Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Usia lanjut atau lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, yang secara fisik terlihat berbeda dengan kelompok umur lainnya, sedangkan pra lansia adalah usia 45-59 tahun. Lansia dengan resiko tinggi adalah umur 70 tahun atau lebih dan lansia berusia 60 tahun dengan masalah kesehatan. Pada individu usia lanjut, kesehatan dan status fungsional ditentukan oleh resultan dari faktor-faktor fisik, psikologis, dan sosioekonomi individu tersebut. Oleh karena itu biasanya penyakit yang timbul pada usia lanjut akan berbeda perjalanan dan penampilannya dengan yang terdapat pada populasi lain sehingga pelayanan kesehatan pada usia lanjut akan berbeda dengan pelayanan kesehatan pada golongan populasi lain. (Darmojo, 2004) Populasi lansia pada masa ini semakin meningkat, oleh karena itu pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan pelayanan kesehatan usia lanjut ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk mencapai masa tua bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya. Sebagai wujud nyata pelayanan sosial dan kesehatan pada kelompok usia lanjut ini, pemerintah telah mencanangkan pelayanan pada lansia melalui
85

Laporan Home Visit Lansia

Jan 20, 2016

Download

Documents

download_71

Home visit
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Home Visit Lansia

BAB I

PENDAHULUAN

Usia lanjut atau lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang berusia 60 tahun

atau lebih, yang secara fisik terlihat berbeda dengan kelompok umur lainnya,

sedangkan pra lansia adalah usia 45-59 tahun. Lansia dengan resiko tinggi adalah

umur 70 tahun atau lebih dan lansia berusia 60 tahun dengan masalah kesehatan.

Pada individu usia lanjut, kesehatan dan status fungsional ditentukan oleh resultan

dari faktor-faktor fisik, psikologis, dan sosioekonomi individu tersebut. Oleh

karena itu biasanya penyakit yang timbul pada usia lanjut akan berbeda perjalanan

dan penampilannya dengan yang terdapat pada populasi lain sehingga pelayanan

kesehatan pada usia lanjut akan berbeda dengan pelayanan kesehatan pada

golongan populasi lain. (Darmojo, 2004)

Populasi lansia pada masa ini semakin meningkat, oleh karena itu

pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan pelayanan kesehatan usia lanjut

ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk

mencapai masa tua bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan

masyarakat sesuai dengan keberadaannya. Sebagai wujud nyata pelayanan sosial

dan kesehatan pada kelompok usia lanjut ini, pemerintah telah mencanangkan

pelayanan pada lansia melalui beberapa jenjang. Pelayanan kesehatan di tingkat

masyarakat adalah Posyandu lansia, pelayanan kesehatan lansia tingkat dasar

adalah Puskesmas, dan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan adalah Rumah Sakit.

Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia lanjut

di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat

dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Salah satu jenis

pelayanan kesehatan yang dapat diberikan kepada lansia adalah kunjungan rumah

atau home visit geriatry.

Home visit merupakan kegiatan pelayanan kesahatan berbasis komunitas

dimana seorang petugas kesehatan baik itu kader, perawat, maupun dokter

mengunjungi rumah lansia untuk meninjau kesehatan lansia dan melakukan upaya

preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif baik kepada lansia maupun

keluarganya. Pada home visit geriatry dilakukan evaluasi kesehatan secara

Page 2: Laporan Home Visit Lansia

komprehensif pada lansia dengan harapan dapat meningkatkan kualitas kesehatan

lansia yang dikunjungi. Dari home visit geriatry dapat ditemui berbagai

permasalahan pada lansia. Permasalahan yang umumnya ditemui pada home visit

geriatry lansia adalah permasalahan kesehatan yang berkenaan dengan non-

communicable disease seperti hipertensi, dan diabetes melitus.

Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik

terisolasi (HST), meningkatnya tekanan sistolik menyebabkan besarnya

kemungkinan timbulnya kejadian stroke dan infark myocard bahkan walaupun

tekanan diastoliknya dalam batas normal (isolated systolic hypertension). Isolated

systolic hypertension adalah bentuk hipertensi yang paling sering terjadi pada

lansia. Pada suatu penelitian, hipertensi menempati 87% kasus pada orang yang

berumur 50 sampai 59 tahun. Adanya hipertensi, baik HST maupun kombinasi

sistolik dan diastolik merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas untuk

orang lanjut usia. Hipertensi masih merupakan faktor risiko utama untuk stroke,

gagal jantung penyakit koroner, dimana peranannya diperkirakan lebih besar

dibandingkan pada orang yang lebih muda (Kuswardhani, 2007)

Kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan

arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari

berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi

semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri. Dinding,

yang kini tidak elastis, tidak dapat lagi mengubah darah yang keluar dari jantung

menjadi aliran yang lancar. Hasilnya adalah gelombang denyut yang tidak

terputus dengan puncak yang tinggi (sistolik) dan lembah yang dalam (diastolik).

Disisi lain, diabetes melitus merupakan suatu penyakit degeneratif dengan

gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan

tingginya kadar glukosa darah dan urin. Saat ini, diabetes melitus menjadi

penyakit dengan angka kejadian yang cukup tinggi di berbagai negara dan

merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hal

ini dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah kasus diabetes melitus di Indonesia

yang berada di urutan ke- 4 setelah negara India, China dan Amerika dengan

jumlah Diabetesi sebesar 8,4 juta orang dan diperkirakan akan terus meningkat

sampai 21,3 juta orang di tahun 20302. Dilihat dari semakin meningkatnya jumlah

Page 3: Laporan Home Visit Lansia

pendeita diabetes, maka perlu adanya kesadaran dari masyarakat terhadap

pentingnya peran dari masyarakat untuk peduli terhadap masalah ini. Maka dari

itu, tujuan penulisan makalah ini akan memberikan pengetahuan tentang diabetes

serta cara untuk mengendalikannya, dengan harapan agar tingkat kematian

penderita diabetes dapat berkurang.

A. Laporan home visit

Saat home visit lansia, kelompok kami mendapatkan 2 pasien lansia

wanita sebut saja namanya Ny. C dan Ny. E yang kedua-duanya tinggal di

desa makam kembar, RT 02 RW 07, kecamatan kejaksan, kelurahan kebon

baru.

Ny. C berusia 57 tahun, tidak bekerja dan tidak menikah sehingga ia juga

tidak mempunyai anak. Dia tinggal dengan keponakan laki-lakinya yang

bernama Tn. A.

Ny. E berusia 66 tahun, tidak bekerja dan tidak menikah sehingga ia pun

tidak mempunyai anak. Dia tinggal seorang diri dirumah tetapi banyak

tetangga-tetangga dan ketua RT yang membantunya untuk membereskan

rumah dan mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang tidak mampu ia lakukan.

Ia juga mempunya tetangga yang setiap hari selalu memberi makan

kepadanya dan bisa dianggap orang terekatnya yaitu Tn. S

B. Berapa kali kunjungan

Pada home visit lansia yang kelompok kami lakukan, kami melakukan

sebanyak 2 kali kunjungan. Kunjungan yang pertama kami menganamnesis

pasien tersebut, pada kunjungan yang kedua kami melakukan pemeriksaan

fisik generalisata dan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dari pasien

tersebut.

C. Apa yang dilakukan pada saat home visit

Saat kunjungan yang pertama kali kami melakukan anamnesis pada pasien

tersebut dari mulai penggalian keluhan utama pasien tersebut saat sekarang,

riwayat penyakitnya saat ini, riwayat penyakitnya terdahulu dan riwayat

penyakit pada keluarga pasien tersebut. Selain itu kami juga menanyakan

Page 4: Laporan Home Visit Lansia

aktivitas sehari-harinya, kebiasaannya, pola makan pasien, serta olahraga

yang dilakukan oleh pasien tersebut.

Selain anamnesis tentang kesehatan fisik pasien, kami juga melakukan

anamnesis untuk penapisan depresi dan status fungsional pasien serta status

mental dari pasien tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada.

Pada kunjungan kami yang kedua, kami lebih memfokuskan untuk

melakukan pemeriksaan terhadap pasien. Kami melakukan pemeriksaan fisik

secara generalisata (kecuali rektum dan genital) sampai dengan pemeriksaan

kadar gula darah sewaktu pada pasien tersebut.

Selain pemeriksaan fisik di atas, kami juga melakukan inspeksi secara

keseluruhan dari rumah pasien untuk mengetahui keadaan rumah pasien

secara keseluruhan sehingga kelompok kami bisa mengetahui juga faktor-

faktor lingkungan apa saja yang dapat membahayakan untuk pasien lansia

tersebut.

D. Hasil assessment geriatric

1. Pasien 1

a. Identitas Pasien

Nama : Ny. C

Usia : 57 tahun

Agama : Islam

Alamat : Desa makam kembar, kecamatan

kejaksan, kelurahan kebon baru RT 02

RW 07

Pekerjaan : -

Nama Orang Terdekat : Tn. A (Keponakan)

Status : tidak menikah

b. Riwayat Medis

Keluhan Utama : kadar gula darah dan tekanan darah

yang tinggi

Page 5: Laporan Home Visit Lansia

RPS : tekanan darah dan kadar gula darah

saat ini terhitung tinggi, namun masih

terkontrol oleh obat-obatan yang

diberikan dari puskesmas. Ia juga

sering lelah jika berdiri terlalu lama

dan tidak dapat berjalan jauh. Selain itu

pasien juga merasakan baal &

kesemutan pada tangan dan kakinya

terutama pada pagi hari.

RPD : pasien memiliki sedikit cacat (kelainan

bawaan pada kaki kirinya), tekanan

darah yang tinggi sejak 4 tahun yang

lalu diikuti dengan kadar gula darah

yang tinggi sejak 1 tahun terakhir ini.

RPK : Ny. C adalah anak tertua dari 7

bersaudara. Ayah dan ibunya sudah

meninggal dan memiliki riwayat

dibetes, 1 adik laki-laki dan 2 adik

perempuannya pun mengidap diabetes.

Salah satu adik perempuannya yang

mengidap diabetes meninggal karena

diabetes tersebut.

Riwayat Pembedahan : tidak pernah menjalani pembedahan

Riwayat Kesehatan lain : sering nyeri di bagian ulu hati terutama

jika terlambat makan. Cepat lelah saat

berdiri terlalu lama

Riwayat Alergi : alergi makan ikan dan alergi minum

obat antalgin yang membuatnya sulit

buang air kecil, seteelah minum

captopril ia juga sering terbatuk

sehingga membuatnya sulit beristirahat.

Page 6: Laporan Home Visit Lansia

Riwayat Konsumsi Obat : pasien hanya menggunakan obat-

obatan atas resep dokter, yaitu captopril

sebagai antihipertensi dan glibenklamid

untuk mengontrol kadar gula darahnya.

Dari hasil anamnesis, kelompok kami mendapatkan keterangan

lain selain data-data diatas tentang status kesehatan pasien. Kami

mendapatkan bahwa Ny. C ternyata mengalami anoreksia (penurunan

napsu makan) saat maagnya kambuh. Ia pernah terjatuh tanpa

merasakan pusing atau mata berkunang-kunang sebelum jatuh, dan Ia

juga mengeluhkan ada rasa baal/kesemutan pada tangan dan kakinya

sejak beberapa bulan yang lalu terutama pada pagi hari. Untuk

pengelihatan ia merasa sedikit buram jika dipakai untuk membaca di

ruang yang kurang cahaya, sehingga ia harus membaca menggunakan

kacamata. Jika di ruangan terang ia cukup membaca dengan sedikit

menjauhkan buku yang dibacanya sekitar 50cm dari mata.

Untuk keadaan psikologis dari Ny. C juga menurut data-data

yang kami peroleh, tidak terdapat tanda-tanda adanya depresi ataupun

demensia.

Untuk status fungsional dari Ny. C bisa dilihat pada tabel

dibawah ini :

Tabel 1.1 status fungsional Ny. C

GERIATRIC ASSESSMENT CENTER ACTIVITIES OF DAILY

LIVIN PHYSICAL SELF-MAINTENANCE SCALE

No ActivityValue

No

1 TOILET

4 Cares for self at toilet completely, no incontinence

3 Needs to be reminded, or needs help in cleaning self, or has rare

(weekly at most) accidents

2 Soiling or wetting while asleep, more than once a week

1 Soiling or wetting while awake, more than once a week

4

Page 7: Laporan Home Visit Lansia

0 No control of bowels or bladder

2 FEEDING

4 Eats without assistance

3 Eats with minor assistance at meal times, with help preparing food or

with help in cleaning up after meals

2 Feeds self with moderate assistance and is untidy

1 Requires extensive assistance for all meals

0 Does not feed self at all and resists efforts of others to feed him

4

3 DRESSING

4 Dresses, undressed and selects clothes from own wardrobe

3 Dresses and undresses self, with minor assistance

2 Needs moderate assistance in dressing or selection of clothes

1 Needs major assistance in dressing but cooperated with

efforts of other to help

0 Completely unable to dress self and resists efforts of others to help

4

4 GROOMING

4 Always neatly dressed and well-groomed, without assistance

3 Grooms self adequately, with occasional minor assistance

2 Needs moderate and regular assistance or supervision in grooming

1 Needs major assistance in dressing but cooperates with efforts of

others to help

0 Actively negates all efforts to others to maintain grooming

4

5 PHYSICAL AMBULATION

4 Goes about .grounds or city

3 Ambulates within residence or about one block distant

2 Ambulates with assistance of (check one): another person, railing,

cane, walker,or wheelchair: gets in and out without help needs help in

getting in and out

1 Sits unsupported in chair or wheelchair, but cannot propel self

without help

0 Bedridden more than half the time

3

6 BATHING

Page 8: Laporan Home Visit Lansia

4 Bathes self (tub, shower, sponge bath) without help

3 Bathes self, with help in getting in and out of tub

2 Washes face and hands only, but cannot bathe rest of body

1 Does not wash self but is cooperative with those who bathe him

0 Does not travel at all

4

7 RESPONSIBILITY FOR OWN MEDICATION

2 Is responsible for taking medication in correct dosage at correct time

1 Takes responsibility if medication is prepared in advance in separate

dosages

0 Does not try to wash self, and resists efforts to keep him clean

2

SCORE 25

Tabel 1.2 daftar aktivitas Ny. C dan skalanya

GERIATRIC ASSESSMENT CENTER SCALE FOR INSTRUMENTAL

ACTIVITIES OF DAILY LIVING

No Acitvity Value

1 ABILITY TO USE TELEPHONE

3 Operates telephone on own initiative; looks up and dials

numbers, etc.

2 Dials a few well known numbers

1 Answers telephone but does not dial

0 Does not use telephone at all

0

2 SHOPPING

3 Takes care of all shopping needs independently

2 Shops independently for small purchases

1 Needs to be accompanied on any shopping trip

0 Needs to have meals prepared and served

1

3 FOOD PREPARATION

3 Plans, prepares and serves adequate meals independently

2 Prepares adequate meals if supplied with ingredients

1 Heats and serves prepared meals, or prepares meals but does

not maintain adequate diet

3

Page 9: Laporan Home Visit Lansia

0 Needs to have meals prepared and served

4 HOUSE KEEPING

4 Maintains house alone or with occasional assistance

(e.g., heavy-work domestic help)`

3 Performs light daily tasks such as dish-washing and bed-making

2 Performs light daily tasks but cannot maintain acceptable \ level

of cleanliness

1 Needs help with all home maintenance tasks

0 Does not participate in any housekeeping tasks

4

5 LAUNDRY

2 Does personal laundry completely

1 Launders small items; rinses socks, stockings, etc.

0 All laundry must be done by others

2

6 MODE OF TRANSPORTATION

4 Travels independently on public transportation or drives own car

3 Arranges own travel via taxi, but does not otherwise use public

transportation

2 Travels on public transportation when assisted or accompanied by

another

1 Travel limited to taxi or automobile, with assistance of another

0 Does not travel at all

2

7 RESPONSIBILITY OF OWN MEDICATION

2 Is responsible for taking medication in correct dosages at correct

Time

1 Takes responsibility if medication is prepared in advance

in separate dosages

0 Is not capable of dispensing own medication

2

8 ABILITY TO HANDLE FINANCE

2 Manages financial matters independently

(budgets, write checks, pays rent and bills, goes to Bank)

Page 10: Laporan Home Visit Lansia

collects and keeps track of income

1 Manages day-to-day purchases, but needs help with banking,

major purchases, etc.

0 Incapable of handling money

2

SCORE 16

c. Pemeriksaan Fisik

1) Tanda Vital

Tabel 1.3 Hasil Pemeriksaan Tanda-tanda vital pada Ny. C

Tanda Vital Baring Duduk Berdiri

Tekanan darah 160/90 180/90 140/80

Nadi/menit 72x 60 x Tidak diperiksa

Laju

respirasi/menit16 x 16 x Tidak diperiksa

Pengukuran Berat Badan : tidak dilakukan

Tinggi badan : 143cm

Berat Badan yang lalu : 48kg

Tanggal pemeriksaan yang lalu : 17 maret 2013

2) Pemeriksaan Generalisata

a) Kulit

Pada pemeriksaan kulit yang kami lakukan pada Ny. C,

ia tidak memiliki kelainan apapun di kulitnya, kulitnya pun

tidak terlalu kering

b) Pendengaran

Kami tidak melakukan pemeriksaan pendengaran secara

lengkap terhadap Ny. C. Tetapi dari hasil wawancara yang

kami lakukan, kami mendapat kesimpulan bahwa tidak ada

kelainan atau gangguan pada fungsi pendengarannya, karena ia

pun masih bisa kami ajak mengobrol dengan jelas dan cukup

kooperatif.

Page 11: Laporan Home Visit Lansia

c) Penglihatan

Untuk pengelihatan, kami juga tidak melakukan banyak

pemeriksaan secara lengkap, kami hanya mendapatkan bahwa

pada Ny. C terdapat presbiopi (rabun jauh), karena ia kurang

dapat membaca tulisan-tulisan yang kecil dengan jarak yang

dekat. Tetapi dia bisa membaca dengan bantuan kacamata plus

dan dengan jarak kurang lebih 50cm..

d) Mulut

Pada pemeriksaan gigi, kami mendapatkan bahwa pada

Ny. C terdapat karies pada bagian inferior molar sinistranya.

e) Leher

Pada hasil pemeriksaan leher, kami tidak menemukan

kelainan apapun, tidak ada pembengkakan kelenjar pada Ny. C.

f) Dinding Thorax & Sistem Kardiovaskular

Tabel 1.4 hasil Pemeriksaan Thorax dan Kardiovaskular

Pemeriksaan Hasil

Inspeksi

Gerakan dada kanan kiri simetris, tidak didapatkan

retraksi interkosta, tidak terlihat sesak, tidak ada

edema.

PalpasiTidak ada nyeri tekan, Tidak teraba pembesaran

organ

Perkusi Didapatkan suara sonor seluruh lapang paru

Auskultasi

Didapatkan suara vesikuler pada seluruh lapang

paru, irama jantung yang reguler, tidak terdapat

bising pernapasan maupun bising jantung, tidak ada

suara gallop jantung juga.

g) Abdomen

Pada pemeriksaan abdomen, kami tidak menemukan

kelainan apapun pada Ny. C. Hanya ditemukan nyeri tekan

pada bagian epigastrium Ny. C.

Page 12: Laporan Home Visit Lansia

h) Muskuloskeletal

Pada pemeriksaan ini, didapatkan kelainan pada kaki

sebelah kiri Ny. C. Kelainan berupa telapak kaki yang tidak

dapat menyentuh ke tanah karena sedikit kelainan pada bentuk

kakinya dan untuk berjalan agak terpincang-pincang, sehingga

dia tidak dapat berjalan terlalu jauh. Ny. C juga mengaku

pernah tiba-tiba terjatuh karena berdiri terlalu lama dengan

posisi kaki yang tidak seimbang.

i) Status Mental

Pada pemeriksaan neurologis, kami tidak memeriksa

refleks-refleks pada Ny. C. Kami hanya melakukan

pemeriksaan status mental pada Ny. C. Dari hasil pemeriksan

yang kami dapatkan, kami tidak menemukan tanda-tanda

kelainan status mental pada Ny. C tersebut baik dari aspek

orientasi, daya ingat, maupun deteksi untuk kecurigaan

demensia.

3) Pemeriksaan MMSE

Tabel 1.4 Hasil Pemeriksaan MMSE pada Ny. C

Interpretasi Hasil

a) 0-2 kesalahan = baik

b) 3-4 kesalahan = gangguan intelek ringan

Page 13: Laporan Home Visit Lansia

c) 5-7 kesalahan = gangguan intelek sedang

d) 8-10 kesalahan = gangguan intelek berat

Jadi dalam pemeriksaan ini pasien dalam keadaan baik karena

bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar.

4) Pemeriksaan Geriatric Depression Scale (GDS)

Tabel 1.5 Hasil Pemeriksaan GDS pada Ny. C

Kuesioner untuk depresi dengan jawaban ya atau tidak.

Penilaian untuk jawaban ya bernilai 1 dan jawaban tidak bernilai 0.

Page 14: Laporan Home Visit Lansia

Dimana hasil jawaban kemudian di jumlah sehingga mendapat

hasil yang kemudian digolongkan menjadi tiga kategori tingkat

depresi yaitu:

a) Hasil: Normal (score 0)

b) depresi ringan score < 5

c) depresi sedang score 5 – 9

d) depresi berat score ≥ 10

5) Lingkungan Rumah

Kamar Tidur Ny. C

Ruang TV Ny. C

Dapur Ny. C Sumur Ny. C

Page 15: Laporan Home Visit Lansia

d. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium, kami hanya mengukur kadar gula

darah sewaktu Ny. C. Hasil yang kami dapatkan, gula darah

sewaktunya adalah 175 mg/dL

2. Pasien 2

a. Identitas Pasien

Nama : Ny. E

Usia : 66 tahun

Alamat : Desa makam kembar, kecamatan

kejaksan, kelurahan kebon baru RT 02

RW 07

Pekerjaan : -

Nama Orang Terdekat : Tn. S (Tetangga)

Status : tidak menikah

b. Riwayat Medis/Evaluasi Fisik

Keluhan Utama : Kadar gula darah tinggi dan tekanan

darah tinggi

RPS : Gula darah tinggi, tekanan darah tinggi,

minum sampai 4 liter dalam sehari dan

sering buang air kecil pada malam hari.

RPD : Sinusitis

Kamar Mandi Ny. C

Page 16: Laporan Home Visit Lansia

RPK : Ny. E adalah anak ke-3 dari 7

bersaudara. Ayahnya sudah meninggal

dan memiliki riwayat sakit jantung dan

hipertensi. Ibunya meninggal karena

riwayat penyakit jantung, hipertensi

dan diabetes yang dideritanya. Ny. E

juga mempunyai 1 kakak laki-laki

dengan riwayat jantung dsn sudah

meninggal, 1 adik laki-laki dengan

riwayat diabetes, 1 adik laki-laki

dengan riwayat jantung dan sudah

meninggal, dan 1 orang adik

perempuan dengan riwayat jantung

yang masih hidup sampai saat ini.

Riwayat Pembedahan : (-)

Riwayat Kesehatan lain : Penglihatan presbiopi, ada benjolan

kecil di daerah lengan kanan dan kiri,

serta belakang leher, tetapi tidak

membesar, dan dapat digerakkan.

Riwayat Alergi : -

Riwayat Konsumsi Obat : Royal jelly (tidak dengan resep dari

dokter), Glukovance (obat gula darah)

2x1, Tensivask (Obat anti hipertensi)

1x1.

Dari hasil anamnesis, kelompok kami mendapatkan keterangan

lain selain data-data diatas tentang status kesehatan pasien. Kami

mendapatkan bahwa Ny. E ternyata mengalami gangguan penglihatan,

sehingga dia harus menggunakan kacamata plus. Ny. E juga pernah

terjatuh sebanyak 21 kali.

Untuk keadaan psikologis menurut data-data yang kami peroleh,

Ny.E tampak sedih karena sering mengingat keluarga yang sudah

Page 17: Laporan Home Visit Lansia

meninggal, dan Ny. E juga sering merasa kesepian dirumah karena

tinggal seorang diri.

Untuk status fungsional dari Ny. E dapat dilihat pada tabel

dibawah ini :

Tabel 1.6 Status Fungsional Ny. E

GERIATRIC ASSESSMENT CENTER ACTIVITIES OF DAILY

LIVIN PHYSICAL SELF-MAINTENANCE SCALE

No ActivityValue

No

1 TOILET

4 Cares for self at toilet completely, no incontinence

3 Needs to be reminded, or needs help in cleaning self, or has rare

(weekly at most) accidents

2 Soiling or wetting while asleep, more than once a week

1 Soiling or wetting while awake, more than once a week

0 No control of bowels or bladder

4

2 FEEDING

4 Eats without assistance

3 Eats with minor assistance at meal times, with help preparing food or

with help in cleaning up after meals

2 Feeds self with moderate assistance and is untidy

1 Requires extensive assistance for all meals

0 Does not feed self at all and resists efforts of others to feed him

3

3 DRESSING

4 Dresses, undressed and selects clothes from own wardrobe

3 Dresses and undresses self, with minor assistance

2 Needs moderate assistance in dressing or selection of clothes

1 Needs major assistance in dressing but cooperated with

efforts of other to help

0 Completely unable to dress self and resists efforts of others to help

4

4 GROOMING

Page 18: Laporan Home Visit Lansia

4 Always neatly dressed and well-groomed, without assistance

3 Grooms self adequately, with occasional minor assistance

2 Needs moderate and regular assistance or supervision in grooming

1 Needs major assistance in dressing but cooperates with efforts of

others to help

0 Actively negates all efforts to others to maintain grooming

4

5 PHYSICAL AMBULATION

4 Goes about .grounds or city

3 Ambulates within residence or about one block distant

2 Ambulates with assistance of (check one): another person, railing,

cane, walker,or wheelchair: gets in and out without help needs help in

getting in and out

1 Sits unsupported in chair or wheelchair, but cannot propel self

without help

0 Bedridden more than half the time

2

6 BATHING

4 Bathes self (tub, shower, sponge bath) without help

3 Bathes self, with help in getting in and out of tub

2 Washes face and hands only, but cannot bathe rest of body

1 Does not wash self but is cooperative with those who bathe him

0 Does not travel at all

4

7 RESPONSIBILITY FOR OWN MEDICATION

2 Is responsible for taking medication in correct dosage at correct time

1 Takes responsibility if medication is prepared in advance in separate

dosages

0 Does not try to wash self, and resists efforts to keep him clean

2

SCORE 23

Tabel 1.6 Daftar Aktivitas Ny. E dan Skalanya

GERIATRIC ASSESSMENT CENTER SCALE FOR INSTRUMENTAL

ACTIVITIES OF DAILY LIVING

No Acitvity Value

Page 19: Laporan Home Visit Lansia

1 ABILITY TO USE TELEPHONE

3 Operates telephone on own initiative; looks up and dials

numbers, etc.

2 Dials a few well known numbers

1 Answers telephone but does not dial

0 Does not use telephone at all

3

2 SHOPPING

3 Takes care of all shopping needs independently

2 Shops independently for small purchases

1 Needs to be accompanied on any shopping trip

0 Needs to have meals prepared and served

2

3 FOOD PREPARATION

3 Plans, prepares and serves adequate meals independently

2 Prepares adequate meals if supplied with ingredients

1 Heats and serves prepared meals, or prepares meals but does

not maintain adequate diet

0 Needs to have meals prepared and served

0

4 HOUSE KEEPING

4 Maintains house alone or with occasional assistance

(e.g., heavy-work domestic help)`

3 Performs light daily tasks such as dish-washing and bed-making

2 Performs light daily tasks but cannot maintain acceptable \ level

of cleanliness

1 Needs help with all home maintenance tasks

0 Does not participate in any housekeeping tasks

3

5 LAUNDRY

2 Does personal laundry completely

1 Launders small items; rinses socks, stockings, etc.

0 All laundry must be done by others

0

Page 20: Laporan Home Visit Lansia

6 MODE OF TRANSPORTATION

4 Travels independently on public transportation or drives own car

3 Arranges own travel via taxi, but does not otherwise use public

transportation

2 Travels on public transportation when assisted or accompanied by

another

1 Travel limited to taxi or automobile, with assistance of another

0 Does not travel at all

1

7 RESPONSIBILITY OF OWN MEDICATION

2 Is responsible for taking medication in correct dosages at correct

Time

1 Takes responsibility if medication is prepared in advance

in separate dosages

0 Is not capable of dispensing own medication

2

8 ABILITY TO HANDLE FINANCE

2 Manages financial matters independently

(budgets, write checks, pays rent and bills, goes to Bank)

collects and keeps track of income

1 Manages day-to-day purchases, but needs help with banking,

major purchases, etc.

0 Incapable of handling money

2

SCORE 13

c. Pemeriksaan Fisik

1) Pemeriksaan Tanda Vital

Tabel 1.7 Hasil Pemeriksaan Vital Signpada Ny. E

Tanda Vital Baring Duduk Berdiri

Tekanan darah 160/80 160/90 160/80

Nadi/menit 72x 84x 80x

Laju

respirasi/menit20x 24x 24x

Page 21: Laporan Home Visit Lansia

Pengukuran Berat Badan : tidak dilakukan

Tinggi badan : 160cm

Berat Badan yang lalu : 63 kg

Tanggal pemeriksaan yang lalu : 17 maret 2013

2) Pemeriksaan Generalisata

a) Kulit

Pada pemeriksaan kulit yang kami lakukan pada Ny. E,

terdapat benjolan di bagian lengan atas kanan dan kiri di

bagian dalam serta di belakang kepala. Benjolan dapat

digerakkan dan tidak membesar.

b) Pendengaran

Kami tidak melakukan pemeriksaan pendengaran secara

lengkap terhadap Ny. E. Tetapi dari hasil wawancara yang

kami lakukan, kami mendapat kesimpulan bahwa tidak ada

kelainan atau gangguan pada fungsi pendengarannya, karena ia

pun masih bisa kami ajak mengobrol dengan jelas dan cukup

kooperatif.

c) Penglihatan

Untuk pengelihatan, kami juga tidak melakukan banyak

pemeriksaan secara lengkap, kami hanya mendapatkan bahwa

pada Ny. E terdapat presbiopi (rabun jauh), karena ia kurang

dapat membaca tulisan-tulisan yang kecil dengan jarak yang

dekat. Tetapi dia bisa membaca dengan bantuan kacamata plus.

d) Mulut

Pada pemeriksaan gigi, kami mendapatkan bahwa pada Ny.

E terdapat karies pada premolar dextra superior dan molar

sinistra superior.

e) Leher

Pada hasil pemeriksaan leher, kami tidak menemukan

kelainan apapun, tidak ada pembengkakan kelenjar pada Ny. E.

f) Dinding Thorax dan Sistem Kardiovaskular

Page 22: Laporan Home Visit Lansia

Dari hasil pemeriksaan dinding thorax, kelompok kami

mendapatkan beberapa keterangan sebagai berikut :

Tabel 1.8 Hasil Pemeriksaan Dinding Thorax dan Sistem

Kardiovaskular

Pemeriksaan Hasil

Inspeksi

Gerakan dada kanan kiri simetris, Tidak

didapatkan retraksi interkosta, Tidak terlihat

sesak, tidak ada edema.

PalpasiTidak ada nyeri tekan, Tidak teraba pembesaran

organ

Perkusi Didapatkan suara sonor seluruh lapang paru

Auskultasi

Didapatkan suara vesikuler pada seluruh lapang

paru, irama jantung yang reguler, tidak terdapat

bising pernapasan maupun bising jantung, tidak

ada suara gallop jantung juga.

g) Abdomen

Pada pemeriksaan abdomen, kami tidak menemukan

kelainan apapun pada Ny. E.

h) Muskuloskeletal

Pada pemeriksaan ini, didapatkan kelainan pada kaki

sebelah kanan & kiri Ny. E berupa kelainan sendi yang

menyebabkannya sulit berjalan saat ini sehingga membutuhkan

alat bantu berupa tongkat untuk berjalan.

i) Status Mental

Pada pemeriksaan neurologis, kami tidak memeriksa

refleks-refleks pada Ny. E. Kami hanya melakukan

pemeriksaan status mental pada Ny. E. Dari hasil pemeriksan

yang kami dapatkan, kami tidak menemukan tanda-tanda

kelainan status mental pada Ny. E dia hanya terlihat sedikit

Page 23: Laporan Home Visit Lansia

sedih, karena kesepian dan merasa tidak mampu melakukan

apapun untuk hidupnya sendiri.

3) Pemeriksaan MMSE

Tabel 1.9 Hasil Pemeriksaan MMSE pada Ny. E

Interpretasi Hasil

a) 0-2 kesalahan = baik

b) 3-4 kesalahan = gangguan intelek ringan

c) 5-7 kesalahan = gangguan intelek sedang

d) 8-10 kesalahan = gangguan intelek berat

Jadi dalam pemeriksaan ini pasien dalam keadaan baik karena

bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar.

Page 24: Laporan Home Visit Lansia

4) Pemeriksaan GDS

Tabel 1.10 Hasil GDS pada Ny. E

Kuesioner untuk depresi dengan jawaban ya atau tidak.

Penilaian untuk jawaban ya bernilai 1 dan jawaban tidak bernilai 0.

Dimana hasil jawaban kemudian di jumlah sehingga mendapat

hasil yang kemudian digolongkan menjadi tiga kategori tingkat

depresi yaitu:

a) Hasil: Normal (score 0)

b) depresi ringan score < 5

c) depresi sedang score 5 – 9

Page 25: Laporan Home Visit Lansia

d) depresi berat score ≥ 10

5) Lingkungan Rumah

Ruang Makan Ny. E Dapur Ny. E

Kamar Mandi Ny. E Kamar Tidur Ny. E

Ruang Tamu Ny. E Ruang tengah sekaligus ruang makan Ny. E

Page 26: Laporan Home Visit Lansia

d. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium, kami hanya mengukur kadar gula

darah sewaktu Ny. E. Hasil yang kami dapatkan, gula darah

sewaktunya adalah 147 mg/dL itupun karena dia sudah makan pagi

dan sudah mengkonsumsi obat glukofance untuk mengobati

diabetesnya.

E. Identifikasi masalah

1. Identifikasi Masalah Pada Ny. C

Dari hasil home visit lansia yang kami lakukan, kami mendapatkan

bahwa Ny. C menderita penyakit Diabetes Mellitus tipe II, dan hipertensi.

Ny. C juga memiliki riwayat keluarga yang mengidap Diabetes Mellitus

yaitu ayah, ibu, dan adiknya. Untuk status fungsional Ny. C ini masih

cukup baik, karena dia masih dapat mengerjakan pekerjaan rumah sehari-

hari seperti memasak, mencuci dan membersihkan rumahnya. Hanya saja,

dari hasil wawancara yang kelompok kami lakukan, kami menemukan

keluhan dengan penggunaan antihipertensi (captopril) pada Ny. C

sehingga dia menjadi jarang mengkonsumsi obat tersebut yang

mengakibatkan tekanan darahnya kurang terkontrol. Ny. C juga

mengeluhkan pernah terjatuh secara tiba-tiba tanpa didahului oleh pusing

atau mata yang berkunang-kunang sebelumnya, ketika dia berdiri terlalu

lama.

Untuk status mental dari Ny. C ini kelompok kami dapat

menyimpulkan bahawa tidak didapatkan kelainan apapun pada dirinya.

Dia juga tergolong lansia yang hidupnya bahagia karena dia ditemani oleh

keponakannya Tn. A dirumah dan keponakannya yang lainpun sering

berkunjung untuk menjenguknya sehingga dia tidak merasa kesepian di

masa tuanya sekarang ini.

2. Identifikasi Masalah Pada Ny. E

Dari hasil home visit yang kami lakukan pada Ny. E, mendapatkan

bahwa Ny. E saat ini tinggal seorang diri dirumahnya. Ia tidak menikah

Page 27: Laporan Home Visit Lansia

dan tidak memiliki anak juga. Ia memiliki orang terdekat yaitu Tn. S

(tetangganya) yang setiap hari mengiriminya makan. Ny. E menderita

diabetes melitus dan hipertensi dan sampai saat ini dia masih

mengkonsumsi obat-obatan tersebut secara rutin. Dia mengkonsumsi

obat antihipertensi (glukofast) dan metformin untuk mengontrol

diabetesnya. Dia mempunyai 2 orang kakak dan 4 orang adik namun

semuanya sudah berkeluarga. Kedua orangtuanya memiliki riwayat

penyakit jantung dan meninggal karena penyakit jantung tersebut. Kakak

pertamanya dan adiknya juga meninggal karena penyakit jantung.

Dari hasil home visit yang kelompok kami lakukan juga, kami

mengetahui bahwa Ny. C jarang memeriksakan dirinya ke puskesmas,

karena dia agak sulit untuk berjalan, sehingga dia hanya memeriksakan

diri jika ada posbindu dari puskesmas yaitu setiap bulan tanggal 17.

Saat ini dia selalu merasa kesepian karena hanya seorang diri

dirumah, dia juga mengalami beberapa keterbatasan dalam aktivitasnya

sehingga dia hanya dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang ringan

seperti menyapu rumah dan mencuci piring. Pekerjaan rumah selebihnya

dia dibantu oleh ketua RT dan tetangganya. Untuk makan dia tidak dapat

menyiapkan/memasak sendiri, tetapi setiap hari dia dikirimi makanan

oleh Tn. S (tetangganya) sehingga dia tetap dapat makan walaupun tidak

memasaknya sendiri. Keluarganya saat ini masih memperhatikannya dan

memenuhi kebutuhannya, namun jarang mengunjungi dirinya.

Page 28: Laporan Home Visit Lansia

BAB II

PEMBAHASAN

A. Diabetes Melitus

1. Definisi

Diabetes Mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau kedua-duanya. (PERKENI, 2006)

2. Etiologi

Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe II disebabkan kegagalan

relatif sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya

kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan

perifer dan untuk menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak

mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi

defensiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya

sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan

glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β

pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.

3. Faktor Resiko Diabetes Melitus Tipe II

Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II

(Smeltzer & Bare, 2002) antara lain :

a. Kelainan genetik

Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap

diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat

menghasilkan insulin dengan baik.

b. Usia

Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi

yang secara drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke

atas dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga

tubuhnya tidak peka terhadap insulin.

Page 29: Laporan Home Visit Lansia

c. Gaya hidup stress

Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang

manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak serotonin otak.

Serotonin ini mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan

stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagj mereka yang beresiko

mengidap penyakit DM tipe II.

d. Pola makan yang salah

Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan)

yang dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin).

Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi

lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga

cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan.

Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka yang tergolong gemuk.

4. Manifestasi Klinik Diabetes Mellitus Tipe II

Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan

berat badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring

dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk

glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah

sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring

dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia

penderita DM mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat

hiperglikemia berat. DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik,

kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan,

letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau

kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi,

mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis

DM pada lansia seringkali agak terlambat.

Page 30: Laporan Home Visit Lansia

Tabel 2.1 Manifestasi Klinik Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Sebelum di

Diagnosis Diabetes Mellitus

5. Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis DM menurut PERKENI atau yang dianjurkan ADA

(American Diabetes Association) adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus

B. Hipertensi

1. Pengertian Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana

tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90

mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai

Page 31: Laporan Home Visit Lansia

tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg

(Sheps,2005).

2. Klasifikasi Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi diklasifikasikan menjadi

dua, yaitu :

a. Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten

tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme

kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui

penyebabnya dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi.

b. Hipertensi sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan

dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya

diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi.

Berdasarkan bentuknya, hipertensi dibagi 3 yaitu hipertensi

diastolic, campuran, dan sistolik.

a. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan

tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik.

Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.

b. Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) yaitu

peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol.

c. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan

tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik.

Umumnya ditemukan pada usia lanjut.

3. Faktor-faktor Resiko Hipertensi

Berikut adalah beberapa faktor resiko yang mempengaruhi

terjadinya hipertensi :

a. Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan

bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat resiko

hipertensi. Insiden hipertensi makin meningkat dengan

meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di

Page 32: Laporan Home Visit Lansia

dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan

hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan

menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur

(Julianti, 2005).

b. Jenis kelamin juga sangat erat kaitanya terhadap terjadinya hipertensi

dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit

hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur

55 tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause

Perbandingan antara pria dan wanita, ternyata wanita lebih banyak

menderita hipertensi

c. Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah

terjadinya hipertensi hipertensi cenderung merupakan penyakit

keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat

hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25%

terkena hipertensi

d. Garam dapur merupakan faktor yang sangat dalam patogenesis

hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku

bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang

dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah jika

asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi

meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap

timbulnya hipertensi terjadai melalui peningkatan volume plasma,

curah jantung dan tekanan darah (Basha, 2004).Garam mengandung

40% sodium dan 60% klorida. Orang-orang peka sodium lebih

mudah meningkat sodium, yang menimbulkan retensi cairan dan

peningkatan tekanan darah (Sheps, 2000).Garam berhubungan erat

dengan terjadinya tekanan darah tinggi gangguan pembuluh darah ini

hampir tidak ditemui pada suku pedalaman yang asupan garamnya

rendah. Jika asupan garam kurang dari 3 gram sehari prevalensi

Page 33: Laporan Home Visit Lansia

hipertensi presentasinya rendah, tetapi jika asupan garam 5-15 gram

perhari, akan meningkat prevalensinya 15-20% (Wiryowidagdo,

2004).Garam mempunyai sifat menahan air. Mengkonsumsi garam

lebih atau makanmakanan yang diasinkan dengan sendirinya akan

menaikan tekanan darah. Hindari pemakaian garam yang berkebih

atau makanan yang diasinkan. Hal ini tidak berarti menghentikan

pemakaian garam sama sekali dalan makanan. Sebaliknya jumlah

garam yang dikonsumsi dibatasi.

e. Merokok merupaka salah satu faktor yang dapat diubah, adapun

hubungan merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan

menyebabkan peningkatan tekana darah karena nikotin akan diserap

pembulu darah kecil dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembuluh

darah hingga ke otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan

member sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas efinefrin

(Adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembulu

darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena

tekanan yang lebih tinggi.Selain itu, karbon monoksida dalam asap

rokok menggantikan oksigen dalam darah. Hal ini akan

menagakibatkan tekana darah karena jantung dipaksa memompa

untuk memasukkan oksigen yang cukup kedalam orga dan jaringan

tubuh.

f. Aktivitas sangat mempengaruhiterjadinya hipertensi, dimana pada

orang yang kuan aktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi

denyut jantung yang lebih tingi sehingga otot jantung akan harus

bekerja lebih keras pada tiap kontraksi.Makin keras dan sering otot

jantung memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada

arteri.

g. Stress juga sangat erat merupakan masalah yang memicu terjadinya

hipertensi dimana hubungan antara stress dengan hipertensi diduga

Page 34: Laporan Home Visit Lansia

melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan

tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang

berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi.

Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di

masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan.

Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami

kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Dunitz, 2001).

4. Etiologi hipertensi

Corwin (2003) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada

kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral

Resistance (TPR). Maka peningkatan salah satu dari ketiga variabel

yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi.

Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat

rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan

kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering menyertai

keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung

biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR,

sehingga tidak meninbulkan hipertensi

Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi

apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan,

akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi

garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron

maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan

air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan

menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi

peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload

biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik ( Amir, 2002)

Peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau

responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal.

Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah.

Pada peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus memompa

Page 35: Laporan Home Visit Lansia

secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih

besar, untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang

menyempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan

biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila

peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin

mulai mengalami hipertrifi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan

ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga. ventrikel harus

mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi.

kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai

tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan

penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup.( Hayens, 2003 )

5. Patofisiologi hipertensi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh

darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat

vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke

korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia

simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor

dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf

simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion

melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca

ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin

mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat

mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang

vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap

norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal

tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis

merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar

adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas

vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan

vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya,

Page 36: Laporan Home Visit Lansia

yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah.

Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,

menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan

angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu

vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi

aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi

natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume

intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan

hipertensi ( Dekker, 1996 )

Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah

perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi

pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya

elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos

pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi

dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar

berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang

dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan

curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Corwin,2003).

6. Tanda dan Gejala Hipertensi

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain

tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada

retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan

pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus

optikus) Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan

gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya

kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ

yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan

patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan

urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah

(BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat

menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi

Page 37: Laporan Home Visit Lansia

sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan

tajam penglihatan

Crowin (2003: 359) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala

klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa :Nyeri

kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat

peningkatan tekanan darah intrakranial,Penglihatan kabur akibat

kerusakan retina akibat hipertensi,Ayunan langkah yang tidak mantap

karena kerusakan susunan saraf pusat,Nokturia karena peningkatan

aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen dan

pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang

umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah,

sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa

pegal dan lain-lain.

7. Komplikasi Hipertensi

Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak,

atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan

tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-

arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal,

sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang.

Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah

sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin,

2003).

Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti,

orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah

satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah,

mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta

tidak sadarkan diri secara mendadak (Santoso, 2006).

Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang

arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium

atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui

pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi

Page 38: Laporan Home Visit Lansia

ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat

terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.

Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-

perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi

disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan

(Corwin, 2003).

Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat

tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya

glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron

akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian.

Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin

sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan

edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik (Corwin, 2003).

Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa

darah yang kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan

terkumpul di paru,kaki dan jaringan lain sering disebut edma.Cairan

didalam paru – paru menyebabkan sesak napas,timbunan cairan

ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan edema

(Corwin, 2003)

Ensefalopati dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi

maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini

menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke

dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neronneron

disekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian (Corwin, 2003).

Page 39: Laporan Home Visit Lansia

BAB III

USULAN PENATALAKSANAAN

A. Rencana Penatalaksanan Masalah Pada Lansia

1. Penatalaksanaan Secara Umum

a. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk

lansia dengan komorbiditas minimal dan <8,0% untuk lansia yang

renta, harapan hidup <5 tahun, dan lansia yang berisiko bila dilakukan

kontrol gula darah intensif risiko. Namun, rekomendasi target terapi

ini tidak mutlak dan perlu disesuaikan secara individual menurut

tingkat disabilitas, angka harapan hidup, dan kepatuhan pengobatan.

Anjuran terapi DM yang banyak digunakan saat ini adalah

sebagaimana dianjurkan dalam guideline konsensus ADA-EASD

untuk terapi DM tipe 2. Berdasarkan konsensus ini, terapi DM tipe 2

dibagi menjadi 2 tingkatan.

1) Tingkat 1 : terapi utama yang telah terbukti (well validated core

therapies) Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan

dan paling cost effective untuk mencapai target gula darah. Terapi

tingkat 1 ini terdiri dari modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan

berat badan & olah raga), metformin, sulfonilurea, dan insulin.

2) Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well

validated therapies). Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang

berguna pada sebagian orang, tetapi dikelompokkan ke dalam

tingkat 2 karena masih terbatasnya pengalaman klinis. Termasuk

ke dalam tingkat 2 ini adalah tiazolidindion (pioglitazon) dan

Glucagon Like Peptide-1/GLP-1 agonis (exenatide).

Tingkat 1/Langkah 1 (Tier 1/Step 1)

Konsensus ADA-EASD (2008) menganjurkan untuk melakukan

intervensi segera setelah pasien terdiagnosis menderita DM. Intervensi

awal yang dilakukan adalah kombinasi modifikasi gaya hidup dan

Page 40: Laporan Home Visit Lansia

pemberian metformin. Modifikasi gaya hidup pada lansia penderita

DM meliputi menjaga pola makan (diet) yang baik, olah raga dan

penurunan berat badan.

1) Modifikasi gaya hidup

a) Terapi diet

Terapi diet untuk lansia dapat merupakan sebuah masalah

tersendiri karena adanya berbagai keterbatasan, antara lain

berupa : keterbatasan finansial, tidak mampu menyediakan

bahan makanan karena masalah transportasi/mobilitas, tidak

mampu menyiapkan makanan (terutama pada lansia pria tanpa

istri), keterbatasan dalam mengikuti instruksi diet karena

adanya gangguan fungsi kognitif, berkurangnya pengecapan

karena berkurangnya kepekaan dan jumlah reseptor pengecap,

meningkatnya kejadian konstipasi pada lansia. Total kalori dan

komposisi makanan juga harus diperhitungkan

b) Olah raga

Berikut ini adalah pertimbangan manfaat-risiko olah raga

pada lansia.

Tabel 3.1 Peran Olahraga dalam penatalaksanaan DM pada

Lansia

Karena pada lansia, seringkali dijumpai juga penyakit penyerta

seperti osteoartritis, parkinson, gangguan penglihatan, dan

gangguan keseimbangan, maka olah raga sebaiknya dilakukan di

lingkungan yang memang dekat, dan jenis olah raga yang

dilakukan lebih bersifat isotonik daripada isometrik.

Page 41: Laporan Home Visit Lansia

2) Metformin

Dalam konsensus ADA-EASD (2008), metformin dianjurkan

sebagai terapi obat lini pertama untuk semua pasien DM tipe 2

kecuali pada mereka yang punya kontraindikasi terhadap

metformin misalnya antara lain gangguan fungsi ginjal (kreatinin

serum >133 mmol/L atau 1,5 mg/dL pada pria dan >124 mmol/L

atau 1,4 mg/dL pada wanita), gangguan fungsi hati, gagal jantung

kongestif, asidosis metabolik, dehidrasi, hipoksia dan pengguna

alkohol. Namun, karena kreatinin serum tidak menggambarkan

keadaan fungsi ginjal yang sebenarnya pada usia sangat lanjut,

maka metformin sama sekali tidak dianjurkan pada lansia >80

tahun. Metformin bermanfaat terhadap sistem kardiovaskular dan

mempunyai risiko yang kecil terhadap kejadian hipoglikemia.

Meskipun demikian, penggunaan metformin pada lansia

dibatasi oleh adanya efek samping gastrointestinal berupa

anoreksia, mual, dan perasaan tidak nyaman pada perut (terjadi

pada 30% pasien). Untuk mengurangi kejadian efek samping ini,

dapat diberikan dosis awal 500 mg, kemudian ditingkatkan 500

mg/minggu untuk dapat mencapai kadar gula darah yang

diinginkan.

Walaupun terapi awal dengan modifikasi gaya hidup dan

metformin pada mulanya efektif, hal yang terjadi secara alami pada

sebagian besar pasien DM tipe 2 adalah kecenderungan naiknya

gula darah seiring dengan berjalannya waktu dengan prevalensi 5-

10% per tahun. Sebuah studi UKPDS menyatakan bahwa 50%

pasien yang terkontrol dengan obat-obatan tunggal memerlukan

penambahan obat kedua setelah 3 tahun; dan setelah 9 tahun, 75%

pasien memerlukan terapi multipel untuk mencapai target HbA1C

<7%.

Berikut ini adalah faktor yang turut memperburuk kontrol gula

darah tersebut :

Page 42: Laporan Home Visit Lansia

a) Penurunan kepatuhan terhadap modifikasi gaya hidup (diet,

olah raga, dan usaha menurunkan berat badan) maupun

kepatuhan minum obat hipoglikemik.

b) Adanya penyakit lain atau mengkonsumsi obat-obatan yang

dapat meningkatkan resistensi insulin, mempengaruhi

pelepasan insulin, atau meningkatkan produksi glukosa hati.

Hal ini terutama berperanan pada lansia penderita DM yang

umumnya mengkonsumsi banyak obat.

c) Progresivitas DM tipe 2 dapat berupa meningkatnya resistensi

insulin atau defek sekresi insulin. Konsensus ADA dan EASD

menganjurkan pemeriksaan HbA1C setiap 3 bulan serta

penambahan obat kedua jika target terapi HbA1C <7% tidak

tercapai dengan modifikasi gaya hidup dan metformin (lihat

algoritma). Untuk dapat mencapai target HbA1C, diperlukan

target kadar gula darah puasa 70-130 mg/dl dan kadar gula

postprandial <180 mg/ dL. Untuk pasien DM yang tidak gula

darahnya tidak terkendali dengan kombinasi modifikasi gaya

hidup dan metformin, ada 4 golongan obat-obatan yang dapat

diberikan menurut konsensus ADA-EASD. Obat-obatan ini

terdiri dari 2 golongan yaitu terapi tingkat 1/langkah 2 yang

terdiri dari sulfoniliurea dan insulin serta terapi tingkat 2 yang

terdiri dari tiazolidindion dan agonis Glucagon Like Peptide-

1/GLP-1. Di antara semua obat ini, sulfonilurea adalah yang

paling cost-effective, sedangkan insulin dianggap sebagai

terapi yang paling efektif dalam mencapai target gula darah.

Namun, sulfonilurea dan insulin berhubungan dengan risiko

hipoglikemia dan peningkatan berat badan.

Tingkat 1/Langkah 2 (Tier 1/Step 2)

1) Sulfonilurea

Sulfonilurea dapat digunakan ketika ada keadaan yang

merupakan kontraindikasi untuk metformin, atau digunakan

Page 43: Laporan Home Visit Lansia

sebagai dalam kombinasi dengan metformin jika gula darah target

belum tercapai. Sulfonilurea jenis apapun yang digunakan tunggal

menyebabkan penurunan HbA1C sebesar 1-2%.

Mekanisme kerja utama sulfonilurea adalah meningkatkan

sekresi insulin sel b pankreas. Pada studi UKPDS, tampak tidak

ada perbedaan dalam hal efektivitas dan keamanan penggunaan

sulfonilurea (klorpropramid, glibenklamid, dan glipizid), tetapi

sulfoniliurea generasi kedua dengan masa kerja singkat lebih

dipilih untuk lansia dengan DM. Sedangkan klorpropramid dipilih

untuk tidak digunakan pada lansia karena masa kerja yang panjang,

efek antidiuretik, dan berhubungan dengan hipoglikemia

berkepanjangan. Di antara sulfonilrea generasi kedua, glipizid

mempunyai risiko hipoglikemia yang paling rendah sehingga

merupakan obat terpilih untuk lansia.

Meskipun demikian, semua sulfonilurea dapat menyebabkan

hipoglikemia. Oleh karena itu, pemberiannya harus dimulai dengan

dosis yang rendah dan ditingkatkan secara bertahap untuk

mencapai gula darah target, sembari dilakukan pengawasan untuk

mencegah terjadinya efek samping.

2) Insulin

Berdasarkan konsensus ADA-EASD, insulin dapat diberikan

bila target gula darah tidak tercapai dengan modifikasi gaya hidup

dan pemberian metformin. Selain itu, insulin juga diberikan pada

keadaan adanya kondisi akut, seperti sakit berat, keadaan

hiperosmolar, ketosis, dan pada pembedahan. Keputusan untuk

memulai pemberian insulin dibuat berdasarkan pertimbangan akan

kemampuan penderita untuk menyuntikkan sendiri insulin, dan

keutuhan fungsi kognitif. Pada lansia yang bergantung pada orang

lain untuk memberikan insulin, maka gunakan insulin masa kerja

panjang (long-acting) dengan dosis sekali sehari, walaupun ini

Page 44: Laporan Home Visit Lansia

tidak dapat memberikan kontrol gula darah sebaik yang dicapai

dengan pemberian insulin basal bolus atau regimen dua kali sehari.

Pada lansia yang hanya menggunakan insulin basal, saatnya

pemberian insulin bukan hal yang penting. Jika kontrol gula darah

atau glukosa postprandial target tidak tercapai dengan pemberian

basal insulin, maka dapat diberikan insulin kerja singkat (short-

acting). Namun, pada pemberian bolus insulin short acting, saatnya

makan merupakan faktor penting, dan sering menimbulkan

masalah pada pasien yang renta yang tidak dapat menyuntikkan

insulinnya sendiri.

Dibandingkan dengan insulin jenis lain, insulin analog paling

mendekati pola sekresi insulin endogen basal pada orang dewasa

sehat. Walaupun demikian, penggunaan insulin berhubungan

dengan efek samping peningkatan berat badan dan hipoglikemia.

Dari berbagai studi dilaporkan bahwa efek samping hipoglikemia

lebih jarang terjadi pada penggunaan analog insulin (detemir dan

glargine) dibandingkan NPH. Sementara itu, didapati efek

peningkatan berat badan dengan nilai yang sama (+ 3 kg dalam 6

bulan) baik pada golongan analog insulin maupun NPH.

Bila kegagalan sel β pankreas mensekresi insulin sudah

demikian parah, diperlukan pemberian insulin untuk kontrol gula

darah, sehingga insulin memegang peranan penting dalam tata

laksana DM. Lansia merupakan kelompok populasi yang rentan

terhadap efek samping hipoglikemia. Oleh sebab itu, diperlukan

edukasi bagi lansia dan pengasuhnya tentang pengenalan gejala

hipoglikemia dan penanganannya.

Tingkat 2 (Tier 2)

Obat-obatan pada terapi tingkat 2 belum banyak dibuktikan secara

klinis seperti yang digunakan pada terapi tingkat 1, sehingga

penggunaannya masih terbatas, termasuk pada lansia. Berikut ini

Page 45: Laporan Home Visit Lansia

sedikit pembahasan mengenai obat-obat yang digunakan pada terapi

tingkat 2.

1) Tiazolidindion

Tiazolidindion merupakan kelompok obat yang dapat

memperbaiki kontrol gula darah dengan meningkatkan kepekaan

jaringan perifer terhadap insulin. Penggunaan tiazolidindion

(pioglitazon dan rosiglitazon) sebagai monoterapi menyebabkan

penurunan HbA1C sebesar 0,5-1,4%. Pada berbagai studi klinis

didapatkan bahwa kontrol gula darah dengan rosiglitazon lebih

lama dibandingkan dengan metformin.

Tidak seperti obat DM lainnya, tiazolidindion memperbaiki

berbagai marker fungsi sel β pankreas yang antara lain ditunjukkan

dengan meningkatnya sekresi insulin selama 6 bulan. Namun, efek

ini hanya sementara, setelah 6 bulan terapi dengan tiazolidindion,

terjadi penurunan fungsi sel β pankreas.

Di luar manfaat tersebut, tiazolidindion mempunyai beberapa

efek samping, antara lain peningkatan berat badan dan edema yang

terkait dengan risiko kardiovaskular. Studi menunjukkan bahwa

risiko gagal jantung meningkat sebesar 1,2-2 kali lipat pada

penggunaan tiazolidindion dibandingkan obat hipoglikemik lain.

Gagal jantung terjadi pada median terapi selama 6 bulan, baik pada

dosis tinggi maupun rendah, dan ini terutama terjadi pada lansia.

Baik pioglitazon maupun rosiglitazon berisiko menimbulkan

gagal jantung. Bahkan rosiglitazon juga berisiko memicu kejadian

iskemia miokard (peningkatan risiko relatif 40%) sehingga

konsensus ADA/EASD (2008) tidak menganjurkan rosiglitazon

untuk terapi DM tipe 2. Berbeda dengan rosiglitazon, pioglitazon

dapat mengurangi kejadian kardiovaskular karena pioglitazon

dapat memperbaiki profil lipid aterogenik.

Efek samping lain dari tiazolidindion adalah meningkatnya

risiko fraktur >2 kali lipat, terutama pada panggul. Efek samping

ini dapat terjadi setelah penggunaan tiazolidindion 12-18 bulan.

Page 46: Laporan Home Visit Lansia

Risiko fraktur ini sama baik dengan dosis tinggi maupun rendah,

pada pasien lansia maupun nonlansia, dan pada pria maupun

wanita.

2) Agonis GLP-1

Sistem gastrointestinal memegang peranan penting dalam

homeostasis glukosa. Hal ini terlihat berupa lebih banyaknya

respons insulinotropik pada pemberian nutrisi per oral

dibandingkan pada pemberian glukosa intravena. Yang berperanan

dalam hal ini adalah hormon inkretin yang terdiri dari GLP-1 dan

Glucose-dependent Insulinotropic Poplypeptide/GIP). Pada pasien

DM tipe 2, sekresi GIP setelah makan hanya sedikit terganggu,

sementara sekresi GLP-1 terganggu secara nyata. Pemberian GLP-

1 parenteral meningkatkan sekresi insulin secara dose-dependent

dan juga menurunkan sekresi glukagon, sehingga menurunkan

kadar gula darah puasa dan postprandial. Hal ini tidak terjadi pada

pemberian GIP parenteral. Sayangnya GLP-1 cepat didegradasi

oleh enzim DPP-4. Untuk mengatasi hal ini, saat ini dikembangkan

agonis reseptor GLP-1 yang memperpanjang masa kerja GLP-1

endogen dan melawan efek enzim DPP-4. Pemberian agonis

reseptor GLP-1 akan meningkatkan aksi kerja GLP-1 (menurunkan

kadar gula darah, mengurangi sekresi glukagon, menurunkan berat

badan, menimbulkan rasa cepat kenyang, memperlambat

pengosongan lambung).

Walaupun tidak digunakan sebagai monoterapi dalam tata

laksana DM tipe 2, beberapa uji klinis menunjukkan bahwa pada

penggunaan agonis reseptor GLP-1 terjadi penurunan HbA1C

sebesar 0,5-1,5 %.

Penggunaan obat golongan tingkat 2 berdasarkan konsensus

ADA-EASD tampaknya menjanjikan untuk tata laksana DM,

namun masih terbatasnya penelitian dan pengalaman klinis

terhadap obat-obatan tersebut menyebabkan penggunaannya masih

Page 47: Laporan Home Visit Lansia

terbatas. Oleh sebab itu, kelompok obat ini belum dianjurkan untuk

digunakan pada lansia.

3) Obat-obatan lain

Dalam konsensus ADA-EASD, sekelompok obat yang dalam

penelitian terlihat kurang efektif dalam menurunkan kadar gula

darah berikut dimasukkan dalam kelompok obat-obatan lain.

Kelompok ini juga belum banyak diteliti dan harganya lebih mahal.

Termasuk dalam kelompok ini penghambat a-glukosidase, glinid,

pramlintide, penghambat DPP-4.

b. Penatalaksanaan Hipertensi

Banyak penelitian menunjukkan bahwa pentingnya terapi

hipertensi pada lanjut usia; dimana terjadi penurunan morbiditas dan

mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler.

Sebelum diberikan pengobatan, pemeriksaan tekanan darah pada

lanjut usia hendaknya dengan perhatian khusus, mengingat beberapa

orang lanjut usia menunjukkan pseudohipertensi (pembacaan

spigmomanometer tinggi palsu) akibat kekakuan pembuluh darah

yang berat. Khususnya pada perempuan sering ditemukan hipertensi

jas putih dan sangat bervariasinya TDS.

1) Sasaran tekanan darah

Pada hipertensi lanjut usia, penurunan TDD hendaknya

mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal.

Sasaran yang diajukan pada JNCVI dimana pengendalian tekanan

darah (TDS <140 mmHg dan TDD <90mmHg) tampaknya terlalu

ketat untuk penderita lanjut usia. Sys-Eur trial merekomendasikan

penurunan TDS < 160 mmHg sebagai sasaran intermediet tekanan

darah, atau penurunan sebanyak 20 mmHg dari tekanan darah

awal.

Page 48: Laporan Home Visit Lansia

2) Modifikasi pola hidup

Mengubah pola hidup/intervensinon farmakologis pada

penderita hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua

penderita, sangat menguntungkan untuk menurunkan tekanan

darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah :

menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum

alcohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan

garam, mempertahankan asupan kalium yang adekuat,

mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat,

menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan

kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi

nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-

obatan.

3) Terapi farmakologis

Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan

mempengaruhi metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus

dipertimbangkan dalam memberikan obat antihipertensi.

Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis kecil dan

kemudian ditingkatkan secara perlahan. Menurut JNC VI pilihan

pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia

adalah diuretic atau penyekat beta. Pada HST, direkomendasikan

penggunaan diuretic dan antagonis kalsium. Antagonis kalsium

nikardipin dan diuretic tiazid sama dalam menurunkan angka

kejadian kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta lainnya akan

menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada

penderita dengan penyakit jantung koroner, penyekat beta

mungkin sangat bermanfaat; namun demikian terbatas

penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri tepi,

gagal jantung/ kelainan bronkus obstruktif. Pada penderita

hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung

Page 49: Laporan Home Visit Lansia

kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin convening

enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan ptlihan terbaik.

2. Penatalaksanaan Secara Khusus Terhadap Pasien

a. Penatalaksanaan terhadap Ny. C

Dari hasil home visit yang kami lakukan terhadap Ny. C, kami

dapat menyimpulkan beberapa penatalaksanaan baik itu farmakologi

maupun non-farmakologi untuk Ny. C agar penyakit yang dideritanya

sekarang tidak menjadi lebih parah.

Untuk penatalaksanaan farmakologi untuk Ny. C, kami

menyarankan agar ia melanjutkan konsumsi obat diabetesnya yaitu

glibenklamid, namun harus lebih teratur, karena sebelum kunjungan

kami, dia mengkonsumsi obat tersebut tidak sesuai anjuran dokter dan

hanya meminum obatnya saat dia merasa kesehatannya terganggu

karena diabetes tersebut.

Saat ini dia tidak teratur meminum obat antihipertensinya

karena dia sering terbatuk setelah meminum obat sehingga dia tidak

dapat beristirahat dengan nyaman. Untuk itu kelompok kami

menyarankan agar Ny. C kontrol ke dokter terlebih dahulu dan

menceritakan keluhan yang dia alami setelah mengkonsumsi obat

antihipertensinya tersebut agar obat antihipertensinya dapat diganti

dengan yang lain oleh dokter dan tidak menyebabkan gangguan lain

pada dirinya sehingga dia dapat mengontrol tekanan darahnya tanpa

rasa tidak nyaman yang ditimbulkan obat antihipertensinya.

Untuk penatalaksanaan non-farmakologisnya, kelompok kami

menyarankan agar Ny. C tetap melakukan aktivitasnya sehari-hari,

dan lebih menjaga pola makan serta keamanan di lingkungan

rumahnya. Kami juga menyarankan kepada Ny. C untuk lebih teratur

lagi memeriksakan kesehatannya ke sarana kesehatan untuk

mengontrol tekanan darah dan kadar gula darahnya sehingga dengan

begitu tingkat kesehatannya akan lebih meningkat

.

Page 50: Laporan Home Visit Lansia

b. Penatalaksanaan terhadap Ny. E

Dari hasil home visit yang kelompok kami lakukan, kami memberi

saran kepada Ny. E baik itu untuk penggunaan obat-obatan yang dia

konsumsi maupun pola hidupnya.

Untuk Ny. E, kelompok kami menyarankan untuk tetap

mengkonsumsi obat hipoglikemik dan antihipertensi yang sedang dia

konsumsi sesuai dengan peresepan dokter. Kami juga menyarankan

agar dia lebih rajin lagi memeriksakan kesehatannya ke bagian

pelayanan kesehatan, tidak hanya saat ada posbindu lansia saja yang

dilaksanakan pada tanggal 17 setiap bulannya.

Untuk penatalaksanaan non-farmakologinya, kami menyarankan

kepada Ny. E agar dia tetap menjaga pola makannya dengan memakan

nasi sedikit, banyak konsumsi sayur dan buah, dan menggunakan

pemanis untuk pasien khusus diabetes. Untuk lingkungan rumahnya,

kami menyarankan kepadanya untuk menjaga lantai rumahnya agar

tidak licin dan agar dia tidak jauh dari tongkatnya yang digunakan

sebagai alat bantu untuk berjalan. Selain itu kelompok kami juga

menyarankan kepda Ny. E agar sering membersihkan kamar

mandinya tetapi tidak sembari jongkok agar kamar mandinya tidak

licin dan aman untuk dia gunakan..

Untuk penatalaksanaan psikisnya, karena dia merasa kesepian,

kelompok kami sudah memberikan nomor handphone kami juga, agar

jika sewaktu-waktu dia membutuhkan teman berbicara, kami dapat

menemaninya. Kelompok kami juga mungkin sesekali akan

mengunjunginya walaupun hanya menemaninya mengobrol agar dia

tidak terlalu kesepian.

B. Cara Mengevaluasi

1. Evaluasi Diabetes Melitus

Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses

penatalaksanaan, dimana evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara

Page 51: Laporan Home Visit Lansia

terus menerus dengan melibatkan pasien, dokter, keluarga dan anggota tim

kesehatan lainnya. (Tjokronegoro, 2002)

Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan

dalam rencana penatalaksanaan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk

melakukan pengkajian ulang. (Tjokronegoro, 2002)

Evaluasi pada klien dengan DM yaitu :

a. Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi

b. Kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi

c. Gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan   

penyembuhan.

d. Pasien tidak kelelahan.

e. Pasien tidak mengalami injury

2. Evaluasi Hipertensi

Walaupun dokter dapat mendiagnosa adanya kondisi hipertensi

berdasarkan pada pemeriksaan tekanan darah saja, namun dokter perlu

melakukan berbagai pemeriksaan lain, dengan tujuan:

a. mencari berbagai faktor risiko bagi terjadinya penyakit

‘kardiovaskuler’, termasuk mencari adanya gaya hidup yang

mendukung hal tersebut.

b. mencari penyebab hipertensi, apakah merupakan suatu hipertensi

primer atau suatu hipertensi sekunder.

c. mencari ada tidaknya kerusakan pada organ-organ target hipertensi.

Evaluasi yang dilakukan dokter untuk menemukan ketiga hal diatas

dapat meliputi wawancara keluhan, pemeriksaan fisik dan melakukan

berbagai pemeriksaan laboratorium.

Hipertensi sendiri umumnya tidak menimbulkan keluhan, namun

mungkin saja terdapat keluhan lain serta penemuan fisik/laboratorium

yang mendukung bagi dokter untuk menentukan apa faktor risiko yang

menyebabkan seseorang mengidap hipertensi, serta sudah sejauh mana

dampak hipertensi pada orang tersebut. Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan dokter dapat meliputi:

Page 52: Laporan Home Visit Lansia

a. pemeriksaan laboratorium,

b. pemeriksaan pencitraan/radiologis (seperti foto ‘Rontgen’, CT-Scan,

angiografi koroner, dsb)

c. pemeriksaan EKG (’elektrokardiografi’).

d. pemeriksaan funduskopi ‘mata’.

Pemeriksaan penunjang umumnya dapat ‘sensitif’ untuk dapat

mengungkap perihal faktor risiko, penyebab dan dampak hipertensi pada

seseorang. Misalnya, selain hipertensi ternyata dari hasil pemeriksaan

penunjang seseorang diketahui pula sudah mempunyai penyakit ginjal

kronik, atau pembesaran jantung, kerusakan pembuluh darah mata,

terdapat plak di arteri koroner jantung dan lain-lain.

Page 53: Laporan Home Visit Lansia

DAFTAR PUSTAKA

Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu Cet 2. Jakarta

: Balai Penerbit FKUI, 2002

Kurniawan, Indra. 2010. Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Usia Lanjut. MKI vol. 60

no 12. Bangka Belitung

Martono, Hadi dkk. 2011. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Balai Penerbit

FKUI. Jakarta

Kaplan, Harold I dkk. 2010. Sinopsis Psikiatri. Binarupa Aksara Publisher.

Tangerang.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan

Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh

Agung Waluyo…(dkk), EGC, Jakarta

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2006. Konsensus

Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta :

Perkeni

Sheps, Sheldon G. 2005. Mayo Clinic Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah

Tinggi. Jakarta: PT Intisari Mediatama

Corwin, Elizabeth J. 2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC

Julianti, D, dkk., 2005, Bebas Hipertensi Dengan Terapi Jus, Puspa Swara,

Jakarta

Hayens, B., et. al., 2003. Buku Pintar Menaklukan Hipertensi. Penerbit Ladang

Pustaka dan Intimedia. Jakarta

Dekker, E. (1996). Hidup dengan Tekanan Darah Tinggi. Jakarta : CV Muliasari.

Santoso, Fredy. Diet Pencegah Hipertensi. 2009. Diakses Tanggal 10 April 2013

Kuswhardani, Tuty RA. 2010. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lansia.Bagian

Penyakit Dalam FK. Unud, RSUP Sanglah Denpasar. Bali.