LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Oleh Mewa Ariani Achmad Suryana Ketut Kariyasa Rangga Ditya Yofa PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014
44
Embed
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_03.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN
MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN
TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT
Oleh
Mewa Ariani Achmad Suryana
Ketut Kariyasa Rangga Ditya Yofa
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2014
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2. Tujuan Kajian ....................................................................... 4 1.3. Keluaran Kajian ..................................................................... 5
1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak ............................................. 5
II. METODOLOGI .............................................................................. 6
2.1. Lokasi Penelitian ................................................................... 6 2.2. Sumber dan Jenis Data.......................................................... 6
2.3. Metode Analisis ..................................................................... 6
III. GAMBARAN UMUM PROGRAM SL-PTT ............................................ 7 3.1. Perkembangan Proporsi Luas Areal Program SL-PTT ................ 7
3.2. Perkembangan Proporsi Sasaran Produksi Program SL-PTT ...... 13 3.3. Perkembangan Produktivitas Padi pada Program SL-PTT .......... 15
IV. TINJAUAN KRITIS SL-PTT: ANTARA KONSEP DAN IMPLEMENTASI .. 17 4.1. Konsep PTT/SL-PTT ............................................................... 17
4.2. Antara Konsep dan Penerapan Skala Luas SL-PTT .................... 19 4.3. Kinerja Implementasi Program SL-PTT .................................... 23
4.4. Menuju Gerakan Penerapan PTT (GK-PTT) .............................. 26 V. KINERJA IMPLEMENTASI SL-PTT: KASUS PROVINSI JAWA BARAT .. 28
5.1. Komponen Teknologi dan Efektivitas Pelaksanaan LL ............... 29 5.2. Kualitas Penyuluh, Pendampingan dan Koordinasi Penyuluhan .. 31
5.3. Efektivitas Penyediaan Bantuan Benih ..................................... 33 5.4. Pola Pengusahaan Lahan dan Usia Petani ................................ 34 5.5. Kinerja Adopsi Komponen Teknologi SL-PTT ............................ 35
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ............................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 40
ii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Proporsi Luas Areal SL-PTT terhadap Luas Panen Padi Nasional, 2009-2014 ................................................................................... 8
2. Rencana Luas Areal Program SL-PTT Setiap Provinsi Tahun 2009-2014 10
3. Pertumbuhan Rencana Luas Areal Program SL-PTT Setiap Provinsi, 2009-2014 ................................................................................... 12
4. Proporsi Sasaran Produksi Program SL-PTT terhadap Sasaran Produksi Padi Nasional, 2009-2014 .............................................................. 14
5. Perkembagan Produktivitas Padi Nasional dan Sasaran Produktivitas
SL-PTT Tahun 2009-2014 ............................................................. 15
6. Perubahan Pedoman Pelaksanaan/Juknis SL-PTT Padi Sawah, 2008-2014 ................................................................................... 20
7. Kontribusi Produksi Padi dan Jagung Provinsi Jawa Barat Terhadap Nasional, Tahun 2013 .................................................................... 29
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam upaya mewujudkan swasembada pangan terutama beras, pemerintah
menetapkan kebijakan yang dikenal dengan Program Peningkatan Produksi Beras
Nasional (P2BN). Program ini diputuskan oleh Presiden RI melalui Sidang Kabinet
Terbatas di Departemen Pertanian pada tanggal 8 Januari 2007 dan implementasinya
dimulai pada tahun 2008. Melalui program aksi ini, kenaikan produksi beras harus
mencapai minimal sebesar 2 juta ton atau setara dengan 3,5 juta ton gabah dengan
kenaikan sekitar 5 persen dari produksi tahun 2006. Strategi pencapaian produksi
padi dilakukan melalui empat hal yaitu: (1) Peningkatan produktivitas, (2) Perluasan
areal, (3) Pengamanan produksi, dan (4) Kelembagaan dan pembiayaan.
Upaya peningkatan produksi padi dilakukan melalui penerapan Sekolah
Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) untuk tanaman padi, jagung dan
kedelai. Khusus untuk tanaman padi, implementasi dari program ini dengan
pemberian bantuan sarana produksi secara lengkap pada lokasi Laboratorium Lapang
(LL) sekitar satu hektar dan pembelajaran pada kelompok terkait pengelolaan
tanaman terpadu (PTT). Selain itu juga diberikan bantuan benih pada lokasi bukan
LL untuk luasan 25 hektar, yang lokasinya terletak disekitar LL. Dalam paket SL-PTT,
petani diharapkan menerapkan komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan.
Dengan demikian petani akan mampu mengelola sumberdaya yang tersedia secara
terpadu dalam melakukan budidaya di lahan usahataninya berdasarkan spesifik lokasi
sehingga petani menjadi lebih terampil serta mampu mengembangkan usahataninya
dalam rangka peningkatan produksi padi. Melalui penerapan PTT diharapkan akan
dan pasca panen. Berdasarkan kedua pedoman tersebut, terdapat perubahan dalam
jumlah komponen dasar dari 6 menjadi 5, dan komponen pilihan dari 7 menjadi 6
komponen. Selain perubahan jumlah komponen, juga ada perubahan jenis
komponen, seperti pada pedoman awal, pengaturan tanam (jajar legowo) merupakan
komponen pilihan menjadi komponen dasar pada pedoman tahun 2013.
Dalam pedoman disebutkan bahwa petani bersama penyuluh melakukan
pemilihan jenis komponen dasar dan pilihan yang akan diterapkan disesuaikan
dengan kebutuhan wilayah (spesifik lokasi) berdasarkan Kajian Kebutuhan dan
Peluang (KKP). Namun kenyataannya, sebagian besar petani dan penyuluh tidak
melakukan kajian tersebut baik di lahan Laboratorium Lapang (LL) maupun di non LL.
Dalam hal ini perlu dipahami bahwa secara inheren, sebetulnya petani sudah banyak
“asam garam” dalam berusahatani padi karena mereka melakukan hal tersebut sudah
dilakukan sekitar 20-30 tahun yang lalu. Berusahatani padi sebagai sumber mata
pencaharian utama yang dilakukan setiap musim padi secara terus menerus,
sehingga secara naluri mereka sudah mengetahui sistem budidaya padi yang
menguntungkan, teknologi mana yang harus dilakukan dan yang tidak dilakukan.
Penerapan 13
31
Dengan memperhatikan hal tersebut, diusulkan untuk mengurangi komponen
komponen teknologi dalam program SLPTT justru membingungkan petani, sementara
efektifitas dari setiap komponen belum terlihat nyata di lapangan, sehingga sebagian
petani memilih untuk kembali dengan pilihan teknologi seperti yang telah diterapkan
selama ini. Kondisi ini juga sebagai akibat tidak efektifnya kegiatan sekolah lapang di
LL dikarenakan: (a) Kegiatan LL dilakukan pada tahun yang sama dengan non LL, (b)
Penerapan komponen teknologi di LL tidak dilakukan secara optimal,umumnya hanya
dalam sistem pengaturan tanam (jajar legowo) dan penerapan varietas unggul baru
(VUB), (c) Lahan LL umumnya milik ketua gapoktan/kelompok tani sehingga
dimungkinkan lokasi lahan kurang strategis untuk dapat dilihat oleh banyak petani,
(d) Terbatasnya petani peserta dalam pertemuan LL (hanya sekitar 25 orang) dan (e)
Tidak adanya juklak di tingkat propinsi dan juknis di tingkat kabupaten sebagai
kelanjutan dari pedoman teknis yang disusun oleh Kementerian Pertanian.teknologi,
misal hanya 3-5 komponen saja yang betul-betul berpengaruh signfikan terhadap
produktivitas dan dapat diterapkan secara baik di lapangan. Hasil kajian yang
dilakukan oleh BPTP Jawa Barat menunjukkan komponen benih, jarak tanam legowo,
dan pemupukan merupakan tiga komponen utama yang berpengaruh besar terhadap
produktivitas padi.
5.2. Kualitas Penyuluhan, Pendampingan dan Koordinasi Penyuluhan
Jumlah tenaga penyuluh lapang (PPL) PNS semakin sedikit dikarenakan tidak
ada penambahan penyuluh PNS, disisi lain banyak PPL yang sudah pensiun dan
menduduki jabatan strukutral, sehingga penerapan satu desa satu penyuluh belum
dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Untuk menutupi kekurangan tersebut,
pemerintah menambah jumlah penyuluh yang dikenal dengan Tenaga Harian Lepas
(THL). Namun demikian THL ini belum dapat bekerja secara optimal dikarenakan: (a)
Tidak semua THL mempunyai latar belakang di bidang pertanian, (b) Terbatasnya
pelatihan pertanian untuk menambah wawasan mereka di bidang pertanian secara
komprehensif, (c) Pada umumnya umur THL lebih muda dibandingkan dengan umur
petani, sehingga para THL kurang percaya diri untuk melakukan kegiatan
32
penyuluhan, (d) Terbatasanya fasilitas THL dalam melaksanakan kunjungan lapang
(tidak ada kendaraan dan dana perjalanan). Honor THL dari pemerintah pusat untuk
10 bulan sedangkan kekurangannya (2 bulan) dibebankan kepada pemerintah
daerah. Kenyatannya tidak semua pemerintah daerah mengalokasikan hal tersebut.
Peran PPL sebelum dan sesudah otonomi daerah relatif sama yaitu mendampingi
petani agar mampu mengadopsi teknologi pertanian secara baik dan benar sehingga
produktivitas dan produksi pertanian meningkatkan sesuai yang diharapkan. Seperti
pada kasus program SL-PTT, secara konsep program ini sangat baik, namun sebagian
besar petani menerapkan komponen teknologi PTT secara parsial, tidak menyeluruh
dan terus menerus. Salah satu penyebab hal tersebut adalah jumlah dan kualitas PPL
terbatas, padahal peran mereka adalah sangat penting, sebagai ujung tombak dalam
penerapan komponen teknologi SL-PTT.
Beberapa faktor terkait dengan PPL sebagai berikut: Pertama, sejak adanya
otonomi daerah, kelembagaan penyuluhan yang mewadahi PPL diserahkan kepada
masing-masing daerah, sehingga keberadaan lembaga penyuluhan bervariasi antar
daerah di Propinsi Jawa Barat. Eselonisasi lembaga penyuluh pertanian berbeda antar
daerah yang berdampak pada perbedaan besaran alokasi dana untuk fasilitasi
lembaga tersebut. Dibeberapa daerah yang kepala daerahnya tidak memiliki
pemahaman yang baik tentang peran penyuluhan, kelembagaan penyuluhan yang
sudah ada terancam dibubarkan dan digabung dengan Dinas Petanian atau Badan
Ketahanan Pangan. Secara khusus terkait program SLPTT, alokasi dana program SL-
PTT berada di Dinas Pertanian, sedangkan pengawalan dan pendampingan teknologi
dilakukan oleh PPL yang berada pada koordinasi lembaga penyuluhan kabupaten. Hal
ini berdampak pada kurang optimalnya implementasi program SL-PTT di lapangan
baik dalam hal alokasi dana dan koordinasi antar lembaga (diistilahkan jika yang
melaksanakan anak sendiri akan lebih bagus dibandingkan meminta bantuan anak
orang lain); Kedua, fasilitas dan insentif untuk PPL terbatas, tidak seperti pada waktu
lembaga penyuluh sebagai UPT pusat, yang berdampak pada kinerja PPL dalam
melaksanakan tugasnya; Ketiga, sistem pendidikan dan pelatihan untuk
meningkatkan kapasitas PPL terbatas yang dahulu terdapat jenjang karir dan jenjang
33
tugas dalam penyuluhan seperti ada Petugas Penyuluh Spesialis (PPS) dan PPL,
namun saat ini tidak ada hal tersebut termasuk untuk THL. Jika ada pelatihan untk
PPL dan THL terfokus pada mekanisme pelaksanaan program termasuk
administrasinya. Kalaupun mereka mampu mengakses teknologi melalui media on
line terutama para THL, namun karena tidak ada arena mempraktekkan teknologi
yang diperoleh dan kurang percaya diri maka para THL tidak mampu melaksanakan
tugas secara optimal, tidak mampu mempengaruhi petani untuk mengadopsi
teknologi yang dianjurkan. Apalagi bekerja sebagai THL seolah-olah hanya pekerjaan
transit sebelum mereka mendapat pekerjaan tetap, maka jiwa patriotik dan korsa
melaksanakan tugas juga tidak tumbuh secara optimum. Disisi lain, PPL PNS yang
ada sudah berumur tua, berdampak pada keengganan untuk melakukan kunjungan
ke petani.
Berdasarkan beberapa hal tersebut, hasil diskusi menyarankan: (1) Kelembagaan
penyuluh dikembalikan dikoordinir oleh lembaga tingkat pusat (sebagai UPT Pusat).
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga penyuluh, disarankan melakukan recruitment
terhadap penyuluh baru yang berstatus PNS; (2) Peningkatan fasilitas perlengkapan
PPL sesuai dengan kebutuhan yang bersifat spesifik lokasi, (3) Pelatihan melalui
paket kurikulum menurut jenjang karir penyuluh perlu dihidupkan kembali; dan (4)
Terkait pembinaan mental, disarankan penyuluh senior mengajak penyuluh yunior
saat melakukan penyuluhan sehingga terjadi transfer ilmu, wawasan, dan teknis
pelaksanaan penyuluhan langsung di lapangan.
5.3. Efektivitas Penyediaan Bantuan Benih
Selama program SL-PTT petani mendapat bantuan benih melalui mekanisme
Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) melalui pihak ketiga. Selama ini benih yang
diterima petani tidak sesuai dengan ketentuan (enam tepat). Benih yang diterima
petani tidak sesuai dengan yang diusulkan petani dalam hal varietas, kualitas, jumlah
dan waktu. Berdasarkan hasil diskusi dengan para kepala dinas pertanian kabupaten
se-Jawa Barat disarankan agar petani diberi hak untuk menjalankan usaha
penangkaran benih. Dengan konsep kawasan berupa GP-PTT pada tahun 2015, maka
34
sebagian dari luasan LL dapat menjadi tempat penangkaran benih untuk memenuhi
kebutuhan benih pada SL. Berdasarkan diskusi dengan petani dan petugas penyuluh
di Kabupaten Cianjur, diketahui bahwa petani sudah terbiasa melakukan penangkaran
benih bahkan mempunyai usaha di bidang benih. Namun sejak adanya program SL-
PTT, petani tidak melakukan penangkaran benih dan menutup usaha
penangkarannya karena tidak ada jaminan pasar dari hasil produksi benih tersebut.
Dengan potensi petani yang sudah terbiasa melakukan penangkaran benih, dan
pemerintah membantu dalam hal sertifikasi benih, maka petani siap memenuhi
kebutuhan benih untuk program SL-PTT atau GP-PTT. Petani mengusulkan dilakukan
identifikasi kebutuhan benih di setiap wilayah dan potensi produksi benih dari
penangkar, dan sisa kebutuhan benih dapat dipenuhi dari pihak ketiga.
5.4. Pola Pengusahaan Lahan dan Usia Petani
Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya adopsi teknologi oleh para
petani. Beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian berdasarkan diskusi dengan
para kepala Dinas Pertanian dan Kepala Bakorluh kabupaten se-Jawa Barat adalah
petani bukanlah pekerja yang menjalankan usaha pertanian di lahan sawah. Sebagian
besar petani bukan petani pemilik penggarap tetapi petani penggarap yang
menggarap lahan untuk tanaman padi yang tergabung dalam wadah kelompok tani.
Hal ini berdampak pada lemahnya mereka dalam mengadopsi komponen teknologi
SL-PTT. Apalagi apabila teknologi tersebut berdampak pada peningkatan dana yang
dikeluarkan oleh petani penggarap, mereka tidak akan mengadopsi teknologi
tersebut.
Usia petani yang semakin menua (aging farmer) juga menjadi permasalahan
yang harus diselesaikan. Disisi lain ketertarikan para pemuda untuk masuk ke dalam
sektor pertanian juga sangat terbatas. Dikhawatirkan ke depan akan melemahkan
sektor pertanian yang berakibat melemahnya ketahanan pangan. Oleh karena itu,
pembinaan generasi muda desa untuk meneruskan usaha pertanian menjadi sangat
penting dan mendesak untuk dilakukan. Kasus di Kabupaten Cianjur, mengidentifkasi
petani muda kemudian dilibatkan dalam pelatihan-pelatihan pertanian di dalam dan
35
luar negeri agar mereka menjadi entepreneur pertanian. Walaupun masih dalam
jumlah terbatas, diharapkan kegiatan ini akan mampu menarik pemuda untuk bekerja
di bidang pertanian. Ke depan pembinaan petani muda harus mendapat perhatian
dan dukungan yang baik dari dinas kabupaten/provinsi, bahkan Kementerian
Pertanian. Program-program seperti studi banding, beasiswa pertanian, dan
pemberian dana bergulir menjadi program yang diharapkan oleh para petani muda
Cianjur.
5.5. Kinerja Adopsi Komponen Teknologi SL-PTT
Selain masalah umur petani dan status petani sebagai pemilik penggarap,
faktor penyebab adopsi teknologi yang relatif rendah adalah kurangnya tenaga kerja
di sawah. Kasus di Kabupaten Cianjur dengan bekembangnya industri dan mudahnya
mendapatkan sepeda motor, maka petani terutama petani muda beralih pekerjaan ke
buruh industri dan tukang ojek. Tanam padi di wilayah ini adalah dengan sistem
borongan yang dilakukan oleh buruh wanita. Mereka bekerja sebagai buruh “tandur”
sudah sejak lama, sehingga pola kebiasaan ini sulit untuk diubah. Kasus pada
perubahan pengaturan tanam dari sistem tegel ke sistem jajar legowo (2:1, 4:1 dan
seterusnya) yang merupakan komponen dasar program SL-PTT sulit dilakukan oleh
petani. Walaupun petani sudah mendapatkan informasi mengenai kelebihan
menanam padi dengan sistem tersebut, tetapi petani tidak dapat menerapkan hal
tersebut karena buruh tandur tidak mau melakukannya. Oleh karena itu, disarankan
penyuluhan program SL-PTT tidak hanya pada petani akan tetapi juga kepada buruh
tanam termasuk buruh panen.
Selain itu, banyaknya program yang dilaksanakan oleh pemerintah dan
seringnya berubahnya implementasi program juga ditengarai menjadi penyebab
rendahnya adopsi teknologi. Sekretaris BP4K Kabupaten Cianjur menyatakan bahwa
banyaknya program dan perubahan program dari waktu ke waktu mengharuskan
para penyuluh untuk menguasai banyak materi dan mengikuti perubahan paket
program tersebut. Dengan waktu yang relatif hanya setahun untuk mempelajari
36
banyaknya paket program pemerintah, mengakibatkan penguasaan penyuluh
terhadap materi program menjadi lemah.
Beberapa hal lain hasil diskusi terkait program peningkatan produksi padi
dapat diungkap sebagai berikut:
1. Perhitungan produksi oleh BPS. Lembaga yang berwenang untuk menentukan
melakukan perhitungan produksi adalah BPS, namun permasalahan dilapang
adalah teknik perhitungan BPS sering kali berbeda (lebih rendah) dengan
perhitungan yang dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten. Perbedaan tersebut
disebabkan karena perbedaan dalam teknik pengukuran pengubinan. Konsep
ubinan yang dilaksanakan oleh BPS relatif tetap dari dahulu padahal dengan pola
pengaturan jarak tanam seharusnya konsep ubinan menyesuaikan. Oleh karena
itu, sosialisasi program SL-PTT juga dilakukan ke instansi BPS tingkap pusat dan
daerah dan ada koordinasi yang baik antara BPS dengan Dinas Pertanian
Kabupaten.
2. GP-PTT direncanakan mulai diterapkan tahun 2015. Pelaksana teknis di lapangan
menyarakankan agar basis kawasan pada GP-PTT tidak berupa hamparan seluas
1.000 ha karena akan menyulitkan dalam koordinasnya. Tidak semua wilayah
mempunyai hamparan lahan pertanian seluas tersebut, sehingga untuk 1.000 ha
dimungkinkan mencakup lebih dari satu kecamatan. Pertanyaanya adalah jika
demikian, siapa yang akan menjadi ketua posko dan dimana letak posko dan hal
lainnya. Sebagai contoh, dengan topografi kabupaten kuningan yang beragam,
maka hamparan sawah paling luas diperkirakan hanya 700-800 ha. Berkaitan
dengan hal tersebut, disarankan sebaiknya basis kawasan padi adalah wilayah
administrasi apakah satu kecamatan atau atu desa. Hal ini untuk memudahkan
menentukan lokasi dan melakukan koordinasi dalam implementasinya.
37
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
1. Laju pertumbuhan luas panen padi nasional selama 2009-2014 berfluktuatif
dengan trend kenaikan sebesar 1,1% per tahun. Sementara itu, dalam kurun
waktu tersebut rencana luas areal SL-PTT terus ditingkatkan laju yang sangat
tinggi, yaitu 18,3% per tahun. Dari dua fakta ini dapat diketahui bahwa
Perencaan luas areal SL-PTT tidak didasarkan hasil evaluasi pelaksanaan SL-PTT
(dicerminkan dari apakah peningkatan tambahan produktivitas antara 0,5-0,75
ton/ha di area SL-PTT tercapai), namun lebih didasarkan pada ketersediaan
anggaran sehingga rencana luas areal SL-PTT mencapai 34% dari total luas
panen padi nasional, tetapi tidak signifikan meningkatkan produktivitas dan
produksi padi dengan pertumbuhan yang tinggi.
2. Pulau Jawa dan Sumatera merupakan wilayah terluas dalam perencanaan areal
program SL-PTT masing-masing sebesar 33,1% dan 28,4% per tahun.
Perencanaan ini tidak sesuai dengan konsep MP3EI dimana Pulau Jawa dan
Sumatera dirancang menjadi pusat pertumbuhan industri pengolahan, jasa, dan
pertambangan.
3. Dari sisi konsepsi, program PTT/SL-PTT sangat bagus dan merupakan
pendekatan yang strategis untuk meningkatkan produktivitas dan produksi padi
nasional. Namun fakta menunjukkan bahwa kinerja implementasi program ini
sejak tahun 2008 sampai sekarang belum optimal seperti yang diharapkan.
4. Berbagai aspek diduga turut berkontribusi terhadap belum optimalnya kinerja
implementasi program ini, diantaranya: (1) Dari aspek perencanaan seperti
penentuan CPCL, penentuan kebutuhan teknologi PTT, dan kebutuhan sarana
produksi tidak sepenuhnya mengikuti Pedoman Pelaksanaan PTT; (ii) Tidak
berfungsinya LL sebagai tempat uji coba dan adaptasi berbagai komponen
teknologi PTT, serta tempat petani melihat dan membuktikan secara langsung
praktek-praktek dan keunggulan teknologi; (iii) Terbatasnya jumlah peneliti dan
penyuluh untuk mengawal dan mendampingi petani dalam mempraktekkan
38
komponen teknologi PTT di lahannya sendiri; dan (iv) Program yang masih
cenderung didominasi pemerintah pusat (sentralistik) mempunyai dampak
negatif terhadap alokasi anggaran dan ketersediaan bantuan benih.
5. Selain itu, kelemahan dalam implementasi SL-PTT adalah tidak adanya
perbedaan waktu antara peragaan komponen teknologi PTT di lahan LL dengan
waktu mempraktekannya di lahan petani sendiri (SL). Praktek seperti ini
mengakibatkan tidak ada waktu bagi petani untuk terlebih dahulu membuktikan
bahwa teknologi yang akan diterapkan pada lahannya sendiri (SL) lebih unggul
dibandingkan dengan teknologi yang sudah biasa dilakukan.
6. Kasus di Provinsi Jawa Barat, pemerintah daerah sangat mendukung
pelaksanaan program SL-PTT yang ditunjukkan dengan alokasi dana dari APBD
tingkat I yang relatif besar dan kontribusi produksi padi di Provinsi Jawa Barat
terhadap nasional menduduki peringkat pertama.vNamun demikian,
implementasi program SL-PTT di wilayah ini masih ditemukan beberapa
permasalahan, diantaranya adalah: (a) Banyaknya komponen teknologi dan
kurang efektifnya pelaksanaan LL, (b) Jumlah dan kualitas PPL terbatas serta
kurang harmonisnya koordinasi antara Dinas Pertanian dengan Bakorluh, (c)
Kinerja penyediaan benih tidak optimal (benih yang didistribusikan sering kali
kurang tepat dalam hal: waktu, jumlah, varietas, maupun kualitasnya, (d)
Status petani sebagai petani penggarap dan umur petani yang relatif tua, dan
(e) Adopsi komponen teknologi SL-PTT rendah
7. Dalam upaya memperbaiki kinerja SL-PTT guna mendukung tercapainya
swasembada beras berkelanjutan ke depan, ada beberapa hal yang perlu
segera untuk diperbaiki: (i) perlu sosialisasi pedoman pelaksanaan/teknis SL-
PTT sesegera mungkin sebelum musim tanam tiba untuk mengurangi bias
antara perencanaan dan pelaksanaan, (ii) memfungsikan LL secara baik, (iii)
mendorong mobilisasi penyuluh swadaya, swasta, dan dari Perguruan Tinggi
untuk mengawal dan mendampingi petani dalam menerapkan komponen
teknologi PTT spesifik lokasi; (iv) menumbuhkan penangkar-penangkar lokal
39
dalam kawasan SL-PTT dalam penyediaan benih sesuai dengan keinginan
petani, dan ini sejalan dengan program desa mandiri benih, (v) membangun
komunikasi, koordinasi, dan sinergi yang lebih baik lagi antara pemerintah
pusat, daerah, dan pelaksana di lapangan, serta (vi) sejalan dengan
peningkatan produksi, maka aspek pengolahan, pemasaran, kelembagaan
kelompok tani juga perlu dibangun dan diperbaiki agar petani dapat
memperoleh manfaat yang lebih banyak dengan hadirnya program SL-PTT ini.
8. Kelebihan dan kelemahan dalam implementasi porgram SL-PTT sejak tahun
2008 dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang berharga dalam upaya
mensukseskan rencana Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-
PTT) pada tahun 2015. Kawasan GP-PTT sebaiknya tidak ditetapkan
berdasarkan luasan areal, namun pada wilayah administrasi (kecamatan atau
desa), sehingga akan lebih jelas dan memudahkan dalam koordinasi dan
tanggung jawab operasionalnya. Perlu difahami, peran Kepala Desa/ Lurah atau
Camat dalam melakukan koordinasi antar lembaga dan pembinaan terhadap
masyarakat masih cukup signifikan.
40
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi Sawah
Irigasi. Balitbangtan. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia 2013. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2009. Pedoman Pelaksanaan Sekolah
Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung dan Kedelai Tahun 2009. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan
Kacang Tanah Tahun 2010. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2011. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, dan Kedelai
Tahun 2011. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2012. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Tahun 2012. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013.
Ditjen Tanaman Pangan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Kementerian Pertanian.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2014. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2014.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2014. Evaluasi Kinerja Capaian Produksi Tahun
2014 dan Sasaran Serealia Tahun 2015 di Jawa Barat. Bahan Tayangan Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di Bandung.
Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Purwakarta. 2014. Kendala
Dan Peluang Penerapan Komponen Teknologi PTT Padi dalam Program SL-PTTMendukung P2BN Di Kabupaten Purwakarta. Bahan Tayangan
Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di Bandung.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta
Kepala Dinas Pertanian, Peternakan Dan Perikanan. 2014. Komponen Teknologi PTT Dalam Program SL-PTT Mendukung P2BN di Kabupaten Kuningan. Bahan
41
Tayangan Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di
Bandung.
Nurhayati. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Komunikasi di dalam
Sekolah Lapang Padi. Tesis. IPB. Bogor.
Pusat Penyuluhan Pertanian. 2012. Pedoman Pelaksanaan Pengawalan dan
Pendampingan Penyuluhan Pertanian dalam Mendukung P2BN Di Lokasi SL-PTT dan Demfarm SL Agribisnis Padi. Badan Penyuluhan Dan Pengembangan SDM Pertanian. Kementerian Pertanian.
Rusastra, I.W., W. Sudana, Sumarno, Z. Zaini, K. Kariyasa, dan Baehaki. 2011. Evaluasi Kebijakan dan Politik Anggaran SL-PTT Tanaman Pangan.
Puslitbangtan. Bogor.
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian
Supriadi, Herman. I Wayan Rusastra. Ashari. 2012. Analisis Kebijakan dan Program SL-PTT Menunjang Peningkatan Produksi Padi Nasional. Laporan Teknis. Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Sekretariat Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan Provinsi Jawa
Barat. 2014. Kebijakan Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan di Provinsi, Jawa Barat Tahun 2014 (Evaluasi Penyelenggaraan Program
Pengembangan SDM Pertanian dan Kelembagaan Petani APBN Tahun 2014). Bahan Tayangan Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di Bandung.