Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Walaupun berat otak hanya 2% dari total berat seluruh tubuh, fungsi otak sangat besar peranannya dan bila otak terdapat suatu kelainan sedikit saja dapat mempengaruhi system tubuh yang lain karena otak yang mengatur semua system tubuh. Stroke serebral adalah urutan ke 3 penyebab kematian setelah infark miokard dan tumor, sering disebabkan oleh thrombosis arteri pada 75% kasus, emboli pada 10% kasus, perdarahan otak yang massive 15% kasus. Stroke serebral menyebabkan kekurangan suplai oksigen sehingga otak dapat mengalami iskemik dan mengganggu fungsi otak, dari gejala klinis stroke serebral salah satunya adalah deficit neurologic. Stroke serebral akibat tomboemboli pada pemeriksaan CT scan akan tampak gambaran hipodens. Gambaran hipodens pada CT scan yang lain adalah akibagt efusi subdurall dimana terdapat kumpulan cairan di ruang subdurall. Efusi subdurall dapat terjadi sebagai akibat dari meningitis Haemophilus influenza, atau akibat dari trauma kepala yang berlangsung lebih dari 3 minggu. Trauma kepala ringan terutama pada orang tua dapat menyebabkan perdarahan subdurall akut yang minimal, dan sering gejalanya berupa sakit kepala yang tidak begitu berat. Perdarahan subdurall akut biasanya akan sembuh karena perdarahannya akan diserap kembali 1
46

Lapkas Radiologi

Sep 28, 2015

Download

Documents

subdural effusion, ct scan kepala, radiologi, trauma
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangWalaupun berat otak hanya 2% dari total berat seluruh tubuh, fungsi otak sangat besar peranannya dan bila otak terdapat suatu kelainan sedikit saja dapat mempengaruhi system tubuh yang lain karena otak yang mengatur semua system tubuh.Stroke serebral adalah urutan ke 3 penyebab kematian setelah infark miokard dan tumor, sering disebabkan oleh thrombosis arteri pada 75% kasus, emboli pada 10% kasus, perdarahan otak yang massive 15% kasus. Stroke serebral menyebabkan kekurangan suplai oksigen sehingga otak dapat mengalami iskemik dan mengganggu fungsi otak, dari gejala klinis stroke serebral salah satunya adalah deficit neurologic. Stroke serebral akibat tomboemboli pada pemeriksaan CT scan akan tampak gambaran hipodens.Gambaran hipodens pada CT scan yang lain adalah akibagt efusi subdurall dimana terdapat kumpulan cairan di ruang subdurall. Efusi subdurall dapat terjadi sebagai akibat dari meningitis Haemophilus influenza, atau akibat dari trauma kepala yang berlangsung lebih dari 3 minggu. Trauma kepala ringan terutama pada orang tua dapat menyebabkan perdarahan subdurall akut yang minimal, dan sering gejalanya berupa sakit kepala yang tidak begitu berat. Perdarahan subdurall akut biasanya akan sembuh karena perdarahannya akan diserap kembali bila perdarahannya minimal. Namun pada sebagian khasus, perdarahan subdurall akut dapat berkembang menjadi kronik, dimana proses penyembuhan tidak berlangsung baik, dan bisa disertai dari kebocoran CSS di ruang subarachnoid. Perdarahan cronik pada subdurall tersebut disebut efusi subdurall. Perdarahan subdurall kronik/ efusi subdurall terjadi pada 14,2 per 100.000 orang di Inggris dan Irlandia, diagnosisnya sering terlambat.Insiden osteoma 0,1-1 % dari seluruh tumor jinak tulang tengkorak.1 Osteoma lebih sering terjadi pada wanita dengan insiden terbanyak pada decade kedua dan ketiga serta jarang sebelum usia pubertas.

1.2. Tujuan1. Mengetahui dan memahami faktor-faktor resiko serta etiologi yang diduga dapat menyebabkan efusi subdural dan osteoma.2. Mengetahui dan memahami mekanisme dan patofisiologi terjadinya efusi subdural dan osteoma, sehingga pendekatan diagnostik yang tepat dapat dicapai.3. Mengetahui dan memahami anatomi cerebri dan diagnosis banding dari efusi subdural .4. Mengetahui pemeriksaan penunjang mana yang diperlukan untuk menunjang diagnostik pada efusi subdural terutama secara radiologi.5. Mengetahui penatalaksanaan dari efusi subdural dan osteoma.

1.3. ManfaatDengan penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media belajar bagi mahasiswa klinik sehingga dapat mendiagnosis terutama secara radiologis dan mengelola pasien dengan permasalahan seperti pada pasien ini secara komprehensif.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI CRANIUM

2.1.2. LAPISAN PEMBUNGKUS OTAK

Meningen merupakan selaput atau membrane yang terdiri dari connective tissue yang melapisi dan melindungi otak, terdiri dari tiga bagian yaitu : 1. Duramater Duramater atau pacymeninx dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara konvensional duramater ini terdiri dari dua lapis , yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, kecuali sepanjang tempat- tempat tertentu, terpisah dan membentuk sinus-sinus venosus.

Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan lapisan duramater yang sebenarnya, sering disebut dengan cranial duramater. Terdiri dari jaringan fibrous yang padat dan kuat yang membungkus otak dan melanjutkan diri menjadi menjadi duramater spinalis setelah melewati foramen magnum yang berakhir sampai segmen kedua dari os sacrum. Lapisan meningeal membentuk empat septum ke dalam , membagi rongga cranium menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas dan menampung bagian-bagian otak. Fungsi septum ini adalah untuk menahan pergeseran otak.

Falx cerebri adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang terletak pada garis tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung bagian anterior melekat pada crista galli. Bagian posterior melebar, menyatu dengan permukaan atas tentorium cerebelli . Tentorium cerebelli adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang menutupi fossa cranii posterior. Septum ini menutupi permukaan atas cerebellum dan menopang lobus occipitalis cerebri. Falx cerebelli adalah lipatan duramater kecil yang melekat pada protuberantiaoccipitalis interna .

Diaphragma sellae adalah lipatan sirkuler kecil dari duramater , yang menutupi sella turcica dan fossa pituitary pada os sphenoidais. Diapragma ini memisahkan pituitary gland dari hypothalamus dan chiasma opticum. Pada bagian tengah terdapat lubang yang dilalui oleh tangkai hypophyse.

Pada pemisahan dua lapisan duramater ini , diantaranya terdapat sinus duramatris yang berisi darah vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima darah dari drainase vena pada otak dan mengalir menuju vena jugularis interna. Dinding dari sinus- sinus ini dibatasi oleh endothelium. Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior. Sinus sagitalis inferior , sinus transverses dan sinus sigmoidea. Sinus pada basis cranii antara lain : sinus occipitalis, sinus sphenoparietal, sinus cavernosus, sinus petrosus.

Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah yang berasal dari arteri carotis interna, a.maxillaris , a. pharyngeus ascendens , a, occipitalis dan a. vertebralis. Dari sudut klinis , yang terpenting adalah a.meningea media ( cabang dari a.maxillaris ) karena arteri ini umumnya sering pecah pada keadaan trauma capitis. Pada duramater terdapat banyak ujung- ujung saraf sensorik, dan peka terhadap regangan sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung-saraf ini dapat menimbulkan sakit kepala yang hebat. Ruang subdural yaitu ruang antara duramater dan archnoid berisi kapiler dan brigding vein yang rapuh dan mudah robek, di ruang subdurall ini juga berisi cabang ke 3 n.V (n.Trigeminus) yaitu cabang mandibularis, dan juga cabang dari n vagus. 2. Arachnoid. Lapisan ini merupakan suatu membrane yang impermeable halus, yang menutupi otak dan terletak diantara piamater dan duramater. Membran ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial yaitu spatium subduralle, dan dari piamater oleh cavum subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid. Cavum subarachnoid ( subarachnoid space ) merupakan suatu rongga/ ruangan yang dibatasi oleh arachnoid di bagian luar dan piamater pada bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh mesothelial cell yang pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol kedalam sinus venosus membentuk villi arachnoidales. Agregasi villi arachnoid disebut sebagai granulations arachnoidales. Villi arachnoidales ini berfungsi sebagai tempat perembesan cerebrospinal fluid kedalam aliran darah.

Arachnoid berhubungan dengan piamater melalui untaian jaringan fibrosa halus yang melintasi cairan dalam cavum subarachnoid. Struktur yang berjalan dari dan keotak menuju cranium atau foraminanya harus melalui cavum subarachnoid. 3. Piamater Lapisan piamater berhubungan erat dengan otak dan sumsum tulang belakang, mengikuti tiap sulcus dan gyrus . Piamater ini merupakan lapisan dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan penyambung yang halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi nutrisi pada jaringan saraf. Selaput ini berfungsi untuk mencegah masuknya bahan-bahan yang merugikan kedalam susunan saraf pusat. Piamater membentuk tela choroidea, atap ventriculus tertius dan quartus, dan menyatu dengan ependyma membentuk plexus choroideus dalam ventriculus lateralis, tertius dan quartus

2.2. CAIRAN CEREBRO SPINAL ( CSS )

CSS merupakan suatu cairan bening dan hampir bebas protein. Cairan yang mirip air ini dapat ditemukan pada rongga subarachnoid dan dalam susunan ventrikel. Cairan Serebro Spinal (CSS) ditemukan di ventrikel otak dan sisterna dan ruang subarachnoid yang mengelilingi otak dan medula spinalis. Seluruh ruangan berhubungan satu sama lain, dan tekanan cairan diatur pada suatu tingkat yang konstan.

Gambar 1. Anatomi ventrikel otak dan ruang subarachnoidFungsi Bantalan Cairan SerebrospinalFungsi utamanya adalah untuk melindungi sistem saraf pusat (SSP) terhadap trauma. Otak dan cairan serebrospinal memiliki gaya berat spesifik yang kurang lebih sama (hanya berbeda sekitar 4%), sehingga otak terapung dalam cairan ini. Oleh karena itu, benturan pada kepala akan menggerakkan seluruh otak dan tengkorak secara serentak, menyebabkan tidak satu bagian pun dari otak yang berubah bentuk akibat adanya benturan tadi. Pembentukan, Aliran dan Absorpsi Cairan Serebrospinal Sebagian besar CSS (dua pertiga atau lebih) diproduksi di pleksus choroideus ventrikel serebri (utamanya ventrikel lateralis). Sejumlah kecil dibentuk oleh sel ependim yang membatasi ventrikel dan membran arakhnoid dan sejumlah kecil terbentuk dari cairan yang bocor ke ruangan perivaskuler disekitar pembuluh darah otak (kebocoran sawar darah otak).Pada orang dewasa, produksi total CSS yang normal adalah sekitar 21 mL/jam (500 mL/ hari), volume CSS total hanya sekitar 150 mL. CSS mengalir dari ventrikel lateralis melalui foramen intraventrikular (foramen Monroe) ke venrikel ketiga, lalu melewati cerebral aquaductus (aquaductus sylvii) ke venrikel keempat, dan melalui apertura medialis (foramen Magendi) dan apertura lateral (foramen Luschka) menuju ke sisterna cerebelomedular (sisterna magna). Dari sisterna cerebelomedular, CSS memasuki ruang subarakhnoid, bersirkulasi disekitar otak dan medula spinalis sebelum diabsorpsi pada granulasi arachnoid yang terdapat pada hemisfer serebral.Sekresi Pleksus KoroideusPleksus koroideus adalah pertumbuhan pembuluh darah seperti kembang kol yang dilapisi oleh selapis tipis sel. Pleksus ini menjorok ke dalam kornu temporal dari setiap ventrikel lateral, bagian posteror ventrikel ketiga dan atap ventrikel keempat.Sekresi cairan oleh pleksus koroideus terutama bergantung pada transpor aktif dari ion natrium melewati sel epitel yang membatasi bagian luar pleksus. Ion- ion natrium pada waktu kembali akan menarik sejumlah besar ion-ion klorida, karena ion natrium yang bermuatan positif akan menarik ion klorida yang bermuatan negatif. Keduanya bersama sama meningkatkan kuantitas osmotis substansi aktif dalam cairan serebrospinal, yang kemudian segera menyebabkan osmosis air melalui membran, jadi menyertai sekresi cairan tersebut. Transpor yang kurang begitu penting memindahkan sejumlah kecil glukosa ke dalam cairan serebrospinal dan ion kalium dan bikarbonat keluar dari cairan serebrospinal ke dalam kapiler. Oleh karena itu, sifat khas dari cairan serebrospinal adalah sebagai berikut: tekanan osmotik kira-kira sama dengan plasma; konsentrasi ion natrium kira-kira sama dengan plasma; klorida kurang lebih 15% lebih besar dari plasma; kalium kira-kira 40% lebih kecil; dan glukosa kira-kira 30% lebih sedikit. Inhibitor carbonic anhidrase (acetazolamide), kortikosteroid, spironolactone, furosemide, isoflurane dan agen vasokonstriksi untuk mengurangi produksi CSS.

Absorpsi Cairan Serebrospinal Melalui Vili ArakhnoidalisAbsorpsi CSS melibatkan translokasi cairan dari granulasi arachnoid ke dalam sinus venosus otak. Vili arakhnoidalis, secara mikroskopis adalah penonjolan seperti jari dari membran arakhnoid ke dalam dinding sinus venosus. Kumpulan besar vili-vili ini biasanya ditemukan bersama-sama, dan membentuk suatu struktur makroskopis yang disebut granulasi arakhnoid yang terlihat menonjol ke dalam sinus. Dengan menggunakan mikroskop elektron, terlihat bahwa vili ditutupi oleh sel endotel yang memiliki lubang-lubang vesikular besar yang langsung menembus badan sel. Telah dikemukakan bahwa lubang ini cukup besar untuk menyebabkan aliran yang relatif bebas dari cairan serebrospinal, molekul protein, dan bahkan partikelpartikel sebesar eritrosit dan leukosit ke dalam darah vena. Sebagian kecil diabsorpsi di nerve root sleeves dan limfatik meningen. Walaupun mekanismenya belum jelas diketahui, absorpsi CSS ini tampaknya berbanding lurus terhadap tekanan intra kranial (TIK) dan berbanding terbalik dengan tekanan vena serebral (Cerebral Venous Pressure = CVP). Karena otak dan medula spinalis sedikit disuplai oleh sistem limfatik, absorpsi melalui CSS merupakan mekanisme utama untuk mengembalikan protein perivaskuler dan interstitiil ke dalam aliran darah.Ruang Perivaskuler dan Cairan Serebrospinal Pembuluh darah yang mensuplai otak pertama-tama berjalan melalui sepanjang permukaan otak dan kemudian menembus ke dalam, membewa selapis pia mater, yaitu membran yang menutupi otak. Pia mater hanya melekat longgar pada pembuluh darah, sehingga terdapat sebuah ruangan, yaitu ruang perivaskuler, yang ada di antara pia mater dan setiap pembuluh darah. Oleh karena itu, ruang perivaskuler mengikuti arteri dan vena ke dalam otak sampai arteriol dan venula, tapi tidak sampa ke kapiler.Fungsi Limfatik Ruang PerivaskulerSama halnya dengan di tempat lain dalam tubuh, sejumlah kecil protein keluar dari parenkim kapiler ke dalam ruang interstitiil otak, karena tidak ada pembuluh limfe dalam jaringan otak, protein ini meninggalkan jaringan terutama dengan mengalir bersama cairan yang melalui ruang perivaskuler ke dalam ruang subarakhnoid. Untuk mencapai ruang subarakhnoid, protein akan mengalir bersama cairan serebrospinal untuk diabsorpsi melalui vili arakhnoidalis ke dlam vena-vena serebral. Ruang perivaskuler, sebenarnya, merupakan sistem limfatik yang khusus untuk otak.Selain menyalurkan cairan dan protein, ruang perivaskuler juga menyalurkan partikel asing dari otak ke dalam ruang subarakhnoid. Misalnya, ketika terjadi infeksi di otak, sel darah putih dan jaringan mati infeksius lainnya dibawa keluar melalui ruang perivaskuler.

Gambar 2. Diagram aliran cairan serebrospinalTekanan Cairan SerebrospinalTekanan normal dari sistem cairan serebrospinal ketika seseorang berbaring pada posisi horizontal, rata-rata 130 mm air (10 mmHg), meskipun dapat juga serendah 65 mm air atau setinggai 195 mm air pada orang normal.Pengaturan Tekanan Cairan Serebsrospinal oleh Vili ArakhnoidalisNormalnya, tekanan cairan serebrospinal hampir seluruhnya diatur oleh absorpsi cairan melalui vili arakhnoidalis. Alasannya adalah bahwa kecepatan normal pembentukan cairan serebrospinal bersifat konstan, sehingga dalam pengaturan tekanan jarang terjadi faktor perubahan dalam pembentukan cairan. Sebaliknya, vili berfungsi seperti katup yang memungkinkan cairan dan isinya mengalir ke dalam darah dalam sinus venosus dan tidak memungkinkan aliran sebaliknya. Secara normal, kerja katup vili tersebut memungkinkan cairan serebrospinal mulai mengalir ke dalam darah ketika tekanan sekitar 1,5 mmHg lebih besar dari tekanan darah dalam sinus venosus. Kemudian, jika tekanan cairan serebrospinal masih meningkat terus, katup akan terbuka lebar, sehingga dalam keadaan normal, tekanan tersebut tidak pernah meningkat lebih dari beberapa mmHg dibanding dengan tekanan dalam sinus.Sebaliknya, dalam keadaan sakit vili tersebut kadang-kadang menjadi tersumbat oleh partikel-partikel besar, oleh fibrosis, atau bahkan oleh molekul protein plasma yang berlebihan yang bocor ke dalam cairan serebrospinal pada penyakit otak. Penghambatan seperti ini dapat menyebabkan tekanan cairan serebrospinal menjadi sangat tinggi.

2.3. Efusi SubduralTransudat yang tertimbun dibawah dura dinamakan efusi subdural. Transudat ini merupakan komplikasi dari meningitis, terutama meningitis H.Influenza. keadaan tersebut harus dicurigai apabila demam dan kaku kuduk sudah mereda tetapi penderita tetap memperlihatkan kesadaran dan keadaan umum yang belum membaik. Karena lokalisasinya, korteks serebri dapat terangsang oleh efusi itu dan menimbulkan epilepsy fokal. Disamping itu tentunya gejala-gejala tekanan intracranial yang mininggi dapat ditemukan juga. Efusi subdural yang terinfeksi bakteri dinamakan epyema subdurall. Efusi subdural juga dapat disebabkan oleh karena efek sekunder dari trauma dimana terjadi perdarahan akut subdural minimal yang berkembang menjadi perdarahan kronik subdural yang lebih banya berisi cairan dibandingkan dengan komposisi darah sehingga perdarahan kronik subdural disebut juga dengan efusi subdural.Perbedaan perdarahan akut dan kronik pada subduralPerdarahan akut subduralPerdarahan kronik subdurall

Terjadi 2-3 hari setelah trauma Gambaran hiperdens bulan sabit di ruang subdural pada pemeriksaan CT scan Etiologi tidak jelas, kemungkinan disebabkan oleh trauma minor Perdarahan internal di duramater dengan kadar hematokrit yang rendah, dapat disertai CSS leakage dari ruang arachnoid Gambaran hipodens bulan sabit di ruang subdural pada pemeriksaan CT scan

Gejala klinis perdarahan kronik subdural1. Gejala tidak spesifik sehingga sering tidak terdeteksi dalam waktu lama2. Dapat timbul nyeri kepala yang ringan, lama kelamaan nyeri kepala berlangsung progresif.3. Dapat disertai penurunan kesadaran yang berkembang selama beberapa minggu sampai bulan setelah trauma.4. Defisit neurologic minimal.Tipe peradahan kronik subdural1. Hipodens kronik subdurall hematoma / Tipe 1a. Terjadi pada 33% kasusb. Komponen padat perdarahan diserap sempurnac. Gambaran hipodens bulan sabit pada CT scan kepalad. Kadang kapsul hematoma dapat terlihat2. Inhomogen density / Tipe 2a. Terjadi pada 33% kasusb. Merupakan hasil perdarahan baru yang berulang menjadi kronikc. Gambaran hipodens, isodens, dan hiperdens3. Isodens density / Tipe 3a. Terjadi pada 25% kasusb. Densitasnya sama dengan jaringan otakc. Tanda tak langsung dari lesi adalah displacement struktur serebelar, compresi dari batas cairan4. Slightly hiperdens / Tipe 4a. Terjadi pada 7-10% kasusb. Waktu dari trauma awal sampai terjadinya derajat 4 sekitar 12 hari- 5 minggu dari traumac. Gambaran hiperdens bulan sabit pada CT scan kepala

2.4. Hematoma subdural / perdarahan subduralEtiologiKeadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada: Trauma kapitis Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati. Trauma kepala, malformasi arteriovenosa, diskrasia darah, dan terapi antikoagulan juga sering menyebabkan perdarahan ini.Klasifikasi1. Perdarahan akutGejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.2. Perdarahan sub akut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma.Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah.Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.Pada gambaran skrining tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.3. Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini.Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater.Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma.Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodensPatofisiologiPerdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea.Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karenatekanan intracranial yang berangsur meningkat.Gambar 2.Lapisan pelindung otakPerdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul.Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan.Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak.Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena.Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral.Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin.Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supratentorial.Padahematoma subdural kronik, juga didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.

Gejala klinis1.Hematoma Subdural AkutHematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak.Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.2.Hematoma Subdural SubakutHematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan.Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.3.Hematoma Subdural KronikTimbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural.Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: sakit kepala yang menetap rasa mengantuk yang hilang-timbul linglung perubahan ingatan kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. TerapiPada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan konservatif.Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma.Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs).Pada penelitian terbaru dari kasus yang ditemukan, penggunaan agen hyperosmolar juga mulai direkomendasikan untuk mencegah vatal elevations dan meningkatnya tekanan intracranial khususnya pada penderita hipertensi.Agen hyperosmolar ini adalah mannitol sesuai guideline penatalaksaanaan dari Brain Trauma Foundation.Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr-hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr-hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal.Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi.Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi: Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata Adanya tanda herniasi/ lateralisasi Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.a) Perawatan PascabedahMonitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7.Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan.b) Follow-upCT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.c) Rehabilitasi Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi saluran kencing. Goal jangka pendek :1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan posture untuk mobilitas dan keamanan.2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi musculoskeletal, defisit neurologi.3) Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi seperti kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM (pergerakan sendi) dan mobilisasi dini. Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang melibatkan lingkungan dirumah.4) Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management dan program sensory stimulation. Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis :dokter ,terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga. Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang adekuat, edukasi keluarga.d) PrognosisTindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.Komplikasi Dan OutcomeSubdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :1. Hemiparese/hemiplegia.2. Disfasia/afasia3. Epilepsi.4. Hidrosepalus.5. Subdural empiemaSedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%2. Pada sub dural hematom kronis :- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.

2.5. OsteomaOsteoma merupakan tumor jinak mesenkim osteoblas yang terdiri dari diferensiasi jaringan tulang matur. Osteoma pada bagian kepala dan leher sering ditemukan pada daerah frontal-etmoid, dapat terjadi pada mastoid. Lebih sering terjadi pada wanita diatas usia decade ke 3.Penyebab osteoma tidak diketahui, diduga dapat disebabkan oleh trauma, radioterapi, infeksi kronik dan factor hormonal disfungsi kelenjar hipofise. Osteoma sering tanpa gejala, tumbuh lambat dan dapat stabil dalam beberapa tahun dan secara kebetulan ditemukan pada pemeriksaan radiologi. Diagnosis osteoma ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaa penunjang. Penatalaksanaan osteoma adalah dengan pengangkatan tumor karena indikasi gejala dan alasan kosmetik.

ETIOLOGIPenyebab pasti osteoma belum diketahui, tetapi ada beberapa teori : 1. Teori perkembangan:Conheim, seperti yang dilaporkan Akamatsu mengatakan bahwa tumor biasanya terbentuk di antara dua jaringan tulang yang berdekatan dengan asal embrionik yang berbeda. Di antara dua tulang yang berbeda ini terdapat sel embrionik yang terperangkap yang memicu proliferasi tulang yang berlebihan.2. Teori kongenital:manifestasi klinis terjadi ketika pertumbuhan tulang meningkat dengan adanya tulangembrionik misalnya pada saat pubertas.3. Teori trauma:Komplikasi dari trauma pada tulang temporal dapat menimbulkan proses inflamasi padatulang seperti periostitis, yang merangsang pembentukan osteoma.4. Teori infeksi:Infeksi dapat memicu pertumbuhan osteoma dengan merangsang proliferasi osteoblas pada garis mukoperiostium.5. Teori hormonal:peningkatan aktifitas osteoblas periostium, dirangsang oleh mekanisme endokrin osteoma temporalosteoma mastoid

2.6. Gambaran hipodens pada CT scan kepala

BAB IIILAPORAN KASUS

3.1 ANAMNESIS3.1.1 IdentitasNama: Ny. KUmur: 59 Tahun Jenis Kelamin: PerempuanAlamat: Sumberejo RT 01/01 Mranggen, DemakAgama: IslamPekerjaan: Ibu Rumah TanggaNo. CM: 294530Tanggal Masuk: 24 Juli 2014Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan pada Hari Sabtu, tanggal 26 Juli 20143.1.2 Keluhan Utama : Bicara pelo 3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang :2 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien sering mengeluh sakit kepala hilang timbul, pasien berpikir bahwa hal tersebut terjadi karena hipertensinya yang diderita. Sakit kepala dari hari ke hari dirasakan semakin sering timbul dan semakin berat. Pasien juga mengeluh rahang bawah sering bergerak sendiri (kejang), kejang terjadi jika pasien membuka mata dalam waktu lama. Kejang terjadi hilang timbul, dalam sehari kejang bisa timbul sampai 3-4 kali, sekali kejang hanya berlangsung beberapa detik. Tidak ada gejala lain yang menyertai, pasien masih melakukan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga.Pada kamis siang tanggal 24 Juli 2014 pasien mengeluh sakit kepala seperti ditusuk tusuk, dan sakit di kedua tungkai sampai telapak kakinya. Pada kamis malam tanggal 24 Juli 2014 saat pasien sholat dan membaca al quran tiba-tiba mulut pasien merot ke kanan, pasien bicaranya pelo, tangan kanan terdapat kelemahan dan tidak bisa dipakai untuk mengangkat, rahang pasien sering kejang dan sekali kejang berlangsung dalam hitungan menit, kemudian pasien dibawa ke UGD RSUD kota Semarang. Benjolan di tulang kepala pasien telah ada semenjak lahir, benjolan tidak membesar, tidak nyeri, dan tidak mengganggu aktivitas pasien.3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu Sebelumnya tidak pernah mengalami sakit seperti ini. Riwayat Hipertensi 10 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa hipertensinya terkontrol dan tiap seminggu sekali periksa di puskesmas untuk mengambil obat. Riwayat Diabetes Mellitus 10 tahun yang lalu, minum obat rutin dari puskesmas. Riwayat jatuh dari jalan kaki 2 bulan yang lalu Riwayat Demam tinggi disangkal Riwayat Tumor disangkal Riwayat Stroke disangkal Riwayat Sakit Telinga, sinusitis disangkal Riwayat Sakit Gigi disangkal Riwayat Thypus (+) Riwayat alergi (-) Riwayat penyakit jantung (-) Riwayat gastritis (-) Riwayat hiperkolesterolemia (+)

3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang pernah atau sedang mengalami sakit seperti ini. Riwayat Hipertensi (+) Riwayat Diabetes Mellitus (+) Riwayat Tumor disangkal Riwayat Stroke disangkal Riwayat penyakit jantung disangkal

3.1.6 Riwayat Sosial EkonomiPasien tidak mempunyai kebiasaan merokok, mengkonsumsi kopi ataupun puyer apapun.Pasien Tinggal dirumah dengan anak, menantu, dan 2 orang cucu. Pasien tidak bekerja, hanya mengurus rumah dan cucu, pasien seorang ibu rumah tangga. Kebutuhan sehari-hari terpenuhi oleh anak pasien. Pasien berobat dengan bantuan dana dari pemerintah (BPJS PBI)Kesan Sosial Ekonomi : Kurang

3.2 Pemeriksaan Fisik Status PresentJenis Kelamin: PerempuanUsia: 59 Tahun Berat Badan: 65 kgPanjang Badan: 150 cm

Tanda VitalTekanan Darah: 180 / 90 mmHgNadi: 84 x / menit, irama regular, isi cukup, equalitas sama pada keempat ekstremitas.Suhu: 36,8 C (aksila)Frekuensi Nafas: 20 x / menit

Pemeriksaan FisikKeadaan umum: Compos mentisKepala: MesocephalRambut: Hitam, tidak mudah dicabut.Mata : Palpebra simetris, cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat unisokor, reflek cahaya pupil (N).Telinga: Serumen (-/-), tidak nyeri, tidak bengkak.Hidung: Simetris, sekret (-/-), nafas cuping hidung (-/-)Leher : Simetris, pembesaran kelenjar (-/-)Tenggorokan: Faring Mukosa Bukal : Warna merah muda, hiperemis (-) Lidah : Dalam batas normal Uvula: di tengah, dalam batas normal Tonsil Ukuran : T 1- 1 Warna: Hiperemis (-)Thorax Paru-paruInspeksi: dbnPalpasi: dbnPerkusi: dbnAuskultasi: Suara dasar vesikuler Suara tambahan : wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

JantungInspeksi: Iktus kordis tidak tampakPalpasi: Iktus kordis teraba di sela iga ke VI, 2 cm kelateral linea mid clavicularis sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar.Perkusi: Batas atas: ICS II linea parasternalis kiriPinggang: ICS III linea parasternalis kiriBatas kiri: ICS VI 2 cm ke lateral linea midclavicularis kiriBatas kanan: ICS VI linea sternalis kananAuskultasi: Reguler, Suara jantung murni, gallop (-), bising Jantung (-) AbdomenInspeksi : DatarPalpasi: Supel, nyeri tekan (-) , turgor normal, massa (-), hepar dan lien tidak teraba.Perkusi: Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)Auskultasi: Peristaltik (+) normal

EkstremitasPemeriksaanSuperiorInferior

Akral dingin-/--/-

Reflek fisiologis+/+ (N)+/+ (N)

Reflek patologis-/--/-

Sianosis-/--/-

Petekhie-/--/-

GerakanBebasBebas

Kekuatan4/54/5

Turgor kulitBaikBaik

Status Neurologik GCS 15 , E4M6V5 Pemeriksaan Rangsang Meningeal: Kaku kuduk (-) Lasegue (-) Kernig (-) Brudzinski I/Brudzinskis neck sign (-) Brudzinski II/ Brudzinskis contralateral leg sign (-) Nervus kranialis : mulut mencong ke kanan, deviasi lidah ke kiri, lipatan nasolabial kanan jatuh, bicara pelo.

Motorik: Kekuatan : ektremitas superior dan inferior 4/5 Tonus : Normal Sensorik: dalam batas normal Refleks fisiologis: dalam batas normal Refleks patologis: dalam batas normal Otonom: retensio urin (-), inkotinensia alvi (-)

3.3 Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 24 Juli 2014)HEMATOLOGIHemoglobin: 12,1 g/dL(N)Hematokrit: 35,50 %()Jumlah Leukosit: 8 /uL(N)Jumlah Trombosit: 391 x10/uL(N)GDS: 310 mg/dl(N)KIMIA KLINIK (26 Juli 2014)Globulin: 3,3 g/dl (N)GDS: 252 mg/dl (N)Ureum: 25 mg/dL (N)Creatinin: 0,7 mg/dL (N)Asam urat: 3,3 mg/dl (N)Kolesterol total: 170 mg/dl (N)Tligiserida: 114 mg/dl (N)SGOT: 21 U/l (N)SGPT: 16 U/l (N)Protein total : 7,3 g/dl (N)Albumin: 4 g/dl (N)Natrium: 132 mmol/l ()Kalium: 3,6 mmol/l (N)Calcium: 1,21 mmol/l (N)

2. Pemeriksaan Radiologi CT SCAN Tanpa Kontras (Tanggal 26 Juli 2014)

Interpretasi :Tampak penebalan tabula eksterna batas tegas bentuk oval pada os parietal kiri, tebal 1,02 cm, AP 2,3cm, CC 2,2cm, tak tampak reaksi periosteal maupun penebalan kutis subkutis.Tampak lesi hipodens (CT number 24 HU) bentuk cresent tebal 0,7cm pada region parietak kiri.Sulcus cortikalis dan fissure sylvii normal.System ventrikel dan sisterna baik.Pons dan serebelum baik.Tak tampak midline shifting.

Kesan :Masa oval tulang, batas tegas tebal 1,02 cm , AP 2,3cm, CC 2,2 cm, curiga osteoma.Subdural efusi tebal 0,7cm pada region parietal kiri.Tak tampak perdarahan dan masa intracranial.Tak tampak tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial.

DIAGNOSISEfusi subduralOsteoma

Diagnosis Banding : Chronik subdural hematoma SH SNH Osteosarkoma

3.4 PENATALAKSANAANA. MEDIKAMENTOSA Infus RL 20 tetes per menit Inj piracetam 3x3g Inj citicolin 3x250mg Inj mecobalamin 1x500mg Inj aspilet 1x80mg p/o metformin 2x500mg p/o glimepirid 1x2gr

B. NON MEDIKAMENTOSA Tirah baring Minum obat teratur Terapi nutrisiProgram :Rujuk ke Spesialis Bedah Saraf untuk dilakukan tindakan pembedahan

3.6. PROGNOSIS Ad vitam : dubia ad bonam Ad functionam : dubia ad bonam Ad sanactionam : dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar, Yuniar, 2010, Peenatalaksanaan epiema subdural sebagai komplikasi otitis media supuratif kronik, www.unand.ac.id.2. Erskin, 2008, Interpretation of Emergency Head CT, Chambridge University Press.3. Guyton, Hall, 2008, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta, ECG.4. Hobbs, C, Journal Cronic Subdural effusion, dalam adc.bmj.com/content/90/9/952.5. Mulyani, Sri, diagnosis dan penatalaksanaan osteoma temporal, www.unand.ac.id6. Reinhard, Rohkamm, 2004, Colour Atlas of Neurology, Germany, dalam www.books/google/co.id.7. Scarabino, 2005, Emergency Neurology, Springer, Italy.8. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag, 2006 Philladelphia, Pennsylvania.

30