LAPORAN AKHIR INSENTIF RISET SINAS IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT BUSUK UMBI PORANG (Amorphophallus mueleri Blume) DAN ISOLASI SERTA SKREENING AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN RAMAH LINGKUNGAN RD-2015-0019 Bidang Prioritas Iptek: 10. Teknologi Pangan 10.03 Riset Pengembangan Perkebunan Jenis Insentif Riset: Riset Dasar NON KONSORSIUM Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Universitas Merdeka Madiun Jln. Serayu No 79 Madiun 63133 Phone (0351) 495551/Fax (0351) 495551/E-mail: [email protected]Tahun 2015
46
Embed
LAPORAN AKHIR INSENTIF RISET SINAS - unmer-madiun.ac.id
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN AKHIR
INSENTIF RISET SINAS
IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT BUSUK UMBI PORANG
(Amorphophallus mueleri Blume) DAN ISOLASI SERTA SKREENING AGENS HAYATI
Uji daya hambat terhadap patogen penyebab busuk umbi porang (S. delpinii
CBS221 dan F. oxysporum strain Ppf 15 , Cedecea lapagei strain DSM 4597, dan
Serratia marcecens subsp. Sakuensis strain KRED.) secara in vitro akan dilakukan
untuk memilih bakteri antagonis yang berpotensi sebagai agens hayati. Koloni patogen
penyebab penyakit busuk umbi porang disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Penyebab penyakit busuk umbi porang pada 4 hari setelah inokulasi: A) Fusarium oxysporum strain Ppf 15; B) Sclerotium delpinii CBS221; C) Cedecea lapagei strain DSM 4597;D) Serratia marcecens subsp. Sakuensis strain KRED.
A B C D
21
c. Laporan tahap III
Jumlah sklerosia dan perkecambahan sklerosia dilakukan pengamatan
setelah umbi katak disimpan selama dua bulan. Jumlah sklerosia dihitung
menggunakan Wt Sieving Technique (Punja, 1988) yang telah dimodifikasi.
Skerosia setiap perlakuan diambil dengan pinset dan dimasukkan ke dalam
cawan petri. Selanjutnya organ pembiakan tersebut dikecambahkan. Setiap perlakuan
diambil 25 butir untuk diisolasikan pada media PDA dalam cawan. Perkecambahan
ditandai oleh munculnya hifa berwarna putih. Perkecambahan dihitung dengan rumus:
a P = x 100% a + b
P : persentase perkecambahan
a : sklerosia yang berkecambah
b : sklerosia yang tidak berkecambah
1.2. Hasil
a. Laporan Tahap I
1) Persentase penyakit busuk umbi porang
Gejala penyakit busuk umbi porang di batang nampak kumpulan miselium
seperti bulu. Miselium tersebut akan berubah menjadi butir-butir bulat dan lonjong yang
nampak disekitar tanah dari tanaman yang terinfeksi. Infeksi penyebab penyakit
tersebut menyebabkan permukaan kulit umbi terlapisi oleh miselium, jika ditekan umbi
menjadi lunak. Infeksi pada bagian daging umbi menampakkan gejala nekrose yang
berwarna coklat sampai hitam. Persentase penyakit busuk umbi porang tergolong
cukup rendah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase penyakit busuk umbi di permukaan kulit dan daging umbi porang
berdasarkan periode tumbuh ketiga
Masa periode tumbuh ketiga Gejala pada bagian umbi porang
Permukaan kulit umbi (X ± SE%) Daging umbi (X±SE%)
Keterangan: MSBTR = minggu sebelum tanaman rebah; TR = tanaman rebah; MSTR = minggu setelah tanaman rebah; SE = Standard Error pengukuran
Penyakit busuk umbi porang terbanyak terjadi pada daging umbi saat 2 MSTR.
Daging umbi menampakan gejala nekrosa yang berwarna coklat muda sampai coklat
22
tua. Tingginya persentase busuk umbi ini disebabkan infeksi organisme lain saat
tanaman.
2) Inokulasi isolat jamur penyebab penyakit
Hasil inokulasi isolat patogen pada umbi porang menghasilkan gejala yang
terdiri atas: 1) umbi mengalami nekrose dengan miselium berwarna putih seperti
kapas dan berbulu dengan pertumbuhannya sangat cepat. Hari kelima setelah
inokulasi menampakan gumpalan berwarna putih, selanjutnya gumpalan tersebut
berwarna coklat ;2) umbi mengalami nekrose dengan miselium seperti kapas dengan
pertumbuhannya lambat. Sampai hari kelima tidak nampak terbentuknya gumpalan.
Hasil inokulasi isolat penyebab penyakit disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Gejala busuk pada umbi porang yang muncul setelah diinokulasi dengan isolat jamur (A,B,C,D) pemacu pembusukan pada umbi porang di laboratorium, K: kontrol
3) Identifikasi isolat jamur penyebab penyakit
Potongan jaringan dari umbi bergejala busuk dengan miselium yang tumbuh di
daging umbi disubkultur hingga diperoleh biakan murni jamur. Morfologi jamur
penyebab busuk umbi porang pada media PDA disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Biakan murni dari bagian jaringan umbi porang: A) koloni penyebab penyakit; B) koloni penyebab penyakit dengan sklerotia berwarna coklat
A B
23
a) Pengamatan mikroskopi
Hasil pengamatan di bawah mikroskop menampakan hasil sebagai berikut:
1) miselium dengan sklerotia; 2) miselium dengan spora yang terdiri atas mikrokonidia
dan makrokonidia yang berbentuk bulan sabit dan bersekat. Morfologi koloni jamur
penyebab busuk umbi porang disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Morfologi koloni jamur penyebab busuk umbi porang (200 X):A) miselium dengan klamidospora (terminal); B,C,D) miselium dengan mikro dan makrokonidia
b) Analisis secara molekular
Masing-masing DNA isolat jamur seperti pada Gambar 4 diisolasi, kemudian di
PCR. Hasil amplifikasi DNA dengan teknik PCR disajikan pada Gambar 9.
M 1 2 3
Gambar 9. Hasil amplifikasi DNA pada isolat jamur penyebab penyakit busuk umbi porang dalam
PAGE 6%. Lajur (1) DNA miselium jamur dengan spora (makrokonidia dan mikrokonidia); Lajur (2) DNA miselium jamur dengan sklerotia; Lajur (3) DNA miselium jamur dengan spora (makrokonidia dan mikrokonidia); Lajur (M) marker DNA 1 kb
3000 bp
1000 bp
A B
C D
24
Isolat nomor 1 dan 3 berhasil teramplifikasi pada daerah sekitar 600 bp. Isolat
nomor 2 teramplifikasi pada daerahsekitar 700 bp. Hasil amplifikasi DNA isolat jamur
disekuensing. Hasil sekuen berupa data perunutan DNA kemudian dianalisis tingkat
kesamaan atau kekerabatan genetik dari isolat yang diperoleh dengan data sekuen
GenBank menggunakan program BLAST-N (Basic Local Alignment Search Tool) .
Program BLAST metode neighbour joining digunakan untuk membuat pohon filogenetik,
sehingga diperoleh nama spesies jamur dengan kecocokan tertinggi (Gambar 10).
Isolat1
Isolat3
Fusarium oxysporum strain Ppf15
Fusarium oxysporum f. sp. radicis-lycopersici strain ATCC 52429
Fusarium oxysporum isolate 2-X
Sclerotium delphinii isolate CBS221
Isolat2
Athelia rolfsii strain bai269
100
64
87
42
0.05
Gambar 10. Pohon filogenetik dari isolat penyebab penyakit busuk umbi porang
4) Jenis isolat jamur penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi
Jenis isolat jamur penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Jenis isolat jamur penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi
Nomor isolat
Jenis mikroba Hasil inokulasi pada umbi
Rerata kemunculan gejala
Karakteristik pertumbuhan koloni di media PDA
1 dan 3 Fusarium oxysporum Strain Ppf15
Menghasilkan gejala pada 5 hsi
30,65% Koloni tumbuh agak lama; pada biakan umur 3 hari mencapai 0.8 cm
2 Sclerotium delphinii isolate CBS221
Menghasilkan gejala pada 3 hsi
88,23% Koloni tumbuh sangat cepat; pada biakan Umur 3 hari mencapai 3,6 cm
5) Reisolasi dan karakterisasi isolat bakteri penyebab penyakit busuk umbi porang
a) Reisolasi isolat bakteri penyebab penyakit
Reisolasi isolat bakteri penyebab penyakit dilakukan pada umbi porang yang
berumur satu bulan. Isolat bakteri yang tumbuh pada jaringan disubkultur beberapa
kali sampai diperoleh biakan murni. Reisolasi isolat bakteri disajikan pada Gambar 11.
25
Gambar 11. Gejala pada umbi porang dari hasil reisolasi isolat bakteri
b) Pengamatan koloni bakteri penyebab penyakit
Hasil isolasi pada media King B penyebab penyakit ditemukan 10 jenis bakteri
berpendar dan isolat nomor 3 berwarna merah. Hasil pengamatan koloni bakteri
tersebut pada media King B disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Koloni bakteri penyebab penyakit busuk umbi porang
c) Pengujian gram
Hasil uji gram menunjukkan bahwa isolat bakteri nomor 1, 2, 3, 5, 7, 8 bersifat
gram negatif dan nomor 4, 6 dan 10 bersifat gram positif.
d) Pengujian hipersensitif
Pengujian hipersensitif menggunakan 10 isolat bakteri yang berpendar. Isolat
bakteri nomor 7 dan 5 masing-masing setelah masa inkubasi 2 hari, dan 3 hari
menunjukkan gejala nekrosis dan daun nampak tipis transparan (Gambar 13).
26
Gambar 13. Reaksi hipersensitif pada daun tembakau: A) gejala nekrosis pada isolat bakteri nomor 7; B) gejala nekrosis pada isolat bakteri nomor 5
e) Pengujian degradasi pektat pada umbi kentang
Uji degradasi pektat pada isolat bakteri pendar fluor nomor 5 dan 7
menunjukkan gejala yang berbeda. Isolat bakteri pendarfluor nomor 5 jaringan umbi
yang rusak dan mati berwarna hitam pekat dan tidak meluas dibandingkan isolat nomor
9. Hasil pengujian degradasi pektat pada umbi kentang disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Hasil uji degradasi pektat isolat bakteri pendar fluor pada umbi kentang: Konrrol
dengan penuangan air steril; isolat 5 dan 7 dengan penuangan masing-masing isolat bakteri pendar fluor
f) Analisis secara molekular
Pohon filogenetik menunjukkan bahwa isolat bakteri nomor 5 termasuk dalam
kelompok Cedecea lapagei strain DSM 4597. Berdasarkan hasil BLAST diketahui
isolat mempunyai kemiripan 99% dengan Cedecea neteri NBRC 105707. Isolat
nomor 7 termasuk dalam kelompok Serratia marcecens subsp. Sakuensis strain
KRED. Isolat mempunyai kemiripan 100% dengan Serratia nematodiphila strain
DZ0503SBS1. Pohon filogenetik yang memperlihatkan posisi isolat bakteri nomor 5
dan 7 berdasarkan sekuen gen 16S rRNA (Gambar 15).
A B
27
P5
Cedecea lapagei strain DSM 4587
Cedecea neteri NBRC 105707
Serratia nematodiphila strain DZ0503SBS1
P7
Serratia marcescens subsp. sakuensis strain KRED
Leclercia adecarboxylata strain NBRC 102595
Pantoea agglomerans strain JCM1236
P4
Enterobacter cancerogenus strain LMG 2693
Enterobacter asburiae strain JCM6051
Pantoea ananatis strain 1846
P1
Pantoea anthophila strain LMG 255852
100
78
100
88
64
99
52
72
85
41
0.005
Gambar 15. Pohon filogenetik yang memperlihatkan posisi isolat bakteri nomor 5 dan 7 berdasarkan sekuen gen 16 S rRNA
6) Jenis isolat bakteri penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi
Jenis isolat bakteri penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Jenis isolat bakteri penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi
Nomor isolat
Jenis mikroba Hasil inokulasi pada umbi
Rerata kemunculan gejala
Karakteristik Uji hipersensitif, gram, dan degradasi pektat
5 Cedecea neteri NBRC 105707
Menghsilkan gejala pada 8 hsi
10,46% Gejala nekrosis, gram negatif, mendegradasi pektat pada hari 4, tetapi tidak menyebar
7 Serratia namatodiphila strain DZ0503SBS1
Menghasilkan gejala pada 4 hsi
14,01% Gejala nekrosis, gram negatif, mendegradasi pektat pada hari 4, tetapi menyebar
28
b. Laporan Tahap II
1) Morfologi koloni bakteri
Berdasarkan pengamatan di bawah sinar UV ( λ = 366 nm) menunjukkan tiga
dari 37 koloni bakteri pada medium King B agar berpendar dengan warna hijau
kebiruan. Koloni bakter tersebut dengan kode 11,15,25. Pendaran dan warna dari
koloni bakteri tersebut disajikan pada Gambar 16
Gambar 16. Pengamatan koloni bakteri pada medium King B di bawah sinar UV (λ = 366 nm) A) koloni bakteri yang berpendar; B) koloni bakteri yang berpendar dan yang tidak berpendar.
Individu bakteri dengan pengecatan negatif mempunyai bentuk batang dengan
ukuran 0,5−0,9 x 1,6−3,7 µm. Bakteri dapat ditemukan dalam keadaan tunggal dan
bergerombol (Gambar 17).
Gambar 17. Bentuk bakteri pada pengamatan di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000x
2) Pengujian reaksi hipersensitif pada daun tembakau
Pengujian hipersensitif menggunakan tiga koloni bakteri (Pf 11, Pf 15, Pf 25)
yang berpendar di bawah sinar UV masing-masing setelah masa inkubasi sampai
hari ke 7 tidak menunjukkan gejala nekrosis (Gambar 18).
A B
29
Gambar 18. Pengujian reaksi hipersensitif dari Pseudomonas fluorescens pada daun tembakau
3) Pengamatan sifat fisiologi dan biokimia bakteri
Tabel 4. Sifat fenotipik Pseudomonas fluorescens isolat Saradan
Tabel 5. Hasil pengujian Pseudomonas fluorescens isolat Saradan terhadap
pertumbuhan koloni penyebab penyakit busuk umbi porang
Kode isolat P. fluorescens
Daya hambat terhadap jamur penyebab busuk umbi porang (%)
Diameter hambatan terhadap bakteri penyebab busuk umbi porang (mm)
F.oxysporum S. delpinii C. neteri S. namatodiphila
Pf 11 85,12 a 78,84 a 11,25 a 14.09 a Pf 15 54,93 c 51.06 b 9.37 b 12,14 b Pf 25 61,40 b 49,93 b 9,29 b 8,70 b Kontrol 1,37 d 1,80 c 2,01 c 2,28 d
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P= 0.05
Kontrol = tanpa menggunakan isolat P. fluorescens
c. Laporan Tahap III
Perlakuan yang paling menekan jumlah dan perkecambahan sklerosia
adalah aplikasi dengan penyelaputan umbi katak P. fluorescens dengan konsentrasi
tinggi 107 -109cfu/ml. Viabilitas organ pembiakan Sclerotium delphinii pada umbi katak
yang disimpan selama dua bulan dari peubah jumlah dan perkecambahan sklerosia
hanya dipengaruhi oleh cara aplikasi P. fluorescens Pf 11. P fluorescens yang
diaplikasikan dengan penyelaputan benih dan penyemprotan umbi katak dengan
agens hayati tersebut, masing-masing mampu menekan jumlah sklerosia yang
30
terbentuk pada umbi katak rata-rata 22,50 butir (90 %) dan 12,34 butir (49,36 %)
sklerosia dari 25 sklerosia yang dikembangkan pada media PDA (Tabel 6).
Tabel 6. Pengaruh P.fluorescens PF 11 terhadap penekanan jumlah organ sklerosia
dari S. delphinii dan persentase perkecambahan sklerosia pada umbi katak di
penyimpanan
Cara aplikasi P.fluorescens Pf 11
Konsentrasi P.fluorescens Pf 11
(cfu/ml).
Organ sklerosia (butir/1 kg umbi katak)
Perkecambahan (%)
A1 105 20,45 b 18,20 e
107 23,26 ab 6,96 g
109 23,79 a 4,84 fg
A2 105 10,46 d 58,80 b
107 11,80 d 52,81 c
109 14,75 c 41,00 d
Kontrol 3,89 e 84,44 a
Keterangan: A1 : Aplikasi melalui penyelaputan umbi katak A2 : Aplikasi melalui penyemprotan Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P= 0,05
1.3. HAMBATAN
Kendala dan hambatan pada kegiatan penelitian “Identifikasi Penyebab
Penyakit Busuk Umbi Porang (Amorphophallus mueleri Blume) “ yaitu ketersediaan
tanaman porang di lapangan. Ketersediaan tanaman porang di lapangan yang
digunakan untuk isolasi penyebab penyakit busuk umbi porang merupakan hambatan
yang paling utama. Tanaman porang pada musim kemarau yaitu bulan Juni sampai
bulan September dalam kondisi dorman. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian
sebelum bulan Juni untuk mendapatkan isolat penyebab penyakit busuk umbi porang di
pertanaman,sehingga tidak berpengaruh terhadap target-target penelitian. Meskipun
masalah keterlambatan pendanaan merupakan masalah klasik yang selalu terjadi untuk
peneliti di Indonesia.
Tahap ke II dan III secara teknis tidak mengalami hambatan dalam
penelitian. Hal ini karena penelitian dilakukan lebih awal dan penelitian di laboratorium
serta umbi katak di lapangan tersedia pada akhir musim kemarau. Meskipun tenggang
waktu pelaporan kemajuan II dan III sangat dekat.
1.4. PEMBAHASAN
a. Laporan Kemajuan I
Gejala penyakit busuk umbi menampakan tumbuhnya miselium pada pangkal
batang dan kulit serta bagian daging umbi porang. Kumpulan miselium berwarna
31
putih seperti kapas dan sklerotia berwarna coklat yang tumbuh pada kulit umbi porang
mengotori tanah dan melekat pada umbi tersebut serta menjadi sumber inokulum. Jika
tanah di permukaan umbi dibersihkan nampak permukaan umbi berwarna coklat
terang dan ditekan nampak lunak. Gejala pada pangkal batang ini menyebabkan
tanaman porang rebah sebelum saatnya (Gambar 19). Kondisi ini akan memudahkan
infeksi jasad pengganggu lain yang memperparah gejala pada umbi tersebut.
Gambar 19. Gejala penyakit busuk umbi porang: A) gejala pada pangkal batang; B) gejala pada permukaan tanah ; C) gejala pada permukaan kulit umbi porang
Jamur tular tanah dengan struktur berupa skletotia dapat bertahan hingga 10
tahun. Jika terdapat tanaman inang akan berkembang kembali. Permukaan sklerotium
dapat mengeluarkan exudat antara lain asam oksalat yang bersifat racun pada
tanaman. Asam oksalat meningkat karena senyawa dari akar yang menguap (Yaqub
dan Shahzad, 2005; Okereke dan Wokocha,2007; Sumartini,2011).
Hasil identifikasi berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop miselium
dengan skerotia dan miselium dengan spora yang terdiri atas: makrokonidia dan
mikrokonidia, masing-masing adalah kelompok jamur Sklerotium sp dan Fusarium sp.
Amplifikasi DNA menunjukkan isolat 1 mempunyai ukuran pita yang sama
Berdasarkan diagram filogenetik, miselium jamur dengan sklerotia 100 % dianggap
teridentifikasi pada tingkat spesies dan memiliki kemiripan basa dengan Sclerotium
delphinii isolate CBS221. Miselium jamur dengan spora yang terdiri atas makrokonidia
dan mikrokonidia 87% dianggap teridentifikasi pada tingkat genus atau famili dan
memiliki kemiripan basa dengan Fusarium oxysporum strain Ppf15.
Karakter isolat bakteri nomor 1, 2, 3 ,5 , 7 dan 8 menunjukkan bersifat gram
negatif dan produksi pigmen pendarfluor. Meskipun pada uji hipersensitif menunjukkan
isolat bakteri nomer 5 dan 7 bergejala nekrosis, yang berarti penyebab penyakit pada
umbi porang. Hasil pengujian ini didukung dengan uji pektat. Isolat nomor 5 dan 7
mampu menghasilkan dan mensekresikan ensim pektinase atau isoensim serta
mendegradasikan dinding sel untuk merombak pektat. Hal ini menyebabkan umbi
porang membusuk dan berwarna hitam. Menurut Barras et al. (l994) menyatakan
A B C
32
enzim pektinase dari bakteri pendar fluor mampu memecah pektin didalam lamela
tengah dan dinding sel tanaman, sehingga jaringan mati, rusak dan sel pecah.
Berdasarkan hasil isolasi dan uji busuk umbi serta produksi pigmen
pendarfluor didapatkan 10 koloni bakteri. Koloni bakteri dari isolat nomor 5 dan 7
setelah uji gram menunjukan kelompok bakteri gram negatif dan uji hipersensitif
menghasilkan gejala nekrosis pada daun tembakau.Isolat nomor 5 dan 7
mengindikasikan patogenik terhadap umbi porang. Ignjatov et al., (2007) uji
patogenisitas positif, jika daun tembakau menunjukkan gejala nekrosis pada bagian
daun 24 jam setelah terinfiltrasi dengan isolat bakteri.
Berdasarkan uji gram isolat bakteri nomor 1 bersifat gram negatif, tetapi
bereaksi negatif pada uji hipersensitif, reisolasi pada umbi porang, dan degradasi
pektat, sehingga tbakteri tersebut tidak patogenik. Meskipun analisis pohon filogenetik
teridentifikasi Pantoea ananatis strain 1846. Bakteri patogenik yang menyebabkan
busuk umbi porang adalah dari kelompok Cedecea neteri NBRC 105707 dan Serratia
namatodiphila strain DZ0503SBS1 termasuk famili Enterobacteriaceae. Menurut
Kowalska et al. (2011) Serratia plymuthica menyebabkan busuk umbi pada bawang.
Sedangkan Serratia marcecens strain PPM4 16 S termasuk bakteri endofit yang
mampu menekan serangan penyakit hawar daun bakteri.
b. Laporan Kemajuan II
1) Morfologi koloni bakteri dan uji reaksi hipersensitif
Tiga koloni bakteri tersebut (Pf 11, Pf 15, Pf 25) merupakan kelompok
Pseudomonas fluorescens. Hal ini karena memancarkan sinar hijau kebiruan, jika
diamati di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 365 nm. Menurut Sands (2001)
dan Schaad (l988) pendaran sinar tersebut mencirikan keberadaan dari siderofor
karena medium King B mengandung ion Fe. Terbentuknya pigmen fluorescens pada
bakteri di media King B menunjukkan bakteri termasuk golongan Pseudomonas
fluorescens.
Sampel dari tiga koloni bakteri Pseudomonas fluorescens tersebut mempunyai
bentuk batang dengan ukuran 0,5−0,9 x 1,6−3,7 µm. Menurut Palleroni (l993) koloni
bakteri tersebut merupakan famili dari Pseudomonasaceae.
Gejala nekrotik sampai hari ke 7 tidak dihasilkan oleh tiga koloni bakteri
Pseudomonas fluorescens pada uji HR. Reaksi ini menunjukkan koloni bakteri tersebut
bukan patogen tanaman.
33
2) Pengamatan sifat fisiologi dan biokimia bakteri
perubahan warna merah pada tiga koloni yang ditutup dengan minyak parafin.
34
Koloni bakteri Pf 11 menunjukkan reaksi positif, sedangkan koloni bakteri yang
lain bereaksi negatif pada pembentukan Levan. Koloni bakteri Pf 11 nampak berlendir
dan bercahaya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fahy & Hayward (l983).
3) Daya hambat Pseudomonas fluorescens terhadap pertumbuhan koloni
penyebab penyakit busuk umbi porang secara in vitro
Berdasarkan hasil pengujian isolat Pseudomonas fluorescens menunjukkan
ketiga isolat (Pf 11, Pf 15, Pf 25) mampu menghambat pertumbuhan dan mempunyai
penghambatan bersifat bakteriostatik terhadap isolat penyebab penyakit busuk umbi
porang. Hal ini dilihat dari zona bening yang dihasilkan di sekitar isolat. Pengujian
Pseudomonas fluorescens menunjukkan senyawa siderofor. Hal ini ditunjukkan
dengan pendaran warna di bawah sinar UV.
Pengujian Pseudomonas fluorescens Pf 11 lebih effektif menghambat
penyebab penyakit penyakit busuk umbi porang secara in vitro (Gambar 20).
Gambar 20. Daya hambat Pseudomonas fluorescens Pf 11 terhadap Sclerotium delphinii pada 7 hari setelah inokulasi di media King B agar: A) koloni Sclerotium delphinii; B) daya hambat Pseudomonas fluorescens Pf 11 terhadap Sclerotium delphinii.
Secara umum daya hambat maupun zona hambat berbeda nyata dengan
daya hambat Pseudomonas fluorescens Pf 15 dan Pseudomonas fluorescens Pf 25.
Menurut Mulya et al. (l996) dan Kazempour (2004) rizobakteri yang menghasilkan
siderofor dan antibiotika lebih efektif untuk menekan penyakit dibandingkan dengan
agens hayati penghasil siderofor atau antibiotik saja.
Kemampuan Pseudomonas fluorescens Pf 11 menghasilkan siderofor yang
semakin tinggi dan senyawa toksik yang lebih banyak berhubungan dengan
peningkatan kemampuan penekanan penyakit. Selain itu mekanisme antagonisme
dilakukan dengan kompetisi pemanfaatan unsur hara Fe oleh bakteri antagonis. Oleh
karena media King B yang mengandung ion Fe juga digunakan untuk organisme lain.
c. Laporan Kemajuan III
Umbi katak selalu disimpan oleh petani untuk dijual dan ditanam pada saat
yang tepat harga dan waktu. Penyimpanan umbi katak yang tidak sehat akan menjadi
sumber inokulum di tempat penyimpanan (Gambar 21).
A B
35
Gambar 21. Penyimpanan umbi katak selama dua bulan yang ditumbuhi oleh miselium dan sklerosia
Pemanfaatan isolat P.fluorescens pf 11 asal rizosfer porang dari penelitian ini
memberi harapan baik dalam upaya pengendalian hayati penyakit tular tanah
S. delphinii (laporan kemajuan II) yang merupakan salah satu penyebab penyakit
busuk umbi porang. Aplikasi isolat P. fluorescens pf 11 (yang paling antagonis secara
in vitro) pada konsentrasi 107-109 cfu/ml dengan cara aplikasi melalui penyelaputan
umbi katak mempunyai pengaruh yang sangat nyata untuk menekan penyebab
penyakit terbawa umbi katak hingga tingkat 93,03%. Aplikasi dengan konsentrasi
tinggi dan merata akan meningkatkan populasi bakteri antagonis tersebut serta efisien
di tempat penyimpanan. Rahayu (2008) menyatakan bahwa konsentrasi suspensi
P. fluorescens pada 109 cfu/g, dapat mencegah penularan jamur tanah S. rolfsii pada
persemaian kedelai.
36
BAB 6.
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil identifikasi sekuensing 16 S rRNA, isolat penyebab busuk umbi
porang terdiri atas dua isolat jamur yaitu: Fusarium oxysporum strain Ppf15 ;
Sclerotium delphinii isolate CBS221 dan dua isolat bakteri yaitu Cedecea neteri
NBRC 105707 dan Serratia namatodiphila strain DZ0503SBS1.
2. Semua isolat Pseudomonas fluorescens yang diuji tidak merupakan patogen
tanaman dan bersifat bakteriostatik serta toksik, sehingga bisa digunakan sebagai
calon agens hayati penyebab penyakit busuk umbi porang. P. fluorescens Pf 11
yang paling antagonis secara in vitro.
3. P. fluorecens Pf 11 yang diaplikasikan melalui penyelaputan umbi katak dengan
konsentrasi tinggi (109 cfu/ml) berpengaruh positif dalam menekan S. delphinii .
4. P. fluorescens Pf 11 memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai alternatif
pengendalian ramah lingkungan terhadap umbi katak di tempat penyimpanan.
1.2. Saran
Kegiatan identifikasi penyebab penyakit busuk umbi porang dilakukan dalam
upaya pengendalian terhadap penebab penyakit tersebut. Oleh karena itu penelitian ini
diharapkan untuk mendapatkan agens hayati dari tanaman porang sehat dengan cara
isolasi dan skreening di daerah endemis penyakit busuk umbi porang.
Sifat-sifat fenotipik dari Pseudomonas fluorescens dilakukan sebagai upaya
untuk dapat menggunakan efektifitas dari agens hayati tersebut. Meskipun masih
perlu diteliti secara molekular untuk memastikan hubungan kekerabatan dengan
kelompok Pseudomonas spp yang lain.
Pemanfaatan mikroba tanah sebagai biopestisida untuk mengendalikan
penyakit busuk umbi porang secara in Planta akan dijumpai kesulitan. Oleh karena itu
perlu diteliti lebih lanjut formulator yang tepat, sehingga isolat P. fluorescens Pf 11
mempunyai efikasi.
37
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed IH, N Labuschagne, & L. Korsten.2007. Screening rhizobacteria for biological
control of Fusarium root and crown rot of sorghum in Ethiopia. Biol Control. 40 (1): 97−106. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.biocontrol .2006.07.017.
Andayanie WR. 2014. Kajian penyakit busuk umbi dan pangkal batang pada tanaman
porang. Laporan penelitian hibah internal. Universitas Merdeka Madiun. Barnet HL & BB Hunter. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. 4 th Ed.APS
Press, Minnesota.
Barras F, F Van Gijsegem, & AK Chatterjee. 1994. Extracellular enzymes and
pathogenesis of soft rot Erwinia. Annu Rev. Phytopathol. 32: 201-234.
Chandrashekhara. 2007. Endophytic bacteria from different plant origin enhance
growth and induce Downy mildew resistence in pearl millet. J. Plant Pathology.
1 (1): 1-11.
CMI.1981. Description of pathogenic fungi and bacteria. Commonwealth Mycology
Institute, England.
Cool RJ & KF Baker. 1996. The nature and practice of biological control of plant
pathogens. APS Press. The American Phytopatological Society. St. Paul.
Minnesota, USA. 539 p.
Diniyah S. 2010. Potensi isolat bakteri Endofit sebagai penghambat pertumbuhan
bakteri (Ralstonia solanacearum) dan jamur (Fusarium sp. dan Phytopthora
infestans) penyebab penyakit layu pada tanaman. Skripsi Fak. Sains dan
Teknologi UIN Maulana Ibrahim Malang.
Fahy PC & AC Hayward. 1983. Media and methods for isolation and diagnostics test.
In Fahy PC & GJ Persley (Eds) Plant bacterial diseases a diagnostics guide:
337−378. Australia Academic Press.
Habazar T, Nasrun, Jamsari, & I N Rusli. 2007. Pola penyebaran penyakit hawar
daun bakteri (Xanthomonas axonopodis pv. allii) pada bawang merah dan
upaya pengendaliannya melalui imunisasi menggunakan rizobakteria. Laporan
hasil penelitian Universitas Andalas Padang dengan Litbang Pertanian Proyek
KKP3T.
Ignjatov M, M Milosevic, M Nikolic, Z Vujakovic, & D Petrovic. 2007. Characterization of
Pseudomonas savastanoi pv. glycinea isolates from Vojvodina.
Phytopathol.45:43-54.
Joseph B, Ranjan PR, & R Lawrence. 2007. Characterization of plant growth promoting
rhizobacteria associated with chickpea (Cicerarietinum L.). J. Plant Production
1(2): 141-151.
38
Jutono J, Soedarsono, S Hartadi, S Kabirun, Soehadi, Susanto. 1973. Pedoman
praktikum mikrobiologi umum untuk perguruan tinggi. Departemen Mikrobiologi
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta. 227 hal.
Kazempour MN. 2004. Biological control of Rhizoctonia solani, the causal agent of rice sheath blight by antagonis bacteria in green house and field conditions. J. Plant Pathol. 3: 88−96.
Klement Z, K Rudolph, DC Sand. L990. Methods in Phytobacteriology. Budapest
Academia Kiado. Kowalska B, U Smolinska, M Oskiera. 2011. Serratia plymuthica causing bulb rot in
Poland. Pol. J. Microbiol.60(1): 85-87. Lay Wb. 1994. Analisis mikrobia di laboratorium. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Lelliot & Stead. 1987. Mehods for the diagnosis of bacterial diseases of plant. Oxford:
Blackwell. Sci. Publ.
Leeman M, JA Van Velt, MJ Hendrick, RJ Schiffer, PAHM Baker, & B Schippers. L995.
Biocontol of Fusarium wilt of radish in commercial green house trials by seed
treatment with Pseudomonas fluoresens 374. Phytopath.85: 1301-1305.
Mulya K, M Watanabe, M Goto, y Takikawa, & S Tsuyusumu. 1996. Suprpression of
bacterial wilt disease in tomato by root dipping with Pseudomonas fluorescens
PfG 32: The role of antibiotic substances and siderophore production. Ann.
Phytopathol. Soc. Jap. 62; 132−140.
Navitasari L, L Soesanto, AY Rahayu. 2013. Pengaruh aplikasi Pseudomonas
fluorescens P60 terhadap mutu patologis, mutu fisiologis dan pertumbuhan bibit
padi IR 64. J. Hama Penyakit Tumbuhan Tropika 13 (2): 179−190.
Nawangsih AA, T Widjayanti, & Y.Anisa. 2014. Kelimpahan bakteri rizosfer pada
sistem PHT biointensif serta kemampuan antagonismenya terhadap
Sclerotium rolfsii pada kedelai. J. HPT Tropika 14(2): 110-120.
Okereke V, & RC Wokocha. 2007. In vitro growth of four isolates of Sclerotium
rolfsii Sacc in the humid tropics. African Journal of Biotechnologi 6(16): 1879-
1881.
Palleroni NJ. 1993. Introduction to the family Pseudomonasaceae. In: MP Starr, HG Troper, A Balows, and HG Schiegel (Eds.). The prokaryotes A Handbook on Habitat, Isolation and identification of bacteria. Springer-Verlag. New York.
Punja ZK. 1988. Sclerotium (Athelia) rolfsii, a pathogen of many plant species.
Advances in plant pathology, 6: 523-535.
39
Racmawati NY, & A Daroini. 2014. Strategi pengembangan komoditi tanaman porang (Amorphophallus oncophyllus) di Kabupaten Nganjuk. J. Manajemen Agribisnis. 14(1): 51-56.
Rahayu M. 2008. Efikasi isolat Pseudomonas fluorescens terhadap penyakit rebah
semai pada kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27(3): 179-184. Sands, DS.1990. Physiological criteria- determinative test. In: Klement, Z., K Rudolph,
and DC Sands. Methods in phytobacteriology. Academical Kado, Budapest: 133−143.
Schaad NW. 1988. Laboratory guide for identification of plant pathogenic bacteria. 2 nd
Edition Minnesota: The American Phytopathological Society. Schaad NW, JB Jones & W Chun, 2001. Laboratory guide for identification of plant
pathogenic bacteria (third Edition), APS Press, The American Phytopathological Society. St. Paul Minnesota.
Setiasih I. 2008. Produktivitas tanaman iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) pada
berbagai perlakuan dosis N dan K . Skripsi. Institut Pertaian Bogor. Sumartini. 2011. Penyakit tular tanah (Sklerotium rolfsii dan Rhizoctonia solani) pada
tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian serta cara pengendaliannya. J Litbang Pertanian 3(1):27-34.
Yanti Y & Z Resti. 2010. Induksi ketahanan tanaman bawang merah dengan bakteri
rhizoplan indigenus terhadap penyakit hawar daun bakteri (Xanthomonas axonopodis pv allii). Dalam Loekas Soesanto, Endang Mugiastuti, Ruth Feti Rahayuniati dan Abdul Manan (Ed.). Prosiding seminar nasional pengelolaan opt ramah lingkungan Purwokerto, 10-11 November 2010.
Yanti Y, T Habazar, Z Resti, & D Suhalita. 2013. Penapisan isolat rizobakteri dari
perakaran tanaman kedelai yang sehat untuk pengendalian penyakit pustul