-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
10
Kultur Jaringan Tumbuhan untuk Program Perbaikan Kualitas dan
Konservasi Kelapa di Indonesia
Sisunandar, Ph.D
Coconut Research Center, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Kampus Dukuhwaluh, Kembaran, Purwokerto 53182
[email protected]
ABSTRAK
Kelapa merupakan memiliki nilai ekonomi, sosial dan budaya yang
tinggi bagi masyarakat Indonesia. Pada saat ini Indonesia menjadi
negara penghasil kelapa terbesar di dunia, namun produktivitas
perkebunan di Indonesia relatif rendah dengan keragaman hayati yang
semakin terancam. Oleh karena itu upaya perbaikan kualitas
perkebunan kelapa maupun pelestarian plasma nutfah kelapa perlu
dilakukan dengan melibatkan berbagai stakeholder kelapa dan
menggunakan berbagai teknolgi termasuk teknologi kultur jaringan.
Makalah ini mendiskusikan tidak hanya kemajuan kultur jaringan
kelapa di dunia dan di Indonesia seperti kultur embryo,
embryogenesis somatik maupun kriopreservasi, tetapi juga
mendiskusikan arah penelitian ke depan yang perlu dilakukan untuk
menggerakkan kembali budidaya pohon kehidupan (tree of life) ini.
Kata kunci: kelapa, plasma nutfah, kultur embrio PENDAHULUAN
Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu tanaman bernilai
ekonomi tinggi di Indonesia, disamping kelapa sawit, karet dan kopi
(FAO, 2017). Indonesia merupakan negara dengan perkebunan kelapa
terluas di dunia dengan luas area lebih dari 3.5 juta hektar
(Hendaryati & Arianto, 2017). Perkebunan tersebut mampu
menghasilkan kelapa dengan total produksi buah kelapa per tahun
mencapai sekitar 19 juta ton (FAO, 2017) dan menempatkan Indonesia
sebagai negara produsen kelapa terbesar di dunia. Meskipun
mayoritas produksi kelapa digunakan untuk kebutuhan dalam negeri,
namun pada tahun 2016, ekspor kopra dan turunannya memberi devisa
hampir 1,2 milyar US$ (Hendaryati & Arianto, 2017) dan
menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor kelapa terbesar di
dunia (FAO, 2017).
Namun demikian, terdapat banyak kendala yang dihadapi dalam
keberlanjutan budidaya kelapa di Indonesia. Luas area perkebunan
kelapa di Indonesia terus mengalami penurunan selama sepuluh tahun
terakhir, dari sekitar 3,8 juta hektar
pada tahun 2005 menjadi hanya sekitar 3,5 juta hektar pada tahun
2015 (turun sekitar 0.8 % per tahun; Hendaryati & Arianto,
2017). Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab berkurangnya luas
area perkebunan kelapa di Indonesia, di antaranya adalah tingginya
serangan hama dan penyakit, seperti hama kumbang badak (Oryctes
rhinoceros L.), ataupun jamur Phytophthora palmivora. Faktor alih
fungsi lahan menjadi tempat hunian ataupun tanaman budidaya lain
yang bernilai ekonomi lebih tinggi juga menjadi penyebab
berkurangnya luas perkebunan kelapa di Indonesia.
Kendala lain yang dihadapi pada perkebunan kelapa di Indonesia
adalah tingginya persentase pohon kelapa berusia lebih dari 50
tahun, yaitu sekitar 15 % atau lebih dari 0,5 juta hektar
perkebunan kelapa (Novarianto, 2008), sedangkan sisanya merupakan
pohon berusia produktif (73 %) ataupun usia muda (12 %). Akibatnya,
perkebunan-perkebunan tersebut memiliki tingkat produktivitas yang
relatif rendah, hanya sekitar 1,2 ton kopra per hektar per tahun
dari potensi produksi sekitar 3 – 5 ton kopra per hektar per
tahunnya (FAO, 2014). Upaya peremajaan perkebunan kelapa di
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
11
Indonesia juga mengalami banyak kendala. Sampai saat ini,
Indonesia belum memiliki kebun induk dengan luas dan jumlah yang
memadai sehingga tidak mampu menyediaakan benih kelapa yang unggul
dengan jumlah massal (Novarianto, 2008). Oleh karena itu upaya
produksi benih kelapa unggul dalam jumlah yang massal melalui
teknik kultur jaringan menjadi kebutuhan yang mendesak pada saat
ini.
Dalam hal keanekaragaman hayati, Indonesia memiliki keragaman
kelapa tertinggi di dunia. Pada saat ini teridentifikasi sebanyak
419 kultivar kelapa di seluruh dunia yang terdiri atas 319 kelapa
dalam dan 100 kultivar kelapa genjah (Bourdeix, 2012). Dari Jumlah
tersebut, Indonesia memiliki 105 kultivar yang terdiri dari 82
kelapa dalam dan 23 kelapa genjah (Bourdeix, 2012). Indonesia juga
memiliki kultivar kelapa yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi
yaitu kelapa kopyor. Harga buah kelapa kopyor mencapai lebih dari
10 kali lipat kelapa biasa. Bahkan kelapa kopyor yang dimiliki
Indonesia memiliki kultivar yang beragam, baik kultivar dalam
maupun genjah.
Namun demikian, upaya pelestarian keragaman kelapa di Indonesia
memiliki kendala yang besar. Mayoritas perkebunan kelapa di
Indonesia adalah milik petani (98 %; FAO, 2014) sehingga sangat
rentah untuk beralihfungsi sehingga mengakibatkan hilangnya plasma
nutfah yang dimiliki. Bahkan, menurut Novarianto (2008), Indonesia
masih memiliki sekitar 400 kultivar kelapa yang belum
diinventarisasi dan didokumentasi dengan baik dan menghadapi
ancaman kepunahan akibat area perkebunan yang menurun maupun
perkebunan kelapa yang rusak. Oleh karena itu upaya pelestarian
keragaman hayati kelapa dengan melibatkan bioteknologi khususnya
kultur jaringan sangat diperlukan di masa sekarang dan akan
datang.
PERKEMBANGAN TEKNIK KULTUR EMBRYO KELAPA DI INDONESIA
Teknik kultur embryo merupakan salah satu teknik kultur jaringan
untuk produksi benih
tumbuhan yang mengalami kendala tertentu. Dalam produksi benih
kelapa, teknik kultur embryo dipercaya merupakan satu-satunya cara
yang tersedia saat ini untuk memproduksi benih kelapa kopyor
true-to-type yang mampu menghasilkan 100 % buah kopyor. Teknik
kultur embryo juga banyak digunakan untuk memproduksi benih kelapa
sesudah embryo disimpan pada suhu ultra rendah dengan teknik
kriopreservasi (Engelmann, 1999; Sisunandar et al., 2010a;
Sisunandar et al., 2010b, 2012; Sisunandar et al., 2014; Sisunandar
et al., 2015).
Seperti umum diketahui, buah kelapa yang bersifat kopyor
memiliki endosperm yang lunak bahkan sebagian terlepas dari batok
kelapa sehingga bercampur dengan air kelapa (Gambar 1.A), bahkan
endosperm akan cepat mengalami pembusukan setelah 2 – 4 minggu
pasca panen. Hal tersebut mengakibatkan embrio kelapa tidak dapat
berkecambah secara alami. Akibatnya petani kelapa menggunakan buah
kelapa normal yang membawa sifat kopyor untuk digunakan sebagai
benih kelapa kopyor. Teknik tersebut hanya mampu menghasilkan pohon
kelapa yang memproduksi buah kopyor dengan kemungkinan sekitar 60
%, sedangkan sisanya akah menghasilkan pohon kelapa dengan seluruh
buahnya normal (Gambar 1.B). Dari tanaman kelapa kopyor yang
dihasilkan tersebut memiliki produksi buah kopyor relatif rendah,
yaitu hanya sekitar 30 % dari buah kelapa yang dihasilkan per
tandannya (Sisunandar et al., 2015).
Penelitian tentang kultur embryo kelapa kopyor telah dilakukan
di Indonesia sejak tahun 1980an (Tahardi & Warga-Dalem, 1982;
Mashud & Manaroinsong, 2007; Sukendah et al., 2008; Mashud,
2010). Namun demikian, tingkat keberhasilan produksi benih masih
relatif rendah. Kendala umum yang dihadapi dalam mengaplikasikan
teknik kultur embryo tersebut antara lain tingginya tingkat
kontaminasi, rendahnya kualitas embryo yang digunakan untuk
inisiasi kultur, rendahnya tingkat keberhasilan induksi akar, serta
sebagian besar benih yang dihasilkan akan mati selama proses
aklimatisasi dari lingkungan in-vitro ke lingkungan ex-vitro.
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
12
Coconut Research Center, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
(CRC-UMP) telah berhasil mengembangkan teknik produksi benih kelapa
kopyor true-to-type melalui teknik kulur embryo. Tingkat
keberhasilan produksi benih dengan menggunakan teknik tersebut
cukup tinggi, 90 % dari embryo yang ditanam berhasil tumbuh menjadi
benih siap tanam ke lahan. Protokol kultur embryo yang berhasil
dikembangkan tersebut meliputi empat tahap (Gambar 1), yaitu (1)
tahap persiapan dan sterilisasi embryo kelapa kopyor, (2) tahap
perkecambahan dan pemanjangan tunas, (3) tahap ex vitro rooting dan
aklimatisasi, serta (4) tahap pembesaran benih di nursery.
Tahap 1, Persiapan dan sterilisasi embryo
Segera setelah buah kopyor dipanen (umur 11 – 12 bulan), buah
kelapa kemudian dikupas dan dibelah. Endosperm yang di dalamnya
terdapat embryo kemudian diisolasi dengang menggunakan sendok dan
diletakkan dalam botol steril yang telah diisi dengan air kelapa.
Setelah tahap isolasi endospem selesai, endosperm kemudian di bawa
ke dalam laboratorium untuk dilakukan isolasi embryo. Tahap isolasi
diawali dengan cara endosperm dicuci dengan air mengalir
dilanjutkan dengan rendam dalam ethanol (70 %) selama 5 menit.
Dengan teknik aseptis, embryo kelapa diisolasi di dalam laminar air
flow cabinet (Gambar 1.C). Embryo selanjutnya disterilkan dengan
cara direndam dalam larutan kalsium hipoklorida (6 %) selama 12
menit sebelum dicuci dengan menggunakan medium cair hibrid embryo
culture (HEC; Rillo, 2004) untuk selanjutnya digunakan dalam tahap
germinasi.
Tahap 2, Germinasi dan pemanjangan tunas
Embryo kelapa kopyor yang telah disterilkan kemudian ditanam
pada medium germinasi berupa medium HEC padat dengan penambahan 2 x
10-5 M asam indole butirat (IBA) dan 5 x 10-6 M 6-furfurilamino
purine (KIN). Selama tahap inisiasi, medium ditambahkan sukrosa
(0,175 M), karbon aktif 2
g/L) dengan pH 5,7. Medium dipadatkan dengan penambahan agar (8
g/L) dan disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 0C
dan tekanan 1,2 Kg cm-2 selama 20 menit.
Tahap germinasi dilakukan dengan menanam embryo pada medium
germinasi dan dipelihara di tempat selama 5 – 8 minggu atau sampai
medium berkecambah. Setelah kecambah memiliki panjang sekitar 4 cm
(Gambar 1.E), kecambah kemudian dipindahkan ke medium cair HEC dan
dipelihara di tempat terang dengan 14 jam fotoperiode (10 jam gelap
dari pukul 20.00 sampai dengan 06.00). Tahap pemanjangan tunas
dilakukan selama 8 – 12 minggu atau sampai benih memiliki paling
tidak dua buah daun yang terbuka (Gambar 1.F)
Tahap 3, Ex vitro rooting dan aklimatisasi Benih kelapa yang
telah memiliki dua
daun kemudian dicuci dengan air mengalir kemudian direndam dalam
larutan fungisida (2 %, Dithane M-45 80 WP, Dow Agroscience,
Indonesia) selama 15 menit. Benih kemudian ditanam pada pot plastik
yang diisi medium campuran cocopeat dan arang sekam. Selanjutnya
benih ditempatkan pada alat mini growth chamber (Patent No.
P00201508121; Gambar 1.G) yang telah diisi larutan hidroponik.
Kelembapan di dalam mini growth chamber diatur dengan mengatur
posisi tutup setiap 1 bulan sekali selama 3 bulan.
Tahap 4, Pembesaran benih di dalam nursery
Setelah 3 bulan di dalam mini growth chamber, benih kemudian
dipindahkan ke pot plastik (15 x 12 cm d/t) yang lebih besar yang
telah diisi dengan medium kompos. Benih dipelihara selama 3 bulan
dengan kelembapan udara diatur sekitar (85 ± 10 %). Benih
selanjutnya dipindahkan ke pot plastik berbentuk kotak (20 x 20 cm
, l/t) yang telah diisi pot dan dipelihara di dalam nursery selama
4 bulan. Benih dengan ketinggian minimal 60 cm (Gambar 1.H)
selanjutnya siap ditanam di lapang.
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
13
Gambar 1 Tahap produksi benih kelapa kopyor melalaui teknik
kultur embryo. A. perbandingan morfologi endosperm buah kopyor dan
buah normal (B), C. embryo kelapa kopyor yang digunakan sebagai
eksplan, D. Tahap inisiasi dan embryo mulai berkecambah setelah 4 –
8 minggu (E), F. tahap pemanjangan tunas sampai tunas memiliki dua
daun terbuka setelah 4 – 7 bulan kultur, G. tahap ex-vitro rooting
dan aklimatisasi yang dilakukan di dalam alat mini growth chamber,
H. benih kelapa kopyor true-to-type di dalam nursery siap untuk
ditanam di lapang. I. Kebun plasma nutfah kelapa kopyor Indonesia
di kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto berumur 1,5 tahun
yang dibangun dengan menggunakan benih hasil kultur embryo, J.
Pohon kelapa kopyor genjah hijau hasil kultur embryo yang mulai
berbuah pada umur 3,5 tahun.
Pada saat ini CRC-UMP telah berhasil membangun kebun plasma
nutfah kelapa kopyor pertama di Indonesia (Gambar 1. I) yang telah
mengkoleksi kelapa kopyor dari 4 daerah utama
penghaisl kelapa kopyor, yaitu Lampung, Pati dan Banyumas (Jawa
Tengah), dan Sumenep (Jawa Timur). Kebun plasma nutfah seluas 2
hektar tersebut telah berhasil mengkoleksi 8
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
14
kultivar kelapa kopyor true-to-type, yaitu Pati Kopyor Green
Dwarf, Banyumas Kopyor Green Dwarf, Pati Kopyor Yellow Dwarf, Pati
Kopyor Brown Dwarf, Pati Kopyor Orange Dwarf, Banyumas Kopyor Tall,
Kalianda Kopyor Tall, dan Sumenep Kopyor Tall. Sebagian kelapa
kopyor tersebut telah mulai berbuah ketika berumur 3, 5 tahun
setelah tanam di lahan (Gambar 1.J).
Meskipun kultur embryo kelapa telah berhasil digunakan untuk
memproduksi benih kelapa kopyor true-to-type, namun jumlah benih
yang dihasilkan masih sangat terbatas. Setiap embryo yang ditanam
hanya dihasilkan 1 buah benih siap tanam. Oleh karena itu CRC-UMP
juga telah mengembangkan teknik embryo incision (Patent no
IDP000041045) untuk menggandakan jumlah benih yang dihasilkan
(Gambar 2).
Teknik embryo incision merupakan modifikasi dari teknik kultur
embryo, yaitu setelah embryo mulai berkecambah (umur 1 – 2 minggu
setelah tanam), bagian titik tumbuh (plumulae) ditoreh dengan
menggunakan pisau steril. Langkah selanjutnya embryo tersebut
ditanam kembali sampai menghasilkan embryo dengan dua tunas (Gambar
2.A). Selanjutnya kedua tunas tersebut dipisahkan dan ditanam
mengikuti langkah-langkah kultur embryo yang telah dijelaskan
sebelumnya ataupun dipelihara lebih lanjut untuk dihasilkan benih
kembar (Gambar 2.B) yang selanjutnya akan dihasilkan benih kelapa
kembar siap tanam ke lahan (Gambar 2.C). Dengan menggunakan teknik
tersebut dapat dihasilkan kelapa yang dapat ditanam dua pohon dalam
satu lubang sehingga meningkatkan jumlah pohon kelapa per hektarnya
(Gambar 2.D) sehingga produktivitas kelapa meningkat.
Gambar 2. Teknik embryo incision yang dapat digunakan untuk
menggandakan benih kelapa kopyor yang dihasilkan dari kultur
embryo. A. embryo yang ditoreh pada titik tumbuh dapat terinduksi
dua buah tunas, B. tunas kembar dengan dua daun siap untuk
diaklimatisasi dengan menggunakan mini growth chamber, C. benih
kembar siap tanam ke lahan, D. Pohon kelapa kopyor true-to-type
kembar beumur 1 tahun setelah tanam yang dihasilkan dengan teknik
embryo incision.
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
15
PERKEMBANGAN TEKNIK EMBRIOGENESIS SOMATIK KELAPA
Teknik embryogenesis somatik merupakan salah satu teknik kultur
jaringan yang banyak digunakan untuk memproduksi benih tanaman
melalui proses pembentukan embryo dari sel-sel somatik. Teknik
tersebut telah berhasil dan banyak diaplikasikan pada berbagai
jenis tanaman. Namun demikian aplikasi teknik embryogenesis somatik
untuk produksi benih kelapa masih sangat terbatas (Nguyen et al.,
2015).
Upaya produksi benih kelapa melalui teknik embryogenesis somatik
telah dilakukan dengan menggunakan eksplan batang muda pada tahun
1977 (Eeuwens & Blake, 1977). Langkah selanjutnya upaya
produksi benih kelapa dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis
eksplan seperti daun muda (Pannetier & Buffard Morel, 1982;
Karunaratne et al., 1991), immature inflorescence (Verdeil et al.,
1994; Magnaval et al., 1997; Antonova, 2009), embryo zigotik (Kumar
et al., 1985; Adkins et al., 1998; Samosir, 1999), plumulae (Chan
et al., 1998; Fernando et al., 2003; Perez-Nunez et al., 2006),
maupun ovarium (Perera et al., 2007; Perera et al., 2009;
Bandupriya et al., 2017).
Namun demikian, di antara eksplan yang telah dicobakan, hanya
plumulae dan ovarium yang menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Perez-Nunez et al. (2006) melaporkan bahwa dari 100 eksplan yang
ditanam memiliki kemampuan untuk menghasilkan kalus embryogenik
sampai lebih dari 1 juta kalus, meskipun para peneliti tersebut
belum mampu melaporkan berapa banyak benih yang dapat dihasilkan
dari kalus embryogenik tersebut. Hasil yang mirip juga dilaporkan
oleh Bandupriya et al. (2017) dengan menggunakan eksplan
ovarium.
Di Indonesia, upaya untuk memproduksi benih kelapa melalui
teknik embryogenesis somatik belum banyak dilakukan. Sampai saat
ini baru Samosir (1999) dan Sukendah (2009) yang telah melakukan
upaya untuk memproduksi benih kelapa dengan menggunakan teknik
tersebut dengan menggunakan eksplan embryo zygotik. Namun
demikian hasil yang diperoleh masih belum memuaskan dan belum dapat
diaplikasikan untuk memproduksi benih kelapa secara vegetatif
(Samosir, 1999; Sukendah, 2009). Oleh karena itu CRC-UMP berupaya
melakukan pengembangan teknik embryogenesis somatik kelapa dengan
menggunakan eksplan plumulae (Gambar 3). Meskipun hasil penelitian
masih belum memuaskan, namun hasil penelitian menunjukkan
kemungkinan yang tinggi untuk menggunakan teknik tersebut dalam
produksi benih kelapa di masa yang akan datang.
KRIOPRESERVASI UNTUK KONSERVASI KERAGAMAN HAYATI KELAPA
Salah satu keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara
penghasil kelapa lainnya adalah memiliki keragaman hayati yang
sangat tinggi. Keragaman yang tinggi tersebut sangat dibutuhkan
dalam upaya perbaikan kualitas kelapa sehingga dapat diperoleh
kelapa unggul dengan produktivitas yang tinggi. Namun demikian,
mayoritas keragaman kelapa tersebut masih tersebar di lahan-lahan
petani kelapa (lebih dari 98 %) sehingga sangat rentan hilang
sebelum dilakukan konservasi. Upaya konservasi kelapa baik in-situ
maupun ex-situ telah dilakukan di Indonesia, namun program-program
konservasi tersebut masih rentan terhadap hama dan penyakit, biaya
tinggi, bencana alam ataupunkonversi lahan ke peruntukan yang lain.
Oleh karena itu aplikasi kultur jaringan sangat dibutuhkan sebagai
back-up plasma nutfah kelapa di Indonesia.
Sudah jamak diketahui bahwa kelapa memiliki buah yang besar ,
antara 600 g sampai dengan 3 Kg per biji, serta tidak memiliki
waktu dormansi yang panjang sehingga tidak memungkinkan untuk
disimpan dalam bentuk biji. Oleh karena itu, satu-satunya
alternatif yang dapat digunakan untuk menyimpan plasma nutfah
kelapa secara utuh adalah dengan menyimpan embryo zigotik. Setiap
biji kelapa memiliki satu embryo yang berukuran relatif kecil (0,1
gr ; Sisunandar et al., 2014), mampu
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
16
berkembang menjadi tanaman utuh seperti halnya pada biji setelah
ditanam melalui teknik kultur embryo, serta bibit yang dihasilkan
tidak memiliki perbedaan morfologi, fisiologi, biokimia maupun
genetik dengan bibit yang dihasilkan dari pembibitan alami
(Sisunandar et al., 2010a). Teknik penyimpanan embryo kelapa dapat
dilakukan dengan cara embryo dikeringkan sampai kadar air sekitar
30 % kemudian embryo disimpan pada suhu rendah ( -20 oC sampai -80
oC; Sisunandar et al, 2012). Teknik penyimpanan yang praktis
tersebut tidak membutuhkan peralatan dan biaya operasional yang
mahal. Namun demikian, jangka waktu penyimpanan embryo pada suhu
rendah tersebut masih terbatas (26 minggu) serta memiliki tingkat
keberhasilan yang masih rendah yaitu hanya sekitar 12 % (Sisunandar
et al., 2012). Oleh karena itu, alternatif penyimpanan embryo
kelapa dalam jangka waktu yang lama (long term conservation)
dengan menggunakan kriopreservasi masih diperlukan untuk
dikembangkan.
Hingga kini, kriopreservasi tanaman kelapa masih terus
dikembangakan. Berbagai eksplan tanaman kelapa telah dicobakan di
antaranya adalah dengan menggunakan plumulae (Hornung et al., 2001;
Malaurie et al., 2003; N'Nan et al., 2008), pollen (Karun et al.,
2014), embryo immature (Bajaj, 1984; Chin et al., 1989) maupun
embryo matang (Assy-Bah & Engelmann, 1992; Kumaunang, 2002;
Sisunandar et al., 2010a; Sisunandar et al., 2010b; Sajini et al.,
2011; N’Nan et al., 2012; Sisunandar et al., 2012; Sisunandar et
al., 2014). Namun demikian, penyimpanan embryo matang melalui
teknik kriopreservasi lebih banyak digunakan karena lebih sederhana
dan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan
eksplan yang lain (Sisunandar et al., 2014).
Figure 3. Tahapan embryogenesis somatik kelapa dengan
menggunakan eksplan plumulae. A. embryo zygotik dipotong di bawah
mikroskop stereo untuk mengisolasi plumulae (tanda lingkaran
kuning) yang memiliki ukuran sekitar 0,5 mm (B), C. Kalus
embryogenik yang berhasil diinduksi dari eksplan setelah 8 minggu
kultur, D. Contoh tunas yang hasil diinduksi dari kalus embryogenik
setelah 6 bulan kultur (D) dan 12 bulan kultur (E).
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
17
Gambar 4. Salah satu contoh tahapan kriopreservasi embryo
kelapa. A. Embryo didehidrasi di dalam botol kaca yang berisi
silika gel untuk menurunkan kadar air embryo sampai sekitar 25 % ,
B.C. teknik dehidrasi secara cepat yang dikembangkan untuk
menurunkan tingkat kerusakan sel akibat berkurangnya air dari dalam
sel secara lambat, D. embryo yang berhasil dikecambahkan kembali
setelah disimpan dalam suhu beku menunjukkan adanya kerusakan
jaringan selama proses penyimpanan. E. F. benih kelapa yang
berhasil ditumbuhkan kembali dari embryo yang telah disimpan dengan
metode kriopreservasi.
Pada umumnya, kriopreservasi embryo
kelapa dapat dilakukan dengan tahap sebagai berikut (1)
persiapan dan isolasi embryo, (2) dehidrasi embryo, (3) freezing,
(4) thawing, (5) recovery menjadi benih (Gambar 4). Tahap 1 dan 5
umumnya dilakukan seperti metode kultur embryo kelapa, sehingga
laboratorium-laboratorium yang akan melakukan penyimpanan embryo
kelapa melalui teknik kriopreservasi harus memiliki ketrampilan dan
metode yang sudah baku terlebih dahulu tentang kultur embryo
kelapa. Tahapan freezing dan thawing yang umum dilakukan dalam
kriopreservasi kelapa tidak memiliki variasi yang mendasar.
Pada
umumnya freezing dilakukan dengan cepat, yaitu dengan cara
embryo yang telah didehidrasi (Gambar 4.A, B, C) dimasukkan ke
dalam cryovial selanjutnya disimpan dalam nitogen cair pada suhu
beku (-196 0C; Sisunandar et al., 2010a; Sajini et al., 2011; N’Nan
et al., 2012). Variasi pada tahap thawing juga tidak banyak
dilakukan. Pada umumnya thawing dilakukan dengan cara mengambil
embryo di dalam cryovial langsung dari nitrogen cair dan dimasukkan
ke dalam waterbath pada suhu 40 0C selama 1 – 3 menit (Sisunandar
et al., 2010a; Sajini et al., 2011; N’Nan et al., 2012). Embryo
yang diperoleh selanjutnya di tanam pada
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
18
medium perkecambahan embryo (Gambar 4.D, E, F).
Faktor kunci dalam keberhasilan kriopreservasi adalah tahap
dehidrasi. Embryo kelapa termasuk kelompok jaringan rekalsitran
yang tidak dapat diturunkan kadar airnya sampai di bawah 20 %
sehingga menyulitkan untuk dilakukan penyimpanan embryo pada suhu
beku (-196 0C). Teknik dehidrasi terbaik yang dapat dilakukan
adalah dengan cara embryo ditempatkan pada sebuah botol kaca yang
diisi silika gel dan sebuah kipas angin agar dehidrasi dapat
dilakukan dengan cepat (Gambar 4.B,C). Dengan teknik tersebut,
keberhaislan dehidrasi dapat mencapai sekitar 40 % dibandingkan
dengan teknik dehidrasi dengan menggunakan silika gel tanpa
penambahan kipas angin yang hanya memiliki tingkat keberhaislan
sekitar 30 % (Sisunandar et al., 2010b). Namun demikian, tingkat
keberhasilan kriopreservasi yang masih rendah masih membutuhkan
pengembangan teknik dehidrasi lebih lanjut untuk meningkatkan
keberhasilan kriopreservasi kelapa.
KESIMPULAN DAN TINDAK LANJUT
Kelapa merupakan salah satu kekayaan hayati yang mampu memberi
nilai ekonomi sosial dan budaya yang tinggi bagi masyarakat
Indonesia. Pada saat ini Indonesia menjadi negara penghasil kelapa
terbesar di dunia, namun produktivitas perkebunan di Indonesia
relatif rendah dengan keragaman hayati yang semakin teramcam. Oleh
karena itu upaya perbaikan kualitas perkebunan kelapa maupun
pelestarian plasma nutfah kelapa perlu dilakukan secara terprogram,
masif dan kerjasama dari berbagai pihak, baik pemerintah dan
peneliti, industri maupun para petani.
Pada saat ini proposi tanaman kelapa tua cukup tinggi (15 % atau
lebih dari 0,55 juta hektar) yang sangat mendesak untuk
diremajakan. Jika setiap hektar dibutuhkan 220 benih kelapa unggul,
maka untuk meremajakan kelapa tersebut selama 5 tahun ke depan
dibutuhkan benih lebih dari 24 juta benih setiap
tahun. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki kebun induk
kelapa unggul yang mampu menyediakan benih dengan jumlah tersebut.
Perkembangan teknologi kultur jaringan khususnya teknik
embryogenesis somatik kelapa kopyor perlu dikembangkan lebih lanjut
untuk memenuhi kebutuhan benih unggul kelapa di Indonesia yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam hal pelestarian plasma nutfah kelapa juga perlu perhasian
serius dari seluruh stakeholder kelapa. Lebih dari seperempat
plasma nutfah kelapa dunia dimiliki Indonesia. Pada saat ini
Indonesia memiliki sekitar 7 kebun plasma nutfah yang mengkoleksi
sekitar 97 aksesi kelapa dalam dan 40 aksesi kelapa genjah.
Indonesia juga merupakan salah satu tuan rumah kebun plasma nutfah
kelapa untuk wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur. Namun demikian
sampai saat ini Indonesia belum memiliki back-up collection untuk
kelapa dalam bentuk lain selain dalam bentuk kebun plasma nutfah.
Oleh karena itu pengembangan teknik kriopreservasi untuk menyimpan
plasma nutfah kelapa perlu dilakukan lebih lanjut meskipun tingkat
keberhasilannya saat ini masih relatif rendah.
Upaya pengembangan metode kultur jaringan untuk meningkatkan
kualitas tanaman kelapa maupun untuk menjaga keragaman hayati
kelapa harus dilakukan secara terencana dan melibatkan seluruh
stakeholder kelapa di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dana dari Hibah
Komptensi 2016 – 2018, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan, Kementerian RIset, Teknologi dan Pendidikan TInggi,
Republik Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Adkins SW, Samosir YMS, Ernawati
A, Drew
RA, Godwin ID (1998). Control of ethylene and use of polyamines
can optimeis the condition for somatic
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
19
embryogenesis in coconut and papaya. Acta Horticulturae, 461:459
- 466
Antonova ID (2009). Somatic embryogenesis for micropropagation
of coconut (Cocos nucifera L.). The University of Queensland,
Australia, Place, Published
Assy-Bah B, Engelmann F (1992). Cryopreservation of mature
embryos of coconut (Cocos nucifera L.) and subsequent regeneration
of plantlets. CryoLetters, 13:117 - 126
Bajaj YPS (1984). Induction of growth in frozen embryos of
coconut and ovules of citrus. Current Science, 53:1215 - 1216
Bandupriya HDD, Iroshini WWMA, Perera SACN, Vidhanaarachchi VRM,
Fernando SC, Santha ES, Gunathilake TR (2017). Genetic fidelity
testing using SSR marker assay confirms trueness to type of
micropropagated coconut (Cocos nucifera L.) plantlets derived from
unfertilized ovaries. The Open Plant Science Journal, 10:46 -
54
Bourdeix R (2012). List of 419 Coconut Cultivars Registered in
the Coconut Genetic Resources Database as of April 2012. COGENT,
The International Coconut Genetic Resources Network
Chan JL, Saenz L, Talavera C, Hornung R, Robert M, Oropeza C
(1998). Regeneration of coconut (Cocos nucifera L.) from plumule
explants through somatic embryogenesis. Plant Cell Reports, 17
(6-7):515-521
Chin HF, Krishnapillay B, Hor YL (1989). A note on the
cryopreservation of embryos from young coconut (Cocos nucifera var
MAWA). Pertanika, 12 (2):183 - 186
Eeuwens CJ, Blake J (1977). Culture of coconut and date palm
tissue with a view to vegetative propagation. Acta Horticulturae,
78:277 - 286
Engelmann F (1999). Cryopreservation of coconut germplasm. In:
Oropeza C, Verdeil JL, Ashburner GR, Cardena R, Santamaria JM (eds)
Current Advances in Coconut Biotechnology. Kluwer Academic
Publishers, Dordrecht, Boston, London, pp 289 - 296
FAO (2014). Report of the FAO high level expert consultation on
coconut sector development in Asia and the Pacific region. Paper
presented at the FAO-APCC High Level Expert Consultation on
“Coconut Sector Development in Asia – Pacific Region”, Bangkok,
Thailand, 30 October - 1 November 2013
FAO (2017) FAOSTAT Statistics Database.
http://www.fao.org/faostat/en/ - data/QD. Accessed 8 Juni 2017
Fernando SC, Verdeil JL, Hocher V, Weerakoon LK, Hirimburegama K
(2003). Histological analysis of plant regeneration from plumule
explants of Cocos nucifera. Plant Cell Tissue and Organ Culture, 72
(3):281-284
Hendaryati DD, Arianto Y (2017). Statistik Perkebunan Indonesia
Komoditas Kelapa 2015 - 2017. Direktorat Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian, Jakarta
Hornung R, Domas R, Lynch PT (2001). Cryopreservation of
plumular explants of coconut (Cocos nucifera L.) to support
programmes for mass clonal propagation through somatic
embryogenesis. CryoLetters, 22 (4):211-220
Karun A, Sajini KK, Niral V, Amarnath CH, Remya P, Rajesh MK,
Samsudeen K, Jerard BA, Engelmann F (2014). Coconut (Cocos nucifera
L.) pollen cryopreservation. CryoLetters, 35 (5):407 - 417
Karunaratne SM, Gamage CKA, Kavoor A (1991). Leaf maturity, a
critical factor in embryogenesis. Journal of Plant Physiology,
139:27 - 31
Kumar P, Raju C, Chandramohan M, Iyer R (1985). Induction and
maintenance of friable callus from the cellular endosperm of Cocos
nucifera L. Plant Science, 40:203 - 207
Kumaunang J (2002). Cryopreservation of laguna tall coconut
(Cocos nucifera L.) embryos. Master thesis, University of the
Philippines Los Banos, Place, Published
Magnaval C, Noirot M, Verdeil JL, Blattes A, Huet C, Grosdemange
F, Beule T, Buffard MJ (1997). Specific nutritional requirements of
coconut calli (Cocos nucifera L.) during somatic embryogenesis
induction. Journal of Plant Physiology, 150 (6):719-728
Malaurie B, Borges M, N'nan O Research of an optimal
cryopreservation process using encapsulation / osmoprotection /
dehydration and encapsulation / osmoprotection / vitrification
techniques
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
20
on caulinary meristems of coconut (Cocos nucifera L.). In: Libro
Resumen, IV Jornada Cientifica del Instituto de Investigaciones
Agropecuarias "Jorge Dimitrov", Agricultura en Ecosistemas Fragiles
y Degradados, Bayamo, Granma, Cuba, 19 - 21 de Septiembre del 2002
2003. p 80
Mashud N (2010). Pengembangan metode kultur embryo kelapa kopyor
yang lebih efisien (30 %). Laporan Penelitian Program Insentif
Riset Terapan, Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain.
Manado
Mashud N, Manaroinsong E (2007). Teknik Kultur embryo untuk
pengembangan kelapa kopyor. Buletin Palma, 33:37 - 44
N'Nan O, Hocker V, Verdeil JL, Konan JL, Balo K, Mondeil F,
Malaurie B (2008). Cryopreservation by encapsulation-dehydration of
plumules of coconut (Cocos nucifera L,). CryoLetters, 29:339 -
350
N’Nan O, Borges M, Konan JL, Hocher V, Verdeil JL, Tregear J,
N’guetta ASP, Engelmann F (2012). A simple protocol for
cryopreservation of zygotic embryos of ten accessions of coconut
(Cocos nucifera L.). In vitro Cellular & Developmental
Biology-Plant, 2012 (48):2
Nguyen QT, Bandupriya HDD, Lopez-Villalobos A, Sisunandar, Foale
M, Adkins SW (2015). Tissue culture and assoociated
biotechnological interventions for the improvement of coconut
(Cocos nucifera L.) : A review. Planta, 242:1059 - 1076
Novarianto H (2008). Perakitan kelapa unggul melalui teknik
molekuler dan implikasinya terhadap peremajaan kelapa di Indonesia.
Pengembangan Inovasi Pertanian, 1 (4):259 - 273
Pannetier C, Buffard Morel J Production of somatic embryos from
leaf tissues of coconut, Cocos nucifera L. In: Proceedings of the
5th International Plant Tissue Culture Congress, Tokyo, Japan,
1982.
Perera PIP, Hocher V, Verdeil JL, Doulbeau S, Yakandawala DMD,
Weerakoon LK (2007). Unfertilized ovary : A novel explant for
coconut (Cocos nucifera L.) somatic embryogenesis. Plant Cell
Report, 26:21 - 28
Perera PIP, Yakandawala DMD, Hocker V, Verdeil JL, Oropeza C
(2009). Effect of plant growth regulators on ovary culture of
coconut (Cocos nucifera L.). Plant Cell and Tissue Organ
Culture, 99:171 - 180
Perez-Nunez MT, Souza R, Saenz L, Chan JL, Zuniga-Aguilar JJ,
Oropeza C (2006). Improved somatic embryogenesis from Cocos
nucifera (L.) plumule explants. In Vitro Cellular &
Developmental Biology-Plant, 42:37 - 43
Rillo EP (2004). Importing and growing embryos for the coconut
genebank. In: Ikin R, Batugal P (eds) Germplasm Health Management
for COGENT's Multi-site International Coconut Genebank.
International Plant Genetic Resources Institute-Regional Office for
Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO), Serdang, Selangor DE,
Malaysia, pp 62 - 68
Sajini KK, Karun A, Amarnath CH, Engelmann F (2011).
Cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.) zygotic embryo by
vitrification. CryoLetters, 32:317 - 328
Samosir YMS (1999). Optimation of somatic embryogenesis in
coconut (Cocos nucifera L.). Ph D, University of Queensland, Place,
Published
Sisunandar, Alkhikmah, Husin A, Suyadi A (2015). Embryo incision
as a new technique to double seedling production of Indonesian
elite coconut type "Kopyor". Journal of Mathematical and
Fundamental Sciences, 47:252 - 260
Sisunandar, Novarianto H, Mashud N, Samosir YMS, Adkins SW
(2014). Embryo maturity plays an important role for the successful
cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.). In vitro Cellular
& Developmental Biology-Plant, 50 (6):688 - 695
Sisunandar, Rival A, Turquay P, Samosir Y, Adkins SW (2010a).
Cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.) zygotic embryos
does not induce morphological, cytological or molecular changes in
recovered seedlings. Planta, 232:435 - 447
Sisunandar, Sopade PA, Samosir Y, Rival A, Adkins SW (2010b).
Dehydration improves cryopreservation of coconut (Cocos nucifera
L.) Cryobiology, 61:289 - 296
Sisunandar, Sopade PA, Samosir Y, Rival A, Adkins SW (2012).
Conservation of coconut (Cocos nucifera L.) germplasm at
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV
PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017
Makalah Utama
21
sub-zero temperature. CryoLetters, 33:465 - 475
Sukendah (2009). Pembiakan In Vitro dan Analisis Molekuler
Kelapa Kopyor. Disertasi Doktor, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Disertation, Institut Pertanian Bogor, Place, Published
Sukendah, Sudarsono, Witjaksono, Khumaida N (2008). Perbaikan
teknik kultur embrio kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) asal
Sumenep, Jawa Timur melalui penambahan bahan aditif dan
pengujian
periode subkultur. Buletin Agronomi, 36:16 - 23
Tahardi S, Warga-Dalem K (1982). Kultur embrio kelapa kopyor in
vitro. Menara Perkebunan, 50 (5):127 - 130
Verdeil JL, Huet C, Grosdemange F, Buffard MJ (1994). Plant
regeneration from cultured immature inflorescences of coconut
(Cocos nucifera L.): Evidence for somatic embryogenesis. Plant Cell
Reports, 13 (3-4):218-221.
.