Top Banner
LAPORAN KASUS I RINOSINUSITIS MAKSILARIS KRONIS Oleh : Nama : Lis Dekayanti NIM : 04.06.0007 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2011
29

LAPORAN KASUS hendra

Aug 12, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: LAPORAN KASUS hendra

LAPORAN KASUS I

RINOSINUSITIS MAKSILARIS KRONIS

Oleh :

Nama : Lis Dekayanti

NIM : 04.06.0007

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2011

Page 2: LAPORAN KASUS hendra

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi.

Sinus – sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai

dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus

etmoidalis. (Higler, 1997)

Sinus yang alam keadaan fisiologis adalah steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau

tersumbat, akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk perkembangan organisme

patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi

sekret ini, maka terjadilah sinusitis. (Mangunkusumo, 2007)

Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia. Sinusitis bakterial

adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima milyar

dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya

dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat. Berdasarkan fakta

tersebut diatas, sinusitis adalah penyakit yang penting untuk diketahui oleh seorang praktisi

kesehatan. Dan sinusitis yang paling banyak ditemukan adalah sinusitis maksilaris. Oleh

karena itu tema ini diangkat agar diagnosis, dan penanganan sinusitis maksilaris bisa

dimengerti dengan lebih baik. (Patel, 2005)

Page 3: LAPORAN KASUS hendra

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi

Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi.

Sinus – sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai

dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus

etmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi,

yang mampu mengkasilkan mukus, dan bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam

kavum nasi. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara. (Higler, 1997)

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila

bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran

maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus

ialah permukaan fasial os maksilla yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah

permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,

dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan

palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara

ke hiatus semi lunaris melalui infundibulum etmoid. Suplai darah terbanyak melalui cabang

dari arteri maksilari. Inervasi mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris

(Mangunkusumo, 2007)

Page 4: LAPORAN KASUS hendra

2. Definisi Rinosinusitis Maksilaris

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-

hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh

dunia. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus parasanal. Umumnya disertai

atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah

selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh

infeksi bakteri (Mangunkusumo, 2007)

3. Epideomologi

Rinosinusitis merupakan penyakit sinus paranasal yang paling ditemukan menyerang

14% atau 31 juta orang dewasa tiap tahun di Eropa, rinosinusitis diperkirakan mengenai 10-

30% populasi. Di Amerika, lebih dari 30 juta penduduk per tahun menderita rinosinusitis.

Insidens di Amerika dilaporkan sebesar 135 per 1000 populasi pertahun.

4. Etiologi

Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi dalam

terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia, yang

akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika,

barotrauma, atau iritan kimia. Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell

carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegener’s granulomatosis atau rhinoskleroma)

juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan

perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan

mengganggu pengeluaran mukus. Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor

resiko mayor untuk infeksi nosokomial di unit perawatan intensif. (Rubin, 2005)

Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk virus, bakteri,

dan jamur. Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus

influenza.3 Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenzae, dan moraxella catarrali. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan

sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan

jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun,

Page 5: LAPORAN KASUS hendra

yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi

antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella,

Aspergillus, dan Fusarium. (Rubin, 2005)

Patogenesis

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens

mokosiliar (muccociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi

antimikrobial dan zat-zat yang bersifat sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman

yang masuk bersama udara pernafasan ( Mangunkusumo, 2007).

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,

mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium

tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan

terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-

bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan (Mangunkusumo,

2007).

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik

untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut

sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik (Mangunkusumo, 2007).

Jika terapi ini tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi

berlanjut terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak

dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa

menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini

mungkin diperlukan tindakan operasi (Mangunkusumo, 2007).

Manifestasi Klinis

Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak

jelas biasanya reda dengan pemberian analgetika biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak,

penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, seperti sewaktu naik atau turun

tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada

palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau

Page 6: LAPORAN KASUS hendra

busuk. Batuk inisiatif non-produktif seringkali ada. Transluminasi berkurang bila sinus penuh

cairan (Higler, 1997)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-

endoskoi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah

adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di

meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) (Mangunkusumo, 2007).

Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada

pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius (Mangunkusumo, 2007).

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos

posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar

seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan

(air fluid level) atau penebalan mukosa (Mangunkusumo, 2007).

CT scan sinus merupakan gold standartd diagnosis sinusitis karena mampu menilai

anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan

perluasannya. Namun karema hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusits kronik

yang tidak membaik dengan pengobatan dan pra-operasi sebagai panduan operator saat

melakukan operasi sinus (Mangunkusumo, 2007).

Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit menjadi suram atau gelap.

Pemeriksaan suda jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya (Mangunkusumo,

2007).

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret

dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotikyang tepat guna. Lebih baik lagi bila

diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusumo, 2007).

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi yang menembus dinding medial sinus maksila

melalui meatus inferior, dengan alat endoskop, bisa dilihat kodisi sinus maksila yang

sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusumo, 2007).

Page 7: LAPORAN KASUS hendra

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang (Mangunkusumo, 2007).

Sinusitis juga dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada tahun

1997, American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS),

menerbitkan kriteria diagnosis berdasarkan gejala dan tanda sinonasal, yang dibagi menjadi

kriteria mayor dan minor. Terdapatnya 2 atau lebih tanda mayor, atau 1 mayor dan 2 minor,

maka dikatakan sugestif sinusitis (Lane, 1997)

Tabel 1. Kriteria diagnosis sinusitis

Mayor MinorNyeri atau rasa tertekan pada wajah

Sekret nasal purulen

Demam

Kongesti nasal

Obstruksi nasal

Hiposmia atau anosmia

Sakit kepala

Batuk

Rasa lelah

Halitosis

Nyeri gigi

Nyeri atau rasa tertekan pada telingaDiagnosis memerlukan dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

Tatalaksana

Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan 2) mencegah komplikasi

dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di

KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami (Mangunkusumo, 2007).

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial,

untuk menghilangkan infeksi dan embengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium

sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan pinisilin seperti amoksisislin. Jika

diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan

amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik

diberikan selam 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Mangunkusumo, 2007).

Page 8: LAPORAN KASUS hendra

Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan

anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika perlukan seperti

analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau

pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya

dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan

antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proesz displacement therapy juga

merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika

pasien menderita kelainan alergi yang berat (Mangunkusumo, 2007).

Pemilihan antibiotik yang sesuai harus didasarkan pada organisme penyebab yang

paling sering ditemukan, keadaan klinis pasien dan kemungkinan resistensi pada komunitas.

Pemberian terapi antibiotik biasanya selama 14 hari. Terapi lini pertama pada banyak center

biasanya adalah golongan penisilin atau makrolida pada pasien yang alergi terhadap penisilin,

karena pertimbangan harga, ketersediaan dan toksisitas yang rendah dari agen tersebut.

Amoksisilin harus diberikan 2 kali dari dosis biasanya (80-90 mg/kg/hari), khususnya pada

daerah yang diketahui terdapat resistensi dari S. pneumonia (Sobol, 2009).

Pasien yang tinggal pada komunitas dengan insiden resistensi organisme yang tinggi,

yang gagal memberikan respon terhadap terapi awal selama 48-72 jam, dan pada pasien

Page 9: LAPORAN KASUS hendra

dengan gejala yang persisten selama 10-14 hari, harus dipertimbangkan untuk mendapatkan

terapi lini kedua. Agen lini kedua yang paling banyak digunakan adalah amoksisilin-asam

klavulanat, sefalosporin genetasi kedua atau ketiga (cefuroxime, cefpodoxime, cefdinir),

makrolida (clalithromycin), fluoroquinolon (ciprofloxacin, levofloxacin) dan klindamisin

(Sobol, 2009).

Pada pasien dengan sinusitis dentogen, dengan pengeluaran discharge yang berbau

busuk, pemberian antibiotik seperti klindamisin atau amoksisilin ditambah dengan

metronidazole untuk kuman anaerob perlu untuk diberikan. Sedangkan untuk pasien dengan

sinusitis aku nosokomial, diperlukan antibiotik intravena yang adekuat terhadap kuman gram

negatif. Antibiotik aminoglikosida adalah obat yang sering digunakan, karena aktivitas yang

sangat baik pada kuman gram negatif dan penetrasinya ke dalam sinus. Pemilihan antibiotik

biasanya didasarkan pada hasil kultur bakteri yang berasal sekresi maksila.

Pada penatalaksanaan bedah, pencegahan komplikasi pada sinusitis akut dapat

diantisipasi dengan pemberian antibiotik intravena. Sefalosporin generasi ketiga (cefotaxime,

ceftriaksone) yang dikombinasikan dengan vancomycin, dapat menghasilkan penetrasi yang

adekuat ke intrakranial, sehingga membuat obat tersebut sebagai lini pertama yang dapat

digunakan (Sobol, 2009).

Page 10: LAPORAN KASUS hendra

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi terkini untuk

sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua

jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan

lebih ringan dan tindakan radikal (Mangunkusumo, 2007).

Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat,

sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya

komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur (Mangunkusumo, 2007).

Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan

eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial (Mangunkusumo, 2007).

Page 11: LAPORAN KASUS hendra

Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata

(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid kemudian

sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui

tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul

ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses

orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus

Kelainan intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses

otak dan trombosis sinus kavernosus

Osteomielitis dan

abses subperiostal.

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan

pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul

fistula oroantral aau fistula pada pipi

Kelainan paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus

paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.

Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang

sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

Page 12: LAPORAN KASUS hendra

BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama pasien : Ny. “SN”

Umur : 47 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Bima

Tanggal Pemeriksaan : 22 November 2011

ANAMNESIS

Keluhan utama:

Keluar cairan kental berwarna kehijauan

Riwayat penyakit sekarang:

Os datang dengan keluhan keluar cairan kental berwarna kehijauan dari rongga hidung

sejak 3 hari yang lalu pada kedua hidung. Pasien mengaku cairan yang keluar berbau

amis. Terkadang cairan masuk sampai ke tenggorokan. Pasien sering mengalami batuk

dan pilek berulang sejak 5 bulan yang lalu. Selain itu, pasien juga mengeluh sering

merasakan pusing seperti ditusuk-tusuk dan kepala terasa berat. Kepala dirasakan terasa

berat terutama pada saat bangun pagi hari. Tidak terdapat keluhan demam, mual dan

muntah.

Riwayat penyakit dahulu:

Riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-), riwayat menderita sakit gigi (-). Tidak

terdapat riwayat trauma atau dirawat dirumah sakit

Riwayat penyakit keluarga/sosial: -

Riwayat pengobatan: -

Page 13: LAPORAN KASUS hendra

Riwayat alergi:

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, tidak pernah meler

dan bersin-bersin saat terkena debu atau dingin.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital :

Tensi : 130/80 mmHg

Nadi : 74 x/menit

Respirasi : 16 x/menit

Suhu : 36,9⁰C

Status Lokalis

Pemeriksaan telinga

No. Pemeriksaan

Telinga

Telinga kanan Telinga kiri

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas

normal, hematoma (-), nyeri

tarik aurikula (-)

Bentuk dan ukuran dalam batas

normal, hematoma (-), nyeri

tarik aurikula (-)

3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-), otorhea

(-)

Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-), otorhea

(-)

Page 14: LAPORAN KASUS hendra

4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-),cone of light (+)

Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-),cone of light (+)

Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri

Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-),

nyeri tekan (-), deformitas (-)

Bentuk (normal), hiperemi (-),

nyeri tekan (-), deformitas (-)

Rinoskopi anterior

Vestibulum nasi Hiperemis (+), sekret (+) Hiperemis (+), sekret (+)

Cavum nasi Bentuk (normal), hiperemia (+) Bentuk (normal), hiperemia (+)

Meatus nasi media Mukosa hiperemis, sekret (+,

kehijauan kental), massa berwarna

putih mengkilat (-).

Mukosa hiperemis, sekret (+,

kehijauan kental), massa

berwarna putih mengkilat (-).

Konka nasi inferior Edema (+), mukosa hiperemi (+) Edema (+), mukosa hiperemi (+)

Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus

(-)

Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus

(-)

Page 15: LAPORAN KASUS hendra

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)

Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda

Geligi Normal

Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)

Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)

Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)

Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),

lender (-)

Tonsila palatine kanan Kiri

T1 T1

Fossa Tonsillaris

dan Arkus Faringeus

hiperemi (-) hiperemi (-)

Terdapat nyeri tekan pada kedua pipi

DIAGNOSIS

Rinosinusitis maksilaris kronis dextra et sinistra

DIAGNOSIS BANDING

Rhinitis kronis

Page 16: LAPORAN KASUS hendra

PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Foto polos (posisi Waters)

- CT scan

Page 17: LAPORAN KASUS hendra

Pada tanggal 23 November 2011 pasien kembali datang membawa hasil foto polos

Interpretasi hasil foto polos:

Kesimpulan: sinusitis maksila dextra et sinistra

Page 18: LAPORAN KASUS hendra

RENCANA TERAPI (sementara/simtomatik)

Pro irigasi

antibiotik :

Amoksisilin 3 x 500 mg

Nasal Dekongestan:

Pseudoefedrine HCl 3 x 60 mg

Analgetika:

Paracetamol 3 x 500 mg

KIE pasien

pasien dianjurkan untuk bed rest, agar kondisi tubuh dapat prima, sehingga proses

penyembuhan penyakit dapat cepat berjalan.

Diet seimbang dan tingkatkan konsumsi makanan tinggi vitamin

Kompres air hangat pada wajah untuk meringankan gejala

PROGNOSIS

Dubia ad bonam

Page 19: LAPORAN KASUS hendra

BAB IV

PEMBAHASAN

Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar dan juga paling sering

mengalami infeksi atau peradangan. Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan sinusitis

maksilaris kronis yang ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta didukung

dengan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan keluar cairan kental

berwarna kehijauan dari rongga hidung sejak 3 hari yang lalu pada kedua hidung. Pasien

mengaku cairan yang keluar berbau amis. Terkadang cairan masuk sampai ke tenggorokan.

Pasien sering mengalami batuk dan pilek berulang sejak 5 bulan yang lalu. Pasien dengan

sinusitis maksilaris biasanya mengeluh hidung tersumbat dan keluar cairan hidung yang

sedikit kental, yang kadang – kadang disertai bau busuk dan bercampur darah. Selain itu,

pasien juga mengeluh sering merasakan pusing seperti ditusuk-tusuk dan kepala terasa berat.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan cavum nasi kiri sempit, discharge positif pada

hidung bagian kiri dan kanan, konka. Pada pemeriksaan penunjang foto Rontgen dengan

posisi Water’s didapatkan gambaran perselubungan pada sinus maksilaris kiri. Akumulasi

pus menyebabkan gambaran perselubungan atau air-fluid level yang khas pada sinusitis

maksilaris.

Penanganan yang dilakukan pada penderita ini pada intinya adalah untuk

mengeluarkan sekret dari sinus dengan cara irigasi. Selain itu pasien juga diberikan antibiotik

spektrum luas, dekongestan dan analgetik. Sinusitis maksilaris kronis umumnya diterapi

dengan antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin, ampisilin atau eritromisin ditambah

dengan sulfunamid. Dekongestan seperti pseudoefedrin juga bermanfaat dan tetes hidung

poten seperti fenilefrin atau oksimetazolin dapat digunakan selama beberapa hari pertama

infeksi. Kompres hangat pada wajah dan analgetik seperti aspirin dan asetaminofen juga

berguna untuk meringankan gejala.

Page 20: LAPORAN KASUS hendra

DAFTAR PUSTAKA

Higler, P.,A. 1997. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. dalam BIOES Buku Ajar

Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta: EGC.

Higler, P.,A. 1997. Penyakit Sinus Paranasal. dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi

Keenam. Jakarta: EGC.

Lane, Andrew P., David W. Kennedy. 1997. Sinusitis dan polip, dalam Ballenger: Penyakit

Telinga Hidung Tenggorok, dan leher. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Mangunkusumo, Endang., Damajanti Soetjipto. 2007. Sinusitis, dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta:

FKUI.

Patel AM, Vaughan WC. 2005. Chronic Maxillary Sinusitis Surgical Treatment. Medscape

Refference. Available at: http://www.emedicine.com. Accessed November 26, 2011

Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. 2005. Infections of the Upper Respiratory Tract.

Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill.

Sobol, Steven E. 2009. Sinusitis, Acute, Medical Treatment Medication. Medscape

Refference. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/861646-medication.

accessed November 28, 2011