BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma termal menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Menguasai prinsip-prinsip dasar resusitasi awal pada penderita trauma daan menerapkan tindakan sederhana pada saat yang tepat dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Prinsip yang dimaksud adalah kewaspadaan yang tinggi akan terjadinya gangguan jalan napas pada trauma inhalasi, serta mempertahankan hemodinamik dalam batas normal melalui resusitasi cairan. Luka bakar adalah luka yang disebabkan karena pengalihan energi dari suatu sumber panas kepada tubuh. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar juga bisa timbul akibat kulit terpajan ke suhu tinggi, syok listrik atau bahan kimia. 1 Luka bakar dapat dikelompokkan menjadi luka bakar termal, radiasi atau kimia. Berdasarkan luas daerah yang terbakar, Wallace membagi bagian tubuh dengan kelipatan dari 9 yang terkenal dengan nama Rule of Nine atau Rule of Wallace. Bagian tubuh tersebut 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma termal menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.
Menguasai prinsip-prinsip dasar resusitasi awal pada penderita trauma daan
menerapkan tindakan sederhana pada saat yang tepat dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Prinsip yang dimaksud adalah kewaspadaan yang
tinggi akan terjadinya gangguan jalan napas pada trauma inhalasi, serta
mempertahankan hemodinamik dalam batas normal melalui resusitasi cairan.
Luka bakar adalah luka yang disebabkan karena pengalihan energi dari
suatu sumber panas kepada tubuh. Luka bakar karena api atau akibat tidak
langsung dari api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan
rumah tangga. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi
elektromagnetik. Luka bakar juga bisa timbul akibat kulit terpajan ke suhu tinggi,
syok listrik atau bahan kimia.1
Luka bakar dapat dikelompokkan menjadi luka bakar termal, radiasi atau
kimia. Berdasarkan luas daerah yang terbakar, Wallace membagi bagian tubuh
dengan kelipatan dari 9 yang terkenal dengan nama Rule of Nine atau Rule of
Wallace. Bagian tubuh tersebut termasuklah kepala dan leher 9%, lengan 18%,
badan depan 18%, badan belakang 18%, tungkai 36% dan genitalia/perineum
1%.1,3
Di Amerika di laporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya
dengan jumlah kematian 5-6 ribu kematian pertahun, sedangkan di Indonesia
belum ada laporan tertulis. Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta pada
tahun 1998 dilaporkan 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka kematian
37,38 sedangkan di Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya pada tahun 2000 dirawat
106 kasus luka bakar dengan 26,41% pasien meninggal dalam rawatan.4,6
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Luka Bakar
2.1.1. Definisi
Luka bakar adalah luka yang timbul akibat kulit terpajan ke suhu tinggi,
syok listrik, atau bahan kimia. Menurut R. Sjamsuhidajat dan Win de
Jong, luka bakar adalah luka yang terjadi karena terbakar api langsung
maupun tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dan matahari, listrik,
maupun bahan kimia.1,2
2.1.2. Epidemiologi
Di Amerika di laporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya
dengan jumlah kematian 5-6 ribu kematian pertahun, sedangkan di
Indonesia belum ada laporan tertulis. Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo
Jakarta pada tahun 1998 dilaporkan 107 kasus luka bakar yang dirawat,
dengan angka kematian 37,38 sedangkan di Rumah Sakit Dr. Sutomo
Surabaya pada tahun 2000 dirawat 106 kasus luka bakar, kematian
26,41%.3
2.1.3. Etiologi
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas
kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi
elektromagnetik. Kulit dan mukosa saluran nafas atas merupakan lokasi
destruksi jaringan. Jaringan yang dalam, termasuk organ visera, dapat
mengalami kerusakan karena luka bakar elektrik atau kontak yang lama
dengan agen penyebab (burning agent). 1
Berdasarkan penyebab luka bakar, luka bakar dibedakan atas
beberapa jenis penyebab,
2
1. Luka bakar karena api
2. Luka bakar karena bahan kimia
3. Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi
4. Luka bakar karena sengatan sinar matahari.
5. Luka bakar karena air panas, tungku panas, udara panas
6. Luka bakar karena ledakan bom.
2.1.4. Patofisiologi
Setelah cedera termal terjadi, pada daerah luka bakar akan terjadi koagulasi
protein dan kematian sel zona tersebut disebut sebagai zona nekrosis. Dalam
cedera luka bakar full-thickness, semua elemen kulit hancur, sedangkan luka bakar
yang partial-thickness ditandai dengan nekrosis kulit yang tidak lengkap. Zona
nekrosis yang meluas secara radial dan ditandai kerusakan seluler disebut sebagai
zona stasis dan hiperemia. Zona stasis ditandai oleh aliran darah mikrovaskuler
yang menurun, yang dapat dikembalikan ke normal dengan resusitasi perfusi yang
memadai, mencegah kulit kering dan infeksi.3
Cedera termal minimal menginduksi zona hiperemis yang ditandai dengan
respon inflamasi segera dan meningkatnya aliran darah mikrovaskuler. Perubahan
histopatologis awal pada titik kontak termal digambarkan sebagai zona jaringan
konsentris. Koagulasi nekrosis pada kulit dan pelengkap kulit mengakibatkan
hilangnya fungsi kulit normal, lapisan penghalang antimikroba hancur, kontrol
evaporasi udara hilang, dan pengaturan suhu tubuh terganggu.3,4
2.1.4.1. Mekanisme Pembentukan Edema
Setelah diikuti cedera termal, pembentukan edema yang paling hebat pada luka
bakar dan jaringan yang belum terbakar adalah pada 6 jam pertama dan diikuti
perluasan edema yang lebih kecil pada 24 jam berikutnya. Kontriksi kapiler vena
menyebabkan tekanan hidrostatik meningkat dan mengakibatkan edema
interstisial pada awal post-injury. Pada percobaan luka bakar pada hewan, tekanan
hidrostatik negative yang kuat pada cairan interstisial terjadi dalam waktu 30
menit. Durasi dan luasnya tekanan hidrostatik negatif sebanding dengan besarnya
lukabakar.
3
Perubahan karakteristik fisik dari jaringan yang terbakar yang diikuti
dengan pembentukan edema disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
mikrovaskular yang disebabkan oleh faktor humoral yang dilepas oleh jaringan
yang terbakar dan sitokin yang diproduksi oleh leukosit yang teraktivasi.4
2.1.4.2. Respon Sistem Kardiovaskular Pada Luka Bakar
Pada masa resusitasi, respon kardiovaskular pada luka bakar dimanifestasikan
oleh penurunan curah jantung dan peningkatan resistensi vaskular perifer yang
diikuti oleh peningkatan progresif pada curah jantung dan penurunan resistensi
vaskular perifer pada masa aliran hipermetabolik. Penurunan curah jantung setara
dengan ukuran luka bakar dan disebabkan oleh hilangnya cairan dan protein
intravascular ke ekstravaskular kompartmen. Peningkatan resistensi vaskular
perifer disebabkan oleh respon neuro-hormonal pada hipovolemik.4,5
2.1.4.3. Respon Sistem Pernafasan Pada Luka Bakar
Pada cedera termal walaupun tidak diikuti inhalasi asap, akan terjadi perubahan
fisik pada fungsi paru. Segera setalah luka bakar terjadi, pernafasan akan dapat
bertambah cepat sebagai hasil dari anxietas dan hiperventilasi yang diinduksi
nyeri. Dengan adanya inisiasi resusitasi cairan, laju nafas dan volume tidal
meningkat secara progresif, yang berakibat peningkatan menit ventilasi menjadi
satu setengah kali normal. Peningkata ini bergantung kepada luasnya luka dan
dianggap merefleksikan hipermetabolisme pasca injuri.3,4
Resistensi vaskular paru meningkat cepat pada luka bakar, dan
peningkatan tersebut lebih lama daripada peningkatan resistensi vaskular. Pada
saat meningkatnya resistensi vaskular paru, terjadi pelepasan vasoaktif amin dan
mediator lain yang akan memberikan efek protektif saat resusitasi cairan dengan
cara menurunkan tekanan hidrostatik yang akan mencegah edema paru.4
2.1.4.4. Respon Ginjal Pada Luka Bakar
Respon ginjal berparalel dengan respon kardiovaskular. Segera setelah periode
postburn, aliran darah ginjal dan laju infiltrasi glomerulus akan menurun sesuai
dengan proporsi luka bakar dan besarnya defisit volume intravaskular.
4
Keterlambatan resusitasi cairan akan menyebabkan perfusi ginjal yang tidak
adekuat dan menyebabkan akut tubular nekrosis dan gagal ginjal akut.4
5. Gangguan elektrolit : Tanda yang ditemukan adalah penurunan kalium,
kenaikan natrium dan klorida, serta kenaikan BUN
6. Gangguan ginjal : Tanda yang ditemukan adalah peningkatan keluaran
urine dan mioglobinuria
7. Gangguan metabolik : Tanda yang ditemukan adalah
hipermetabolisme dan kehilangan berat badan
Khusus untuk luka bakar dengan trauma inhalasi adalah terdapat gejala seperti
sesak napas, takipnea, stridor, suara serak, dan dahak berwarna gelap (jelaga).
Kecurigaan adanya trauma inhalasi bila pada penderita luka bakar terdapat 3 atau
lebih dari keadaan berikut : 3,4
1. Riwayat terjebak dalam rumah/ ruangan terbakar
2. Sputum tercampur arang
3. Luka bakar perioral, hidung, bibir, mulut atau tenggorokan.
4. Penurunan kesadaran.
5. Tanda distress napas, rasa tercekik, tersedak, malas bernapas dan
adanya
14
6. Wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan (iritasi
mukosa)
7. Gejala distress napas/takipnea
8. Sesak atau tidak ada suara.
Pada pasien luka bakar juga dilakukan pemeriksaan penunjang: 4
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS
dan MODS
Pemeriksaan tambahan khusus untuk luka bakar inhalasi merupakan: 4
1. Kadar karboksihemoglobin (COHb)
Pada trauma inhalasi, kadar COHb 35-45% (berat), bahkan setelah 3 jam
dari kejadian, kadar COHb pada batas 20-25%. Bila kadar COHb lebih
dari 15% setelah 3 jam kejadian menunjukkan adanya bukti kuat terjadi
trauma inhalasi.
2. Gas Darah
PaO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa pada konsentrasi oksigen 50%,
FiO2 = 0,5)
mencurigakan adanya trauma inhalasi. PaO2 biasanya normal pada fase
awal, tetapi dapat meningkat pada fase lanjut.
3. Foto Toraks
biasanya normal pada fase awal
4. Bronkoskopi Fiberoptic
Bila terdapat sputum beraran, edema mukosa, adanya bintik – bintik
pendarahan
dan ulserasi
5. Tes Fungsi paru
15
2.1.7. Penatalaksanaan
2.1.7.1. Penanganan Prehospital
Perhatian utama di lokasi kecelakaan adalah menghentikan proses pembakaran.
Pembakaran dan pakaian yang membara harus dipadamkan. Kemudian seperti
dengan semua pasien trauma, perhatian utama selama penilaian awal adalah
pemeliharaan fungsi kardiopulmonari. Patensi jalan nafas dan kecukupan ventilasi
harus dijaga dan pemberian oksigen tambahan yang diperlukan. Jika tidak adanya
trauma mekanik yang terkait atau kebutuhan untuk resusitasi kardiopulmonari,
penempatan kanula intravena tidak diperlukan jika transportasi ke fasilitas
pengobatan dapat dicapai dalam waktu kurang dari 45 menit.8
Penerapan es atau air dingin membasahi akan menghilangkan rasa sakit
pada daerah luka bakar derajat dua. Jika terapi dingin dimulai dalam waktu 10
menit dari pembakaran, kandungan jaringan panas juga berkurang, dan kedalaman
kecederaan termal dapat berkurang. Jika terapi dingin digunakan, perawatan harus
diambil perhatian untuk menghindari hipotermia. Air dingin atau es hanya boleh
digunakan pada pasien dengan luka bakar kurang dari 10% dari permukaan tubuh
dan pada waktu hanya untuk memproduksi analgesia. Setelah es atau air dingin
rendam dialihkan, pasien harus ditutup dengan kain lembaran bersih dan selimut
untuk melestarikan panas tubuh dan meminimalkan kontaminasi luka bakar
selama transportasi ke rumah sakit.6,8
Pada pemeriksaan yang akan dilakukan penderita diwajibkan memakai
sarung tangan yang steril, bebaskan penderita dari baju yang terbakar, penderita
luka bakar dapat pula mengalami trauma lain, misalnya bersamaan dengan trauma
abdomen dengan adanya internal bleeding atau mengalami patah tulang punggung
/ spine. Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita
terjebak dalam ruang tertutup sehingga kecurigaan adanya trauma inhalasi yang
dapat menimbulkan obstruksi jalan napas. Kapan kejadiannya terjadi, serta
ditanyakan penyakit – penyakit yang pernah di alami sebelumnya.6,8
Luka bakar diperiksa apakah terjadi luka bakar berat, luka bakar sedang
atau ringan. Luka bakar ditentukan luas luka bakar dengan menggunakan Rule of
16
Nine. Kemudian kedalaman luka bakar ditentukan dengan derajat kedalaman luka
bakar.6
2.1.7.2. Penanangan Intrahospital
Kondisi pasien luka bakar itu berubah secara dramatis selama cedera. Awal
periode postkebakaran ditandai oleh ketidakstabilan kardiopulmonari disebabkan
oleh perpindahan cairan dan kecederaan akibat asap yang langsung masuk ke
jalan nafas. Dengan terjadinya peradangan luka intens, imunosupresi, dan infeksi,
parameter fisiologis dan metabolik berubah secara substansial dari yang terlihat
pada awalnya. Karena itu pengobatan harus didasarkan pada pemahaman yang
jelas tentang perubahan-perubahan dari waktu ke waktu.6,8
Ketidakstabilan kardiopulmonari menunjukkan ciri fase resusitasi.
Masalah jalan napas dan pernapasan merupakan hal yang mengancam jiwa saat
ini, dengan ditambah keracunan karbon monoksida, edema jalan nafas atas, dan
efek langsung dari cedera inhalasi asap yang paling sering terjadi. Tahap awal ini
juga ditandai dengan hipovolemia karena volume plasma yang hilang ke dalam
jaringan terbakar. Luka bakar itu sendiri kurang diperhatikan dahulu, karena
pengobatan awal paru dan peredaran darah kelainan merupakan prioritas pertama.
Kesalahan manajemen awal akan menyebabkan peningkatan dramatis dalam
morbiditas dan mortalitas selama fase cedera berikutnya. Ini adalah sangat penting
untuk mengingatkan bahwa pasien luka bakar adalah pasien trauma dengan
potensi mengalami cedera lainnya. Pendekatan standar untuk resusitasi trauma
harus diikuti, termasuk penilaian untuk tulang belakang leher dan cedera kepala,
trauma paru dan abdomen, fraktur, dan sebagainya. Pengelolaan masalah ini
adalah sama seperti pada pasien trauma lainnya.6,7
Setibanya di rumah sakit, penilaian patensi jalan napas dan kecukupan
pernapasan harus diulangi dan intubasi endotrakeal dilakukan jika diperlukan.
Resusitasi cairan intravena dimulai dengan pemberian larutan garam fisiologis,
misalnya, larutan Ringer laktat, melalui kanula intravena ukuran besar. Urutan
preferensi untuk tempat kanulasi intravena adalah vena perifer mendasari kulit
17
yang tidak terbakar, vena perifer yang mendasari kulit terbakar, dan terakhir,
vena sentral.6,8
Riwayat terdahulu harus diperoleh, dan penting untuk pengobatan cedera
selanjutnya, riwayat penyakit terdahulu, alergi dan obat-obatan, dan penggunaan
obat-obatan terlarang atau alkohol sebelum cedera. Pemeriksaan fisik lengkap
harus dilakukan dan cedera terkait diidentifikasi. Data laboratorium harus
mencakup analisa gas darah dan analisis pH, elektrolit serum, nitrogen urea,
kreatinin, dan glukosa, dan pemeriksaan darah lengkap. Jika tersedia, penentuan
oksimetri transkutan dari saturasi oksigen harus dimulai pada pasien dengan
dicurigai cedera inhalasi atau luka bakar yang luas.6,8
Berikut terdapat beberapa langkah penanganan emergensi luka bakar: 6
1. Diwajibkan memakai sarung tagan steril ketika melakukan pemeriksaan.
2. Bebaskan pakaian penderita yang terbakar.
3. Dilakukan pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh untuk memastikan
adnya trauma lain yang menyertai.
4. Bebaskan jalan napas. Pada luka bakar dengan distress jalan napas dapat
dipasang endotracheal tube. Tracheostomy dilakukan hanya bila ada
indikasi.
5. Pemasangan intraveneous kateter yang cukup besar dan tidak dianjurkan
pemasangan scalp vein.
6. Dilakukan pemasangan Foley kateter untuk monitor jumlah produksi
urine. Dicatat jumlah urine/jam.
7. Dilakukan pemasangan nosogastrik tube untuk gastric dekompresi dengan
intermitten pengisapan.
8. Untuk menghilangkan nyeri hebat dapat diberikan morfin intravena.
9. Diberikan tetanus toksoid bila diperlukan. Pemberian tetanus toksoid
booster bila penderita tidak mendapatkannya dalam 5 tahun terakhir.
10. Pencucian luka bakar di kamar operasi dalam keadaan pembiusan umum.
Luka dicuci debridement dan di disinfektsi dengan salvon 1 : 30. Setelah
bersih tutup dengan tulle kemudian olesi dengan Silver Sulfa Diazine
(SSD) sehingga tebal. Rawat tertutup dengan kasa steril yang tebal. Pada
18
hari ke 5 kasa di buka dan penderita dimandikan dengan air dicampur
Salvon 1 : 30.
11. Eskarotomi adalah suatu prosedur atau membuang jaringan yang mati
(eskar)dengan teknik eksisi tangensial berupa eksisi lapis demi lapis
jaringan nekrotik sampai di dapatkan permukaan yang berdarah. Fasiotomi
dilakukan pada luka bakar yang mengenai kaki dan tangan melingkar, agar
bagian distal tidak mengalami nekrosis.
12. Penutupan luka dapat terjadi atau dapat dilakukan bila preparasi bed luka
telah dilakukan dimana didapatkan kondisi luka yang relative lebih bersih
dan tidak infeksi. Luka dapat menutup tanpa prosedur operasi. Secara
persekundam terjadi proses epitelisasi pada luka bakar yang relative
superfisial. Untuk luka bakar yang dalam pilihan yang tersering yaitu split
tickness skin grafting. Split tickness skin grafting merupakan tindakan
definitive penutup 10 luka yang luas. Tandur alih kulit dilakukan bila luka
tersebut tidak sembuh –sembuh dalam waktu 2 minggu dengan diameter >
3 cm.
Prinsip Penanganan Luka Bakar
PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI PENDERITA LUKA BAKAR
A. Airway Adanya riwayat terkurung api atau terdapat tanda-tanda trauma jalan napas, memerlukan pemeriksaan jalan napas dan tindakan pemasangan jalan napas defenitif meskipun edema laring belum terjadi.
B. Breathing Didasarkan pada akibat trauma yang ada:1. Trauma bakar langsung, menyebabkan edema dan obstruksi jalan
napas bagian atas.2. Inhalasi hasil pembakaran (partikel karbon) dan asap beracun
menyebabkan trakeobronkhitis kimiawi, edema, dan pneumonia3. Keracunan karbon monoksida (CO) dianggap terjadi bila seseorang
mengalami luka bakar diruangan tertutup. Diberikan oksigen konsentrasi tinggi dengan sungkup nonrebreathing.
C. Circulation Pada luka bakar derajat II dan III 24 jam pertama memerlukan cairan sebanyak 2-4 mL perkilogram berat badan tiap persen luka bakar. Separuh cairan diberi pada 8 jam pertama, dan sisanya pada 16 jam berikutnya. Pemantauan urine output 0,5-1 mL perkilogram berat badan
19
diperlukan untuk menilai respon resusitasi cairan.Tabel Primary Survey pada Luka Bakar berdasarkan ATLS
Kelainan pada ventilasi dan oksigenasi paling sering terjadi secara langsung pada
periode posttrauma. Beberapa proses penyakit kritis harus dievaluasi dan
ditangani secara agresif. Suhu yang tinggi atau panas menghasilkan cedera
langsung pada mukosa saluran nafas, sehingga menimbulkan edema, eritema, dan
ulserasi. Meskipun perubahan mukosa secara anatomis dapat terjadi setelah
kejadian, perubahan fisiologis tidak akan hadir sehingga edema menghasilkan
bukti klinis gangguan patensi saluran napas bagian atas. Ini tidak mungkin terjadi
selama 12 sampai 18 jam.7
Kejadian luka bakar pada tubuh memperbesar efek cedera saluran napas
yang kadar langsung dengan ukuran dan kedalaman luka bakar kulit. Jumlah besar
cairan diberikan adalah sebagian dari tanggung jawab. Luka bakar pada wajah
atau leher akan menekankan masalah ini ditandai dengan menghasilkan distorsi
anatomi dan, dalam kasus luka bakar pada leher yang mendalam, kompresi
eksternal laring. Edema jalan nafas dan edema luka bakar eksternal memiliki
selang waktu tertentu sehingga pada waktu itu gejala edema saluran napas
muncul, eksternal dan internal distorsi anatomi yang sangat luas. Edema lokal
biasanya menyembuh dalam 4 sampai 5 hari.4,7
Inspeksi orofaring untuk jelaga atau bukti cedera panas harus rutin
dilakukan pada setiap korban luka bakar. Banyak teknik telah digunakan untuk
menilai tingkat kecederaan dan menentukan kebutuhan untuk intubasi
endotrakeal. Bronkoskopi atau laringoskopi fiberoptik menunjukkan apakah ada
bukti fisik cedera pada mukosa faring atau laring. Laringoskopi akan
menunjukkan adanya iritasi mukosa dan memberikan informasi tentang perlunya
intubasi endotrakeal. Namun begitu, tidak satupun dari tes ini dapat memprediksi
tingkat keparahan pernafasan secara akurat karena edema berlangsung selama 18
sampai 24 jam pertama. Pemeriksaan ulang untuk gangguan jalan napas dapat
dilakukan pada pasien tanpa luka bakar pada wajah. Namun, dengan adanya luka
20
bakar yang besar, yang terbaik adalah untuk melanjutkan dengan intubasi jika ada
indikasi.6,7
Keputusan awal mengenai kebutuhan untuk intubasi saluran napas sangat
penting. Bila ada keraguan, lebih aman untuk intubasi. Pasien dengan trauma
inhalasi dan luka bakar pada wajah yang dalam biasanya harus dikelola oleh
intubasi endotrakeal awal. Ada indikasi lain untuk intubasi pada pasien luka bakar
selain daripada edema saluran napas, seperti ketidakstabilan hemodinamik dan
penurunan kesadaran. Orotracheal tube dengan ukuran yang besar (setidaknya 7
mm dengan diameter internal) harus digunakan pada orang dewasa karena sekresi
yang dihasilkan sangat padat. Jika orotracheal tube awalnya terlalu kecil, maka
akan berbahaya sekali untuk menggantikan karena edema masif pada wajah dan
saluran napas terjadi.4,7
Resusitasi cairan harus dimulai sesegera mungkin setelah cedera termal.
Umumnya, luka bakar yang melibatkan lebih dari 25% dari luas permukaan tubuh
memerlukan resusitasi cairan intravena karena ileus menghalangi resusitasi oral.
Pasien dengan luka bakar kecil tidak membentuk ileus harus memiliki akses
liberal untuk elektrolit yang mengandung cairan, seperti jus buah atau susu,tetapi
asupan yang berlebihan dari elektrolit-bebas air harus dihindari untuk mencegah
hiponatremia.6,7
Yang paling utama adalah volume cairan yang dibutuhkan tergantung pada
berat badan pasien dan tingkat kecederaan luka bakar. Kebanyakan sering
disarankan bahwa setengah dari kebutuhan yang dihitung diberikan selama 8 jam
pertama setelah kejadian, yaitu, pada waktu permeabilitas pembuluh darah
maksimal, sisa volume 24 jam pertama resusitasi disampaikan selama 16 jam ke
depan. Subkelompok tertentu pasien memerlukan resusitasi volume secara
signifikan lebih besar daripada yang diperkirakan oleh rumus. Sebuah
keterlambatan dalam memulai resusitasi cairan, cedera inhalasi, dan keracunan
etanol sering dikaitkan dengan lebih besar dari kebutuhan cairan yang
diprediksi.7,8
Rumus resusitasi hanya untuk membantu dalam inisiasi terapi cairan.
Jumlah yang sebenarnya cairan resusitasi disesuaikan dengan respon fisiologis
21
setiap pasien, sering dengan penilaian ulang dan penyesuaian kadar infus yang
diperlukan untuk melestarikan perfusi organ vital. Kegagalan untuk sering
mengevaluasi kembali respon pasien untuk resusitasi secara teratur dapat
menyebabkan kelebihan atau kekurangan resusitasi. Hal ini sering terlihat ketika
volume cairan diberikan hanya berdasarkan perkiraan awal. Dengan administrasi
berlebihan dari cairan infus akan mengakibatkan edema pada luka bakar, paru dan
otak. Komplikasi yang paling jelas terlihat dari hari ketiga hingga keenam
posttrauma, ketika permeabilitas pembuluh darah telah kembali ke "normal,"
resistensi vaskular telah menurun, dan edema luka bakar sedang diserap.7
Secara umum, cairan yang mengandung setidaknya garam sebanyak
kandungan di dalam plasma sesuai dalam resusitasi. Pemulihan natrium yang
hilang ke dalam luka bakar sangat penting. Cairan harus bebas dari glukosa
(kecuali dalam pengobatan anak-anak kecil) karena karekteristik intoleransi
glukosa akan muncul. Volume darah dapat dipulihkan dengan lebih efektif karena
kebocoran menurun pada sekitar 24 sampai 36 jam. Volume infus di atas jumlah
yang diperlukan untuk perfusi yang memadai dapat menonjolkan edema yang
berhubungan dengan komplikasi adalah nyata.7,8
Jumlah kristaloid isotonik yang diperlukan dalam 24 jam pertama
disesuaikan berdasarkan parameter yang digunakan untuk memantau kecukupan
resusitasi. Jika menggunakan solusi hipertonik, tingkat natrium serum seharusnya
tidak diperbolehkan untuk melebihi 160 mEq / L. Oleh karena tampak
permeabilitas jaringan tanpa luka bakar kembali cepat setelah cedera, dan karena
hypoproteinemia mungkin terjadi pada edema jaringan tanpa luka bakar, restorasi
awal protein bermula sekitar 8 sampai 12 jam dengan albumin 6% tampaknya
tepat jika edema dalam jaringan tanpa cedera dan persyaratan cairan total harus
diminimalkan. Penggunaan fresh frozen plasma harus disediakan untuk koreksi
kelainan pembekuan yang didokumentasikan. Karena tidak ada tanda awal defisit
sel darah merah dengan luka bakar saja (kecuali hemolisis parah terjadi),
pengganti darah biasanya tidak diperlukan. Bantuan inotropik untuk melengkapi
cairan diindikasikan jika perfusi yang memadai tidak dapat dipertahankan tanpa
pemberian cairan yang berlebihan.8
22
Pasien luka bakar memerlukan resusitasi volume cairan yang besar segera
setelah trauma. Resusitasi cairan yang tertunda atau yang tidak adekuat
merupakan faktor resiko yang independent terhadap tingkat kematian pada pasien
dengan luka bakar yang berat. Tujuan dari resusitasi pasien luka bakar adalah
untuk tetap menjaga
perfusi jaringan dan meminimalkan edema interstitial. Idealnya sedikit cairan
dibutuhkan untuk menjaga perfusi jaringan perlu diberikan. Pemberian volume
cairan seharusnya secara terus menerus di titrasi untuk menghindari terjadinnya
resusitasi yang kurang atau yang berlebihan. Ketika resusitasi cairan pada pasien
luka bakar ditingkatkan, volume cairan yang besar ditunjukkan untuk menjaga
perfusi jaringan.
Akan tetapi resusitasi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinnya
edema dan terjadinya sindroma kompartement pada daerah abdomen dan
ekstremitas.
Resusitasi cairan isotonik kristaloid di gunakan pada sebagian pusat
penanganan luka bakar dan umumnnya merupakan hasil resusitasi yang adekuat.
Buffer cairan kristaloid seperti ringer laktat merupakan cairan yang paling popular
untuk resusitasi sampai saat ini. Formula resusitasi yang klasik di modifikasi oleh
Brooke dan Parkland. Formula modifikasi dari Brooke di kembangkan dari
formula Evans dan Brooke yang menyarankan pemberian 2 ml/ kg / % dari total
tubuh yang terkena luka bakar selama 24 jam pertama dan merupakan jenis
formula pertama yang berdasarkan persentase total permukaan tubuh yang terkena
luka bakar. Formula Brooke merupakan modifikasi dari formula Evans yang
mengandung persentase kristaloid yang relatif lebih besar di bandingkan koloid
pada formula Evans.
Modifikasi formula Brooke murni menggunakan cairan kristaloid. Konsep terbaru
yang dikembangkan oleh Baxter dan Shires menghasilkan perkembangan 4 ml /kg
/ % luas permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Setengah dari volume cairan
resusitasi diberikan pada 8 jam pertama dan setengahnya lagi di berikan pada 16
jam berikutnnya setelah trauma. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa formula ini
merupakan suatu penuntun yang sederhana untuk terapi cairan di mana pasien
23
harus di monitor secara ketat untuk mengoptimalisasi resusitasi syok akibat luka
bakar.
Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa kebutuhan cairan terutama untuk pasien
dengan area luka bakar yang luas sering di prediksi dengan menggunakan rumus
Parkland. Pada populasi tertentu memerlukan resusitasi cairan yang lebih dari
yang sudah dikalkulasi. Pasien dengan trauma inhalasi kemungkinan memerlukan
30-40% cairan ( sekitar 5-7mL/kg/BSA) dari yang formula Parkland.
Keterlambatan dalam terapi cairan juga memerlukan resusitasi cairan yang lebih
(30’%) dari kebutuhan normal. Perlakuan dengan eskaratomi atau fasiotomi juga
memerlukan terapi cairan yang lebih. Kristaloid merupakan cairan yang paling
sering digukan untuk resusitasi syok akibat luka bakar. Sampai saat ini tidak ada
studi prosfektif yang dapat memperlihatkan bahwa koloid atau salin hipertonik
memiliki mamfaat yang lebih dibandingkan kristaloid isotonik dalam hal
resusitasi pasien pasien luka bakar. Selain itu kriataloid isotonik lebih murah
dibandingkan koloid, meskipun kerugian penggunaan kristaloid memerlukan
volume yang realtif lebih besar untuk resusitasi syok akibat luka bakar dan
berpotensi menyebabkan terjadinnya edema jaringan. Ada kemungkinan hal ini
terjadi akibat resusitasi yang berlebihan jika pasien tidak dimonitor ketat.
Penumpukan cairan ini terjadi terutama pada ruang interstitial. Kebanyakan studi
tidak memperlihatkan insiden edema paru pada pasien yang menerima resusitasi
dengan kristaloid. Kolm dkk, baru-baru ini mengkomfirmasi bahwa kebanyakan
pasien-pasien luka bakar tidak memperlihatkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah paru setelah luka bakar dan edema paru jarang terjadi selama
tekanan pengisian intravaskuler dipertahankan dalam batas normal. Komplikasi
potensial yang lain akibat resusitasi kristaloid yang berlebihan adalah
hipoalbuminemia dan ketidak seimbangan elektrolit. Perubahan ini belum
memperlihatkan hubungan secara signifikan dengan tingkat morbiditas dan
mortalitas
24
Koloid
Secara teoritis koloid memberikan keuntungan yang lebih dalam menjaga volume
intravaskular dengan volume yang lebih sedikit dengan waktu yang lebih pendek
dibandingkan kristaloid. Pada pasien dengan endotel yang intak koloid lebih
bertahan lama dibandingkan kristaloid dalam kompartemen intravaskular. Protein
plasma memegang peranan yang penting dalam dalam mempertahankan volume
vaskular dengan memberikan tekanan koloidosmotik yang berlawanan dengan
tekanan hidrostatik intravascularMeskipun demikian pada pasien luka bakar
memperlihatkan penigkatan permeabilitas vaskular terhadap cairan elektrolit dan
kolid sehingga penggunaan koloid pada 8-24 jam pertama setelah luka bakar
masih dipertanyakan. Akibat peningkatan permeabilitas vaskular yang diobservasi
pada luka bakar, koloid mungkin saja tidak bertahan lebih lama dalam sirkulasi di
bandingkan dengan kristaloid. Selain itu dikhawatirkan bahwa aliran koloid ke
interstitial dapat memperburuk edema. Target terapi cairan seharusnya mencapai
UOP 0.5 mL/kg/jam atau mencapai 30-50mL/jam pada orang dewasa dan anak-
anak (>50kg). Pada anak yang lebih kecil, target terapi cairan seharusnya
mencapai 1mL/kg/jam. 13
Myoglobinuria
Semua pasien yang disangkakan dengan mioglobinuria atau
rhabdomiolisis harus di terapi dengan resusitasi cairan dan penanganan terhadap
komplikasi yang mungkin terjadi. Bilamana level Kreatinin kinase mencapai 5000
U/L harus diindikasikan rawat inap dan dengan terapi cairan yang agresif untuk
mencegah gagal ginjal akut dan harus diikuti dengan hidrasi kontinual dimana
mencapai 2-3 kali maintenen biasa.
Target urin output mencapai 2-3 mL/kg/jam sangat direkomendasi dan
level kreatinin kinase harus mencapai level dibawah 1000 U/L, urin jernih dan
pasien sudah bisa mempertahankan oral hirasi yang cukup.
Mannitol dapat menyebabkan dieresis, dimana diikuti dengan terapi cairan
IV yang agresif, dapat menimimalisasi terjadi deposisi mioglobin pada
intratubular, yang mana dapat menyebabkan penurunan radikal bebas dan
25
mengurangai cedera sel tubular dan dapat menyebabkan vasodilator renal. Namun,
keuntungan secara klinis masih dipertanyakan14.
Protokol resusitasi pada pasien pediatri dengan formula (TB(H) dan BB(W)):
BSA = [87 (H + W) - 2600] / 10,000
Shriners Burn Institute (Cincinnati) - 4 mL/kg per persen luka bakar +
1500 mL/m2 BSA
o 8 jam awal – cairan RL dengan 50 mEq natrium bicnat per liter
o 8 jam kedua- cairan RL
o 8 jam ketiga – cairan RL + 12.5 g dari cairan albumin per liter