Top Banner
KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN NUTRISI DARI MIKROALGA LAUT Chaetoceros gracilis IRIANI SETYANINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
134

KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

Mar 08, 2019

Download

Documents

trinhtuyen
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN NUTRISI DARI MIKROALGA LAUT Chaetoceros gracilis

IRIANI SETYANINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

Page 2: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Kultivasi dan

Karakterisasi Komponen Aktif dan Nutrisi dari Mikroalga Laut Chaetoceros gracilis

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis

lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2010

Iriani Setyaningsih

NIM C 561040061

Page 3: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

ABSTRACT IRIANI SETYANINGSIH. Cultivation and Characterization of Active Compound and Nutrients of Marine Microalgae Chaetoceros gracilis Supervised by LINAWATI HARDJITO, DANIEL R. MONINTJA, M. FEDI A. SONDITA, and MARIA BINTANG

Chaetoceros gracilis is a genera of marine microalgae that can be found in Indonesian waters. The aims of this research were: 1) to grow Chaetoceros gracilis in NPSi medium and to get the extract of Chaetoceros gracilis which contained antibacterial compound, 2) to investigate activity and stability of Chaetoceros gracilis extract, 3) to investigate the effect of Chaetoceros gracilis extract against bacteria, and 4) to determine the chemical composition of Chaetoceros gracilis biomass. The Chaetoceros gracilis was grown in nitrogen phosphate silica (NPSi) medium, continously aerated and illuminated by a 20 watt tube lamp (2500 lux). The cultivation was maintained at 25-26 oC, and harvested on the 7th day of cultivation. The biomass was separated using ceramic filter pore 0,3 μm and then freezed dried. They were extracted by methanol. Antibacterial activity of extract was tested against Gram positive and negative bacteria by agar diffusion method, compared to commercial antibiotic (chloramphenicol, tetracycline, oxytetracycline and ampicillin). The stability was tested during storage. Mechanism of inhibition was determined by analyzing cell damage. The content of Chaetoceros gracilis biomass such as amino acid, fatty acid, and minerals was determined using HPLC, GC and AAS respectively. The result showed that Chaetoceros gracilis grew well in NPSi medium. Extract of Chaetoceros gracilis showed antibacterial activity against Vibrio harveyi, Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC 25923, dan Bacillus cereus ATCC 13091 at the concentration of 300 µg/disc. Antibacterial activity of Chaetoceros gracilis extract at concentration of 300 µg/disc was lower than antibacterial at the same concentration of chloramphenicol, tetracycline, oxytetracycline and ampicillin. After being storaged for 6 months, the extract still showed the same antibacterial activity. The extract of C. gracilis cause damage by leakage of the cell. Chaetoceros gracilis contained essential amino acids (threonine, valine, methionine, leucine, isoleucine, lysine, phenylalanine, histidine), and non essential amino acids (aspartic acid, glutamic acid, serine, glycine, arginine, alanine, tyrosine); saturated fatty acid such as caprilic acid, (C8:0), myristic acid, (C14:0), palmitic acid (C16:0), lauric acid, (C12:0), pentadecanoic acid, (C15:0), stearic acid (C18:0), arachidic acid, (C20:0), heneicosanoic acid (C21:0), behenic (C22:0), and unsaturated fatty acid such as palmitoleic acid (C16:1), heptadecanoic acid (C17:1), myristoleic acid (C14:1), pentadecanoic acid (C15:1), oleic acid (C18:1n9), linoleic acid (C18:3n3),

arachidonic acid (C20:4n6), g-linolenic acid (C18:3n6), docosadienoic acid (C22:2), eicosapentaenoic acid (C20:5n3) and docosahexaenoic acid (C22:6n3).

Biomass of Chaetoceros gracilis contained minerals such as phosphor (P), magnesium (Mg), ferrum (Fe), zink (Zn), calcium (Ca), and silicate. The biomass also containted alcalloid, steroid, carbohydrate, amino acid, and 0,1 % nucleic acid. It need further study on toxicity.

Keyword: Marine microalgae, Chaetoceros gracilis, NPSi, antibacterial,

chemical composition

Page 4: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

RINGKASAN

KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN NUTRISI DARI MIKROALGA LAUT Chaetoceros gracilis. Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO, DANIEL R. MONINTJA, M. FEDI A. SONDITA, dan MARIA BINTANG.

Chaetoceros gracilis merupakan mikroalga laut yang ada di perairan Indonesia. Beberapa peneliti menyatakan bahwa mikroalga ini memiliki komponen aktif dan nutrisi yang baik. Namun saat ini pemanfaatan Chaetoceros masih terbatas untuk pakan alami, sehingga pemanfaatannya perlu dioptimalkan. Medium untuk pertumbuhan Chaetoceros umumnya medium Guillard, akan tetapi medium ini cukup mahal. Dengan alasan tersebut perlu dilakukan penelitian tentang Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dalam menghasilkan komponen aktif dan nutrisi. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) memperoleh ekstrak Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSI yang mempunyai aktivitas antibakteri, (2) menguji aktivitas dan stabilitas senyawa aktif dari ekstrak Chaetoceros gracilis, (3) menganalisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan sel bakteri, (4) menentukan kandungan kimia dari biomasa mikroalga Chaetoceros gracilis

Kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan dalam medium NPSi dengan aerasi terus menerus, sumber cahaya lampu 20 W (2500 lux), pada ruangan bersuhu 25-26oC. Kultur umur 7 hari dipanen untuk dipisahkan biomasanya, menggunakan filter keramik pori 0,3 mikron, dikeringkan menggunakan freeze dryer. Biomasa diekstraksi menggunakan metanol, selanjutnya dilakukan analisis aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan negatif, analisis potensi terhadap antibiotik komersial dan analisis stabilitas senyawa antibakteri. Untuk mengetahui mekanisme hambatannya, dilakukan analisis kebocoran sel, kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis kadar protein, lemak, karbohidrat, komposisi asam amino asam lemak dan mineral, serta fitokimia dan asam nukleat .

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki fase pertumbuhan eksponensial, stasioner dan fase kematian. Kultur Chaetoceros gracilis berwarna coklat. Ekstrak kasar C. gracilis memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi, Staphylococcus aureus ATCC 25923, Escherichia coli ATCC 25922, Bacillus cereus ATCC 13091, namun aktivitasnya lebih kecil dibandingkan dengan antibiotik komersial pada konsentrasi 300 ug/disc. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah sampai 6 bulan masih memiliki aktivitas antibakteri yang sama dengan awal. Ekstrak dari Chaetoceros gracilis menyebabkan kerusakan sel bakteri yang ditunjukkan dengan terjadinya kebocoran pada sel bakteri.

Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung asam amino esensial seperti treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin, histidin, dan asam amino non esensial seperti asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, arginin, alanin, tirosin. Komposisi asam lemak dalam C. gracilis meliputi kaprilat (C8:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0), pentadekanoat C15:0, stearat (C18:0), arakidat C20:0, heneikosanoat (C21:0), behenat (C22:0), serta asam

lemak tidak jenuh seperti palmitoleat (C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat

Page 5: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

(C20:4n6), linolenat (C18:3), dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat

(C20:5n3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n3). Biomasa Chaetoceros gracilis

mengandung mineral seperti fosfor (P), magnesium (Mg), besi (Fe), zink (Zn), kalsium (Ca), dan silika. Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung senyawa golongan alkaloid, steroid, asam amino, karbohidrat. Kadar asam nukleat (DNA) Chaetoceros gracilis sebesar 0,1 %. Namun perlu kajian lanjut toksisitas

Kata kunci: Mikroalga laut, Chaetoceros gracilis, senyawa antibakteri, komposisi

senyawa kimia

Page 6: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 7: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN NUTRISI DARI MIKROALGA LAUT Chaetoceros gracilis

IRIANI SETYANINGSIH

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

Page 8: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS

2. Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, MSc

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS

2. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS

Page 9: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

Judul Disertasi : Kultivasi dan Karakterisasi Komponen Aktif dan Nutrisi dari Mikroalga Laut Chaetoceros gracilis Nama : Iriani Setyaningsih NIM : C 56 1040061 Program Studi : Teknologi Kelautan (TKL) Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Linawati Hardjito, MSc Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja

Ketua Anggota

Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, MSc Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir.John Haluan, MSc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 9 Agustus 2010 Tanggal Lulus : 24 Agustus 2010

Page 10: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas rahmatNya

penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi dengan judul Kultivasi dan

Karakterisasi Komponen Aktif dan Nutrisi dari Mikroalga Laut Chaetoceros gracilis,

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor di program Studi Teknologi

Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terima kasih yang

mendalam disertai penghargaan setinggi-tingginya kepada tim pembimbing kami

yaitu ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, bapak Prof.

Dr. Ir. Daniel Monintja, bapak Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, MSc, dan ibu Prof. Dr. drh.

Maria Bintang, MS selaku anggota komisi pembimbing.

Terima kasih dihaturkan kepada kedua orang tua penulis ayahanda Soekemi

(alm) dan ibunda Khayatun yang selalu mendoakan kami. Kepada suami Dr. Ir.

Anang Hari Kristanto, MSc beserta anak-anak tercinta Anindita Lintangdesi Afriani

dan Nawangwulan Risqi Andriani kami mengucapkan terima kasih yang tak

terhingga atas dukungan, kasih sayang dan doanya.

Terima kasih kepada pimpinan IPB, terutama pimpinan Program

Pascasarjana , khususnya ketua Program Studi Teknologi Kelautan yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada

program doktor (S3). Terima kasih kepada BPPS Dikti atas dukungan pembiayaan

selama studi dan Hibah mahasiswa program doktor Dikti atas bantuannya dalam

penyelesaian disertasi.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada Drs. Lily Panggabean, MSc yang

telah membantu dalam pengadaan C. gracilis dan Dr. Ir. Widanarni, MS yang telah

memberikan bakteri V. harveyi. Terima kasih kepada sesama staf pengajar di

Departemen Teknologi Hasil Perairan, teknisi Ema Masruroh yang banyak

membantu selama pelaksanaan penelitian serta semua pihak yang belum sempat

kami sebutkan satu persatu.

Semoga, bantuan, dukungan, dan perhatian bapak ibu senantiasa

mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari akan

kekurangannya, untuk itu kami mohon saran. Akhir kata penulis ucapkan semoga

disertasi ini memberikan manfaat bagi yang membaca.

Bogor, Agustus 2010

Iriani Setyaningsih

Page 11: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Semarang pada tanggal 25 September 1960.

Penulis adalah putra kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Soekemi

(alm) dan Ibu Khayatun. Penulis telah menikah dengan Dr. Ir. Anang Hari Kristanto,

MSc dan dikarunai dua orang putri bernama Anindita Lintangdesi Afriani dan

Nawangwulan Rizqi Andriani.

Jenjang pendidikan penulis dimulai dari TK Budirini Semarang pada tahun

1965, dilanjutkan dengan jenjang pendidikan di SD Negeri Randusari I Semarang,

lulus tahun 1973, SMP Masehi Gergaji Semarang, lulus tahun 1976 dan SMA Negeri

Perintis Sekolah Pembangunan Semarang lulus tahun 1980. Penulis diterima di

Institut Pertanian Bogor pada tahun 1980. Pada tahun 1981, penulis masuk Jurusan

Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, dan lulus tahun 1985. Penulis

melanjutkan program Magister Sains di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah

Pascasarjana, IPB (1987-1991) dengan dana TMPD. Pada tahun 2004, penulis

melanjutkan studi program doktor di Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah

Pascasarjana, IPB dengan dana BPPS.

Penulis mulai mengembangkan karier sebagai staf pengajar di Institut

Pertanian Bogor pada tahun 1987 pada Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan,

Fakultas Perikanan, IPB yang kini berubah menjadi Departemen Teknologi Hasil

Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Publikasi yang dihasilkan penulis antara lain Antibacterial activity of the

marine diatom Chaetoceros gracilis against Staphylococcus aureus and Vibrio

harveyi, Proceeding International Seminar and Workshop, Marine Biodiversity and

their Potential for Developing Bio-Pharmaceutical Industry in Indonesia 2006;

Aktivitas antibakteri dan komponen asam lemak dari ekstrak Skeletonema costatum,

Posiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

2007; Ekstraksi senyawa antibakteri dari diatom Chaetoceros gracilis dengan

berbagai metode, Jurnal Biologi Indonesia 2008; Pola pertumbuhan Chaetoceros

gracilis dalam medium NPSi dan produksi antibakteri, Jurnal Kelautan Nasional 2009;

Ekstraksi dan aplikasi ekstrak Chaetoceros gracilis pada udang, Prosiding Seminar

Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 2009.

Page 12: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv

DAFTAR ISTILAH ……………………………………………………………….. xv

1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2 Rumusan Permasalahan ………………………………………………….. 2

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3

1.4 Hipotesis Penelitian ……………………………………………………….. 3

1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................. 4

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 4

1.7 Kerangka Pemikiran ……………………………………………………….. 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 7

2.1 Deskripsi Mikroalga ............................................................................... 7

2.2 Chaetoceros sp ..................................................................................... 9

2.3 Antibakteri dari Mikroalga ...................................................................... 10

2.4 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri .................................................. 14

2.5 Bakteri Patogen ..................................................................................... 16

2.5.1 Bakteri Gram positif ...................................................................... 17 2.5.2 Bakteri Gram negatif .................................................................... 19

3 METODE PENELITIAN …………………………………………………………. 22

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………………… 22

3.2 Bahan dan Alat ……………………………………………………………… 22

3.3 Tahapan Penelitian dan Analisis …………………………………………. 23

3.3.1 Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi ……………… 23

3.3.2 Ekstraksi, uji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis ………………………………………… 24

3.3.3 Analisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan bakteri …………………………………………………….. 25

3.3.4 Analisis kandungan senyawa kimia Chaetoceros gracilis ………… 26

Page 13: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi ……………….. 28 4.1 Pendahuluan .......................................................................................... 28

4.2 Bahan dan Metode ................................................................................ 29

` 4.3 Hasil dan Pembahasan .......................................................................... 31

4.4 Kesimpulan …………… .......................................................................... 38

5 AKTIVITAS DAN STABILITAS SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis………………………………………………... 39

5.1 Pendahuluan .......................................................................................... 39

5.2 Bahan dan Metode ............................................................................... 40

` 5.3 Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 44

5.4 Kesimpulan .......................................................................................... 52

6 KERUSAKAN BAKTERI OLEH SENYAWA ANTIBAKTERI DARI

EKSTRAK Chaetoceros gracilis …………………………………………….. 53

6.1 Pendahuluan ......................................................................................... 53

6.2 Bahan dan Metode .............................................................................. 55

6.3 Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 57

6.4 Kesimpulan .......................................................................................... 64

7 KANDUNGAN SENYAWA KIMIA MIKROALGA Chaetoceros gracilis YANG DITUMBUHKAN DALAM MEDIUM………… 65 7.1 Pendahuluan ........................................................................................ 65

7.2 Bahan dan Metode .............................................................................. 66

7.3 Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 73

7.4 Kesimpulan .......................................................................................... 88

8 PEMBAHASAN UMUM ............................................................................... 90

9. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 97

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 99

LAMPIRAN ....................................................................................................... 106

Page 14: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

DAFTAR TABEL Halaman

1 Hasil pemisahan awal komponen antimikroba dari beberapa mikroalga ............................................................................................ 13

2 Diameter zona hambat bakteri dari ekstrak C.gracilis ........................ 46

3 Komposisi asam lemak biomasa kering Chaetoceros gracilis ........... 76

4 Kandungan asam lemak dalam Chaetoceros graciis dan komoditi lain ………………………………………………………………………… 78

5 Komposisi asam amino pada biomasa kering Chaetoceros gracilis .................................................................................................. 80

6 Pola kecukupan asam amino dalam tubuh ……………………………. 81

7 Komposisi asam amino dalam biomasa kering C. gracilis dan komoditi lain ................................................................................... 82

8 Kandungan mineral dari biomasa kering C. gracilis ............................. 83

9 Hasil analisis fitokimia biomasa C. gracilis ........................................... 86

10 Hasil analisis fitokimia ekstrak metanol dan heksan dari C. gracilis .... 87

Page 15: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka penelitian ………………………………………………….. 6

2 Kurva pertumbuhan mikroalga (Fogg dan Thake 1987)…………… 8

3 Morfologi sel Chaetoceros gracilis ................................................. 9

4 Kultur Chaetoceros gracilis umur 2 hari .......................................... 32

5 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi (a = fase pertumbuhan; b = fase stasioner; c = fase kematian)….. 33

6 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium Guillard (a = fase pertumbuhan b = fase stasioner; c = fase kematian) (Lailati 2007) ……………………………………………………………. 33

7 Biomasa Chaetoceros gracilis kering ……………………………. . 37

8 Ekstrak Chaetoceros gracilis …………………………………………. 45

9 Zona hambat ekstrak Chaetoceros gracilis pada bakteri uji (EH = ekstrak heksan; EM = ekstrak metanol; K = kloramfenikol; M =metanol; H = heksan) …………………………………………….. 47

10 Diameter zona hambatan dari ekstrak dan antibiotik komersial terhadap pertumbuhan bakteri ( = B. cereus; = V. harveyi) ………………………………………………………… 49

11 Potensi relatif daya hambat ekstrak C. gracilis terhadap 4 jenis

antibiotik komersial pada konsentrasi sama ( = B. cereus;

= V. harveyi ) ……………………………………………………….. 50

12 Aktivitas antibakteri ekstrak C. gracilis selama penyimpanan dalam refrigerator ( = V. harveyi; = E. coli; = S. aureus;

= B. cereus) …………………………………………………….. 52

13 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kebocoran asam nukleat dan ( = OD 260 nm) kebocoran protein sel ( = OD 280 nm) ……… 58

14 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kandungan N-asetil glukosamin ( = tanpa ekstrak, = penambahan ekstrak)……….. 60

15 Sel Bacillus cereus tanpa perlakuan (perbesaran 20.000 x)……….. 62

16 Sel Bacillus cereus yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros

gracilis (perbesaran 20.000 x)………………………………………….. 63

17 Sel Vibrio harveyi tanpa perlakuan (perbesaran 20.000 x)…………. 63

18 Sel Vibrio harveyi yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis (perbesaran 20 000 x) ……… ................................................. 64

Page 16: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Komposisi medium pupuk NPSi yang digunakan untuk kultivasi Chaetoceros gracilis ............................................................................... 107

2 Kepadatan sel Chaetoceros gracilis selama kultivasi ............................. 108

3 Diameter zona hambat ekstrak metanol dari Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm) ………………………………. 109

4 Diameter zona hambat ekstrak heksan dari Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm) ………………………………. 109

5 Diameter zona hambat (mm) pada Bacillus cereus dan Vibrio harveyi dari ekstrak C. gracilis dan 4 jenis antibiotik ........................................… 110

6 Potensi relatif ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap antibiotik komersial (%) ………………………………………………………………… 110

7 Diameter zona hambat (mm) ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan .....................................................................................…. 111

8 Perhitungan kadar protein C. gracilis ……………………………………. 112

9 Perhitungan kadar karbohidrat C. gracilis ………………………………. 113

10 Perhitungan hasil analisis mineral dari biomasa C. gracilis …………… 114

11 Konsentrasi DNA dalam Chaetoceros gracilis …………………………. 117

Page 17: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

DAFTAR ISTILAH

Antimikroba = zat yang mampu menghancurkan atau menghambat

pertumbuhan mikroorganisme, membunuh atau menekan

pertumbuhan mikroorganisme

ATCC = American Typing Culture Collection

Bakteri patogen = merupakan kelompok bakteri parasit yang menimbulkan

penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan

Ekstrak = hasil pemisahan suatu bahan yang menggunakan pelarut

Faktor intrinsik = faktor-faktor yang berasal dari dalam organisme

dengan proses ekstraksi

Farmasetika = gabungan kimia dan farmasi yang terlibat dalam desain,

sintesis, dan pengembangan obat

Glass bead = butiran-butiran dari kaca yang digunakan untuk memecah

sel mikroorganisme

Golden brown algae = alga yang di dalam perairan berwarna kecoklatan

Komponen aktif = senyawa yang mempunyai aktivitas biologis yang

bermanfaat

Mikroalga = mikroorganisme fotosintetik dengan morfologi sel yang

bervariasi

NPSi = Nitrogen-Fosfat-Silika

Nutrasetika = produk-produk pangan dan obat yang terkait dengan

kesehatan

Suplemen = pelengkap ketika tubuh kekurangan suatu unsur zat gizi.

suplemen dapat berupa vitamin, mineral, atau zat gizi

lainnya seperti asam lemak, asam amino, dan zat esensial

(misalnya serat).

TCBSA = Thiosulfate Citrate Bile Salts Sucrose

Page 18: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingginya keanekaragaman organisme laut di Indonesia merupakan aset

penting dalam pengembangan bioteknologi laut. Sejauh ini pengembangan

bioteknologi di Indonesia dilakukan antara lain pada bidang pertanian, pangan

dan kesehatan maupun lingkungan. Produk alam dari laut dapat digunakan

untuk berbagai tujuan antara lain untuk bahan farmasi (antibakteri atau

antimikroba, antioksidan), bahan nutrisi (asam amino, asam lemak, mineral) dan

berbagai bahan lainnya (Nontji 1999).

Antimikroba atau antibakteri merupakan bahan yang dapat membunuh

atau menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga sering digunakan untuk

bahan baku obat. Beberapa jenis organisme laut yang potensial sebagai sumber

obat antara lain makroalga, mikroalga, sponge, soft coral (Kobayashi dan Satari

1999). Mikroalga merupakan organisme berukuran mikroskopis yang mempunyai

peranan penting dalam kehidupan di perairan, dan mudah dibudidayakan karena

hidupnya tidak tergantung musim, tidak memerlukan tempat yang luas, dan tidak

memerlukan waktu yang lama untuk memanennya. Mikroalga memiliki banyak

keunggulan antara lain sebagai sumber pakan dan pangan yang mengandung

protein, lipid, serta sebagai bahan dasar obat-obatan atau farmasi (Borowitzka

1988). Mikroalga telah lama dikenal karena memiliki aktivitas biologikal seperti

pigmen, lemak dan protein, selain itu juga menjadi sumber yang potensial untuk

produk komersial di bidang akuakultur (Rosa et al. 2005).

Salah satu jenis mikroalga laut yang memiliki komponen aktif sebagai

antibakteri adalah Chaetoceros. Metting dan Pyne (1986) melaporkan bahwa

Chaetoceros mempunyai komponen aktif antibakteri golongan asam lemak.

Penelitian serupa menyebutkan bahwa ekstrak kasar intraselular Chaetoceros

gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard mempunyai komponen aktif

antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis,

Escherichia coli dan Pseudomonas sp (Pribadi 1998). Wang (1999) dalam

laporannya juga menyatakan bahwa ekstrak Chaetoceros mempunyai aktivitas

antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Gram positif

dan negatif. Mendiola et al. (2007) melaporkan bahwa mikroalga Chaetoceros

muelleri menghasilkan komponen aktif yang mempunyai aktivitas terhadap

Page 19: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

2

bakteri E. coli dan S. aureus, serta kapang Candida albicans. Namun belum

diketahui mekanisme hambatan antibakteri dari Chaetoceros terhadap bakteri.

Chaetoceros, selain memiliki komponen antibakteri juga mengandung

nilai gizi seperti protein, lemak, karbohidrat. Renaud et al. (2002) melaporkan

bahwa Chaetoceros sp yang ditumbuhkan dalam medium Guillard pada suhu 25

oC mempunyai kandungan karbohidrat sebesar 13,1%, protein 57,3%, lemak

16,8%, serta PUFA. 19,5 %. Hasil penelitian Araujo dan Garcia (2005)

menunjukkan bahwa kandungan lemak dan karbohidrat dalam Chaetoceros

wighamii yang dikultivasi pada suhu 20 dan 25 oC lebih tinggi dibandingkan 30 oC.

Salinitas medium pertumbuhan Chaetoceros 25 dan 30 tidak mempengaruhi

pertumbuhan, densitas sel, biomasa dan klorofil (Raghavan et al. 2008).

Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi

biokimia mikroalga adalah nutrien dalam medium. Medium yang digunakan

untuk pertumbuhan Chaetoceros umumnya medium Guillard, namun harga

medium ini mahal, untuk itu perlu dicari medium pertumbuhan yang lebih murah.

Larastri (2006) melaporkan bahwa Chaetoceros dapat ditumbuhkan dalam

medium NPSi. Namun belum diketahui kandungan senyawa aktif dan senyawa

kimia dari Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium NPSi tersebut.

Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian komponen aktif

dan nutrisi dari Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan Indonesia dan

dikultivasi dalam medium NPSi, sehingga pemanfataannya lebih optimal.

1.2 Rumusan Permasalahan

Medium yang sering digunakan untuk menumbuhkan Chaetoceros adalah

medium Guillard, namun harganya mahal. Oleh karena itu perlu dicari medium

dengan nutrien yang murah. Salah satu medium yang dapat digunakan untuk

pertumbuhan Chaetoceros adalah NPSi, yaitu medium yang terdiri dari urea,

TSP, silika ditambah dengan vitamin dan trace element. Medium NPSi ini lebih

murah harganya dan mudah didapat. Urea dan TSP digunakan sebagai sumber

N dan P, sedangkan dalam medium Guillard sumber N dan P diperoleh dari

NaNO3 dan NaH2PO4.H2O. Namun belum pernah diketahui pengaruh

penggunaan medium NPSi terhadap komponen aktif dan nutrisi yang dikandung

Chaetoceros. Pada penelitian ini Chaetoceros gracilis yang digunakan diperoleh

dari perairan Indonesia, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemanfaatan

sumberdaya alam Indonesia.

Page 20: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

3

Senyawa antibakteri alami mudah mengalami kerusakan, oleh karena itu

perlu metode penyimpanan yang tepat. Salah satu metode penyimpanan yang

dapat digunakan adalah penyimpanan pada suhu rendah. Pada penelitian ini

ekstrak Chaetoceros gracilis disimpan pada suhu rendah sampai 6 bulan, untuk

dilihat stabilitas senyawa antibakterinya. Sel bakteri dapat mengalami kerusakan

setelah kontak dengan antibakteri, oleh karena itu dianalisis pengaruh ekstrak

Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan sel bakteri.

Chaetoceros mempunyai kandungan biokimia yang lengkap dan

digunakan untuk pakan alami larva. Mikroalga ini dapat dioptimalkan

pemanfaatannya, misalnya untuk suplemen atau nutrasetika. Komposisi nutrien

medium perttumbuhan berpengaruh terhadap komposisi biokimia mikroalga,

sehingga perlu dianalisis komposisi kimia Chaetoceros gracilis yang

ditumbuhkann dalam medium NPSi.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

(1) Memperoleh ekstrak Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium

NPSI yang mempunyai aktivitas antibakteri

(2) Menguji aktivitas dan stabilitas senyawa aktif dari ekstrak Chaetoceros

gracilis

(3) Menganalisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan sel

bakteri

(4) Menentukan kandungan kimia dari biomasa mikroalga Chaetoceros gracilis

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penlitian ini adalah:

(1) Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi masih

mengandung senyawa aktif antibakteri

(2) Ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan lama dalam suhu rendah masih

memiliki aktivitas antibakteri

(3) Sel bakteri uji mengalami kerusakan atau gangguan setelah kontak dengan

ekstrak Chaetoceros gracilis

(4) Biomasa Chaetoceros gracilis memiliki nutrisi yang lengkap walaupun

ditumbuhkan dalam medium NPSi

Page 21: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

4

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi

(Iptek), khsusunya eksplorasi mikroalga untuk bidang kesehatan. Untuk

menghasilkan Chaetoceros gracilis yang mempunyai komponen aktif dan

komponen nutrisi yang lengkap dengan harga lebih murah, Chaetoceros gracilis

dapat dikultivasi dalam medium NPSi.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Kajian yang dilakukan pada penelitian ini adalah :

(1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi

(2) Aktivitas dan stabilitas ekstrak Chaetoceros gracilis

(3) Kerusakan bakteri oleh senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis

(4) Kandungan senyawa kimia dari mikroalga Chaetoceros gracilis

1.7 Kerangka Pemikiran

Chaetoceros merupakan salah satu mikroalga laut berukuran mikroskopis

yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan di perairan, mudah

dibudidayakan, tidak tergantung musim, tidak memerlukan tempat yang luas, dan

tidak memerlukan waktu yang lama untuk memanennya. Mikroalga ini

mempunyai kandungan kimia yang meliputi protein, lemak, karbohidrat, asam

amino, asam lemak yang diperlukan untuk pertumbuhan. Selain itu, Chaetoceros

juga mempunyai komponen aktif antibakteri.

Pemanfaatan mikroalga Chaetoceros masih terbatas untuk pakan larva.

Untuk itu perlu dikembangkan pemanfaatan dari mikroalga misalnya untuk

bidang kesehatan. Medium yang digunakan untuk pertumbuhan Chaetoceros ini

biasanya medium Guillard, namun harganya mahal. Oleh karena itu perlu dicari

medium alternatif yang lebih murah. Salah satu medium yang dapat digunakan

untuk menumbuhkan Chaetoceros adalah NPSi. Medium NPSi ini dapat

digunakan untuk kultivasi Chaetoceros karena mengandung unsur nitrogen dari

urea, fosfat dari TSP dan silika dari sodium metasilika, yang merupakan unsur

utama untuk mikroalga ini. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian

Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan Indonesia dengan tujuan: 1)

memperoleh ekstrak Chaetoceros gracilis yang mempunyai aktivitas antibakteri,

2) menguji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros

gracilis, 3) menganalisis kerusakan sel bakteri setelah dikontakkan dengan

ekstrak Chaetoceros gracilis, 4) menentukan komposisi kimia (nutrisi) dari

Chaetoceros gracilis.

Page 22: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

5

Kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan dalam medium NPSi pada suhu

25-26 oC. Biomasa Chaetoceros gracilis diekstraksi menggunakan metanol,

selanjutnya diuji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri terhadap bakteri

patogen, serta dianalisis kerusakan sel bakteri setelah kontak dengan ekstrak

Chaetoceros gracilis. Biomasa Chaetoceros gracilis dianalisis senyawa kimianya

untuk diketahui kandungan nutrisinya. Dari hasil penelitian ini diperoleh informasi

bahwa Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium NPSi mempunyai

komponen aktif antibakteri yang stabil pada penyimpanan suhu rendah (-18 – (-

20)oC . Ekstrak Chaetoceros gracilis yang dikontakkan pada bakteri dapat

menyebabkan kerusakan sel bakteri. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan

dalam medium NPSi mempunyai komposisi nutrisi yang lengkap. Chaetoceros

gracilis yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang kesehatan.

Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Page 23: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

6

Komponen aktif antibakteri (Metting dan Pyne 1986; Wang 1999, Pribadi 1999; Mendiola et al. 2007)

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

-

????

Penelitian yang dilakukan untuk disertasi

Gambar 1 Kerangka penelitian

Chaetoceros

Chaetoceros dapat tumbuh dalam medium NPSi (Larastri 2006)

Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam NPSi (murah)

Ekstrak

Aktivitas antibakteri

Potensi dan stabilitas senyawa antibakteri

Kandungan senyawa kimia

Pengaruhnya terhadap kerusakan bakteri

Komposisi kimia lengkap (Renaud et al. 2002; Araujo dan Garcia 2005; Raghavan & Gopinathan 2008)

Biomasa sel

Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi mempunyai komponen antibakteri dan komponen nutrisi lengkap

Medium Guillard

Nutrien mahal

Page 24: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Mikroalga

Mikroalga merupakan biota perairan yang potensial untuk dikembangkan

karena dapat menghasilkan produk komersial di bidang pangan, farmasi,

kosmetika, pertanian dan sebagainya. Organisme ini termasuk eukariot yang

mempunyai klorofil dan melakukan fotosintesis (microscopic photosynthetic

organisms), berukuran mikro, uniselular, dan berperan sebagai produsen primer

di dalam perairan, dan dikenal dengan primitive form of plant. Mikroalga dapat

hidup di perairan tawar, laut, maupun tempat lembab. Hingga saat ini mikroalga

masih banyak digunakan sebagai pakan.

Nutrisi mineral alga tidak jauh berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi.

Kebutuhan absolut umum untuk alga meliputi karbon, fosfor, nitrogen, sulfur,

potasium dan magnesium. Elemen-elemen seperti besi dan mangan diperlukan

dalam jumlah sedikit. Beberapa elemen seperti kobal, seng, boron, copper dan

molybdenum merupakan essential trace element. Selain mineral ini beberapa

alga juga memerlukan substrat organik seperti vitamin, faktor tumbuh untuk

pertumbuhan (Becker 1994).

Mikroalga laut dapat dikultivasi dengan menggunakan medium Guillard.

Agar pertumbuhan mikroalga dalam medium kultur bagus, maka lingkungan

harus dikondisikan sama dengan kebutuhan intrinsik organisme tersebut.

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan alga antara

lain faktor fisik berupa cahaya dan suhu, serta faktor kimiawi yang digunakan

untuk sintesis struktur dari sel alga (Becker 1994). Kondisi yang mempengaruhi

pertumbuhan alga meliputi 1) iluminasi cahaya, yang mana untuk kultur alga

dapat digunakan lampu 40 Watt yang memberikan intensitas cahaya 3200 lux, 2)

suhu (suhu ruang atau suhu dingin), yang mana suhu dapat mempengaruhi

metabolisme organisme, dan 3) medium kultur. Fitoplankton laut dapat

ditumbuhkan dalam media air laut yang diperkaya atau media air laut sintetis

(Kungvankij 1988).

Media kultur alga dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu 1) media sintetis

lengkap, 2) air asal (natural waters) yang diperkaya dengan suplemen, dan 3)

limbah cair dari limbah industri atau fermentasi. Untuk kultur batch (sistem

tertutup) dimana suplai nutrien terbatas dan tidak ada penambahan atau

Page 25: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

8

pengurangan dari luar, alga tumbuh melalui fase yang berbeda (Becker 1994).

Kurva pertumbuhan mikroalga disajikan pada Gambar 2.

Penjelasan:

(1) Fase adaptasi

(2) Fase pertumbuhan

(3) Fase penurunan

pertumbuhan

(4) Fase stasioner

(5) Fase kematian

Waktu

Gambar 2 Kurva pertumbuhan mikroalga (Fogg dan Thake 1987)

Berikut adalah uraian singkat tentang kelima fase pertumbuhan mikroalga

tersebut:

Fase 1. Pada fase ini medium diinokulasikan dengan organisme. Kondisi

pada awal biasanya berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Organisme sering

tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan mungkin menjadi tidak

nyaman. Selama pada fase adaptasi atau fase lag ini, kultur alga menyesuaikan

diri terhadap kondisi, laju pertumbuhan lebih rendah dan akan meningkat dengan

waktu kultivasi. Sel menjadi sensitif terhadap suhu atau perubahan lingkungan

lainnya.

Fase 2. Setelah kultur alga beradaptasi terhadap kondisi kultivasi yang

diberikan, sel masuk ke fase pertumbuhan. Selama periode ini intensitas cahaya

tidak terbatas dan perubahan konsentrasi nutrien masih kecil pengaruhnya.

Dalam sebuah kultur, dimana persediaan nutrien dan cahaya tidak terbatas,

biomas alga bertambah per waktu secara proposional. Jumlah masa sel

meningkat seiring terhadap waktu. Sel-sel membelah pada laju yang konstan.

Keadaan ini sangat penting dalam menentukan keadaan kultur.

Fase 3. Pada fase ini alga tumbuh pada kultur yang padat, tidak ada

penambahan atau pengurangan dari medium setelah inokulasi, penurunan

logaritmik mulai terjadi. Mineral juga mulai terbatas, akumulasi limbah toksik

meningkat.

Page 26: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

9

Fase 4. Pada fase ini suplai cahaya per sel alga menjadi terbatas dan

peranan respirasi mulai meningkat. Kurva pertumbuhan mendekati nilai limit,

yaitu fase stasioner.

Fase 5. Fase ini merupakan berakhirnya fase stasioner, yang mana

populasi sel berkurang, sel-sel alga mulai mengeluarkan bahan organik,

pertumbuhan terhambat. Terjadinya fase ini disebabkan oleh umur kultur yang

sudah tua, suplai cahaya dan nutrien terbatas. Pada fase ini laju kematian

menjadi tinggi, populasi alga menjadi rusak secara sempurna.

2.2 Chaetoceros sp

Salah satu diatom laut yang bisa dikembangkan adalah Chaetoceros.

Chaetoceros gracilis termasuk dalam golongan Bacillariophyceae yang juga

sering disebut dengan golden brown algae. Mikroalga ini tergolong plankton

neritik, memiliki setae dan membentuk filamen sehingga dapat melayang di

permukaan, selnya tunggal dan tidak membentuk rantai, bercangkang cembung,

spora di tengah sel induk, dan non motil. Chaetoceros juga digunakan sebagai

pakan alami (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995; Sue et al. 1997). Morfologi sel C.

gracilis disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Morfologi sel Chaetoceros gracilis

Chaetoceros merupakan salah satu diatom yang diklasifikasikan

(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995; BBLL 2002) sebagai berikut:

Phylum : Bacillariophyta

Kelas : Bacillariophyceae

Ordo : Bacillariales (Centrales)

Family : Chaetoceraceae

Genus : Chaetoceros

Chaetoceros ada yang berbentuk bulat dengan diameter 4-6 mikron dan

ada yang berbentuk segi empat dengan ukuran 6-12 x 7-18 mikron. Dinding sel

fitoplankton ini dibentuk dari silika. Karotenoid dalam diatom merupakan pigmen

Page 27: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

10

yang dominan. Pada kultur, fitoplankton ini berwarna kuning keemasan hingga

coklat (BBLL 2002). Berkaitan dengan morfologi Chaetoceros, Wang (1999)

menyatakan bahwa sel secara individu dari Chaetoceros berbentuk kotak,

mempunyai dimensi lebar 12 sampai 14 mikron, dan panjang 15 sampai 17

mikron, dengan jarum di ujungnya. Sel ini bisa membentuk rantai sekitar 10

sampai 20 sel. Ketika dikultur dengan aerasi kuat, Chaetoceros tidak

membentuk koloni. Pada skala kultur besar, alga ini berwarna coklat keemasan,

sehingga disebut dengan golden brown alga.

Umumnya alga digunakan sebagai pakan untuk organisme perairan yang

memiliki nilai komersial penting, termasuk diatom yang ukurannya bervariasi.

Diatom yang banyak digunakan dalam marinkultur komersial adalah

Skeletonema costatum, Thalassiosira pseudonana, Chaetoceros gracilis, C.

calcitrans dan sebagainya (BBLL 2002).

Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam batch pada suhu 25, 27, 30, 33

dan 35 oC memiliki kandungan karbohidrat (13,1; 12,2; 12,5; 11,3; dan 11 %),

protein (57,3; 57,1; 64,1; 62,5 dan 47,3 %), serta lemak (16,8; 14,8; 12,2; 12,4

dan 12,1 %). Asam lemak jenuh golongan PUFA yang dihasilkan sebesar 19,5;

20,8; 19; 19,8 dan 20,4 % (Renaud et al. 2002). Suhu merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi komposisi kimia Chaetoceros wighamii. Pada suhu

20 dan 25 oC, kandungan lipid dan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan pada

suhu 30 oC, sedangkan protein tidak dipengaruhi oleh perbedaan suhu tersebut

(Araujo dan Garcia 2005).

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium f/2 Guillard, diberi

aerasi dan penambahan karbon, menggunakan lampu 20 Watt, suhu 22±1 ºC,

setelah 8 hari memiliki kepadatan sel sebesar 8,44±7.07x106 sel./L. Kandungan

karbohidrat terlarut 0.1±0.01 mg/L, protein terlarut 0.58±0.02 mg/L (Junior et al.

2007).

2.3 Antibakteri dari Mikroalga

Mikroalga memiliki substansi organik yang berlimpah di dalam selnya

yang disebut dengan metabolit intraseluler. Selain itu juga menghasilkan produk

yang disekresikan ke medium tumbuhnya yang disebut metabolit ekstraseluler.

Substansi ekstraseluler dapat dihasilkan dari proses ekskresi sel yang sehat

maupun dari sel yang lisis atau mati, baik pada fase stasioner maupun fase mati

(Stewart 1974). Mikroalga yang melimpah di kolam dapat mengakibatkan bakteri

Page 28: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

11

patogen dan koliform mati dengan cepat, hal ini menunjukkan bahwa mikroalga

memproduksi senyawa antibakteri (Fogg dan Thake 1987).

Penelitian mikroalga tentang aktivitas antibakterial, antifungal dan antiviral

masih dalam perkembangan, tetapi mempunyai prospek untuk dipromosikan

(Richmond 1990). Beberapa aplikasi yang potensial dari alga antara lain produksi

senyawa obat-obatan untuk industri farmasi dan pertanian sebagai bahan

biocontrol maupun biofertilizer.

Naviner et al. (1999) melaporkan bahwa Skeletonema costatum

mempunyai aktivitas bakterisida yang dapat menghambat bakteri-bakteri patogen

di bidang akuakultur seperti Vibrio mytili, Vibrio sp VRP dan Listonella

anguillarum. Berkaitan dengan ini hasil penelitian Nugraheny (2001) juga

menunjukkan bahwa Skeletonema mempunyai aktivitas penghambatan terhadap

Vibrio.

Berkaitan dengan antibakteri, Wang (1999) melaporkan bahwa budidaya

kekerangan dan moluska yang menggunakan Chaetoceros sebagai pakannya

menguntungkan karena Chaetoceros memberikan efek antibiotik alami yang

mana dapat membebaskan hewan air tersebut dari bakteri patogen Vibrio

sehingga sea food ini aman untuk dikonsumsi. Selain itu ekstrak alga laut

Chaetoceros menunjukkan aktivitas antibakteri yang dapat menghambat

methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin resistant

Enterococcus (VRE), Vibrio vulnificus, Vibrio cholerae. Antibakteri ini dihasilkan

oleh alga uniselular Chaetoceros dalam merespon keberadaan bakteri dan alga

lain.

Antibiotik dari alga umumnya belum banyak yang teridentifikasi, namun

beberapa telah diketahui komponen aktifnya. Ada yang terdiri atas asam lemak,

asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tannin, terpenoid, polisakarida

ataupun alkohol (Metting dan Pyne 1986). Asam lemak jenuh dan tak jenuh dari

mikroalga juga dapat menimbulkan aktifitas bakterisidal (Naviner et al. 1999).

Senyawa yang teridentifikasi dari ekstrak alga laut Chaetoceros memiliki aktivitas

antibakteri adalah asam lemak, yang diketahui dapat menghambat pertumbuhan

bakteri patogen seperti Staphylococcos, Enterococcus, Vibrio cholerae, Vibrio

vulnivicus (Wang 1999). Beberapa peneliti telah melakukan pemisahan awal

senyawa antimikroba dari beberapa jenis mikroalga (Tabel 1). Beberapa

mikroalga (diatom) yang juga mempunyai komponen aktif antibakterial antara lain

Skeletonema costatum, Thalassiosira spp, Bacteriastrum elegans, Chaetoceros

Page 29: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

12

socialis, C. lauderi. Komponen yang mempunyai aktivitas antibakterial tersebut

tergolong asam lemak (Metting dan Pyne 1986). Berkaitan dengan senyawa

antimikroba, Richmond (1990) melaporkan bahwa empat jenis diatom seperti

Chaetoceros lauderi, Chaetoceros pseudocurvisteus, Chaetoceros socialis dan

Chaetoceros fragilaris pinnata mempunyai aktivitas antifungal. Asam lemak yang

bertanggung jawab sebagai antibiotik dari diatom Asterinella japanica adalah

eicosapentaenoic (20:5) (Richmond 1990).

Chaetoceros gracilis mempunyai aktivitas penghambatan terhadap

bakteri B. subtilis, E. coli dan Pseudomonas sp (Pribadi 1998). Pribadi dalam

laporannya menyatakan bahwa kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan pada

suhu ruang, ekstraksi dilakukan menggunakan metanol dengan metode

maserasi. Pengujian aktivitas terhadap pertumbuhan bakteri dilakukan

menggunakan difusi agar. Kultur yang dipanen pada fase stasioner, dengan

konsentrasi ekstrak biomas yang digunakan 9,2 % dan sebanyak 10 µl yang

diteteskan pada paper disk, menghasilkan daya hambat terhadap Bacillus

subtilis 30 mm (daerah hambatan tidak bening), terhadap Escherichia coli 6,5

mm, terhadap Pseudomonas sp 7,5 mm. Aktivitas antibakteri dari C. gracilis ini

perlu dilakukan terhadap jenis bakteri lain.

Lailati (2007) melaporkan bahwa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan

dalam Guillard dan diekstraksi menggunakan pelarut heksan, etil-asetat, metanol

memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Vibrio harveyi.

Kultivasi C. gracilis dengan lama penyinaran 24 jam pada suhu 25 oC

menghasilkan rendemen biomasa lebih besar dibanding 12 jam. Pemecahan sel

untuk tahap ekstraksi dapat digunakan glass bead, selain sonikator. Masih perlu

dilakukan pengujian aktivitas antibakteri terhadap mkroorganisme lain yang

merugikan dan aplikasi senyawa antibakteri.

Penelitian senyawa antibakteri dari Chaetoceros juga dilakukan oleh

beberapa peneliti. Lipid antibiotic yang diekstraksi dari sel utuh diatom laut

Chaetoceros lauderi (Ralfs) dan telah teridentifikasi sebagai asam lemak tidak

jenuh memiliki sensitivitas terhadap beberapa bakteri terestrial Gram positif dan

bakteri laut Gram negatif berbentuk basil (Gauthier et al. 1978).

Hasil penelitian lain yang sejenis menunjukkan bahwa alga laut

Chaetoceros memiliki aktivitas antibakteri dengan komponen aktifnya golongan

asam lemak. Ekstrak aktif antibakteri yang diperoleh dari alga laut Chaetoceros

yang diekstraksi menggunakan pelarut organik metanol dapat menghambat

Page 30: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

13

bakteri methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin

resistant Enterococcus (VRE), Vibrio vulnificus, Vibrio cholerae, Pseudomonas

aeruginosa, Listeria monocytogenes, Shigella dysenteriae, Streptococcus

faecalis, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Micrococcus megmatis, Streptococcus

pyrogenes, Proteus vulgaris dan Salmonella typhimurium. Konsentrasi minimum

penghambatan untuk ekstrak dari Chaetoceros yang memiliki respon terhadap

methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah 10-15 µg/disk dan 20

µg/disk untuk vancomycin resistant Enterococcus (VRE). Selain itu juga

dilaporkan bahwa pada konsentrasi 100 µg/disk ekstrak dapat menghambat

Pyogenes vulgaris, Carynobacter xerosis, Shigella dysenteriae Streptococcus

mitis, Streptococcus faecalis, Bacillus subtilis, Bacillus cereus (Wang 1999).

Akan tetapi mekanisme hambatan senyawa antibakteri ini belum diketahui. Hasil

penelitian tentang pemisahan awal antimikroba dari beberapa mikroalga

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil pemisahan awal komponen antimikroba dari beberapa mikroalga

Spesies Mikroorganisme Zona hambatan (mm)

Desmococcus olivaceus (324)

Staphylococcus aureus* 6.7 ± 0.3

Desmococcus olivaceus (343)

Pseudomonas syringiae*

5.3 ± 1.1

Chlorella minutissima (357) Staphylococcus aureus* 6.3 ± 1.1

Chlorella minutissima (360) Staphylococcus aureus* 6.2 ± 0.1

Chlorella minutissima (361) Staphylococcus aureus* 8.0 ± 0.0

Chlorella sp (313) Staphylococcus aureus* 6.5 ± 0.3

Chlorella sp (381) Staphylococcus aureus* 5.7 ± 0.9

Chlorella sp (458) Staphylococcus aureus* 7.7 ± 0.8

Scenedesmus sp (469) Staphylococcus aureus* 5.0 ± 1.3

Scenedesmus sp (540) Altenaria sp* 10.0 ± 0.0

Chaetoceros gracilis

Escherichia coli ** Pseudomonas sp** Bacillus subtilis**

6.5 7.5 7.0

(hambatan tidak bening)

Sumber: * Ordogs et al. (2004) ** Pribadi (1998)

Page 31: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

14

2.4 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri

Senyawa aktif adalah suatu senyawa yang mempunyai aktivitas biologis

terhadap organisme hidup, misalnya antimikroba, antikanker, antioksidan, dan

sebagainya. Senyawa aktif ini dapat diperoleh dari bahan alam, dan sering

dikenal dengan senyawa bahan alami (natural products).

Senyawa antibakteri adalah senyawa yang dapat membunuh atau

menghambat pertumbuhan bakteri. Bahan kimia yang dapat membunuh

organisme disebut sidal, misalnya bakterisidal, fungisidal dan algasidal. Bahan

bakterisidal merupakan bahan kimia yang memiliki aktivitas membunuh bakteri,

sedangkan bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan organisme tetapi

tidak membunuh organisme tersebut disebut statik, misalnya bakteriostatik,

fungistatik (Madigan et al. 2003). Senyawa antimikrobial diproduksi secara alami

oleh organisme yang mempunyai sifat toksik terhadap mikroalga, bakteri, fungi,

virus ataupun protozoa (Metting dan Pyne 1986).

Senyawa antibakteri sebagai salah satu bahan antimikroba memiliki 3

macam bentuk kerja, yaitu bakteriostatik, bakterisidal dan bakterilitik.

Bakteriostatik adalah antibiotik yang menghambat pertumbuhan dan reproduksi

bakteri tanpa membunuhnya. Mekanisme kerja zat antibakteri dengan aktifitas

bakteriostatik adalah menghambat pertumbuhan bakteri tetapi tidak

menyebabkan kematian. Bahan bakteriostatik (bacteriostatic agents) seringkali

menghambat sintesa protein dan bekerja dengan cara mengikat ke ribosom,

akan tetapi ikatannya tidak kuat dan ketika konsentrasi dari bahan diturunkan,

bahan menjadi terlepas dari ribosom dan pertumbuhan mulai lagi. Bakterisidal

adalah antibiotik yang mampu membunuh bakteri. Mekanisme kerja zat

antibakteri dengan aktivitas bakterisidal adalah membunuh sel bakteri, tetapi

tidak terjadi lisis atau pecahnya sel. Bahan bakterisidal adalah kelompok bahan

kimia yang umumnya mengikat kuat pada target seluler. Mekanisme kerja zat

antibakteri dengan aktivitas bakterilitik adalah menyebabkan kematian dengan

cara sel lisis. Penghancuran sel terlihat dengan berkurangnya jumlah sel atau

dalam bentuk keruh setelah ditambahkan bahan antibakteri. Bahan bakterilitik

meliputi antibiotik yang menghambat sintesa dinding sel seperti penisilin dan juga

seperti bahan kimia yang dapat menghancurkan membran sitoplasma (Madigan

et al. 2003). Kerja senyawa antibakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara

lain konsentrasi senyawa antibakteri yang digunakan, jumlah dan spesies bakteri,

suhu, keberadaan bahan organik lain, dan pH (Pelczar dan Chan 2005).

Page 32: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

15

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba atau antibiotik dibagi

menjadi beberapa kelompok (Madigan et al. 2003), yaitu:

(1) Menghambat sintesis dinding sel mikroba

Antibiotik akan menghambat proses sintesis dinding sel. Tekanan osmotik

dalam sel mikroba lebih tinggi daripada di luar sel, sehingga kerusakan

dinding sel mikroba akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan

dasar dari efek bakterisidal terhadap mikroba yang peka

(2) Antimikroba yang mengganggu keutuhan (fungsi) membran sel mikroba

Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen dari

dalam sel mikroba

(3) Antimikroba menghambat sintesis protein sel mikroba

(4) Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba

Antimikroba yang memiliki mekanisme kerja seperti ini pada umumnya

kurang mempunyai sifat toksisitas selektif karena bersifat sitotoksis

terhadap sel tubuh manusia

Berdasarkan kekuatan membunuh bakteri, suatu antibiotik diatur oleh 3

faktor (Bintang 1993), yaitu :

(1) Kadar antibiotik

Banyaknya senyawa antibiotik yang terserap akan meningkat bila kadarnya

dinaikkan

(2) Lamanya kontak

Perubahan struktur atau metabolisme sel pada mulanya dapat bersifat

reversible, namun akan berubah menjadi irreversible bila perlakuannya dalam

jangka waktu yang lama

(3) Kepadatan suatu sel bakteri

Makin padat sel bakteri makin banyak antibiotik yang dibutuhkan, akan tetapi

tergantung pada medium penguji antibiotik tersebut

Mekanisme penghambatan antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri

dapat berupa kerusakan dinding sel yang mengakibatkan lisis atau

penghambatan sintetis dinding sel, pengubahan permeabilitas membran

sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan makanan melalui dinding

sel, denaturasi protein sel, dan perusakan sistem metabolisme di dalam sel

dengan cara penghambatan kerja enzim intraselular (Pelczar dan Reid 1972).

Penghambatan aktivitas mikroba oleh komponen bioaktif tanaman dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) gangguan pada senyawa

Page 33: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

16

penyusun dinding sel, 2) peningkatan permeabilitas membran sel yang

menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, 3) menginaktifkan enzim

metabolik, dan 4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik (Parhusip

2006). Terjadinya proses tersebut karena pelekatan senyawa antimikroba pada

permukaan sel mikroba atau senyawa tersebut berdifusi ke dalam sel (Kanazawa

et al. 1995 diacu dalam Parhusip 2006).

Hal-hal yang mempengaruhi kerja zat antibakteri tersebut antara lain

konsentrasi zat antibakteri, waktu kontak antara bahan dengan zat antibakteri,

jumlah bakteri, suhu, sifat-sifat bakteri, sifat-sifat medium serta sifat-sifat zat

antibakteri (Pelczar dan Chan 2005).

Penggunaan antibiotik dibatasi baik jenis maupun jumlahnya.

Kloramfenikol merupakan antibiotik yang dapat menghambat bakteri Gram positif

dan negatif. Penggunaan kloramfenikol terbatas karena selain dapat merusak

ribosom mitokondria pada sel mamalia ( Nugraheny 2001), juga dapat merusak

eritrosit pada manusia (Baticados dan Paclibare 1992).

Pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan

kerusakan sel yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan

komponen antibakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau

mikostatik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Suatu komponen akan bersifat

mikrosidal atau mikostatik tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur

yang digunakan (Bloomfield 1991 diacu dalam Parhusip 2006).

2.5 Bakteri Patogen

Bakteri patogen adalah mikroorganisme yang dapat menimbulkan suatu

penyakit baik pada hewan maupun manusia. Bakteri patogen tersebut ada yang

tergolong Gram positif maupun Gram negatif. Bakteri patogen yang sering

mengkontaminasi makanan dikenal dengan foodborne disease. Sumber

kontaminan bakteri patogen antara lain manusia, hewan maupun lingkungan.

Jay (2000) menyatakan bahwa patogen-patogen dapat ditularkan dari kotoran

yang terkontaminasi melalui jari-jari pengolah bahan pangan yang tidak saniter,

insekta, atau dari air. Madigan et al. (2003) menyebutkan bahwa umumnya

mikroorganisme pada bahan pangan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu

mikroorganisme pembusuk pada bahan pangan (food poisoning) dan

mikroorganisme penyebab infeksi pada bahan pangan (food infection). Mikroba

patogen bertanggung jawab terhadap penyakit yang ditularkan melalui bahan

pangan. Infeksi bahan pangan (food infection) disebabkan oleh bahan pangan

Page 34: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

17

yang terkontaminasi patogen. Berkaitan dengan mikroorganisme patogen, Huss

et al. (2003) menyatakan bahwa bacterial foodborne pathogens dapat

digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu food intoxication dan foodborne

bacterial infection. Penyakit yang ditularkan melalui bahan pangan (foodborne

disease) terjadi di negara-negara maju seperti USA. Peristiwa ini terjadi setelah

konsumen mengkonsumsi makanan dari laut (seafood).

2.5.1 Bakteri Gram positif

Bakteri patogen Gram positif yang akan digunakan pada penelitian ini

meliputi Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Bakteri patogen ini sering

mengkontaminasi bahan pangan. Struktur dinding sel bakteri Gram positif

berbeda dengan dinding sel bakteri Gram negatif. Pada bakteri Gram positif, 90%

dari dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan, sedangkan lapisan tipis

lainnya adalah asam teikoat. Asam teikoat mengandung unit-unit gliserol atau

ribitol yang terikat satu sama lain oleh ester fosfat, dan biasanya mengandung

gula lainnya serta D-alanin. Karena asam teikoat bermuatan negatif, lapisan ini

juga mempengaruhi muatan negatif pada permukaan sel (Fardiaz 1989). Selain

mengandung asam teikoat, dinding sel bakteri Gram positif juga mengandung

asam teikuronat yang bermuatan negatif. Molekul ini bersama lipoteikoat

membentuk mikrofibril yang memudahkan pelekatan (Madigan et al. 2003).

(1) Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat menyebabkan

keracunan stapilokokus. Bakteri ini termasuk dalam famili Micrococcaceae,

umumnya membentuk pigmen berwarna kuning keemasan, memproduksi

koagulase, dapat memfermentasi glukosa dan manitol dengan memproduksi

asam dalam keadaan anaerobik. Sel bakteri ini berbentuk bulat (kokus) dan kecil

dengan ukuran 0,5-1,0 mikron, tidak membentuk spora, katalase positif, biasanya

selnya terdapat dalam kelompok seperti anggur, tetapi ada juga yang terdapat

secara terpisah (tunggal) atau dalam jumlah empat sel (tetrad). Staphylococcus

aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran pengeluaran lendir dari tubuh

manusia dan hewan seperti hidung, mulut, tenggorokan, dan dapat dikeluarkan

pada waktu bersin atau batuk. Bakteri ini juga sering terdapat pada pori-pori dan

permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus (Fardiaz 1983).

Kebanyakan bakteri Staphylococcus aureus bersifat patogen dan

memproduksi enterotoksin yang tahan panas, dimana ketahanan panasnya

Page 35: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

18

melebihi sel vegetatifnya. Beberapa galur terutama yang bersifat patogenik

memproduksi koagulase (menggumpalkan plasma), bersifat proteolitik, lipolitik

dan beta hemolitik. Spesies lainnya, yaitu Staphylococcus epidermidis, biasanya

tidak bersifat pathogen dan merupakan flora normal yang terdapat pada kullit

tangan dan hidung. Staphylococcus aureus memproduksi pigmen berwarna

kuning sampai oranye. Bakteri ini membutuhkan nityrogen organic (asam amino)

untuk pertumbuhannya dan bersifat anaerobic fakultatif (Fardiaz 1989).

Bakteri Staphylococcus aureus merupakan penyebab kerusakan bahan

pangan karena bila tumbuh pada bahan pangan dapat memproduksi

enterotoksin yang tahan panas. Enterotoksin ini akan dikeluarkan ke medium

atau bahan pangan. Jika makanan yang mengandung toksin ini masuk dalam

pencernaan, maka akan terjadi muntah-muntah, mual dan diare setelah 1- 6 jam

(Madigan et al. 2003).

Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk kokus,

namanya berasal dari warna kekuningan dari koloni yang terbentuk pada

beberapa media. Secara normal S. aureus terdapat pada hidung dan kadang-

kadang pada kulit, bahkan dapat menyebabkan infeksi kulit. Bakteri ini juga

ditemukan dalam jumlah sedikit di saluran usus. Beberapa strain S. aureus

dapat memproduksi eksotoksin yang dapat menyebabkan foodborne disease.

Pertumbuhan bakteri ini dalam makanan dapat terjadi jika makanan disimpan

pada suhu ruang dalam waktu yang lama (Salyers dan Whitt 1994).

Rahayu (1999) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus merupakan

mikroba flora normal yang terdapat pada permukaan tubuh, rambut, mulut,

tenggorokan. S. aureus banyak mencemari pangan karena tindakan kurang

higienis dalam penanganan pangan.

(2) Bacillus cereus

Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang dan

berspora, secara normal berada dalam tanah, debu dan air. Bakteri ini

memproduksi berbagai toksin ekstraselular dan enzim, termasuk lecithinase,

protease, β-lactamase, toksin yang membunuh tikus, cereolycin dan hemolysin.

Bakteri ini tumbuh cepat pada makanan yang disimpan pada suhu 30-40 oC (Jay

2000). Spora bakteri ini resisten terhadap pengeringan dan mudah menyebar

dengan debu (Huss et al. 2003).

Bacillus cereus bersifat aerob, berbentuk batang, berspora, secara

normal ada dalam tanah, debu, dan air. Bakteri ini masuk golongan mesofili,

Page 36: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

19

pada suhu 4-5 oC pertumbuhannya tidak baik. Beberapa strain yang

memproduksi toksin dapat tumbuh pada suhu 4-6 oC. Bacillus cereus dapat

ditekan pertumbuhannya pada suhu rendah (chilling). Bakteri ini dapat

menyebabkan keracunan, toksinnya menyebabkan diare (Jay 2000).

2.5.2 Bakteri Gram negatif

Bakteri Gram negatif yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain

Escherichia coli dan Vibrio harveyi. Escherichia coli merupakan bakteri patogen

pada manusia, sedangkan Vibrio harveyi merupakan bakteri patogen yang sering

menyebabkan kematian pada udang.

Bakteri Gram negatif memiliki lapisan luar dinding sel yang mengandung

5-10% peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan

lipoprotein. Lipopolisakarida (LPS) tidak hanya teridiri dari fosfolipid, tetapi juga

mengandung polisakarida dan protein. Dinding sel bakteri Gram negatif

mengandung tiga polimer yang terletak di luar lapisan peptidoglikan, yaitu

lipoprotein, porin matriks dan lipopolisakarida. Lipopolisakarida dinding sel

bakteri Gram negatif terdiri atas suatu lipid kompleks yang disebut lipid A. Lipid

A terdiri atas suatu rantai satuan disakarida glukosamin yang dihubungkan

dengan ikatan pirofosfat, dimana merupakan tempat melekatnya sejumlah asam

lemak berantai panjang (Madigan et al. 2003).

(1) Vibrio harveyi

Vibrio merupakan bakteri patogen yang bisa hidup bebas di perairan laut

dan dapat menyebabkan infeksi pada manusia maupun hewan. Kontaminasi

bakteri ini bisa terjadi karena lingkungan maupun makanan yang berasal dari

perairan yang tercemar oleh bakteri tersebut. Dalsgaard (2001) menyatakan

bahwa ada lebih dari 12 Vibrio spp yang diketahui berhubungan dengan penyakit

pada manusia.

Berkaitan dengan bakteri patogen, Munn (2004) juga menyatakan bahwa

beberapa Vibrio sp menyebabkan kerugian di hatchery dan budidaya udang.

Kebanyakan yang menjadi masalah adalah Vibrio harveyi dan Vibrio penaecida.

Genus Vibrio merupakan agen penyebab vibriosis yang menyerang hewan laut

seperti ikan, udang dan kerang-kerangan (Sunaryanto dan Mariam 1986 diacu

dalam Suwanto et al. 1999). Spesies Vibrio yang berpendar pada umumnya

menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar.

Bakteri-bakteri tersebut adalah Vibrio harveyi dan Vibrio splendidus (Lavilla-

Page 37: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

20

Pitogo 1995) serta Vibrio albensis (Suwanto et al. 1999). Luminous vibriosis

telah dilaporkan menyebabkan mortalitas udang di Philipina (Lavilla-Pitogo 1995)

dan penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang menjadi masalah pada industri

udang tidak hanya di Philipina tetapi juga negara lain.

Hampir semua luminescent vibriosis mempunyai karakteristik fisiologi dan

morfologi yang serupa, yaitu: Gram negatif, berbentuk batang pendek,

memfermentasi glukosa, oksidase dan katalase positif, motil, memproduksi H2S

dan indole, mempunyai koloni berwarna hijau pada media TCBSA dengan suhu

28-37 oC (Naviner et al. 1999). Aktivitas dan pertumbuhan Vibrio harveyi secara

umum dipengaruhi oleh faktor abiotik. Faktor tersebut antara lain suhu, tekanan

osmose, cahaya, dan radiasi, keasaman, salinitas, kandungan bahan organik

dan zat bakteriostatik serta bakterisida (Nugraheny 2001).

(2) Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri yang umumnya menghuni

pencernaan hewan. Bentuknya pendek, batang Gram negatif dan

diklasifikasikan sebagai enteric bacteria. Bakteri patogen ini dapat menyebabkan

penyakit diare dan infeksi saluran urin. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)

memproduksi verotoxin, yaitu suatu enterotoksin yang juga diproduksi Shigella

dysenteriae, Shiga toksin. E. coli O157:H7, tumbuh dalam usus kecil dan

memproduksi verotoxin yang dapat menyebabkan diare berdarah dan gagal

ginjal. Pada umumnya infeksi terjadi pada orang yang mengkonsumsi daging

yang tidak dimasak atau kurang matang yang terkontaminasi bakteri ini,

biasanya daging cincang. Penyakit diare sering terjadi pada anak-anak di

negara berkembang. Metode yang bisa digunakan untuk mencegah infeksi

bakteri ini antara lain mengkonsumsi bahan pangan yang matang. Amerika

Serikat telah mengijinkan penggunaan iradiasi untuk daging cincang agar

tehindar dari infeksi bakteri ini (Madigan et al. 2003).

Tidak semua Escherichia coli bersifat patogen dan strain yang berbeda

menyebabkan perbedaan penyebab penyakit. Oleh karena itu membedakan

strain dan kelompok ini sangat penting, sehingga strain yang menyebabkan

penyakit perlu diidentifikasi. Untuk membedakan sistim klasifikasi serologi,

digunakan bentuk permukaan dari E. coli: O antigen dari LPS (O) dan flagella (H).

Antigen O identik dengan serogrup dan antigen H identik dengan serotype

(Salyers dan Whitt 1994).

Page 38: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

21

Escherichia coli merupakan penyebab acute watery diarrhea yang sering

menimpa pendatang baru atau orang asing di negara-negara tertentu.

Terjadinya strain EHEC dalam daging, susu, hasil ternak dan hasil laut cukup

tinggi. Strain EHEC masih mampu hidup selama 18 hari pada suhu 4 oC dalam

apel cincang dengan pH 3,91 – 5,11. Bakteri ini juga termasuk tidak tahan panas,

tidak tumbuh pada pada NaCl ≥ 8,5% (Jay 2000).

Page 39: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian yang terdiri dari beberapa tahap dilakukan pada tahun 2007-

2008. Tahap kultivasi Chaetoceros gracilis, pemanenan, pengeringan biomasa,

dan ekstraksi komponen aktif antibakteri, analisis aktivitas antibakteri, analisis

kerusakan sel bakteri, dan analisis kandungan kimia dlakukan di Laboratorium

Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan,

Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB, Bogor dan Laboratorium di

lingkungan IPB. Pengamatan morfologi sel bakteri yang menggunakan Scanning

Electron Microscopy (SEM) dilakukan di Laboratorium Bidang Biologi, LIPI

Cibinong, sedangkan analisis kandungan kimia seperti komposisi asam amino

menggunakan HPLC dan asam lemak menggunakan GC dilakukan di

Laboratorium Terpadu IPB.

3.2 Bahan dan Alat

(1) Bahan

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah mikroalga laut

jenis Chaetoceros gracilis yang merupakan koleksi dari Pusat Penelitian

Oseanografi, LIPI, Jakarta. Mikroalga ini terlebih dahulu disegarkan, selanjutnya

ditumbuhkan di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi

Hasil Perairan, FPIK-IPB.

Beberapa bahan lain yang digunakan pada penelitian ini meliputi bahan

untuk proses kultivasi mikroalga Chaetoceros gracilis, yaitu urea, tripple super

fosfat (TSP), silika, vitamin, trace element. Bahan untuk ekstraksi (metanol dan

heksan), bahan untuk karakterisasi komponen aktif yang meliputi Mueller Hinton

Agar (MHA), Nutrient Broth (NB), bahan untuk analisis kerusakan bakteri, serta

bahan-bahan untuk analisis komposisi kimia dan fitokimia biomasa Chaetoceros

gracilis.

Bakteri yang digunakan pada penelitian ini meliputi beberapa jenis, yaitu

bakteri Gram negatif yang meliputi Vibrio harveyi (diperoleh dari Balai Riset

Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor dan Departemen Budidaya Perikanan,

Institut Pertanian Bogor) dan Escherichia coli ATCC 25922 (diperoleh dari

Departemen Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor), serta bakteri Gram positif yang meliputi

Page 40: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

23

Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus cereus ATCC 13091

(diperoleh dari Departemen Kesehatan Masyarakat Veteriner, Institut Pertanian

Bogor). Bakteri-bakteri ini disegarkan dalam Nutrien Agar, sedangkan Vibrio

harveyi disegarkan dalam medium sea water complete (SWC)

(4) Peralatan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari peralatan untuk

kultivasi Chaetoceros gracilis (erlenmeyer, akuarium, pompa udara, lampu dan

sebagainya), peralatan untuk pemanenan biomasa (filter keramik, pompa, freeze

dryer dan sebagainya) serta alat untuk ekstraksi komponen aktif (vortex,

magnetic stirrer, evaporator dan sebagainya). Selain itu juga digunakan

peralatan untuk analisis aktivitas antibakteri (inkubator, clean bench, oven

sterilisasi, autoklaf, refrigeraor dan sebagainya), peralatan untuk analisis

kerusakan bakteri (sentrifus, refrigerator, freezer dan sebagainya), peralatan

untuk analisis morfologi sel bakteri (mikroskop elektron) serta beberapa

peralatan untuk analisis kandungan kimia (HPLC, GC, AAS, Gen Quant).

3.3 Tahapan Penelitian dan Analisis

Penelitian ini dibagi menjadi empat percobaan, yaitu:

(1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi

(2) Ekstraksi, uji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak

Chaetoceros gracilis

(3) Analisis kerusakan bakteri setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros

gracilis

(4) Analisis komposisi kimia dari biomasa Chaetoceros gracilis.

3.3.1 Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSia

Tahap 1 Kultivasi mikroalga C. gracilis

Mikroalga ditumbuhkan pada medium NPSi dalam flask yang dilengkapi

dengan aerasi terus menerus, lampu neon 20 Watt (2500 lux) yang dinyalakan

terus menerus dan dilakukan pada ruangan dengan suhu 25 -26 oC. Komposisi

medium NPSi disajikan pada Lampiran 1.

Tahap 2 Pemanenan Chaetoceros gracilis

Kultur Chaetoceros gracilis dipanen pada hari ke 7 untuk dipisahkan

biomasanya. Pemanenan dilakukan menggunakan filter keramik pori 0,3 µm.

Biomasa yang diperoleh selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze dryer.

Page 41: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

24

Produksi biomasa sel ditentukan dengan menghitung berat biomasa kering.

Analisis rendemen biomasa Chaetoceros gracilis dilakukan dengan menghitung

rendemen biomasa dengan cara membagi berat kering tersebut dengan volume

panen kultur.

Tahap 3 Penentuan kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis

Penghitungan sel dalam kultur dilakukan dengan cara melakukan

sampling setiap hari sampai kultur mencapai fase kematian. Penghitungan atau

analisis jumlah sel dilakukan dengan metode hitungan langsung menggunakan

hemasitometer dan mikroskop (Hadioetomo 1993). Kurva pertumbuhan

Chaetoceros gracilis ditentukan dengan melakukan penghitungan jumlah setiap

hari, selanjutnya dibuat kurva pertumbuhan.

3.3.2 Ekstraksi, uji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis

Tahap 1 Ekstraksi senyawa antibakteri dari Chaetoceros gracilis

Ekstraksi senyawa antibakteri dilakukan dengan menggunakan metanol.

Metode ekstraksi mengacu pada laporan Wang (1999), Naviner et al. (1999),dan

Nugraheny (2000), yang dimodifikasi. Tahap ekstraksi dilakukan dengan metode

maserasi, yaitu sampel direndam dalam pelarut yang digunakan. Pada

penelitian ini, metode maserasi dikombinasi dengan pengadukan (stirring)

menggunakan magnetic stirrer. Sebelum tahap maserasi, biomasa Chaetoceros

gracilis dipecah selnya dengan menggunakan glass beads dan vorteks Tujuan

pemecahan sel ini antara lain agar komponen aktif yang ada di dalam sel mudah

keluar sehingga diperoleh lebih banyak.

Tahap 2 Analisis aktivitas antibakteri dari ekstrak mikroalga Chaetoceros gracilis pada bakteri uji

Ekstrak dari Chaetoceros gracilis yang diperoleh diaplikasikan pada

beberapa jenis bakteri patogen Gram negatif (Escherichia coli ATCC 25922 dan

Vibrio harveyi ) serta bakteri Gram positif (Bacillus cereus ATCC 13091 dan

Staphylococcus aureus ATCC 25923)

1) Persiapan media pertumbuhan bakteri uji

Media Mueller Hinton Broth (MHB) disiapkan untuk inokulasi bakteri,

kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi masing-masing sebanyak 10 ml.

Media MHB diperlukan untuk menumbuhkan bakteri uji dalam media cair. Media

yang digunakan untuk uji aktivitas antibakteri adalah Mueller Hinton Agar (MHA)

Page 42: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

25

yang sebelumnya disiapkan dalam tabung reaksi sebanyak 20 ml. Kedua media

ini disterilkan sebelum digunakan.

2) Pengujian senyawa antibakteri

Pengujian antibakteri dilakukan menggunakan metode difusi agar, dimana

ekstrak diteteskan ke dalam paper disc, selanjutnya diletakkan ke dalam media

MHA beku yang telah mengandung bakteri. Kemudian diinkubasi selama 18-24

jam pada suhu 37 oC, selanjutnya diukur diameter hambatan yang terbentuk.

Adanya zona bening menunjukkan adanya hambatan terhadap pertumbuhan

bakteri yang diuji.

Tahap 3 Analisis potensi daya hambat relatif antibakteri terhadap berbagai antibiotik komersial

Potensi antibakteri dilakukan dengan membandingkan diameter

hambatan yang terbentuk di sekitar paper disc yang telah diberi ekstrak dengan

paper disc lain yang mengandung antibiotik sintetis komersial (kloramfenikol,

tetrasiklin, oksitetrasiklin, dan ampisilin) dengan konsentrasi sama. Masing-

masing uji dilakukan 2 kali ulangan, masing-masing duplo. Potensi dapat diukur

dengan rumus:

Diameter hambatan ekstrak

% Potensi daya hambat = x100 % Diameter hambatan antibiotik

Tahap 4 Analisis stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis

Stabilitas ekstrak dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari

ekstrak C. gracilis yang disimpan sampai 6 bulan pada suhu -18 – (-20 oC).

Ekstrak C. gracilis disimpan selama 1,2 3, dan 6 bulan. Ekstrak diuji aktivitas

antibakterinya menggunakan metode difusi agar, seperti pada uji aktivitas

antibakteri.

3.3.3 Analisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan bakteri

Kerusakan bakteri oleh ekstrak Chaetoceros gracilis dilakukan dengan

cara mengkontakkan bakteri dengan ekstrak Chaetoceros gracilis. Selanjutnya

dianalisis kebocoran sel bakteri, kerusakan dinding sel bakteri, dan kerusakan

morfologi sel bakteri.

Page 43: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

26

Tahap 1 Analisis kebocoran sel bakteri (Bunduki et al. 1995)

Pengamatan kebocoran sel dilakukan untuk mempelajari bagaimana

ekstrak mengganggu permeabilitas membran sel. Mekanisme perusakan

membran sel merupakan salah satu tanda tidak normalnya sel setelah ada

perlakuan ekstrak. Analisis kebocoran sel dilakukan dengan menggunakan

Spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm dan 260 nm. Panjang

gelombang 280 nm digunakan untuk mengukur protein sel yang bocor,

sedangkan panjang gelombang 260 nm untuk mengukur kadar asam nukleat

yang bocor.

Tahap 2 Analisis N-asetil-glukosamin (Reissig yang diacu oleh Bintang 1993)

Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan pengaruh

antibakteri terhadap dinding sel bakteri dengan cara mengukur kadar N-asetil-

glukosamin sebagai prazat mukopeptida pembentuk dinding sel.

Tahap 3 Analisis morfologi sel bakteri

Analisis morfologi sel dilakukan untuk mempelajari morfologi sel akibat

penggunaan ekstrak antibakteri. Morfologi sel yang dikontakkan dengan ekstrak

maupun tidak dikontakkan dengan ekstrak diamati menggunakan Scanning

Electron Microscopy (SEM).

3.3.4 Analisis kandungan senyawa kimia Chaetoceros gracilis

Tahap 1 Analisis kandungan protein, lemak dan karbohidrat

Analisis kandungan protein, lemak dan karbohidrat dilakukan pada

biomasa Chaetoceros gracilis menggunakan metode Lowrey et al. (1951), Blight

dan Dryer (1959), dan Kochert (1978) yang diacu dalam Chrismada (1993)

Tahap 2 Analisis komposisi asam amino

Analisis komposisi asam amino dilakukan pada biomasa Chaetoceros

gracilis dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography

(Shimadzu) Kondisi alat yang digunakan adalah sebagai berikut:

Kolom : Ultra techspere

Laju aliran fase mobil : 1 mL/menit

Detektor : Fluoresensi

Fase mobil : Bufer A (terdiri dari Na-asetat 0,025 M, Na-EDTA

0,05 %, metanol 9%) dan buffer B (terdiri dari metanol 95%)

Page 44: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

27

Tahap 3 Analisis komposisi lemak

Analisis komposisi asam lemak dilakukan pada biomasa Chaetoceros

gracilis dengan menggunakan Gas Chromatography (Shimadzu). Kondisi alat

yang digunakan adalah sebagai berikut:

Kolom : Cyanopropil methyl sil (capillary column)

Laju alir N2 : 20 mL/menit

Laju alir H2 : 30 mL/menit

Laju alir udara : 200 – 250 mL/menit

Suhu injektor : 220 oC

Suhu detector : 240 oC

Suhu kolom : 125 oC

Volume injek : 1 µL

Diameter kolom : 0,25 mm

Tahap 4 Analisis kandungan mineral

Analisis komposisi kandungan mineral dilakukan pada biomasa

Chaetoceros gracilis menggunakan Atomic Absorbtion Spectrophotometer

(Hitachi Z 5000).

Tahap 5 Analisis fitokimia dan asam nukleat

Analisis fitokimia dan kandungan asam nukleat dilakukan pada biomasa

Chaetoceros gracilis. Fitokimia yang dianalisis meliputi uji alkaloid, steroid,

flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, ninhidrin, Molisch. Kandungan asam

nukleat dianalisis menggunakan Gent Quant.

Page 45: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi

4.1 Pendahuluan

4.1.1 Latar belakang

Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati perairan yang luar

biasa besarnya. Sumberdaya yang tidak dapat secara langsung dikomersialkan

seperti mikroflora dan fauna dengan kandungan senyawa metabolit primer dan

sekundernya masih relatif kurang dijamah (Effendi 2002).

Chaetoceros adalah jenis mikroalga atau diatom laut yang mudah untuk

dibudidayakan, dimana suhu optimum dan salinitas optimum untuk Chaetoceros

sp masing-masing berkisar antara 25-30 oC dan antara 17-30 ppt (Isnansetyo

dan Kurniastuty 1995). Spesies ini dapat hidup pada suhu 10-20 oC dan dapat

dikultur masal pada air laut yang diperkaya dengan pupuk anorganik atau pupuk

kandang (BBLL 2002). Genus Chaetoceros memiliki lebih dari 160 spesies dan

merupakan genus terbesar dari Kelas Bacillariophyceae yang hidup di perairan

dingin sampai perairan panas. Chaetoceros memiliki setae dan digunakan untuk

membentuk filamen yang membuatnya terus melayang di permukaan air (Lee

2008).

Chaetoceros merupakan jenis mikroalga yang paling umum dijumpai di

perairan lepas pantai Indonesia, sering disebut golden-brown algae karena

kandungan pigmen kuning lebih banyak dari pigmen hijau sehingga bila padat

populasinya, perairan akan terlihat coklat muda (Arinardi et al. 1997). Wang

(1999) menyatakan bahwa sel secara individu dari Chaetoceros berbentuk kotak,

mempunyai dimensi lebar 12 sampai 14 mikron, dan panjang 15 sampai 17

mikron, dengan jarum di ujungnya. Sel ini bisa membentuk rantai sekitar 10

sampai 20 sel, ketika dikultur dengan aerasi kuat.

Tiga faktor lingkungan yang paling menentukan dalam kultivasi mikroalga

atau diatom, yaitu nutrien, suhu dan cahaya (Nontji 2006). Pada umumnya

mikroalga jenis diatom memerlukan mineral-mineral seperti Nitrogen (N),

Pospor (P), Carbon (C), Magnesium (Mg), Sulfur (S), dan Silika untuk

pertumbuhannya, selain vitamin dan trace element lainnya seperti cobalt, zink,

borron, mangan. Unsur kimia tersebut dapat diperoleh dari lingkungannya atau

ditambahkan ke dalam medium pertumbuhannya (Borowitzka 1988).

Page 46: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

29

Medium pertumbuhan yang biasa digunakan untuk kultivasi Chaetoceros

adalah medium Guillard. Namun harga medium ini cukup mahal, sehingga perlu

dicari alternatif medium yang lebih murah. Larastri (2006) menyatakan bahwa

Chaetoceros sp dan beberapa diatom lain dapat ditumbuhkan dalam medium

NPSi, namun belum dikembangkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian

Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan Indonesia menggunakan

medium pertumbuhan NPSi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan medium yang

sesuai untuk pertumbuhan Chaetoceros gracilis dengan harga murah, sehingga

pemanfaatannya lebih optimal.

4.1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan pola pertumbuhan

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dan menentukan

rendemen biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi.

4.2 Bahan dan Metode

4.2.1 Bahan dan alat

(1) Bahan baku

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini meliputi mikroalga laut

jenis Chaetoceros gracilis. Mikroalga laut sebagai bahan baku pada penelitian ini

dipanen pada umur 7 hari. Medium yang digunakan untuk menumbuhkan

Chaetoceros gracilis adalah NPSi, yang terdiri dari urea, triple super fosfat (TSP)

dan natrium silika yang dibeli di toko pertanian dan toko kimia. Selain itu juga

ditambahkan vitamin B12, biotin, dan vitamin B1 yang dibeli di apotek, serta trace

element seperti CuSO4 5H2O, ZnSO4 7H2O, NaMoO4 2H2O, (NH4)6Mo7O24 4H2O,

CoCl2 6H2O, MnCl2 4H2O.

(2) Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain erlenmeyer, flask,

lampu neon 20 Watt, pompa udara untuk aerasi, selang, refrigerator, mikro pipet

dan tipnya, mikroskop, haemositometer, filter keramik, sentrifus, pengering beku

(freeze dryer), dan peralatan gelas lain yang digunakan di laboratorium.

Page 47: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

30

4.2.2 Metode penelitian

(1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi

Chaetoceros gracilis ditumbuhkan dalam flask yang dilengkapi dengan

aerasi dan lampu 20 Watt (2500 lux) yang dilakukan terus menerus. Kultivasi

dilakukan pada ruangan yang dilengkapi dengan AC bersuhu sekitar 25-26 oC.

Hal ini mengacu pada Lailati (2007) yang melaporkan bahwa kultur Chaetoceros

gracilis pada ruangan yang dilengkapi AC dengan lama penyinaran 24 jam

menghasilkan rendemen biomasa sel lebih besar dibanding 12 jam, pada tempat

dan kondisi sama.

Komposisi medium NPSi yang digunakan mengikuti peneliti sebelumnya,

yaitu N:P:Si = 3:1:4 (Larastri 2006). Komposisi medium yang digunakan untuk

pertumbuhan Chaetoceros gracilis disajikan pada Lampiran 1. Kultur

Chaetoceros gracilis dibuat dengan cara menambahkan sebanyak 10 % stok

kultur ke dalam wadah yang telah berisi medium NPSi.

(2) Penentuan kurva pertumbuhan

Untuk mengetahui kurva pertumbuhan C. gracilis, maka dilakukan analisis

penghitungan jumlah sel dari awal kultivasi sampai akhir kultivasi (fase kematian)

dengan metode hitungan langsung menggunakan haemositometer dan

mikroskop.. Kurva pertumbuhan ini bertujuan untuk menentukan umur panen

Chaetoceros gracilis.

Pertumbuhan mikroalga juga dapat ditinjau dari rendemen biomasa, yaitu

berat biomasa kering per satuan volume atau per satuan luasan atau per satuan

berat (Becker 1994).

(3) Pemanenan Chaetoceros gracilis

Kultur yang telah masuk fase akhir logaritmik (umur 7 hari) dipanen,

selanjutnya dipisahkan biomasanya menggunakan metode filtrasi. Filter yang

digunakan adalah filter keramik yang memiliki pori 0,3 µm. Biomasa Chaetoceros

gracilis yang diperoleh kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer lalu

ditimbang untuk diketahui berat keringnya.

4.2.3 Prosedur analisis

(1) Penghitungan jumlah sel

Sel dalam kultur dihitung dengan cara melakukan sampling setiap hari

sampai kultur mencapai fase kematian. Penghitungan jumlah sel dilakukan

dengan metode hitungan langsung menggunakan haemositometer dan

Page 48: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

31

mikroskop perbesaran 400x (Hadioetomo 1993) dengan formulasi yang dipakai

dalam menghitung kepadatan sel adalah sebagai berikut:

ml10

mm1

mm0,1mm0,2mm1

1

2

NNN

3

3

21

Keterangan: N = kepadatan sel (sel/ml)

ΣN1 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-1).

ΣN2 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-2).

1 mm = panjang haemositometer dalam 80 kotak kecil.

0,2 mm = lebar hemasitometer dalam 80 kotak kecil.

0,1 mm = tinggi hemasitometer.

ml

mm3

3

10

1 = faktor konversi dari satuan mm3 ke satuan ml.

Hasil penghitungan jumlah sel kemudian dibuat log dan diplotkan pada

grafik hingga diperoleh kurva pertumbuhan dengan umur kultur (hari) sebagai

sumbu x dan log kepadatan sel (sel/ml) sebagai sumbu y.

(2) Penghitungan rendemen biomasa

Berat kering dari masing-masing kultur kemudian dilakukan penghitungan

terhadap rendemen biomasa dengan cara membagi berat kering tersebut

dengan volume panen. Perhitungan rendemen biomasa (Becker 1994) adalah

sebagai berikut:

Berat biomasa kering (gram) Rendemen biomasa =

Volume panen (liter)

4.3 Hasil dan Pembahasan

4.3.1 Pertumbuhan Chaetoceros gracilis

Pada penelitian ini pertumbuhan diamati berdasarkan jumlah sel dan

warna kultur. Pertumbuhan pada organisme uniseluler adalah pertambahan

jumlah sel yang berarti juga pertambahan jumlah organisme. Kultur Chaetoceros

gracilis umur 1 hari disajikan pada Gambar 4. Pada awal kultivasi, kultur masih

terlihat jernih. Setelah beberapa hari warna kultur menjadi coklat, dan lama

kelamaan kultur terlihat coklat tua yang menandakan sudah pekat. Selama

kultivasi diberi aerasi dengan tujuan untuk menghindari sedimentasi mikroalga,

meratakan sinar untuk pencahayaan dan nutrien serta mencegah stratifikasi

Page 49: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

32

suhu dan mempermudah pertukaran gas antara medium kultur dan udara karena

sumber karbon dalam bentuk CO2 digunakan untuk fotosintesis (Coulteau 1996).

Gambar 4 Kultur Chaetoceros gracilis umur 2 hari

Selama kultivasi terjadi perubahan warna kultur. Perubahan warna yang

terjadi dari awal sampai akhir kultivasi, yaitu dari warna coklat bening, coklat

agak keruh, coklat keruh lalu kembali lagi menjadi coklat agak keruh dan terakhir

menjadi coklat bening yang disertai dengan terbentuknya endapan berwarna

coklat di dasar flask. Perubahan warna tersebut merupakan indikator terjadinya

peningkatan kepadatan sel dari kepadatan sel rendah menjadi tinggi kemudian

turun menjadi rendah kembali secara bertahap yang akhirnya kultur mati.

Kepadatan sel Chaetoceros gracilis disajikan pada Lampiran 2. Kurva

pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan pada medium NPSi dan

Guillard dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki

beberapa fase dalam kurva pertumbuhan, yaitu fase eksponensial, fase stasioner,

dan fase kematian. Pada penelitian ini fase lag tidak terjadi, karena medium

yang digunakan pada kultur dan inokulum sama, selain itu inokulum kultur yang

digunakan berada dalam fase logaritmik juga. Sehingga inokulum tidak

mengalami masa adaptasi.

Page 50: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

33

Gambar 5 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi (a = fase pertumbuhan; b = fase stasioner; c = fase kematian)

Gambar 6 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium Guilllard (a = fase pertumbuhan b = fase stasioner; c = fase kematian)

(Lailati 2007)

Fase pertumbuhan ditandai dengan meningkatnya jumlah sel selama

kultivasi, dilanjutkan dengan penurunan jumlah sel sampai mencapai stasioner.

Fase pertumbuhan dicapai pada kultur berumur 1 hari hingga 7 hari, dengan

kepadatan sel antara 2,1 x 105 sampai 2,4 x 106 sel/ml, lalu mengalami

penurunan. Adanya pertumbuhan, selain ditandai dengan meningkatnya jumlah

sel, juga ditandai dengan perubahan warna kultur dimana pada fase ini kultur

berwarna coklat keruh dan terlihat pekat. Pendeknya fase pada kultur diatom ini

diduga karena kultivasi dengan penyinaran 24 jam menyebabkan sel menjadi

sulit membentuk auksospora karena terjadi pembelahan terus-menerus. Sel

diatom semakin lama akan semakin kecil dari ukuran induknya. Proses

pembelahan sel menghasilkan sel anakan yang lebih kecil dari induknya.

Suksesi pembelahan aseksual menghasilkan sel yang semakin lama berukuran

lebih kecil (Nontji 2006).

5.0

5.5

6.0

6.5

0 5 10 15 20 25 30

Log

jum

lah

se

l (se

l/m

l)

Waktu (hari)

5.0

5.5

6.0

6.5

7.0

0 5 10 15 20 25 30

Log

jum

lah

se

l (se

l/m

l)

Waktu (hari)

Page 51: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

34

Fase pertumbuhan terjadi pada umur 1 hari hingga 7 hari. Chaetoceros

gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard mengalami penurunan

pertumbuhan setelah hari ke-8. Kondisi ini juga dialami oleh Chaetoceros

gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. Hal ini menunjukkan bahwa

nutrien utama seperti N, P, dan Si untuk pertumbuhan Chaetoceros gracilis dapat

dipenuhi dengan menggunakan medium NPSi.

Mikroalga dalam metabolismenya menghasilkan metabolit primer dan

metabolit sekunder. Metabolit primer (intrasesuler) dihasilkan selama fase

pertumbuhan. Beberapa makromolekul yang digolongkan ke dalam metabolit

primer adalah karbohidrat, protein dan lemak.

Pada penelitian ini (Chaetoceros gracilis ditumbuhkan dalam medium

NPSi) fase stasioner dicapai setelah kultur berumur 8 hari sampai 25 hari,

dengan kepadatan tertinggi sebesar 2,3x106 sel/ml. Jumlah sel cenderung tidak

meningkat, artinya tidak ada penambahan jumlah sel. Fase stasioner merupakan

fase pertumbuhan yang konstan karena nutrien semakin berkurang dan populasi

semakin padat. Menurut Kungvankij (1988) dan Richmond (2004) populasi sel

pada akhir fase logaritimik cenderung menurun dan pada fase stasioner kurang

lebih konstan, dimana jumlah sel yang mati sama dengan yang membelah.

Pada fase ini pertambahan jumlah sel akibat pembelahan sel seimbang dengan

pengurangan jumlah sel akibat kematian (Becker 1994). Kultur pada fase ini

terlihat berwarna coklat pekat. Warna coklat pada kultur ini merupakan warna

pigmen yang dimiliki oleh Chaetoceros gracilis. Pada fase stasioner dihasilkan

metabolit sekunder (ekstraseluler) yang berupa komponen aktif antara lain

senyawa antibakteri.

Setelah kultur berumur 25 hari, jumlah sel menurun yang menandakan

terjadinya fase kematian. Jumlah sel pada kultur umur 28 hari sebesar 6,9 x105

sel/ml. Fase kematian selain ditunjukkan dengan menurunnya jumlah sel, warna

kultur mulai memudar dan terbentuk suatu endapan di dalam kultur. Sel

mikroalga yang telah mati akan mengendap di bawah, dan kultur menjadi bening.

Pada akhir kultivasi, sel Chaetoceros gracilis jumlahnya lebih sedikit. Pada fase

kematian, jumlah sel yang mati lebih besar dari jumlah sel yang hidup. Sel yang

masih hidup tidak lagi memiliki kemampuan untuk tumbuh, tetapi hanya mampu

bertahan hidup. Sel mengalami lisis karena tidak lagi mendapat suplai nutrien.

Hal ini menunjukkan bahwa nutrien pada kultur mikroalga sangat diperlukan

Page 52: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

35

karena tanpa penambahan nutrien mengakibatkan hasil pertumbuhan menjadi

sangat rendah (Harrison dan Berges 2005).

Gambar 5 dan 6 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan Chaetoceros

gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi sama dengan yang ditumbuhkan

dalam medium Guillard (medium yang umum digunakan untuk diatom termasuk

Chaetoceros). Keduanya tidak mengalami fase adaptasi.

Kepadatan sel pada kultur yang ditumbuhkan dalam medium Guillard

lebih besar dibandingkan dalam medium NPSi (Gambar 5 dan 6). Hal ini diduga

karena nutrien dalam medium Guillard lebih lengkap dibandingkan medium NPSi.

Pada medium Guillard selain sumber N, P dan Si juga dilengkapi dengan

FeCl3.6H2O, EDTA. Unsur N diperoleh dari urea, unsur P diperoleh dari TSP

dan Si diperoleh dari Na metasilika. Unsur Si dalam kultivasi mikroalga jenis

diatom merupakan unsur utama selain N dan P. Isnansetyo dan Kurniastuty

(1995) menyatakan bahwa silika sangat penting untuk proses perkembangbiakan

diatom karena silika berperan dalam pembentukan sel, pembelahan sel serta

dibutuhkan dalam proses metabolisme.

Faktor intrinsik dan ekstrinsik mempengaruhi pertumbuhan mikroalga.

Tiga faktor lingkungan yang paling menentukan dalam kultivasi mikroalga atau

diatom, yaitu nutrien, temperatur dan cahaya (Nontji 2006). Selain itu,

pertumbuhan suatu jenis fitoplankton atau mikroalga erat kaitannya dengan

ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh faktor-faktor

lingkungan, antara lain cahaya, suhu, pH, kandungan CO2 bebas dan salinitas

(BBLL 2002). Pada penelitian ini unsur hara dipenuhi dengan pemberian nutrien

yang terdiri dari urea, TSP, natrium silika serta vitamin dan trace element. Suhu

lingkungan yang digunakan untuk kultur adalah 25-26 oC dan salinitas air laut

sebagai mediumnya adalah 28-30 ppt. Hal ini sesuai dengan Isnansetyo dan

Kurniastuty (1995) yang menyatakan bahwa suhu optimum dan salinitas

optimum untuk Chaetoceros sp masing-masing berkisar antara 25-30 oC dan

antara 17-30 ppt.

4.3.2 Pemanenan biomasa Chaetoceros gracilis

Pada penelitian ini diatom Chaetoceros gracilis dipanen pada umur kultur

7 hari dengan cara mengumpulkan kultur ke dalam satu wadah (flash) untuk

dilakukan filtrasi. Filtrasi dilakukan untuk memisahkan biomasa sel dari cairan

mediumnya. Pemanenen dilakukan pada umur 7 hari dimana kultur berada pada

fase akhir logaritmik. Produk yang diambil dari Chaetoceros gracilis adalah

Page 53: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

36

komponen aktif yang bersifat antibakteri. Waktu pemanenan ini mengacu pada

hasil penelitian Trianti (1998) dan Pribadi (1998), yang menunjukkan bahwa

senyawa antibakteri dari mikroalga dihasilkan pada fase logaritmik akhir dan

stasioner.

Pada penelitian ini proses pemisahan biomasa dari kultur dilakukan

menggunakan metode filtrasi. Bila pemisahan menggunakan sentrifus, akan

memerlukan waktu lebih lama, karena kapasitas sentrifus hanya 2 liter sekali

running. Proses pemisahan biomasa dari kultur sebanyak 24 liter dengan

sentrifugasi memerlukan waktu sekitar 6 jam, sedangkan bila menggunakan

filtrasi hanya sekitar 2-3 jam. Selain itu penggunaan sentrifus lebih mahal

dibanding filtrasi. Pemanenan biomasa atau pemisahan biomas dari kultur

dengan filtrasi dapat dilakukan untuk kultur dalam jumlah berapapun. Akan

tetapi kelemahan penggunaan filtrasi adalah tidak semua jenis sel mikroalga

dapat dipisahkan dengan filter ini karena ukurannya berbeda-beda, oleh karena

itu bila akan menggunakan filter ini pori-pori keramik filternya harus disesuaikan

dengan ukuran sel yang akan dipisahkan. Ukuran Chaetoceros gracilis yang

ditumbuhkan dalam medium NPSi pada penelitian ini adalah panjang ±8,8

mikron dan lebar ± 5 mikron, sehingga dapat menggunakan filter keramik yang

mempunyai ukuran pori 0,3 mikron.

Pada umumnya mikroalga jenis diatom memerlukan mineral-mineral

seperti Nitrogen (N), Pospor (P), Carbon (C), Si, Magnesium (Mg), Sulfur (S)

untuk pertumbuhannya, selain vitamin dan trace element lainnya seperti cobalt,

zink, borron, mangan. Unsur kimia tersebut dapat diperoleh dari lingkungannya

atau ditambahkan ke dalam medium pertumbuhannya. Pada penelitian ini unsur

hara dipenuhi dengan penambahan urea sebagai sumber N , TSP sebagai

sumber P dan natrium silika sebagai sumber Si, vitamin B1, biotin dan B12, serta

trace element yang meliputi CuSO4 5H2O, ZnSO4 7H2O, NaMoO4 2H2O,

(NH4)6Mo7O24 4H2O, CoCl2 6H2O, MnCl2 4H2O.

Pengeringan Chaetoceros gracilis dilakukan menggunakan freeze dryer

dengan tujuan agar sel menjadi kering sehingga permukaan sel mikroalga

menjadi lebih besar dan mempermudah proses penetrasian pelarut, sehingga

proses penarikan komponen aktif lebih mudah terjadi. Pengeringan dengan

menggunakan freeze dryer menguntungkan karena tidak merusak komponen

aktif yang dikandung bahan. Beberapa jenis komponen aktif merupakan bahan

yang mudah rusak oleh pemanasan, sehingga proses pemisahannya tidak boleh

Page 54: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

37

dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi. Biomasa sel kering yang dihasilkan

berwarna hijau kecoklatan, karena mengandung klorofil dan karoten. Hal ini

sesuai dengan laporan Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) yang menyatakan

bahwa pigmen kuning merupakan pigmen yang mendominasi sel Chaetoceros

dan juga mengandung pigmen fukosantin (Round et al. 1996). Chaetoceros

berwarna kuning kecoklatan karena kandungan pigmen karotennya (Borowitzka

1988).

Biomasa Chaetoceros gracilis yang diperoleh disajikan pada Gambar 7.

Rendemen biomasa Chaetoceros gracilis (0,16 g/L) ini rendah. Hal ini diduga

karena selama kultivasi mikroalga tidak dilakukan penambahan CO2. Sumber

CO2 yang digunakan untuk pertumbuhan mikroalga pada penelitian ini hanya

berasal dari udara melalui aerasi. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam

medium Guillard juga menghasilkan rendemen biomasa 0,16 g/L. Artinya

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi menghasilkan

rendemen yang sama dengan yang ditumbuhkan dalam medium Guillard,

dimana selama kultivasi keduanya tidak ditambahkan CO2. Hal ini didukung oleh

hasil penelitian Pacheco-Vega (2009) yang menunjukkan bahwa kepadatan dari

Chaetoceros muelleri (Limmermann Grown) yang ditumbuhkan dalam medium

pupuk cair yang mengandung urea, NH4NO4, HPO4 dan silika mempunyai

kepadatan sel yang tidak berbeda nyata dengan yang ditumbuhkan dalam

medium f/2. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa untuk menumbuhkan

Chaetoceros dapat digunakan medium dengan sumber N yang berbeda-beda.

Gambar 7 Biomasa Chaetoceros gracilis kering

Page 55: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

38

4.4 Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini antara

lain :

(1) Chaetoceros gracilis yang diambil dari perairan Indonesia dapat ditumbuhkan

dalam medium NPSi.

(2) Pola atau fase pertumbuhan Chaetoceros gracilis pada penelitian ini

meliputi fase logaritmik, fase stasioner dan fase kematian.

(3) Rendemen biomasa dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam

medium NPSi dan dipanen pada umur 7 hari sebesar 0,16 g/L.

Page 56: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

5 AKTIVITAS DAN STABILITAS SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis

5.1 Pendahuluan

5.1.1 Latar belakang

Produk alam dari laut dapat digunakan untuk berbagai tujuan tergantung

struktur kimia dan karakteristiknya, antara lain untuk bahan nutrasetika,

farmasetika dan berbagai bahan tambahan lainnya (Nontji 1999). Senyawa-

senyawa yang digunakan untuk farmasetika dan nutrasetika biasanya memiliki

aktifitas biologis.

Produk alam laut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) sumber

biomolekul yang mudah diperoleh; (2) senyawa yang memiliki aktivitas biologis

yang meliputi : 1) senyawa antimikroba; 2) senyawa aktif fisiologikal; 3) senyawa

aktif farmasetika; 4) senyawa sitotoksik dan antitumor; (3) toksin laut. Beberapa

jenis organisme laut yang potensial sebagai sumber obat antara lain makroalga,

mikroalga, sponge, soft coral maupun ikan (Kobayashi dan Satari 1999).

Mikroalga memiliki substansi organik yang berlimpah di dalam selnya

yang disebut dengan metabolit intraseluler. Selain itu juga menghasilkan produk

yang disekresikan ke medium tumbuhnya yang disebut metabolit ekstraseluler.

Substansi ekstraseluler dapat dihasilkan dari proses sekresi sel yang sehat

maupun dari sel yang lisis atau mati (Stewart 1974).

Beberapa mikroalga (diatom) yang juga mempunyai komponen aktif

antibakterial antara lain Skeletonema costatum, Thalassiosira spp, Bacteriastrum

elegans, Chaetoceros socialis, C. lauderi. Komponen yang mempunyai aktivitas

antibakterial tersebut tergolong asam lemak (Metting dan Pyne 1986). Ekstrak

kasar intraselular Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard

dan diekstraksi menggunakan pelarut metanol mempunyai aktivitas

penghambatan terhadap bakteri B. subtilis, E. coli dan Pseudomonas sp (Pribadi

1998). Setyaningsih et al. (2006) melaporkan bahwa Chaetoceros gracilis yang

ditumbuhkan dalam medium Guillard menghasilkan ekstrak kasar (crude extract)

yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif Staphylococcus

aureus dan bakteri Gram negatif Vibrio harveyi.

Medium pertumbuhan untuk Chaetoceros gracilis pada umumnya

Guillard, namun mikroalga ini juga dapat tumbuh dalam medium pupuk NPSi.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa Chaetoceros gracilis yang

Page 57: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

40

ditumbuhkan dalam medium NPSi tanpa penambahan CO2 menghasilkan berat

kering 0,16 g/L.

Ekstrak Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard

mempunyai aktivitas antibakteri, namun ekstrak Chaetoceros gracilis yang

ditumbuhkan dalam medium NPSi belum diketahui aktivitas dan stabilitas

komponen aktifnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas

antibakteri, potensi aktivitasnya dibandingkan antibiotik komersial, pengaruh

penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis.

5.1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis aktivitas senyawa

antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis dibandingkan antibiotik komersial; (2)

Menganalisis stabilitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis yang

disimpan pada suhu rendah.

5.2 Bahan dan Metode

5.2.1 Bahan dan alat

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah mikroalga laut

jenis Chaetoceros gracilis yang merupakan koleksi dari Pusat Penelitian

Oseanografi, LIPI, Jakarta. Setelah Chaetoceros gracilis disegarkan,

selanjutnya dikultivasi di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen

Teknologi Hasil Perairan. Mikroalga sebagai bahan baku pada penelitian ini

dipanen pada akhir fase logaritmik. Bakteri uji yang digunakan meliputi bakteri

Gram positif (Bacillus cereus ATCC 13091, Staphylococcus aureus ATCC

25923), bakteri Gram negatif (Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi).

Bahan kimia yang digunakan antara lain media untuk pertumbuhan Chaetoceros

gracilis, metanol, media Nutrien Agar, Mueller Hinton Agar, Nutrien Broth,

antibiotik komersial seperti kloramfenikol, tetrasiklin, oksitetrasiklin, ampisilin.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat untuk

kultivasi Chaetoceros gracilis seperti flask atau akuarium, pompa aerator, lampu,

luxmeter, dan sebagainya. Alat untuk panen biomasa terdiri dari filter keramik,

pompa filter. Peralatan untuk ekstraksi antara lain magnetic stirrer, rotary vacuum

evaporator, kertas cakram (paper disc), glass beads, vorteks, dan lain-lain. Alat

untuk uji aktivitas antibakteri antara lain clean bench, refrigerator, cawan petri,

mikro pipet, serta alat gelas lain yang digunakan di laboratorium.

Page 58: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

41

5.2.2 Metode penelitian

Tahap penelitian ini untuk mengetahui aktivitas dan stabilitas ekstrak

Chaetoceros gracilis meliputi: (1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium

NPSi dan pemanenan biomasanya; (2) Ekstraksi dan aktivitas antibakteri dari

ekstrak Chaetoceros gracilis; (3) Analisis potensi daya hambat antibakteri dari

ekstrak Chaetoceros gracilis dibandingkan antibiotik komersial; (4) Analisis

stabilitas ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan.

(1) Kultivasi dan pemanenan Chaetoceros gracilis

Chaetoceros gracilis dikultivasi dalam flask atau akuarium yang berisi

medium NPSi, yang dilengkapi dengan aerasi. Sebagai sumber cahaya

digunakan lampu neon 20 Watt (2500 lux) yang diberikan secara terus menerus.

Biomasa dipanen pada akhir fase logaritmik dengan cara filtrasi, selanjutnya

biomasa tersebut dikeringkan.

(2) Ekstraksi antibakteri dari Chaetoceros gracilis

Metode ekstraksi senyawa antibakteri dari Chaetoceros merupakan

modifikasi dari metode yang dilakukan Naviner et al. (1999) dan Wang (1999).

Biomas sel Chaetoceros gracilis yang telah dikeringkan, dipecah selnya

menggunakan glass bead dan vorteks. Tujuan pemecahan sel ini antara lain

agar komponen aktif yang ada di dalam sel mudah keluar sehingga diperoleh

ekstrak intraseluler. Kemudian diekstraksi dengan pelarut metanol menggunakan

metode maserasi yang dikombinasi dengan pengadukan, lalu dilakukan

penyaringan menggunakan kertas saring Whatman 0,42 µm untuk memperoleh

filtrat. Filtrat dievaporasi menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 35-

37 oC. Hasil ekstraksi yang diperoleh ditimbang dan dianggap sebagai ekstrak

kasar (crude extracts) yang mengandung komponen aktif. Ekstraksi

menggunakan heksan juga dilakukan dengan metode yang sama. Perhitungan

nilai rendemen ekstrak adalah sebagai berikut:

Rendemen %100B

A

Keterangan:

A = Berat ekstrak intraseluler (gram) B = Berat biomassa (gram)

Page 59: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

42

5.2.3 Prosedur analisis

(1) Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis pada

Ekstrak yang diperoleh diaplikasikan pada beberapa jenis bakteri patogen

Gram negatif Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi, serta bakteri

Gram positif Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus cereus ATCC

13091. Metode analisis yang digunakan adalah metode difusi agar.

1) Persiapan media pertumbuhan bakteri uji

- Media Nutrien Broth (NB) yang sudah disiapkan dimasukkan ke dalam

tabung reaksi sebanyak 9 ml. Media NB diperlukan untuk menumbuhkan

bakteri uji dalam media cair

- Media Mueller Hinton Agar yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam

tabung reaksi masing-masing sebanyak 15 ml. Media ini digunakan untuk

menumbuhkan bakteri pada saat uji aktivitas antibakteri

- Media Nutrien Broth dan Mueller Hinton Agar selanjutnya disterilisasi ke

dalam autoklaf selama 15 menit, pada suhu 121 oC

- Bakteri-bakteri uji terlebih dahulu disegarkan dengan cara

menginokulasikan ke dalam media NB steril dan diinkubasi pada suhu 37

oC (B. cereus, S. aureus, E. coli) dan 30 oC (V. harveyi). Setelah 24 jam

dilihat hasilnya, yaitu dengan mengamati kekeruhan pada media yang

digunakan. Adanya kekeruhan menunjukkan bahwa bakteri yang

diinokulasikan mengalami pertumbuhan. Bakteri yang memiliki OD > 0,5 ini

digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri.

- Sterilisasi juga dilakukan pada sejumlah cawan petri yang diperlukan untuk

menumbuhkan bakteri, pada tip mikro pipet, paper disc, erlenmeyer, dan

botol sampel.

3) Analisis senyawa antibakteri

- Bakteri uji sebanyak 20-50 µl dari suspensi dengan OD lebih besar dari 0.5

dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 15 ml media Mueller

Hinton Agar steril yang belum beku (suhu sekitar 45oC). Kemudian

dihomogenkan dengan menggunakan vortex, selanjutnya dituangkan ke

dalam cawan petri. Tahap ini dilakukan terhadap semua bakteri uji yang

digunakan

- Media pada cawan petri tersebut didiamkan di dalam clean bench selama

sekitar 15 menit hingga membeku.

Page 60: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

43

- Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar, yaitu

menggunakan kertas cakram (paper disc) berukuran 6 mm. Kertas cakram

steril yang telah disiapkan ditetesi sebanyak 10 µl ekstrak mikroalga yang

mengandung senyawa antibakteri. Selanjutnya diletakkan pada cawan

petri yang berisi Mueller Hinton Agar yang telah memadat

- Cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam refrigerator selama 30 menit

dengan maksud agar difusi ekstrak antibakteri dapat berjalan dengan baik,

kemudian diinkubasi ke dalam inkubator pada suhu 37 oC untuk E. coli, S.

aureus, B. cereus dan 30 oC untuk V. harveyi dengan posisi terbalik

selama 18 jam.

- Pengamatan dilakukan dengan mengukur zona bening di sekitar kertas

cakram (paper disc). Daya hambat ekstrak antibakteri dari mikroalga

ditentukan dengan cara mengurangi diameter zona bening yang terbentuk

di sekitar kertas cakram dengan diameter kertas cakram yang mengandung

ekstrak.

Suatu zat aktif dikatakan memiliki potensi yang tinggi sebagai antibakteri,

jika pada konsentrasi rendah mempunyai daya hambat yang besar. Ketentuan

kekuatan antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti

sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan 5-10 mm

(sedang), daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah) (Davis dan Stout 1971).

(2) Analisis potensi daya hambat relatif antibakteri terhadap berbagai antibiotik komersial

Sebelum dilakukan penentuan potensi daya hambat ekstrak C. gracilis,

dilakukan uji aktivitas penghambatan dari ekstrak dan beberapa antibiotik

komersial terhadap bakteri uji. Potensi antibakteri dilakukan dengan

membandingkan diameter hambatan yang terbentuk di sekitar paper disc yang

telah diberi ekstrak dengan paper disc lain yang mengandung antibiotik

komersial (kloramfenikol, tetrasiklin, oksitetrasiklin, ampisilin dengan konsentrasi

300µg/disk). Potensi daya hambat dapat diukur dengan rumus sebagai berikut :

Diameter hambatan ekstrak % Potensi daya hambat = x 100 % Diameter hambatan antibiotik

Page 61: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

44

(3) Analisis stabilitas ekstrak antibakteri

Stabilitas ekstrak dilakukan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan

terhadap kestabilan ekstrak Chaetoceros gracilis yang diperoleh. Ekstrak C.

gracilis disimpan selama 1, 2 3, dan 6 bulan, selanjutnya diuji aktivitas

antibakterinya menggunakan metode difusi agar, seperti pada uji aktivitas

antibakteri.

5.3 Hasil dan Pembahasan

5.3.1 Ekstrak antibakteri dari C. gracilis

Ekstraksi senyawa antibakteri dilakukan dengan cara mengekstrak

senyawa aktif yang terkandung dalam sel Chaetoceros gracilis. Ekstraksi

merupakan suatu proses yang secara selektif memisahkan beberapa zat yang

diinginkan dari campurannya dengan bantuan pelarut. Salah satu faktor penting

dan menentukan keberhasilan ekstraksi menggunakan pelarut adalah pemilihan

jenis pelarut yang digunakan. Pada penelitian ini ekstraksi dilakukan dengan

menggunakan pelarut organik, yaitu metanol dan heksan yang digunakan secara

terpisah. Metode ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah sebagai berikut:

bahan yang akan diekstrak, kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu,

kemudian diikuti dengan melakukan pemisahan bahan yang telah diekstrak

(Danesi 1992).

Tahap awal ekstraksi untuk biomas sel Chaetoceros gracilis pada

penelitian ini adalah pemecahan sel (cell disruption). Pemecahan sel dilakukan

menggunakan glass bead dan vorteks. Glass bead mampu memecah sel seperti

cyanobacteria, yeast, spora, dan mikroalga. Efektivitas glass bead sebagai

pemecah sel tergantung dari ukuran glass bead dan lama pemecahan sel. Sel

bakteri akan pecah dengan lebih efektif menggunakan glass bead berukuran

0,1 mm, sedangkan glass bead 0,5 mm efektif untuk sel mikroalga. Jumlah glass

bead minimal 50% dari total volume larutan biomasa yang digunakan (Grima et

al. 2004). Secara umum semakin besar perbandingan glass bead dan volume

pelarut maka proses pemecahan selnya akan semakin cepat (Goldberg 2008).

Proses pemecahan sel akan mempermudah pemecahan struktur dinding sel

tersebut sehingga komponen dalam sel akan keluar dan terikat dalam pelarut

yang digunakan.

Pelarut yang digunakan pada tahap maserasi ini adalah metanol dan

heksan secara terpisah. Pada akhir tahap ekstraksi dihasilkan rata-rata

Page 62: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

45

rendemen ekstrak kasar metanol sebesar 34,52%, dan ekstrak kasar heksan

sebesar 16,34%. Rendemen ekstrak metanol lebih besar dibandingkan ekstrak

heksan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1987) bahwa metanol

merupakan pelarut yang baik untuk semua tujuan ekstraksi awal. Metanol

mampu mengekstraksi senyawa organik, sebagian lemak serta tanin (Heat dan

Reineccius 1986). Metanol termasuk ke dalam golongan alkohol yang

mempunyai berat molekul rendah.

Proses ekstraksi pada penelitian ini dilakukan dengan kombinasi

pemecahan sel dan pengadukan (stirring) yang menggunakan magnetic stirrer.

Proses stirring bertujuan untuk merusak dinding sel mikroalga, sehingga

komponen yang masih terdapat dalam sel dapat keluar dan memperbesar

kemungkinan tumbukan antara partikel, sehingga komponen yang telah keluar

dapat terikat serta larut dalam pelarut dan memperbesar pengikatan komponen

dengan pelarut yang digunakan. Ekstrak Chaetoceros gracilis disajikan pada

Gambar 8. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang diperoleh berwarna coklat, lengket.

Hal ini sesuai dengan kandungan kimia Chaetoceros gracilis, dimana mikroalga

ini mengandung asam lemak.

Gambar 8 Ekstrak Chaetoceros gracilis

5.3.2 Aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis

Senyawa antibakteri adalah senyawa yang dapat membunuh atau

menghambat pertumbuhan bakteri. Bahan kimia yang dapat membunuh

organisme disebut sidal, misalnya bakterisidal, fungisidal dan algasidal. Bahan

bakterisidal merupakan bahan kimia yang memiliki aktivitas membunuh bakteri,

sedangkan bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan organisme tetapi

tidak membunuh organisme tersebut disebut statik, misalnya bakteriostatik,

fungistatik, algasitik (Madigan et al. 2003). Adanya aktivitas bakterisida dari

ekstrak mikroalga ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening (zona

hambatan) pada sekitar paper disc. Hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak

Chaetoceros gracilis disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 9. Diameter zona

Page 63: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

46

hambat ekstrak metanol dan ekstrak heksan selengkapnya disajikan pada

Lampiran 3 dan 4.

Tabel 2 Diameter zona hambat bakteri dari ekstrak C. gracilis

Sampel

Vibrio harveyi

E. coli ATCC 25922

S. aureus ATCC 25923

B. cereus ATCC 13091

Diameter zona hambat (mm)

Ekstrak metanol 6±0,4 4±0,5 6±0,6 7±0,8

Ekstrak heksan 7±0,4 4±0,5 6±0,5 8±0,5

Kloramfenikol 35±0,7 35±0,7 31±0,7 35±0,7

Metanol 0 0 0 0

Heksan 0 0 0 0

Berdasarkan Tabel 2 dapat dikatakan bahwa C. gracilis yang

ditumbuhkan dalam medium NPSi menghasilkan senyawa aktif yang bersifat

antibakterial, yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap Staphylococcus

aureus ATCC 25923, Vibrio harveyi, Escherichia coli ATCC 25922, Bacillus

cereus ATCC 13091 (Gambar 9).

Diameter zona hambat yang dihasilkan dari ekstrak-heksan relatif lebih

besar dibanding ekstrak-metanol. Hal ini sesuai dengan sifat heksan yang non

polar yang mana menarik senyawa non polar seperti asam lemak, sehingga

aktivitas ekstrak heksan (crude extracts) yang dihasilkan lebih besar. Pelarut

metanol dan heksan tidak menghambat pertumbuhan bakteri uji, hal ini

ditunjukkan dengan hasil uji aktivitas antibakteri negatif atau tidak ada zona

hambat. Diameter zona hambat dari kloramfenikol lebih besar daripada ekstrak

yang diperoleh dari ekstraksi, karena kloramfenikol memiliki tingkat kemurnian

yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak Chaetoceros gracilis, yang mana ekstrak

Chaetoceros gracilis masih merupakan ekstrak kasar (crude extract).

Page 64: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

47

Bacillus cereus Staphylococcus aureus

Vibrio harveyi Escherichia coli

Gambar 9 Zona hambat ekstrak Chaetoceros gracilis pada bakteri uji (EH = ekstrak heksan; EM = ekstrak metanol; K = kloramfenikol; M =metanol; H = heksan)

Pada penelitian ini adanya aktivitas antibakteri pada Chaetoceros gracilis

diduga karena kandungan asam lemaknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Wang (1999) serta Metting dan Pyne (1986) bahwa komponen aktif dari

Chaetoceros adalah asam lemak. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

aktivitas antibakteri dari ekstrak heksan lebih besar daripada ekstrak metanol.

Heksan merupakan pelarut yang baik untuk melarutkan lemak dibandingkan

metanol, diduga asam lemak yang terlarut dalam heksan lebih banyak

dibandingkan dalam metanol, sehingga aktivitasnya lebih besar.

Penelitian antibakteri dari Chaetoceros juga telah dilakukan oleh Wang

(1999), yang mana melaporkan bahwa budidaya kekerangan dan moluska yang

menggunakan Chaetoceros sebagai pakannya, memberikan efek antibiotik alami

yang dapat membebaskan hewan air tersebut dari bakteri patogen Vibrio

sehingga sea food ini aman untuk dikonsumsi. Selain itu ekstrak alga laut

Chaetoceros menunjukkan aktivitas antibakteri yang dapat menghambat

K

EH

M H

EM

K

EH

M H

EM

K

EH

M H

EM

K

EH

M H

EM

Page 65: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

48

pertumbuhan bakteri seperti Methicilline Resistant Staphylococcus aureus

(MRSA), Vancomycin Resistant Enterococcus (VRE), Vibrio vulnificus, Vibrio

cholerae.

5.3.3 Potensi relatif antibakteri dari ekstrak C. gracilis dibandingkan dengan antibiotik komersial

Ekstrak C. gracilis yang diperoleh dibandingkan potensi daya hambatnya

terhadap beberapa jenis antibiotik komersial seperti kloramfenikol, ampisilin,

tetrasiklin dan oksitetrasiklin. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana

ekstrak Chaetoceros gracilis memiliki potensi daya hambat terhadap bakteri uji

bila dibandingkan dengan antibiotik komersial tersebut.

Hasil pengamatan aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis

dan antibiotik komersial terhadap bakteri uji dapat dilihat Gambar 10, sedangkan

diameter zona hambat dan potensi relatif selengkapnya disajikan pada Lampiran

5 dan 6. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang dikultivasi pada medium NPSi

memiliki aktivitas daya hambat terhadap pertumbuhan beberapa bakteri patogen,

namun aktivitasnya lebih kecil dibandingkan dengan antibiotik komersial seperti

kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin. Hal ini dikarenakan

ekstrak Chaetoceros gracilis yang digunakan masih merupakan ekstrak kasar

(crude extracts).

Mekanisme penghambatan setiap antibiotik tidak sama satu dengan

lainnya. Kloramfenikol merupakan antibiotik yang awalnya diisolasi dari

Streptomyces venesuelae pada tahun 1947, kini diproduksi secara sintetik,

memiliki spektrum penghambatan yang luas, bersifat bakteriostatik,

mengganggu sintesis protein bakteri, bereaksi dengan unit 50S ribosom dan

akan menghambat pembentukan ikatan peptida pada rantai polipeptida yang

sedang terbentuk (Naim 2003).

Page 66: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

49

Gambar 10 Diameter zona hambatan dari ekstrak dan antibiotik komersial

terhadap pertumbuhan bakteri ( = B. cereus; = V. harveyi)

Tetrasiklin merupakan kelompok antibiotik yang dihasilkan oleh

Streptomyces. Beberapa antibiotik yang segolongan dengan tetrasiklin adalah

oksitetrasiklin, klortetrasiklin dan demetilklortetrasiklin. Antibiotik ini bersifat

bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisidal pada konsentrasi tinggi. Efek

tetrasiklin terhadap bakteri adalah menghambat transpor silang membran dan

menghambat metabolisme fosforilasi oksidatif dan glukosa. Golongan tetrasiklin

yang pertama ditemukan adalah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh

Streptomyces aureofaciens. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin dari

Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari

klortetrasiklin, tetapi dapat juga diperoleh dari spesies Streptomyces lain.

Golongan tetrasiklin termasuk antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan bekerja

dengan jalan menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling

sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotika tetrasiklin ke dalam ribosom

bakteri Gram negatif; pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik,

kedua ialah sistem transportasi aktif. Setelah antibiotika tetrasiklin masuk ke

dalam ribosom bakteri, maka berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi

masuknya komplek tRNA-asam amino pada lokasi asam amino, sehingga bakteri

tidak dapat berkembang biak. Tetrasiklin menghambat perlekatan tRNA yang

membawa asam amino ke ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai

polipeptida yang sedang dibentuk terhambat (Naim 2003).

Ampisilin merupakan salah satu dari penisilin sintetik yang diproduksi

secara kimiawi dari modifikasi sisi rantai penisilin. Antibiotik ini masuk ke dalam

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Ekstrak Kloramfenikol Ampisilin Tetrasiklin Oksitetrasiklin

Dia

me

ter

zon

ah

amb

at(m

m)

Page 67: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

50

membran luar bakteri Gram negatif menembus ke peptidoglikan yang kemudian

mengganggu sintesis dinding sel bakteri dengan cara mengganggu cross linking

peptidoglikan. Sintesis dinding sel mungkin terjadi tetapi cross linking tidak

terjadi, sehingga dinding sel menjadi lebih lemah dan terjadi autolisis, lama

kelamaan sel mengalami lisis.

Potensi relatif penghambatan ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap

antibiotik komersial disajikan pada Gambar 11. Aktivitas daya hambat masing-

masing antibiotik komersial terhadap V. harveyi dan B. cereus tidak sama.

Potensi relatif ekstrak C. gracilis dibandingkan antibiotik komersial seperti

kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin terhadap Vibrio harveyi

berturut-tutrut sebesar 21,18, 21, dan 22 % pada konsentrasi 300 µg/disc.

Artinya kemampuan ekstrak C. gracilis dalam menghambat pertumbuhan V.

harveyi masih rendah. Potensi relatif ekstrak C. gracilis dibandingkan antibiotik

komersial seperti kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin terhadap

Bacillus cereus berturut-turut sebesar 21, 18, 18, dan 18% pada konsentrasi 300

µg/disc. Artinya kemampuan ekstrak C. gracilis dalam menghambat

pertumbuhan B. cereus juga masih rendah.

Gambar 11 Potensi relatif daya hambat ekstrak C. gracilis terhadap 4 jenis

antibiotik komersial pada konsentrasi sama ( = B. cereus;

= V. harveyi )

Rendahnya kemampuan ekstrak Chaetoceros gracilis dalam

menghambat pertumbuhan bakteri ini diduga karena ekstrak Chaetoceros gracilis

yang digunakan merupakan ekstrak kasar, sedangkan antibiotik komersial

0

5

10

15

20

25

Kloramfenikol Ampisilin Tetrasiklin Oksitetrasiklin

Antibiotik

Pote

nsi

rel

atif

(%

)

Page 68: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

51

merupakan senyawa antibiotik yang lebih murni, selain itu masing-masing

memiliki mekanisme penghambatan yang berbeda. Berdasarkan Gambar 11

juga dapat dikatakan bahwa masing-masing senyawa antimikroba memiliki

kemampuan penghambatan terhadap bakteri yang berbeda. Naim (2003)

menyatakan bahwa mode kerja dari kloramfenikol adalah mengikat ribosom 50S

dan menghambat aktivitas peptidil transferase. Tetrasiklin dan oksitratseklin

merupakan antibiotik yang mempunyai mode kerja menghambat sintesis protein,

mengikat ribosom 30 S, sedangkan ampisilin mengganggu sintesis dinding sel

bakteri dengan cara mengganggu cross linking peptidoglikan.

5.3.4 Stabilitas ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan

Penyimpanan dapat mempengaruhi stabilitas aktivitas suatu komponen

aktif. Metode penyimpanan bahan yang mengandung komponen aktif yang tidak

benar dapat menurunkan aktivitasnya. Pada penelitian ini ekstrak disimpan

dalam freezer pada refrigerator dengan suhu sekitar -18 - (-20)oC selama

beberapa bulan. Analisis aktivitas antibakteri dilakukan pada ekstrak yang telah

disimpan selama 1, 2, 3 dan 6 bulan. Aktivitas antibakteri dari ekstrak C. gracilis

selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 12, sedangkan diameter zona

hambat selengkapnya disajikan pada Lampiran 7.

Ekstrak Chaetoceros gracilis termasuk bahan alami. Pada penelitian ini,

ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah sampai 6 bulan

masih memiliki aktivitas antibakteri yang sama dengan awal. Berdasarkan

Gambar 12 dapat dikatakan bahwa aktivitas ekstrak Chaetoceros gracilis

selama penyimpanan tidak berubah, dimana diameter hambatan pada bakteri V.

harveyi 6 mm, pada bakteri E. coli 4 mm, S. aureus 6 mm, dan B. cereus 7 mm.

Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan suhu rendah dapat mempertahankan

aktivitas antibakteri.

Page 69: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

52

Gambar 12 Aktivitas antibakteri ekstrak C. gracilis selama penyimpanan dalam refrigerator ( = V. harveyi; = E. coli; = S. aureus;

= B. cereus)

Hasil penelitian ini didukung oleh Akbar (2008) yang menyebutkan

bahwa ekstrak C. gracilis yang ditumbuhkan dalam mendium Guillard pada suhu

ruang, dan disimpan selama 2 bulan pada suhu rendah (-18 oC) masih memiliki

aktivitas antibakteri sama dengan awal. Ekstrak yang disimpan selama 2 bulan

memiliki aktivitas antibakteri sama dengan ekstrak yang tidak disimpan.

5.4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulka bahwa:

(1) Aktivitas antibakteri dari ekstrak C. gracilis lebih kecil (diameter zona hambat

7±0,8 mm untuk B. cereus dan 6 ±0,8 mm untuk V. harveyi) dibandingkan

antibiotik kloramfenikol (diameter zona hambat 34 ±1,0 mm untuk untuk B.

cereus dan 34 ±1,1 mm untuk V. harveyi), ampisilin (39 ±1,0 mm untuk untuk

B. cereus dan 29 ±1,4 mm untuk V. harveyi), tetrasiklin (32 ±1,1 mm untuk

untuk B. cereus dan 34 ±1,1 mm untuk V. harveyi), dan oksitetrasiklin (32

±1,1 mm untuk untuk B. cereus dan 33 ±1,4 mm untuk V. harveyi), sehingga

spektrum penghambatannya belum menyamai antibiotik komersial.

(2) Potensi relatif ekstrak C. gracilis terhadap antibiotik komersial masih kecil,

yaitu 21 %; 18 %; 21 %; 22 % terhadap kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin,

oksitetrasiklin untuk Bacillus cereus, serta 18 %; 21 %; 18 %; 18 % terhadap

kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin, oksitetrasiklin untuk Vibrio harveyi.

(3) Ekstrak C. gracilis yang disimpan selama 6 bulan pada suhu –18- (-20) oC

masih memiliki aktivitas antibakteri yang sama dengan yang disimpan pada 0,

1, 2 dan 3 bulan

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 6 bulan

Dia

me

ter

zo

na

ha

mb

at(m

m)

Page 70: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

6 KERUSAKAN BAKTERI OLEH SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis

6.1 Pendahuluan

6.1.1 Latar belakang

Mikroalga merupakan biota perairan yang selama ini pemanfaatannya di

Indonesia masih terbatas untuk pakan larva. Sesungguhnya mikroalga

mempunyai potensi untuk dikembangkan karena dapat menghasilkan komponen

aktif dan kandungan kimia yang cukup potensial. Rosa et al. (2005) menyatakan

bahwa mikroalga telah lama dikenal karena memiliki aktivitas biologikal seperti

pigmen, vitamin, lemak, sterol dan protein, selain itu juga menjadi sumber yang

potensial untuk produk komersial di bidang akuakultur dan kosmetika.

Salah satu jenis mikroalga yang memiliki aktifitas biologikal adalah

Chaetoceros. Chaetoceros gracilis merupakan salah satu mikroalga laut yang

menghasilkan komponen aktif seperti antibakteri yang mana merupakan

antibakteri alami yang aman penggunaannya. Hasil penelitian Pribadi (1998)

menunjukkan bahwa Chaetoceros gracilis memiliki aktivitas antibakteri terhadap

Bacillus subtilis, Escherichia coli dan Pseudomonas sp.

Komponen yang mempunyai aktivitas antibakterial dalam Chaetoceros

tergolong asam lemak (Metting dan Pyne 1986; Wang 1999. Komponen aktif

pada Chaetoceros dapat menghambat bakteri Gram negatif dan positif (Wang

1999). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Chaetoceros gracilis yang

ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki aktivitas antibakteri yang dapat

menghambat pertumbuhan bakteri Gram postif Staphylococcus aureus dan

Bacillus cereus serta bakteri Gram negatif Vibrio harveyi dan Escherichia coli.

Efektivitas antibakteri untuk setiap bakteri tidak sama, karena masing-

masing bakteri memiliki struktur dinding sel yang berbeda. Struktur dinding sel

bakteri Gram positif berbeda dengan bakteri Gram negatif. Pada bakteri Gram

positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan

teikuronat. Bakteri Gram negatif memiliki lapisan di luar dinding sel yang

mengandung 5 -10% peptidoglikan, selain itu juga terdiri dari protein,

lipopolisakarida dan lipoprotein. Bakteri Gram negatif mempunyai dua lapisan

lipid (bilayer lipid) yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS). Lapisan ini

tersusun atas fosfolipid, polisakarida dan protein (Madigan et al. 2003).

Polisakarida dalam dinding sel biasanya mengandung asam amino N-

Page 71: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

54

asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat. Pada gula amino ini terikat rantai-

rantai peptida pendek. Lapisan peptidoglikan lebih tebal (40 lapisan) pada

dinding sel bakteri Gram positif daripada dinding sel bakteri Gram negatif (1-5

lapisan) (Lewis et al. 2007). Bakteri Gram negatif memiliki dua lapisan lipid yang

dipisahkan oleh peptidoglikan. Ada juga outer membrane yang menempel pada

lapisan lipopolisakarida memperkuat sel dan melindungi dari lingkungan luar.

Pada membran ini ada porin dengan diameter 1-2 mm yang mengatur akses

larutan ke membran sitoplasma (Moat et al. 2002).

Antimikroba dapat merusak membran sitoplasma dan mempengaruhi

integritasnya. Kerusakan pada membran dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan permeabilitas dan terjadi kebocoran sel, yang diikuti dengan

keluarnya materi intraselular. Minyak atsiri dapat bereaksi dengan fosfolipid dari

membran sel yang menyebabkan permeabilitas meningkat dan unsur pokok

penyusun sel hilang (Kim et al. 1995). Setiap zat yang mampu merusak dinding

sel atau mencegah sintetisnya akan menyebabkan sel peka terhadap tekanan

osmotik. Adanya tekanan osmotik dalam sel bakteri akan menyebabkan

terjadinya lisis (Setyabudi dan Gan 1995). Asam lemak dapat menghambat

pertumbuhan sel bakteri Gram positif Staphylococcus aureus dan S. pyogenes,

serta bakteri Gram negatif Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa.

Mekanisme penghambatan antibakteri asam lemak ini belum jelas tetapi diduga

mengganggu sintesis asam lemak (Zheng et al. 2005).

Setiap jenis bakteri memiliki sensitifitas yang berbeda terhadap

komponen aktif atau zat antimikroba. Mekanisme hambatan senyawa aktif

terhadap bakteri juga berbeda-beda. Pada penelitian ini dilakukan kajian

mekanisme kerusakan sel bakteri patogen setelah dikontakkan dengan ekstrak

C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi.

6.1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kerusakan bakteri yang

meliputi kebocoran sel (protein dan asam nukleat), gangguan dinding sel, serta

morfologi sel bakteri setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis.

Page 72: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

55

6.2 Bahan dan Metode

6.2.1 Bahan dan alat

(1) Bahan baku

Chaetoceros gracilis yang telah diekstraksi dan beberapa bakteri uji yang

meliputi bakteri Gram positif (Bacillus cereus ATCC 13091, Staphylococcus

aureus ATCC 25923) serta bakteri Gram negatif (Escherichia coli ATCC 25922

dan Vibrio harveyi).

(2) Alat

Alat-alat yang digunakan pada tahap percobaan ini juga sama dengan

alat-alat yang digunakan pada tahap sebelumnya. Untuk analisis mekanisme

hambatan digunakan alat-alat seperti water bath shaker, spektrofotometer,

sentrifus, mikroskop, mikroskop elektron (JEOL JIM 5310nLV), dan alat gelas

yang digunakan di laboratorium.

6.2.2 Metode penelitian

Mekanisme hambatan atau kerusakan sel bakteri akibat kontak dengan

ekstrak Chaetoceros gracilis dilakukan terhadap bakteri Bacillus cereus dan

Vibrio harveyi yang memiliki aktivitas antibakteri paling besar (daerah hambatan

paling besar). Pengamatan mekanisme kerja ekstrak dilakukan dengan cara

menganalisis kerusakan dinding sel bakteri dengan cara mengukur zat

pembentuk dinding sel dan menganalisis kerusakan membran sel dengan cara

mengamati kebocoran sel, serta mengamati morfologi sel sebelum dan setelah

kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis.

6.2.3 Prosedur analisis

Metode untuk mengamati kerusakan tersebut antara lain dengan

mengukur pra zat penyusun dinding sel (N-asetil glukosamin), menganalisis

kebocoran sel bakteri dan menganalisis morfologi sel bakteri menggunakan

scanning electron microscopy (SEM).

(1) Analisis N-asetil-glukosamin (Reissig 1955 yang diacu Bintang 1993)

Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan pengaruh

senyawa antibakteri (ekstrak Chaetoceros gracilis) terhadap dinding sel bakteri

dengan cara mengukur kadar N-asetil-glukosamin sebagai prazat mukopeptida

penyusun dinding sel.

Page 73: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

56

Sebanyak 250 µg bakteri uji dicampur dengan 3 ml larutan antibakteri

(ekstrak Chaetoceros gracilis), dalam air suling steril dengan kadar 40 µg/ml dan

diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam, lalu disentrifugasi 7000 rpm pada 4 oC

selama 10 menit. Kemudian sel bakteri tersebut dibilas dengan air suling steril

dan disentrifugasi 7000 rpm pada 4 oC selama 10 menit. Sebagai pembanding

digunakan sel bakteri sama tanpa antibakteri (ekstrak C. gracilis) dan langsung

dibilas dengan air suling steril. Masing-masing perlakuan ditambahkan 0,5 ml

TCA (Trichloro Acid) 10 % suhu 4 oC dan diinkubasi pada suhu 4 oC selama 1

jam, lalu disentrifugasi 7000 rpm selama 10 menit.

Fase cair ditambahkan eter dengan volume yang sama untuk

mengeluarkan TCA, dengan cara mengocok campuran ini pada vorteks dan

dibiarkan supaya eter terpisah, lalu eter dibuang. Larutan bebas TCA

ditambahkan 75 µl HCl 0,25 N dan dimasukkan ke dalam penangas air mendidih

selama 5 menit. Lalu ditambah 150 µl NaOH 0,125 N dalam Na2B4O7 2% dan

dipanaskan pada penangas air mendidih selama 7 menit. Kemudian dicampur

dengan 1350 µl dimetil aminobenzaldehida 1 % dalam campuran asam asetat

dan asam klorida dengan perbandingan 95 : 5, lalu dibiarkan selama 20 menit

pada suhu 37 oC, selanjutnya dibaca serapan optiknya pada panjang gelombang

550 nm. Bila terjadi kekeruhan, artinya terjadi penimbunan N-asetil glukosamin.

(2) Analisis kebocoran sel bakteri (Bunduki et al. 1995)

Pengamatan kebocoran sel dilakukan untuk mempelajari bagaimana

ekstrak mengganggu permeabilitas membran sel. Mekanisme perusakan

membran sel merupakan salah satu tanda tidak normalnya sel setelah ada

perlakuan ekstrak. Analisa kebocoran sel dilakukan dengan menggunakan alat

Spektro UV-VIS RS Digital Spectrophotometer LaboMed, Inc. pada panjang

gelombang 280 nm dan 260 nm. Panjang gelombang 280 nm digunakan untuk

mengukur kadar nitrogen dari protein sel, sedangkan panjang gelombang 260

nm untuk mengukur kadar nitrogen dari nukleus sel.

Sebanyak 10 ml kultur murni disentrifugasi selama 10 menit. Filtrat

dibuang lalu ditambahkan 5 ml larutan garam fisiologis (0,85% NaCl) dalam

endapan sel pada tabung reaksi, kemudian diaduk menggunakan vorteks agar

sel homogen dalam larutan fisiologis. Selanjutnya ditambahkan ekstrak dan

dibiarkan selama 24 jam. Sebagai pembanding digunakan sel bakteri sama

tanpa penambahan ekstrak. Selanjutnya suspensi disentrifugasi pada 10 000

rpm selama 10 menit dan supernatan disaring dengan kertas saring untuk

Page 74: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

57

memisahkan selnya. Analisis dilakukan dengan mengamati OD dari cairan

supernatan, menggunakan spektrofotometer (Spectro UV-Vis RS) pada panjang

gelombang 280 dan 260 nm.

(3) Analisis perubahan morfologi sel bakteri (Bozolla dan Russel 1992)

Analisis perubahan morfologi sel dilakukan untuk mempelajari perubahan

morfologi terhadap struktur sel akibat penggunaan ekstrak yang mengandung

senyawa antibakteri, yang meliputi kerusakan morfologi sel, struktur bakteri,

serta kerusakan dinding sel. Mula-mula bakteri dibuat tersuspensi dalam ekstrak,

kemudian diinkubasi pada inkubator goyang dengan kecepatan 100 rpm.

Selanjutnya cairan disentrifugasi dan dibuang supernatannya, lalu ditambahkan

glutaraldehida 2% dan direndam. Kemudian disentrifugasi lagi, dibuang larutan

fiksatif, lalu ditambahkan bufer caccodylate dan dibiarkan beberapa menit,

disentrifugasi lagi, dibuang bufernya lalu ditambahkan osmium tetra oksida.

Selanjutnya disentrifugasi lagi, dibuang larutannya, ditambahkan alkohol 50%,

lalu ditambahkan alkohol lagi, disentrifugasi lagi, ditambahkan butanol.

Kemudian dibuat ulasan suspeni pada cover slip, lalu dikeringkan. Selanjutnya

spesimen yang sudah jadi dilihat menggunakan mikroskop elektron (SEM) JEOL,

JIM-5310 LV.

6. 3 Hasil dan Pembahasan

6.3.1 Pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kebocoran sel

Kebocoran sel bakteri pada penelitian ini dimaksudkan untuk melihat

kerusakan atau gangguan permeabilitas pada membran sel bakteri. Analisis

kebocoran akibat pemberian ekstrak dilakukan dengan mengukur kekeruhan

medium pertumbuhan bakteri yang telah diberi ekstrak dibandingkan tanpa

ekstrak dengan menggunakan spektrofotometer. Kerusakan membran diukur dari

bahan-bahan yang dilepaskan oleh sel bakteri yang dapat diserap pada panjang

gelombang 260 nm (N nitrogen dalam asam nukleat) dan 280 nm (N nitrogen

dalam protein). Mekanisme perusakan membran sel merupakan salah satu tanda

tidak normalnya sel setelah ada perlakuan ekstrak. Hasil analisis kebocoran sel

dapat dilihat pada Gambar 13.

Hasil penelitian (Gambar 13) menunjukkan bahwa nilai OD 260 nm dan OD280

nm pada semua bakteri uji dipengaruhi oleh penggunaan ekstrak C.gracilis.

Bakteri yang dikontakkan dengan ekstrak memiliki nilai OD lebih besar daripada

tanpa ekstrak. Hal ini menunjukkan terjadinya pelepasan asam nukleat dan

Page 75: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

58

protein ke dalam medium pertumbuhannya. Berdasarkan analisis ini dapat

dikatakan bahwa sel bakteri uji mengalami kerusakan atau kebocoran akibat

adanya ekstrak Chaetoceros gracilis.

Gambar 13 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kebocoran asam nukleat ( = OD 260 nm) dan kebocoran protein sel ( = OD 280 nm)

Kebocoran sel bakteri terjadi diduga karena rusaknya ikatan hidrofobik

komponen penyusun membran. Kim et al. (1995) menyatakan bahwa kebocoran

sel terjadi karena ikatan hidrofobik yang terdiri dari komponen penyususn

membran seperti protein dan fosfolipid rusak, serta larutnya komponen-

komponen lain yang berikatan secara hidrofilik dan hidrofobik. Lin et al. (2000)

juga menyatakan bahwa kondisi ini dapat meningkatkan permeabilitas membran

sel, sehingga memudahkan masuknya komponen antibakteri ke dalam sel serta

mengakibatkan keluarnya substansi sel seperti protein dan asam nukleat yang

menyebabkan terjadinya kerusakan sel. Menurut Ultee et al. (1998) senyawa

aktif dapat menyerang membran sitoplasma dan mempengaruhi integritas

membran sitoplasma sehingga mengakibatkan kebocoran materi intraselular.

Adanya gugus hidrofobik pada senyawa antimikroba menyebabkan perubahan

komposisi dan pelarutan pada membran sel yang akhirnya membran mengalami

kerusakan.

Pada penelitian ini terjadi kebocoran sel bakteri uji, yang menunjukkan

terjadinya kerusakan membran sel bakteri. Bahan aktif dari C. gracilis yang

berperan dalam penghambatan bakteri diduga asam lemak. Karena asam lemak

dapat mengganggu membran bakteri. Zheng et al. (2005) melaporkan bahwa

asam lemak dapat menghambat pertumbuhan sel bakteri Gram positif

0.000

0.020

0.040

0.060

0.080

0.100

0.120

0.140

0.160

0.180

0.200

Nila

i ab

sorb

ansi

pro

tein

dan

as

am n

ukl

eat

Page 76: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

59

Staphylococcus aureus dan S. pyogenes, serta bakteri Gram negatif Escherichia

coli dan Pseudomonas aeruginosa. Mekanisme penghambatan antibakteri asam

lemak belum jelas. Heat et al. (2001) menyatakan bahwa biosintesa lipid

menjadi target untuk bahan antibakteri. Lipid merupakan komponen utama untuk

pertumbuhan sel, sehingga biosintesis lipid merupakan target yang baik untuk

intervensi terapeutik dalam penyakit yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.

Komposisi lipid pada bakteri lebih sederhana dibanding manusia, oleh karena itu

sangat ideal untuk pengembangan obat baru.

Ekstrak C. gracilis pada penelitian ini mengandung asam lemak jenuh

seperti kaprilat, miristat, palmitat, laurat, miristoleat, pentadekanoat, stearat,

heneikosanoat, behenat, serta asam lemak tidak jenuh seperti palmitoleat,

heptadekanoat, elaidat, oleat, linoleat, arakhidonat, linolenat, dokosadienoat,

eikosapentaenoat dan dokosaheksaenoat. Menurut Zheng et al. (2005) asam

lemak tidak jenuh seperti asam palmitoleat, asam oleat, asam linolenat dan asam

arakhidonat, serta asam lemak jenuh stearat memiliki aktivitas antibakteri. Hal ini

sesuai dengan yang dinyatakan Metting dan Pyne (1986) serta Wang (1999)

dimana komponen aktif yang dimiliki Chaetoceros adalah golongan asam lemak.

Zheng et al. (2005) menyatakan bahwa mekanisme aktivitas antibakteri jenis

asam lemak belum jelas. Asam lemak tidak jenuh rantai panjang (C16-C20)

memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus, Streptococcus,

Mycobacterium, Helicobacter, dan Bacilli. Dilika et al. (2000) melaporkan bahwa

asam lemak linoleat dan oleat memiliki aktivitas antibakteri yang dapat melawan

Bacillus megaterium dengan MIC 0,2 dan 0,05 mM. Kedua asam lemak ini juga

menghambat pertumbuhan Pseudomonas phaseolicola. Selain itu asam lemak

linoleat juga mempunyai aktivitas penghambatan terhadap Streptococcus mutans

dan B. larvae. Kedua asam lemak ini mempunyai aktivitas sinergistik.

Chaetoceros gracilis mengandung asam lemak antara lain asam

palmitoleat, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, asam arakhidonat, asam

stearat yang diduga memiliki aktivitas antibakteri. Menurut Zheng et al. (2005)

asam lemak tidak jenuh menunjukkan aktivitas penghambatan lebih besar

dibanding asam lemak jenuh. Asam linoleat menunjukkan aktivitas antibakterial

yang merupakan antimikroba pada bahan pangan tambahan dan antibakteri

dalam herbal. Asam linoleat ini juga diduga menghambat pertumbuhan dengan

cara meningkatkan permeabilitas membran bakteri, tetapi reaksi mekanisme

hambatannya belum jelas. Senyawa aktif dalam triclosan adalah asam linoleat

Page 77: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

60

yang telah ditargetkan sebagai biocide yang memiliki spektrum luas, dimana

digunakan sebagai bahan tambahan antibakteri yang berperan sebagai biocide

non spesifik (Zheng et al. 2005). Adanya kandungan asam lemak yang memiliki

aktivitas antibakteri dalam Chaetoceros gracilis memerlukan penelitian lanjutan

untuk pengembangan bidang farmasetika dan pangan.

6.3.2 Pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap dinding sel bakteri

Unit dasar dari dinding sel bakteri tersusun atas peptidoglikan, dimana

memberikan kekuatan pada sel bakteri, selain itu berperan juga sebagai dasar

membran sitoplasma. Peptidoglikan tersusun atas N-asetilglukosamin dan N-

asetilmuramat serta beberapa asam amino seperti L-alanin, D-alanin, D-glutamat

dan lisin. N-asetilglukosamin merupakan prazat mukopeptida pembentuk dinding

sel bakteri, yang mana dapat terganggu oleh adanya antibiotik.

Kerusakan dinding sel bakteri dapat dilihat dengan mengukur prazat

mukopeptida penyusun dinding sel yang ditandai dengan kekeruhan pada media.

Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh penggunaan ekstrak Chaetoceros

gracilis yang mempunyai aktivitas antibakteri terhadap kerusakan dinding sel

bakteri. Hasil analisis prazat disajikan pada Gambar 14. Bakteri yang medium

pertumbuhanya ditambah ekstrak Chaetoceros gracilis menghasilkan

absorbansi (optical density) lebih besar dibanding tanpa penambahan ekstrak,

artinya di dalam medium ada penimbunan N-asetil glukosamin sebagai prazat

mukopetida penyusun dinding sel bakteri. Hal ini menunjukkan terjadinya

gangguan atau kerusakan dalam dinding sel bakteri.

Gambar 14 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kandungan N-asetil glukosamin ( = tanpa ekstrak, = penambahan ekstrak).

0.000

0.010

0.020

0.030

0.040

0.050

0.060

S. aureus B. cereus V. harveyi E. coli

Ab

sorb

ansi

N-a

seti

lglu

kosa

min

Page 78: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

61

Struktur dinding sel bakteri Gram positif tidak sama dengan bakteri

Gram negatif. Dinding sel bakteri Gram negatif memiliki dua lapisan lipid (bilayer

lipid), yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS). Lapisan ini tersusun atas

fosfolipid, polisakarida dan protein (Madigan et al. 2003). Hasil analisis prazat

mukopeptida pembentuk dinding sel bakteri yang diduga N-asetil glukosamin

menunjukkan bahwa ekstrak menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri.

Penelitian serupa telah dilakukan Bintang (1993) yang melaporkan bahwa

senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptococcus lactis dapat menghambat

pembentukan dinding sel bakteri Eschericha coli, mekanisme penghambatannya

adalah menghambat kerja enzim fosfatase alkalis pada tahap awal pembentukan

dinding sel bakteri, sehingga terjadi penimbunan pra zat pembentuk dinding sel.

Kandungan pra zat pembentuk dinding sel bakteri seperti N-

asetilglukosamin yang ditunjukkan dengan hasil serapan optik pada bakteri S.

aureus dan B. cereus lebih besar dibanding bakteri E. coli. Hal ini terjadi karena

struktur dinding sel bakteri tersebut berbeda, sehingga efek antibakteri terhadap

bakteri juga berbeda. Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang

mempunyai dua lapisan lipid, sedangkan bakteri Gram positif seperti

Stapylococcus aureus dan Bacillus cereus hanya memiliki satu lapisan, sehingga

antibiotik lebih mudah menembus ke dalam sel bakteri Stapylococcus aureus

dan Bacillus cereus.

Pada penelitian ini kontak ekstrak dengan bakteri dapat menyebabkan

kerusakan dinding sel bakteri. Rusaknya dinding sel bakteri diduga karena

adanya reaksi antara senyawa aktif dari ekstrak dengan dinding sel bakteri .

Menurut Kabara et al. (1972) cara kerja obat antara lain merubah permeabilitas

dari dinding sel. Hal ini dapat terjadi karena keluarnya nutrien atau terjadinya

difusi metabolit esensial. Ultee et al. (1998) melaporkan bahwa mekanisme kerja

antimikroba ada yang mempunyai spektrum luas, sempit dan ada yang hanya

efektif terhadap mikroorganisme tertentu. Pengaruh antibiotik terhadap dinding

sel dapat terjadi akibat akumulasi asam lemak maupun asam organik dari bahan

(antimikroba) dalam bentuk tidak terdisosiasi akan menyebabkan perubahan

terhadap komposisi penyusun dinding sel. Senyawa aktif dapat bereaksi dengan

dinding sel bakteri dan membran sel. Selain itu kerusakan pada dinding sel

bakteri juga dapat disebabkan oleh terjadinya tekanan osmotik.

Page 79: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

62

6.3.3 Pengaruh ekstrak C gracilis terhadap morfologi sel bakteri

(1) Bacillus cereus

Bacillus cereus adalah bakteri patogen, Gram positif berbentuk batang

berspora, banyak ditemukan air, debu maupun tanah, yang mana sporanya

tahan panas. Bakteri ini menghasilkan ekstraselular toksin dan enzim.

Eksotoksin B. cereus dapat menyebabkan diare. Bahan pangan yang sering

ditumbuhi bakteri ini antara lain nasi, susu, jagung, sayuran, daging, sosis,

puding. Bakteri ini sensitif terhadap Butylated hydoxyanisole (BHA),

pertumbuhannya dapat dihambat pada konsentrasi <500 ppm (Jay 2000).

Bacillus cereus termasuk mikroorganisme yang memiliki dinding sel.

Seperti yang disajikan pada Gambar 15, Bacillus cereus terlihat utuh. Sel

Bacillus cereus menjadi berubah setelah dilakukan kontak langsung dengan

ekstrak Chaetoceros gracilis (Gambar 16). Perubahan morfologi sel B. cereus

ditunjukkan dengan perubahan pada selnya, dimana setelah kontak dengan

ekstrak, sel Bacillus cereus mengalami kerusakan.

Gambar 15 Sel Bacillus cereus tanpa perlakuan (perbesaran 20 000 x)

Hasil analisis kebocoran sel menunjukkan bahwa sel bakteri mengalami

lisis, dimana mengalami gangguan membran sel. Gangguan tersebut

ditunjukkan dengan terjadinya kebocoran protein dan asam nukleat. Chaetoceros

gracilis hasil penelitian ini mengandung asam lemak seperti stearat, palmitoleat,

linoleat, oleat, linolenat, arakhidonat yang menurut Zheng et al. (2005) asam

lemak jenis tersebut memiliki aktivitas antibakteri. Berdasarkan hal ini komponen

yang memiliki aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis diduga asam

lemak.

Page 80: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

63

Gambar 16 Sel Bacillus cereus yang dikontakkan dengan ekstrak C. gracilis (perbesaran 20 000 x)

(2) Vibrio harveyi Vibrio harveyi merupakan bakteri Gram negatif yang sering menyebabkan

gangguan kesehatan pada larva udang. Tingginya mortalitas larva di panti benih

udang kebanyakan dikarenakan Luminescent vibriosis yang disebabkan oleh

Vibrio harveyi atau Vibrio splendidus.

Hasil analisis kebocoran menunjukkan bahwa Vibrio harveyi mengalami

kebocoran akibat kontak dengan ekstrak C. gracilis. Demikian juga hasil analisis

prazat yang menunjukkan bahwa bakteri ini mengalami lisis. Hasil analisis

biokimia ini didukung dengan hasil pengamatan menggunakan SEM. Sel bakteri

yang tidak dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis terlihat utuh

(Gambar 17), sedangkan yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis

terlihat mengalami kerusakan (Gambar 18).

Gambar 17 Sel Vibrio harveyi tanpa perlakuan (perbesaran 20 000 x)

Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa Chaetoceros memiliki

antibakteri yang termasuk dalam golongan asam lemak. Chaetoceros gracilis

pada penelitian ini juga mengandung asam lemak. Kabara et al. (1972)

Page 81: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

64

menyatakan bahwa asam-asam lemak terutama asam laurat dapat menghambat

enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural

sehingga dapat mengganggu pembentukan dinding selnya. Mekanisme

kerusakan dinding sel dapat disebabkan oleh adanya akumulasi komponen

lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel.

Gambar 18 Sel Vibrio harveyi yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis (perbesaran 20 000 x)

6.4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan :

(1) Bakteri uji setelah kontak dengan ekstrak mengalami kebocoran sel.

(2) Kontak antara bakteri uji dengan ekstrak Chaetoceros gracilis

mengakibatkan kebocoran sel bakteri.

(3) Sel bakteri uji (B. cereus dan V. harveyi) mengalami perubahan (kerusakan)

morfologi setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disarankan untuk

dilakukan penelitian lebih lanjut tentang reaksi mekanisme hambatan antibakteri.

Page 82: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

7 KANDUNGAN SENYAWA KIMIA MIKROALGA Chaetoceros gracilis YANG DITUMBUHKAN DALAM MEDIUM NPSi

7.1 Pendahuluan

7.1.1 Latar belakang

Keanekaragaman organisme laut di Indonesia cukup tinggi, akan tetapi

belum dimanfaatkan secara optimal. Biodiversiti ini merupakan aset penting

dalam pengembangan bioteknologi laut. Sejauh ini pengembangan bioteknologi

di Indonesia dilakukan antara lain pada bidang pertanian, pangan dan kesehatan

maupun lingkungan. Produk alam dari laut dapat digunakan untuk berbagai

tujuan tergantung struktur kimia dan karakteristiknya, antara lain untuk

nutrasetika, farmasetika dan berbagai bahan tambahan lainnya (Nontji 1999).

Senyawa-senyawa kimia yang digunakan untuk farmasetika dan nutrasetika

biasanya memiliki aktivitas biologis.

Mikroalga merupakan biota perairan yang potensial untuk dikembangkan

karena dapat menghasilkan produk komersial di bidang pangan, farmasi,

kosmetika, pertanian, pakan dan sebagainya. Nutrisi mineral alga tidak jauh

berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi. Kebutuhan absolut umum untuk alga

meliputi karbon, fosfor, nitrogen, sulfur, potasium dan magnesium. Elemen-

elemen seperti besi dan mangan diperlukan dalam jumlah sedikit. Beberapa

elemen seperti kobal, seng, boron, copper dan molybdenum merupakan

essential trace element. Selain mineral ini beberapa alga juga memerlukan

substrat organik seperti vitamin, yaitu faktor tumbuh untuk pertumbuhan (Becker

1994).

Umumnya alga digunakan sebagai pakan untuk organisme perairan yang

memiliki nilai komersiel penting, termasuk diatom yang ukurannya bervariatif.

Diatom yang banyak digunakan dalam marinkultur komersiel adalah

Skeletonema costatum, Thalassiosira pseudonana, Chaetoceros gracilis, C.

calcitrans dan sebagainya (BBLL 2002).

Nutrisi dalam media pertumbuhan mikroalga akan mempengaruhi

pertumbuhan dan komposisi kimianya. Mikroalga yang ditumbuhkan dalam

medium yang berbeda akan menghasilkan metabolit yang berbeda pula. Hasil

penelitian sebelumnya menghasilkan bahwa Chaetoceros gracilis dapat

ditumbuhkan dalam medium NPSi dan memiliki aktivitas antibakteri terhadap

beberapa jenis bakteri patogen seperti bakteri Gram positif (Bacillus cereus

Page 83: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

66

ATCC 13091 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923 serta bakteri Gram

negatif (Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi).

Chaetoceros gracilis selain mengandung komponen antibakteri, juga

mengandung komponen kimia lainnya. Akan tetapi belum diketahui kandungan

kimiawi dari biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium pupuk NPSi.

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian komposisi kimia (nutrisi) dari C. gracilis

yang ditumbuhkan dalam medium NPSi.

7.1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain mendapatkan komposisi senyawa

kimia dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi.

Komposisi senyawa kimia yang diteliti pada penelitian ini adalah (1) Kandungan

protein, lemak, karbohidrat; (2) Komposisi asam amino dari biomasa C. gracilis;

(3) Komposisi asam lemak dari biomasa C. gracilis, dan kandungan mineral dari

biomasa C. gracilis; (4) Fitokimia; (5) Kandungan asam nukleat.

7.2 Bahan dan Metode

7.2.1 Bahan dan alat

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah diatom laut jenis

Chaetoceros gracilis yang merupakan koleksi dari Pusat Penelitian Oseanografi,

LIPI, Jakarta. Chaetoceros gracilis dikultivasi dalam medium pupuk NPSi dan

dipanen pada umur 7 hari. Kultivasi dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hasil

Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan (FPIK) IPB. Beberapa analisis dilakukan di Laboratorium Biokimia dan

Bioteknologi Hasil Perairan Departemen THP, analisis mineral dilakukan di

Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Kimia

Balai Penelitian Tanah, analisis asam nukleat dilakukan di Laboratorium

Genetika Ikan Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB, dan analisis asam

amino dan asam lemak dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB.

Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan untuk kultivasi yaitu flask dan

akuarium yang dilengkapi dengan lampu dan aerator. Selain itu juga digunakan

pengering beku, refrigerator, spektrofotometer, Gas Chromatography (GC),

Shimadzu, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Shimadzu, Atomic

Absorbtion Spectrophotometer (AAS), Hitachi, Gen Quant, serta alat-alat gelas

lainnya yang digunakan di laboratorium.

Page 84: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

67

7.2.2 Metode penelitian

(1) Kultivasi dan pemanenan C. gracilis

Chaetoceros gracilis dikultivasi dalam akuarium yang berisi medium NPSi.

Sebagai sumber cahaya digunakan lampu neon 20 Watt, untuk aerasi digunakan

aerator yang diberikan secara terus menerus. Setelah kultur berumur 7 hari,

biomasa dipanen menggunakan filter keramik (British PORTACEL) dengan

pompa (Deng Yuan). Biomasa dikeringkan menggunakan freeze dryer Yamato

untuk proses berikutnya.

(2) Pemanenan biomasa Chaetoceros gracilis

Kultur C. gracilis dipanen pada hari ke 7 untuk dipisahkan biomasanya.

Pemanenen dilakukan menggunakan filter keramik. Biomasa yang diperoleh

selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze dryer.

7.2.3 Prosedur analisis

Analisis kimia pada ekstrak C. gracilis dilakukan untuk mengetahui

kandungan protein, lemak, karbohidrat, asam amino, asam lemak, mineral,

fitokimia, dan kandungan asam nukleat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui nilai

gizi biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi, sehingga dapat

diketahui manfaat lain dari biomasa C. gracilis selain memiliki aktivitas antibakteri.

Analisis yang dilakukan meliputi kadar protein, kadar lemak, karbohidrat,

komposisi asam amino menggunakan HPLC Shimadzu, komposisi asam lemak

menggunakan GC Shimadzu, komposisi mineral menggunakan AAS Hitachi Z

5000, kandungan asam nukleat menggunakan Gen Quant.

(1) Analisis kadar protein (Lowry et al. 1951 diacu dalam Chrismadha 1993)

Pada analisa protein ini telah disiapkan beberapa larutan yang diperlukan

selama tahap analisis, yang meliputi sebagai berikut:

1) Larutan alkaline copper

Sebanyak 20 ml NaOH 4 % (w/v) dan 10 ml Na2CO3 20 % (w/v) disatukan

kemudian ditambahkan akuades sampai 100 ml ( larutan alkaline buffer).

Larutan alkaline copper kemudian dibuat dengan menambahkan 1 ml Na-

K tartrate 20 % (w/v) dan 1 ml CuSO4.4H2O 5 % (w/v) ke dalam larutan.

Bahan ini disiapkan segar sebelum digunakan.

2) Larutan standar

Protein standar yang digunakan dalam analisis ini adalah Bovine Serum

Albumin (BSA). Untuk larutan stok standar, dibuat larutan dengan

Page 85: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

68

mencampurkan 50 mg BSA ke dalam 50 ml aquades dalam botol reagent

dan disimpan pada refrigerator. Larutan diperbaharui setiap bulannya.

3) Larutan folin-Ciocalteu-Fenol

4) Kandungan total protein ditentukan berdasarkan kurva standar hasil

pengukuran spektrofotometri

5) Prosedur analisis :

Biomasa kering ditimbang sebanyak 2 mg. Selanjutnya sampel di

dilarutkan dalam 10 ml akuades kemudian diambil sebanyak 2 ml ke dalam

tabung sentrifugasi 10 ml. Selanjutnya ditambahkan Cu-alkalin 5 ml ke dalam

tiap sampel dan pada tiap seri standar. Sampel dan standar dibiarkan selama 1

jam pada suhu ruang kemudian ditambahkan 2 kali 0,3 ml folin-cioocalteu-fenol

sambil dihomogenkan menggunakan vorteks. Sampel didiamkan selama 15

menit pada suhu ruang lalu disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 10

menit. Supernatan diambil dan diukur pada panjang gelombang 660 nm.

Kandungan protein pada sampel dapat dilihat melalui kurva grafik pada standar.

(2) Analisis kadar lemak (Bligh dan Dyer 1959 diacu dalam Chrismadha 1993)

Biomasa kering ditimbang sebanyak 10 mg, lalu diekstraksi dengan 5 ml

campuran pelarut kloroform (Cl3CH), metanol (MeOH), air (H2O) dengan

perbandingan (1 : 2: 0,8 v/v/v) kemudian dimasukkan ke dalam botol sentrifugasi

10 ml. Setelah itu sampel disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan

2500 rpm. Supernatan kemudian dipindahkan ke dalam botol sentrifugasi 10 ml

yang lain sampai total volume 5,7 dengan kloroform (Cl3CH): metanol (MeOH):

air (H2O).

Untuk mendapatkan pemisahan fase, sebanyak 1,5 ml kloroform dan 1,5

ml air non ion ditambahkan kemudian dihomogenkan dan untuk mendapatkan

pemisahan fase yang terbaik sampel disentrifugasi. Lapisan hijau kloroform

secara hati-hati dipisahkan dengan pipet pasteur. Bobot lemak ditentukan

dengan menuangkan lemak terlarut ke dalam botol kecil (vial) yang telah

ditimbang terlebih dahulu, dan dikeringkan secara evaporasi dengan gas N2

murni. Botol yang berisi lemak kering kemudian ditimbang kembali setelah

disimpan dalam desikator semalam

(3) Analisa karbohidrat (Kochert 1978 diacu dalam Chrismadha 1993).

1) Bahan : H2SO4 98 %, 5 % (w/v) larutan fenol, larutan H2SO4 2 N

Page 86: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

69

2) Standar : sebanyak 100 mg glukosa dilarutkan dalam 100 ml larutan

H2SO4 2 N kemudian disimpan pada suhu 4 oC dan disiapkan segar

setiap bulan

3) Prosedur analisis:

Sebanyak 2 mg sampel di homogenkan dengan 2 ml H2SO4 2 N,

kemudian ekstrak (termasuk 3 ml H2SO4 2 N ditambahkan agar volume total 5

ml) dipindahkan ke botol sentrifugasi 10 ml dan diinkubasi selama 60 menit pada

suhu 100 oC. Setelah itu, sampel didinginkan pada suhu ruang kemudian

disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 2500 rpm, kemudian 0,5 ml

supernatan dipindahkan ke botol test 10 ml yang baru.

Pada saat yang bersamaan, disiapkan satu set standar yang terdiri dari

0,10, 20, 40, 60, 80 dan 100 ppm glukosa dan ditambahkan H2SO4 2 N hingga 1

ml. Lalu larutan fenol 5 % sebanyak 1 ml ditambahkan ke dalam larutan standar

dan larutan sampel tersebut sambil dihomogenkan menggunakan vorteks diikuti

dengan penambahan 5 ml H2SO4 sampai homogen pada suhu ruang.

Selanjutnya absorban dibaca pada panjang gelombang 485 nm pada

spektrofotometer. Kandungan karbohidrat pada sampel dapat dilihat melalui

kurva grafik pada standar.

(4) Analisis komposisi asam lemak (AOAC 2005).

Sampel dalam bentuk lemak ditimbang 20-30 mg dalam tabung bertutup

teflon. Kemudian ditambahkan 1 mL NaOH 0,5 N dalam metanol dan

dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 2

mL BF3 16 %, lalu dipanaskan selama 20 menit. Setelah dingin ditambahkan 2

mL NaCl jenuh dan 1 mL heksan dikocok dengan baik. Kemudian lapisan heksan

dipindahkan dengan bantuan pipet yang berisi 0,1 g Na2SO4 anhidrat, lalu

dibiarkan selama 15 menit. Fase cair dipisahkan, selanjutnya diinjeksikan ke

kromatografi gas.

(5) Analisis komposisi asam amino (Nur et al. 1992).

Sampel dalam tabung ulir ditambahkan 1 mL HCl 6 N, lalu dialirkan gas

nitrogen selama 0,5-1 menit dan tabung segera ditutup. Selanjutnya tabung

dimasukkan ke dalam oven suhu 110 oC selama 24 jam untuk melakukan tahap

hidrolisis. Kemudian didinginkan pada suhu kamar dan larutan dipindahkan

secara kuantitatif ke labu rotary evaporator. Tabung ulir dibilas dengan 2 mL HCl

0,01 N sebanyak 2-3 kali. Larutan bilasan digabung ke labu rotary evaporator,

sampel lalu dikeringkan dengan evaporator. Selanjutnya sampel ditambah

Page 87: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

70

dengan 5 mL HCl 0,01 N, kemudian disaring dengan kertas milipore. Sampel

ditambahkan Buffer Kalium Borat pH 10,4 dengan perbandingan 1 : 1.

Selanjutnya sampel sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam vial kosong yang

bersih dan ditambahkan 25 µl pereaksi OPA, dibiarkan selama 1 menit agar

derivatisasi berlangsung sempurna. Kemudian sampel diinjeksikan ke dalam

kolom HPLC sebanyak 5 µl kemudian tunggu sampai pemisahan semua asam

amino selesai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit.

(6) Analisis mineral

Analisis mineral yang dilakukan meliputi P, Mg, Ca, Fe, Zn, Mn mengacu

pada metode Reitz et al. (1960). Sebanyak 1 g sampel kering dimasukkan ke

dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 5 ml HNO3 pekat, dibiarkan sekitar 1 jam.

Selanjutnya dipanaskan di atas hotplate selama 4 jam. Setelah dingin

ditambahkan 0,4 mL H2SO4 pekat, lalu dipanaskan. Selanjutnya sampel diangkat

dari hotplate untuk ditambahkan 0,1 mL larutan campuran HClO4:HNO3 (2:1),

sehingga terjadi perubahan warna coklat-kuning-bening. Kemudian dipanaskan

lagi selama 15 menit, lalu ditambahkan 2 mL akuades, 0,6 mL HCl pekat, dan

dipanaskan lagi hingga larut. Selanjutnya diencerkan dalam labu takar sampai

100 mL dengan akuades, lalu diukur menggunakan AAS Hitachi Z 5000.

Analisis kandungan silika (SiO2) dilakukan menggunakan metode acid

detergent fibre (ADF) yang mengacu pada metode yang dilakukan Tim

Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2003). Sebelum dilakukan penentuan

kadar silika bahan, telah dilakukan penghilangan lignin dan selulosa. Abu hasil

penghilangan lignin dan selulosa ditimbang (a gram), ditetesi hingga basah

dengan HBr 48%. Selanjutnya dibiarkan selama 1-2 jam. Kelebihan asam

dikeluarkan dengan menggunakan vakum dan dicuci dengan aseton. Kemudian

dikeringkan dan diabukan menggunakan tanur bersuhu 400 – 600 oC, lalu

didinginkan dan ditimbang (f gram).

Perhitungan : f - b % Silika = x 100 % a

(7) Analisis fitokimia (Harborne 1987)

Uji fitokimia pada biomasa dan ekstrak C. gracilis dilakukan untuk

mengetahui golongan senyawa yang ada pada ekstrak mikroalga, antara lain

alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, biuret, dan

ninhidrin.

Page 88: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

71

1) Uji alkaloid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 3-5 tetes asam sulfat 2 N. Kemudian

diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff, Meyer dan

Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk

endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan

endapan merah sampai jingga dengan pereaksi Dragendorff.

Pereaksi Wagner dibuat dengan cara memipet 10 ml akuades ditambah

2,5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida. Lalu dilarutkan dan diencerkan dengan

akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat.

Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 g HgCl2 dengan

0,5 gram kalium iodida. Lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi

100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna.

Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara menambahkan 0,8 gram bismut

subnitrat dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan

larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum

digunakan 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20

ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi berwarna jingga.

2) Uji steroid (Liebermann-Burchard)

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi

yang kering. Tabung reaksi tersebut selanjutnya ditambah 10 tetes anhidrida

asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah

untuk pertama kali, yang kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan

adanya reaksi positif.

3) Uji flavonoid

Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,05 mg dan 0,2 ml

alkohol (campuran asam klorida 37 % dan etanol 95 % dengan volume sama)

dan 2 ml alkohol. Kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah,

kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menujukkan adanya flavonoid.

4) Uji saponin (uji busa)

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang

stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N,

menunjukkan adanya saponin

Page 89: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

72

5) Uji fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3 )

Kedalam 1 ml ekstrak sampel (1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml

etanol 70 % ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5 %. Terbentuknya warna hiaju

atau hijau biru menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan.

6) Uji Molisch

Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml

asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya

karbohidrat ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu antara 2 lapisan

cairan.

7) Uji ninhidrin

Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah 5 tetes larutan ninhidrin 0,1 %.

Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya larutan

berwarna biru menunjukkan reaksi yang positif terhadap adanya asam amino.

(8) Analisis kandungan asam nukleat

1) Sebanyak 5-10 mg sampel ditimbang, ditambahkan 200 µl cell lysis

solution

2) Sampel ditambah 1,5 µl proteinase K (20 mg/ml), lalu diinkubasi pada

suhu 55 oC (overnight)

3) Sampel dikeluarkan dari alat incubator dan dibiarkan sampai mencapai

suhu ruang. Selanjutnya ditambahkan 1,5 µl RNase (4 mg/ml), lalu diaduk

dengan hati-hati sebanyak 25 kali, lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama

60 menit

4) Sampel dikeluarkan dari inkubator, lalu disimpan pada es selama 5 menit,

kemudian ditambahkan 100 µl protein precipitation solution

5) Sampel disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 15 menit

6) Supernatan dipindahkan ke tube baru yang berisi 200 µl isopropanol, lalu

diaduk dengan hati-hati

7) Sampel disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 10 menit

8) Supernatan dipindahkan atau dibuang, lalu ditambahkan 200 µl etanol 70%

dingin

9) Selanjutnya disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 10 menit

10) Etanol dibuang dan pelet DNA dikeringudarakan sampai etanol habis

atau kering

Page 90: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

73

11) Selanjutnya ditambahkan 50 µl steril destillated water/aquabidest, dan

disimpan pada refrigerator suhu 4 oC untuk penyimpanan jangka waktu

lama

12) Konsentrasi DNA diukur menggunakan Gen Quant pada 260 ּג nm

7.3 Hasil dan Pembahasan

7.3.1 Komposisi senyawa kimia biomasa Chaetoceros gracilis

Komposisi senyawa kimia bahan pangan adalah kandungan kimia dari

suatu bahan pangan tersebut. Analisis komposisi senyawa kimia dari

Chaetoceros gracilis dilakukan untuk mendapatkan kandungan protein, lemak,

karbohidrat, asam amino, asam lemak dan mineral. Zat nutrisi tersebut

merupakan senyawa kimia yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kehidupan

suatu makhluk hidup.

Biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi

dan dipanen pada umur 7 hari mempunyai kadar protein, lemak dan karbohidrat

sebesar 45,88 % (Lampiran 8), 16,5 %, dan 10,17 % (Lampiran 9). Kandungan

kimia C. gracilis ini berbeda dengan apa yang ada di laporan Kungvankij (1988)

yang menyatakan bahwa Chaetoceros memiliki kandungan protein 35 % (bk) dan

lemak 6,9 % (bk), sedangkan menurut Renaud et al. (2002) kandungan protein,

lemak dan karbohidrat pada Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam medium

Guillard pada suhu 25 oC sebesar 57,3 %,16,8 %, dan 13,1 %. Komposisi kimia

dari biomasa Chaetoceros berbeda satu dengan lainnya. Hal ini dapat terjadi

karena perbedaan faktor ekstrinsik dan instrinsik dalam kultivasinya, antara lain

spesies, umur kultur, nutrien, dan CO2. Renaud et al. (2002) menyatakan

bahwa komposisi kimia mikroalga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan termasuk

suhu dan pencahayaan. Suhu pertumbuhan berhubungan dengan penurunan

kandungan protein, peningkatan lemak dan karbohidrat. Respon komposisi

kimia terhadap tinggi dan rendahnya suhu pada pertumbuhan tergantung dari

jenisnya.

Selain suhu kultivasi, masih ada faktor lain yang juga berperan dalam

komposisi senyawa kimia mikroalga. Yap dan Chen (2001) menyatakan bahwa

komposisi asam lemak pada mikroalga Cylindrotheca fusiformis, Phaeodactylum

tricornutum, Nitzschia closterium dan Chaetoceros gracilis berubah pada

intensitas cahaya kultur yang berbeda. Faktor nutrisi yang meliputi nitrogen,

fosfor, karbon mempengaruhi kandungan lemaknya. Salinitas dalam medium

Page 91: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

74

mempengaruhi fisiologi dari mikroorganisme dan juga mempengaruhi komposisi

asam lemak dan kandungan lemak dalam sel.

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki

kandungan kimia yang masih tinggi. Sumber nitrogen, fosfor, dan silikat dari

medium NPSi diperoleh dari urea, TSP, dan sodium metasilika. Beberapa

analisis lain yang dilakukan pada penelitian ini antara lain komposisi asam lemak

dan komposisi asam amino dari biomasa C. gracilis. Kandungan lemak dan

protein C. gracilis perlu diketahui karena beberapa jenis mikroalga potensi

mengandung lemak maupun protein. Menurut Rosa et al. (2005) mikroalga telah

lama dikenal karena memiliki aktivitas biologikal seperti pigmen, vitamin, lemak,

sterol dan protein, selain itu juga menjadi sumber yang potensial untuk produk

komersial di bidang akuakultur. Komponen silika dalam mikroalga jenis diatom

berperan dalam pembentukan dinding sel, tanpa silika dalam medium

pertumbuhan, diatom tidak bisa tumbuh.

Kandungan karbohidrat dalam biomasa kering Chaetoceros gracilis

10,17 %. Parson et al. (1984) melaporkan bahwa Chaetoceros sp mengandung

serat kasar 22,8 % dari karbohidrat. Komposisi monosakarida dari sel keringnya

meliputi glukosa 3,3 %, galaktosa 1,5 %, manosa 0,79 %, ribosa 0,71 %, silosa

0,4 %, ramnosa 2,8 %.

7.3.2 Kandungan lemak biomasa Chaetoceros gracilis

Lemak adalah sumber dari asam berantai lurus dari karbon berjumlah

lebih dari 6 karbon. Sel-sel lemak tersimpan dalam tanaman dan hewan.

Fosfollipid ditemukan dalam membran sel yang merupakan elemen struktur

dasar dari kehidupan organisme (Morrison dan Boyd 1991).

Lemak merupakan komposisi kimia yang diperlukan oleh semua mahluk

hidup. Beberapa jenis mahluk hidup seperti mikroalga dapat mensistesis lemak

dalam tubuhnya. Diatom merupakan mikroalga yang mengandung lipid. Di

dalam diatom, sulfolipid adalah komponen yang paling banyak dalam membran

sel dan merupakan tipikal kelas lipid yang melimpah dalam sel mikroalga

(Dunstan et al. 1994). Lemak berfungsi sebagai sumber energi untuk

pertumbuhannya.

Kadar lemak C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi sebesar

16,5 % lebih tinggi dibandingkan Chaetoceros hasil laporan Kungvanji (1988)

yaitu sebesar 6,9 % (bk), tetapi mendekati hasil penelitian Renaud et al. (2002),

yaitu sebesar 16,8 % (bk). Perbedaan ini disebabkan antara lain oleh jenis yang

Page 92: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

75

berbeda maupun kondisi lingkungan dan nutrisi medium yang berbeda. Pada

penelitian Renaud (2002), kultivasi dilengkapi dengan penggunaan CO2 dengan

laju aliran 10 ml/menit, sedangkan pada penelitian ini tidak menggunakan CO2.

Karbondioksida (CO2) merupakan senyawa yang diperlukan dalam proses

fotosintesis. Senyawa tersebut (CO2) sangat penting untuk pertumbuhan

mikroalga karena terkait dalam proses fotosintesis, yaitu senyawa yang akan

tereduksi menjadi senyawa organik. Proses fotosintesis menggunakan radiasi

sinar matahari atau sumber cahaya lainnya untuk membuat cadangan energi

dalam jaringan sel dalam bentuk bahan organik dari bahan anorganik (Schlegel

dan Schmidt 1994). Penelitian ini tidak menambahkan CO2, tetapi menggunakan

aerasi dengan cara memasang pompa aerator non stop. Sumber CO2, hanya

mengandalkan dari udara. Borowitzka (1988) menyatakan bahwa kandungan

nitrogen atau silika dalam nutrien dapat mempengaruhi kandungan lemak

mikroalga. Hal ini didukung oleh laporan Rosa et al. (2005) yang menyatakan

bahwa biosintesis lipid dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti

kondisi pertumbuhan dan komposisi nutrien dalam media.

Kandungan lemak dalam Chaetoceros gracilis lebih kecil bila

dibandingkan kedele (17,7 %), tetapi lebih besar dibandingkan susu sapi (3,5 %)

dan telur ayam (11,5 %) (FAO 1972). Lemak sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk

sumber energi, pelarut beberapa vitamin.

7.3.3 Komposisi asam lemak ekstrak Chaetoceros gracilis

Asam lemak merupakan komponen gizi penyusun lemak suatu bahan.

Fitoplankton seperti mikroalga diketahui sebagai produser primer rantai makanan

di dalam laut, karena dapat mensintesis asam lemak rantai panjang (PUFAs).

Mikroalga termasuk diatom (Bacillarophyceae) potensial sebagai sumber PUFAs,

sehingga dianggap sebagai sumber asam lemak (Yap dan Chen 2001).

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mempunyai

komposisi asam lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh yang meliputi kaprilat

(C8:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0), stearat (C18:0),

heneikosanoat (C21:0), behenat (C22:0), serta asam lemak tidak jenuh yang

terdiri atas palmitoleat (C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1),

pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat

(C20:4n6), linolenat (C18:3), dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat (C20:5n3)

dan dokosaheksaenoat (C22:6n3) (Tabel 3).

Page 93: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

76

Tabel 3 Komposisi asam lemak biomasa kering Chaetoceros gracilis

Asam lemak asam lemak (%) asam lemak dalam

bahan (g/100g)

Asam lemak jenuh

Asam kaprilat, C8:0 0,06 0,0099 Asam laurat, C12:0 0,08 0,0132

Asam miristat, C14:0 7,90 1,3035

Asam pentadekanoat, C15:0 0,38 0,0627

Asam palmitat, C16:0 5,17 0,8531

Asam stearat C18:0 0,26 0,0429

Asam arakidat, C20:0 0,31 0,0512

Asam heneikosanoat, C21:0 0,30 0,0495

Asam behenoat, C22:0 0,16 0,0264

Asam lemak tidak jenuh

Asam miristoleat, C14:1 0,16 0,0264

Asam pentadekanoat C15:1 0,25 0,0413

Asam palmitoleat, C16:1 14,83 2,4470

Asam heptadekanoat, C17:1 0,69 0,1139

Asam oleat, C18:1n9 0,42 0,0693

Asam linoleat, C18:3n3 0,31 0,0512

Asam linolenat, C18:3n6 0,32 0,0528

Asam arakhidonat C20:4n6 1,49 0,2459

Asam dokosadienoat C22:2 0,03 0,0050

Asam eikosapentaenoat, C20:5n3 9,74 1,6071 Asam dokosaheksaenoat, C22:6n3

0,90 0,1485

Hasil penelitian menunjukkan bahwa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam

medium NPSi masih memproduksi beberapa jenis asam lemak. Hasil penelitian

Renaud et al. (2002) menunjukkan bahwa asam lemak jenuh Chaetoceros

meliputi C14:0 (23,6 %), C16:0 (9,2 %), C18:0 (0,7 %), sedangkan asam lemak

tidak jenuhnya meliputi C16:1n-7 (36,5 %), C18:1n-9 (1,7 %), C18:1n-7 (1,2 %),

C16:2n-7 (0,9 %), C16:3n-4 (2,6 %), C16:4n-1 (0,5 %), C18:2n-6 (0,4 %),

C18;3n-6 (0,9 %), C18;3n-3 (0,5 %), C18:4n-3 (0,6 %), C20:4n-6 (4,1 %),

C20:5n-3 (8,0 %), C22:6n-3 (1,0 %). Secara umum asam lemak yang dikandung

pada Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam medium Guillard (Renaud et al.

2002) juga dimiliki oleh Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam NPSi

hasil penelitian, tetapi jumlahnya tidak sama. Hal ini dikarenakan perbedaan

dalam kultivasi.

Page 94: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

77

Perbedaan hasil penelitian yang diperoleh dengan penelitian Renaud et al.

(2002) dikarenakan kondisi kultivasi yang diterapkan berbeda. Walaupun

demikian, hal ini menunjukkan bahwa medium NPSi dapat digunakan sebagai

medium pertumbuhan C. gracilis yang menghasilkan asam lemak, tetapi masih

perlu penelitian optimasi kultivasi C. gracilis supaya kandungan lemaknya lebih

besar. Menurut Araujo dan Garcia (2005), penambahan karbondioksida pada

kultivasi Chaetoceros cf. waghamii dapat memperpanjang fase logaritmik, yang

mana pada fase ini mikroalga memiliki nilai nutrisi tinggi dan baik untuk

akuakultur. Laju pertumbuhan lebih tinggi pada kultivasi yang ditambah CO2.

Kandungan lipid dan karbohidrat mikroalga tersebut yang kultivasinya pada suhu

20 dan 25 oC lebih tinggi daripada pada suhu 30 oC.

Beberapa jenis asam lemak juga berperan sebagai antibakterial. Zheng

et al. (2005) menyatakan bahwa adanya aktivitas antibakteri dari asam lemak

tidak jenuh rantai panjang telah diketahui beberapa tahun yang lalu. Asam

lemak merupakan kunci komposisi dari bahan tambahan antimikrobial yang

menghambat pertumbuhan mikroorganisme tetapi tidak diketahui reaksi

mekanisme hambatannya. Asam linoleat dan oleat adalah komponen antibakteri

di dalam tumbuhan (Helicrysum pedunculatum dan Schotia brachypetala) yang

digunakan untuk jamuan makan di Afrika Selatan (Dilika et al 2000; McGaw et al.

2002). Selain asam lemak alami, turunan asam lemak juga menunjukkan potensi

aktivitas antimikrobial. Hal ini terutama ditemukan dalam mikroorganisme, alga

atau tanaman yang merupakan mediate chemical dalam mempertahankan

serangan mikroorganisme (Preffele et al. 1996 yang diacu Zheng et al. 2005).

Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa asam lemak tidak jenuh yang

meliputi asam palmitoleat, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat dan asam

arakidonat yang dikandung dalam Chaetoceros gracilis memiliki aktivitas

antibakterial. Aktivitas antibakterial dari asam lemak belum banyak ditemukan

sehingga mekanismenya masih belum jelas.

Chaetoceros gracilis mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh.

Asam lemak ada yang esensial untuk tubuh, yaitu asam linoleat (C18:2n-6) dan

asam linolenat (C18:3n-3). Asam lemak ini dikatakan esensial karena

dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi tubuh tidak dapat mensintesis sendiri. Kedua

asam lemak ini diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan fungsi normal

semua jaringan. Turunan asam lemak dari kedua asam lemak tersebut adalah

asam arakhidonat (C20:4n-6) dari asam linoleat dan eikosapentaenoat (C20: 5n-

Page 95: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

78

3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n-3) dari asam linolenat. Kekurangan asam

lemak pada tikus percobaan dapat menimbulkan gejala seperti kulit mengalami

dermatitis dan ekzema, pertumbuhan terhambat, reproduksi terganggu,

degenerasi atau kerusakan pada organ tubuh, kerentanan terhadap infeksi

meningkat (Almatsier 2009). Bila dibandingkan dengan kandungan asam lemak

dari komodidti lain (Tabel 4), C. gracilis memiliki asam lemak lebih lengkap.

Chaetoceros gracilis memiliki asam lemak lebih lengkap dibanding kedelai, susu

sapi, telur ayam, ikan tuna dan ikan mas, tetapi jumlahnya lebih kecil.

Tabel 4 Kandungan asam lemak dalam Chaetoceros graciis dan komoditi lain

Kadar asam lemak dalam bahan (g/100g)

C. gracilis Kedele* Susu

sapi *

Telur ayam

*

Ikan tuna

*

Ikan mas

*

Asam lemak jenuh Asam kaprilat, C8:0 0,01 tad tad tad Tad Tad

Asam laurat, C12:0 0,01 tad tad tad tad tad

Asam miristat, C14:0 1,30 tad tad tad tad tad Asam pentadekanoat, C15:0 0,06 tad tad tad tad tad

Asam palmitat, C16:0 0,85 1,5 0,9 2,9 0,4 0,6

Asam stearat C18:0 0,04 0,7 0,4 0,8 0,2 0,2

Asam arakidat, C20:0 0,05 tad tad tad tad tad Asam heneikosanoat, C21:0 0,05 tad tad tad tad tad

Asam behenat, C22:0 0,03 tad tad tad tad tad

Asam lemak tidak jenuh

Asam miristoleat, C14:1 0,03 tad tad tad tad tad

Asam pentadekanoat C15:1 0,04 tad tad tad tad tad

Asam palmitoleat, C16:1 2,45 tad tad tad tad tad Asam heptadekanoat, C17:1 0,11 tad tad tad tad tad

Asam oleat, C18:1n9 0,07 5,1 1,1 5,1 0,6 1

Asam linoleat, C18:3n3 0,05 9,0 trace 0,8 0,1 0,5

asam linolenat, C18:3n6 0,05 0,3 trace 0,1 0 0,1

Asam arakhidonat C20:4n6 0,25 tad tad tad tad tad

Asam dokosadienoat C22:2 0,00 tad tad tad tad tad

Asam dokosaheksaenoat, C22:6n3

0,15

tad tad tad tad tad

Asam eikosapentaenoat, C20:5n3

1,61 tad tad tad tad tad

Sumber : * FAO (1972) Keterangan: tad = tidak ada data

Page 96: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

79

Mikroalga Chaetoceros gracilis memiliki asam lemak tidak jenuh

arakhidonat, eikosapentaenoat dan dokosaheksaenoat, yang tidak dimiliki oleh

komoditi lain. Omega 3 (asam linolenat, EPA, DHA) dan omega 6 (asam linoleat

dan AA) merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang yang berfungsi

sebagai anti-inflamasi, anti-clotting sehingga penting bagi kelancaran aliran

darah dan fungsi sendi. Selain itu juga berfungsi penting dalam metabolisme zat

gizi, terutama penyerapan vitamin A, D, E, dan K (Hamazaki dan Okuyama 2000

yang diacu Hardinsyah dan Tambunan 2004).

7.3.4 Kandungan protein biomasa Chaetoceros gracilis

Protein merupakan unsur kimia dalam makhluk hidup yang berperan

dalam pertumbuhan. Kadar protein Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan

dalam medium NPSi sebesar 45,88 %, kadar ini lebih kecil dibandingkan dengan

Chaetoceros sp hasil laporan Renaud et al. (2002), yaitu 57,3 %. Perbedaan ini

dapat disebabkan oleh kondisi kultivasi yang berbeda. Pada penelitian ini tidak

ditambahkan CO2, sedangkan pada penelitian Renaud et al. (2002) kultivasi

dilengkapi dengan CO2 dengan laju aliran 10 ml/menit.

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian

terbesar tubuh sesudah air. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat

gizi dan darah adalah protein. Protein mempunyai fungsi yang khas yang tidak

bisa digantikan dengan zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel

dan jaringan tubuh. Ada dua puluh jenis asam amino yang diketahui sampai

sekarang yang terdiri dari sembilan asam amino esensial (asam amino yang

tidak dapat dibuat oleh tubuh dan harus didatangkan dari makanan) dan sebelas

asam amino nonesensial. Asam amini terdiri atas atom karbon yang terikat pada

satu gugus karboksil (-COOH), satu gugus amino (-NH2), satu atom hidrogen (-H)

dan satu gugus radikal (-R) atau rantai cabang. Protein, selain menyediakan

asam amino esensial, juga mensuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari

karbohidrat dan lemak (Almatsier 2009). Chaetoceros gracilis merupakan

mikroalga laut yang mengandung asam amino esensial, sehingga dapat

digunakan sebagai sumber protein yang mudah diperoleh, tidak memerlukan

lahan luas, waktu panen dapat ditentukan, tidak tergantung musim.

7.3.5 Komposisi asam amino biomasa Chaetoceros gracilis

Sebuah asam amino teridiri dari gugus amino, sebuah gugus karboksil,

sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang

Page 97: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

80

dikenal sebagai karbon α, serta gugus R sebagai rantai cabang. Molekul protein

tersusun dari sejumlah asam amino sebagai bahan dasar saling berkaitan satu

sama lain (Winarno 2008). Chaetoceros gracilis merupakan diatom laut yang

memiliki kandungan zat gizi cukup tinggi. Biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan

dalam medium NPSi memiliki 15 jenis asam amino yang terdiri dari asam amino

esensial dan non esensial (Tabel 5). Chaetoceros gracilis mengandung asam

amino esensial yang teridiri atas treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin,

fenilalanin, histidin. Asam amino esensial ini berfungsi terutama sebagai

katalisator, penguat struktur, penggerak, pengatur, ekspresi genetik, penguat

imunitas dan untuk pertumbuhan. Komposisi dan jumlah asam amino esensial

ini dalam suatu protein pangan turut menentukan mutu protein dari suatu jenis

pangan (Hardinsyah dan Tambunan 2004).

Tabel 5 Komposisi asam amino pada biomasa kering Chaetoceros gracilis

Asam amino Konsentrasi dalam bahan (%)

Konsentrasi dalam bahan (mg/100g)

Non esensial

Aspartat 3,53 3530

Glutamat 3,88 3880

Serin 1,45 1450

Glisin 1,74 1740

Tirosin 1,23 1230

Arginin 1,68 1680

Alanin 1,76 1760

Esensial

Treonin 1,42 1420

Valin 1,79 1790

Metionin 0,29 290

Leusin 2,41 2410

Isoleusin 1,52 1520

Lisin 1,57 1570

Fenilalanin 1,74 1740

Histidin 0,74 740

Beberapa jenis asam amino leusin, isoleusin, valin, lisin, triptofan, treonin,

metionin dan fenilalanin dinyatakan sebagai asam amino esensial untuk manusia

dewasa, histidin dimasukkan esensial setelah itu (Gropper et al. 2005).

Berdasarkan kategori tersebut, C. gracilis memiliki kandungan asam amino

esensial yang diperlukan oleh manusia dewasa.

Page 98: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

81

Chaetoceros gracilis mengandung asam amino yang diperlukan oleh

tubuh. Almatsier (2009) menyatakan bahwa metionin untuk sintesis kolin dan

keratin. Fenilalanin adalah prekursor tirosin dan bersama-sama membentuk

hormone tirosin dan epinefrin. Tirosin merupakan prekursor bahan yang

membentuk pigmen kulit dan rambut. Arginin terlibat dalam sintesis ureum dalam

hati. Glisin mengikat bahan-bahan toksik dan mengubahnya menjadi bahan tidak

berbahaya. Asam amino glisin ini juga digunakan dalam sintesis porfirin nukleus

hemoglobin dan merupakan bagian dari asam empedu. Kreatin yang disintesis

dari arginin, glisin dan metionin bersama fosfat membentuk kreatinin fosfat, yaitu

suatu simpanan penting fosfat berenergi tinggi di dalam sel. Glutamin yang

dibentuk dari asam glutamat dan asparagin dari asam aspartat merupakan

simpanan asam amino di dalam tubuh. Angka kecukupan asam amino yang

dianjurkan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Pola kecukupan asam amino dalam tubuh

Pola kecukupan yang dianjurkan

2 tahun 10-12 tahun dewasa

Histidin (19) (19) 11

Isoleusin 28 28 66

Leusin 66 44 19

Lisin 58 44 16

Metionin +sistin 25 22 17

Fenilalanin+tirosin 63 22 19

Treonin 34 28 9

Valin 35 25 13

Triptofan 11 (9) 5

Sumber : National Research Council diacu dalam Almatsier (2009)

Kandungan asam amino Chaetoceros gracilis tidak sama dengan

komoditi lain (Tabel 7). Beberapa jenis asam amino pada Chaetoceros gracilis

lebih besar dibandingkan susu sapi cair, telur ayam, ikan tuna dan ikan mas.

Pacheco-Vega dan Sanchez-Saavedra (2009) melaporkan bahwa Chaetoceros

muelleri (Lemmermann Grown) yang ditumbuhkan dalam medium pupuk cair

yang terdiri dari HPO4, urea, NH4NO4 komposisi asam amino esensial yang

meliputi leusin (10,25%), fenilalanin (6,52%), arginin (5,54%), valin (5,90%),

treonin (5,66%), lisin (4,35%), metionin (4,29%), prolin (3,46%), isoleusin

(3,76%), histidin (2,92%), dan triptofan (1,98%). Komposisi asam amino

Page 99: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

82

Chaetoceros muelleri (Lemmermann Grown) berbeda dengan Chaetoceros

gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. Perbedaan ini disebabkan oleh

spesies dan kondisi kultivasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Borowitzka

(1988) yaitu, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi

biokimia mikroalga adalah spesies, suhu, intensitas cahaya, CO2, dan nutrien.

Tabel 7 Komposisi asam amino dalam biomasa kering C. gracilis dan komoditi lain

Asam amino

Kadar asam amino dalam bahan (mg/100 g)

C. gracilis Kedele Susu sapi cair

Telur ayam

Ikan tuna Ikan mas

Esensial

Treonin 1420 1480 151 622 862 930

Valin 1790 1743 230 900 1829 1085

Metionin 290 503 84 396 616 233

Leusin 2410 2959 330 1127 1613 1643

Isoleusin 1520 1737 179 779 1051 992

Lisin 1570 2342 269 859 2137 1922

Fenilalanin 1740 2043 157 717 812 868

Histidin 740 1006 90 330 862 620

Triptofan td 455 52 218 412 213

Non

esensial

Asam

aspartat 3530 4361 291 1174 2772 2139 Asam

glutamat 3880 7098 784 1617 3542 3038

Serin 1450 1851 190 927 1078 806

Glisin 1740 1551 67 412 812 868

Prolin td 1989 330 515 809 744

Tirosin 1230 988 196 494 1271 744

Arginin 1680 2564 101 824 1386 1209

Alanin 1760 1671 118 721 1105 1209

Sistin td 485 28 309 293 186 Sumber : * FAO (1972) Keterangan: td = tidak terdeteksi karena tidak ada standar

Page 100: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

83

7.3.6 Kandungan mineral C. gracilis

Sebagian besar bahan pangan terdiri dari bahan organik dan air, sisanya

terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik

atau kadar abu. Bahan-bahan organik terbakar dalam proses pembakaran tetapi

bahan anorganiknya tidak. Beberapa jenis mineral yang diperlukan oleh manusia

untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan kesehatan antara lain kalsium,

fosfor, magnesium. Unsur-unsur ini terdapat dalam tubuh dalam jumlah besar

sehingga dikenal dengan unsur mineral makro. Beberapa unsur lain yang juga

diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil dikenal dengan unsur mineral mikro.

Unsur mineral tersebut antara lain besi, iodium, mangan, zink. Unsur mineral di

dalam tubuh berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno 2008).

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mempunyai

kandungan mineral seperti yang disajikan pada Tabel 8, hasil analisis mineral

disajikan pada Lampiran 10.

Tabel 8 Kandungan mineral dari biomasa kering C. gracilis

Mineral Konsentrasi dalam bahan

(%)

Konsentrasi dalam bahan

(mg/100g) Ca 0,6 600 P 0,44 440

Mg 0,77 770 Fe 0,03 30 Zn 0,04 40 Mn

0,01

10

Tubuh manusia mengandung kalsium dalam jumlah besar. Peranan

kalsium dalam tubuh antara lain membantu dalam pembentukan tulang dan gigi.

Tubuh membutuhkan kalsium terbesar pada saat pertumbuhan. Mineral utama di

dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain dalam jumlah

kecil adalah, magnesium dan flour. Chaetoceros gracilis mengandung kalsium

dalam jumlah besar (600 mg/100 g). Kalsium (Ca) yang berada dalam sirkulasi

darah dan jaringan tubuh berperan dalam berbagai kegiatan, antara lain untuk

transmisi impuls syaraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, pengaturan

permeabilitas membran sel, serta keaktifan enzim. Penyerapan kalsium sangat

bervariasi tergantung umur dan kondisi badan. Pada waktu kanak-kanak atau

waktu pertumbuhan, sekitar 50-70 % kalsium yang dicerna diserap, tetapi waktu

dewasa hanya sekitar 10-40 % yang diserap (Winarno 2008). Kebutuhan

Page 101: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

84

kalsium per orang per hari bagi bayi dan anak di bawah 10 tahun sebesar 200-

600 mg. Pria dan wanita berumur di atas 10 tahun sebesar 800-1000 mg

(Soekatri dan Kartono 2004). Berdasarkan kandungan kalsiumnya, Chaetoceros

gracilis dapat digunakan sebagai bahan fortifikasi kalsium dalam memenuhi

kebutuhan mineral kalsium bagi anak-anak maupun orang dewasa.

Chaetoceros gracilis mengandung fosfor (P) sebesar 440 mg/100g.

Fosfor dalam tubuh merupakan mineral dalam jumlah besar. Peranan fosfor

dalam tubuh hampir sama dengan kalsium, yaitu berperan dalam pembentukan

tulang dan gigi serta penyimpanan dan pengeluaran energi. Sebagian besar

diserap tubuh dalam bentuk anorganik, khususnya di bagian atas duodenum

yang bersifat kurang alkalis 70% yang dicerna akan diserap (Winarno 2008).

Fosfor merupakan mineral terbanyak kedua setelah kalsium dalam tubuh, juga

berperan mengatur keseimbangan asam basa, memfasilitasi penyerapan dan

transportasi zat gizi. Kebutuhan fosfor per orang per hari bagi bayi dan anak di

bawah umur 10 tahun sebesar 100-400 mg. Pria dan wanita berumur di atas 10

tahun sebesar 600-1000 mg (Soekatri dan Kartono 2004). Berdasarkan

kandungan fosfornya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber

fosfor untuk memenuhi kebutuhan mineral fosfor bagi anak-anak maupun orang

dewasa.

Chaetoceros gracilis mengandung magnesium (Mg) sebesar 770

mg/100g. Magnesium merupakan mineral makro dalam tubuh manusia. Pada

tubuh orang dewasa terkandung 20-25% magnesium. Separuh dari jumlah

tersebut terkandung dalam tulang dan selebihnya terkandung dalam jaringan

lemak seperti otot dan hati, serta cairan ekstraseluler. Magnesium merupakan

aktivator enzim peptidase dan enzim lain yang kerjanya memecah dan

memindahkan gugus fosfat. Kekurangan magnesium dapat menyebabkan

hypomagnesema dengan gejala denyut jantung tidak teratur, insomnia, lemah

otot, kejang kaki serta telapak kaki dan tangan gemetar (Winarno 2008).

Magnesium mempunyai fungsi sebagai ko faktor untuk sistem enzim dan juga

berperan dalam fungsi sel termasuk oksidatif fosforilasi. Kebutuhan magnesium

untuk anak-anak umur 1-3 tahun adalah 60 mg/hari, sedangkan untuk orang

dewasa sebesar 270 mg/hari (Soekatri dan Kartono 2004). Berdasarkan

kandungan magnesiumnya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai

sumber magnesium untuk memenuhi kebutuhan mineral magnesium bagi anak-

anak maupun orang dewasa.

Page 102: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

85

Chaetoceros gracilis mengandung zat besi sebesar 30 mg/100g bahan.

Kandungan besi (Fe) dalam tubuh sangat kecil, yaitu 35 mg/kg berat badan

wanita atau 50 mg/kg berat badan pria (Winarno 2008). Besi dalam bentuk

senyawa dengan protein membentuk hemoglobin sebagai pembawa oksigen

dalam darah. Fungsi besi dalam senyawa besi sebagai hemoglobin, myoglobin,

enzim yang diperlukan dalam fungsi metabolisme, mengangkut dan menyimpan

oksigen. Simpanan besi ada di hati, sumsum tulang. Kecukupan besi untuk anak

berumur 1-3 tahun adalah 8 mg/hari, untuk kelompok pria di atas 18 tahun

adalah 13 mg/hari, sedangkan untuk wanita di atas 18 tahun sebesar 26 mg/hari

(Kartono dan Soekatri 2004). Besi dalam tubuh manusia sebagian terletak

dalam sel-sel darah merah sebagai heme, yaitu pigmen yang mengandung inti

sebuah atom besi. Berdasarkan kandungan zat besinya, Chaetoceros gracilis

dapat digunakan sebagai sumber zat besi untuk memenuhi kebutuhan mineral

Fe bagi anak-anak maupun orang dewasa untuk metabolisme.

Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung seng (Zn) sebesar 40 mg/100

gram bahan. Kartono dan Soekatri (2004) menyatakan bahwa angka kecukupan

seng untuk anak-anak umur 1-3 tahun adalah 8,3 mg/hari, sedangkan untuk pria

dewasa sebesar 13,4 mg/hari untuk wanita 9,8 mg/hari. Seng merupakan mineral

mikro esensial baik pada manusia, hewan maupun tanaman. Mineral ini

diperlukan dalam pembentukan jaringan mata sehingga masih dapat melihat

dalam kegelapan, pembentukan sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh,

fungsi lambung, kesehatan kulit, dan pertumbuhan. Seng esensial untuk

pertumbuhan, pematangan seks, dan imun serta reproduksi. Berdasarkan

kandungan kalsiumnya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber

seng untuk memenuhi kebutuhan mineral seng bagi anak-anak maupun orang

dewasa.

Chaetoceros gracilis mengandung mangan (Mn) 10 mg/100 g bahan.

Kartono dan Soekatri (2004) menyatakan bahwa mineral berperan sebagai

katalis berbagai enzim yang diperlukan dalam metabolism glukosa, protein dan

lemak, meningkatkan penyimpanan vitamin B1. Untuk kelompok 1-3 tahun,

asupan mangan 1,2 mg/hari. Kecukupan mangan untuk pria di atas 18 tahun

sebesar 2,3 mg/hari, sedangkan wanita di atas 18 tahun sebesar 1,8 mg/hari.

Berdasarkan kandungan mangannya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan

sebagai sumber mangan untuk memenuhi kebutuhan mineral mangan bagi anak-

anak maupun orang dewasa.

Page 103: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

86

Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung 6,5 % silika (SiO2).

Kandungan silika dalam Chaetoceros gracilis cukup tinggi. Paasche (1980)

melaporkan bahwa Chaetoceros affinis yang dikultivasi dalam medium dengan

salinitas 24 ‰ yang mengandung 100 µM nitrat, 100 µM orthosilicic acid, 10 µM

fosfat, dan vitamin serta chelated trace metal pada suhu 8, 13, 18 dan 23 oC,

mempunyai kandungan silika berturut-turut sebesar 41,7; 38,8; 35,3 dan 33,3 pg

Si/sel. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sel Chaetoceros mengandung silika.

7.3.7 Fitokimia biomasa dan ekstrak C. gracilis

Analisis fitokimia dilakukan untuk melihat golongan senyawa yang dimiliki

oleh biomasa maupun ekstrak dari C. gracilis. Hasil analisis fitokimia disajikan

pada Tabel 9 untuk biomasa C. gracilis, dan Tabel 10 untuk ekstrak metanol

dan ekstrak heksan.

Sifat fitokimia dari biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium

Guillard maupun NPSi tidak berbeda, sedangkan sifat fitokimia pada ekstrak

metanol dan ekstrak heksan ada sedikit perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa

medium NPSi dan Guillard tidak mempengaruhi sifat fitokimia C. gracilis.

Berdasarkan analisis fitokimia yang dilakukan dapat dikatakan bahwa didalam C.

gracilis mengandung alkaloid, steroid, asam amino, karbohidrat.

Tabel 9 Hasil analisis fitokimia biomasa C. gracilis

Jenis uji

Media Guillard Media NPSi

Keterangan Hasil reaksi

Alkaloid Positif/Negatif Positif/Negatif Ada alkaloid

Steroid Positif Positif Ada steroid

Flavonoid Negatif Negatif Tidak ada senyawa flavonoid

Saponin Negatif Negatif Bukan saponin

Fenol hidrokuinon

Negatif Negatif Tidak ada senyawa fenol

Ninhidrin Positif Positif Ada asam amino

Molisch Positif Positif Ada karbohidrat

Hasil analisis alkaloid biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam media

Guillard maupun NPSi adalah positif. Namun hasil uji pada ekstrak heksan

maupun metanol alkaloidnya negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi

Page 104: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

87

menggunakan heksan maupun metanol dapat mempengaruhi kandungan

alkaloid suatu bahan. Harborne (1987) menyatakan bahwa alkaloid mencakup

senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,

biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dalam sistem siklik. Alkaloid banyak

yang mempunyai aktivitas fisiologis yang menonjol, jadi digunakan secara luas

dalam bidang pengobatan. Alkaloid kebanyakan berbentuk kristal, hanya sedikit

yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar. Fungsi alkaloid dalam

tumbuhan masih sangat kabur, meskipun masing-masing senyawa telah

dinyatakan terlibat sebagai pengatur tumbuh atau penghalau atau penarik

serangga.

Tabel 10 Hasil analisis fitokimia ekstrak metanol dan heksan dari C. gracilis

Jenis uji Ekstrak metanol Ekstrak heksan

Hasil reaksi Keterangan Hasil reaksi Keterangan

Alkaloid Negatif Tidak ada alkaloid

Negatif

Tidak ada alkaloid

Steroid Positif Ada steroid Positif Ada steroid

Flavonoid Negatif Bukan senyawa flavonoid

Negatif Bukan senyawa flavonoid

Saponin Negatif Tidak ada saponin

Negatif Tidak ada saponin

Fenol hidrokuinon

Negatif Bukan senyawa fenol

Negatif Bukan senyawa fenol

Ninhidrin Positif Ada asam amino

Negatif Tidak ada asam amino

Molisch Positif Ada karbohidrat Negatif Tidak ada karbohidrat

Hasil uji flavonoid, saponin dan fenol hidroquinon pada ekstrak C. gracilis

adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam C. gracilis tidak ada

senyawa flavonoid, saponin, dan fenol hidroquinon. Harborne (1987)

menyatakan bahwa flavonoid merupakan senyawa fenol yang larut dalam air dan

dapat diekstraksi dengan etanol 70%. Warna senyawa ini akan berubah bila

ditambahkan basa atau amoniak.

Asam amino merupakan senyawa penyusun protein. Hasil uji ninhidrin

pada ekstrak metanol adalah positif, sedangkan pada ekstrak heksan hasilnya

negatif. Hal ini menunjukkan bahwa C. gracilis mengandung asam amino. Pada

Page 105: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

88

biomasa yang diekstraksi menggunakan metanol, masih terdeteksi adanya asam

amino, namun biomasa yang diekstraksi menggunakan heksan, asam amino

tidak terdeteksi. Hal ini dsebabkan asam amino tergolong bersifat polar,

sedangkan heksan termasuk non polar, sehingga asam amino tidak larut dalam

heksan.

Hasil analisis Molisch menunjukkan bahwa ekstrak heksan hasilnya

negatif, artinya ekstrak tersebut tidak mengandung karbohidrat, namun

biomasanya mengandung karbohidrat. Chaetoceros merupakan mikroalga yang

mengandung protein, lemak dan karbohidrat. Renaud et al. (2002) melaporkan

bahwa kadar karbohidrat dari biomasa Chaetoceros yang ditumbuhkan pada

suhu 25 oC sebesar 13,3 % dan pada suhu 30 oC sebesar 12,5 %. .

7.3.8 Kandungan asam nukleat

Kandungan asam nukleat ditentukan berdasarkan kadar DNA (Lampiran

11). Hasil analisis DNA menunjukkan bahwa C. gracilis mengandung asam

nukleat sebesar 0,1 %. Semua tipe protein sel tunggal mengandung asam

nukleat dalam jumlah tinggi. Becker (1988) menyatakan bahwa konsumsi asam

nukleat setiap hari sebaiknya tidak lebih dari 2 g, dengan asam nukleat total

pada semua sumber tidak lebih dari 4 g per hari.

7.4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, beberapa hal dapat

disimpulkan antara lain :

(1) Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki kadar

protein, lemak yang tinggi, yaitu sebesar 45,88 %,16,5 % dan 10,17 %.

(2) Jenis-jenis asam lemak dalam ekstrak C. gracilis meliputi asam lemak jenuh

seperti kaprilat (C8:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0),

stearat (C18:0), heneikosanoat (C21:0), behenat (C22:0), serta asam lemak

tidak jenuh seperti palmitoleat (C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat

(C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3),

arakhidonat (C20:4n6), linolenat (C18:3), dokosadienoat (C22:2),

eikosapentaenoat (C20:5n3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n3).

(3) Komposisi asam amino dari biomasa C. gracilis meliputi asam amino

esensial seperti treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin,

histidin, dan asam amino non esensial seperti asam aspartat, asam glutamat,

serin, glisin, arginin, alanin, prolin, tirosin.

Page 106: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

89

(4) Biomasa C. gracilis mengandung mineral seperti kalsium (Ca), fosfor (P),

magnesium (Mg), besi (Fe), zink (Zn), mangan (Mn).

(5) Ekstrak C. gracilis memiliki senyawa golongan steroid, asam amino,

karbohidrat, dan gula pereduksi, sedangkan biomasa memiliki senyawa

alkaloid, steroid, asam amino, karbohidrat, dan gula pereduksi.

(6) Chaetoceros gracilis mengandung 0,1 % asam nukleat (DNA) dan 6,5 %

silika.

Berdasarkan percobaan yang diperoleh, dapat disarankan untuk

dilakukan penelitian lanjutan antara lain optimasi kultivasi C. gracilis dalam

medium pupuk. komponen aktif lain seperti antioksidan, imunostimulan sebagai

bahan nutrasetika, serta kemananan pangan secara in vivo.

Page 107: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

8 PEMBAHASAN UMUM

Chaetoceros gracilis merupakan mikroalga laut yang mempunyai aktivitas

antibakteri dan komposisi kimia yang diperlukan untuk kesehatan. Mikroalga ini

mudah dibudidayakan dan dapat ditumbuhkan dalam medium pupuk NPSi.

Keunggulan lain dari mikroalga adalah budidayanya tidak tergantung musim,

tidak memerlukan lahan yang luas, waktu pemanenan dapat diatur.

Pada penelitian ini mikroalga laut Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan

dalam medium NPSi memiliki fase pertumbuhan seperti fase logaritmik, fase

stasioner, dan fase kematian. Pada penelitian ini fase lag tidak terjadi, karena

medium yang digunakan pada kultur dan inokulumnya sama, serta inokulum

kultur yang digunakan berada dalam fase logaritmik juga, sehingga inokulum

tidak mengalami masa adaptasi. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam

medium Guillard juga memiliki fase pertumbuhan logaritmik, stasioner dan

kematian.

Rendemen biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam NPSi

tidak berbeda dengan yang ditumbuhkan dalam medium Guillard. Karena

medium NPSi maupun Guillard dilengkapi dengan senyawa yang mengandung N,

P dan Si walaupun sumbernya berbeda. Unsur N, P, C dan Si merupakan unsur

utama untuk pertumbuhan diatom. Unsur N dalam medium NPSi diperoleh dari

urea, unsur P diperoleh dari TSP dan Si diperoleh dari Natrium silika, sedangkan

pada medium Guillard unsur N diperoleh dari NaNO3, unsur P dari NaH2PO4H2O,

dan unsur Si dari NaSiO3H2O. (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995) menyatakan

bahwa perbedaan kultivasi diatom dengan mikroalga lainnya terletak pada

penambahan silika. Silika sangat penting untuk proses perkembangbiakan

diatom karena silika berperan dalam pembentukan sel, pembelahan sel serta

dibutuhkan dalam proses metabolisme.

Pemanenan biomasa C. gracilis menggunakan filtrasi mempunyai

kelebihan antara lain lebih cepat, dapat dilakukan untuk kapasitas kultur besar,

dan relatif lebih murah dibandingkan menggunakan sentrifugasi. Kelemahannya

antara lain biomasa tidak dapat diperoleh semuanya, karena masih ada yang

menempel pada filter keramiknya. Hal ini yang diduga menyebabkan rendemen

dari biomasa C. gracilis rendah. Rendahnya biomasa yang diperoleh juga

diduga karena pada penelitian ini tidak ditambahkan CO2 pada saat kultivasi,

Page 108: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

91

sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang optimasi kultur C. gracilis

dalam medium NPSi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga

antara lain cahaya, suhu, pH, kandungan CO2 bebas dan salinitas (BBLL 2002).

Mikroalga laut Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan

Indonesia dan ditumbuhkan dalam medium NPSi menghasilkan senyawa aktif

yang bersifat

antibakterial, yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap Staphylococcus

aureus ATCC 25923, Vibrio harveyi, Escherichia coli ATCC 25922, Bacillus

cereus ATCC 13091. Aktivitas antibakteri yang dihasilkan oleh ekstrak

Chaetoceros gracilis lebih rendah dibandingkan antibiotik kloramfenikol pada

konsentrasi 300 µg/disc. Hal ini diduga karena ekstrak C. gracilis masih dalam

bentuk ekstrak kasar (crude extracts). Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil

aktivitas antibakteri antara lain kemurnian senyawa antibakteri, jenis dan jumlah

bakteri yang digunakan. Antibiotik dari alga umumnya belum banyak yang

teridentifikasi, namun beberapa telah diketahui komponen aktifnya. Ada yang

terdiri dari asam lemak, asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tanin,

terpenoid, polisakarida ataupun alkohol (Metting dan Pyne 1986). Asam lemak

jenuh dan tak jenuh dari mikroalga juga dapat menimbulkan aktifitas bakteristatik

(Naviner et al. 1999). Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa alga laut

Chaetoceros memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat methicilline

resistant Staphylococcus aureus, vancomycin resistant enterococcus.

Komponen antibakteri yang diperoleh dari Chaetoceros merupakan golongan

asam lemak (Wang 1999).

Antibiotik komersial seperti kloramfenikol, tetrasiklin, oksitetrasiklin, dan

ampisilin memiliki aktivitas antibakteri lebih besar dibandingkan ekstrak

Chaetoceros gracilis. Potensi relatif ekstrak Chaetoceros gracilis dalam

menghambat pertumbuhan bakteri masih rendah. Hal ini disebabkan karena

antibiotik komersial memiliki kemurnian lebih tinggi dibandingkan ekstrak

Chaetoceros gracilis, selain itu mekanisme penghambatannya juga berbeda.

Mekanisme penghambatan setiap antibiotik tidak sama satu dengan lainnya.

Kloramfenikol memiliki spektrum penghambatan yang luas, bersifat

bakteriostatik, mengganggu sintesis protein bakteri, bereaksi dengan unit 50S

ribosom dan akan menghambat pembentukan ikatan peptida pada rantai

polipeptida yang sedang terbentuk. Tetrasiklin menghambat transpor silang

membran dan menghambat metabolisme fosforilasi oksidatif dan glukosa.

Page 109: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

92

Tetrasiklin juga menghambat perlekatan tRNA yang membawa asam amino ke

ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai polipeptida yang sedang

dibentuk terhambat (Naim 2003). Ampisilin masuk ke dalam membran luar

bakteri Gram negatif menembus ke peptidoglikan yang kemudian mengganggu

sintesis dinding sel bakteri dengan cara mengganggu struktur peptidoglikan.

Sintesis dinding sel mungkin terjadi tetapi strukturnya tidak terjadi, sehingga

dinding sel menjadi lebih lemah dan terjadi autolisis, lama kelamaan sel

mengalami lisis.

Ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah (-18oC

sampai -20 oC) sampai 6 bulan masih memiliki aktivitas antibakteri sama dengan

yang awal.. Aktivitas ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan tidak

berubah, dimana diameter hambatan pada bakteri V. harveyi 7 mm, pada bakteri

E. coli 4 mm, S. aureus 6 mm, dan B. cereus 6 mm. Akbar (2008) dalam

laporan penelitiannya menyebutkan bahwa ekstrak dari Chaetoceros gracilis

yang ditumbuhkan dalam medium Guillard pada suhu ruang, dan disimpan

selama 2 bulan pada suhu rendah (sekitar -18oC) masih memiliki aktivitas

antibakteri. Aktivitas hambatan ekstrak yang disimpan selama 2 bulan sama

dengan ekstrak yang tidak disimpan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat

dikatakan bahwa penyimpanan pada -18- (-20oC) merupakan metode

penyimpanan yang baik untuk ekstrak Chaetoceros gracilis.

Efektivitas antibakteri untuk setiap bakteri tidak sama, karena masing-

masing bakteri memiliki struktur dinding sel yang berbeda. Struktur dinding sel

bakteri Gram positif berbeda dengan bakteri Gram negatif. Moat et al. (2002)

menyatakan bahwa sel bakteri Gram negatif lebih komplek dibanding bakteri

Gram positif. Struktur utama dalam sel bakteri Gram positif adalah dinding sel

dan membran sel. Dinding selnya memiliki lapisan peptidoglikan lebih tebal

dibanding bakteri Gram negatif. Lapisan peptidoglikan pada sel bakteri Gram

negatif umumnya adalah single monolayer. Membran luar bakteri ini terdiri dari

fosfolipid, lipopolisakarida, enzim, protein termasuk lipoprotein. Membran

sitoplasmik pada bakteri Gram positif dan Gram negatif merupakan lapisan lipid

yang teridiri dari fosfolipid, glikolipid dan protein. Lapisan membran luar bakteri

Gram negatif mengandung lipopolisakarida tinggi.

Pada penelitian ini ekstrak Chaetoceros gracilis menyebabkan

kebocoran sel bakteri uji. Kebocoran ini dapat disebabkan oleh perbedaan

tekanan osmotik di dalam dan di luar sel atau karena rusaknya ikatan hidrofobik

Page 110: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

93

komponen penyusun membran. Kim et al. (1995) menyatakan bahwa kebocoran

sel terjadi karena ikatan hidrofobik yang terdiri dari komponen penyusun

membran seperti protein dan fosfolipid rusak, serta larutnya komponen-

komponen lain yang berikatan secara hidrofilik dan hidrofobik. Komponen

antimikroba dapat bereaksi dengan fosfolipid dari membran sel yang

menyebabkan permeabilitas meningkat dan unsur pokok penyusun sel hilang.

Lin et al. (2000) juga menyatakan bahwa kondisi ini dapat meningkatkan

permeabilitas membran sel, sehingga memudahkan masuknya komponen

antibakteri ke dalam sel serta mengakibatkan keluarnya substansi sel seperti

protein dan asam nukleat yang menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel

bakteri uji akibat kontak ekstrak Chaetoceros gracilis dengan bakteri ditunjukkan

dengan kerusakan morfologi selnya yang dilihat menggunakan mikroskop

elektron.

Dinding sel bakteri pada penlitian ini mengalami kerusakan yang diduga

disebabkan oleh perbedaan tekanan osmotik sehingga merubah permeabilitas

sel. Menurut Kabara et al. (1972) cara kerja obat antara lain merubah

permeabilitas dari dinding sel. Hal ini dapat terjadi karena keluarnya nutrien atau

terjadinya difusi metabolit esensial. Ultee et al. (1998) melaporkan bahwa

mekanisme kerja antimikroba ada yang mempunyai spektrum luas, sempit dan

ada yang hanya efektif terhadap mikroorganisme tertentu. Pengaruh antibiotik

terhadap dinding sel dapat terjadi akibat akumulasi asam lemak maupun asam

organik dari bahan (antimikroba) dalam bentuk tidak terdisosiasi akan

menyebabkan perubahan terhadap komposisi penyusun dinding sel. Senyawa

aktif dapat bereaksi dengan dinding sel bakteri dan membran sel.

Biomassa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi

dan dipanen pada umur 7 hari mempunyai kadar protein, lemak, dan karbohidrat

sebesar 45,88 % (bk), 16,5 % dan 10,17 % (bk). Hasil analisis kandungan

senyawa kimia ini berbeda dengan hasil penelitian Renaud (2002) maupun

peneliti lain. Hal ini terjadi karena metode kultivasi yang digunakan berbeda,

karena faktor-faktor seperti nutrien, suhu, pencahayaan, CO2, salinitas

mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi kimianya.

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mempunyai

komposisi asam lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh seperti kaprilat (C8:0),

miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0), stearat (C18:0), heneikosanoat

(C21:0), behenat (C22:0), serta asam lemak tidak jenuh seperti palmitoleat

Page 111: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

94

(C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1),

oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat (C20:4n6), linolenat (C18:3),

dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat (C20:5n3) dan dokosaheksaenoat

(C22:6n3). Asam lemak seperti palmitoleat, oleat, linoleat, linolenat merupakan

asam lemak yang mempunyai aktivitas antibakteri (Zheng 2005), tetapi aktivitas

antibakteri dari asam lemak belum banyak ditemukan sehingga reaksi

mekanismenya masih belum jelas.

Chaetoceros gracilis mengandung asam lemak esensial untuk tubuh,

yaitu asam linoleat (C18:2n-6) dan asam linolenat (C18:3n-3). Asam lemak ini

dikatakan esensial karena dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi tubuh tidak dapat

mensintesis sendiri. Kedua asam lemak ini diperlukan oleh tubuh untuk

pertumbuhan dan fungsi normal semua jaringan. Turunan asam lemak dari

kedua asam lemak tersebut adalah asam arakhidonat (C20:4n-6) dari asam

linoleat dan eikosapentaenoat (C20: 5n-3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n-3)

dari asam linolenat. Ketiga asam lemak ini non esensial karena tubuh dapat

mensintesisnya. Kekurangan asam lemak dalam tubuh dapat menimbulkan

gangguan. Almatsier (2009) menyatakan bahwa kekurangan asam lemak pada

tikus percobaan dapat menimbulkan gejala seperti kulit mengalami dermatitis

dan ekzema, pertumbuhan terhambat, reproduksi terganggu, degenerasi atau

kerusakan pada organ tubuh, kerentanan terhadap infeksi meningkat. Komposisi

asam lemak dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi

masih lengkap, akan tetapi kadarnya masih rendah. Hal ini dapat diantisipasi

dengan melakukan optimasi kultivasi Chaetoceros gracilis.

Mikroalga laut Chaetoceros gracilis merupakan diatom laut yang memiliki

kandungan zat gizi cukup bagus. Chaetoceros gracilis mengandung asam amino

esensial seperti treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin, histidin.

Asam amino esensial ini berfungsi terutama sebagai katalisator, penguat struktur,

penggerak, pengatur, ekspresi genetik, penguat imunitas dan untuk pertumbuhan.

Komposisi dan jumlah asam amino esensial ini dalam suatu protein pangan turut

menentukan mutu protein dari suatu jenis pangan (Hardinsyah dan Tambunan

2004).

Chaetoceros gracilis mengandung asam amino esensial dan non

esensial. Asam amino histidin merupakan asam amino esensial untuk bayi,

namun kadang dikatakan esensial untuk orang dewasa. Histidin berperan dalam

Page 112: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

95

pemeliharaan kesetimbangan nitrogen bagi orang dewasa. Sistein berperan

dalam pemenuhan kebutuhan asam amino sulfur. Metionin berfungsi untuk

metabolisme lemak. Katabolisme fenilalanin dan tirosin terjadi di dalam hati,

namun tirosin sebagai prekursor penting dalam sintesis beberapa senyawa

esensial dalam jaringan. Triptofan berfungsi meningkatkan penggunaan dari

vitamin B kompleks, meningkatkan kesehatan syaraf, menstabilkan emosi.

Isoleusin berfungsi dalam perkembangan kecerdasan, mempertahankan

keseimbangan nitrogen tubuh. Lisin memperkuat sistem sirkulasi, bersama

proline dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen (Stipanuk 2000).

Asam amino non esensial jenis alanin di dalam jaringan mamalia

membentuk protein dan berperan dalam transaminasi. Alanin merupakan asam

amino utama yang dikeluarkan dari otot dan usus kecil, memperkuat membran

sel, membantu metabolisme glukosa menjadi energi tubuh. Glutamat dan

aspartat dapat bekerjasam dengan dua asam sitrat dalam siklus asam sitrat,

yaitu alfa-keto glutarat dan oksaloasetat. Glutamin adalah asam amino bebas

yang terdapat dalam tubuh melimpah. Prolin berfungsi sebagai bahan dasar

asam glutamat, bersama lisin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen

yang penting untuk menjaga kecantikan kulit, memperkuat persendian, tendon,

tulang rawan dan otot jantung. Beberapa arginin digunakan untuk sintesis

guanidinoasetat yang mana dibawa ke hati untuk sintesis kreatin. Arginin juga

merupakan substrat untuk sintesis nitric oxide (NO) dan sitrulin. Dekarboksilasi

arginin menjadi agmatin, yaitu sejenis amin bioaktif berfungsi sebagai

neuromodulator. Arginin juga dapat memperbaiki jaringan yang rusak. Glisin

berperan penting dalam homeostasis nitrogen (Stipanuk 2000).

Chaetoceros gracilis mengandung kalsium dalam jumlah besar (600

mg/100 g), fosfor (P) sebesar 440 mg/100g, magnesium (Mg) sebesar 770

mg/100g, besi (Fe) 30 mg/100g, seng (Zn) sebesar 30 mg/100 g dan mangan

(Mn) sebesar 10 mg/100 g bahan. Kebutuhan manusia akan mineral berbeda-

beda. Kebutuhan kalsium, fosfor, magnesium, besi, zink, dan mangan per orang

per hari bagi bayi dan anak di bawah 10 tahun sebesar 200-600 mg,100-400 mg,

60 mg, 8 mg, 8,3 mg dan 1,2 mg. Kebutuhan kalsium, fosfor, magnesium, besi,

zink, dan mangan pada orang berumur di atas 10 tahun sebesar 800-1000 mg,

600-1000 mg, 270 mg, 13-26 mg, 9,8-13,4 mg, dan 1,8-2,3 mg. Berdasarkan

kandungan mineral ini Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber

mineral. Mineral-mineral ini diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan. Soekatri

Page 113: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

96

dan Kartono (2004) menyatakan bahwa secara umum ada 3 fungsi mineral

dalam tubuh, yaitu: (1) sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi metabolik; (2)

sebagai bagian dari senyawa yang mengandung zat organik terutama enzim,

hormon, unsur tertentu dalam darah; (3) sebagai ion yang memungkinkan

pergerakan zat melintasi membran sel dan pergerakan otot.

Mineral mikro lain yang kebutuhannya belum ditetapkan tetapi dianggap

sebagai zat gizi esensial adalah Si. Silikon berperan dalam sintesis kolagen,

diabsorpsi dalam bentuk asam silikat dan diekskresi melalui urin. Zat ini banyak

terdapat dalam makanan nabati terutama biji-bijian dan serealia utuh (Almatsier

2009). Paasche (1980) menyatakan bahwa Chaetoceros dan diatom lainnya

mengandung silika yang merupakan komponen dinding sel. Biomasa

Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium NPSi mempunyai

kandungan silika sebesar 6,5 %. Kandungan silika ini cukup tinggi, sehingga

perlu dilakukan penelitian pengurangan kandungan silika dalam biomasa

Chaetoceros gracilis.

Sifat fitokimia dari biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan

dalam medium Guillard maupun NPSi tidak berbeda, sedangkan sifat fitokimia

pada ekstrak metanol dan ekstrak heksan ada sedikit perbedaan. Beberapa sifat

kimia dapat rusak oleh tahapan ekstraksi yang menggunakan pelarut metanol

dan heksan. Pada ekstrak heksan tidak mengandung asam amino, sedangkan

pada ekstrak metanol mengandung asam amino, karena heksan bukan pelarut

yang baik untuk asam amino, tetapi baik untuk lemak, sehingga dalam ekstrak

metanol masih ditemukan adanya asam amino. Kandungan asam nukleat

(DNA) dalam Chaetoceros gracilis masih tergolong rendah, yaitu sebesar 0,1%.

Page 114: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

9 KESIMPULAN DAN SARAN

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian

yang diperoleh antara lain :

1. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi

menghasilkan ekstrak yang mengandung senyawa antibakteri yang

memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus ATCC

25923, Bacillus cereus ATCC 13091, Vibrio harveyi, Escherichia coli

ATCC 25922.

2. Potensi antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap antibiotik

komersial kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin masih

kecil. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah

selama 6 bulan masih mempunyai aktivitas antibakteri yang sama dengan

yang disimpan selama 1, 2, dan 3 bulan.

3. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang dikontakkan pada bakteri dapat

menyebabkan kebocoran pada sel bakteri.

4. Chaetoceros gracilis memiliki kandungan asam amino esensial (treonin,

valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin, histidin). Chaetoceros

gracilis memiliki asam lemak tidak jenuh (palmitoleat (C16:1),

heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat

(C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat (C20:4n6), linolenat (C18:3),

dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat (C20:5n3) dan

dokosaheksaenoat (C22:6n3). Chaetoceros gracilis mengandung mineral

kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), besi (Fe), zink (Zn), mangan

(Mn). Chaetoceros gracilis mengandung fitokimia seperti steroid, alkaloid,

asam amino, karbohidrat. Kandungan asam nukleat (DNA) Chaetoceros

gracilis sebesar 0,1 % dan silika 6,5%.

Chaetoceros gracilis dapat ditumbuhkan dalam medium yang murah,

memiliki aktivitas antibakteri yang dapat berperan dalam pengembangan

farmasetika. Kandungan senyawa kimianya lengkap, kandungan asam

nukleatnya rendah, namun kandungan silika tinggi, sehingga bila digunakan

sebagai bahan suplemen sebaiknya dihilangkan terlebih dahulu. Berdasarkan

hal tersebut masih perlu dilakukan beberapa penelitian lanjutan antara lain :

Page 115: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

98

1 Optimasi kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi yang

menggunakan intensitas cahaya berbeda, menggunakan CO2,

menggunakan NPSi dalam berbagai komposisi, sehingga diperoleh teknik

kultivasi yang selektif untuk memproduksi antibakteri maupun senyawa

biokimia. Perlu dilkukan penelitian kultivasi C. gracilis pada suhu ruang

sampai diperoleh biomasa maksimum, lalu suhu diturunkan.

2 Komponen aktif lain yang meliputi antioksidan dan imunostimulan dari

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi yang

optimum

3 Produksi senyawa antibakteri dari Chaetoceros gracilis dalam medium

NPSi pada fase stasioner.

4 Untuk pengembangan nutrasetika atau suplemen makanan perlu

melanjutkan penelitian tentang keamanan pangan atau uji toksisitas

Chaetoceros gracilis (in vivo).

5 Komponen asam amino lain dalam Chaetoceros gracilis yang belum

terdeteksi.

6 Kandungan serat dan gula dalam karbohidrat dari biomasa Chaetoceros

gracilis yang ditumbuhkan dalam NPSi.

7 Penghilangan silika dalam biomasa C. gracilis.

Page 116: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

DAFTAR PUSTAKA

Akbar TM. 2008. Pengaruh cahaya dan metode ekstraksi terhadap senyawa antibakteri dari Chaetoceros gracilis. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 45 hal.

Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 337 hal.

[AOAC] Association of Official Agricultural Chemists. 2005. Preparation of methyl ester BF3 method: GC-FID. Official Methods of Analysis. Washington DC. AOAC 969.33.

Araujo SC, Garcia VMT. 2005. Growth and biochemical composition of the diatom Chaetoceros cf. wighamii brightwell under different temperature, salinity, and carbon dioxide levels. Protein, carbohydrates and lipids. Aquaculture 246: 405-412.

Arinardi OH, Sutomo AB, Yusuf SA, Trimaningsih, Asnaryanti E, dan Riyono SH. 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI. 140 hal.

Baticados MCL, Paclibare JO. 1992. The use of chemotherapeutic agents in aquaculture in the Philippines. Dalam Disease in Asian Aquaculture II. M. Shariff, R.P. Subasinghe and J.R. Arthur (eds). Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Phillipines. Hal. 531-545.

[BBLL] Balai Budidaya Laut Lampung. 2002. Budidaya fitoplankton dan zooplankton. Seri budidaya laut. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Departemen kelautan dan Perikanan. 77 hal.

Becker EW. 1988. Micro-algae for human and animal consumption. Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. (Eds.) Mikroalgal Biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge. 444 hal.

Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Cambridge University Press. Cambridge. New York. 293 hal.

Bintang M. 1993. Studi antimikroba dari Streptococcus lactis. Bandung. [Disertasi]. Program Studi Biokimia. Institut Teknologi Bandung. 147 hal.

Bloomfield SF. 1991. Methods for assessing antimicrobial activity. In Mechanisms of Action of Chemical Biocides, Their Study and Exploitation ed. Denyer, S.P. and Hugo, W.B. p. 1–22. Oxford, UK: Blackwell Scientific Publications.

Bligh EG, Dyer WJ. 1959. A rapid method of total lipid extraction and purification. Canadian Journal of Biochemistry and Physiology. 37:911-917.

Borowitzka MA. 1988. Algal growth media and sources of algal cultures. Di dalam, Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. (Eds.) Microalgal Biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge. 444 hal.

Bozolla JJ, Russel D. 1992. Electrom microscopi. Principles and techniques for biologists. Boston: Joens & Barlett publisher. 670 hal.

Page 117: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

100

Bunduki MMC, Flanders KJ, Donelly CW. 1995. Metabolic and stucture sites of damage in heat and sanitizer-injured popolation of Listeria monocytogenes. J. Food Prot. 58:410-415.

Chrismadha T. 1993. Growth and lipid production of Phaeodactylum tricornutum Bohlin in a tubular-photobioreactor. [Thesis]. Perth: Murdoch University. Australia. 211 hal.

Coulteau P. 1996. Microalgae. Di dalam Laven P dan Sorgeloos P. Manual on the production and use of the life food for aquaculture. Laboratorium of Aquaculture and Artemia Reference center, University of Ghent Belgium. Hal. 7-48.

Dalsgaard I. 2001. Selection of media for antimicrobial susceptibility testing of fish pathogenic bacteria. Aquaculture 196:267-275.

Danesi PR. 1992. Solvents extraction kinetics. Di dalam: Rydberg JC, Musikas, Choppin GR. Principles and Practices of Solvent Extraction. New York: Marcel Dekker Inc. 157 -207.

Davis WW, Stout TR. 1971. Disc plate method of microbiological antibiotic assay. Journal of Microbiology. 22(4): 659-665.

Dilika F, Bremner PD, Meyer JJM. 2000. Antibacterial activity of linoleic and oleic acids isolated from Helichrysum pedunculatum: a plant used during circumcision rites. Fitoterapia 71:450-452.

Dunstan GA, Volkman JK, Barret SM, Leroi JM, Jeffrey SW. Essential polysaturated fatty acids from 14 species of diatom (Bacillariophyceae). Phytochemistry. 35(1):155-161.

Effendi, H. 2002. Mikrobioteknologi Laut. Tantangan Baru dalam Eksploitasi Laut Nusantara, htttp//www.kompas.com/kompas-cetak/0206/19/iptek/tent Hal 19 [01/02/2006].

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1972. Food Composition Table For use In East Asia. Rome: US Department of Health, Education and Walfare and FAO, Food Policy and Nutrition Division. 334 hal.

Fardiaz S. 1983. Keamanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. 308 hal.

Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan . Bogor.: PAU IPB. 268 hal.

Fogg GE, Thake B. 1987. Alga Cultures and Phytoplankton Ecology. The University of Wisconsin Press. Madison Milwaukee. London. 269 hal.

Gauthier MJ, Bernard P, Aubert M. 1978. Production of a photo-sensitive lipid antibiotic by the marine diatom Chaetoceros lauderi (Ralfs). Ann Microbiol (Paris). 1978 Jul;129B (1):63-70.

Goldberg S. 2008. Mechanical/physical methods of cell disruption and tissue homogenization. Methods in Molecular Biology, 2008, Volume 424: 3-22.

Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2005. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 4th Edition. Australia: Thomson-Wadsworth. 600 hal.

Grima EM, Fernandez FGA, Medina AR. 2004. Downstream processing of cell mass and products. Di dalam: Richmond A. Editor. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. Australia: Blackwell Science Ltd. 566 hal.

Page 118: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

101

Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Bogor: IPB. 161 hal.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Padmawinata K dan Soediro I (penerjemah). Bandung: ITB. 354 hal.

Hardinsyah, Tambunan V. 2004. Angka kecukupan energi, protein, lemak dan serat makanan. Dalam Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). 225 hal.

Harrison PJ, Berges GA. 2005. Marine Culture Media. Di dalam: Anderson RA. Editor. Algal Culturing Techniques. USA: Elsevier Academic Press. 578 hal.

Health HB, Reineccius G. 1986. Flavouring materials of Natural Origin. In: Flavour Chemistry and Technology. The AVI Pub. Co., Inc. Westpoint, Conn., 158 hal.

Heat RJ, White SW, Rock CO. 2001. Lipid biosynthesis as a target for antibacterial agents. Pergamon. Prog. in Lipid Res 40:467-497.

Huss HH, Ababouch L, Gram L. 2003. Assessment and Management of Seafood Safety and Quality. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 257 hal.

Isnansetyo A, Kurniastuty . 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton : Pakan alami untuk pembenihan organisme laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 116 hal.

Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. Sixth edition. An Aspen Publication. Aspen publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. 679 hal.

Junior AMM, Neto EB, Koening ML, Eskinazi E. 2007. Chemical compositon of three microalgae species for possible use in mariculture leça. Brazilian archives of biology and technology. Vol.50, no. 3 : pp.461-467.

Kabara JJ, Swieczkowski DM, Conley AJ, Truant JP. 1972. Fatty acids and derivatives as antimicrobial agents. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 2(1):23-28.

Kanazawa A, Ikeda T, Endo T. 1995. A novel approach to mode of action of cationic biocide morphological effect on antibacterial activity. J. Appl. Bacteriol. 78:55-60.

Kartono D, Soekatri M. 2004. Angka kecukupan mineral :besi, seng, mangan, selenium, iodium. Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII. 225 hal.

Kim JM, Marshal MR, Cornell JA, Boston JF, Wei Cl. 1995. Antibacterial activity of carvacrol, citral, and geraniols against Salmonella typhimurium in culture medium and fish cubes. J. Food Sci 60 (6): 1365-1368.

Kobayashi M, Satari RR. 1999. Overview of marine natural products chemistry. . Prosiding Bioteknologi Kelautan Indonesia I’98. Jakarta 14-15 Oktober 1998 : 23-32.

Kochert G. 1978. Carbohydrate determination by the phenol-sulphuric acid method. In: Handbook of Phycological Method : Physiological and

Page 119: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

102

Biochemical Method. Hellebust JA dan Craigie JS (Eds). Cambrigde: Cambridge University Press. pp. 95-97.

Kungvankij P. 1988. Guide to the production of live food organisms. Food Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 23 hal.

Lailati N. 2007. Metode ekstraksi dan uji aktivitas antibakteri dari kstrak Chaetoceros gracilis. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 52 hal.

Larastri R. 2006. Studi biomassa diatom perifitik pada substrat biocrete dengan konsentrasi p yang berbeda. [Skripsi]. Bogor : Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 40 hal.

Lavilla-Pitogo CR. 1995. Bacterial disease of penaeid shrimp : An Asian View. Dalam Disease in Asian Aquaculture II. M. Shariff, J.R. Arthur dan R.P. Subasinghe (eds). Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Phillipines. 107 – 121.

Lee RE. 2008. Phycology. Ed ke-4 Cambridge: Cambridge University Press. 547

hal.

Lewis K, Salyer AA, Taber HW, Wax RG. 2007. Bacterial Resistance to Antimicrobials. Marcel Dekker , Inc. 448 hal.

Lin CM, Preston JF, Wei Cl. 2000. Antibacterial mechanism of allyl isothiocyanate. J. Food Prot. Vol. 63 (6) : 727-734.

Lowry OH, Rosenbrough NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement with the folin phenol reagent. The Journal of Biological Chemistry. 1983:265-275.

Madigan TD, Martinko JM, Parker J. 2003. Brock Biology of Microorganism. Tenth edition. Pearson Education, Inc. 1019 hal.

McGaw LJ, Jager AK, van Staden J. 2002. Isolation of antibacterial fatty acids from Schotia brachypetala. Fitoterapia 73:431-433.

Mendiola JA, Torres CF, Tore A, Martin-Alvarez PJ, Santoyo S, Arredondo BO, Senorans FJ, Cifuentes A, Ibanez, E. 2007. Use of supercritical CO2 to obtain extracts with antimicrobial activity from Chaetoceros muelleri microalga. A correlation with their lipidic content. Eur Food Res. Technol. 234:505-510.

Metting B, Pyne JW. 1986. Biologycally active compounds from microalgae. Journal of Enzyme Microb. Tech. Vol. 8. Hal. 386-394.

Moat AG, Foster JW, Spector MP. 2002. Microbial Physiology. Fourth ed. New York: Wiley-Liss, Inc. 715 hal.

Morrison RT, Boyd RN. 1992. Organic Chemistry. Sixth edition. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs. 1325 hal.

Munn CB. 2004. Marine Microbiology. Ecology and Applications. BIOS Scientific Publishers. London and New York. 282 hal.

Naim R. 2003. Cara Kerja dan Mekanisme Resistensi Antibiotik. Kompas 11

Desember 2003. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0312. Hal 14.

Page 120: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

103

Naviner M, Berge JP, Durand P, Le Bris H. 1999. Antibacterial activity of the marine diatom Skeletonema costatum against aquacultural pathogen. Aquaculture 174:15-24.

Nikaido H, Vaara M. 1985. Molecular basis of bacterial outer membrane permeability. Microb. Reviews 49(1):1-32.

Nontji A. 1999. Indonesian potential in developing marine biotechnology. Prosiding Bioteknologi Kelautan Indonesia I’98. Jakarta 14-15 Oktober 1998 : 13-22.

Nontji A. 2006. Tiada Kehidupan Di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat penelitian Oseanografi. 248 hal.

Nugraheny N. 2001. Ekstraksi bahan antibakteri dari diatom laut Skeletonema costatum dan potensi daya hambatnya terhadap Vibrio sp. Bogor. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 40 hal.

Nur MA, Adijuwana H, Kosasih. 1992. Teknik Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Bogor: PAU Ilmu Hayati IPB. Hal. 162-166

Ordogs V, Stirk WA, Lenobel R, Bancifova M, Strnad M, van Staden J, Szigeti J and Nemeth L. 2004. Screening microalgae for some potentially useful agricultural and pharmaceutical secondary metabolites. J. of Appl. Phycol. 16:309-314.

Paasche E. 1980. Silicon content of five marine plankton diatom species measured with a rapid filter method. Limnol. Oceanogr. 25(3):474-480.

Pacheco-Vega JM, Sanchez-Saavedra MDP. 2009. The biochemical composition of Chaetoceros muelleri (Lemmermann Grown) with an agricultural fertilizer. J. World Aquaculture Society 40 (4):556-559.

Parhusip AJN. 2006. Kajian mekanisme antibakteri ekstrak andaliman (Zanthozylum acanthopodium DC) terhadap bakteri pathogen pangan. Bogor. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 176 hal.

Parsons R, Masayuki T, Barry H. 1984. Biological Oceanographic Processes. 3rd Edition. Pergamon Press, Oxford. 330 hal.

Pelczar MJ, Reid RD. 1972. Microbiology. 3rd ed. McGraw Hill Book Co.New York. 948 hal.

Pelczar MJ, Chan ECS. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid II. Penterjemah Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL. Jakarta: UI Press. 997 hal.

Pribadi TDK. 1998. Ekstraksi senyawa antibakteri dari mikroalga laut jenis Chaetoceros gracilis dan uji aktivitasnya terhadap beberapa bakteri. Bogor. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 40 hal.

Raghavan G, Haridevi CK, Gopinathan CP. 2008. Growth and proximate composition of the Chaetoceros calcitrans f. Pumilus under different temperature, salinity and carbon dioxide levels. Aquaculture Research 39:1053-1058.

Page 121: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

104

Rahayu WP. 1999. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak dan fraksi rimpang lengkuas (Alpinia galangal L Swartz) terhadap mikroba pathogen dan perusak pangan. Bogor. [Disertasi]. Program Studi Ilmu Pangan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 178 hal.

Reitz LL, Smith WH, Plumble MP. 1960. A simple, Wet oxidation procedure for biological material. Animal Science Department Purdue University West La Fayette, Indiana. Analytical Chemistry Vol. 32 (12) hal 1728.

Renaud SM, Thinh LV, Lambrinidis G, Parry DL. 2002. Effect of temperature on growth, chemical composition and fatty acid composition of tropical Australian microalgae grown in batch culture. Aquaculture 211:195-214.

Reissig, JL, Strominger LJ, Leboir LF. 1955. A modified colorimetric method for estimation of N-acetylamino sugar. J. Biol. Chem. 217:959-966.

Richmond A. 1990. Large scale microalgal culture and applications. Progress in Phycological Research, Vo. 7. Bioprocess Ltd. 16 hal.

Richmond A. 2004. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology.Blackwell Science Ltd. 566 hal.

Rosa A, Deidda D, Serra A, Deiana M, Dessi MA, Pompei R. 2005. Omega-3 fatty acid composition and biological activity of three microalgae species. J. Food, Agri & Environ. Vol. 3 (2) : 120-124.

Round FE, Crawford RM, Mann DG. 1996. The Diatom Biology and Morphology of The Genera. Great Britain: Cambridge University Press. 746 hal.

Salyers AA, Whitt DD. 1994. Bacterial Pathogenes. A Molecular Approach. ASM Press. Washington DC. 418 hal.

Schlegel HG, Schmidt K. 1994. Ed ke-6. Mikrobiologi Umum. Penterjemah Tedjo Baskoro. Yoyakarta: Gajah Mada University Press. 688 hal.

Setyaningsih I, L. Hardjito, Panggabean L, 2006. Antibacterial activity of the marine diatom Chaetoceros gracilis against Staphylococcus aureus and Vibrio harveyi. Proceeding International Seminar and Workshop Marine Bioderversity and Their Potential For Developing Bio-Pharmaceutical Industry In Indonesia. Jakarta Mei 2006. Hal. 160-165

Setyabudi R, Gan VHS. 1995. Antimikroba. Dalam: Ganiswara SG, Setyabudi R, Suyatna FD, Purwantyastuti dan Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta :Gaya Baru. 755 hal.

Soekatri M, Kartono D. 2004. Angka kecukupan mineral: kalsium, fosfor, magnesium, fluor. Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII. 225 hal.

Stewart WDP. 1974. Algal Physiology and Biochemistry. Melbourne: Blackwell

Scientific Publ. London. 989 hal.

Stipanuk, MH. 2000. Biochemical and physiological aspecs of human nutrition. W.B. Saunders Company. The Curtis Center, Independence Square West. Philadelphia, PA 19106. 1007 hal.

Sue HM, Su MS, Liao IC. 1997. Collection and culture of live foods for aquaculture in Taiwan. Hydrobiologia 358: 37 – 40.

Page 122: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

105

Sunaryanto A, Mariam A. 1986. Occurence of a pathogenic bacteria cusing luminescence in penaeid larvae in Indonesian hatcheries. Bull. Brackis Water Aqua Devl Centre 8:64-70.

Suwanto A, Yuhana M, Herawaty E, Angka SL. 1999. Genetic diversity of Luminous Vibrio isolated from shrimp larvae. In Flegel R.W. (ed). Advances in Shrimp Biotechnology. National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok . 217-224.

Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Ternak. 2003. Penuntun Praktikum Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Jurusan Ilmu dan Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, IPB. Bogor. 32 hal.

Trianti R. 1998. Ekstraksi dan uji aktivitas senyawa antibakteri dari mikroalga Chlorella sp. [Skripsi]. Bogor. Program studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 56 hal.

Ultee A, Goris LGM, Smid, EJ. 1998. Bacterial activity of carvacrol towards the food-borne pathogen Bacillus cereus. J. App. Microbiol. 85:213-218.

Wang JK. 1999. Antibacterial active extracts from the marine algae Chaetoceros and methods of use. United States Patent : 5,866,150.

Williams RAD, Lambert PA, Singleton P. 1996. Antimicrobial Drug Action. Oxford: BIOS Scientific Publishers, Ltd. 145 hal.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gisi. Edisi terbaru. Bogor: Embrio Press. 286 hal.

Yap CY, Chen F. 2001. Polyunsaturated fatty acids : biologycal significance, biosynthesis, and production by microalgae and microalgae- like organisms. In Chen F and Jiang Y. (2001). Algae and Their Biotechnological Potential, Netherlands:Kluwer Academic Publishers. Hal. 1-32.

Zheng CJ, Yoo JS, Lee TG, Cho HY, Kim YH, Kim WG. 2005. Fatty acid synthesis is a terget for antibacterial activity of unsaturated fatty acids. FEBS Letters 579 (2005) :5157-5162.

Page 123: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

L A M P I R A N

Page 124: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

107

Lampiran 1 Komposisi medium pupuk NPSi yang digunakan untuk kultivasi Chaetoceros gracilis

Medium pupuk NPSi

Bahan Kandungan Jumlah

TSP (Triple Super Phosphate)*

P2O5 32%

3.125 gr/L akuades

Urea (CO(NH2)2) * Nitrogen 46%

21.273 gr/L akuades

Sodium metasilika * Si(OH)2 34% 2.941 gr/L akuades B1 0.1% (teknis) ** Biotin (teknis) ** B12 2% (teknis) **

0.1 % 2 %

1 g/100 ml akuades 0.01 g/100 ml akuades 0.5 g/100 ml akuades

Trace metal A***

CuSO4.5H2O ZnSO4.7H2O Aquades

1,95 g 4,40 g 100 ml

Trace metal B***

NaMoO4.2H2O (NH4)6.Mo7O24.4H2O Aquades

1,26 g 6,43 g 100 ml

Trace metal C***

CoCl2.6H2O Aquades

2,00 g 100 ml

Trace metal D***

MnCl2.4H2O Aquades

3,60 g 100 ml

* 3 ml +1 ml + 4 ml / L air laut ** masing-masing 0,1 ml/100 ml aquades *** masing-masing 1 ml/ L air laut

Page 125: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

108

Lampiran 2 Kepadatan sel Chaetoceros gracilis selama kultivasi

Hari Kepadatan sel (sel/mL) Log kepadatan sel

0 2,1x105 5,32

1 4,2x105 5,62

2 1,1x106 6,05

3 1,6x106 6,19

4 1,6x106 6,21

5 1,9x106 6,27

6 2,2x106 6,35

7 2,4x106 6,37

8 2,3x106 6,37

9 2,3x106 6,35

10 2,2x106 6,35

11 2,2x106 6,35

12 2,3x106 6,35

13 2,2x106 6,34

14 2,2x106 6,35

15 2,2x106 6,34

16 2,2x106 6,34

17 2,3x106 6,36

18 2,4x106 6,37

19 2,4x106 6,37

20 2,3x106 6,37

21 2,3x106 6,36

22 2,3x106 6,36

23 2,3x106 6,37

24 2,0x106 6,31

25 1,4x106 6,15

26 1,0x106 6,01

27 8,2x105 5,91

Page 126: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

109

Lampiran 3 Diameter zona hambat ekstrak metanol dari Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm)

Staphylococcus aureus ATCC 25923

Bacillus cereus ATCC13091

Vibrio harveyi

Escherichia coli ATCC 25922

Ekstrak 1 6 7 6 4

2 6 7 6 4

3 7 6 5,5 3,5

4 5,5 8 6,5 3

Rataan 6 7 6 4

Kloramfenikol

1 32 35 34 35

2 30 34 36 34

Rataan 31 35 35 35

Metanol 0 0 0 0 Lampiran 4 Diameter zona hambat ekstrak heksan Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm)

Staphylococcus aureus ATCC 25923

Bacillus cereus ATCC 13091

Vibrio harveyi

Escherichia coli ATCC 25922

Ekstrak 1 6 8 7 4

2 7 8 6,5 3,5

3 6 7 7 3

4 6 8 7,5 4

Rataan 6 8 7 4

Kloramfenikol

1 32 35 34 35

2 30 34 36 34

Rataan 31 35 35 35

Heksan 0 0 0 0

Page 127: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

110

Lampiran 5 Diameter zona hambat (mm) pada Bacillus cereus dan Vibrio harveyi dari ekstrak C. gracilis dan 4 jenis antibiotik

Ekstrak C. gracilis Kloramfenikol Ampisilin Tetrasiklin Oksitetrasiklin

Bacillus cereus

1 7 35 40 32 33

2 7

3 6 33 38,5 32,5 31

4 8

Rataan 7 34 39 32 32

sd 0,8 1,0 1,0 1,0 1,0

Vibrio harveyi

1 6 35 30 35 34

2 6

3 5 33,5 28 33,5 32

4 7

Rataan 6 34 29 34 33

sd 0,8 1,1 1,4 1,1 1,4

Lampiran 6 Potensi relatif ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap antibiotik

komersial (%)

Kloramfenikol Ampisilin Tetrasiklin Oksitetrasiklin

Bacillus cereus

1 20 18 22 21

2 21 18 22 23

Rataan 21 18 22 22

sd 0,9 0,5 0,2 0,9

Vibrio harveyi

1 17 20 17 18

2 18 21 18 19

Rataan 18 21 18 18

sd 0,5 1, 0,5 0,8

Page 128: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

111

Lampiran 7 Diameter zona hambat (mm) ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan

Bakteri uji Diameter zona hambat selama penyimpanan (mm)

0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 6 bulan V. harveyi 6±0,5 6±0,5 6±0,3 6±0,4 6±0,4

E. coli 4±0,3 4±0,3 4±0,3 4±0,3 4±0,3

S. aureus 6±0,5 6±0,5 6±0,4 6±0,2 6±0,4

B. cereus 7±0,5 7±0,5 7±0,3 7±0,4 7±0,4

Page 129: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

112

Lampiran 8 Perhitungan kadar protein C. gracilis

Penentuan kadar protein

Kurva standar

0 10 20 40 60 80 100

0 0,138 0,196 0,304 0,381 0,462 0,553 0 0,165 0,21 0,289 0,388 0,505 0,561 0 0,1515 0,203 0,2965 0,3845 0,4835 0,557

Bobot sampel (mg) Abs ug/ml % Protein % rataan protein

200 0,335 86,75 43,38 45,875

0,375 96,75 48,38

45,88

y = 0.004x - 0.012R² = 0.997

-0.05

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

0.5

0 20 40 60 80 100 120

Page 130: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

113

Lampiran 9 Penghitungan kadar karbohidrat C. gracilis

Kurva standar

0 10 20 40 60 80 100

0 0,088 0,2 0,407 0,609 0,682 0,9366 0 0,069 0,149 0,289 0,571 0,74 0,965 0 0,0785 0,1745 0,348 0,59 0,711 0,9508

Bobot sampel Absorbansi ug/ml % karbohidrat % rataan kadar Karbohidrat

200 0,179 21,11 10,56 10,17

0,165 19,56 9,78

y = 0.009x - 0.011R² = 0.995

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

0 20 40 60 80 100 120

Page 131: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

114

Lampiran 10 Perhitungan hasil analisis mineral dari biomasa C. gracilis

Hasil analisis mineral Kalsium (Ca)

ppm std Abs std

0 -0,0001

2,5 0,0380

5 0,0707

10 0,1372

15 0,2018

20 0,2656

25 0,3270

Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl ppm splXFP ppm splXFP/(grxBK) % Ca

C. gracilis 2,0194 0,0674 4,876923 12192,30769 6037,589231 0,60

Air laut _ 0,0120 0,615385 615,3846154 615,3846154 0,06

Hasil analisis mineral Phosphor (P)

ppm std PO4 Abs std PO4

0 0

4 0,082

8 0,17

16 0,353

24 0,523

32 0,686

40 0,814

Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl

ppm splXFP

ppm splXFP/(grxBK) % PO4 % P

C. gracilis 2,0194 0,098 4,55 28437,5 14082,15311 1,40822 0,46

Air laut _ 0,007 0 0 0 0 0,00

y = 0.013x + 0.004R² = 0.999

-0.1

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0 5 10 15 20 25 30

Page 132: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

115

Hasil analisis mineral Magnesium (Mg)

ppm std Abs std

0 -0,0006

0,1 0,0310

0,2 0,0557

0,4 0,1059

0,6 0,1547

0,8 0,1991

1 0,2430

Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl ppm splXFP

ppm splXFP/(grxBK) % Mg

C. gracilis 2,0194 0,1559 0,626141 15653,527 7751,573225 0,78

Air laut _ 0,2580 1,049793 1049,79253 1049,792531 0,10

Hasil analisis mineral Besi(Fe)

ppm std Abs std

0 0,0004 1 0,0244 2 0,0529 4 0,0986 6 0,1460 8 0,1880

10 0,2290

Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl ppm splXFP ppm splXFP/(grxBK) % Fe

C. gracilis 2,0194 0,0550 2,318182 579,545455 286,99 0,03

Air laut _ -0,0019 -0,26818 -0,2681818 -0,27 0,00

y = 0.022x + 0.004R² = 0.998

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0 2 4 6 8 10 12

Page 133: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

116

Hasil analisis mineral Mangan (Mn)

ppm std Abs std

0 0

1 0,0497

2 0,0971

4 0,1902

6 0,2644

8 0,3396

10 0,4161

Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl ppm splXFP ppm splXFP/(grxBK) % Mn

C. gracilis 2,0194 0,2531 5,929268 148,231707 73,40 0,01

Air laut _ 0,0002 -0,23902 -0,2390244 -0,24 0,00

Hasil analisis mineral Seng (Zn)

ppm std Abs std 0 -0,0011

0,25 0,028 0,5 0,0555 1 0,1119

1,5 0,1505 2 0,1971

2,5 0,2314

Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl ppm splXFP ppm splXFP/(grxBK) % Zn

C. gracilis 2,0194 0,0371 0,323656 809,139785 400,68 0,04 Air laut _ 0,0079 0,009677 0,00967742 0,01 0,00

y = 0.041x + 0.010R² = 0.997

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0 2 4 6 8 10 12

Page 134: KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis

117

Lampiran 11 Konsentrasi DNA dalam Chaetoceros gracilis

Sampel

Nilai [DNA] x Faktor

Pengenceran (40x)

Absorbansi [DNA] (µg/ml)

Protein (µg/ml)

Purity (%)

Bobot Sampel (mg)

(µg/ml) (%)

1 0,536 26,8 0,3 66 20,5 1072 0,1072

2 0,591 29,5 0,3 66 20,6 1180 0,118

Rataan 1126 0,1126