Top Banner
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Oleh Mewa Ariani Achmad Suryana Ketut Kariyasa Rangga Ditya Yofa PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014
44

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

Mar 09, 2019

Download

Documents

doanduong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN

MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN

TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

Oleh

Mewa Ariani Achmad Suryana

Ketut Kariyasa Rangga Ditya Yofa

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN

2014

Page 2: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ......................................................................................... iv

DAFTAR TABEL .................................................................................... vi

I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2. Tujuan Kajian ....................................................................... 4 1.3. Keluaran Kajian ..................................................................... 5

1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak ............................................. 5

II. METODOLOGI .............................................................................. 6

2.1. Lokasi Penelitian ................................................................... 6 2.2. Sumber dan Jenis Data.......................................................... 6

2.3. Metode Analisis ..................................................................... 6

III. GAMBARAN UMUM PROGRAM SL-PTT ............................................ 7 3.1. Perkembangan Proporsi Luas Areal Program SL-PTT ................ 7

3.2. Perkembangan Proporsi Sasaran Produksi Program SL-PTT ...... 13 3.3. Perkembangan Produktivitas Padi pada Program SL-PTT .......... 15

IV. TINJAUAN KRITIS SL-PTT: ANTARA KONSEP DAN IMPLEMENTASI .. 17 4.1. Konsep PTT/SL-PTT ............................................................... 17

4.2. Antara Konsep dan Penerapan Skala Luas SL-PTT .................... 19 4.3. Kinerja Implementasi Program SL-PTT .................................... 23

4.4. Menuju Gerakan Penerapan PTT (GK-PTT) .............................. 26 V. KINERJA IMPLEMENTASI SL-PTT: KASUS PROVINSI JAWA BARAT .. 28

5.1. Komponen Teknologi dan Efektivitas Pelaksanaan LL ............... 29 5.2. Kualitas Penyuluh, Pendampingan dan Koordinasi Penyuluhan .. 31

5.3. Efektivitas Penyediaan Bantuan Benih ..................................... 33 5.4. Pola Pengusahaan Lahan dan Usia Petani ................................ 34 5.5. Kinerja Adopsi Komponen Teknologi SL-PTT ............................ 35

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ............................... 37

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 40

Page 3: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

ii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Proporsi Luas Areal SL-PTT terhadap Luas Panen Padi Nasional, 2009-2014 ................................................................................... 8

2. Rencana Luas Areal Program SL-PTT Setiap Provinsi Tahun 2009-2014 10

3. Pertumbuhan Rencana Luas Areal Program SL-PTT Setiap Provinsi, 2009-2014 ................................................................................... 12

4. Proporsi Sasaran Produksi Program SL-PTT terhadap Sasaran Produksi Padi Nasional, 2009-2014 .............................................................. 14

5. Perkembagan Produktivitas Padi Nasional dan Sasaran Produktivitas

SL-PTT Tahun 2009-2014 ............................................................. 15

6. Perubahan Pedoman Pelaksanaan/Juknis SL-PTT Padi Sawah, 2008-2014 ................................................................................... 20

7. Kontribusi Produksi Padi dan Jagung Provinsi Jawa Barat Terhadap Nasional, Tahun 2013 .................................................................... 29

Page 4: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam upaya mewujudkan swasembada pangan terutama beras, pemerintah

menetapkan kebijakan yang dikenal dengan Program Peningkatan Produksi Beras

Nasional (P2BN). Program ini diputuskan oleh Presiden RI melalui Sidang Kabinet

Terbatas di Departemen Pertanian pada tanggal 8 Januari 2007 dan implementasinya

dimulai pada tahun 2008. Melalui program aksi ini, kenaikan produksi beras harus

mencapai minimal sebesar 2 juta ton atau setara dengan 3,5 juta ton gabah dengan

kenaikan sekitar 5 persen dari produksi tahun 2006. Strategi pencapaian produksi

padi dilakukan melalui empat hal yaitu: (1) Peningkatan produktivitas, (2) Perluasan

areal, (3) Pengamanan produksi, dan (4) Kelembagaan dan pembiayaan.

Upaya peningkatan produksi padi dilakukan melalui penerapan Sekolah

Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) untuk tanaman padi, jagung dan

kedelai. Khusus untuk tanaman padi, implementasi dari program ini dengan

pemberian bantuan sarana produksi secara lengkap pada lokasi Laboratorium Lapang

(LL) sekitar satu hektar dan pembelajaran pada kelompok terkait pengelolaan

tanaman terpadu (PTT). Selain itu juga diberikan bantuan benih pada lokasi bukan

LL untuk luasan 25 hektar, yang lokasinya terletak disekitar LL. Dalam paket SL-PTT,

petani diharapkan menerapkan komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan.

Dengan demikian petani akan mampu mengelola sumberdaya yang tersedia secara

terpadu dalam melakukan budidaya di lahan usahataninya berdasarkan spesifik lokasi

sehingga petani menjadi lebih terampil serta mampu mengembangkan usahataninya

dalam rangka peningkatan produksi padi. Melalui penerapan PTT diharapkan akan

terjadi peningkatan produktivitas padi inbrida sawah 0,75 ton/ha; padi hibrida 2,0

ton/ha; padi pasang surut 0,3 ton/ha; padi rawa lebak 0,3 ton/ha dan padi lahan

kering/gogo 0,5 ton/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2013).

Page 5: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

2

Ditjen Tanaman Pangan sebagai institusi yang mendapat mandat untuk

mengimplementasikan program SL-PTT telah menyusun sasaran areal tanam dan

panen untuk setiap tahunnya dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar.

Pada tahun 2011, sasaran program SL-PTT untuk padi pada areal sebesar 2.778.980

ha dengan peningkatan produktivitas padi sawah 0,5-1,0 ton/ha dan 1,5-2,5 ton/ha

untuk padi varietas hibrida. Dengan peningkatan produktivitas pada areal SL-PTT,

yang diharapkan diikuti oleh para petani di sekitar wilayah SL-PTT, maka target

produksi padi tahun 2011 ditetapkan sebesar 70,59 juta ton. Sasaran tersebut sesuai

dengan yang dicanangkan oleh Presiden RI yaitu produksi padi tahun 2011 dapat

mencapai 70,60 juta ton GKG. Pada periode lima tahun berikutnya, 2011-2014, untuk

mempertahankan swasembada beras, produksi padi diharapkan meningkat dengan

laju 6,25%/tahun.

Dalam perkembangannya dilakukan perubahan penetapan target produksi

beras dikarenakan permintaan beras terus meningkat seiring dengan laju

pertumbuhan penduduk. Disisi lain, dengan adanya perubahan iklim (yang menjadi

lebih ekstrim) akibat pemanasan global, berdampak pada terganggunya proses

produksi padi. Ke depan dipercaya pasar beras dunia akan menjadi lebih terbatas,

maka Indonesia harus mampu berswasembada beras berkelanjutan serta harus

memiliki cadangan beras yang cukup, agar ketahanan pangan dan kemandirian

pangan tidak terganggu. Hal lain yang mengakibatkan beras menjadi komoditas yang

sangat penting di Indonesia adalah, beras masih sebagai kontributor utama terhadap

inflasi, sehingga harga beras harus “terkendali” (Pusat Penyuluhan Pertanian, 2012).

Berdasarkan hal tersebut, pada sidang kabinet paripurna tanggal 6 Januari

2011, Presiden Republik Indonesia memberikan sembilan arahan terkait dengan

pangan, diantaranya adalah: (a) Pastikan pasokan pangan dapat memenuhi

permintaan secara nasional, (b) Pastikan cadangan atau stok pangan yang ada di

tangan pemerintah kuat untuk mencegah terjadinya spekulasi, dan (c) Tingkatkan

produksi dan produktivitas dalam negeri. Selanjutnya pada sidang Kabinet tanggal 22

Februari 2011, Presiden RI mengarahkan agar pencapaian surplus beras menjadi

Page 6: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

3

program prioritas dan ditetapkan besaran surplus minimal 10 juta ton per tahun

dapat diraih mulai tahun 2014. Untuk mendukung program tersebut, upaya yang

dilakukan pemerintah adalah: (a) Pembukaan sawah baru (eks tanah terlantar), (b)

Pengembangan Food Estate dengan pola plasma inti, (c) Pengembangan/penyediaan

benih dan pupuk sesuai 6 tepat, (d) Perbaikan dan pengembangan sarana irigasi, (e)

Peningkatan penerapan paket teknologi spesifik lokasi melalui penyuluhan, (f)

Gerakan pengamanan produksi dari serangan hama penyakit serta banjir dan

kekeringan, (g) Pengembangan penelitian dan pengembangan teknologi budidaya

padi antara lain melalui Studi dan kerjasama dengan RRC dalam hal penggunaan padi

hibrida (peningkatan hasil per hektar).

Dalam kaitannya dengan upaya pencapaian surplus beras 10 juta ton, program

lingkup Kementerian Pertanian sebagai berikut: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan

tetap melaksanakan program SL-PTT, yang implementasi di lapangan didampingi/

dikawal oleh peneliti dari Badan Litbang Pertanian. Direktorat Jenderal Prasarana dan

Sarana Pertanian melalui program System of Rice Intensification (SRI) dan Badan

Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian melakukan

pengawalan dan pendampingan pada lokasi SLPTT dan lokasi Demfarm.

Implementasi program SL-PTT tidak hanya didukung dana yang bersumber dari

APBN/APBD, namun juga dari sektor swasta/stakeholder yang mencakup 12 mata-

anggaran dengan lintas institusi, Ditjen teknis, dan lintas sektor. Ke 12 mata-

anggaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu: (a)

Perbaikan kapasitas produksi pertanian, (b) Bantuan alat dan sarana produksi

pertanian; (c) Pemberdayaan dan perbaikan manajemen petani, dan (d) Pembiayaan

terkait dengan kebijakan pendukung keberhasilan peningkatan produksi padi

(Rusastra, et al, 2012).

Dalam perkembangannya, terus dilakukan modifikasi dalam implementasi SL-

PTT di lapangan. Seperti pada Pedoman Teknis SL-PTT tahun 2013 yang dikeluarkan

oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menyebutkan bahwa fokus utama

peningkatan produktivitas padi dalam upaya pencapaian sasaran produksi padi tahun

2013 melalui peningkatankualitas SL-PTT berbasis pola pertumbuhan, pengembangan

Page 7: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

4

dan pemantapan dengan pendekatan kawasan skala luas, terintegrasi dari hulu

sampai hilir, peningkatan jumlah paket bantuan sebagai instrument stimulan, serta

dukungan pendampingan dan pengawalan pada areal seluas 4,62 juta ha. Sementara

itu, di luar fokus utama melalui upaya peningkatan produksi lainnya pada kawasan

areal tanam seluas 9,17 juta ha, dan perluasan areal tanam seluas 567 ribu ha.

Kemudian pada tahun 2015, direncanakan program SL-PTT ditranformasikan menjadi

Gerakan Pengembangan-PTT.

Sampai tahun 2014, program SL-PTT telah diimplementasikan selama tujuh

tahun dengan jumlah anggaran dan sumberdaya yang cukup besar serta melibatkan

banyak instansi pemerintah dan swasta. Pertanyaannya adalah bagaimana efektivitas

dan dampak program SL-PTT terhadap pencapaian produksi padi?. Apakah tujuan

dan sasaran SLPTT ini tercapai? Bila tidak, apa yang menjadi faktor-faktor penyebab

ketidak berhasilan tersebut, apakah di tingkat perencanaan, transmisi/sosialisasi

kegiatan dari pusat-provinsi-kabupaten-lapangan, kurang sinkronnya penyediaan

faktor pendukung secara enam tepat, kemampuan petani mengadopsi teknologi, atau

ada faktor lainnya yang mempengaruhi kinerja SL-PTT. Pertanyaan-pertanyaan ini

menjadi pertanyaan utama dalam kegiatan analisis kebijakan ini.

1.2. Tujuan Kajian

Tujuan umum kajian adalah melakukan evaluasi implementasi program SL-PTT

untuk mendukung gerakan penerapan PTT. Secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Menganalisis implementasi program SL-PTT dari aspek (a) Kesesusaian desain

program dengan rumusan konsep PTT dan SL, (b) Perencanaan volume kegiatan

dan penganggaran serta realisasinya, dan (c) Desain kegiatan strategis yang

menjadi kunci pelaksanaan SL-PTT.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program SL-PTT.

3. Mengkaji dampak program SL-PTT terhadap peningkatan produktivitas padi.

4. Menyusun rekomendasi kelanjutan implementasi program SL-PTT, penyempur-

naan kebijakan dan disain program SL-PTT agar lebih efektif dan efisien dalam

pencapaian sasaran peningkatan produktivitas.

Page 8: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

5

1.3. Keluaran Kajian

Secara umum keluaran kajian ini adalah rumusan rekomendasi

penyempurnaan kebijakan dan program indikatif SL-PTT dalam upaya peningkatan

produksi padi nasional. Secara khusus keluaran dari kegiatan penelitian ini adalah:

1. Data dan informasi kesesuaian desain program dengan rumusan konsep PTT dan

SL, perencanaan volume kegiatan dan penganggaran serta desain kegiatan

strategis yang menjadi kunci pelaksanaan SL-PTT.

2. Informasi faktor-faktor yang menjadi penghambat implementasi program SLPTT.

3. Data dampak program SL-PTT terhadap peningkatan produktivitas padi.

4. Rekomendasi penyempurnaan kebijakan dan desain program SL-PTT agar lebih

efektif dan efisien dalam pencapaian sasaran program ini, yaitu peningkatan

produktivitas padi.

1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Hasil kajian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam

merumuskan alternatif kebijakan baru untuk perbaikan program SLPTT ke depan agar

lebih efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan program. Selain itu hasil penelitian

tersebut akan merupakan pembelajaran bagi semua pihak terkait dengan

implementasi program SLPTT. Dampak yang diharapkan adalah perubahan menuju

perbaikan dari saran-saran dalam aspek teknis, sosial-ekonomi dan kelembagaan.

Perubahan-perubahan itu dapat dilakukan melalui perantara perencana, pelaksana

ataupun penentu kebijakan. Berdasarkan pembelajaran dari program SL-PTT

diharapkan kegiatan GP-PTT dapat dilaksanakan secara optimal dan target produksi

padi dapat tercapai.

Page 9: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

6

II.METODOLOGI

2.1. Lokasi Penelitian

Secara umum bahasan kajian dilakukan secara nasional, namun untuk

pendalaman substansi dilakukan pengumpulan data dan informasi lapangan tingkat

pusat (Kementerian Pertanian), di Provinsi Jawa Barat (tingkat provinsi dan

Kabupaten Cianjur). Agar data dan informasi yang diperoleh lebih komprehensif, juga

dilakukan kunjungan lapang ke Provinsi Banten.

2.2. Sumber dan Jenis Data

Sumber data terutama berasal dari data sekunder yang diperoleh dari berbagai

instansi pusat seperti BPS, Kementerian Pertanian (Ditjen Tanaman Pangan, Badan

Litbang Pertanian, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian). Data

sekunder juga diperoleh melalui penelusuran dokumen berupa jurnal, laporan

penelitian, tesis/disertasi, baik berbentuk hardcopy maupun elektronik. Selain data

sekunder, juga dilakukan pengumpulan data primer melalui wawancara dengan

aparat pertanian tingkat propinsi/kabupaten dan gapoktan penerima program SL-

PTT. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi keragaan program (luasan dan

produktivitas hasil SL-PTT, mekanisme pelaksanaan program, besaran dana menurut

peruntukannya), faktor-faktor pendorong dan penghambat keberhasilan SL-PTT dan

lainnya yang terkait dengan SL-PTT.

2.3. Metoda Analisis

Data dan informasi yang terkumpul dilakukan analisis deskriptif kualitatif

dengan mengungkapkan keragaan, faktor-faktor pendorong dan permasalahan serta

peluang penyempurnaan atau reorientasi kebijakan ke depan.

Page 10: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

7

III. GAMBARAN UMUM PROGRAM SL-PTT

3. 1. Perkembangan Proporsi Luas Areal Program SL-PTT

Peningkatan jumlah penduduk dan pengembangan industri pangan

meningkatkan permintaan terhadap berbagai komoditas pangan. Beras merupakan

salah satu komoditas strategis yang meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk

tersebut. Upaya peningkatan produksi padi dalam rangka memenuhi kebutuhan beras

terus dilakukan dengan sasaran akhir terwujudnya swasembada dan swasembada

berkelanjutan. Salah satu program nasional yang bertujuan untuk meningkatkan

produksi pangan adalah Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT),

yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Pelaksanaan program SL-PTT melibatkan

seluruh provinsi di Indonesia. Melalui penerapan konsep SL-PTT diharapkan

introduksi teknologi yang menggunakan filosifi “tetesan minyak”, semula berasal dari

Laboratorium Lapang (LL), kemudian ke Sekolah Lapang (SL), dan selanjutnya

kepada petani secara umum-dapat terjadi secara masif sehingga menjadi sebuah

gerakan nasional untuk peningkatan produktivitas usahatani padi dan peningkatan

produksi padi/beras nasional.

Faktor utama yang paling menentukan dalam peningkatan produksi padi

adalah ketersediaan lahan yang cocok untuk budidaya padi, yang lebih dari 95%

berupa lahan sawah. Dikombinasikan dengan ketersediaan air, ketersediaan lahan ini

akan membentuk luas tanam dan luas panen. Berdasarkan data proporsi luas areal

panen SL-PTT terhadap luas panen padi nasional pada Tabel 1. diketahui bahwa

perkembangan luas panen padi nasional mengalami situasi fluktuatif sedangkan

rencana luas areal SL-PTT mengalami situasi yang meningkat, dengan rata-rata

pertumbuhan selama 2009-2014 sebesar 1,06% per tahun, sedangkan rata-rata

pertumbuhan rencana luas areal SL-PTT sebesar 18,32% per tahun. Karena itu

proporsi rencana luas areal SL-PTT terhadap luas panen padi nasional meningkat

cukup pesat dari 15,9% pada tahun 2009 menjadi 34,1% pada tahun 2014.

Page 11: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

8

Tabel 1. Proporsi Luas Areal SL-PTT terhadap Luas Panen Padi Nasional, 2009-2014

No. Tahun Luas Panen (Ha) Rencana Luas Areal

SLPTT (Ha)

Share SLPTT (%)

1. 2009 12.883.576 2.051.000 15,92

2. 2010 13.253.450 2.500.000 18,86

3. 2011 13.203.643 2.778.980 21,05

4. 2012 13.445.524 3.400.650 25,29

5. 2013 13.835.252 4.625.000 33,43

6. 2014 13.569.941 4.632.000 34,13

Sumber: Pedoman Teknis SLPTT, 2009-2014

Pertumbuhan rencana luas areal SL-PTT yang sangat cepat dibandingkan

pertumbuhan luas panen padi nasional menggambarkan bahwa perencaan luas areal

SL-PTT tidak didasarkan kepada evaluasi keberhasilan. Keberhasilan program SL-PTT

dicerminkan dari adanya peningkatan tambahan produktivitas antara 0,5 ton per

hektar hingga 0,75 ton per hektar. Tambahan produktivitas ini tergantung pada

keberhasilan petani/kelompok tani menerapkan teknologi PTT secara sinergis. Untuk

itu penyuluh dan pendampingan penerapan teknologi menjadi hal yang esensial. Dari

dokumen perencanaan yang ada, hal ini telah dibahas atau diperhatikan secara

mendalam.

Diperkirakan pertumbuhan rencana luas tanam SL-PTT yang cepat hanya

didasarkan pada ketesediaan anggaran, sehingga pada tahun 2014 proporsi rencana

luas areal SL-PTT hingga mencapai 34% dari total luas panen padi nasional.

Masalahnya pertumbuhan proporsi rencana luas areal SL-PTT ini tidak didukung

dengan ketersediaan penyuluh.-Berdasarkan informasi yang dikumpulkan di

lapangan, umumnya penyuluh yang berperan dalam pendampingan program SL-PTT

masih berstatus sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) yang rata-rata adalah fresh

graduate dengan latar belakang pendidikan yang beragam dan belum mendapat

training sebaik dan selengkap PPL dengan masa kerja lebih dari 5 tahun. Hal ini

Page 12: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

9

seyogyanya menjadi evaluasi penting mengingat kualitas SL-PTT sangat tergantung

dari kualitas penyuluhan dan pendampingan.

Pada level regional, Pulau Jawa dan Sumatera merupakan yang terluas dalam

perencanaan areal program SL-PTT (Tabel 2). Proporsi rata-rata luas areal program

SL-PTT di Pulau Jawa dan Sumatera masing-masing sebesar 33,08% dan 28,43% per

tahun. Perencanaan ini tidak komplementer dengan konsep MP3EI dimana Pulau

Jawa dan Sumatera akan menjadi pusat pertumbuhan industri pengolahan, jasa, dan

pertambangan.

Khusus di Pulau Jawa, dengan kepadatan penduduk dan trend konversi lahan

pertanian yang tinggi, justru bertolak belakang dengan trend perkembangan luas

areal tanam program SL-PTT yang terus bertumbuh. Provinsi Jawa Timur dan Jawa

Barat yang merupakan provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia

justru menjadi provinsi terluas dalam perencanaan areal program SL-PTT dengan

rata-rata proporsi rencana luasan masing-masing 9,65% dan 8,95%. Catatan lainnya

adalah tingkat penerapan teknologi di Jawa sudah lebih baik dengan produktivitas per

hektar lebih dari rataan nasional, sehingga tambahan hasil/hektar yang diharapkan

menjadi lebih terbatas dibandingkan dengan di Luar Jawa.

Dengan dana yang besar seharusnya program SL-PTT dapat mendukung

pertumbuhan pusat-pusat produksi padi yang baru seperti di pulau Sulawesi yang

dalam konsep MP3EI akan diproyeksi menjadi koridor pangan. Pada perencanaan

luas areal di Pulau Sulawesi, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan yang terluas

bahkan menjadi Provinsi terluas ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Barat dengan

rata-rata proporsi rencana luasan sebesar 8,37%. Namun kondisinya jauh berbeda

dengan provinsi lainnya yang hanya berkisar antara 0,99-2,49%.

Page 13: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

10

Tabel 2. Rencana Luas Areal Program SLPTT Setiap Provinsi Tahun 2009-2014 (Ha)

Provinsi 2009 2010 2011 2012 2013 2014

ACEH 73.050 87.300 105.800 172.125 235.000 250.000

SUMUT 95.390 115.040 149.625 153.525 228.000 224.000

SUMBAR 70.000 93.150 97.500 110.000 138.000 139.000

RIAU 35.000 48.000 44.225 59.500 94.000 84.000

JAMBI 45.000 41.000 64.500 72.500 94.000 94.000

SUMSEL 106.000 124.850 136.000 178.750 274.000 277.000

BENGKULU 33.000 34.500 45.675 57.500 71.000 71.000

LAMPUNG 88.000 110.000 143.200 173.500 203.000 210.000

BABEL 3.000 3.000 6.450 4.900 7.000 8.000

KEPRI 100 - - - - -

SUMATERA 548.540 656.840 792.975 982.300 1.344.000 1.357.000

DKI JAKARTA - - - - - -

JABAR 200.500 220.800 201.550 267.900 439.000 459.000

JATENG 173.360 203.010 220.070 253.125 386.000 386.000

DI Y 75.750 88.650 89.500 56.460 89.000 89.000

JATIM 155.200 254.125 279.600 305.500 463.600 470.000

BANTEN 80.000 72.450 95.205 171.850 181.800 184.000

JAWA 684.810 839.035 885.925 1.054.835 1.559.400 1.588.000

KALBAR 87.500 107.250 122.000 121.000 158.000 158.000

KALTENG 47.000 63.500 56.400 70.000 74.000 61.000

KALSEL 93.000 102.200 104.975 163.000 177.800 177.800

KALTIM 45.000 56.200 61.350 48.625 56.000 54.000

KALIMANTAN 272.500 329.150 344.725 402.625 465.800 450.800

SULUT 46.100 59.900 60.450 63.375 70.500 70.500

SULTENG 53.000 63.000 68.250 80.000 117.000 116.000

SULSEL 125.500 173.000 195.175 307.725 440.000 431.000

SULTRA 46.000 51.000 65.625 89.600 86.000 86.000

GORONTALO 24.600 33.700 31.800 34.400 33.900 39.900

SULBAR 33.000 37.850 46.225 64.525 71.000 73.000

Page 14: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

11

Provinsi 2009 2010 2011 2012 2013 2014

SULAWESI 328.200 418.450 467.525 639.625 818.400 816.400

BALI 40.000 39.950 42.000 35.000 34.000 15.000

NTB 80.000 97.550 105.450 157.500 215.000 215.000

NTT 53.000 74.750 91.105 84.665 131.000 131.000

BALI-NUSA 173.000 212.250 238.555 277.165 380.000 361.000

MALUKU 12.000 14.350 15.150 14.000 16.800 16.900

PAPUA 17.550 15.375 18.300 11.000 21.600 22.350

MALUT 9.000 7.500 10.200 10.350 13.300 13.300

PAPUA BARAT 5.400 7.050 5.625 8.750 5.700 6.250

PAPUA-MALUKU 43.950 44.275 49.275 44.100 57.400 58.800

INDONESIA 2.051.000 2.500.000 2.778.980 3.400.650 4.625.000 4.632.000

Sumber: Pedoman Teknis Pelaksanaan SL-PTT Padi Tahun 2009-2014

Berdasarkan Tabel 3. diketahui bahwa perkembangan rencana luas areal

program SL-PTT di setiap provinsi mengalami pertumbuhan yang positif kecuali di

provinsi bali. Provinsi Bali mengalami pertumbuhan yang negatif rata-rata sebesar

14,08% per tahun. Dengan kearifan lokal berupa subak yang tetap eksis hingga hari

ini, seharunya Provinsi Bali dapat dikembangkan dalam perencanaan program SL--

PTT.

Secara umum terdapat 13 provinsi yang rata-rata pertumbuhan luas arealnya

lebih besar dari pada rata-rata pertumbuhan nasional. Pertumbuhan rencana luas

areal terbesar terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, Aceh, dan Jawa

Timur dengan rata-rata pertumbuhan masing-masing sebesar 29,85%, 29,62%,

29,25%, dan 27,23% per tahun. Sementara itu, terdapat 20 provinsi yang rata-rata

pertumbuhan rencana luas arealnya lebih kecil daripada rata-rata pertumbuhan

nasional. Rencana luas areal provinsi di Pulau Jawa dominan lebih besar dari pada

rata-rata pertumbuhan rencana luas areal nasional, sedangkan pada pulau Sulawesi

hanya Provinsi Sulawesi Selatan saja yang lebih besar daripada rata-rata

pertumbuhan rencana luas areal nasional.

Page 15: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

12

Berdasarkan data pada Tabel 2 dan 3 diketuhui bahwa belum ditemukan

metode yang credible dalam mengalokasikan program SL-PTT kesetiap provinsi.

Dengan mempertimbangkan kondisi eksisting dan perencanaan jangka panjang ke

depan maka kegiatan SL-PTT seyogyanya lebih diusahakan ke Luar Jawa, sehingga

incremental (tambahan penghasilan) produktivitas per hektar akan lebih besar pula.

Strategi menumbuhkan pusat-pusat produksi baru menjadi sangat penting untuk

dilakukan terutama pada Pulau Sulawesi yang akan diproyeksi menjadi koridor

pangan dalam konsep MP3EI.

Tabel 3. Pertumbuhan Rencana Luas Areal Program SLPTT Setiap Provinsi,2009-2014

No. Provinsi Pertumbuhan Rencana Luas Areal (%)

2009-2010 2010-2011 2011-2012 2012-2013 2013-2014 Rata-Rata

1. ACEH 19,51 21,19 62,69 36,53 6,38 29,26

2. SUMUT 20,60 30,06 2,61 48,51 -1,75 20,01

3. SUMBAR 33,07 4,67 12,82 25,45 0,72 15,35

4. RIAU 37,14 -7,86 34,54 57,98 -10,64 22,23

5. JAMBI -8,89 57,32 12,40 29,66 - 18,10

6. SUMSEL 17,78 8,93 31,43 53,29 1,09 22,51

7. BENGKULU 4,55 32,39 25,89 23,48 - 17,26

8. LAMPUNG 25,00 30,18 21,16 17,00 3,45 19,36

9. BABEL - 115,00 -24,03 42,86 14,29 29,62

10. KEPRI -100,00 - - - - -

11. SUMATERA 19,74 20,73 23,88 36,82 0,97 20,43

12. DKI JAKARTA - - - - - -

13. JABAR 10,12 -8,72 32,92 63,87 4,56 20,55

14. JATENG 17,10 8,40 15,02 52,49 - 18,60

15. DI YOGYAKARTA 17,03 0,96 -36,92 57,63 - 7,74

16. JATIM 63,74 10,02 9,26 51,75 1,38 27,23

17. BANTEN -9,44 31,41 80,51 5,79 1,21 21,90

18. JAWA 22,52 5,59 19,07 47,83 1,83 19,37

19. KALBAR 22,57 13,75 -0,82 30,58 - 13,22

20. KALTENG 35,11 -11,18 24,11 5,71 -17,57 7,24

Page 16: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

13

No. Provinsi Pertumbuhan Rencana Luas Areal (%)

2009-2010 2010-2011 2011-2012 2012-2013 2013-2014 Rata-Rata

21. KALSEL 9,89 2,72 55,28 9,08 - 15,39

22. KALTIM 24,89 9,16 -20,74 15,17 -3,57 4,98

23. KALIMANTAN 20,79 4,73 16,80 15,69 -3,22 10,96

24. SULUT 29,93 0,92 4,84 11,24 - 9,39

25. SULTENG 18,87 8,33 17,22 46,25 -0,85 17,96

26. SULSEL 37,85 12,82 57,67 42,98 -2,05 29,85

27. SULTRA 10,87 28,68 36,53 -4,02 - 14,41

28. GORONTALO 36,99 -5,64 8,18 -1,45 17,70 11,16

29. SULBAR 14,70 22,13 39,59 10,03 2,82 17,85

30. SULAWESI 27,50 11,73 36,81 27,95 -0,24 20,75

31. BALI -0,13 5,13 -16,67 -2,86 -55,88 -14,08

32. NTB 21,94 8,10 49,36 36,51 - 23,18

33. NTT 41,04 21,88 -7,07 54,73 - 22,12

34. BALI-NUSA 22,69 12,39 16,18 37,10 -5,00 16,67

35. MALUKU 19,58 5,57 -7,59 20,00 0,60 7,63

36. PAPUA -12,39 19,02 -39,89 96,36 3,47 13,32

37. MALUT -16,67 36,00 1,47 28,50 - 9,86

38. PAPUA BARAT 30,56 -20,21 55,56 -34,86 9,65 8,14

39. PAPUA-MALUKU 0,74 11,29 -10,50 30,16 2,44 6,83

40. INDONESIA 21,89 11,16 22,37 36,00 0,15 18,32

Sumber: Pedoman Teknis Pelaksanaan SL-PTT Padi Tahun 2009-2014 (diolah)

3.2. Perkembangan Proporsi Sasaran Produksi Program SL-PTT

Peningkatan luas areal program diharapkan dapat meningkatkan produksi.

Berdasarkan Tabel 4. diketahui bahwa sasaran produksi padi nasional dan sasaran

produksi SL-PTT mengalami trend pertumbuhan yang positif. Rata-rata pertumbuhan

sasaran produksi padi nasional sebesar 3,88% per tahun sedangkan rata-rata

pertumbuhan sasaran produksi SL-PTT sebesar 17,99% per tahun sehingga rata-rata

proporsi sasaran produksi SL-PTT terhadap sasaran produksi padi nasional sebesar

Page 17: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

14

25,78% per tahun. Dari data ini segera diketahui bahwa kegiatan SL-PTT menjadi

tulang punggung dalam program P2BN.

Tabel 4. Proporsi Sasaran Produksi Program SL-PTT terhadap Sasaran Produksi Padi Nasional, 2009-2014

No Tahun Sasaran Produksi Padi

Nasional (Ton)

Sasaran Produksi

SL-PTT (Ton) Share SL-PTT (%)

1 2009 63.525.000 11.083.800 17,45

2 2010 66.680.000 14.692.000 22,03

3 2011 70.599.317 15.950.000 22,59

4 2012 67.824.692 17.974.155 26,50

5 2013 72.063.735 24.651.127 34,21

6 2014 76.567.719 24.401.938 31,87

Sumber: Pedoman Teknis SL-PTT, 2009-2014

Berdasarkan informasi dari key informan di lapang diketahui bahwa tidak

semua Dinas Pertanian Kabupaten yang menjadi pelaksana program SL-PTT

melaporkan realisasi produksi. Di sisi lain, karena alasan administratif maka laporan

yang dikirimkan Dinas Pertanian Kabupaten masih berupa lembaran yang belum

terkomputerisasi sehingga menyulitkan ketika harus mengakumulasi realisasi sasaran

produksi SL-PTT secara nasional.

Lemahnya evaluasi terhadap realisasi pencapaian sasaran produksi SL-PTT

seharusnya menjadi perhatian serius bagi para penentu kebijakan baik di tingkat

pusat maupun provinsi dan daerah. Namun, kondisi ini justru diperparah dengan

sasaran produksi SL-PTT yang semakin besar setiap tahunnya hingga pernah

mencapai proporsi 34% terhadap sasaran produksi padi nasional pada tahun 2013.

Situasi permasalahan ini menggambarkan bahwa penetapan sasaran produksi SL-PTT

tidak berdasarkan evaluasi tahunan yang mendalam terhadap realisasi dari sasaran

produksi tersebut sebagaimana yang juga terjadi pada pertumbuhan luas areal SL-

PTT.

Page 18: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

15

3.3. Perkembangan Sasaran Produktivitas Padi pada Program SL-PTT

Pertumbuhan rata-rata sasaran produksi padi (25,78% per tahun) dan luas

areal program (24,78% per tahun) pada program SL-PTT, tidak langsung berkorelasi

dengan pertumbuhan sasaran produktivitas. Perkembangan sasaran produktivitas

dari tahun 2009-2014 berfluktuasi dengan trend pertumbuhan yang negatif. Rata-rata

pertumbuhan sasaran produktivitas SL-PTT sebesar -0,26% per tahun (Tabel 5).

Perkembangan produktivitas padi nasional juga berfluktuasi namun dengan trend

pertumbuhan yang positif (1,14% per tahun).

Dengan paket program yang diberikan, produktivitas padi di areal SL-PTT

dipacu melebihi rata-rata produktivitas padi nasional, sehingga deviasi antara sasaran

produktivitas SL-PTT dengan produktivitas padi nasional berkisar antara 1,94 hingga

5,33 kwintal per hektar. Proporsi deviasi ini terhadap produktivitas padi nasional

cukup realistis karena berada pada selang antara 5-10%. Dalam arti penentuan

sasaran produktivitas padi di areal SL-PTT dianggap realistis terhadap kondisi riil di

lapang.

Tabel 5. Perkembagan Produktivitas Padi Nasional dan Sasaran Produktivitas SL-PTT Tahun 2009-2014

No. Tahun Produktivitas Padi

Nasional (Kw/Ha)

Sasaran

Produktivitas SL-PTT (Kw/Ha)

Deviasi

(Kw/Ha)

Proporsi Deviasi

terhadap Povitas Nasional (%)

1. 2009 51,04 56,37 5,33 10,44

2. 2010 55,56 59,50 3,94 7,09

3. 2011 55,46 58,57 3,11 5,61

4. 2012 50,02 54,76 4,74 9,48

5. 2013 52,00 55,21 3,21 6,17

6. 2014 53,50 55,44 1,94 3,63

Sumber: Pedoman Teknis SL-PTT, 2009-2014

Page 19: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

16

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan pelaksana program baik di level pusat

maupun provinsi dan daerah, adopsi teknologi yang direkomendasikan pada program

SL-PTT masih rendah. Pola tanam Jajar Legowo yang menjadi salah satu teknik

peningkatan produktivitas padi ternyata masih rendah tingkat implementasinya.

Sebab utama rendahnya adopsi teknologi ini karena sasaran penyuluhan bukanlah

pelaku utama dalam usahatani padi. Pelaku utama usahatani padi adalah para buruh

tani yang tidak mendapatkan bimbingan dan materi penyuluhan selengkap petani

penggarap karena memang yang menjadi sasaran penyuluhan selama ini adalah

petani penggarap. Dengan mempertimbangkan rendahnya adopsi teknologi pada

program SL-PTT, penentuan target produktivitas sebagaimana yang terinci pada

Tabel 5 menjadi realisitis.

Page 20: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

17

IV. TINJAUAN KRITIS SL-PTT: ANTARA KONSEP DAN IMPLEMENTASI

4.1. Konsep PTT/SL-PTT

Kehadiran PTT telah diinspirasi adanya rapat koordinasi kabinet Indonesia

Bersatu yang langsung dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden RI pada awal

tahun 2007 di Departemen Pertanian (sekarang Kementrian Pertanian) yang

menghasilkan keputusan penting, yaitu target peningkatan produksi beras 2 juta ton

pada tahun 2009 dan selanjutnya meningkat 5% per tahun hingga tahun 2007

(Badan Litbang Pertanian, 2007). Untuk menindaklanjuti komitment tersebut,

Departemen Pertanian meluncurkan program Peningkatan Produksi Beras Nasional

(P2BN) untuk segera diimplementasikan. Salah satu upaya strategis yang dilakukan

dalam upaya pencapaian target peningkatan produksi tersebut adalam melalui

penerapan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah.

PTT pertama kali dikembangkan pada tahun 2002. Penerapan PTT didasarkan

pada empat prinsip (Badan Litbang Pertanian, 2007), yaitu (i) PTT pada dasarnya

bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

strategi bahkan filosofi bagi peningkatan produksi melalui cara mengelola tanaman,

tanah, air dan unsur hara serta organisme pengganggu tanaman secara holistik dan

berkelanjutan, (ii) memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan

diterapkan dengan memperhatikan unsur keterkaitan sinergis antar teknologi, (iii)

memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi

petani, dan (iv) PTT bersifat partisipatif yang berarti petani turut serta menguji dan

memilih teknologi sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani melalui

proses pembelajaran.

Berbeda dengan program-program sebelumnya, seperti BIMAS, INMAS,

sampai SUPRA-INSUS, dimana teknologi yang dianjurkan bersifat paket dan berlaku

umum dimana saja, serta dilaksanakan sepenuhnya dengan inisiasi petugas (top

down); dalam penerapan PTT, petani dan petugas duduk bersama memilih

komponen teknologi yang akan diterapkan sesuai dengan keinginan petani dan sesuai

dengan kondisi lingkungan.

Page 21: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

18

Model pengembangan PTT dan System of Rice Intensiification (SRI) tersedia

untuk dimanfaatkan dalam skala luas pada saat yang hampir bersamaan. Pada

dasarnya paket teknologi yang dirakit serupa, akan tetapi strategi penerapannya

berbeda. Strategi SRI lebih dipusatkan pada penggunaan pupuk organik/kompos

yang mencapai 10 ton/ha/musim, sehingga dalam prakteknya sulit dipenuhi dalam

skala yang luas dan akan menambah biaya tenaga kerja untuk aplikasinya. Oleh

karena itu, dalam upaya meningkatkan produktivitas dan produksi padi pada

hamparan skala luas dan di berbagai lokasi di Indonesia, melalui pendekatan PTT

dipertimbangkan lebih sesuai.

Sesuai konsepnya, tahapan dalam pelaksanaan PTT diawali dengan melakukan

Participatory Research Appraisal (PRA) di daerah pengembangan untuk menggali

masalah utama yang dihadapi petani, sehingga kegiatan ini menjadi sangat penting

dan menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan PTT. Tahapan berikutnya adalah

penyusunan komponen teknologi yang sesuai dengan karakteristik dan masalah di

daerah pengembangan, dimana komponen ini nantinya bersifat dinamis sesuai

dengan perkembangan waktu dan masukan dari petani dan masyarakat setempat.

Setelah itu dilanjutkan dengan penerapan teknologi utama PTT di hamparan lawah

sawah (misal 100 ha) dan pada saat yang sama juga diperagakan berbagai

komponen teknologi alternatif pada luasan sekitar 1 ha dalam bentuk superimpose

atau petak demonstrasi, sebagai sarana pelatihan bagi petani dan petugas lapang.

Alternatif komponen PTT yang dapat diintroduksikan, yaitu: (1) Varietas

unggul baru sesuai dengan lokasi pengembangan, (2) Benih bermutu, (3) Bibit muda,

< 21 HSS, (4) Jumlah bibit 1-3 batang per lubang dan sistem tanam jajar legowo, (5)

Pemupukan N berdasarkan BWD, (6) Pemupukan P dan K berdasarkan status hara

tanah, (7) Bahan organik, (8) Pengairan berselang, (9) Pengendalian gulma secara

terpadu, (10) Penerapan PHT, dan (11) Panen beregu dan pasca panen

menggunakan alat perontok. Lebih lanjut, komponen-komponen ini dipilah menjadi

dua bagian: (1) Teknologi untuk memecahkan masalah setempat, dan (2) Teknologi

untuk perbaikan cara budidaya yang lebih efisien dan efektif. Dalam implementasi-

nya, tidak semua komponen teknologi tersebut diterapkan sekaligus. Namun

Page 22: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

19

demikian, komponen 1-6 adalah komponen teknologi yang dapat diterapkan

bersamaan sebagai penciri model PTT, mengingat jika keenam komponen tersebut

diterapkan secara bersamaan mampu memberikan sumbangan yang nyata terhadap

peningkatan produktiivtas dan efisiensi produksi padi.

4.2. Antara Konsep dan Penerapan Skala Luas SL-PTT

Sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan peningkatan produktivitas dan

produksi pangan (padi, jagung dan kedelai) melalui pelaksanaan program SL-PTT,

maka setiap tahunnya dibuat Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-PTT. Secara umum

aspek-aspek yamg dijelaskan dan dibahas dalam Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-

PTT itu hampir sama setiap tahunnya. Namun demikian ada beberapa perbedaan

didalamnya sesuai dengan perkembangannya. Pedoman Pelaksanaan/Teknis tahun

2008 sampai 2012 adalah sama, namun pedoman ini mengalami perubahan sejak

tahun 2013.

Tabel 6 menginformasikan perkembangan Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-

PTT selama tahun 2008-2014. Sesuai tujuannya, SL-PTT merupakan kegiatan

penyuluhan dan pendampingan yang disebut dengan sekolah lapangan bagi petani

dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui pengunaan input produksi

yang efisien menurut spesifik lokasi, sehingga mampu menghasilkan produktivitas

tinggi untuk menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan. Untuk mencapai

tujuan ini, pelaksanaan SL-PTT selama periode 2008-2012 dilaksanakan dengan

disain dalam setiap 10-25 ha pengembangan terdapat 1 ha sebagai Laboratorium

Lapang (LL) dan 24 ha sekolah lapang (SL).

Namun demikian, sejak tahun 2013, pendekatan pengembangan SL-PTT

mengalami perubahan. Kegiatan SL-PTT dilaksanakan berdasarkan tiga pola, yaitu

pertumbuhan, pengembangan, dan pemantapan, dengan pendekatan kawasan skala

luas 1000 hektar terintegrasi dari hilir. Jumlah paket bantuan sebagai instrumen

stimulan, serta dukungan pendampingan dan pengawalan dibedakan dalam ketiga

pola tersebut (Dirjen Tanaman Pangan, 2013). Definisi ketiga pola tersebut

didasarkan potensi produktivitas yaitu: kawasan pertumbuhan merupakan daerah

Page 23: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

20

yang tingkat produktivitasnya masih dibawah rata-rata produktivitas provinsi,

kawasan pengembangan merupakan daerah-daerah dengan tingkat produktivitas

sama dengan produkvitas provinsi, sedangkan kawasan pemantapan adalah daerah-

dearah yang produktivitasnya sudah di atas rata-rata provinsi dan atau nasional.

Pada setiap 25 ha terdapat 1 ha LL, sehingga dalam kawasan 1000 ha terdapat

sebanyak 40 unit LL (40 ha LL).

Tabel 6. Perubahan Pedoman Pelaksanaan/Juknis SL-PTT Padi Sawah, 2008-2014

Aspek 2008-2012 2013-2014

A. Luas • 10-25 ha

• 1 ha LL

• 1000 ha

• Setiap 25 ha terdapat 1 ha LL

B. Komponen Teknologi

Dasar 1. VUB, Inbrida/hibrida

2. Benih bermutu dan berlabel 3. Pemebrian bahan organik melalui

pengembalian jerami ke sawah/dalam

bentuk kompos 4. Pengaturan populasi tanaman secara

optimum

5. Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan stataus hara

6. Pengendalian OPT dengan

pendekaran PHT

1. Varietas Moderen (VUB, PH, PTB)

2. Bibit bermutu dan sehat 3. Pengaturan cara tanam (jarwo) 4. Pemupukan berimbang dan efisien

menggunakan BWD dan PUTS/petak omisi/Permentan no.40/2007

5. PHT sesuai OPT sasaran

Pilihan 1. Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam

2. Pengunaan bibit muda ( < 21 hari)

3. Tanam bibit 1 -3 batang per rumpun 4. Perngairan secara efektif dan efisien 5. Penyiangan dengan landak/gasrok

6. Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok

7. Pengaturan tanam (jarwo 2:1 atau 4;1) sejak 2012

1. Bahan organik/pupuk kandang/amelioran 2. Umur bibit 3. Pengolahan tanah yang baik

4. Pengelolaan air optimal (pengairan berselang)

5. Pupuk cair

6. Penangan panen dan pasca panen

B. Bantuan

Page 24: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

21

Aspek 2008-2012 2013-2014

LL • Benih, pupuk Urea, NPK dan pupuk organik sesuai dengan rekomendasi

spesifik lokasi

• Pertemuan kelompok 8 kali

Kawasan Pertumbuhan: Benih, Urea 100 kg/ha, NPK 300 kg/ ha, organik 1000 kg/ha,

pertemuan kelompok 8 kali Kawasan Pengembangan: Benih, Urea 100 kg/ha, NPK 275 kg/ ha, organik 1000 kg/ha,

pertemuan kelompok 6 kali Kawasan Pemantapan: Benih, Urea 100 kg/ha, NPK 250 kg/ ha, organik 1000 kg/ha,

pertemuan kelompok 4 kali

SL • Benih 25 kg/ha atau sesuai jenis varietas

Kawasan Pertumbuhan: Benih, Urea 100 kg/ha, NPK 200 kg/ ha, organik 750 kg/ha, Pertemuan kelompok 8 kali

Kawasan Pengembangan: Benih, Urea 75 kg/ha, NPK 150 kg/ha, organik 500 kg/ha, Pertemuan kelompok 6 kali

Kawasan Pemantapan: Benih, pertemuan kelompok 4 kali

Pola Pemberian

Benih

• BLBU (Benih Gratis) Benih Bersubsidi (HET ditentukan oleh Mentan)

Sumber: Dirjen TP, 2009; 2013.

Pada semua Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-PTT dijelaskan bahwa

Laboratorium Lapang (LL) dirancang sebagai kawasan/area yang terdapat dalam

kawasan SL-PTT yang berfungsi sebagai lokasi percontohan, temu lapang, tempat

belajar dan tempat praktek penerapan teknologi yang disusun dan diaplikasikan

bersama oleh kelompoktani/petani secara spesifik lokasi. Pemilihan letak petak LL

yang berada pada kawasan SL-PTT diprioritaskan pada bagian pinggir areal SL-PTT

sehingga berbatasan langsung dengan areal di luar SL-PTT, dengan harapan

penerapan teknologi Sl-PTT mudah juga dilihat dan ditiru oleh petani yang berada di

luar lokasi SL-PTT.

Sama halnya dengan LL, semua Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-PTT

menjelaskan bahwa SL adalah sebagai tempat pendidikan non formal bagi petani

untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengenali potensi,

menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan mengambil keputusan dan

menerapkan teknologi sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis

dan berwawasan lingkungan. Dengan kata lain, pada SL ini petani diharapkan mampu

Page 25: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

22

menerapkan teknologi yang paling baik sesuai percontohan yang ada pada LL sesuai

dengan kondisi setempat. Agar petani mampu menerapkan teknologi secara baik

maka perlu adanya pengawalan dan pendampingan baik dari peneliti BPTP maupun

penyuluh. Pendampingan tidak hanya sebatas dilakukan pada petani SL, hal yang

sama diharapkan juga dilakukan pada petani yang berada di luar lokasi LL untuk

mendorong mereka juga menerapkan komponen teknologi PTT.

Pada periode 2008-2012, jenis bantuan yang diberikan pada LL yaitu pupuk

Urea, NPK, dan Organik yang jumlahnya disesuaikan dengan rekomendasi spesifik

lokasi. Sementara untuk petani pada SL hanya diberikan bantuan benih sebanyak 25

kg/ha atau disesuaikan dengan jenis varietasnya. Pada periode 2013-2014, jumlah

bantuan yang diberikan menurut Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-PTT menjadi lebih

lengkap. Petani SL pada daerah yang termasuk katagori pertumbuhan dan

pengembangan selain mendapat bantuan benih, juga mendapat bantuan pupuk Urea,

NPK, dan organik dalam jumlah yang besar, serta juga difasilitasi untuk mengadakan

pertemuan kelompok. Petani SL yang berada pada daerah yang masuk kategori

pemantapan hanya mendapat bantuan benih dan difasilitasi untuk mengadakan

pertemuan kelompok.

Dari komponen teknologi yang dianjurkan yang terdapat pada Pedoman Umum

Pelaksanaan/Teknis juga berbeda antara tahun 2008-2012 dengan 2013-2014. Pada

tahun 2008-2012 masing-masing terdapat 6 komponen teknologi dasar dan pilihan,

kecuali pada tahun 2012 ada satu tambahan komponen teknologi pilihan yaitu

pengaturan tanam (Jajar legowo 2:1 atau 4:1), sementara pada tahun 2013 dan

tahun 2014 hanya terdapat 5 komponen teknologi dasar dan 6 komponen teknologi

pilihan. Komponen teknologi pilihan yaitu, pengatauran cara tanam (jarwo) bahkan

berubah menjadi komponen teknologi dasar sejak tahun 2013.

Perbedaan lainnya yang terdapat pada Pedoman Pelaksanaan/Teknis adalah

pola pemberian benih. Pada tahun 2008-2012, benih diberikan secara gratis kepada

kelompok tani melalui pola BLBU, sementara sejak tahun 2013 petani mendapat

bantuan benih bersubsidi, dimana petani harus membeli benih sebesar HET yang

Page 26: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

23

ditetapkan oleh Menteri Pertanian. HET benih bersubsidi sekitar Rp 2020/kg, dibawah

harga gabah konsumsi.

Dari informasi di atas dapat dilihat bahwa penerapan PTT melalui program SL-

PTT seperti yang dijelaskan pada Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-PTT tidak

sepenuhnya sejalan dengan konsep PTT. Pada konsep PTT, dimana penerapan PTT

didasarkan pada empat prinsip yaitu: yaitu (i) PTT pada dasarnya bukanlah suatu

paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau strategi bahkan filosofi

bagi peningkatan produksi melalui cara mengelola tanaman, tanah, air dan unsur

hara serta organisme pengganggu tanaman secara holistik dan berkelanjutan, (ii)

memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan diterapkan

dengan memperhatikan unsur keterkaitan sinergis antar teknologi, (iii)

memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi

petani, dan (iv) PTT bersifat partisipatif yang berarti petani turut serta menguji dan

memilih teknologi sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani melalui

proses pembelajaran.

Terutama pada prinsip ke-4, pengembangan PTT melalui program SL-PTT

diharapkan lebih banyak ditentukan oleh partisipasi petani dalam menerapkan setelah

melihat keunggulan-keunggulannya pada LL. Dengan kata lain, tanpa adanya

bantuan dari pemerintah sekalipun petani dengan yakin dan ikhlas menerapkannya

karena inovasi teknologi itu memberikan manfaat yang lebih banyak dari teknologi

yang mereka terapkan sebelumnya. Berbeda pada Pedoman Pelaksanaan/Teknis,

petani mau menerapkan seakan-akan lebih didorong karena adanya bantuan saprodi,

bukan mengedepankan partisipasinya.

4.3. Kinerja Implementasi Program SL-PTT

Secara umum kinerja implementasi program SL-PTT di lahan petani belum

menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, sekalipun kita sepakat bahwa secara

konsep PTT itu sangat bagus sehingga kalau pendekatannya diterapkan secara

konsisten diyakini mampu meningkatan produksi padi secara signifikan dan

berkelanjutan. Kinerja program SL-PTT yang belum sesuai harapan tersebut

Page 27: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

24

disebabkan tingkat implementasinya belum sepenuhnya mengikuti pedoman

pelaksanaan dan pedoman teknis yang telah disediakan. Ada beberapa aspek

mendasar sebagai penyebabnya, seperti akan dijelaskan sebagai berikut:

Laboratorium Lapang (LL) yang dirancang dan pada awalnya diharapkan

sebagai tempat pembelajaran dan uji adaptasi berbagai komponen teknologi tidak

berjalan seperti diharapkan. LL sebagai tempat untuk melakukan uji adaptasi

berbagai varietas yang diperkirakan berpotensi untuk dikembangkan di lokasi

pengembangan program SL-PTT belum berjalan seperti yang diharapkan. Padahal

sesuai dengan konsepnya, dari sekian banyak varietas yang diperagakan pada LL,

petani bisa melihat secara langsung dan membuktikan sendiri varietas-varietas yang

mana yang produktivitasnya bagus dan mana yang kurang bagus. Dari pembuktian

ini petani selanjutnya diharapkan mampu untuk memutuskan sendiri varietas yang

mana sebaiknya ditanam pada musim tanam yang akan datang.

Dalam pelaksanaanya, jenis varietas yang diperagakan pada LL hanya

terbatas, dan bahkan cenderung hanya satu varietas saja, dan seringkali bukan jenis

varietas yang disukai petani. Di beberapa lokasi produktivitas padi pada LL lebih

rendah dari SL dan sekalipun dengan dibandingkan dengan petani di luar SL. Kondisi

ini terjadi diduga akibat jenis varietas yang ditanam pada LL tidak sesuai dengan

kondisi biofisik setempat. Hal yang sama juga terjadi dengan pengujian komponen

teknologi lainnya. Seharusnya semua komponen teknologi PTT diujicobakan dan

dimodifikasi terlebih dahulu oleh BPTP sesuai konsisi AEZ serta berdasarkan bio-fisik

lahan dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Hasil modifikasi tersebut dikaji

adaptasinya di LL, setelah adaptasi dari aspek teknis memungkinkan, ekonomi

menguntungkan dan sosial diterima oleh masyarakat pengguna, selanjutnya

dilakukan eskalasi ke SL pada skala yang lebih luas. Dengan demikian diharapkan

secara gradual proses difusi teknologi ke wilayah sekitarnya dapat berjalan sesuai

harapan. Dengan demikian, fungsi LL sebagai tempat uji coba berbagai varietas dan

komponen teknologi lainnya belum berjalan.

Hal yang sama juga terjadi pada petani SL. Untuk mendorong petani SL di luar

LL menerapkan komponen teknologi PTT yang diperagakan dalam LL, maka petani

Page 28: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

25

diberikan bantuan benih sebanyak 25 kg/ha selama tahun 2008-2012 dan diganti

dengan pola subsidi benih dimana petani hanya membayar sebesar HET yang

ditentukan oleh Menteri Pertanian. Namun fakta menunjukkan bahwa bantuan benih

gratis yang diberikan melalui pola BLBU dan pola subsidi benih tidak serta merta

mampu mendorong petani untuk menerapkan teknokogi PTT secara baik. Input benih

yang pada awalnya diharapkan sebagai kontributor utama dan pengungkit dalam

peningkatan produktivitas justru menjadi input produksi yang menyebabkan turunnya

produktivitas relatif terhadap teknologi petani. Dengan pola BLBU pada periode 2007-

2012, benih gratis yang diterima petani peserta SL-PTT kualitasnya sangat rendah,

varietasnya tidak sesuai keinginan petani, serta waktu ketersediannya tidak sesuai

dengan jadwal tanam akibat proses administrasinya cukup panjang (ada SK Provinsi,

SK Kabupaten, dan perintah dropping).

Sejak tahun 2013, dengan digantinya pola BLBU ke pola subsidi benih dimana

PT. SHS ditunjuk sebagai penyedia tunggal benih juga tidak mampu memperbaiki

kinerja SLPTT mengingat: (i) kualitas benih tidak lebih baik dari pola BLBU, (ii)

varietas juga tidak sesuai dengan keinginan petani, dan (iii) PT. SHS tidak dapat

menyalurkan benih tepat waktu, apalagi untuk daerah-daerah terpencil. Pola subsidi,

dimana harga benih yang harus dibayar petani hanya sebesar Rp 2.020/kg,

sementara harga gabah konsumsi telah mencapai Rp 4.000/kg GKP, juga

dikhawatirkan memicu munculnya banyak “kelompok petani/petani siluman” yang

menjual kembali benih tersebut untuk dikonsumsi, mengingat ada margin sebesar Rp

2.000/kg.

Terbatasnya jumlah peneliti dan penyuluh untuk mengawal dan mendampingi

petani khususnya pada lahan SL juga turut berkontribusi terhadap rendahnya kinerja

implementasi program SL-PTT. Dengan tingkat pendidikan yang rata-rata masih

rendah, petani sendiri belum sepenuhnya mampu untuk memutuskan baik dari sisi

jenis, jumlah, dan waktu penerapakan komponen teknologi, belum lagi diperlemah

oleh kondisi finansial. Terbatasnya SDM peneliti dan penyuluh ini juga menyebabkan

difusi dan adopsi program ini ke luar SL terhambat.

Page 29: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

26

Selain memberi bantuan benih dan pupuk pada LL, dan benih pada SL,

pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk mendukung program ini, yaitu

terkait dengan peningkatan kapasitas produksi pertanian yang diwujudkan dalam

bentuk bantuan, yaitu (i) JITUT, JIDES, optimasi lahan, dan cetak sawah, dan (ii)

biaya relabilitasi jaringan irigasi. Namun demikian, hasil kajian Rusastra, et al,

(2012) menyebutkan bahwa kedua jenis bantuan tersebut kurang mampu bersinergi

dan terintegrasi dengan program SL-PTT karena kebanyakan kedua jenis bantuan

tersebut tidak diimplementasikan di lokasi pengembangan SL-PTT. Hal yang sama

juga pembiayaan terkait dengan bantuan alat dan sarana produksi pertanian

dialokasikan dalam tiga bentuk, yaitu: (i) bansos dengan pola BLM, (ii) anggaran

terkait dengan bantuan alat dan mesin pertanian, dan (iii) anggaran terkait dengan

bantuan perontok dan pengering juga kurang diintegrasikan dan disinergikan dengan

kegiatan SL-PTT. Bantuan Sosial dengan pola BLM untuk pupuk dan biaya pertemuan

SL-PTT masih terbatas. Sementara bantuan alat dan mesin pertanian, serta perontok

mekanis dan pengering tidak sepenuhnya bisa digunakan oleh petani karena masalah

teknis dan skill petani sendiri, disamping jumlah yang dialokasikan masih terbatas

pada lokasi pengembangan SL-PTT tertentu saja.

4.4. Menuju Gerakan Penerapan-PTT (GP-PTT)

Pada tahun 2015, pemerintah melalui Kementerian Pertanian merencanakan

akan melakukan pemassalan penerapan PTT di berbagai lokasi di Indonesia melalui

program Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT). Hal ini

dilakukan atas pertimbangan bahwa setelah PTT diperkenalkan melalui program SL-

PTT sejak tahun 2008 sampai tahun 2014, maka sudah waktunya PTT itu diterapkan

secara masive melalui GP-PTT. Terkait dengan rencana ini, maka pembelajaran yang

sangat berharga bisa dipetik dari kinerja implementasi program SL-PTT sejak tahun

2008 sampai 2014 yang dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan pelaksanaan GP-

PTT ke depan.

Seperti diungkap sebelumnya bahwa dari sisi konsepsi, PTT itu sangat bagus

sehingga kalau diimplementasikan secara baik dan konsisten diyakini akan dapat

Page 30: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

27

berkontribusi signifikan dalam upaya meningkatan produktivitas dan produksi padi

nasional. Kelemahan-kelemahan dan ketidak-konsistenan dalam implementasinya ini

bisa dijadikan pembelajaran dalam memperkuat pelaksanaan GP-PTT ke depan

Beberapa kelemahan yang dimaksud seperti: tidak berfungsinya Laboratorium Lapang

sebagai tempat uji coba dan adaptasi berbagai komponen teknologi PTT, terbatasnya

jumlah peneliti dan penyuluh untuk mengawal dan mendampingi petani dalam

mempraktekan komponen teknologi PTT di lahannya sendiri; program yang masih

cenderung didominasi pemerintah pusat (sentralistik), serta kurang mengedepankan

partisipasi petani dan sebaliknya lebih mengedepan bantuan sebagai stimulan untuk

mendorong agar petani mau menerapkan PTT.

Ke depan GP-PTT sebaiknya dilakukan melalui perencanaan dan tahapan

pelaksanaan yang jelas dan lebih matang, dan digerakan melalui partisipasi petani

dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan demikian, pelaku utama dalam

menggerakan dan menerapkan program ini adalah petani yang didorong oleh para

penyuluh, bukan seolah-olah pemerintah sebagai pelaksana. Dengan kata lain jangan

terulang lagi petani mau menerapkan teknologi PTT hanya karena ada bantuan,

bukan termotivasi setelah membuktikan dan melihat langsung keunggulan-

keunggulan teknologi tersebut pada lokasi LL.

Page 31: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

28

V. KINERJA IMPLEMENTASI SL-PTT: KASUS PROVINSI JAWA BARAT

Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu propinsi sentra produksi pangan

termasuk padi. Luas baku lahan sawah sebesar 919.914 ha, terdiri atas irigasi teknis

374.156 ha, setengah teknis 131.674 ha, irigasi sederhana 104.077 ha, irigasi non-PU

104.488 ha, dan tadah hujan seluas 183.691 ha. Sebagai provinsi pelaksana program

SL-PTT, pada tahun 2014, Jawa Barat mendapat penghargaan “Kinerja Pelaporan

SL-PTT tahun 2008 – 2014 Terbaik” selain DI Yogyakarta dan Sumatera Selatan dari

Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Pada tahun 2013, produksi padi

Jawa Barat mencapai 12.083.162 ton dengan kontribusi terhadap total produksi

nasional paling besar seperti pada Tabel 7. Menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman

Pangan beserta semua Kepala Dinas Pertanian se-Jawa Barat, kontribusi Jawa Barat

terhadap produksi beras nasional didorong oleh program SL-PTT.

Pemerintah daerah Jawa Barat sangat mendukung program SL-PTT yang

ditunjukkan dengan alokasi dana dari APBD tingkat I yang relatif besar. Sebagai

gambaran, alokasi dana APBD pada tahun 2015 dialokasikan sekitar Rp.12 Milyar

(data sementara) untuk dua kegiatan yaitu fasilitasi pengaturan jarak tanam jajar

legowo (Rp.10 Milyar) dan SL-PTT padi hibrida (Rp.2 Milyar). Disamping itu, pada

tahun 2013, pemerintah daerah Provinsi Barat juga membentuk Badan Koordinasi

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Bakorluh) yang akan membantu

pelaksanaan program pertanian termasuk SL-PTT. Pada tahun 2015, Bakorluh

menyediakan dana dari APBD untuk membei apresiasi terhadap tenaga penyuluh baik

yang sudah PNS maupun yang masih Tenaga Harian Lepas (THL) dalam bentuk

umroh gratis kepada penyuluh yang berprestasi atau reward dalam bentuk lainnya

kepada THL yang berprestasi. Dukungan seperti ini sangat dibutuhkan untuk

mendorong peningkatan kinerja para penyuluh dan THL yang menjadi „ujung tombak‟

dalam diseminasi teknologi yang diharapkan berdampak signifikan pada peningkatan

produksi dan produktivitas.

Page 32: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

29

Tabel 7. Kontribusi Produksi Padi dan Jagung Provinsi Jawa Barat Terhadap Nasional,

Tahun 2013

Komoditas Produksi (ton) % terhad

Nasional

Peringkat

Nasional Jabar Nasional

Padi 12.083.162 71.279.709 16,95 1

Jagung 1.101.998 18.511.853 5,95 6

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2014)

Walaupun demikian, implementasi program SL-PTT di Jawa Barat masih terdapat

permasalahan yang harus dicarikan solusinya terutama oleh Kementerian Pertanian.

Permasalahn SL-PTT diperoleh dari hasil diskusi dalam pertemuan evaluasi SL-PTT

yang dihadiri oleh Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Bakorluh tingkat propinsi dan

enam kabupaten sentra produksi padi serta hasil diskusi dengan petani peserta

proram SL-PTT di Kabupaten Cianjur. Permasalahan program SL-PTT di Provinsi

Jawa Barat yang dirasakan dan dialami oleh instansi dan petani adalah: (a)

Komponen SL-PTT yang terlalu banyak dan kurang efektifnya pelaksanaan LL, (b)

Jumlah dan kualitas PPL terbatas serta kurang harmonisnya koordinasi antara Dinas

Pertanian dengan Bakorluh, (c) Kinerja penyediaan benih sangat buruk (benih yang

sering kurang tepat baik waktu, jumlah, maupun kualitasnya), (d) Status petani

sebagai petani penggarap dan berumur tua. Selanjutnya akan diuraian dari masing-

masing permasalahan dan alternatif solusinya diuraikan dibawah ini.

5.1. Komponen Teknologi dan Efektivitas Pelaksanaan LL

Jumlah komponen teknologi dalam SL-PTT dianggap terlalu banyak (13

komponen, terdiri dari 6 komponen dasar dan 7 komponen pilihan). Jenis komponen

teknologi dasar yang tertera dalam Pedoman Teknis SL-PTT pada tahap awal

pelaksanaanya (2008) adalah varietas unggul baru hibrida/non hibrida, benih

bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik (jerami atau kompos), pengaturan

populasi tanaman secara optimum, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan

status hara tanah, pengendalian OPT dengan pendekatan PHT. Komponen teknologi

Page 33: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

30

pilihan adalah pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, penggunaan bibit

muda (<21 hari), tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pengaturan tanam (jajar

legowo 2:1 atau 4:1), pengairan secara efektif dan efisien, penyiapan dengan landak

atau gasrok, panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.

Pilihan komponen dasar dan pilihan telah mengalami perubahan seperti tertera

dalam Pedoman Teknis SL-PTT Padi dan Jagung tahun 2013. Dalam pedoman

tersebut tertera komponen teknologi dasar ada lima yaitu varietas moderen (VUB,

PH, PTB), bibit bermutu dan sehat, pengaturan cara tanam (jajar legowo),

pemupukan berimbang dan efisien menggunakan BWD dan PUTS/petak

omisi/Permentan No. 40/2007 dan PHT sesuai OPT sasaran. Komponen pilihan

sebanyak enam yaitu bahan organik/pupuk kandang/ameliorant, umur bibit,

pengolahan tanah yang baik, pengelolaan air optimal (pengairan berselang), pupuk

cair (ppc, pupuk organik, pupuk bio-hayati)/ZPT, pupuk mikro), penanganan panen

dan pasca panen. Berdasarkan kedua pedoman tersebut, terdapat perubahan dalam

jumlah komponen dasar dari 6 menjadi 5, dan komponen pilihan dari 7 menjadi 6

komponen. Selain perubahan jumlah komponen, juga ada perubahan jenis

komponen, seperti pada pedoman awal, pengaturan tanam (jajar legowo) merupakan

komponen pilihan menjadi komponen dasar pada pedoman tahun 2013.

Dalam pedoman disebutkan bahwa petani bersama penyuluh melakukan

pemilihan jenis komponen dasar dan pilihan yang akan diterapkan disesuaikan

dengan kebutuhan wilayah (spesifik lokasi) berdasarkan Kajian Kebutuhan dan

Peluang (KKP). Namun kenyataannya, sebagian besar petani dan penyuluh tidak

melakukan kajian tersebut baik di lahan Laboratorium Lapang (LL) maupun di non LL.

Dalam hal ini perlu dipahami bahwa secara inheren, sebetulnya petani sudah banyak

“asam garam” dalam berusahatani padi karena mereka melakukan hal tersebut sudah

dilakukan sekitar 20-30 tahun yang lalu. Berusahatani padi sebagai sumber mata

pencaharian utama yang dilakukan setiap musim padi secara terus menerus,

sehingga secara naluri mereka sudah mengetahui sistem budidaya padi yang

menguntungkan, teknologi mana yang harus dilakukan dan yang tidak dilakukan.

Penerapan 13

Page 34: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

31

Dengan memperhatikan hal tersebut, diusulkan untuk mengurangi komponen

komponen teknologi dalam program SLPTT justru membingungkan petani, sementara

efektifitas dari setiap komponen belum terlihat nyata di lapangan, sehingga sebagian

petani memilih untuk kembali dengan pilihan teknologi seperti yang telah diterapkan

selama ini. Kondisi ini juga sebagai akibat tidak efektifnya kegiatan sekolah lapang di

LL dikarenakan: (a) Kegiatan LL dilakukan pada tahun yang sama dengan non LL, (b)

Penerapan komponen teknologi di LL tidak dilakukan secara optimal,umumnya hanya

dalam sistem pengaturan tanam (jajar legowo) dan penerapan varietas unggul baru

(VUB), (c) Lahan LL umumnya milik ketua gapoktan/kelompok tani sehingga

dimungkinkan lokasi lahan kurang strategis untuk dapat dilihat oleh banyak petani,

(d) Terbatasnya petani peserta dalam pertemuan LL (hanya sekitar 25 orang) dan (e)

Tidak adanya juklak di tingkat propinsi dan juknis di tingkat kabupaten sebagai

kelanjutan dari pedoman teknis yang disusun oleh Kementerian Pertanian.teknologi,

misal hanya 3-5 komponen saja yang betul-betul berpengaruh signfikan terhadap

produktivitas dan dapat diterapkan secara baik di lapangan. Hasil kajian yang

dilakukan oleh BPTP Jawa Barat menunjukkan komponen benih, jarak tanam legowo,

dan pemupukan merupakan tiga komponen utama yang berpengaruh besar terhadap

produktivitas padi.

5.2. Kualitas Penyuluhan, Pendampingan dan Koordinasi Penyuluhan

Jumlah tenaga penyuluh lapang (PPL) PNS semakin sedikit dikarenakan tidak

ada penambahan penyuluh PNS, disisi lain banyak PPL yang sudah pensiun dan

menduduki jabatan strukutral, sehingga penerapan satu desa satu penyuluh belum

dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Untuk menutupi kekurangan tersebut,

pemerintah menambah jumlah penyuluh yang dikenal dengan Tenaga Harian Lepas

(THL). Namun demikian THL ini belum dapat bekerja secara optimal dikarenakan: (a)

Tidak semua THL mempunyai latar belakang di bidang pertanian, (b) Terbatasnya

pelatihan pertanian untuk menambah wawasan mereka di bidang pertanian secara

komprehensif, (c) Pada umumnya umur THL lebih muda dibandingkan dengan umur

petani, sehingga para THL kurang percaya diri untuk melakukan kegiatan

Page 35: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

32

penyuluhan, (d) Terbatasanya fasilitas THL dalam melaksanakan kunjungan lapang

(tidak ada kendaraan dan dana perjalanan). Honor THL dari pemerintah pusat untuk

10 bulan sedangkan kekurangannya (2 bulan) dibebankan kepada pemerintah

daerah. Kenyatannya tidak semua pemerintah daerah mengalokasikan hal tersebut.

Peran PPL sebelum dan sesudah otonomi daerah relatif sama yaitu mendampingi

petani agar mampu mengadopsi teknologi pertanian secara baik dan benar sehingga

produktivitas dan produksi pertanian meningkatkan sesuai yang diharapkan. Seperti

pada kasus program SL-PTT, secara konsep program ini sangat baik, namun sebagian

besar petani menerapkan komponen teknologi PTT secara parsial, tidak menyeluruh

dan terus menerus. Salah satu penyebab hal tersebut adalah jumlah dan kualitas PPL

terbatas, padahal peran mereka adalah sangat penting, sebagai ujung tombak dalam

penerapan komponen teknologi SL-PTT.

Beberapa faktor terkait dengan PPL sebagai berikut: Pertama, sejak adanya

otonomi daerah, kelembagaan penyuluhan yang mewadahi PPL diserahkan kepada

masing-masing daerah, sehingga keberadaan lembaga penyuluhan bervariasi antar

daerah di Propinsi Jawa Barat. Eselonisasi lembaga penyuluh pertanian berbeda antar

daerah yang berdampak pada perbedaan besaran alokasi dana untuk fasilitasi

lembaga tersebut. Dibeberapa daerah yang kepala daerahnya tidak memiliki

pemahaman yang baik tentang peran penyuluhan, kelembagaan penyuluhan yang

sudah ada terancam dibubarkan dan digabung dengan Dinas Petanian atau Badan

Ketahanan Pangan. Secara khusus terkait program SLPTT, alokasi dana program SL-

PTT berada di Dinas Pertanian, sedangkan pengawalan dan pendampingan teknologi

dilakukan oleh PPL yang berada pada koordinasi lembaga penyuluhan kabupaten. Hal

ini berdampak pada kurang optimalnya implementasi program SL-PTT di lapangan

baik dalam hal alokasi dana dan koordinasi antar lembaga (diistilahkan jika yang

melaksanakan anak sendiri akan lebih bagus dibandingkan meminta bantuan anak

orang lain); Kedua, fasilitas dan insentif untuk PPL terbatas, tidak seperti pada waktu

lembaga penyuluh sebagai UPT pusat, yang berdampak pada kinerja PPL dalam

melaksanakan tugasnya; Ketiga, sistem pendidikan dan pelatihan untuk

meningkatkan kapasitas PPL terbatas yang dahulu terdapat jenjang karir dan jenjang

Page 36: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

33

tugas dalam penyuluhan seperti ada Petugas Penyuluh Spesialis (PPS) dan PPL,

namun saat ini tidak ada hal tersebut termasuk untuk THL. Jika ada pelatihan untk

PPL dan THL terfokus pada mekanisme pelaksanaan program termasuk

administrasinya. Kalaupun mereka mampu mengakses teknologi melalui media on

line terutama para THL, namun karena tidak ada arena mempraktekkan teknologi

yang diperoleh dan kurang percaya diri maka para THL tidak mampu melaksanakan

tugas secara optimal, tidak mampu mempengaruhi petani untuk mengadopsi

teknologi yang dianjurkan. Apalagi bekerja sebagai THL seolah-olah hanya pekerjaan

transit sebelum mereka mendapat pekerjaan tetap, maka jiwa patriotik dan korsa

melaksanakan tugas juga tidak tumbuh secara optimum. Disisi lain, PPL PNS yang

ada sudah berumur tua, berdampak pada keengganan untuk melakukan kunjungan

ke petani.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, hasil diskusi menyarankan: (1) Kelembagaan

penyuluh dikembalikan dikoordinir oleh lembaga tingkat pusat (sebagai UPT Pusat).

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga penyuluh, disarankan melakukan recruitment

terhadap penyuluh baru yang berstatus PNS; (2) Peningkatan fasilitas perlengkapan

PPL sesuai dengan kebutuhan yang bersifat spesifik lokasi, (3) Pelatihan melalui

paket kurikulum menurut jenjang karir penyuluh perlu dihidupkan kembali; dan (4)

Terkait pembinaan mental, disarankan penyuluh senior mengajak penyuluh yunior

saat melakukan penyuluhan sehingga terjadi transfer ilmu, wawasan, dan teknis

pelaksanaan penyuluhan langsung di lapangan.

5.3. Efektivitas Penyediaan Bantuan Benih

Selama program SL-PTT petani mendapat bantuan benih melalui mekanisme

Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) melalui pihak ketiga. Selama ini benih yang

diterima petani tidak sesuai dengan ketentuan (enam tepat). Benih yang diterima

petani tidak sesuai dengan yang diusulkan petani dalam hal varietas, kualitas, jumlah

dan waktu. Berdasarkan hasil diskusi dengan para kepala dinas pertanian kabupaten

se-Jawa Barat disarankan agar petani diberi hak untuk menjalankan usaha

penangkaran benih. Dengan konsep kawasan berupa GP-PTT pada tahun 2015, maka

Page 37: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

34

sebagian dari luasan LL dapat menjadi tempat penangkaran benih untuk memenuhi

kebutuhan benih pada SL. Berdasarkan diskusi dengan petani dan petugas penyuluh

di Kabupaten Cianjur, diketahui bahwa petani sudah terbiasa melakukan penangkaran

benih bahkan mempunyai usaha di bidang benih. Namun sejak adanya program SL-

PTT, petani tidak melakukan penangkaran benih dan menutup usaha

penangkarannya karena tidak ada jaminan pasar dari hasil produksi benih tersebut.

Dengan potensi petani yang sudah terbiasa melakukan penangkaran benih, dan

pemerintah membantu dalam hal sertifikasi benih, maka petani siap memenuhi

kebutuhan benih untuk program SL-PTT atau GP-PTT. Petani mengusulkan dilakukan

identifikasi kebutuhan benih di setiap wilayah dan potensi produksi benih dari

penangkar, dan sisa kebutuhan benih dapat dipenuhi dari pihak ketiga.

5.4. Pola Pengusahaan Lahan dan Usia Petani

Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya adopsi teknologi oleh para

petani. Beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian berdasarkan diskusi dengan

para kepala Dinas Pertanian dan Kepala Bakorluh kabupaten se-Jawa Barat adalah

petani bukanlah pekerja yang menjalankan usaha pertanian di lahan sawah. Sebagian

besar petani bukan petani pemilik penggarap tetapi petani penggarap yang

menggarap lahan untuk tanaman padi yang tergabung dalam wadah kelompok tani.

Hal ini berdampak pada lemahnya mereka dalam mengadopsi komponen teknologi

SL-PTT. Apalagi apabila teknologi tersebut berdampak pada peningkatan dana yang

dikeluarkan oleh petani penggarap, mereka tidak akan mengadopsi teknologi

tersebut.

Usia petani yang semakin menua (aging farmer) juga menjadi permasalahan

yang harus diselesaikan. Disisi lain ketertarikan para pemuda untuk masuk ke dalam

sektor pertanian juga sangat terbatas. Dikhawatirkan ke depan akan melemahkan

sektor pertanian yang berakibat melemahnya ketahanan pangan. Oleh karena itu,

pembinaan generasi muda desa untuk meneruskan usaha pertanian menjadi sangat

penting dan mendesak untuk dilakukan. Kasus di Kabupaten Cianjur, mengidentifkasi

petani muda kemudian dilibatkan dalam pelatihan-pelatihan pertanian di dalam dan

Page 38: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

35

luar negeri agar mereka menjadi entepreneur pertanian. Walaupun masih dalam

jumlah terbatas, diharapkan kegiatan ini akan mampu menarik pemuda untuk bekerja

di bidang pertanian. Ke depan pembinaan petani muda harus mendapat perhatian

dan dukungan yang baik dari dinas kabupaten/provinsi, bahkan Kementerian

Pertanian. Program-program seperti studi banding, beasiswa pertanian, dan

pemberian dana bergulir menjadi program yang diharapkan oleh para petani muda

Cianjur.

5.5. Kinerja Adopsi Komponen Teknologi SL-PTT

Selain masalah umur petani dan status petani sebagai pemilik penggarap,

faktor penyebab adopsi teknologi yang relatif rendah adalah kurangnya tenaga kerja

di sawah. Kasus di Kabupaten Cianjur dengan bekembangnya industri dan mudahnya

mendapatkan sepeda motor, maka petani terutama petani muda beralih pekerjaan ke

buruh industri dan tukang ojek. Tanam padi di wilayah ini adalah dengan sistem

borongan yang dilakukan oleh buruh wanita. Mereka bekerja sebagai buruh “tandur”

sudah sejak lama, sehingga pola kebiasaan ini sulit untuk diubah. Kasus pada

perubahan pengaturan tanam dari sistem tegel ke sistem jajar legowo (2:1, 4:1 dan

seterusnya) yang merupakan komponen dasar program SL-PTT sulit dilakukan oleh

petani. Walaupun petani sudah mendapatkan informasi mengenai kelebihan

menanam padi dengan sistem tersebut, tetapi petani tidak dapat menerapkan hal

tersebut karena buruh tandur tidak mau melakukannya. Oleh karena itu, disarankan

penyuluhan program SL-PTT tidak hanya pada petani akan tetapi juga kepada buruh

tanam termasuk buruh panen.

Selain itu, banyaknya program yang dilaksanakan oleh pemerintah dan

seringnya berubahnya implementasi program juga ditengarai menjadi penyebab

rendahnya adopsi teknologi. Sekretaris BP4K Kabupaten Cianjur menyatakan bahwa

banyaknya program dan perubahan program dari waktu ke waktu mengharuskan

para penyuluh untuk menguasai banyak materi dan mengikuti perubahan paket

program tersebut. Dengan waktu yang relatif hanya setahun untuk mempelajari

Page 39: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

36

banyaknya paket program pemerintah, mengakibatkan penguasaan penyuluh

terhadap materi program menjadi lemah.

Beberapa hal lain hasil diskusi terkait program peningkatan produksi padi

dapat diungkap sebagai berikut:

1. Perhitungan produksi oleh BPS. Lembaga yang berwenang untuk menentukan

melakukan perhitungan produksi adalah BPS, namun permasalahan dilapang

adalah teknik perhitungan BPS sering kali berbeda (lebih rendah) dengan

perhitungan yang dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten. Perbedaan tersebut

disebabkan karena perbedaan dalam teknik pengukuran pengubinan. Konsep

ubinan yang dilaksanakan oleh BPS relatif tetap dari dahulu padahal dengan pola

pengaturan jarak tanam seharusnya konsep ubinan menyesuaikan. Oleh karena

itu, sosialisasi program SL-PTT juga dilakukan ke instansi BPS tingkap pusat dan

daerah dan ada koordinasi yang baik antara BPS dengan Dinas Pertanian

Kabupaten.

2. GP-PTT direncanakan mulai diterapkan tahun 2015. Pelaksana teknis di lapangan

menyarakankan agar basis kawasan pada GP-PTT tidak berupa hamparan seluas

1.000 ha karena akan menyulitkan dalam koordinasnya. Tidak semua wilayah

mempunyai hamparan lahan pertanian seluas tersebut, sehingga untuk 1.000 ha

dimungkinkan mencakup lebih dari satu kecamatan. Pertanyaanya adalah jika

demikian, siapa yang akan menjadi ketua posko dan dimana letak posko dan hal

lainnya. Sebagai contoh, dengan topografi kabupaten kuningan yang beragam,

maka hamparan sawah paling luas diperkirakan hanya 700-800 ha. Berkaitan

dengan hal tersebut, disarankan sebaiknya basis kawasan padi adalah wilayah

administrasi apakah satu kecamatan atau atu desa. Hal ini untuk memudahkan

menentukan lokasi dan melakukan koordinasi dalam implementasinya.

Page 40: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

37

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

1. Laju pertumbuhan luas panen padi nasional selama 2009-2014 berfluktuatif

dengan trend kenaikan sebesar 1,1% per tahun. Sementara itu, dalam kurun

waktu tersebut rencana luas areal SL-PTT terus ditingkatkan laju yang sangat

tinggi, yaitu 18,3% per tahun. Dari dua fakta ini dapat diketahui bahwa

Perencaan luas areal SL-PTT tidak didasarkan hasil evaluasi pelaksanaan SL-PTT

(dicerminkan dari apakah peningkatan tambahan produktivitas antara 0,5-0,75

ton/ha di area SL-PTT tercapai), namun lebih didasarkan pada ketersediaan

anggaran sehingga rencana luas areal SL-PTT mencapai 34% dari total luas

panen padi nasional, tetapi tidak signifikan meningkatkan produktivitas dan

produksi padi dengan pertumbuhan yang tinggi.

2. Pulau Jawa dan Sumatera merupakan wilayah terluas dalam perencanaan areal

program SL-PTT masing-masing sebesar 33,1% dan 28,4% per tahun.

Perencanaan ini tidak sesuai dengan konsep MP3EI dimana Pulau Jawa dan

Sumatera dirancang menjadi pusat pertumbuhan industri pengolahan, jasa, dan

pertambangan.

3. Dari sisi konsepsi, program PTT/SL-PTT sangat bagus dan merupakan

pendekatan yang strategis untuk meningkatkan produktivitas dan produksi padi

nasional. Namun fakta menunjukkan bahwa kinerja implementasi program ini

sejak tahun 2008 sampai sekarang belum optimal seperti yang diharapkan.

4. Berbagai aspek diduga turut berkontribusi terhadap belum optimalnya kinerja

implementasi program ini, diantaranya: (1) Dari aspek perencanaan seperti

penentuan CPCL, penentuan kebutuhan teknologi PTT, dan kebutuhan sarana

produksi tidak sepenuhnya mengikuti Pedoman Pelaksanaan PTT; (ii) Tidak

berfungsinya LL sebagai tempat uji coba dan adaptasi berbagai komponen

teknologi PTT, serta tempat petani melihat dan membuktikan secara langsung

praktek-praktek dan keunggulan teknologi; (iii) Terbatasnya jumlah peneliti dan

penyuluh untuk mengawal dan mendampingi petani dalam mempraktekkan

Page 41: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

38

komponen teknologi PTT di lahannya sendiri; dan (iv) Program yang masih

cenderung didominasi pemerintah pusat (sentralistik) mempunyai dampak

negatif terhadap alokasi anggaran dan ketersediaan bantuan benih.

5. Selain itu, kelemahan dalam implementasi SL-PTT adalah tidak adanya

perbedaan waktu antara peragaan komponen teknologi PTT di lahan LL dengan

waktu mempraktekannya di lahan petani sendiri (SL). Praktek seperti ini

mengakibatkan tidak ada waktu bagi petani untuk terlebih dahulu membuktikan

bahwa teknologi yang akan diterapkan pada lahannya sendiri (SL) lebih unggul

dibandingkan dengan teknologi yang sudah biasa dilakukan.

6. Kasus di Provinsi Jawa Barat, pemerintah daerah sangat mendukung

pelaksanaan program SL-PTT yang ditunjukkan dengan alokasi dana dari APBD

tingkat I yang relatif besar dan kontribusi produksi padi di Provinsi Jawa Barat

terhadap nasional menduduki peringkat pertama.vNamun demikian,

implementasi program SL-PTT di wilayah ini masih ditemukan beberapa

permasalahan, diantaranya adalah: (a) Banyaknya komponen teknologi dan

kurang efektifnya pelaksanaan LL, (b) Jumlah dan kualitas PPL terbatas serta

kurang harmonisnya koordinasi antara Dinas Pertanian dengan Bakorluh, (c)

Kinerja penyediaan benih tidak optimal (benih yang didistribusikan sering kali

kurang tepat dalam hal: waktu, jumlah, varietas, maupun kualitasnya, (d)

Status petani sebagai petani penggarap dan umur petani yang relatif tua, dan

(e) Adopsi komponen teknologi SL-PTT rendah

7. Dalam upaya memperbaiki kinerja SL-PTT guna mendukung tercapainya

swasembada beras berkelanjutan ke depan, ada beberapa hal yang perlu

segera untuk diperbaiki: (i) perlu sosialisasi pedoman pelaksanaan/teknis SL-

PTT sesegera mungkin sebelum musim tanam tiba untuk mengurangi bias

antara perencanaan dan pelaksanaan, (ii) memfungsikan LL secara baik, (iii)

mendorong mobilisasi penyuluh swadaya, swasta, dan dari Perguruan Tinggi

untuk mengawal dan mendampingi petani dalam menerapkan komponen

teknologi PTT spesifik lokasi; (iv) menumbuhkan penangkar-penangkar lokal

Page 42: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

39

dalam kawasan SL-PTT dalam penyediaan benih sesuai dengan keinginan

petani, dan ini sejalan dengan program desa mandiri benih, (v) membangun

komunikasi, koordinasi, dan sinergi yang lebih baik lagi antara pemerintah

pusat, daerah, dan pelaksana di lapangan, serta (vi) sejalan dengan

peningkatan produksi, maka aspek pengolahan, pemasaran, kelembagaan

kelompok tani juga perlu dibangun dan diperbaiki agar petani dapat

memperoleh manfaat yang lebih banyak dengan hadirnya program SL-PTT ini.

8. Kelebihan dan kelemahan dalam implementasi porgram SL-PTT sejak tahun

2008 dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang berharga dalam upaya

mensukseskan rencana Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-

PTT) pada tahun 2015. Kawasan GP-PTT sebaiknya tidak ditetapkan

berdasarkan luasan areal, namun pada wilayah administrasi (kecamatan atau

desa), sehingga akan lebih jelas dan memudahkan dalam koordinasi dan

tanggung jawab operasionalnya. Perlu difahami, peran Kepala Desa/ Lurah atau

Camat dalam melakukan koordinasi antar lembaga dan pembinaan terhadap

masyarakat masih cukup signifikan.

Page 43: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

40

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi Sawah

Irigasi. Balitbangtan. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia 2013. Jakarta.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2009. Pedoman Pelaksanaan Sekolah

Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung dan Kedelai Tahun 2009. Jakarta.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan

Kacang Tanah Tahun 2010. Jakarta.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2011. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, dan Kedelai

Tahun 2011. Jakarta.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan

Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2012. Jakarta.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan

Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Tahun 2012. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013.

Ditjen Tanaman Pangan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Kementerian Pertanian.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2014. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2014.

Kementerian Pertanian. Jakarta.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2014. Evaluasi Kinerja Capaian Produksi Tahun

2014 dan Sasaran Serealia Tahun 2015 di Jawa Barat. Bahan Tayangan Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di Bandung.

Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Purwakarta. 2014. Kendala

Dan Peluang Penerapan Komponen Teknologi PTT Padi dalam Program SL-PTTMendukung P2BN Di Kabupaten Purwakarta. Bahan Tayangan

Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di Bandung.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta

Kepala Dinas Pertanian, Peternakan Dan Perikanan. 2014. Komponen Teknologi PTT Dalam Program SL-PTT Mendukung P2BN di Kabupaten Kuningan. Bahan

Page 44: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN

41

Tayangan Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di

Bandung.

Nurhayati. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Komunikasi di dalam

Sekolah Lapang Padi. Tesis. IPB. Bogor.

Pusat Penyuluhan Pertanian. 2012. Pedoman Pelaksanaan Pengawalan dan

Pendampingan Penyuluhan Pertanian dalam Mendukung P2BN Di Lokasi SL-PTT dan Demfarm SL Agribisnis Padi. Badan Penyuluhan Dan Pengembangan SDM Pertanian. Kementerian Pertanian.

Rusastra, I.W., W. Sudana, Sumarno, Z. Zaini, K. Kariyasa, dan Baehaki. 2011. Evaluasi Kebijakan dan Politik Anggaran SL-PTT Tanaman Pangan.

Puslitbangtan. Bogor.

Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian Dan

Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian

Supriadi, Herman. I Wayan Rusastra. Ashari. 2012. Analisis Kebijakan dan Program SL-PTT Menunjang Peningkatan Produksi Padi Nasional. Laporan Teknis. Pusat

Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Sekretariat Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan Provinsi Jawa

Barat. 2014. Kebijakan Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan di Provinsi, Jawa Barat Tahun 2014 (Evaluasi Penyelenggaraan Program

Pengembangan SDM Pertanian dan Kelembagaan Petani APBN Tahun 2014). Bahan Tayangan Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di Bandung.