Page 1
1
LAPORAN KEGIATAN
(TRAINING REPORT)
LAPORAN PELAKSANAAN PELATIHAN PEMAHAMAN PERSYARATAN SISTEM VERIFIKASI
LEGALITAS KAYU (SVLK) UNTUK INDUSTRI PENGOLAH KAYU
YANG BERASAL DARI HUTAN RAKYAT/LAHAN MASYARAKAT
WAKTU PELAKSANAAN
SEMARANG, 28 NOVEMBER – 2 DESEMBER 2011
ITTO Project TFL-PD 010/09 REV.1 (M)
JAKARTA, DESEMBER 2011
Page 2
2
Tim ITTO TFL-PD 010/09 Rev.1 (M)
Lasmini
Irebella Siswondo Ditha Astriani Dwi Kirana
Alamat-alamat :
ITTO TFL-PD 010/09 Rev.1 (m) Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 7
Ruang 715 Wing B Jl. Gatot Subroto – Senayan Jakarta 10270
T. +62 21 574 7056 F. +62 21 574 7056
E-mail :itto [email protected] Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan
Kementerian Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti Blik I Lantai 5
Jl. Gatot Subroto – Senayan Jakarta 10270 T. +62 21 5730381
F. +62 21 5730381 Website : www.dephut.go.id
The International Tropical Timber Organizatition (ITTO) 5th floor, International Organization Center
Pacifico Yokohama, 1-1-1 Minato-Mirai, Nishi-ku Yokohama 220 – 0012, Japan
T.81 45 223 1110 F.81 45 229 1111
E-mail :[email protected] Website : www.itto.or.jp
Cover Depan : Dokumentasi foto koleksi ITTO TFL-PD 010/09 Rev.1 (M)
Page 3
3
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
1. Latar belakang 3
2. Maksud dan tujuan 5
3. Keluaran yang diharapkan 5
II. ORGANISASI DAN PELAKSANAAN
1. Dasar Hukum Pelaksanaan 5
2. Waktu dan tempat pelaksanaan 5
3. Panitia Pelaksana 5
4. Instruktur dan Fasilitator 5
III. PESERTA PELATIHAN
1. Syarat peserta 6
2. Peserta 6
IV. METODOLOGI PELATIHAN
1. Teori 6
2. Diskusi 6
3. Praktek 6
4. Materi Diklat 6
V. MATERI PELATIHAN
1. Bina Suasana dan Kecerdasan Spiritual 6
2. Kebijakan SVLK 6
3. Pengenalan Sistem dan Standard VLK 9
4. Peraturan Bidang Penatausahaan Hasil Hutan 10
5. Aspek Hukum/Legalitas Kayu Hutan Hak di Industri 11
6. Prosedur dan Protokol Dalam Pelaksanaan Penilaian VLK 12
7. Prinsip-prinsip Ketelusuran Pergerakan Bahan Baku 15
8. Konsep Pembinaan Industri Pengolah Kayu Rakyat 19
VI. PELAKSANAAN PELATIHAN
1. Kemampuan pemateri 21
2. Pemahaman peserta 21
3. Diskusi 22
4. Evaluasi 23
VII. PRAKTEK LAPANGAN 24
VIII. KESIMPULAN dan SARAN 1. Kesimpulan
2. Saran
Lampiran-lampiran
Page 4
4
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hutan hak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999,
dinyatakan bahwa hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke
dalam hutan hak. Ini berarti bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas
tanah yang telah dibebani hak milik, yang konsekuensi logisnya adalah hutan rakyat
diusahakan tidak pada hutan Negara.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, pada Pasal
103 dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya, wajib mengembangkan hutan hak/rakyat
melalui fasilitasi, penguatan kelembagaan, dan sistem usaha. Hal ini tentunya
memperkuat kebijakan Kementerian Kehutanan yang tertuang dalam Keputusan
Menteri Kehutanan No. SK 421/Menhut-II/2006 tentang Fokus-fokus kegiatan
pembangunan kehutanan, bahwa pengembangan hutan rakyat telah menjadi
bagian dalam kegiatan pembangunan kehutanan.
Peranan hutan rakyat dalam pemenuhan kebutuhan kayu lokal, kebutuhan industri
perkayuan dan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan sosial ekonomi
masyarakat semakin dibutuhkan seiring dengan semakin terbatasnya pemenuhan
kayu dari hutan alam.
Tingginya laju deforestasi dikarenakan maraknya aktivitas pembalakan liar,
perdagangan kayu illegal, alih fungsi kawasan tidak sesuai prosedur, perambahan
kawasan, kebakaran hutan dan tindak kejahatan hutan lainnya. Kondisi tersebut
mengakibatkan potensi hutan alam semakin menurun dan tidak mampu lagi untuk
memenuhi kebutuhan kayu nasional setiap tahunnya.
Akibat defisit bahan baku kayu yang bersumber dari hutan alam, maka telah
terjadi perubahan orientasi sumber bahan baku dari hutan alam ke bahan baku
alternatif “Kayu Rakyat”. Pergeseran orientasi mendongkrak nilai ekonomis kayu
rakyat dan mengeliatkan perdagangan kayu rakyat di pasar lokal maupun tujuan
ekspor.
Sebagian besar industri pengolah kayu terutama di Pulau Jawa, saat ini
menggunakan bahan baku yang berasal dari kayu rakyat (hutan hak atau Hutan
Rakyat). Oleh karena itu posisi keberadaan dan eksistensi hutan rakyat atau hutan
hak sebagai pemasok bahan baku kayu ke industri di Pulau Jawa sangat strategis.
Pertanyaan mendasar mengapa Hutan Rakyat perlu mendapat perhatian ? hal ini
patut dipertimbangkan mengingat 1). Hutan negara sudah tidak mampu secara
lestari mencukupi permintaan akan kayu, 2). Di beberapa daerah produksi kayu dari
Page 5
5
hutan rakyat sudah lebih banyak dari produksi kayu hutan negara, 3). Membuka
peluang pertumbuhan ekonomi dan kesempatan berusaha untuk daerah, 4).
Mengurangi tekanan terhadap pembalakan di hutan negara.
Setelah berkembangnya hutan rakyat, tentunya hutan rakyat harus dikelola secara
berkelanjutan, dengan pertimbangan 1). Di beberapa daerah hutan negara luasnya
tidak cukup untuk berperan dalam perlindungan lingkungan, 2). Menekan terjadinya
dampak negatif terhadap lingkungan dalam pemanfaatannya, 3). Menjamin
keberlanjutan hasil dari hutan rakyat, 4). Tuntutan pasar atas hasil hutan dari
sumber yang legal dan dikelola dengan pendekatan ramah lingkungan.
Pertanyaan berikutnya, mengapa hutan rakyatpun perlu disertifikasi ? tentunya ini
sudah menjadi persyaratan atau piranti untuk mengatur transaksi dalam sistem
perdagangan dunia, selain itu juga tumbuh kesadaran masyarakat dunia akan
pentingnya penyelamatan hutan, melalui penerapan sistem pengelolaan hutan
berkelanjutan maupun adanya permintaan pasar, lembaga donor atau investor atas
sertifikasi hutan atau hasil hutan.
Dalam rangka menjamin legalitas hak dan kepastian hukum atas kayu yang berasal
dari pengelolaan hutan hak atau lahan masyarakat, maka Pemerintah menetapkan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 51/Menhut-II/2006 jo. Peraturan Menteri
Kehutanan No. P. 62/Menhut-II/2006 jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.
33/menhut-II/2007 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SAKU) Untuk
Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal dari Hutan Hak.
Implementasi Peraturan Menteri Kehutanan tersebut di atas, belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh para pelaku usaha akibat minimnya sosialisasi (keterbatasan
anggaran) oleh jajaran instansi kehutanan pusat maupun daerah untuk
menjangkau ke pelosok-pelosok desa. Sedangkan salah satu persyaratan untuk
mendapatkan sertifikat legalitas hasil hutan adalah menjalankan atau mematuhi
setiap segmen dalam penatausahaan hasil hutan yang berlaku.
Untuk keberhasilan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu diperlukan pelatihan
kepada para pelaku usaha khususnya industri pengolah kayu dengan membekali
pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk menerapkan sistem verifikasi legalitas
kayu sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutananan No.
38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengolahan
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Ijin atau pada
Hutan hak dan Peraturan Direktur Jenderal No. P.06/VI-Set/2009 tentang Standard
dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari dan Verifikasi Kayu dan
Peraturan Direktur Jenderal BPK No. P.02/VI-BPPHH/2010.
Page 6
6
2. Maksud dan Tujuan
Maksud penyelenggaran diklat pemahaman Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)
ini dimaksudkan agar industri yang menggunakan kayu dari sumber hutan rakyat
dapat mengetahui dan memahami prosedur dan protokol dalam pelaksanaan
verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin.
Tujuan diberikan pembekalan kepada para pelaku industri pengolahan kayu
berbasis kayu rakyat adalah agar pelaku usaha dapat memahami kerangka logika
dan memahami tentang konsep SVLK dan peraturan perundangan yang terkait
lainnya untuk meningkatkan kemampuan individu peserta menuju penerapan
sistem verifikasi legalitas kayu.
3. Keluaran Yang Diharapkan
Dari hasil pelatihan ini, diharapkan para peserta dapat :
a. Memahami kebijakan pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas
kayu yang berasal dari hutan rakyat/lahan masyarakat.
b. Mampu menggambarkan situasi penerapan sistem verifikasi legalitas kayu pada
hutan rakyat/pemilik lahan
c. Memahami prosedur & persyaratan penilaian SVLK pada Hutan Rakyat/ lahan
masyarakat.
d. Memahami kelembagaan untuk SVLK pada Hutan Rakyat/lahan masyarakat.
e. Memahami sistem dokumentasi/arsip dokumen unit manajemen hutan
rakyat/lahan masyarakat.
4. Materi Diklat
Berdasarkan Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan No. SK
114/Dik-22011 tanggal 8 September 2011 untuk diklat pelatihan pemahaman
persyaratan SVLK untuk industri kayu, telah ditetapkan jumlah mata diklat sebanyak
36 jam, terdiri dari teori 20 jam dan praktek 16 jam, sebagaimana tabel 1 berikut :
Tabel 1 : Daftar materi pelatihan pemahaman persyaratan SVLK untuk industri
pengolahan kayu yang berasal dari hutan hak :
NO. MATA DIKLAT JPL
I. TEORI 20
1. Bina Suasana Diklat (Dinamika Kelompok) 1 2. Kebijakan SVLK dalam konteks perdagangan hasil hutan (PUHH
hutan rakyat)
3
3. Pengenalan Sistem dan standard VLK pada Industri Pengolah dan Pengguna Kayu Rakyat
3
Page 7
7
NO. MATA DIKLAT JPL
4. Peraturan bidang penatausahaan hasil hutan di Industri Pengolah dan pengguna kayu rakyat
3
5. Aspek hukum/legalitas dalam industri pengolah dan pengguna kayu rakyat
2
6. Prosedur dan Protokol dalam Pelaksanaan Penilaian VLK pada unit
pemegang izin
4
7. Prinsip-prinsip ketelusuran perjalanan/pergerakan bahan baku pada Industri pengguna kayu rakyat
2
8. Konsep pembinaan Industri pengolah dan pengguna kayu rakyat terhadap pemasok, dan petani pemilik hutan rakyat/lahan
masyarakat.
2
II.
1.
PRAKTEK
Simulasi dan praktek penerapan VLK di Industri Pengolah dan
pengguna kayu rakyat
16
16
JUMLAH 36
II. ORGANISASI DAN PELAKSANAAN
1. Dasar Hukum Pelaksanaan
Pelaksanaan pelatihan pemahaman persyaratan SVLK untuk industri pengolah kayu
yang berasal dari hutan hak/rakyat, didasarkan pada :
a. Project document, Project agreement, dan dokumen 2th Yearly Plan of
Operation ITTO TFL-PD 010/09 Rev.1 (M).
b. Surat Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor 132/Set-
2/2011 tanggal 23 Agustus 2011.
c. Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Nomor
SK.114/Dik-2/2011 tanggal 8 September 2011.
2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pelaksanaan pelatihan pemahaman persyaratan SVLK untuk industri pengolah kayu
yang berasal dari hutan hak/rakyat, dimulai tanggal 28 November – 2 Desember
2011, bertempat di Plaza Hotel, Jl. Setiabudi 201 Semarang.
3. Panitia Pelaksana
Panitia pelaksana kegiatan pelatihan, terdiri dari :
a. Ketua Panitia : Ir. Lasmini
b. Sekretaris : Ditha Astriani Dwi Karina, S.Hum, M.Psi
c. Bendahara : Irebella Siswondo, SE
Page 8
8
4. Instruktur dan Fasilitator
Instruktur dan fasilitator pada pelatihan ini berasal dari unsur Birokrasi Kementerian
Kehutanan yang memahami kebijakan SVLK, Pengelolaan Hutan Produksi Lestari,
Penatausahaan Hasil Hutan Hak dan kebijakan industri kehutanan, yaitu :
a. Drs. Djoni Gunawan, B.Sc.F, M.M (Instruktur)
b. Ir. Teguh Widodo, M.Si (Fasilitator)
c. Nurcahyo, S.Hut, MAP, MA(Fasilitator)
III. PESERTA PELATIHAN
1. Syarat peserta
a. Peserta adalah personil yang bertugas dalam pengadaan dan pengolahan bahan
baku terutama bersumber dari kayu rakyat.
b. Peserta mengerti tentang Penatausahaan hasil hutan rakyat dan dokumen
legalitas kayu.
c. Peserta mempunyai kemampuan pembuatan laporan penggunaan bahan baku
kayu rakyat (RPBBI, LMKB/O)
d. Syarat pendidikan minimal SMA/Sederajat
2. Peserta
Peserta pelatihan diikuti oleh 20 peserta terdiri dari perusahaan- perusahaan
industri perkayuan dengan bahan baku utama berasal dari hutan rakyat/lahan
masyarakat serta unsur Asosiasi Mebel Rotan Indonesia (ASMINDO), yang berasal
dari wilayah Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Utusan perusahaan yang
diikutsertakan dalam pelatihan ini pada umumnya terkait langsung dengan proses
produksi, dengan tingkat jabatan administrasi sampai tingkat Direktur.
Secara lengkap nama dan asal peserta sebagaimana terlampir.
IV. METODOLOGI PELATIHAN
1. Teori
Pelatihan pemahaman SVLK lebih mengenalkan teori atau peraturan perundangan
terkait agar peserta dapat menguasai dasar-dasar kebijakan pengelolaan hutan
lestari.
2. Diskusi
Untuk lebih memahami teori atau peraturan perundangan, maka kepada para
peserta diberikan kesempatan untuk melakukan diskusi dengan para nara sumber
terkait dengan praktek-praktek pelaksanaan peraturan yang selama ini dihadapi
para peserta selaku pelaku usaha. Diskusi ini juga sekaligus memberikan peluang
Page 9
9
kepada para peserta untuk memberikan masukan atau saran perbaikan dalam upaya
penyempurnaan peraturan perundangan.
3. Praktek
Para peserta akan mengunjungi salah satu industri pengolahan kayu yang berbasis
kayu rakyat, yaitu PT. Kayu Lapis Indonesia yang berlokasi di Kendal, Jawa Tengah
untuk melaksanakan praktek simulasi bagaimana melaksanakan penilaian/verifikasi
legalitas kayu.
V. MATERI PELATIHAN
1. Pembukaan pelatihan
Pelatihan dibuka secara resmi oleh Kepala Bagian Pengembangan Diklat mewakili
Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan pada tanggal 28 November 2011,
dan dihadiri oleh perwakilan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dan Dinas
Perindustrian Provinsi Jawa Tengah. Acara pembukaan dimulai pada pukul 19.30
dan berakhir pada pukul 21.00, diawali dengan sambutan Ketua Pelaksana Diklat
(Ir. Lasmini) dan sambutan Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah (Ir.
Ramadhan).
Kepala Bagian Pengembangan Diklat (Ir. Udy, M.Sc) pada sambutan pembukaan
pelatihan menyatakan bahwa pelatihan pemahaman semacam SVLK ini merupakan
kebutuhan untuk menjawab tantangan pasar yang terus berkembang sesuai dengan
dinamika pasar hasil hutan kayu di pasar internasional yang diperlukan menekankan
akan pentingnya SVLK pada perdagangan hasil hutan kayu pada masa mendatang,
karena pada akhirnya nanti semua produk kayu dari Indonesia harus berasal dari
sumber yang legal bersertifikat, tidak hanya terbatas pada pasar ekspor, akan tetapi
juga akan mengarah pada perdagangan kayu di dalam negeri yang bersertifikat.
Secara langsung maupun tidak langsung, kebutuhan kayu bersertifikat legal akan
semakin diminati masyarakat dan pada akhirnya produsen kayu olahan akan
terdorong oleh kebutuhan pasar yang mengharuskan setiap produk kayu olahan
berasal dari sumber yang sah dan bersertifikat. Keuntungan lain dari kayu
bersertifikat legal akan mudah untuk menembus pasar ekspor di berbagai negara,
dengan harapan juga diikuti dengan perolehan harga premium.
Adanya kebijakan SVLK secara mandatory mengharuskan setiap industri perkayuan
berorientasi ekspor terutama untuk pasar ekspor Eropa, tentunya sudah menjadi
keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap eksportir. Dengan pelatihan pemahaman
ini tentunya akan sangat bermanfaat bagi para peserta yang beruntung diundang
dan hadir pada acara ini.
Page 10
10
Gambar 1 : Kepala Bagian Pengembangan Diklat Ir. Udy, M.Sc. Pada Acara
Pembukaan Tanggal 28 November 2011
Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah dalam sambutannya yang disampaikan
oleh Ir. Ramadhan, menyampaikan bahwa jumlah industri di Provinsi Jawa Tengah
jumlahnya mencapai sekitar 15.000 an unit, yang perlu mendapatkan perhatian
pemerintah. Melalui Kementerian Kehutanan yang difasilitasi oleh ITTO, pembinaan
industri perkayuan di Jawa Tengah dalam rangka menyosong pemberlakuan SVLK,
walaupun tidak terhadap seluruh industri perkayuan, namun cukup memberikan
dukungan terhadap keberadaan industri di Jawa Tengah. Dinas Perindustrian
mengharapkan adanya peningkatan pembekalan kepada perusahaan perkayuan
lainnya, tidak berhenti pada 20 industri perkayuan yang mengikuti pembekalan saat
ini.
Gambar 2 : Sambutan Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah : Ir. Ramadhan
Page 11
11
2. Bina Suasana dan Kecerdasan Spiritual
Fasilitator : Nurcahyo, S.Hut, M.AP, M.A
Waktu : Jam 08.00 – 09.30
Bina suasana diberikan pada saat akan dimulainya kegiatan materi pelatihan, yang
dimaksudkan untuk memberikan nuansa pembelajaran yang lebih akrab menuju
kebersamaan dalam menjalin kerjasama tim. Hal ini sangat menggugah peserta
dalam mengemukakan pendapat yang terbentuk dalam 3 tim yang dinakam tim
Pisang, Jambu, dan Mangga.
Permainan dalam tim cukup efektif untuk saling mengenal sesama peserta, disertai
dengan olah badan untuk menyegarkan pikiran dan fisik.
Gambar 3 : Fasilitator tengah menjelaskan jenis permainan yang akan dikuti oleh
seluruh peserta
Tujuan pembelajaran Bina Suasana Pelatihan dimaksudkan agar setiap peserta yang
mengikuti pelatihan diharapkan mampu saling mengenal dan mengembangkan rasa
kebersamaan, sehingga mempunyai semangat yang tinggi dalam mengikuti
pelatihan.
Dalam pembentukan kelompok, dimaksudkan agar terbentuk suatu kelompok yang
teratur dari dua individu atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara
jelas antara anggota satu dengan lainnya, dan berlangsung dalam situasi alami
secara bersama-sama. Pembentukan kelompok ini juga nantinya akan bermanfaat
dalam mewujudkan target tertentu melalui suatu kerjasama dan menanamkan
diantara mereka rasa ketaatan dan tanggung jawa bersama.
Page 12
12
Gambar 4 : Fasilitator sedang berdiskusi dengan peserta
3. Kebijakan SVLK
Fasilitator : Ir. Teguh Widodo, M.Si (Ditjen Bina Usaha Kehutanan)
Waktu : jam 09.30 – 11.45
Tempat : Ruang Rapat Alamanda
Bahan ajar : Lampiran 3
Pemateri Ir. Teguh Widodo, M.Si mengalami keterlambatan dalam penerbangan,
sehingga pada sesi I diisi oleh Ir. Lasmini terkait dengan kebijakan SVLK. Materi
pelatihan ini diberikan agar peserta mampu memahami latar belakang mengapa
pemerintah Indonesia membuat kebijakan SVLK dalam konteks perdagangan hasil
hutan, yaitu dengan pertimbangan bahwa :
a. Secara ekonomi dan perdagangan, bahwa hutan Indonesia menghasilkan
pendapatan bagi jutaan masyarakat yang bergantung pada sumberdaya hutan
dan ekspor produk perkayuan yang berkontribusi pada pendapatan negara.
b. Secara politis adanya isu illegal logging, karbon hutan, dan perubahan iklim yang
sudah menjadi isu global yang harus disikapi Pemerintah Indonesia untuk
ditangani dengan langkah-langkah konkrit.
c. Dari sisi lingkungan, hutan Indonesia memiliki keunikan dan kekayaan
keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang tinggi, terancam oleh pembalakan
liar dan penyelundupan kayu ilegal.
Page 13
13
Gambar 5 : fasilitator sedang memperagakan gerakan untuk menyegarkan pikiran
Fasilitator memberikan penjelasan dari sisi tata Kepemerintahan dalam penanganan
illegal logging, masih terkendala dengan lemahnya kapasitas pemerintah untuk
menyiapkan paket kebijakan yang tepat dan penegakan hukum yang adil, kurangnya
konsultasi publik menyebabkan peraturan tidak transparan, kurangnya pendanaan
bagi kegiatan politik, kurangnya pendanaan untuk penegakan hukum yang adil,
lembaga peradilan yang korup, kompetensi pejabat yang tidak jelas dan standar, dan
kurangnya penghargaan terhadap hak-hak masyarakat.
Dampak terjadinya kegiatan illegal logging berdampak terhadap rusaknya fungsi
ekologi hutan, berpengaruh terhadap daerah resapan air, terganggunya areal hutan
lindung dan taman nasional yang berakibat hilangnya keanekaragaman hayati, dan
hilangnya pendapatan pemerintah. Selain itu penegakan hukum terabaikan,
memburuknya tata laksana kehutanan, meningkatnya kemiskinan dan konflik sosial,
merusak kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia yang berdampak
menurunnya daya saing perdagangan komoditi lainnya di pasar global yang sangat
merugikan.
Terkait dengan kegiatan illegal logging yang sangat berpengaruh terhadap
perubahan iklim global, maka sejumlah negara menerapkan standar sertifikat bagi
produk kayu di pasar dunia. Regulasi yang diterapkan oleh beberaa negara,
sebenarnya merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dari negara-negara
konsumen, seperti Jepang memberlakukan Goho Wood/Green Konjuho 2006,
Amerika menerapkan Lacey Act 2008, dan Uni Eropa dengan EU Timber Regulation
Page 14
14
2010. Regulasi ini diikuti oleh negara lain seperti New Zealand, Australia dan lainl-
lain melalui illegal logging Prohibition Bill.
Japan’s Guideline for Verification of Legality and Sustainability of Wood and Wood
Products, menerapkan prinsip legalitas, yaitu kayu harus dipanen secara sah sesuai
ketentuan perundangan yang berlaku di negara produsen kayu, aspek kelestarian
dalam arti bahwa kayu harus dipanen dari hutan yang dikelola dengan menerapkan
prinsip kelestarian, dan metoda verifikasi dilakukan oleh lembaga verifikasi di bawah
asosiasi resmi industri.
Di Amerika, melalui Lacey Act, telah melarang perdagangan tumbuhan dan produk
dari tumbuhan yang berasal dari sumber illegal, dan mensyaratkan para importir
untuk menyediakan berkas pernyataan/deklarasi infomasi untuk menyertai setiap
pengiriman tumbuhan ataupun produk dari tumbuhan. Dalam berkas
penyataan/deklarasi tersebut harus memuat antara lain nama ilmiah dari setiap
species yang digunakan, negara asal/tempat pemanenan, kuantitas/jumlah dan
ukuran, dan nilainya.
Negara-negara Uni Eropa melakukan kerjasama bilateral yang mengatur
perdagangan kayu ke Uni Eropa dengan FLEGT VPA melalui Timber Legality
Assurance System (TLAS), yaitu dengan mengidentifikasi dan memberi izin kayu legal
dan untuk memastikan hanya kayu legal yang dapat diekspor ke Uni Eropa. Kegiatan
yang dilakukan meliputi pengecekan mulai dari areal pemanenan/penebangan
sampai ke pelabuhan ekspor termasuk proses pengolahan di industri kayu.
Para peserta diberikan pemahaman apa itu yang dinamakan VPA atau Voluntary
Partnership Agreement, yaitu Perjanjian kemitraan sukarela antara negara
penghasil kayu dengan Uni Eropa dalam memberantas pembalakan liar dan
perdagangan hasil hutan ilegal. Dengan tujuan untuk menekan masuknya kayu
ilegal ke pasar Uni Eropa, berbagi peran dan tanggungjawab antara negara
pengekspor (Indonesia) dengan negara pengimpor (UE). Prinsip kerja VPA adalah
tidak diskriminatif, mengikuti hukum di Indonesia, kKewajiban timbal balik (reciprocal
obligation), Zero laundring.
Melalui SVLK, diharapkan Indonesia dapat mempromosikan kayu legal melalui
implementasi standar legalitas pada konsumen, pemasok dan negara produsen,
dalam rangka enegakan hukum dan tata kelola kehutanan, mendorong sektor swasta
untuk menerapkan kebijakan pasokan kayu legal, merupakan trend dalam
perdagangan internasional kayu yang memerlukan bukti legalitas serta sekaligus
merupakan komitmen untuk memberantas illegal logging dan perdagangannya
melalui pengelolaan hutan lestari dan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Page 15
15
Pada bulan Oktober 2010, Uni Eropa mengadopsi Timber Regulation untuk
menghambat beredarnya kayu ilegal di pasar Eropa, sehingga SVLK akan mulai
efektif berlaku sejak 3 Maret 2013. Kayu yang masuk ke Uni Eropa yang berasal dari
negara yang ditengarai terjadi illegal logging akan dilakukan due diligence (DD). DD
dan Timber Regulation tidak berlaku ketika suatu negara eksportir kayu seperti
Indonesia menandatangani VPA dengan Uni Eropa.
Dengan kesepakatan VPA, akan diperoleh keuntungan, yaitu pasar akan terbukaluas
karena terhindar dari isu illegal logging, dan bagi pasar Eropa, kayu Indonesia
dengan sertifikat V- Legal akan melalui “Green lone” sehingga tidak sulit memperoleh
pengakuan legalitasnya.
4. Peraturan Bidang Penatausahaan Hasil Hutan
a. Fasilitator : Drs. Djoni Gunawan, B.Sc.F, MM (Ditjen Bina Usaha Kehutanan)
b. Waktu : jam 08.45 – 10.45
c. Tempat : Ruang Rapat III
d. Bahan ajar : Lampiran 5
Untuk lebih memahami persiapan pelaksanaan SVLK, maka para peserta diberikan
pemahaman tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang merupakan salah satu
instrumen yang penting dalam proses SVLK.
Penatausahaan Hasil Hutan didasarkan pada status lahan, yaitu pada lahan
milik/hutan hak diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003, Pasal 118, yang dinyatakan bahwa
semua hasil hutan yang berasal dari hutan hak, dilakukan penetapan jenis,
pengukuran volume/berat, dan penghitungan jumlah serta dilengkapi dengan surat
keterangan asal usul hasil hutan hak. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan
jenis, pengukuran volume/berat serta surat keterangan asal usul hasil hutan hak
diatur dengan peraturan menteri.
Implementasi dari Peraturan Pemerintah tersebut di atas, diterbitkan Peraturan
Menteri Kehutanan No. P. 51/Menhut-II/2006 jis. P. 62/Menhut-II/2006 dan
P.33/Menhut-II/2007 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Yang
Berasal Dari Hutan Hak. Pada intinya Peraturan Menteri dimaksudkan adalah untuk
memberikan kepastian hukum bagi hasil hutan yang berasal dari lahan masyarakat
atau lahan hak.
Legalitas hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat pada
prinsipnya sangat sederhana, yaitu kayu dipanen atau dipungut dari lahan yang
mempunyai bukti legalitas atau status lahan yang dibuktikan dengan surat atau
dokumen yang diakui sebagai bukti penguasaan atau kepemilikan tanah, serta kayu
Page 16
16
diangkut dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal usul (SKAU) atau Nota atau
SKSKB Cap KR, dimana penggunaannya tergantung dari jenis kayu yang diangkut.
Aspek penggunaan dokumen hasil hutan hak, mensyaratkan bahwa setiap
komoditas hasil hutan yang berbeda dan asal yang berbeda akan memerlukan surat
keterangan yang berbeda, sehingga pengendalian peredarannyapun akan mudah
dilakukan.
Dalam Penatausahaan Hasil Hutan Hak pada prinsipnya tidak mengatur perizinan,
sehingga pemanfaatan hasil hutan hak atau lahan masyarakat tidak diperlukan
adanya perizinan termasuk izin penebangan.
Kunci utama dalam Penatausahaan Hasil Hutan Hak adalah aspek kepemilikan
lahan, yang mensyaratkan status lahan-nya, apakah milik negara atau milik
masyarakat. Hal ini penting diketahui, agar tidak menyebabkan terjadinya kerugian
Negara.
Penggunaan SKAU, pada prinsipnya dimaksudkan untuk :
a. Melindungi hak-hak yang merupakan hak milik masyarakat.
b. Memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi masyarakat.
c. Menghindari campur aduknya penatausahaan kayu yang berasal dari hutan
Negara.
d. Menghindari penerapan sanksi yang tidak proporsional.
5. Aspek Hukum/Legalitas Kayu Hutan Hak di Industri
a. Fasilitator : Drs. Djoni Gunawan, B.Sc.F, MM (Ditjen Bina Usaha Kehutanan)
b. Waktu : jam 08.45 – 10.45
c. Tempat : Ruang Rapat III
d. Bahan ajar : Lampiran 6
Untuk lebih memahami aspek legalitas kayu yang berasal dari hutan hak yang
diterima industri, maka para peserta diberikan pemahaman tentang aspek hukum
atas penerimaan kayu hutan hak. Hal ini penting untuk ketnetraman para pelaku
usaha industri dan sekaligus merangsang industri pengolahan kayu terus
meningkatkan pemanfaatan kayu yang berasal dari hutan hak, yang mempunyai
dampak multiplier efek bagi peningkatan ekonomi rakyat.
Penerbitan dokumen legalitas harus mengikuti mekanisme yang telah ditetapkan,
yang mengalir secara konsisten dengan dokumen-dokumen sebelumnya sejak dari
hutan sampai ke tempat tujuan. Artinya, bahwa hasil hutan harus dapat dilacak
kebenaran asal usulnya melalui penelusuran dokumen dan fisik kayu (VLO).
Page 17
17
Gambar 6 : Fasilitator sedang menjelaskan materi PUHH
Hanya industri primer yang sah dan tempat penampungan KO terdaftar yang diberi
kewenangan mencetak blanko FA-KO. Petugas Penerbit FAKO diangkat oleh Kepala
Dinas Kehutanan Provinsi dengan pertimbangan teknis dari BP2HP, sekaligus
sebagai fungsi kendali.
Di setiap TPK, TPK Antara dan TPK Industri, perusahaan wajib membuat LMKB
sebagai alat monitoring. Untuk kayu olahan, perusahaan baik industri maupun
tempat penampungan terdaftar wajib membuat LMHHOK. Legalitas kayu olahan
dinilai dari legalitas izin industrinya, bahan bakunya dan proses pengolahannya. Hak
negara (PSDH/DR) diperhitungkan terhadap KB/bahan bakunya yang berasal dari
izin sah dan bukan terhadap kayu olahan (tidak ada hak negara yang melekat pada
kayu olahan).Verifikasi legalitas kayu olahan dilakukan dengan penelusuran ke
legalitas asal usulnya baik terhadap industri maupun bahan bakunya (KB).
Untuk dapat membuktikan legalitas kayu dari hutan hak/lahan masyarakat, maka
bukti pemilikan lahan harus dilengkapi dengan sertifikat Hak Milik, Letter C atau
Girik atau surat keterangan lain yang diakui oleh BPN sebagai dasar kepemilikan
lahan, atau Sertifikat Hak Pakai, atau surat atau dokumen lainnya yang diakui
sebagai bukti penguasaan tanah atau bukti kepemilikan.
Sanksi dalam pelanggaran pengangkutan kayu olahan, apabila fisik kayu tidak
sesuai dengan dokumen angkutan (FAKO), hal ini merupakan indikasi adanya
pelanggaran, sehingga harus dibuktikan legalitas asal usul dan bahan bakunya
(KB). Apabila Bahan bakunya (KB) terbukti tidak sah atau industrinya ilegal, maka
kayu olahan tersebut tidak sah. Pelanggaran dalam pengangkutan kayu rakyat,
misalnya volume fisik lebih besar dari dokumen, maka sepanjang asal usul kayu
dapat dibuktikan keabsahannya, cukup dikenakan sanksi administratif yang sifatnya
pembinaan.
Page 18
18
6. Pengenalan Sistem dan Standard VLK
a. Fasilitator : Ir. Teguh Widodo, M.Si (Ditjen Bina Usaha Kehutanan)
b. Waktu : jam 08.45 – 10.45
c. Tempat : Ruang Rapat III
d. Bahan ajar : Lampiran 4
Melalui pengenalan Sistem dan Standar VLK, diharapkan peserta mampu memahami
latar belakang dan konsep standar Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) dalam
perdagangan kayu internasional dan memahami persyaratan pemenuhan standar
VLK.
Fasilitator pada intinya menekankan bahwa SVLK adalah untuk memenuhi
persyaratan legalitas kayu/ produk kayu yang dibuat berdasarkan kesepakatan para
pihak (stakeholder) kehutanan, yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier,
metode verifikasi, dan norma penilaian. Sertifikasi pada dasarnya adalah proses
pengabsahan (verifikasi) untuk menunjukkan bahwa suatu produk/proses telah
memenuhi persyaratan sesuai dengan standar produk/proses dimaksud, dengan
unsur terdiri dari standar, proses verifikasi pemenuhan standar, dan akreditasi.
Berdasarkan sifatnya, sertifikasi dibedakan 2, yaitu Voluntary dan Mandatory, yaitu
untuk :
1. Voluntary, dilaksanakan secara sukarela, merupakan instrumen
pasar/persyaratan perdagangan, dengan kriteria dan indikator disepakti oleh
stakeholder (LSM, Akademisi, produsen dan buyer), dan diakreditasi oleh
kembaga sertifikasi pengembang sistem seperti Lembaga Ekolabel Indonesia
(LEI) dan FSC, dengan biaya yang ditanggung oleh pemegang izin.
2. Mandatory, wajib dilaksanakan karena berdasarkan pada aturan Pemerintah,
sifatnya lebih pada pembinaan, dengan kriteria dan indikator ditetapkan oleh
Pemerintah, dengan Lembaga Sertifikasi yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi
Nasional (KAN), serta dengan sanksi berdasarkan peraturan perundangan,
dengan biaya untuk tahap I oleh Pemerintah dan selanjutnya oleh pemegang
izin.
Prinsip legalitas kayu atau kayu disebut legal jika kebenaran asal kayu, izin
penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi
angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat
dibuktikan memenuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu
(IUIPHHK), meliputi :
Page 19
19
1. Prinsip, Industri mendukung terselenggaranya perdagangan kayu sah, Unit
usaha mempunyai dan menerapkan sistem penelusuran kayu yang menjamin
keterlacakan kayu dari asalnya, dan keabsahan perdagangan atau
pemindahtanganan kayu olahan.
2. Kriteria, unit usaha (industri pengolahan dan eksportir produk olahan) memiliki
izin yang sah.
3. Indikator, industri pengolahan memiliki izin yang sah eksportir produk hasil kayu
olahan adalah eksportir produsen yang memiliki izin yang sah,
4. Verifier, (akte pendirian perusahaan, SIUP, TDP, NPWP, Amdal, IUI/TDI, dan
RPBBI),
7. Prosedur dan Protokol Dalam Pelaksanaan Penilaian VLK
a. Fasilitator : Ir. Teguh Widodo, M.Si (Ditjen Bina Usaha Kehutanan)
b. Waktu : jam 08.45 – 10.45
c. Tempat : Ruang Rapat III
d. Bahan ajar : Lampiran 7
Pemberian materi pelatihan tentang prosedur dan protokol dalam penilaian SVLK
dimaksudkan agar peserta dapat mengetahui dan memahami prosedur dan protokol
dalam pelaksanaan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin.
Gambar 7 : Fasilitator sedang menjelaskan kepada peserta diskusi
Lembaga Verifikasi LK yang telah mendapat penetapan Komite Akreditasi Nasional
(KAN), ada 8 lembaga, yaitu 1). Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (LVLK-001-
IDN), PT. Sucofindo (LVLK-002-IDN), PT. Mutuagung Lestari (LVLK-003-IDN), PT.
Mutu Hijau Indonesia (LVLK-004-IDN), PT. TUV International Indonesia (LVLK-005-
Page 20
20
IDN), PT. Equality Indonesia (LVLK-006-IDN), PT. Sarbi Moehani Lestari (LVLK-007-
IDN), dan PT. SGS Indonesia (LVLK-008-IDN).
Permohonan verifikasi dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :
a. Permohonan kepada Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) yang telah
mendapat penetapan dari Komite Akreditasi Nasional (KAN).
b. LVLK mengkaji permohonan untuk menjamin agar persyaratan verifikasi
dipahami dengan jelas dan didokumentasikan, tidak terdapat perbedaan
pengertian antara LVLK dan Pemegang Izin, LVLK mampu melaksanakan VLK
yang diminta, dan menjangkau lokasi operasi Pemegang Izin.
c. Penyelesaian urusan kontrak kerja .
Dalam pelaksanaan verifikasi dilakukan melalui tahapan pertemuan pembukaan,
verifikasi dokumen dan observasi lapangan, dan pertemuan penutupan.
8. Prinsip-prinsip Ketelusuran Pergerakan Bahan Baku
a. Fasilitator : Ir. Teguh Widodo, M.Si (Ditjen Bina Usaha Kehutanan)
b. Waktu : jam 08.45 – 10.45
c. Tempat : Ruang Rapat III
d. Bahan ajar : Lampiran 8
Materi prinsip-prinsip ketelusuran pergerakan bahan baku diberikan kepada para
peserta dapat mengetahui dan memahami prinsip-prinsip ketelusuran perjalanan
pergerakan bahan baku pada pengguna industri kayu (sistem lacak balak di
industri)
Sertifikasi lacak balak merupakan penilaian satu langkah ke belakang (one step
backward) untuk menilai apakah sumber bahan baku kayu yang digunakan oleh
industri kayu sudah bersertifikat hutan lestari. Pada prinsipnya sertifikasi lacak balak
dilakukan untuk mengetahui kejelasan sistem pergerakan hasil hutan dan kinerja
sistem pergerakan hasil hutan.
Manfaat sertifikasi lacak balak mempunyai efek ganda, yaitu terhadap konsumen
yang berguna untuk membedakan produk kayu dari hutan yang lestari dengan yang
tidak, dan terhadap produsen/industri, agar dapat meningkatkan efisiensi produksi
dan keteraturan administrasi kayu, dan meningkatkan kepercayaan pasar terhadap
produk kayu yang dihasilkan
Prinsip lacak balak adalah rangkaian penilaian kebertelusuran kayu dari industri
sampai ke sumber bahan baku melalui penilaian administrasi kayu, sehingga
didapatkan rantai tak terputus yang menggambarkan asal kayu berasal dari hutan
yang diproduksi secara lestari.
Page 21
21
9. Konsep Pembinaan Industri Pengolah Kayu Rakyat
a. Fasilitator : Drs. Djoni Gunawan, B,Sc.F, MM (Ditjen Bina Usaha Kehutanan)
b. Waktu : jam 08.45 – 10.45
c. Tempat : Ruang Rapat III
d. Bahan ajar : Lampiran 9
Fasilitator menekankan, bahwa pembinaan industri pengolah kayu rakyat lebih
diarahkan pada kegiatan yang bersifat hulu dan hilir dan kebijakan pendukung.
Perkembangan industri kehutanan berbasis kayu hutan rakyat yang tercatat sampai
dengan s/d tahun 2011, terdapat sebanyak 64 industri kehutanan yang berbasis
kayu tanaman rakyat, dengan jenis dan kapasitas. Berdasarkan hasil monitoring
bahan baku dari hutan alam cenderung menurun, yaitu pada tahun 2005 tercatat
20,50 juta meter kubik, sedangkan pada tahun 2010 hanya mencapai 6,12 juta
meter kubik. Pasokan bahan baku mulai tergantikan, dengan pasokan kayu yang
berasal dari hutan tanaman (HTI, HR, dan perkebunan) yang meningkat di Tahun
2005 sebesar 11,47 juta meter kubik mejadi 35,82 juta meter kubik di tahun 2010.
Hutan tanaman ke depan akan menjadi basis dan tulang punggung industri
perkayuan nasional. Untuk itu pola pembinaan yang dikembangkan melalui Sektor
Hulu Kehutanan, pembinaan sektor hilir kehutanan, dan kebijakan pendukung.
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan dunia usaha industri, maka sejak
tahun 2009, Kementerian Kehutanan memberikan penghargaan “Prima Wana
Mitra” bagi industri dan Kelompok Tani yang giat melakukan inovasi dan kemitraan
dalam pengembangan Hutan Rakyat. Penghargaan Prima Wana Mitra pada Tahun
2009 diberikan kepada 14 industri dan Tahun 2010 diberikan kepada 11 industri
dan 15 Kelompok Tani.
Pembinaan kemitraan IPHH dan masyarakat dalam pengembangan Hutan Rakyat,
dilakukan melalui :
a. Penguatan kelembagaan (pembentukan Koperasi atau Kelompok Tani,
pembuatan tata hubungan kerja, dll) yang sudah terbentu misalnya: Koperasi
Alas Mandiri-KTI, KSU Sumber Graha Sejahtera Karya Mandiri.
b. Pembagian bibit.
c. Pembangunan kebun bibit rakyat, bibit yang dihasilkan dibeli oleh industri.
d. Bimbingan teknis: penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pemasaran, dan
penatausahaan hasil hutan.
e. Sertifikasi Hutan Rakyat Kemitraan. Sebagai contoh KAM-KTI telah memperoleh
sertifikasi skema FSC untuk HR Kemitraan di Probolinggo.
Page 22
22
VI. PRAKTEK LAPANGAN KE INDUSTRI
Untuk dapat implementasikan teori yang diperoleh dalam kelas, maka peserta
melaksanakan praktek simulasi pada industri primer hasil hutan kayu PT. Kayu Lapis
Indonesia, berlokasi di Kendal, Jawa Tengah.
PT. Kayu Lapis Indonesia merupakan salah satu industri kayu lapis yang telah
mendapatkan sertifikat SVLK, dengan dukungan bahan baku yang berasal dari
IUPHHK-HA milik sendiri yaitu PT. Sarpatim Parakantja yang juga telah mendapat
sertifikat PHPL serta bahan baku dari hutan rakyat.
Tahapan yang dilaksanakan dalam simulasi proses penilaian SVLK pada industri PT.
Kayu lapis Indonesia, sebagai berikut :
1. Paparan atau pengenalan kondisi industri disampaikan oleh General Manager,
terutama berkaitan dengan proses pengadaan bahan baku, proses pemilahan
bahan baku, proses produksi, dan proses barang jadi.
2. Peninjauan lapangan, mulai dari proses bahan baku kayu masuk ke logyard,
pemilahan bahan baku, bahan baku diproses mesin rotary, composer, pressing,
sizing, sampai dengan proses packing barang jadi di gudang disertai penjelasan
mengenai adminstrasi pendokumenan pada tiap tahapan atau proses.
3. Pihak manajemen mempersiapkan dokumen yang berkaitan dengan persiapan
penilaian SVLK, yaitu terkait dengan dokumen legalitas izin industri, yaitu berupa
akte pendirian perusahaan, SIUP, TDP, NPWP, Amdal, IUI/TDI, RPBBI, EPTIK,
dokumen kontrak jual beli bahan baku kayu, dokumen angkutan kayu (SKSKB/FA-
KB/SKAU), LMKB/LMHHOK, dokumen PKAPT, ETPIK, PEB, packing list, invoice, B/L,
FAKO/Nota Perusahaan, dan dokumen kepabenanan.
4. Praktek simulasi dibagi dalam 3 kelompok, dengan mengambil kelompok yang
susag terbentuk pada saat bina suasana, yaitu kelompok mangga, pisang dan
jambu.
5. Kelompok Mangga mencermati legalitas usaha, seluruh dokumen legalitas usaha
dan kesesuaian dan keabsahan data-data pada setiap dokumen legalitas usaha.
6. Kelompok Pisang mencermati legalitas produksi, yaitu dengan mencermati seluruh
sistem produksi yang ada apakah telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Cermati izin kapasitas terpasang dengan realisasi produksi dibandingkan bahan
baku yang diolah (rendemen), dengan laporan RPBBI. Mencermati kelengkapan dan
keabsahan seluruh dokumen yang terkait dengan produksi, seperti SKSKB/FA-
KB/SKAU, LMKB, dan laporan produksi (LMHHOK).
Page 23
23
Gambar 8 : Foto bersama di depan Kantor PT. Kayu Lapis Indonesia
7. Kelompok Jambu mencermati sistem pemasaran yang dijalankan selama ini apakah
telah sesuai dengan prosedur yang berlaku, kemudian mencermati kelengkapan
dan keabsahan seluruh dokumen pemasaran, seperti FA-KO/Nota Perusahaan, PEB,
B/L, Invoice, endorsement.
8. Dari hasil pencermatan dari masing-masing kelompok, hasilnya dipresentasikan oleh
perwakilan kelompok, dimana hasil akhir yang diperoleh dari tiap kelompok
menunjukan bahwa industri PT. Kayu Lapis Indonesia memang telah memenuhi
semua kelengkapan data dan prosedur yang dipersyaratkan oleh SVLK.
9. Terdapat beberapa catatan yang diberikan oleh pihak manajemen terkait dengan
hasil perolehan sertifikat SVLK, yaitu :
a. Pada prinsipnya yang diperlukan adalah adanya kelengkapan dan ketertiban
dalam penyimpanan data adminstrasi.
b. Diperlukan sistem atau mekanisme dalam pelacakan dalam setiap simpul
pergerakan kayu, dimulai dari kayu bulat diolah, sampai pada tiap tahapan atau
simpul dalam pengolahan diperlukan pencatatan yang cermat dan mudah untuk
dimonitor.
VII. EVALUASI PELAKSANAAN PELATIHAN
1. Kemampuan pemateri
Pemateri atau nara sumber cukup mumpuni dalam menyampaikan paparan
materinya, yang dilakukan secara sistematis dan mengalir, sehingga dapat segera
dipahami oleh peserta pelatihan.
Page 24
24
Keterbatasan waktu dan kesibukan nara sumber yang seharusnya memberikan
paparan sesuai dengan agenda yang telah disusun, tidak semua dapat dipenuhi,
sehingga ada beberapa nara sumber yang berhalangan hadir, namun dapat diatasi
oleh nara sumber lain yang tetap dapat memberikan kontribusi pemahaman materi
yang baik.
2. Pemahaman peserta
Secara umum kemampuan para peserta dalam menangkap materi pembelajaran
cukup baik, bahkan diantaranya sangat memahami prosedur dan mekanisme yang
menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari.
3. Diskusi
Pada setiap sesi teori diselingi diskusi untuk lebih memahami materi dan penerapan
serta kondisi nyata yang ada dalam pelaksanaan kegiatan industri dalam keseharian.
Adapun permasalahan yang muncul pada setiap diskusi, adalah sebagai berikut :
a. Kebijakan SVLK Dalam Konteks Perdagangan Hasil Hutan.
Dipertanyakan oleh peserta pelatihan, apakah dengan SVLK akan mendapat
manfaat baik untuk industri maupun dari nilai tambah yang akan diperoleh dari
produk kayu yang bersertifikat. Untuk mendapatkan sertifikat VLK, berapa biaya
yang harus dikeluarkan dan bagaimana dengan masa berlaku sertifikat, apakah
dilakukan valuasi setiap periode tertentu.
b. Pengenalan Sistem dan Standar VLK Pada Industri Pengolah dan Pengguna Kayu
Rakyat.
Selain SVLK, apakah dengan sertifikat yang sudah dimiliki oleh industri pengolah
kayu untuk persyaratan perdagangan seperti LEI atau FSC juga akan berlaku di
pasar internasional dan disetarakan dengan SVLK. Dalam penilaian legalitas
kayu, syaratnya adalah kayu yang dipanen legal, kayu diangkut legal, kayu yang
diproduksi dari proses legal, dan kayu yang dijual/dipasarkan secara legal,
bagaimana jika dalam salah satu dokumen angkutan hilang apakah dapat diganti
dengan surat pernyataan kebenaran penerimaan kayu.
c. Peraturan Bidang Penatausahaan Hasil Hutan di Industri Pengolah dan Pengguna
Kayu Rakyat.
Prosedur penatausahaan hasil hutan sudah dijalankan sepenuhnya, walaupun
masih terjadi kekurang-sempurnaan dalam pelalaksanaannya, yang menjadi
pokok permasalahan adalah adanya biaya-biaya yang harus dikeluarkan yang
menambah beban biaya produksi, seperti dalam pelayanan nomor seri dokumen
angkutan kayu olahan, penetapan penerbit dokumen angkutan, pelatihan Ganis,
penetapan lokasi gudang industri, dan sebagainya. Di beberapa industri
Page 25
25
pengolahan kayu lanjutan, terjadi permasalahan pada saat bahan baku berupa
kayu gergajian yang akan diangkut ke industri pengeringan kayu (kiln dry)
memerlukan dokumen angkutan FA-KO, sehingga IPKL ditetapkan sebagai
Perusahaan Penampung Terdaftar agar dapat memperoleh pelayanan penetapan
Nomor Seri FA-KO dari Dinas Kehutanan Provinsi.
d. Aspek Hukum/Legalitas Dalam Industri Pengolah dan Pengguna Kayu Rakyat.
Banyak kasus dijumpai pada pengangkutan kayu yang berasal dari hutan hak
atau lahan masyarakat, terutama pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum pada saat kayu diangkut menuju industri. Hal ini juga
berakibat pada penambahan biaya produksi yang pada akhirnya akan
mengurangi daya saing produk olahan di pasar ekspor. Secara yuridis, kayu dari
hutan hak atau lahan masyarakat tidak dapat dikenakan sanksi pidana sepanjang
kayu yang diperoleh berasal dari lahan yang memilki status kepemilikan yang
jelas. Pada hutan hak atau lahan masyarakat tdak terdapat hak-hak negara yang
melekat, seperti PSDH atau DR
e. Prosedur dan Protokol Dalam Pelaksanaan Penilaian VLK Pada Unit Pemegang
Izin.
Bagaimana jika industri yang telah mendapat sertifikat mendapat pengaduan dari
masyarakat pemantau independen, apakah akan dilakukan audir khusus dan
siapa yang berhak untuk melakukan penilaian atas kebenaran laporan tersebut.
Dari 8 Lembaga Penilai VK yang telah mendapat akreditasi dari Komite Akreditasi
Nasional (KAN), apakah pemohon dapat mengajukan permohonan VLK terhadap
semua lembaga, dengan pertimbangan untuk memperoleh harga penawaran
yang kompetitif.
f. Prinsip-prinsip ketelusuran perjalanan/pergerakan bahan baku Pada industri
pengguna kayu rakyat.
Sebagai industri pengguna kayu rakyat, bagaimana jika kayu yang diperoleh dari
hutan rakyat atau lahan masyarakat ditemukan kesulitan untuk pelacakan asal
kayu, mengingat jangka waktu penilaian diperlukan data-data lama. Kadangkala
bahan baku yang dibeli melalui pedagang perantara, yang harus dilengkapi
dokumen yang sah, bagaimana teknis pembuktiannya.
g. Konsep pembinaan industri pengolah dan pengguna kayu rakyat terhadap
pemasok, dan petani pemilik hutan rakyat/lahan masyarakat
Page 26
26
4. Evaluasi
Pelaksanaan pelatihan pemahaman persyaratan SVLK untuk industri pengolah kayu
yang berasal dari hutan rakyat/lahan masyarakat dinilai berjalan cukup efektif,
selain karena telah diselengarakan untuk kedua kalinya, juga berkat dukungan dan
kerjasama yang baik diantara panitia, instruktur, fasilitator dan nara sumber.
Pemaparan materi yang diberikan pada saat jam-jam setelah makan siang diselingi
dengan pemulihan atau kesegaran fisik melalui energizing yang memang sangat
membantu peserta untuk kembali bersemangat dan memberikan nuansa tersendiri
dan penuh keakraban.
Kurikulum pelatihan 20 jam pelajaran teori dan 16 jam praktek untuk dapat
memahami persyaratan dalam SVLK memang belum cukup untuk menguasasi
semua materi, namun cukup menjadi bekal para pelaku usaha untuk mengenal dan
menuju pelaksanaan SVLK pada industri.
VIII. KESIMPULAN dan SARAN
1. Kesimpulan
Pelaksanaan pelatihan pemahaman persyaratan SVLK bagi industri pengolah
kayu yang berasal dari hutan hak dapat berjalan sesuai dengan agenda, dan tata
waktu yang telah ditetapkan, yaitu dibuka pada tanggal 28 November 2011 dan
ditutup pada tanggal 1 Desember 2011 serta check out pada tanggal 2
Desember 2011. Berkat dukungan panitia dan fasilitator sebagai pihak yang
sangat bermanfaat dalam melakukan transfer pengetahuan, dan disertai
dengan dedikasi dan tanggung jawab peserta, sehingga pelatihan dapat berjalan
secara tertib dan lancar.
Secara umum semua peserta telah memahami prosedur dan persyaratan dalam
SVLK, sehingga antara teori dengan praktek dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan, sesuai dengan keluaran yang diharapkan, yaitu dapat memahami
kebijakan pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu yang
berasal dari hutan rakyat/lahan masyarakat, mampu menggambarkan situasi
penerapan sistem verifikasi legalitas kayu pada hutan rakyat/pemilik lahan,
mampu memahami prosedur & persyaratan penilaian SVLK pada Hutan Rakyat/
lahan masyarakat, dapat memahami kelembagaan untuk SVLK pada Hutan
Rakyat/lahan masyarakat, serta dapat memahami sistem dokumentasi/arsip
dokumen unit manajemen hutan rakyat/lahan masyarakat.
Dari hasil praktek penilaian persyaratan SVLK yang dilakukan terhadap PT. Kayu
Lapis Indonesia, para peserta secara langsung dapat memahami teknik dan
mekanisme dalam VLK, disamping ada beberapa perusahaan yang telah
Page 27
27
mendapat VLO, sehingga dari sebagian peserta sudah lebih mudah untuk
memahami mekanisme SVLK. Dengan demikian diharapkan dapat diterapkan
dalam mempersiapkan diri menghadapi penilaian yang akan dilakukan oleh
Lembaga Penilai.
2. Saran
Pelatihan pemahaman persyaratan SVLK sangat membantu industri pengolah
kayu berorientasi ekspor, terutama karena pada pelaksanaan pelatihan kali ini
tidak terbatas terhadap industri yang mengolah bahan baku kayu yang berasal
dari hutan hak saja, akan tetapi juga terhadap industri yang mengolah bahan
baku kayu yang berasal dari hutan negara. Hal ini penting mengingat legalitas
kayu dari hutan alam lebih kompleks, dan saat ini bahan baku kayu dari hutan
alam termasuk hutan tanaman masih cukup besar dalam kontribusi pemenuhan
bahan baku industri di dalam negeri.