Top Banner
LAPORAN KASUS ANESTESI PADA PASIEN MALFORMASI ANOREKTAL DENGAN OPERASI ANOPLASTY M Dicky Angga 10310104 PEMBIMBING dr. H. Nano Sukarno, Sp. An dr. Teguh Santoso Efendi, Sp. An-KIC,. M.Kes dr. Andika Chandra Putri, Sp. An
50

lapkas angga

Dec 15, 2015

Download

Documents

angga

angga
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: lapkas angga

LAPORAN KASUS

ANESTESI PADA PASIEN MALFORMASI ANOREKTAL DENGAN

OPERASI ANOPLASTY

M

Dicky Angga

10310104

PEMBIMBING

dr. H. Nano Sukarno, Sp. An

dr. Teguh Santoso Efendi, Sp. An-KIC,. M.Kes

dr. Andika Chandra Putri, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI BAGIAN SMF ANESTESIOLOGI DAN

REANIMASI RSUD DR SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA

TAHUN 2015

Page 2: lapkas angga

2

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : By. Ny. P

Umur : 5 Hari

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat :Tamansari, Tasikmalaya.

Tanggal Masuk RS : 13 Agustus 2015

No. CM : 15295801

Dokter Anestesi : dr. Andika Chandra Putri, Sp. An

Dokter Bedah : dr. Toha SpB / dr. Budi

B. PERSIAPAN PRE-OPERASI

1. Anamnesa

a. A (Alergy)

Terdapat alergi terhadap cuaca (-), alergi makanan (-), alergi obat (-).

b. M (Medication)

Tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu.

c. P (Past Medical History)

Riwayat asthma (-), penyakit yang sama dan riwayat operasi

sebelumnya (-)

d. L (Last Meal)

Pasien sebelum operasi puasa selama 2 jam

Page 3: lapkas angga

3

e. E (Elicit History)

Os datang ke RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya pada tanggal 8

Agustus 2015 dengan keluhan tidak ada anus. Ibu mengatakan anaknya

sejak lahir taggal 7 Agustus pukul 23.00 yang ditolong bidan desa

setempat dengan persalinan spontan, dengan berat badan 3300 gram

namun setelah kelahiran dan diperiksa ternyata bayi tidak mempunyai

anus. Bayi tampak kembung dan rewel. Keesokan harinya pihak

keluarga membawa ke dokter spesialis anak lalu dokterpun merujuk ke

rumah sakit.

2. Pemeriksaan Fisik

Tanggal Periksa : 12 Agustus 2015

Dirawat di : Ruang 3A

Vital sign

a. KU : Tampak sakit sedang

b. Kesadaran : Compos mentis

c. TD : Tidak dilakukan

d. Nadi : 110 x / menit

e. Respirasi : 38 x / menit

f. Suhu : 36,6 0 C

Status Generalisata

Page 4: lapkas angga

4

Berat badan : 3300 gram

Kepala

o Kepala

Bentuk, ukuran : normocephali

o Mata

Palpebra : tidak cekung

Konjungtiva : anemis ( - ) / ( - )

Sklera : ikterik ( - ) / ( - )

Pupil : refleks cahaya ( + ) / ( + ), pupil

Isokor dextra = sinistra

o Hidung

Pernapasan cuping hidung : ( - )

Sekret ` : ( - )

Mukosa hiperemis : ( - )

o Telinga

Nyeri tekan tragus : ( - ) / ( - )

Auricula : tidak tampak kelainan

Meatus acusticus eksternus : ( + ) / ( + )

o Mulut

Bibir : mukosa bibir basah,

sianosis ( - )

Palatum : celah palatum (+)

Page 5: lapkas angga

5

o Leher

KGB : pembesaran ( - ) / ( - )

o Thoraks

Inspeksi :Bentuk gerak simetris dextra=sinistra

rektraksi supraclavicula ( - ) / ( - ),

retraksi intercostalis ( - ) / ( - ),

retraksi subcostalis ( - ) / ( - ) dan

retraksi epigastrium ( - )

Palpasi : teraba pergerakan dinding dada

simetris

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : Vesiculer breathing sound ( + ) / ( +),

Weezhing ( - ) / ( - ), Ronki ( - ) / ( - ),

Bunyi Jantung I, II regular, Gallop

(-), Mur-Mur (-)

Abdomen

Inspeksi : Bentuk cembung

Auskultasi : Bising usus ( + ) meningkat

Palpasi : Defance muscular ( - ), lembut,

cembung.

Perkusi : Tympani

Page 6: lapkas angga

6

Hepar dan Lien

Palpasi : Tidak teraba

Ekstremitas

Edema : Ekstremitas atas dan bawah ( - )

Jari-jari : Normal, akral sianosis ( - )

Capillary Refill Time : Kurang dari 2 detik

Akral hangat pada semua ektremitas

3. Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik

(Tanggal 12 – 08 - 2015)

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan Metode

Hematologi

H13 Jumlah Eritrosit 4,9 P:4,0-5,5 L:4,5-6,0 Juta/

mm3

Auto Analizer

Golongan Darah O Slide Test

Rhesus positif Slide Test

H01 Hemoglobin 16,9 P: 12-16; L: 14-18 g/dl Auto Analyzer

H14 Hematokrit 44 P: 35-45; L: 40-50 % Auto Analyzer

H15 Jml Leukosit 11200 5.000-10.000 /mm3 Auto Analyzer

H22 Jml Trombosit 265.000 150.000-350.000 /mm3 Auto Analyzer

E48 Laju Endap Darah 19/32 P= < 20; L= <15 mm/jam Ves Matic

Page 7: lapkas angga

7

KARBOHIDRAT

K01 Glukosa Sewaktu 93 76-110 mg/dl GOD – POD

FAAL HATI/JANTUNG

K13 Bilirubin total 8,59 0,1-1,20 Mg/dl Jendrassik-Grof

K14 Bilirubin direk 1.02 <0,20 Mg/dl Jendrassik-Grof

K15 Bilirubin indirek 7,57 Mg/dl Jendrassik-Grof

K27A Natrium, NA 137 135-145 mmol/L ISE

K28A Kalium, K 4,3 3,5-5,5 mmol/L ISE

K29A Kalsium, Ca 1,29 1,10-1,40 mmol/L ISE

H26 Hitung Jumlah

Leukosit

H27 Basofil 0 0-1 % --

H28 Eosinofil 3 2-4 % --

H29 Batang 0 3-5 % --

H30 Segmen 68 50-70 % --

H31 Limfosit 22 25-40 % --

Page 8: lapkas angga

8

H32 Monosit 7 2-6 % --

- Hasil Radiologi

Tidak tampak tb paru aktif, jantung dan paru normal

4. Diagnosa Klinis

Malformasi Anorectal ( MAR ) Letak Rendah

5. Kesimpulan

Status ASA II.

C. LAPORAN ANESTESI (DURANTE OPERATIF)

Diagnosis pra-bedah : Malformasi Anorectal ( MAR )

Letak Rendah

Jenis Pembedahan : Anoplasty

Jenis Anestesi : Narkose Umum

Medikasi Induksi :

Fentanyl 10 µg dosis 1-3ug x BB,

Rocuronium 2,5 mg (dosis 0,6-1mg x BB)

Sulfas Atropin 0,1 mg ( 0,01-0,02 x BB )

Maitenance : Gas Anestesi Sevoflurane MAC 2 vol%

N2O 2,5 L/mnt

O2 2 L/mnt

Page 9: lapkas angga

9

Teknik Intubasi : Intubasi Endotrachealtube (ETT)

Respirasi : kontrol

Posisi : litotomi

Cairan Perioperatif

Maintenance Cairan = 4 : 2 : 1

Kebutuhan Basal = 10 x 3,3 = 33

33 cc/jam

Defisit Cairan Puasa = Puasa jam x maintenance cairan

= 2 x 33 cc/jam

= 66 cc

Insensible Water Loss= Jenis Operasi x Berat Badan

= 2 x 3,3kg

= 6,6 cc

IWL= Ringan ( 0-2ml/kg )

Moderat ( 2-4 ml/kg )

Berat ( 4-8 ml/kg )

Kebutuhan cairan 1 jam pertama

= (½ x puasa) + IWL + maintenance

= (½ x 66) + 6,6 cc + 33 CC

= 77 cc

Page 10: lapkas angga

10

Kebutuhan cairan 1 jam kedua

= (¼ x puasa) + IWL + maintenance

= (¼ x 66) + 6,6 cc + 33 CC

= 56,1 cc

Perdarahan = Suction + Kasa (kecil 2)

= 0 cc + (30)

= 20 cc

Cairan Pengganti Darah

Jika Estimated Blood Volume (EBV) untuk anak =

80 cc/ kgBB

Maka untuk pasien BB = 3,3 kg

= (80 cc/kgBB) x (3,3 kgBB)

= 264 cc

Diketahui jumlah pendarahan selama oprasi

berlangsung sebanyak 20cc

Maka persentasi pendarahan yang terjadi selama operasi

= pendarahan / EBV X 100%

= 20 cc / 264 cc X 100%

= 7,57 %

Jadi, untuk penggantian < 10% EBV dapat diberikan

kristaloid sebagai pengganti pendarahannya sebanyak

1:3 dengan pendarahannya yaitu 20 cc

Page 11: lapkas angga

11

Dalam kasus ini pasien diberikan cairan KRISTALOID

dengan demikian. Maka untuk Cairan KRISTALOID yang

diberikan :

= 3 x 20cc

= 60 cc

Tindakan Anestesi Umum Dengan Intubasi

Pasien diposisikan pada posisi supine

Memasang sensor finger pada tangan kiri pasien untuk monitoring

SpO2 dan SPO2 Rate.

Obat berikut diberikan secara intravena:

Fentanyl 5 µg dosis 1-3ug x BB,

Rocuronium 2,5 mg (dosis 0,6-1mg x BB)

Sulfas Atropin 0,05 mg ( 0,01-0,02 x BB )

Pemberian gas anestesi dengan O2 dan N2O (O2 2L/menit dan N2O

2,5L/menit) serta sevoflurane 2 Vol% selama 1-2 menit sesuai

dengan onset dari Rocuronium.

Dipastikan airway pasien paten dan terkontrol

Dipastikan pasien sudah dalam kondisi tidak sadar dan stabil untuk

dilakukan intubasi ETT dengan nomor 2.0.

Pemasangan ETT dibantu dengan laryngoscope

Setelah intubasi ETT cek suara nafas dengan menggunakan

stetoskop pada apeks paru kanan dan paru kiri, basis paru kanan dan

Page 12: lapkas angga

12

paru kiri serta lambung, pastikan suara nafas dan dada mengembang

secara simetris.

Fiksasi ETT dan sambungkan ke connector yang terhubung ke mesin

anastesi.

Maintenance dengan inhalasi O2 2 liter/menit, N2O 2,5 liter/menit,

Sevoflurance 2 vol%

Monitor tanda – tanda vital pasien (nadi), saturasi oksigen, tanda–

tanda komplikasi (perdarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas,

nyeri)

Indikasi Intubasi Trakea

1. Pasien pediatrik

Kesulitan Intubasi

-

Vital Sign Setiap 5 menit

TIME SATURASI HEART RATE

10.15 100 140

10.20 100 142

10.25 100 143

10. 30 100 147

10.35 100 146

10.40 100 150

Page 13: lapkas angga

13

10.45 100 152

10.50 100 152

10.55 100 153

11.00 100 155

Pada saat operasi dipasang selimut penghangat dan blood warmer

untuk menjaga suhu tubuh pasien agar tidak hipotermi. Setelah operasi

selesai gas anestesi yang di pakai hanya Oksigen sebanyak 6 liter/menit.

Selanjutnya dilakukan ekstubasi bangun (awake extubation), sebelumnya

dilakukan suction untuk membersihkan jalan napas. Setelah pasien

bangun dan jalan napas benar-benar bersih maka dilakukan ekstubasi.

Oksigenisasi setelah ekstubasi dengan cara di cuff sampai pasien

memberikan respon gerak tangan sebagai tanda bahwa pasien telah

bangun dan jalan napas pasien telah aman. Bila total Steward Score ≥ 5

maka pasien sudah dapat dipindahkan dari ruang operasi.

D. POST-OPERASI

Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan

pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign

dengan menggunakan Steward Score ≥ 5 maka pasien sudah dapat

dipindahkan dari ruang operasi.

Infuse : KA-EN 1B 10-15gtt/menit

Analgetik Paracetamol infuse 3 x 50 mg

Page 14: lapkas angga

14

Antibiotik : Ceftriakson 3x165 mg

Diberikan anjuran untuk bed rest 24 jam, tidur terlentang dengan 1

bantal, minum dapat dimulai bila pasien sudah padar penuh sekitar 2-4

jam, apabila [bising usus (+)]

Monitoring Post-operasi :

Tanda vital (suhu, repsirasi, nadi)

E. FOLLOW UP PASCA OPERASI

1. Hari Pertama Post-Operasi (14 Agustus 2015)

Pasien dirawat di ruang 3A kamar 1

Pasien sudah tidak puasa karena sudah 4 jam Post-Operasi.

Pasien diberikan cairan infus KA-EN 1B 10-15 gtt/menit

Analgetik diberikan Paracetamol drop 3x 0,4 cc

Pasien diberikan antibiotik ceftriaxone (iv) 3 x 165 mg yang

sebelumnya dilakukan tes alergi dengan hasil (-)

Keadaan umum : baik

Kesadaran : Compos mentis

Vital sign : N = 130 x/menit

R = 39 x/menit

S = 38,1o C

2. Hari Kedua Post-Operasi ( 15 Agustus 2015)

Pasien tidak puasa

Pasien diberikan cairan infuse KA-EN 1B 10-15 gtt/menit

Analgetik diberikan Paracetamol drop 3x 0,4 cc

Page 15: lapkas angga

15

Pasien diberikan antibiotik ceftriaxone (iv) 3x 165 mg

Keadaan umum : baik

Kesadaran : Compos mentis

Vital sign : N = 115 x/menit

S = 37,4 C

R = 36 x/menit

3. Hari Kedua Post-Operasi ( 16 Agustus 2015)

Pasien tidak puasa

Pasien diberikan cairan infuse KA-EN 1B 10-15 gtt/menit

Analgetik diberikan Paracetamol drop 3x 0,4 cc

Pasien diberikan antibiotik amoxan drop 3x 0,4 cc

Keadaan umum : baik

Kesadaran : Compos mentis

Vital sign : N = 110x/menit

S = 37,1 C

R = 35 x/menit

F. PEMBAHASAN

1. Pre-Operatif

a. Anamnesa

Page 16: lapkas angga

16

b. Os datang ke RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya pada tanggal 8

Agustus 2015 pukul 11.15 wib dengan keluhan tidak ada anus. Bayi

tampak kembung dan rewel. Keesokan harinya pihak keluarga

membawa ke dokter spesialis anak lalu dokterpun merujuk ke rumah

sakit.

c. Pemeriksaan Fisik

Berat badan : 3300 gram kg

Nadi : 110 x/menit

Nafas : 38 x/menit

Suhu : 36.6o C

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kepala :bentuk dan ukuran normocephali,

Leher : Dalam batas normal

Thoraks : Dalam batas normal

Abdomen : Dalam batas normal

Ekstremitas : Dalam batas normal

4. Anestesi : Ternilai ASA II

ASA (American Society of Anesthesiologists) adalah merupakan suatu

klasifikasi yang lazim yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik

seseorang, Untuk pasien ini yaitu ASA II .

5. Rencana Anestesi : Narkose Umum

Page 17: lapkas angga

17

Loading cairan untuk mengganti cairan puasa 2 jam pre-operasi,

agar komposisi cairan pasien yang berkurang saat puasa terpenuhi.

2. Durante Operatif

Teknik Anestesi : Intubasi Endotrachealtube (ETT)

Obat Anestesi :

Fentanyl 5 µg dosis 1-3ug x BB,

Rocuronium 2,5 mg (dosis 0,6-1mg x BB)

Sulfas Atropin 0,05 mg ( 0,01-0,02 x BB )

Maitenance : Gas Anestesi Sevoflurane MAC 2vol %

N2O 2,5 L/mnt 60%

O2 2 L/mnt 40%

Analgesic tambahan paracetamol 50 mg

Untuk kasus ini pemilihan teknik anestesi adalah anestesi umum

(general Anestesi), dikarenakan pasien masih berumur 5 hari (bayi)..

Pada anestesi umum trias anestesi dilakukan untuk menginduksi pasien

dengan obat hipnotik sedasi, analgetik dan pelemas otot.

Sevoflurane merupakan sedatif / hipnotik inhalasi yang digunakan

dalam menginduksi atau memelihara anestesi. dengan waktu induksi dan

pulih yang cepat dibandingkan isofluran. Termasuk gologan halogen

ether. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,

konsentrasi di alveolar yang cepat membuat sevoflurane sebagai pilihan

yang baik untuk induksi inhalasi pada pasien pediatrik atau orang

dewasa. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan

Page 18: lapkas angga

18

aritmia. Sevofluran dapat menurunkan tekanan arterial tetapi denyut

nadi tetap stabil. Sevofluran juga meningkatkan tekanan intracranial dan

aliran darah serebral. Pada autoregulasi yang tinggi dapat mengganggu

autoregulasi dari aliran darah ke otak.

Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh

tubuh. Dan mula kerja kemudian pemulihannya cepat. Sevoflurane

menyebabkan depresi pernapasan yang mencerminkan efek depresi

langsung terhadap pusat pernapasan. Dan dapat menyebabkan relaksasi

otot yang adekuat pada pasien bayi dengan induksi inhalasi.

Untuk mengurangi rasa sakit pada saat induksi diberikan fentanyl

yang merupakan golongan opioid. Efek pemberian fentanyl pada

kardiovaskular dapat menyebabkan tekanan darah menurun, bradikardi.

Aliran darah otak, kecepatan metabolisme otak dan tekanan intracranial

menurun, pusing, penglihatan kabur. Dosis yang diberikan yaitu 1-3

ug /kgbb dengan daya analgesia yaitu 45 menit-2 jam.

Kemudian untuk memudahkan intubasi maka diberikan obat

anestesi jenis pelemas otot yaitu rocuronium. Rocuronium merupakan

obat pelemas otot non depolarisasi. Efek dan durasinya lebih cepat pada

anak-anak. Dosis yang diberikan yaitu 0,6-1 mg/kgbb. Dengan daya

kerja obat 30-45 menit. Efek terhadap kardiovaskular tidak terjadi pada

pemberian obat ini.

Selain menggunakan sevoflurane digunakan juga Nitrous Oxide

(N2O) untuk maintenance yang mempunyai sifat analgetik kuat dan

Page 19: lapkas angga

19

anestetik lemah, pemberian N2O harus selalu diiringi dengan pemberian

O2 dengan perbandingan 50:50, dimana diberikan N2O sebanyak 3

L/menit juga dibarengi pemberian O2 3 L/menit.

Saat tindakan operasi selesai dan akan dilakukan ekstubasi dalam

kondisi tanda vital dalam keadaan normal, pemberian Sevofluran dan N2O

dihentikan. Dan pasien diberikan O2 100% 5-6L/menit selama ± 15 menit

Setelah ekstubasi dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan penilaian

Steward Score :

STEWARD SCORE (anak)

Pergerakan : gerak bertujuan 2

gerak tak bertujuan 1

tidak bergerak 0

Pernafasan : batuk, menangis 2

Pertahankan jalan nafas 1

Page 20: lapkas angga

20

perlu bantuan 0

Kesadaran : menangis 2

bereaksi terhadap rangsangan 1

tidak bereaksi 0

Bila total Steward Score ≥ 5 maka pasien sudah dapat dipindahkan

dari ruang operasi.

Atresia Ani

2.1 Definisi

Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak

sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.

Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL

(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).

2.2 Embriologi

Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon

desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani.emdodern usus belakang ini

juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra (Sadler T.W, 1997).

Page 21: lapkas angga

21

Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi

endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah

pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka (Sadler

T.W, 1997).

Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum

urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang.Sekat ini tumbuh kearah

kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis

primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur

7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daeraah ini

terbentuklah korpus parienalis. Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi

membran analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan (Sadler T.W,

1997).

Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim,

yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9, membran

analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas

kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus

belakang, yaitu arteri mesentrika inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah

kanalis analis berasal dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata,

yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah dari

epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng (Sadler T.W, 1997).

Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan

hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,

esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.

Page 22: lapkas angga

22

Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon

asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut

hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan

ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat

disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum

urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan

anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan

proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani

perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus

dapat tidak ada atau rudimenter (Faradilla, 2009).

2.3 Epidemiologi

Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1

dalam 5000 kelahiran ( Grosfeld J, 2006).

Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada

perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui

pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan,

jenis atresia ani yang paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula

rektovestibular dan fistula perineal (Oldham K, 2005).

Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa

atresia ani letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan atresia letak tinggi (

Boocock G, 1987).

Page 23: lapkas angga

23

2.4 Etiologi

Atresia ani dapat disebabkan karena:

1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir

tanpa lubang dubur.

2. Gangguan organogenesis dalam kandungan.

3. Berkaitan dengan sindrom down.

Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah

komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi

meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1

dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000

kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani

dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut

menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat

menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat

multigenik (Levitt M, 2007).

2.5 Patofisiologi

Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada

kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya

fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah

dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,

maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya

Page 24: lapkas angga

24

feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada

keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ

sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau

perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika

urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada

letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).

2.6 Klasiikasi.

Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani

dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.

Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin,

atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1

cm dari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel

perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram:

udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6

kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum,

fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada

perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel

tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).

2.7 Manifestasi Klinis.

Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48

jam.

Page 25: lapkas angga

25

Gejala itu dapat berupa :

1. Perut kembung.

2. Muntah.

3. Tidak bisa buang air besar.

4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat

sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).

Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana

rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi

tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari

rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama

sekali tidak ada (Departement of Surgery University of Michigan, 2009).

Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih

abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%.

Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih

sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi

beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler

(Grosfeld J, 2006).

Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi

anorektal adalah :

1. Kelainan kardiovaskuler.

Page 26: lapkas angga

26

Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling

banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti

oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.

2. Kelainan gastrointestinal.

Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi

duodenum (1%-2%).

3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.

Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral

seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan

kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele,

dan teratoma intraspinal.

4. Kelainan traktus genitourinarius.

Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani.

Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani

letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai

20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai

VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan

VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal

and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).

2.8 Diagnosa

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.

Page 27: lapkas angga

27

Pada anamnesis dapat ditemukan :

a. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.

b. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.

c. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan

adalah letak rendah (Faradilla, 2009).

Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa

menggunakan cara:

1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :

a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti

atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti

(PSARP) tanpa kolostomi

b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih

dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila

pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1

cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak

tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan

rektoperinealis.

2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.

Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa

kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi

terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1

Page 28: lapkas angga

28

cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari

kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.

Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium

didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah

letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi

atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus

terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan

vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan

agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan

fistulografi (Faradilla, 2009).

Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala

obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan

klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan

memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007)

Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula

rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama

beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui

fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal

rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga

rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk

menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu

selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan

apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).

Page 29: lapkas angga

29

Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai

dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien

memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan

atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).

Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak rendah

meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag yang

terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya

mekonium) (Levitt M, 2007).

2.9 penatalaksanaan.

Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani

letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu

penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough,

tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus

yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh Faradillah

memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital

anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan

muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan

pemotongan fistel (Faradilla, 2009).

Page 30: lapkas angga

30

Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara

jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta

antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan

ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain

dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca

operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi,

persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta

ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari

berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian

akhiran rektum dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009).

Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :

a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD

dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).

b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya

dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot

sfingter ani ekternus.

c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.

d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana

dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).

Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet

dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi

definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah

Page 31: lapkas angga

31

posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited atau full postero sagital

anorektoplasti (Faradilla, 2009).

Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya

ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel

vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar

sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel

terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum

susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat.

Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila

terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus

genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu

cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada

pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada

evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada

fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan

kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva

dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di

posteriornya. Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus,

lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi

feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila

tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera

dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu

segera dilakukan kolostomi (Hamami A.H, 2004).

Page 32: lapkas angga

32

Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk

perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada

anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel

perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari

orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika

urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter

urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena

fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka

fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan

kolostomi segera.

Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat

kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,

maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama

dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada

membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila

evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada

stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak

ada fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera

dilakukan pertolongan bedah (Hamami A.H, 2004).

2.10 prognosis

Page 33: lapkas angga

33

Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai pengendalian

defekasi, pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan kekuatan kontraksi

otot sfingter pada colok dubur (Hamami A.H, 2004).

Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau

ensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan

mental penderita (Hamami A.H, 2004).

Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode

PSARP (Levitt M, 2007)

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief Said A., Suryadi Kartini A., Dahlan M. Ruswan. Petunjuk Praktis

Anestesiologi Edisi Kedua. 2002. Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. Jakarta.

2. Katzung, Bertram G. Farmakologi dasar dan klinik . Edisi 10 EGC

Penerbit Buku Kedokteran . Jakarta

3. Dr. H. Soerasdi Erasmus, Sp.An, KIC, KMN; M. Dwi Satriyanto, dr,

Sp.An, M.Kes, Susanto Edi. Obat – Obat Anesthesia Sehari – hari.

4. Arvin, Behrman K. 2003. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.

5. Agrawal K, Cleft Palate repair. Indian Journal of plastic surgery. 2009.

Diambil dari http:www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/

6. Revesz Susan M, Newman M, HolttsBerry Karen. Repair Of Cleft Palate.

2012. Diambil dari http://www.med.umich.edu/surgery/plastic/clinical/pdf

Page 34: lapkas angga

34

7. Nicola Somerville, Fenlon Stephen. Anaesthesia for cleft palate

surgery.2005.OxfordJournals.Diambildari http://ceaccp.oxfordjournals.org

8. Morgan Mikhail MS, Maged SM. Clinical Anestesiologi, Four Edition,

lange medical book/McGraw-Hill. USA. 2006.