BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, sejak dalam kandungan sampai usia lanjut. Selain itu pembangunan di bidang kesehatan juga diarahkan untuk meningkatkan dan memelihara mutu lembaga pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan, dan sarana prasarana dalam bidang medis. Sumber daya manusia merupakan modal pembangunan yang paling utama, tetapi sumber daya manusia yang terlalu banyak serta tidak dilengkapi dengan kualitas yang baik hanya akan membebani pembangunan baik secara sosial maupun ekonomi. Indeks pembangunan manusia di Indonesia masih jauh terbelakang dibandingkan sebagian besar negara lain di dunia. Hal ini terkait erat dengan rendahnya pembiayaan pelayanan kesehatan baik oleh pemerintah dan swasta maupun masyarakat. Terbatasnya dana kesehatan makin diperkuat oleh kenyataan bahwa biaya pelayanan kesehatan dan medis semakin mahal seiring dengan perkembangan pembangunan dan teknologi. Biaya produksi pelayanan kesehatan di pelayanan kesehatan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu sumber
daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan
paradigma sehat, sejak dalam kandungan sampai usia lanjut. Selain itu
pembangunan di bidang kesehatan juga diarahkan untuk meningkatkan dan
memelihara mutu lembaga pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan
sumber daya manusia secara berkelanjutan, dan sarana prasarana dalam
bidang medis. Sumber daya manusia merupakan modal pembangunan yang
paling utama, tetapi sumber daya manusia yang terlalu banyak serta tidak
dilengkapi dengan kualitas yang baik hanya akan membebani pembangunan
baik secara sosial maupun ekonomi.
Indeks pembangunan manusia di Indonesia masih jauh terbelakang
dibandingkan sebagian besar negara lain di dunia. Hal ini terkait erat dengan
rendahnya pembiayaan pelayanan kesehatan baik oleh pemerintah dan swasta
maupun masyarakat. Terbatasnya dana kesehatan makin diperkuat oleh
kenyataan bahwa biaya pelayanan kesehatan dan medis semakin mahal
seiring dengan perkembangan pembangunan dan teknologi. Biaya produksi
pelayanan kesehatan di pelayanan kesehatan yang terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, antara lain disebabkan oleh meningkatnya
harga obat-obatan, penggunaan alat/teknologi yang semakin canggih dan
meningkatnya permintaan masyarakat akan pelayanan kesehatan. Akibatnya,
terjadi berbagai isu yang berkaitan dengan tarif pelayanan kesehatan
pemerintah.
Penetapan tarif dalam pelayanan kesehatan sangat berperan dalam
menentukan demand dari kelompok yang berpendapatan rendah
dibandingkan dengan kelompok yang berpendapatan tinggi. Untuk itu, tarif
pelayanan kesehatan perlu ditetapkan secara rasional dengan
mempertimbangkan biaya per unit dan harga yang layak diterima masyarakat
pengguna jasa pelayanan kesehatan, selain itu dalam penentuan tarif perlu
dilakukan analisis megenai kemampuan dan kemauan masyarakat untuk
membayar jasa pelayanan kesehatan. Untuk mendapatkan suatu ukuran
kemampuan membayar dan kemauan membayar suatu keluarga atau
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dapat ditelusuri dari pendapatan
atau pengeluaran keluarga.
B. Tujuan
1. Mengetahui kemampuan masyarakat Desa Candiwulan dalam membiayai
pelayanan kesehatan.
2. Mengetahui kemauan masyarakat Desa Candiwulan dalam membiayai
pelayanan kesehatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ability To Pay (ATP)
Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang untuk membayar
jasa pelayanan yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap
ideal. Kemampuan membayar kesehatan atau dikenal dengan ability to pay
(ATP) merupakan dana yang sebenarnya dapat dialokasikan oleh seseorang
untuk membiayai kesehatan (Kemenkes, 2001). Dua batasan ATP yang dapat
digunakan sebagai berikut:
1. ATP 1 adalah besarnya kemampuan membayar yang setara dengan 5 %
dari pengeluaran pangan non esensial dan non makanan. Batasan ini
didasarkan bahwa pengeluaran untuk non makanan dapat diarahkan untuk
keperluan lain, termasuk untuk kesehatan
2. ATP 2 adalah besarnya kemampuan membayar yang setara dengan
jumlah pengeluaran untuk konsumsi alkohol, tembakau, sirih,
pesta/upacara. Batasan ini didasarkan kepada pengeluaran yang
sebenarnya dapat digunakan secara lebih efesien dan efektif untuk
kesehatan. Misalnya dengan mengurangi pengeluaran
alkohol/tembakau/sirih untuk kesehatan (Adisasmita, 2008).
Pendekatan yang digunakan dalam analisis ATP didasarkan pada
alokasi biaya kesehatan terhadap kebutuhan sehari-hari dari pendapatan rutin.
Harga barang (tarif pelayanan kesehatan), besar pendapatan, biaya pelayanan
kesehatan dapat mempengaruhi ability to pay seseorang. Sedangkan
(Thabrany, 2009) menjelaskan bahwa jumlah anggota keluarga juga dapat
mempengaruhi ability to pay. Rumah tangga dengan jumlah keluarga lebih
dari 4 orang memiliki risiko pemiskinan lebih tinggi. Semakin banyak jumlah
anggota keluarga maka akan semakin banyak pula kebutuhan untuk memenuhi
kesehatannya. Ekuitas atau keadilan dalam kesehatan menunjukkan bahwa
idealnya setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai
kondisi optimal dari kesehatan mereka. Tidak ada seorang pun yang boleh
merasa dirugikan untuk mencapai ekuitas kesehatan sehingga jika inekuitas
harus dicegah (Sihombing, 2013).
B. Willingness to pay (WTP)
Willingness to pay (WTP) yaitu besarnya dana yang mau dibayarkan
keluarga untuk kesehatan. Kesediaan untuk membayar (willingness to pay)
adalah kesediaan masyarakat untuk menerima beban pembayaran, sesuai
dengan besarnya jumlah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Willingness
to pay adalah sejumlah uang atau kompensasi yang siap dibayar oleh
konsumen untuk suatu peningkatan/penurunan konsumsi produk (barang dan
jasa) yang diinginkan.
Willingness to pay penting untuk melindungi konsumen dari
penyalahgunaan kekuasaan monopoli yang dimiliki perusahaan dalam
penyediaan produk berkualitas dan harga. Data pengeluaran rumah tangga
untuk kesehatan dapat digunakan sebagai proksi terhadap WTP. Faktor–faktor
yang mempengaruhi WTP, yaitu pendapatan, pengetahuan mengenai tarif dan
persepsi serta penilaian tentang pelayanan yang diterima pasien (Gafni, 1991).
C. Hubungan ATP dan WTP
1. ATP > WTP
Kemampuan membayar lebih besar daripada keinginan membayar.
Artinya penghasilan relatif tinggi, tapi nilai utilitas terhadap jasa tersebut
relatif rendah. Pada kondisi ini pengguna disebut sebagai choiced riders.
2. ATP < WTP
Kemampuan membayar lebih kecil daripada keinginan membayar.
Artinya penghasilan relatif rendah, tapi nilai utilitas terhadap jasa
pelayanan tinggi. Pada kondisi ini pengguna disebut sebagai captive riders.
3. ATP = WTP
Kemampuan membayar sama dengan keinginan membayar.
Penghasilan sesuai dengan nilai utilitas terhadap jasa pelayanan tinggi.
Analisis perbandingan penerapan biaya atau retribusi sebagai berikut:
a. WTP merupakan fungsi dari tingkat pelayanan, maka jika WTP berada
dibawah ATP, masih dimungkinkan menaikkan nilai tarif dengan
perbaikan tingkat pelayanan.
b. ATP fungsi dari kemampuan membayar, maka penentuan tarif jangan
melebihi nilai ATP kelompok sasaran.
c. Intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi langsung maupun subsidi
silang, pada kondisi tarif lebih dari ATP.
D. Pengeluaran Rumah Tangga
Pola pengeluaran rumah tangga merupakan biaya yang dikeluarkan
oleh rumah tangga baik untuk kebutuhan pangan maupun non pangan.
Kebutuhan non pangan meliputi kebutuhan pendidikan, medis, bahan bakar,
dan tabungan. Pengeluaran medis adalah semua jumlah uang yang
dikeluarkan seseorang saat orang tersebut mengalami suatu penyakit.
Pengeluaran medis mencakup biaya konsultasi dokter, pembelian obat, biaya
pemeriksaan penunjang, dan retribusi pelayanan kesehatan. Pembelanjaan ke
pengobatan alternatif dan atau obat tradisional juga termasuk pengeluaran
medis. Tingkat inflasi, tingkat permintaan, kemajuan ilmu dan teknologi,
perubahan pola penyakit, perubahan pola pelayaan kesehatan, perubahan pola
hubungan dokter–pasien, lemahnya mekanisme pengendalian biaya, serta
penyalahgunaan asuransi kesehatan dapat meningkatkan pengeluaran medis
(Sihombing, 2013).
Harga barang (tarif pelayanan kesehatan), besar pendapatan, biaya
pelayanan kesehatan, jumlah anggota keluarga mempengaruhi ability to pay.
Rumah tangga dengan jumlah keluarga lebih dari 4 orang memiliki risiko
pemiskinan lebih tinggi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka akan
semakin banyak pula kebutuhan untuk memenuhi kesehatannya (Sihombing,
2013).
Pemerataan akses dan pemerataan pembiayaan dibutuhkan untuk
menjamin bahwa seluruh penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
terjangkau dan berkualitas. Selain itu pemerintah perlu mencari jalan keluar
pengurangan pembiayaan kesehatan dengan mendorong pemberlakuan
asuransi kesehatan. Kebijakan pelayanan kesehatan dengan sistem asuransi
kesehatan sosial dapat mengurangi beban masyarakat dalam pembiayaan
kesehatan. Pelaksanaan asuransi ini tentunya harus didukung dengan
pengendalian yang baik (Sihombing, 2013).
E. Asuransi Kesehatan dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM)
Terdapat dua badan penyelenggara sistem pembiayaan pra-upaya yang
utama di Indonesia sekarang ini. Pertama adalah PT.Askes yang mencakup
sekitar empat juta pegawai negeri (atau 15 juta jiwa termasuk anggota
keluarganya). Kedua adalah JPKTK atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Tenaga Kerja yang dikeloa oleh PT.Jamsostek. Sekarang diperkirakan
sebanyak satu juta tenaga kerja yang ikut dalam program JPKTK tersebut
(Ariyanto, 2009).
Kabupaten Purbalingga yang sejak tahun 2001 melakukan suatu upaya
pembenahan mekanisme pembiayaan kesehatan berbasis pre-paid payment
dalam bentuk program Jaminan Pemeliharaan kesehatan Masyarakat (JPKM).
Pada saat ini cakupan peserta JPKM telah mencapai 72% dari total penduduk
di Kabupaten Purbalingga, sehingga tidaklah salah jika keinginan menuju
universal coverage dengan mewajibkan seluruh penduduk di Kabupaten
Purbalingga menjadi peserta JPKM menjadi salah satu obsesi dari pemerintah
daerah Purbalingga. Perjalanan program JPKM telah berlangsung selama 6
tahun dengan skema yang tergolong ideal yaitu terjadi risk pooling antara
peserta miskin dan yang tidak miskin. Di luar skema JPKM, upaya jaminan
kesehatan yang ada adalah skema askes bagi pegawai negeri, Jamsostek untuk
karyawan perusahaan dan sejak tahun 2005 terdapat skema asuransi
kesehatan khusus untuk masyarakat miskin, yaitu Program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (JPKMM). Meskipun
masing – masing skema jaminan kesehatan masih terpisah dikarenakan
pedoman pemerintah saat ini, akan tetapi perkembangan masing masing
skema sangat bagus. Komitmen Pemerintah Kabupaten Purbalingga selama
ini sangatlah kuat untuk memberikan pelayanan kesehatan yang adil bagi
masyarakatnya (Ariyanto, 2009).
Menurut Ariyanto (2009) menyebutkan bahwa 80 %peserta JPKM di
Kabupaten Purbalingga telah memanfaatkan haknya dalam pelayanan
kesehatan. Pada tahun 2007 telah ditetapkan besar anpremi baru sebesar Rp.
50.000 untuk strata II ( besaran premi tahun 2006adalah Rp 40.000) dan Rp.
100.000 untuk strata III (besaran premi tahun2006 adalah Rp 80.000).
F. Poliklinik Kesehatan Desa (PKD)
Salah satu bentuk pembangunan kesehatan di Kabupaten Purbalingga
pada saat ini juga bertujuan meningkatkan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan dengan mengembangkan Poliklinik Kesehatan Desa
(PKD) dengan konsep Desa Sehat Mandiri (DSM) yang mencerminkan
Sistem Kesehatan Daerah (SKD) dan mengarah kepada efisiensi dan keadilan
dalam pelayanan kesehatan. Bagi keluarga miskin dan masyarakat yang
tinggal di tempat yang jauh dan sulit dijangkau pelayanan kesehatan
sebaiknya dilaksanakan sedekat mungkin dengan tempat tinggalnya dan
dilaksanakan secara terintegrasi serta komprehensif melalui lembaga yang
dinamakan Poliklinik kesehatan Desa (PKD) (Ariyanto, 2009).
Secara umum PKD bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan peran
Polindes dari hanya sebagai tempat pelayanan, pembinaan, penyuluhan dan
konseling Kesehatan Ibu dan Anak /KB menjadi Poliklinik Kesehatan Desa
yangmempunyai fungsi dan peran yang lebih luas tidak hanya pelayanan
KIA/KB saja tetapi layaknya poliklinik, juga memberikan pelayanan
kesehatan lainnya, tidak hanya kuratif tetapi juga promotif dan
preventifseperti kesehatan lingkungan, upaya pencegahan penyakit menular
dangizi ditambah upaya – upaya pemberdayaan masyarakat sekitarnya
(Ariyanto, 2009).
G. Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten
atau kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas berperan menyelenggarakan
sebagian dari tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota
dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak
pembangunan kesehatan di Indonesia (Sulastomo, 2007).
Puskesmas hanya bertanggung jawab untuk sebagian upaya
pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota sesuai dengan kemampuannya. Secara nasional, standar wilayah
kerja puskesmas adalah satu kecamatan. Tetapi apabila disatu kecamatan
terdapat lebih dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah keja dibagi
antar puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa,
kelurahan, RW), dan masing-masing puskesmas tersebut secara operasional
bertanggung jawab langsung kepada dinas kesehatan kabupaten/ kota
(Sulastomo, 2007).
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas
adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia sehat.
Kecamatan sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang
ingin dicapai melalui penbangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup
didalam lingkungan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Sulastomo, 2007).
Pembiayaan pelayanan kesehatan di puskesmas menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.128/ MENKES/SK/II/2004 dibagi
menjadi 3, yaitu:
1. Pembiayaan Puskesmas dari Pemerintah
Sesuai dengan azas desentralisasi, sumber pembiayaan yang berasal
dari pemerintah terutama adalah pemerintah kabupaten/kota. di samping
itu puskesmas masih menerima dana yang berasal dari pemerintah provinsi
dan pemerintah pusat. Dana yang disediakan oleh pemerintah dibedakan
atas dua macam yaitu:
a. Dana anggaran pembangunan yang mencakup dana pembangunan
gedung pengadaan peralatan serta pengadaan obat.
b. Dana anggaran rutin yang mencakup gaji karyawan, pemeliharaan
gedung dan peralatan, pembelian barang habis pakai serta biaya
operasional.
Puskesmas diberikan kesempatan mengajukan kebutuhan untuk kedua
anggaran tersebut melalui Dinas kesehatan kabupaten/kota. Anggaran
yang telah disetujui yang tercantum dalam dokumen keuangan diturunkan
secara bertahap ke Puskesmas melalui Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
Penanggung jawab penggunaan anggaran yang diterima oleh puskesmas
adalah Kepala Puskesmas, sedangkan administrasi keuangan dilakukan
oleh pemegang keuangan Puskesmas yakni seorang staff yang ditetapkan
oleh Dinas kesehatan kabupaten/kota atas usulan Kepala Puskesmas.
2. Pembiayaan Puskesmas dari Retribusi
Sesuai dengan kebijakan pemerintah, masyarakat dikenakkan
kewajiban membiayai upaya kesehatan perorangan yang
dimanfaatkannya, yang besarnya ditentukan oleh Peraturan Daerah
masing-masing (retribusi). Pada saat ini ada beberapa kebijakan yang
terkait dengan pemanfaatan dana yang diperoleh dari penyelenggaraan
upaya kesehatan perorangan ini yaitu:
a. Seluruhnya disetor ke Kas Daerah
Puskesmas menyetor seluruh dana retribusi yang diterima ke
kas daerah melalui dinas kesehatan kabupaten/kota.
b. Sebagian dimanfaatkan secara langsung oleh Puskesmas
Beberapa daerah tertentu membenarkan Puskesmas
menggunakan sebagian dari dana yang diperoleh dari
penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan, yang lazimnya berkisar
antara 25-50% dari total dana retribusi yang diterima. Penggunaan
dana hanya dibenarkan untuk membiayai kegiatan operasional
Puskesmas. Penggunaan dana tersebut secara berkala dipertanggung
jawabkan oleh puskesmas ke pemerintah daerah melalui Dinas
kesehatan kabupaten/kota.
c. Seluruhnya dimanfaatkan secara langsung oleh Puskesmas
Beberapa daerah tertentu lainnya membenarkan Puskesmas
menggunakan seluruh dana yang diperoleh dari penyelenggaraan
upaya kesehatan perorangan untuk membiayai kegiatan operasional
Puskesmas. Dahulu puskesmas yang menerapkan model pemanfaatan
dana seperti ini disebut Puskesmas Swadana. Pada saat ini sesuai
dengan kebijakan dasar puskesmas yang juga harus
3. Pembiayaan Puskesmas dari Sumber lain
Pada saat ini Puskesmas juga menerima dana dari beberapa
sumber lain seperti:
a. PT. ASKES yang peruntukannya sebagai imbalan jasa pelayanan yang
diberikan kepada para peserta ASKES. Dana tersebut dibagikan
kepada para pelaksana sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. PT (Persero) jamsostek yang peruntukannya juga sebagai imbalan jasa
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta jamsostek. Dana
tersebut juga dibagikan kepada para pelaksana sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
c. JPSBK/PKPSBBM untuk membantu masyarakat miskin, pemerintah
menyalurkan dana secara langsung ke Puskesmas. Pengelolaan dana
ini mengacu pada pedoman yang telah ditetapkan.
Apabila sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang berlaku akan terjadi
perubahan pada sistem pembiayaan Puskesmas. Sesuai dengan konsep yang
telah disusun direncanakan pada masa yang akan datang pemerintah hanya
bertanggung jawab untuk membiayai upaya kesehatan masyarakat, sedangkan
untuk upaya kesehatan perorangan dibiayai melalui sistem Jaminan
Kesehatan Nasional, kecuali untuk penduduk miskin yang tetap ditanggung
oleh pemerintah dalam bentuk pembayaran premi. Dalam keadaan seperti ini,
apabila puskesmas tetap diberikan kesempatan menyelenggarakan upaya
kesehatan perorangan, maka puskesmas akan menerima pembayaran dalam
bentuk kaitasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional. Untuk
itu puskesmas harus dapat mengelola dana kapitasi tersebut dengan sebaik-
baiknya sehingga disatu pihak lain tetap memberikan keuntungan bagi
Puskesmas tetapi apabila Puskesmas hanya bertanggung jawab
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat. Maka Puskesmas hanya
akan menerima dan mengelola dana yang berasal dari pemerintah.
H. Biaya pelayanan Rumah Sakit
Biaya pelayanan rumah sakit di Indonesia, baik rawat jalan maupun
rawat inap, merupakan biaya yang paling tinggi tingkat ketidakpastiannya.
Tingginya tingkat ketidakpastian biaya pelayanan kesehatan tersebut, serta
terbatasnya kemampuan ekonomi seseorang sering kali menjadi alasan
sulitnya memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan yang disediakan. Kondisi
tersebut menjadikan pelayanan kesehatan di Indonesia seolah kurang adil dan
merata, baik secara geografis maupun ekonomis.Besarnya biaya yang harus
dikeluarkan oleh rumah tangga termiskin atau terkaya untuk pengobatan
dapat membebani perekonomian rumah tangga (Nurhikmah, 2009).
Departemen Kesehatan mengartikan tarif sebagai nilai suatu jasa
pelayanan rumah sakit dengan sejumlah uang dimana berdasarkan nilai
tersebut, rumah sakit bersedia memberikan jasakepada pasien. Faktor-faktor
yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan tarif rumah sakit adalah biaya
satuan, jenis pelayanan dan tingkat pemanfaatan, subsidisilang, tingkat
kemampuan masyarakat, tarif pelayanan pesaing yang setara (Rianti, 2011).
Tarif adalah harga jual yang memperhitungkan Unit Cost, Jasa
Pelayanan (Medis, Paramedis dan Non Medis), Rencana Pengembangan dan
Margin. Untuk menentukan pola tarif masing-masing produk di Rumah Sakit,
sangat tergantung dengan jenis usaha masing-masing instalasi. Ada 3 macam
jenis usaha, yaitu :
1. Usaha jasa
Produk layanan yang ada di Instalasi Rawat Inap, Instalasi Rawat Jalan
(Poliklinik), IRD, ICU, OK, Penunjang Medis dan lain-lain
2. Usaha perdagangan
Produk penjualan yang ada di Apotek
3. Usaha pengolahan/industri
Produk olahan yang ada Instalasi Gizi, jika instalasi tersebut sudah
menjadi Revenue / Profit Centre (Rianti, 2011).
Unsur tarif Rumah Sakit Pemerintah / non profit, terdapat dua bagian
yaitu tarif yang dibebankan pemerintah dan yang dibebankan masyarakat.
Biaya pemerintah seperti misalnya biaya gaji karyawan dan biaya investasi.
Biaya yang dibebankan masyarakat untuk biaya operasionalnya. Sehingga
RSUD yang berstatus Badan Layanan Umum Daerah(BLUD). Tarif Pasien
yang dirawat dibedakan menjadi 2 jenis :
1. Mandiri (umum)
Pasien mandiri/umum membayar fee for service secara out of pocket.
2. Ada penjamin (asuransi). Pasien berdasar penjaminnya:
a. Asuransi Pegawai Negeri (PT ASKES).
Peserta ditanggung oleh PT ASKES dan membayar kepada RSUD
sesuai dengan tarif kesepakatan antara PT ASKES dengan Rumah
sakit
b. Asuransi swasta. Tarifnya merupakan fee for service.
1) Asuransi penanggung bekerja sama dengan RS
2) Penanggung menentukan kelas dimana peserta berhak dirawat
3) Tarif sesuai dengan kesepakatan antara penanggung dengan RS,
sesuai dengan tarif yang berlaku
4) Apabila peserta menghendaki naik kelas, selisih biaya ditanggung
oleh peserta
c. Jamkesmas dan Jamkesda, diperuntukkan bagi warga miskin. Tarifnya
berdasarkan sistem paket (INA-CBG).
Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat)
1) Peserta ditanggung oleh Departemen Kesehatandan membayar ke
dengan sistem paket
2) Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah)
Jamkesda adalah program bantuan sosial untuk pelayanan
kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak masuk dalam
program JAMKESMAS. Dana diambil dari APBD II 60% dan
Propinsi 40%, Peserta adalah masyarakat miskin yang dinyatakan
oleh Kepala Desa/Lurah dan ditandatangani camat (Rianti, 2011).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ibu
rumah tangga atau kepala keluarga sebanyak 15 responden.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 2-10 November 2013 di Desa
Candiwulan Kecamatan Kutasari Kabupaten Purbalingga.
C. Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah survei dengan metode
deskriftif cross-sectional.
D. Sumber Data
Sumber data yang digunaka adalah data primer berupa hasil
kuesioner dan data sekunder berupa profil Desa Candiwulan 2012.
E. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara kepada
responden secara langsung.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan yaitu kuesioner terbuka
dimana kuesioner diisi oleh peneliti.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Gambaran Umum Desa Candiwulan
a. Kondisi Geografis
Desa Candiwulan termasuk dalam wilayah Kecamatan Kutasari
Kabupaten Purbalingga bagian barat, yang memiliki batas
administratif sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Desa Karangjengkol
- Sebelah Timur : Desa Karangcegak
- Sebelah Selatan : Desa Karangreja dan Meri
- Sebelah Barat : Desa Cendana dan Limbangan
Jarak dari desa Candiwulan ke Kecamatan Kutasari 2 km dan ke
Kecamatan Purbalingga 10 Km. Desa Candiwulan Kecamatan
Kutasari memiliki luas wilayah 739,187 ha yang terdiri dari
pemukiman penduduk 110,5298 ha, tanah sawah 55,860 ha, tanah
tegalan 158,793 ha dan sebagian tanah kering seluas 325,1828 ha,
sedang sisanya terdiri dari perkebunan, tegalan, lahan usaha perikanan
dan lain-lain.
b. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk desa Candiwulan 5.440 jiwa yang terdiri dari
2.745 jiwa penduduk laki-laki dan 2.695 jiwa penduduk perempuan
dengan kepadatan penduduk 500,6 jiwa/km. Sedang jumlah rumah
tangga 1.546 KK dan rata-rata anggotanya 6 jiwa dengan jumlah bayi
92 bayi dan jumlah anak usia 1-5 tahun 374 anak.
c. Tingkat Pendidikan
Tabel 4.1 Tingkat pendidikan masyarakat desa Candiwulan untuk usia
10 tahun keatas
No Tingkat Pendidikan Jumlah1. Tidak/belum sekolah 544 orang2. Belum tamat SD 288 orang3. Tidak Tamat SD 1.143 orang4. Tamat SD 2.051 orang
5. Tamal SLTP 269 orangLanjutan tabel 4.16. Tamat SLTA 521 orang7. Tamat akademi 33 orang8. Tamat Sarjana/ D IV 34 orang
Sumber: Kecamatan Kutasari dalam angka 2012
d. Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi masyarakat desa Candiwulan dapat dilihat dari
pekerjaan penduduk di usia diatas 15 tahun.
Tabel 4.5 Mata pencaharian Penduduk Desa Candiwulan
No Mata Pencahariaan Jumlah1. Petani 434 orang2. Buruh Tani 987 orang3. Buruh Industri/ karyawan pabrik 167 orang4. Buruh Bangunan 133 orang5. Pengusaha 5 orang6. Pedagang 122 orang7. PNS 24 orang8. TNI/Polri 2/4 orang9. Pensiunan 21 orang10 Lain-lain 119 orang
Sumber: Kecamatan Kutasari dalam angka 2012
2. Karakteristik Responden
3. Hasil Penelitian
Hasil kuesioner yang terkumpul sebanyak 15 responden
menunjukkan bahwa jumlah rata-rata pengeluaran untuk pangan esensial
dalam sebulan responden di Desa Candiwulan sebesar Rp 685.267.
Untuk jumlah rata-rata pengeluaran non esensial dalam sebulan sebesar
Rp 111.467. Untuk jumlah rata-rata pengeluaran non pangan dalam
sebulan sebesar Rp 587.906. Untuk jumlah rata-rata disposible income
(non esensial+non pangan) sebesar Rp 699.372.
Rata-rata kemampuan responden membayar tarif pelayanan
kesehatan (ATP) di Desa Candiwulan sebesar Rp 34.969. Rata-rata
kemauan responden membayar tarif pelayanan kesehatan rawat jalan di
PKD saat berobat yaitu sebesar Rp 14.000. Rata-rata kemauan responden
membayar tarif pelayanan kesehatan rawat jalan di Puskesmas saat
berobat yaitu sebesar Rp 43.333. Rata-rata kemauan responden
membayar tarif pelayanan kesehatan rawat inap di RSUD saat berobat
yaitu sebesar Rp 243.000. Rata-rata kemauan responden membayar
premi jaminan kesehatan untuk satu tahun yaitu sebesar Rp 11.333. Rata-
rata kemauan responden membayar pelayanan kesehatan masyarakat
yaitu sebesar Rp 27.011.
B. Pembahasan
1. Karakteristik Responden
2. Hasil Penelitian
Kemampuan membayar kesehatan atau dikenal dengan ability to
pay (ATP) merupakan dana yang sebenarnya dapat dialokasikan oleh
seseorang untuk membiayai kesehatan (Kemenkes, 2001). Dua batasan
ATP yang dapat digunakan sebagai berikut:
1. ATP 1 adalah besarnya kemampuan membayar yang setara dengan 5
% dari pengeluaran pangan non esensial dan non makanan. Batasan
ini didasarkan bahwa pengeluaran untuk non makanan dapat
diarahkan untuk keperluan lain, termasuk untuk kesehatan
2. ATP 2 adalah besarnya kemampuan membayar yang setara dengan
jumlah pengeluaran untuk konsumsi alkohol, tembakau, sirih,
pesta/upacara. Batasan ini didasarkan kepada pengeluaran yang
sebenarnya dapat digunakan secara lebih efesien dan efektif untuk
kesehatan. Misalnya dengan mengurangi pengeluaran
alkohol/tembakau/sirih untuk kesehatan (Adisasmita, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian didapat
Hasil kuesioner yang terkumpul sebanyak 15 responden
menunjukkan bahwa jumlah rata-rata pengeluaran untuk pangan esensial
dalam sebulan responden di Desa Candiwulan sebesar Rp 685.267.
Untuk jumlah rata-rata pengeluaran non esensial dalam sebulan sebesar
Rp 111.467. Untuk jumlah rata-rata pengeluaran non pangan dalam
sebulan sebesar Rp 587.906. Untuk jumlah rata-rata disposible income
(non esensial+non pangan) sebesar Rp 699.372.
Harga barang (tarif pelayanan kesehatan), besar pendapatan, biaya
pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi ability to pay seseorang.
Sedangkan (Thabrany, 2009) menjelaskan bahwa jumlah anggota
keluarga juga dapat mempengaruhi ability to pay.
Willingness to pay (WTP) yaitu besarnya dana yang mau dibayarkan
keluarga untuk kesehatan. Kesediaan untuk membayar (willingness to
pay) adalah kesediaan masyarakat untuk menerima beban pembayaran,
sesuai dengan besarnya jumlah yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Faktor–faktor yang mempengaruhi WTP, yaitu pendapatan,
pengetahuan mengenai tarif dan persepsi serta penilaian tentang pelayanan
yang diterima pasien (Gafni, 1991).
I. Hubungan ATP dan WTP
4. ATP > WTP
Kemampuan membayar lebih besar daripada keinginan membayar.
Artinya penghasilan relatif tinggi, tapi nilai utilitas terhadap jasa tersebut
relatif rendah. Pada kondisi ini pengguna disebut sebagai choiced riders.
5. ATP < WTP
Kemampuan membayar lebih kecil daripada keinginan membayar.
Artinya penghasilan relatif rendah, tapi nilai utilitas terhadap jasa
pelayanan tinggi. Pada kondisi ini pengguna disebut sebagai captive riders.
6. ATP = WTP
Kemampuan membayar sama dengan keinginan membayar.
Penghasilan sesuai dengan nilai utilitas terhadap jasa pelayanan tinggi.
Analisis perbandingan penerapan biaya atau retribusi sebagai berikut:
d. WTP merupakan fungsi dari tingkat pelayanan, maka jika WTP berada
dibawah ATP, masih dimungkinkan menaikkan nilai tarif dengan
perbaikan tingkat pelayanan.
e. ATP fungsi dari kemampuan membayar, maka penentuan tarif jangan
melebihi nilai ATP kelompok sasaran.
f. Intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi langsung maupun subsidi
silang, pada kondisi tarif lebih dari ATP.
PKD yang ada di Desa Candiwulan tidak memberlakukan tarif, pemberian
pelayanan kesehatan dilakukan secara gratis. Sedangkan tarif Puskesmas yang ada
di Desa Candiwulan sebesar Rp 15.000.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
B. Saran
Adisasmita, Wiku. 2008. Rancangan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan. FKM UI: Jakarta.
Ariyanto T. 2009. Analisis Sistem Terhadap Pelayanan Kesehatan Dasar pada Poliklinik Kesehatan Desa di Kabupaten Purbalingga. Tesis . Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Gafni, A. 1991. Willingness to-Pay as a Measure of Benefits: Relevant Questions in the Context of Public Decisionmaking about Health Care Programs. Medical Care. Vol. 29 (12) ; 1246-1252
Kemenkes, 2001. Pedoman Penatapan dan Koleksi Premi JPKM. Jakarta.
Nurhikmah, 2009. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Rianti A, Kodrat W, Ferry H. 2011. Kemampuan dan Kemauan Membayar Pasien Terhadap Pelayanan Rawat Inap Rsud Dr. Rasidin Padang. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran.
Sihombing G.Rien, R. N. Thinni. 2013. Dampak Pembiayaan Kesehatan Terhadap Ability To Pay Dan Catastrophic Payment . Jurnal Administrasi Kesehtaan Indonesia Vol 1 (1) ; 1-8