Top Banner
BAB I PENDAHULUAN ANEMIA I. Tinjauan Anemia 1.1 Definisi Anemia adalah suatu keadaan kronis yang dikarakterisasi dengan penurunan hemoglobin atau sel darah merah yang berakibat pada penurunan kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah. Selain ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, anemia juga dikarakterisasi dengan penurunan hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). 1.2 Kriteria Anemia Harga normal hemoglobin bervariasi secara fisiologik tergantung dari umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. WHO menetapkan cutoff point anemia, sebagai berikut : Tabel kriteria anemia menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV 2001) Kelompok Kriteria anemia (Hb) Laki-laki dewasa Wanita dewasa tidak hamil Wanita hamil < 13 g/dl < 12 g/dl < 11 g/dl Di Indonesia kriteria hemoglobin < 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia. II. Etio-Patofisiologi Anemia 1
70

laporan kasus RS Tabanan Bali

Jun 26, 2015

Download

Documents

YayaSulthonAziz

studi kasus PKP Apoteker uadayana angkatan I di RS Tabanan Bali.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: laporan kasus RS Tabanan Bali

BAB I

PENDAHULUAN ANEMIA

I. Tinjauan Anemia

1.1 Definisi

Anemia adalah suatu keadaan kronis yang dikarakterisasi dengan penurunan

hemoglobin atau sel darah merah yang berakibat pada penurunan kapasitas

pengangkutan oksigen oleh darah. Selain ditunjukkan oleh penurunan kadar

hemoglobin, anemia juga dikarakterisasi dengan penurunan hematokrit atau hitung

eritrosit (red cell count).

1.2 Kriteria Anemia

Harga normal hemoglobin bervariasi secara fisiologik tergantung dari umur, jenis

kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. WHO menetapkan cutoff

point anemia, sebagai berikut :

Tabel kriteria anemia menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV 2001)

Kelompok Kriteria anemia (Hb)

Laki-laki dewasa

Wanita dewasa tidak hamil

Wanita hamil

< 13 g/dl

< 12 g/dl

< 11 g/dl

Di Indonesia kriteria hemoglobin < 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia.

II. Etio-Patofisiologi Anemia

II.1 Anemia Ferriprive (Anemia Sekunder)

Penyebab utama dari anemia jenis ini adalah kekurangan besi untuk sintesa

hemoglobin. Cirinya adalah terjadinya hipokrom (rendahnya kadar hemoglobin

pada eritrosit), mikrositer (sel darah merah berukuran lebih kecil dari normal) dan

nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) rendah. Defisiensi besi yang terjadi dapat

disebabkan oleh adanya perdarahan mukosa lambung, berkurangnya resorpsi dari

usus halus, meningkatnya kebutuhan tubuh (wanita hamil, haid), kualitas makanan

yang tidak memadai, dan penyakit kronis.

Anemia penyakit kronis merupakan anemia hipoproliferatif yang berhubungan

dengan proses infeksi atau inflamasi kronis serta kerusakan jaringan.Gejala anemia

1

Page 2: laporan kasus RS Tabanan Bali

ferriprive berupa muka dan kuku pucat, rasa letih dan lesu, jari kaki-tangan dingin,

palpitasi, dan kulit keriput.

II.2 Anemia Megaloblaster (Anemia Primer)

Anemia megaloblaster disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 atau asam folat

dan bercirikan sel darah merah berukuran besar (makrositer) dengan kadar

hemoglobin normal atau lebih tinggi (hiperkrom) dan MCV tinggi. Kekurangan

vitamin dan folat tersebut dapat disebabkan oleh gangguan resorpsi, kehamilan

ataupun efek toksik dari obat seperti kloramfenikol, sulfonamide, fenitoin,

fenilbutazon, dll.

Gejalanya berupa kelainan di saluran cerna, nyeri lidah dan pada keadaan serius

dapat menyebabkan terjadinya kerusakan irreversibel pada sistem saraf dengan

gangguan neurologi (defisiensi Vit B12) seperti rasa kesemutan pada kaki atau

tangan dan berkuranganya efek otot.

II.3 Anemia Lainnya

Anemia ini tidak disebabkan oleh kekurangan besi, vitamin dan asam folat.

Beberapa bentuk anemia serius yang tidak ada hubungnnya dengan defisiensi besi,

vitamin ataupun asam folat adalah anemia aplastis dan hemolitis.

Anemia aplastis adalah anemia dengan keadaan eritrosit yang tidak berbentuk

lagi yang dapat disebabkan oleh factor keturunan dan terjadinya kerusakan pada

sumsum tulang sebagai efek samping obat seperti kloramfenikol, karbimazol,

busulfan, doksorubisin, dll.

Anemia Hemolitis dikarakterisasi dengan rusaknya eritrosit dimana hemoglobin

larut dalam serum yang menyebabkan penurunan waktu hidup eritrosit dan

diekskresikan melalui kemih. Biasanya terjadi pada pasien malaria tropica.

Berdasarkan Dipiro Anemia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Morfologi Anemia makrositik

o Anemia megaloblastik1) Defisiensi vitamin B12

2) Anemia defisiensi asam folat

Anemia mikrositik, hipokromiko Anemia defisiensi

besio Anomali genetik

1) Sickle cell anemia

Anemia normositiko Kehilangan daraho Hemolisiso Kegagalan sumsum tulango Anemia penyakit kroniso Gagal ginjalo Kelainan endokrino Anemia mieloplastik

2

Page 3: laporan kasus RS Tabanan Bali

2) Thalasemia3) Hemoglobinopati lainnya

(hemoglobin abnormal)

2. Etiologi Defisiensio Besio Vitamin B12

o Asam folato Piridoksin

Pusat, disebabkan gangguan fungsi sumsum tulango Anemia penyakit kroniso Anemia pada lansiao Kanker sumsum tulang

Periferal oPendarahanoHemolisis

3. Patofisiologi Kehilangan darah berlebihan

oPendarahanoTraumaoTukak lambungo Infeksi lambungoHemorroid

Pendarahan kronisoPendarahan vaginaoPeptic ulseroParasit intestinaloAspirin dan AINS lainnya

Destruksi sel darah merah berlebihanoFaktor ekstrakorpuskular

(diluar sel)oAntibodi SDMoObat-obatanoTrauma fisik terhadap SDMoSequestrasi berlebih pada

limpa Faktor intrakorpuskular

oHereditasoKelainan sintesis hemoglobin

Produksi SDM dewasa tidak cukupo Defisiensi nutrient (B12, asam

folat, besi, protein)o Defisiensi eritroblast

1) Anemia aplastik2) Eritoblastopenia terisolasi3) Antagonis asam folat4) Antibodi

o Kondisi infiltrasi sumsum tulang1) Limfoma2) Leukemia3) Mielofibrosis4) Karsinoma

o Abnormalitas endokrin1) Hipotiroid 2) Insufisiensi adrenal3) Insufisiensi pituitary

o Penyakit ginjal kroniso Penyakit inflasi kronis

1) Granulomatous disease2) Collagen vascular disease

o Penyakit hati

3

Page 4: laporan kasus RS Tabanan Bali

III.Penatalaksanaan Terapi Anemia

III.1 Tujuan Terapi

Tujuan utama pengobatan anemia adalah mengurangi tanda-tanda dan

gejala, memperbaiki etiologi yang mendasarinya (misalnya

mengembalikan substrat yang dibutuhkan untuk produksi sel darah merah)

dan mencegah kambuhnya anemia.

III.2 Terapi Farmakologi

III.2.1 Anemia Ferriprive

Anemia ferriprive umumnya diobati dengan suatu garam ferro untuk

menormalisasi kadar hemoglobin. Obat-obat yang digunakan adalah

sebagai berikut:

A. Sediaan-sediaan besi oral

1) Fero fumarat

Indikasi : anemia defisiensi besi

Peringatan : kehamilan.

Efek samping : iritasi sal. Cerna, keluhan mual dan epigastrik,

konstipasi (geriatri) atau diare. Untuk sediaan lepas

lambat dapat memperburuk diare pada pasien

inflamantory bowel diases.

Dosis : 1-2 tablet 200 mg 3 kali sehari sirup, fero fumarat

140 mg (besi 45 mg)/ 5 ml.

Dosis 10-20 ml 2 kali sehari; bayi prematur 0,6-2,4

ml/kg/hari.

Anak hingga 6 tahun 2,5-5 ml 2 kali sehari.

Fero fumarat : (generik) tablet Ss 200 mg, 300 mg; kaptab 200 mg

2) Fero sulfat

Indikasi : anemia defisiensi besi.

Peringatan : kehamilan.

Efek samping : iritasi sal. Cerna, keluhan mual dan epigastrik,

konstipasi (geriatri) atau diare. Untuk sediaan lepas

4

Page 5: laporan kasus RS Tabanan Bali

lambat dapat memperburuk diare pada pasien

inflamantory bowel diases.

Dosis : profilaksis, 1 tab 200 mg/hari; terapetik, 1 tab

200 mg 2-3 kali sehari. Dosis fero sulfat yang

dikeringkan 200 mg (= 65 mg besi elemental)

adalah 3 kali sehari.

Konseling : walaupun penyerapannya paling baik ketika perut

kosong, sediaan besi dapat dimakan sesudah makan

untuk mengurangi efek samping gastrointestinal;

warna tinja dapat berubah.

Fero sulfat : (generik) tablet Ss 200 mg, 300 mg; sirup 150

mg/5 ml.

3) Fero glukonat

Indikasi : anemia defisiensi besi

Peringatan : kehamilan

Efek samping : iritasi sal. Cerna, keluhan mual dan epigastrik,

konstipasi (geriatri) atau diare. Untuk sediaan lepas

lambat dapat memperburuk diare pada pasien

inflamantory bowel diases.

Dosis : profilaksis, 2 tab sehari sebelum makan; terapetik

4-6 tab sehari dalam dosis terbagi sebelum makan;

anak 6-12 tahun, profilaksis dan terapetik 1-3 tab

sehari sesuai dengan usia.

Fero glukonat : (generik) tablet, merah, berlapis, fero glukonat 300

mg (besi 35 mg), sangobion kapsul.

4) Besi Dan Asam Folat

Sediaan ini digunakan untuk pencegahan defisiensi besi dan asam

folat pada kehamilan. Sediaan harus dibedakan dari sediaan yang

digunakan untuk mencegah neural tube defect pada wanita yang

merencanakan kehamilan. Penting untuk diperhatikan bahwa asam

5

Page 6: laporan kasus RS Tabanan Bali

folat dosis kecil dalam sediaan ini tidak memadai untuk pengobatan

anemia megaloblastik.

Ferro folat : tablet Ss 200 mg+0,25 mg

B. Sediaan-sediaan besi parenteral

Besi parenteral dapat diperlukan untuk pasien dengan melabsorpsi

besi, intoleransi terhadap terapi besi secara oral atau tidak patuh

terhadap terapi. Pemberian secara parenteral tidak mempercepat omset

respon hematologi.

1) Besi sukrosa

Indikasi

Anemia defisiensi besi: untuk pengobatan anemia defisiensi besi

pada pasien yang menjalani hemodialisis kronis dan menerima

terapi suplemen eritropoietin.

Penggunaan tidak berlabel: anemia pada pasien dialinis peritoneal,

anemia pada pasien predialisis, operasi yang tidak mengeluarkan

darah, donasi darah autolog.

Mekanisme kerja

Besi sukrosa digunakan untuk mengisi penyimpanan besi tubuh pada

pasien defisiensi besi yang sedang hemodialisis kronis dan menerima

eritropoietin.pada pasien ini defisiensi besi disebabkan kehilangan

darah selama prosedur dialisis, peningkatan eritropoiesis, dan absorpsi

besi dari saluran pencernan yang tidak cukup.

Farmakokinetik

Absorpsi

Pada orang dewasa sehat yang diberikan besi sukrosa dosis IV,

komponen besinya menunjukkan kinetik orde 1.

Distribusi

Pada orang dewasa sehat yang menerima besi sukrosa dosis IV,

komponen besinya terdistribusi terutama di darah dan cairan

ekstravaskular.

6

Page 7: laporan kasus RS Tabanan Bali

Metabolisme/ekskresi

Setelah pemberian besi sukrosa secara IV, besi sukrosa terdisosiasi

menjadi besi dan sukrosa oleh sistem retikuloendotelial.

Komponen sukrosa dieliminasi terutama oleh ekskresi urin dengan

waktu paruh eleminasi selama 6 jam.

Kontraindikasi

Adanya bukti kelebihan besi, hipersensitivitas terhadap besi atau

komponen inaktifnya, anemia yang tidak disebabkan defisiensi besi.

Peringatan

Hipotensi dilaporkan sering kali terjadi pada pasien yang menerima

besi sukrosa secar IV

Reaksi sensitivitas serius jarang dilaporkan pada pasien yang

menerima besi sukrosa

Secara umum pemilihan dosis untuk manula harus dengan

perhatian, biasanya dimulai dengan selang dosis yang rendah,

menunjukkan penurunan fungsi hati, ginjal atau jantung.

Penggunaan pada wanita hamil hanya jika diperlukan

Penggunaan besi sukrosa pada wanita menyusui harus dengan

perhatian

Efek samping

Hipotensi, kram kaki, diare, sakit kepala, mual dan muntah

Interaksi obat

Besi sukrosa diperkirakan dapat menurunkan absorpsi besi oral yang

diberikan secara bersamaan. Jadi jangan diberikan secara bersamaan

dengan sediaan besi oral.

2) Besi dekstran

Indikasi

Defisiensi besi: injeksi besi dekstran secara IV atau IM

diindikasikan untuk pengobatan pasien defisiensi besi dengan

7

Page 8: laporan kasus RS Tabanan Bali

sejarah pemberian secara oral yang tidak memuaskan atau

memungkinkan.

Penggunaan tidak berlabel: suplementasi besi dapat dibutuhkan

oleh kebanyakan pasien yang menerima terapi epoetin.

Mekanisme kerja

Besi dekstran yang bersirkulasi dibuang dari plasma oleh sistem

retikuloendotelial yang membagi kompleks menjadi komponen besi

dan sekstran. Besi segera terikat pada protein membentuk hemosiderin

atau ferritin. Besi ini mengisi hemoglobin dan penyimpanan besi yang

kosong.

Farmakokinetik

Absorpsi/distribusi

Setelah injeksi IM, besi dekstran diabsorpsi dari area injeksi

menuju kapilari dan sistem limfatik. Sebagian besar injeksi IM besi

dekstran diabsorpsi dalam 72 jam, sisanya diabsorpsi dalam 3-4

minggu.

Metabolisme/ekskresi

Dekstran, suatu poliglukosa, mengalami metabolisme dan juga

ekskresi. Besi diekskresi melalui urin dalam jumlah yang dapat

diabaikan.

Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap produk, semua anemia yang tidak berkaitan

dengan defisiensi besi, fase akut penyakit infeksi ginjal.

Peringatan

Dosis maksimum harian tidak boleh melebihi 2 ml besi dekstran

yang tidak diencerkan

Dosis IV yang besar dikaitkan dengan peningkatan kejadian efek

samping

Anafilaksis dan reaksi hipersensitifitas lainnya telah dilaporkan

setelah injeksi besi dekstran pada dosis terapi.

8

Page 9: laporan kasus RS Tabanan Bali

Penggunan sediaan ini harus dengan peringatan pada pasien

dengan kelainan fungsi hati yang serius.

Resiko karsinogenesis dapat menyertai injeksi kompleks besi-

karbohidrat secara IM

Sisa-sisa dekstran yang tidak dimetabolisme diekskresikan pada air

susu. Pemberian pada wanita menyusui harus dengan peringatan

Tidak direkomendasikan untuk digunakan pada bayi berusia

kurang dari 4 bulan.

Efek samping

Reaksi anafilaktif, arthralgia, demam, sakit kepala, mual, muntah,

aritmia, nyeri dada, hipertensi, hipotensi, dll

Interaksi obat

Kloramfenikol : tingkat besi serum dapat meningkat

Interaksi obat/tes lab : dosis besar besi dekstran (5 ml atau lebih)

memberikan warna coklat pada serum dari sempel darah yang

diambil 4 jam setelah pemberian.

Defisiensi besi yang disebabkan karena penyakit kronis lebih

difokuskan pada memperbaiki penyebab yang reversible. Terapi yang

dapat digunakan adalah Epoetin alfa (jika disertai penyakit kardiovaskuler)

dengan dosis awal 50-100 unit/Kg 3 x seminggu. Jika hemoglobin tidak

meningkat setelah 6-8 minggu, dosis dapat dinaikkan 150 unit/Kg

seminggu 3x. Obat ini juga digunakan oleh penderita anemia berat yang

perlu menjalani dialisa akibat insufisiensi ginjal kronis.

III.2.2 Anemia Megaloblaster

Anemia Megaloblaster ditangani dengan pemberian vitamin B12

untuk anemia karena defisiensi vitamin B12 dan asam folat untuk

mengatasi defisienasi asam folat.

A. Sediaan-sediaan untuk anemia megaloblastik Defisiensi Vitanin

B12

1) Hidroksikobalamin

9

Page 10: laporan kasus RS Tabanan Bali

Indikasi : anemia pernisiosa, sebab lain dari defisiensi vitamin B12

Peringatan : tidak boleh diberikan sebelum diagnosis

dipastikan.

Dosis : dengan injeksi IM, dosis awal 1 mg diulangi 5 kali dengan

interval 2-3 hari; dosis pemeliharaan 1 mg setiap 3 bulan;

untuk anak dosis seperti pada orang dewasa.

Catatan : bila yang diresepkan atau yang diminta adalah injeksi

vitamin B12 maka yang diberikan adalah suntikan

hidroksikobalamin.

2) Sianokobalamin

Mekanisme kerja

Vitamin B12 penting untuk pertumbuhan, reproduksi sel, hematopoisis,

dan sintesis nukleoprotein dan mielin. Vitamin B12 berperan dalam

pembentukan sel darah merah melalui aktivasi koenzim asam folat.

Farmakokinetik

Absorpsi vitamin B12 tergantung pada adanya faktor instrinsik dan

kalsium yang cukup. Secara umum, absorpsi vitamin B12 tidak

mencukupi pada keadaan malabsorpsi dan pada anemia pernisiosa.

Indikasi

Defisiensi vitamin B12 karena sindrom malabsorpsi seperti yang

terlihat pada anemia pernisiosa.

Peningkatan kebutuhan vitamin B12 seperti pada saat kehamilan,

tirotoksikosis, anemia hemolitik, pendarahan dan penyaki hati dan

ginjal

Kontraindikasi

Hipersensitivitas terhadap kobal, vitamin B12 atau komponen-

komponen pada produk.

Peringatan

Pemberian parenteral dipilih untuk anemia pernisiosa. Hindari rute

pemberian IV.

10

Page 11: laporan kasus RS Tabanan Bali

Defisiensi vitamin B12 yang dibiarkan selama > dari 3 bulan dapat

menyebabkan lesi degenerative permanen pada tulang belakang

Hipokalemia dan kematian mendadak dapat terjadi pada anemia

megaloblastik parah yang diobati secara intens.

Efek samping

Pemberian vitamin B12 secara parenteral dapat menyebabkan edema

pulmonari, gagal jantung kongestiv, trombosis vaskular perifer, rasa

gatal perasaan bengkak pada seluruh badan, diare ringan.

Interaksi obat

Asam aminosalisilat: menurunkan kerja terapetik dan biologi

vitamin B12

Kloramfenikol: menurunkan efek hematologi vitamin B12 pada

pasien dengan anemia pernisiosa

Kolkisin, alkohol: asupan kolkisin dan alkohol berlebih (> 2

minggu) dapat menyebabkan melabsorpsi vitamin B12

Dosis

Vitamin B12 pada defisiensi untuk IM adalah 0,5-1 mg seminggu

dengan terapi pemeliharaan 1 mg setiap 2 bulan. Pada gejala neurologi

1-2x seminggu 0,5-1 mg, pemeliharaan 1 mg sebulan. Untuk terapi

oral dapat diberikan 2-3 x sehari 1 mg.

B. Sediaan-sediaan untuk anemia defisiensi folat

1) Asam folat

Indikasi

Anemia megaloblastik yang disebabkan defisiensi asam folat.

Mekanisme kerja

Folat eksogen dibutuhkan untuk sintesis nukleoprotein dan

pemeliharaan eritropoiesis normal. Asam folat menstimulasi

produksi sel darah merah, sel darah putih, dan platelet pada anemia

megaloblastik.

Farmakokinetik

11

Page 12: laporan kasus RS Tabanan Bali

Asam folat yang berasal dari makanan harus mengalami hidrolisis,

reduksi dan metilasi pada saluran pencernaan sebelum diabsorpsi.

Perubahan asam folat menjadi bentuk aktifnya, tetrahidrofolat

memerlukan vitamin B12. Asam folat terdapat di plasma sekitar15-30

menit setelah pemberian secara oral, kadar puncak biasanya dicapai

selam 1 jam. Secara pemberian secara IV, asam folat secara cepat

dibersikan dari plasma. Sebagian besar produk metabolitnya muncul

di urin setelah 6 jam, ekskresi lengkap dicapai dalam 24 jam.

Kontra indikasi

Pengobatan anemia pernisiosa dan anemia megaloblastik lainnya

dimana vitamin B12 tidak cukup (tidak efektif).

Peringatan

Jangan diberikan secara tunggal untuk anemia pernisiosa addison

dan penyakit defisiensi vitamin B12 lainnya karena dapat

menimbulkan degenerasi majemuk dan medula spinalis.

Jangan digunakan untuk penyakit ganas kecuali anemia

megaloblastik karena defisiensi folat merupakan komplikasi

penting.

Efek samping

Asan folat relatif tidak toksik terhadap manusia. Efek samping yang

umum terjadi adalah perubahan pola tidur, sulit berkonsentrasi,

iritabilitas aktivitas berlebih depresi mental, mual.

Interaksi obat

Asam aminosalisilat: penurunan kadar folat serum dapat terjadi

selama penggunaan konkuren

Kontarasepsi oral: kontrasepsi oral dapat mempengaruhi

metabolisme folat dan menyebabkan kekurangan folat, tetapi

efeknya ringan dan tidak menyebabkan anemia atau perubahan

megaloblastik

12

Page 13: laporan kasus RS Tabanan Bali

Dihydrofolat reductase inhibitor: defisiensi Dihydrofolat reductase

inhibitor yang disebabkan pemberian antagonis asam folat dapat

mempengaruhi penggunan asam folat.

Sulfasalazin: terjadi tanda-tanda defisiensi folat

Fenitoin: menurunkan kadar folat serum.

Dosis

Asam folat oral diberikan sebanyak 1 mg setiap hari selama 4

bulan. Jika terdapat malabsorpsi, dosis harian harus ditingkatkan

menjadi 5 mg. Untuk mencegah terjadinya risiko spina bifida pada

terapi profilaksis anemia selama kehamilan, dapat diberikan asam folat

0,5 mg mulai minimal 4 minggu sebelum pembuahan sampai dengan

minggu ke-8 dari kehamilan.

3.2.3 Anemia Lainnya

Pasien dengan anemia tipe lain membutuhkan suplementasi yang

sesuai tergantung pada etiologinya. Obat yang digunakan pada keadaan

khas adalah erythropoietin yang dapat menstimulir pembentukan eritrosit.

Steroid dan immunosupresan lainnya dapat diindikasikan untuk

mengurangi destruksi sel darah merah.

Sediaan-sediaan untuk anemia hipoplastik, hemolitik dan renal

1) Erythropoietin

Epoetin digunakan pada anemia yang berhubungan dengan defisiensi

erythropoietin pada gagal ginjal kronis dan untuk menambah darah

autolog pada individu normal.

Ada 2 apoetin adalalah epoetin alfa dan epoetin beta.

Epoetin alfa dapat dipertimbangkan, terutama jika status

kardiovaskular membahayakan. Epoetin alfa biasanya ditoleransi

dengan baik. Hipertensi yang terlihat pada pasien dengan penyakit

ginjal stadium akhir jarang terjadi pada pasien dengan AIDS.

Epoetin alfa

13

Page 14: laporan kasus RS Tabanan Bali

Mekanisme kerja

Epoetin alfa menstimulasi eritropoiesis pada pasien anemia yang

sedang menjalani dialisis.

Farmakokinetik

Epoetin alfa IV dieliminasi secara kinetik orde 1 dengan waktu paru

sirkulasi sekitar 4-13 jam pada pasien dengan gagal ginjal kronis.

Dalam rentang dosis terapi kadar erithropoetin plasma yang terdeteksi

dipertahankan selam setidaknya 24 jam. Setelah pemberian Epoetin

alfa secara subkutan pada pasien dengan gagal ginjal kronis, kadar

serum puncak dicapai dalam 5-24 jam setelah pemberian dan

menurunkan secara bertahap.

Indikasi

Pengobatan anemia yang berkaitan dengan gagal ginjal kronis.

Pengobatan anemia yang berkaitan dengan terapi zidovudin pada

pasien yang terinfeksi HIV

Pengobatan anemia pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi

Penurunan transfusi darah allogenik pada pasien yang dioperasi.

Kontraindikasi

Hipertensi yang tak terkendalikan.

Peringatan

Tekanan darah tinggi yang tidak diobati secara memadai atau tidak

terkendali. Hentikan sementara pengobatan bila tekanan darah

tidak terkendali

Singkirkan faktor lain dari anemia (misalnya defisiensi folat atau

defisiensi vitamin B12) dan berikan suplemen besi bila diperlukan.

Penyakit iskemik vaskuler

Trombositosis

Riwayat konvulsi

Penyakit ganas

Gagal hati kronis

Migraine

14

Page 15: laporan kasus RS Tabanan Bali

Kehamilan dan laktasi

Efek samping

Kenaikan tekanan darah yang berkaitan dengan dosis atau hipertensi

memburuk; jarang terjadi pada penderita dengan tekanan darah

normal atau rendah

Interaksi obat

Penghambat ACE: mempertinggi resiko hiperkalemia

Dosis

Dosis awal 50-100 unit/Kg 3 x seminggu. Jika hemoglobin tidak

meningkat setelah 6-8 minggu, dosis dapat dinaikkan 150 unit/Kg

seminggu 3x.

Epoetin Beta

Indikasi

Anemia yang berhubungan dengan gagal ginjal kronis pada

penderita dialisis, anemi simptomatik yang berasal dari penyakit

ginjal pada pasien yang belum didialisis.

Dosis

o Injeksi Subkutan

Dewasa dan anak (2 Th) melaui injeksi subkutan, dosis awal 60

UI/Kg tiap minggu (dalam 1-7 dosis terbagi) untuk 4 minggu.

Ditingkatkan sebulan sekali sesuai dengan respon masing-masing 60

UI/Kg. Dosis pemeliharaan (bila dicapai kadar hemoglobin 10-12

mg/100ml) mula-mula diturunkan dosis separuhnya, kemudian ubah

sesuai dengan respon pada interval 1-2 minggu maksimum 720

UI/Kg.

Anemia pada Bayi Prematur dengan bobot 750-1000 g dan usia

kehamilan kurang dari 34 minggu diberikan injeksi subkutan 250

UI/Kg 3 x seminggu. Lebih baik dimulai dalam 3 hari setelah

kelahiran dan dilanjutnkan hingga 6 minggu.

15

Page 16: laporan kasus RS Tabanan Bali

o Injeksi Intravena

Secara injeksi intravena dalam 2 menit (infus intravena jangka

pendek) dosis awal 40 UI/Kg 3x tiap minggu untuk 4 minggu,

ditingkatkan sampai 80 UI/Kg 3x seminggu bila kenaikan hemoglobin

awal kurang dari 1g/100ml/bulan, bila perlu dinaikkan lebih lanjut

pada interval bulanan masing-masing 20UI/Kg. Dosis pemeliharaan

(sewaktu dicapai kadar hemoglobin 10-12 g/100 ml) mula-mula

kurangi dosis separuhnya,kemudian ubah sesuai respon pada interval

1-2 minggu, maksimum 720UI/Kg.

III.3 Terapi Non-Farmakologis

Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi seperti sayuran,

daging, ikan dan unggas.

Dapat digunakan suplemen multi-vitamin yang mengandung vitamin

B12 dan asam folat sebagai terapi profilaksis maupun memperbaiki

defisiensi vitamin B12 ataupun asam folat.

Pada pasien dengan anemia kritis dapat dilakukan transfusi sel darah

merah.

IV. Keadaan Pola Makan pada Anemia

Anjuran kepada pasien :

1. Makan makanan dengan gizi seimbang, termasuk makanan yang kaya akan zat

besi, misalnya buah-buahan, daging tanpa lemak, kacang-kacangan, roti tawar

berserat kasar, dan sayuran berwarna hijau daun. Pemberian terapi besi dengan

makanan mengurangi absorpsi lebih dari 50% tetapi dapat diperlukan untuk

memperbaiki toleransi.

2. Terlalu banyak mengonsumsi zat besi dapat menimbulkan bahaya. Asupan zat

bersih secara berlebihan berhubungan dengan peningkatan resiko sirosis,

kardiomiopati, diabetes dan beberapa jenis kanker. Oleh karena itu, dosis

suplemen zat besi zat besi yang dikonsumsi harus sesuai dengan anjuran

dokter.

16

Page 17: laporan kasus RS Tabanan Bali

3. Agar membatasi konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat

besi. Di antaranya menghindari makanan yang mengandung phytateseperti

yang terdapat pada kacang-kacangan, biji-bijian, dan tepung. Hindari pula

konsumsi teh, kopi, dan cokelat.

4. Yang termasuk makanan tinggi asam folat dan vitamin B12 antara lain ikan,

produk susu, daging, kacang polong,sayuran berwarna hijau tua, jeruk dan

serealia.

5. Konsumsi alkohol sebaiknya dihindari karena dapat membuat dehidrasi yang

mengakibatkan tekanan darah menurun meskipun dikonsumsi dalam jumlah

sedikit. Konsumsi cukup banyak air akan mencegah dehidrasi dan

meningkatkan volume darah dalam tubuh. Minum air putih dalam jumlah

yang cukup banyak antara 8 hingga 10 gelas per haridan suplemen asam folat

sebaiknya diberikan selama kehamilan untuk mencegah terjadinya anemia

defisiensi asam folat.

6. Kenakan selalu alas kaki (sepatu atau sandal) untuk mencegah infeksi cacing.

7. Hindari paparan berlebihan terdapat bahan bakar (bensin), insektisida, zat

kimia dan zat-zat toksik lainnya, karena dapat menyebabkan anemia.

8. Mengonsumsi orange juice setelah makan dan menghindari konsumsi teh usai

makan. Karena teh itu bisa membuat zat besi yang dikonsumsi bersama

makanan larut dan menjadi terbuang percuma.tetapi mengonsumsi minuma

yang mengandung kafein seperti yang terkadung pada the dan kopi juga baik,

karena bisa memacu denyut jantung sehingga semakin banyak darah yang

terpompa. Namun, penggunaannya 2 jam sebelum atau sesudah makan

makanan yang besar.

17

Page 18: laporan kasus RS Tabanan Bali

PENDAHULUAN TIFOID

1. Demam Tifoid

1.1. Definisi

Secara historis, typhus berasal dari bahasa Yunani ”typhos” yang berarti

asap, atau yang lebih halus lagi dari asap, merupakan kiasan yang

menggambarkan orang melamun, yang dipengaruhi oleh asap yang sedang naik di

awan, dari asal nama di atas menggambarkan bahwa kesadaran penderita demam

tifoid seperti diliputi awan (kabut). Nama lain yang sering ditulis dalam

kepustakaan adalah ”typhus abdominalis” suatu istilah yang kurang tepat, karena

dulunya dianggap bahwa demam tifoid adalah kumpulan gejala demam tifus yang

mrnyerang alat pencernaan.

Demam tifoid dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung

meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada

daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin. Sumber penularan penyakit

demam tifoid adalah penderita yang aktif, penderita dalam fase konvalesen, dan

kronik karier. Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai

karakteritik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih

kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran limpa dan

erupsi kulit. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman

Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C. Jika

penyebabnya adalah S. paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang

disebabkan oleh S typhi.

1.2. Etiologi

18

Page 19: laporan kasus RS Tabanan Bali

Organisme yang berasal dari genus Salmonella adalah agen penyebab

bermacam-macam infeksi, mulai dari gastroenteritis yang ringan sampai dengan

demam tifoid yang berat disertai bakteriemia. Kuman Salmonella ini berbentuk

batang, tidak berspora, pada pewarnaan gram bersifat negatif, ukuran 1-3.5 um x

0.5-0.8 um, besar koloni rata-rata 2-4 mm, mempunyai flagel peritrikh kecuali

Salmonella pullorum dan Salmonella gallinarum. Kuman ini tumbuh pada

suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15-410 C dan pH pertumbuhan 6-

8. Bakteri ini mudah tumbuh pada pembenihan biasa, tetapi hampir tidak pernah

meragikan laktosa dan sukrosa. Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu

yang menghambat bakteri enterik lainnya. Kuman mati pada suhu 560 C juga

pada keadaan kering. Dalam air bisa tahan selama 4 minggu.

1.3. Patogenesis Demam Tifoid

Masa inkubasi demam tifoid kurang lebih 14 hari. Masuknya kuman

Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam

tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian

kuman ini akan dimusnahkan dalam lambung, sebagian lagi lolos masuk ke dalam

usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa

usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke

lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh

selsel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam

makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke

kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman

yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah dan

menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di

organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang

biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi

darah lagi mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai

tandatanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

19

Page 20: laporan kasus RS Tabanan Bali

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang

biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen

usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam

sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung

makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella

terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan

menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,

sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular gangguan mental, dan koagulasi. Di

dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia

jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah

sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat

akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid

ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat

mengakibatkan perforasi.

Peranan endotoksin dalam patogenesis demam tifoid telah dipelajari secara

mendalam. Pernah dicoba pemberian suntikan endotoksin 0.5 mcg pada

sukarelawan-sukarelawan, dalam waktu enam puluh menit mereka menjadi sakit

kepala, dingin, rasa tak enak pada perut. Bakteriolisis yang dilakukan oleh system

retikuloendotelialium merupakan upaya pertahanan tubuh di dalam pembasmian

kuman. Akibat bakteriolisis maka dibebaskan suatu zat endotoksin, yaitu suatu

lipopolisakarida (LPS), yang akan merangsang pelepasan pirogen endogen dari

leukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kuppfer hati, makrofag, sel polimorfonuklear

dan monosit. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan

akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,

pernapasan, dan gangguan organik lainnya.

1.4. Diagnosis

Gambaran klinis penyakit demam tifoid sangat bervariasi dari hanya

sebagai penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang

khas dengan komplikasi dan kematian. Oleh karena itu, penegakan diagnosis

sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan

meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat

20

Page 21: laporan kasus RS Tabanan Bali

penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu

dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.

Penegakan diagnosis penyakit demam tifoid ini masih kurang lengkap bila belum

ditunjang dengan diagnosa laboratorium mikrobiologi klinik, tetapi diagnose

laboratorium secara konvensional dapat dilakukan melalui identifikasi adanya

antigen / antibodi dalam sampel dan melalui kultur mikroorganisme.

Diagnosis demam tifoid dapat diambil dengan anamnesis berupa demam,

gangguan gastrointestinal, dan dapat disertai gangguan kesadaran. Diagnosis

banding demam tifoid adalah gastroenteritis virus, enteritis bakteri selain karena

Salmonella, kolitis pseudomembran, appendisitis, dan kolesistitis.

1.5. Manifestasi Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala

klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari

asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga

kematian. Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala

penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti

demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39º C hingga 40º C, sakit

kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara

80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran

bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan

sembelit silih berganti.

Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada

penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor.

Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan

meradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan

demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit

lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola)

berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama

pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4

21

Page 22: laporan kasus RS Tabanan Bali

mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada

bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura

kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami

distensi.

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap

hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau

malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus

dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan

sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.

Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini

relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala septicemia

semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.

Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, merah mengkilat,

nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare yang meningkat dan

berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi,

gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan mulai kacau jika

berkomunikasi.

Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal

kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil

diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperature

mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan

perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya

jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya

tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus,

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi,

juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita

kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh

peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya

perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi

22

Page 23: laporan kasus RS Tabanan Bali

miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita

demam tifoid pada minggu ketiga.

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di

rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan

utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa

tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, dan

obstruksi. Perforasi usus adalah komplikasi yang cukup serius, terjadi pada 1-3 %

kasus. Terdapat lubang di usus, akibatnya isi usus dapat masuk ke dalam rongga

perut dan menimbulkan gejala. Tanda-tanda perforasi usus adalah nyeri perut

yang tidak tertahankan (acute abdomen), atau nyeri perut yang sudah ada

sebelumnya mengalami perburukan, denyut nadi meningkat dan tekanan darah

menurun secara tiba-tiba. Gawat abdomen ini membutuhkan penanganan segera.

Perforasi intestinal dapat dibagi menjadi :

1. Perforasi non trauma, misalnya pada ulkus peptik, tifoid dan apendisitis.

2. Perforasi oleh trauma (tajam dan tumpul)

Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal

minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena

femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan

berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari

serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi

primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan

mengakibatkan timbulnya relaps.

1.6. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis,

kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini

ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi

penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan

hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.

1.6.1. Hematologi

23

Page 24: laporan kasus RS Tabanan Bali

Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit

perdarahan usus atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi

dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan

limfositosis relatif. LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat Jumlah trombosit

normal atau menurun (trombositopenia).

1.6.2. Urinalis

Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam) Leukosit

dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.

1.6.3. Kimia Klinik

Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran

peradangan sampai hepatitis Akut.

1.6.4. Imunorologi

Pemeriksaan serologi widal ditujukan untuk mendeteksi adanya antibody

(didalam darah) terhadap antigen kuman Salmonella typhi / paratyphi(reagen). Uji

ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta

terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji

cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan

adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.

Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil

positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh factor-

faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies

lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor

rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain

penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang

dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit

imunologik lain.

Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 ,

bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit

demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu.

Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru

menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka

24

Page 25: laporan kasus RS Tabanan Bali

kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak

sebelumnya. Pemeriksaan Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM

merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan

spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid.

Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis

Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi

akut; 2/ jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/

daerah endemik.

1.6.5. Mikrobiologi

Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan

Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis

pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negati, belum tentu

bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit

kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah

dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan),

saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi

antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya

tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman

(biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu

sampai 7 hari). Pilihan bahan specimen yang digunakan pada awal sakit adalah

darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrierdigunakan urin dan tinja.

1.6.6. Biologi molekular.

PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak

dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian

diidentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat

mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta

kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa

darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.

Kriteria diagnosis yang biasa digunakan adalah :

25

Page 26: laporan kasus RS Tabanan Bali

1. Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negative

tidak menyingkirkan demam tifoid.

2. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid.

3. Peningkatan titer uji widal 4 kali lipat selama 2–3 minggu memastikan

diagnosis demam tifoid.

4. Reaksi widal tunggal dengan titer antibodi Antigen O 1: 320 atau titer antigen

H 1: 640 menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran

klinis yang khas .

5. Pada beberapa pasien, uji widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang walaupun

biakan darah positif.

1.7. Tata laksana Demam Tifoid

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :

Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dan

pemberian medikamentosa. Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan

profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Sedangkan diet dan terapi

penunjang merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan

penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan

umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan

menjadi lama. Tata laksana medikamentosa demam tifoid dapat berupa pemberian

antibiotik, antipiretik, dan steroid. Obat antimikroba yang sering diberikan adalah

kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, sefalosporin generasi ketiga,

ampisilin, dan amoksisilin.

Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam

tifoid. Kloramfenikol mempunyai ketersediaan biologik 80% pada pemberian iv.

Waktu paruh plasmanya 3 jam pada bayi baru lahir, dan bila terjadi sirosis hepatis

diperpanjang sampai dengan 6 jam. Dosis yang diberikan secara per oral pada

dewasa adalah 20-30(40) mg/kg/hari. Pada anak berumur 6-12 tahun

membutuhkan dosis 40-50 mg/kg/hari. Pada anak berumur 1-3 tahun

membutuhkan dosis 50-100 mg/kg/hari. Pada pemberian secara intravena

membutuhkan 40-80 mg/kg/hari untuk dewasa, 50-80 mg/kg/hari untuk anak

26

Page 27: laporan kasus RS Tabanan Bali

berumur 7-12 tahun, dan 50-100 mg/kg/hari untuk anak berumur 2-6 tahun.

Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250 mg, 500 mg, suspensi 125

mg/5 ml, sirup 125 ml/5ml, serbuk injeksi 1 g/vail. Penyuntikan intramuscular

tidak dianjurkan oleh karena hirolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat

suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman obat ini dapat menurunkan demam ratarata

7,2 hari. Untuk menghindari reaksi Jarisch-Herxheimer pada pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol, dosisnya adalah sebagai berikut: hari ke 1 : 1g, hari

ke 2 : 2 g, hari ke 3: 3 g, hari kemudian diteruskan 3 g sampai dengan suhu badan

normal. Beberapa efek samping yang mungkin timbul pada pemberian

kloramfenikol adalah mual, muntah, mencret, mulut kering, stomatitis, pruritus

ani, penghambatan eritropoiesis, Gray-Syndrom pada bayi baru lahir, anemia

hemolitik, exanthema, urticaria, demam, gatal-gatal, anafilaksis, dan terkadang

Syndrom Stevens-Johnson. Reaksi interaksi kloramfenikol dengan paracetamol

akan memperpanjang waktu paruh plasma dari kloramfenikol. Interaksinya

dengan obat sitostatika akan meningkatkan resiko suatu kerusakan sumsum

tulang.

Tiamfenikol memiliki dosis dan keefektifan yang hampir sama dengan

kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya

anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis

tiamfenikol untuk orang dewasa adalah 500 mg tiap 8 jam, dan untuk anak 30-50

mg/kg/hari yang dibagi menjadi 4 kali pemberian sehari. Bentuk yang tersedia di

masyarakat berupa kapsul 500 mg. Beberapa efek samping yang mungkin timbul

pada pemberian kloramfenikol adalah mual, muntah, diare, depresi sumsum

tulang yang bersifat reversibel, neuritis optis dan perifer, serta dapat menyebabkan

Gray baby sindrom. Interaksi tiamfenikol dengan rifampisin dan fenobarbiton

akan mempercepat metabolisme tiamfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada

demam tifoid dapat turun setelah 5-6 hari.

Kotrimoksazol adalah kombinasi dua obat antibiotik, yaitu trimetroprim

dan sulfametoksazol. Kombinasi obat ini juga dikenal sebagai TMP/SMX, dan

beredar di masyarakat dengan beberapa nama merek dagang misalnya Bactrim.

Obat ini mempunyai ketersediaan biologik 100%. Waktu paruh plasmanya 11

27

Page 28: laporan kasus RS Tabanan Bali

jam. Dosis untuk pemberian per oral pada orang dewasa dan anak adalah

trimetroprim 320 mg/hari, sufametoksazol 1600 mg/hari. Pada anak umur 6 tahun

trimetroprim 160 mg/hari, sufametoksazol 800 mg/hari. Pada pemberian intravena

paling baik diberikan secara infus singkat dalam pemberian 8-12 jam. Beberapa

efek samping yang mungkin timbul adalah sakit, thromboplebitis, mual, muntah,

sakit perut, mencret, ulserasi esofagus, leukopenia, thrombopenia, anemia

megaloblastik, peninggian kreatinin serum, eksantema, urtikaria, gatal, demam,

dan reaksi hipersensitifitas akibat kandungan Natriumdisulfit dalam cairan infus.

Interaksi kotrimoksazol degan antasida menurunkan resorbsi sulfonamid. Pada

pemberiaan yang bersamaan dengan diuretika thiazid akan meningkatkan insiden

thrombopenia, terutama pada pasien usia tua.

Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan untuk menurunkan

demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Obat ini mempunyai

ketersediaan biologik : 60%. Waktu paruh plasmanya 1.5 jam (bayi baru lahir: 3,5

jam). Dosis untuk pemberian per oral dalam lambung yang kosong dibagi dalam

pemberian setiap 6-8 jam sekitar 1/2 jam sebelum makan. Untuk orang dewasa 2-

8 g/hari, sedangkan pada anak 100-200 mg/kg/hari. Pada pemberiaan secara

intravena paling baik diberikan dengan infus singkat yang dibagi dalam

pemberiaan setiap 6-8 jam. Untuk dewasa 2-8 g/hari, sedangkan pada anak 100-

200 mg/kg/hari. Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250 mg, 500

mg; Kaptab 250 mg, 500 mg; Serbuk Inj.250 mg/vial, 500 mg/vial, 1g/vial, 2

g/vial; Sirup 125 mg/5 ml, 250 mg/5 ml; Tablet 250 mg, 500 mg. Beberapa efek

samping yang mungkin muncul adalah sakit, thrombophlebitis, mencret, mual,

muntah, lambung terasa terbakar, sakit epigastrium, iritasi neuromuskular,

halusinasi, neutropenia toksik, anemia hemolitik, eksantema makula, dan

beberapa manifestasi alergi. Interaksinya dengan allopurinol dapat memudahkan

munculnya reaksi alergi pada kulit. Eliminasi ampisilin diperlambat pada

pemberian yang bersamaan dengan urikosuria (misal: probenezid), diuretik, dan

obat dengan asam lemah.

Sefalosporin generasi ketiga (Sefuroksin, Moksalaktan, Sefotaksim, dan

Seftizoksim) yang hingga saat ini masih terbukti efektif untuk demam tifoid

28

Page 29: laporan kasus RS Tabanan Bali

adalah seftriakson. Antibiotik ini sebaiknya hanya digunakan untuk pengobatan

infeksi berat atau yang tidak dapat diobati dengan antimikroba lain, sesuai dengan

spektrum antibakterinya. Hal ini disebabkan karena selain harganya mahal juga

memiliki potensi antibakteri yang tinggi Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4

gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama 1/2 jam perinfus sekali sehari,

diberikan selama 3 hingga 5 hari. peningkatan BUN, kanidiasis,kreatinin

meningkat, eusinophilila, erythema multiforme, demam, sakit kepala, interstitial

nephritis, neutropenia, phlebitis, pseudomembranous colitis, sindrom Stevens-

Johnson, trombositopenia, transaminases meningkat, toxic epidermal necrolysis,

urtikaria, vaginitis. Dilaporkan juga adanya reaksi ESO dari sefalosporin lainnya :

Agranulositosis, anemia hemolitik, pendarahan, pancytopenia, disfungsi ginjal,

pusing, superinfeksi, toxic nephropathy.

29

Page 30: laporan kasus RS Tabanan Bali

BAB II

TINJAUAN OBAT

1. Parasetamol

Indikasi : Antipiretik

Mekanisme : Bekerja langsung pada pusat pengaturan panas di hipotalamus

dan menghambat sintesa prostaglandin di sistem saraf pusat.

Dosis : Dewasa dan anak >12 tahun: oral 650 mg atau 1 g tiap 4- 6 jam bila

perlu, maksimum 4 g per hari. Oral : anak untuk tiap 4- 6 jam ( maksimal 5

dosis per 24 jam) : < 4 bulan (2.7 – 5 kg) 40 mg, 4- 11 bulan (5- 8 kg) 80 mg,

12- 23 bulan ( 8- 11 kg) 120 mg, 2-3 tahun ( 11- 16 kg) 160

Efek samping : Efek samping dalam dosis terapi jarang; kecuali ruam kulit,

kelainan darah, pankreatitis akut pernah dilaporkan setelah penggunaan jangka

panjang.

2. Ondansentron

Indikasi : penanggulangan mual dan muntah

Mekanisme : antagonis selektif reseptor 5 – HT 3. Menghambat permulaan

pengeluaran 5 HT dalam usus halus yang ,merupakan awal terjadinya reflex

muntah.

Dosis :

Dewasa: IV:

1) mencegah mual dan muntah yang diinduksi kemoterapi: 0,15 mg/kg 3

kali/hari sejak 30 menit sebelum kemoterapi; ATAU 0,45 mg/kg sekali

30

Page 31: laporan kasus RS Tabanan Bali

sehari; ATAU 8-10 mg 1-2 kali/hari; ATAU 24 mg atau 32 mg sekali

sehari.

2) kemoterapi emetogenik berat atau sedang: infus IV, 32 mg diberikan 30

menit sebelum kemoterapi, ATAU 0,15 mg/kg IV diberikan 30 menit

sebelum kemoterapi, diulangi 4 dan 8 jam setelah dosis pertama IM,IV : 1)

kemoterapi emetogenik berat: 8 mg segera sebelum terapi, bila perlu diikuti

oleh 2 dosis lanjutan 8 mg dengan interval 2-4 jam (atau diikuti oleh infus

IV kontinu 1 mg/jam sampai dengan 24 jam), kemudian per oral 8 mg tiap

12 jam sampai dengan 5 hari

3) kemoterapi atau radioterapi emetogenik sedang: 8 mg segera sebelum terapi,

kemudian dilanjutkan per oral 8 mg tiap 12 jam sampai dengan 5 hari.

4) mual dan muntah post operasi: 4 mg sebagai dosis tunggal diberikan kira-

kira 30 menit sebelum anestesi berakhir atau segera sebelum induksi anestesi,

atau diberikan setelah operasi bila mual dan/ atau muntah terjadi segera setelah

operasi. Dosis ulangan (yang diberikan karena mual dan muntah tidak cukup

terkontrol pada pemberian dosis preoperasi) biasanya tidak efektif (Tim

Penyusun, 2009).

Efek samping : sakit kepala, konstipasi, rasa hangat di kepala.

3. Ranitidin

Indikasi : penanganan mual muntah

Mekanisme : antagonis reseptor H2, menghambat kerja histamine secara

kompetitif dan mengurangi sekresi asam lambung

Dosis :

Injeksi ranitidin dapat diberikan IM atau IV. Injeksi IM diberikan tanpa

pengenceran. Injeksi IV harus diencerkan, dapat diberikan melalui IVP

(intravenous pyelogram) atau IVPB (intravenous piggy back) atau infus IV

kontinu (Tim Penyusun, 2009).

Efek samping : sakit kepala, konstipasi.

4. Cefotaxime

31

Page 32: laporan kasus RS Tabanan Bali

Indikasi : Infeksi saluran napas, kulit dan struktur kulit, tulang dan sendi,

saluran urin, ginekologi seperti, septisemiam dugaan meningitis, aktif terhadap

basil Gram negative (kecuali Pseudomonas), Gram positif cocci

(kecualienterococcus). Aktif terhadap beberapa penicillin yang resisten

pneumococcus.

Mekanisme : Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan

satu atau lebih ikatan protein - penisilin (penicillin-binding proteins-PBPs)

yang selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan

dinding sel bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akan

mengalami lisis karena aktivitas enzim autolitik (autolisin dan murein

hidrolase) saat dinding sel bakteri terhambat.

Dosis :

infant dan anak 1-12 bulan : IM, IV, ; < 50k : 50- 180 mg/kg BB/ hari dibagi

dalam dosis setiap 4-6 jam. Meningitis : 200mg/kg BB/hari dibagi dalam dosis

setiap 6 jam. Anak > 12 tahun dan dewasa : Infeksi tanpa komplikasi : IM, IV :

1g setiap 12 jam. Infeksi sedang- parah: IM, IV : 1-2 g setiap 8 jam. Sepsis :

IV: 2 g setiap 6- 8 jam. Infeksi yang dapat mengancam hidup: IV.: 2 g setiap 4

jam. Preop : IM, IV, : 1 g, 30- 90 menit sebelum penbedahan. C- section: 1 g

setelah pemotongan tali pusat, kemudian 1 g I.M. dengan interval 6 dan 12

jam. Pengaturan dosis pada penurunan fungsi ginjal :

CLCr 10-50b ml/ menit : diberikan setiap 8- 12 jam. CLCr 10- 50 ml/ menit:

diberikan setiap 24 jam. Hemodialysis: Moderately dialyzable. Pengaturan

dosis pada penurunan fungsi hati; mengurangi dosis ,moderat Continuous

arteriovenous hemodiafiltration effect : diberikan 1 g setiap 12 jam

Efek samping : 1%- 10% : kulit: rash, pruritus. Saluran cerna: saluran cerna:

colitis, diare, mual dan muntah. Local : sakit pada tempat suntikan. <1%

anafilaksis dan aritmia (setelah pemberian injeksi IV kateter pusat).

32

Page 33: laporan kasus RS Tabanan Bali

BAB III

STUDI KASUS DI BRSU TABANAN

1. Identifikasi:

Nama : Ni Wayan Sibang

Umur : 85 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

BB : 40 Kg

Tinggi : 155 cm

Alamat : Megati

RPD : -

ROT : Berobat ke mantri, (obatnya lupa)

Jaminan : JKBM

MRS : 10- 10- 2010

Ruang/kamar : Dahlia Garing/IX

Dokter : dr. Juliana

Diagniosa : Suspect parathypoid dan anemia

Alasan masuk RS: OS panas sejak 2 hari yang lalu, tidak turun setelah

berobat ke mantri, badan terasa lemas, makan minum sedikit, perut terasa

mual.

2. SOAP

2.1 Subjek

10/10/2010: badan panas, mual, badan terasa lemas, makan minum

sedikit.

33

Page 34: laporan kasus RS Tabanan Bali

11/10/2010: badan panas, mual, badan terasa lemas, makan minum

sedikit.

12/10/2010: mual, badan terasa lemas, makan minum sedikit.

13/10/2010: mual, badan terasa lemas, makan minum sedikit.

14/10/2010: mual, badan terasa lemas

15/10/2010: mual, badan terasa lemas, makan minum sedikit.

2.2 Objektif

10/10/2010= vital sign: TD= 120/80

T = 38°C

Data lab:

pemeriksaan hasil Nilai normal

SGOT 21 15- 37 u/l

SGPT 27 30- 65 u/l

WBC 58 4- 10 k/ul

RBC 41.17 3.5- 5.5 k/ul

HGB 78 - 10-16 g/l

HCT 25.2 - 36- 50%

MCV 60.4 - 79- 99 fl

MCH 18.7- 27- 31 pg

MCHC 31- 33-37 g/dl

RDW 19.5+ 10- 16.5 %

11/10/2010= TD: 110/70, T: 38 °C

12/10/2010= TD: 130/90, T: 36°C

13/10/2010= TD: 120/80, T: 36°C

34

Page 35: laporan kasus RS Tabanan Bali

14/10/2010= TD: 120/80, T: 36°C

15/10/2010= TD: 120/90, T: 36°C

Data lab tanggal 15- 10- 2010

pemeriksaan hasil Nilai normal

WBC 6.27 4- 10 k/ul

RBC 5.50 3.5- 5.5 k/ul

HGB 12.7 10-16 g/l

HCT 40.5 36- 50%

MCV 73.7 79- 99 fl

MCH 23.1 27- 31 pg

MCHC 31.3 33-37 g/dl

RDW 21.2 10- 16.5 %

2.3 Assesment

Tanggal Terapi DRP keterangan

10/10/2010 parasetamol

3x1

Diberikan sesuai

dengan dosis

(3x1)

Cefotaxime inj mual Aktif terhadap

35

Page 36: laporan kasus RS Tabanan Bali

3x1 gram negatif.(S.

paratyphi B)

Ranitidin inj

2x1

Antagonis

reseptor H2.

Infus RL

28 tetes

Diberikan 3 pcs

Tanggal Problem medik Terapi DRP keterangan

11/10/2010 Suhu tubuh tinggi Parasetamo

l

3x1

Diberikan sesuai

dengan dosis (3x1)

typus Cefotaxime

inj 3x1

mual Aktif terhadap gram

negatif.(S. paratyphi

B)

Tukak lambung Ranitidin

inj 2x1

Antagonis reseptor

H2.

Mengembalikan

keseimbangan

elektrolit

Infus RL

28 tetes

Diberikan 3 pcs

anemia Tranfusi

darah 200cc

Diberikan 1

kantong,kurang 2

kantong

Pencegahan

Hipertensi

Lasix

(furosemid)

Loop diuretik

Digunakan sebelum

tranfusi dilakukan

Cairan plasma NaCl Diberikan setelah

36

Page 37: laporan kasus RS Tabanan Bali

isotonik yang

hilang

tranfusi darah

pengganti RL

Tanggal Problem medik Terapi DRP keterangan

12/10/2010 Mengembalikan

keseimbangan

elektrolit

Infus RL

28 tetes

Diberikan 3 pcs

typus Cefotaxime

inj 3x1

mual Aktif terhadap gram

negatif.(S. paratyphi

B)

Tukak lambung Ranitidin

inj 2x1

Antagonis reseptor

H2.

Mengembalikan

keseimbangan

elektrolit

Infus RL Diberikan 3 pcs

Tanggal Problem medik Terapi DRP keterangan

13/10/2010 Suhu tubuh tinggi Parasetamol

3x1

Diberikan sesuai

dengan dosis (3x1)

typus Cefotaxime

inj 2x1

mual Aktif terhadap gram

negatif.(S. paratyphi

B)

37

Page 38: laporan kasus RS Tabanan Bali

Tukak lambung Ranitidin

inj 2x1

Antagonis reseptor

H2.

Mengembalikan

keseimbangan

elektrolit

Infus RL

28 tetes

Diberikan 3 pcs

anemia Tranfusi

darah 200cc

Diberikan 1

kantong,kurang

1kantong

Pencegahan

Hipertensi

Lasix

(furosemid)

Loop diuretik

Digunakan sebelum

tranfusi dilakukan

Cairan plasma

isotonik yang

hilang

NaCl Diberikan setelah

tranfusi darah

pengganti RL

Tanggal Problem medik Terapi DRP keterangan

14/10/2010 Suhu tubuh tinggi parasetamol

3x1

Diberikan sesuai

dengan dosis (3x1)

typus Cefotaxime

inj 3x1

mual Aktif terhadap

gram negatif.(S.

paratyphi B)

Tukak lambung Ranitidin inj

2x1

Antagonis reseptor

H2.

Mengembalikan

keseimbangan

Infus RL Diberikan 3 pcs

38

Page 39: laporan kasus RS Tabanan Bali

elektrolit 28 tetes

anemia Tranfusi

darah 200cc

Diberikan 1

Pencegahan

Hipertensi

Lasix

(furosemid)

Loop diuretik

Digunakan sebelum

tranfusi dilakukan

Cairan plasma

isotonik yang

hilang

NaCl Diberikan setelah

tranfusi darah

pengganti RL

antiemetik Ondansetron

4mg 2x1

Diberikan hanya

satuhari

Tanggal Problem medik Terapi DRP keterangan

15/10/201

0

typus Cefotaxime

inj 3x1

mual Aktif terhadap

gram negatif.(S.

paratyphi B)

Tukak lambung Ranitidin inj

2x1

Antaginis reseptor

H2.

Mengembalikan

keseimbangan

elektrolit

Infus RL

28 tetes

Diberikan 3 pcs

antiemetik Ondansetro

n inj

4mg/ml 2x1

Diberikan secara

drip

39

Page 40: laporan kasus RS Tabanan Bali

• Perhitungan dosis

a. Ondansetron

Dosis : Dewasa: IV:

Infus di berikan 28 tetes/menit

1 ml= 20 tetes

ondansetron 4mg/2ml

4mg/502ml= 0.008 mg/ml

= 0.0112 mg/menit

Clirens = 28.3 l/jam

Clt=28.3/60= 0.472

Css = Ro/Clt = 0.0112 / 0.472 = 0.0237 mg/l

Rentang = 0.030- 0.3 mg/l

Dari perhitungan dosis diatas, ondansetron belum masuk pada

rentang dosis. Pada lembar CPO yang di resepkan oleh dokter

adalah vomceran 8mg/fls. Dan yang di berikan oleh farmasi adalah

ondansetron 4mg/2ml berjumlah 5 fls, perawat memberikan

ondansetron dalam setiap kali pemberian hanya 4mg/2ml. Untuk

mencapai rentang dosis maka ondansetron yang seharusnya di

berikan dari ondansetron 4mg/2ml adalah 2 kali, sehingga menjadi

8mg/4ml setiap kali pemberian.

b. Ranitidine

Dosis : Injeksi ranitidin dapat diberikan IM atau IV. Injeksi IM diberikan

tanpa pengenceran. Injeksi IV harus diencerkan, dapat diberikan melalui

IVP (intravenous pyelogram) atau IVPB (intravenous piggy back) atau

infus IV kontinu (Tim Penyusun, 2009).

Dosis obat yang diberikan : 2x25mg

c. Parasetamol

Dosis : Dewasa dan anak >12 tahun: oral 650 mg atau 1 g tiap 4- 6 jam

bila perlu, maksimum 4 g per hari. Oral : anak untuk tiap 4- 6 jam

40

Page 41: laporan kasus RS Tabanan Bali

( maksimal 5 dosis per 24 jam) : < 4 bulan (2.7 – 5 kg) 40 mg, 4- 11 bulan

(5- 8 kg) 80 mg, 12- 23 bulan ( 8- 11 kg) 120 mg, 2-3 tahun ( 11- 16 kg)

160.

Dosis yang di pakai 3x 1, oral 500mg

d. Cefotaxime

Dosis :

dewasa : Infeksi tanpa komplikasi : IM, IV : 1g setiap 12 jam. Infeksi

sedang- parah: IM, IV : 1-2 g setiap 8 jam. Sepsis : IV: 2 g setiap 6- 8 jam.

Infeksi yang dapat mengancam hidup: IV.: 2 g setiap 4 jam. Preop : IM,

IV, : 1 g.

dosis yang di berikan 3x1 1g injeksi. Masuk dalam rentang yang di

tentukan.

2.4 Plan

FIR Rekomendasi Monitoring Keterangan

Pemeriksaan

lambung untuk

mengetahui

keparahan

ataupun bakteri

yang

menyebabkan

tukak atau mual

-Peningkatan

dosis pada

ondansetron,

-Pemberian

nutrisi tambahan,

dan vitamin

-pemberian

Antasid untuk

menetralkan asam

lambung

Makanan dan

minuman yang di

berikan guna

peningkatan

nutrisi

Pemantauan

pemberian

cefotaxime yang

bisa

menyebabkan

efeksamping

mual

2.5 KIE

41

Page 42: laporan kasus RS Tabanan Bali

Jaga kondisi pasien

Pemberian makan dan minum yang teratur serta tambahan nutrisi yang

baik.

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien Ni Wayan Sibang (85 tahun) masuk rumah sakit tanggal 10

Oktober 2010, pasien datang dengan keluhan badan panas sejak dua hari yang

lalu, badan terasa lemas, mual, dengan makan dan minum sedikit. Pasien telah

42

Page 43: laporan kasus RS Tabanan Bali

berobat ke Mantri sebelum datang kerumah sakit, namun belum kunjung sembuh.

Di Rumah sakit, pasien masuk pertama di IRD dan di diagnose awal oleh dokter

jaga febris suspect parathypoid dan anemia sedang.

Dari diagnose dokter jaga IRD, maka pasien di rawat inapkan. Pasien pada

hari pertama mendapatkan Parasetamol sebagai penurun panas, Ranitidin injeksi

untuk mengatasi mual, dan mendapatkan antibiotic cefotaxime injeksi. Antibiotic

cefotaxcime memang digunakan sebagai antibiotic bakteri gram negative S.

paratyphi. Sebagai pengganti elektrolit tubuh yang hilang, pasien mendapatkan

infuse RL dengan 28 tetes per menit. Pasien juga mendapatkan transfusi darah

pada hari kedua, keempat dan kelima.

Obat- obatan yang digunakan sudah tepat jika dilihat dari keluhan pasien

dan kondisi data laboratorium yang sudah keluar pada hari itu juga. Namun jika

dilihat dari kondisi pasien yang mempunyai tinggi badan 155cm dengan berat

badan 40 kg, maka berat badan pasien kurang ideal dan bisa dikatakan kekurangan

nutrisi. Maka dari itu, pasien perlu mendapatkan asupan nutrisi tambahan dan juga

vitamin.

Pada kenyataanya sampai tanggal 15-10-2010 pasien belum mendapatkan

nutrisi tambahan dan juga vitamin. Dan juga, pasien mengalami keluhan mual

yang sedikit hebat pada tanggal 15. Maka dari itu, dokter memberikan vomceran 8

mg. dengan tanggungan JKBM, maka pasien tidak mendapatkan vomceran

melainkan ondancetron 4mg.

Ondancetron yang diberikan kepada pasien tidak 4mg x 2 untuk sekali

pakai sehingga dosis terapi yang dinginkan dokter yaitu 8mg tidak tercapai,

melainkan 4mgx1 pemberian. Dari kesalahan pemberian dosis obat ondancetron

maka, dosis yang di inginkan tidak masuk dalam rentang (hitungan pada bab III

dosis ondancetron). Maka dari itu perlu adanya informasi dari pihak farmasi jika

adnya penggantian obat walaupun mempunyai kandungan yang sama. Dan juga di

butuhkan ketelitian dari perawat yang menjaga pasien pada waktu pemberian obat.

Secara farmakoekonomi, pengobatan pada paasien Ni Wayan Sibang

sudah memenuhi kaidah. Bisa dilihat dari ketepatan obat yang di berikan

walaupun dosis yang kurang sedikit tepat, dan juga dari jumlah obat yang di

43

Page 44: laporan kasus RS Tabanan Bali

berika sudah tepat pada penggunaan. Sehingga pengobatan pada pasien Ni Wayan

Sibang diharapkan maksimal.

BAB V

SARAN

Pemberian nutrisi tambahan,vitamin kepada pasien dan ketepatan dosis.

44

Page 45: laporan kasus RS Tabanan Bali

Pemberian informasi pemakaian obat oleh pihak petugas farmasi yang

mengantarkan obat ke ruang rawat inap kepada perawat, sehingga tidak

terjadi kesalahan pemakaian.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.

2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Jakarta : Departemen

Kesehatan RI

45

Page 46: laporan kasus RS Tabanan Bali

Dipiro, J. T., Barbara G. W. 2005. Pharmacotherapy Handbook Fifth Edition.

USA. Mc. Graw-Hill.

Mycek, M.J., Richard. A.H., Pamela, C.C. 2001. Farmakologi Edisi 2. Jakarta.

Widya Medika.

Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohado., Idrus Alwi,dkk. 2006. Ilmu Penyakit dalam Jilid 1. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Sukandar, Elin Yulinah., Retnosari Andrajati., Joseph I Sigit, dkk. 2008. Iso

Farmakoterapi. Jakarata : PT. ISFI Penerbitan

Tim Penyusun. 2008. MIMS Indonesia, Petunjuk Konsultasi. Jakarta. CMD

Medika.

Tim Penyusun. 2009. PIO (Pelayanan Informasi Obat). Jakarta. Departemen

Kesehatan Republik Indonesia

Tjay, T.H. dan Kirana R. 2007. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan, dan

Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta. Elex Media Komputindo.v

Yulinah, S., Retnosari A., Josepf S., Ketut A., Adji P.S., Kusnandar. 2008. ISO

Farmakoterapi. Jakarta. PT.ISFI Penerbitan.

46