BAB IPENDAHULUAN
Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah
yang berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Yang
dimaksud dengan telinga tengah adalah ruang di dalam telinga yang
terletak antara membran timpani dengan telinga dalam serta
berhubungan dengan nasofaring melalui tuba Eustachius (Tortora dkk,
2009) . Dalam realita yang ada, OMA merupakan salah satu dari
berbagai penyakit yang umum terjadi di berbagai belahan dunia,
termasuk di negara-negara dengan ekonomi rendah dan Indonesia,
serta memiliki angka kejadian yang cukup bervariasi pada tiap-tiap
negara (Aboet, 2006)Otitis media sering diawali dengan infeksi pada
saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar
ke telinga tengah melalui tuba eustachius. Sebagai mana halnya
dengan infeksi saluran napas atas (ISPA), otitis media juga
merupakan sebuah penyakit langganan anak-anak. Di Amerika Serikat,
diperkirakan sekitar 75% anak mengalami setidaknya satu episode
otitis media sebelum usia tiga tahun dan hamper dari setengah
mereka mengalami tiga kali atau lebih (Djaafar, 2001). Donaldson
menyatakan bahwa anak-anak berusia 6-11 bulan lebih rentan terkena
OMA, dimana frekuensinya akan berkurang seiring dengan pertambahan
usia, yaitu pada rentang usia 18-20 bulan. Kadang-kadang, individu
dewasa yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit telinga
sebelumnya, namun mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
yang disebabkan oleh adanya infeksi virus juga mengalami otitis
media (Donaldson, 2010) Indonesia sebagai negara berkembang perlu
memperhatikan masalah kesehatan ini, namun hal ini tidak didukung
dengan pendataan yang jelas tentang insidensi otitis media akut itu
sendiri. Data yang didapat dari Profil Kesehatan Dinas Kesehatan
Kota Bekasi, Otitis Media Akut (OMA) selalu ada pada 20 besar
penyakit dengan insidensi tersering. Penyebab OMA dapat berupa
virus atau bakteri. Pada 25% pasien, tidak ditemukan miroorganisme
penyebabnya. Virus ditemukan pada 25% kasus dan kadang menginfeksi
telinga tengah bersama bakteri.
BAB IILAPORAN KASUS
STATUS PASIENA. IDENTITAS PASIEN Nama pasien: Tn.C Nomor MR: 63
87 29 Jenis kelamin: Laki-laki Usia: 54 tahun Status : Menikah
Pekerjaan: Pegawai Swasta Alamat: Jl. Bumi Ayu 3 kota Bengkulu
Waktu Pemeriksaan: Selasa, 26 Agustus 2014, pukul 10:30 WIB
B. DATA DASAR Keluhan UtamaKeluar cairan di telinga kiri Riwayat
Penyakit SekarangPasien datang ke poli THT RSUD M.Yunus Bengkulu
dengan keluhan keluar cairan dari telinga kiri sejak 5 hari yang
lalu. Cairan yang keluar dari telinga kiri berwarna putih
kekuningan,kental dan berbau. Awalnya pasien mengaku keluhan
didahului oleh rasa gatal pada telinga sejak 1 minggu yang lalu ,
setelah itu pasien mengaku sering mengorek-ngorek telinganya
menggunakan cotton bud. Karena keluhannya tersebut pasien merasa
penuh di telinga kirinya dan pasien juga mengeluh pendengarannya
juga berkurang. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan. Os juga
mengeluh adanya nyeri telinga bagian dalam dan juga merasakan
telinga kirinya tersebut kadang kadang seperti berdenging. Riwayat
panas badan disertai batuk pilek dirasakan sejak 2 minggu sebelum
keluar cairan dari telinga. Nyeri telinga dan panas badan dirasakan
berkurang setelah keluar cairan dari telinga. Tidak ada keluhan
pada telinga kanan pasien. Keluhan sakit tenggorokan,nyeri menelan,
suara sengau, benjolan di leher disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat operasi di sekitar wajah (-),
Riwayat trauma hidung (-) Riwayat alergi (-), Asma (-). Riwayat DM
(-), Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat asma pada keluarga (-).
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan Pasien bekerja
sebagai pegawai swasta, bekerja di luar kantor yaitu di lapangan
sehingga pasien sering terpapar terik matahari. Pola diet normal.
Pasien merupakan seorang perokok,pasien merokok setiap hari minimal
1 bungkus,pasien telah merokok lebih dari 10 tahun. Pasien tinggal
di lingkungan dengan sanitasi baik.
C. PEMERIKSAAN FISIKStatus PresensKeadaan Umum: Tampak sakit
sedangKesadaran: Compos MentisNadi: 86 x/menit, regulerPernapasan :
20 x/menit, reguler, torako-abdominalSuhu: Afebris
Status GeneralisKepala: normosefali, hematom (-)Wajah : eritema
(-), benjolan (-).Mata: Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik
(-)ToraksJantung : BJ I-II (+) normalParu : suara napas vesikuler
(+)Abdomen: nyeri tekan kanan atas (-), hepar tidak membesar, nyeri
ketok CVA (-)Ekstremitas: Ekstremitas hangat, Capillary refill ,
< 2 detik
Status Lokalis THTPemeriksaanKelainanDekstraSinistra
Daun telingaKel. KongenitalTidak adaTidak ada
TraumaTidak adaTidak ada
RadangTidak adaTidak ada
Nyeri tekanNyeri pergerakan aurikular (-), nyeri tekan tragus
(-)Nyeri pergerakan aurikular (-), nyeri tekan tragus (+)
Liang & dinding telingaSempitLapangLapang
HiperemisTidak Hiperemishiperemis
EdemaTidak ada(+)
MassaTidak adaTidak ada
Secret/serumen Secret (-), serumen (-)Secret (+), serumen
(-)
Bau-+
Warna-Putih kekuningan
Jumlah-Cukup banyak
Jenis-Agak kental (mukopurulen)
MEMBRANE TIMPANI
UtuhWarnaAbu abuSulit dinilai (tertutup sekret)
Reflek cahayaCone of Light (+)Sulit dinilai
RetraksiTidak adaSulit dinilai
AtrofiTidak adaSulit dinilai
PerforasiTidak adaSulit dinilai
MastoidNyeri tekanNyeri (-)Nyeri (+)
Tanda radangTidak adaTidak ada
Nyeri ketokTidak adaTidak ada
Tes garputalaRinne+-
SchwabachNN
WeberLateralisasi ke telinga kiri
Hidung
Hidung luarDeformitasTidak adaTidak ada
Kelainan congenitalTidak adaTidak ada
TraumaTidak adaTidak ada
RadangHiperemis (-)Hiperemis (-)
Sinus paranasalNyeri ketok(-)(-)
Nyeri tekan(-)(-)
Rinoskopi anterior
VestibulumVibrise++
RadangTidak adaTidak ada
Cavum nasiCukup lapangLapang
Lapang
Sempit--
Lokasi--
SecretJenis--
Jumlah==
Bau--
Ukuraneutrofieutrofi
Konkha inferiorWarnaHiperemis (-)Hiperemis (-)
PermukaanLicinLicin
Edema(-)(-)
Ukuraneutrofieutrofi
Konkha mediaWarnaHiperemis (-)Hiperemis (-)
PermukaanLicinLicin
Edema(-)(-)
Septumlurus/deviasiDeviasi (-)Deviasi (-)
PermukaanNormalNormal
WarnaHiperemis (-)Hiperemis (-)
AbsesTidak adaTidak ada
PerforasiTidak adaTidak ada
MassaLokasiTidak adaTidak ada
Bentuk--
Ukuran--
Permukaan--
Warna--
Konsistensi--
Rinoskopi posterior (tidak dilakukan)
Orofaring dan mulut
Palatum mole dan arkus faringSimetris/tidakSimetrisSimetris
WarnaNormal, hiperemis (-)Normal, hiperemis (-)
Edema--
Dinding faringWarnaNormal, hiperemis (-)Normal, hiperemis
(-)
PermukaanLicinLicin
TonsilUkuranT1T1
WarnaNormal, hiperemis (-)Normal, hiperemis (-)
PermukaanLicinLicin
Muara kriptiTidak adaTidak ada
DetritusTidak adaTidak ada
EksudatTidak adaTidak ada
KGBTidak teraba
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Swab telinga untuk dilakukan kultur dan uji resistensi guna
mengetahui jenis kuman penyebab dan sensibilitas terhadap
antibiotik
E. DIAGNOSIS Diagnosis Kerja: Otitis Media Akut stadium
supuratif AS Diagnosis banding: Otitis Media Akut stadium Perforasi
AS Otitis Eksterna Difus AS
Tatalaksana Pembersihan liang telinga dengan suction Pemberian
obat cuci telinga dengan H2O2 Tab. Ciprofloxacin 2x500 mg Tab.
ibuprofen 3x500 mg Edukasi: Jaga kebersihan telinga,hindari
mengorek ngorek telinga
F. PROGNOSISQuo ad vitam: bonamQuo ad sanam: bonam
BAB IIITINJAUAN PUSTAKA
A. OTITIS MEDIA
1. Definisi dan Klasifikasi
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis
media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan
otitis media non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk
yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media
spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media
sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva
(Djaafar, 2007).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan
gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan
tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau
sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare,
serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada
pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman,
2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga
tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau
bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat
cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner,
2007).
Gambar 1. Skema Pembagian Otitis Media
Gambar 2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala
Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut
penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri
piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau
efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik
karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis
bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus
pneumoniae (40%), diikuti oleh
Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis
(10-15%). (Kerschner, 2007)
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai
tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling
sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus
(RSV), influenza virus, atau adenovirus
(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza
virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk
terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal,
meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba
dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007).
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis
kelamin, ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan,
asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok,
kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital,
status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan
atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan
lain-lain (Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan
insidens OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh
struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba Eustachius.
Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga
masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki
lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan Faktor genetik juga
berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti
kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas,
status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga
mendorong terjadinya OMA pada anak-anak.. Otitis media merupakan
komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas,
baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).
Gejala Klinis
Gejala klinis otitis mediatergantung pada stadium penyakit dan
umur pasien :1. Biasanya gejala awal berupa sakit telinga tengah
yang berat dan menetap.2. Biasa tergantung gangguan pendengaran
yang bersifat sementara.3. Pada anak kecil dan bayi dapat mual,
muntah, diare, dan demam sampai 39,50Derajat Celcius, gelisah,
susah tidur diare, kejang, memegang telinga yang sakit. 4. Gendang
telinga mengalami peradangan yang menonjol. 5. Keluar cairan yang
awalnya mengandung darah lalu berubah menjadi cairan jernih dan
akhirnya berupa nanah (jika gendang telinga robek).6. Membran
timpani merah, sering menonjol tanpa tonjolan tulang yang dapat
dilihat.7. Keluhan nyeri telinga (otalgia), atau rewel dan
menarik-narik telinga pada anak yang belum dapat bicara.8.
Anoreksia (umum).9. Limfadenopati servikal anterior
Patogenesis OMA
Pathogenesis OMA dimulai oleh infeksi saluran pernapasan atas
(ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa
saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba
Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan
negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama
akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari
nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa
telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur
proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi
gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi
kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini
merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan
efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah
terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di
telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada
sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin
dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan
disfungsi tuba Eustachius.
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan
ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA,
dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba
serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian
besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi
abnormal dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba
terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi
adenoid (Kerschner, 2007).
Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,
bergantung
pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi
tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi,
stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar,
2007).
Gambar 2.5. Membran Timpani Normal
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang
ditandai oleh retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif
di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi
membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih
horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada
tuba
Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi,
membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan,
atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi
tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda
dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi.
Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra,
2007).
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran
timpani, yang
ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa
dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis
disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya
invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di
telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini
merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan
otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih
normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya
proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara
yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua
belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra,
2007).
Gambar 2.6. Membran Timpani Hiperemis
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah
di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema
pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel
superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum
timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah
liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien
selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan
gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat
disertai muntah dan kejang.Stadium supurasi yang berlanjut dan
tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan iskemia membran
timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran
timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum
timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan
kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis.
Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan
miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi
pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah
menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan
menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat
perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin
tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).
Gambar 2.7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga
sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari
telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran
sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan
oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi
kuman.
Universitas Sumatera Utara
Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu
tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau
nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini
disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut
tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua
bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar 2.8. Membran Timpani Peforasi
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh
membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani
menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya
kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung
walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya
tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut
menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa
perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara
terus-menerus atau hilang timbul.(Djaafar, 2007; Dhingra,
2007).
Diagnosis
Kriteria Diagnosis OMA
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi
tiga hal berikut, yaitu:
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan
cairan di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu
di antara tanda berikut, seperti menggembungnya membran timpani
atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani,
terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat
cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang
dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut,
seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri telinga
atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua
kategori, yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis
ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas
membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang
membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang
purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada
telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran,
tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat
meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan
demam melebihi 39,0C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat
sedang sampai berat.
Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi
saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau
sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media
adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania
yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba
Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki
sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah
hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan
fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 %
dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada
orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian
antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes
hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan
penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat
diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk
terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien
alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak,
diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat
dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari
yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus
dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh
sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar,
2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar,
kadang secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga
(ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik
yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan
perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari
(Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi
resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui
perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3
minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi
mastoiditis (Djaafar, 2007).
Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi,
mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis.
Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada
otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam
Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi
intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis
nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses
subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis).
BAB IVPEMBAHASAN
Resume Kasus Anamnesis; Tn.C, 54 tahun, dating ke poliklinik THT
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu dengan keluhan keluar cairan dari
telinga kiri sejak 5 hari yang lalu. Cairan yang keluar dari
telinga kiri berwarna putih kekuningan,kental dan berbau. Awalnya
pasien mengaku keluhan didahului oleh rasa gatal pada telinga sejak
1 minggu yang lalu , setelah itu pasien mengaku sering
mengorek-ngorek telinganya menggunakan cotton bud. Karena
keluhannya tersebut pasien merasa penuh di telinga kirinya dan
pasien juga mengeluh pendengarannya juga berkurang. Keluhan ini
baru pertama kali dirasakan. Pasien juga mengeluh adanya nyeri
telinga bagian dalam dan juga merasakan telinga kirinya tersebut
kadang kadang seperti berdenging. Riwayat panas badan disertai
batuk pilek dirasakan sejak 1 minggu sebelum keluar cairan dari
telinga. Nyeri telinga dan panas badan dirasakan berkurang setelah
keluar cairan dari telinga. Tidak ada keluhan pada telinga kanan
pasien. Keluhan sakit tenggorokan,nyeri menelan, suara sengau,
benjolan di leher disangkal
Pemeriksaan Fisik: untuk menegakkan diagnosis otitis media
dilakukan pemeriksaan otoskopi. Ditemukan adanya pengeluaran sekret
berwarna putih kekuningan yang mukopurulen pada meatus akustikus
eksterna dan berbau, membran timpani sulit dinilai. Pada palpasi
ditemukan nyeri tekan tragus dan mastoid. Kemungkinan stadium
otitis medianya adalah stadium supuratif.
Pemeriksaan PenunjangSwab telinga untuk dilakukan kultur dan uji
resistensi guna mengetahui jenis kuman penyebab dan sensibilitas
terhadap antibiotikDiagnosis Diagnosis Kerja: Otitis Media Akut
stadium supuratif AS Diagnosis banding: Otitis Media Akut stadium
Perforasi AS Otitis Eksterna Difus AS
Tatalaksana Pembersihan liang telinga dengan suction Pemberian
obat cuci telinga dengan H2O2 Tab. Ciprofloxacin 2x500 mg Tab.
ibuprofen 3x500 mg Edukasi: Jaga kebersihan telinga,hindari
mengorek ngorek telinga
DAFTAR PUSTAKA
Djaafar ZA, Helmi dan Restuti RD (2007). Kelainan Telinga
Tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD,
ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Snell Richard S
(2006). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, Edisi Ke-6.
Jakarta: EGC, p. 803. Donaldson JD (2010). Acute Otitis Media,
eMedicine. Available from: http://www.emedicine.medscape.com. [
Accessed August 29, 2014] Adams, Boies, Higler (2012). BOIES; Buku
Ajar Penyakit THT, Edisi Ke-6. Jakarta: EGC, pp: 240-258.