LAPORAN KASUS POLIKLINIK I. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. S / SMA Nama suami : Tn. S / SMA Umur : 24 tahun Umur : 31 tahun Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Swasta Agama : Islam Agama : Islam Alamat : Kramat Jati Tanggal Periksa : 16 April 2013 Dokter Pemeriksa : dr. Iwan , Sp.OG II. ANAMNESA Keluhan Utama : Menstruasi yang berkepanjangan Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke poliklinik RSUD Ps. Rebo pada 16 April 2013 dengan keluhan menstruasi yang berkepanjangan sejak dua bulan terakhir. Pasien mengaku ada waktu dimana menstruasi sempat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN KASUS POLIKLINIK
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S / SMA Nama suami : Tn. S / SMA
Umur : 24 tahun Umur : 31 tahun
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Kramat Jati
Tanggal Periksa : 16 April 2013
Dokter Pemeriksa : dr. Iwan , Sp.OG
II. ANAMNESA
Keluhan Utama :
Menstruasi yang berkepanjangan
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke poliklinik RSUD Ps. Rebo pada 16 April 2013 dengan keluhan
menstruasi yang berkepanjangan sejak dua bulan terakhir. Pasien mengaku ada waktu dimana
menstruasi sempat berhenti sekitar satu sampai dua hari kemudian pasien kembali
menstruasi. Pasien mengaku selama menstruasi yang berkepanjangan ini, pasien berganti
pembalut sebanyak empat sampai lima pembalut dalam sehari. Pasien juga mengeluh adanya
nyeri perut bagian bawah apabila sedang menstruasi. Pasien mengaku menstruasi pertama
kali pada umur 12 tahun, dan selama menstruasi sampai sekarang siklus menstruasi tidak
teratur, karena dalam waktu satu bulan bisa mengalami dua kali menstruasi.
Riwayat penyakit dahulu :
Siklus menstruasi pasien sejak awal menstruasi tidak teratur.
Riwayat Operasi : (-)
Riwayat Perkawinan
Pernikahan pertama, menikah selama 4 tahun.
Riwayat Obstetri :
No Kehamilan, Partus, Abortus Umur Keadaan Anak
1 Laki-laki/aterm/2900gr/bidan/
spt
3 tahun Hidup
III. PEMERIKSAAN FISIK :
1. Keadaan umum : Baik
2. Tanda vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,5 oC
BB : 69 Kg
3. Mata : Konjungtiva : CA -/-
Sklera : SI -/-
IV. PEMERIKSAAN OBSTETRI :
Pemeriksaan Luar :
Mons pubis : tidak ada kelainan
Labia majus/minus : tidak ada kelainan
Pemeriksaan Dalam :
Vulva/vagina : tidak ada kelainan
Portio : licin
Masih terdapat darah yang keluar melalui vagina
V. RESUME
Pasien perempuan usia 24 tahun datang ke poliklinik RSUD Ps. Rebo dengan keluhan
menstruasi yang berkepanjangan sejak dua bulan terakhir. Pasien mengaku ada waktu dimana
menstruasi sempat berhenti sekitar satu sampai dua hari kemudian pasien kembali
menstruasi. Pasien mengaku selama menstruasi yang berkepanjangan ini, pasien berganti
pembalut sebanyak empat sampai lima pembalut dalam sehari. Pasien juga mengeluh adanya
nyeri perut bagian bawah apabila sedang menstruasi.
Pada pemeriksaan luar mons pubis tidak ada kelainan, labia majus atau minus tidak ada
kelainan.
Pada pemeriksaan dalam vulva atau vagina tidak tampak kelainan, portio licin, masih
terdapat darah yang keluar melalui vagina.
VI. DIAGNOSA
Perdarahan Uterus Disfungsional
VII. PENATALAKSANAAN
Analgetik : Asam mefenamat 3 x 1
Anti fibrinolitik : Asam traneksamat 3 x 1
VIII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Functionam : ad bonam
PEMBAHASAN
Menstruasi adalah perdarahan vagina secara berkala akibat terlepasnya lapisan
endometrium uterus. Fungsi menstruasi normal merupakan hasil interaksi antara
hipotalamus, hipofisis, dan ovarium dengan perubahan-perubahan terkait pada jaringan
sasaran pada saluran reproduksi normal, ovarium memainkan peranan penting dalam proses
ini, karena tampaknya bertanggung jawab dalam pengaturan perubahan-perubahan siklik
maupun lama siklus menstruasi (Greenspan, 1998).
Lamanya siklus menstruasi yang normal atau dianggap sebagai siklus menstruasi klasik
adalah 28 hari ditambah atau dikurangi dua sampai tiga hari. Siklus ini dapat berbeda-beda pada
wanita yang normal dan sehat.
Pada tahap siklus dikenal tiga masa utama adalah sebagai berikut :
1. Masa menstruasi selama dua sampai delapan hari. Pada waktu itu endometrium
dilepas sedangkan pengeluaran hormone-hormon ovarium paling rendah (minimum).
2. Masa proliferasi sampai hari keempat belas. Pada waktu itu endometrium tumbuh
kembali, disebut juga endometrium mengadakan proliferasi. Antara hari kedua belas
dan keempat belas dapat terjadi pelepasan ovum dari ovarium yang disebut ovulasi.
3. Sesudahnya, dinamakan masa sekresi. Pada ketika itu korpus rubrum menjadi korpus
luteum yang mengeluarkan progesterone. Di bawah pengaruh progesterone ini,
kelenjar endometrium yang tumbuh berlekuk-lekuk mulai bersekresi dan
mengeluarkan getah yang mengandung glikogen dan lemak. Pada akhir masa ini
stroma endometrium berubah kea rah sel-sel desidua, terutama yang berada pada
seputar pembuluh-pembuluh arterial. Pada keadaan ini memudahkan untuk terjadinya
nidasi.
Dalam proses ovulasi bukan hanya harus ada suatu kerja sama yang harmoni antara
korteks serebri, hypothalamus, hipofisis, ovarium, melainkan pengaruh pula dari glandula
tiroidea, korteks adrenal, dan kelenjar-kelenjar endokrin lain. Ternyata prostaglandin dan
serotonin mempunyai peranan dalam ovulasi yang mempengaruhi hypothalamus dan hipofisis,
dan didapatkan pula pengaruh ACTH terhadap orteks adrenal dikaitkan dengan sistem renin
angiotensin di ovarium pada ovulasi.
Dalam sistem endokrin beberapa susunan syaraf pusat tertentu seperti glandula pinealis,
glandula amygdale, dan hipokampus mempunyai hubungan neural dan humoral yang disebut
dengan hubungan neurohumoral dengan hipthalamus dan hipofisis. Di dalam hypothalamus
terdapat releasing hormones dalam jumlah yang sedikit sekali. Zat-zat ini adalah polipeptida
yang kecil sekali, terdiri atas sejumlah asam amino tertentu.
a. FSH – RH : merangsang hipofisis untuk mengeluarkan FSH
b. LH – RH : merangsang hipofisis untuk mengeluarkan LH
c. PIH ( prolactine inhibiting hormone ) : menghambat hipofisis untuk mengeluarkan
prolaktin
d. Beberapa RH untuk somatotropin, TSH dan ACTH
Pada tiap siklus menstruasi FSH dikeluarkan oleh lobus anterior hipofisis yang
menimbulkan beberapa folikel primer yang dapat berkembang dalam ovarium. Umumnya satu
folikel, terkadang dapat lebih dar satu, dan berkembang menjadi folikel de Graaf yang membuat
estrogen. Estrogen ini menekan produksi FSH, sehingga lobus anterior hipofisis dapat
mengeluarkan hormone gonadotropin yang kedua yaitu LH.
Penyaluran releasing hormone sangat dipengaruhi oleh umpan balik estrogen terhadap
hypothalamus. Dan juga dipengaruhi factor eksternal seperti cahaya, bau-bauan melalui bulbus
olfaktorius, dan hal-hal psikologik.
Bila penyaluran RH normal berjalan baik, maka produksi gonadotropin akan baik pula,
sehingga folikel de Graaf selanjutnya akan menjadi matang dan makin banyak terisi likuor
follikuli yang mengandung estrogen. Estrogen mempunyai pengaruh terhadap endometrium dan
menyebabkan endometrium tumbuh atau berproliferasi yang disebut dengan masa proliferasi.
Di bawah pengaruh LH folikel de Graaf menjadi lebih matang, mendekati permukaan
ovarium, dan kemudian terjadilah ovulasi ( ovum lepas dari ovarium ). Pada ovulasi terkadang
terdapat perdarahan sedikit yang merangsang peritoneum dipelvis, sehingga dapat timbul rasa
sakit yang disebut intermenstrual pain ( Mittelschmerz ) dan dapat pula diikuti oleh perdarahn
pervagina sedikit. Setelah ovulasi terjadi, dibetuklah korpus rubrum ( berwarna merah oleh
karena perdarahan tersebut ) yang kemudian menjadi korpus luteum (warnanya menjadi kuning )
di bawah pengatuh-pengaruh hormone LH dan LTH ( luteotropic hormones) suatu hormone
gonadotropin juga.
Bila tidak ada pembuahan, korpus luteum berdegenerasi dan ini mengakibatkan bahwa
kadar estrogen dan progesterone menurun. Menurunnya kadar estrogen dan progesterone
menimbulkan efek arteri yang berlekuk-lekuk di endometrium. Tampak dilatasi dan statis dengan
hyperemia yang diikuti oleh spasme dan iskemia. Sesudah itu terjadi degenerasi serta perdarahan
dan pelepasan endometrium yang nekrotik, proses ini disebut haid atau mensis. Bila terdapat
pembuahan dalam masa ovulasi, maka korpus luteum tersebut akan dipertahankan dan dapat
berkembang menjadi korpus luteum.
PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL
Adalah perdarahan abnormal dari uterus baik dalam jumlah, frekuensi maupun lamanya,
yang terjadi didalam atau diluar haid sebagai wujud klinis gangguan fungsional mekanisme kerja
poros hipotalamus-hipofisis-ovarium, endometrium tanpa kelainan organik alat reproduksi,
seperti radang, tumor, keganasan, kehamilan atau gangguan sistemik lain.
Perdarahan uterus disfungsional dapat berlatar belakang kelainan-kelainan ovulasi, siklus
haid, jumlah perdarahan dan anemia yang ditimbulkannya. Berdasarkan kelainan tersebut maka
perdarahan uterus disfungsional dapat dibagi seperti table 1.
Tabel 1. Latar belakang kelainaan perdarahan uterus disfungsional (PUD)
dan bentuk kelainannya.
Dasar kelainan Bentuk klinis
Ovulasi PUD ovulatorik
PUD anovulatorik
Siklus Metroragia
Polimenorea
Oligomenorea
Amenorea
Jumlah perdarahan Menoragia
Perdarahan bercak prahaid
Perdarahan bercak paskahaid
Anemia PUD ringan
PUD sedang
PUD berat
Tiga kategori yang berhubungan dengan PUD yaitu estrogen breakthrogh bleeding,
estrogen wthdrawal bleeding dan progestin breakthrough bleeding.
Estrogen breakthrough bleeding timbul bila estrogen berlebihan menstimulasi
endometrium untuk berproliferasi. Dengan progesteron yang kurang endometrium lepas
dengan interval yang irreguler dan menyebabkan vasokonstriksi tidak adekuat dan
menyebabkan perdarahan. Bila kadar estrogen tinggi maka perubahan yang terjadi
berlangsung lama dan dalam jumlah banyak.
Estrogen withdrawal bleeding disebabkan kadar estrogen yang tiba-tiba rendah misal
setelah ooforektomi bilateral, penghentian terapi estrogen eksogen atau sebelum ovulasi
pada siklus menstruasi yang normal. Hal ini biasanya dapat sembuh dengan sendirinya
dan cenderung tidak timbul bila kadar estrogen tetap rendah. Perdarahan yang terjadi
relatif sedikit.
Progestin breakthrough bleeding timbul bila rasio progesteron/estrogen tinggi seperti
pada pemberian kontrasepsi yang mengandung progesteron. Endometrium menjadi atrofi
dan ulserasi oleh karena kekurangan estrogen dan menyebabkan perdarahan irreguler.
Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada siklus
ovulatorik dimana dasarnya adalah ketidakseimbangan hormonal akibat umur korpus luteum
yang memendek atau memanjang, insufisiensi atau persistensi korpus luteum. Perdarahan uterus
disfungsional pada wanita dengan siklus anovulatorik muncul sebagai perdarahan reguler dan
siklik.
Sedang pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik perdarahan abnormal terjadi
pada siklus anovulatorik dimana dasarnya adalah defisiensi progesterone dan kelebihan
progesterone akibat tidak terbentuknya korpus luteum aktif, karena tidak terjadinya ovulasi.
Dengan demikian khasiat estrogen terhadap endometrium tak ber lawan. Hampir 80% siklus
mens anovulatorik pada tahun pertama menars dan akan menjadi ovulatorik mendekati 18-20
bulan setelah menars.
Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah per darahan pada satu saat
lebih dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang dan memerlukan tindakan penghentian
perdarahan segera. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis jika perdarahan pada satu
saat kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak tidak hilang dalam 2 siklus berurutan
atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari perdarahan setiap siklusnya lebih dari 8 hari, tidak
memerlukan tindakan penghentian perdarahan segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan
perdarahan uterus disfungsional akut.
PATOFISIOLOGI PUD
Berdasarkan gejala klinis perdarahan uterus disfungsional dibedakan dalam bentuk akut dan
kronis. Sedangkan secara kausal perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus
ovulatorik, anovulatorik maupun pada keadaan dengan folikel persisten.
a. Pada siklus ovulatorik, perdarahan dapat dibedakan menjadi:
Perdarahan pada pertengahan siklus
- Perdarahan yang terjadi sedikit dan singkat
- Penyebabnya karena rendahnya kadar estrogen
Perdarahan akibat gangguan pelepasan endometrium
- Biasanya terjadi banyak, memanjang
- Penyebabnya adanya korpus luteum persisten, kadar estrogen rendah sedang
progesteron terus terbentuk.
Perdarahan bercak, pra haid dan pasca haid
- Hal ini disebabkan insufisiensi korpus luteum sedangkan pasca haid disebabkan oleh
karena defisiensi estrogen sehingga regenerasi endometrium terganggu.
b. Pada siklus anovulatorik, dasar perdarahan pada keadaan ini adalah tidak adanya ovulasi
karena tidak terbentuk korpus luteum yang disebabkan oleh defisiensi progesteron dan
kelebihan estrogen. Perdarahan yang terjadi dapat normal, sedikit atau banyak dengan siklus
yang teratur atau tidak teratur.
c. Perdarahan uterus disfungsional pada keadaan folikel persisten sering dijumpai pada masa
perimenopause dimana terjadi hiperplasi endometrium oleh karena pengaruh estrogen baik
jenis adenomatosa maupun atipik. Mula-mula haid biasa kemudian terjadi perdarahan bercak
yang selanjutnya dan diikuti perdarahan yang makin banyak terus-menerus dan disertai
gumpalan.
DIAGNOSA
Diagnosa PUD secara umum ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Hal yang pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan adanya
kelainan - kelainan organic, sistemik, imunologi, keganasan dan kehamilan.
1. Anamnesis
Riwayat penyakit perlu diketahui usia menarche. Siklus haid setelah menarche, lama dan jumlah
darah haid, serta latar belakang kehidupan keluarga dan latar belakang kepribadian.
2. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai kemungkinan adanya sebab lain yang dapat
menimbulkan PUD. Perlu dinilai adanya hipo/hipertiroid dan gangguan hemostasis seperti
petekie.
b. Pemeriksaan ginekologik
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan adanya kelainan organik seperti
perlukaan genitalia, erosi/radang atau polip serviks, mioma uteri, dll. Pada wanita usia
pubertas biasanya umumnya tidak diperlukan kerokan.
Pada wanita premenopause perlu dilakukan untuk memastikan ada tidaknya keganasan.
c. Pemeriksaan penunjang
Kelainan organik yang kecil pada genitalia interna seringkali sulit dinilai apalagi pada
wanita yang belum menikah, penilaian yang dilakukan per rectal lebih sulit.
Untuk itu dianjurkan penggunaan alat bantu diagnostic, seperti :
1. Biopsy endometrium (pada wanita yang sudah menikah)
2. Laboratorium darah dan fungsi hemostasis
3. Ultrasonografi (USG)
4. Tera radioimunologik (TRI) atau radio imuno assay
D. Diagnosis anovulasi
Penetapan ada atau tidaknya ovulasi cukup berperan pada penentuan jenis PUD
Characteristics of ovulatory and anovulatory menstrual cycles
Ovulatory cycles Anovulatory cycles
Regular cycle length
Presence of premenstrual symptoms
Dysmenorrhea
Breast tenderness
Change in cervical mucus
Mittleschmertz
Biphasic temperature curve
Positive result from use of luteinizing
Hormone predictor hit
Unpredictable cycle length
Unpredictable bleeding pattern
Frequent spotting
Infrequent heavy bleeding
Monophasic temperature curve
PENATALAKSANAAN SECARA UMUM PERDARAHAN UTERUS
DISFUNGSIONAL
Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum perlu memperhatikan faktor-
faktor berikut:
a. Umur, status pernikahan, fertilitas.
Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada tingkatan perimenars, reproduksi
dan perimenopause. Penanganan juga seringkali berbeda antara penderita yang telah
dan belum menikah atau yang tidak dan yang ingin anak.
b. Berat, jenis dan lama perdarahan.
Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak atau
tidak.
c. Kelainan dasar dan prognosisnya.
Pengobatan kausal dan tindakan yang lebih radikal sejak awal telah dipikirkan jika dasar
kelainan dan prognosis telah diketahui sejak dini.
Pada dasarnya tujuan penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional adalah:
1. Memperbaiki keadaan umum.
2. Menghentikan perdarahan.
3. Mengembalikan fungsi hormon reproduksi.
Yang meliputi: pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus
anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi persyaratan untuk
pemicuan ovulasi.
4. Menghilangkan ancaman keganasan.
Lima prinsip dasar penatalaksanaan PUD :
1. Singkirkan dahulu kelainan organic/darah
2. Bila terjadi perdarahan banyak /keadaan umum wanita jelek /anemia, hentikan perdarahan
segera dengan injeksi estrogen atau dengan progesterone, kemudian tranfusi.
3. Perdarahan yang tidak sampai mengganggu keadaan umum pasien, pengobatannya cukup
dengan estrogen dan atau progesterone oral saja.
4. Setelah perdarahan dapat dihentikan /gangguan haid dapat diatasi, maka tindakan
selanjutnya adalah mengatur siklus haid penderita tersebut tiga bulan berturut – turut
5. Setelah tiga bulan pengaturan siklus haid, keadaan kembali seperti semula maka harus dicari
penyebab lain ( analisis hormonal)
Secara singkat langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Perbaikan keadaan umum
Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk, pada keadaan
perdarahan uterus disfungsional akut anemia yang terjadi harus segera diatasi dengan transfusi
darah. Pada perdarahan uterus disfungsional kronis keadaan anemia ringan seringkali dapat
diatasi dengan diberikan sediaan besi, sedangkan anemia berat membutuhkan transfusi darah.
2. Penghentian perdarahan
Pemakaian hormon steroid seks.
a. Estrogen
Dipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan perdarahan karena
memiliki berbagai khasiat yaitu:
1. Penyembuhan luka (healing effect)
2. Pembentukan mukopolisakarida pada dinding pembuluh darah
3. Vasokonstriksi, karena merangsang pembentukan prostaglandin
4. Meningkatkan pembentukan trombin dan fibrin serta menghambat proses fibrinolisis.
b. Progestin
Berbagai jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat menghentikan perdarahan.
Beberapa sedian tersebut antara lain adalah noretisteron, MPA, megestrol asetat,
didrogesteron dan linestrenol.
Noretisteron dapat menghentikan perdarahan setelah 24-48 jam dengan dosis 20-30
mg/hari, medroksiprogesteron asetat dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, megestrol
asetat dengan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, serta linestrenol
dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari. Uraian lebih rinci terhadap pemakaian progestin
ini akan diberikan pada bagian tersendiri .
c. Androgen
Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tak cocok dengan estrogen dan progesterone.
Sediaan yang dapat dipakai antara lain adalah isoksasol (danazol) dan metil testosteron
(danazol merupakan suatu turunan 17--etinil-testosteron). Dosis yang diberikan adalah
200 mg/hari selama 12 minggu. Perlu diingat bahwa pemakaian jangka panjang sediaan
androgen akan berakibat maskulinisasi.
Pemakaian penghambat sintesis prostaglandin.
Pada peristiwa perdarahan, prostaglandin penting peranannya pada vaskularisasi
endometrium. Dalam hal ini PgE2 dan PgE2 meningkat secara bermakna. Dengan dasar itu,
penghambat sintesis prostaglandin atau obat anti inflamasi non steroid telah dipakai untuk
pengobatan perdarahan uterus disfungsional, terutama perdarahan uterus disfungsional
anovulatorik. Untuk itu asam mefenamat dan naproksen seringkali dipakai dosis 3 x 500
mg/hari selama 3-5 hari terbukti mampu mengurangi perdarahan.
Pemakaian antifibrinolitik
Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara local pada perdarahan uterus
disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas fibrinolitik yang diakibatkan oleh kerja
enzimatik. Proses ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan dasar untuk mengatasi
penumpukan fibrin. Unsur utama pada system fibrinolitik itu adalah plasminogen, yang bila
diaktifkan akan mengeluarkan protease palsmin.
Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi plasmin, sehingga proses
fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan yang ada untuk keperluan ini adalah asam
amino kaproat (dosis yang diberikan adalah 4 x 1-1,5 gr/hari selama 4-7 hari).
Pengobatan operatif
Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan histerektomi.
Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis pengobatan operatif pada
perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok dari kuretase pada perdarahan uterus
disfungsional adalah untuk diagnostik, terutama pada umur diatas 35 tahun atau
perimenopause. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya frekuensi keganasan pada usia
tersebut. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan karena menghilangkan daerah
nekrotik pada endometrium. Ternyata dengan cara tersebut perdarahan akut berhasil
dihentikan pada 40-60% kasus.
Namun demikian tindakan kuretase pada perdarahan uterus disfungsional masih
diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah masalah pada organ sasaran tanpa
menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan kambuhnya cukup tinggi (30-40%
sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang. Beberapa ahli bahkan tidak menganjurkan
kuretase sebagai pilihan utama untuk menghentikan perdarahan pada perdarahan uterus
disfungsional, kecuali jika pengobatan hormonal gagal menghentikan perdarahan.
Pada ablasi endometrium dengan laser ketiga lapisan endometrium diablasikan dengan
cara vaporasi neodymium YAG laser. Endometrium akan hilang permanen, sehingga
penderita akan mengalami henti haid yang permanen pula. Cara ini dipilih untuk penderita
yang punya kontrindikasi pembedahan dan tampak cukup efektif sebagai pilihan lain dari
histerektomi, tetapi bukan sebagai pengganti histerektomi.
Tindakan histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus
memperhatikan usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini merupakan
pilihan terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau menopause, histerektomi
harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan yang menetap atau berulang. Selain itu
histerektomi juga dilakukan untuk perdarahan uterus disfungsional dengan gambaran
histologis endometrium hiperflasia atipik dan kegagalan pengobatan hormonal maupun
dilatasi dan kuretase.
3. Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi
Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus
anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi persyaratan
untuk pemicuan ovulasi.
Siklus ovulatorik.
Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik secara klinis tampil sebagai polimenorea,
oligomenorea, menoragia dan perdarahan pertengahan siklus, perdarahan bercak prahaid atau
pasca haid. Perdarahan pertengahan siklus diatasi dengan estrogen konjugasi 0,625-1,25
mg/hari atau etinilestradiol 50 mikogram/ hari dari hari ke 10 hingga hari ke 15. Perdarahan
bercak prahaid diobati dengan progesterone (medroksi progestron asetat atau didrogestron)
dengan dosis 10 mg/hari dari hari ke 17 hingga hari ke 26. Beberapa penulis menggunakan
progesterone dan estrogen pada polimenorea dan menoragia dengan dosis yang sesuai
dengan kontrasepsi oral, mulai hari ke 5 hingga hari ke 25 siklus haid.
Siklus anovulatorik.
Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik mempunyai dasar kelainan kekurangan
progesterone. Oleh karena itu pengobatan untuk mengembalikan fungsi hormon reproduksi
dilakukan dengan pemberian progesterone, seperti medroksi progesterone asetat dengan dosis
10-20 mg/hari mulai hari ke 16-25 siklus haid. Dapat pula digunakan didrogesteron dengan
dosis 10-20 mg/hari dari hari 16-25 siklus haid, linestrenol dengan dosis 5-15 mg/hari selama
10 hari mulai hari hari ke 16-25 siklus haid. Pengobatan hormonal ini diberikan untuk 3
siklus haid. Jika gagal setelah pemberian 3 siklus dan ovulasi tetap tak terjadi, dilakukan
pemicuan ovulasi. Pada penderita yang tidak menginginkan anak keadaan ini diatur dengan
penambahan estrogen dosis 0,625-1,25 mg/hari atau kontrasepsi oral selama 10 hari, dari hari
ke 5 sampai hari ke 25.
PENGGUNAAN PROGESTIN UNTUK PENGOBATAN PERDARAHAN
UTERUS DISFUNGSIONAL KRONIS1
Pengobatan perdarahan uterus disfungsional kronis dengan hormon progesterone
didasarkan pada gejala klinis dan patofisiologinya. Pada perdarahan uterus disfungsional
anovulatorik maksud pemberian progesteron selain untuk menghentikan perdarahan, juga adalah
untuk mengembalikan panjang siklus haid kebatas normal.
Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik. Bentuk klinis perdarahan uterus disfungsional
ovulatorik adalah oligomenorea dan polimenorea. Pada oligomenorea dasar dari terjadinya
perdarahan ini adalah fase proliferasi yang memanjang atau fase sekresi yang memanjang. Pada
fase proliferasi yang memanjang diberikan progesterone selama 10 hari, mulai hari ke 15 hingga
hari ke 25 siklus haid. Sedangkan pada fase sekresi yang memanjang progesterone diberikan
mulai hari ke 17 sampai hari ke 25.
Perdarahan uterus disfungsional karena kelainan korpus luteum. Kelainan korpus luteum dapat
berupa insufisiensi korpus luteum atau korpus luteum persisten (memanjang).
Bentuk klinis pada insufisiensi korpus luteum adalah bercak prahaid dan polimenorea.
Kedua kelainan ini diobati dengan progestron mulai hari ke 17 hingga hari ke 26. Korpus luteum
persisten akan menimbulkan bentuk klinik oligomenorea, seperti juga pada oligomenorea yang
lain, disini juga diberikan progesterone mulai hari ke 15 hingga hari ke 25.