Top Banner
EKSTRAKSI OLEORESIN JAHE (Zingiber officinale) MENGGUNAKAN EKSTRAKSI DENGAN PELARUT Laporan Praktikum Mata Kuliah Pengetahuan Ilmu Bahan dan Pengembangan Produk Agroindustri (Dosen: Dr. Titi Candra S.) Disusun oleh: Angga Yuhistira Aryanto (F351080201) Renny Utami Somantri (F351080111) Yeni Sulastri (F351080121)
52

laporan oleoresin jahe

Nov 26, 2015

Download

Documents

laporan praktikum oleoresin jahe tip 2008
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

EKSTRAKSI OLEORESIN JAHE (ZINGIBER OFFICINALE) DENGAN EKSTRASI PELARUT

EKSTRAKSI OLEORESIN JAHE (Zingiber officinale) MENGGUNAKAN EKSTRAKSI DENGAN PELARUT

Laporan Praktikum Mata Kuliah Pengetahuan Ilmu Bahan

dan Pengembangan Produk Agroindustri (Dosen: Dr. Titi Candra S.)

Disusun oleh:

Angga Yuhistira Aryanto

(F351080201)Renny Utami Somantri

(F351080111)Yeni Sulastri

(F351080121)

MAYOR TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008I. PENDAHULUANMasyarakat Indonesia umumnya telah mengenal dan memanfaatkan jahe dalam kehidupan sehari-hari untuk berbagai kepentingan, seperti bahan campuran bahan makanan (pemberi cita rasa), minuman, kosmetik, parfum, dunia kesehatan dan lain-lain mulai dari tingkat tradisional di masyarakat pedesaan sampai tingkat modern di masyarakat perkotaan. Dalam perkembangannya, kebutuhan komoditas jahe untuk bahan baku industri meningkat terus, sehingga pengadaannya secara teratur, berkualitas baik, cukup dan berkesinambungan makin terasa menjadi suatu keharusan.

Tanaman jahe (Zingiber officinale, ROSCOE) termasuk famili Zingiberacae, yang merupakan tanaman rumput-rumputan memiliki sifat yang khas (penyebab rasa pedas). Sifat tersebut disebabkan kandungan zat aktif aromatis didalamnya yang apabila diekstrak dengan pelarut tertentu atau dengan penyulingan, akan menghasilkan oleoresin. Oleoresin merupakan campuran antara resin dan minyak atsiri yang diperoleh dari ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik menguap, misalnya aseton, alkohol dan eter (Ketaren, 1985), etilen diklhorida, aseton, etanol, metanol, heksan (Somaatmadja, 1981), eter dan isopropil alkohol (Moestofa, 1981). Pemilihan pelarut yang tepat sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas oleoresin yang diperoleh. Keuntungan dari oleoresin adalah lebih higienis, dan mempunyai kekuatan lebih bila dibandingkan dengan bahan asalnya. Penggunaan oleoresin dalam industri lebih disukai, karena aromanya lebih tajam dan dapat menghemat biaya pengolahan. Penggunaan rempah dalam bentuk oleoresin memiliki beberapa keuntungan, antara lain lebih bersifat sebagai antimikroba, lebih higienis, mengandung antioksidan alami, bebas dari enzim, memiliki umur simpan yang lebih panjang, penyimpanan lebih hemat, lebih ringan dalam pengangkutan dan terhindar dari bahaya jamur seperti pada rempah (Pruthi, 1980).

Selain memiliki kelebihan, oleoresin juga memiliki kelemahan. Kelemahan pertama yaitu wujudnya berupa cairan kental sampai semi padat sehingga sulit ditangani dan dicampurkan pada makanan tanpa pemanasan. Kelemahan yang kedua adalah flavornya bervariasi tergantung dari bahan aslinya dan jenis pelarut yang digunakan. Kelemahan terakhir adalah mengandung tanin, kecuali bila diperlakukan secara khusus.Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses ekstraksi oleoresin dari rimpang jahe dengan menggunakan pelarut organik. Selain itu, juga untuk menghitung rendemen dan neraca massa dari proses ekstraksi oleoresin jahe Jahe yang digunakan adalah jahe gajah, sedangkan pelarut yang digunakan adalah etanol.II. METODE EKSTRAKSIA. Bahan dan Alat

1.Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam praktikum ini adalah rimpang jahe gajah yang berasal dari Gunung Batu, Bogor dan pelarut etanol. Bahan lain yang digunakan antara lain kertas saring, heksana, katalis (CuSO4 & MgSO4), asam borat, NaOH, HCl, dan H2SO4.

2.Alat

Alat alat yang digunakan untuk pembuatan bubuk jahe gajah kering antara lain pisau, hammer mill, talam, dan loyang aluminium. Untuk proses ekstraksi alat yang dugunakan antara lain soxhlet apparatus, erlenmeyer, hot plate, magnetic stirrer, refluks, kondensor, pompa vakum, dan corong buchner.

Alat - alat yang digunakan untuk analisa antara lain pipet, gelas ukur, erlenmeyer, gelas piala, labu ukur, dan buret. Selain itu, juga menggunakan alat-alat lain seperti timbangan, oven, tanur, kjelhdahl, cawan alumunium, cawan porselin, penangas, dan labu destilasi

B. Metoda Praktikum

1. Perlakuan pendahuluan Jahe gajah segar yang diperoleh dari Pasar Gunung Batu, Bogor dibersihkan dari benda benda asing kemudian diiris iris melintang dengan ketebalan 5 10 mm. Selanjutnya bahan tersebut dikeringkan dengan metode pengeringan oven. Pengeringan dilakukan selama 18 jam pada suhu 50C.

Setelah didapatkan jahe gajah kering selanjutnya dilakukan analisa proksimat yang meliputi kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar minyak, dan kadar serat kasar. Analisa proksimat bertujuan untuk mengetahui kondisi awal bahan baku yang digunakan. Sebelum dilakukan ekstraksi, rimpang jahe gajah digiling dengan menggunakan hammer mill dengan ukuran 40 mesh. Penggilingan bertujuan untuk memperluas permukaan agar kontak etanol dan serbuk jahe dapat optimal sehingga proses ekstraksi oleoresin berjalan dengan baik.

a. Kadar air (AOAC, 1998)

Sebanyak 2 - 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah dikeringkan dan diketahui bobot tetapnya. Cawan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105oC selama 3 jam. Cawan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Pengeringan dilanjutkan lagi dan setiap setengah jam didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot yang konstan. Sisa contoh dihitung sebagi total padatan dan bobot yang hilang sebagai air. Kadar air dihitung dengan persamaan berikut :

b.Kadar lemak (Apriyantono, et al., 1989)Contoh sebanyak 1 2 gram ditimbang secara seksama kemudian dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring dua lapis. Selongsong tersebut kemudian disumbat dengan kapas lalu dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80oC selama lebih kurang 1 jam. Selongsong ini dimasukkan ke dalam soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya.

Ekstrasi dilakukan menggunakan pelarut heksana atau pelarut lemak lainnya selama lebih kurang 6 jam. Setelah itu pelarut disulingkan dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105oC, kemudian labu lemak didinginkan dan ditimbang. Pengeringan ini diulangi hingga tercapai bobot tetap. Perhitungan yang berlaku untuk kadar lemak ini sebagai berikut :

Dimana : W = bobot selongsong kertas + lemak sebelum ekstraksi (gram)

W1 = bobot selongsong kertas + lemak setelah ekstraksi (gram)

W2 =bobot contoh (gram)

c.Kadar serat kasar (AOAC, 1998)

Sebanyak 1 gram contoh ditimbang dengan teliti, kemudian ditambah 50 ml H2SO4 0.325 N dan didihkan selama 30 menit. Sebanyak 25 ml NaOH 1.25 N ditambahkan ke dalam gelas piala tersebut dan dididihkan selama 30 menit.

Kertas saring whatman no. 41 dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, kemudian setelah didinginkan ditimbang. Campuran yang telah dididihkan disaring dengan kertas saring whatman no. 41 dalam corong buchner. Selanjutnya serat dicuci berturut-turut dengan menggunakan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 panas, 50 ml air panas dan terakhir 25 ml aseton. Residu beserta kertas saring dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 2 jam sampai bobotnya tetap. Kadar serat kasar dihitung dengan menggunakan rumus :

d.Kadar abu (AOAC, 1998)

Cawan porselin dibakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Contoh sebanyak 2 5 gram bahan dimasukkan dalam cawan porselin yang sudah ditimbang terlebih dahulu bobotnya. Contoh tersebut kemudian dibakar pada pemanas destruksi sampai terbentuk arang dan tidak timbul asap lagi. Setelah itu contoh dipanaskan dalam tanur pengabuan pada suhu 600oC, sampai dihasilkan warna abu keputih-putihan. Contoh yang sudah membentuk abu dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan menjadi dingin sampai suhu kamar, dan ditimbang.

e. Kadar protein (AOAC, 1998)

Contoh 0,1-1 gram yang telah dihaluskan didestruksi dalam labu kjeldahl 30 ml dengan 2,5 ml H2SO4 pekat dengan katalisator CuSO4 dan Na2SO4 sampai berwarna hijau jernih. Destilasi dilakukan setelah ditambahkan 5 ml air suling dan 10-15 ml NaOH 50%. Sebagai penampung digunakan 25 ml H2SO4 0.02 N dan 2-3 tetes indikator mengsel hingga cairan dalam penampung kurang lebih 50 ml. Hasil destilasi dititrasi dengan larutan NaOH 0.02 N. Prosedur analisa blanko ditentukan seperti di atas tanpa menggunakan bahan yang dianalisa. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Dimana : a = selisih ml NaOH yang digunakan untuk menitrasi blanko dan contoh.

N =normalitas larutan NaOH

f. Kadar karbohidrat by difference (Syarief et al, 1986)

Kadar karbohidrat (%) = 100% - (P + KA + A + L)

Dimana :P= kadar protein (%)

KA= kadar air (%)

A= kadar abu (%)

L= kadar lemak (%)

2.Ekstraksi oleoresin dengan metode perkolasiPraktikum utama dilakukan untuk menghasilkan oleoresin jahe gajah melalui proses ekstraksi perkolasi dengan pelarut etanol. Serbuk jahe gajah dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan selanjutnya disambungkan dengan soxhlet. Ekstraksi dilakukan pada suhu 78C selama 2 jam. Selanjutnya dilakukan pemisahan etanol dari oleoresin jahe dengan metode penguapan. Oleoresin yang didapatkan selanjutnya dihitung rendemennya. Diagram alir ekstraksi oleoresin jahe dapat dilihat pada Gambar 1.

a. Rendemen oleoresin (Ketaren, 1985)Rendemen oleoresin yang dihasilkan dihitung dengan membandingkan berat oleoresin (A) dengan berat sampel (B).

Gambar 1. Diagram alir ekstraksi oleoresin jahe dengan metode perkolasiIII. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Tanaman Jahe

Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Jahe (Zingiber officinale) berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Jahe termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae), satu famili dengan temu-temuan lainnya seperti temu lawak (Curcuma xanthorrizha), temu hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestica), kencur (Kaempferia galanga), lengkuas (Lenguas galanga) dan lain-lain. Adapun taksonomi (klasifikasi) jahe adalah sebagai berikut :

Divisio

: Spermatophyta

Sub division: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledoneae

Ordo

: Zingiberales

Famili

: Zingiberaceae

Genus

: Zingiber

Spesies: Zingiber officinalle.

Tanaman jahe terdiri atas bagian akar, batang, daun dan bunga. Akar merupakan bagian penting dari tanaman jahe. Pada bagian akar ini tumbuh tunas baru yang akan menjadi tanaman.akar tunggal (rimpang) akan membesar dengan pertambahan usia dan membentuk rhizoma baru.

Rimpang jahe memiliki aroma khas, bila dipotong berwarna putih, kuning atau jingga. Sementara bagian luarnya kuning, bila telah tua menjadi agak coklat keabuan. Batang tanaman jahe merupakan batang semu yang tumbuh tegak lurus, teridiri dari seludang-seludang daun dan pelepah-pelepah daun yang menutupi batang. Bagian luar batang agak licin dan sedikit mengkilap berwarna hijau tua. Batang ini biasanya basah dan banyak mengandung air, sehingga tergolong tanaman herba.

Jahe dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpangnya. Ketiga jenis itu adalah jahe putih atau kuning besar, jahe putih kecil dan jahe merah. Jahe putih kecil biasanya disebut jahe sunti, jahe besar sering disebut jahe gajah atau jahe badak. Jahe gajah atau badak memiliki rimpang yang besar dan gemuk. Jenis jahe ini biasa dikonsumsi baik saat muda maupun tua, baik jahe segar maupun olahan. Sedang jenis jahe putih kecil dan jahe merah selalu dipanen tua. Kandungan minyak asiri dari kedua jenis jahe ini lebih tinggi dari jahe putih besar, maka dari itu rasanya leibh pedas. Pada praktikum ini dilakukan ekstraksi oleoresin dari jahe gajah.

B. Kandungan dan Kegunaan Jahe

Jahe mengandung komponen minyak menguap (volatile oil), minyak tak menguap (non volatile oil) dan pati. Minyak menguap biasanya disebut minyak atsiri merupakan komponen pemberi bau yang khas, sedang minyak tak menguap yang biasanya disebut oleoresin merupakan pemberi rasa pedas dan pahit. Komponen yang terdapat pada oleoresin merupakan gambaran utuh dari kandungan jahe, yaitu minyak atsiri dan fixed oil yang terdiri dari zingerol, shogaol dan resin. Rimpang jahe dapat digunakan sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan seperti roti, kue, biskuit, kembang gula dan berbagai minuman. Jahe juga dapat digunakan pada industri obat, minyak wangi, industri jamu tradisional, diolah menjadi asinan jahe, dibuat acar, lalap, bandrek, sekoteng dan sirup. Pohon industri jahe dapat dilihat pada Lampiran 1.

Dewasa ini para petani cabe menggunakan jahe sebagai pestisida alami. Untuk lebih jelasnya berikut diuraikan secara rinci kandungan maupun kegunaan jahe. Komposisi kimia jahe per 100 gram (edible portion) dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan rimpang jahe gajah dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 1. Komposisi kimia jahe per 100 gram

NoKomponenJumlah

1Air9,4

2Energi (kcal)347

3Protein (g)9,1

4Lemak (g)6

5Karbohidrat (g)70,8

6Serat kasar (g)5,9

7Total abu (g)4,8

8Kalsium (mg)116

9Besi (mg)12

10Magnesium (mg)184

11Phosphor (mg)148

13Potasium (mg)1342

14Sodium (mg)32

14Seng (mg)5

15Niasin (mg)5

16Vitamin A (IU)147

Sumber : Farrel (1985)

Gambar 2. Rimpang jahe gajah

C. Analisa Proksimat dan Ekstraksi Oleoresin JaheJahe yang digunakan berasal dari varietas gajah, dengan kulit jahe tampak halus, tidak mengelupas dan tidak keriput. Cabang-cabang pada rimpang tampak utuh dan tidak patah. Kondisi jahe segar terlihat juga dari kenampakan irisan melintang yang penampangnya berwarna cerah khas jahe dan rimpang jahe tidak bertunas. Jahe gajah yang digunakan untuk ekstraksi oleoresin juga bebas dari serangga hidup. Jika dibandingkan dengan spesifikasi persyaratan umum mutu jahe segar berdasarkan SNI 01-3179-1992, jahe yang digunakan pada praktikum ini termasuk ke dalam jahe segar. Persyaratan umum mutu jahe segar berdasarkan SNI 01-3179-1992 disajikan pada Tabel 2.Tabel 2. Persyaratan umum mutu jahe segar

NoJenis UjiSatuanPersyaratan

1Kesegaran jahe-Segar

2Rimpang bertunas-Tidak ada

3Kenampakan irisan melintang -Cerah

4Bentuk rimpang-Utuh

5Serangga hidup-Bebas

Sumber: SNI 01-3179-1992

Berat rata-rata rimpang jahe segar yang digunakan dalam praktikum adalah 93 gram, dengan kulit rimpang yang terkelupas sebanyak 5 persen, dan rimpang tidak berkapang, sedangkan benda asing yang terdapat pada jahe berupa tanah sebanyak 2 persen dari berat rimpang jahe. Jika dibandingkan dengan persyaratan khusus mutu jahe segar berdasarkan SNI 01-3179-1992, jahe yang digunakan termasuk ke dalam mutu III. Persyaratan khusus mutu jahe segar berdasarkan SNI 01-3179-1992 disajikan pada Tabel 3.Tabel 3. Persyaratan khusus mutu jahe segar

NoJenis ujiSatuanPersyaratan

M IM IIM III

1. Ukuran beratgr/rimpang 250150-249Dicantumkan sesuai hasil analisa

2. Rimpang yang terkelupas kulitnya (R/Jml. R)%00Maks 10

3. Benda asing%00Maks 3

4. Rimpang berkapang (R/Jml. R)%00Maks 10

Sumber: SNI 01-3179-1992Jahe segar yang digunakan mengandung kadar air sebesar 47 persen. Tingginya kadar air pada rimpang jahe segar dikarenakan jahe termasuk ke dalam produk pertanian yang apabila dalam kondisi segar banyak mengandung air. Jahe segar yang telah diketahui kadar airnya selanjutnya mengalami beberapa perlakuan pendahuluan sebelum digunakan sebagai bahan baku oleoresin jahe. Perlakuan pendahuluan pada ekstraksi oleoresin jahe meliputi perajangan, pengeringan, dan penggilingan. Jahe yang akan dikeringkan dapat dipotong melintang (dirajang) setebal 3 4 mm (slices), dibelah 2 sejajar dengan permukaannya yang datar (split) atau dalam bentuk utuh. Hal ini akan mempengaruhi lama pengeringan serta kandungan oleoresin pada jahe (Koeswara, 1995). Selain itu, jahe dapat dikeringkan tanpa dikuliti, setengah dikuliti atau dikuliti seluruhnya. Hal ini akan berpengaruh pada kadar serat, kandungan minyak atsiri, dan rendemen oleoresin jahe. Pada praktikum ini dilakukan pemotongan jahe secara melintang dengan ketebalan 5 10 mm. Pengecilan ukuran dengan perajangan pada jahe dapat memperluas permukaan bahan dan memecahkan dinding-dinding sel yang mengandung minyak dan resin sehingga penetrasi uap panas dan pelarut lebih efektif (Amiruddin, 1985). Proses selanjutnya adalah pengeringan rimpang jahe yang telah dipotong. Pengeringan dilakukan selama 18 jam dalam oven pada suhu 50C. Kadar air jahe setelah pengeringan adalah sebesar 7,59 persen. Guenther (1952) menyatakan bahwa pengeringan merupakan salah satu perlakuan pendahuluan terhadap bahan yang mengandung oleoresin sebelum diekstraksi. Selama pengeringan terjadi penguapan air serta zat-zat yang mudah menguap dari jaringan ke permukaan bahan yang menyebabkan hilangnya zat-zat tersebut. Kerusakan dinding bahan selama proses ekstraksi akan memudahkan pengeluaran minyak dan resin, sehingga waktu reaksi menjadi lebih singkat, sedangkan suhu pengeringan yang terlalu tinggi akan menurunkan rendemen oleoresin yang dihasilkan. Rendemen jahe kering berkisar antara 13 16 persen dengan kadar air 10 12 persen dan lama pengeringan sekitar 3 10 hari tergantung dari cara pengeringannya (Rusli, 1989). Di lain pihak, menurut Ruslii et al. (1988) bahwa pengeringan jahe dengan menggunakan oven lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan pada tampah atau kamar pengering energi surya.

Menurut Purseglove et al. (1981), pengeringan jahe dapat dilakukan dibawah suhu 48,5 81,0 C. Pada umumnya pengeringan dilakkan dibawah suhu 57C, sedangkan untuk tujuan ekstraksi dapat dilakukan sampai suhu 81C. Ketaren (1985) menambahkan bahwa susut berat jahe selama proses pengeringan jahe sekitar 70 persen dari berat segar. Jahe yang bermutu baik mempunyai kadar air tidak lebih dari 10 persen berat basah, sedangkan jahe yang bermutu rendah berkadar air sekitar 25 persen. Jahe setelah pengeringan dapat dilihat pada Gambar 3. Menurut Purseglove et al. (1981), persiapan bahan baku mencakup pengeringan bahan sampai kadar air tertentu serta dilanjutkan dengan proses penggilingan untuk mempermudah kontak bahan dan pelarut sehingga ekstraksi akan berlangsung efektif.

Gambar 3. Jahe kering

Jahe kering selanjutnya dianalisa kandungannya meliputi kadar air, abu, protein kasar, lemak, dan serat. Analisa proksimat bertujuan untuk mengetahui kondisi awal jahe yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan oleoresin jahe. Hasil analisa proksimat jahe kering dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan rekapitulasi hasil praktikum dapat dilihat pada Lampiran 2.Tabel 4. Hasil analisa proksimat jahe keringParameterJumlah (%)

Hasil PraktikumSNI 01-7084-2005 Ketaren, 1985 (Cochin)

Kadar air7,6Max 109.41

Kadar abu10,3Max 53.39

Kadar protein kasar6,9--

Kadar lemak6,9--

Kadar serat22,4 -2.05

Kadar karbohidrat selain serat45,9--

Kadar pati--53.3

Kadar minyak atsiri-Min 1,51.88

Kadar abu ada hubungannya dengan mineral pada jahe. Kadar abu jahe gajah yang digunakan adalah 10,3 persen, lebih tinggi dari persyaratan SNI 01-7084-2005. Mineral yang terdapat pada produk pertanian dapat berupa dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Garam organik yang biasa terdapat pada produk pertanian adalah garam asam mallat, oksalat, asetat, dan pektat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam sulfat, fosfat, karbonat, klorida, dan nitrat. Mineral yang terdapat pada jahe selain diperoleh dari jahe itu sendiri, biasa pula berasal dari tanah tempat ditanamnya jahe dan trace element pupuk yang digunakan.

Kadar lemak jahe dengan nilai 6,9 persen terdiri dari dua golongan komponen utama, yaitu minyak atsiri dan fixed oil. Jahe kering mengandung minyak atsiri sekitar 1-3 persen dan menyebabkan jahe berbau khas. Komponen utamanya adalah zingiberen dan zingiberol. Fixed oil terdapat pada oleoresin dan menyebabkan rasa pedas pada jahe. Komponen utama fixed oil pada jahe antara lain zingerol, zingerone dan shogaol.

Kadar serat kasar jahe pada praktikum terukur sebesar 22,4 persen. Nilai ini lebih tinggi dari persyaratan SNI 01-7084-2005 Serat kasar pada rimpang jahe terdiri dari selulosa, lignin dan zat lain yang belum dapat diidentifikasi dengan pasti. Di dalam analisa penentuan serat kasar, diperhitungkan banyaknya zat-zat yang tidak larut dalam asam encer maupun basa encer dengan kondisi terentu.

Kadar karbohidrat jahe dihitung berdasarkan sisaan dari analisa proksimat. Hasil perhitungan menunjukkan kadar karbohidrat pada jahe gajah sebesar 45,9 persen. Karbohidrat yang terhitung disini tediri dari monosakarida, disakarida dan polisakarida selain dari serat kasar.

Proses selanjutnya adalah penggilingan untuk mempermudah ekstraksi oleoresin, dimana ukuran serbuk mempengaruhi rendemen yang dihasilkan. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah kehalusan bubuk. Kehalusan yang sesuai menghasilkan ekstraksi yang sempurna dalam waktu yang singkat. Sebaliknya apabila bahan digiling terlalu halus akan cepat melewati lubang saringan pada waktu pemisahan ampas dengan hasil ekstraksi, sehingga membentuk gumpalan bersama dengan minyak yang kental selama penyimpanan (Guenther, 1952). Untuk menghasilkan ekstraksi yang sempurna dan agar antara bahan dan pelarut mudah terjadi kontak maka bahan yang akan diekstraksi sebaiknya berukuran seragam (Purseglove et al., 1981).

Jahe bubuk dibuat dengan menggiling jahe yang telah dikeringkan dengan menggunakan hammer mill (Gambar 4), sedangkan untuk memperoleh ukuran partikel yang seragam dapat digunakan ayakan. Serbuk jahe yang dihasilkan berukuran 40 mesh. Serbuk jahe dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Hammer mill

Gambar 5. Serbuk jahe

Tahapan lain yang harus diperhatikan dalam mengekstrak oleoresin adalah pemilihan pelarut. Selain itu, faktor-faktor yang perlu diperhatikan oleh jenis pelarut adalah suhu, lama ekstraksi, dan ukuran partikel. Faktor yang harus dipertimbangkan oleh daya melarutkan oleoresin pada pemilihan jenis pelarut adalah titik didih, sifat keracunan, mudah tidaknya terbakar, dan pengaruhnya terhadap alat ekstraksi. Menurut Merck (2002), beberapa pelarut yang biasa digunakan untuk proses ekstraksi beserta titik didihnya disajikan pada Tabel 5.

Pelarut dipilih karena mempunyai daya larut yang tinggi sehingga dapat menghasilkan oleoresin semaksimal mungkin serta pelarut yang tidak berbahaya dan tidak beracun (Somaatmadja, 1981). Pada ekstraksi oleoresin sebaiknya menggunakan pelarut organik yang mudah menguap, karena pelarut yang tercemar dalam oleoresin pada akhirnya harus dipisahkan dengan cara penguapan (Moestofa, 1981).

Tabel 5. Jenis pelarut dan titih didihnya

NoJenis pelarutTitik didih (C)

1Aseton55,5 56,5

2Etanol78,3

3Heksana69,0

4Isopropil alcohol82,3

5Metanol64,0 65,0

Sumber : Merck (2002)

Menurut Sabel dan Waren (1973) menyatakan bahwa pelarut yang digunakan hendaknya mempunyai titik didih yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, karena akan mempersulit pemisahan pelarut. Cripps (1973), menambahkan pada pelarut yang mempunyai titik didih rendah, pelarut akan mudah diperoleh kembali dan dapat melarutkan oleoresin dengan cepat dan sempurna. Dalam pertimbangan ekonomi, diupayakan pemilihan pelarut yang mudah harganya dan mudah didapat. Sable dan Waren (1973) mengatakan dalam pemisahan pelarut, harus dipertimbangkan titik didihnya. Pelarut bertitik didih rendah biasanya banyak hilang karena penguapan, sedangkan pelarut bertitik didih tinggi baru dapat dipisahkan pada suhu tinggi.

Pelarut yang digunakan pada praktikum ini adalah etanol. Menurut Somaatmadja (1981) etanol merupakan pelarut yang paling aman karena tidak beracun. Etanol adalah etil alcohol dengan rumus kimia C2H5OH yaitu suatu cairan bening tidak berwarna, mudah menguap, berbau merangsang dan mudah larut dalam air. Etanol mempunyai polaritas tinggi sehingga dapat mengekstrak oleoresin jahe lebih banyak dibandingkan aseton.

Oleoresin dihasilkan dengan cara ekstraksi rempah dengan dua metoda yaitu ekstraksi secara langsung dan ekstraksi secara bertahap. Ekstraksi secara bertahap dilakukan dengan cara menyuling minyak atsiri yang terdapat pada bahan, kemudian ampas yang dihasilkan diekstraksi dengan pelarut organik, selanjutnya minyak tersebut dapat dicampur kembali ke dalam oleoresin. Di lain pihak, ekstraksi secara langsung dilakukan dengan mencampur bahan yang telah halus ke dalam pelarut. Proses ekstraksi oleoresin jahe dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses ekstraksi oleoresin jahe menggunakan metode perkolasi

Ekstraksi oleoresin dilakukan dengan cara perkolasi menggunakan pelarut. Ekstraksi dengan perkolasi umumnya menghasilkan rendemen lebih banyak jika dibandingkan dengan soxhlet. Hal ini terjadi karena pada perkolasi bahan kontak langsung dengan pelarut ditambah dengan unsur pengadukan. Pengadukan yang baik akan mempercepat proses pelarutan dan meningkatkan intensitas kontak partikel bahan dengan etanol. Proses selanjutnya adalah pemisahan pelarut dari oleoresin. Rendemen oleoresin yang didapatkan adalah 7,7 persen.D. Oleoresin jahe

Oleoresin merupakan campuran resin dan minyak atsiri yang dapat diekstrak dengan pelarut organik dari berbagai jenis rempah, baik yang berasal dari buah, biji, daun, kulit maupun rimpang, misalnya jahe, kayu manis, lada, cabe, kapulaga, kunyit, pala dan vanili. Oleoresin berbentuk padat atau semi padat dan biasa konsistensinya lengket. Indonesia merupakan salah satu negara produsen dan pengekspor rempah-rempah utama di dunia. Oleh karena itu bahan baku oleoresin baik berupa rempah-rempah, hasil samping atau limbah pengolahan rempah-rempah tersedia cukup melimpah dan kontinyu, sehingga potensi ini sangat memungkinkan dikembangkan industri oleoresin di Indonesia.

Penggunaan oleoresin siap pakai mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan penggunaan rempah-rempah secara tradisional, terutama untuk penggunaannya dalam skala industri, keuntungan tersebut antara lain: 1). bahan dapat distandardisasi dengan tepat, terutama flavor dan warnanya, sehingga kualitas produk akhir dapat dikontrol, 2) bahan lebih homogen dan lebih mudah ditangani, 3) bahan bebas enzim lipase, bakteri, kotoran atau bahan asing dan 4) bahan mudah didispersikan secara merata kedalam bahan pangan.

Sampai saat ini penggunaan oleoresin sangat luas. Oleoresin dan minyak atsiri rempah-rempah banyak digunakan dalam industri makanan, minuman, farmasi, flavor, parfum, pewarna dan lain-lain. Oleoresin dalam industri pangan banyak digunakan sebagai pemberi cita rasa dalam produk-produk olahan daging (misalnya sosis, burger, kornet), ikan dan hasil laut lainnya, roti, kue, puding, sirup, saus dan lain-lain.

Menurut Gilbertson (1971), penggunaan oleoresin yang makin meluas telah mengakibatkan diproduksinya oleoresin dalam berbagai bentuk olahan yang siap pakai. Produk-produk tersebut antara lain : dispersed spices, fat-based spices dan encapsulated spices. Dispered spices dibuat dengan mendispersikan oleoresin dalam suatu media pembawa tertentu. Dalam hal ini media pembawa yang sering digunakan yaitu bahan-bahan yang larut dalam air, seperti garam, tepung dan dekstrose. Dispered spices banyak digunakan pada pembuatan minuman (soft drink) dan makanan-makanan yang kering, basah ataupun semi padat, misalnya kue-kue, biskuit, sosis dan makanan bayi. Pada fat-based spices oleoresin didispersikan pada lemak atau minyak (vegetable oil). Fat-based spices ini sering digunakan pada makanan yang berlemak, seperti salad dressing, saus dan makanan kaleng. Dispered spices dan fat-based spices tidak dapat disimpan lama karena flavornya mudah menguap.

Pada encapsulated spices, oleoresin dalam bentuk bubuk (spray dried) dikapsulkan untuk mengurangi kehilangan flavor, sehingga dapat disimpan lebih lama (Staniforth, 1973). Teknik enkapsulasi pada oleoresin ini, dimana flavor diperangkap dalam suatu pelapis polimer membentuk mikrokapsul bulat dengan ukuran antara puluhan mikron sampai beberapa milimeter. Adapun teknik mikroenkapsulasi yang sekarang banyak digunakan secara komersial antara lain: Spray drying, air suspension coating, spray cooling and spray chilling, centrifugal axstrusion, rotational suspension separation dan inclusion complexing. Saat ini teknik spray drying merupakan teknik enkapsulasi yang paling banyak digunakan untuk oleoresin. Menurut Koswara (2005), oleoresin yang dienkapsulasi sangat efektif digunakan dalam makanan olahan, proses pengisian, pencampuran kering, permen, makanan formula, bumbu-bumbuan, makanan penutup, produk-produk susu dan lain-lain.

Ada beberapa kentungan dari penggunakan enkapsulasi ini antara lain: (1). flavor dapat terlindung dari kehilangan (penguapan) dalam masa penyimpanan yang lama, (2) mudah dituangkan, (3) mudah ditimbang, ditangani dan dicampurkan, (4) bebas dari enzim tannin, mikroba dan serangga, (5) mudah digunakan dalam pencampuran bahanbahan kering, (6) bebas dari garam-garam, dekstrosa dan pengisi yang lain, (7) bersifat non higroskopis dengan stabilitas dalam penyimpanan yang baik, (8) serta dapat menghasilkan produk dengan kualitas yang terstandarisasi.

Penggunaan oleoresin siap pakai mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan penggunaan rempah-rempah secara tradisional, terutama untuk penggunaannya dalam skala industri. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain: (1) bahan dapat distandardisasi dengan tepat, terutama flavor dan warnanya, sehingga kualitas produk akhir dapat terkontrol, (2) bahan lebih homogen dan lebih mudah ditangani, (3) bahan bebas enzim lipase, bakteri, kotoran atau bahan asing, dan (4) bahan mudah didispersikan secara merata ke dalam bahan pangan (Tan, 1981).

Adanya keuntungan-keuntungan di atas tidak menunjukkan bahwa penggunaan oleoresin sebagai bahan penyedap makanan selalu lebih baik untuk segala keperluan dibanding dengan penggunaan rempah-rempah secara tradisional. Pada proses pembuatan makanan dan minuman yang menggunakan suhu tinggi, penggunaan bahan rempah asalnya sering lebih menguntungkan karena flavor tidak mudah hilang atau menguap selama pengolahan.

Penggunaan rempah-rempah dalam bentuk bahan asal, meskipun dalam bentuk halus, masih dapat menimbulkan bintik-bintik (bercak) pada produk makanan dan minuman yang dibuat. Pada beberapa jenis makanan tertentu, seperti gulai dan sambal, adanya bintik-bintik khas dari bahan rempah justru dikehendaki agar makanan terlihat lebih menarik. Contoh lain misalnya adanya sepotong jahe di dalam pepes ikan atau selembar daun salam di dalam sayur justru dapat membuat kedua jenis makanan tersebut tampak lebih menarik dan menimbulkan selera. Tetapi pada jenis-jenis produk makanan dan minuman seperti salad, saus, sup, makanan bayi dan beberapa jenis soft drink, adanya bintik-bintik (bercak) dihindari agar makanan tidak dianggap tercampur kotoran (impurities) (Staniforth, 1973). Terlepas dari masalah penampakan fisik yang diinginkan pada tiap-tiap produk makanan atau minuman, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mendapatkan tingkat flavor yang sama, penggunaan oleoresin atau bentukbentuk olahannya ternyata lebih menghemat biaya dibanding dengan penggunaan rempah-rempah dalam bentuk asal karena bahan baku rempah yang diperlukan lebih sedikit, khususnya bila diproduksi dan digunakan dalam skala industri (Gilbertson, 1971).

Penggunaan oleoresin ditinjau dari segi teknis dan efisiensi penggunaan bahan baku lebih unggul dibanding dengan penggunaan rempah secara tradisional, khususnya bila diterapkan dalam skala industri. Keuntungan komparatif yang dapat diperoleh adalah biaya produksi yang lebih rendah dengan adanya pengurangan biaya angkut bahan baku.

Adanya keuntungan dari segi biaya produksi, disamping keuntungan-keuntungan lain dari segi teknis menyebabkan penggunaan oleoresin sebagai bahan industri makanan dan minuman, kosmetik serta kesehatan, merupakan salah satu alternatif yang pantas untuk dikembangkan. Meskipun dalam pembuatan oleoresin diperlukan teknologi dan tingkat keahlian yang tinggi, tetapi dengan semakin meningkatnya tuntutan efisiensi maka penggunaan oleoresin dapat ditingkatkan peranannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan pada masa yang akan datang. Disamping itu dengan semakin kompleksnya permasalahan efisiensi biaya produksi, tenaga kerja pada masing-masing tempat, maka pemilihan penggunaan oleoresin, penggunaan bahan rempah secara tradisional atau kombinasi keduanya perlu didasarkan pada pertimbangan yang tepat.

Saat ini produksi dan konsumsi oleoresin masih didominasi oleh negara-negara Eropa dan Amerika. Indonesia sebagai penghasil utama rempah-rempah berpeluang untuk dapat memproduksi oleoresin di dalam negeri. Adapun jenis-jenis oleoresin yang sudah dikenal antara lain adalah: Anise oleoresin, Black Pepper oleoresin, Cardamom oleoresin, Celery oleoresin, Capsicum oleoresin, Clove oleoresin, Coriander oleoresin, Cumin oleoresin, Fennel oleoresin, Fenugreek oleoresin, Garlic oleoresin, Ginger oleoresin, Nutmeg oleoresin, Onion oleoresin, Paprika oleoresin, Rosemary oleoresin, Saffron oleoresin, Turmeric oleoresin dan Vanilla oleoresin.

Indonesia merupakan salah satu negara produsen dan pengekspor rempah-rempah utama di dunia. Oleh karena itu pula bahan baku oleoresin, baik berupa rempah-rempah, hasil samping ataupun limbah pengolahan rempah-rempah, tersedia cukup melimpah dan kontinyu. Potensi ini memungkinkan dikembangkannya industri oleoresin di Indonesia. meskipun untuk usaha tersebut masih diperlukan studi lebih lanjut mengenai potensi bahan baku, baik jenis, kuantitas maupun kualitasnya, aspek teknik produksi dan alih teknologi, aspek manajerial dan tenaga kerja, aspek pemasaran serta kaitannya dengan perkembangan perekonomian setempat.

Meskipun produksi dan pemasaran oleoresin sudah didominasi oleh negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika, namun dengan adanya ketekunan dan adanya keuntungan komparatif seperti pengurangan biaya angkut dan tenaga kerja yang relatif banyak tersedia, tidak mustahil produksi oleoresin di dalam negeri akan dapat bersaing di pasaran dunia.

Konsumsi oleoresin juga masih didominasi oleh negara-negara Eropa, Amerika dan Australia. Sedangkan konsumsi di dalam negeri belum tampak cerah. Oleh karena itu pengembangan produksi oleoresin di dalam negeri perlu diorientasikan ke arah ekspor. Berkembangnya industri-industri makanan mudah (convenient food) seperti makanan bayi, bumbu-bumbu siap pakai, jahe instan dan beberapa jenis soft drink dapat menciptakan angin segar bagi perkembangan industri oleoresin di Indonesia.

Rendemen oleoresin jahe yang dihasilkan dari praktikum sekitar 7,7 persen. Menurut Pruthi (1980), ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendemen dan mutu oleoresin yaitu varietas, kondisi, ukuran serbuk rempah, pemilihan pelarut, kondisi ekstraksi dan proses penguapan pelarut. Ukuran bahan diusahakan seragam yang dilakukan dengan pengecilan ukuran dengan tujuan memperbesar luas permukaan bahan yang kontak dengan pelarut. Selain itu, kantong minyak yang terdapat dalam jahe akan lebih banyak terbuka sehingga besar kesempatan etanol kontak dengan bahan sehingga semakin besar pula kesempatan etanol untuk mengekstrak oleoresin jahe. Kondisi proses pada suasana panas akan mempermudah pelarut untuk melarutkan oleoresin yaitu dengan cara polaritas pelarut sehingga mempermudah dan mempercepat ekstraksi. Oleoresin yang dihasilkan dari praktikum dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Oleoresin dari ekstraksi rimpang jahe gajah

Rendeman oleoresin yang dihasilkan dapat bervariasi, tergantung dari jenis pelarut yang digunakan (Farrel, 1985). Semakin besar jumlah pelarut yang digunakan maka semakin besar jumlah oleoresin yang dihasilkan. Kelarutan (solubility) pelarut juga mempengaruhi terhadap rendemen oleoresin. Semakin besar nilai kelarutan pelarut maka semakin besar kesempatan dan kemampuan pelarut untuk mengekstrak oleoresin.

Suryandari (1981) menyatakan bahwa semakin besar volume pelarut yang digunakan maka rendemen oleoresin yang dihasilkan juga semakin besar, sehingga hasilnya akan bertambah sampai pada titik jenuh pelarut. Jika volumenya bertambah maka daya larutnya juga bertambah sehingga mencapai titik optimum dimana pelarut tersebut menjadi jenuh. Daya larut akan meningkat ketika volume pelarut ditambahkan ke dalam proses ekstraksi hingga mencapai titik jenuh.

Larutan jenuh adalah larutan yang mengandung jumlah terlarut berlebihan sedemikian rupa, pada suhu tertentu sehingga kelebihan itu tak lagi mau melarut. Jenuh berarti pelarut telah seimbang dengan zat terlarutnya, atau jika larutan tidak kuasa lagi melarutkan zat terlarut yang ditambahkan, artinya konsentrasinya sudah maksimal.

Pudjaatmaka (1984) menyatakan larutan jenuh mengandung zat terlarut dalam jumlah yang diperlukan untuk adanya kesetimbangan antara zat terlarut dan tak terlarut. Pembentukan larutan jenuh dipercepat dengan pengadukan yang kuat dan zat terlarut yang berlebih. Rendemen hasil praktikum dibandingkan dari beberapa literatur menunjukkan hasil yang relativ lebih kecil. Kandungan oleoresin dalam jahe segar menurut Burkill (1935) antara 0.4% sampai 3.1% tergantung umur panen dan tempat tumbuhnya. Semakin tua umur umbi rimpang jahe, semakin besar kandungan oleoresinnya. Berbagai kadar oleoresin dalam rimpang jahe dibandingkan dari tingkat kematangan dan proses pengupasan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kadar oleoresin dalam rimpang jaheTingkat kematanganOleoresin

SegarJemurOven

Tua tidak dikupas11.0313.4214.84

Tua dikupas7.1411.6513.27

Setengah tua tidak dikupas12.9615.6816.30

Setengah tua dikupas11.1114.1514.34

Muda tidak dikupas19.9920.9821.86

Muda dikupas17.2017.4817.78

Sumber : Ketaren (1985)

Menurut Ketaren (1985), oleoresin dalam perdagangan dikenal dengan nama gingerin mengandung komponen kimia yaitu zingerol, zingerone dan shogaol yang membentuk rasa pedas. Pada prakteknya, ekstraksi zingerol dalam bentuk murni sulit untuk dilakukan, karena persenyawaan tersebut mudah bereaksi dengan pelarut. Pemanasan menggunakan larutan NaOH, mengakibatkan kerusakan komponen yang menyebabkan rasa pedas. Zingerol merupakan minyak berwarna kuning dan terasa pedas, yang mempunyai rumus seperti pada Gambar 8. HO

CH3

C6H3.CH2.CH2.CO.CH2.CH.(CH2)n.CH3H3CO

Gambar 8. Rumus ZingerolJahe yang mengalami pengolahan lebih lanjut akan mengalami proses perubahan kimia seperti halnya zingerol dapat berubah menjadi shogaol atau zingerone yang hasilnya akan memberikan rasa kurang pedas. Persenyawaan zingerone dalam jahe tidak dalam bentuk persenyawaan keton bebas, tetapi dalam bentuk persenyawaan kondensasi dengan aldehid alifatis jenuh, terutama persenyawaan n-heptanal. Penambahan larutan basa (NaOH) ke dalam zingerol akan menghasilkan zingerone bebas. Zingerone mempunyai rumus molekul C11H14O3, dengan titik cair 40 41 oC. Rumus molekul zingerone dapat dilihat pada Gambar 9.

CH2.CH2.CO.CH3

OCH3Gambar 9. Rumus molekul zingerone [1-(4-hidroksi-3-methoksiphenil)-3-butanon]Shogaol (C17H24O3) merupakan bomolog dari zingerone, dengan rumus struktur seperti pada Gambar 10. Oleoresin juga mengandung minyak jahe dan resin yang komponennya belum dapat diidentifikasi.

HO

C6H3.CH2.CO.CH=CH.(CH2)4.CH3H3CO

Gambar 10. Rumus struktur shogaol [(4-hidroksi-3-metoksi phenil)-etil-n(( heptenil keton]IV. Neraca Massa Oleoresin Jahe

Gambar 11. Neraca massa proses ekstraksi oleoresin jahePerhitungan Neraca Massa

1. Jahe Segar

Jahe Segar yang dipergunakan mempunyai bobot 200 gram yang terdiri dari

Padatan 53 %

: 106 gram

Kadar air (Ka) 47 %

: 94 gram

2. Proses Perajangan

Pada proses perajangan, jahe segar mengalami proses pengecilan ukuran sampai 0,5 1 mm. Pada proses ini tidak terjadi perpindahan dan kehilangan massa.

3. Proses Pengeringan

Pada proses pengeringan terjadi penguapan air yang terdapat pada bahan jahe sehingga terjadi perubahan kadar air dari 47 % menjadi 7.6 %

Perhitungan kesetimbangan air :

Air dalam bahan =

= 114.72 gram 106 gram

= 8.72 gram

Bobot air yg menguap = bobot air bahan awal bobot air bahan stlh penguapan

= 94 gram 8.72 gram

= 85.28 gram

Bobot jahe kering = bobot bahan awal bobot air menguap

= 200 gram 85.28 gram

= 114.72 gram

InputOut put

- Jahe Segar : 200 gram- Jahe Kering : 114.72 gram

- Air ( menguap) : 85.28 gram

Total : 200 gramTotal : 200 gram

4. Proses Penggilingan

Pada proses ini dilakukan penghancuran jahe kering menggunakan hammer mill sehingga didapatkan jahe serbuk. Pada proses ini terjadi kehilangan bahan sebanyak 1 % dari jahe kering.

Kehilangan jahe = 1% x bobot jahe kering

= 1% x 114.72 gram = 1.15 gram

Jahe Bubuk = Jahe kering Kehilangan jahe = 114.72 gram 1.15 gram = 113.57 gram

InputOut put

- Jahe Kering : 114.72 gram- Kehilangan jahe : 1.15 gram- Jahe bubuk : 113.57 gram

Total : 114.72 gramTotal : 114.72 gram

5. Ekstraksi pelarut organikUntuk memperoleh minyak yang terkandung dalam jahe bubuk, maka dilakukan proses ekstraksi pelarut organik dengan menggunakan etanol 90%. Perbandingan antara bobot bahan dengan pelarut yang dipergunakan adalah 1:4 (b/v), berarti volume etanol yang dipergunakan adalah empat kali bobot jahe bubuk. Dari literatur diketahui bahwa massa jenis (() etanol adalah 0.79 gram/cm3. Dari proses ini diperoleh campuran etanol dengan minyak, ampas dengan etanol. Pelarut yang digunakan adalah 1:4 (b/v)

Pelarut etanol = 4 x bobot jahe bubuk

= 4 x 113.57 = 454.28 ml

Bobot etanol yang digunakan = 454.28 x 0.79 = 358.88 gram Bobot bahan yang diekstrak (jahe bubuk + pelarut)

Total bobot = bobot jahe bubuk + bobot pelarut

= 113.57 gram + 358.88 gram

= 472.25 gram

InputOut put

- Jahe bubuk : 113.57 gram- Pelarut etanol : 358.88 gram- Bahan yg diekstrak : 472.45 gram

Total : 472.45 gram Total : 472.45 gram

6. Proses PenyaringanProses penyaringan dilakukan untuk memisahkan cairan dan ampas dari proses ekstraksi. Pada proses penyaringan dihasilkan ampas dan filtrate yang masih mengandung etanol. Pada ampas diketahui terjadi kenaikan sebesar 26.38% dari bobot jahe bubuk dengan kandungan etanol sebesar 27%. Bobot Ampas = 126.38% x Bobot jahe bubuk

= 126.38% x 113.57 gram

= 143.53 gram

Bobot etanol = 27% x bobot ampas

= 27% x 143.53 gram

= 38.82 gram

Bobot padatan = Bobot ampas bobot etanol

= 143.53 gram 38.82 gram = 104.71 gram

Bobot Filtrat= Bobot bahan yg diekstrak bobot ampas

= 42.45 gram 143.53 gram

= 328.92 gramBobot etanol = Bobot pelarut Bobot etanol di ampas

= 358.88 gram 38.82 gram

= 320.06 gram

Bobot Oleoresin= Bobot filtrat Bobot Etanol

= 328.92 gram 320.06 gram

= 8.86 gram

InputOut put

- Bahan yg diekstrak : 472.45 gram- Ampas : 143.53 gram

* Etanol : 38.82 gram

* padatan : 104.71 gram

- Filtrat : 328.92 gram

* Etanol : 320.06 gram

* Oleoresin : 8.86 gram

Total : 472.45 gram Total : 472.45 gram

7. Proses Destilasi Filtrat yang dihasilkan dari proses penyaringan selanjutnya di destilasi untuk memisahkan etanol. Etanol yang dapat didestilasi untuk direovery sebanyak 92.21%. Sisa etanol masih terdapat pada destilat.

Bobot etanol = 92.21% x bobot etanol di filtrate

= 92.21% x 320.06 gram

= 295.13 gram Bobot Destilat= Bobot Filtrat Bobot Etanol

= 328.92 gram 295.13 gram

= 33.79 gram

Bobot Etanol

= Bobot etanol filtrat Bobot etanol destilasi

= 320.06 gram 295.13 gram

= 24.93 gram InputOut put

- Filtrat : 328.92 gram

* Etanol : 320.06 gram

* Oleoresin : 8.86 gram- Etanol : 295.13 gram

- Destilat : 33.79 gram

* Etanol : 24.93 gram

* Oleoresin : 8.86 gram

Total : 328.92 gram Total : 328.92 gram

7. Proses Penguapan

Proses penguapan dilakukan untuk menghilangkan semua etanol yang masih terkandung dalam destilat. Pada proses ini 100% etanol yang masih terdapat pada destilat akan menguap.

Bobot Etanol= Bobot etanol di destilat

= 24.93 gram Bobot Oleoresin = bobot destilat bobot etanol

= 33.79 gram 24.93 gram

= 8.86 gramInputOut put

- Destilat : 33.79 gram* Etanol : 24.93 gram

* Oleoresin : 8.86 gram- Etanol : 24.93 gram- Ampas : 8.86 gram

Total : 33. 79 gram Total : 33. 79 gram

TABEL INPUT OUTPUT

EKSTRAKSI OLEORESIN DARI RIMPANG JAHE

InputOutput

1. Jahe segar : 200 gram

Air : 94 gram

Padatan : 106 gram

2. Etanol 90% : 358.88 gram1. Air : ................................ 85.28 gram

2. Loss jahe bubuk: . ................ 1.15 gram

3. Ampas: ..................................... 143.53 gram

- Etanol : 38.82 gram

- Lain-lain : 104.71 gram

4. Etanol (destilasi) : ..................... 295.12 gram

5. Etanol (penguapan) : ..................... 24.93 gram6. Oleoresin : ................................... 8.86 gram

Total 558.88 gramTotal 558.88 gram

V. KESIMPULAN DAN SARANOleoresin merupakan campuran antara resin dan minyak yang diperoleh melalui ekstraksi jahe. Oleoresin mempunyai karakteristik rasa dan aroma yang sama dengan rempah aslinya. Oleoresin dalam perdagangan dikenal dengan nama gingerin mengandung komponen kimia yaitu zingerol, zingerone dan shogaol yang membentuk rasa pedas. Perkembangan dunia di segala bidang dan semakin meningkatnya tuntutan efisiensi menyebabkan penggunaan oleoresin merupakan salah satu usaha yang perlu dikembangkan. Potensi Indonesia dalam bidang pengolahan rempah-rempah, khususnya pengolahan oleoresin dan minyak atsiri, perlu digali dan dimanfaatkan. Adanya kerjasama yang terkoordinir antara pihak pemerintah dan sektor swasta sangat diperlukan untuk keberhasilan usaha tersebut.

Penggunaan rempah-rempah dalam bentuk oleoresin baik sebagai bahan penyedap makanan dan minuman, dunia kedokteran dan industri lain seperti kosmetik mempunyai banyak keunggulan bila dibandingkan dengan penggunaan rempah-rempah secara tradisional, terutama bila diterapkan dalam skala industri, diantara keunggulan tersebut ialah bahwa penggunaan bahan baku lebih efisien untuk memperoleh tingkat rasa dan aroma yang sama, penanganan dan pengolahan lebih mudah, serta kualitas produk lebih terjamin.

Proses ekstraksi oleoresin dapat dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut, misalnya dengan metode perkolasi. Jahe gajah yang digunakan untuk ekstraksi memiliki karakteristik antara lain kadar air sebesar 7,6 persen, kadar abu 10,3 persen, kadar protein 6,9 persen, kadar lemak 6,9 persen, kadar serat 25,5 persen dan kadar karbohidrat selain serat 45,9 persen. Oleoresin yang dihasilkan dari praktikum memiliki rendemen sebesar 7.7 persen, bila dibandingkan dengan literatur masih relatif lebih kecil. Untuk mendapatkan rendemen yang lebih besar dapat dilakukan ekstraksi oleoresin dengan metode dan varietas jahe yang berbeda.VI. DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, M. 1985. Mempelajari Pengaruh Jenis Pelarut serta Perbandingan Pelarut terhadap Rendemen dan Sifat Fisiko Kimia Oleoresin Jahe (Zingiber officinale ROSCOE). Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.

AOAC. American Official Analytical Chemistry. 1998. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. 14th edition. AOAC, Inc., Arlington, Virginia.

Apriyantono, A., Dedi F., Ni Luh P., Sedarnawati, dan Slamet B. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. IPB Press. Bogor.

Badan Standarisasi Nasional. SNI 01-3179-1992 Jahe Segar.

Badan Standarisasi Nasional. SNI 01-7084-2005 Simplisia Jahe.

Burkill, I. H. 1935. A Dictionary of The Economic Production of The Malaysia Peninsula. The Crown Agents For The Colonies. London.

Cripps, M. 1973. Spice Oleoresin : The Process, The Market, and The Future. In Proceedings of The Conference On Spices. Tropical Product Institute., London.

Farrel, K. T. 1985. Spices, Condiments and Seasoning. The AVI Publishing Company, Florida.

Gilbertson, G. 1971. Oleoresin as flavor ingredients. The Flavor Industry. July 1971.

Guenther, E. 1952. The Essential Oil. Van Norstand Company Inc., New York

Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta.

Ketaren, S. 2004. Kondisi Minyak Atsiri Indonesia saat ini dan pengembangannya ditinjau dari aspek teknologi. Panduan Seminar Minyak Atsiri Indonesia. BB.Industri Agro.

Koeswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Koswara, S. 2005. Teknologi enkapsulasi flavor rempah-rempah. www.ebookpangan.com

Merck. 2002. Chemicals Reagents. Damstadt.

Moestafa, A. 1981. Aspek teknis pengolahan rempah-rempah menjadi oleoresin dan minyak rempah-rempah. Makalah di dalam Hasil Perumusan dan Kumpulan Kertas Kerja Pekan Pengembangan Ekspor Rempah-rempah Olahan di Tanjung Karang, Lampung, 21-22 Januari.

Pruthi, J. S. 1980. Spices and Condiments, Chemistry, Microbiology, Technology. Academic Press, New York.

Pudjaatmaka Ph.D, A. Hadyana. 1984. Kimia untuk Universitas. Edisi Keenam. Jilid I. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Purseglove, J. W, E. G. Brown, C. L. Green and S. R. J. Robbins, 1981. Spices, Volume II. Longman Inc., New York.

Rusli, Sofyan dan Deni Rahmawan. 1988. Pengaruh Cara Pengirisan dan Tipe Pengering Terhadap Mutu Jahe Kering. Bul. Littro, Vol III (2)

Rusli, Sofyan. 1989. Peningkatan Nilai Tambah Jahe Melalui Beberapa Proses Pengolahan. J. Litbang Pertanian, Vol. VIII (2)

Sabel, W. dan J. D. F. Waren. 1973. Theory and Practice of Oleoresin Extraction. In Proceedings at The Conference On Spices. Tropical Products Institut, London.

Somaatmadja, D. 1981. Prospek pengembangan industri oleoresin di Indonesia. Makalah di dalam Hasil Perumusan dan Kumpulan Kertas Kerja Pekan Pengembangan Ekspor Rempah-rempah Olahan di Tanjung Karang, Lampung, 21-22 Januari .

Staniforth, V. 1973. Spices or oleoresins : a choice. Paper in Conference Proceedings on Spices. Tropical Product Institute, London.

Suryandari, S. 1981. Pengambilan Oleoresin dengan Cara Solvent Ekstraction. BPIHP. Bogor.

Syarief, R dan A. Irawati. 1986. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. MSP. Bogor.

Tan, H.L. 1981. Mengenal macam-macam bentuk rempah-rempah olahan, keistimewaan dan manfaatnya. Makalah di dalam Hasil Perumusan dan Kumpulan Kertas Kerja Pekan Pengembangan Ekspor Rempah-rempah Olahan di Tanjung Karang, Lampung, 21-22 Januari 1981.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pohon industri jahe

Lampiran 2. Hasil analisa proksimat jahe (Zingiber officinale)

1. Kadar Air

a. Kadar air jahe segar

Ulangan W1 (gr)W2 (gr)W3 (gr)Kadar Air (%)Rata-rata (%)

12,95925,05994,177947,947,3

23,11625,04664,342746,8

b. Kadar air simplisia jahe

UlanganW1 (gr)W2 (gr)W3 (gr)Kadar Air (%)Rata-rata (%)

13,01395,02467,40457,97,6

22,90755,07957,40457,3

Keterangan:

W1 = Berat cawan (gr)

W2 = Berat jahe segar (gr)

W3 = Berat cawan + jahe setelah dikeringkan (gr)

2. Kadar Abu

UlanganW1 (gr)W2 (gr)W3 (gr)Kadar Abu (%)Rata-rata (%)

123,57232,44223,60659,210,3

219,43222,552319,476111,4

Keterangan:

W1 = Berat cawan (gr)

W2 = Berat jahe segar (gr)

W3 = Berat cawan + jahe setelah diabukan (gr)

3. Kadar Protein

UlanganW-jahe (gr)Vol. titar contoh (ml)Vol. titar blanko (ml)Kadar Protein (%)Rata-rata (%)

10,20794,250,17,56,9

20,23894,26,4

4. Kadar Lemak

Ulangan W1 (gr)W2 (gr)W3 (gr)Kadar Lemak (%)Rata-rata (%)

11,01054,08994,76126,66,9

20,86294,08294,59407,1

Keterangan:

W1 = Berat kertas saring (gr)

W2 = Berat jahe yang sudah diketahui kadar airnya (gr)

W3 = Berat kertas saring + jahe (gr)

5. Kadar Serat

Ulangan W1 (gr)W2 (gr)W3 (gr)Kadar Serat (%)Rata-rata (%)

11,03690,97171,558222,425,2

21,0120,99851,435028,0

Keterangan:

W1 = Berat kertas saring (gr)

W2 = Berat jahe yang sudah diketahui kadar airnya (gr)

W3 = Berat kertas saring + jahe (gr)

Oleoresin

8.86 gr

Pelarut

1:4

358.88 gr

Pengeringan

Penggilingan

Ekstraksi

Penyaringan

Destilasi

Pemotongan

Air

85.28 gr

Jahe Kering

KA : 7.6%

Ampas

143.53 gr

Pelarut

295.13 gr

Jahe Segar

200 gr

KA : 47%

Penguapan Pelarut

Pelarut

24.93 gr

Loss

1%

7.6 % air92.4 % padatan

(106 gram)

PAGE 30

_1287997628.unknown

_1287997663.unknown

_1288165719.vsdJahe gajah segar

Potongan jahe gajah

Pembersihan dan pengirisan(5 10 mm)

Pengringan oven(T = 50C, t = 18 jam)

Jahe gajah kering

Penggilingan (40 mesh)

Bubuk jahe gajah

Analisa proksimat(Kadar air, lemak, abu, dan serat kasar)

Ekstraksi dengan pelarut(etanol : serbuk jahe = 1:4, T = 78C, t = 2 jam)

Etanol

Penyaringan ekstrak jahe

Corong buchner

Oleoresin jahe kasar

Penguapan etanol

Ampas

Etanol yang terecovery

Etanol yang menguap

Oleoresin jahe

Analisa (rendemen oleoresin)

_1288175262.vsdJahe

Industri Benih

Budidaya On-farm

Rimpang

Segar

Simplisia

Pati

Minyak atsiri

Oleoresin

Makanan/ minuman

Kosmetika

FarmasiIndustri Obat TradisionalIndustri Kecil Obat Tradisional

Sirup

Instant

Makanan padat

Bedak

Lulur

Tablet

Kapsul

Sirup

_1287997676.unknown

_1287997641.unknown

_1287997548.unknown

_1287997606.unknown

_1287479124.unknown