BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mata merupakan salah satu organ vital pada manusia yang tergabung dalam kelompok panca indera. Pada keadaan normal, mata dengan segala komponen yang membentuknya berperan penting dalam proses penglihatan manusia terhadap alam sekitar. Sayangnya, seringkali ditemukan adanya abnormalitas baik pada masing-masing komponennya maupun pada mata sebagai organ secara keseluruhan. Abnormalitas pada mata terdapat dalam berbagai bentuk seperti kelainan dalam hal jarak pandang dan kelainan karena disfungsi atau kerusakan berbagai komponen pembentuk mata. Kelainan jarak pandang mata atau biasa disebut dengan gangguan refraksi (refraction error) dapat berupa rabun jauh (myopia), rabun dekat (hypermetropia), astigmatisma, dan presbiopia. (1-4) Gangguan refraksi mata seringkali mengakibatkan berkurangnya penglihatan hingga kebutaan. Bila dibandingkan dengan angka kebutaan di negara-negara regional Asia Tenggara, angka kebutaan di Indonesia merupakan yang tertinggi setelah Bangladesh (1%), India (0,7%), dan Thailand (0,3%). Menurut dr. Sri Astuti, berdasarkan Survey Kesehatan Indera tahun 1993-1996, sebesar 1,5% penduduk Indonesia mengalami kebutaan dengan penyebab utama adalah Katarak (0,78%), Glaukoma (0,20%), Kelainan Refraksi (0,14%), Gangguan Retina (0,13%), dan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mata merupakan salah satu organ vital pada manusia yang tergabung dalam
kelompok panca indera. Pada keadaan normal, mata dengan segala komponen yang
membentuknya berperan penting dalam proses penglihatan manusia terhadap alam
sekitar. Sayangnya, seringkali ditemukan adanya abnormalitas baik pada masing-
masing komponennya maupun pada mata sebagai organ secara keseluruhan.
Abnormalitas pada mata terdapat dalam berbagai bentuk seperti kelainan dalam hal
jarak pandang dan kelainan karena disfungsi atau kerusakan berbagai komponen
pembentuk mata. Kelainan jarak pandang mata atau biasa disebut dengan gangguan
refraksi (refraction error) dapat berupa rabun jauh (myopia), rabun dekat
(hypermetropia), astigmatisma, dan presbiopia. (1-4)
Gangguan refraksi mata seringkali mengakibatkan berkurangnya penglihatan
hingga kebutaan. Bila dibandingkan dengan angka kebutaan di negara-negara regional
Asia Tenggara, angka kebutaan di Indonesia merupakan yang tertinggi setelah
Bangladesh (1%), India (0,7%), dan Thailand (0,3%). Menurut dr. Sri Astuti,
berdasarkan Survey Kesehatan Indera tahun 1993-1996, sebesar 1,5% penduduk
Indonesia mengalami kebutaan dengan penyebab utama adalah Katarak (0,78%),
Glaukoma (0,20%), Kelainan Refraksi (0,14%), Gangguan Retina (0,13%), dan
Kelainan Kornea (0,10%).(5) Prevalensi dunia untuk kelainan refraksi menurut WHO
tahun 2007 diperkirakan mencapai 800 juta sampai 2,3 milyar orang, yang didominasi
oleh anak usia 5-15 tahun sebanyak 130 juta dan dewasa usia 16-49 tahun sebanyak
450 juta. (6) Sementara di Indonesia, menurut Survey Departemen Kesehatan Oktober
2007, prevalensi kelainan refraksi mencapai 22,1 % dari seluruh populasi. (5)
Salah satu gangguan refraksi mata yang sering mengakibatkan hilangnya
penglihatan dengan prevalensi yang kian meningkat di seluruh dunia adalah myopia
(rabun jauh).(7) Myopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan
pembiasan sinar berlebihan atau kerusakan refraksi mata sehingga sinar sejajar yang
datang dibiaskan di depan retina (bintik kuning) dan disertai dengan sistem akomodasi
yang berkurang. (1,8) Pasien dengsan myopia akan menyatakan melihat lebih jelas bila
1 1
jaraknya dekat sedangkan melihat kabur jika pasien melihat dari jarak yang jauh.(1,8-9)
Insiden myopia bervariasi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, letak
geografis, jenis kelamin, ras, etnik, pekerjaan, lingkungan, dan faktor lainnya. Di
beberapa negara seperti Jepang, Singapura, dan Taiwan, lebih dari 44% dari populasi
manusia dewasa menderita myopia. (10) Hasil penelitian terakhir dari mahasiswa
kedokteran di Inggris menyatakan bahwa 50% dari orang kulit putih dan 53,4% orang
Asia-Inggris menderita myopia. Myopia lebih jarang ditemukan pada orang Afrika dan
orang kulit hitam. Asia memiliki prevalensi tertinggi yaitu 78,5 % diikuti dengan ras
Hispanics yaitu 13,2%. Prevalensi myopia pada tahun 2006 terutama meningkat pada
usia sekolah dan dewasa muda (12 – 54 tahun), mencapai 20 – 25 % di Amerika
Serikat dan 25 – 35 % di negara berkembang. (10)
Myopia dengan klasifikasi berat (> 6 dioptri) beresiko untuk menjadi glaukoma,
katarak, degenerasi retina, dan myopic makular degenerasi. (11) Adanya kenaikan
tekanan intraokular pada penderita myopia juga dapat menjadi salah satu faktor resiko
menderita glaukoma. Glaukoma merupakan penyakit yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan intraokular, atrofi papil saraf optik, dan menciutnya lapangan
pandang. Penyakit ini cukup banyak dijumpai di masyarakat Indonesia dan dapat
mengakibatkan kebutaan namun kurang dikenal oleh masyarakat. (1,2)
Tekanan intraokular adalah tekanan yang dihasilkan oleh isi bola mata terutama
cairan aquos humor terhadap dinding bola mata. Pengukuran tekanan intraokular
merupakan bentuk pemeriksaan yang penting untuk mengetahui adanya kelainan mata
seperti myopia. (1-3,12)
Ada banyak penelitian yang menghubungkan tekanan intraokular dengan
derajat myopia. Penelitian dari Abdullah dan Hamdi menemukan bahwa pada mata
penderita myopia menunjukkan tekanan intraokular yang lebih tinggi dari mata orang
normal. Kamali dan Hamdi mendapatkan secara statistik ada hubungan antara mata
myopia dengan peningkatan tekanan intraokular. Tomlinson dan Philips, menunjukkan
ada hubungan yang bermakna antara tekanan intraokular dengan mata myopia dan
hipermetropia, juga didapatkan korelasi yang positif antara diameter aksial dengan
tekanan intraokular. Menurut penelitian dari dr. Oriza Sativa, Universitas Sumatera
Utara (USU), ada perbedaan tekanan intraokular yang bermakna antara penderita
myopia ringan dan sedang yaitu mata kanan 15,24 mmHg dan mata kiri 15,49 mmHg
pada penderita myopia ringan sementara pada penderita myopia sedang mata kanan
2
16,75 mmHg dan mata kiri 16,90 mmHg. (9) dan Quin G.E., dkk menyimpulkan bahwa
pada mata myopia ditemukan adanya peningkatan tekanan intraokular dibanding mata
non-myopia. (13) Namun, di sisi lain, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh A. J.
Lee dan beberapa peneliti lain terhadap anak usia sekolah di Singapura, tidak
ditemukan adanya perbedaan tekanan intraokular yang bermakna antara penderita
myopia tinggi (mean IOP 16,7 (2,5) mmHg) dan myopia rendah (16,4 (2,8) mmHg).(14)
Oleh karena itu, tim perencana akan mengadakan penelitian mengenai
perbedaan tekanan intraokular pada mata penderita myopia ringan, sedang, dan berat di
kalangan mahasiswa preklinik FK-UAJ tahun 2008, tepatnya yang berusia 18-25 tahun
sehubungan dengan prevalensi myopia yang meningkat pada kelompok usia tersebut
sekaligus merujuk pada kemampuan dari tim peneliti. Adapun tujuan dari penelitian ini
ialah guna mengetahui apakah perbedaan derajat myopia ringan, sedang, dan berat di
kalangan mahasiswa pre-klinik FK-UAJ usia 18-25 tahun juga diiringi dengan
perbedaan tekanan intraokular yang bermakna, sekaligus memberikan dasar bagi
penderita myopia derajat tertentu dengan tekanan intraokular tinggi (≥ 20 mmHg)
untuk melakukan pemeriksaan mata lebih lanjut guna mengantisipasi progresivitas
myopia menjadi glaukoma. Penetapan populasi penelitian didasarkan atas berbagai
laporan kesehatan dari WHO yang menyatakan bahwa prevalensi myopia tertinggi
terdapat pada masyarakat usia sekolah dan dewasa muda.
1.2. Identifikasi Masalah
Tekanan intraokular ikut mengalami perubahan seiring kelainan mata berupa
myopia. Perubahan itu ditandai dengan peningkatan tekanan intraokular pada mata
myopia dibandingkan dengan mata yang normal. Oleh karena itu, perlu diketahui
seberapa besar tekanan intraokular pada mata penderita myopia dan dibedakan
berdasarkan derajat myopianya, yaitu ringan, sedang, dan berat. Tekanan intraokular
yang tinggi merupakan salah satu ciri khas dari glaukoma. Maka pada penderita myopia
dengan tekanan intraokular yang tinggi perlu dilakukan pemeriksaan yang bertujuan
untuk mengetahui kemungkinan adanya resiko penyakit glaukoma.
1.3. Tujuan Penelitian
3
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui besarnya perbedaan tekanan intraokular pada mata penderita
myopia ringan, sedang , dan berat di kalangan mahasiswa pre-klinik FK-UAJ tahun
2008.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian yang kami lakukan adalah sebagai berikut
:
1. Untuk mengetahui besarnya prevalensi penderita myopia pada mahasiswa pre-
klinik FK-UAJ tahun 2008.
2. Untuk mengetahui besarnya visus atau tajam penglihatan pada penderita myopia
yang bersangkutan.
3. Untuk mengklasifikasikan myopia menjadi kategori myopia ringan, sedang, dan
berat.
4. Untuk mengetahui apakah peningkatan derajat myopia turut disertai dengan
peningkatan tekanan intraokular pada kedua sisi matanya.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Bagi Masyarakat
1. Memberikan informasi tentang besarnya perbedaan tekanan intraokular pada
mata penderita myopia ringan, sedang, dan berat usia 18-25 tahun.
2. Sebagai acuan bagi penelitian berikutnya yang mengangkat topik yang sama.
1.4.2. Manfaat Bagi Peneliti
1. Menambah wawasan peneliti terhadap masalah tersebut.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tekanan Intraokular
2.1.1. Definisi Tekanan Intraokular
Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan pembentukan aquos humor dan
tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Tekanan intraokular diatur oleh dinamika
cairan aquos humor termasuk diantaranya yaitu produksi cairan aquos, aliran cairan,
dan tekanan vena episklera. Fungsi dari aquos humor adalah sebagai media refraksi,
pemberi nutrisi, dan juga mempengaruhi tekanan hidrostatik untuk stabilitas bola mata.
Tekanan bola mata pada manusia normal yang diukur dengan pemeriksaan tonometer
Aplanasi rata-rata berkisar 15,4 ± 2,5 mmHg pada posisi duduk dan berkisar 16,1 ± 2,8
mmHg pada posisi berbaring. (1,15)
Distribusi tekanan intraokular rata-rata dari populasi umum berkisar antara 10-
20 mmHg. Tekanan intraokular normal pada manusia dari data penelitian Becker
dengan menggunakan tonometer Schiotz pada 909 populasi adalah 16,1 mmHg dengan
SD 2,8 mmHg, dan dari penelitian Leydecker, dkk (1958) pada 10.000 populasi
mendapatkan nilai tekanan intraokular 15,8 mmHg dengan SD 2,6 mmHg. Penelitian
Goldmann pada 400 populasi dengan menggunakan tonometer Aplanasi mendapatkan
nilai tekanan intraokular rata-rata 15,4 mmHg dengan SD 2,5 mmHg.(12,16-17)
Tekanan intraokular merupakan pemeriksaan yang penting untuk mengetahui
adanya beberapa penyakit mata seperti myopia dan glaukoma karena pada kedua
kelainan tersebut dijumpai adanya peningkatan tekanan intraokular. Tekanan 24,4
mmHg masih dianggap sebagai batas tertinggi namun tekanan 20-22 mmHg sudah
dianggap sebagai high normal dan sudah harus diwaspadai. (2,17)
2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Intraokular
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan intraokular adalah sebagai
berikut :
Umur
5
Umumnya usia muda mempunyai tekanan yang lebih rendah dibanding populasi
umum sedangkan pada orang tua, peninggian tekanan ini mempunyai hubungan dengan
tekanan darah yang meninggi, frekuensi nadi, dan obesitas. Dengan peningkatan umur,
pengeluaran aliran aquos humor menurun. (12,18)
Jenis kelamin
Tidak banyak ditemukan perbedaan tekanan intraokular antara pria dan wanita.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zaldi, bagian Ilmu Penyakit Mata USU pada
tahun 2003, tekanan intraokular rata–rata pada pria adalah 15,52 ± 0,87 mmHg (mata
kanan) dan 15,48 ± 0,73 mmHg (mata kiri) dan pada wanita adalah 15,61 ± 0,66 mmHg
(mata kanan) dan 15,59 ± 0,81 mmHg (mata kiri). Umumnya wanita usia menopause
mempunyai tekanan intraokular yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pria pada
umur yang sama.(12,18)
Variasi diurnal
Variasi diurnal merupakan perubahan keadaan tekanan intraokular setiap hari.
Pada orang normal tidak melebihi 4 mmHg antara terendah dan tertinggi sedangkan
pada penderita glaukoma dapat lebih tinggi lagi. Umumnya tekanan intraokular
meninggi pada siang hari terutama pagi hari dan lebih rendah pada malam hari. (12,18)
Gangguan refraksi
Terdapat hubungan antara myopia aksial dengan peninggian tekanan intraokular
dimana dengan bertambahnya panjang sumbu bola mata akan menyebabkan
meningkatnya tekanan intraokular.(12)
Penyakit mata
Beberapa penyakit mata seperti uveitis dan ablasi retina dapat menyebabkan
penurunan tekanan-tekanan intraokular.(7,12,19)
2.2. Myopia = Near Sightedness = Short Sightedness
2.2.1. Definisi (1-2,7-8,20)
Myopia adalah suatu bentuk kelainan refraksi akibat sinar-sinar sejajar yang
datang dari jarak tak terhingga oleh mata dalam keadaan tidak berakomodasi dibiaskan
pada satu titik di depan retina. Walaupun telah terdapat bukti-bukti dari penelitian-
penelitian terdahulu bahwa myopia disebabkan oleh pemanjangan sumbu bola mata
6
karena pengaruh faktor genetik, lingkungan, dan kombinasi di antara keduanya tetapi
penyebab yang mendasarinya belum jelas sepenuhnya.
Terdapat dua teori utama tentang terjadinya pemanjangan sumbu bola mata
pada myopia. Teori biologis menganggap pemanjangan sumbu bola mata sebagai
akibat kelainan pertumbuhan retina (overgrowth) sedangkan teori mekanik
mengemukakan penekanan (stress) sklera sebagai penyebab pemanjangan tersebut.
2.2.2. Patogenesis (7-8,20)
Patogenesis terjadinya elongasi sumbu yang berlebihan pada myopia patologi
masih belum diketahui secara pasti sehubungan dengan masih berkembangnya dua
mekanisme patogenesis yang berbeda. Dua mekanisme yang berbeda tersebut adalah:
1. Menurut tahanan sklera (Teori Biologis)
- Mesodermal
Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat
mengakibatkan elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan hal ini,
dimana pembuangan sebagian mesenkim sklera dari perkembangan ayam menyebabkan
ektasia daerah ini karena perubahan tekanan dinding okular. Dalam keadaan normal,
sklera posterior merupakan jaringan terakhir yang berkembang. Keterlambatan
pertumbuhan strategis ini menyebabkan kongenital ektasia pada area ini.
Sklera normal terdiri dari pita luas padat berupa bundel serat kolagen yang
terbagi menjadi bidang anterior dan posterior. Bidang sklera anterior merupakan area
cross sectional yang kurang dapat diperluas per-unitnya dari pada bidang lain. Pada tes,
bidang ini ditekan sampai 7,5 g/mm2. Tekanan intraokular equivalen 100 mmHg, pada
batas terendah dari stress ekstensi pada sklera posterior ditemukan empat kali dari pada
bidang anterior dan equator. Pada batas lebih tinggi sklera posterior kira-kira dua kali
lebih diperluas. Perbedaan tekanan diantara bidang sklera normal tampak berhubungan
dengan hilangnya luas bundel serat sudut jala yang terlihat pada sklera posterior.
Struktur serat kolagen abnormal terlihat pada kulit pasien dengan Ehlers-Danlos yang
merupakan penyakit kolagen sistematik yang berhubungan dengan myopia.
- Ektodermal – Mesodermal
7
Vogt awalnya memperluas konsep bahwa myopia adalah hasil
ketidakharmonisan pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina yang
berlebihan dengan bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid maupun sklera
menghasilkan peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt pada umumnya tidak dapat
diterima, namun telah diteliti ulang dalam hubungannya dengan myopia, bahwa
pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera berada di bawah pengaruh epitel pigmen
retina. Pandangan baru ini menyatakan bahwa epitel pigmen abnormal menginduksi
pembentukan koroid dan sklera subnormal. Hal ini yang mungkin menimbulkan defek
ektodermal – mesodermal umum pada segmen posterior terutama zona oraequatorial
atau satu yang terlokalisir pada daerah tertentu dari pole posterior mata, dimana dapat
dilihat pada myopia patologik (tipe stafiloma posterior).
2. Meningkatnya suatu kekuatan yang luas (Teori Mekanis)
Peningkatan suatu kekuatan yang luas dapat dilihat dari faktor-faktor berikut ini
:
- Tekanan intraokular basal
Salah satu contoh klasik teori ini yaitu pada penyakit myopia sekunder yang
dipengaruhi oleh peningkatan tekanan basal. Seperti pada penyakit glaukoma juvenil
dimana dapat terlihat bahwa peningkatan tekanan basal berperan besar pada
peningkatan pemanjangan sumbu bola mata.
Salah satu mekanisme pemanjangan sumbu bola mata yang diajukan pada teori
mekanis adalah penekanan bola mata oleh muskulus rektus medial dan oblik superior.
Seperti yang telah diketahui, penderita myopia selalu menggunakan konvergensi yang
berlebihan. Menurut Von Graefe, otot ekstraokular, terutama rektus medial bersifat
miopigenik karena kompresinya terhadap bola mata pada saat konvergensi. Jakson
menganggap bahwa konvergensi merupakan faktor etiologi yang penting dalam
perkembangan myopia. Dikemukakan juga bahwa muskulus oblik superior juga
menekan bola mata pada waktu melihat atau bekerja dekat. Hal yang dikemukakan
diatas baru menjelaskan mekanisme tetapi belum sampai pada etiologinya. Terjadinya
konvergensi yang berlebihan menurut Mannhardt disebabkan oleh karena penderita
myopia memiliki jarak orbita dan jarak pupil yang lebar. Stilling menambahkan bahwa
disamping lebar, posisi orbita juga lebih rendah sehingga porsi muskulus oblik superior
yang menekan bola mata lebih besar. Possey dan Vandergrift mengemukakan bahwa
8
anatomi merupakan faktor yang terpenting dalam terjadinya myopia. Fox
mengidentifikasikan orbita yang dalam akan lebih memungkinkan untuk
mengakibatkan terjadinya pemanjangan sumbu bola mata.
- Susunan peningkatan tekanan
Secara anatomis dan fisiologis, sklera memberikan berbagai respon terhadap
induksi deformasi. Secara konstan, sklera mengalami perubahan pada stress. Kedipan
kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan intraokular sebanyak 10
mmHg, sama halnya seperti konvergensi kuat dan pandangan ke lateral. Posisi valsava
manuver dapat meningkatkan tekanan intraokular sampai 60 mmHg. Penutupan paksa
kelopak mata juga dapat meningkatkan tekanan sampai 70 mmHg hingga 110 mmHg.
Gosokan paksa pada mata merupakan kebiasaan buruk yang sangat sering dilakukan
penderita myopia, sehingga dapat meningkatkan tekanan intraokular.
2.2.3. Tipe / Bentuk(7, 19-21)
Berdasarkan etiologinya, tipe myopia dapat dibagi menjadi:
a. Myopia Aksial
Dalam hal ini myopia terjadi karena pengaruh panjang sumbu bola mata
(diameter antero-posterior) dengan kondisi kelengkungan kornea dan lensa yang
normal, refraktif power normal, dan tipe mata yang lebih besar dari normal.
b. Myopia Kurvatura
Dalam hal ini terjadinya myopia diakibatkan oleh perubahan dari kelengkungan
kornea atau perubahan kelengkungan dari lensa.
2.2.4. Klasifikasi Klinis
Berdasarkan besarnya dioptri lensa koreksi secara klasik, myopia dibagi
menjadi:
a. Myopia sangat ringan = sferis < 1,00 dioptri
b. Myopia ringan = sferis 1,00 – 2,99 dioptri
c. Myopia sedang = sferis 3,00 – 5,99 dioptri
d. Myopia berat = sferis 6,00 – 9,99 dioptri
e. Myopia sangat berat = sferis ≥ 10 dioptri (1)
9
2.3. Pemeriksaan Tekanan Intraokular (1-4,17)
Pengukuran tekanan intraokular secara sederhana dilakukan dengan
menggunakan dua jari telunjuk yang menekan secara bergantian bagian atas palpebra
superior dan merasakan tegangan bola mata. Bola mata dapat disamakan dengan suatu
kompartemen tertutup dengan sirkulasi aquos humor yang konstan. Cairan ini
mempertahankan bentuk dan tekanan relatif didalam bola mata. Tonometri adalah cara
pengukuran tekanan intraokuler dengan memakai alat-alat terkalibrasi yang
melekukkan atau meratakan kornea. Makin tegang mata, maka makin besar gaya yang
diperlukan untuk mengakibatkan lekukan .
Pemeriksaan tekanan intraokular sebaiknya dilakukan pada setiap orang di atas
20 tahun pada saat pemeriksaan fisik medis secara umum. Tindakan ini dapat dilakukan
oleh dokter umum atau dokter spesialis lainnya.
2.3.1.Tonometer Schiotz
Pada pemeriksaan ini, dilakukan penekanan terhadap permukaan kornea dan
dengan beban tertentu akan terjadi kecekungan pada kornea yang akan terlihat
perubahan pada skala Schiotz. Makin rendah tekanan bola mata, maka skala yang
terlihat akan semakin besar.
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang ditidurkan dengan posisi horizontal
dan mata ditetesi dengan obat anestesi topikal atau pantokain 0,5%. Tonometer Schiotz
kemudian diletakkan di atas permukaan kornea, sedangkan mata yang lainnya
berfiksasi pada satu titik di langit-langit kamar periksa. Kelemahan penggunaan alat ini
adalah mengabaikan faktor kekakuan sklera (scleral rigidity). Sementara, ketika
dilakukan indentasi pada kornea mata menggunakan tonometer, maka faktor kekakuan
sklera pun akan berpengaruh terhadap tekanan intraokular yang terukur. Cara untuk
mengetahui kekakuan sklera adalah dengan menggunakan 2 macam beban yaitu 5,5 dan
10 gram. Bila hasil bacaan dengan beban 10 gram selalu lebih tinggi dibanding hasil
bacaan dengan beban 5,5 gram maka mata tersebut melakukan kekakuan sklera yang
lebih tinggi dari normal dibanding hasil bacaan pada saat tersebut dan begitu pula
sebaliknya. Selain itu, jika pada pengukuran dengan beban 5,5 gram (beban standar)
10
terbaca angka 3 atau kurang, maka perlu diambil beban 7,5 atau 10 gram. Berikut
merupakan kurva yang menggambarkan hubungan antara tekanan intraokular,
kekakuan sclera, dan volume indentasi. Normalnya, kekakuan sklera berkisar antara
0.0200-0,0250. (22)
Adapun koreksi terhadap besarnya tekanan intraokular yang terukur
menggunakan tonometer Schiotz akibat pengaruh kekakuan sklera dapat dilihat pada
tabel di bawah ini: (22)
11
Tonometer Schiotz merupakan alat yang praktis sederhana. Alat ini populer
sekali, harganya terjangkau oleh setiap rumah sakit, karena dapat dibawa kemana-mana
dan dapat dimasukkan ke dalam saku. Penggunaan alat ini harus dilakukan dengan hati-
hati karena dapat mengakibatkan lecetnya kornea dan menyebabkan keratitis dan ablasi
kornea, walaupun secara statistik masih jarang terjadi. Hal ini juga dapat dicegah
dengan setiap kali membersihkannya sebelum dipakai dan dokter yang bersangkutan
membersihkan tangannya setiap kali memeriksa pasien.(21) Walaupun ada beberapa
kekurangan dari alat ini, namun karena faktor-faktor yang menguntungkan seperti yang
disebutkan di atas, alat ini masih berguna sekali dan masih dapat diterima
penggunaannya.
2.3.2.Tonometer Aplanasi
Tonometer Aplanasi Goldmann adalah tonometer yang dipasang pada slitlamp
(lampu celah) untuk mengukur besarnya beban yang diperlukan untuk meratakan apeks
kornea dengan beban standar. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan tekanan
intraokular dengan menghilangkan pengaruh kekakuan sklera (scleral rigidity). Makin
tinggi tekanan intraokular, maka makin besar beban yang dibutuhkan.
Cara ini lebih cermat daripada tonometer Schiotz dan banyak dipakai oleh
dokter ahli mata, tetapi kurang praktis bagi mereka yang bukan ahli mata karena sulit
menggunakannya dan mahal harganya.
2.3.3.Tonometer Palpasi / Digital
Tonometer digital adalah cara yang paling buruk dan tidak dibenarkan oleh
dokter ahli sebagai cara rutin pada pengamatan seorang penderita dengan glaukoma.
Dasar pemeriksaannya adalah dengan merasakan reaksi lenturan bola mata
(balotemen). Tekanan bola mata dengan cara digital dinyatakan dengan tanda N+1,
N+2, N+3, dan sebaliknya N-1 dan seterusnya.
Dengan cara ini pemeriksaan sangat subjektif dan memerlukan pengalaman
yang banyak, sehingga kurang dapat dipercaya.
12
2.3.4.Tonografi
Dengan tonografi, diukur derajat penurunan tekanan bola mata bila diberikan
tekanan dengan tonometer indentasi (seperti Schiotz). Pada tonografi, selain terlihat
kurva fasilitas pengeluaran cairan bilik mata, juga terlihat pulsasi nadi intraokular dan
pernapasan. Tonografi pada saat akhir-akhir ini kurang populer dan dipergunakan
hanya untuk kasus glaukoma yang ragu-ragu.
2.3.5.Tono Pen
Tono Pen adalah tonometer Aplanasi elektronik yang dapat dibawa dan
dipindahkan. Walaupun alat ini akurat, namun membutuhkan rekalibrasi setiap harinya.
Alat ini lebih mahal daripada tonometer Schiotz dan kurang begitu dipakai dalam
praktek sehai-hari dan keadaan darurat.(23)
2.3.6.Tonometer Perkins
Alat ini merupakan tonometer Aplanasi mekanis yang dapat dibawa dan
dipindahkan yang mekanismenya mirip dengan tonometer Aplanasi Goldmann.(23)
2.3.7.Pneumatotonometer
Alat ini merupakan jenis tonometer Aplanasi dan berguna khususnya ketika
kornea memiliki permukaan yang tidak rata.(23)
2.3.8.Tonometer Air Puff / Non-Contact
Alat ini tidak seakurat tonometer Aplanasi. Sedikit aliran udara dihembuskan ke
kornea mata. Kemusian, aliran udara yang balik dari kornea mengenai permukaan alat.
Metode ini tidak membutuhkan tetesan obat anestesi topikal karena tidak ada instrumen
yang menyentuh mata.(23)
2.4. Pemeriksaan Tajam Penglihatan
13
Sebagaimana halnya tanda-tanda vital merupakan bagian dari setiap
pemeriksaan fisik, maka setiap pemeriksaan mata harus mencakup penilaian ketajaman
penglihatan. Penglihatan yang baik adalah hasil kombinasi jalur visual neurologik yang
utuh, mata yang secara struktural sehat, dan dapat memfokuskan sinar secara tepat.
Penilaian ketajaman penglihatan lebih bersifat subjektif karena memerlukan respon dari
pasien.(24)
Di bawah ini akan diuraikan beberapa metode pemeriksaan tajam penglihatan,
diantaranya yaitu pemeriksaan refraksi, pemeriksaan penglihatan sentral, dan
pemeriksaan penglihatan perifer.
2.4.1 Pemeriksaan Refraksi
Pemeriksaan refraksi merupakan prosedur untuk menetapkan dan menghitung
kesalahan optik alami dan juga diperlukan untuk membedakan apakah pandangan kabur
disebabkan oleh kesalahan refraksi atau oleh kelainan medis pada sistem visual. Jadi,
selain menjadi dasar untuk penulisan resep kaca mata atau lensa kontak, refraksi juga
berfungsi sebagai alat diagnostik.(3,24)
2.4.2 Pemeriksaan Penglihatan Sentral
Penglihatan dapat dibagi menjadi penglihatan sentral dan perifer. Ketajaman
penglihatan sentral diukur dengan memperhatikan sasaran dengan berbagai ukuran
yang terpisah pada jarak standar dari mata. Mata hanya dapat membedakan dua titik
terpisah bila titik tersebut membentuk sudut 1 menit. Satu huruf hanya dapat dilihat bila
seluruh huruf membentuk sudut 5 menit dan setiap bagian dipisahkan dengan sudut 1
menit. Makin jauh huruf terlihat, maka makin besar huruf tersebut dibuat karena sudut
yang dibentuk harus tetap 5 menit. Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan
pada jarak 5 atau 6 meter karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan
beristirahat atau tanpa akomodasi.
Pada pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau standar, misalnya
kartu baca Snellen, yang setiap hurufnya membentuk sudut 5 menit pada jarak tertentu
sehingga huruf pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit
14
pada jarak 60 meter; dan pada baris tanda 6 adalah huruf yang membentuk sudut 5
menit pada jarak 6 meter, sehingga pada orang normal huruf ini akan dapat dilihat
dengan jelas. (3,24)
2.4.3 Pemeriksaan Penglihatan Perifer
Karena jauh lebih kasar dari ketajaman sentral maka penglihatan perifer lebih
sulit diperiksa secara kuantitatif. Pemeriksaan lapangan penglihatan perifer secara kasar
dengan cepat dapat dilakukan dengan tes konfrontasi. Karena lapangan penglihatan
kedua mata saling bertindih, masing-masing mata harus diperiksa secara terpisah. (24)
Selain dengan pemeriksaan konfrontasi , pemeriksaan lapangan pandang dapat
digunakan dengan perimetri. Pemeriksaan ini dilakukan terpisah untuk masing-masing
mata yang berfungsi untuk mengukur fungsi retina, saraf optik, dan jalur penglihatan
intrakranial secara bersamaan. Lapangan penglihatan diukur dan dipetakan menurut
derajat kelengkungan. Pemeriksaan perimetri tergantung pada respon pasien secara
subjektif, dan hasilnya akan tergantung pada status psikomotor dan status penglihatan
pasien.(24)
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, dan
HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konsep
VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN
TEKANAN INTRAOKULAR MYOPIA
- RENDAH - RINGAN
- NORMAL - SEDANG
15
- TINGGI - BERAT
3.2. Definisi Operasional
3.2.1. Myopia
Myopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan
pembiasan sinar yang berlebihan atau kerusakan refraksi mata sehingga sinar
sejajar yang datang dibiaskan di depan retina ( bintik kuning ) dimana sistem
akomodasi berkurang. (1,2)
a. Myopia sangat ringan = sferis < 1,00 dioptri
b. Myopia ringan = sferis 1,00 – 2,99 dioptri
c. Myopia sedang = sferis 3,00 – 5,99 dioptri
d. Myopia berat = sferis 6,00 – 9,99 dioptri
e. Myopia sangat berat = sferis ≥ 10 dioptri
Cara ukur :
Pengukuran dilakukan dengan kuesioner dengan menanyakan seberapa besar
minus dan kelainan refraksi mata lain yang dimiliki oleh sampel.
Alat ukur :
Kuesioner
Skala ukur :
Ordinal
Hasil ukur :
0 = myopia sangat ringan ( < 1,00 dioptri)
1 = myopia ringan (1,00 – 2,99 dioptri)
2 = myopia sedang (3,00 – 5,99 dioptri)
3 = myopia berat (6,00 – 9,99 dioptri)
4 = myopia sangat berat ( ≥ 10 dioptri)
3.2.2. Tekanan Intraokular
Tekanan intraokular adalah tekanan yang dihasilkan oleh isi bola mata
terhadap dinding bola mata. Nilai normal tekanan intraokuler pada populasi
umum adalah sekitar 10-20 mmHg.(10,15)
Cara ukur :
16
Penderita diminta berbaring telentang. Mata penderita kemudian ditetesi
obat anestesi topikal atau pentokain. Kemudian menunggu sampai penderita
tidak merasa pedas. Selanjutnya, kelopak mata penderita dibuka dengan
telunjuk dan ibu jari (jangan menekan bola mata penderita). Setelah itu,
pemeriksa meletakkan tonometer Schiotz di atas bola mata dan telapak
tonometer akan menunjukan angka pada skala tonometer. (2,3) Jika pada
pengukuran dengan beban 5,5 gram (beban standar) terbaca angka 3 atau
kurang, maka perlu diambil beban 7,5 atau 10 gram.(9)Setelah itu, subyek
penelitian ditetesi dengan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi.
Alat ukur :
Dengan menggunakan tonometer Schiotz
Skala ukur :
Ordinal
Hasil ukur :
TABEL TONOMETER SCHIOTZ
ANGKA
SKALA
BOBOT BEBAN
5,5 gram 7,5 gram 10 gram
3,0 24,4 35,8 50,6
3,5 22,4 33,0 46,9
4,0 20,6 30,4 43,4
4,5 18,9 28,0 40,2
5,0 17,3 25,8 37,2
5,5 15,9 23,8 34,4
6,0 14,6 21,9 31,8
6,5 13,4 20,1 29,4
7,0 12,2 18,5 27,2
7,5 11,2 17,0 25,1
8,0 10,2 15,6 23,1
8,5 9,4 14,3 21,3
9,0 8,5 13,1 19,6
9,5 7,8 12,0 18,0
10,0 7,1 10,9 16,5
Sumber : (2)
17
Keterangan : (17)
0 = tekanan intraokular tinggi dengan skala ≤ 6,0
1 = tekanan intraokular normal dengan skala 6,5 - 9,5
2 = tekanan intraokular rendah dengan skala > 9,5
Klasifikasi di atas dibuat berdasarkan pengukuran tonometer dengan beban 7,5
gram.
3.3. Hipotesis
Terdapat perbedaan tekanan intraokular yang bermakna pada penderita myopia
ringan, sedang, dan berat.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah studi prevalensi. Penelitian ini akan dilakukan
dalam waktu 5 bulan, dari bulan Agustus-Desember 2008.
4.2. Populasi Penelitian
18
Populasi penelitian diambil dari mahasiswa angkatan pre-klinik tahun 2005,
2006, 2007, dan 2008 Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya yang berjumlah 741
orang.
4.3. Sampel Penelitian
Sampel diambil dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan
tidak memiliki kriteria eksklusi. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara
random sampling.
4.4. Estimasi Besar Sampel
Jumlah mahasiswa FK-UAJ angkatan pre-klinik adalah 741 mahasiswa menurut
perincian sebagai berikut :
Angkatan Jumlah
2005 144
2006 208
2007 150
2008 239
Sumber : Data mahasiswa FK-UAJ tahun 2008
Berdasarkan data yang kami peroleh, prevalensi myopia di negara berkembang
yaitu 35 % (8) dan besarnya penyimpangan yang dilakukan yaitu 5%.
n={z (1−α )}2 xpq
d2
n=(1 ,96 )2 x 0 ,35 x 0 , 65
(0 ,05)2
n=350
Jadi, sampel minimal yang diperlukan dalam penyebaran kuesioner adalah 350
orang. Kemudian dilanjutkan dengan pengukuran visus dan tonometri.
nf = n1+n /N
18
19
nf =3501+350 /N
nf =350 N350+N
Agar sampel penelitian mewakili populasi yang telah ditetapkan maka sampel
minimal yang diperlukan sebesar 40 orang.
P x nf > 5
0,35 x
350 N350+N > 5
122 ,5 N350+N > 5
Jumlah sampel penelitian disebut valid apabila hasil penghitungan di atas
melebihi 5.
Keterangan :
N =jumlah penderita myopia setelah dilakukan pemeriksaan menggunakan
kuesioner (sebagai alat screening)
n = jumlah sampel
z (1-5%) = tingkat kepercayaan 95% = 1,96
p = % penderita myopia di Indonesia
q = % bukan penderita myopia di Indonesia
d = besarnya derajat penyimpangan = 5 %
nf = n finit = jumlah sampel minimal dalam populasi
4.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.5.1. Kriteria Inklusi
Diagnosa klinis : myopia ringan, sedang, dan berat.
Visus dengan koreksi terbaik : 6/6.
Tidak menderita infeksi atau tumor pada mata.
Tidak menderita penyakit mata lainnya.
Bersedia menjadi sampel penelitian.
Usia sampel berada antara 18-25 tahun.
4.5.2. Kriteria Eksklusi
20
Menolak menjadi sampel penelitian.
Tidak kooperatif dalam mengikuti penelitian.
Subyek penelitian dengan mata myopia ringan dan sedang yang
disertai kelainan refraksi lainnya (astigmatisma).
Visus dengan koreksi terbaik : < 6/6.
Menderita penyakit mata lainnya.
Usia sampel kurang dari 18 tahun atau lebih dari 25 tahun..
4.6. Cara Pengumpulan Data
Terhadap semua subjek penelitian yang memenuhi kriteria dilakukan
serangkaian pemeriksaan sebagai berikut :
1. Menyebarkan kuesioner ke seluruh populasi penelitian untuk mengeksklusi
populasi tanpa riwayat myopia, myopia dengan kelainan mata lainnya, dan
umur kurang dari 18 tahun atau lebih dari 25 tahun.
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dan koreksi pada populasi penelitian dengan
riwayat myopia. Pemeriksaan dilakukan di tempat yang cukup terang dan
responden tidak boleh menentang sinar matahari. Kartu Snellen digantungkan
sejajar dengan mata responden pada jarak 6 meter (sesuai pedoman tali).
Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan sedangkan mata kiri responden ditutup
tanpa menekan bola mata. Responden diharuskan membaca huruf dari kiri ke
kanan pada setiap baris kartu Snellen, dimulai dari baris teratas atau huruf yang
paling besar sampai huruf terkecil (baris yang tertera angka 20/20). (3,18). Hasil
pengukuran visus adalah sebagai berikut : 6/6 artinya dapat melihat huruf pada
baris yang menunjukkan angka 6 dalam jarak 6 meter. Jika kurang dari 6/6,
dapat termasuk myopia, hipermetropia, atau astigmatisma.(1,3)
3. Mengklasifikasikan penderita mata myopia berdasarkan derajat myopianya.
4. Melakukan pengukuran tekanan intraokular pada masing-masing kelompok
hasil klasifikasi dengan menggunakan tonometer Schiotz sebanyak 2 kali dalam
waktu yang bersamaan. Pengukuran tekanan intraokular akan dilakukan oleh 2
orang dokter umum dalam waktu 2 x 24 jam di kawasan Fakultas Kedokteran
Unika Atma Jaya, Pluit, Jakarta Utara.
21
5. Mengkonversikan skala hasil pengukuran tonometer Schiotz yang telah dirata-
rata dari dua kali pengukuran berdasarkan tabel konversi.
4.7. Alat Pengambil Data
Untuk mendapatkan jumlah penderita myopia dari populasi penelitian, maka
dilakukan pengumpulan data melalui kuesioner yang disebarkan. Setelah subjek
penelitian yang menderita myopia dikumpulkan dan diklasifikasikan menurut derajat
myopianya, dilakukan pengukuran visus atau ketajaman penglihatan menggunakan
Snellen Chart. Selanjutnya pengukuran tekanan intraokular penderita myopia dilakukan
menggunakan tonometer Schiotz dengan berat beban tertentu. Hasil pengukuran dicatat
dan selanjutnya akan diolah.
4.8. Rencana Pengolahan Data dan Analisis Data
Data-data yang telah terkumpul akan diolah dengan uji statistic Chi-square
dengan menggunakan program SPSS 15.0. Pengolahan dilakukan melalui beberapa
langkah:
1. Editing yaitu memeriksa adanya kesalahan atau kekuranglengkapan data pada
lembar kuesioner.
2. Coding yaitu memindahkan data ke dalam bentuk kode.
3. Entry yaitu memasukkan data ke dalam program SPSS.
4. Cleaning yaitu memeriksa adanya kesalahan waktu melakukan coding.
5. Analisis data mengacu pada tinjauan pustaka dan masalah yang ingin diteliti.
Setelah diolah dan dianalisis faktor resikonya dengan confidence limit 95%,
data akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
4.8.1. Dummy Table
Dummy Table yang akan digunakan :
a. Mata Kanan
DERAJAT
MYOPIA
TEKANAN INTRAOKULAR
RINGAN NORMAL BERAT
22
RINGAN
SEDANG
BERAT
Skala : Ordinal
b. Mata Kiri
DERAJAT
MYOPIA
TEKANAN INTRAOKULAR
RINGAN NORMAL BERAT
RINGAN
SEDANG
BERAT
Skala : Ordinal
4.8.2. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dan diolah akan dianalisis dengan menggunakan
uji statistik non parametrik Chi Square independen. Pengunaan uji statistik ini
didasarkan pada skala pengukuran yang berupa skala ordinal dan bentuk distribusi
populasi yang tidak normal. Melalui bentuk pengujian ini akan dicari hubungan yang
bermakna antara variabel dependen dan independen. Program komputer yang akan
digunakan dalam uji statistik adalah program SPSS 15.0.
BAB V
ORGANISASI
Pelindung : dr. Satya Joewana, SpKJ (K)
Pembimbing : Prof. Dr. dr. H.H.B. Mailangkay, Sp. M (K)
Koordinator penelitian : Nova Juwita
Sekretaris : Riana Nirmala
23
Bendahara dan Konsumsi : Ratna Hastuti
Petugas Kuesioner : Ratna Hastuti (PJ)
Riana Nirmala
Nova Juwita
Pengukur Visus : Nova Juwita (PJ)
Ratna Hastuti
Riana Nirmala
Pengukur Tonometri : dr. Yamaica Shima Putri
(alumnus Atma Jaya tahun 2001)
BAB VI
ANGGARAN
6.1. Tabel Anggaran Pengeluaran
AKTIVITAS VOLUMEHARGA SATUAN TOTAL
Biaya persiapan
Biaya cetak proposal 3 bundel Rp 10.000,- Rp 30.000,-
24
Fotocopy kuesioner 350 bundel Rp 200,- Rp 70.000,-
Biaya pelaksanaan
Biaya dokter 2 orang/hari Rp 300.000,-/hari Rp 600.000,-
Biaya konsumsi pemeriksaan Snellen 100 orang Rp 1.500,- Rp 150.000,-
Biaya obat anestesi Rp 50.000,-
Biaya obat antibiotic Rp 50.000,-
Biaya konsumsi pemeriksaan tonometer 75 orang Rp 8.000,- Rp 600.000,-
Biaya transportasi Rp 100.000,-
Biaya alat tulis 2 pak Rp 5.000,- Rp 10.000,-
Biaya pemeliharaan alat Rp 50.000,-
Biaya penyusunan
Cetak Laporan 3 bundel Rp 15.000,- Rp 45.000,-
Total Pengeluaran Rp 1.755.000,-
6.2. Tabel Anggaran Bulanan
NO . AKTIVITAS TAHUN 2008
APRI
L
ME
I JUNI AGUST SEPT OKT NOV
1. Persiapan
Cetak proposal Rp 30.000,-
Fotocopy kuesioner Rp 70.000,-
2. Pelaksanaan
Biaya dokter Rp 600.000,-
Biaya konsumsi I Rp 150.000,-
Biaya konsumsi II Rp 600.000,-
Biaya transportasi Rp 100.000,-
25
Biaya alat tulis Rp 10.000,-
Biaya pemeliharaan alat Rp 50.000,-
Biaya obat anestesi Rp 50.000,-
Biaya obat antibiotic Rp 50.000,-
3. Penyusunan
Cetak laporan
Rp 45.000,-
JUMLAH Rp 100.000,- Rp 1.610..000,-
Rp 45.000,-
26
DAFTARLAMPIRAN
27
Kuesioner Penelitian No:
PERBEDAAN TEKANAN INTRAOKULAR PADA MATA PENDERITA MYOPIA RINGAN, SEDANG, DAN BERAT MAHASISWA PRE-KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA 2008 Identitas:Nama Lengkap :_____________________________NIM : _____ - 60 - _____P / L : (coret yang tidak perlu)Umur : ________ tahunNo telp / HP : _______________ / __________________
Penelitian kami yang berjudul ”Perbedaan Tekanan Intraokular pada Mata Penderita Myopia Ringan, Sedang, dan Berat” bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan tekanan intraokular (bola mata) yang bermakna dari ketiga jenis myopia tersebut. Hasil pengukuran dapat digunakan juga sebagai suatu prediksi terhadap adanya kemungkinan seseorang terkena penyakit glaukoma, yaitu penyakit mata yang sekarang ini prevalensinya masih tinggi dan merupakan salah satu penyebab utama kebutaan di Indonesia. Setelah pengolahan data kuesioner ini selesai, kemungkinan Anda akan kami hubungi dan dimohon kesediaannya untuk menjalani pemeriksaan visus / ketajaman penglihatan.
Berikan tanda silang (X) pada setiap pilihan yang ada dan mohon diisi dengan sejujur-jujurnya dan selengkap-lengkapnya. Terima kasih.
1. Apakah Anda sedang menderita kelainan refraksi mata berupa myopia (rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), presbiopia (rabun senja), atau astigmatisma (silinder) ?
a. Ya (lanjut ke nomor 2). b. Tidak. (Pengisian telah selesai. Terima kasih telah ikut berpartisipasi dalam
pengisian kuesioner ini).
2. Kelainan refraksi mata apakah yang sedang Anda derita ? Harap disertakan berupa besarnya ukuran kelainan tersebut! (jika tidak ada berikan tanda ( - ) )
3. Apakah Anda sedang menderita kelainan / penyakit mata yang lain seperti infeksi, iritasi, tumor, kanker, kelainan kongenital, dsb ?
a. Ya, sebutkan ________________________
b. Tidak
4. Apakah Anda sedang memakai alat bantu penglihatan seperti kacamata, softlens, hardlens, dll ?
a. Ya, sebutkan jenisnya : _________________________
28
b. Tidak
5. Apakah anda bersedia untuk menjalani pengukuran visus jika dipanggil? (di bawah ini kami lampirkan tujuan dan prosedur pemeriksaan visus yang akan digunakan)
a. Ya
b. Ya, dengan syarat _________________________
c. Tidak, dengan alasan ____________________________
Catatan : Pengukuran visus merupakan pengukuran ketajaman penglihatan dengan menggunakan kartu Snellen. Sampel hanya perlu membaca anka-angka yang tertera pada kartu Snellen pada jarak 6 meter. Pengukuran visus ini akan dilakukan oleh para peneliti.
Terima kasih atas kesediaan Anda dalam mengisi kuesioner ini.
29
Informed Consent
Penelitian kami yang berjudul ”Perbedaan Tekanan Intraokular pada Mata Penderita
Myopia Ringan, Sedang, dan Berat di Kalangan Mahasiswa Preklinik FK-UAJ Tahun 2008”
bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan tekanan intraokular (bola mata) yang
bermakna dari ketiga derajat myopia tersebut. Hasil pengukuran selanjutnya dapat digunakan
sebagai suatu prediksi terhadap adanya kemungkinan seseorang terkena penyakit glaukoma,
yaitu penyakit mata yang sekarang ini prevalensinya masih tinggi dan merupakan salah satu
penyebab utama kebutaan di Indonesia.
Pengukuran tekanan intraokular akan dilakukan menggunakan tonometer schiotz
dengan cara kerja sebagai berikut :
Penderita diminta berbaring telentang. Mata penderita kemudian ditetesi obat
anasthesi topikal atau pentokain. Kemudian menunggu sampai penderita tidak merasa
pedas. Selanjutnya, kelopak mata penderita dibuka dengan telunjuk dan ibu jari (jangan
menekan bola mata penderita). Setelah itu, pemeriksa meletakkan tonometer schiotz di
atas bola mata dan telapak tonometer akan menunjukan angka pada skala tonometer.
Jika pada pengukuran dengan beban 5,5 gram (beban standar) terbaca angka 3 atau
kurang, maka perlu diambil beban 7,5 atau 10 gram. Pemeriksaan akan dilakukan
dalam waktu 5-10 menit.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari pemeriksaan tekanan intraokular ini
adalah :
1. Mengetahui seberapa besar tekanan intraokular yang dimiliki sehingga dapat
digunakan untuk memprediksi timbulnya bahaya penyakit mata lainnya dengan
tekanan intraokular yang meningkat, seperti glaukoma.
2. Mengantisipasi bahaya glaukoma dengan melakukan pemeriksaan lebih lanjut
setelah hasil pengukuran tekanan intraokular menunjukkan adanya peningkatan
dibanding keadaan normal.
Namun di sisi lain, pemeriksaan tekanan intraokular menggunakan tonometer schiotz
ini juga dapat menimbulkan iritasi dan rasa perih di mata akibat penggunaan anasthesi
dan tindakan invasif secara langsung pada bola mata.
30
Setelah membaca uraian singkat di atas, maka saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama Lengkap : _____________________
Usia : ______ thn
Jenis Kelamin : L/P (lingkari salah satu)
Alamat : ___________________________
Rt. ___/Rw. ___
No. Telepon/Hp : ___________
menyatakan BERSEDIA untuk mengikuti pengukuran tekanan intraokular dengan
menggunakan tonometer schiotz tanpa paksaan dan dengan mengetahui segala resiko
yang dapat terjadi.
Jakarta, ________ 2008Tertanda,
(_____________)
31
DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2005: 47-48, 76-
78, 64-72, 212.
2. Ilyas, Sidarta. et al. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran, Edisi II. Jakarta : CV. Sagung Seto; 2002: 43, 46-47, 239, 242,
244.
3. Ilyas, Sidarta. Dasar-Dasar Pemeriksaan Mata dan Penyakit Mata, Cetakan I.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2003.
4. Ilyas, Sidarta .Dasar Tekhnik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta :
FKUI; 2000:3, 117-119.
5. [DepKes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Setiap Menit Satu Anak
Di Dunia Akan Menjadi Buta. Jakarta; Oktober 2007 [terhubung
berkala].http://www.depkes.go.id/index.php?
option=news&task=viewarticle&sid=2865 [04 Juli 2008].
6. [WHO] World Health Organization. Sight test and glasses could dramatically
improve the lives of 150 million people with poor vision. Geneva; 2006