BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangWalaupun berat otak hanya 2% dari total berat
seluruh tubuh, fungsi otak sangat besar peranannya dan bila otak
terdapat suatu kelainan sedikit saja dapat mempengaruhi system
tubuh yang lain karena otak yang mengatur semua system tubuh.Stroke
serebral adalah urutan ke 3 penyebab kematian setelah infark
miokard dan tumor, sering disebabkan oleh thrombosis arteri pada
75% kasus, emboli pada 10% kasus, perdarahan otak yang massive 15%
kasus. Stroke serebral menyebabkan kekurangan suplai oksigen
sehingga otak dapat mengalami iskemik dan mengganggu fungsi otak,
dari gejala klinis stroke serebral salah satunya adalah deficit
neurologic. Stroke serebral akibat tomboemboli pada pemeriksaan CT
scan akan tampak gambaran hipodens.Gambaran hipodens pada CT scan
yang lain adalah akibagt efusi subdurall dimana terdapat kumpulan
cairan di ruang subdurall. Efusi subdurall dapat terjadi sebagai
akibat dari meningitis Haemophilus influenza, atau akibat dari
trauma kepala yang berlangsung lebih dari 3 minggu. Trauma kepala
ringan terutama pada orang tua dapat menyebabkan perdarahan
subdurall akut yang minimal, dan sering gejalanya berupa sakit
kepala yang tidak begitu berat. Perdarahan subdurall akut biasanya
akan sembuh karena perdarahannya akan diserap kembali bila
perdarahannya minimal. Namun pada sebagian khasus, perdarahan
subdurall akut dapat berkembang menjadi kronik, dimana proses
penyembuhan tidak berlangsung baik, dan bisa disertai dari
kebocoran CSS di ruang subarachnoid. Perdarahan cronik pada
subdurall tersebut disebut efusi subdurall. Perdarahan subdurall
kronik/ efusi subdurall terjadi pada 14,2 per 100.000 orang di
Inggris dan Irlandia, diagnosisnya sering terlambat.Insiden osteoma
0,1-1 % dari seluruh tumor jinak tulang tengkorak.1 Osteoma lebih
sering terjadi pada wanita dengan insiden terbanyak pada decade
kedua dan ketiga serta jarang sebelum usia pubertas.
1.2. Tujuan1. Mengetahui dan memahami faktor-faktor resiko serta
etiologi yang diduga dapat menyebabkan efusi subdural dan
osteoma.2. Mengetahui dan memahami mekanisme dan patofisiologi
terjadinya efusi subdural dan osteoma, sehingga pendekatan
diagnostik yang tepat dapat dicapai.3. Mengetahui dan memahami
anatomi cerebri dan diagnosis banding dari efusi subdural .4.
Mengetahui pemeriksaan penunjang mana yang diperlukan untuk
menunjang diagnostik pada efusi subdural terutama secara
radiologi.5. Mengetahui penatalaksanaan dari efusi subdural dan
osteoma.
1.3. ManfaatDengan penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai media belajar bagi mahasiswa klinik sehingga
dapat mendiagnosis terutama secara radiologis dan mengelola pasien
dengan permasalahan seperti pada pasien ini secara
komprehensif.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI CRANIUM
2.1.2. LAPISAN PEMBUNGKUS OTAK
Meningen merupakan selaput atau membrane yang terdiri dari
connective tissue yang melapisi dan melindungi otak, terdiri dari
tiga bagian yaitu : 1. Duramater Duramater atau pacymeninx dibentuk
dari jaringan ikat fibrous. Secara konvensional duramater ini
terdiri dari dua lapis , yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, kecuali
sepanjang tempat- tempat tertentu, terpisah dan membentuk
sinus-sinus venosus.
Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum yang
menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal
merupakan lapisan duramater yang sebenarnya, sering disebut dengan
cranial duramater. Terdiri dari jaringan fibrous yang padat dan
kuat yang membungkus otak dan melanjutkan diri menjadi menjadi
duramater spinalis setelah melewati foramen magnum yang berakhir
sampai segmen kedua dari os sacrum. Lapisan meningeal membentuk
empat septum ke dalam , membagi rongga cranium menjadi ruang-ruang
yang saling berhubungan dengan bebas dan menampung bagian-bagian
otak. Fungsi septum ini adalah untuk menahan pergeseran otak.
Falx cerebri adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang
terletak pada garis tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung
bagian anterior melekat pada crista galli. Bagian posterior
melebar, menyatu dengan permukaan atas tentorium cerebelli .
Tentorium cerebelli adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit
yang menutupi fossa cranii posterior. Septum ini menutupi permukaan
atas cerebellum dan menopang lobus occipitalis cerebri. Falx
cerebelli adalah lipatan duramater kecil yang melekat pada
protuberantiaoccipitalis interna .
Diaphragma sellae adalah lipatan sirkuler kecil dari duramater ,
yang menutupi sella turcica dan fossa pituitary pada os
sphenoidais. Diapragma ini memisahkan pituitary gland dari
hypothalamus dan chiasma opticum. Pada bagian tengah terdapat
lubang yang dilalui oleh tangkai hypophyse.
Pada pemisahan dua lapisan duramater ini , diantaranya terdapat
sinus duramatris yang berisi darah vena. Sinus venosus/duramatris
ini menerima darah dari drainase vena pada otak dan mengalir menuju
vena jugularis interna. Dinding dari sinus- sinus ini dibatasi oleh
endothelium. Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior.
Sinus sagitalis inferior , sinus transverses dan sinus sigmoidea.
Sinus pada basis cranii antara lain : sinus occipitalis, sinus
sphenoparietal, sinus cavernosus, sinus petrosus.
Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang
pembuluh darah yang berasal dari arteri carotis interna,
a.maxillaris , a. pharyngeus ascendens , a, occipitalis dan a.
vertebralis. Dari sudut klinis , yang terpenting adalah a.meningea
media ( cabang dari a.maxillaris ) karena arteri ini umumnya sering
pecah pada keadaan trauma capitis. Pada duramater terdapat banyak
ujung- ujung saraf sensorik, dan peka terhadap regangan sehingga
jika terjadi stimulasi pada ujung-saraf ini dapat menimbulkan sakit
kepala yang hebat. Ruang subdural yaitu ruang antara duramater dan
archnoid berisi kapiler dan brigding vein yang rapuh dan mudah
robek, di ruang subdurall ini juga berisi cabang ke 3 n.V
(n.Trigeminus) yaitu cabang mandibularis, dan juga cabang dari n
vagus. 2. Arachnoid. Lapisan ini merupakan suatu membrane yang
impermeable halus, yang menutupi otak dan terletak diantara
piamater dan duramater. Membran ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial yaitu spatium subduralle, dan dari piamater oleh
cavum subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid. Cavum
subarachnoid ( subarachnoid space ) merupakan suatu rongga/ ruangan
yang dibatasi oleh arachnoid di bagian luar dan piamater pada
bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh
mesothelial cell yang pipih. Pada daerah tertentu arachnoid
menonjol kedalam sinus venosus membentuk villi arachnoidales.
Agregasi villi arachnoid disebut sebagai granulations
arachnoidales. Villi arachnoidales ini berfungsi sebagai tempat
perembesan cerebrospinal fluid kedalam aliran darah.
Arachnoid berhubungan dengan piamater melalui untaian jaringan
fibrosa halus yang melintasi cairan dalam cavum subarachnoid.
Struktur yang berjalan dari dan keotak menuju cranium atau
foraminanya harus melalui cavum subarachnoid. 3. Piamater Lapisan
piamater berhubungan erat dengan otak dan sumsum tulang belakang,
mengikuti tiap sulcus dan gyrus . Piamater ini merupakan lapisan
dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan penyambung
yang halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi nutrisi pada
jaringan saraf. Selaput ini berfungsi untuk mencegah masuknya
bahan-bahan yang merugikan kedalam susunan saraf pusat. Piamater
membentuk tela choroidea, atap ventriculus tertius dan quartus, dan
menyatu dengan ependyma membentuk plexus choroideus dalam
ventriculus lateralis, tertius dan quartus
2.2. CAIRAN CEREBRO SPINAL ( CSS )
CSS merupakan suatu cairan bening dan hampir bebas protein.
Cairan yang mirip air ini dapat ditemukan pada rongga subarachnoid
dan dalam susunan ventrikel. Cairan Serebro Spinal (CSS) ditemukan
di ventrikel otak dan sisterna dan ruang subarachnoid yang
mengelilingi otak dan medula spinalis. Seluruh ruangan berhubungan
satu sama lain, dan tekanan cairan diatur pada suatu tingkat yang
konstan.
Gambar 1. Anatomi ventrikel otak dan ruang subarachnoidFungsi
Bantalan Cairan SerebrospinalFungsi utamanya adalah untuk
melindungi sistem saraf pusat (SSP) terhadap trauma. Otak dan
cairan serebrospinal memiliki gaya berat spesifik yang kurang lebih
sama (hanya berbeda sekitar 4%), sehingga otak terapung dalam
cairan ini. Oleh karena itu, benturan pada kepala akan menggerakkan
seluruh otak dan tengkorak secara serentak, menyebabkan tidak satu
bagian pun dari otak yang berubah bentuk akibat adanya benturan
tadi. Pembentukan, Aliran dan Absorpsi Cairan Serebrospinal
Sebagian besar CSS (dua pertiga atau lebih) diproduksi di pleksus
choroideus ventrikel serebri (utamanya ventrikel lateralis).
Sejumlah kecil dibentuk oleh sel ependim yang membatasi ventrikel
dan membran arakhnoid dan sejumlah kecil terbentuk dari cairan yang
bocor ke ruangan perivaskuler disekitar pembuluh darah otak
(kebocoran sawar darah otak).Pada orang dewasa, produksi total CSS
yang normal adalah sekitar 21 mL/jam (500 mL/ hari), volume CSS
total hanya sekitar 150 mL. CSS mengalir dari ventrikel lateralis
melalui foramen intraventrikular (foramen Monroe) ke venrikel
ketiga, lalu melewati cerebral aquaductus (aquaductus sylvii) ke
venrikel keempat, dan melalui apertura medialis (foramen Magendi)
dan apertura lateral (foramen Luschka) menuju ke sisterna
cerebelomedular (sisterna magna). Dari sisterna cerebelomedular,
CSS memasuki ruang subarakhnoid, bersirkulasi disekitar otak dan
medula spinalis sebelum diabsorpsi pada granulasi arachnoid yang
terdapat pada hemisfer serebral.Sekresi Pleksus KoroideusPleksus
koroideus adalah pertumbuhan pembuluh darah seperti kembang kol
yang dilapisi oleh selapis tipis sel. Pleksus ini menjorok ke dalam
kornu temporal dari setiap ventrikel lateral, bagian posteror
ventrikel ketiga dan atap ventrikel keempat.Sekresi cairan oleh
pleksus koroideus terutama bergantung pada transpor aktif dari ion
natrium melewati sel epitel yang membatasi bagian luar pleksus.
Ion- ion natrium pada waktu kembali akan menarik sejumlah besar
ion-ion klorida, karena ion natrium yang bermuatan positif akan
menarik ion klorida yang bermuatan negatif. Keduanya bersama sama
meningkatkan kuantitas osmotis substansi aktif dalam cairan
serebrospinal, yang kemudian segera menyebabkan osmosis air melalui
membran, jadi menyertai sekresi cairan tersebut. Transpor yang
kurang begitu penting memindahkan sejumlah kecil glukosa ke dalam
cairan serebrospinal dan ion kalium dan bikarbonat keluar dari
cairan serebrospinal ke dalam kapiler. Oleh karena itu, sifat khas
dari cairan serebrospinal adalah sebagai berikut: tekanan osmotik
kira-kira sama dengan plasma; konsentrasi ion natrium kira-kira
sama dengan plasma; klorida kurang lebih 15% lebih besar dari
plasma; kalium kira-kira 40% lebih kecil; dan glukosa kira-kira 30%
lebih sedikit. Inhibitor carbonic anhidrase (acetazolamide),
kortikosteroid, spironolactone, furosemide, isoflurane dan agen
vasokonstriksi untuk mengurangi produksi CSS.
Absorpsi Cairan Serebrospinal Melalui Vili ArakhnoidalisAbsorpsi
CSS melibatkan translokasi cairan dari granulasi arachnoid ke dalam
sinus venosus otak. Vili arakhnoidalis, secara mikroskopis adalah
penonjolan seperti jari dari membran arakhnoid ke dalam dinding
sinus venosus. Kumpulan besar vili-vili ini biasanya ditemukan
bersama-sama, dan membentuk suatu struktur makroskopis yang disebut
granulasi arakhnoid yang terlihat menonjol ke dalam sinus. Dengan
menggunakan mikroskop elektron, terlihat bahwa vili ditutupi oleh
sel endotel yang memiliki lubang-lubang vesikular besar yang
langsung menembus badan sel. Telah dikemukakan bahwa lubang ini
cukup besar untuk menyebabkan aliran yang relatif bebas dari cairan
serebrospinal, molekul protein, dan bahkan partikelpartikel sebesar
eritrosit dan leukosit ke dalam darah vena. Sebagian kecil
diabsorpsi di nerve root sleeves dan limfatik meningen. Walaupun
mekanismenya belum jelas diketahui, absorpsi CSS ini tampaknya
berbanding lurus terhadap tekanan intra kranial (TIK) dan
berbanding terbalik dengan tekanan vena serebral (Cerebral Venous
Pressure = CVP). Karena otak dan medula spinalis sedikit disuplai
oleh sistem limfatik, absorpsi melalui CSS merupakan mekanisme
utama untuk mengembalikan protein perivaskuler dan interstitiil ke
dalam aliran darah.Ruang Perivaskuler dan Cairan Serebrospinal
Pembuluh darah yang mensuplai otak pertama-tama berjalan melalui
sepanjang permukaan otak dan kemudian menembus ke dalam, membewa
selapis pia mater, yaitu membran yang menutupi otak. Pia mater
hanya melekat longgar pada pembuluh darah, sehingga terdapat sebuah
ruangan, yaitu ruang perivaskuler, yang ada di antara pia mater dan
setiap pembuluh darah. Oleh karena itu, ruang perivaskuler
mengikuti arteri dan vena ke dalam otak sampai arteriol dan venula,
tapi tidak sampa ke kapiler.Fungsi Limfatik Ruang PerivaskulerSama
halnya dengan di tempat lain dalam tubuh, sejumlah kecil protein
keluar dari parenkim kapiler ke dalam ruang interstitiil otak,
karena tidak ada pembuluh limfe dalam jaringan otak, protein ini
meninggalkan jaringan terutama dengan mengalir bersama cairan yang
melalui ruang perivaskuler ke dalam ruang subarakhnoid. Untuk
mencapai ruang subarakhnoid, protein akan mengalir bersama cairan
serebrospinal untuk diabsorpsi melalui vili arakhnoidalis ke dlam
vena-vena serebral. Ruang perivaskuler, sebenarnya, merupakan
sistem limfatik yang khusus untuk otak.Selain menyalurkan cairan
dan protein, ruang perivaskuler juga menyalurkan partikel asing
dari otak ke dalam ruang subarakhnoid. Misalnya, ketika terjadi
infeksi di otak, sel darah putih dan jaringan mati infeksius
lainnya dibawa keluar melalui ruang perivaskuler.
Gambar 2. Diagram aliran cairan serebrospinalTekanan Cairan
SerebrospinalTekanan normal dari sistem cairan serebrospinal ketika
seseorang berbaring pada posisi horizontal, rata-rata 130 mm air
(10 mmHg), meskipun dapat juga serendah 65 mm air atau setinggai
195 mm air pada orang normal.Pengaturan Tekanan Cairan
Serebsrospinal oleh Vili ArakhnoidalisNormalnya, tekanan cairan
serebrospinal hampir seluruhnya diatur oleh absorpsi cairan melalui
vili arakhnoidalis. Alasannya adalah bahwa kecepatan normal
pembentukan cairan serebrospinal bersifat konstan, sehingga dalam
pengaturan tekanan jarang terjadi faktor perubahan dalam
pembentukan cairan. Sebaliknya, vili berfungsi seperti katup yang
memungkinkan cairan dan isinya mengalir ke dalam darah dalam sinus
venosus dan tidak memungkinkan aliran sebaliknya. Secara normal,
kerja katup vili tersebut memungkinkan cairan serebrospinal mulai
mengalir ke dalam darah ketika tekanan sekitar 1,5 mmHg lebih besar
dari tekanan darah dalam sinus venosus. Kemudian, jika tekanan
cairan serebrospinal masih meningkat terus, katup akan terbuka
lebar, sehingga dalam keadaan normal, tekanan tersebut tidak pernah
meningkat lebih dari beberapa mmHg dibanding dengan tekanan dalam
sinus.Sebaliknya, dalam keadaan sakit vili tersebut kadang-kadang
menjadi tersumbat oleh partikel-partikel besar, oleh fibrosis, atau
bahkan oleh molekul protein plasma yang berlebihan yang bocor ke
dalam cairan serebrospinal pada penyakit otak. Penghambatan seperti
ini dapat menyebabkan tekanan cairan serebrospinal menjadi sangat
tinggi.
2.3. Efusi SubduralTransudat yang tertimbun dibawah dura
dinamakan efusi subdural. Transudat ini merupakan komplikasi dari
meningitis, terutama meningitis H.Influenza. keadaan tersebut harus
dicurigai apabila demam dan kaku kuduk sudah mereda tetapi
penderita tetap memperlihatkan kesadaran dan keadaan umum yang
belum membaik. Karena lokalisasinya, korteks serebri dapat
terangsang oleh efusi itu dan menimbulkan epilepsy fokal. Disamping
itu tentunya gejala-gejala tekanan intracranial yang mininggi dapat
ditemukan juga. Efusi subdural yang terinfeksi bakteri dinamakan
epyema subdurall. Efusi subdural juga dapat disebabkan oleh karena
efek sekunder dari trauma dimana terjadi perdarahan akut subdural
minimal yang berkembang menjadi perdarahan kronik subdural yang
lebih banya berisi cairan dibandingkan dengan komposisi darah
sehingga perdarahan kronik subdural disebut juga dengan efusi
subdural.Perbedaan perdarahan akut dan kronik pada
subduralPerdarahan akut subduralPerdarahan kronik subdurall
Terjadi 2-3 hari setelah trauma Gambaran hiperdens bulan sabit
di ruang subdural pada pemeriksaan CT scan Etiologi tidak jelas,
kemungkinan disebabkan oleh trauma minor Perdarahan internal di
duramater dengan kadar hematokrit yang rendah, dapat disertai CSS
leakage dari ruang arachnoid Gambaran hipodens bulan sabit di ruang
subdural pada pemeriksaan CT scan
Gejala klinis perdarahan kronik subdural1. Gejala tidak spesifik
sehingga sering tidak terdeteksi dalam waktu lama2. Dapat timbul
nyeri kepala yang ringan, lama kelamaan nyeri kepala berlangsung
progresif.3. Dapat disertai penurunan kesadaran yang berkembang
selama beberapa minggu sampai bulan setelah trauma.4. Defisit
neurologic minimal.Tipe peradahan kronik subdural1. Hipodens kronik
subdurall hematoma / Tipe 1a. Terjadi pada 33% kasusb. Komponen
padat perdarahan diserap sempurnac. Gambaran hipodens bulan sabit
pada CT scan kepalad. Kadang kapsul hematoma dapat terlihat2.
Inhomogen density / Tipe 2a. Terjadi pada 33% kasusb. Merupakan
hasil perdarahan baru yang berulang menjadi kronikc. Gambaran
hipodens, isodens, dan hiperdens3. Isodens density / Tipe 3a.
Terjadi pada 25% kasusb. Densitasnya sama dengan jaringan otakc.
Tanda tak langsung dari lesi adalah displacement struktur
serebelar, compresi dari batas cairan4. Slightly hiperdens / Tipe
4a. Terjadi pada 7-10% kasusb. Waktu dari trauma awal sampai
terjadinya derajat 4 sekitar 12 hari- 5 minggu dari traumac.
Gambaran hiperdens bulan sabit pada CT scan kepala
2.4. Hematoma subdural / perdarahan subduralEtiologiKeadaan ini
timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada: Trauma
kapitis Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya
geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang
yang jatuh terduduk. Trauma pada leher karena guncangan pada badan.
Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari
atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.
Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan
perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan
dari tumor intrakranial. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
Trauma kepala, malformasi arteriovenosa, diskrasia darah, dan
terapi antikoagulan juga sering menyebabkan perdarahan
ini.Klasifikasi1. Perdarahan akutGejala yang timbul segera hingga
berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala
yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut
pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda
vitalnya.Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar
luas.Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi
hiperdens.2. Perdarahan sub akut Berkembang dalam beberapa hari
biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma.Pada subdural sub akut
ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah.Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di
sekitarnya.Pada gambaran skrining tomografinya didapatkan lesi
isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya
lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.3.
Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma
bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul
dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang
ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan
saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada
perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena
hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan-
lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural
kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi
hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau
tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada
araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini.Kapsula ini
mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi
duramater.Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah
dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma.Pembuluh
darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan
membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan
subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti
pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik
dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi
hipodensPatofisiologiPerdarahan terjadi antara duramater dan
arakhnoidea.Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan
(bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan
sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea.
Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak,
sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya
posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena
halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang
besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma
epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di
sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula.
Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari
sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri
karenatekanan intracranial yang berangsur meningkat.Gambar
2.Lapisan pelindung otakPerdarahan sub dural kronik umumnya
berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam
tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga
walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut.Perdarahan terjadi secara perlahan karena
tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya
hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul.Pada perdarahan
subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan.Pada
hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran
vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.Perdarahan
berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan
penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan
subdural kronik.Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan
tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak.Naiknya tekanan
intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis
spinal dan dikompresi oleh sistem vena.Pada fase ini peningkatan
tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains
tekanan intra kranial yang cukup tinggi.Meskipun demikian
pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut.Komplains intrakranial mulai
berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra
kranial yang cukup besar.Akibatnya perfusi serebral berkurang dan
terjadi iskemi serebral.Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin.Herniasi tonsilar melalui foramen
magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan
supratentorial.Padahematoma subdural kronik, juga didapatkan bahwa
aliran darah ke thalamus dan ganglia basalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Gejala klinis1.Hematoma Subdural AkutHematoma subdural akut
menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah
cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak.Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.2.Hematoma Subdural SubakutHematoma
ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena
dalam ruangan subdural.Anamnesis klinis dari penmderita hematoma
ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
perlahan-lahan.Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
tanda-tanda status neurologik yang memburuk.Tingkat kesadaran mulai
menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya
tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon
terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
otak.3.Hematoma Subdural KronikTimbulnya gejala pada umumnya
tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah
cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruangan subdural.Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan
subdural.Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah
dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.Penambahan ukuran hematoma
ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran
atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma.Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan
paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan
pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan;
selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.Hasil pemeriksaan
CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.Hematoma
subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.Hematoma subdural yang
kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya
pengaliran perdarahan ini adalah: sakit kepala yang menetap rasa
mengantuk yang hilang-timbul linglung perubahan ingatan kelumpuhan
ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. TerapiPada kasus perdarahan
yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan
konservatif.Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi
penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang
kemudian dapat mengalami pengapuran.Baik pada kasus akut maupun
kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif,
maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran
hematoma.Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan
operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing
dan circulation (ABCs).Pada penelitian terbaru dari kasus yang
ditemukan, penggunaan agen hyperosmolar juga mulai direkomendasikan
untuk mencegah vatal elevations dan meningkatnya tekanan
intracranial khususnya pada penderita hipertensi.Agen hyperosmolar
ini adalah mannitol sesuai guideline penatalaksaanaan dari Brain
Trauma Foundation.Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah
burr-hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan
yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik
adalah burr-hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan
komplikasi yang minimal.Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik
pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui.
Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan
perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu
untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi
merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat
komplikasi yang lebih tinggi.Penggunaan teknik ini sebagai
penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai
berkurang.Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka
tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitif.Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu
penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun
dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan
brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh
adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi: Penurunan kesadaran
tiba-tiba di depan mata Adanya tanda herniasi/ lateralisasi Adanya
cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan
Kepala tidak bisa dilakukan.a) Perawatan PascabedahMonitor kondisi
umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7.Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu
kemudian.Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena
pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal
dari pembuluh - pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural
empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba,
kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk
mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan
subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan
sumber perdarahan harus ditiadakan.b) Follow-upCT scan kontrol
diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul
kemudian.c) Rehabilitasi Berbaring lama dan inaktiviti bisa
menimbulkan komplikasi gerakan seperti kontraktur, osteoporosis,
dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi saluran
kencing. Goal jangka pendek :1) Meningkatkan spesifik area seperti
kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan posture untuk mobilitas dan
keamanan.2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan
kardiopulmoner, fungsi musculoskeletal, defisit neurologi.3)
Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari
komplikasi seperti kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis,
melakukan gerakan ROM (pergerakan sendi) dan mobilisasi dini.
Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang
melibatkan lingkungan dirumah.4) Pada pasien tidak sadar dilakukan
dengan strategi terapi coma management dan program sensory
stimulation. Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan
terorganisis :dokter ,terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan
keluarga. Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk
stimulasi, suport nutrisi yang adekuat, edukasi keluarga.d)
PrognosisTindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan
prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan
sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak
menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat
mencapai sekitar 50 %.Komplikasi Dan OutcomeSubdural hematom dapat
memberikan komplikasi berupa :1. Hemiparese/hemiplegia.2.
Disfasia/afasia3. Epilepsi.4. Hidrosepalus.5. Subdural
empiemaSedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :1.
Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%2. Pada sub
dural hematom kronis :- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar
50%-80%.- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.
2.5. OsteomaOsteoma merupakan tumor jinak mesenkim osteoblas
yang terdiri dari diferensiasi jaringan tulang matur. Osteoma pada
bagian kepala dan leher sering ditemukan pada daerah
frontal-etmoid, dapat terjadi pada mastoid. Lebih sering terjadi
pada wanita diatas usia decade ke 3.Penyebab osteoma tidak
diketahui, diduga dapat disebabkan oleh trauma, radioterapi,
infeksi kronik dan factor hormonal disfungsi kelenjar hipofise.
Osteoma sering tanpa gejala, tumbuh lambat dan dapat stabil dalam
beberapa tahun dan secara kebetulan ditemukan pada pemeriksaan
radiologi. Diagnosis osteoma ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaa penunjang. Penatalaksanaan osteoma
adalah dengan pengangkatan tumor karena indikasi gejala dan alasan
kosmetik.
ETIOLOGIPenyebab pasti osteoma belum diketahui, tetapi ada
beberapa teori : 1. Teori perkembangan:Conheim, seperti yang
dilaporkan Akamatsu mengatakan bahwa tumor biasanya terbentuk di
antara dua jaringan tulang yang berdekatan dengan asal embrionik
yang berbeda. Di antara dua tulang yang berbeda ini terdapat sel
embrionik yang terperangkap yang memicu proliferasi tulang yang
berlebihan.2. Teori kongenital:manifestasi klinis terjadi ketika
pertumbuhan tulang meningkat dengan adanya tulangembrionik misalnya
pada saat pubertas.3. Teori trauma:Komplikasi dari trauma pada
tulang temporal dapat menimbulkan proses inflamasi padatulang
seperti periostitis, yang merangsang pembentukan osteoma.4. Teori
infeksi:Infeksi dapat memicu pertumbuhan osteoma dengan merangsang
proliferasi osteoblas pada garis mukoperiostium.5. Teori
hormonal:peningkatan aktifitas osteoblas periostium, dirangsang
oleh mekanisme endokrin osteoma temporalosteoma mastoid
2.6. Gambaran hipodens pada CT scan kepala
BAB IIILAPORAN KASUS
3.1 ANAMNESIS3.1.1 IdentitasNama: Ny. KUmur: 59 Tahun Jenis
Kelamin: PerempuanAlamat: Sumberejo RT 01/01 Mranggen, DemakAgama:
IslamPekerjaan: Ibu Rumah TanggaNo. CM: 294530Tanggal Masuk: 24
Juli 2014Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan pada Hari Sabtu,
tanggal 26 Juli 20143.1.2 Keluhan Utama : Bicara pelo 3.1.3 Riwayat
Penyakit Sekarang :2 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien sering
mengeluh sakit kepala hilang timbul, pasien berpikir bahwa hal
tersebut terjadi karena hipertensinya yang diderita. Sakit kepala
dari hari ke hari dirasakan semakin sering timbul dan semakin
berat. Pasien juga mengeluh rahang bawah sering bergerak sendiri
(kejang), kejang terjadi jika pasien membuka mata dalam waktu lama.
Kejang terjadi hilang timbul, dalam sehari kejang bisa timbul
sampai 3-4 kali, sekali kejang hanya berlangsung beberapa detik.
Tidak ada gejala lain yang menyertai, pasien masih melakukan
aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga.Pada kamis siang tanggal 24
Juli 2014 pasien mengeluh sakit kepala seperti ditusuk tusuk, dan
sakit di kedua tungkai sampai telapak kakinya. Pada kamis malam
tanggal 24 Juli 2014 saat pasien sholat dan membaca al quran
tiba-tiba mulut pasien merot ke kanan, pasien bicaranya pelo,
tangan kanan terdapat kelemahan dan tidak bisa dipakai untuk
mengangkat, rahang pasien sering kejang dan sekali kejang
berlangsung dalam hitungan menit, kemudian pasien dibawa ke UGD
RSUD kota Semarang. Benjolan di tulang kepala pasien telah ada
semenjak lahir, benjolan tidak membesar, tidak nyeri, dan tidak
mengganggu aktivitas pasien.3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya tidak pernah mengalami sakit seperti ini. Riwayat
Hipertensi 10 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa
hipertensinya terkontrol dan tiap seminggu sekali periksa di
puskesmas untuk mengambil obat. Riwayat Diabetes Mellitus 10 tahun
yang lalu, minum obat rutin dari puskesmas. Riwayat jatuh dari
jalan kaki 2 bulan yang lalu Riwayat Demam tinggi disangkal Riwayat
Tumor disangkal Riwayat Stroke disangkal Riwayat Sakit Telinga,
sinusitis disangkal Riwayat Sakit Gigi disangkal Riwayat Thypus (+)
Riwayat alergi (-) Riwayat penyakit jantung (-) Riwayat gastritis
(-) Riwayat hiperkolesterolemia (+)
3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang
pernah atau sedang mengalami sakit seperti ini. Riwayat Hipertensi
(+) Riwayat Diabetes Mellitus (+) Riwayat Tumor disangkal Riwayat
Stroke disangkal Riwayat penyakit jantung disangkal
3.1.6 Riwayat Sosial EkonomiPasien tidak mempunyai kebiasaan
merokok, mengkonsumsi kopi ataupun puyer apapun.Pasien Tinggal
dirumah dengan anak, menantu, dan 2 orang cucu. Pasien tidak
bekerja, hanya mengurus rumah dan cucu, pasien seorang ibu rumah
tangga. Kebutuhan sehari-hari terpenuhi oleh anak pasien. Pasien
berobat dengan bantuan dana dari pemerintah (BPJS PBI)Kesan Sosial
Ekonomi : Kurang
3.2 Pemeriksaan Fisik Status PresentJenis Kelamin:
PerempuanUsia: 59 Tahun Berat Badan: 65 kgPanjang Badan: 150 cm
Tanda VitalTekanan Darah: 180 / 90 mmHgNadi: 84 x / menit, irama
regular, isi cukup, equalitas sama pada keempat ekstremitas.Suhu:
36,8 C (aksila)Frekuensi Nafas: 20 x / menit
Pemeriksaan FisikKeadaan umum: Compos mentisKepala:
MesocephalRambut: Hitam, tidak mudah dicabut.Mata : Palpebra
simetris, cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), pupil bulat unisokor, reflek cahaya pupil (N).Telinga:
Serumen (-/-), tidak nyeri, tidak bengkak.Hidung: Simetris, sekret
(-/-), nafas cuping hidung (-/-)Leher : Simetris, pembesaran
kelenjar (-/-)Tenggorokan: Faring Mukosa Bukal : Warna merah muda,
hiperemis (-) Lidah : Dalam batas normal Uvula: di tengah, dalam
batas normal Tonsil Ukuran : T 1- 1 Warna: Hiperemis (-)Thorax
Paru-paruInspeksi: dbnPalpasi: dbnPerkusi: dbnAuskultasi: Suara
dasar vesikuler Suara tambahan : wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
JantungInspeksi: Iktus kordis tidak tampakPalpasi: Iktus kordis
teraba di sela iga ke VI, 2 cm kelateral linea mid clavicularis
sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar.Perkusi: Batas atas: ICS
II linea parasternalis kiriPinggang: ICS III linea parasternalis
kiriBatas kiri: ICS VI 2 cm ke lateral linea midclavicularis
kiriBatas kanan: ICS VI linea sternalis kananAuskultasi: Reguler,
Suara jantung murni, gallop (-), bising Jantung (-) AbdomenInspeksi
: DatarPalpasi: Supel, nyeri tekan (-) , turgor normal, massa (-),
hepar dan lien tidak teraba.Perkusi: Timpani, pekak sisi (-), pekak
alih (-)Auskultasi: Peristaltik (+) normal
EkstremitasPemeriksaanSuperiorInferior
Akral dingin-/--/-
Reflek fisiologis+/+ (N)+/+ (N)
Reflek patologis-/--/-
Sianosis-/--/-
Petekhie-/--/-
GerakanBebasBebas
Kekuatan4/54/5
Turgor kulitBaikBaik
Status Neurologik GCS 15 , E4M6V5 Pemeriksaan Rangsang
Meningeal: Kaku kuduk (-) Lasegue (-) Kernig (-) Brudzinski
I/Brudzinskis neck sign (-) Brudzinski II/ Brudzinskis
contralateral leg sign (-) Nervus kranialis : mulut mencong ke
kanan, deviasi lidah ke kiri, lipatan nasolabial kanan jatuh,
bicara pelo.
Motorik: Kekuatan : ektremitas superior dan inferior 4/5 Tonus :
Normal Sensorik: dalam batas normal Refleks fisiologis: dalam batas
normal Refleks patologis: dalam batas normal Otonom: retensio urin
(-), inkotinensia alvi (-)
3.3 Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 24
Juli 2014)HEMATOLOGIHemoglobin: 12,1 g/dL(N)Hematokrit: 35,50
%()Jumlah Leukosit: 8 /uL(N)Jumlah Trombosit: 391 x10/uL(N)GDS: 310
mg/dl(N)KIMIA KLINIK (26 Juli 2014)Globulin: 3,3 g/dl (N)GDS: 252
mg/dl (N)Ureum: 25 mg/dL (N)Creatinin: 0,7 mg/dL (N)Asam urat: 3,3
mg/dl (N)Kolesterol total: 170 mg/dl (N)Tligiserida: 114 mg/dl
(N)SGOT: 21 U/l (N)SGPT: 16 U/l (N)Protein total : 7,3 g/dl
(N)Albumin: 4 g/dl (N)Natrium: 132 mmol/l ()Kalium: 3,6 mmol/l
(N)Calcium: 1,21 mmol/l (N)
2. Pemeriksaan Radiologi CT SCAN Tanpa Kontras (Tanggal 26 Juli
2014)
Interpretasi :Tampak penebalan tabula eksterna batas tegas
bentuk oval pada os parietal kiri, tebal 1,02 cm, AP 2,3cm, CC
2,2cm, tak tampak reaksi periosteal maupun penebalan kutis
subkutis.Tampak lesi hipodens (CT number 24 HU) bentuk cresent
tebal 0,7cm pada region parietak kiri.Sulcus cortikalis dan fissure
sylvii normal.System ventrikel dan sisterna baik.Pons dan serebelum
baik.Tak tampak midline shifting.
Kesan :Masa oval tulang, batas tegas tebal 1,02 cm , AP 2,3cm,
CC 2,2 cm, curiga osteoma.Subdural efusi tebal 0,7cm pada region
parietal kiri.Tak tampak perdarahan dan masa intracranial.Tak
tampak tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial.
DIAGNOSISEfusi subduralOsteoma
Diagnosis Banding : Chronik subdural hematoma SH SNH
Osteosarkoma
3.4 PENATALAKSANAANA. MEDIKAMENTOSA Infus RL 20 tetes per menit
Inj piracetam 3x3g Inj citicolin 3x250mg Inj mecobalamin 1x500mg
Inj aspilet 1x80mg p/o metformin 2x500mg p/o glimepirid 1x2gr
B. NON MEDIKAMENTOSA Tirah baring Minum obat teratur Terapi
nutrisiProgram :Rujuk ke Spesialis Bedah Saraf untuk dilakukan
tindakan pembedahan
3.6. PROGNOSIS Ad vitam : dubia ad bonam Ad functionam : dubia
ad bonam Ad sanactionam : dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
1. Anwar, Yuniar, 2010, Peenatalaksanaan epiema subdural sebagai
komplikasi otitis media supuratif kronik, www.unand.ac.id.2.
Erskin, 2008, Interpretation of Emergency Head CT, Chambridge
University Press.3. Guyton, Hall, 2008, Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran, Jakarta, ECG.4. Hobbs, C, Journal Cronic Subdural
effusion, dalam adc.bmj.com/content/90/9/952.5. Mulyani, Sri,
diagnosis dan penatalaksanaan osteoma temporal, www.unand.ac.id6.
Reinhard, Rohkamm, 2004, Colour Atlas of Neurology, Germany, dalam
www.books/google/co.id.7. Scarabino, 2005, Emergency Neurology,
Springer, Italy.8. Schossberg, D. Infections of the Nervous System.
Springer Verlag, 2006 Philladelphia, Pennsylvania.
30