Top Banner
BAB I PENDAHULUAN
74

Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

Feb 07, 2016

Download

Documents

Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan juga digunakan sebagai tempat tinggal manusia. Lahan memiliki sifat atau karakteristik yang spesifik. Secara klasik lahan diartikan sebagai suatu bentang alam yang memiliki Sifat-sifat biofisk dan atribut atau keadaan unsur-unsur lahan yang dapat diukur atau diperkirakan, seperti tekstur tanah, struktur tanah, kedalaman tanah, jumlah curah hujan, distribusi hujan, temperatur, drainase tanah, jenis vegetasi, dan sebagainya. Namun pengertian lahan tidaklah sesempit itu, secara luas lahan diartikan sebagai suatu kesatuan lingkungan biofisik bagian dari bentang alam dan mencakup lingkungan sosial budaya dan ekonomi dari lahan tersebut. Karena peranan lahan yang bersifat multifungi ini, maka dalam proses pengelolaan lahan ketiga aspek tersebut perlu dipertimbangkan.
Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, kualitas sumberdaya lahan semakin berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya daya dukung lahan dalam menyangga kegiatan produksi di atasnya, rentan terhadap proses degradasi lahan dan kerusakan lingkungan lainnya. Untuk itu perlu pengelolaan lahan yang efektif, efisien dan optimal sehingga kelestarian lahan juga dapat terjaga dan kebutuhan manusia akan lahan dapat tercukupi.
Pengelolaan lahan berkelanjutan merupakan sebuah konsep pengelolaan sumberdaya lahan yang bertumpu pada tiga aspek utama yaitu (1) Kepedulian Lingkungan (Ecologically Awareness), dimana pengelolaan tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis lahan tersebut. Keseimbangan lingkungan adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam; (2) Bernilai ekonomis (Economic Valueable), pengelolaan harus mengacu pada pertimbangan untung rugi untuk jangka pandek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar sistem ekologi, sumber daya alam dapat terlanjutkan (tidak tereksploitasi); dan (3) Berwatak sosial (Socially Just), sistem pengelolaan harus selaras dengan norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh masyarakat setempat. Sistem pengelolaan tanah dan lahan yang diterapkan pada setiap daerah atau lokasi tertentu harus bersifat spesifik dalam arti menyesuaikan dengan potensi biofisik, sosial budaya, dan nilai ekonomi daerah tersebut.
Daerah-daerah di Indonesia memiliki heterogenitas sosial dan budaya yang tinggi. Setiap daerah biasanya memiliki kekhasan tersendiri dalam sistem pengelolaan lahannya. Penerapan norma-norma lokal seperti hukum adat dan kearifan lokal sebagai bagian dari sistem pengelolaan lahan masih banyak dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu menjadi sangat penting dalam menetapkan pengelolaan lahan yang sesuai dan mampu mengsinergikan antara potensi-potensi serta norma yang berlaku di daerah masing-masing.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

Page 2: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

2

Page 3: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

3

Latar Belakang

Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia.

Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,

selain itu lahan juga digunakan sebagai tempat tinggal manusia. Lahan memiliki

sifat atau karakteristik yang spesifik. Secara klasik lahan diartikan sebagai suatu

bentang alam yang memiliki Sifat-sifat biofisk dan atribut atau keadaan unsur-

unsur lahan yang dapat diukur atau diperkirakan, seperti tekstur tanah, struktur

tanah, kedalaman tanah, jumlah curah hujan, distribusi hujan, temperatur,

drainase tanah, jenis vegetasi, dan sebagainya. Namun pengertian lahan tidaklah

sesempit itu, secara luas lahan diartikan sebagai suatu kesatuan lingkungan

biofisik bagian dari bentang alam dan mencakup lingkungan sosial budaya dan

ekonomi dari lahan tersebut. Karena peranan lahan yang bersifat multifungi ini,

maka dalam proses pengelolaan lahan ketiga aspek tersebut perlu

dipertimbangkan.

Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus

berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi,

pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak

mempertimbangkan aspek keberlanjutan sehingga kelestariannya semakin

terancam. Akibatnya, kualitas sumberdaya lahan semakin berkurang dan

manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal

(kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya

daya dukung lahan dalam menyangga kegiatan produksi di atasnya, rentan

terhadap proses degradasi lahan dan kerusakan lingkungan lainnya. Untuk itu

perlu pengelolaan lahan yang efektif, efisien dan optimal sehingga kelestarian

lahan juga dapat terjaga dan kebutuhan manusia akan lahan dapat tercukupi.

Pengelolaan lahan berkelanjutan merupakan sebuah konsep pengelolaan

sumberdaya lahan yang bertumpu pada tiga aspek utama yaitu (1) Kepedulian

Lingkungan (Ecologically Awareness), dimana pengelolaan tidak boleh

menyimpang dari sistem ekologis lahan tersebut. Keseimbangan lingkungan

adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya

dikendalikan oleh hukum alam; (2) Bernilai ekonomis (Economic Valueable),

pengelolaan harus mengacu pada pertimbangan untung rugi untuk jangka pandek

dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar

sistem ekologi, sumber daya alam dapat terlanjutkan (tidak tereksploitasi); dan

(3) Berwatak sosial (Socially Just), sistem pengelolaan harus selaras dengan

norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh

masyarakat setempat. Sistem pengelolaan tanah dan lahan yang diterapkan pada

setiap daerah atau lokasi tertentu harus bersifat spesifik dalam arti menyesuaikan

dengan potensi biofisik, sosial budaya, dan nilai ekonomi daerah tersebut.

Daerah-daerah di Indonesia memiliki heterogenitas sosial dan budaya yang

tinggi. Setiap daerah biasanya memiliki kekhasan tersendiri dalam sistem

pengelolaan lahannya. Penerapan norma-norma lokal seperti hukum adat dan

kearifan lokal sebagai bagian dari sistem pengelolaan lahan masih banyak

dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu menjadi sangat

penting dalam menetapkan pengelolaan lahan yang sesuai dan mampu

mengsinergikan antara potensi-potensi serta norma yang berlaku di daerah

masing-masing.

Page 4: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

4

Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk menggali berbagai informasi dan potensi serta

permasalahan pengelolaan lahan yang ada di berbagai daerah Indonesia dan

menerapkan bagaimana sistem pengelolaan tanah dan lahan yang sesuai untuk

pemanfaatan komoditi dan tujuan tertentu di daerah tersebut berdasarkan

prinsip-prinsip pengelolaan lahan berkelanjutan.

Page 5: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

5

BAB II

ISI MAKALAH

Page 6: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

6

Page 7: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

7

“Revitalisasi Pertanian Tanaman Pangan melalui Pendekatan

Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi di

Kabupaten Bogor”

Disusun Oleh: Gilang Sukma Putra

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras masih sangat tinggi.

Tercatat pada tahun 2013 angka konsumsi beras per kapita Provinsi Jawa Barat

mencapai 90.3 Kg (BPS Jabar, 2013). Produksi Gabah Kering Giling (GKG)

Kab. Bogor sebanyak 551 ribu ton pada 2013 (Bogor Dalam Angka, 2014)

hanya mampu mencukupi sebesar 79.2% konsumsi beras penduduk Kab. Bogor

yang berjumlah sekitar 5.1 juta jiwa. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk

meningkatkan produksi beras perlu dilakukan untuk mengurangi defisit tersebut

melaui sistem pengelolaan tanah dan lahan yang lebih baik.

Usaha pengelolaan tanah dan lahan yang dilakukan perlu menerapkan

konsep keberlanjutan. Diperlukan suatu pendekatan sistem budidaya pertanian

yang menyeluruh, selain dapat meningkatkan angka produksi juga harus bersifat

partisipatif, mampu diterima dan dijangkau oleh masyarakat, dan tidak merusak

atau menurunkan kualitas lingkungan lahan tersebut. Salah satu pendekatan yang

dapat diterapkan adalah melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan

Sumberdaya Terpadu (PTT). PTT bukan merupakan paket teknologi, melainkan

merupakan pendekatan dalam peningkatan produksi melalui pengelolaan

tanaman, tanah, air, hara, dan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara

menyeluruh dan berkelanjutan. Dalam penerapannya, PTT bersifat (1)

partisipatif, (2) dinamis, (3) spesifik lokasi, (4) terpadu, dan (5) sinergis antar

komponen teknologi yang diterapkan (Balittra, 2012).

Selama ini peningkatan hasil produksi padi melalui pendekatan PTT sudah

berkembang di lahan sawah irigasi. Berbagai perpaduan komponen teknologi

yang sifatnya saling sinergis, kompatibel, dan saling melengkapi telah

dianjurkan sebagai usaha untuk meningkatkan produksi padi yang lebih efisien,

menguntungkan dan berkesinambungan. Menurut survei yang dilakukan

Balitbang Pertanian (2007) diperoleh bahwa dari 28 kabupaten yang telah

menerapkan pendekatan PTT sejak tahun 2002-2003 produksi padi irigasi

mengalami peningkatan rata-rata 19% dan pendapatan petani 15%. Kabupaten

Bogor sendiri sebenarnya sudah menerapkan sistem PTT padi di beberapa

daerah seperti di Desa Karacak pada tahun 2005 (Maryati et al, 2005) dan

Kecamatan Ciseeng pada tahun 2011 (Muslihat, 2012). Hasilnya pun cukup

memuaskan, terbukti dengan pendekatan PTT mampu meningkatkan

produktifitas padi menjadi 6 – 9 ton Gabah Kering Giling (GKG) per hektar.

Oleh karena itu, adopsi PTT ke berbagai daerah budidaya padi di Kabupaten

Page 8: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

8

Bogor sudah saatnya untuk digalakkan untuk meningkatkan jumlah produksi

beras Kab. Bogor.

Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mempelajari, mengkaji, dan

memahami sistem budidaya padi sawah menggunakan pendekatan Pengelolaan

Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) sebagai bagian dari realisasi program

revitalisasi pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bogor.

GAMBARAN UMUM WILAYAH

Kondisi Geografi, Administratitf, dan Demografi

Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298,838,304 Ha, secara

geografis terletak di antara 6º18'0" - 6º47'10" Lintang Selatan dan 106º23'45" -

107º13'30" Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya:

Sebelah Utara, berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Kabupaten

Tangerang, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bekasi;

Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak;

Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten

Cianjur dan Kabupaten Purwakarta;

Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten

Cianjur;

Bagian Tengah berbatasan dengan Kota Bogor.

Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari

dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian

selatan, yaitu sekitar 29.28% berada pada ketinggian 15-100 meter di atas

permukaan laut (dpl), 42.62% berada pada ketinggian 100-500 meter dpl,

19.53% berada pada ketinggian 500–1,000 meter dpl, 8.43% berada pada

ketinggian 1000 – 2000 meter dpl dan 0.22% berada pada ketinggian 2,000–

2,500 meter dpl. Selain itu, kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar

berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya

didominasi oleh hasil letusan gunung, yang terdiri dari andesit, tufa dan basalt.

Gabungan batu tersebut termasuk dalam sifat jenis batuan relatif lulus air dimana

kemampuannya meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan batuan

ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan

yang tinggi. Selanjutnya, jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik

lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial,

Regosol, Podsolik dan Andosol. Oleh karena itu, beberapa wilayah rawan

terhadap tanah longsor.

Secara klimatologis, wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis

sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan

rata-rata curah hujan tahunan 2,500–5,000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian

utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun.

Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20°- 30°C, dengan rata-rata

tahunan sebesar 25°C.

Page 9: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

9

Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah, dengan rata–

rata 1.2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata – rata sebesar 146.2

mm/bulan. Sedangkan secara hidrologis, wilayah Kabupaten Bogor terbagi ke

dalam 7 buah Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: (1) DAS Cidurian; (2) DAS

Cimanceuri; (3) DAS Cisadane; (4) DAS Ciliwung; (5) Sub DAS Kali Bekasi;

(6) Sub DAS Cipamingkis; dan (7) DAS Cibeet. Selain itu juga terdapat 32

jaringan irigasi pemerintah, 900 jaringan irigasi pedesaan, 95 situ dan 96 mata

air.

Secara umum wilayah Bogor terbentuk oleh batuan vulkanik yang bersifat

piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi,

yaitu Gunung Pangrango dan Gunung Salak. Endapan permukaan umumnya

berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari pelapukan

endapan. Bahan induk geologi tersebut menghasilkan tanah – tanah yang relatif

subur.

Wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur untuk

kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Jenis tanah di Kabupaten Bogor

terdiri dari 22 jenis tanah menurut sistem Klasifikasi PPT (1983) dimana dengan

presentase terbesar adalah Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan

dan Laterit Air Tanah sebesar 20.20 % (60,439,627 Ha). Sedangkan jenis tanah

lainnya adalah sebagai berikut:

1. Andosol Coklat Kekuningan (1%);

2. Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat Kekelabuan (4.71 %);

3. Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat (3.22 %);

4. Asosiasi Latosol Coklat dan Latosol Kekuningan (3.83 %);

5. Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu (5.89 %);

6. Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat (8.78 %);

7. Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu (0.34%);

8. Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol (0.30 %);

9. Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediateran (5.81 %);

10. Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat Kemerahan dan

Litosol (6.71 %);

11. Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat, Podsolik Merah

Kekuningan (5.61 %);

12. Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning dan Regosol

(2.84%);

13. Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol (1.69 %);

14. Kompleks Rensina, Litosol Batu Kapur dan Brown Forest Soil (0.89 %);

15. Latosol Coklat (7.62 %);

16. Latosol Coklat Kekuningan (1.91 %);

17. Latosol Coklat Kemerahan (0.001 %);

18. Latosol Coklat Tua Kemerahan (6.32 %);

19. Podsolik Kuning (1.57 %);

20. Podsolik Merah (2.07 %) dan

21. Podsolik Merah Kekuningan (7.54 %).

Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan yang di

dalamnya meliputi 417 desa dan 17 kelurahan (434 desa/kelurahan), yang

tercakup dalam 3,882 RW dan 15,561 RT. Pada tahun 2012 telah dibentuk 4

(empat) desa baru, yaitu Desa Pasir Angin Kecamatan Megamendung, Desa

Page 10: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

10

Urug dan Desa Jayaraharja Kecamatan Sukajaya serta Desa Mekarjaya

Kecamatan Rumpin.

Luas wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan pola penggunaan tanah

dikelompokkan menjadi: kebun campuran seluas 85,202.5 Ha (28.48%),

kawasan terbangun/pemukiman 47,831.2 Ha (15,99%), semak belukar 44,956.1

Ha (15.03%), hutan vegetasi lebat/perkebunan 57,827.3 Ha (19,33%), sawah

irigasi/tadah hujan 23,794 Ha (7.95%), tanah kosong 36,351.9 Ha (12.15%).

Secara umum, kondisi demografis Kabupaten Bogor dapat digambarkan

bahwa penduduk Kabupaten Bogor berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS)

pada tahun 2014 berjumlah 5,111,769 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki

2,616,873 jiwa dan penduduk perempuan 2,494,807 jiwa. Jumlah penduduk

tersebut hasil proyeksi penduduk dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata

sebesar 2.44 persen dibanding tahun 2012. Angka ini merupakan laju

pertumbuhan penduduk proyeksi selama kurun waktu 1 tahun (RPJMD Kab.

Bogor, 2013).

Kondisi Kawasan Pertanian

Kabupaten Bogor di tahun 2013 memiliki areal persawahan kurang lebih

seluas 47,663 Ha (Kab. Bogor Dalam Angka, 2014). Hal ini menandakan bahwa

Kabupaten Bogor masih mengandalkan sektor pertanian pangan untuk

menopang perekonomian di wilayahnya. Cukup berkembangnya sektor

pertanian di Kabupaten Bogor, terutama disebabkan karena karakteristik lahan

dan kondisi geobiofisik wilayah yang sesuai untuk pengembangan pertanian.

Di sektor pertanian, komoditas utama produksi terdiri dari tanaman

pangan, hortikultura dan perkebunan. Komoditas pertanian yang dihasilkan

antara lain padi sawah, padi gogo, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar,

wortel, bawang daun, ketimun, kacang panjang, dan cabe.

Budidaya tanaman pangan padi menyebar hampir di semua kecamatan,

dengan variasi luasan yang berbeda. Umumnya padi sawah menyebar di wilayah

tengah dan utara, dimana sudah tersedia irigasi, seperti di Kecamatan Rumpin,

Cigudeg, Sukajaya, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Jonggol,

Sukamakmur dan Cariu. Tanaman padi gogo menyebar hanya di beberapa

kecamatan dalam luasan terbatas. Produktifitas tanaman padi sawah adalah

berkisar 4 - 5 ton per ha, sedangkan produktifitas padi gogo 2 – 3 ton per ha

(Dinas Pertanian Jabar, 2013). Produktifitas ini sebenarnya masih dapat

ditingkatkan dengan memperbaiki kondisi lingkungan, seperti menekan bahaya

banjir dan perbaikan manajemen usaha tani seperti pemberian pupuk tepat dosis

dan waktu, penyediaan modal, sarana dan prasarana seperti pembangunan pasar,

gilingan padi, dan lain-lain.

Kendala penting tanaman padi sawah lainnya adalah luasan padi sawah

rata-rata adalah 2.500 m2 per keluarga. Dengan luasan kepemilikan yang rendah

ini maka harus dilakukan pencetakan lahan sawah baru dan melindungi luasan

lahan petani yang ada terutama lahan milik petani-petani gurem.

Daerah pertanian hortikultur seperti sayuran dan buah juga menyebar

hampir di semua wilayah, tetapi konsentrasi komoditas tertentu hanya menyebar

pada wilayah tertentu. Tanaman jagung menyebar di Kecamatan Darmaga,

Cisarua, Megamendung, Cileungsi, Klapanunggal, Rancabungur, Cibinong,

Page 11: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

11

Ciseeng, Gunung Sindur dan Rumpin. Sedangkan tanaman kedelai menyebar

hanya di Tamansari, Kemang, Rancabungur dan Megamendung. Situasi yang

sama juga terjadi pada sayuran dan buah. Daerah sayuran mendominasi terbatas

pada beberapa kecamatan seperti Cisarua, Darmaga, Leuwisadeng, Cigombong,

sedangkan buah berasal dari Tanjungsari, Mekarsari, Jasinga, Tajurhalang, dan

lain-lain. Kendala utama dalam komoditas lahan kering (semusim dan tahunan)

adalah masih rendahnya produktifitas yang terkait dengan manajemen usaha

tani, dan pemasaran. Khususnya untuk tanaman buah, sebenarnya ada varietas

lokal yang sudah dikenal tetapi produksi masih rendah, sehingga upaya

pengembangan komoditas yang bersifat lokal perlu dilakukan.

Penyebaran areal tanaman perkebunan relatif terbatas di Kabupaten Bogor,

tetapi ada daerah-daerah utama perkebunan, seperti misalnya perkebunan teh di

Ciawi, karet di Tanjungsari, dan kelapa sawit di Kecamatan Leuwiliang,

Leuwisadeng, Pamijahan, dan Rumpin. Tanaman perkebunan ini secara

keseluruhan terdapat pada lahan yang berkategori kelas 3 dengan kendala

utamanya adalah faktor kelerengan, sehingga degradasi lahan melalui proses

erosi dan penurunan kesuburan menjadi persoalan utama dan faktor pembatas.

Dari sisi luasan kawasan yang dapat dikembangkan untuk tanaman perkebunan

relatif terbatas (total sekitar 19 ribu hektar), sehingga bentuk usaha skala besar

tidak dianjurkan, tetapi ke bentuk usaha perkebunan skala kecil dan bekerjasama

dengan usaha yang sudah besar (Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan

Perdesaan LPPM IPB, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Neraca Pangan, Produksi Padi dan Isu Permasalahan Ketersediaan Pangan

Kabupaten Bogor memiliki luas areal lahan sawah seluas 47,663 Ha di

tahun 2013 (Kab. Bogor Dalam Angka, 2013). Sejak 5 tahun terakhir, terjadi

penurunan luas areal sawah sekitar 0.5% dari tahun ke tahun. Pada Tabel 1.1

dapat dilihat bahwa luas panen padi sawah di tahun 2013 sebesar 91,318 Ha dari

luasan areal tanam 91,389 Ha yang berarti sekitar 99.9% areal sawah sudah

dapat dipanen dan menghasilkan gabah. Produksi total Gabah Kering Giling

(GKG) padi Kab. Bogor di tahun 2013 mencapai 510,169 ton dengan rata-rata

produktifitas sebesar 6.04 ton/ha. Namun jumlah ini masih kurang cukup untuk

memenuhi kebutuhan beras penduduk Kab. Bogor. Pada Tabel 1.2 dapat dilihat

bahwa konsumsi GKG Kab. Bogor di tahun 2013 sebesar 696,729 ton. Terjadi

defisit pangan sebesar 145,076 ton di tahun 2013.

Tabel 1.1. Data Luas Tanam, Luas Panen, Produktifitas, dan Produksi GKG Kab. Bogor

Tahun 2009 - 2013

Tahun Luas Tanam*) Luas Panen*) Produktifitas

GKG*) Produksi GKG

Ha Ha Ton/Ha Ton

2009 85,706 82,697 5.97 493,779

2010 89,694 88,903 5.96 529,866

2011 86,821 82,714 5.92 489,919

2012 87,093 83,931 5.79 485,627

2013 91,389 91,318 6.04 551,653

Rataan 88,140,60 85,913 5.94 510,169

Sumber: *) Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2013

Page 12: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

12

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya defisit neraca

pangan. Diantaranya besarnya jumlah penduduk Kab. Bogor, produktifitas padi

yang masih relatif rendah, dan luas areal sawah yang terbatas. Pada tahun 2013

luas areal lahan baku sawah di Kab. Bogor tercatat seluas 47,663 Ha (Bogor

Dalam Angka, 2014) dengan Indeks Pertanaman (IP) padi sebesar 1.92.

Sumberdaya pertanian tanaman pangan (lahan sawah) yang utama adalah

tanah dan air. Bogor yang merupakan daerah sub-urban Jakarta menghadapi

beberapa masalah antara lain:

1) Jumlah Penduduk dan konsumsi beras per kapita yang tinggi

2) Produktifitas Lahan Sawah dan Indeks Pertanaman Padi yang masih

rendah

3) Sempitnya luas lahan per kapita penduduk, dan banyaknya petani gurem

dengan pemilikan lahan yang sempit (< 0.5 ha)

4) Terbatasnya akses terhadap sumberdaya air, baik sumber air maupun

jaringan irigasi untuk lahan sawah

5) Terjadinya konversi lahan terutama lahan sawah menjadi permukiman dan

industri, sedang pembentukan lahan sawah baru berjalan lambat.

6) Realisasi Peraturan Agraria yang kurang optimal sehingga menghasilkan

struktur penguasaan tanah yang tidak menghasilkan pemanfaatan yang

terbaik, berkeadilan dan berkelanjutan.

Dari segi teknis pengelolaan lahan, beberapa faktor penghambat seperti

produktifitas dan indeks pertanaman padi yang rendah masih dapat ditingkatkan

melalui revitalisasi sistem budidaya padi dengan mengadopsi teknologi-

teknologi baru yang lebih modern dalam pengelolaan lahan sawah. Salah satu

pendekatan yang dapat digunakan adalah Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya

Terpadu (PTT). Dengan memanfaatkan segala potensi biofisik, sosial, dan

eknomoi yang ada pada suatu lahan, diharapkan pendekatan PTT padi dapat

mengoptimalkan potensi yang ada melalui sistem budidaya yang lebih baik.

Pada akhirnya, segala upaya yang dilakukan adalah untuk mencapai target utama

yaitu menciptakan kemandirian pangan nasional sesuai amanat pemerintah

dalam PP Nomor 28 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

Tabel 1.2.Kebutuhan Konsumsi Beras Penduduk Kab. Bogor Tahun 2009 - 2013

Tahun Jumlah

Penduduk *) Konsumsi Beras

Per Kapita **) Konsumsi

Beras Total Kebutuhan

GKG Total

jiwa Kg Ton Ton

2009 4,643,186 91.30 423,932 675,697

2010 4,771,932 90.16 430,214 685,709

2011 4,922,205 89.48 440,424 701,983

2012 4,989,939 87.24 435,297 693,811

2013 5,111,769 85.51 437,128 696,729

Rataan 4,887,806,20 88.74 433,399 690,786

Sumber: *) BPS Kab. Bogor Tahun 2009 – 2013

**) Survei Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2009 - 2013

Page 13: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

13

Potensi untuk Pengembangan Lahan Sawah

Sumberdaya Air

Kabupaten Bogor Kaya akan Sumberdaya Air. Kab. Bogor memiliki enam

sungai besar yang memiliki cabang-cabang sangat banyak hingga 339 cabang,

yaitu meliputi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, DAS Cisadane, DAS

Cidurian, DAS Cimanceuri, DAS Angke dan DAS Citarum. Kabupaten Bogor

banyak memiliki situ (waduk kecil), baik yang buatan maupun yang terbentuk

secara alami. Hampir semua situ sepanjang tahun selalu terisi air dengan

fluktuasi mengikuti pola musim. Sumber airnya berasal dari mata air atau air

limpasan.

Ketersediaan air dari mata air di Kab. Bogor cukup banyak dan hampir

semuanya mengalir sepanjang tahun dengan debit yang bervariasi. Data yang

sudah diinventarisir adalah mata air dengan debit yang besar yaitu antara 10

liter/detik hingga 800 liter/detik. Mata air dengan debit terbesar berada di daerah

Leuwiliang dan Nanggung dan telah banyak dimanfaatkan untuk irigasi, air

minum, dan industri.

Secara garis besar wilayah Kabupaten Bogor memiliki tiga kelompok

daerah resapan air sebagai berikut: Daerah resapan air tanah utama antara lain

daerah Parung, Sawangan, Cileungsi, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong,

Gunung Sindur, Jonggol, Pancoran Mas, Cisarua, Ciomas, Ciampea, dan

Semplak. Tingkat kelulusan batuan sangat tinggi, yaitu diatas 103 m/hari dengan

jenis batuan endapan kipas aluvium, aluvium sungai, dan endapan gunung api

muda. Dibagian selatan tingkat kelulusan relatif rendah yaitu sebesar 10-4

sampai

10-2

m/hari dengan curah hujan 2500 sampai 5000 mm per tahun ke arah selatan.

Daerah resapan sedang terdapat di daerah Megamendung dengan luasan relatif

kecil dibandingkan dengan yang lainnya. Daerah resapan kecil tersebar di

wilayah Jasinga, Parung Panjang, Cigudeg, Gunung Awi Bengkok, Gunung

Salak, Gunung Mandalawangi di selatan, Gunung Megamedung, Gunung

Telaga, tersusun atas material gunung api muda, endapan gunung api tak

teruraikan, endapan gunung tua, lava formasi Cantanyan dan kompleks sedimen

berseling-seling dengan kelulusan air antara 10-4

sampai 10-2

m/hari. Curah

hujan antara 3500 – 5000 mm per tahun. (Pusat Studi Pembangunan Pertanian

dan Pedesaan LPPM IPB, 2009).

Jenis Tanah dan topografi

Kab. Bogor memiliki jenis tanah dengan bahan induk berasal dari tuff

volkan Gunung Salak. Tanah-tanah yang terbentuk seperti Latosol dan Andosol

memiliki kesuburan yang cukup tinggi dan bertekstur halus. Tanah dengan

tekstur ini sangat cocok untuk dijadikan sawah karena memiliki sifat kedap yang

dapat menahan air dalam jumlah banyak. Tanah-tanah ini tersebar luas di Kec.

Jasinga, Cigudeg, Tenjolaya, Tenjo, Cariu, dan Jonggol. Kelemahan dari jenis

tanah ini yaitu tanahnya bersifat masam, namun dengan dijadikan sawah

kelemahan ini dapat diatasi karena pH tanah dapat dinaiikan mendekati netral

melalui penggenangan.

Topografi Kab. Bogor bersifat heterogen dari bergelombang dan berbukit

pada bagian selatan sampai landai dan datar ke arah utara. Lahan sawah banyak

dikembangkan secara luas di daerah bagian tengah sampai utara Kab. Bogor

Page 14: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

14

terutama di sekitar DAS yang mengaliri Kab. Bogor. Di bagian selatan lahan

sawah juga banyak ditemukan dengan sistem tersering karena daerahnya yang

lebih berlereng dibandingkan di bagian utara.

Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) untuk

Padi Sawah

Tahapan Pelaksanaan PTT Padi

Pengembangan PTT padi didasarkan kepada masalah dan kendala yang

ada di lokasi setempat yang dapat diketahui melalui penelaahan pemahaman

pedesaaan dalam waktu singkat (Partisipatory Rural Appraisal, PRA)

sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.1.

Langkah pertama pengembangan PTT padi adalah dengan pelaksanaan

PRA di daerah lokal yang menjadi target pengembangan guna menggali

permasalahan utama yang dihadapi petani. Melalui PRA, keinginan dan harapan

petani dapat diidentifikasi, seperti lingkungan biofisik, kondisi sosial-ekonomi,

budaya petani setempat dan masyarakat sekitarnya.

Langkah kedua adalah penyusunan komponen teknologi yang sesuai

dengan karakteristik dan masalah di daerah pengembangan. Komponen

teknologi tersebut bersifat dinamis karena akan mengalami perbaikan dan

perubahan menyesuaikan dengan perkembangan inovasi dan masukan-masukan

dari petani dan masyarakat setempat.

Langkah ketiga adalah penerapan teknologi utama PTT padi dalam bentuk

pembuatan “demonstrasi plot” (demplot) seluas 4.0 Ha sebagai percontohan bagi

hamparan sawah yang luasnya ±100 Ha. Sejalan dengan itu dilakukan peragaan

komponen teknologi alternatif pada luasan ± 1 Ha sebagai sarana untuk mencari

teknologi alternatif yang nanti berguna untuk mensubstitusi komponen teknologi

yang kurang sesuai (Balitbang Pertanian, 2007).

Daerah Kab. Bogor memiliki Kondisi Biofisik, Sosial, dan Ekonomi yang

sangat heterogen. Kondisi tersebut menghasilkan keberagaman permasalahan

dan kendala yang ada pada masing-masing spesifik lokasi. Oleh karena itu,

pelaksanaan PRA pada setiap lokasi pengembangan PTT padi di Kab. Bogor

Gambar 1.1 Strategi pengembangan model PTT padi sawah

Sumber: Pedoman Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut, Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007

Page 15: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

15

menjadi sangat penting dilakukan agar komponen teknologi PTT padi yang

diterapkan mampu memanfaatkan potensi biofisik yang dimiliki daerah tersebut

secara optimal dan meningkatkan kemauan petani setempat untuk melaksanakan

program PTT padi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya dan ekonomi

mereka agar mampu meningkatkan kesejahteraan hidup petani setempat.

Penyiapan Lahan Sawah

Pengolahan tanah untuk sawah dapat dilakukan secara sempurna (2 kali

bajak dan 1 kali garu) atau, olah tanah minimal atau tanpa olah tanah sesuai

keperluan dan kondisi. Faktor yang menentukan adalah ada tidaknya pengaruh

kemarau panjang, pola tanam, dan jenis/tekstur tanah. Penyiapan lahan dengan

teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) atau zero tillage dapat diaplikasikan untuk

penyiapan lahan sawah dengan cara tebas atau penyemprotan herbisida;

Tebas

Gulma atau rumput ditebas di saat lahan digenangkan

Rumput dibiarkan terhampar membusuk selama dua minggu, setelah itu

digumpal dan dibiarkan dua minggu kemudian gumpalan dibalik lagi.

Setelah gumpalan rumput membusuk sepenuhnya, gumpalan tersebut

dihamparkan secara merata pada seluruh permukaan petakan sebagai

sumber bahan organik bagi tanaman.

Herbisida

Sewaktu penyemprotan herbisida, petakan diusahakan tidak

digenangi/tergenang oleh air untuk mencegah kontaminasi bahan beracun

dari herbisida ke dalam air yang dapat menyebabkan polusi

Gulma dapat disemprot dengan herbisida nonselektif seperti Glyphosate

atau Paraquat

Penyemprotan dilakukan lebih awal agar waktu tanam padi tidak tertunda

karena menunggu gulma membusuk.

Teknologi zero tillage dapat mengurangi pengaruh pemadatan pada tanah,

selain itu struktur tanah menjadi tidak hancur dan dapat mengefisienkan

penggunaan tenaga kerja. Menurut Simatupang (2007) dengan pengaplikasian

teknologi zero tillage menggunakan herbisida dapat menekan penggunaan

jumlah tenaga kerja sebesar 25% dibandingkan sistem tebas, dan juga mampu

mencegah terjadinya keracunan Fe pada tanaman.

Komponen Teknologi PTT Padi

Varietas unggul baru yang sesuai di lokasi setempat

Varietas unggul merupakan teknologi yang lebih nyata kontribusinya

terhadap peningkatan produktifitas tanaman dan dapat dengan mudah diadopsi

petani karena murah dan penggunaanya lebih praktis. Dengan dilepaskannya

berbagai varietas padi sawah (Tabel 1.3), petani dapat memilih varietas yang

sesuai dengan kondisi setempat

Petani di Kabupaten Bogor sendiri pada umumnya banyak menggunakan

padi varietas Ciherang dan perlahan-lahan menggeser dominasi IR-64. Hal ini

dikarenakan pada varietas IR-64 tidak terlalu tahan terhadap serangan tungro

disamping itu rasa nasi padi dari varietas Ciherang lebih disukai oleh

masyarakat. Beberapa daerah di Bogor juga ada yang menggunakan varietas

Page 16: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

16

Bondoyudo dan varietas lokal Tukad Unda seperti di daerah Karacak, Kec.

Leuwiliang. Pada intinya, pemilihan varietas padi yang dipilih selain untuk

meningkatkan produksi padi juga harus memperhatikan kebiasaan cara budidaya

petani dan kebutuhan rasa nasi yang diinginkan oleh masyarakat setempat.

Benih bermutu (bersertifkat dan vigor tinggi)

Penggunaan benih bersertifikat dan benih dengan vigor tinggi sangat

dianjurkan, karena (1) benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat

dengan perakaran yang baik dan padat, (2) akan menghasilkan perkecambahan

dan pertumbuhan yang seragam, (3) pada saat ditanam pindah dari persemaian,

bibit dari benih yang baik dapat tumbuh lebih cepat dan tegar, dan (4) benih

yang baik akan menghasilkan tanaman yang sehat.

Benih yang baik adalah benih yang memiliki kerapatan isi/densitas gabah

yang tinggi, memiliki densitas spesifik gravitasi minimal 1.2. Pada benih dengan

gabah densitas tinggi, lebar dan berat daun serta jumlah penggunaan karbohidrat

oleh bibit akan lebih baik dari bibit yang berasal dari gabah dengan densitas

rendah. Gabah dengan densitas tinggi memiliki abnormalitas bibit yang rendah.

Bibit, Persemaiaan Bibit, dan Sistem Tanam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit muda akan menghasilkan

anakan yang lebih baik dibandingkan dengan bibit tua. Menurut Adnany (2013)

Penggunaan bibit muda (padi berumur 5 – 15 hari semai) menghasilkan

pertumbuhan tanaman lebih cepat karena daya jelajah akar lebih jauh sehingga

perkembangan akar menjadi maksimal pada akhirnya kebutuhan nutrisi tanaman

tercukupi. Selain itu, penggunaan bibit berumur 10 hari, akan menghasilkan

jumlah anakan maksimal 30 – 50 batang dalam setiap rumpunnya.

Tabel 1.3. Varietas unggul padi sawah dan beberapa karakteristik penting

Varietas Umur

(Hari)

Produktif

itas (Ton

GKG/ha)

Tekstur

nasi Tahan/Toleran

IR-64 110 - 120 5.0 – 6.0 pulen Tahan wereng coklat biotipe 1, 2, dan

agak tahan Wereng Coklat biotipe 3

Ciherang 116 - 125 6.0 – 8.5 pulen

Tahan wereng coklat biotipe 2, agak

tahan wereng coklat biotipe 3, dan

tahan hawar daun bakteri

Ciliwung 117 - 125 5.0 – 6.0 Pulen

Tahan wereng coklat biotipe 1,2,

ganjur, tahan tungro, dan tahan hawar

daun bakteri

Mekongga 116 - 125 6.0 – 8.4 pulen

Agak tahan wereng coklat biotipe 2

dan 3, agak tahan hawar daun bakteri

biotipe strain IV

Sarinah 110 - 125 7.0 – 8.0 pulen Agak tahan wereng coklat biotipe 1,

agak peka biotipe 2 dan 3

Cigeuis 115 - 125 5.0 – 8.0 pulen

Tahan wereng coklat biotipe 2 dan 3,

dan tahan hawar daun bakteri starin

IV

Bondoyudo 110 - 120 6.0 – 8.4 pulen Tahan wereng coklat dan Tungro

Batang Piaman 97 - 120 6.0 – 7.6 Pera Tahan penyakit blas daun dan blas

leher malai

Sumber: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008

Page 17: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

17

Jumlah bibit yang ditanam 1-3 per lubang tanam. Jarak tanam yang

digunakan dengan sistem tanam tegel 20 cm x 20 cm (25 rumpun/m2), 25 cm x

25 cm (16 rumpun/m2) atau dengan sistem legowo 2:1, 4:1. Rumpun yang hilang

karena tanaman mati, terlewati ditanam, atau rusak karena hama segera ditanami

ulang tidak lebih dari 14 hari setelah tanam. Bibit yang ditanam berasal dari

persemaian yang sama. Disarankan menggunakan sistem jajar legowo (Gambar

1.2) karena menurut Bobihoe (2011) terdapat beberapa keuntungan yang

diperoleh dibanding sistem tegel, anatara lain:

Pada cara tanam Jajar Legowo 2:1, semua tanaman seolah-olah berada

pada barisan pinggir pematang, sedangkan pada cara tanam Jajar Legowo

4:1, separuh tanaman berada pada bagian pinggir (mendapat manfaat

border effect).

Jumlah rumpun padi meningkat sampai 33%/Ha

Meningkatkan produktifitas padi 12-22%

Memudahkan pemeliharaan tanaman

Masa pemeliharaan ikan dapat lebih lama, yaitu 70-75 hari dibanding cara

tandur jajar biasa yang hanya 45 hari. Hasil ikan yang diperoleh dapat

menutupi sebagian biaya usaha tani (Sistem Pertanian Terpadu Minapadi)

Dapat meningkatkan pendapatan usahatani antara 30-50%.

Selain itu, sistem jajar legowo juga mampu meningkatkan populasi

tanaman padi sebesar 1.33 sampai 1.6 kali lipat dibanding sistem tegel. Berikut

perbandingan populasi padi per hektar antara sistem tegel (cara konvensional)

dan jajar legowo disajikan pada Tabel 1.4.

Gambar 1.2. Sistem tanam legowo 4:1 (kiri) dan 2:1 (kanan)

Sumber: http://image.google.com

Tabel 1.4.Perbandingan populasi padi sitem tegel dan jajar legowo

No. Cara Tanam Populasi per hektar Persentase relatif

1 Tegel 20 x 20 cm 250,000 100

2 Tegel 22 x 22 cm 206,661 100

3 Tegel 25 x 25 cm 160,000 100

4 Legowo 2:1 (10 x 20 cm) 333,333 133

5 Legowo 3:1 (10 x 20 cm) 375,000 150

6 Legowo 4:1 (10 x 20 cm) 400,000 160

7 Legowo 2:1 (12.5 x 25 cm) 213,000 133

8 Legowo 3:1 (12.5 x 25cm) 240,000 150

9 Legowo 4:1 (12.5 x 25 cm) 256,000 160

Sumber: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008

Page 18: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

18

Masyarakat petani Kabupaten Bogor sendiri masih banyak menerapkan

cara konvensional (sistem tegel) dalam penanaman bibit padi. Hanya ditemukan

sangat sedikit yang sudah menerapkan sistem jajar legowo, yaitu di daerah

sentra padi organik di Desa Ciburuy, Kec. Cigombong. Selain karena faktor

turun temurun yang diwariskan, juga karena kurangnya sosialisasi penyuluh

pertanian mengenai keuntungan sistem jajar legowo, sehingga petani tidak

berani untuk mencoba hal baru. Perlu adanya sosialisasi dan transfer

pengetahuan dan teknologi baru dari penyuluh kepada petani yang lebih intensif

di Kab. Bogor.

Pengairan Berselang

Pemberian air berselang (intermittent) adalah pengaturan kondisi sawah

dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Tujuan pengairan

berselang adalah:

1. Menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi lebih luas

2. Memberi kesempatan akar tanaman memperoleh udara lebih banyak

sehingga dapat berkembang lebih dalam. Akar yang dalam dapat menyerap

unsur hara dan air yanglebih banyak

3. Mencegah timbulnya keracunan besi

4. Mencegah penimbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat

perkembangan akar

5. Mengaktifkan jasad renik (mikroba tanah) yang bermanfaat

6. Mengurangi kerebahan

7. Mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif (tidak menghasilkan

malai dan gabah)

8. Menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen

9. Memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan olah)

10. Memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran

hama wereng coklat dan penggerek batang serta mengurangi kerusakan

tanaman padi karena hama tikus.

Cara pemberian air yaitu saat tanaman berumur 3 hari, petakan sawah diari

dengan tinggi genangan 3 cm dan selama 2 hari berikutnya tidak ada

penambahan air. Pada hari ke-4 lahan sawah diari kembali dengan tinggi

genangan 3 cm. Cara ini dilakukan terus sampai fase anakan maksimal. Mulai

fase pembentukan malai sampai pengisian biji, petakan sawah digenangi terus.

Sejak 10-15 hari sebelum panen sampai saat panen tanah dikeringkan. Pada

tanah berpasir dan cepat menyerap air, waktu pergiliran pengairan harus

diperpendek. Apabila ketersediaan air selama satu musim tanam kurang

mencukupi, pengairan bergilir dapat dilakukan dengan selang 5 hari. Pada

sawah-sawah yang sulit dikeringkan (drainase jelek), pengairan berselang tidak

perlu dilakukan.

Dengan cara pengairan berselang dapat mengefisienkan penggunaan air

terutama di daerah-daerah yang sulit mendapatkan sumber air atau jauh dari

sumber air dan belum ada jaringan irigasi yang memadai. Terdapat beberapa

daerah di Kab. Bogor yang rentan terhadap kekeringan. Menurut Surya (2014),

sekitar 5000 Ha lahan sawah yang tersebar di Kecamatan Cariu, Tanjung Sari,

Jonggol, dan Ciseeng dihentikan penanamannya akibat musim kemarau. Petani-

petani di daerah tersebut memiliki lahan dengan ketersediaan air terbatas. Oleh

Page 19: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

19

karena itu cara pengairan berselang cocok dilakukan untuk menghemat

penggunaan air sehingga lahan sawah menjadi tidak terbengkalai di musim

kemarau. Dengan cara ini petani mampu menanam setidaknya 2 kali tanam

dalam setahun. Luasan panen dan Indeks Pertanaman meningkat dan dapat

menyumbang lebih banyak terhadap produksi padi Kab. Bogor.

Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara

tanah (spesifik lokasi)

Pemupukan berimbang, yaitu pemberian berbagai unsur hara dalam bentuk

pupuk untuk memenuhi kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman berdasarkan

tingkat hasil yang ingin dicapai dan hara yang tersedia dalam tanah. Agar efektif

dan efisien, penggunaan pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan

ketersediaan hara dalam tanah. Kebutuhan N tanaman dapat diketahui dengan

cara mengukur tingkat kehijauan warna daun padi menggunakan Bagan Warna

Daun (BWD). Nilai pembacaan BWD digunakan untuk mengoreksi dosis pupuk

N yang telah ditetapkan sehingga menjadi lebih tepat sesuai dengan kondisi

tanaman.

Waktu aplikasi pemupukkan dan jumlah pemberian pupuk yang dapat

dilakukan petani adalah dengan pemberian pupuk N awal yang diberikan pada

umur padi sebelum 14 HST. Biasanya takaran pupuk dasar N untuk padi varietas

unggul baru sebanyak 50-75 kg urea/ha, sedangkan untuk padi tipe baru dengan

takaran 100 kg urea/ha. Pembacaan BWD hanya dilakukan menjelang

pemupukan kedua (tahap anakan aktif, 21-28 hari setelah tanam, HST) dan

pemupukan ketiga (tahap primordia, 35-40HST). Khusus untuk padi hibrida dan

padi tipe baru, pembacaan BWD juga dilakukan pada saat tanaman dalam

kondisi keluar malai dan 10% berbunga (BP2TP Litbang Pertanian, 2008)

Cara pemberian pupuk N dilakukan dengan cara disebar merata di

permukaan tanah. Pupuk Urea merupakan pupuk yang mudah larut dalam air,

sehingga pada saat pemupukan sebaiknya saluran pemasukan dan pengeluaran

air ditutup. Berdasarkan hasil penelitian, efisiensi pupuk N dapat ditingkatkan

dengan memasukan hara N ke dalam lapisan reduksi. Namun teknologi ini tidak

mudah diterapkan petani.

Pemupukan P dan K disesuaikan dengan hasil analisis status hara tanah

dan kebutuhan tanaman. Status hara tanah sawah dapat ditentukan langsung di

lapangan dengan alat PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah). Prinsip kerja PUTS

adalah mengukur hara P dan K tanah yang terdapat dalam bentuk tersedia, secara

semi kuantitatif dengan metode kolorimetri (pewarnaan). Pengukuran status P

dan K tanah dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu rendah (R), sedang (S) dan

tinggi (T). Dari masing-masing kelas status P dan K tanah sawah telah dibuatkan

acuan pemupukan P (dalam bentuk SP-36) dan K (dalam bentuk KCl).

Cara pemupukkan ini masih sangat asing bagi para petani, terutama petani-

petani di daerah terpencil dan jauh dari jangkaun penyuluh. Kebanyakan petani

di Kabupaten Bogor memupuk lahan sawahnya tanpa perhitungan tertentu

dengan jumlah yang “seadanya” sesuai dengan daya beli mereka terhadap

pupuk. Bahkan ada beberapa petani gurem yang jarang sekali memupuk lahan

sawahnya. Dalam kondisi ini, peran pemerintah daerah Kab. Bogor menjadi

sangat penting dalam membantu petani untuk memenuhi kebutuhan pupuknya

melalui penyediaan pupuk bersubsidi atau pemberian bantuan pupuk langsung

Page 20: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

20

pada petani-petani di daerah yang sangat jauh. Selain itu, pemberdayaan

penyuluh ke daerah-daerah pertanian yang masih sangat terpencil perlu

dilakukan agar para petani menjadi lebih melek teknologi terhadap sistem

budidaya PTT yang relatif baru bagi mereka.

Pengendalian Gulma dan Hama Terpadu

Pengendalian gulma

Penumpukkan gulma dapat dikendalikan dengan cara pengolahan tanah

sempurna. Mengatur air di petakan sawah, menggunakan benih padi

bersertifikat, penggunaan kompos sisa tanaman dan kompos pupuk kandang, dan

menggunakan herbisida, apabila tenaga kerja langka dan mahal. Pengendalian

gulma secara mekanis seperti dengan gasrok sangat dianjurkan, dikarenakan cara

ini sinergis dengan pengelolaan lainnya. Namun cara ini hanya efektif dilakukan

apabila kondisi air di petakan sawah macak-macak atau tanah jenuh air, oleh

karena itu harus dikerjakan pada saat sawah masih tergenangi air.

Keuntungan penyiangan dengan alat gasrok atau landak;

Ramah lingkungan (tidak menngunakan bahan kimia)

Lebih ekonomis, hemat tenaga kerja dibandingkan dengan penyiangan

biasa dengan tangan

Meningkatkan porositas dan memperbaiki aerasi tanah

Jika dilakukan bersamaan atau sesaat setelah pemupukkan akan

membenamkan pupuk ke dalam tanah sehingga efisiensi pemberian pupuk

lebih besar.

Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu(PHT)

Konsep PHT adalah suatu pendekatan pengelolaan secara ekologik yang

multidisiplin dan memanfaatkan berbagai teknik pengendalian secara kompatibel

dalam satu kesatuan koordinasi sistem pengelolaan, sehingga tidak mengganggu

keseimbangan alami dan tidak menimbulkan kerugian besar. PHT merupakan

paduan dari beberapa cara pengendalian, diantaranya monitoring populasi dan

kerusakan tanaman.

Strategi pengendalian hama penyakit terpadu adalah sebagai berikut;

Menggunakan varietas tahan hama dan penyakit

Memilih tanaman yang sehat untuk ditanam

Gambar 1.3. Aplikasi Pengendalian gulma secara mekanis dengan teknologi

ekonomis “Gasrok” Sumber: http://image.google.com

Page 21: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

21

Melakukan pengendalian secara kultur teknis, Seperti: Pola tanam tepat,

Pergiliran tanaman, Waktu tanam yang tepat, Pemupukan yang tepat,

Pengelolaan tanah dan irigasi, Penggunaan tanaman perangkap, dan

Kebersihan lapangan

Pengamatan berkala di lapangan

Pemanfaatan musuh alami (predator)

Pengendalian secara mekanik

Pengendalian secara fisik

Penggunaan pestisida.

Pengendalian gulma dan hama merupakan cara untuk mengurangi angka

kehilangan produksi gabah padi. Dengan cara ini produksi per hektar padi

menjadi lebih tinggi. Perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan kepada para petani

mengenai cara penerapan PHT. Oleh karena itu peran pemerintah dan penyuluh

pertanian sangat penting dalam memfasilitasi daerah-daerah pertanian yang

masih buta akan sistem PHT.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari program revitalisasi pertanian

tanaman pangan melalui pendekatan PTT padi di Kabupaten Bogor antara lain;

1. PTT padi merupakan pendekatan sistem Budidaya Padi secara terpadu

yang menawarkan paket-paket teknologi baru untuk meningkatkan

produktifitas dan Indeks Pertanaman (luasan panen) padi

2. Penerapan PTT padi bersifat spesifik lokasi dalam arti paket teknologi

yang ditawarkan bersifat dinamis dan menyesuaikan terhadap

permasalahan spesifik yang timbul pada masing-masing lokasi

3. PTT padi bersifat partisipatif, Dalam pelaksanaanya berdasarkan atas

kemauan dan keinginan petani setempat

4. Program PTT Padi dapat berhasil jika adanya kerjasama yang sinergis

antara pemerintah daerah sebagai pencanang program dan penyedia dana,

penyuluh sebagai alat dan media transfer pengetahuan, dan petani sebagai

objek penyuluhan dan pelaku budidaya.

REKOMENDASI

Pengembangan Program Revitalisasi Pertanian Tanaman Pangan melalui

pendekatan PTT Padi di Kab. Bogor dapat ditempuh dengan:

1) Pada tahap awal sebaiknya pemerintah sebagai pembuat kebijakan

membuat suatu program pembentukan sentra pertanian untuk penerapan

PTT padi di daerah-daerah yang potensial untuk pertanian tanaman pangan

(padi) secrara luas seperti di daerah Jonggol, Cariu, Tenjolaya, Pamijahan,

dan Jasinga. Daerah-daerah tersebut memiliki luas lahan pertanian yang

masih luas dan letaknya tidak terlalu jauh terhadap pusat perekonomian

2) Reforma agraria dengan merealisasikan dan mematuhi amanat peraturan

perundangan pada UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan

Pertanian dan PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi

Lahan Pertanain Berkelanjutan agar dapat melindungi, mengendalikan

Page 22: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

22

konversi lahan, dan mengalokasikan lahan permanen untuk pertanian

tanaman pangan terutama di kawasan-kawasan perdesaan

3) Pembukaan lahan pertanian baru terutama di tempat-tempat yang memiliki

lahan yang terabaikan (lahan tidur)

4) Pengaturan Tata guna lahan melalui konsolidasi lahan dengan menyatukan

lahan-lahan sawah petani yang sempit menjadi satu bagian pengelolaan

bersama-sama. Tentunya proses ini perlu campur tangan pemerintah dan

penyuluh pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Adnany, Zaky. 2013. Budidaya Padi dengan Pendekatan Teknologi SRI.

http://epetani.pertanian.go.id/budidaya/budidaya-padi-dengan-pendekatan-

teknologi-sri-system-rice-intensification-7712 Diakses pada 27 Desember

2014.

Anonim. 2014. http://www.beritasatu.com/nasional/212235-musim-kemarau-

petani-tunda-tanam-padi-antisipasi-gagal-panen.html Diakses pada 25

Desember 2014.

Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2007. Kabupaten Bogor dalam Angka 2007.

Bogor: BPS Kab. Bogor.

Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka 2013.

Bogor: BPS Kab. Bogor.

Bobihoe, Juliastia. 2011. Leaflet Agroinovasi: Keuntungan Sistem Jajar

Legowo. Jambi: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

Bupati Bogor. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) Kabupaten Bogor 2013 – 2015. Bogor: Pemerintah Daerah

Kabupaten Bogor.

Maryati, Titiek S., Dkk. 2005. Gelar teknologi PTT padi mendukuung penerapan

revitalisasi penyuluhan pertanian. Dalam Temu Teknis Nasional Tenaga

Fungsional Pertanian 2006. Hlm. 498 – 504

Muliawati, Asri. 2013. Pemulihan Lahan Kritis di Taman Nasional Halimun

Salakdengan Pendekatan Kearifan Lokal. Sukabumi: BP4K Kab. Sukabumi.

Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2008. Perda No. 19 Tahun 2008 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor 2005 – 2025. Bogor:

Pemerintah Daerah Kab. Bogor.

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. 2009. Kebijakan

Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Bogor:

Analisis Potensi Kawasan. Bogor: IPB press. Page 6.2 – 6.109.

Simatupang, R. S. 2007. Teknologi olah tanah konservasi mengendalikan

keracunan besi pada padi sawah pasang surut di lahan sulfat masam. Dalam

prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian.

BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor: Badan Litbang Pertanian,

Departemen Pertanian. Hlm.53-64.

Tim Penyusun. 2008. Teknologi Budidaya Padi. Balai Besar Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta: Agro

Inovasi.

Page 23: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

23

“Optimalisasi Pemanfaatan dan Pengelolaan Pertanian

Rawa Lebak, Studi Kasus: Kab. Ogan Ilir”

Disusun Oleh: Marissa Dwi Putri

PENDAHULUAN

Lahan lebak merupakan salah satu sumberdaya lahan yang potensial

untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian di Indonesia pada tanaman

pangan khusunya padi.Potensi lahan lebak yang berada di Indonesia anatara lain

di Sumatra Selatan dan Kalimantan Selatan. Potensi lahan rawa lebak di seluruh

Indonesia mencapai 14 juta hektar, terdiri dari rawa lebak dangkal seluas

4,166,000 ha, lebak tengahan seluas 6,076,000 ha dan lebak dalam seluas

3,039,000 ha (Widjaja Adhi, et al., 1998.)

Potensinya lahan lebak di Sumatera Selatan mencapai 2,28 juta hektar

atau 27% dari luas daerah Sumatera Selatan. Namun demikian pemanfaatannya

belum dilakukan secara optimal. Areal yang dimanfaatkan untuk pertanian

(padi) diperkirakan mencapai 6,5 % atau 300,000 hektar. Lahan rawa lebak

Sumsel merupakan wilayah cekungan yang secara alami berfungsi sebagai

tampungan air permukaan dan tempat deposit mineral sekunder yang tersangkut

didalamnya. Demikian pula di lahan rawa lebak terjadi dinamika tampungan air

secara musiman yang bergantung pada besarnya aliran permukaan dari curahan

air hujan maupun air sungai. Deposit mineral merupakan salah satu potensi daya

saing yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya kandungan mineral pada

produk pangan fungsional. Dalam tubuh manusia mineral organik masuk melalui

makanan minuman yang dikonsumsi dan akan berperan penting sebagai sumber

pengatur fungsi tubuh (Latif, 2004). Sungai Musi merupakan pemasok utama

mineral yang kaya akan basa-basa di lahan rawa Sumatera Selatan (Hikmatullah

et al., 1990). Dengan kondisi ini usahatani tanaman pangan di lahan rawa lebak

dapat diusahakan pada musim kemarau (MK) pada saat genangan air mulai

menyurut.

Pola tanam yang dikembangkan bertahap dari lebak dangkal di musim

hujan dan berangsur ke lebak dalam di musim kemarau yang tergantung pada

tinggi genangan air.Dengan kondisi yang ada pada prinsipnya lahan rawa lebak

dapat dimanfaatkan untuk usahatani sepanjang tahun, sehingga usahatani yang

dikembangkan pada musim kemarau (off season) justru petani dapat

memperoleh hasil/pendapatan yang lebih baik.Namun dengan besarnya biaya

persiapan lahan dan terbatasnya infrastruktur sehingga petani banyak

mengusahakan untuk pertanaman padi lokal yang memiliki tingkat produksi

rendah dan umur yang panjang.

Upaya peningkatan produktifitas usahatani telah banyak dilakukan

melalui peningkatan Indeks Pertanaman, penggunaan varietas unggul,

pembenahan media tanam, membangun sarana drainase, pemberian amelioran

dan pengendalian hama penyakit. Biaya produksi menjadi mahal dan resiko

kegagalan tinggi. Akan tetapi petani di lahan rawa lebak sampai saat ini masih

terbelenggu kemiskinan. Biaya usahatani dengan penggunaan varietas unggul di

lahan rawa lebak lebih tinggi dibandingkan varietas lokal (Hutapea, 2004).

Page 24: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

24

Di Sumsel, pendapatan masyarakat di wilayah lahan rawa lebak 59,92 %

berasal dari sektor petanian dengan komoditas utama padi (Hutapea, 2004).

Masalah yang dihadapi produktifitas usahatani rendah disebabkan oleh genangan

atau kekeringan yang datangnya belum dapat diramal secara tepat (Suwarno dan

Suhartini, 1993), dan kendala lain berupa gangguan hama tikus, wereng coklat

dan penggerek batang (Rochman et. al, 1990), sedangkan kendala sosial

ekonomi berupa keterbatasan modal dan tenaga kerja, tingkat pendidikan petani

yang masih rendah.

KARAKTERISTIK TANAH RAWA LEBAK

Kondisi Umum Daerah

Kabupaten Ogan Ilir terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2003 merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir secara

geografis terletak diantara 30 02' LS sampai 30 48' LS dan diantara 1040 20' BT

sampai 1040 48'BT. Luas wilayah Kabupaten Ogan Ilir sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2003 adalah 2,666,07 km2 atau 266,607 hektar. Pada

awalnya terdiri atas 6 kecamatan. Sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir

Nomor 22 Tahun 2005, kemudian dimekarkan menjadi 16 kecamatan. Keadaan

iklim disuatu tempat ditentukan oleh faktor curah hujan, suhu, kelembaban dan

kecepatan angin. Kabupaten Ogan Ilir merupakan daerah yang mempunyai iklim

Tropis Basah (Tipe B) dengan musim kemarau berkisar antara bulan Mei sampai

dengan bulan Oktober, sedangkan musim hujan berkisar antara bulan November

sampai dengan April. Curah hujan rata-rata per tahun adalah 1,096 mm dan rata-

rata hari hujan 66 hari per tahun. Suhu udara harian berkisar antara 23 – 32 oC.

Kelembaban udara relatif harian berkisar antara 6 - 9%.

Fisiografi, Landform dan Bahan Induk

Wilayah bagian utara Kabupaten Ogan Ilir merupakan hamparan dataran

rendah berawa yang sangat luas dengan tofografi tertinggi diatas 10 meter dari

permukaan airlaut, terdiri atas daratan 65% dan rawa-rawa sekitar 35%.

Kabupaten Ogan Ilir dialiri oleh satu sungai besar yaitu sungai Ogan. Dataran

rawa termasuk kelompok fisiografi yang disebut lingkungan pengendapan baru

(Buurman dan Balsem, 1990).

Genesis Daerah Lebak

Karakteristik dan penyebaran tanah dipengaruhi oleh faktor pembentuk

tanah yaitu iklim, bahan induk, relief, vegetasi dan waktu. Di daerah penelitian

tanah berkembang dari bahan aluvium berupa endapan sungai (fluviatil)

terutama sungai-sungai cukup besar seperti Sungai Musi, Sungai Ogan dan

Sungai Komering. Bahan yang diendapkan mempunyai ukuran bervariasi terdiri

dari pasir, debu dan liat, tetapi pada umumnya didominasi oleh debu dan liat. Di

daerah depresi dijumpai adanya bahan organik sebagai bahan induk pembentuk

tanah. Tanah di dataran aluvial dicirikan oleh drainase yang terhambat sampai

sangat terhambat, yang ditunjukan oleh dominasi warna kelabu pada tanah

dengan atau tanpa karatan. Daerah lebak umumya tersebar di sepanjang aliran

sungai-sungai besar. Sungai-sungai tersebut setiap tahun pada musim penghujan

Page 25: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

25

selalu terjadi perluapan air ke tepian sekitarnya. Kemudian air sungai yang

meluap tersebut diteruskan ke daerah yang lebih rendah sampai ke tempat-

tempat bagian yang cekung. Pada tempat yang cekung inilah air menggenang

dan bertahan lama. Pengeringan pada tempat cekung tersebut hanya akan terjadi

apabila musim kemarau berlangsung lama. Jika musim penghujan berlangsung

lama, tidak dapat diharapkan mengering.

TIPOLOGI RAWALEBAK

Penyusunan tipologi rawa dibuat dengan tujuan: 1). Untuk menjelaskan

unit-unit ekologi dengan kondisi alami yang homogen, 2). Menyusun unit-unit

tersebut dalam suatu sistem untuk membantu penentuan manajemen sumber

daya, 3). Untuk mempermudah inventarisasi dan pemetaan, dan 4).

Penyeragaman konsep dan terminologi (Smith, 1993). Keragaman karakteristik

biofisik rawa lebak di lokasi yang disertai keragaman pemanfaatan memerlukan

pola pengelolaan yang bervariasi. Untuk menyusun rencana pengelolaan yang

spesifik terlebih dahulu disusun tipologi rawalebak dengan deskripsi masing-

masing. Deskripsi disusun menurut ciri ekologi yang mengacu pada hidrologi,

mutu air dan sedimen, keragaman jenis biota terutama ikan dan vegetasi,

pemanfaatan dan kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar rawa.

Berdasarkan ketinggian dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dapat

dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) Lebak dangkal, (2) Lebak tengahan, dan (3)

Lebak dalam. Batasan dan klasifikasi lahan rawa lebak menurut tinggi dan

lamanya genangan adalah sebagai berikut (Anwarhan, 1989; Widjaja Adhi,

1989):

Lebak dangkal : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25-50 cm

dengan lama genangan minimal 3 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai

hidrotopografi nisbi lebih tinggi dan merupakan wilayah paling dekat dengan

tanggul.

Lebak tengahan : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 50-100 cm

dengan lama genangan minimal 3-6 bulan dalam setahun. Wilayahnya

mempunyai hidrotopografi lebih rendah daripada lebak dangkal dan merupakan

wilayah antara lebak dangkal dengan lebak dalam.

Lebak dalam : wilayah yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm

dengan lama genangan minimal > 6 bulan dalam setahun. Wilayahnya

mempunyai hidrotopografi paling rendah. Berdasarkan tipologi lebak, lahan yang diusahakan terdiri dari lebak

dangkal, lebak tengahan dan lebak dalam. Daerah lebak tidak selalu tergenang air

dan penggenangannya tidak pula merata, tergantung pada keadaan hidrotopografi

lebak itu sendiri, curah hujan, dan ketinggian air sungai setempat. Bagian yang

memiliki hidrotopografi yang lebih tinggi mempunyai jangka waktu penggenangan

lebih pendek dibandingkan dengan yang keadan hidtrotopografi lebih rendah. Oleh

karena itu penanaman padi baru dapat dilakukan setelah air pada rawa dangkal

menyurut dan selanjutnya diikuti oleh rawa tengahan dan rawa dalam.

Page 26: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

26

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK

Ekosistem rawa lebak dibagi dalam 3 katagori, yaitu 1) lahan rawa lebak

dangkal atau lahan pematang yang dicirikan oleh kedalaman genangan air

kurang dari 50 cm, dengan lama genangan antara 1-3 bulan; 2) lahan rawa lebak

tengahan, dicirikan kedalaman genangan air antara 50-100 cm dengan lama

genangan 3-6 bulan; dan 3) lahan rawa lebak dalam dicirikan kedalaman

genangan air lebih dari 100 cm dengan lama genangan lebih dari 6 bulan

(Direktorat Rawa, 1992). Adanya genangan air yang cukup dominan di lahan

rawa lebak usahatani yang dikembangkan masyarakat selama ini adalah tanaman

padi sawah.

Pemanfaatan lahan rawa lebak oleh penduduk setempat masih

dilaksanakan secara tradisional yang masih sangat tergantung pada kondisi alam.

Kesulitan yang dihadapi petani ialah kondisi genangan air yang sulit untuk

diprediksi secara tepat, terutama mengenai kapan mulainya, berapa tinggi

genangan yang akan dihadapi, kapan mulai air surut, dan berapa lama waktu

yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi yang diinginkan. Sangat berbeda

dengan lahan yang berpengairan, dimana petani dapat mengatur kondisi tinggi

dan lama genangan setiap saat.Dalam hal ini petani pada umumnya berspekulasi

menghadapi kondisi alam, sehingga petani sering gagal panen karena banjir atau

kekeringan yang mendadak dan ekstrim.

Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan usahatani di lahan rawa

lebak antara lain faktor genangan air dan kesuburan tanah. Genangan air rawa

lebak dipengaruhi oleh curahan air hujan di hulu dan hilir sungai maupun

curahan air hujan di lahan itu sendiri dan sekitarnya. Untuk pertanian di lahan

rawa lebak pada akhir bulan Februari dimana permukaan air cenderung mulai

turun, pengerjaan sawah lebak dangkal dimulai. Pekerjaan yang dilakukan

adalah pembersihan sawah dari vegetasi air serta menyiapkan persemaian. Bila

air mulai menurun lagi pada bulan-bulan berikutnya pengerjaan sawah lebak

tengahan dan dalam dilakukan pula. Pola pertanian sawah lebak di Daerah Ogan

Ilir, terlihat bahwa musim pertanian padi di wilayah ini berbeda-beda sesuai

dengan tinggi genangan pada masing-masing lahan rawa lebak, karena pertanian

pada lahan rawa lebak berhubungan erat dengan keadaan iklim, maka untuk

mencapai produksi yang tinggi sangat dibatasi oleh berbagai faktor. Adapun

faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah: 1) keadaan hidrotopografi daerah

lebak berbeda-beda, tidak memungkinkan penanaman padi sawah lebak secara

serempak, 2) perlunya untuk menentukan waktu tanam yang tepat, 3)

penggunaan bibit lokal yang berproduksi rendah dan penggunaan bibit berumur

tua, dan 4) Perubahan cuaca yang sulit diramal, dapat merusak tanaman dalam

pertumbuhan, maupun sewaktu akan dipanen yang dapat menimbulkan

kerusakan secara total.

Pemanfaatan Rawa Lebak

1) Lebak dangkal dan Lebak Tengahan, selain padi rawa lebak juga umumnya

ditanami palawija,sayur, dan buah-buahan. Pola tanam atau tumpang sari

antara tanaman palawija, sayuran, atau buah-buahan umum dilakukan petani

pada kedua tipe lahan rawa lebak dangkal dan tengahan dengan sistem

surjan. Pada sistem surjan tanaman palawija (jagung,kedelai dan umbi-

Page 27: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

27

umbian), sayuran (tomat, cabai, kacang panjang), atau buah-buahan

(semangka, labu kuning, mangga rawa) ditanam di surjan (tembokkan),

sedangkan bagian tabukan (ledokkan) ditanami padi. Pada musim kemarau

panjang semua sawah lebak, terutama rawa lebak dangkal dan lebak

tengahan menjadi hamparan tanaman sayuran dan buah-buahan semangka,

kacang panjang, dan kacang tanah. Tinggi guludan pada sistem surjan

adalah 50-75 cm, sedangkan lebarnya 2-3 m. Ukuran dukungan adalah

tinggi 60-75 cm dan diameter atau sisinya sekitar 2-3 m. Pada petakan

lahan yang ditata sistem surjan, pada salah satu sisinya digali saluran

berukuran dalam 0.6 m dan lebar 1 m, fungsinya adalah sebagai pengatur

kelengasan tanah pada petak sawah dan tempat hidup atau perangkap ikan

alam. Guna menyeragamkan tinggi genangan air dan kesuburan tanah di

petakan lahan, perlu dilakukan perataan lahan bersamaan dengan kegiatan

pengolahan tanah. Pada lokasi lahan lebak tengahan dan lebak dalam perlu

dibuat jaringan tata air berupa saluran besar yang menghubungkan petakan

lahan ke sungai guna mengalirkan air dari kawasan lahan ke sungai

sehingga air genangan cepat surut dan sekaligus sebagai prasarana

transpotasi. Sedangkan pada petakan lahan perlu dibuat parit berukuran

lebar 1 m dan dalam 0,6 m yang dilengkapi dengan pintu air sistem tabat

guna mengalirkan air dari petakan lahan ke saluran besar dan menampung

air pada musim kemarau untuk mengairi tanaman serta sekaligus sebagai

tempat hidup atau perangkap ikan alam. Sistem jaringan tata air iniakan

lebih baik jika dikombinasikan dengan penggunaan pompa air untuk

memanfaatkan sungai yang posisinya tidak terlalu jauh dari kawasan lahan

lebak. Penataan lahan sistem surjan atau tukungan dapat dilakukan oleh

petani tetapi perlu percontohan dan penyuluhan. Sedangkan pembuatan

jaringan tata air dan pompa hendaknya dilakukan atau dibantu oleh

pemerintah.

2) Lebak Dalam umumnya mempunyai genangan lebih dari 6 bulan atau lebih.

Pada bagian lebak dalam telah digunakan penduduk untuk padi sawah atau

budidaya perikanan dalam bentuk empang atau lebung. Untuk lebak dalam

ditanami hanya pada saat musim kemarau panjang (apabila 4-5 bulan

kering), selebihnya dibiarkan karena genangan air cukup tinggi dan

digunakan untuk perikanan tangkap, perikanan kolam,serta perikanan

keramba.

PENGELOLAAN DAN KENDALA PENGEMBANGAN

Rekomendasi Teknologi Produksi Spesifik Lokasi

Secara teknis, teknologi usahatani yang diterapkan petani masih belum

mampu menekan biaya produksi. Pada waktu pengolahan tanah, petani

mengangkut jerami keluar lahan sawah sehingga kandungan bahan organik

sawah menjadi rendah karena tidak ada pengembalian bahan organik. Pada sisi

lain, petani belum melakukan pemupukan sesuai keperluan tanaman dan kondisi

tanah. Masih rendahnya produktifitas usahatani yang dikembangkan oleh petani

di daerah ini juga disebabkan oleh masih besarnya kehilangan hasil akibat

adanya organisme pengganggu tanaman. Pada kondisi tertentu serangan OPT

Page 28: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

28

dapat mencakup wilayah yang luas dan mengakibat penurunan hasil yang

merugikan petani. Seringnya terjadi serangan OPT ini disebabkan oleh karena

belum dilaksanakannya pengendalian terpadu secara maksimal oleh petani.

Teknologi usahatani yang lebih efisien dan ekonomis belum dipraktekkan oleh

petani di daerah ini disebabkan karena mereka belum mempunyai pengetahuan

mengenai teknologi inovatif yang tersedia. Masalah lain yang berhubungan

dengan tingkat penerapan teknologi usahatani ini adalah Indeks Pertanaman (IP)

di lahan rawa ini umumnya baru mencapai 100%. Rendahnya IP disebabkan,

terutama oleh system tata air yang belum dapat dikuasai dengan baik. (Waluyo

et al, 2007)

Peluang Inovasi

Untuk dapat meningkatkan produktifitas usahatani dan pendapatan petani

di daerah rawa Kabupaten Ogan ilir diperlukan upaya-upaya perbaikan yang

meliputi penyediaan infrastruktur pedesaan yang baik, introduksi teknologi

inovatif serta pembentukan dan pemberdayaan kelembagaan pendukung

usahatani di pedesaan, meliputi: (a) Perbaikan infrastruktur pedesaan berupa

jalan usahatani yang memungkinkan bagi petani untuk menjangkau dan

mengusahakan lahan rawa yang potensial untuk usaha pertanian. (b) Pembuatan

dan perbaikan jaringan pengairan pedesaan yang terintegrasi antara wilayah hulu

hingga hilir sehingga dapat mengoptimalkan pengaturan air (c) Introduksi

teknologi inovatif .

Ketersediaan teknologi

Lahan rawa lebak mempunyai prospek yang cukup baik untuk menjamin

swasembada pangan nasional apabila dikelola dengan menggunakan teknologi

yang tepat. Badan litbang Pertanian telah banyak melakukan penelitian dasar,

terapan maupun pengembangan dan menghasilkan teknologi anjuran untuk

pengembangan sistem usahatani lahan rawa spesifik lokasi. Teknologi utama

yang telah direkomendasikan antara lain varietas unggul, penataan lahan,

komoditas, pemupukan dan pengendalian organisme penggangggu tanaman.

Varietas

Pemilihan varietas yang cocok merupakan komponen penting dalam

mendukungkeberhasilan.Sejumlah varietas unggul nasional yang telah dilepas

dan sesuai untuk dibudidayakan di sawah rawa lebak cukup banyak. Varietas

unggul dapat memberikan hasil 4.5-5.5 ton/ha atau lebih, sedangkan varietas

lokal 1.5-2 ton/ha.

Penataan lahan

Lahan rawa mempunyai sifat yang sangat heterogen, oleh karena itu

pemanfaatan lahan harus sesuai peruntukannya. Pengalaman menujukkan bahwa

usaha pertanian yang ditempatkan pada lahan yang sesuai, selain akan

memberikan hasil yang lebih baik, juga tidak perlu mengubah lingkungan secara

drastis. Dengan menerapkan teknologi yang sesuai, secara gradual mutu lahan

dapat diperbaiki, sehingga daya dukung lahan menjadi semakin besar. Sistem

penataan lahan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan

pertanian di lahan rawa lebak sesuai dengan agroekosistem setempat. Sistem

Page 29: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

29

penataan lahan yang dianjurkan untuk tipologi lahan rawa lebak dangkal adalah

sistem surjan dan caren. Untuk lahan lebak tengahan dapat dianjurkan untuk

ditata dengan system hampang (mina padi), sedangkan lebak dalam ditata

sebagai sawah lebak dan perikanan. Pengeloaan lahan dengan sistem surjan dan

caren mempunyai beberapa keuntungan antara stabilitas produksi lebih mantap

dan intensitas tanam lebih tinggi dan diversivikasi lebih mudah dilaksanakan.

Genangan air pada lahan lebak sangat dipengaruhi oleh pola hujan yang

pada suatu hamparan lahan dapat dijumpai berbagai tipe genangan air, baik

berupa dangkal (pematang) maupun lebak tengahan dan lebak dalam. Walaupun

demikian, biasanya lahan pemukiman dan pekarangan tidak digenangi air

sehingga bisa diusahakan dengan berbagai alternatif komoditas. Lahan

pekarangan yang tidak tergenangi air, bisa ditanami dengan berbagai tanaman

buah-buahan seperti pisang dan mangga disamping pemeliharaan ayam buras

dan itik. Lahan usaha yang berupa lebak dangkal bisa ditata sebagai sawah tadah

hujan atau system surjan, sedangkan untuk lebak tengahan bisa ditata sebagai

sawah tadah hujan atau sistemcaren. Pola tanam di lahan sawah lebak dangkal

atau dibagian tabukan pada sistem surjan adalah padi-padi-palawija. Pola tanam

di gulu dan pada sistem surjan bias jagung + cabe + kacang panjang atau

palawija-palawija/sayuran-palawija. Tanaman pangan utama yang diusahakan di

lahan lebak adalah padi, sedangkan palawija seperti jagung, kedelai, kacang

hijau, kacang tunggak, ubi jalar dan ubi alabio dalam luasan terbatas, biasanya

ditanam pada guludan surjan dilebak dangkal. Fluktuasi tinggi muka air

merupakan kendala baik waktu tanam padi yang tepat, sehingga pada umumnya

pemindahan bibit (transpalnting) dilakukan lebih dari satu kali. Oleh karenaitu,

varietas lokal yang telah beradaptasi pada kondisi spesifik tersebut lebih banyak

digunakan petani pada lahan lebak. Varietas padi unggul yang beradaptasi dan

tumbuh dengan baik di lahan lebak adalah IR 42, Limboto, Batu Tegi Situ

Bagendit, Ciherang, INPARI 1, Inpara 3, dengan kisaran hasil 4-7 t/ha, (Waluyo

et al. 2013). Berdasar pola curah hujan dan kondisi lapangan, pada wilayah ini

dapat diterapkan pola tanam dua kali setahun (padi-padi), namun demikian

penentuan saat tanam harus dilaksanakan secara tepat. Untuk pertanaman Musim

Hujan (rendeng) adalah bulan Oktober/November, sedangkan untuk Musim

Kemarau (gadu) bulan Maret – pertengahan April.

Dalam melaksanakan program-program tersebut tentunya ada kendala-

kendala yangharus diatasi. Berikut ini perkiraan kendala utama yang akan

dihadapi dan alternatifpemecahannya.

(i) Fluktuasi genangan air

Kendala fluktuasi genangan air yang tak menentu bisa diatasi dengan

penataan lahan yang lebih baik seperti pencetakan sistem surjan. Selain itu dapat

dilakukan juga dengan penghijauan atau penghutanan kembali daerah aliran

sungai terutama bagian hulu.

(ii) Penyediaan benih

Padi di lahan rawa lebak hanya ditanam satu kali dalam setahun, sehingga

penangkar benih harus menyimpan dulu sebelum dapat dijual pada musim

berikutnya. Untuk menghindari penyimpanan, perbanyakan benih dapat

dilakukan pada lahan irigasi. Adapun beberapa alternatif untuk mengatasi

masalah tersebut, yaitu : 1) menetapkan harga benih varietas padi lebak lebih

tinggi dari varietas padi sawah, 2) memberi subsidi kepada penangkar benih padi

Page 30: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

30

lebak, 3) membina petani secara perorangan atau kelompok agar memproduksi

dan menyimpan benih keperluannya.

(iii) Teknik budidaya

Lahan rawa lebak bertopografi landai bagian yang tinggi kering lebih

dahulu baru diikutioleh bagian yang lebih dalam. Oleh karena itu sering terjadi

penundaan waktu tanam padabagian rawa yang dalam, hal ini dapat diatasi

dengan pemindahan bibit 2-3 kali dengan selangwaktu 20-30 hari. Cara

demikian tidak dapat diterapkan pada varietas unggul yang berumur genjah.

Untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan dengan membuat persemaian

khusus untuk bagian rawa yang dangkal, rawa tengahan dan rawa dalam dengan

waktu tabor disesuaikan dengan surutnya air atau waktu tanamnya. Petani pada

lahan rawa lebak bisanya memanen padi dengan menggunakan ani-ani. Teknik

ini tidak sesuai untuk varietas unggul yang pendek. Untuk penanaman varietas

unggul perlu dibarengi dengan introduksi cara panen dengan sabit, seperti yang

dilakukan pada lahanirigasi. Hama yang potensi pada lahan rawa lebak adalah

tikus, wereng coklat dan penggerekbatang, sedangakan penyakit yang potensial

adalah blas malai, bercak coklat, bakteri daundan busuk pelepah, akan tetapi

hama dan penyakit kurang penting karena penanaman padisatu kali dalam

setahun dan belum intensif. Selama pertanaman padi hanya sekali dalamsetahun

masalah hama dan penyakit tersebut tidak akan seberat pada lahan beririgasi.

KEARIFAN LOKAL DALAM BUDIDAYA PADI RAWA LEBAK

Lahan rawa lebak telah begitu lama diusahakan untuk pertanian utamanya

tanaman padi, dengan memanfaatkan kondisi menyurutnya air rawa pada saat

menjelang musim kemarau. Dalam melaksanakan budidaya padi, masyarakat

petani telah memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang telah dijalankan

berpuluh tahun. Kearifan tersebut diantaranya:

1.Memilih lahan subur, pada awalnya masyarakat petani memilih lahan

rawa yang dekat dengan sungai besar untuk bertanam padi, karena wilayah

tersebut selalu mendapat kiriman lumpur subur, yang ditandai warna tanah hitam

gembur, dan telah banyak ditumbuhi oleh jenis tumbuhan air, seperti Kiambang

(Salvinia sp) Enceg gondok (Elchornia sp) dan tanda-tanda khas lainnya. Dari

hasil penelitian diketahui bahwa kedua jenis tumbuhan air tersebut tumbuh baik

pada pH di atas 4, dan kurang baik pada pH kurang dari 4. Selain itu transportasi

dari tempat tinggal ke sawah pulang pergi lebih mudah, terutama untuk kegiatan

pengangkutan hasil. Oleh karena itu hampir semua wilayah lahan lebak dangkal

telah diusahakan untuk pertanian.

2. Memulai kegiatan bertanam, dalam melaksanakan budidaya padi

rawalebak, petani akan memulai kerja di persawahan berdasarkan tanda-tanda

alam, diantaranya adalah jika diantara pepohohan (umumnya mangga rawa atau

rerawa) telah terlihat banyak bentangan sulur putih serangga, dan pohon sejenis

pohon dadap telah mulai berkembang, adalah satu pertanda bahwa musim

kemarau akan segera tiba. Sehingga para petani akan segera mempersiapkan

tempat persemaian, dan persiapan lahan. Sebaliknya jika di sungai-sungai telah

mulai kelihatan perkembangan ikan Seluang (Rasbora agyrotaenia) satu jenis

ikan kecil-kecil khas Kalimantan dan Sumatera, adalah sebagai pertanda bahwa

Page 31: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

31

musim hujan akan segera tiba, sehingga persiapan pertanaman padi sawah

surung harus segera dimulai.

3. Sistem persemaian, masyarakat petani sudah paham betul dengan

sifatdan kondisi lahannya, sebagai hasil dari pengamatan dan pengalamanyang

sangat lama. Sehingga timbul kegiatan untuk mengatasi/menyesuaikan keadaan.

Masyarakat petani sudah tahu bahwa menanam padi bila menunggu keringnya

lahan akan terlambat dan berisiko gagal. Oleh karena itu harus dilakukan

percepatan persemaian. Karena lahannya masih tergenang air, maka persemaian

dilaksanakan dengandua sistem: (a) Sistem teradak, adalah sistem persemaian

kering pada tempat yang tidak terkena genagan air (teradak) menyemainya

dikenalsebagi “meneradak” dan persemaiannya adalah “teradakan” (b) Sistem

semai terapung atau apung, dilaksanakan di atas lahan yang tergenang air

menggunakan rakit dan sebagai media tumbuh bibit maka pada rakit diberi

lumpur rawa. sistem ini dikenal sebagai “Palaian”. Sistem “palaian” sebenarnya

adalah sistem persemaian basah, karena media tumbuh masih mendapat air dari

rawa melalui sistim kapilaritas. Persemaian apung di Kalimantan Selatan sudah

mulai ditinggalkan dan diganti dengan sistem persemaian kering-basah, tetapi di

Sumatera Selatan masih banyak dilakukan. Selain dua sistem persemaian

tersebut di atas, terdapat sistem persemaian yang dinilai juga merupakan

kearifan local yang sangat baik. Sistem tersebut adalah sistem “persemaian

pindah”yaitu bibit yang masih muda dipindahkan dari keadaan kering ke

keadaan basah.

PERENCANAAN PENGEMBANGAN RAWA LEBAK

Sebelum dilakukan pengembangan lebih lanjut, maka langkah-langkah

yang harus perhatikan adalah sebagai berikut:

1) Identifikasi dan pengelompokan wilayah lebak berdasarkan tipologi lahan,

biologi danfisik lahan, sistem usahatani yang existing, kelembagaan serta

sarana dan prasarana yang tersedia. Informasi-informasi ini sangat penting

dikumpulkan yang menyangkut jenis dan kondisi tanah yang dipetakan

dengan disertai area yang tergenang kapan, berapa lama, serta dalamnya

genangan. Sistem usaha tani yang meliputi pemanfaatannya, pola usahatani

(farming system) dan penerapan teknologinya, hasil dan pendapatan dari

komoditas yang diusahakan, ketersediaan modal untuk berusaha tani, sarana

produksi dan pemasaran hasil, keterlibatan petani/kelompok tani dalam

koperasi dan masalah-masalah yang dihadapi sekaligus potensi dan prospek

serta kendala pengembangan lahan rawa lebak. Informasi sarana dan

prasarana juga dikumpulkan yang menyangkut tata letak dan fungsi saluran,

keadaan saluran meliputi panjang dan jarak antar saluran serta dimensi

penampang saluran, letak dan kondisi pintu air atau bangunan air lainnya,

operasi dan pemeliharaan jaringan air, luas cakupan lahan dan penataannya,

dan persepsi dan saran petani mengenai penyempurnaan tata airnya.

2) Desain dan rancangan pengembangan,

Dari hasil identifikasi dan pengelompokan wilayah lebak baik dari aspek

biofisik dan hidrotopografinya, maka rancangan dan desain pengelolaan

lahan rawa lebak dapat dibuat dengan prinsip kesesuaian lahan dengan

Page 32: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

32

memperhatikan kawasan permukiman, kawasan budidaya baik untuk

tanaman pangan, hortikultura dan peternakan maupun perikanan. Selain itu

juga harus menyisakan area atau kawasan konservasi, sehingga jelas dimana

area yang selalu tergenang, tempat bangunan irigasi, arah dan sumber air

irigasi, pintu-pintu air, saluran pemberi dan pembuang (drainase), area

water retention, jalan usaha tani, rancangan pola tanam (padi – padi, padi –

palawija dan padi –hortikultura). Tidak kalah pentingnya untuk memberikan

contoh pengembangan atau pemanfaatan lahan rawa lebak yang optimal,

maka model pengembangan harus diinstall di area yang mempunyai

karakteristik berbeda-beda, sehingga model ini dapat diadopsi oleh para

penyuluh maupun petani sekitar lokasi, karena mereka dapat melihat

langsung cara pengelolaannya. Hal penting yang mesti diperhatikan juga

adalah pengembangan suatu lahan rawa lebak tidak akan mematikan

kebiasaan yang telah dilakukan oleh petani atau masyarakat yang

mempunyai nilai positif (indegenous knowledge), karena tiap lokasi atau

daerah mempunyai kearifan lokal yang berbeda-beda sehingga penanganan

yang diaplikasikan juga memperhatikan spesifik lokasi. Sebaliknya hal-hal

yang bernilai negatif yang ada dimasyarakat kita arahkan untuk menjadi

nilai positif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan lahan rawa lebak

lebih lanjut.

3) Penumbuhan kelembagaan, peningkatan pengetahuan dan partisipasi

petugas dan petani. Penumbuhan kelembagaan penunjang yang sesuai

dengan kebutuhan masyarakat oleh dari dan untuk petani/kelompok tani

sangat diperlukan tentunya dengan partisipasi aktif mereka. Kelembagaan

tersebut dapat berupa kelembagaan petani, P3A, sarana produksi, pelayanan

jasa alsintan, pasca panen dan pemasaran hasil serta keuangan atau

permodalan. Peningkatan pengetahuan yang berupa pelatihan dan

pembinaan secara intensif pada area model meliputi sekolah lapang dan

temu lapang bagi petani/kelompok tani sangat diperlukan, demikian juga

pelatihan bagi petugas baik dari semua tingkatan seperti TOT untuk petugas

propinsi, pelatihan aspek teknis pengelolaan lahan lebak oleh petani untuk

petugas kabupaten serta pelatihan bagaimana mendorong dan mengaktifkan

kembali partisipasi petugas dan petani dalam pengelolaan lahan lebak.

4) Monitoring dan evaluasi

Kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan hal paten yang mesti harus

ada karena merupakan deliniasi tujuan maupun arahan pengembangan lahan

lebak agar tidak melenceng dari yang diharapkan. Kegiatan yang dilakukan

harus dilengkapi informasi sebelum (before) dan sesudah (after) proyek baik

ruang (spatial) maupun waktu (temporal). Kegiatan ini akan dapat

dievaluasi sehingga ke depan dapat dibuat skenario-skenario pengembangan

lanjutannya.

Page 33: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

33

STRATEGI PENGEMBANGAN PERTANIAN BERKELANJUTANDI

LAHAN RAWA LEBAK

Berdasarkan peluang dan kendala serta hasil-hasil penelitian

pengembangan pertanian di lahan rawa lebak, perencanaan dan pelaksanaan

yang cermat harus dilakukan untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan di

lahan rawa. Sistem pertanian di lahan rawa lebak akan berkelanjutan apabila

usahatani tersebut dapat memberikan hal-hal berikut:

1. Produksi usahatani harus cukup tinggi agar petani tetap bergairah

melanjutkan usahataninya. Produksi tinggi tersebut hanya dapat diperoleh

apabila teknologi yang dipakai adalah teknologi yang tepat. Teknologi

usahatani di suatu tipe lahan rawa belum tentu cocok di tipe lahan rawa

yang lain. Oleh sebab itu pemilihan teknologi harus bersifat adaptif.

Teknologi agronomi, pengelolaan tanah dan tanaman harus disesuaikan

dengan tipologi lahan rawa yang diusahakan. Pemilihan komoditi yang

adaptif pada kondisi lahan dan iklim setempat harus dilakukan secara

cermat. Jenis dan dosis pupuk yang diperlukan harus memperhatikan

keadaan tanah dan biofisik daerah yang bersangkutan.

2. Pendapatan petani harus cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa

depan keluarganya dari hasil usahataninya. Hal ini hanya dapat dicapai

kalau produksi usahataninya yang tinggi tadi dapat dijual dan laku di pasar

dengan harga yang cukup tinggi. Oleh sebab itu pemilihan komoditi

usahatanipun harus mempertimbangkan permintaan pasar, baik pasar lokal,

regional maupun internasional.

3. Teknologi yang diterapkan adalah teknologi yang dapat dikembangkan oleh

petani dengan kemampuan yang mereka miliki dan dapat diterima oleh

petani dengan senang hati sehingga teknologi tersebut dapat diteruskan oleh

petani dengan kemampuannya tanpa bantuan dari luar secara terus-menerus.

Kalau petani tidak mampu mengembangkan teknologi tersebut maka cepat

atau lambat petani akan meninggalkan teknologi itu.

4. Degradasi lahan harus minimal; kerusakan lahan dan lingkungan rawa yang

drastis dapat menurunkan produktifitas dan bahkan dapat menghentikan

proses produksi secara drastis. Oleh sebab itu teknologi reklamsi harus

dirancang dengan cermat sejak awal tidak terjadi degradasi kualitas

lahan/lingkungan. (Sinukaban, N. 1999). Keempat indikator pertanian

berkelanjutan itu harus diwujudkan dalam usahatani lahan rawa secara

simultan agar pertanian tersebut dapat berkelanjutan.

KESIMPULAN

1. Lahan rawa lebak memiliki potensi yang besar untuk dikembangakan dan

meningkatkan produksi tanaman pangan baik melalui intensifikasi usahatani

pada lahan yang sudah diusahakan. Program pengembangan produksi

tanaman pangan di lahan rawa lebak hendaknya dilakukan secara bertahap

karena memiliki berbagai kendala baik secara teknis maupun sosial ekonomi

dan kelembagaan.

Page 34: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

34

2. Berdasarkan identifikasi dan evaluasi lahan pengembangan rawa lebak dapat

diarahkan kepada pengembangan tanaman pangan khususnya padi, sayuran,

ikan, ternak itik kerbau rawa sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.

3. Untuk lebih meningkatkan pendapatan dan mengoptimalkan sumberdaya

hendaknya pengembangan lahan rawa diarahkan kepada usaha aneka

komoditas pengelolaan tanaman terpadu sesuai dengan wilayah dan prospek

pemasarannya.

4. Untuk meningkatkan pengembangan lahan rawa lebak secara optimal perlu

adanya koordinasi, keterpaduan dan sinkronisasi kerja antar instasi terkait.

DAFTAR PUSTAKA

.

Buurman, P., and T. Balsem. 1990. Land unit clasification for the

reconnaissance soil survey of Sumatera. Tech. Rep. No 3. LREP.CSAR.

Bogor.Direktorat Rawa. 1992. Kebijaksanaan Departemen Pekerjaan

Umum dalam Rangka Pengembangan Daerah rawa.

FAO. 1990. Guidline for Soil Description 3rd Edition revised. Rome.

Hikmatullah, V. Suwandi, Chendy, T.F., A. Hidayat, U.Affandi, dan

D.Dai. 1990. Buku Keterangan Satuan Peta Tanah, Lembar Palembang-

Sumatera (1013), LREP-Puslittanak.

Hutapea Y. 2004. Ragam Usaha Rumah Tangga Petani di Agroekosistem Pasang

Surut dan Lebak Sumatera Selatan.Buku I. Prosiding Seminar Lokakarya

Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik

Lokasi.Palembang, 28-29 Juni 2004.BPTP Sumatera Selatan.Pusat

Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Latief D. 2004.Kualitas Sumberdaya Mineral dengan tingkat kesehatan

masyarakat.Buku I. Prosiding Seminar Lokakarya Nasional Hasil

Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi.Palembang, 28-29

Juni 2004.BPTP Sumatera Selatan.Pusat Penelitian dan Pengembangan

Sosial Ekonomi Pertanian.Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Rochman, J., Soejitno, Soeprapto, M. dan Suwalan. 1990. Pengendalian Hama

Tanaman Pangan Dalam Sistem Usahatani Lahan Pasang Surut.Risalah

Seminar Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Rawa. Bogor, 19 – 21

September 1989..

Suwarno dan T. Suhartini.1993. Perbaikan Varietas Padi Untuk menunjang

Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Lebak.Dalam Prosiding

Simposium Penelitian Tanaman Pangan III.Jakarta/Bogor, 23 – 25

Agustus 1993.

Sinukaban, N. 1999.Pembangunan pertanian berkelanjutan di lahan

rawa.Makalahdisampaikan pada lokakarya Nasional Optimasi

Pemanfaatan Sumberdaya lahan rawa,23-26 November 1999. Jakarta.

Widjaya Adhi,IPG. K. Nugroho, D. Ardi dan S. karama. 1998. Sumber daya

lahan pasangsurut, rawa dan pantai. Makalah disajikan pada pertemuan

nasional pengembanganpertanian lahan pasang surut dan rawa di

Cisarua, tgl 3-4 maret 1992.

Page 35: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

35

Waluyo, Rajulis, Usman S. 2013. Pengkajian Adaptasi Varietas Unggul Baru

(VUB) PadiToleran Kekeringan dan Rendaman (produktifitas >5 t/ha) di

Lahan Rawa LebakSumatera Selatan.Laporan tahunan Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian (BPTP)Sumatera Selatan. 2013. (Tidak dipublikasi).

Waluyo, Yanter H, Zakiah, dan Suparwoto. 2007. Studi Identifikasi Kebutuhan

Inovasiteknologi Program Primatani di desa Kota Daro II, Kecamatan

Rantau Panjang,Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.

Page 36: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

36

“Pengendalian Penggunaan dan Pengelolaan Lahan, Studi

Kasus: Kec. Pemenang, Kab. Lombok Utara”

Disusun Oleh: Rika Andriati Sukma Dewi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kecamatan Pemenang merupakan daerah yang baru mengalami

pemekaran pada tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2008

tentang Pembentukan Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara

Barat. Daerah ini jarang dikenal, tetapi apabila disebutkan ketiga Gili

(Trawangan, Meno dan Air) yang terdapat di kecamatan ini maka dunia wisata

nasional dan internasional akan mengenalinya.

Kecamatan yang belum lama mengalami pemekaran ini masih

menyimpan potensi pertanian dan pariwisata yang menunjang perekonomian

masyarakat. Hal ini juga dapat mengundang masyarakat setempat maupun

pendatang untuk memanfaatkan lahan yang dinilai oleh masyarakat memiliki

potensi usaha yang prospektif sehingga tidak terlepas pula oleh penggunaan

lahan yang degradatif jika penggunaan lahan tersebut tidak sesuai dan hanya

dimanfaatkan untuk keperluan perorangan maupun kelompok. Oleh sebab itu

diperlukan perhatian yang serius agar permasalahan tidak semakin berlanjut.

Pengelolaan lahan diarahkan pada konsep pembangunan berkelanjutan

dimaksudkan bahwa pembangunan tersebut dapat digunakan oleh generasi

sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam

pembangunan berkelanjutan, kita perlu memahami adanya segitiga keberlanjutan

(Sustainable Triangle). Segitiga keberlantujan ini terdiri dari indikator

keberlanjutan antara lain aspek sosial, lingkungan dan ekonomi. Ketiga aspek

tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan saling mendukung satu dengan yang

lainnya.

Masalah pengelolaan lahan banyak ditemukan di kecamatan Pemenang

kabupaten Lombok Utara. Kesalahan dalam pengelolaan lahan ini

mengakibatkan permasalahan berupa perubahan fungsi penggunaan lahan dan

terjadinya lahan kritis yang banyak dijumpai pada daerah pegunungan dan

pengkonversian lahan pertanian menjadi lahan pemukiman. Oleh sebab itu perlu

adanya pengendaliaan penggunaan lahan. hal ini perlu dilakukan penilaian

biofisik, sosial dan ekonomi sehingga diharapkan keluaran berupa rekomendasi

yang tepat terhadap penggunaan lahan.

Tujuan

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk melakukan penilaian biofisik,

sosial, dan ekonomi terhadap potensi dan permasalahan penggunaan lahan di

kecamatan Pemenang kabupaten Lombok Utara.

Page 37: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

37

GAMBARAN UMUM WILAYAH

Kecamatan Pemenang terletak di bagian utara pulau Lombok termasuk 3

Gili. Kecamatan ini terdiri dari 4 desa antara lain Malaka, Pemenang Barat,

Pemenang Timur dan Gili Indah (Trawangan, Meno dan Air). Luas wilayah

kecamatan ini yaitu 81.09 km². Kecamatan ini juga termasuk dalam bagian

kawasan Gunung Rinjani yang berbukit-bukit kecuali ketiga Gili. Kecamatan

Pemenang terdiri dari 60% hutan lindung dan hutan (rakyat). Luas kawasan 3

Gili antara lain Gili Trawangan seluas 340 ha, Gili Meno seluas 150 ha dan Gili

Air seluas 150 ha.

Kondisi topografi kecamatan pemenang pada bagian selatan ke tengah

terdapat gugusan pegunungan dengan hutan yang berfungsi sebagai penyangga

hidrologi sedangkan sepanjang pantainya ke tengah terdapat dataran rendah dan

banyak perkebunan rakyat yang diusahakan sedangkan pada bagian utara ke

tengah banyak ditemukan persawahan dan tegalan.

Gambar 3.1 Peta Wilayah Kecamatan Pemenang

Luas kemiringan tanah di kecamatan Pemenang pada tahun 2012 yaitu

7,198 Ha pada masing-masing tingkat kemiringan tanah 0-2% seluas 2,018 Ha,

2-15% seluas 165 Ha, 15-40% seluas 1,750 Ha dan >40% seluas 3,265% (BPS

Kabupaten Lombok Utara 2013). Luas penggunaan lahannya dibagi menjadi 3

yaitu tanah sawah seluas 417 ha, lahan bukan sawah 3,906 ha dan lahan bukan

pertanian seluas 3,786 ha. Sumber mata air di kecamatan Pemenang terdiri dari 8

lokasi dapat meningkatkan hasil produksi pertaniannya guna memenuhi

kebutuhan pangan masyarakat setempat yang diiringi dengan peningkatan

kesejahtraan masyarakat.

Kabupaten Lombok Utara beriklim tropis yang dipengaruhi oleh tekanan

udara pada garis khatulistiwa dan angin dari barat dan selatan dengan kecepatan

rata-rata 4.8 Km/jam. Rata-rata curah hujan perbulan pada bulan tahun 2008

sekitar 147.67 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada awal tahun, yaitu pada

Page 38: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

38

bulan-bulan November hingga Desember dan Januari hingga Februari. Jumlah

hari hujan pada bulan-bulan musim tersebut juga berbeda-beda. Dengan

perbedaan tersebut Kabupaten Lombok Utara memiliki 2 musim yaitu musim

kemarau sekitar bulan Juni hingga September dan musim hujan sekitar bulan

Oktober sampai Mei. Suhu udara rata-rata pada tahun 2008 adalah 27⁰C yang

seiring dengan musim. Jika musim kemarau, suhu akan meningkat berkisar

antara 27.1 – 27.4⁰C, sedangkan pada musim hujan suhu akan turun berkisar

24.8 – 26.8⁰C.

Jumlah penduduk kecamatan Pemenang kabupaten Lombok utara pada

tahun 2012 sebesar 33,434 jiwa, sedangkan laju pertumbuhan penduduk pada

tahun 2000-2010 sebesar 1.91. Laju pertumbuhann penduduk di kecamatan

Pemenang lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di

Kabupaten Lombok Utara.

Struktur perekonomian kabupaten Lombok Utara didominasi oleh sektor

pertanian yang memberikan kontribusi sebanyak 44.96% karena sektor ini

dikembangkan diseluruh kecamatan termasuk Pemenang, sedangkan sektor lain

yang memberikan kontribusi cukup tinggi adalah sektor perdagangan hotel dan

restoran sebesar 17.88%. Laju pertumbuhan ekonomi kecamatan Pemenang

tahun 2011 sebesar 5.34 atas dasar harga konstan yang dipengaruhi oleh sektor

kunci berupa pertanian dan perdagangan, hotel dan restoran. Laju pertumbuhan

sektor pertanian mencapai 2.93 sedangkan sektor perdagangan, hotel dan

restoran mencapai 5.77.

POTENSI DAN PERMASALAHAN/KENDALA DALAM

PENGEMBANGAN PERTANIAN/WILAYAH

Potensi

Pertanian berkontribusi besar dalam menopang prekonomian masyarakat

Pemenang. Hal ini dikarenakan sebagian penduduk bekerja di sektor pertanian

terutama pertanian tanaman pangan dan perkebunan menjadi primadona. Padi

dijadikan sebagai produksi andalan tanaman pangan diseluruh kecamatan di

kabupaten Lombok Utara. Produksi padi sawah tahun 2012 mencapai 2,239 ton

dengan luas panen 420 ha. Produksi ubi kayu merupakan yang terbesar

dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya yaitu 3,194 ton dengan luas

panen 207 ha. Potensi perkebunan rakyat kecamatan Pemenang tahun 2012

cukup menjanjikan tercatat bahwa produk unggulan perkebunan berupa kelapa,

jambu mete dan kopi. Produksi kelapa yaitu 3,465.85 ton dengan luas panen

2,616.15 ha dan produksi jambu mete sebesar 1,229.75 ton dengan luas panen

120.85 ha.

Potensi lain yang bisa didapatkan di kecamatan Pemenang pesona alam

yang indah. Hal inilah yang mendukung berkembangnya usaha dibidang

pariwisata. Wisata alam yang mejadi pimadona adalah wisata pantai yang

terpusat di tiga Gili kecamatan Pemenang dan pantai Malimbu. Jumlah hotel dan

restoran menjadi barometer perkembangan pariwisata di kecamatan Pemenang.

Page 39: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

39

Jumlah hotel melati sebanyak 411 hotel yang umumnya terdapat di tiga Gili.

Jumlah wisatawan yang berkunjung didominasi oleh wisatawan mancanegara.

Permasalahan

Perubahan Fungsi Status Penggunaan Lahan

Perubahan fungsi status penggunaan lahan yang sudah bergeser seperti

lahan pertanian yang banyak dialihkan menjadi daerah permukiman,

ketimpangan distribusi penduduk sehingga mengakibatkan ketersediaan tenaga

kerja jauh menurun yang dikarenakan sumberdaya manusia yang tersedia masih

rendah, sumberdaya alam yang ada belum dimanfaatkan secara optimal.

Lahan Kritis

Luas lahan kritis di kecamatan Pemenang sebesar 14.200,92 ha

merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain di kabupaten

Lombok Utara dengan kategori sangat kritis, kritis, agak kritis dan potensial

kritis. Lahan sangat kritis dan kritis hanya ditemukan di kecamatan Pemenang

masing-masing seluas 2.056,93 dan 329,15 ha sedangkan luas lahan agak krits

dan potensial kritis masing-masing seluas 4.605,60 dan 7.209,24 ha (BPS

Kabupaten Lombok Utara 2013). Lahan kritis sering dijumpai di daerah

pegunungan Pusuk karena sering terjadi longsor.

KEBIJAKAN PENGGUNAAN/ PEMANFAATAN/ PENGELOLAAN

LAHAN/WILAYAH

Kebijakan Daerah

Kabupaten Lombok Utara telah membentuk Peraturan Daerah Nomor 9

tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara

Tahun 2011-2031 yang berfungsi untuk mengatur, menetukan dan

mengendalikan setiap kegitan yang berkenaan dengan pemanfaatan fungsi ruang

tersebut. Dalam Peraturan Daerah ini, disusun pola ruang wilayah meliputi

kawasan lindung sebesar 30.87% seluas kurang lebih 24.992 Ha dan kawasan

budidaya sebesar 69.13% seluas kurang lebih 55.961 ha.

Hutan di kawasan kecamatan Pemenang merupakan bagian dari kawasan

lindung Gunung Rinjani. Kawasan sekitar danau kecamatan Pemenang

diarahkan keselurah kawasan sekitar danau dan waduk yang tersebar Danau Gili

Meno. Kawasan mata air kecamatan pemenang terdapat 8 titik dimana garis

sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 20 cm disekitar mata air. Kawasan

wiata alam sipusatkan pada laut tiga Gili seluas kurang lebih 2,945 Ha. Kawasan

rawan bencana tanah longsor meliputi kawasan sekitar Pusuk, Malimbu dan

Kerujak dan sekitarnya.

Kawasan budidaya yang dikembangkan di kecamatan Pemenang berupa

kawasan peruntukan pertanian meliputi kawasan pertanian tanaman pangan dan

hortikultura yang tersebar diseluruh kabupaten. Kawasan peruntukan

pertambangan meliputi potensi pertambangan logam berada di Dusun Kerujuk

Page 40: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

40

(Desa Pemenang Barat) seluas kurang lebih 5 Ha. Kawasan peruntukan

pariwisata meliputi wisata alam bahari meliputi Malimbu dan Kawasan Tiga

Gili. Kawasan permukiman yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten

Lombok Utara. Pengembangan kawasan peruntukan permukiman diarahkan di

daerah dengan kemiringan 0% sampai dengan 2%, diluar lahan pertanian basah

dan kawasan lindung dengan aksesibilitas baik serta air bersih yang cukup dan

bukan kawasan rawan bencana kecuali bencana gempa bumi. Kawasan

permukiman yang berada di kawasan lindung dan kawasan rawan bencana

(banjir, tanah longsor dan gelombang pasang) harus direlokasi ke lokasi yang

aman.

Kearifan Lokal

Gawe Gawah

Desa Bentek Kecamatan Gangga Lombok Utara memiliki tradisi adat

“Gawe Gawah” di kawasan Hutan Adat Pawang Mejet yang merupakan salah

satu dari kawasan hutan adat yang masih terjaga di Kabupaten Lombok Utara.

Luas Hutan Adat Pawang Mejet lebih dari 50 ha terletak di lingkaran Gunung

Rinjani. Hutan ini ditumbuhi pohon-pohon endemik hutan seperti bajur,

beringin, randu, jati dan sengon. Hutan ini dapat menyangga kehidupan

masyarakat desa Bentek karena setiap tahun hutan ini memenuhi kebutuhan air

pertanian dan perkebunan di Kecamatan Gangga Lombok Utara. Sumber air

hutan ini menjadi pemasok utama air untuk tiga saluran irigasi Kakun, Kerta dan

Sengkunkun. Gawe gawah dalam bahasa Indonesia berarti selamatan hutan yang

dilakukan setahun sekali yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam,

kelestarian hutan dan memohon agar hujan turun pada waktunya. Kegiatan ini

telah turun-temurun dilakukan agar hutan tetap lestari dan mampu

mempertahankan mata air yang menjadi sumber pengairan pertanian,

perkebunan dan kebutuhan masyarakat.

Peraturan lokal (Awiq-awiq) ini terus ditaati oleh masyarakat Desa

Bentek berupa tidak ada pohon yang boleh ditebang dalam hutan tersebut,

apabila ada yang menebang harus didenda dengan menyembelih kerbau yang

tergantung pada pohon yang ditebang, apabila semakin besar pohon yang

ditebang maka sanksinya akan lebih besar, apabila hanya memotong ranting

maka akan kena denda untuk memotong seekor kambing. Jika si pelaku tidak

memiliki ternak atau uang untuk membayar denda tersebut maka dia harus

menanam pohon serupa dengan bibit yang sejumlah 100 kali lipat. Sanksi sosial

yang diatur dalam peraturan adat seperti inilah yang lebih dipatuhi masyarakat

daripada peraturan positif (Kompasiana 2011).

Sambik

Masyarakat adat Dusun Desa Beleq Desa Gumantar Kecamatan

Kayangan Lombok Utara memiliki cadangan padi yang dapat dikonsumsi dalam

setahun sehingga mereka tidak perlu membeli beras. Cadangan padi tersebut

disimpan di dalam sambik (lumbung). Setiap keluarga memiliki satu sambik

dengan ukuran panjang, lebar, dan tinggi 2 meter yang mampu menyimpan

bahan makanan pokok untuk satu keluarga. Apabila keluarga memiliki anggota

Page 41: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

41

keluarga yang besar biasanya ukuran sambik yang lebih bear pula dan semakin

bagus tingkat ekonomi keluarga maka semakin besar pula ukuran sambik yang

dibangun. Oleh sebab itu sambik dijadikan tanda status sosial di masyarakat.

Sambik diisi padi yang berkualitas baik yang diikat pada musim panen.

Masyarakat kabupaten Lombok Utara manruh padi dengan menggunakan ritual

khusus karena dianggap menjadi tempat sakral oleh sebab itu untuk mengambil

cadangan beras di dalamnya harus dalam keadaan suci dan sekaligus sebagai

penghormatan terhadap tempat penyimpanan cadangan makanan.

Sementara padi hasil panen lainnya disimpan di dalam rumah, didalam

rumah tradisional warga adat gumantar maupun desa-desa tradisional lainnya

yang lainnya, mereka memiliki tempat penyimpanan gabah khusus, beras yang

sudah di giling atau gabah yang sudah di rontokkan itulah yang di pakai,

sementara padi didalam sambik biasanya di pakai pada musim kemarau.Padi di

dalam sambik masih aman sampai musim panen berikutnya, pada musim

kemarau warga menanan jagung, singkong dan ubi jalar. Mereka biasa

mencampur jagung dengan nasi, sehingga beras yang di konsumsi berkurang,

sarapan pagi biasa menggunakan ubi atau singkong.

Selain di Gumantar sambik masih di jumpai di perkampungan

tradisional Akar-akar, Segenter, Semokan, Bayan Belek, Loloan, Senaru

semuanya ada di Kecamatan Bayan.Sambik masih bertahan karena ada tuntutan

adat diantaranya maulid adat yang mengharuskan warga mengumpulkan bahan

makanan yang beraneka ragam salah satunya adalah padi bulu. Padi lokal ini

memiliki bulir dan tinggi pohonnya lebih besar dan hanya bisa panen sekali

setahun.

Tradisi menyimpan padi bulu di sambik telah mengakar di masyarakat

Kabupaten Lombok Utara. Setiap pembangunan rumah baru disertai pula

pembangunan sambik dan dibawah sambil disimpan lesung untuk menumbuk

padi tersebut. Hanya alat inilah yang boleh digunakan untuk menumbuk padi

tersebut tidak boleh menggunakan mesin giling modern.

Sambik dilihat potensinya dalam menjaga ketahanan pangan lokal, oleh

sebab itu Bahan Ketahanan Pangan (BKP) NTB mendukung revitalisasi

lumbung pangan. Saat ini BKP telah membangun lumbung modern yang

permanen. Sistem pengisian dan pemanfaatannya sama dengan sistem sambik

dan lumbung tradisional. Oleh sebab itu warga tidak perlu khawatir akan

kekurangan pangan saat terjadi gagal panen karena masih tersimpan cadangan

pangan dalam lumbung (BKP 2014).

PENILAIAN BIOFISIK, SOSIAL DAN EKONOMI

Iklim tropis wilayah kecamatan Pemenang sangat baik untuk komoditas

pertanian baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan,

begitupula potensi pariwisata yang terdapat di Malimbu dan tiga Gili merupakan

primadona para wisatawan domestik maupun mancanegara. Hal ini berdampak

pada peningkatan pendapatan daerah yang mana pendapatan tertinggi

masyarakat kecamatan Pemenang ditunjang dari sektor pertanian dan pariwisata.

Potensi pertanian tanaman pangan berupa padi dan ubi kayu perlu terus

ditingkatkan karena lahan sawah dan ladang relatif luas dan cocok untuk

Page 42: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

42

pengembangan padi. Komoditas ubi kayu berproduksi paling tinggi

dibandingkan dengan komoditas lainnya, tetapi penanaman ubi kayu masih

banyak ditemukan di daerah lereng sehingga banyak terjadi degradasi lahan.

Komoditas perkebuna berupa kelapa dan jambu mete juga perlu terus

ditingkatkan. Pada peta wilayah Pemenang, perkebunan banyak ditemukan pada

daerah rendah dekat pantai. Dalam hal ini komoditas kelapa dan jambu mete

produktif untuk dikembangkan terlihat bahwa produksi komoditas tersebut lebih

tinggi dibandingkan dengan komoditas yang lain.

Laju pertumbuhan penduduk kecamatan Pemenang tahun 2000-2010

menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 1.91% termasuk laju pertumbuhan

yang paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan yang lain dengan wilayah

yang paling sempit dibandingkan dengan kecamatan yang lain. Laju

pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dibutuhkan penyediaan fasilitas

berupa perumahan ataupun lapangan usaha. Intensitas penggunaan lahan

semakin meningkat akibat dari kebutuhan hidup yang semakin meningkat pula.

Permasalahan ini akan berdampak pada penggunaan lahan secara tidak

bertanggung jawab sehingga akan menimbulkan permasalahan berupa degradasi

lahan akibat dari ekploitasi berlebihan dan tidak sesuai untuk peruntukan

penggunaan lahan tersebut.

Kasus tanah longsor sering terjadi di Kecamatan Pemenang. Hal ini

dikarenakan pembukaan hutan untuk permukiman dan usaha tapi cukup tinggi.

Kegatan ini juga dipicu oleh keberadaan pariwisata 3 Gili. Keberadaan objek

wisata ini mendorong peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal para

pendatang maupun para wisatawan. Peluang ini dilihat oleh masyarakat sehingga

mereka mendirikan pemukiman dan usaha pada kawasan yang berada pada akses

wisata Gili seperti kawasan Pegunungan Pusuk dimana Kawasan pegunungan

Pusuk juga menawarkan pemandangan alam yang indah. Masyarakat tidak

hanya mendirikan pemukiman tetapi mereka juga mengusahakan tanaman

semusim yang memilki perakaran pendek yang nantinya dapat memicu

degradasi lahan.

Permasalahan lain yaitu pengkonversian lahan pertanian menjadi

pemukiman semakin meningkat. Permasalahan ini bisa disebabkan karena

kurangnya sumberdaya manusia yang paham terhadap penggunaan lahan

sehingga mereka bersifat degradatif terhadap lingkungan dan diperparah pula

dengan jumlah tenaga penyuluh di kabupaten Lombok Utara masih rendah dan

kurangnya pemanfaatan sumberdaya lama secara optimal. Minimnya tenaga

penyuluh lapang digambarkan melalui jumlah sebaran pekerja sosial menurut

BPS Kabupaten Lombok Utara pada tahun 2012 hanya sebanyak 4 orang. Jika

keadaan ini terus dibiarkan maka akan berdampak pada jumlah pengkonversian

lahan pertanian menjadi permukiman semakin tinggi. Hal ini juga diperparah

dengan kurangnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang dianggap usia produktif

yang mampu mengelola lahan agar lebih produktif.

Pertumbuhan penduduk ini juga berakibat pada peningkatan jumlah

penduduk miskin dengan jumlah penduduk miskin sebesar 1,651 jiwa dan rumah

tidak layak huni sejumlah 1,082 (BPS Kabupaten Lombok Utara 2013).

Kemiskinan ini dikhawatirkan akan menyebabkan penggunaan lahan yang tidak

bertanggung jawab yaitu berupa pembukaan hutan untuk berusaha tani ilegal.

Oleh sebab itu, perlu adanya pemberdayaan sumber daya manusia dengan

Page 43: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

43

pemberian pemahaman dan pelatihan pengelolaan lahan yang tepat dan juga

memberdayakan perempuan karena jumlah penduduk perempuan relatif sama

dengan penduduk laki-laki, tetapi pemberdayaan wanita masih kurang

diintensifkan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan Usaha Kecil Menengah.

KESIMPULAN

Setelah melakukan penilaian biofisik, sosial, ekonomi terhadap

pemanfaatan lahan di kecamatan Pemenang maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa Kabupaten Lombok Utara memiliki potensi sektor pertanian berupa

tanaman padi dan ubi kayu yang bagus untuk terus dikembangkan karena lahan

yang tersedia relatif luas dan komoditas perkebunan berupa kelapa dan jambu

mete dimana pengembangan cocok pada daerah rendah dan berproduksi tinggi.

Melihat permasalahan pengkonversian lahan pertanian menjadi

pemukiman serta lahan kritis, permasalahan ini banyak disebabkan oleh

peningkatan jumlah penduduk yang cepat, kurangnya pemahaman masyarakat

terhadap pengelolaan lahan yang tepat serta keberadaan pariwisata 3 Gili yang

mengakibatkan peningkatan pendirian pemukiman dan hotel pada lahan

pertanian dan berlereng.

REKOMENDASI

Setelah menganalisis segala potensi dan permasalahan dalam

pemanfaatan pertanian/wilayah terhadap RTRW Kabupaten Lombok Utara,

maka dapat ditawarkan rekomendasi berupa perlua adanya konsultasi publik

mengenai RTRW Kabupaten Lombok Utara karena masyarakat masih banyak

yang belum memahami rencana tata ruang wilayah mereka. Dengan adanya

konsultasi publik ini maka partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan

bisa lebih ditingkatkan.

Agar tidak terjadinya penggunaan lahan yang tidak sesuai fungsinya

maka perlu adanya pemberlakuan kearifan lokal masyarakat setempat seperti

yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu “Gawe Gawah”. Kearifan Lokal Berupa

gawe gawah ini sangat efektif pengaruhnya dalam menjaga hutan dan hutan adat

agar hutan tetap lestari dan mampu mempertahankan mata air yang menjadi

sumber pengairan pertanian, perkebunan, dan kebutuhan masyarakat. Hal ini

harus terus dipertahankan agar tingkat kerusakan hutan semakin ditekan.

Peningkatan jumlah penduduk berdampak pula pada kebutuhan pangan

penduduk yang semakin tinggi. Oleh sebab itu, kearifan lokal daerah Lombok

Utara berupa penggunaan Sambik bisa dimanfaatkan sebagai lumbung pangan

dikala sumber pangan berkurang akibat adanya gagal panen atau sebagainya

sehingga pemerintah tidak terlalu kesusahan dalam menyediakan kebutuhan

pangan daerah yang berimplikasi pula pada pengurangan pembukaan lahan

hutan yang bersifat degradatif dan ilegal untuk memenuhi kebutuhan pangan

mereka.

Page 44: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

44

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Utara, 2010

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Utara, 2013

BKP, 2104. Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTB. www.bkp.ntbprov.go.id.

diakses 2014. Bogor

Kompasiana, 2011. www.kompasiana.com. diakses 2014. Bogor

Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara Nomor 9 Tahun 2011 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011-2031

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2009 tentang

Rencana Tata Ruang Nasional

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten

Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat

Page 45: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

45

“Potret Pengelolaan Lahan Berkelanjutan, Studi Kasus:

Pertanian Berbasis Kearifan Lokal (Dusun) Pada Kabupaten

Maluku Tengah”

Disusun Oleh: Morgan Ohiwal

PENDAHULUAN

Latar belakang

E. F. SCHUMACHER dalam bukunya yang berjudul “ Small is Beautiful ”

yang mengulang kembali pendapat TOM DALE dan VERNON GILL CARTER

dalam “Topsoil and Civilisation” menyatakan sebagai berikut :

“…. Untuk sementara waktu manusia yang beradab itu hampir selalu

berhasil menguasai lingkungan hidupnya. Kesulitan kemudian ditimbulkannya

sendiri, karena umumnya mereka berpikir bahwa penguasaan yang sementara itu

dianggapnya sebagai penguasaan yang abadi, tanpa menyadari bahwa di

samping penguasaanya itu mereka harus berkemampuan untuk mengetahui

hukum alam sepenuhnya dan bahkan mereka kadang-kadang menganggapnya

remeh. Mereka kadang-kadang menganggap dirinya sebagai penguasa alam dan

bukan sebagai anak alam. Lingkungan hidupnya kemudian akan hancur karena

mereka mengelakan hukum alam.

Pendapat para ahli di atas itu kalau kita kaitkan dengan pendapat

THOMAS MALTHUS (pada akhir abad ke 18) adalah sejalan walaupun

MALTHUS meninjau pentingnya tanah yang dikaitkan dengan pesatnya angka

kelahiran penduduk. Ia menyatakan bahwa tidak dapat dihindari penduduk dunia

akan bertambah dengan cepat dan berada di atas kemampuan tanah dalam

memenuhi kebutuhan penduduk terutama kebutuhan pokoknya. Keadaan ini

pada gilirannya akan menimbulkan kelaparan massal dan peperangan yang

dahsyat.

Di seluruh kawasan tanah air kita masih dapat kita jumpai ratusan ribu

hektar tanah pada alang-alang dan tanah-tanah kritis akibat perlakuan dan

tindakan manusia yang mengabaikan hukum-hukum alam tersebut. Menurut Ir.

PRIBADYO SOSTROATMODJOL. A dalam bukunya yang berjudul

“Pembukaan Lahan dan Pengolahan Tanah” mengenai hal ini dinyatakan sebagai

berikut :

“….. dalam konteks ini telah terpancar suatu situasi dimana manusia

beradab telah merusak sebagian besar tanah yang mereka diami sejak lama.

Inilah sebab utama mengapa peradabannya berpindah-pindah termasuk

bertransmigrasi ke daerah-daerah yang dianggapnya akan mampu memperbaiki

kehidupannya yang lebih baik.

Keadaan di atas memang sampai dewasa ini masih banyak terasa,

walaupun kita telah memiliki pasal 33 UUD 1945, Undang-Undang pokok

Agraria No. 5 Tahun 1960 dimana jelas ditentukan :

a. Bahwa tanah mempunyai fungsi sosial

b. Ketentuan-ketentuan pidana bagi mereka yang menelantarkan tanah

Page 46: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

46

c. Pemilik tanah pertanian berkewajiban menggarap sendiri tanahnya

d. Larangan untuk memiliki tanah bagi pertanian di beberapa daerah di luar

daerah domisili pemiliknya.

Kabupaten Maluku Tengah sebagai Kabupaten terbesar di Propinsi

Maluku juga merupakan salah satu daerah yang tak luput dari kerusakan alam

akibat dari manusia yang hidup di dalamnya, pertanian yang intensif pada lahan

dengan kemiringan lebih dari 40% menyebabkan meningkatnya besar erosi yang

terjadi dan bertambahnya lahan kritis, pembukaan lahan dan beralih fungsinya

perkebun rakyat menjadi pemukiman. Penebangan pohon-pohon sekitar DAS

dan perambahan hutan merupakan masalah yang tak bisa dihindari lagi pada

daerah-daerah peresapan air.

Terbatasnya akses antara wilayah dalam Kabupaten Maluku Tengah

merupakan masalah yang harus segera ditanggulangi oleh pemerintah setempat

guna untuk meningkatan taraf ekonomi masyarakat. Mulai berkurangnya jumlah

lahan yang dikelola berdasarkan kerifan lokal merupakan salah satu masalah

serius yang harrus segera ditanggulangi oleh pemerintah kabupaten Maluku

Tengah guna menjaga pengunaan lahan secara berkelanjutan demi kepentingan

sosial, budaya, dan lingkungan.Peningkatan aksebilitas antara wilayah dalam

Kabupaten Maluku Tengah, dalam hal ini infrastuktur juga harus segera

ditingkatkan guna memudahkan peningkatan aktifitas ekonomi terutama dalam

bidang pertanian.

Tujuan

untuk memetakan jenis penggunaan lahan berdasarkan kemampuan lahan

dan kondisi masyarakat serta letak geografisnya, untuk penggunaan lahan secara

berkelanjutan dengan memperhatikan sistem konservasi lahan yang berbasis

kearifan lokal.

GAMBARAN UMUM WILAYAH

Geografis dan Topografis

Secara Astronomi, Kabupaten Maluku Tengah setelah pemekaran terletak

diantara 2o30’ – 7

o30’ LS dan 250

o – 132

o30’ BT, dan merupakan daerah

kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 53 buah, dimana yang dihuni

sebanyak 17 buah dan yang tidak dihuni sebanyak 36 buah.

Bentuk wilayah Kabupaten Maluku Tengah dikelompokkan berdasarkan

pendekatan fisiografi (makro relief), yaitu Dataran pantai, Perbukitan dan

Pegunungan dengan kelerengan yang bervariasi. Tercatat sebanyak 2 dataran, 3

gunung, 2 danau dan 144 buah sungai berada di wilayah Kabupaten Maluku

Tengah.

Struktur geomorfologi di Pulau Seram, Ambon, Banda dan sekitarnya

dapat dibedakan atas struktur: vulkan, horizontal, lipatan, dan patahan,

sedangkan batuan utama terdiri atas batuan vulkanis, terobosan, gamping, sekis,

dan aluvium.

Page 47: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

47

Hidrologi Kondisi hidrologi yang dideskripsikan adalah hidrologi permukaan

(sungai), Berdasarkan luas daerah aliran sungai (DAS), di Kabupaten Maluku

Tengah dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) sistem sungai berdasar kondisi

pulaunya, yaitu sistem sungai Pulau Seram, dan sistem sungai pulau-pulau kecil.

Pada umumnya sungai-sungai yang terdapat di Pulau Seram, baik sungai besar

maupun kecil, relative bersifat perenial, artinya mengalir sepanjang tahun,

walaupun pada musim kemarau mengalami penurunan debit aliran. Sebagaimana

diketahui bahwa di Kabupaten Maluku Tengah terdapat 144 buah sungai yang

dapat digunakan masyarakat sebagai sumber air bersih maupun sebagai

pengairan lahan pertanian.

Klimatologi Secara umum kondisi iklim di Kabupaten Maluku Tengah didominasi oleh

curah hujan yang relatif tinggi, yang ditunjukkan dengan kondisi vegetasi hutan

yang rapat dan tumbuh subur. Pada wilayah ini terbentuk tipe iklim hutan hujan

tropis, dengan curah hujan rata-rata tahunan yang tinggi. Seperti wilayah

Indonesia lainnya, di wilayah ini hanya terdapat 2 musim dalam setahun, yaitu

musim penghujan yang dimulai pada bulan Oktober dan musim kemarau yang

dimulai pada bulan April, dengan bulan basah lebih lama dibanding dengan

bulan kering. Kabupaten Maluku Tengah terletak antara Laut Pasifik dengan

Laut Banda, sehingga sering terjadi pusaran angin dan arus laut, maka pada saat

musim penghujan sering tejadi badai hujan (storm) yang sangat memungkinkan

terjadinya banjir besar.

Berdasarkan Peta Isohyet (Direktoral Jenderal Cipta Karya, 1996), curah

hujan rata-rata tahunan di Pulau Seram dan sekitarnya berkisar antara 2000-4000

mm. Curah hujan tertinggi (>4000 mm/tahun) terkonsentrasi di jalur perbukitan

bagian tengah Pulau Seram, di sekitar Tehoru. Berdasarkan klasifikasi Oldeman,

zona agroklimat di Kabupaten Maluku Tengah dapat dikelompokkan

berdasarkan kondisi fisiografinya, yaitu: (a) pada satuan dataran rendah dengan

ketinggian <500 meter dpal, temperatur udara berkisar antara 25.8°-27.2°C,

curah hujan antara 1.000-4.500 mm/tahun, hujan tersebar merata, jumlah bulan

basah antara 3-9 bulan basah per tahun; (b) pada satuan dataran tinggi dengan

ketinggian >500 meter dpal, temperatur udara rata-rata 26.2°C, curah hujan

antara 3.000-4.000 mm/tahun, dan >9 bulan basah..

Kondisi tanah Struktur tanah yang terdapat pada wilayah Kabupaten Maluku Tengah

cenderung serupa antara satu dengan yang lain, hal ini dikarenakan kondisi

geografis yang tidak berbeda secara signifikan antara satu pulau dengan pulau

lainnya. Struktur tanah sangat mempengaruhi keberadaan vegetasi suatu

wilayah, dengan kata lain dapat diidentifikasi struktur tanah berdasarkan jenis

vegetasi yang dapat hidup pada wilayah ini, mengingat bahwa kontur wilayah

yang merupakan indikasi tekstur ketinggian wilayah lebih mempunyai tingkat

ketepatan dalam menentukan jenis vegetasi. Sampai dengan saat ini ditemukan 7

jenis karakteristik tanah yang berbeda, tanah tersebut merupakan jenis tanah

yang dikelompokkan berdasarkan jenis vegetasi.

Page 48: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

48

Tabel 4. 1. Jenis Tanah dan Vegetasi di Wilayah Kabupaten Maluku Tengah

Jenis Tanah Uraian Vegetasi

Regosol / entisol

Aluvial / andisol

Gleisol / oxisol

Kambisol / inceptisol

Rensina / mollisol

Brunizem atau alfisol

Podsolik atau ultisol

Tanah ini memiliki solum

dalam, dengan tekstur sedang,

dan berdrainase sedang

sampai baik. Tanah ini

berasosiasi dengan jenis-jenis

tanah aluvial, gleisol dan

kambisol.

Tanah ini memiliki solum

sedang sampai dalam, dengan

tekstur sedang dan

berdrainase buruk. Jenis

tanah ini berasosiasi dengan

jenis-jenis regosol, gleisol

dan kambisol.

Tanah ini memiliki solum

sedang sampai dalam, dengan

tekstur sedang dan

berdrainase buruk, jenis tanah

ini berasosiasi dengan jenis-

jenis tanah regosol, aluvial

dan kambisol.

Tanah ini memiliki solum

dangkal sampai sedang

dengan tekstur sedang sampai

halus dan berdrainase baik,

berasosiasi dengan jenis-jenis

tanah litosol, kambisol,

brunizem dan podsolik.

Tanah ini memiliki solum

dangkal sampai sedang

dengan tekstur sedang sampai

halus dan berdrainase baik,

berasosiasi dengan jenis-jenis

tanah litosol, kambisol,

brunizem dan podsolik.

Tanah ini memiliki solum

tanah dalam sampai sangat

dalam, dengan tekstur halus

dan berdrainase baik.

Umumnya memilki

kejenuhan basa 50 % atau

lebih. Tanah ini berasosiasi

dengan jenis-jenis tanah

litosol, rensina, kambisol dan

podsolik.

Tanah ini memiliki solum

tanah dalam sampai sangat

dalam, dengan tekstur halus

dan berdrainase baik. Tanah

ini berasosiasi dengan jenis-

jenis tanah kambisl, litosol,

brunizem.

Vegetasi yang ditemukan

pada jenis tanah ini adalah

tanaman pertanian dominasi

kelapa, tanaman campuran,

vegetasi khusus daerah pantai

seperti ketapang, waru dan

jenis-jenis Pescapprae

Vegetasi umumnya

didominasi oleh tanaman

pertanian dominasi kelapa

dan tanaman campuran.

Vegetasi yang ditemukan

selain pandan rawa, sagu dan

mangrove, ditemukan pula

tanaman pertanian dominasi

kelapa dan tanaman

campuran (tanaman setahun

dan tahunan) yang menyebar

secara sporadis

Vegetasi yang ditemukan

adalah hutan sekunder,

primer dan tanaman

campuran.

Vegetasi yang ditemukan

adalah hutan sekunder,

primer dan tanaman

campuran.

Vegetasi yang ditemukan

adalah tanaman pertanian,

hutan sekunder dan primer.

Vegetasi yang ditemukan

adalah tanaman pertanian,

tanaman campuran (tanaman

tahunan dan ladang), hutan

sekunder dan primer.

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Maluku Tengah

Page 49: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

49

Penduduk Penduduk Kabupaten Maluku Tengah berdasarkan hasil Sensus Penduduk

Tahun 1980, 1990, 2000, dan 2010 berjumlah masing-masing sebesar : 229,581,

295,059, 317,476, 361,698 jiwa. Dari keempat sensus penduduk tersebut dapat

pula diperoleh rata-rata pertumbuhan penduduk antara Sensus Penduduk Tahun

1980,1990, 2000, dan 2010 sebesar 2.30 %, 1.48 %, 1.03 %, dan 1.31%.

Hasil proyeksi penduduk Kabupaten Maluku Tengah tahun 2012 sebanyak

375,393 jiwa, berbeda dari tahun 2010 sebanyak 361,698 jiwa, dimana jumlah

penduduk tahun 2010 merupakan hasil Sensus Penduduk 2010. Jumlah

penduduk terbanyak berada di Kecamatan Leihitu sebesar 48,756 jiwa (12.98 %

dari jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tengah).

Gambar 4.1. Grafik jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tengah

sumber : BPS Maluku tengah dalam angka 2013

POTENSI DAN PERMASALAHAN

Perkebunan

Tanaman perkebunan memegang peran penting dalam mendukung

perekonomian yaitu sebagai sumber devisa, bahan baku industri sumber

pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga berperan dalam

pelestarian lingkungan hidup.

Rumah tangga usaha tanaman perkebunan pada tahun 2011 berjumlah

58,679 dimana rumah tangga yang mengusahakan tanaman cengkih sebanyak

24,227 dan rumah tangga yang mengusahakan kelapa sebanyak 19,076. Itu

artinya tanaman perkebunan yang paling diminati oleh petani adalah cengkih

dan kelapa.

Komoditi unggulan Sektor perkebunan Kabupaten Maluku Tengah adalah

kelapa, cengkih, pala, kakao, kopi dan fanili. Tahun 2012 jumlah produksi

kelapa sebesar 13,955 Ton, lebih tinggi bila dibandingkan dengan komoditi

unggulan lainnya.

Page 50: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

50

Kehutanan

Luas kawasan hutan di Kabupaten Maluku Tengah adalah 563,945,30 Ha,

yang terdiri dari hutan suaka alam/hutan wisata dengan luas 4,413,80 Ha, hutan

lindung dengan luas 148,624,30 Ha, hutan produksi terbatas dengan luas

32,927,90 Ha, hutan produksi tetap seluas 209,178,90 Ha, lahan lain-lain dan

hutan konversi seluas 170,900,40 Ha.

Kabupaten Maluku Tengah juga mempunyai potensi hasil hutan non kayu

seperti rotan, kopal dan minyak atsiri (Minyak kayu putih dan lainnya). Namun

sampai saat ini pengusahaan hasil hutan non kayu ini masih diusahakan sebagai

usaha sampingan sehingga produksinya masih kecil.

Kelautan Dan Perikanan Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Maluku Tengah

sangat tergantung pada potensi sumberdaya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil

yang dimiliki. Jumlah pulau sebanyak 42 buah (termasuk pulau besar, Pulau

Seram) dengan panjang garis pantai 1,375,529 km,dan luas perairan wilayah

kelola 7,436,29 km2.Potensisumberdaya perairan yang dimiliki Kabupaten

Maluku Tengah mampu mendukung pembangunan ekonomi wilayah serta

ekonomi masyarakatnya.

penangkapan ikan, budidaya perairan, pengolahan hasil perikanan dan

pemasaran produk perikanan. Sesuai potensi itu, banyak kegiatan ekonomi

produktif yang dapat dikembangkan, antara lain :

1. Pemanfaatan sumberdaya yang dapat diperbaharui :

a. Penangkapan dan budidaya ikan dan organisme laut lainnya

b. Pemanfaatan hutan mangrove dan terumbu karang

c. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil

2. Pemanfaatan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui :

a. Pengembangan desalinasi air laut untuk menghasilkan garam

dan bahan biokimia lainnya

3. Pemanfaatan sumberdaya energi kelautan :

a. Pemanfaatan energi gelombang

b. Pemanfaatan energi pasang surut

c. Pemanfaatan konversi energi panas laut

d. Pemanfaatan energi angin

4. Pemanfaatan jasa lingkungan

a. Transportasi dan komunikasi

b. Ekowisata bahari

5. Konservasi dan rehabilitasi :

a. Transplantasi terumbu karang untuk kepentingan ekonomi

b. Konservasi dan rehabilitasi terumbu karang

c. Konservasi dan replantasi bakau

Permasalahan

Permasalahan tanah tidak semata-mata hanya menyangkut aspek ekonomi

dan kesejahteraan saja. Tetapi juga meliputi aspek sosial, kultur, politik, hukum

dan religious. Oleh karena itu dalam penyelesaiannya tidak hanya mengindahkan

aspek hukumnya saja, tetapi juga harus memperhatikan asas kesejahteraan,

keamanan dan kemanusiaannya juga.

Page 51: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

51

Tanah dalam wilayah hukum adat

Pada Kabupaten Maluku Tengah persoalan sengketa lahan terjadi terutama

terkait dengan batas wilayah antar Desa/Negeri, klaim kepemilikan adat oleh

kelompok yang berbeda, konflik akibat tumpang tindih wilayah adat dengan

wilayah administratif. Diantara permasalahan-permasalahan yang berhubungan

dengan masalah tanah tersebut adalah persoalan tanah yang berada dalam

lingkungan atau wilayah suatu masyarakat hukum adat. Di satu pihak ada

masyarakat hukum adat dengan hak ulayat dan di pihak lain ada pemanfaatan

tanah-tanah untuk kepentingan pembangunan oleh pemerintah. Benturan

kewenangan antara masyarakat hukum adat dan pemerintah ini sering dianggap

dapat menghambat pembangunan.

Meningkatnya lahan terdegradasi

Pembukaan lahan baru, penebangan pohon dan aktifitas pertanian lainnya

menyebabkan semakin bertambahnya lahan kritis. Hal ini tentunya akan sangat

berpengaruh terhadap kemampuan dan daya dukung lahan itu sendiri untuk

penggunaan selanjutnya. Reklamasi lahan untuk pertanian pada daerah resapan

air akan menyebabkan merosotnya debit air bahkan tidak menutup kemungkinan

akan menyebabkan matinya sumber air. Pembukaan lahan itupun akan

menyebabkan air terinfiltasi lebih kecil daripada aliran air permukaan akibat dari

tidak adanya vegetasi atau tanaman penutup tanah sehingga akan berpotensi

pada besarnya erosi yang terjadi.

KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN

Kebijakan Nasional

Undang-undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang :

Kehutanan

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan

hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara

terpadu.

2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan

alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentun yang ditunjuk dan atau

ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahanakan keberadaanya sebagai

hutan tetap

4. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani

hak atas tanah.

5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas

tanah.

6. Hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat

hukum adat.

7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

memproduksi hasil hutan.

Page 52: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

52

8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata

air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan

memelihara kesuburan tanah.

9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang

mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan

satwa serta ekosistemnya.

Undang-undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 2004 tentang :

perikanan

Dalam undang-undang ini yang dimaksudkan dengan :

Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan

dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari reproduksi,

produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam

suatu bisnis perikanan.

Undang-undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2004 tentang :

Perkebunan

Dimana dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu

pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,

mengelola dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan

bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelolaan serta manajemen untuk

mewujudkan kasejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

Kebijakan Daerah

Persoalan dan dimensi pembangunan daerah yang dihadapi oleh

Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah selalu berubah dan makin kompleks.

Permasalahan dan tuntutan pembangunan yang dihadapi akan bertambah

banyak, sedangkan kemampuan dan sumber daya pembangunan yang tersedia

cenderung terbatas. Pemerintah harus mengoptimalkan pemanfaatan sumber

daya yang tersedia untuk memenuhi tuntutan yang tidak terbatas dengan

membuat pilihan dalam bentuk skala prioritas.

Sebagai arah pelaksanaan pembangunan daerah pemerintah Kabupaten

Maluku Tengah telah menetapkan Visi Pembangunan Daerah yang tertuang

dalam RPJMD Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2013-2017.

Tujuan dan sasaran pembangunan mewujudkan misi Membangun

Masyarakat Maluku Tengah Yang Lebih Sehat, Cerdas dan Professional, maka ditetapkan tujuan dan sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam lima

tahun mendatang adalah sebagai berikut :

1. Meningkatnya status gizi masyarakat

2. Meningkatakan akses masyarakat miskin terhadap layanan perlindungan

kesehatan.

3. Meningkatnya perilaku hidup bersih dan sehat.

4. Tersedianya pangan yang sehat dan bermutu.

Page 53: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

53

Memperkuat perekonomian Maluku Tengah yang berdaya saing, maka

tujuan dan sasaran yang akan dicapai adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan daya saing dan menjaga stabilitas ekonomi.

2. Meningkatakn pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan

masyarakat.

3. Meningkatkan pelayanan sarana dan prasarana infrastruktur.

Kearifan lokal

Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai

kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Alam

perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya

dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide,

peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktifitas mengelola

lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya (Suhartiny, 2009).

Dalam masyarakat hukum adat tanah merupakan benda yang sangat

penting, baik untuk kepentingan pemukiman maupun untuk keperluan mata

pencariannya.

Praktek agroforestri yang khas pada Kabupaten Maluku Tengah berbasis

kearifan lokal diantaranya adalah :

1. Sistem dusun dimana dusun adalah suatu aset yang sangat bernilai yang

termasuk dalam indigeneous knowledge dan indigeneous teknologi yang

sudah teradaptasi dengan lingkungan fisik, biologis dan masyarakat

setempat.

2. Sasi dimana sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam

pengambilan hasil laut dan hasil pertanian.

Lokollo (1925) menjelaskan bahwa terdapat enam tujuan falsafah yang

mempengaruhi adat sasi, yakni sebagai berikut :

1. Memberikan petunjuk umum tentang perilaku manusia, untuk memberi

batasan tentang hak-hak masyarakat.

2. Menyatakan hak-hak wanita, untuk memberikan defenisi status wanita dan

pengaruh meraka dalam masyarakat.

3. Mencegah kriminalitas, untuk mengurangi tindakan kejahatan seperti

mencuri.

4. Mendistribusikan sumber daya alam yang mereka milliki secara merata

untuk menghindari konflik dalam pendistribusian sumber daya alam, yakni

antara masyarakat dari desa atau kecamatan yang berbeda

5. Menetukan cara pengolahan sumber daya alam yang di laut dan yang di

darat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

6. Untuk penghijauan.

Secara tradisional, sasi diterapkan dalam tiga tingkat, yaitu sebagai

berikut:

1. Sasi perorangan, yakni melindungi sumber daya alam yang menjadi milik

pribadi dalam batas waktu tertentu.

2. Sasi umum, yakni yang diterapakan untuk perkebunan campuran berbagai

pohon yang ada, disebut dusun, kemudian diterapkan untuk sumber daya

tertentu yang ada dalam kebun tersebut.

Page 54: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

54

3. Sasi desa, yakni berlaku bagi seluruh lapisan di desa tersebut, biasanya

terdiri dari beberapa dusun.

Setelah kewenangan sasi bertambah dan semakin luas, akhirnya sasi

berkembang menjadi empat kategori, yakni:

1. Sasi perorangan

2. Sasi umum

3. Sasi mesjid atau sasi gereja, yaitu sasi yang disetujui oleh pihak mesjid,

gereja atau masyarakat umum.

4. Sasi negeri, yaitu sasi yang disetujui oleh pemerintah lokal, seperti kepala

desa, bupati, contohnya untuk mengatasi masalah perselisihan mengenai

batas wilayah.

PENILAIAN BIOFISIK DAN SOSIAL-EKONOMI

Biofisik

Berdasarkan pendekatan fisiografi bentuk wilayah, Kabupaten Maluku

Tengah dapat dikelompokan menjadi: dataran pantai, perbukitan, dan

pegunungan. Dengan kondisi hidrologi yang dideskripsikan adalah hidrologi

permukaan (sungai), berdasarkan luas aliran sungai (DAS), di kabupaten Maluku

tengah dapat dikelompokan kedalam dua sistim sungai berdasarkan kondisi

pulaunya, sistem sungai pulau besar dan sistem sungai pulau-pulau kecil, dengan

jumlah 144 buah sungai yang dapat digunakan masyarakat sebagai sumber air

bersih maupun sebagai pengairan lahan pertanian

Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam juga harus sesuai

dengan kondisi geografis yang terdiri atas daerah kepulauan tersebut. Dimana

sumber daya yang dimiliki akan berbeda antara pulau besar dan pulau kecil akan

berbeda, sehingga sumber daya (khususnya sumber daya alam) tersebar tidak

merata, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Mengingat distribusinya yang

tidak merata, tahap pertama dari suatu pengembangan wilayah teknokratik

adalah mengidentifikasi sumber daya yang ada melalui kegiatan evaluasi sumber

daya, baik sumber daya alami, sumber daya manusia, sumber daya buatan,

maupun sumber daya sosial.

. Curah hujan rata-rata tahunan di pulau Seram dan sekitarnya berkisar

antara 2000-4000 mm. Dengan vegetasi yang terdapat pada umumnya adalah

tanaman pertanian dominasi kelapa, tanaman campuran (tanaman setahun dan

tahunan) yang menyebar secara sporadis, vegetasi khusus daerah pantai

(ketapang, waru, dan jenis-jenis Pescapprae), hutan primer dan hutan sekunder.

Keanekaragaman hayati (biodiversity) didefinisikan sebagai gabungan

antara jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu

komunitas (Deshmukh, 1992). Keanekaragaman merupakan salah satu ukuran

yang dipakai untuk menunjukan tingkat kemantapan dari suatu ekosistem.

Struktur tanah yang terdapat pada kabupaten Maluku tengah cenderung serupa

antara satu dengan yang lain. Struktur tanah sangat mempengaruhi keberadaan

vegetasi suatu wilayah, dengan kata lain dapat diidentifikasi struktur tanah

berdasarkan jenis vegetasi yang dapat hidup diwilayah ini.

Page 55: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

55

Maluku Tengah mempunyai wilayah pesisir yang cukup banyak karena

merupakan dearah dengan banyak pulau kecil. Wilayah pesisir adalah suatu

wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai,

maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas, yaitu : batas sejajar garis

pantai dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (Dahuri dkk, 1996). Wilayah

pesisir dan laut dengan pulau-pulau kecilnya merupakan kawasan dengan

produktifitas hayati tinggi.sehingga bagi sektor perikanan, kawasan ini menjadi

sumber-sumber perekonomian yang sangat potensial.SDA pesisir, maka di

kawasan ini juga menjadi sumber konflik berbagai kepentingan (Cicin-Sain dan

Knecht, 1998).

Karena struktur tanah pada Kabupaten Maluku Tengah cenderung serupa

antara yang satu dengan yang lainnya dikarenakan kondisi geografis yang tidak

berbeda secara signifikan antara satu pulau dengan pulau lainnya. Dengan

demikian penggunaan lahan oleh masyarakat dapat dibagi menjadi:

Rumah atau Luman

Rumah masyarakat Negeri disebut “luman”. Rumah Tradisional

masyarakat berbentuk empat persegi panjang dengan dua atap menghadap

kedepan dank e belakang dan memiliki satu pintu di bagian depan.

Pekarangan atau kintal

Pekarangan masyarakat disebut dengan “kintal” yang mereka defenisikan

sebagai sebidang lahan yang di dalam terdapat bangunan rumah dan sebagian

lahan lainnya terfletak disekitar bangunan rumah yang ditanami beranekaragam

jenis tanaman seperti tanaman hias, tanaman obat, pohon buah-buahan, dan lain-

lainnya.

Perkampungan atau Inian

Perkampungan masyarakat Negeri pada umumnya dibangun ditepi pantai

karena bentuk geografis dari Kabupaten Maluku Tengah merupakan daerah

kepulauan.

Kebun atau Dusun

Satuan lingkungan atau “dusun” dalam terminology lokal masyarakat

disebut dengan “aka” dan aka terdiri atas dua macam yaitu :

(a) Aka kiiti atau kebun kecil yang dibuat disekitar perkampungan dan

berukuran kecil atau tidak luas antara 200-1000 m2

dibatasi dengan pagar

dan biasanya ditanami dengan berbagai jenis tanaman pangan semusim

seperti tanaman sayuran dan tanaman pangan. Pembudidayaan jenis-jenis

tanaman sayuran dan tanaman pangan semusim tersebut dilakukan secara

campuran (mixed cropping) dan jarak tanam tidak teratur.

(b) Aka maina atau kebun besar yang berukuran cukup luas antara 1-10 ha atau

bahkan lebih luas lagi ditanami jenis-jenis tanaman tahunan seperti kelapa,

cengkeh, coklat, kopi, sagu, dammar, dan tanaman buah-buahan.

Berdasarkan jenis tanamannya maka aka maina atau dusun dapat dibagi

menjadi :

Page 56: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

56

Dusun coklat (aka maina soklat)

Masyarakat mengenal kebun coklat belum lama dan merupakan

bentuk usaha tani yang relative baru. Ciri khas kebun coklat masyarakat

berada di kawasan perbukitan atau pegunungan dan ditanam secara

campuran dengan berbagai jenis tanaman buah-buahan dan areal tersebut

masih terdapat beberapa jenis tanaman pohon hutan.

Dusun cengkih

Pengembangan dusun cengkeh mengalami penurunan dan masyarakat

lebih memilih mengusahakan kebun coklat dibandingkan cengkeh pada saat

ini, karena beberapa alasan antara lain; (a) penanaman cengkih memerlukan

perawatan yang lebih sulit disbanding jenis perkebunan lainnya; (b)

tanaman cengkih lebih lambat memberikan hasil dibandingkan tanaman

lainnya; (c) hasil cengkih sulit dipasarkan; dan (d) cengkih hanya sekali

panen dalam setahun.

Dusun kelapa (luin)

Pada masa lalu kelapa mempunyai peran penting dalam masyarakat

terutama peran sosial ekonomi. Kepemilikan kebun kelapa menjadi simbol

kekayaan suatu keluarga dan merupakan sumber ekonomi utama melalui

hasil kopranya. Namun pada masa kini peran ekonomi kelapa telah

tergantikan oleh jenis tanaman perkebunan lainnya seperti coklat, kopi,

pala dan lainnya. Kondisi kebun kelapa berlokasi di dekat perkampungan

sudah tergolong tua dan perlu perejamaan.

Dusun pala (Aka maina pala)

Tanaman pala tidak banyak jumlahnya dan lebih banyak ditanam

sebagai tanaman sela diantara jenis-jenis tanaman coklat, cengkih, dan

kopi.

Dusun sagu (Aka maina hatan)

Bentuk satuan lingkungan ini sebenaranya secara alamiah telah ada

dan pada saat ini masyarakat sudah mulai membudidayakannya, walaupun

pada saat ini sagu sudah bukan lagi menjadi bahan pangan utama.

Keanekaragaman jenis tumbuhan yang terdapat di kebun sagu antara lain

jenis tanaman buah-buahan dan jenis tumbuhan hutan yang memiliki

manfaat untuk bahan bangunan dan kayu bakar.

Dusun durian

Secara tradisional masyarakat tidak mengusahakan jenis durian

dalam suatu perkebunan khusus buah durian. Dusun durian dibangun

hanya berupa suatu kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman dan

tanaman buah durian menjadi dominan di kebun tersebut. .Buah durian

menjadi penting karena memiiki harga yang cukup tinggi dan mudah

memasarkannya.

Page 57: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

57

Dusun langsat

Kepemilikan dusun langsat tidak dimiliki oleh semua masyarakat.

Namun hampir sebagian masyarakat yang memiliki dusun menanam jenis

ini di lahan dusunnya.

Hutan Sekunder (Ewang Aung)

Berdasarkan pengertian masyarakat hutan sekunder (ewang aung) adalah

hutan yang telah terganggu oleh aktifitas manusia atau menerangkannya sebagai

hutan asli yang telah dibuka untuk kepentingan kebun atau membuat dusun dan

selanjutnya dibiarkan menghutan kembali. Pengertian ini juga berlaku untuk

hutan primer yang telah mengalami kerusakan secara alami seperti kerusakan

karena angina tau badai, terjangan banjir, kebakaran karena kekeringan dan lain-

lannya..Ewang aung bagi masyarakat dimanfaatkan sebagai sumber kayu bakar,

meramu hasil hutan non kayu seperti keanekaragaman jenis tumbuhan obat,

rotan, sagu, dan berbagai jenis buah-buahan dan sayuran.

Hutan Primer (Ewang)

Ewang atau hutan asli atau hutan primer merupakan satuan lingkungan

berupa hutan yang masih asli dan belum mengalami kerusakan akibat dari

gangguan baik gangguan alam maupun dari aktifitas manusia. Penguasaan hutan

“ewang” ini dikuasai oleh soa, sehingga kepemilikannya bersifat komunal.

Batas kepemilikan hutan primer ini tidak jelas di lapangan, kecuali yang

memiliki batas alam yang jelas seperti sungai, lembah atau bukit, sehingga batas

kawasan ini sering menjadi konflik antar desa, antar soa atau antar kelompok

masyarakat.

Sosial-Ekonomi

Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan

akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang

harmonis (termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya

dan modal sosio-kebudayaan. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan

kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas

sosial-budaya merupakan indikator-indikator penting yang perlu

dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.

Dengan demikian pemberdayaan masyarakat pada Kabupaten Maluku

Tengah harus secara menyeluruh dan merata guna meminimalisir ketimpangan

sosial dan konflik sosial di masyarakat yang mungkin akan terjadi. Dengan

bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan pangan juga meningkat, sehingga

untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat akan melakukan ekstensifikasi

lahan yang akan berdampak pada pengundulan hutan.

Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan

yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan aset produktif yang

menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama dimensi

ekonomi ini adalah tingkat efisiensi, dan daya saing, besaran dan pertumbuhan

nilai tambah, dan stabilitas ekonomi (material) manusia baik untuk generasi

sekarang maupun yang akan mendatang.

Page 58: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

58

Mengingat keterbatasan dan ketidakmerataan sumberdaya pada Kabupaten

Maluku Tengah, maka setiap potensi sumberdaya yang ada harus dimanfaatkan

sebaik-baiknya. Hal ini mengandung arti bahwa setiap sumberdaya harus

dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin. Dalam teori ekonomi, prinsip

efisiensi dibagi menjadi dua jenis yaitu : efisiensi produksi dan efisiensi alokasi.

Efisiensi produksi dicapai dengan meminimumkan biaya untuk menghasilkan

satu unit output. Sedangkan efisiensi alokasi adalah suatu kondisi dimana dalam

suatu produksi output, sumberdaya yang dialokasikan adalah maksimum dan

harga produksi barang sama dengan biaya marginalnya. Dalam proses

perencanaan pengembangan wilayah, aspek ekonomi berperan penting untuk

mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien baik dalam

perspektif jangka pendek maupun jangka panjang.

Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitas

ekosistem alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam.

Termasuk dalam hal ini ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur

biologis (sumberdaya genetik), sumberdaya tanah, air dan agroklimat, serta

kesehatan dan kenyamanan lingkungan.

Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus

diperhatikan secara berimbang. Sistim sosial yang stabil dan sehat serta

sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi,

sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasarat untuk terpeliharanya

stabilitas sosial budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan

hidup. Sistim sosial yang tidak stabil atau sakit (misalnya terjadi konflik social

dan pravalensi kemiskinan) akan cenderung menimbulkan tindakan yang

merusak kelestarian sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan

(misalnya kelangkaan tanah dan air) dapat mendorong terjadinya kekacauan dan

penyakit sosial.

Dilihat dari data ketenagakerjaan pada Kabupaten Maluku Tengah terdapat

setidaknya lebih dari setengah atau 57.33% dari penduduknya bekerja di sektor

pertanian. Dengan demikian, maka sistem pertanian terutama yang berbasis

kearifan lokal atau dusun harus dijaga kelestariannya. Selain merupakan sumber

pendapatan ekonomi masyarakat dusun juga mempunyai fungsi ekologi yang

sangat baik di dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam yang berkelanjutan.

Masyarakat Negeri memiliki pengetahuan tentang keanekaragaman jenis

tumbuhan yang tumbuh disekitar tempat tinggalnya. Mereka memilik

pengetahuan yang baik dalam pengenalan keanekaragaman jenis tumbuhan yang

didasarkan pada karakteristik morfologi tumbuhan dan kegunaannya. Dalam

mengenali keanekaragaman jenis tumbuhan langkah-langkah awal yang mereka

lakukan adalah :

(a) Mengenali ciri morfologi dari jenis tumbuhan, yaitu diawali melihat bentuk

daunnya (totun), warna kulit batangnya (ai unin), batangnya atau kayunya

(hatan atau helan), buahnya (huan), cabang (sakat), tangkai, ranting (salan),

akar (ai tamun), dan keberadaan getahnya.

(b) Mengelompokan apakah jenis tumbuhan tersebut berupa rumput-rumputan

dan perdu (ehu), liana (ayaan), batang atau pohon (hatan), dan berumpun

(ulun).

(c) Melakukan penanaman: penanaman diawali dengan kata “ehu” untuk jenis

rumput, “ayaan” untuk jenis liana, “ai” untuk jenis pohon.

Page 59: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

59

(d) Menyebutkan kegunaannya: masyarakat mengenal dengan baik kegunaan

jenis-jenis tumbuhan yang terdapat disekitar mereka.

Dusun merupakan sistim sosial yang digunakan masyarakat dalam

pengelolaan sumberdaya alam yang mereka miliki. Di samping menjaga

ekosistem alam “dusun” merupakan sumber pendapatan masyarakat karena jika

dilihat dari tanaman yang diusahakan, hasil dari jenis-jenis tanaman budidaya

yang diusahakan oleh masyarakat memiliki nilai ekonomi yang tinggi, misalnya

cengkeh, kopi, coklat, kelapa, dan lain-lainnya yang nilai ekonominya bisa

mencukupi kebutuhan mereka.

Pengendalian kerusakan lahan

Sebagaimana diketahui kondisi lahan pada Kabupaten Maluku Tengah

terbagi atas dataran pesisir, perbukitan, dan pegunungan. Maka untuk daerah

pegunungan dijadikan sebagai kawasan lindung dan daerah resapan air. Dimana

daerah pegunungan merupakan hutan primer atau “ewang” yang masih dalam

kondisi alami. Sedangkan untuk dataran pesisir dan perbukitan yang merupakan

kawasan budidaya tindakan pengendalian yang dapat dilakukan adalah :

(a) Cara mekanik dengan menggunakan sarana fisik seperti tanah dan batu

sebagai sarana konservasi tanahnya. Tujuanya untuk memperlambat aliran

air permukaan, mengurangi erosi, serta menampung dan mengalirkan aliran

air permukaan ( Seloliman, 1997). Metode konservasi yang dapat dilakukan

diantaranya; pengelolaan tanah, pembangunan teras, pembuatan saluran

disepanjang kontur yang berfungsi sebagai saluran air untuk mengisi

persediaan air dalam tanah, penanaman tanaman dalam strip kontur.

Karena umumnya masyarakat membuka lahan pertanian pada daerah

perbukitan dengan kemiringan 10-40% maka teknik konservasi yang baik

dilakukan adalah teras bangku, gulud atau guludan, teras kebun untuk

tanaman perkebunan dan buah-buahan, rorak yang bertujuan untuk

memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah tererosi,

dan pembuatan embung tradisional. Sistim mekanik yang biasanya dilakukan

masyarakat pesisir juga adalah dengan pembuatan pemecah ombak dengan

menggunakan batuan karang disamping mencegah terabrasinya tanah pesisir

pantai juga sebagai habitat biota laut terutama ikan karang

(b) cara biologi; penanaman rumpun bambu pada daerah tepian sungai

diperlukan untuk mencegah erosi alur dan parit yang terjadi akibat aktifitas

manusia maupun yang terjadi secara alami yang ditanam membentuk pagar,

penanaman tanaman penutup tanah untuk mencegah besar dan laju aliran

permukaan baik pada tepian teras yang dibuat atau pada lahan terbuka dan di

antara baris tanaman, pergiliran tanaman dan tumpang sari baik juga untuk

meningkatkan kesuburan tanah, penanaman tanaman mangrove untuk

mencegah erosi tanah daerah pesisir akibat abrasi air laut.

(c) Cara kimia dengan penambahan bahan organik tanah dapat dilakukan dengan

pemulsaan disamping dapat meningkatkan kesuburan tanah juga dapat

memperkecil laju aliran permukaan

Page 60: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

60

KESIMPULAN

Dalam sistem pertanian terdapat dua kendala utama yaitu kendala fisik dan

profitabilitas (keuntungan usaha). Pada kondisi ekstrim, faktor keterbatasan fisik

dapat diatasi dengan berbagai kondisi buatan. Sedangkan pada sistem produksi

pertanian yang dibatasi oleh luas areal dapat diatasi dengan pemanfaatan

teknologi. Selain teknologi, secara spasial faktor iklim juga berpengaruh

terhadap sistem produksi pertanian.Karena pada batas-batas tertentu, pengaruh

iklim dapat membatasi penggunaan lahan, mekanisasi, budidaya dan sebagainya.

Dalam perencanaan pengembangan wilayah dan pengendalian lahan

berdasarkan konsep pertanian berkelanjutan, maka tiga hal yang harus

diperhatikan adalah :

1. Dimensi sosial yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat guna

mencapai kesejahteraan sosial yang harmonis

2. Dimensi ekonomi sebagai indikator utama tingkat efisiensi dan daya saing,

besaran dan pertumbuhan nilai tambah, dan stabilitas ekonomi manusia

untuk generasi sekarang dan yang akandatang.

3. Dimensi lingkungan guna menekan kebutuhan akan stabilitas ekosistem

alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam.

Dusun merupakan sistem pengelolaan lahan yang sangat sesuai atau

mengsinergikan antara peraturan pemerintah no 41 tahun 1999 tentang

kehutanan, tujuan pembangunan Kabupaten Maluku Tengah dimana salah

satunya adalah meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam untuk

kesejahteraan masyarakat.

REKOMENDASI

Pemerintah harus berperan sebagai human kontrol sehingga masyarakat

lokal tidak dimarginalkan terhadap hak-hak sumberdaya alam yang mereka

miliki baik secara politik dan ekonomi.

Konsep dan pelaksanaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (dusun)

adalah sistim pengelolaan sumberdaya hutan yang dapat dilakukan bersama

Perum Perhutani dan masyarakat desa untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan

manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.

Pemerintah harus memposisikan hutan rakyat, hutan adat dan hutan

Negara sebagai satu kesatuan ekosistem, termasuk unsur manusia, pranata sosial,

kelembagaan, hak dan kewajiban setiap pelaku, dan kesetaraan dan pengakuan

hukum, ekonomi dan politik harus dibangun bersama-sama, dengan mengacu

kepada kepentingan individu dan kepentingan publik.

Page 61: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

61

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra. S. Hadi. 2012. Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. UGM

Press.Yogyakarta.

Aryadi, Mahrus. 2012. Hutan Rakyat. Umm Press. Malang.

BPS. 2013. Maluku Tengah Dalam Angka.Masohi. Maluku Tengah.

BPS.2012. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Maluku Tengah.

Maluku Tengah.

Hardiyatmo. C. Hady. 2006. Penanganan Tanah Longsor Dan Erosi. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta.

Rustiadi, E., S. Sunsun., dan P.R. Dyah. 2011. Perencanaan dan Pengembangan

Wilayah. Restpent Press. Jakarta-Indonesia.

Solahuddin, Soleh. 2009. Pertanian Harapan Masa Depan. IPB Press.Bogor-

Indonesia.

Wattimena. A. Gustaf. Agroforestri di Maluku. proceeding Permama 2011.

Bogor

Page 62: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

62

“Potensi Pengembangan Sagu untuk Mendukung Ketahanan

Pangan Lokal di Wilayah Kabupaten Merauke”

Disusun Oleh: Yudi C. L. Pakpahan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Potensi lahan untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Merauke

sangat luas dan merupakan salah satu sentra pengembangan tanaman pangan di

Provinsi Papua. Papua, salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi sagu

terbesar. Wilayah sebaran di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong,

Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang belum

terinventarisasi.

Sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi, dan budaya yang cukup

penting di Propinsi Papua karena merupakan bahan makanan pokok bagi

masyarakat terutama yang bermukim di daerah pesisir. Peraturan Presiden

Nomor 65 tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat (P4B) mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan

perekonomian dan ketahanan pangan lokal maka sagu merupakan salah satu

komoditas yang sesuai dengan budaya dan kearifan lokal serta memiliki potensi

kesesuaian lahan untuk dikembangkan di Papua.

Pengelolaan tanaman sagu oleh masyarakat di Papua saat ini masih sebatas

untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga (subsistem) tanpa berorientasi pada

peningkatan nilai tambah melalui pengolahan lebih lanjut guna meningkatkan

perekonomian keluarga.Pengolahan sagu di Papua masih sebatas dalam

industripangan dengan pemanfaatannative starch(pati asli). Padahal produk

turunan hasil olahan sagu dapat dikembangkan menjadi beberapa makanan

diantaranya tepung sagu, bihun sagu, bubur sagu, beras sagu, aneka kue sagu

kering dan makanan kecil lain. Produk lain adalah: gula cair, biodegredable

plastic (plastik yang dapat terurai), bioetanol, pakan ternak, arang briket serta

papan partikel komposit.

Populasi tanaman sagu Papua kini mulai berkurang seiring dengan alih

fungsi kawasan menjadi areal permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya

populasi tanaman sagu mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah

dan bisa mengakibatkan lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang.

Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mensinergikan penilaian

biofisik dengan pembangunan.

Page 63: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

63

GAMBARAN UMUM WILAYAH

Kondisi Geografis

Kabupaten Merauke merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi

Papua, terletak dibagian selatan yang memiliki wilayah terluas diantara

kabupaten/kota di Provinsi Papua. Secara geografis letak Kabupaten Merauke

berada antara 137°-141°BT dan 5°-9° LS, dengan luas wilayah 46,791.63

km².Sebagian besar wilayah Kabupaten Merauke terdiri dari daratan rendah dan

berawa, luas areal rawa ±1,425,000 ha dan daratan tinggi di beberapa kecamatan

padalaman bagian utara.

Kabupaten Merauke terletak paling timur wilayah nusantara dengan batas-

batas sebagai berikut :

a) Sebelah Utara dengan Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi

b) Sebelah Timur dengan Negara Papua New Guinea

c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura

d) Barat berbatasan dengan Laut Arafura

Topografi

Keadaan topografi Kabupaten Merauke umumnya datar dan berawa di

sepanjang pantai dengan kemiringan 0-3% dan kearah utara yakni mulai dari

Distrik Tanah Miring, Jagebob, Elikobel, Muting dan Ulilin keadaan

topografinya bergelombang dengan kemiringan 0-8%.

Klimatologi

Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman wilayah Kabupaten Merauke

berada pada zona (Agroclimate Zone C) yang memiliki masa basah antara 5-6

bulan. Dataran Merauke mempunyai karakteristik iklim yang agak khusus yang

mana curah hujan yang terjadi dipengaruhi oleh Angin Muson, baik Muson

Barat-Barat Laut (Angin Muson Basah) dan Muson Timur-Timur Tenggara

(Angin Muson Kering) dan juga dipengaruhi oleh kondisi Topografi dan elevasi

daerah setempat.

Curah hujan pertahun di Kabupaten Merauke rata-rata mencapai 1,558.7

mm. Kecepatan angin hampir sama sepanjang tahun; di daerah pantai bertiup

cukup kencang sekitar 4-5 m/det dan di pedalaman berkisar 2 m/detik. Tingkat

kelembapan udara cukup tinggi karena dipengaruhi oleh iklim Tropis Basah,

kelembapan rata-rata berkisar antara 78-81%.

Hidrologi

Sungai-sungai besar yakni Bian, Digul, Maro, Yuliana, Lorents, dan

Kumbe merupakan potensi sumber air tawar untuk pengairan dan digunakan

sebagai prasarana angkutan antara kecamatan dan desa-desa. Sumber air tawar

dari rawa-rawa, air permukaan dan air tanah cukup tersedia untuk dimanfaatkan.

Jenis Tanah

Jenis tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Merauke terdiri atas tanah

histosol, entisol, dan ultisol yang terdapat di daerah-daerah rawa dan payau.

Jenis tanah ini terbentuk dari bahan induk batuan sedimen yang menyebar di

wilayah distrik Okaba, Merauke dan Kimaam.

Page 64: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

64

Demografi

Penyebaran dan kepadatan penduduk pada dasarnya dipengaruhi oleh

faktor lokasi, potensi dan kemudahan hubungan antara lokasi tersebut.

Kabupaten Merauke dengan luas wilayah 46,791.63 Km2, tingkat kemudahan

hubungannya masih tergolong relatif rendah. Konsentrasi penduduk masih

dominan tinggal di daerah perkotaan dan kampung-kampung transmigrasi.

Jumlah penduduk Kabupaten Merauke per tanggal 31 Desember 2011, menurut

pendataan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berjumlah 239,943 Jiwa.

POTENSI DAN PERMASALAHAN

Potensi Sagu

Dari segi penggunaan lahan untuk tanaman sagu, menurut Flach (1983)

dalam Syakir & Karmawati (2013) Indonesia sudah sejak zaman dalu

mengembangkan tanaman sagu dalam bentuk hutan.Areal pertanaman yang ada

pada waktu itu sudah 1,114,000 ha, tersebar di kawasan Timur 95%, dan hanya

4.1 di kawasan Barat.

Badan Litbang Kehutanan (2007) dalamSyakir & Karmawati (2013)

menyebutkan hutan sagu sekitar 1,250,000 hayang tersebar di Maluku dan

Papua, sedangkan yang sudah semi budidaya terdapat di Papua, Maluku,

Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau, dan Mentawai (Tabel 5.1).

Tabel 5.1. Perkembangan Luas Areal Sagu di Beberapa Daerah di Indonesia

No. Lokasi Hutan Sagu

(ha)

Semi Budidaya

(ha)

1. Papua 1,200,000 14,000

2. Maluku 50,000 10,000

3. Sulawesi - 30,000

4. Kalimantan - 20,000

5. Sumatera - 30,000

6. Kepulauan Riau - 20,000

7. Kepulauan Mentawai - 10,000

Jumlah 1,250,000 134,000

Sumber: Badan Litbang Kehutanan (2007) dalam Syakir & Karmawati (2011)

Berdasarkan data Badan Litbang Kehutanan (2007) dalam Syakir &

Karmawati (2013) luas lahan yang sesuai untuk perluasan dapat dilakukan pada

lahan rawa yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Papua seluas

2.978.380 ha.Khusus untuk jenis sagu baruk walaupun prodiktifitas pati per ha

atau per pohon rendah hanya sekitar 30-100 kg, tanaman ini dapat tumbuh pada

tanaman non rawayang tersedia di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa tenggara,

Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua seluas 5.3 juta ha (Tabel 5.2).

Page 65: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

65

Tabel 5.2. Luas Lahan yang Sesuai untuk Perluasan Areal Pertanian Lahan Basah

Pulau Lahan (ha)

Rawa Non Rawa Total

Sumatera 354,854 606,193 961,047

Jawa 0 14,393 14,393

Bali dan Nusa Tenggara 0 48,922 48,922

Kalimantan 730,160 665,779 1,395,939

Sulawesi 0 422,972 422,972

Maluku dan Papua 1,893,366 3,539,334 5,432,700

Indonesia 2,978,380 5,297,593 8,275,973

Sumber: Badan Litbang Kehutanan (2007) dalam Syakir & Karmawati (2013)

Produktifitas tepung sagu di Indonesia cukup beragam tergantung jenis

sagu. Hasil Survei Allorerung (1993) dalam Syakir & Karmawati (2013) di

beberapa daerah di Indonesia secara umum, umur panen berkisar antara 7-12

tahun dengan kisaran produksi tepung basah per batang sekitar 90-700 kg (Tabel

5.3).

Tabel 5.3. Produktifitas Pati Sagu di Beberapa Daerah di Indonesia

Nomor Lokasi

Perkiraan Umur

Panen

(tahun)

Produksi Tepung

Basah

(kg/batang)

1. Jayapura 8-10 400

2. Kaimana 7-10 400-700

3. Sorong 7-10 300-375

4. Paniai 7-10 360-500

5. Yapen Waropen 10-12 400-500

6. Merauke 7-10 300-400

7. Salawati - 90-325

8. Sungai Kepik - 137,7

9. Kampor - 150-200

10. Idragili Hilir - 138-367

11. Bengkalis - 200-300

12. Kep. Riau - 300

13. Sulawesi Utara - 200-450

14. Kalimantan Barat - 175-210

15. Kepulauan Mentawai - 300-400

Sumber: Allorerung (1993) dalam Syakir & Karmawati (2013)

Pati sagu saat ini di pasar internasional relatif belum begiru dikenal.

Padahal produksi karbohidrat dan tanaman sagu lebih tinggi dari tanaman-

tanaman penghasil karbohidrat lainnya seprti jagung, ketela pohon, dan

tebu.Selain untuk bahan makanan, bioetanol dapat juga dihasilkan karbohidrat

tanaman sagu. Diperkirakan dalam 1 ha tanaman sagu dapat menghasilkan per

tahun bioetanol sebesar 12,2 kL/ha (Tabel 5.4).

Page 66: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

66

Tabel 5.4. Produksi karbohidrat dan Bioetanol Tanaman Sagu

Jenis Tanaman Produksi

(ton/ha) Karbohidrat

Produksi

Karbohidrat

(ton/ha)

Produksi

Bioetanol

(kL/ha)

Tebu 70 Gula 15% 10 6.4

Ketela pohon 25 Pati 25% 6.25 3.8

Jagung 5 5 ton 5 3

Sagu 20 250 kg/batang 20 12.2

Sumber: Ishizaki 2007 dalam Syakir & Karmawati (2013)

Usia panen tanaman sagu, dihitung sejak penanaman pertama, diperlukan

waktu sekitar 12 tahun. Sagu memiliki potensi yang besar dalam memenuhi

kebutuhan diversifikasi pangan. Tanaman ini juga hanya cukup ditanam sekali,

dan setelah 12 tahun akan terus menerus dapat dipanen, tanpa perlu membuka

lahan untuk penanaman baru.

Kendala Pengembangan Tanaman Sagu

Pohon sagu yang biasa diolah secara tradisional oleh masyarakat lokal asli

Papua menjadi bahan makanan semakin menipis. Pohon ini terus dibabat untuk

pembangunan. Di sisi lain, sekitar 4,8 juta ton sagu terbuang percuma. Pohon

sagu dibiarkan tua karena pengetahuan pengelolaan terbatas, proses mengambil

sari perlu waktu lama dan butuh tenaga kuat. Pengolahan hasil sagu masih secara

konvensional dengan menggunakan tenaga manusia, namun sekarang ini telah

dirakitpangkur dan alat peremas sagu. Alat ini sudah banyak diadopsi oleh

masyarakat pengelola sagu di wilayah Papua.

Pengelolaan tanaman sagu oleh masyarakat di Papua saat ini masih sebatas

untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tanpa berorientasi pada peningkatan

nilai tambah melalui pengolahan lebih lanjut guna meningkatkan perekonomian

keluarga. Padahal produk turunan hasil olahan sagu dapat dikembangkan

menjadi beberapa makanan diantaranya tepung sagu, bihun sagu, bubur sagu,

beras sagu, jeli, kerupuk, aneka kue sagu kering dan makanan kecil lain. Produk

lain adalah: gula cair, biodegredable plastic (plastik yang dapat terurai),

bioetanol, pakan ternak, arang briket serta papan partikel komposit juga

pembuatan kayu lapis.

Informasi mengenai teknologi budidaya sagu masih sangat

terbatas.Pengetahuan masyarakat Papua tentang budidaya sagu diperoleh secara

turun-temurun. Pemeliharaan kebun sagu yang dipraktekkan masih sangat

sederhana, yaitu berupa pemangkasan pohon yang menaungi sagu dan

pembersihan gulma. Selain itu, usaha-usaha pengembangan sagu secara

budidaya belum banyak mendapat perhatian sehingga suatu saat hutan sagu akan

terancam punah.

.

KEBIJAKAN PENGGUNAAN LAHAN

Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2011 tentang Percepatan

Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) mengamanatkan

bahwa dalam rangka peningkatan perekonomian dan ketahanan pangan lokal

maka sagu merupakan salah satu komoditas yang sesuai dengan budaya dan

Page 67: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

67

kearifan lokal serta memiliki potensi kesesuaian lahan untuk dikembangkan di

Papua.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang RI nomor 21 tahun 2001 tentang

Pemberian Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua maka jelas akan semakin besar

hak dan kewenangan sekaligus kewajiban daerah dalam memacu pembangunan

guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan mengedepankan program

prioritas dan memberikan hak-hak yang cukup penting bagi putra-putri asli

Papua, tetapi tidak mengabaikan peran etnis lain yang bermukim dan hidup di

tanah Papua agar kesinambungan pembangunan tetap terjadi dalam Bingkai

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

PENILAIAN BIOFISIK, SOSIAL, EKONOMI

Penilaian Biofisik

Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan

permanen dapat mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa

yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang

aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak

terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah

liat > 70% dan bahan organik 30%.

Tanaman sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai

pengaruh pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air segar.

Lingkungan yang paling baik untuk pertumbuhannya adalah daerah yang

berlumpur, dimana akar nafas tidak terendam. Pertumbuhan sagu juga

dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar, terutama

potasium, fosfat, kalsium, dan magnesium.

Di dataran Merauke banyak terdapat sungai dan rawa yang mengalir

sepanjang tahun sehingga airnya dapat dimanfaatkan untuk pengairan. Tanah

pada lahan basah terbentuk dari endapan sungai, endapan laut, dan bahan

organik, dengan rejim kelembaban tanahnya akuik.Pembentukkan tanah di

dataran aluvial sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan pola aliran sungai.

Sedangkan di dataran pantai dipengaruhi oleh proses pasang surut air laut.

Oleh karena itu dengan melihat penilaian biofisik, secara keseluruhan

lahan basah di wilayah Kabupaten Merauke cukup berpotensi untuk

pengembangan tanaman sagu.

Penilaian Sosial dan Ekonomi

Sektor pertanian menjadi fokus program pembangunan pemerintah

setempat karena Merauke memang memiliki lahan yang terbuka basah yang

sangat luas. Korporasi pertanian merupakan salah satu cara cepat untuk

mengembangkan pertanian di kawasan Indonesia timur ini. Korporasi atau bisnis

ini mau tidak mau membutuhkan sejumlah tenaga kerja yang ahli dan

berpengalaman. Petani dan ahli pertanian dari luar daerah pasti didatangkan

untuk mengolah tanah guna mendatangkan keuntungan bagi investor. Namun,

petani lokal atau masyarakat asli Papua setempat yang belum begitu mahir

mengelola pertanian tidak bisa ditinggalkan begitu saja demi mempercepat laju

Page 68: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

68

keuntungan. Keterlibatan masyarakat lokal atau masyarakat asli setempat harus

selalu diperhatikan.

Konsep ini merupakan cara pengembangan dengan memperhatikan

kearifan lokal masyarakat asli Papua dimana sagu merupakan makanan pokok.

Masyarakat lokal Papua telah mengetahui teknologi budidaya sagu secara turun-

temurun dengan praktik pengolahan secara konvensional. Sehingga dengan

adanya pengembangan tanaman sagu, masyarakat lokal Papua akan lebih mudah

untuk diarahkan dalam pengembangan pertanian karena menyangkut makanan

pokok dan budaya mereka sendiri.

Populasi tanaman sagu Papua kini mulai berkurang seiring dengan alih

fungsi kawasan menjadi areal permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya

populasi tanaman sagu mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah

dan bisa mengakibatkan lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang.Oleh

karena itu, pengembangan tanaman sagu tidak bermaksud menggeser pola

makan masyarakat Papua dari beras untuk kembali ke sagu, namun lebih ke arah

ketahanan pangan lokal dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Selain sebagaibahan pangan pokok,sagu bisa digunakan sebagaibahan

baku agroindustry yang berperan dalam peningkatan pendapatan masyarakat

melalui penciptaan kesempatan kerja sekaligus penciptaan nilai tambah.

Tanaman sagu mempunyai banyak manfaat.Sagu mempunyai banyak kegunaan,

di mana hampir semua bagian tanaman mempunyai manfaat tersendiri.

Batangnya dapat dimanfaatkan sebagai tiang atau balok jembatan, daunnya

sebagai atap rumah, pelepahnya untuk dinding rumah, dan acinya sebagai

sumber karbohidrat (bahan pangan) dan untuk industri, juga sebagai bahan baku

untuk pembuatan spirtus atau alkohol. Ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai

pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak.

Aci sagu dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, baik makanan

pokok maupun makanan ringan. Oleh karena itu, tanaman sagu memegang

peranan penting dalam penganekaragaman makanan untuk menunjang stabilitas

pangan dan berpeluang untuk dikembangkan menjadi usaha industri rumah

tangga.

KESIMPULAN

Secara penilaian biofisik, sosial dan ekonomi wilayah Kabupaten Merauke

berpotensi untuk pengembangan tanaman sagu. Populasi tanaman sagu Papua

kini mulai berkurang seiring dengan alih fungsi kawasan menjadi areal

permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya populasi tanaman sagu

mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah dan bisa mengakibatkan

lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang. Oleh karena itu,

pengembangan tanaman sagu tidak bermaksud menggeser pola makan

masyarakat Papua dari beras untuk kembali ke sagu, namun lebih ke arah

ketahanan pangan lokal dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Konsep ini merupakan cara pengembangan dengan memperhatikan

kearifan lokal masyarakat asli Papua dimana sagu merupakan makanan pokok

serta produk budaya. Selain sebagai bahan pangan pokok, sagu bisa digunakan

sebagai bahan baku agroindustry yang berperan dalam peningkatan pendapatan

Page 69: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

69

masyarakat melalui penciptaan kesempatan kerja sekaligus penciptaan nilai

tambah.

REKOMENDASI

Melihat potensi wilayah yang ada dengan kondisi biofisiknya maka

kabupaten Merauke perlu melakukan pengembangan di sektor tanaman sagu.

Sektor ini mempunyai peluang pengembangan yang sama dengan sektor

pertanian lainnya bila lebih dioptimakan sehingga tanaman sagu dengan tanaman

lainnya bisa diintegrasikan. Oleh sebab itu perlu investasi terbuka untuk

melakukan kemitraan dengan perusahaan pemasaran yang sudah ada di tingkat

provinsi maupun nasional.Namun demikian, pengelolaannya diarahkan melalui

pembudidayaan sagu yang lebih intensif dengan tetap memperhatikan kearifan

lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Alfons, J. B., 2011. Reklamasi Lahan Sagu Mendukung Usahatani Berbasis

Sagu di Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian 7(2):87-93.

Djaenudin, D. 2007. Potensi Sumber Daya Lahan untuk Perluasan Areal

Tanaman Pangan di Kabupaten Merauke.Iptek Tanaman Pangan 2(2):180-

194

Kanro, M. Z., A. Rouw, A. Widjono, Syamsudin, Amisnaipa, dan Atekan. 2003.

Tanaman Sagu dan Potensinya di Papua.Jurnal Litbang Pertanian

22(3):116-124.

Marfai, MA dan A. Cahyadi.2012. Kajian Kesesuaian Lahan untuk Mendukung

Pengembangan Komoditas Pertanian di Wilayah Perbatasan Negara

Republik Indonesia (Studi Kasus di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua).

Jurnal Bumi Lestari, Volume 12(2):260 – 267.

Pemerintah Kabupaten Merauke. 2004. Profil investasi Kabupaten Merauke

Provinsi Papua. Merauke.38 hal.

Prasetyo, LB., IBK Wedastara, PT Maulinda. 2012. Pemetaan Sebaran Carbon

Di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Kerja sama Fakultas Kehutanan

IPB dengan WWF Indonesia. Jakarta. 39 hal.

Rante, Y. 2012. Pengembangan, Peningkatan Daya Saing Produk Agribisnis dan

Agroindustri di Kabupaten Keerom Provinsi Papua Guna Pemberdayaan

Ekonomi Rakyat Serta Menunjang Ekspor Non Migas Indonesia dalam

Era Perdagangan Bebas.Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis

3(1):87-112.

Syakir, M. dan E. Karmawati.2013. Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon spp.)

sebagai Bahan Baku Bioenergi.Perspektif 12(2):57-66.

Tarigan, H dan E. Ariningsih. 2007. Peluang dan Kendala Pengembangan

Agroindustri Sagu di Kabupaten Jayapura. Prosiding Seminar Nasional

Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Mencari Alternatif

Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian.Hal.135-140.

Page 70: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

70

Page 71: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

71

BAB III

PENUTUP

Page 72: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

72

Page 73: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

73

Kesimpulan Umum

Konsep pengelolaan klasik yang hanya menitikberatkan pada keuntungan

ekonomi menyebabkan eksploitasi lahan yang berlebihan mengakibatkan

penurunan daya dukung lahan dan kerusakan lingkungan. Seharusnya

pengelolaan tanah dan lahan merupakan suatu konsep manajemen yang bersifat

komprehensif dimana dalam penerapannya dapat mengsinergikan antara

berbagai faktor-faktor yang melekat pada suatu lahan antara lain sifat biofisik,

lingkungan sosial dan budaya masyarakat di sekitar lahan, dan nilai ekonomi

lahan tersebut. Dengan konsep baru ini, pengelolaan lahan dilakukan secara

berimbang dan menyesuaikan dengan potensi dan kesesuaian terhadap daerah

masing-masing. Pengelolaan tanah dan lahan perlu mengadopsi sistem budidaya

yang bersifat lebih fleksibel dan ramah lingkungan. Aturan adat dan kearifan

lokal juga dapat menjadi bagian dari suatu sistem pengelolaan tanah dan lahan

yang ramah lingkungan. Setiap daerah di Indonesia memiliki kondisi lingkungan

biofisik, sosial budaya dan ekologi yang khas, maka dalam melakukan

pengelolaan lahannya juga memiliki suatu sistem yang khas dan spesifik lokasi

tersebut.

Rekomendasi Umum

Berdasarkan hasil pengkajian konsep-konsep pengelolaan tanah dan lahan

pada berbagai daerah yang telah dipaparkan pada isi makalah, dalam lingkup

pengelolaan tanah dan lahan maka dapat diambil suatu rekomendasi usaha-usaha

yang dapat dilakukan antara lain;

1. Dalam rangka untuk menjaga stabilitas dan ketahanan pangan nasional,

Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam konsep pengelolaan lahan

diantaranya dengan melakukan intensifikasi pertanian melaui adopsi

sistem budidaya Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT)

padi. Sistem budidaya ini terbukti mampu meningkatkan hasil produksi

padi sawah. Sistem PTT padi juga dapat diterapkan di lahan rawa

pasang surut dan rawa lebak tentunya dengan sentuhan teknologi yang

berbeda dan menyesuaikan dengan kondisi sosial dan agroekosistem

lahan rawa.

Cara kedua adalah dengan melakukan ekstensifikasi lahan pertanian,

yaitu dengan mencetak sawah-sawah baru di lahan marginal seperti

lahan rawa dan lahan gambut. Indonesia memiliki luasan lahan rawa

yang luas seperti di daerah sumatera bagian timur dan kalimantan

bagian selatan yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu telah

dimanfaatkan secara lokal sebagai lahan pertanian di lahan basah.

Daerah papua, memiliki potensi pembukaan lahan rawa menjadi lahan

pertanian baru.

Cara ketiga adalah dengan mengoptimalkan produksi pangan alternatif

selain beras, dalam hal ini adalah sagu. Masyarakat Indonesia daerah

timur pada dasarnya menjadikan sagu sebagai makanan pokoknya.

Perlu adanya pencetakkan lahan perkebunan sagu terutama di Provinsi

papua yang memiliki ketersediaan lahan yang luas dan kondisi

Page 74: Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

74

agroekosistem yang cocok untuk budidaya sagu. Perlu diketahui bahwa

usaha ini dilakukan bukan untuk memaksa secara tidak langsung

penduduk Indonesia untuk makan sagu sebagai pengganti beras, tetapi

usaha ini dilakukan untuk menambah produksi tanaman pangan agar

neraca pangan nasional lebih berimbang. Tidak hanya sagu, komoditi

lain seperti jagung, sorgum, ubi jalar dan ketela pohon juga dapat

menjadi alternatif untuk menyumbang produksi pangan nasional.

2. Dalam rangka untuk menjaga kelestarian lahan dan lingkungan lokal,

Pemerintah dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan harus mampu

membuat dan melaksanakan suatu peraturan perundangan yang bersifat

mengikat semua pihak dalam menjaga dan melindungi kelestarian dan

keberlanjutan lahan-lahan pertanian di Indonesia

Praktek pengelolaan lahan yang dilakukan harus sinergis antar berbagai

kepentingan baik pemerintah, pengguna lahan, dan potensi dari lahan

tersebut sehingga arah pengelolaan yang terbentuk dapat berkelanjutan

secara ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan

Salah satu alternatif lain dalam penerapan aturan yang dapat menjaga

kelestarian lahan dan lingkungan adalah dengan menerapkan aturan-

aturan adat dan pengetahuan lokal (kearifan lokal) pada daerah-daerah

di Indonesia yang masih kental akan hukum adat. Setiap daerah di

Indonesia pasti memiliki suatu aturan adat yang khas dan bersifat turun-

temurun serta dipatuhi oleh msyarakat adat. Juga adanya pengetahuan

lokal dalam budidaya pertanian dapat menjadi alternatif bagian dari

suatu sistem pengelolaan tanah dan lahan yang lebih ramah lingkungan.