

Berdasarkan latar belakang diatas, kegiatan pembenihan udang windu

sangat perlu untuk dipelajari dan diketahui. Maka dari itu dilakukan kegiatan

Praktek Kerja Lapang yang berjudul Teknik Pemeliharaan Larva Udang Windu

(Penaeus monodon) di Backyard Pendidikan UNHAS, Desa Bojo, Kecamatan

Mallusettasi, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan.

I.2 Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari Praktik Kerja Lapang ini, yakni untuk mendapatkan

pengetahuan, pengalaman dan keterampilan kerja serta gambaran secara

langsung mengenai teknik pemeliharaan larva udang windu (P. monodon) di

Backyard Pendidikan UNHAS dengan memadukan pengetahuan yang diperoleh

di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan.

Manfaat dari praktik kerja lapang ini adalah untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan mahasiswa di lapangan serta memahami

permasalahan yang timbul dalam teknik pemeliharaan larva udang windu

sehingga nantinya diharapkan dapat melakukan pembenihan udang windu

dengan baik.

Page 3: Laporan PKL udang windu

3

II. METODE PRAKTIK

II.1 Waktu dan Tempat

Praktik lapang ini dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember 2015,

bertempat di Backyard Pendidikan UNHAS, Desa Bojo, Kecamatan Mallusettasi,

Kabupaten Barru.

III.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada pembenihan udang windu dapat

dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Alat yang digunakan selama kegiatan praktik.No Alat Kegunaan1 Bak induk Wadah pemeliharaan induk2 Bak penetasan Wadah penetasan telur3 Bak larva Wadah pemeliharaan larva4 Bak kultur pakan alami Wadah pengkulturan pakan alami5 Bak air laut Wadah penampungan air laut6 Pipa sifon Menyipon kotoran udang7 Filter bag Filter/saringan air8 Jaring Alat memanen larva9 Selang Penyalur air10 Lampu Sumber cahaya11 Senter Sumber cahaya 12 Tabung oksigen Sumber oksigen13 Blower keong Sumber oksigen14 Seser Untuk mengambil larva15 Peralatan aerasi Penyalur oksigen16 Ember pakan Wadah pakan gosok dan alami17 Galon Wadah mengkultur artemia18 Ember Wadah pupuk chlorella19 Baskom Wadah menghitung larva20 Saringan Menyaring pakan alami 21 Termometer Mengukur suhu air22 Hand refractometer Mengukur salinitas23 Pompa air laut Memompa air laut24 Pompa air tawar Memompa air tawar25 Terpal Penutup bak26 pH meter Mengukur pH

Page 4: Laporan PKL udang windu

4

272829303132333435363738394041

SikatGayungTimbanganObjek glassBeaker glassMikroskopPipet tetesDissolved oxygen meterKantong panen plastikKaret gelangLakban TaliKardusKarungEmber

Menyikat bak Mengambil airMenimbang pakanMeletakkan objek yang diamatiUntuk mengukur dan mencampur cairanMengamati larvaMengambil cairan Mengukur OksigenPengepakanPengepakanPengepakanPengepakanPengepakanPengepakanWadah penampungan air laut dan air tawar

Tabel 2. Bahan yang digunakan selama kegiatan praktik.No Bahan Kegunaan1 Larva udang windu Objek pemeliharaan2 Air laut Media pemeliharaan3 Air tawar Media sterilisasi4 Skeletonema costatum Pakan alami larva5 Artemia salina Pakan alami larva6 EDTA Sterilisasi7 Pakan buatan Pakan untuk larva udang windu8 Deterjen Bahan untuk membersihkan bak9 Elbazin Antibiotik10 Alkohol Sterilisasi

II.3 Metode Praktik

Metode praktik yang digunakan selama Praktik Kerja Lapang (PKL) ini

adalah sebagai berikut :

1. Observasi

Metode observasi merupakan pengamatan yang dilakukan untuk

memahami kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara langsung dalam teknik

pemeliharaan larva udang windu di lokasi praktik.

2. Wawancara

Wawancara merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data

berupa mekanisme prosedur kerja dan info keadaan lokasi langsung dari pemilik,

teknisi, dan karyawan.

Page 5: Laporan PKL udang windu

5

3. Praktik langsung

Praktik langsung merupakan suatu tindakan atau aktivitas dari mahasiswa

untuk melakukan segala bentuk tahapan kegiatan yang dilakukan selama berada

di Backyard Pendidikan UNHAS, Desa Bojo, Kecamatan Mallusettasi, Kabupaten

Barru. Kegiatan yang dilakukan selama PKL dapat dilihat pada Lampiran 2.

4. Pencatatan data

Pencatatan data dapat dilakukan dengan dua metode pengambilan data

yakni :

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh berdasarkan kegiatan yang

dilakukan selama melakukan PKL. Data foto kegitan, alat dan bahan dapat

dilihat pada lampiran 1.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh berdasarkan hasil

wawancara yang dilakukan terhadap pemilik, teknisi, dan karyawan untuk

melengkapi data primer.

II.4. Tahapan Kegiatan

Tahapan kegiatan yang dilakukan selama berada di lokasi PKL, yakni

persiapan wadah dan media pemeliharaan, penyiapan pakan, pemeliharaan

larva, pengendalian penyakit, pengelolaan kualitas air dan panen.

Page 6: Laporan PKL udang windu

6

III. KEADAAN UMUM LOKASI PRAKTIK KERJA LAPANG

III.1 Sejarah

Backyard Pendidikan UNHAS terletak di Desa Bojo, Kecamatan

Mallusettasi, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Keadan umum lokasi

PKL dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Seluruh kegiatan operasional

Backyard UNHAS bekerjasama dengan CV Rapid Ady Farm. CV Rapid Ady

Farm disingkat RAF adalah perusahaaan yang bergerak dalam bidang industri

budidaya kepiting. Perusahaaan ini didirikan pada tanggal 8 Februari 2011

dengan akta pendirian No.8 pada notaris di Makassar Betsy Sirua SH. CV. RAF

memiliki lahan budidaya seluas 5 Ha di Kabupaten Barru dan 5 Ha di Kabupaten

Maros.

III.2 Visi dan Misi

Visi Perusahaan : Menjadi perusahaan terkemuka di Indonesia.

Misi Perusahaan :

1. Menyelenggarakan kegiatan produksi yang ramah lingkungan dan

berkesinambungan

2. Mengaplikasikan solusi-solusi inovatif berbasis riset dalam

meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi

3. Menjadi mitra petani/pembudidaya kepiting yang mengayomi.

Page 7: Laporan PKL udang windu

7

III.3. Struktur Organisasi

Struktur organisasi Backyard Pendidikan UNHAS adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Bagan Struktur Organisasi Backyard Pendidikan UNHAS.

III.4 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang terdapat di Backyard Pendidikan UNHAS

dapat dilihat pada pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Sarana yang terdapat di Backyard Pendidikan UNHAS.No Sarana Spesifikasi Jumlah1 Bak pemeliharaan induk 8,5 m2 12 Bak pemeliharaan larva 5,6 X 4 X 1,5 m 83 Bak penampungan air laut 7 X 3 X 1 m 14 Bak kultur Skeletonema c. 5 X 4,5 X 1,1 m 325 Bak kultur Artemia s. 0,1256 m2 1367

Pompa air lautPompa air tawar

Merk NHPShimizu

11

8 Blower Model keong 19 Genset Merk iiangoong 1

Tabel 4. Prasarana yang terdapat di Backyard Pendidikan UNHAS.No.

Prasarana Jumlah

1 Mes karyawan 12 Gudang 13 Motor 1

MANAGER PRODUKSI

KEUANGAN PEMASARAN

KELOMPOK BUDIDAYA KELOMPOK BUDIDAYA

LOGISTIK QUALITY CONTROL

KELOMPOK BUDIDAYA

DIREKTUR

Page 8: Laporan PKL udang windu

8

III.5 Sistem Pengadaan Air Laut

Air laut merupakan media pemeliharaan yang harus ada dalam kegiatan

pembenihan. Sistem pengadaan air laut pada Backyard Pendidikan UNHAS

yakni air laut yang berada disekitar lokasi Backyard Pendidikan UNHAS dipompa

dengan menggunakan pipa dengan ukuran 5 inci (Gambar 2). Air laut yang

dipompa akan melewati filter fisik (Gambar 3) berupa sand filter yang tersusun

atas pasir halus, kerikil, dan saringan, dimana air yang masuk (dalam keadaan

keruh) akan disaring dengan pasir halus, kemudian tersaring lagi oleh kerikil

ukuran 2-8 mm, lalu disaring dengan kerikil ukuran 8-16 mm, dan terakhir

disaring dengan kerikil ukuran 16-32 mm. Kemudian air yang sudah bersih

masuk ke dalam bak penampungan air laut (Gambar 4). Selanjutnya air yang

berasal dari bak penampungan air laut dialirkan ke bak-bak pemeliharaan larva.

Gambar 2. Pompa air laut.

Page 9: Laporan PKL udang windu

9

Gambar 3. Sand filter .

Gambar 4. Bak penampungan air laut.

III.6 Pengadaan Air Tawar

Sistem pengadaan air tawar diperoleh dari sumur bor yang dibantu

dengan mesin pompa air tawar (Gambar 5). Air tawar digunakan untuk

kebutuhan hidup karyawan dan keperluan pembenihan. Untuk keperluan

pembenihan digunakan untuk dicampurkan pada air laut (media pemeliharaan),

mencuci bak dan peralatan pembenihan.

Page 10: Laporan PKL udang windu

10

Gambar 5. Pompa air tawar.

III.7 Sistem aerasi

Sistem aerasi untuk suplai oksigen dalam pembenihan udang windu

menggunakan blower model keong (Gambar 6). Selain itu, sistem aerasi juga

dilengkapi dengan selang dan batu aerasi (Gambar 7). Selang aerasi yang

digunakan di Backyard UNHAS terbuat dari plastik yang tidak mudah pecah,

lentur dan juga tahan panas. Batu aerasi berfungsi untuk memperhalus

gelembung udara yang keluar dan diletakkan pada ujung selang aerasi.

Gambar 6. Blower.

Page 11: Laporan PKL udang windu

11

Gambar 7. Peralatan aerasi.

III.8 Sumber Listrik

Pasokan listrik disuplai dari dua sumber, yaitu suplai listrik dari

Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan sumber listrik dari Generator set (Genset)

(Gambar 8). Suplai listrik dari PLN memiliki daya 2200 watt sedangkan suplai

listrik dari genset digunakan sebagai cadangan saat listrik padam.

Gambar 8. Genset.

Page 12: Laporan PKL udang windu

12

IV.HASIL PELAKSANAAN PRAKTIK KERJA LAPANG

IV.1 Persiapan Wadah dan Media Pemeliharaan

Wadah atau bak pemeliharaan terlebih dahulu dibersihkan. Bak dicuci

dengan menggunakan deterjen dan disikat. Setelah itu dibilas dengan air bersih

dan dibiarkan sampai kering. Selain itu juga dilakukan pembersihan peralatan

aerasi dengan mencuci peralatan tersebut kemudian dibilas dengan air bersih dan

dikeringkan. Setelah itu dipasang selang dan batu aerasinya dan dinyalakan pada

bak pemeliharaan larva.

Air laut yang digunakan adalah air laut yang telah di filter dengan sand

filter. Kemudian dialirkan ke bak bak pemeliharaan larva dengan perbandingan air

laut dan tawar 7:3. Sebelum pemeliharaan larva dilakukan, air laut yang telah

dicampur air tawar diberikan EDTA yang berguna untuk melarutkan noda-noda

hasil pembersihan, diberikan sebanyak 30 gr/bak dengan kapasitas bak 10 ton dan

tinggi air 70 cm.

IV.2 Penyiapan Pakan

Pada dasarnya pakan yang di berikan pada larva dan post larva ada dua

jenis pakan yakni pakan alami dan pakan buatan. Jenis pakan yang di berikan

tergantung pada fase larva. Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada

fase nauplius, larva belum di beri pakan karena belum memiliki sistem

pencernaan sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning

telur yang di kandung dalam tubuhnya sehingga larva belum membutuhkan

makanan dari luar. Pemberian pakan baru diberikan pada fase zoea sampai post

larva.

Page 13: Laporan PKL udang windu

13

1. Pakan alami

Pakan alami merupakan salah satu komponen utama yang

mempengaruhi keberhasilan dalam pemeliharaan larva. Menurut Suryati (2002),

pakan yang sesuai untuk stadia larva adalah pakan alami karena pakan alami

mengandung enzim yang berperan dalam autolisis, ukurannya sesuai dengan

bukaan mulut larva, gerakannya yang aktif merangsang larva untuk

memakannya, mudah diperkaya dengan sumber nutrisi eksternal dan tidak

mencemari media pemeliharaan. Penyedian pakan alami dalam kegiatan ini

harus sudah tersedia minimal sehari sebelum larva diberi pakan alami

(memasuki fase zoea). Oleh karena itu penyiapan pakan alami harus sudah

tersedia sejak 2 minggu sebelum pemeliharaan larva. Ada jenis pakan alami

yang digunakan yakni Skeletonema costatum dan Artemia salina.

a. Skeletonema costatum

Pakan alami sketo yang digunakan berasal dari kultur massal pada bak

beton bervolume 4000 Liter. Sebelum melakukan kultur, terlebih dahulu

disiapkan media pemeliharaan berupa air laut sebanyak 2500 Liter dan air tawar

sebanyak 1500 Liter, dengan salinitas 28 ppt dan nyalakan aerasi untuk

menghomogenkan air. Untuk volume diperlukan bibit 5-10% dari volume total.

Kemudian disiapkan juga pupuk untuk menumbuhkan sketo berupa urea dan

NPK (Pupuk NPK “Phonska”) dengan komposisi nitrogen 15%, fosfat 15%,

kalium 15%, sulfur 10%, dan air 2% memakai konsentrasi perbandingan 1 : 2.

Lalu pupuk tersebut dicampur air sebanyak 500 mL setelah itu dihomogenkan

dengan bantuan aerasi. Setelah pupuknya homogen dan dimasukkan ke dalam

bak kultur sketo, bibit sketo sdh bisa dimasukkan ke dalam bak kultur sketo juga.

Ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan pertumbuhan Skeletonema

costatum yaitu faktor biologis, kimia, fisika dan kebersihan lingkungan kultur.

Page 14: Laporan PKL udang windu

14

Faktor biologi meliputi penyediaan bibit yang bermutu dan jumlahnya yang

mencukupi. Bibit yang dipakai untuk kultur berasal dari PT. Esa Putli. Faktor

fisika yang mempengaruhi antara lain suhu (25°C-27°C), salinitas (25-30 ppt), pH

(7,9-8,5), dan intensitas cahaya (10000-50000 lux). Faktor kimia yaitu unsure

hara (Nitrogen, Fosfor, Besi, Sulfat, Magnesium, Kalsium, dan Kalium) dalam

media pemeliharaan harus terpenuhi sesuai dengan kebutuhan jenis plankton

yang akan dikultur. Selain faktor diatas, faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu

kebersihan dari alat-alat kultur agar tidak terkontaminasi dengan organisme lain

yang akan menggangu pertumbuhan (Ruth dan Charles, 1966 dalam

Munazir,2013). Menurut Lamadi (2009) Perkembangan Skeletonema mulai

Nampak setelah 24 jam bibit ditebar, sebab pada saat itu Skeletonema telah

mencapai puncak populasi yang ditandai dengan warna coklat mudah dan

semakin lama warna itu semakin pekat. Pada warna tersebut Skeletonema

sudah dapat dipanen dan diberikan pada bak-bak pemeliharaan larva.

Gambar 13. Skeletonema costatum siap dipanen.

b. Proses penetasan artemia tanpa dekapsulasi

Adapun proses kerja penetasan artemia sebagai berikut:

1. Menimbang kista yang akan ditetaskan sebanyak 5 gram/L air dengan

menggunakan timbangan elektrik.

Page 15: Laporan PKL udang windu

15

2. Menyiapkan wadah penetasan yang berupa gallon yang telah dilubangi

bagian bawahnya dan diberi selang aerasi dan spuyer dibagian tutupnya,

kemudian galon tersebut ditutupi bagian sisinya menggunakan

lakban/plastik hitam agar mempermudah untuk panen. Lalu letakkan

galon pada penyangga dengan posisi tutup galon berada dibagian bawah.

3. Isi galon dengan air laut 32 ppt sebanyak 18 L.

4. Kemudian kista dihidrasi menggunakan air tawar selama 10 menit.

5. Setelah itu masukkan kedalam wadah tadi, lalu berikan aerasi.

6. Media penetasan diberi sinar yang berasal dari lampu TL dengan suhu

ruangan 27oC

7. Kemudian kista Artemia menetas 48 jam, kemudian melepas aerasi yang

ada didalam wadah penetasan. Selanjutnya dilakukan penutupan wadah

penetasan pada bagian atas dengan menggunakan plastik hitam agar

Artemia yang menetas akan berkumpul pada bagian bawah wadah

penetasan. Artemia mempunyai sifat fototaksis positif yang akan

bergerak menuju sumber cahaya.

8. Selanjutnya didiamkan beberapa lama (kurang lebih 15 –30 menit)

sampai seluruh kista yang telah menetas berkumpul didasar wadah.

9. Melakukan penyedotan dengan selang untuk mengambil Artemia yang

telah menetas dan menampung dalam wadah penampungan.

10. Naupli Artemia yang sudah disaring kemudian dicuci menggunakan air

laut, lalu kemudian ditempatkan di dalam ember baru yang berisi air laut

dan diaerasi hingga siap untuk diberikan pada larva udang windu.

2. Pakan Buatan

Page 16: Laporan PKL udang windu

16

Pakan buatan merupakan pakan tambahan yang diformulasikan dari

bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhan hewan (Yuwono dan Purnama,

2001). Pakan buatan merupakan salah satu komponen utama yang

mempengaruhi keberhasilan dalam pemeliharaan larva. Kandungan nutrisi pada

pakan buatan dapat diatur sesuai dengan kebutuhan nutrisi kultivan selain itu,

pakan buatan mudah didapatkan dan dapat dibeli ketika diperlukan karena tidak

membutuhkan pemeliharaan ataupun penumbuhan dalam waktu yang cukup

lama (Nachdatullah, 2015). Pakan buatan mulai diperlukan ketika larva

memasuki fase zoea Jenis pakan buatan yang digunakan pada pemeliharaan

larva yakni Japonicus, Flake Top, GAP, dan sedikit tambahan vitamin.

Pemberian pakan buatan yang diberikan pada fase Zoea adalah

Japonicus, GAP, dan sedikit tambahan vitamin. Pakan buatan yang diberikan

pada fase Mysis dan Post Larva adalah Japonicus, Flake Top, dan sedikit

tambahan vitamin.

Gambar 14. Pakan buatan.

Page 17: Laporan PKL udang windu

17

IV.3 Pemeliharaan Larva Udang Windu (Stadia Nauplius-Post Larva)

Pada backyard UNHAS, tidak memiliki induk udang, baik itu jenis

Vannamei maupun Windu. Ditempat ini larva dibeli dari berbagai tempat di

daerah sekitar Mallawa, Barru dan hasil pembenihan induk udang berasal dari

Aceh.

Naupli yang telah didapatkan selanjutnya ditebar ke dalam bak-bak

pemeliharaan, Setiap bak masing-masing ditebar sekitar 1.000.000 ekor/70 ton.

Penebaran dilakukan pada pagi hari unutk menghindari perubahan suhu yang

terlalu tinggi. Sebelum ditebar, tak lupa dilakukan aklimatisasi salinitas untuk

mencegah terjadinya fluktuasi/perbedaan kondisi lingkungan yang berlebihan.

Aklimatisasi dilakukan dengan cara bungkusan yang berisi naupli sebelum

dibuka karet gelangnya di simpan didalam bak pemeliharaan. Maka posisinya

akan mengapung di permukaan bak pemeliharaan. Keadaan tersebut dilakukan

sekitar 15 menit. Setelah itu, bungkusan yang berisi naupli dibuka karet

gelangnya dan dituang ke dalam bak pemeliharaan secara perlahan hingga

naupli tersebut menyatu dengan air. Untuk mencegah larva berkumpul pada

satu tempat dan meminimalkan gangguan terhadap media pemeliharaan maka

permukaan bak ditutup dengan terpal yang dilapaisi plastik bening agar dapat

mempertahankan suhu dalam bak pemeliharaan.

Naupli tersebut belum langsung diberikan pakan sebab pada fase ini

naupli belum memiliki sistem pencernaan sempurna dan masih memiliki

cadangan makanan berupa kuning telur sehingga naupli masih belum

membutuhkan makanan dari luar. Pada fase ini, naupli mengalami 6 kali

metamorfosa/pergantian kulit dengan interval waktu 46–50 jam sesuai keadaan

suhu sebelum masuk fase zoea (Amri, 2003).

Page 18: Laporan PKL udang windu

18

Gambar 9. Fase naupli.

Fase zoea merupakan fase kedua dalam pemeliharaan larva. Pada fase

ini mulai membutuhkan makanan dari luar, karena persediaan cadangan

makanannya sudah mulai habis, sehingga memerlukan nutrisi untuk

pertumbuhan dan perkembangannya. Pakan yang diberikan dalam pemeliharaan

fase zoea ada 2 jenis, yaitu pakan buatan dan pakan alami (Skeletonema

costatum). . Pakan alami ini diberikan karena sesuai dengan bukaan mulut larva

yang berukuran sangat kecil. Plankton jenis Skeletonema costatum memiliki

dinding yang lebih tipis sehingga mudah dicerna oleh Larva. Pakan alami

diberikan 3 kali sehari, sedangkan pakan buatan diberikan 6 kali sehari. Fase

zoea memerlukan waktu 96-120 jam dan 3 kali pergantian kulit sebelum berubah

menjadi mysis (Amri, 2003).

Gambar 10. Fase zoea.

Fase mysis merupakan fase ketiga dalam pemeliharaan larva. Fase ini

membutuhkan asupan nutrisi dari luar untuk pertumbuhan dan

perkembangannya, karena persediaan cadangan makanannya telah habis. Fase

Page 19: Laporan PKL udang windu

19

mysis hampir mirip dengan udang dewasa namun bersifat planktonis dan

bergerak mundur dengan cara membengkokan badannya dan lebih kuat

berenang sehingga dapat mencapai makanannya. Pakan yang diberikan pada

fase ini yaitu pakan buatan sebanyak 6 kali sehari dan pakan alami Skeletonema

costatum sebanyak 3 kali sehari. Pada fase mysis III dapat diberikan pakan alami

berupa Artemia salina. Fase mysis memerlukan waktu 96-120 jam dan 3 kali

pergantian kulit sebelum berubah menjadi post larva (Amri, 2003).

Gambar 11. Fase mysis.

Fase post larva merupakan fase keempat atau fase terakhir dalam

pemeliharaan larva. Setelah lepas dari stadia Mysis III maka dinamakan post

larva I sampai seterusnya hingga PL yang siap dimana biasanya dipanen setelah

menjadi PL 5-10. Perubahan bentuk pada fase ini yang paling akhir dan paling

sempurna dari seluruh metamorfosa, tetapi larva ini tidak mengalami perubahan

bentuk, karena seluruh bagian tubuh sudah lengkap dan sempurna seperti udang

windu. Fase ini memiliki ciri-ciri yaitu mempunyai pleopoda yang berambut (stea)

untuk berenang. Pakan yang digunakan untuk fase post larva yakni pakan

buatan yang diberikan sebanyak 6 kali sehari dan pakan alami (Artemia salina)

diberikan sebanyak 3 kali sehari (Amri, 2003).

Page 20: Laporan PKL udang windu

20

Gambar 12. Fase post larva.

Dalam setiap fase larva, membutuhkan penangan yang berbeda-beda.

Kesalahan dalam penanganan dapat mengakibatkan kematian larva. Sesekali

juga dicek kesehatannya dan diberikan pula probiotik untuk menghindari

serangan penyakit.

IV.4 Pengelolaan kualitas air

Pengeloaan kualitas air merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan

untuk menunjang keberhasilan proses pemeliharaan larva. Pengelolaan kualitas

air berupa penyiponan dan pergantian air. Penyiponan dilakukan pada saat larva

berada di fase post larva hari ke-5 atau PL-5 karena larva dianggap sudah

memiliki daya tahan tubuh yang baik sehingga pada saat penyiponan dapat

bertahan terhadap tekanan air dan juga ukurannya yang mendukung ketika

disipon tidak terikut dengan air dan kotoran. Penyiponan ini dilakukan untuk

membersihkan bagian dasar bak, sehingga tidak merusak kualitas air dengan

menggunakan alat berupa pipa saluran pembuangan yang dilengkapi dengan

saringan. Setelah penyiponan, maka dilakukan pengisian air kembali untuk

mengganti air yang telah terbuang pada bak.

Pengontrolan kualitas air dilakukan setiap hari terhadap perubahan

salinitas, pH, suhu, sedangkan DO dilakukan setiap 3 hari sekali. Parameter

kualitas air selama pemeliharaan larva udang windu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Parameter kualitas air selama pemeliharaan larva udang windu.

Page 21: Laporan PKL udang windu

21

Parameter Nilai Kisaran Pustaka Salinitas (ppt) 23 – 30 28-34 (Juwana dan Romimohtarto, 2000)Suhu (0C) 31– 35 28–34 (Juwana 1997)pH 6 – 7,5 7,5-8,5 (Juwana dan Romimohtarto, 2000)DO (ppm) 4 – 6 4 (Kasry, 1996)

Dari Tabel 5 menunjukan bahwa nilai kisaran kualitas air antara lain:

salinitas, suhu, pH, dan DO ini cukup layak digunakan dalam kegiatan

pembenihan.

IV.5 Panen

Panen merupakan salah satu tahap akhir dari pemeliharaan, dimana

pemaneman dilakukan pada saat udang memasuki PL 10, waktu panen

dilakukan pada pagi atau malam hari. Larva yang dipanen harus sehat dan

mempunyai organ tubuh yang lengkap. Cara pemanenan cukup mudah yaitu air

media diturunkan sampai volume air dalam bak 30%. Lalu pasang kelambu

panen di ujung pipa pengeluaran kemudian kran pengeluaran mulai dibuka.

Setelah terlihat padat, benur di ambil dengan menggunakan seser dan

dipindahkan kedalam baskom untuk wadah penampungan. Kemudian Benur di

tampung dan dipasangi aerasi. Setelah itu benur ditakar dangan menggunakan

sendok takar dan dimasukan kedalam kantong panen.

Gambar 15. Panen benur.

Page 22: Laporan PKL udang windu

22

V. PENUTUP

V.1. Rangkuman

Berdasarkan hasil praktik kerja lapang yang dilaksanakan di Backyard

Pendidikan UNHAS Desa Bojo, dapat diperoleh beberapa hal sebagai berikut :

1. Masa pemeliharaan larva udang windu yaitu ±21 hari, adapun tahapan

perkembangan larva udang windu yaitu naupli, zoea, mysis, dan post

larva.

2. Beberapa tahapan dalam pemeliharaan larva udang windu yaitu

persiapan wadah dan media pemeliharaan, penyiapan pakan,

pemeliharaan larva, pengelolaan kualitas air dan panen.

3. Pakan yang diberikan saat pemeliharaan yaitu pakan alami dan pakan

buatan. Pakan alami berupa Skeletonema costatum dan Artemia salina.

Sedangkan pemberian pakan buatan yang diberikan pada fase Zoea

adalah Japonicus, GAP, dan sedikit tambahan vitamin. Pakan buatan

yang diberikan pada fase Mysis dan Post Larva adalah Japonicus, Flake

Top, dan sedikit tambahan vitamin.

4. Panen dilakukan pada saat larva memasuki fase post larva 10/PL10.

Panen dilakukan dengan cara menguras air bak pemeliharaan lalu

menyaring benur. Kemudian dilakukan penghitungan. Hasil produksi

benur di Backyard Hatchery ini kemudian dijual kepada petani tambak.

V. 2. Saran

Sebaiknya di Backyard Hatchery Unhas ini memiliki induk udang sendiri

sehingga mahasiswa yang melakukan PKL di tempat ini juga bisa mempelajari

cara merawat sampai pemijahkan induk udang. Kemudian tak lupa pula

sebaiknya dalam pemeliharaan larva udang windu (Penaeus monodon) ini harus

lebih memperhatikan kualitas airnya, sehingga pemeliharaan larva dapat berhasil

Page 23: Laporan PKL udang windu

23

sampai panen. Selain itu juga alat-alat di tempat ini perlu ditambah dan dilakukan

pemeliharaan agar dapat dipakai kedepannya lagi.

Page 24: Laporan PKL udang windu

24

DAFTAR PUSTAKA

Arshad, A., Efrizal., Kamarudin, MS., dan Saad, CR. 2006. Study on fecundity, embryology and larval development of blue swimming crab Portunus Pelagicus (Linnaeus, 1758) under laboratory conditions. Research Journal of Fisheries and Hydrobiology 1(1):35-44.

Fujaya, Y. 2011. Pembenihan Rajungan (Portunus pelagicus) di Backyard. Artikel. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Hastuti, S., Syamsul, A., dan Darimiyya, H. 2012. Pemanfaatan Limbah Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal Agroteknik 6(2) : 88-96.

Juwana, S. 1997. Tinjauan Tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal Oseanografi LIPI 22: 1-12.  

Juwana, S. dan K. Romimohtarto. 2000. Rajungan – Perikanan, Cara Budidaya dan Menu Masakan. Djambatan, Jakarta.47 hal.

Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bharata. Jakarta. 105 hal.

Ruliaty,L., Maskur, M., Abidin, M., dan Rudi, P. 2005. Backyard HatcheryRajungan; Suatu Alternatif Usaha Budidaya. Makalah. Pra lintas UPT Payau dan Laut Lingkup Dirjen Perikanan Budidaya DKP.

Suryanti. 2002. Perkembangan Aktivitas Enzim Pencernaan dan Hubungannya dengan Kemampuan Pemanfaatan Pakan Buatan pada Ikan Bbaung (Mystus nemurus C.V.) [Tesis]. Program Pascasarjan Institut Pertanian Bogor. 46 Hal.

Zaidin, M. Z., Irwan, J. E., dan Kadir, S. 2013. Sintasan Larva Rajungan (Portunus pelagicus) Stadia Megalopa Melalui Kombinasi Pakan Alami Artemia salina dan Brachionus plicatilis Jurnal Mina Laut Indonesia 1 (1):112-121.