BAB IPENDAHULUAN
Latar BelakangApendisitis merupakan kasus nyeri perut yang
sering terjadi dan membutuhkan pengobatan operasi pada anak-anak
dan dewasa di bawah umur 50 tahun, dengan puncak kejadian pada usia
dekade kedua dan ketiga yaitu usia 10-20 tahun.1Insiden apendisitis
akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang.
Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di
Negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan berserat. Di
Amerika Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh lebih
dari 40.000 rumah sakit tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio
tinggi terjadi apendisitis, dengan rasio laki-laki:perempuan yaitu
1,4:1, dengan resiko seumur hidup apendisitis yaitu pada laki-laki
8.6% dan 6.7% pada perempuan1. Di Indonesia, insiden apendisitis
akut jarang dilaporkan. Insidens apendisitis akut pada pria
berjumlah 242 sedangkan pada wanita jumlahnya 218 dari keseluruhan
460 kasus. Pada tahun 2008, insiden apendisitis mengalami
peningkatan. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsumsi junk
food daripada makanan berserat.1,2Apendisitis akut yang merupakan
keadaan akut abdomen maka diperlukan tindakan yang segera maka
kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi
diagnosis apendisitis akut berkisar 76-92%. Pengobatan untuk
apendisitis akut adalah pembedahan, apendiktomi. Sebelum
pembedahan, pasien diberikan antibiotik perioperatif yang spectrum
luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi dan pembentukan
abses intraabdominal2. Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran
yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi,
penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat,
terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Bersama-sama
cabang kedokteran lain serta anggota masyarakat ikut aktif
mengelola bidang kedokteran gawat darurat.3Pasien yang akan
menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan
anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang herus
dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental
dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan
persiapan pada pada hari operasi. Tahap penatalaksanaan anestesi
yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan.
Serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.3,4
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. APENDISITIS1. PengertianApendisitis adalah peradangan pada
apendiks vermiformis. Apendisitis akut adalah penyebab paling umum
inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab
paling umum untuk bedah abdomen darurat. Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi
dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak
terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis
dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.5,6
2. EtiologiApendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai
hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena
parasit seperti E. Histolytica.6,7Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis
akut.7
3. Gambaran Klinis Apendisitis akut sering tampil dengan gejala
khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang
memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang
peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di
sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat
pencahar.5,6
4. DiagnosisPada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau
sakit perut. Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi
obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri
viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan
viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut
untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi.
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara
37,5-38,5 0C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi
perforasi.7,8Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita
berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung
bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah
terlihat pada apendikuler abses.5Pada palpasi, abdomen biasanya
tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan
ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat
yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan
bawah:5,6,7 Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan
titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini
merupakan tanda kunci diagnosis. Nyeri lepas (+) karena rangsangan
peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri
yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba
dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan
dalam di titik Mc. Burney. Defens muskuler (+) karena rangsangan m.
Rektus abdominis. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh
lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietale. Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di
kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian
kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang
dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan
muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi
bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah
dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan
apendiks terletak pada daerah hipogastrium.
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat
peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik
karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak
terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur
(Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12.5,6
5. Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan laboratorium darah,
biasanya didapati peningkatan jumlah leukosit (sel darah putih).
Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya berupa
peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter
kebidanan dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis
kelainan peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau KET
(kehamilan diluar kandungan)6,7
6. TerapiPengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang
sudah meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang
penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah
dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan
dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi.
Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan
umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi
pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan
bawah di atas daerah apendiks. Perbaikan keadaan umum dengan infus,
pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta
kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan
sebelum pembedahan.6,7,8
B. ANESTESI REGIONALAnestesiregionaladalahhambatan impuls nyeri
suatu bagian tubuh sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga
impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara
(reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau
seluruhnya, tetapi pasien tetap sadar.9
PembagianAnestesi/Analgesia Regional91. Blok sentral (blok
neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
Tindakan ini sering dikerjakan.2. Blok perifer (blok saraf),
misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intravena dan lain-lainya.
Keuntungan Anestesia Regional91. Alat minim dan teknik relatif
sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.2. Relatif aman untuk
pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung penuh) karena
penderita sadar.3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan
respirasi.4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.5.
Perawatan post operasi lebih ringan.
Kerugian Anestesia Regional91. Tidak semua penderita mau
dilakukan anestesi secara regional.2. Membutuhkan kerjasama pasien
yang kooperatif.3. Sulit diterapkan pada anak-anak.4. Tidak semua
ahli bedah menyukai anestesi regional.5. Terdapat kemungkinan
kegagalan pada teknik anestesi regional.
C. ANESTESI SPINALAnestesi spinal (intratekal, intradural,
subdural, subaraknoid) ialah pemberian obat anestetik lokal ke
dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara
menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. teknik
ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.9Untuk mencapai
cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis
subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum ruang
epidural durameter ruang subarachnoid.9
Gambar 1. Anestesi Spinal Medula spinalis berada didalam kanalis
spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal, dibungkus oleh
meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa
berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena
itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau
L4-L59,10Indikasi:9,101. Bedah ekstremitas bawah2. Bedah panggul3.
Tindakan sekitar rektum perineum4. Bedah obstetrik-ginekologi5.
Bedah urologi6. Bedah abdomen bawah7. Pada bedah abdomen atas dan
bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan anestesi umum
ringan
Kontra indikasi absolut:9,101. Pasien menolak2. Infeksi pada
tempat suntikan3. Hipovolemia berat, syok4. Koagulapatia atau
mendapat terapi koagulan5. Tekanan intrakranial meninggi.6.
Fasilitas resusitasi minim7. Kurang pengalaman tanpa didampingi
konsulen anestesi.Kontra indikasi relatif:9,101. Infeksi sistemik
(sepsis, bakteremi)2. Infeksi sekitar tempat suntikan.3. Kelainan
neurologis.4. Kelainan psikis.5. Bedah lama.6. Penyakit jantung.7.
Hipovolemia ringan.8. Nyeri punggung kronis.
Persiapan analgesia spinalPada dasarnya persiapan untuk
analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum. Daerah
sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu
perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:1. Informed consent (izin
dari pasien)Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui
anestesia spinal.2. Pemeriksaan fisikTidak dijumpai kelainan
spesifik seperti kelainan tulang punggungKlasifikasi yang lazim
digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang
berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan bukat alat prakiraan resiko anestesi,
karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak
samping pembedahan. Kelas I: Pasien sehat organik, fisiologik,
psikiatrik,biokimia. Kelas II: Pasien dengan penyakit sistemik
ringan atau sedang.Kelas III: Pasien dengan penyakit sistemik
berat, sehinggga aktivitas rutin terbatas.Kelas IV: Pasien dengan
penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupanya setiap saat.Kelas V:
Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.Pada bedah cito atau
emergency biasanya dicantumkan huruf E 3. Pemeriksaan laboratorium
anjuranHemoglobin, Hematokrit, Leukosit, PT (Prothrombine Time),
PTT (Partial Thromboplastine Time) dan Urinalisis. Pada pasien
diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
Peralatan analgesia spinal9,10,111. Peralatan monitorTekanan
darah, nadi, oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG.2. Peralatan
resusitasi/ anestesia umum.3. Jarum spinalJarum spinal dengan ujung
tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau jarum spinal dengan
ujung pinsil (pencil point whitecare)
Gambar 2. Jarum Spinal
Anastetik lokal untuk analgesia spinal9,11Berat jenis cairan
serebrospinalis (CSS) pada 37 C adalah 1.003-1.008. Anastetik lokal
dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anastetik
lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut
hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal dengan
dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain
diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.Anestetik lokal yang
paling sering digunakan:1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%:
berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100mg (2-5ml)2.
Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)3. Bupivakaine
(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis
5-20mg (1-4ml)4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%:
berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml).
Teknik analgesia spinalPosisi duduk atau posisi tidur lateral
dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling
sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.9,11,121. Setelah dimonitor, tidurkan pasien
misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain
enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi
lain adalah duduk.
Gambar 3. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis
Krista iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau
di atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.3. Sterilkan
tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.4. Beri anastesi lokal
pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml5. Cara
tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa
semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas
atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat
berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan
posisi jarum tetap baik. Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi
yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya
likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.
Gambar 4. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya
bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak
kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm.Penyebaran anastetik lokal
tergantung:91. Faktor utama:a. Berat jenis anestetik lokal
(barisitas)b. Posisi pasienc. Dosis dan volume anestetik lokal2.
Faktor tambahana. Ketinggian suntikanb. Kecepatan
suntikan/barbotasec. Ukuran jarumd. Keadaan fisik pasiene. Tekanan
intra abdominalLama kerja anestetik lokal tergantung:91.Jenis
anestetia lokal2.Besarnya dosis3.Ada tidaknya
vasokonstriktor4.Besarnya penyebaran anestetik lokal
Komplikasi tindakan anestesi spinal :9,101. Hipotensi
beratAkibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau
koloid 500 ml sebelum tindakan.2. BradikardiaDapat terjadi tanpa
disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai T-23.
HipoventilasiAkibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat
kendali nafas4. Trauma pembuluh saraf5. Trauma saraf6.
Mual-muntah7. Gangguan pendengaran8. Blok spinal tinggi atau spinal
total
Komplikasi pasca tindakan91.Nyeri tempat suntikan2.Nyeri
punggung3.Nyeri kepala karena kebocoran likuor4.Retensio
urine5.Meningitis
BAB IIILAPORAN KASUS
IDENTITAS PENDERITANama: Tn.RPUmur: 20 tahunBerat Badan: 60
kgTinggi Badan: 165 cmJenis Kelamin: Laki-lakiAlamat : Paniki
Agama: Kristen ProtestanPekerjaan: MahasiswaPendidikan: SMATanggal
masuk RS: 12 Juli 2014
ANAMNESISa. Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah b. Riwayat
Penyakit Sekarang :Nyeri perut kanan bawah dialami penderita sejak
2 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri dirasakan di daerah
ulu hati dan umbilicus yang hilang timbul, kemudian nyeri berpindah
ke perut kanan bawah dan nyeri di rasakan terus menerus. Penderita
juga mengeluh demam, demam turun dengan obat penurun panas. Mual
dan muntah juga di alami penderita, muntah 3 kali, volume 1 gelas
aqua, berisi cairan dan sisa makanan. Nafsu makan menurun. Buang
air kecil biasa, penderita belum buang air besar sejak 2 harin
sebelum masuk rumah sakit.
c. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat penyakit darah tinggi :
disangkal Riwayat penyakit DM: disangkal Riwayat alergi makanan /
obat: disangkal Riwayat asma dan penyakit paru : disangkal Riwayat
operasi sebelumnya: disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat penyakit darah tinggi :
disangkal Riwayat penyakit DM: disangkal Riwayat asma dan penyakit
paru : disangkal
PEMERIKSAAN FISIKKeadaan Umum: SedangKesadaran: Compos
MentisVital Sign: Tekanan Darah:120/ 70 mmHg Nadi: 84 x/menit
Respirasi: 20x/menit Suhu: 37,8 C Kepala: Mesochepal, simetris,
tumor (-)Mata: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)Hidung :
Nafas cuping hidung (-), sekret (-)Mulut: Sianosis (-),gigi goyang
(-),gigi palsu (-),gigi tanggal (-) Kemampuan buka mulut : 3 cm,
Skor Mallampati: 1Telinga: Sekret (-), pendengaran baikLeher:
Simetris, Trakea letak tengah, Pembesaran KGB (-)Thorax: Cor : BJ
I-II reguler, bising (-) Pulmo : Sp. vesikuler kanan, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-) Abdomen : I : Datar P : Supel, Nyeri tekan (+) pada
perut kanan bawah (Mc Burney Sign (+),defans muskuler (-) P :
Timpani (+), NKCV (-) A : Peristaltik (+) normalEkstremitas : Edema
(-), akral dingin (-)Pemeriksaan Khusus : Mc Burney sign (+),
Rovsing sign (-), Rebound Sign (+), Obturator sign (+), Psoas sign
(+)
PEMERIKSAAN LABORATORIUMPemeriksaan darah lengkap:Hemoglobin:
12.6 g/dlLeukosit: 14.700 ulHematokrit: 35,5 %Eritrosit: 4,5
jt/ulTrombosit: 230.000 /ul
DIAGNOSIS KLINISDiagnosis prabedah: Appendisitis akutDiagnosis
pasca bedah: Post Appendektomi atas indikasi Appendisitis Akut
KESIMPULAN PEMERIKSAAN FISIKStatus Fisik ASA : ASA II (E)
Leukositosis, Febris
TINDAKANDilakukan: AppendiktomiTanggal: 12 Juli 2014
LAPORAN ANESTESIStatus Anestesi :Persiapan Anestesi: Informed
consent Stop makan dan minum
Penatalaksanaan Anestesi : Jenis Anestesi: Regional Anestesi
Premedikasi: -Medikasi: Bupivacain 0,5% (20 mg) Fentanyl 25 mg
Catapres 25 mg Midazolam 6 mg Ketamin 100 mgTeknik Anestesi: Pasien
dalam posisi duduk tegak dan kepala menunduk. Dilakukan desinfeksi
di sekitar daerah tusukan yaitu di regio vertebra lumbal 3-4
Dilakukan Sub Arakhnoid Blok dengan jarum no.25 G pada regio
vertebra lumbal 3-4 Approach median Barbotage (+) LCS keluar (+)
jernih Respirasi : spontan Posisi : supineJumlah cairan yang masuk
: Kristaloid = 1000 cc (RL 1 + RL 2)Pemantauan Selama Anestesi
:Mulai Anestesi: 23.35Mulai Operasi: 23.40Selesai Operasi:
01.00Cairan Keluar :Urine : 400 ccDarah: 300 ccPemantauan Tekanan
Darah, Nadi, SpO2JamTekanan DarahNadiSpO2
23.35103/70 mmHg93 x/m96 %
23.45112/60 mmHg92 x/m96 %
24.0095/45 mmHg90 x/m97 %
00.15121/72 mmHg100 x/m96 %
00.30100/60 mmHg105 x/m97 %
00.45115/70 mmHg100 x/m99 %
01.00120/73 mmHg98 x/m99 %
PROGNOSAAd vitam : bonam Ad functionam : bonam Ad sanationam :
bonam
BAB IVPEMBAHASAN
PRE OPERATIF1. AnamnesisBerdasarkan anamnesis yang dilakukan
pada kunjungan preoperative tanggal 12 juli 2014, didapatkan bahwa
tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan, alergi makanan,
maupun penyakit asma. Penderita tidak sedang menjalani pengobatan
apapun. Pada penderita tidak didapatkan riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada,
keterbatasan aktifitas akibat sesak dan tidak ada gangguan pada
aktifitas sehari-hari. Penderita memiliki riwayat BAB tidak lancar.
Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya tidak ada. Operasi ini
merupakan pengalaman pertama bagi penderita mengalami pembedahan
anastesi. Penderita tidak merokok, tidak konsumsi minuman
beralkohol. Penderita terakhir makan pukul 13.00 dan minum pukul
17.00.
2. Pemeriksaan Fisik B1 BreathingPada breathing, hal-hal yang
berkaitan dengan penyulit anestesi tidak ditemukan dan dalam batas
normal. B2 BloodPada blood, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit
anestesi tidak ditemukan. Lain-lain dalam blood dalam batas normal;
TD normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan anatomis dan
fungsional dari sistem sirkulasi. B3 BrainDalam batas normal. B4
BladderBuang air kecil tidak ada keluhan. Penderita tidak
menggunakan kateter. B5 BowelPada bowel, hal-hal yang berkaitan
dengan penyulit anestesi tidak ditemukan.
B6 Bone/BodyDalam batas normal. Fraktur tidak ada.
3. Pemeriksaan PenunjangLuas cakupan pemeriksaan preanestesi
telah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pasien, kondisi co-morbid
saat ini, dan prosedur bedah yang direncanakan.Hasil pemeriksaan
pada penderita ini di dapatkan Leukosit 14.700 ul hal ini
menyatakan bahwa penderita telah mengalami leukositosis sehingga di
butuhkan tindakan operasi segera untuk mencegah terjadinya
peritonitis. Pemeriksaan eritrosit, hemoglobin, hematokrit,
trombosit dalam batas normal.
4. Kesimpulan Penilaian PreoperatifDari hasil anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, penderita didapatkan
febris dan leukositosis, sehingga diklasifikasikan dengan ASA 2 (E)
yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Masukan OralUntuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke
jalan nafas selama anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi seperti pasien ini telah menjalani puasa selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa pada pasien ini telah
sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American Society of
Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi,
makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8
jam preoperasi,13 dimana penderita telah berpuasa tidak
mengkonsumsi makanan jam 13.00.
PremedikasiPremedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum
induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan
dan bangun dari anestesi diantaranya:9 Meredakan kecemasan dan
ketakutan Memperlancar induksi anestesi Mengontrol nyeri post
operasi Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Meminimalkan
jumlah obat anestesi Mengurangi mual muntah pasca operasi
Menciptakan amnesia Mengurangi resiko aspirasi isi lambung Pada
pasien ini diberikan inj. Ranitidine 50 mg. Pemilihan ranitidin
dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2
sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat
mengurangi risiko pnemonia aspirasi.DURANTE OPERATIFPemilihan
Teknik AnastesiPada pasien ini dilakukan regional anestesi.
Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini
berdasarkan pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi
appendiktomi sehingga pasien memerlukan blockade pada regio abdomen
bawah untuk mempermudah operator dalam melakukan operasi. Teknik
ini umumnya sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan.Saat
sebelum operasi dimulai, pasien diposisikan supine, selanjutnya
pasien diberi Ranitidine yang merupakan H2 receptor antagonist yang
berfungsi mengurangi produksi asam lambung sehingga mencegah stress
ulcer akibat penigkatan asam lambung yang berlebihan pre operasi.
Setelah itu, pasien diposisikan miring ke kanan untuk mengekspose
area lumbal yang akan dilakukan anestesi. Setelah memberi tanda
pada L5 atau S1, kemudian tempat tusukan ditentukan. Setelah itu,
area tersebut disterilkan dengan betadin atau alkohol. Teknik
anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 25 G dan
dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser
disuntikkan sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal,
kemudian jarum spinal berikut mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum
tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor. Setelah terjadi barbotage, yaitu
keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya darah, maka
pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan
posisi jarum tetap baik.Pada pasien ini diberikan obat anestesi
bupivacain dikarenakan toksisitas bupivacain lebih rendah
dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama
(10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi
kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain
(1-2 jam). Selain itu diberikan fentanyl 25 mg yang efektif
meningkatkan durasi blok sensorik.
Terapi Cairan Durante OperasiTerapi cairan intravena dapat
terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya.
Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight
(garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid
plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan
kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh
ruang cairan ekstraseluler14.Cairan dipilih sesuai dengan jenis
kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan terutama yang
melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut
cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan
elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga
disebut cairan jenis replacement14.Karena kebanyakan kehilangan
cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang
umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan
Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100
mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling
sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi
cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.
Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan
RL sebanyak 3 hingga 4 kali jumlah volume darah yang
hilang14.Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan
kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction
dan secara visual memperkirakan darah pada spons atau lap yang
terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10
cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran
tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut
ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah, namun pada
operasi pasien ini tidak dilakukan.Pada pasien ini jumlah darah
yang hilang didapatkan dari kassa 200 cc dan suction 100 ccOleh
karena pasien ini sudah tidak makan dan minum selama 10,5 jam, maka
kebutuhan cairan pada pasien ini adalah BB= 60 kgMaintanance= 2
cc/kgBB/jam= 2 x 60 kg = 120 cc/jamPengganti puasa= 6 x
maintanance= 6 x 120 cc = 720 cc/jamStress operasi= 8 cc/kgBB/jam=
8 x 60 kg = 480 cc/jamEVB (estimated Blood Volume) = 70 cc/kgBB/jam
= 70 x 60 kg = 4200 cc/jam
Pemberian Cairan :1 jam pertama= (50% x pengganti puasa)+
maintanance + stress operasi + jumlah perdarahan= (50% x 720) + 120
+ 480 + 300= 360 + 120 + 480 + 300= 1260 cc30 menit selanjutnya=
(12,5% x pengganti puasa) + maintanance= (12,5% x 720) + 120= 90 +
120= 120 cc
MonitoringPada kasus ini selama proses anestesi, monitor tekanan
darah awalnya setiap 5 menit sekali, bila stabill dianjutkan 15
menit sekai untuk mengetahui penurunan tekanan darah yang bermakna.
Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar
20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan salah
satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan
kerja saraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan
intravena dipercepat, bolus ephedrin 5-15 mg secara intravena, dan
pemberian oksigen. Pada pasien ini terjadi hipotensi, sehingga
pemberian cairan dipercepat, diberikan bolus ephedrin sebanyak 10
mg secara intravena dan di berikan oksigen.
POST OPERATIFSetelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang
pulih sadar HCU (High Care Unit). Pasien berbaring dengan posisi
kepala lebih tinggi untuk mencegah spinal headache, karena efek
obat anestesi masi ada. Observasi dilakukan pada pasien ini
meliputi vital sign (tekanan darah, nadi respirasi, suhu) sampai
keadaan pasien stabil dan siap untuk dipindahkan ke ruang
perawatan.
BAB VKESIMPULAN
Pasien adalah laki-lalki usia 20 tahun dengan apendisitis akut,
yang dilakukan operasi apendiktomi pada tanggal 12 Juli 2014.
Tindakan anestesi yang dilakukan adalah anestesi regional dengan
blok subarachnoid. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai
dengan indikasi anestesi regional.Evaluasi pre operasi pada pasien
dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan lain yang menjadi
kontraindikasi dilakukannya anestesi regional.Selama durante
operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif stabil
sampai operasi selesai.Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan
terhadap pasien, dan tidak didapatkan keluhan. Selama di HCU (High
Care Unit) pasien cukup stabil sehingga pasien dapat dipindahkan ke
ruang rawat biasa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice:
Evidence-Based Management of Suspected Appendicitis In The
Emergency Department Vol.13 Number 10. 2011:1-322. Humes DJ,
Simpson J, Acute Appendicitis. BMJ. 2012;333;530-5343. Latief S,
Suryadi K A, Dachlan M R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI.2009.4. Barash P G, Cullen B F, Stoelting R K, et all.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins.2009.5. Putz R Pabst R. Sobotta: Atlas
Anatomi Manusia. Jilid 2. Jakarta: EGC; 2010. 6. Sjamsuhidajat R,
de Jong W. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC;2011. hal
755-64. 7. Humes DJ, Simpson J. Clinical Review: Acute
appendicitis. BMJ. 2007. 333:540-34. 8. Tjandra JJ, Clunie GJA,
Kaye AH, Smith JA. Textbook of Surgery. 3rd ed. Blackwell
Publishing; 2006. H. 123-27. 9. Said L, Kartini S, Ruswan D.
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;2010. Hal 105-112.10. Michael B,
Dobson. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC; 1994.
Hal:102-104.11. James CD, Meda R. Subarachnoid Spinal Block.
Medical society: American Society of Anesthesiologists and American
Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine. Augs 5.2013.12.
Cruchill L. Spinal Anesthesia. Chapter 42: Spinal, Epidural and
Caudal Anesthesia. 2000. Available from:
http://web.squ.edu.om/med-Lib/MED_CD/E_CDs/anesthesia/site/content/v03/030645r00.HTM13.
American Society of Anesthesiologist. Practice Guidelines for
Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective
Procedures: An Updated Report by The American Society of
Anesthesiologists Committee on Standards and Practice parameters.
USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2011.14. Morgan GE, Mikhail
M, Murray J. Clinical Anesthesiology. 4th Edition. USA: McGraw-Hill
Companies, Inc.2006
19