Top Banner
LAPORAN KASUS KRANIOFARINGIOMA Oleh: Riri Kumala Sari H1A 008 026 Pembimbing: dr. Bambang Priyanto, Sp.BS
57

Laporan Bs

Dec 29, 2015

Download

Documents

Nuzul Love Nisa
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Bs

LAPORAN KASUS

KRANIOFARINGIOMA

Oleh:

Riri Kumala Sari

H1A 008 026

Pembimbing:

dr. Bambang Priyanto, Sp.BS

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB

MATARAM – 2014

Page 2: Laporan Bs

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Kraniofaringioma

Nama : Riri Kumala Sari

NIM : H1A 008 026

Laporan kasus ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan Klinik

Madya pada Bagian/SMF Bedah Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat / Fakultas

Kedokteran Universitas Mataram.

Mataram, Februari 2014

Pembimbing,

dr. Bambang Priyanto, Sp.BS

1

Page 3: Laporan Bs

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

a. Nama : Tn. S

b. Usia : 31 tahun

c. Jenis kelamin : Laki-laki

d. Suku : Sasak

e. Agama : Islam

f. Alamat : Sikur, Lombok Timur

g. Tanggal kunjungan : 24 Desember 2013

h. Tanggal pemeriksaan : 24 Desember 2013

B. Anamnesa

a. Keluhan Utama

Nyeri kepala

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien rujukan RSUD Selong dengan tumor serebri suspek kraniofaringioma

dengan hidrosefalus obstruktif. Pasien mengeluh nyeri kepala sejak 2 tahun yang

lalu, memberat sejak 1 minggu yang lalu (17/12/14). Nyeri kepala dirasakan pada

seluruh kepala terutama kepala bagian depan, nyeri dirasakan seperti tertekan.

Nyeri kepala dirasakan terus menerus, semakin lama semakin memberat. Nyeri

kepala tidak dipengaruhi oleh posisi. Nyeri dirasakan memberat pada pagi hari.

Nyeri kepala disertai dengan keluhan muntah sejak 1 minggu yang lalu. Muntah

dikeluhkan sebanyak dua kali. Muntah terutama dirasakan sejak pagi hari. Muntah

yang dirasakan pasien sangat hebat hingga pasien terbatuk-batuk.

Sejak 2 tahun yang lalu, badan sebelah kanan dirasakan kaku dan keras.

Badan sebelah kanan juga dirasakan sulit digerakkan. Selain itu, pasien terkadang

merasa lemas pada badan kanan, lemas dirasakan terutama saat pasien baru

bangun tidur. Pasien mengaku sulit melakukan aktivitas sehari-hari setelah pasien

kaku pada tubuh sebelah kanan. Pasien tidak pernah mengeluh kesemutan maupun

rasa tebal pada tubuh bagian kanan. Tidak terdapat rasa tebal pada wajah dan tidak

pernah mengalami kejang. Menurut istri pasien, tidak ada perubahan pada

kepribadian pasien setelah sakit.

2

Page 4: Laporan Bs

Pasien juga mengeluh mata sebelah kiri kurang melihat sejak 2 tahun yang

lalu. Pandangan dirasakan kabur, tidak didapatkan penglihatan ganda maupun

penglihatan berbayang. Pasien juga mengeluh telinga sebelah kiri kurang

mendengar. Sejak 2 tahun yang lalu pasien juga berbicara pelo serta kurang jelas

dan mengeluh bibirnya tampak miring.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien menyatakan tidak pernah mengalami keluhan nyeri kepala hebat disertai

kaburnya penglihatan dan kurangnya pendengaran sebelumnya. Pasien tidak

memiliki riwayat tekanan darah tinggi maupun riwayat kencing manis. Pasien

tidak pernah mengalami trauma kepala maupun kejang.

d. Riwayat tumbuh kembang

Pasien tidak mengingat riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien saat masa

kanak-kanak. Namun pasien mengaku bersekolah sampai SMA. Saat bersekolah

pasien pernah mendapat peringkat atas pada saat SD. Pada saat SMP dan SMA

pasien tidak mendapat peringkat. Pasien mengaku saat masa sekolah perawakan

pasien termasuk sedang dibandingkan dengan teman-temannya.

e. Riwayat Pengobatan

Pasien sebelumnya sering dibawa berobat ke dukun. Pasien sudah berobat ke RS

Selong kemudian dirujuk ke RSUP Mataram dengan tumor otak. Awalnya di

Selong pasien didiagnosis sebagai stroke non hemoragik dan telah diberikan obat

captopril dan aspilet.

f. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami riwayat tumor otak. Tidak terdapat

riwayat keluarga dengan tekanan darah tinggi maupun kencing manis.

C. Pemeriksaan Fisik

I. Status Generalis

Keadaan umum : Sedang

GCS : E4V5M6

Tekanan darah : 120/70 mmHg

3

Page 5: Laporan Bs

Nadi : 88 x/menit, teratur, kuat angkat

Frekuensi napas : 16 x/menit, teratur, tipe pernapasan torako-abdominal

Temperatur axila : 36,8 oC

II. Pemeriksaan Fisik Umum

a. Kepala

Kepala : normocephali, masa (-), cephal hematoma (-).

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflex pupil (+/+)

isokor, bentuk regular ukuran 3 mm/3 mm.

Hidung : bentuk normal, deviasi septum (-), rinore (-).

Telinga : bentuk normal, otorrhea -/-, hematoma retroaurikula (-).

b. Leher

Jejas (-), deformitas tulang belakang leher (-), depresi tulang spinosum (-).

c. Thorax

Inspeksi : bentuk dan ukuran thorax normal, pergerakan dinding dada kanan

dan kiri simetris, iktus kordis tidak tampak, jejas (-).

Palpasi : pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris.

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.

Auskultasi : cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

pulmo : suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

d. Abdomen

Inspeksi : distensi (-), jejas (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : massa (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani pada lapang abdomen

e. Ekstremitas

Ekstremitas atas

Kanan : spastik dengan posisi tangan fleksi dan jari-jari tangan tampak

menggenggam, jejas (-), hematom (-), edema (-), akral hangat

(+)

Kiri : spastik (-), jejas (-), hematom (-), edema (-), akral hangat (+)

Ekstremitas bawah :

Kanan : spastik (+), jejas (-), hematom (-), edema (-), akral hangat (+)

Kiri : spastik (-), jejas (-), hematom (-), edema (-), akral hangat (+)

III. Pemeriksaan Neurologis

4

Page 6: Laporan Bs

GCS : E4V5M6

Kesadaran : Compos mentis

a. Pemeriksaan Saraf kranialis

Nervus kranialis I : normosmia, hiposmia (-), anosmia (-)

Nervus kranialis II :

Tajam penglihatan (visus) :

o OD : > 3/60 (bed site)

o OS : 3/60 (bed site)

Lapang pandang :

Tes konfrontasi normal dari segala arah

Nervus kranialis III

- Kontraksi muskulus levator palpebra dekstra dan sinistra dalam batas

normal

- Gerakan bola mata baik ke segala arah, nistagmus (+) horizontal,

gerakan cepat.

OD OS

- Refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)

- Refleks pupil akomodatif (+/+).

Nervus kranialis IV

- Kontraksi muskulus obliquus superior dekstra dan sinistra dalam batas

normal.

Nervus kranialis V

- Motorik

Muskulus temporalis

Dekstra Sinistra

Konsistensi otot Kenyal Kenyal

Kekuatan otot Sama kuat

Atrofi (-) (-)

Muskulus masetter

Dekstra Sinistra

5

Page 7: Laporan Bs

Konsistensi otot Kenyal Kenyal

Kekuatan otot Sama kuat

Atrofi (-) (-)

- Sensorik:

N. V1 → +/+

N. V2 → +/+

N. V3 → +/+

Refleks kornea OD (+); Refleks Kornea OS (+).

Nervus kranialis VI

- Kontraksi muskulus rektus lateralis (mengakibatkan pergerakan

abduksi bola mata) dekstra dan sinistra dalam batas normal.

Nervus kranialis VII

- Motorik

Kontraksi otot wajah:

o Saat istirahat: asimetris (sudut bibir kanan tampak jatuh).

o Saat mengangkat alis: simetris.

o Saat menutup mata: kedua mata dapat dipejamkan, celah mata

kanan ± 2 mm, mata kiri tertutup rapat.

o Saat memperlihatkan gigi: asimetris (tampak bibir bagian

kanan masih menutupi gigi).

o Saat menarik sudut bibir ke bawah: asimetris (tak tampak

kerutan yang dibentuk oleh sudut nasolabial kanan).

- Sensorik

Sensasi kecap manis, asam, dan asin dalam batas normal

Refleks stapedial : tidak dilakukan

Tes schirmer : tidak dilakukan

Nervus kranialis VIII

- Pendengaran

Tes rinne: (+/+)

Tes weber lateralisasi ke telinga yang sehat

Tes schwabach: memendek

- Keseimbangan

- Tes Romberg (+) penderita jatuh ke sisi kanan

6

Page 8: Laporan Bs

Nervus kranialis IX dan X

- Orofaring dan uvula dalam keadaan istirahat: arkus faring kanan lebih

rendah dari yang kiri.

- Orofaring dan uvula dalam keadaan berfonasi : uvula dan arkus faring

tertarik ke kiri.

- Refleks muntah (+).

- Disartria (+).

Nervus kranialis XI

- Muskulus trapezius

Dekstra Sinistra

Konsistensi otot Kenyal Kenyal

Kekuatan otot 5 5

Atrofi (-) (-)

- Muskulus sternokleidomastoideus

Dekstra Sinistra

Konsistensi otot Kenyal Kenyal

Kekuatan otot 5 5

Atrofi (-) (-)

Nervus kranialis XII

- Saat istirahat : atrofi (+) pada lidah kanan, deviasi lidah ke kiri,

fasikulasi (-), tremor (-)

- Saat menjulurkan lidah: atrofi (+) pada lidah kanan, deviasi lidah ke

kanan, fasikulasi (-), tremor (+)

b. Rangsangan meningeal

Kaku Kuduk : (-)

Kernig sign : (-)

Brudzinski I : (-)

Brudzinski II : (-)

c. Refleks fisiologis

Biseps : (+)↑/(+)

Triseps : (+)↑/(+)

KPR : (+)↑/(+)

APR : (+)↑/(+)

7

Page 9: Laporan Bs

d. Refleks patologis

Babinsky : (-)/(-)

Chaddok : (-)/(-)

Oppenheim : (-)/(-)

Scaefer : (-)/(-)

Gordon : (-)/(-)

e. Motorik

Motorik Superior Inferior

Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra

Pergerakan Terbatas normal terbatas normal

Kekuatan 4 5 4 5

Tonus otot spastik normal spastik normal

Bentuk otot normal normal normal normal

f. Sensorik:

Sensasi superfisial

Raba : + / +

Nyeri : + / +

Suhu : + / +

Sensasi dalam / proprioseptif

Terasa getaran : + / +

Rasa nyeri dalam otot : + / +

Taktil diskriminasi : + / +

Sensasi viseral

Lapar : + / +

g. Pemeriksaan serebelum

- Nose-finger-nose test jari telunjuk pasien tidak mampu

mencapai jari telunjuk pemeriksa tepat pada waktunya, terdapat

tremor beberapa saat sebelum jari pasien dapat mencapai jari

telunjuk pemeriksa.

Kesan : dismetria, tremor intensi

8

Page 10: Laporan Bs

Gambar 1. Tampak wajah asimetris, wajah sebelah kanan tampak tertinggal.

D. RESUME

Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala, bersifat tumpul, terutama pada regio

frontal, nyeri kontinyu, progresif, tidak dipengaruhi oleh posisi, disertai dengan muntah yang

proyektil. Pasien juga merasa badan sebelah kanannya kaku dan sulit digerakkan serta lemas

pada badan kanan. Pandangan kiri kabur dan pendengaran kiri kurang. Pasien juga mengeluh

berbicara pelo dan kurang jelas serta mengeluh bibirnya tampak miring. Dari pemeriksaan

fisik didapatkan keadaan umum sedang, tanda vital stabil, nistagmus (+), dismetria (+),

tremor intensi (+), hemiparese dekstra (+) tipe UMN, terdapat parese N. VII sentral, parese

N. VIII koklearis dan vestibularis, parese N. IX, X, parese N. XII sentral.

Problems list:

Cephalgia

Badan sebelah kanan kaku

Pandangan kiri kabur

Pendengaran kiri berkurang

Nistagmus, dismetria, tremor intensi

9

Page 11: Laporan Bs

Hemiparese spastik dekstra tipe UMN

Multiple cranial nerves palsy tipe sentral

E. DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis

Cephalgia

Nistagmus, dismetria dan tremor intensi

Hemiparese spastik dekstra tipe UMN

Multiple cranial nerves palsy tipe sentral

Diagnosis etiologis

Curiga proses intrakranial

Hidrosefalus

Tumor otak

Edema serebri

Abses otak

Diagnosis topis

Supratentorial dan infratentorial

F. PLANNING

1. Diagnostik

Pemeriksaan lanjutan :

Pemeriksaan refleks stapedial

Pemeriksaan schirmer

Pemeriksaan kalori

Pemeriksaan visus dengan Snellen chart

Pemeriksaan lapang pandang : kampimeter

Pemeriksaan funduskopi

Pemeriksaan audiometri

Pemeriksaan laboratorium :

DL, elektrolit, evaluasi hormon tiroid, ACTH, osmolaritas urin.

Pemeriksaan radiologi :

CT scan

MRI

2. Terapi

10

Page 12: Laporan Bs

- Medikamentosa :

Paracetamol 3 x 500 mg

Asetazolamid 2 x 500 mg

3. Monitoring

- Keluhan : nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran,

frekuensi kencing.

- Vital sign : tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu.

- Produksi urine

- Status neurologis

4. Edukasi

Menjelaskan pada pasien kemungkinan penyebab dari keluhan pasien adalah

suatu proses intrakranial. Terdapat beberapa kemungkinan penyebab yang dapat

menimbulkan gejala seperti yang dialami pasien, yaitu : hidrosefalus, tumor otak,

edema serebri dan abses otak. mengusulkan pada pasien untuk melakukan

pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis yang dialami

pasien.

11

Page 13: Laporan Bs

G. Hasil CT-scan kepala

Gambar 2. Hasil CT scan pasien

Kesan :

Massa kistik luas dengan kalsifikasi pada regio sella sampai suprasella dan parasella

kanan kiri terutama kiri sesuai gambaran kraniofaringioma.

Pendesakan aquaduktus sylvii, ventrikel IV, serebelum dan lobus temporal kiri

hidrosefalus obstruktif.

H. DIAGNOSIS

Kraniofaringioma

I. PLANNING

1. Terapi

- Medikamentosa :

Paracetamol 3 x 500 mg

Asetazolamid 2 x 500 mg

- Pembedahan : eksisi tumor

12

Page 14: Laporan Bs

- Radioterapi

2. Monitoring

- Keluhan : nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran,

frekuensi kencing.

- Vital sign : tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu.

- Produksi urine

- Status neurologis

- Laboratorium : DL, elektrolit, osmolaritas urin.

3. Edukasi

Menjelaskan pada pasien bahwa pasien mengalami tumor otak, yaitu

kraniofaringioma. Tumor ini yang menyebabkan penekanan pada struktur otak

sekitar sehingga menyebabkan keluhan-keluhan yang dialami pasien. Tatalaksana

untuk kraniofaringioma ini adalah tatalaksana dengan obat-obatan, pembedahan

dan radioterapi. Terapi pembedahan pada pasien ini juga berisiko tinggi karena

lokasi tumor yang berdekatan dengan struktur-struktur penting pada otak. Apabila

tumor dibiarkan, ukurannya dapat membesar dan semakin menekan struktur

sekitarnya.

J. PROGNOSIS

Dubia ad malam

13

Page 15: Laporan Bs

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

A. 1 Anatomi Regio Sella

Fossa hipofisis dibatasi pada anterior, posterior dan inferior oleh struktur tulang sella

tursika. Batas anterior disebut tuberkulum sella. Batas posterior adalah dorsum sella. Pada

bagian anterior dan sedikit superior dari tuberkulum terdapat sulkus kiasmatikus yang

berujung pada tiap sisi foramen optikus. Batas superolateral dorsum sella membentuk struktur

bulat yang disebut prosesus clinoideus posterior yang merupakan tempat menempelnya dura.

prosesus clinoideus anterior memiliki fungsi yang sama dan berkaitan dengan sisi

anterolateral dari sella tursika (Amar dan Weiss, 2003).

Batas bawah dari fossa hipofiseal dibentuk oleh atap sinus sfenoideus, tergantung

ukuran sinus tersebut. Apabila sinus berukuran kecil, atapnya hanya membentuk dasar bagian

anterior dari sella tursika dan sisanya dibentuk oleh tulang sfenoid. Derajat pneumatisasi

tulang sfenoid dan ketebalan tulang yang memisahkan sinus sfenoid dari fosa hipofiseal

sangat bervariasi. Pola struktur tulang trabekula yang membagi sinus sfenoid juga tidak

konstan. Septum intrasinus menempel pada bagian tengah dinding sella anterior dan hanya

pada 20% kasus dan dapat pula tidak ada. Pada 20% kasus lain, perlekatan posterior dari

septum intrasinus adalah pada prominensia karotis (Amar dan Weiss, 2003).

Kontur dari sella juga sangat bervariasi. Meskipun konturnya bulat dan oval namun

dapat juga datar. Saat lahir, sella tursika terdiri dari depresi dangkal dan bagian dorsum

belum terosifikasi. Pada saat usia 4 tahun, bentuk sella menjadi semakin bulat. Dimensi

sagittal meningkat sebanyak 0,5 – 1 mm pertahun hingga masa pubertas (ketika bentuk sella

sudah definitif menjadi bulat). Rerata dimensi anteroposterior sella pada bidang midsagittal

adalah 1,07 cm, sedangkan rerata dalam dan dimensi transversumnya adalah 0,8 cm dan 1,21

cm. ukuran rerata sella sama pada pria maupun wanita (Amar dan Weiss, 2003).

Diafragma sella, yaitu lipatan dura dengan defek sentral akan membentuk atap tidak

komplit diatas sella tursika. Diafragma sella memisahkan lobus anterior dengan kiasma

optikus. Batas diafragma menempel pada tuberkulum sella, prosesus clinoid anterior, bagian

superior dorsum sella dan prosesus clinoid posterior. Pada bagian lateral, diafragma berlanjut

dengan lipatan dura yang menyusun dinding lateral fossa hipofisis (Amar dan Weiss, 2003).

Bagian sentral dari diafragma memiliki ukuran yang bervariasi, dari foramen kecil

hingga foramen besar. Ukuran apertura dan ketahanan diafragma merupakan faktor yang

penting dalam melindungi hipofisis dari pulsasi yang ditransmisikan dari pleksus koroideus

14

Page 16: Laporan Bs

atau dalam melindungi jaras visual terhadap ekstensi suprasella dari tumor hipofisis (Amar

dan Weiss, 2003).

A. 2 Anatomi parasella dan suprasella

Lipatan duramater yang membentuk dinding lateral fossa hipofisis berisi sinus

kavernosus, yang terdiri dari kanal-kanal vena yang dipisahkan oleh trabekula fibrosa. Kedua

sinus saling berhubungan dari sinus interkavernosus anterior dan posterior / sinus sirkularis.

Sinus ini melintas pada diafragma sella di depan dan belakang infundibulum (Amar dan

Weiss, 2003).

Nervus okulomotorius, nervus troklearis dan nervus trigeminus divisi satu dan dua

terdapat pada dinding lateral sinus kavernosus, diantara perbatasan endotelial dan dura mater.

Sedangkan nervus abdusen terdapat pada sinus tersebut. Sinus kavernosus juga membungkus

satu bagian dari arteri karotid interna dan pleksus nervus simpatikus yang mengelilinginya.

Segmen kavernosus dari arteri karotid interna berjalan kedepan dekat dengan permukaan

superolateral tulang sfenoid pada lekukan yang disebut sulkus karotikus. Arteri ini kemudian

membelok ke superior, medial dari prosesus klinoid anterior, pada bagian akhir anterior

sulkus karotikus, dimana arteri ini menembus ke dura dan memasuki ruang subaraknoid

(Amar dan Weiss, 2003).

Hipofisis terletak dibawah hipotalamus dan jaras visual. Variabilitas perkembangan

permukaan superior dari tulang sfenoid yang letaknya anterior dari fossa hipofiseal

mengakibatkan variasi letak antara kelenjar hipofisis, infundibulum, diafragma sella, sulkus

kiasmatikus dan aparatus optikus. Terdapat empat pola yang ditemui : (Amar dan Weiss,

2003)

1. Pada beberapa kasus, tulang sfenoid berkembang sehingga sulkus kiasmatikus terletak

lebih inferior dari biasanya. Ini akan mengakibatkan posisi foramen optikus menjadi

lebih rendah sehingga kiasma optikus letaknya lebih dekat dengan diafragma sella. Batas

anterior kiasma berdekatan dengan sulkus kiasmatikus dan sering kali bersinggungan

dengan dinding posterior atas dari sinus sfenoideus. Nervus optikus di intrakranial

jarasnya relatif pendek dan infundibulum terletak posterior dari jaras ini dari

hipotalamus ke diafragma sella. Ekstensi tumor hipofisis suprasela dapat mengakibatkan

disetensi diafragma sella sehingga mengakibatkan tekanan tertinggi terdapat pada bagian

medial traktus optikus.

2. Pada kasus lain, jaras nervus optikus di intrakranial lebih panjang serta keseluruhan

kiasma optikus terletak pada bagian anterior diafragma sella. Infundibulum dengan jalur

15

Page 17: Laporan Bs

vertikal melewati hipotalamus menuju ke apertura sentralis. Kiasma optikus merupakan

struktur yang paling rentan terhadap ekstensi tumor hipofisis ke suprasella. Struktur

kedua ini ditemukan pada 12% kasus.

3. Pada struktur ketiga ini, kiasma optikus terletak lebih posterior dibanding kedua struktur

sebelumnya, terletak pada aspek posterior dari diafragma sella dan pada bagian anterior

dorsum sella. Infundibulum terdapat di anterior dan melewati hipotalamus menuju ke

diafragma. Struktur ini ditemukan pada 75% kasus.

4. Pada struktur ini, kiasma optikus terletak pada dan dibelakang dorsum sella.

Infundibulum terdapat di depannya dan mengarah ke apertura sentralis. Struktur ini

terdapat padaa 4% - 11% kasus. Pada struktur ini, aspek medial dari nervus optikus

merupakan bagian yang paling rentan pada ekstensi tumor intrasella ke bagian

suprasella.

Variabilitas hubungan antar struktur di otak ini dengan jaras penglihatan dan arteri

serebralis anterior merupakan penentu yang penting adanya defisit visual akibat penyebaran

tumor hipofisis, terutama bila struktur arteri keras dan tidak memiliki komplians yang baik

(Amar dan Weiss, 2003).

A. 3 Anatomi kelenjar hipofisis

Hipofisis terletak pada bagian inferior diensefalon. Hipofisis melekat pada hipotalamus

melalui infundibulum dan disokong oleh sella tursika tulang sfenoid. Hipofisis memiliki

fungsi endokrin dan secara struktural dan fungsional dibagi menjadi bagian anterior yang

disebut adenohipofisis dan bagian posterior yang disebut neurohipofisis. Adenohipofisis

dibagi menjadi pars distalis (hipofisis anterior) dan pars tuberalis. Neurohipofisis terdiri dari

hipofisis posterior (Graff, 2001).

16

Page 18: Laporan Bs

Gambar 3. Kelenjar hipofisis (a) Berlekatan dengan hipotalamus melalui infundibulum, terletak pada sella

tursika tulang sfenoid. (b) Diagram bagian-bagian hipofisis. (Graff, 2001)

Berat rerata kelenjar hipofisis saat lahir adalah sekitar 100 mg. pertumbuhan cepat

terjadi pada masa kanak-kanak, diikuti oleh pertumbuhan lebih lambat hingga dewasa. Saat

dewasa berat rerata hipofisis adalah sekitar 500 – 600 mg. Hipofisis dewasa berukuran

panjang 10 mm, lebar 10 – 15 mm dan tinggi 5 mm. Hipofisis pada wanita biasanya 20%

lebih berat dibandingkan dengan pria akibat perbedaan relatif ukuran pars distalis dan pada

saat kehamilan berat hipofisis bertambah sebanyak 12% - 100% akibat pembesaran pars

distalis. Volume hipofisis berkurang seiring penambahan usia (Amar dan Weiss, 2003).

17

Page 19: Laporan Bs

Regulasi neural fungsi hipofisis terjadi akibat dua mekanisme, yaitu : (Amar dan Weiss,

2003)

1. Proyeksi langsung hipotalamus ke neurohipofisis mengandung terminal akson yang

berakhir pada lobus posterior dan melepaskan produk neurosekretori langsung ke aliran

darah.

2. Regulasi adenohipofisis via hormon tropik yang diproduksi di hipotalamus dan diteruskan

ke lobus anterior via sistem vena porta.

Kelenjar hipofisis mendapat suplai darah dari dua kelompok arteri, yaitu arteri

hipofiseal superior (AHS) yang memberikan suplai primer ke lobus anterior dan arteri

hipofiseal inferior (AHI) yang memberiksan suplai ke pars nervosa. AHS berasal dari arteri

karotid interna (AKI) atau dari arteri komunikans posterior sedangkan AHI berasal dari

trunkus meningohipofiseal, cabang dari segmen kavernosa AKI. AHS terdiri dari pembuluh

darah kecil yang keluar dari bagian inferomedial AKI dibawah nervus optikus. Mereka

memperdarahi infundibulum, adenohipofisis dan permukaan inferior nervus optikus dan

kiasma. Arteri-arteri kecil ini beranastomosis dengan bagian sisi kontralateralnya dan dengan

AHI untuk membentuk pleksus yang mengelilingi eminensia media dan bagian atas

infundibulum. Eminensia media menerima ujung-ujung sel hipotalamik yang memproduksi

faktor pelepas dan inhibisi yang berkaitan dengan kontrol fungsi adenohipofiseal. Cincin

vaskular ini terbagi menjadi pleksus primer kapiler yang berfenestra yang bercabang melalui

jaringan-jaringan dan menerima faktor regulatori yang disekresikan oleh jaringan. Kapiler-

kapiler bergabung menjadi venula dan membentuk vena porta hipofiseal. Telah diestimasi

bahwa konsentrasi peptida hipotalamus yang meregulasi hipofisis 10 kali hingga 1000 kali

lebih tinggi pada aliran vena porta hipofisis dibandingkan dengan sirkulasi perifer. Vena

porta melewati infundibulum menuju ke pars tuberalis dan pars distalis lobus anterior,

dimana terdapat pleksus sekunder kapiler sinusoid dibentuk. Setelah mentransmisikan faktor

regulatori menuju adenohipofisis dan menerima hormon yang disekresi lobus anterior,

kapiler-kapiler ini kemudian bergabung menjadi vena hipofiseal lateral eferen yang

mendrainase sinus kavernosus (Amar dan Weiss, 2003).

Lobus posterior mendapat suplai darah dari cabang AHI. Pembuluh darah ini melewati

bagian medial dari asalnya dibawah diafragma sella untuk memasuki lekukan diantara pars

distalis dan pars nervosa. Pada lokasi ini, terbagi menjadi cabang asendens dan desendens

yang bergabung dengan cabang lainnya dari AHI kontralateral dan membentuk cincin arteri.

Anastomosis ini kemudian membentuk arteriol dan kapiler yang bercabang sepanjang pars

nervosa, menerima produk neurosekretori dari akson terminal. Cabang lain memberi suplai

18

Page 20: Laporan Bs

ke kapsul pars nervosa dan infundibulum. Drainase vena lobus posterior juga secara primer

oleh sinus kavernosus dan sinus sirkularis (Amar dan Weiss, 2003).

Lobus intermedius relatif avaskular, namun dapat diperdarahi suplai kolateral dari

hubungan anastomosis antara kapiler lobus anterior dan posterior (Amar dan Weiss, 2003).

Gambar 4. Gambaran skematik anatomi vaskularisasi hipofisis (Amar dan Weiss, 2003)

B. Embriologi

Kelenjar hipofisis berasal dari dua bagian perkembangan embrio yang berbeda, yaitu :

1. Rathke’s pouch yaitu evaginasi dorsal dari stomodenum yang letaknya anterior dari

membran bukofaringeal.

2. Infundibulum yaitu perluasan ventral dari diensefalon yang letaknya kaudal dari

kiasma optikus.

(Amar dan Weiss, 2003)

Evaginasi dorsal lain dari stomodenum, pouch of Sessel , terdapat pada posterior

membran bukofaringeal. Struktur ini penting terhadap pembentukan hipofisis pada hewan

vertebrata namun tidak pada primata. Namun terkadang dapat tetap dan tidak berinvolusi

pada manusia serta dapat menjadi asal dari beberapa jenis tumor (Amar dan Weiss, 2003).

19

Page 21: Laporan Bs

Gambar 5. Embriogenesis kelenjar hipofisis (Amar dan Weiss, 2003)

Rathke’s pouch dan infundibulum merupakan derivat dari lapisan ektodermal sel

germinativum, namun memiliki perbedaan pola histologi yang nyata. Rathke’s pouch

kemudian berdiferensiasi menjadi epitel glandular yang merupakan karakteristik organ

endokrin lain, sedangkan infundibulum kemudian menjadi struktur jaringan eksokrin tanpa

saluran. Perkembangan hipofisis dimulai ketika primordium glandular dan neural diinduksi

oleh ujung anterior dari notochord, yang terletak kaudal dari stomodeum. Interaksi resiprokal

antara kedua struktur tersebut akan membuat embriogenesis berikut (Amar dan Weiss, 2003).

Selama minggu ketiga gestasi, infundibulum berkembang sebagai divertikulum ventral

pada dasar ventrikel tiga. Infundibulum terbentang dari eminensia mediana sebagai

infundibular stem dan berakhir pada ekspansi yang disebut prosesus infundibularis. Secara

stimultan, ectodermal placode muncul pada bagian atas dari stomodeum dan berinvaginasi

untuk membentuk Rathke’s pouch yang akan berkembang ke bagian dorsal. Pada bulan kedua

perkembangan, Rathke’s pouch mendatar disekitar permukaan anterior dan lateral

infundibulum dan dua struktur ini kemudian akan berintegrasi (gambar 5) (Amar dan Weiss,

2003).

Hubungan antara Rathke’s pouch dengan kavitas oris terdapat diantara pusat

kondrifikasi dari tulang presfenoid dan basis sfenoid yang berkembang. Ekspansi mesenkim

sfenoid pada minggu keenam kehamilan mengakibatkan koneksi ini beregresi pada sebagian

besar kasus. Pada sekitar 1% dari tulang tengkorak bayi baru lahir terdapat sisa dari

20

Page 22: Laporan Bs

hubungan ini yang disebut kanalis basifaringeus. Sisa dari Rathke’s pouch juga dapat terdapat

pada bagian atas orofaring sebagai hipofisis faringeal (gambar 6) (Amar dan Weiss, 2003).

Gambar 6. Sisa Rathke’s pouch dapat tetap terdapat pada bagian atas orofaring sebagai faringeal hipofisis atau

pada tulang sfenoid sebagai kanalis basifaringeal. (Amar dan Weiss, 2003)

Pada perkembangan lebih lanjut, sel pada dinding anterior Rathke’s pouch (pars

distalis) berproliferasi dengan cepat dan membentuk lobus anterior hipofisis yang disebut

adenohipofisis (gambar 7) (Amar dan Weiss, 2003).

Gambar 7. Potongan midsagital hipofisis dewasa menunjukkan konstituens adenohipofisis, lobus intermedius

dan neurohipofisis.

Perbedaan pertumbuhan sel-sel relatif terhadap mesenkim sekitar akan mengakibatkan

bentukan struktur seperti baki yang terbuka pada bagian atas dan terpisah menjadi dua

kompartemen oleh septum median. Masing-masing kompartemen atau fossa Atwell awalnya

terisi oleh mesenkim. Fossa-fossa ini kemudian akan menghilang sebagai akibat proliferasi

21

Page 23: Laporan Bs

selular derivat Rathke’s pouch. Septum median membentuk pars medialis, sedangkan bagian

lateral membentuk pars lateralis lobus anterior. Migrasi elemen mesenkim dari fossa Atwell

menuju permukaan anterior infundibulum membawa elemen mesodermal akan membentuk

pembuluh darah sistem portal hipofiseal (Amar dan Weiss, 2003).

Sel bagian dinding posterior Rathke’s pouch tidak berproliferasi dengan ekstensif,

namun berdiferensiasi menjadi lobus medial hipofisis, pars intermedia. Kavitas Rathke’s

pouch diantara lobus anterior dan media akan menghilang pada sebagian besar kasus dengan

terjadinya inkorporasi sel dari dinding anterior dan posterior. Namun kavitas ini dapat

menetap sebagai lekukan dangkal (lumen residual yang disebut fissura hipofisis) (Amar dan

Weiss, 2003).

Bersama dengan pars tuberalis, batang infundibulum tersusun atas tangkai hipofisis.

Prosesus infundibulum kemudian membentuk lobus posterior kelenjar hipofisis yang disebut

pars nervosa / neurohipofisis. Lobus ini tersusun dari sel neuroglia (pituisit) dan serabut saraf

dan bagian terminal sel yang berasal dari nuklei hipotalamus. Pituisit secara spesifik

mendukung sekresi dan transpor hormon yang diproduksi oleh neurohipofisis. Selain itu

pituisit juga memiliki komponen fagositik. Lumen infundibulum berobliterasi selama

perkembangan, namun cekungan kecil pada bagian proksimal, resesus infundibulum akan

tetap ada pada basis ventrikel tiga. Ini dapat dilihat pada gambar 7 (Amar dan Weiss, 2003).

C. Kraniofaringioma

1. Definisi

Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak maupun ganas yang

tumbuh di otak, meningen dan tengkorak. Kraniofaringioma adalah tumor dari sel epitel

embrionik dari duktus craniofaringeal yang terletak di area hipotalamus di atas sella tursica

atau bagian infundibulum. Kraniofaringioma adalah, tumor kistik yang berkalsifikasi, ekstra-

aksial, epitel-skuamosa, dan tumbuh dengan lambat yang timbul dari sisa-sisa duktus

kraniofaringeal dan / atau celah Rathke dan menempati bagian (supra) sellar (Komotoar,

Kellner dan Bruce, 2010).

2. Epidemiologi

Insidensi kraniofaringioma menempati 4% dari tumor intrakranial. Distribusi usia pada

tumor ini puncaknya adalah pada usia 5-14 tahun dan 50-60 tahun. Insidensi tumor ini yaitu

0,5 hingga 2,5 per 1.000.000 populasi. Tidak ada variasi jenis kelamin ataupun ras. Tidak ada

22

Page 24: Laporan Bs

hubungan genetik yang diidentifikasi dan kasus keturunan pada keluarga jarang ditemukan

(Demonte et al, 2007).

Lokasi kraniofaringioma yang paling sering ditemukan adalah pada regio suprasella.

Kraniofaringioma merupakan 13% dari keseluruhan tumor suprasella dan 56% tumor

suprasella pada anak-anak dimana merupakan 5% - 10% dari keseluruhan tumor intrakranial

pada anak (Demonte et al, 2007). Kraniofaringioma berasal dari sisa jaringan embrional, 50%

usia pasien kurang dari 20 tahun (Komotoar, Kellner dan Bruce, 2010).

3. Etiologi

Kraniofaringioma berasal dari sel skuamosa sisa kantung Rathke yang terletak antara

adenohipofisis dan neurohipofisis (Powell, Lightman dan Laws, 2003).

Dua hipotesis telah disusun untuk menjelaskan etiologi kraniofaringioma, yaitu teori

embriogenik dan teori metaplastik (Demonte et al, 2007).

Teori embriogenik berkaitan dengan perkembangan adenohipofisis dan transformasi sel

yang tersisa dari duktus kraniofaringeal dan kantung Rathke. Pada minggu keempat

kehamilan, infundibulum yang merupakan evaginasi diencephalon kearah bawah, kontak

dengan kantung Rathke yang merupakan invaginasi dari cavitas “orissto primitive”

(stomodenum). Tangkai dari kantung ini merupakan duktus craniopharyngeus yang lama

kelamaan akan menyempit, menutup dan terpisah dari stomodenum pada akhir gestasi bulan

kedua. Vesikel yang baru terbentuk ini kemudian akan rata dan mengelilingi infundibulum

dan dindingnya akan membentuk struktur hipofisis. Vesikel tersebut kemudian akan

berinvolusi. Dari sel embriologik yang menyusun duktus kraniofaringeus atau kantung

Rathke inilah terbentuk kraniofaringioma (Demonte et al, 2007).

Teori metaplastik menyatakan bahwa terdapat kemungkinan kraniofaringioma berasal

dari metaplasia sel squamosal dan sel epitel residual yang berasal dari stomodenum primitive

dan normalnya terdapat pada adenohipofisis. Kedua teori ini dapat diterima dan dapat

menjelaskan spektrum histopatologis dari kraniofaringioma (Demonte et al, 2007).

4. Patogenesis

Kraniofaringioma dianggap didapat secara kongenital dan timbul dari sisa-sisa

kantong Rathke's di persimpangan batang infundibular dan hipofisis. Kraniofaringioma

adalah tumor epitel yang jinak. Sel-sel skuamosa yang ditemukan menunjukkan gambaran

metaplastik dan dapat menetap untuk suatu jangka masa yang signifikan sebelum

transformasi terjadi. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa tumor ini berasal dari

23

Page 25: Laporan Bs

malformasi dari sel embrio yang terlalu lama menetap di daerah tersebut dan tidak diserap

sewaktu janin sehingga menyebabkan pertumbuhan yang abnormal. Pada saat tumor telah

mencapai diameter 3 sampai 4 cm, hampir selalu menjadi kistik dan sebagian terkalsifikasi.

Biasanya terletak di atas sella tursika dan menekan kiasma optik hingga ke ventrikel ketiga.

Tumor yang besar dapat menghambat aliran CSF (Demonte et al, 2007).

5. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis kraniofaringioma bergantung dari lokasi tumor, ukuran, pola

pertumbuhan dan kaitannya dengan struktur serebral yang lain. Manifestasi kraniofaringioma

dapat dilihat dari tabel 1 (Zoicas and Schofl, 2012).

Kraniofaringioma biasanya secara umum tumbuh dengan lambat, gejala dapat timbul

secara gradual sehingga manifestasi klinis dapat timbul 1- 2 tahun diantara gejala onset dan

diagnosis. Pada dewasa, gejala klinis yang paling sering muncul adalah defisit lapang

pandang dan tanda hipohipofisis. Pada sekitar 40-80% pasien dengan ekstensi tumor

suprasella yang menekan kiasma optikus dapat mengakibatkan gangguan pada tajam

penglihatan dan gangguan pada lapang pandang (hemianopsia bitemporal asimetris). Pada

penelitian dari 78 pasien dewasa, 57% pasien wanita melaporkan menstruasi yang tidak

teratur atau amenore dan 28% pasien mengeluh adanya gangguan fungsi seksual. Gejala lain

seperti nausea dan muntah (26%), kekurangan energi (32%) dan letargi (26%) juga sering

pada pasien dewasa. Gejala-gejala ini indikatif merupakan gejala disfungsi hipofisis anterior

(Zoicas and Schofl, 2012).

Secara umum, defisiensi hormon pertumbuhan sering ditemukan, diikuti oleh defisiensi

gonadotropin, hormon adenokortikotropin (ACTH), tiroid stimulating hormone (TSH).

Kompresi infundibulum dapat mengakibatkan diabetes insipidus (DI) dengan gejala poliuria

dan polidipsia pada 17-38,5% kasus. Keterkaitan hipotalamus dapat mengakibatkan

peningkatan berat badan signifikan yang merupakan manifestasi klinis dari 13-15,4% pasien.

Nyeri kepala berat juga sering kali dijumpai (56%) dan dapat merupakan akibat dari

peningkatan tekanan intrakranial akibat masa tumor tersebut, maupun akibat hidrosefalus

obstruksi akibat kompresi ventrikel tiga atau akibat kebocoran masa kista yang dapat

mengakibatkan iritasi meningeal (Zoicas and Schofl, 2012).

24

Page 26: Laporan Bs

Tabel 1. Manifestasi klinis pada kraniofaringioma

(Zoicas and Schofl, 2012)

Manifestasi klinis kraniofaringioma biasanya timbul perlahan-lahan. Terdapat interval

1-2 tahun antara onset gejala dengan diagnosis. Regio suprasella dikelilingi oleh struktur-

struktur saraf yang berpotensi untuk menampilkan gejala defisit neurologis seperti gangguan

penglihatan, gangguan endokrin, peningkatan tekanan intrakranial serta gangguan psikiatri.

Manifestasi klinis kraniofaringioma dibagi menjadi : (Demonte et al, 2007; Garnett et al,

2007)

Manifestasi akibat peningkatan tekanan intrakranial akibat obstruksi pada foramen

Monro (American Brain Tumor Association, 2012).

o Nyeri kepala

Nyeri kepala dilaporkan pada 55% - 86% pasien. Nyeri kepala bersifat tumpul namun

memberat secara progresif, bersifat terus menerus dan kadang-kadang bersifat

posisional. Penyebab nyeri kepala adalah akibat peningkatan tekanan intracranial

akibat hidrosefalus sekunder atau kompresi sella duramater atau sella diafragma.

o Muntah

25

Page 27: Laporan Bs

Gangguan visual

Gangguan visual akibat kompresi nervus optikus, kiasma optikus atau traktus

optikus terjadi pada 40%-70% pasien. Gangguan visual juga dapat terjadi akibat

papilledema. Papilledema disebabkan oleh hidrosefalus akibat obstruksi pada ventrikel 3

oleh tumor. Defek lapang pandang yang terjadi yaitu bitemporal hemianopia (Demonte

et al, 2007).

Disfungsi endokrin

Sering kali pada kraniofaringioma timbul manifestasi nonendokrin, namun

sering terjadi kegagalan fungsi hipofisis anterior. Defisiensi hormon pertumbuhan

sering ditemui (Powell, Lightman dan Laws, 2003). Manifestasi lain yang sering

muncul adalah hipotiroid, yang terjadi pada 40% pasien. Manifestasi insufisiensi

adrenal juga dapat muncul. Sekitar 20% pasien mengalami diabetes insipidus. Delapan

puluh persen pasien dewasa mengeluh penurunan libido. Impotensi dan amenorea

sering dijumpai (Demonte et al, 2007).

Terdapat tiga sindrom klinis yang berkaitan dengan lokasi anatomis tumor. Bila tumor

terletak prechiasma, maka terdapat manifestasi seperti penurunan tajam penglihatan progresif

dan konstriksi dari lapang pandang serta dapat dijumpai atrofi optik. Bila tumor terletak di

retrokiasma maka akan terjadi manifestasi peningkatan tekanan intrakranial dan hidrosefalus.

Bila tumor terletak intrasella maka pasien biasanya mengeluh nyeri kepala dan terdapat

endokrinopati (Demonte et al, 2007 ; Kaye, 2005).

Pertumbuhan tumor ekstensif ke frontal atau lobus temporal dapat menimbulkan

anosmia atau kejang, ke fosa posterior akan menyebabkan abnormalitas fungsi saraf otak IV

dan VI, traktus piramidalis dan serebelum. Jarang sekali kraniofaringioma menimbulkan

defisit neurologis yang berat seperti disfungsi N. VIII (Satyanegara, 2010).

Ekstensi tumor parasella dengan infiltrasi sinus kavernosus dapat mengakibatkan

kelumpuhan nervus kranialis dengan diplopia dan paresis otot okuli. Keterlibatan lobus

temporal dapat mengakibatkan kejang dan pada orang tua tumor ukuran besar dapat

mengakibatkan gangguan kemampuan kognitif dan perubahan kepribadian (Zoicas and

Schofl, 2012).

26

Page 28: Laporan Bs

6. Diagnosis

Diagnosis pasien dengan kraniofaringioma adalah berdasarkan temuan klinis (gejala

neurologis dan endokrin) dan radiologi (massa solid yang calcified / kistik), dan kemudian

dikonfirmasi dengan temuan histologis yang khas.

Tabel 2. Pendekatan diagnosis kraniofaringioma

(Zoicas and Schofl, 2012)

Evaluasi pasien dengan kraniofaringioma dapat dilihat pada tabel 2. Evaluasi tersebut

terdiri dari:

a. Radiologi

Tampilan klasik dari kraniofaringioma adalah separuh bagian Sellar/para Sellar yang

padat, dan separuhnya bagian cyctic calcified mass lesion. Tumor ini terjadi pada daerah

supra Sellar (75%), supra dan infra Sellar (20%) dan infra Sellar (5%). Tumor supra

Sellar ini dapat dibagikan lagi kepada subkelompok tergantung pada hubungan mereka ke

ventrikel III dan optik kiasma (Demonte et al, 2007).

CT scan sangat sensitif untuk melihat kalsifikasi, yang terdapat pada 85% pasien

dengan kraniofaringioma. Kalsifikasi lebih sering terjadi pada anak-anak (90%)

disbanding dewasa (50%). CT scan juga berguna untuk melihat kista pada tumor. Hingga

75% kraniofaringioma merupakan masa kistik. Kista biasanya memiliki densitas yang

sama dengan cairan serebrospinal. Bagaimanapun, Magnetic resonance imaging (MRI)

dengan kapasitas gambar yang multiplanar, sangat penting untuk menentukan anatomi

local dan merupakan pemeriksaan radiologi terbaik untuk perencanaan pembedahan dan

27

Page 29: Laporan Bs

follow up pasien. Namun karena MRI tidak dapat menunjukkan kalsifikasi dengan baik,

CT scan digunakan untuk membantu diagnosa (Demonte et al, 2007).

Gambar 8. CT scan tumor suprasella + hidrosefalus (Howlett, 2012)

Gambar 9. Kraniofaringioma

b. Evaluasi Endokrin

Evaluasi endokrin harus meliputi evaluasi hormon-hormon hipofisis anterior , yaitu

terdiri dari hormon pertumbuhan, hormon tiroid, serta luteinising hormon dan follicle-

stimulating hormon harus diukur bersama-sama dengan tingkat kortisol dan penilaian

terhadap serum dan osmolalitas urin. Selain itu, perkiraan usia tulang dan, untuk wanita

muda, USG ovarium sangat berguna. Idealnya, setiap kelainan harus diperbaiki pra-

bedah, paling tidakpun, tingkat kortisol yang rendah dan diabetes insipidus harus

ditangani sebelum prosedur bedah (Kaye, 2005).

28

Page 30: Laporan Bs

c. Evaluasi Oftalmologi

Sebagian besar pasien dewasa dengan kraniofaringioma memiliki manifestasi defisit

lapang pandang. Pemeriksaan lapang pandang dan ketajaman visual harus dinilai. Sellain

itu, visualisasi dari diskus optikus, untuk menyingkirkan papilloedema, dan visual evoked

potential harus dilakukan (Kaye, 2005).

d. Patologi anatomi

Kraniofaringioma merupakan suatu tumor suprasellar yang mengandung dua komponen

yaitu padat dan kistik. Bagian padatnya merupakan suatu masa dengan permukaan rata,

lunak, dan berwarna abu kemerahan, sedangkan bagian kistiknya lebih lunak lagi, di mana

konsistensi dan warnanya tergantung dari ketebalan dindingnya. Adanya deposit kalsium

dapat menjadikan tumor itu mengeras. Adanya perubahan degenerative menyebabkan kista

tumor ini membesar, dinding dalamnya dapat mengandung papil-papil dan terisi cairan

kecoklatan seperti lumpur yang mengandung kristal-kristal kolesterol. Gambaran

mikroskopik bagian padat kraniofaringioma terdiri dari jaringan epitel kolom atau kuboid

dengan lapisan tengahnya mengandung sel-sel polygonal serta massa sentral sel epitel.

Bagian kistiknya mempunyai dinding dengan ketebalan yang bervariasi yang histologisnya

sama dengan bagian yang padat. Ada membrana basalis yang membentuk suatu perbatasan

antara tumor dengan jaringan otak atau meningen sekitarnya (Satyanegara, 2010).

Terdapat dua varian histologis dari kraniofaringioma yaitu adamantinomatosa yang

sering dijumpai pada anak-anak dan squamous papilomatosa yang dijumpai pada dewasa.

Adamantinomatosa berasal dari transformasi neoplastik sisa epitel dari duktus

craniofaringeus, yang berinvolusi saat perkembangan embriologis adenohipofisis. Squamous

papilomatosa berasal dari proses metaplastik yang berkenaan dengan sel adenohipofiseal

pada pars tuberalis, yang dapat mengakibatkan terbentuknya kumpulan sel squamous

(Pettorini et al, 2010; Aguiar, Laws and Aires, 2010).

7. Tatalaksana

Tatalaksana kraniofaringioma membutuhkan penanganan dari beberapa aspek yaitu

bedah saraf, endokrin, neurooftalmologi, neuropsikologi dan radiasi onkologi. Pemeriksaan

endokrin sangat dibutuhkan. Gangguan endokrin seperti hipotiroid , insufisiensi adrenal dan

diabetes insipidus harus diperhatikan karena hal ini dapat meningkatkan morbiditas

intraoperative dan postoperative. Insufisiensi adrenal harus ditatalaksanai dengan terapi

steroid sebelum dilakukan terapi terhadap hipotiroid karena terapi hormone tiroid sebelum

terapi steroid dapat mempresipitasi insufisiensi adrenal akut. Hidrosefalus akut simptomatik

29

Page 31: Laporan Bs

perlu ditatalaksanai dengan pemasangan drainase ventrikel. Adanya hidrosefalus yang tidak

ditangani dapat memperburuk prognosis pasien (Demonte et al, 2007).

Pembedahan merupakan terapi pilihan pada kraniofaringioma, pembedahan secara

transfenoideal bila memungkinkan, namun karena tumor ini juga memiliki komponen

ekstrasella, rekurensi setelah pembedahan sering dijumpai. Mayoritas pasien memerlukan

radioterapi setelah pembedahan. Konsekuensi terapi bervariasi berkaitan dengan luas dan

lokasi tumor. Diabetes insipidus dan kegagalan hipofisis anterior sering ditemukan setelah

pembedahan dan hal ini bersifat permanen. Evaluasi ACTH dan TSH serta keseimbangan

cairan harus dilakukan setelah pembedahan (Powell, Lightman dan Laws, 2003).

Ada dua jalur manajemen utama berkaitan dengan pengobatan tumor, yaitu : (Demonte

et al, 2007)

Reseksi total dari tumor

Morbiditas dan mortalitas reseksi total tumor yang menyerang hipotalamus yaitu

sebesar 12%-20%, dengan tingkat rekurensi hingga 20%. Morbiditas tersebut

dipertimbangkan dalam hal disfungsi hipotalamus dan perubahan profil

neuropsikologi. Pendekatan bedah untuk reseksi kraniofaringioma meliputi pterional,

orbitocranial, subfrontal, transsfenoideal dan transcallosal. Pada situasi tertentu,

kombinasi beberapa pendekatan ini diperlukan (Demonte et al, 2007).

Operasi yang lebih terbatas, debulking tumor untuk mengurangi efek massa pada jalur

optik dan / atau untuk membangun kembali jalur cairan cerebrospinal (CSF), dan

diikuti oleh radioterapi dengan dosis 54-55 Gy yang diberikan 1,8 Gy per fraksi.

Insidensi progresi tumor setelah dilakukannya hal ini adalah sebesar 12%-25%,

jumlah yang hampir sama dengan reseksi tumor total dan radioterapi. Morbiditas yang

berkaitan dengan pengobatan kraniofaringioma yaitu kejang, defisit visual yang

memberat, kerusakan hipotalamus, stroke dan kebocoran CSF. Endokrinopati sering

dijumpai. Diabetes insipidus permanen terjadi pada 65%-75% pasien. penggunaan

terapi sulih hormon diperlukan pada 80%-90% pasien. Obesitas terjadi pada 50%

pasien. Terapi lain yang dapat digunakan, terutama untuk kraniofaringioma yang

rekuren yaitu aspirasi kista intermiten. Dapat juga ditambah dengan injeksi bleomycin

atau radioisotope intrakista. Injeksi ini jarang digunakan karena adanya kemungkinan

kebocoran obat yang dapat menyebabkan arachnoiditis dan kerusakan pada otak atau

nervus kranialis (Demonte et al, 2007).

Teknik pembedahan yang dipilih berdasarkan lokasi, ukuran dan tipe tumor. Terdapat

tiga struktur penting yang harus diperhatikan dalam pembedahan kraniofaringioma agar tidak

30

Page 32: Laporan Bs

terjadi kerusakan pada struktur-struktur ini, yaitu pituitary stalk, hipotalamus dan arteri

(Aguiar, Laws and Aires, 2010).

Pola pertumbuhan berkaitan dengan asal tumor, di atas atau di bawah dari diafragma

sella. Pada kraniofaringioma dengan pertumbuhan prekiasma, reseksi tumor harus dilakukan

dengan menggunakan teknik transfenoideal. Untuk kraniofaringioma dengan pertumbuhan

retrokiasma yang tidak ditutupi oleh sella diafragmatika dan berhubungan langsung dengan

jaringan otak, dengan mudah dapat robek bila dilakukan traksi, sehingga harus dilakukan

kraniotomi. Kraniotomi merupakan pembedahan standar yang dilakukan selama bertahun-

tahun. Kraniotomi diindikasikan untuk tumor suprasella dan memungkinkan visualisasi

nervus optikus, kiasma optikus dan hubungan tumor dengan struktur ini. Untuk tumor ukuran

kecil yang predominan terletak pada sella, teknik transfenoideal adalah pilihan. Namun

apabila tumor terletak pada infundibulum, pendekatan pterional atau subfrontal dan

craniotomi orbitofrontal (dengan endoskopi atau bantuan mikroskop) dapat dilakukan. Lesi

kecil intraventrikel dapat diraih melalui lamina terminalis atau transventrikular ( pendekatan

transkalosal atau transventrikular) (Aguiar, Laws and Aires, 2010).

Teknik yang digunakan untuk tumor ukuran besar adalah pterional, subfrontal

transbasal, bifrontal, orbitozigomatik, temporopolar, fronto orbitozigomatik (Aguiar, Laws

and Aires, 2010).

Pada pasien dengan tumor rekuren, pembedahan lanjutan diperlukan dengan

marsupialisasi komponen kistik, internal atau eksternal shunting dan injeksi radionukleotida

ke kista tersebut. Pemantauan jangka panjang adalah yang utama dari tatalaksana pasien

dengan tumor rekuren. Sebagian besar pasien memerlukan terapi sulih hormon total,

termasuk desmopresin dan hormon pertumbuhan (Powell, Lightman dan Laws, 2003).

31

Page 33: Laporan Bs

Gambar 10. Prosedur pembedahan kraniofaringioma (Aguiar, Laws and Aires, 2010)

8. Prognosis

Kelangsungan hidup lima tahun secara keseluruhan adalah 80% tetapi adalah lebih baik

pada anak-anak (85% untuk kelangsungan hidup 5 tahun) dibandingkan pada orang dewasa

yang lebih tua (40% untuk kelangsungan hidup 5 tahun). Ketahanan hidup, bagaimanapun,

dapat berhubungan dengan keadaan adanya cacat (Demonte et al, 2007).

32

Page 34: Laporan Bs

PEMBAHASAN

Pasien laki-laki usia 31 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala, bersifat tumpul,

terutama pada regio frontal, nyeri kontinyu, progresif, tidak dipengaruhi oleh posisi, disertai

dengan muntah yang proyektil. Pasien juga merasa badan sebelah kanannya kaku dan sulit

digerakkan serta lemas pada badan kanan. Pandangan kiri kabur dan pendengaran kiri kurang.

Pasien juga mengeluh berbicara pelo dan kurang jelas serta mengeluh bibirnya tampak

miring. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, tanda vital stabil,

nistagmus (+), dismetria (+), tremor intensi, terdapat parese N. VII sentral, parese N. VIII

koklearis dan vestibularis, parese N. IX, X, parese N. XII sentral.

Nyeri kepala dapat disebabkan oleh berbagai etiologi, namun pada kasus ini dari

pemeriksaan neurologis yang telah dilakukan etiologi yang menyebabkan nyeri kepala adalah

gangguan pada sistem saraf pusat. Nyeri kepala disebabkan oleh peningkatan tekanan

intrakranial akibat hidrosefalus obstruktif yang dialami oleh pasien akibat penekanan masa

tumor ke aquaduktus Sylvii dan ventrikel IV. Selain nyeri kepala, gejala terjadinya

peningkatan tekanan intrakranial juga ditunjukkan dari adanya muntah pada pasien. Gejala

hemiparese dekstra yang dialami pasien menunjukkan adanya penekanan massa tumor ke

pedunkulus serebri. Gejala penglihatan kabur, penurunan pendengaran, bicara pelo serta

parese pada N. VII, VIII, IX, X dan XII disebabkan oleh pendesakan masa tumor pada

perjalanan jaras nervus kranialis yang bersangkutan.

Adanya keluhan diatas yang bersifat kronik menunjukkan terjadinya proses intrakranial

yang kronik dan progresif, yaitu tumor intrakranial. Terdapat beberapa jenis tumor

intrakranial, yaitu tumor yang berasal dari jaringan neuroepitel, tumor meningens, germ cell

tumor, tumor pada bagian sella dan tumor metastasis dari organ lain. Dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik, tidak dapat dibedakan jenis tumor-tumor tersebut, namun dari anamnesis

dan pemeriksaan fisik dapat diketahui lokasi tingkat obstruksi yang disebabkan oleh tumor

tersebut. Berdasarkan lokasinya, tumor otak dapat dibedakan menjadi supratentorial dan

infratentorial Pada kasus ini kemungkinan asal tumor awalnya berada pada supratentorial

(sella) dan telah mengalami ekspansi ke bagian-bagian lain di supratentorial (suprasella,

parasella dan pedunkulus serebri) serta ke bagian infratentorial (serebelum dan batang otak).

Hal ini ditunjukkan dengan adanya gangguan visual pada pasien ini yang kemungkinan

disebabkan oleh penekanan pada jaras nervus optikus pada regio sella serta akibat edema

papil akibat komplikasi sekunder yaitu hidrosefalus yang dialami pasien ini. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan tes Romberg (+), nose-finger-nose test (+), dismetria (+) dan

33

Page 35: Laporan Bs

tremor intensi yang menunjukkan gangguan fungsi serebelum, kemungkinan masa tumor

sudah menekan serebelum. Selain itu paresis pada saraf kranialis VII motorik sentral

menunjukkan lesi sudah mendesak inti motorik N. VII yang terletak di pons. Paresis N. VIII

akustikus sentral juga menunjukkan lesi yang mendesak pada jaras N. VIII yaitu pada

perjalanannya menuju ke korteks auditori pada pons. Paresis N. IX, X menunjukkan lesi yang

mendesak pada nukleus N. IX,X yaitu nukleus ambigus pada batang otak. Paresis N. XII

sentral dan hemiparese dekstra menunjukkan lesi yang mendesak pada pedunkulus serebri.

Untuk mengetahui jenis tumor dan ekspansi tumor, perlu dilakukan pemeriksaan

penunjang seperti CT scan dan MRI. Pada pasien ini, setelah dilakukan CT scan, didapatkan

masa kistik luas dengan kalsifikasi pada regio sella sampai suprasella dan parasella kanan kiri

(terutama kiri), masa mendesak aquaduktus sylvii, ventrikel IV, serebelum dan lobus

temporal kiri. Gambaran ini sesuai dengan gambaran kraniofaringioma. Pada CT scan juga

didapatkan pons dan cerebelum yang terdesak ke kanan, hal ini sesuai dengan pemeriksaan

fisik pasien yaitu tes Romberg (+) dan nose-finger-nose test (+) yang menunjukkan

terganggunya fungsi serebelum dan paresis pada N. VII, VIII, IX, X dan XII dimana sebagian

besar saraf kranialis ini berdekatan strukturnya dengan pons.

CT scan juga menunjukkan sulkus kortikalis dan fisura lateralis Sylvii kanan kiri sempit

serta pelebaran ventrikel lateral dan III yang mengindikasikan adanya hidrosefalus obstruktif

akibat penekanan tumor yang berperan dalam peningkatan tekanan intrakranial.

Jadi, pasien ini didiagnosis dengan kraniofaringioma. Tatalaksana pada pasien ini

adalah dengan pengobatan simptomatik dan pembedahan untuk mengangkat tumor. Sebelum

dilakukan pembedahan, dapat dilakukan MRI untuk membantu mengetahui posisi dan ukuran

tumor dengan lebih tepat.

Prognosis pada pasien ini dubia ad malam karena tumor pada pasien ini sudah

mengakibatkan komplikasi-komplikasi seperti hidrosefalus obstruktif, paresis multipel saraf

kranialis dan mengakibatkan gangguan fungsi serebelum.

34

Page 36: Laporan Bs

DAFTAR PUSTAKA

Aguiar PHPD, Laws E and Aires R. 2010. Management of Craniopharyngioma. Available

from : www.abta.org, accessed at : December 30th, 2013.

Amar AP, Weiss MH. 2003. Pituitary Anatomy and Physiology. USA : Elsevier.

American Brain Tumor Association. 2012. Brain Tumors. Available from :

http://www.abta.org/secure/about-brain-tumors-a-primer.pdf, accessed at : December

30th, 2013.

Demonte F, Gilbert MR, Mahajan A, McCutheon IE. 2007. Tumors of the Brain and Spine.

USA : Springer Science.

Garnett MR, Puget S, Grill J and Sainte-Rose C. 2007. Craniopharynioma. Available from :

http://www.OJRD.com/content/2/1/18, accessed at : December 30th, 2013.

Graff, Van De. 2001. Human Anatomy, 6th ed. New York : Mc Graw Hill

Greenberg, Mark S. 2006. Handbook of Neurosurgery. New York : Thieme.

Howlett, William P. 2012. Intracranial Tumour. Available from :

www.uib.no/cih/en/resources/neurology-in-africa, accessed at : December 30th, 2013.

Kaye, Andrew H. 2005. Essential Neurosurgery, third edition. USA : Blackwell Publishing,

Inc.

Komotoar RJ, Kellner CP, Bruce JN. 2010. Update on Surgical Management of

Craniopharyngioma. New York : Columbia University Medical Center.

Larkin, Sarah J and Ansorge, Olaf. 2012. Pathology and Pathogenesis of

Craniopharyngioma. Available from :

http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11102-012-0418-4, accessed at :

December 30th, 2013.

Moore AJ and Newell DW. 2005. Neurosurgery Principles and Practice. London : Springer.

Pettorini BL, Frassanito P, Caldarelli M, Tamburrini G, Massimi L and Rocco CD. 2010.

Molecular Pathogenesis of Craniopharyngioma : switching from a surgical approach

to a biological one. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20367353,

accessed at : December 30th, 2013.

35

Page 37: Laporan Bs

Powell MP, Lightman SL, Laws ER. 2003. Management of Pituitary Tumors, second edition.

New Jersey : Humana Press Inc.

Rhoton, Albert L. 2001. Diagnosis and Management of Pituitary Tumour. Tolowa : Humana

Press Inc.

Satyanegara, 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia.

Zoicas, Flavius and Schofl, Christ. 2012. Craniopharyngioma in Adults. Available from :

http://www.frontiersin.org/Pituitary_Endocrinology/10.3389/fendo.2012.00046/

abstract, accessed at : December 30th, 2013.

36