TESIS KORESPONDENSI FONEM PROTO-AUSTRONESIA DALAM BAHASA KAILI DAN BAHASA UMA DI SULAWESI TENGAH I KOMANG ARDANA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
TESIS
KORESPONDENSI FONEM PROTO-AUSTRONESIA DALAM BAHASA KAILI DAN BAHASA UMA
DI SULAWESI TENGAH
I KOMANG ARDANA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
i
TESIS
KORESPONDENSI FONEM PROTO-AUSTRONESIA DALAM BAHASA KAILI DAN BAHASA UMA
DI SULAWESI TENGAH
I KOMANG ARDANA NIM 0990161083
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
ii
KORESPONDENSI FONEM PROTO-AUSTRONESIA
DALAM BAHASA KAILI DAN BAHASA UMA DI SULAWESI TENGAH
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana
I KOMANG ARDANA NIM 0990161083
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 5 SEPTEMBER 2011
Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. Aron Meko Mbete Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum. NIP 19470723 197903 1 002 NIP 19600825 198602 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Linguistik Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana, Prof.Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 19620310 198503 1 005 NIP 19590215 198510 2 001
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 14 September 2011
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Program Pascasarjana Universitas Udayana, No :1569/UN14.4/HK/2011, Tanggal 12 September 2011
Ketua : Prof. Dr. Aron Meko Mbete. Sekretaris : Dr. A.A. Putu Putra, M. Hum. Anggota :
1. Prof. Dr. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A. 2. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. 3. Dr. Made Sri Satyawati, S.S.,M.Hum.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Berkat karunia Tuhan, bantuan, dorongan, dan kemurahan hati beberapa
pihak, tesis yang berjudul “Korespondensi Fonem Proto-Austronesia dalam
Bahasa Kaili dan Bahasa Uma di Sulawesi Tengah” dapat terwujud. Oleh karena
itu, melalui tulisan ini penulis sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya
dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya.
Pertama-tama penghargaan dan terima kasih itu, penulis sampaikan kepada
para pembimbing dalam penulisan tesis ini.
1) Prof. Dr. Aron Meko Mbete, guru besar pada Fakultas Sastra Universitas
Udayana, yang telah membimbing dengan sepenuh hati dan penuh kecermatan
dari awal persiapan sampai tesis ini terwujud sebagai yang sekarang ini;
2) Dr. A.A. Putu Putra, M. Hum, dosen pada Fakultas Sastra Universitas
Udayana, yang telah membimbing dan mendorong penulis, baik dari segi
teknis maupun nonteknis selama penulisan tesis ini;
Kedua, penghargaan dan terima kasih itu penulis sampaikan kepada
segenap anggota panitia penguji yang telah memberikan sumbangan pemikiran
demi perbaikan tesis ini. Panitia penguji itu terdiri atas 1) Prof. Dr. Ida Bagus
Putra Yadnya, M.A, 2) Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D, 3) Dr. Made Sri
Satyawati,S.S.,M.Hum.
Ketiga, penghargaan dan terima kasih itu penulis sampaikan kepada
segenap jajaran Universitas, Fakultas, Jurusan, Lembaga, dan Instansi yang telah
memberikan fasilitasnya, yakni;
vii
1) Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. Dr. I Made Bakta, Sp. PD (K) dan
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka
Sudewi, Sp. S (K) atas fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menjadi
mahasiswa dan izin untuk melakukan penelitian.
2) Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.,
atas fasilitas yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa.
3) Ketua Program Studi Magister Linguistik, Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M. Hum., yang telah banyak
memberikan arahan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
4) Para Dosen pada Konsentrasi Linguistik Murni, Program Studi Magister
Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana: Prof. Dr. Aron Meko
Mbete, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U., Prof. Dr. N. L. Sutjiati Beratha, M.A.,
Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U., Prof. Drs. Made Suastra, Ph.D., Prof. Dr. I
Gusti Made Sutjaja, M.A., Prof. Dr. Drs. I. B. Putra Yadnya, M.A., Prof. Dr. I
Nyoman Weda Kusuma, M.S., Prof. Drs. I Ketut Artawa, M.A., Ph.D., Prof.
Dr. I Nengah Sudipa, M.A., Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S., Prof. Dr. Made
Budiarsa, M.A., Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., Prof. Dr. I Ketut
Dharma Laksana, M.Hum., Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S., Dr. I Nyoman
Sedeng, M. Hum., Dr. A.A. Putu Putra, M. Hum., dan Drs. Margono, M.A.
yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis selama mengikuti
perkuliahan.
5) Staf Administrasi, I Ketut Ebuh, S. Sos, I Nyoman Sadra, S.S., Nyoman Adi
Triani, S.E., Ibu I Gusti Ayu Supadmini, dan Staf Perpustakaan Dra. Ni
viii
Nyoman Sumitri, Ibu Ni Nyoman Sukartini pada Program Studi Magister
Linguistik atas segala bantuan dan layanannya selama penulis mengikuti
perkuliahan.
Keempat, penghargaan dan terima kasih itu penulis sampaikan kepada
Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Bali dan Provinsi Sulawesi Tengah yang
telah memberikan izin rekomendasi, yakni;
1) Kabid Kewaspadaan Daerah Provinsi Bali, Drs. I Gede Made Jaya
Serataberana, M.Si yang telah memberikan izin rekomendasi untuk penelitian
studi formal ini;
2) Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Daerah (KP2TD), Ramli
Sanudin, SE, M.Si yang telah memberikan izin rekomendasi untuk penelitian
ini;
Kelima, penghargaan dan terima kasih itu penulis sampaikan kepada
teman-teman se-angkatan 2009, khususnya Konsentrasi Linguistik Murni,
Program Studi Magister Linguistik yang tidak bisa disebutkan satu per satu, atas
dukungan, masukan, dan kerjasamanya, baik yang bersifat spiritual maupun
material selama mengikuti perkuliahan sampai dengan terwujudnya tesis ini.
Keenam, penghargaan dan terima kasih itu penulis sampaikan kepada
orang tua penulis, I Nyoma Suweta, S.E dan Ni Nyoman Sadri, dan secara khusus
penulis sampaikan kepada kakak pertama, almarhum I Gede Putu Artono, serta
kakak tercinta Ni Made Murni Kartika Dewi, S.E, yang selalu penulis jadikan
sebagai kekuatan dan motivasi selama penulis menjalani kehidupan ini.
ix
Ketujuh, penghargaan dan terima kasih itu penulis sampaikan kepada
teman tercinta Ida Ayu Asri Anggraeni Puspitasari Damayanti Putri, S.E, yang
selalu dengan segenap hati dan tulus iklas menemani, memotivasi, dan
mendoakan sehingga penulis terfokus dan memiliki konsentrasi yang baik dalam
menyelesaikan studi formal ini.
Kedelapan, penghargaan dan terima kasih itu penulis sampaikan kepada
keluarga dr. Ida Bagus Yadnya Putra, dan Keluarga Ir. Calvin Tawil, serta Untung
Bowowigianto, S.T, M.Si, atas segala bantuan dan fasilitasnya selama penulis
berada di Provinsi Sulawesi Tengah sehingga penelitian ini dapat terselesaikan
dengan lancar.
Kesembilan, penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada para
informan yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas informasi yang diberikan
selama penulis mengadakan penelitian di Kota Palu dan Kabupaten Sigi.
Akhirnya, kepada siapa pun yang telah memberikan berbagai bantuan
demi terwujudnya tesis ini, tetapi tidak dapat disebutkan satu per satu di sini,
penulis sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih. Akhir
kata, semoga amal baik semua pihak mendapatkan pahala dari Ida Sang Hyang
Widhi Wasa/ Tuhan Yang Mahaesa.
Denpasar, 10 Juli 2011
I Komang Ardana
x
ABSTRACT
PROTO-AUSTRONESIAN PHONEMES CORRESPONDENCE IN KAILI AND UMA LANGUAGES
This thesis is focused on Uma and Kaili languages, all of which can be
seen as being descended from a single ancestor (proto-language) for their phonology, lexicon, and grammatical features. In general, this study provides an in-depth information about the data and information concerning Uma and Kaili language for comparative historical linguistic research in Indonesia. Specifically, this study (i) describes the inheritance of Proto-Austronesian phonemes, (ii) analyzes the Proto-Austronesian phoneme correspondence in both languages, and (iii) explains the types of its sound change.
This research is a linguistic fieldwork that uses three participants, namely researchers, elicitators, and observers. For the determination of kinship language studied, two approaches are applied, namely quantitative approaches that of lexicostatistics methods and qualitative approaches that of comparison method.
Through this study, the sound correspondences between the Proto-Austronesian, Kaili, and Uma language are observed: (i) some Proto-Austronesian phonemes in the languages are linearly inherited in Kaili and Uma including the vowels of */i/, */u/, */a/, and consonants of */b/, */p/, */t/, */d/, */n/, */ŋ/, */j/, */k/, */l/, */r/, */s/, */g/, */q/; (ii) some Proto-Austronesian phonemes are inherited with changes, namely, phoneme */i/ is inherited into phoneme /e/ when followed by the phoneme /t/, /r/, /p/ in, phoneme */ə/ is inherited into phonemes /e/, /o/, /a/ as phoneme */ə/ is not owned in both languages, phoneme */b/, when preceded by high vowels, decreases into phoneme /v/ in Kaili and into /w/ in Uma, phoneme */d/ is inherited into phoneme /r/ when preceeded by the phoneme /i/, and diphthongs */ay/ and diphthongs */uy/ changes into monophthongs /e/ and /u/ respectively in the final position in both languages; (iii) some of the inherited Proto-Austronesian phonemes, such those */p/, */t/, */d/, */l/, */m/, */n/, */ŋ/, */j/, */q/, */k/, */g/, */r/, experienced for the loss of word final consonant; (iv) lastly, several types of sound change, namely split, merger, phonemic lose, shift and metathesis, are found.
Based on the analysis of the sound correspondences, a conclusion can be drawn, that is Kaili and Uma, quantitatively shown, have the highest percentage (63%) in terms of their relationship. Qualitative evidence of their relationship is shown through number of inovative words found, i.e. eighty words. Further recollection of the historical problems in relation to the comparative studies of languages in nusantara is absolutely needed for the advanced growth of the historical comparative linguistics study.
Key Words: Sound Correspondences, Proto-Austronesia, Kaili language, Uma language.
xi
ABSTRAK
KORESPONDENSI FONEM PROTO-AUSTRONESIA DALAM BAHASA KAILI DAN BAHASA UMA
Tesis ini difokuskan pada bahasa Kaili dan bahasa Uma. Kedua bahasa itu,
jika dilihat dari segi fonologis, leksikon, serta gramatikalnya memiliki persamaan dan perbedaan yang menandakan kedua bahasa itu diturunkan dari moyang yang sama (proto-bahasa). Secara umum, penelitian ini memberikan informasi mengenai data dan keterangan bahasa Kaili dan bahasa Uma untuk penelitian linguistik historis komparatif di Indonesia dan secara khusus mendeskripsikan pewarisan fonem Proto-Austronesia, menganalisis korespondensi fonem Proto-Austronesia, dan mendeskripsikan tipe-tipe perubahan bunyinya. Penelitian ini merupakan penelitian linguistik lapangan yang menggunakan tiga partisipan, yaitu peneliti, pengelisitasi, dan pengobservasi. Untuk penentuan hubungan kekerabatan bahasa yang diteliti digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif ikhwal metode leksikostatistik dan pendekatan kualitatif ikhwal metode perbandingan.
Melalui penelitian ini diperoleh pertalian bunyi antara bahasa Proto-Austronesia, bahasa Kaili dan bahasa Uma yang diperincikan sebagai berikut: pertama, beberapa fonem Proto-Austronesia terwaris linear, diantaranya: vokal: */i/, */u/, */a/, dan konsonan: */b/, */p/, */t/, */d/, */n/, */ŋ/, */j/, */k/, */l/, */r/, */s/, */g/, */q/, kedua, beberapa fonem Proto-Austronesia terwaris dengan perubahan, yaitu fonem */i/ menurunkan fonem /e/ bila diikuti oleh fonem /t/, /r/, /p/, fonem */ə/ mengalami penggantian menjadi fonem /e/, /o/, /a/ karena fonem */ə/ tidak dimiliki pada kedua bahasa tersebut, fonem */b/ menurunkan fonem bahasa Kaili /v/ dan bahasa Uma /w/ bila didahului oleh vokal tinggi, fonem */d/ menurunkan fonem /r/ bila didahului oleh fonem /i/, diftong */ay/ dan diftong */uy/ menjadi monoftong /e/ dan /u/ bila berada pada posisi akhir, ketiga, beberapa fonem Proto-Austronesia terwaris mengalami peluluhan bunyi pada posisi akhir, yaitu: */p/, */t/, */d/, */l/, */m/, */n/, */ŋ/, */j/, */q/, */k/, */g/, */r/, keempat, ditemukan beberapa tipe perubahan bunyi, yaitu: perengkahan (split), peleburan (merger), peluluhan bunyi (phonemic lose), penggantian (shift) dan metatesis (metathesis).
Berdasarkan kajian tentang korespondensi fonemis dapat disimpulkan bahwa melalui bukti kuantitatif ditemukan bahasa Kaili dan bahasa Uma memiliki persentase kekerabatan yang paling tinggi yaitu enam puluh tiga persen dan melalui bukti-bukti kualitatif ditemukan delapan puluh kata yang inovatif. Selanjutnya, masalah-masalah sejarah perbandingan bahasa-bahasa nusantara kiranya perlu dihimpun kembali untuk kemudian dapat diutamakan masalah-masalah yang mendesak demi perkembangan ilmu linguistik historis komparatif.
Kata Kunci: Korespondensi Fonemis, Proto-Austronesia, Bahasa Kaili, Bahasa Uma.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
PRASYARAT GELAR ………………………………………………….
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ……………………………..
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………….
ABSTRACT …………………………………………………………….
ABSTRAK ………………………………………………………………
DAFTAR ISI …………………………………………………………….
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
DAFTAR BAGAN ………………………………………………………
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ……………………………
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………...
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………….
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN………………………………………………….
2.1 Kajian Pustaka ……………………………………………………..
2.2 Konsep ……………………………………………………………..
2.3 Landasan Teori …………………………………………………….
2.4 Asumsi Dasar………………………………………………………..
ii
iii
iv
vi
x
xi
xii
xv
xvi
xvii
xix
1
1
5
5
9
9
14
19
26
xiii
2.5 Model Penelitian …………………………………………………….
BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………
3.1 Pendekatan Penelitian ……………………………………………….
3.2 Lokasi Penelitian …………………………………………………….
3.3 Jenis dan Sumber Data ………………………………………………
3.4 Instrumen Penelitian …………………………………………………
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data …………………...………...
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data …………………………………...
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ……………….....
BAB IV PROTO-AUSTRONESIA, BAHASA KAILI, BAHASA
UMA: GAMBARAN FONEM………………………………………….
4.1 Gambaran Fonem Proto-Austronesia…………………………….
4.2 Gambaran Fonem Bahasa Kaili dan Uma …………………………
4.3 Bukti-Bukti Pengelompokan ………………………………………
BAB V PEWARISAN FONEM PROTO-AUSTRONESIA DAN TIPE-
TIPE PERUBAHAN FONEMNYA PADA BAHASA KAILI DAN
BAHASA UMA …………………………………………………………
5.1 Pewarisan Fonem Vokal PAN pada BK dan BU……….……………
5.2 Pewarisan Fonem Konsonan PAN pada BK dan BU..………………
5.3 Pewarisan Diftong PAN pada BK dan BU………………..…………
5.4 Tipe-Tipe Perubahan Bunyi………………………………………….
BAB VI KORESPONDENSI FONEM PROTO-AUSTRONESIA
PADA BAHASA KAILI DAN BAHASA UMA………………………
27
29
29
29
32
33
33
35
38
40
40
43
50
63
64
73
93
95
103
xiv
6.1 Perangkat Korespondensi Fonemis………………………………….
6.2 Rekurensi Fonemis…………………………………………………..
6.3 Pasangan Kognat…………………………………………………….
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………………………...
7.1 Simpulan…………………………………………………………….
7.2 Saran ………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...
LAMPIRAN-LAMPIRAN
103
105
108
110
110
112
113
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
4.1.2a Segmen Vokal Proto-Austronesia …………………………………….
4.1.2b Segmen Konsonan Proto-Austronesia ………………………………..
4.2.1a Segmen Vokal BK …………………………………………………….
4.2.1b Segmen Konsonan BK ……………………………………………......
4.2.2a Segmen Vokal BU …………………………………………………….
4.2.1b Segmen Konsonan BU ………………………………………………..
4.3.1a Persentase kekerabatan ………………………………………………..
5.1.3 Segmen Vokal ………………………………………………………….
42
43
44
45
48
48
52
70
xvi
DAFTAR BAGAN
Halaman
1.1 Proto-Austronesia (Blust, 1981:21) ……………………………………
2.5 Model penelitian ……………………………………………………….
4.3.1b Garis Silsilah Kekerabatan …………………………………………
2
27
53
xvii
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
LAMBANG
*
//
>
[ ]
( )
+
#
Ø
‘..’
/_
Untuk menunjukkan bentuk Proto
Lambang fonemis
Menyatakan terjadinya perubahan dari kiri ke kanan
Menunjukkan bahwa satuan di dalamnya adalah satuan fonetis
Menyatakan formatif yang ada di dalamnya memiliki alternasi sejumlah
formatif yang berada di dalamnya
Menyatakan batas morfem
Menyatakan batas kata
Simbol nol, Ø, di sebelah kiri tanda panah digunakan untuk kaidah
penyisipan, sedangkan kemunculannya di sebelah kanan tanda panah
menyatakan pelesapan
Pengapit glos
Menyatakan lingkungan
Menyatakan terjadinya perubahan dari kiri ke kanan
Menyatakan beberapa satuan lingual yang ada di dalamnya dapat dipilih
salah satu
SINGKATAN
B
Tb
BK
:Bersuara
:Tak bersuara
: Bahasa Kaili
xviii
BU
BP
BB
IE
LHK
PAN
PTS
Jml
: Bahasa Uma
: Bahasa Pamona
: Bahasa Bada’
: Bahasa Indo-Eropah
: Linguistik Historis Komparatif
: Proto-Austronesia
: Pelesapan tak segera
: Jumlah
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Peta Sulawesi Tengah
Lampiran 2: Daftar Kognat Lampiran 3: Fonem PAN */i/ terwaris secara linear pada BK /i/, BU /i/
Lampiran 4: Fonem PAN */u/ terwaris secara linear pada BK /u/, BU /u/
Lampiran 5: Fonem PAN */a/ terwaris secara linear pada BK /a/, BU /a/
Lampiran 6: Fonem PAN */b/ terwaris secara linear pada BK /b/, BU /b/
Lampiran 7: Fonem PAN */p/ terwaris secara linear pada BK /p/, BU /p/
Lampiran 8: Fonem PAN */t/ terwaris secara linear pada BK /t/, BU /t/
Lampiran 9: Fonem PAN */n/ terwaris secara linear pada BK /n/, BU /n/
Lampiran 10: Fonem PAN */k/ terwaris secara linear pada BK /k/, BU /k/
Lampiran 11: Fonem PAN */l/ terwaris secara linear pada BK /l/, BU /l/
Lampiran 12: Daftar Informan
1
BAB I
PEDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu keluarga bahasa tua.
Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster "angin selatan" dan kata Greek
nêsos "pulau". Para penutur bahasa Austronesia dihipotesiskan berasal dari daerah
yang sekarang disebut China bagian selatan. Mereka sekitar 4000 tahun yang lalu
bermigrasi ke Taiwan, kemudian menyebar ke Filipina, Indonesia, dan ke
Madagaskar dekat benua Afrika serta ke seluruh lautan Pasifik (Dempwolff, 1956).
Kekerabatan antarbahasa sekerabat dalam kajian komparatif pada intinya
dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari protobahasa pada bahasa-
bahasa berkerabat (Hock, 1988). Protobahasa merupakan suatu rakitan teoretis
yang dirancang dengan merangkaikan sistem bahasa-bahasa yang memiliki
hubungan kesejarahan melalui rumusan kaidah-kaidah secara sangat sederhana
dan dirancang bangun dan dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu
suatu bahasa (Bynon, 1979, Jeffers, 1979). Dengan munculnya ciri-ciri warisan
yang sama pada bahasa-bahasa yang berkerabat, keeratan hubungan keseasalan
bahasa-bahasa tersebut dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki
(Mbete, 1990: 22).
Blust (1981) membagi bahasa-bahasa Austronesia atas empat kelompok
utama, yaitu; Atayal, Tsou, Paiwan, Melayu-Polinesia. Perhatikan bagan di
bawah ini.
1
2
Proto-Austronesia
Atayal Tsou Paiwan Melayu-Polinesia
Melayu-Polinesia Barat Melayu-Polinesia Tengah Melayu-Polinesia Timur Halmahera-Selatan,Irian Oseania
1.1 Proto-Austronesia (Blust, 1981:21)
Tiga kelompok utama, yaitu; Atayal, Tsou, dan Paiwan terdapat di Formosa.
Kelompok Melayu-Polinesia Barat terdiri atas semua bahasa di Indonesia Barat
(bahasa Sulawesi dan bahasa Sundik), Pilipina, Chamorro, Palau, Chami, dan
Malagasi; kelompok Melayu-Polinesia Tengah terdiri atas semua bahasa di Flores,
Timor, Sumba, Sumbawa Timur (bahasa Bima) Maluku tengah dan Selatan;
kelompok Melayu-Polinesia Timur meliputi bahasa-bahasa Halmahera Selatan
dan Iran Jaya. Bahasa-bahasa Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia ditempatkan
ke dalam subkelompok Oseania (Blust, 1981:21).
Betapapun telah cukup banyak hasil penelitian, belumlah dapat dikatakan
bahwa pendekatan secara linguistik historis komparatif atas bahasa-bahasa
Austronesia telah selesai. Adanya unsur-unsur bahasa Proto-Austronesia yang
ditemukan oleh para ahli sejarah perbandingan, patutlah disadari bahwa hasil-
hasilnya, setidak-tidaknya sebagiannya masih bersifat hipotesis. Ini berarti bahwa
penelitian yang belakangan di samping pengembangan dan pendalaman, masih
diperlukan untuk membuktikan kembali hasil-hasil penelitian terdahulu. Disisi itu
perlu diinsyafi bahwa karena hukum perubahan berlangsung pula atas kehidupan
bahasa maka masalah-masalah ilmu linguistik historis komparatif, tidak akan
3
selesai, apabila berkembangnya metodologi ilmu linguistik historis komparatif
khusunya, serta ilmu pengetahuan umumnya.
Bahasa yang ada di kawasan nusantara ini merupakan fakta sejarah
kehidupan bahasa. Ada yang berkembang secara mapan, dan ada juga yang
perkembangannya mengarah kepunahan, khususnya bahasa-bahasa daerah yang
didukung oleh jumlah penutur yang sedikit. Punahnya bahasa daerah adalah
proses alami, di antara penyebabnya adalah tiadanya penutur akibat bencana alam
dan pernikahan antaretnis serta menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi
sehari-hari sebagai pengantar. Sejumlah bahasa ibu atau bahasa daerah di kawasan
nusantara ini, mulai punah seiring meninggalnya para penutur bahasa itu.
Punahnya suatu bahasa menyebabkan hilangnya berbagai bentuk warisan budaya,
khususnya warisan tradisi dan ekspresi berbicara masyarakat
penuturnya. Punahnya bahasa-bahasa itu, lanjutnya, juga telah merebut
keanekaragaman manusia, yang telah menyebarkan banyak pengetahuan tentang
alam dan semesta. Agar tidak pelan-pelan lenyap, penggunaan bahasa daerah
harus digiatkan, terutama di kalangan penuturnya. Punahnya bahasa daerah juga
berarti hilangnya sebagian kebudayaan, nilai dan kearifan lokal yang terkandung
di dalamnya. Saat ini ada kecenderungan penutur bahasa-bahasa di Sulawesi
Tengah khususnya bahasa Kaili dan bahasa Uma mulai berkurang, terutama
kalangan muda tak lagi berbahasa Kaili ataupun berbahasa Uma walau secara
genelogi adalah orang Kaili ataupun orang Kulawi, tetapi secara kultural tidak lagi
menampakkan kekalian ataupun kekulawian, terutama sebagai penutur bahasa
yang paling utama dan pertama yang mengidentifikasi suatu suku.
4
Melihat hal itu, bahasa sebagai anugerah Tuhan dan harta karun yang tak
ternilai harganya ternyata telah disia-siakan oleh sebagian umat manusia.
Punahnya bahasa adalah fenomena sosial yang dipicu oleh kebutuhan sosial.
Tidak ada bukti bahwa ada sesuatu yang salah dengan bahasa tersebut. Untuk itu,
sangat diperlukan penelitian linguistik historis komparatif agar dapat
membuktikan kembali secara lebih lengkap dan tuntas tentang adanya hubungan
keseasalan bahasa-bahasa di kawasan nusantara ini khususnya di Sulawesi Tengah.
Seperti halnya bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, BK dan BU
mempunyai kedudukan dan fungsi bagi kedua suku bahasa tersebut. Perannya
tampak dalam kehidupan kebudayaan, termasuk juga dalam kehidupan keagamaan,
sosial, dan ekonomi. Di tengah-tengah keanekaragaman budaya bahasa, kedua
bahasa itu masih tetap menunjukkan identitas kelompok masyarakat
pendukungnya. Dengan demikian, pembinaan dan pengembangan terhadap bahasa
daerah sangat perlu dilakukan.
Barr mengelompokkan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah menjadi dua
kelompok besar. Kelompok yang pertama yaitu kelompok Pamona. Bahasa-
bahasa yang termasuk dalam kelompok ini adalah bahasa Pamona, Bada’, dan
Rampi. Yang kedua adalah kelompok Kaili. Bahasa-bahasa yang yang termasuk
kelompok Kaili adalah bahasa Uma, Sarudu, Baras, Kaili, dan Topoiyo. Kedua
subkelompok bahasa ini sangat menarik (Barr, 1979: 11).
Hasil penelitan yang dilakukan oleh Barr hanya berdasarkan pada metode
leksikostatistik. Dengan demikian, penelitian ini agak lemah karena tidak
didukung atas bukti kekerabatan yang ditunjang dengan pendekatan kualitatif.
5
Berdasarkan uraian di atas, penelitian bahasa ini menjadi sangat penting
bila dikaitkan ke arah pembangunan bangsa. Adanya evidensi tentang keseasalan
dan kekerabatan yang lebih lengkap dan tuntas, sudah tentu membuka pintu ikatan
budaya bahasa yang kurang terjamah secara ilmiah dan sekaligus ikut
menanamkan kesadaran sejarah budaya dan kesadaran budaya bahasa khususnya.
Dalam hal ini dicoba untuk dibuktikan kembali hubungan kekerabatan BK dan
BU berdasarkan korespondensi fonem PAN pada BK dan BU.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas pengkajian difokuskan pada aspek historis dari fonem-
fonem BK dan BU dalam kaitannya dengan fonem PAN, sehingga rumusan
masalahnya dapat formulasikan sebagai berikut.
(1) Bagaimanakah pewarisan atau penerusan fonem PAN pada BK dan BU?
(2) Mengapa fonem PAN berkorespondensi dengan fonem BK dan BU?
(3) Apa sajakah tipe-tipe perubahan bunyi PAN dalam pewarisannya pada BK
dan BU?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rancangan penelitian, secara garis besar penelitian ini
mempunyai dua tujuan. Tujuan tersebut adalah tujuan khusus dan tujuan umum.
Untuk lebih jelasnya, tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
6
1.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu linguistik
historis komparatif terutama dalam bahasa-bahasa Austronesia, yang sampai saat
ini belum banyak dikerjakan oleh sarjana-sarjana Indonesia sendiri. Selanjutnya,
hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan penunjang untuk penelitian-
penelitian linguistik historis komparatif selanjutnya, yakni berupa subgrouping
bahasa-bahasa Melayu Polinesia Barat dan untuk mencari bahasa meso dari
bahasa-bahasa yang telah ditentukan subgrouping-nya. Secara lebih luas
penelitian ini dapat dipakai sebagai bukti linguistik bagi penelitian linguistik
historis komparatif di Indonesia.
1.3.2 Tujuan khusus
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan khusus penelitian ini adalah
sebagai berikut.
(1) Mendeskripsikan pewarisan atau penerusan fonem PAN dalam pewarisannya
pada BK dan BU.
(2) Menemukan faktor-faktor perubahan fonem PAN yang terwaris pada BK dan
BU.
(3) Mendeskripsikan tipe-tipe perubahan bunyi PAN dalam pewarisannya pada
BK dan BU.
7
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis
maupun secara praktis. Kedua manfaat ini dapat diuraikan sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat teoretis
Secara toeritis penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai
berikut.
(1) Melalui penelitian ini diharapkan adanya pemahaman yang mendalam
mengenai bentuk-bentuk pewarisan fonem PAN pada bahasa-bahasa
turunannya.
(2) Melalui penelitian ini diharapkan adanya pemahaman yang mendalam
mengenai korespondensi fonem PAN dalam BK dan BU ditinjau dari
pendekatan linguistik historis komparatif.
(3) Melalui penelitian ini dapat memperkaya data korespondensi fonem PAN
dalam BK dan BU.
(4) Secara lebih luas hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bukti linguistik
bagi penelitian-penelitian sejarah Indonesia purba.
1.4.2 Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut.
(1) Mengembangkan dan melestarikan kebudayaan warisan nenek moyang yang
dapat memperkaya kebudayaan nasional.
8
(2) Membangun kesadaran masyarakat penutur BK dan BU, ikhwal adanya relasi
kesajarahan bahasa.
(3) Hasil penelitian ini diharapkan juga bermanfaat sebagai bahan ajar khususnya
mengenai LHK.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai kekerabatan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah
belum banyak dilakukan, dan dari hasil penelitian oleh para peneliti bahasa belum
memberikan dasar analisis yang kuat terhadap tegasan pengelompokan-
pengelompokan bahasa di Sulawesi Tangah. Dari beberapa kajian pustaka ini akan
di jadikan tolak banding terhadap penelitian ini.
Mead (1995) mengkaji kekerabatan bahasa-bahasa yang berada dalam
wilayah Sulawesi Tenggara dan sebagian lagi berada dalam wilayah Sulawesi
Tengah. Dengan menggunakan metode leksikostatistik, penelitian ini hanya
menekankan pada kelompok bahasa-bahasa Bungku-Laki yang ada di daratan
Kendari Sulawesi Tenggara dan di kepulauan Menui Sulawesi Tangah. Jadi,
belum mencakupi bahasa-bahasa daerah lain di Sulawesi Tenggara, khususnya
bahasa-bahasa daerah di Pulau Buton. Di sisi lain, peneliatan ini juga agak lemah
karena tidak dilengkapi oleh bukti-bukti kualitatif.
Kaseng (1987) melakukan pemetaan bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara
dengan menggunakan metode deskritif dan teknik utamanya adalah teknik
pengisian daftar kata. Teknik elisitasi juga digunakan dengan tujuan untuk
mengecek kebenaran data yang masuk melalui pengisian daftar kata, terutama
untuk mencocokkan ketepatan penulisan atau ejaan setiap bunyi bahasa dalam
9
10
abjad Latin yang digunakan. Penelitian ini hanya melihat hubungan kekerabatan
bahasa yang lebih dekat secara sinkronis, tanpa menerapkan metode kualitatif
untuk melihat hubungan kekerabatan secara diakronis. Selain itu, pemetaan
bahasa-bahasa yang dilakukan tidak didasarkan pada kajian dialektologis, tetapi
hanya berdasarkan anggapan penutur yang diwawancarai oleh peneliti tersebut.
Oleh karena itu, hasil penelitian Kaseng tentu saja masih mengadung kelemahan
karena untuk mendapatkan hasil penelitian tentang kekerabatan bahasa yang lebih
memuaskan dan meyakinkan, bukti-bukti yang diperoleh dengan metode
kuantitatif perlu dilengkapi dengan bukti-bukti kualitatif.
Lauder (2000) melakukan penelitian tentang kekerabatan dan pemetaan
bahasa-bahasa daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian itu
berdasarkan perhitungan leksikostatistik, penghimpunan berkas isogloss,
perhitungan isoglos, dan dialektometri, menunjukkan bahwa di Provinsi Sulawesi
Tenggara diperkirakan terdapat lima kelompok bahasa, yaitu; (1) kelompok
bahasa-bahasa Tolaki yang terdiri atas tiga subkelompok, yaitu; subkelompok
Tolaki, subkelompok Wawonii-Kulisusu, dan subkelompok Morenene-Rahantari,
(2) kelompok bahasa-bahasa Muna-Cia-cia yang terdiri atas empat subkelompok,
yaitu; subkelompok Muna, subkelompok Cia-cia, subkelompok Kumbewaha, dan
subkelompok Todangan-Kambowa, (3) kelompok bahasa-bahasa Pulo yang hanya
terdiri atas satu subkelompok, yaitu; subkelompok Pulo Kapota-Tomia-Kaledupa-
Binongko, (4) kelompok bahasa Bugis yang hanya terdiri atas satu subkelompok,
yaitu; subkelompok Bugis Lamunde, dan (5) kelompok bahasa jawa yang hanya
terdiri atas satu subkelompok, yaitu; subkelompok Jawa Bangun Sari.
11
Berdasarkan pembagian kelompok tersebut, bahasa Wolio tidak
dimasukkan dalam kelompok mana pun padahal sebagaimana diketahui bahwa
bahasa Wolio merupakan bahasa yang dipilih untuk digunakan sebagai bahasa
resmi kerajaan. Hal ini disebabkan oleh pada lokasi titik pengamatan yang dipilih
tidak ada informan yang mewakili penggunaan bahasa Wolio tersebut. Penelitian
yang dilakukan Lauder tersebut memperlihatkan hasil yang bertolak belakang
bahwa bahasa Cia-Cia termasuk dalam kelompok bahasa Muna, begitu pula
dengan kelompok bahasa Pulo atau lebih dikenal dengan bahasa Wakatobi
merupakan satu kelompok tersendiri.
Selain itu, hasil penelitian itu tidak cukup hanya berdasarkan 200 kosakata
dasar Swadesh yang dijadikan sebagai bukti kuantitatif kekerabatan bahasa-
bahasa, diperlukan juga bukti-bukti kualitatif yang dapat dipergunakan sebagai
dasar yang lebih terpercaya dalam upaya pengelompokan bahasa.
Mbete (1990) melakukan pengkajian terhadap rekonstruksi Protobahasa
Bali-Sasak-Sumbawa. Hasil penelitian itu berdasarkan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif, menunjukkan bahwa (1) bahasa Bali bahasa, Sasak, dan bahasa
Sumbawa memiliki hubungan kekerabatan yang erat sebagai satu kelompok
tersendiri, (2) pengelompokan dan pengsubkelompokan bahasa Bali, bahasa Sasak,
dan bahasa Sumbawa memperlihatkan hubungan keasalan yang dwipilah
(bipartite), (3) secara kuantitatif persentase kesamaan rata-rata kata-kata dasar
Daftar Swadesh di antara bahasa Bali-Sasak-Sumbawa ditemukan bahwa terpilah
menjadi dua subkelompok, yakni subkelompok bahasa Bali dan subkelompok
bahasa Sasak-Sumbawa. Ini dibuktikan dari hasil penelitian pada data yang
12
ditemukannya (kognat) yaitu sebesar 50%. Persentase yang paling rendah adalah
49%. Persentase kesamaan tertinggi ditemukan pada bahasa Sasak dan bahasa
Sumbawa yaitu 64%, (4) rekonstruksi fonologis menghasilkan sistem fonem
PBSS (Protobahasa-Bali-Sasak-Sumbawa) dan PSS (Protobahasa-Sasak-
Sumbawa). Rekonstruksi leksikal yang berlandaskan kaidah-kaidah perubahan
fonem, menghasilkan sejumlah 703 etimon.
Penelitian linguistik historis yang dilakukan Mbete hanya mencangkup
segi-segi fonologi dan leksikal, segi-segi kebahasaan yang lain yaitu morfologi,
sintaksis, dan semantik belum dikaji. Walaupun demikian, betapapun kecil dan
sederhana, penelitian linguistik historis komparatif tentang pengelompokan
bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa Sumbawa telah dapat dibuktikan baik
secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Erawati (2002) mengkaji pewarisan afiks-afiks bahasa jawa kuna dalam
bahasa jawa modern. Hasil dari penelitian yang dilakukan yang bersifat historis
komparatif generatif menunjukkan bahwa; (1) afiks-afiks bahasa Jawa Kuno yang
terwaris ke dalam bahasa Jawa Modern terdiri atas prefik, infiks, sufiks, dan
konfiks. Delapan buah prefik terwaris secara linear dan dua buah prefiks terwaris
dengan perubahan, (2) afiks-afiks bahasa Jawa Kuno dan bahasa Jawa Modern
ketika bergabung dalam membentuk sebuah kata banyak mengalami perubahan
yang dapat dipandang sebagai perbedaan. Perbedaan yang mendasar adalah pada
saat terjadinya proses peleburan, vokal bergabung dengan vokal, (3) kaidah-
kaidah yang ada dalam kedua bahasa berbeda, (4) distribusi di dalam pewarisan
ada yang mengalami penyempitan dan ada pula yang mengalami pengembangan
13
pada saat bergabung dengan bentuk dasar dan fungsi yang ada tergantung pula
pada distribusinya.
Penelitian yang dilakukan Erawati merupakan langkah awal yang sangat
terbatas dalam menelusuri keberadaan bahasa Jawa Kuno maupun bahasa Jawa
Modern, karena masih banyak afiks-afiks yang lain dalam bahasa Jawa Modern
yang belum diangkat dalam penelitian ini. Misalnya, afiks-afiks yang tidak
memiliki kemiripan bentuk ataupun makna, atau afiks-afiks tersebut bukanlah
merupakan penerusan dari bahasa Jawa Kuno. Dalam hal ini, perlu dilakukan
penelitian lanjutan mengenai afiks-afiks tersebut sehingga hasil penelitian tentang
afiks itu dapat terangkum lebih komprehensif.
Barr (1979) mengelompokkan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah.
Pengelompokan yang cukup tuntas itu terutama berdasarkan atas pendekatan
kuantitatif. Hasil pengelompokannya adalah kelompok Pamona dan kelompok
Kaili. Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kelompok Pamona adalah bahasa
Pamona, Bada’, dan Rampi. Bahasa-bahasa yang termasuk kelompok Kaili adalah
bahasa Uma, Sarudu, Baras, Kaili, dan Topoiyo. Berdasarkan perhitungan
leksikostatistik ditemukan bahwa persentase kekerabatan bahasa Kaili dan bahasa
Uma sebesar 69% dan paling rendah sebesar 47% yang dimiliki oleh pasangan
Pamona dan Rampi.
Penelitian ini juga agak lemah karena tidak didukung dengan pendekatan
kualitatif, maka, pembuktian lebih lanjut secara kualitatif merupakan upaya yang
layak dilakukan, karena tanpan ditunjang dengan bukti-bukti kualitaitif penelitian
ini menjadi agak lemah. Dalam hal ini, atas dasar pendekatan kualitatif peneliti
14
mencoba untuk melanjutkan dan membuktikan kembali hubungan kekerabatan
BK dan BU berdasarkan korespondensinya.
2.2 Konsep
Sebelum mengacu pada uraian teori, perlunya dijelaskan beberapa konsep
yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep yang dijelaskan adalah
konsep yang ada kaitannya dengan judul dari penelitan historis ini.
2.2.1 Korespondensi
Istilah korespondensi bermula dari hukum bunyi yang dikumandangkan
oleh aliran Junggramatiker dengan tokohnya Jacob Grim. Dikatakannya bahwa
bunyi-bunyi akan memiliki pergeseran secara teratur antara bahasa satu dengan
bahasa lain tanpa kecuali. Mengingat hukum bunyi dirasakan mengandung
tendensi adanya ikatan yang ketat, maka istilah ini diganti dengan korespondensi
fonemis atau kesepadanan bunyi. Maksudnya segmen-segmen yang
berkorespondensi bagi glos yang sama baik dilihat dari segi bentuk maupun
makna dalam bermacam-macam bahasa diperbandingkan satu sama lain.
Kesejajaran atau kesesuaian ini terlihat pada kesamaan atau kemiripan bentuk dan
arti (Crowley, 1992: 91).
2.2.2 Fonem
Fonem adalah satu bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras
makna. Fonem merupakan abstraksi, sedangkan wujud fonetisnya tergantung
15
beberapa faktor, terutama posisinya dalam hubungannya dengan bunyi lain.
Fonem berbentuk bunyi. Contoh kata perang; perkataan yang terdiri dari enam
unit bunyi, unit-unit bunyi itu disebut fonem, jika /p/ diganti dengan /b/, maka
parang akan menjadi barang. Oleh itu, /p/ dan /b/ merupakan unit yang
membedakan makna (Kridalaksana, 1982:23).
2.2.3 Etimon
Bentuk proto atau etimon adalah protokata yang menurunkan leksem-
leksem pada bahasa-bahasa sekerabat. Dengan kata lain, etimon adalah
protoleksem pada tataran leksikal. Bentuk proto atau etimon ini merupakan hasil
terakhir dari kegiatan rekonstruksi yang dihipotesiskan sebagai bentuk asal dari
bahasa-bahasa turunan sebelum mereka terpisah pada ribuan tahun yang lalu, di
samping sebagai penentuan kriteria pengelompokan bahasa melalui inovasi.
Bentuk ini ditandai dengan asterisk (*) (Blust, 1977: 25).
2.2.4 Protobahasa
Protobahasa merupakan suatu bentuk yang dirancang bangun atau dirakit
kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu bahasa. Ini merupakan
gagasan teoretis yang dirancang dengan cara yang amat sederhana guna
menghubungkan sistem-sistem bahasa kerabat dengan menggunakan sejumlah
kaidah. (Bynon, 1979:71).
16
2.2.5 Retensi
Retensi adalah unsur warisan, baik bentuk maupun makna yang tertinggal
atau bertahan pada bahasa-bahasa turunan sama dengan yang terdapat pada
protonya (Anderson, 1979:103; Crowley, 1992:164).
2.2.6 Inovasi
Inovasi adalah unsur warisan dari bahasa asal yang telah mengalami
perubahan pada bahasa sekarang (Hock, 1988:581). Jika dalam perkembanganya
terjadi perubahan pada kelompok bahasa turunan tertentu dan tidak terjadi pada
kelompok bahasa lain, maka ini disebut inovasi bersama yang eksluksif
(exclusively shared linguistic innovation) (Greenberg, 1957:49).
2.2.7 Perangkat kognat
Aspek bahasa yang paling cocok untuk dijadikan bahan studi
perbandingan adalah bentuk. Dalam kenyataan, struktur formal suatu bahasa tidak
banyak menimbulkan masalah dalam perbandingan apabila dibandingkan dengan
struktur makna. Dapat bahwa bentuk–bentuk yang dimiliki itu akan lebih
meyakinkan kalau bentuk-bentuk itu memperlihatkan kesamaan-kesamaan
semantik. Kesamaan atau kemiripan bentuk dan makna yang dapat dikembalikan
ke dalam bentuk protonya yang disebut kata-kata kognat (cognat set) karena
setiap bahasa memiliki bentuk-bentuk tertentu yang dikaitkan dengan maknanya
untuk memudahkan referensi (Keraf, 1996: 33-34).
17
2.2.8 Fitur distingtif
Fitur distingtif atau ciri pembeda adalah ciri yang menandai suatu fonem
segmental. Dalam kajian fonologi generatif ciri pembeda merupakan satuan
terkecil. Ciri pembeda ini merupakan unsur-unsur terkecil fonetik, leksikal, dan
suatu transkripsi yang dibentuk oleh kombinasi dan rangkaian (Schane, 1973:24).
Misalnya, bunyi [i] ditandai dengan seperangkat ciri yang kompleks, yaitu
[+silabis, -konsonan, +tinggi, -belakang, -bulat].
Konsep ciri pembeda atau distinctive feature pertama kali diperkenalkan
oleh N. Trubetzkoy dari aliran Praha. Dia menemukan adanya ciri-ciri pada bunyi
segmental dalam konteks yang kontras. Kontras yang diamatinya ada yang
bersifat bilateral dan ada juga yang bersifat multilateral. Kontras-kontras inilah
yang membedakan antara satu bunyi segmental dan bunyi segmental lain. Kontras
ini menunjukkan ciri pembeda. Misalnya, kontras antara bunyi [p] dan [b].
Fitur distingtif digunakan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan
atarsegmen dalam bahasa karena secara ideal membentuk seperangkat parameter
yang universal untuk mengklasifikasikan segmen-segmen yang ada. Mempunyai
sifat fonetis karena ciri itu dibuat berdasarkan sifat artikulatoris (seperti koronal,
tinggi) atau perseptual (seperti silabis, bertekanan). Mampu menjelaskan kelas
wajar yang memiliki sifat fonologis yang sama dalam perubahan bunyi. Sangat
berguna, terutama, dalam hubungan dengan penjelasan kaidah perubahan bunyi.
Fitur dikelompokkan ke dalam enam macam golongan, yaitu: (1) golongan fitur
kelas utama meliputi fitur; silabis, sonoran, konsonantal. Fitur [+silabis] dimiliki
oleh bunyi yang berpotensi menjadi puncak kenyaringan suku kata, fitur
18
[+sonoran] dimiliki oleh bunyi yang memiliki sifat nyaring, fitur [+konsonantal]
dimiliki oleh bunyi yang mendapat hambatan di rongga mulut saat
pembentukannya, (2) golongan fitur cara artikulasi yang dibedakan menjadi lima
macam, yaitu; malar (kontinuan), pengelepasan tidak segera (PTS), kasar (striden),
nasal, dan lateral. Fitur [+ malar] merupakan bunyi yang dihasilkan dengan
geseran terus-menerus, seperti bunyi frikatif, sedangkan bunyi yang dimulai
dengan hambatan total (afrikat) tergolong fitur [+ PTS], fitur [+ kasar] dimiliki
oleh bunyi yang dihasilkan oleh udara yang keluar mengenai gigi atau uvula, fitur
[+ nasal] dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan dengan udara keluar dari hidung,
fitur [+lateral] dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan dengan menaikkan lidah,
sehingga terjadi hambatan, tetapi sisi lidah yang satu atau keduanya diturunkan
untuk memungkinkan udara keluar melewati mulut, (3) golongan fitur daerah
artikulasi dibedakan atas fitur [+ anterior] dan fitur [+ koronal]. Fitur [+ anterior]
dimiliki oleh konsonan yang dihasilkan oleh penyempitan sebelum alveolum
sedangkan fitur [+ koronal] dimiliki oleh konsonan yang dihasilkan oleh
penyempitan oleh artikulator daun lidah, (4) golongan fitur batang lidah dan
bentuk bibir dibedakan menjadi lima empat, yaitu; fitur [+ tinggi] dimiliki oleh
bunyi yang dihasilkan dengan menaikkan lidah, fitur [+ rendah] dengan
menurunkan lidah, fitur [+ belakang] dihasilkan oleh lidah bagian belakang, dan
fitur [+ bundar] dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan dengan pembundaran bibir, (5)
golongan fitur tambahan meliputi, antara lain, fitur [+ tegang], [+ bersuara], [+
aspirasi], dan fitur [+ glotalisasi]. Fitur tegang dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan
dengan ketegangan otot, fitur bersuara dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan dengan
19
getaran pita suara, fitur aspirasi serta glotalisasi dimiliki oleh bunyi yang
beraspirasi dan bunyi yang dihasilkan oleh glottis, dan (6) golongan fitur prosodi
dibedakan atas tekanan dan panjang yang dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan
dengan bertekanan [+tekanan] dan suara panjang [+panjang] (Schane, 1973:24—
33).
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini mempunyai tiga permasalahan yang mendasar, yaitu masalah
pewarisan, tipe-tipe perubahan bunyi, dan korespondensi fonem PAN dalam BK
dan BU. Semua permasalahan di atas dibedah dengan teori linguistik historis
komparatif.
Pemilihan teori linguistik historis komparatif tentunya mempunyai
beberapa alasan, pertama, pendekatan linguistik historis komparatif, khususnya di
Eropah, Amerika, dan di Asia, sudah cukup mapan digunakan untuk merumuskan
tentang adanya hubungan kekerabatan dan keseasalan (hubungan genetika) bahasa
Indo-Eropah (IE) dan juga kekerabatan bahasa-bahasa di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, teori linguistik historis komparatif ini dibangun oleh para ahli
sejarah perbandingan bahasa-bahasa Austronesia, di antaranya oleh Bynon (1979),
Hock (1988) dan Crowley (1992). Ketiga ahli itu pada prinsipnya memiliki
pandangan yang sama terhadap kajian linguistik historis komparatif. Pandangan-
pandangan itu terangkum pada uraian berikut ini.
Setiap bahasa, setelah secara evolusi berpisah dari protobahasanya,
bahasa-bahasa itu berkembang dan berubah dengan cara yang berbeda pula
20
(Bynon, 1979: 22). Bahasa-bahasa yang berasal dari kelompok yang sama
pastinya mewarisi unsur-unsur yang secara genetis sama/mirip yang membedakan
bahasa tersebut dari kelompok bahasa yang lain yang bukan merupakan anggota
dari kolompok bahasa tersebut. Adanya kesamaan tidak selalu berarti bahwa dua
bahasa tersebut termasuk dalam kelompok yang sama. Kemiripan/ kesamaan
antara bahasa-bahasa kerabat bisa dijelaskan sebagai akibat shared retention
ataupun shared innovations dari proto-bahasanya. Dua bahasa yang sama/mirip
karena telah mengalami inovasi bersama dapat dikatakan sebagai bukti bahwa
mereka diturunkan dari moyang yang sama yang menjadikan bahasa-bahasa
tersebut menjadi subkelompok yang sama. Inovasi bersama adalah bukti bahwa
mereka termasuk dalam subkelompok yang sama, karena perubahan yang sama
persis tidak mungkin berlangsung secara mandiri dalam dua bahasa terpisah
(Crowley, 1992: 164). Jadi, dapat diartikan bahwa pengelompokan bertumpu pada
asumsi bahwa inovasi bersama tidak mungkin muncul karena kebetulan.
Dalam perubahan-perubahan bunyi, ada beberapa jenis perubahan bunyi,
seperti berikut. Pertama, pelemahan dan penguatan, beberapa bunyi secara relatif
bisa lebih kuat ataupun lebih lemah dari bunyi yang lain, misalnya: b, p, f, x, b, v,
a, l, d, s, lebih kuat dari p, f, h, h, w, w, ə, I, l, r. Jadi, bunyi bersuara lebih kuat
dari bunyi yang tak bersuara, bunyi stop lebih tinggi dari bunyi kontinyuan,
konsonan lebih tinggi dari semi vokal, bunyi oral lebih tinggi dari bunyi glotal.
Istilah tertentu pada jenis bunyi yang hilang dijelaskan sebagai berikut.
21
a) aphaeresis, yakni penghilangan terjadi pada posisi awal kata. Contoh
aphaeresi ada pada bahasa Angkamuthi dari semenanjung Cape York Australia,
perhatikan data di bawah ini.
Angkamuthi
*/maji/ /Øaji/ ‘makanan’
*/nani/ /Øani/ ‘tanah’
*/ŋampu/ /Øampu/ ‘gigi’
b) apocope, yakni penghilangan terjadi pada posisi akhir kata. contohnya
ada pada bahasa Ambrym di vaunatu, perhatikan data di bawah ini.
Ambrym
*/utu/ /utØ/ ‘kutu’
*/aŋo/ /aŋØ/ ‘lalat’
*/asue/ /asuØ/ ‘tikus’
c) syncope, istilah ini diucapkan (siŋkəpi) merupakan proses apocope yang
mirip tetapi penghilangan vokalnya ditengah kata, yang ada pada bahasa Lenakel,
perhatikan data di bawah ini.
Lenakel
*/namatama/ /nimØrin/ ‘matanya’
*/nalimana/ /nelØmin/ ‘tangannya’
*/masa/ /mØha/ ‘surut’
pelemahan dari */t/ menjadi /r/, dari */s/ menjadi /h/, dari */a/ menjadi /i/
dan nada tinggi */a/ menjadi /e/
22
d) Pengurangan kluster, merupakan istilah ketika konsonan berjejer tanpa
vokal di tengahnya mengalami penghilangan satu atau lebih konsonan. contohnya
ada pada sejarah kata dalam Pidjin Malanesia yang merupakan turunan bahasa
Inggris dimana konsonan terakhir dihilangkan, perhatikan data di bawah ini.
Inggris Pidjin Malanesia
/distrikt/ /distrikØ/ ‘daerah’
/poust/ /posØ/ ‘post’
/graeund/ /graunØ/ ‘tanah’
/paint/ /penØ/ ‘cat’
/raeŋk/ /taŋØ/ ‘bak’
e) haplologi, merupakan jenis perubahan yang jarang dan cendrung
sporadis dalam penerapannya, dengan menghilangkan semua suku kata. Ketika
suku kata itu ada pada suku kata yang mirip, maka pengucapaannya dengan cepat
seperti dalam kata “she sells sea shells by the sea shore”
Kedua, penambahan bunyi, tidak hanya kehilangan bunyi (lenition) tetapi
bunyi juga bisa ditambahkan. Ada beberapa istilah untuk penambahan bunyi,
yaitu.
a) excrescence, merupakan penambahan dengan konsonan pada konsonan
lain. Sejarah kata bahasa Inggris memunculkan penambahan konsonan, seperti
contoh di bawah ini.
Inggris
/æmtig/ /εmpti/ ‘kosong’
/θymle/ /θimbl/ ‘bidal’
23
b) ephentesis atau anaptysis, merupakan perubahan yang mana sebuah
vokal ditambah di tengah kata untuk memisahkan konsonan kluster. Dalam
contoh Tok Pisin dengan bahasa Inggris merupakan aplikasi ephentesis,
perhatikan contoh di bawah ini.
Inggris Tok Pisin
/blæk/ /bilak/ ‘hitam’
/blu:/ /bulu/ ‘biru’
/nεkst/ /nekis/ ‘berikutnya’
/siks/ /sikis/ ‘sakit’
c) prothesis, merupakan penambahan bunyi yang ada pada awal kata pada
bahasa Moto di Papua Nugini, contoh:
Moto
*/api/ /laki/ ‘api’
*/asan/ /lada/ ‘insang’
*/au/ /lau/ ‘saya’
Ketiga, metathesis, perubahan yang dikenal metathesis ini tidak biasa
karena tidak ada penghilangan dan penambahan bunyi tertentu tetapi disebabkan
salah pengucapan. Contoh ada pada bahasa Ilakano di Filipina dengan mengalih
akhiran (s) dan awalan (t) dengan Tagalog bahasa resmi Filipina:
Tagalog ilakano
/taŋis/ /sa:ŋit/ ‘menangis’
/tubus/ /subut/ ‘merebus’
/tamis/ /samqit/ ‘manis’
24
Keempat, peleburan, merupakan jenis perubahan bunyi yang mana dua
bunyi terpisah menjadi bunyi tunggal (merger) dan membawa unsur fonetis dari
kedua bunyi asalnya. Perhatikan contoh di bawah ini.
Prancis
*/oen/ /oē/ ‘satu’
*/bon/ /bō/ ‘bagus’
*/blan/ /blā/ ‘putih’
Kelima, unpacking, adalah proses fonetik yang merupakan lawan dari
peleburan, yakni dari satu bunyi tunggal yang asli menjadi dua bunyi yang
masing-masing memiliki beberapa fitur yang dimiliki bunyi aslinya. Perhatikan
contoh di bawah ini.
Prancis Bislama
avance /avãs/ /avoŋ/ ‘upah’
Keenam, vowel breaking, perubahan vowel breaking (pemecahan vokal),
vokal tunggal berubah menjadi diftong, dengan vokal asli yang tetap sama,
dengan beberapa jenis glide (bunyi luncuran) yang ditambahkan sebelum dan
sesudahnya.
Kairiru
*/pale/ /pial/ ‘rumah’
*/manu/ /mian/ ‘burung’
Ketujuh, asimilasi, ketika satu bunyi menyebabkan bunyi lainnya berubah,
sehingga dua bunyi itu menjadi lebih mirip satu sama lain.
25
Jerman
*/ba:d/ /ba:t/ ‘mandi’
*/ta:g/ /ta:k/ ‘hari’
*/ga:b/ /ga:p/ ‘memberi’
Kedelapan, disimilasi, proses ini merupakan lawan dari asimilasi yang
berarti satu bunyi berubah menjadi tidak mirip dengan bunyi didekatnya.
Afrika
*/sxo:n/ /sko:n/ ‘bersih’
*/sxoudər/ /skouər/ ‘bahu’
Kesembilan, perubahan bunyi abnormal, dalam artian tidak memenuhi
syarat perubahan-perubahan yang telah disebutkan di atas. Hal ini terjadi karena
ketika perubahan antar dua bentuk terlihat sangat besar sehingga menjadi sangat
tidak mirip. Contohnya dalam bahasa Perancis cent yang diucapkan [sã] (Crowley,
1992:38-57, bandingkan juga Hock, 1988: 34-166).
Di sisi lain, di dalam kesepadanan-kesepadanan terdapat perubahan-
perubahan yang teratur dan yang tidak teratur. Perubahan yang teratur disyarati
oleh lingkungan tertentu, sedangkan perubahan yang tidak teratur hanya terjadi
pada beberapa kata, tidak tergantung pada lingkungan yang ditempati oleh bunyi
itu (Bynon, 1979: 29-30). Rumusan keteraturan perubahan bunyi itu, oleh kaum
Neogrammarian disebut hukum bunyi dan istilah hukum bunyi itu diperhalus
menjadi korespondensi atau kesepadanan bunyi (Keraf, 1996: 49).
Perubahan bahasa dapat terjadi dalam aspek fonologi, gramatikal, dan
semantik (Bynon, 1979). Perubahan bahasa seperti itu merupakan perubahan yang
26
bersifat internal. Ada tiga model perubahan bahasa, yaitu model neogramarian,
model strukturalis, dan model transformasi generatif (Bynon, 1979: 17-169).
2.4 Asumsi Dasar
Dilihat dari hubungan kekerabatannya, berdasarkan perhitungan
leksikostatistik BK dan BU dengan menggunakan 200 kosakata daftar Swades,
bahwa BK dan BU memiliki 63% keeratan hubungan kekerabatan sehingga dapat
dikatakan rentang itu merupakan subkeluarga bahasa, namun, di sisi lain, sistem
dan kaidahnya banyak mengalami perubahan. Selanjutnya, dalam penelitian ini
dapat diasumsikan bahwa setiap bahasa memiliki pola perubahan tersendiri
(Bynon, 1979: 22). Oleh karena itu, beberapa unsur-unsur Proto-Austronesia yang
diturunkan atau terwaris pada BK dan BU dapat dihipotesiskan telah berubah, di
samping juga ada yang bertahan. Dengan kata lain, beberapa unsur-unsur Proto-
Austronesia mengalami perubahan atau pergeseran pada BK dan BU baik bentuk,
distribusi, fungsi, maupun maknanya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh
adanya proses morfofonemik.
27
Objek penelitian: pewarisan Proto Fomen PAN dalam BK & BU
2.5 Model Penelitian
2.5 Model penelitian
Bagan ini menjelaskan bahwa penelitian historis ini diawali dengan
penentuan objek penelitian yaitu BK dan BU. Berdasarkan pada objek penelitian
tersebut, barulah dirumuskan permasalahan-permasalahan yang relevan untuk
dikaji dalam penelitian studi formal ini. Dalam hal ini, ada tiga rumusan
permasalahan yaitu: (1) bagaimanakah pewarisan atau penerusan fonem PAN
pada BK dan BU, (2) mengapa fonem PAN berkorespondensi dengan fonem BK
dan BU, (3) apa sajakah tipe-tipe perubahan bunyi PAN dalam pewarisannya pada
BK dan BU.
Permasalahan-permasalahan tersebut dibedah dengan teori LHK
(Linguistik Historis Komparatif) yang ditunjang oleh dua metode, pertama metode
kuantitatif dan kedua metode kualitatif. Metode kuantitatif ikhwal metode
leksikostatistik digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai persentase
keeratan hubungan kekerabatan BK dan BU, sedangkan metode kualitatif ikhwal
Masalah penelitian: pola pewarisan, faktor perubahan, dan tipe-tipe perubahan bunyi.
Teori LHK
Metode penelitian: 1. Metode Leksikostatistik 2. Metode Perbandingan
Hasil penelitian
28
metode perbandingan (comparative method) digunakan untuk menganalisis dan
mendeskripsikan keterwarisan fonem PAN pada BK dan BU, serta menemukan
perangkat korespondensi fonemis terkait dengan perubahan fonemnya. Hasil
penelitian historis ini diharapkan ditemukannya bukti-bukti pengelompokan BK
dan BU berupa unsur-unsur PAN yang terwaris pada BK dan BU.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian historis ini dilakukan terhadap PAN, BK dan BU, dengan
demikian, untuk menentukan dan membuktikan apakah bahasa-bahasa tersebut
memiliki keeratan hubungan kekerabatan, maka dilakukan dengan dua pendekatan,
yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif
mengawali terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kuantitatif ikhwal metode leksikostatistik digunakan untuk
memperoleh gambaran mengenai persentase keeratan hubungan kekerabatan BK
dan BU, sedangkan pendekatan kualitatif ikhwal metode perbandingan digunakan
untuk: (1) mendeskripsikan keterwarisan fonem PAN pada BK dan BU, (2)
menganalisis perubahan fonem PAN yang terwaris pada BK dan BU, (3)
menuntukan tipe-tpe perubahan bunyi PAN terkait dengan perubahan fonemnya,
(4) menentukan perangkat korespondensi fonemis.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian historis ini dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Tengah. Secara
geografis Provinsi Sulawesi Tengah terletak di antara 2° 22’ Lintang Utara dan 4°
48’ Lintang Selatan serta 119° 22’ dan 124° 22’ Bujur Timur dengan luas
68.089,83 km² dan jumlah penduduk sekitar 2.242.914 jiwa. Batas-batas
wilayahnya adalah sebagai berikut. Bagian utara berbatasan dengan Provinsi
29
30
Gorontalo, bagian selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan
Provinsi Sulawesi Tenggara, bagian barat berbatasan dengan Selat Makassar dan
Provinsi Sulawesi Barat, dan bagian timur berbatasan dengan Provinsi Maluku.
Secara administratif, Sulawesi Tengah dibagi dalam 10 kabupaten, yaitu;
Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Buol, Kabupaten
Donggala, Kabupaten Morowali, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Poso,
Kabupaten Tojo Una-Una, Kabupaten Toli-Toli, Kabupaten Sigi, dan kesepuluh
kabupaten meliputi 85 kecamatan.
Penelitian BK dilaksanakan di Kota Palu, tepatnya Kecamatan Palu
Selatan. Kota Palu dibagi atas empat kecamatan, yaitu: Palu Barat, Palu Selatan,
Palu Timur, dan Palu Utara. Kecamatan Palu Selatan memiliki dua belas
desa/kelurahan, yaitu; Kelurahan Birobuli, Kelurahan Kawatuna, Kelurahan Lolu
Selatan, Kelurahan Lolu Utara, Kelurahan Palupi, Kelurahan Pengavu, Kelurahan
Petobo, Kelurahan Sambale Juraga, Kelurahan Tamalanja, Kelurahan
Tanamondidi, Kelurahan Tatura, Kelurahan Tavanjuka. Dari dua belas
desa/kelurahan yang dimiliki oleh Kecamatan Palu Selatan, Kelurahan Birobuli
dipilih sebagai lokasi penelitian. Pemilihan lokasi tersebut karena alasan berikut.
Pertama, penutur asli BK sebagian besar mendiami Kecamatan Palu Selatan.
Kedua, BK yang terdiri atas beberapa dialek yaitu: Ledo, Ija, Ado, Unde, Rai,
Da’a, Tara, Kulavi-Lindu dan Tavaelia. Dalam hal ini, memilih Ledo yang
penuturnya tersebar di Palu, sebagai dialek standar, sebab penutur BK yang
berbeda dialek umumnya menggunakan dialek Ledo dalam berkomunikasi. Ketiga,
31
dialek Ledo merupakan dialek standar bagi penutur BK yang sebagian besar
penutur BK berdialek Ledo bermukim di Kelurahan Birobuli.
Penelitian BU dilaksanakan di Kabupaten Sigi, tepatnya Kecamatan
Pipikoro, Desa Kantewu. Kabupaten Sigi dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2008 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Donggala.
Kabupaten Sigi terbagi atas lima belas kecamatan, yaitu: Kecamatan Dolo,
Kecamatan Dolo Barat, Kecamatan Dolo Selatan, Kecamatan Gumbasa,
Kecamatan Kinovaro, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Kulawi Selatan,
Kecamatan Lindu, Kecamatan Marawola, Kecamatan Marawola Barat,
Kecamatan Nokilalaki, Kecamatan Palolo, Kecamatan Pipikoro, Kecamatan Sigi
Biromaru, dan Kecamatan Tanambulawa. Pemilihan Desa Kantewu sebagai lokasi
penelitian karena alasan berikut. Pertama, penutur asli BU yang masih bertahan
hanya di Desa Kantewu. Kedua, sejauh ini BU tidak memiliki varian dialek yang
disebabkan oleh jumlah penutur asli BU yang relatif sedikit. Di soroti bahwa, BU
sebagai bahasa yang mengalami pekunahan.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran,
seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, masyarakat
Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan
sudah membaur.
32
3.3 Jenis dan Sumber Data
Penelitian historis ini mengambil objek penelitian pada PAN, BK dan BU,
dengan demikian, sasaran penelitian ini mencakupi semua tuturan yang bersumber
dari para penutur asli BK dan BU pada khususnya.
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua
macam, yaitu: informan yang terpilih dan pustaka. Selanjutnya, data penelitian
dibagi menjadi dua jenis, yaitu: data primer dan sekunder. Data primer BK berupa
data lisan diambil dari tiga informan yang merupakan penutur asli BK berdialek
Ledo dan data sekunder diambil dari kamus Kaili-Ledo Indonesia Inggris (2003),
sedangkan data primer BU juga diambil dari tiga informan yang merupakan
penutur asli BU yang tinggal di Kabupaten Sigi, Kecamatan Pipikoro, Desa
Kantefu dan khususnya untuk BU tidak memiliki data skunder layaknya BK.
Untuk data-data PAN diambil dari English Finderlist of Reconstructions in
Austronesian Languages (1978).
Selanjutnya, untuk mendapatkan sumber data lisan dalam penelitian ini,
sejumlah ketentuan digunakan untuk memilih penutur sebagai informan.
Ketentuan yang dimaksudkan untuk memilih informan yang baik, meliputi usia
dewasa yaitu di atas empat puluh tahun, cerdas, memiliki pengetahuan dan
ketrampilan berbahasa yang memadai, komunikatif, mempunyai pendengaran
yang tajam, dan termasuk penutur asli (Mahsun, 2007: 141).
Untuk mendapatkan informan yang telah ditentukan di atas, dapat
diperoleh dari informan kunci khususnya para kepala desa setempat. Untuk
mamastikan apakah informan tersebut layak dijadikan informan dalam penelitian
33
ini maka, setiap informan diberi kesempatan untuk melafalkan angka dari satu
sampai sepuluh dari dengan baik dan benar sesuai dengan bahasa yang
dimilikinya, dengan ini peneliti dapat mengatahui apakah informan tersebut layak
dijadikan informan dalam penelitian historis ini (Mithun, 1993:48).
3.4 Instrumen Penelitian
Berdasarkan data primer yang diperoleh dari para informan dapat terjaring
melalui daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Daftar pertanyaan yang dipakai
adalah Daftar Holle sejumlah 1400 kata, dan selanjutnya, untuk memperoleh data
kuantitatif, dipakai Daftar Swadesh 200 kata dasar hasil revisi Blust (1980).
Melalui alat penjaring data tersebut, diperoleh sejumlah kata yang dapat disaring
dan dicalonkan sebagai kata-kata seasal (cognate).
Data awal yang bersifat kuantitatif digunakan untuk menentukan
persentase keeratan hubungan kekerabatan BK dan BU dan data lanjutan yang
bersifat kualitatif digunakan untuk menentukan korespondensi fonemis PAN
terkait dengan keterwarisannya pada BK dan BU. Alat rekam dan camera
digunakan sebagai arsip atau dokumentasi, dan alat tulis digunakan untuk
mencatat data lisan guna mengatisipasi kehilangan atau kekaburan data dari hasil
perakaman.
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data analisis diperoleh melalui penelitian lapangan dan
penelaahan pustaka. Pengumpulan data penelitian untuk BK dan BU masing-
34
masing menggunakan tiga informan, selanjutnya dari keenam informan,
diwawancarai dengan metode cakap atau metode elisitasi langsung atau dapat
disejajarkan dengan metode wawancara (Mahsun, 2007:128; Mithun, 1993:35)
dengan menggunakan daftar tanyaan yang telah dipersiapkan, daftar tanyaan
berupa daftar glos yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Pewawancaraan dari masing-masing bahasa yang diteliti khususnya BK dan BU
dilakukan dalam waktu terpisah. Selanjutnya, untuk setiap kali wawancara dari
masing-masing bahasa yang diteliti hanya menggunakan per 200 daftar tanyaan
dari total 1400 Daftar Holle dan 200 Daftar Swadesh. Penerjemahan dilakukan
juga dengan memakai teknik pemancingan karena tuturan yang diperoleh pun
pada umumnya pendek-pendek berwujud kata dasar. Dalam pengumpulan data
primer BK dan BU, juga ditunjang dengan teknik catat, semua data yang
diperoleh dari informan dicatat secara langung dalam bentuk fonemis. Jadi, setiap
informan yang diwawancarai harus diperhatikan benar bagaimana bunyi itu
dihasilkan dengan cara melihat organ bicara pada saat bunyi itu dihasilkan.
Selanjutnya, untuk kevalidasian data dilakukan pengecekan terhadap beberapa
informan. Pengecekan data dilakukan untuk mendapatkan data yang benar dan
memang dituturkan pada bahasa tersebut. (Mahsun, 2007: 128-132).
Dalam pengumpulan data diatas juga didukung oleh teknik rekam sebagai
arsip atau dokumentasi (Mahsun, 2007: 132). Selanjutnya, data yang diperoleh
dari para informan yang telah dicatat secara fonemis, dikartukan dan disusun
berdasarkan urutan alfabetis demi kemudahan pemeriksaan.
35
Penelaahan pustaka dilakukan pada PAN dan BK. Pengumpulan data
sekunder PAN dan BU dilakukan dengan metode simak dan dibantu oleh teknik
catat. Jadi, data-data PAN dicari satu per satu pada kamus PAN berdasarkan
daftar glos dan yang menjadi patokan dalam English Finderlist of Reconstructions
in Austronesian Languages (1978) adalah temuan Dempwolff (1938), Blust
(1972), dan Stresemann (1927), sedangkan pengumpulan data sekunder BK
diambil dari kamus Kaili-Ledo Indonesia Inggris (2003). Sama halnya dengan
pengumpulan data sekunder PAN, pengumpulan data sekunder BK dilakukan
dengan mencari data satu per satu pada kamus Kaili-Ledo Indonesia Inggris
berdasarkan daftar glosnya.
Selanjutnya, data-data yang diperoleh dari informan tersebut yakni BK dan
BU dipisahkan dari unsur-unsur serapan seperti: unsur-unsur bahasa Jawa, bahasa
Bali, bahasa Bugis, bahasa Mori, dan bahasa Melayu. Unsur-unsur serapan itu
dapat diamati pada korespondensi fonemisnya, karena kata-kata yang dapat
dikenal sebagai serapan pada umumnya masuk setelah masa perubahan bunyi usai,
sehingga tidak tampak kesesuaian dengan kaidah kesepadanan yang ada dan dapat
dijelaskan pula bahwa ketidaksesuaian kesepadanan itu hanya tampak pada
sejumlah kecil saja (Jeffers dan Lehiste, 1979: 51).
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data
Ada dua metode yang digunakan dalam analisis data ini. Kedua metode
tersebut adalah metode lesikostatistik dan metode perbandingan (Crowley,
1992:90; Bynon, 1979:45). Sebelum menginjak pada metode perbandingan,
36
metode leksikostatistik mengawali terlebih dahulu, dengan maksud untuk
memperoleh gambaran mengenai persentase keeratan hubungan kekerabatan BK
dan BU. Adapun langkah-langkah (teknik-teknik) yang ditempuh dalam upaya
penentuan persentase keeratan hubungan kekerabatan BK dan BU. Teknik-tekni
yang dimakud adalah: (1) mendaftar glos dalam hal pengumpulan data, (2)
menetapkan kata kerabat yang memiliki hubungan genetis dengan kriteria sebagai
berikut: (a) pasangan yang identik, (b) pasangan yang memiliki korespondensi
fonemis, (c) pasangan yang mirip secara fonetis, (d) pasangan satu fonem berbeda
(Keraf, 1996:128), (3) membuat persentase kekerabatan, dan (4) menghubungkan
persentase kekerabatan dengan kategori tingkat kekerabatan bahasa, apakah
sebagai satu bahasa (language), keluarga bahasa (subfamily), rumpun bahasa
(stock), mikrofilum, mesofilum, atau makrofilum. Tingkat hubungan kekerabatan
BK dan BU dapat diketahui dengan rumusan sebagai berikut.
J H = x 100 G Keterangan: H= Hubungan kekerabatan
J = Jumlah kata kerabat
G = Glos
Dari hasil perhitungan persentase kekerabatan, Crowley menggunakan
batas status kebahasaan berdasarkan tingkat persentase kesamaan/kemiripan
kognat sebagai berikut.
Level of subgroping Cognate presentage
Dialect of language 81-100
Language of a family 36-81
37
Families of a stock 12-36
Stock of a microphylum 4-12
Microphyla of a mesophylum 1-4
Mesophyla of a macrophylum 0-4
(Crowley, 1992:168-170).
Metode perbandingan sebagai metode lanjutan dari metode sebelumnya
memungkinkan diperolehnya sejumlah kesamaan sebagai unsur warisan (retensi)
dan perbedaan-perbedaan sebagai tanda adanya perubahan (inovasi) pada BK dan
BU bila dikomparasikan dengan PAN, khususnya sistem fonemnya. Metode yang
digunakan dalam analisis data adalah metode perbandingan (comparative method)
yang merupakan metode utama dalam bidang linguistik historis karena dengan
menggunakan metode ini dapat ditelusuri perkembangan historis bahasa-bahasa
yang diteliti, baik melalui perbandingan data yang aktual maupun data masa lalu
(Crowley, 1992:90; Bynon, 1979:45).
Alasan lain adalah penemuan bentuk kata-kata PAN oleh sejumlah ahli
bahasa, di antaranya oleh Dempwolff, Brandstetter, dan Blust.
Data yang dikomparasikan adalah bentuk-bentuk kata yang memiliki
kesamaan atau kemiripan bentuk dan makna. Bentuk-bentuk yang demikian itu
disebut cognates (Arlotto, 1939: 91; Bynon, 1979: 47). Melalui hasil komparasi
ini kemudian dapatlah ditemukan sejumlah kesamaan dan refleksi-refleksi fonem
PAN pada BK dan BU. Dengan ini kiranya dapat digambarkan korespondensi
fonemis PAN di dalam pewarisannya pada BK dan BU.
38
Selanjutnya, analisis data dengan metode perbadingan menempuh
langkah-langkah (teknik-teknik) sebagai berikut.
1. Menentukan unsur-unsur PAN yang terwaris pada BK dan BU.
2. Menentukan tipe-tipe perubahan bunyi PAN dalam pewarisannya pada BK
dan BU.
3. Menentukan perangkat korespondensi fonemis.
4. Menentukan cognate set
Fonem PAN, BK, dan BU dikomparasikan sehingga terlihat beberapa
persamaan dan perbedaan. Misalnya, sebuah fonem PAN */b/ terjadi penerusan
menjadi BK /v/ dan BU /w/, maka fenomena yang terjadi sebagaimana yang telah
diilustrasikan, dapat dijabarkan hal-hal sebagai berikut; (1) hal-hal apasajakah
yang menyebabkan perubahan itu serta kaidah apa yang dapat diterapkan dalam
membuat kaidah yang umum, (2) apakah bentuk-bentuk itu mengandung
kebertahanan, ataupun mengalami perubahan.
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Dalam penyajian hasil analisis data, metode yang digunakan adalah
metode informal dan formal. Metode informal digunakan untuk merumuskan dan
mendeskripsikan hasil analisis sedangkan metode formal adalah digunakan untuk
merumuskan tanda-tanda dan lambang-lambang. Tanda yang dimaksud adalah:
tanda tambah (+), tanda kurang (-), tanda bintang asterisk (*), tanda panah (>),
tanda kurung biasa (( )), tanda kurung siku ([ ]), tanda kurung kurawal ({ }),
tanda kurung miring (/ /). Adapun lambang yang dimaksud di antaranya: lambang
39
huruf sebagai singkatan, seperti: PAN (Proto-Austronesia), PM (Proto-Melayu),
BK (bahasa Kaili), BU (bahasa Uma) (Sudaryanto, 1993: 144-157, Mahsun, 2005:
224-226).
40
BAB IV
PROTO-AUSTRONESIA, BAHASA KAILI, BAHASA UMA;
GAMBARAN FONEM
4.1 Gambaran Fonem Proto-Austronesia
Bahasa–bahasa yang hidup di kawasan Asia Tenggara berasal dari suatu
bahasa purba yang lazim disebut bahasa Austronesia Purba atau Proto-Austronesia.
Bahasa Austronesia Purba inilah yang menjadi asal dari beratus-ratus bahasa yang
tersebar luas di wilayah kepulauan di Asia Tenggara. Betapa wujud dan struktur
bahasa Austronesia Purba adalah sesuatu yang bersifat teoritis hipotesis. Sebab,
yang perlu diketahui ialah bahwa kita akan menemukan kesulitan untuk menyusun
secara lengkap wujud bahasa purba ini. Bahasa purba tidak lain adalah suatu
konstruksi teoritis yang dirancang dan dihubung-hubungkan melalui kaidah-
kaidah sistem di antara bahasa-bahasa yang memiliki hubungan keseasalan dan
kemudian dirumuskan secara praktis (Bynon, 1979:71). Melalui penggalian dan
pembandingan secara mendalam dan luas antara bahasa-bahasa yang dianggap
seasal itulah kemudian dirumuskan unsur-unsur asal atau yang dianggap seasal.
Rumusan-rumusan tersebut antara lain dapat berupa sistem fonem, pola-pola
ketatabahasaan, dan perbendaharaan kata dasar (basic vocabulary).
Hasil-hasil penelitian yang sangat bermanfaat untuk perumusan unsur-
unsur bahasa purba, telah cukup banyak dilakukan, antara lain oleh Dempwolff,
Brandstetter, Dahl, Blust, dan beberapa ahli sejarah perbandingan bahasa
Austronesia lainnya. Di antara segi-segi kebahasaan yang sudah cukup banyak
40
41
digali dalam hubungannya dengan bahasa Austronesia Purba adalah unsur fonem
dan kata-kata dasar (basic vocabulary). Bidang morfologi dan unsur sintaksis
bahasa-bahasa Austronesia sudah pula dikerjakan terutama oleh Blust.
Berdasarkan pertalian bunyi sebagai hasil penelitian yang dirintis oleh
Dempwolff, Blust dan Dahl, para ahli sejarah perbandingan bahasa Austronesia,
kemudian dapatlah dirumuskan sistem fonem bahasa Austronesia Purba. Pertalian
bunyi secara teratur itu terbukti dengan adanya hukum bunyi yang di temukan
oleh Van Der Tuuk berupa hukum /R/ > /g/ > /h/ dan /r/ > /d/ > /l/. Selain itu,
disepakati pula hukum pepet sebagai kaidah pertalian antara bahasa-bahasa
Austronesia (Keraf, 1996:44).
4.1.1 Sistem Bunyi Proto-Austronesia
Setiap bahasa memiliki sistem bunyi tersendiri. Hal ini berlaku pula bagi
bahasa Austronesia Purba sebelum bahasa itu pecah menjadi bahasa-bahasa
turunannya, sekalipun kita tidak dapat membangun dan menyusun secara lengkap
dan utuh sistem bunyi itu. Di samping memiliki sistem tersendiri, baik
perbendaharaan dan distribusinya, tetapi di balik itu, ada pula persamaan apalagi
bila bahasa itu dianggap seasal dan seketurunan dengan bahasa-bahasa lainnya.
Persamaan umum yang dimaksudkan adalah bahwa setiap sistem bunyi
bahasa mana pun pasti memiliki dua golongan yang disebut fonem-fonem
segmental dan suprasegmental. Bunyi-bunyi segmental terdiri atas konsonan dan
vokal yang jumlah dan distribusinya berbeda-beda pada setiap bahasa. Perbedaan
ini sebagai tanda adanya perubahan ini, berlaku pula atas bahasa-bahasa yang
42
dianggap seasal. Demikian pula unsur-unsur suprasegmental (tekanan, nada,
pemanjangan) terdapat pada setiap bahasa. Unsur-unsur yang sama dan berbeda
itu, berlaku pula atas bahasa-bahasa Austronesia.
4.1.2 Perbendaharaan Fonem-Fonem Proto-Austronesia
Berdasarkan hasil rekonstruksi, yang kemudian ditemukan pula sejumlah
kata dasar, bahasa Austronesia Purba memiliki sistem fonem sebagai berikut
(Blust, 1978:32)
Fonem vokal sebanyak empat buah yaitu */i/, */u/, */ə/, */a/. Segmen
vokal PAN dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
4.1.2a Segmen Vokal Proto-Austronesia
Posisi Lidah
Depan Tak bundar
Tengah Tak bundar
Belakang Bundar
Tinggi *i *u
Sedang *ə
Rendah *a
Diftong:
*/uy/ */iw/
*/ey/ */ew/
*/ay/ */aw/
Fonem konsonannya terdiri atas 22 buah, yaitu */p/, */b/, */m/, */w/, */t/,
*/d/, */n/, */l/, */T/, */D/, */r/, */s/, */z/, */ñ/, */y/, */c/,*/j/, */k/, */g/, */ŋ/, */R/,
*/h/.
43
4.1.2b Segmen Konsonan Proto-Austronesia
Tempat Artikulasi Cara Artikulasi Bilabial
Labio- dental
Dental/ Alveolar Palatal Velar Glotal
Hambat Tb *p *t / *T *c *k *q B *b *d / *D *j *g
Frikatif Tb *s *h B *z
Nasal B *m *n *ñ
(ny) *ŋ
(ng) Lateral B *l Getar/Tril B * r *R Semivokal B *w *y
4.2 Gambaran Fonem Bahasa Kaili dan Uma
Kedua bahasa yang diteliti, baik BK maupun BU, secara geografi terletak
Sulawesi Tengah. Batas-batas wilayahnya: bagian utara berbatasan dengan
Provinsi Gorontalo, bagian selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan
dan Provinsi Sulawesi Tenggara, bagian barat berbatasan dengan Selat Makassar
dan Provinsi Sulawesi Barat, bagian timur berbatasan dengan Provinsi Maluku.
Secara administratif, kedua bahasa itu menempati dua kebupaten yang
berbeda. Bahasa Kaili terdapat di Kabupaten Donggala, Parigi dan Kota Madya
Palu di Provinsi Sulawesi Tengah. Bahasa Uma terdapat di Kabupaten Sigi.
Kabupaten Sigi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2008
yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Donggala. Kabupaten Sigi terbagi
atas 15 kecamatan, yaitu: Kecamatan Dolo, Kecamatan Dolo Barat, Kecamatan
Dolo Selatan, Kecamatan Gumbasa, Kecamatan Kinovaro, Kecamatan Kulawi,
Kecamatan Kulawi Selatan, Kecamatan Lindu, Kecamatan Marawola, Kecamatan
44
Marawola Barat, Kecamatan Nokilalaki, Kecamatan Palolo, Kecamatan Pipikoro,
Kecamatan Sigi Biromaru, Kecamatan Tanambulawa.
4.2.1 Bahasa Kaili
Bahasa Kaili adalah bahasa yang digunakan oleh etnik Kaili di Sulawesi
Tengah. Untuk data bahasa Kaili adalah bahasa Kaili dialek Ledo. Memilih Ledo
dikarenakan penuturnya tersebar di sebagian besar kota Palu dan merupakan
dialek standar, sebab masyarakat penutur bahasa Kaili yang berbeda dialek
umumnya menggunakan dialek Ledo dalam berkomunikasi.
Fonem bahasa Kaili tidak jauh berbeda dengan fonem bahasa Indonesia.
Fonem vokal terdiri atas: /i/, /e/, /u/, /o/, /a/, dan bahasa Kaili tidak memiliki bunyi
pepet [ə].
4.2.1a Segmen Vokal BK
Posisi Lidah
Depan Tak bundar
Tengah Tak bundar
Belakang bundar
Tinggi i u
Sedang e o
Rendah a
Konsonan terdiri dari /b/, /c/, /d/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /ŋ/, / ñ/, /p/,
/r/, /s/, /t/, /v/, /w/, /y/, tidak ada /f/, /q/, /x/, /z/ atau hamzah.
45
4.2.1b Segmen Konsonan BK
Tempat Artikulasi
Cara Artikulasi Bilabial Labio- dental
Dental/ Alveolar Palatal Velar Glotal
Hambat Tb p t c k B b d j g
Frikatif Tb s h B
Nasal B m n ñ (ny) ŋ (ng) Lateral B l Getar/Tril B r Semivokal B w y
4.2.1.1 Lokasi dan Penutur Bahasa Kaili
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun
tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya
wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu.
Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan
menggunakan prefix "to" yaitu to Kaili. Ada beberapa pendapat yang
mengemukakan etimologi kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang
menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah kaili yang
umumnya tumbuh di hutan-hutan di kawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai
Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok
34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di
daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan laut.
Bahkan, di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang
pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.
46
Menurut cerita, dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh
sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau
panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju
pelabuhan pada saat itu.
Mata pencaharian utama masyarakat Kaili adalah bercocok tanam di
sawah, di ladang dan menanam kelapa. Di samping itu masyarakat suku Kaili
yang tinggal di dataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi di hutan seperti
rotan, damar dan kemiri, dan beternak, sedangkan masyarakat suku Kaili yang di
pesisir pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan
dan berdagang antarpulau ke Kalimantan.
Pada umumnya, makanan asli suku Kaili adalah nasi karena sebagian besar
tanah dataran di lembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah
persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat menanam jagung sehingga
sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan jagung
giling).
Alat pertanian suku Kaili di antaranya: pajeko (bajak), salaga (sisir),
pomanggi, pandoli (linggis), taono (parang); alat penangkap ikan di antaranya:
panambe, meka, rompo, jala, dan tagau.
Sebagaimana suku-suku lainnya di nusantara, Suku Kaili juga mempunyai
adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan social memiliki
hukum adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai
aturan sanksi dalam hukum adat. Penyelenggaraan upacara adat biasanya
dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian
47
berpantun), pada upacara kematian (no-Vaino, menuturkan kebaikan orang yg
meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada dewa
kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh
untuk mengobati orang yang sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam
dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakukan dengan mantera-
mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan
kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut
agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti:
khitan (posuna), khatam (popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (niore
ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.
Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara
lain: kakula (disebut juga gulintang, sejenis gamelan pentatonis), lalove (serunai),
nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan
datar/kecil), goo (gong), suli (suling).
Salah satu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini
merupakan kegiatan para wanita di daerah Wani, Tavaili, Palu, Tipo dan
Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe tetapi oleh
masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe ini
pun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti
Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala
didasarkan pada warna alam, seperti warna sesempalola / kembang terong (ungu),
lei-kangaro/merah betet (merah-jingga), lei-pompanga (merah ludah sirih).
48
4.2.2 Bahasa Uma
BU adalah bahasa yang digunakan oleh etnik Kulawi di Sulawesi Tengah.
BU tidak memiliki berbagai macam dialek, seperti halnya BK. Hal ini disebabkan
jumlah penutur dari BU tidak sebanyak jumlah penutur bahasa Kaili.
Fonem BU tidak jauh berbeda dengan fonem bahasa Indonesia. Fonem
vokal terdiri atas: /i/, / e/, /u/, /o/, /a/, dan BU juga tidak memiliki bunyi pepet [ə]
tapi yang istimewa BU memiliki vokal panjang yaitu: [a:]
4.2.2a Segmen Vokal BU
Posisi Lidah
Depan Tak bundar
Tengah Tak bundar
Belakang bundar
Tinggi i u
Sedang e o
Rendah a [a:]
Konsonan terdiri atas /b/, /c/, /d/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /ŋ/, / ñ/, /p/,
/r/, /s/, /t/, /v/, /w/, /y/, tidak ada /f/, /q/, /x/, /z/ atau hamzah. Perhatikan bagan
konsonan di bawah ini.
4.2.1b Segmen Konsonan BU
Tempat Artikulasi
Cara Artikulasi Bilabial Labio- dental
Dental/ Alveolar Palatal Velar Glotal
Hambat Tb p t c k B b d j g
Frikatif Tb s h B
Nasal B m n ñ (ny) ŋ (ng) Lateral B l Getar/Tril B r Semivokal B w y
49
4.2.2.1 Lokasi dan Penutur Bahasa Uma
Untuk penutur bahasa Uma sebagian besar tinggal di Desa Kantefu.
Karena jumlah penutur dari bahasa Uma yang relatif sedikit, yaitu hanya terdapat
di Desa Kantefu, maka bahasa Uma tidak memiliki dialek seperti halnya bahasa
Kaili.
Sama seperti suku Kaili, mata pencaharian utama masyarakat suku Kulawi
adalah bercocok tanam di sawah, di ladang dan menanam kelapa. Di samping itu
masyarakat suku Kulawi yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil
hasil bumi dihutan seperti rotan, damar dan kemiri, dan beternak, sedangkan
masyarakat suku Kaili yang di pesisir pantai di samping bertani dan berkebun,
mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antarpulau ke Kalimantan.
Sama juga seperti suku Kaili, pada umumnya, makanan asli suku Kulawi
adalah nasi, kadang pada musim paceklik masyarakat menanam jagung sehingga
sering mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan jagung
giling).
Sebagaimana suku-suku lainnya di nusantara, suku Kulawi juga
mempunyai adat-istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan
sosial, memiliki hukum adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta
mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat. Penyelenggaraan upacara adat
biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan, pada upacara kematian, pada
upacara panen, dan upacara penyembuhan penyakit.
50
4.2.3 Fungsi Bahasa Kaili dan Bahasa Uma
Seperti halnya bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, bahasa Kaili
dan bahasa Uma mempunyai kedudukan dan fungsi bagi kedua suku bahasa
tersebut. Perannya tampak dalam kehidupan kebudayaan, termasuk dalam
kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi. Di tengah-tengah keanekaragaman
budaya bahasa, kedua bahasa itu masih tetap menunjukkan identitas kelompok
masyarakat pendukungnya. Bahasa Kaili digunakan sebagai alat komunikasi
intraetnis oleh masyarakat suku kaili, sedangkan bahasa Uma digunakan oleh
masyarakat suku kulawi di Kabupaten Sigi, Kecamatan Pipikoro, Desa Kantefu.
4.3 Bukti-Bukti Pengelompokan
Pengelompokan adalah prosedur penyusunan silsilah keluarga bahasa-
bahasa seasal. Melalui pengelempokan, dapat ditemukan kedudukan bahasa-
bahasa yang memiliki keeratan hubungan sebagai subkelompok tersendiri, jika
dibandingkan dengan bahasa atau bahasa-bahasa di luar subkelompok atau
kelompok itu (Dyen, 1975:52). Penentuan dan pembuktian hubungan dua bahasa
atau lebih sebagai satu (sub-) kelompok tersendiri, berlandaskan kerangka teoretis
hipotesis, bahwa bahasa-bahasa itu bermula dari satu bahasa asal atau diturunkan
dari satu moyang bahasa yang karena perkembangan sejarahnya, pecah menjadi
dua atau lebih bahasa turunan.
Penyusunan silsilah keluarga bahasa-bahasa seasal, berarti penempatan
bahasa-bahasa ke dalam satu susunan kekerabatan, baik pada jenjang
subkelompok maupun kelompok. Upaya tersebut dapat dilakukan berdasarkan
51
adanya evidensi-evidensi kebahasaan yang hanya dimiliki oleh bahasa-bahasa itu
dan memperlihatkan ciri-ciri kebahasaan khas yang menandai keeratan hubungan
sebagai satu subkelompok tersendiri.
Menurut Dyen (1975:22) evidensi-evidensi kebahasaan yang
memperlihatkan tingkat keeratan hubungan itu, dapat berupa harkat keterwarisan
(retensi) kata-kata dasar (basic vocabulary) dan kebaruan ciri-ciri kebahasaan
yang eksklusif (inovasi).
Pembuktian keeratan hubungan kekerabatan BK dan BU sebagai satu
kelompok berikut ini menggunakan retensi dan inovasi. Unsur-unsur bahasa yang
inovatif meliputi fonologi dan kosa kata. Berdasarkan evidensi-evidensi
kebahasaan, baik retensi maupun inovasi, kedudukan BK dan BU dalam susunan
kekerabatan menjadi jelas secara internal sebagai satu kelompok tersendiri,
dengan bahasa-bahasa di luar kelompok itu.
4.3.1 Bukti Kuantitatif
Kejelasan hubungan kekerabatan pada jenjang paling bawah yaitu
keluarga dan subkeluarga (family dan subfamily) bahasa-bahasa, dapat dibuktikan
secara kuantitatif. Tata kaji ini mengolah persentase kesamaan 200 kata dasar
daftar Swadesh. Dengan cara ini, dapat diperoleh kesamaan kata-kata dasar antara
Bk dan BU dalam bentuk persentase.
Kesamaan persentase kata-kata dasar kedua bahasa itu dibandingkan pula
dengan persentase kesamaan dengan bahasa-bahasa: Pamona dan Bada'.
Pembandingan kedua bahasa itu, BK dan BU, dengan kedua bahasa di sekitarnya
52
beralasan geografi terdekat. Pembandingan kedua bahasa itu dengan kedua bahasa
kerabat lainnya itu bertujuan untuk memperjelas tingkat keeratan hubungan secara
leksikostatistik, baik hubungan ke dalam sebagai kelompok tersendiri, maupun ke
luar sebagai tanda keterpisahan kelompok BK dan BU dari kelompok di luarnya.
Persentase kekerabatan Bk, BU, BP, dan BB dapat diamati pada tabel di bawah ini.
4.3.1a Persentase kekerabatan
Keterangan: BK : bahasa Kaili BP : bahasa Pamona
BU : bahasa Uma BB : bahasa Bada’
Seperti yang terlihat pada tabel 4.3.1a di atas, persentase
kesamaan/kemiripan kata-kata seasal di antara keempat bahasa kerabat itu cukup
bervariasi. Persentase kesamaan/kemiripan itu berada di antara 38% dan 63%.
Terlihat pula bahwa BK dan BU memiliki persentase kesamaan/kemiripan yang
paling tinggi yaitu 63%, yang paling rendah ialah BU dan BB yaitu 38%. Jika
dicari rata-rata persentase kesamaan/kemiripan keempat bahasa yaitu BK, BU, BP
dan BB maka didapat sebesar 24%. Berikutnya rata-rata persentase
kesamaan/kemiripan untuk pasangan BK, BU, dan BP yaitu 37% dan untuk
pasangan BK, BU, dan BB yaitu 31%. Dari perbandingan persentase itu, dapat
BU 63
BP 41 39
BB 40 38 43
BK BU BP
53
dihipotesiskan bahwa BK, BU, dan BP memiliki tinggkat kekerabatan yang lebih
dekat dibandingkan dengan BB.
Bertolak dari rata-rata persentase kesamaan/kemiripan BK, BU dan BP,
maka selanjutnya dapat diperjelas kembali dengan garis silsilah kekerabatan
bahasa-bahasa seperti yang terlihat pada diagram di bawah ini.
Persentase Kata Seasal
Garis Silsilah Kekerabatan BK, BU, BP Status Bahasa
30- 35- ---------- 40- 45- 50- 55- 60- ------------ 65- 70- 75- 80- ------------ 85-
----------------------------------------------------------------- 37 (BP-BK-BU) ----------------------------------------------------------------- 63(BK-BU) -----------------------------------------------------------------
Stock
-------- 36%
Family
-------- 61%
Subfamily
-------- 81%
Dialek BP BU BK
Subkelompok
4.3.1b Garis Silsilah Kekerabatan
Dari garis silsilah di atas dapat dijelaskan sebagai berikut; (i) BK, BU dan
BP merupakan satu kelompok atau satu keluarga bahasa, (ii) secara
leksikostatistik BK, BU dan BP merupakan satu keluarga bahasa, sedangkan BK
dan BU merupakan subkeluarga bahasa.
54
Berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik yang disajikan di atas, maka
hubungan kekerabatan BK dan BU sudah dapat dibuktikan. Pembuktian ini
menjadi salah satu landasan untuk merekonstruksi protobahasa yang
dihipotesiskan menurunkan dua bahasa itu sesuai dengan persentase kekerabatan
dan silsilahnya.
4.3.2 Bukti Kualitatif
Hubungan kekerabatan yang didiagramkan untuk menentukan jenjang
hubungan keasalan yang bersifat kuantitatif, dapat diperkuat dengan bukti-bukti
kualitatif. Pembuktian secara kualitatif menggunakan fakta-fakta kebahasaan yang
digolongkan sebagai unsur-unsur inovasi bersama yang eksklusif (Exclusively
Shared Linguistic Features). Pembuktian secara kualitatif dilakukan untuk
pembuktian BK dan BU sebagai subkelompok tersendiri yang terpisah dari
kelompok Pamona, yaitu: BP dan BB. Bukti-bukti kualitatif yang meliputi unsur-
unsur kebahasaan yang inovatif dapat diamati pada uraian di bawah ini.
4.3.2.1 Bukti Penyatu Kelompok
Melalui pengamatan dan pembandingan secara cermat terhadap BK, BU,
BP, dan BB, terbukti bahwa keempat bahasa itu memiliki perubahan bunyi yang
tak teratur berupa metatesis bersama dan seperangkat kata yang inovatif.
55
1) Inovasi Fonologis
Berdasarkan perbandingan dengan etmon-etimon PAN, ditemukan
metatesis bersama BK, BU, BP, dan BB. Metatesis bersama tampak pada kata-
kata seasal di bawah ini.
PAN BK BU BP BB
*/diki/ /kodi/ /kedi/ /kodi/ /kodi/ ‘kecil’
*/tia/ /tai/ /tai/ /tai/ /tai/ ‘perut’
*/luqa/ /kula/ /kula/ /kula/ /kula/ ‘jahe’ Berdasarkan pada data-data di atas, terlihat tidak ada penyisipan, ataupun
peluluhan bunyi. Jadi, unsur-unsur PAN yang terwaris pada BK, BU, BP, dan BB
dengan pola perubahan di atas mutlak merupakan proses metatesis. Perubahan
metatesis ini tidak biasa, jadi tidak bisa dikaidahkan secara umum. Perubahan
metatesis ini disebabkan oleh salah pengucapan.
2) Inovasi Leksikal
Ciri-ciri secara eksklusif yang dipunyai oleh BK, BU, BP, dan BB, tetapi
ada pada PAN yang menunjukkan bahwa ciri-ciri tersebut hanyalah merupakan
retensi dari ciri yang ada pada PAN. Untuk pembuktian pendapat Barr, bahwa BK,
BU, BP, dan BB pernah mengalami masa perkembangan bersama pada masa
lampau, haruslah dapat dibuktikan ciri-ciri yang secara eksklusif yang hanya
dimiliki oleh keempat bahasa tersebut, tetapi tidak dimiliki oleh bahasa kerabat
lainnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan data di bawah ini.
56
PAN BK BU BP BB
*/rano/ /rano/ /rano/ /rano/ /rano/ ‘danau’
*/ŋisi/ /ŋisi/ /ŋihi/ /ŋisi/ /ŋihi/ ‘gigi’
*/vari/ /eo/ /eo/ /eo/ /eo/ ‘hari’
*/qatey/ /ate/ /ate/ /ate/ /ate/ ‘hati’
*/iguŋ/ /oŋe/ /oŋe/ /oŋe/ /oŋe/ ‘hidung’
*/hudip/ /tuvu/ /tuwu/ /tuwu/ /tuwo/ ‘hidup’
*/itəm/ /moeta/ /moeta/ /moeta/ /maeta/ ‘hitam’
*/uda/ /uda/ /uda:/ /uja/ /uda/ ‘hujan’
*/ina/ /ina/ /ina/ /ine/ /ina/ ‘ibu’
*/ikan/ /bau/ /bau/ /bou/ /bou/ ‘ikan’
*/datuq/ /nanavu/ /monawu/ /manawu/ /manawo/ ‘jatuh’
*/dantuŋ/ /sule/ /hule/ /sule/ /hule/ ‘jantung’
*/tasi/ /tasi/ /tahi/ /tasi/ /tahi/ ‘laut’
*/dilaq/ /dila/ /jila/ /jila/ /dila/ ‘lidah’
*/mata/ /mata/ /mata/ /mata/ /mata/ ‘mata’
*/matay/ /mate/ /mate/ /mate/ /mate/ ‘mati’
*/alir/ /no.ili/ /mo.ili/ /mo.ili/ /mo.ili/ ‘mengalir’
*/taqun/ /mpae/ /mpae/ /mpae/ /mpare/ ‘tahun’
*/tano/ /tana/ /tana/ /tana/ /tana/ ‘tanah’
*/lima/ /pale/ /pale/ /pale/ /pale/ ‘tangan’
*/taliŋa/ /taliŋa/ /tiliŋa/ /taliŋa/ /taliŋa/ ‘telingan’
*/təlur/ /ntalu/ /ntolu/ /toyu/ /tulu/ ‘telur’
57
*/tikut/ /valesu/ /walesu/ /walesu/ /walehu/ ‘tikus’
*/tua/ /natua/ /motua/ /matua/ /matua/ ‘tua’
*/buke/ /buku/ /buku/ /wuku/ /buku/ ‘tulang’
*/ular/ /ule/ /ule/ /ule/ /ile/ ‘ular’
4.3.2.2 Bukti Pemisah Kelompok
Bukti-bukti pemisah kelompok adalah fakta-fakta kebahasaan berupa
inovasi yang hanya ditemukan dalam bahasa atau subkelompok tertentu saja.
Dalam hubungan ini, inovasi hanya ditemukan dalam BK dan BU. Dengan kata
lain, inovasi bersama hanya terjadi dan ditemukan dalam BK dan BU dan tidak
terjadi dalam bahasa kerabat lain ataupun kelompok Pamona yaitu: BP dan BB.
Jadi, fakta-fakta kebahasaan yang inovatif itu dianggap sebagai bukti kualitatif
adanya subkelompok Kaili-Uma. Selain itu dapat dijelaskan pula bahwa inovasi
bersama dalam Kaili-Uma itu merupakan bukti bahwa kedua bahasa itu berpisah
dari kelompok Pamona. Unsur-unsur inovasi pemisah kelompok berdasarkan
inovasi fonologis dapat diamati pada bab V.
Perlu untuk dijelaskan pula bahwa ditemukan inovasi fonologis pemisah
kelompok berupa metatesis bersama berdasarkan perbandingan dengan BK, BU,
BP, dan BB. Metatesis bersama sebagai pemisah kelompok tampak pada kata
seasal di bawah ini.
PAN BK BU BP BB
*/kutu/ /kutu/ /kutu/ /tuku/ /tuku/ ‘kutu’
58
Berdasarkan pada data-data di atas terlihat bahwa BP dan BB mengalami
metatesis bersama yang menandakan bahwa BP dan BB merupakan subkelompok
tersendiri sebagai kelompok Pamona.
1) Inovasi Leksikal Kaili-Uma
Untuk pembuktian BK dan BU pernah mengalami masa perkembangan
bersama pada masa lampau, haruslah dapat ditunjukkan ciri-ciri yang secara
eksklusif yang hanya dipunyai oleh kedua bahasa tersebut, tetapi tidak dipunyai
oleh PAN dan bahasa kerabat lainnya.
Inovasi leksikal berikut ini adalah perbandingan antara PAN dengan BK
dan BU. Untuk lebih jelasnya perhatikan data di bawah ini.
PAN BK BU
*/vada/ /naria/ /ria/ ‘ada’
*/avan/ /kulimu/ /limu/ ‘awan’
*/bantal/ /luna/ /luna/ ‘bantal’
*/bavan/ /pia/ /pia/ ‘bawang’
*/baqen/ /baku/ /boku/ ‘bekal’
*/bəRat/ /nantamo/ /motomo/ ‘berat’
*/lijak/ /noŋare/ /moŋare/ ‘berteriak’
*/besi/ /ase/ /ahe/ ‘besi’
*/buhaya/ /kapuna/ /kapuna/ ‘buaya’
*/kata/ /puruka/ /puruka/ ‘celana’
*/kulat/ /rava/ /rawa/ ‘jamur’
*/gəlaŋ/ /luba/ /luba/ ‘gelang’
*/guluk/ /taono/ /to.ono/ ‘golok’
*/gəndit/ /sulepe/ /sulepe/ ‘ikat pinggang’
59
*/d'antuŋ/ /sule/ /hule/ ‘jantung’
*/moko/ /bulaili/ /buleli/ ‘kadal’
*/banua/ /ngata/ /ngata/ ‘kampung’
*/niyuR/ /nukaluku/ /kuluku/ ‘kelapa’
*/kamudi/ /pompaja/ /pajala/ ‘kemudi’
*/bə uk/ /ibo/ /ibo/ ‘kera’
*/kebaw/ /beŋa/ /beŋka/ ‘kerbau’
*/Riŋet/ /ini/ /ini/ ‘keringat’
*/lə m bəŋ/ /dayo/ /dayo/ ‘kuburan’
*/lima/ /pale/ /pale/ ‘lengan’
*/lepas/ /basaka/ /bahaka/ ‘lepas’
*/laŋis/ /lenguru/ /molenuru/ ‘licin’
*/mahal/ /nasuli/ /mosuli/ ‘mahal’
*/maŋga/ /taipa/ /taipa/ ‘mangga’
*/masuk/ /nesua/ /mi sua/ ‘masuk’
*/gale/ /noana/ /moana/ ‘melahirkan’
*/pintah/ /nerapi/ /merapi/ ‘meminta’
*/taka/ /notuda/ /mohu.a/ ‘menanam’
*/kali/ /nokae/ /mokai/ ‘menggali’
*/saŋIaR/ /nosole/ /mohole/ ‘menggoreng’
*/pitpit/ /nogepe/ /regepe/ ‘menjepit’
*/nakaŋ/ /ganaga/ /ganaga/ ‘nangka’
*/ubad/ /pakuli/ /pokuli/ ‘obat’
*/kaŋkul/ /pomaŋi/ /pomaŋki/ ‘pacul’
*/kavah/ /kura / /kura / ‘panci’
*/pasar/ /potomu/ /potomu/ ‘pasar’
*/peDes/ /nalala/ /molala/ ‘pedas’
*/kanakan/ /kabilasa/ /kabi lasa/ ‘pemuda’
*/pintu/ /vamba/ /wobo/ ‘pintu’
60
*/pipi/ /kalimpi/ /kilimpi/ ‘pipi’
*/punti/ /loka/ /loka/ ‘pisang’
*/babah/ /naede// /rede/ ‘rendah’
*/arit/ /sabi/ /sabi/ ‘saksi’
*/kabus/ /sakide/ /hankedi/ ‘sedikit’
*/diŋin/ /naleni/ /moleŋi/ ‘sejuk’
*/suliŋ/ /lalove/ /lalowe/ ‘suling’
*/tahun/ /mpae/ /mpae/ ‘tahun’
*/takut/ /naeka/ /me.eka/ ‘takut’
*/tamu/ /torata/ /torata/ ‘tamu’
*/lima/ /pale/ /pale/ ‘tangan’
*/batuk/ /baŋga/ /baŋka/ ‘tempurung’
*/tikam/ /jalo/ /jalo/ ‘tikam’
*/labaw/ /valesu/ /wulehu/ ‘tikus’
*/hawak/ /kope/ /hope/ ‘pinggang’
*/dajuŋ/ /vose/ /mowose/ ‘dayung’
*/tiləm/ /kasoro/ /kasoro/ ‘kasur’
*/aratiŋi/ /sopu/ /hopu/ ‘sumpit’
*/maŋga/ /taipa/ /taipa/ ‘mangga’
*/saguqh/ /tabaro/ /tabaro/ ‘sagu’
*/kubaj/ /uta/ /uta/ ‘sayur’
*/beRas/ /ose/ /once/ ‘beras’
*/batuk/ /meke/ /meke/ ‘batuk’
*/baRani/ /nabiya/ /bia/ ‘berani’
*/halut/ /nalusu/ /alusu/ ‘halus’
*/matiwa/ /napakasi/ /mpeahi/ ‘miskin’
*/Reqan/ /naga'a/ /moga'a/ ‘ringan’
*/gantuŋ/ /soda/ /hoda/ ‘gantung’
*/ajam/ /nomore/ /mo ore/ ‘bermain’
61
*/peluk/ /kapui/ /kupui/ ‘peluk’
*/ijak/ /noŋgare/ /mogare/ ‘teriak’
*/tuRun/ /nanau/ /mona'u ‘turun’
*/teqeki/ /dopa/ /kopa/ ‘belum’
Inovasi leksikal Kaili-Uma berikut ini adalah perbandingan antara BK dan
BU dengan kelompok Pamona, yaitu BP dan BB. Untuk lebih jelasnya perhatikan
data di bawah ini.
BK BU BP BB
/kale/ /kale/ /waka/ /waka/ ‘akar’
/toma/ /tuama/ /papa/ /papa/ ‘bapak’
/betue/ /betue/ /wuyu/ /wuyu/ ‘bintang’
/vuŋa/ /wuŋa/ /sese/ /sese/ ‘bunga’
/dagi/ /dagi/ /saŋa/ /saŋa/ ‘daging’
/lelo/ /lelo/ /iku/ /iku/ ‘ekor’
/gara / /gara/ /bure/ /bure/ ‘garam’
/kada/ /kada/ /witi/ /biti/ ‘kaki’
/kutu/ /kutu/ /tuku/ /tuku/ ‘kutu’
/naeka/ /me.eka/ /laŋa/ /laŋa/ ‘takut’
/tana/ /tana/ /tampo/ /tampo/ ‘tanah’
/pale/ /pale/ /taiye/ /taiye/ ‘tangan’
Selanjutnya, bukti-bukti kualitatif itu dapat dijadikan landasan untuk
merumuskan kesimpulan tentang pengelompokan BK, BU, BP, dan BB yang
memiliki keeratan hubungan kekerabatan. Keeratan hubungan kekerabatan itu
62
terbukti pada unsur-unsur inovasi penyatu kelompok BK, BU, BP, dan BB berupa
perubahan bunyi bersama dan perangkat leksikal yang inovatif. Berdasarkan
bukti-bukti kualitatif itu pula, ditemukan adanya hubungan kekerabatan yang
lebih erat antara BK dan BU. Kedua bahasa itu merupakan satu subkelompok
tersendiri. Sebagai satu subkelompok, unsur-unsur inovasi pananda hubungan
kekerabatan erat itu tampak pada unsur-unsur inovasi pemisah kelompok berupa
korespondensi fonemis dan inovasi leksikal.
Selanjutnya, kesimpulan kualitatif berupa kejelasan adanya keeratan
hubungan kekerabatan yang berjenjang itu, dibandingkan pula dengan kesimpulan
kuantitatif yang telah dirumuskan di bagian terdahulu (lihat 4.3.1), ternyata bahwa
bukti-bukti kualitatif dan kuantitatif tidak berbeda bahkan saling menguatkan.
Dengan demikian, maka pertalian keseasalan antara BK dan BU, sebagai hipotesis
penelitian ini telah dapat dibuktikan, baik secara kuantitatif maupun secara
kualitatif.
63
BAB V
PEWARISAN FONEM PROTO-AUSTRONESIA DAN TIPE-TIPE
PERUBAHAN FONEMNYA PADA BAHASA KAILI DAN BAHASA UMA
Berdasarkan inventarisasi fonem PAN, BK, dan BU, maka fonem-fonem
tersebut dapat diklasifikasikan menjadi: vokal, konsonan, dan diftong. Fonem-
fonem PAN yang ditemukan adalah sebagai berikut: empat buah fonem vokal
yaitu */i/, */u/, */ə/, */a/, empat belas fonem konsonan yaitu */b /, */p/, */m/, */t/,
*/d/, */n/, */ŋ/, */j/, */k/,*/l/,*/r/,*/s/,*/g/,*/q/, dan dua diftong yaitu */uy/, */ay/.
Fonem-fonem BK yang ditemukan adalah sebagai berikut: lima fonem
vokal yaitu /i/, /e/, /u/, /o/, /a/ dan empat fonem konsonan yaitu /b /, /p/, /m/, /t/, /d/,
/n/, /ŋ/, /j/, /k/, /g/, /l/, /r/, /s/, /v/. Fonem-fonem BU yang ditemukan adalah
sebagai berikut: lima fonem vokal yaitu /i/, / e/, /u/, /o/, /a/ dan empat fonem
konsonan yaitu /b /, /p/, /m/, /t/, /d/, /n/, /ŋ/, /j/, /k/, /g/, /l/, /r/, /s/, /w/.
Kesemua unsur tersebut dalam perkembangannya ada yang masih
memperlihatkan bentuk aslinya, mengalami perubahan, dan bahkan ada yang
mengalami peluluhan, sehingga yang tampak pada pewarisan itu dapat dipilah
menjadi tiga bagian, yaitu: pewarisan secara linear atau utuh, pewarisan dengan
perubahan, dan pewarisan dengan peluluhan atau zero. Realisasi dari pewarisan
unsur-unsur PAN pada BK dan BU dijelaskan berikut ini.
63
64
5.1 Pewarisan Fonem Vokal PAN pada BK dan BU
5.1.1 PAN */i/ > BK /i/, BU /i/
Fonem PAN */i/ secara teratur menurunkan fonem BK /i/ dan BU /i/
seperti tampak pada data-data yang dicontohkan di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */i-koe / /iko/ /iko/ ‘kamu’
*/ina/ /ina/ /ina/ ‘ibu’
Tengah */ŋisi/ /ŋisi/ /ŋihi/ ‘gigi’
*/timun/ /kantimu/ /ntimu/ ‘ketimun’
*/kalibaŋbaŋ/ /kalibamba/ /kalibama/ ‘kupu-
kupu’
*/lima/ /alima/ /lima/ ‘lima’
*/taliŋa/ /taliŋa/ /tiliŋa/ ‘telinga’
Akhir */di/ /ri/ /ri/ ‘di’
*/tudi/ /ladi/ /ladi/ ‘pisau’
*/mauri/ /boli/ /raboli/ ‘simpan’
*/tasi/ /tasi/ /tahi/ ‘laut’
*/boŋi/ /naboŋi/ /mobeŋi/ ‘malam’
Fonem PAN */i/ terwaris secara linear BK /i/ dan BU /i/. Pewarisan linear
PAN */i/ terjadi secara teratur BK /i/ dan BU /i/ pada posisi awal, tengah, dan
akhir. Bedasarkan tabulasi data fonem PAN */i/ yang terwaris secara linear BK /i/
dan BU /i/ pada posisi awal ditemukan dua dari 200 pasangan cognat, fonem PAN
65
*/i/ yang terwaris secara linear BK /i/ dan BU /i/ pada posisi tengah ditemukan
dua puluh enam dari 200 pasangan cognat, dan fonem PAN */i/ yang terwaris
secara linear BK /i/ dan BU /i/ pada posisi akhir ditemukan delapan dari 200
pasangan cognat, untuk jelasnya dapat dilihat pada lampiran 3.
Di samping fonem PAN */i/ terwaris secara linear ditemukan juga fonem
PAN */i/ terwaris mengalami perubahan, yaitu fonem PAN */i/ menurunkan
fonem BK /e/ dan BU /e/, jelasnya, perhatikan data di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */itu(h)/ /etu/ /etu/ ‘itu’
Tengah */[l]intaq/ /parenta/ /parenta/ ‘memerintah’
*/sipa/ /sepa/ /sepa/ ‘tendang’
*/bintaŋ/ /betue/ /betue/ ‘bintang’
*/bile/ /beli/ /beli/ ‘juling’
Akhir - - -
Seperti yang terlihat pada data di atas, fonem PAN */i/ terwaris mengalami
perubahan BK /e/ dan BU /e/. Fonem PAN */i/ yang menurunkan fonem BK /e/
dan BU /e/ pada posisi awal ditemukan satu dari 200 pasangan cognat dan fonem
PAN */i/ yang menurunkan fonem BK /e/ dan BU /e/ pada posisi tengah
ditemukan empat dari 200 pasangan cognat, sedangkan pewarisan fonem PAN */i/
yang menurunkan fonem BK /e/ dan BU /e/ pada posisi akhir tidak ditemukan.
66
Perubahan fonem PAN */i/ yang menurunkan fonem BK /e/ dan BU /e/
dikarenakan, fonem PAN */i/ diikuti oleh fonem /t/, /r/, dan /p/ pada BK dan BU.
Hal ini dapat dikaidahkan sebagai berikut.
K +konsonantal /e/ -lateral */i/ K +konsonantal /e/ - malar +anterior
Perubahan fonem PAN */i/ yang lain yang menurunkan fonem BK /e/ dan
BU /e/ pada contoh data di bawah ini.
PAN BK BU
*/bile/ /beli/ /beli/ ‘juling’
Perubahan fonem PAN */i/ yang menurunkan fonem BK /e/ dan BU /e/
seperti yang dicontohkan di atas merupakan proses metatesis, karena tidak ada
penghilangan dan penambahan fonem tertentu, tetapi disebabkan oleh salah
pengucapan.
Selain fonem PAN */i/ menurunkan BK /e/ dan BU /e/ ditemukan juga
korenspondensi yang lain, yaitu */i/ > /o/ - /o/ dan */i/ > /a/ - /a/ dengan jumlah
yang sangat terbatas. Perhatikan data di bawah ini.
PAN BK BU
*/jibu/ /jobu/ / jobu/ ‘seribu’
*/pinter/ /pante/ /pante/ ‘cerdas’
Perubahan fonem PAN */i/ di atas adalah perubahan yang bersifat sporadis.
Jadi, berdasarkan kesemua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fonem PAN
67
*/i/ memiliki daya awat yang tinggi. Hal ini terlihat bahwa sebagian besar fonem
PAN */i/ terwaris linear dan dengan teratur tetap mempertahankan ciri-ciri fonetis
fonem protonya pada posisi awal, tengah, dan akhir pada BK dan BU.
5.1.2 PAN */u/ > BK /u/, BU /u/
Fonem PAN */u/ terwaris secara linear BK /u/ dan BU /u/ seperti tampak
pada data-data yang dicontohkan di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */uda/ /uja/ /uda/ ‘hujan’
*/ular/ /ule/ /ule/ ‘ular’
*/urat/ /uva/ /ua/ ‘urat’
*/untuŋ/ /untu/ /untu/ ‘untung’
Tengah */bulud/ /bulu/ /bulu/ ‘bukit’
*/bulan/ /vula/ /wula/ ‘bulan’
*/bulu/ /vulu/ /wulu/ ‘bulu’
*/buŋa/ /vuŋa/ /wuŋa/ ‘bungan’
*/kuniŋ/ /kuni/ /mokuni/ ‘kuning’
Akhir */abu/ /avu/ /awu/ ‘abu’
*/ŋasu/ /raŋasu/ /raŋahu/ ‘asap’
*/batu/ /vatu/ /watu/ ‘batu’
*/kaju/ /kayu/ /kaju/ ‘kayu’
*/təbu/ /tovu/ /towu/ ‘tebu’
68
Pewarisan linear PAN */u/ terjadi secara teratur BK /u/ dan BU /u/ pada
posisi awal, tengah, dan akhir. Bedasarkan tabulasi data fonem PAN */u/ yang
terwaris secara linear BK /u/ dan BU /u/ pada posisi awal ditemukan empat dari
200 pasangan cognat, fonem PAN */u/ yang terwaris secara linear BK /u/ dan BU
/u/ pada posisi tengah ditemukan sembilan belas dari 200 pasangan cognat, dan
fonem PAN */u/ yang terwaris secara linear BK /u/ dan BU /u/ pada posisi akhir
ditemukan dua puluh lima dari 200 pasangan cognat. Jelasnya dapat dilihat pada
lampiran 4.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa fonem PAN */u/
memiliki daya awat yang tinggi, karena fonem PAN */u/ tidak ditemukan terwaris
mengalami perubahan pada BK dan BU. Jadi, fonem PAN */u/ dengan teratur
tetap mempertahankan ciri-ciri fonetis fonem protonya.
5.1.3 PAN */ə/ > BK /a/, BU /a/
Fonem PAN */ə/ terwaris dengan mengalami perubahan BK /a/ dan BU /a/
seperti tampak pada data-data di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal - - -
Tengah */bənaŋ/ /bana/ /bana/ ‘benang’
*/ləbiq/ /nelabi/ /melabi/ ‘lebih’
Akhir - - -
69
Seperti yang terlihat pada data di atas, fonem PAN */ə/ pada BK dan BU
direfleksikan dengan fonem /a/. Bedasarkan tabulasi data fonem PAN */ə/ yang
terwaris dengan perubahan BK /a/ dan BU /a/ pada posisi tengah ditemukan dua
dari 200 pasangan cognat, sedangkan fonem PAN */ə/ yang terwaris dengan
perubahan BK /a/ dan BU /a/ pada posisi awal atau akhir tidak ditemukan.
Perubahan fonem PAN */ə/ yang menurunkan fonem BK /a/ dan BU /a/,
karena fonem PAN */ə/ tidak dimiliki oleh BK dan BU. Jadi, fonem PAN */ə/
diganti dengan fonem /a/. Penggantian fonem PAN */ə/ dengan fonem /a/ dapat
disimpulkan bahwa fonem /a/ berada pada satu tempat artikulasi, yaitu posisi
batang lidah sama-sama berada pada posisi tengah tak bundar.
Di sisi lain, PAN */ə/ di samping direfleksikan dengan fonem /a/
ditemukan juga korespondensi fonemis yang lain, yaitu */ə/ > /o/ - /o/. Jelasnya,
perhatikan data di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal - - -
Tengah */bəŋəl/ /boŋo/ /boŋo/ ‘tuli’
*/təbu/ /tovu/ /towu/ ‘tebu’
*/təkik/ /toke/ /toke/ ‘tokek’
Akhir - - -
Berdasarkan tabulasi data perubahan fonem PAN */ə/ yang menurunkan
fonem BK /o/ dan BU /o/ pada posisi tengah di temukan tiga dari 200 pasangan
kognat. Perubahan fonem PAN */ə/ yang menurunkan fonem BK /o/ dan BU /o/
70
merupkan hal yang hampir sama dengan proses sebelumnya. Fonem PAN */ə/
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa fonem PAN */ə/ tidak dimiliki
oleh BK dan BU. Jadi, fonem PAN */ə/ diganti dengan fonem lain yang memiliki
tempat artikulasi yang sama. Penggantian fonem PAN */ə/ dengan fonem /o/
dapat disimpulkan bahwa fonem /o/ berada pada satu tempat artikulasi yang sama,
yaitu posisi batang lidah sama-sama berada pada posisi sedang. Perhatikan tabel
di bawah ini.
Posisi Lidah
Depan Tak bundar
Tengah Tak bundar
Belakang bundar
Tinggi i u
Sedang e *ə o
Rendah a
5.1.3 Segmen Vokal
Pada tabel di atas tidak menutup kemungkinan bahwa fonem PAN */ə/
juga dapat digantikan dengan fonem /e/ melihat berada pada satu tempat artikulasi.
Perhatikan contoh di bawah ini.
PAN BK BU
*/ləŋat/ /naleŋi/ /moleŋi/ ‘lembab’
Berdasarkan tabulasi data fonem PAN */ə/ yang menurunkan fonem BK
/e/ dan BU /e/ ditemukan satu dari 200 pasangan kognat.
Perubahan fonem PAN */ ə / juga ditemukan secara sporadis menurunkan
fonem BK /a/ dan BU /o/ pada contoh data di bawah ini.
71
Posisi PAN BK BU
Awal - - -
Tengah */təlur/ /ntalu/ /ntolu/ ‘telur’
Akhir - - -
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan, bahwa BK dan BU secara
sporadis fonem PAN */ə/ menurunkan fonem BK /a/ dan BU /o/. Jadi,
berdasarkan uraian di atas mengenai pewarisan fonem PAN */ə/ dapat
disimpulkan bahwa fonem PAN */ə/ tidak memiliki daya awet yang tinggi,
dengan kata lain, fonem PAN */ə/ mempunyai kecendrungan berubah atau
digantikan dengan fonem yang lain.
5.1.4 PAN */a/ > BK /a/, BU /a/
Fonem PAN */a/ terwaris secara linear BK /a/ dan BU /a/ seperti tampak
pada data-data yang dicontohkan di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */abu/ /avu/ /awu/ ‘abu’
*/apuy/ /apu/ /apu/ ‘api’
*/ane/ /ane/ /ane/ ‘rayap’
*/ade/ /ade/ /aje/ ‘dagu’
*/atəp/ /ata/ /ata/ ‘atap’
Tengah */ŋasu/ /raŋasu/ /raŋahu/ ‘asap’
*/manuk/ /manu/ /manu/ ‘ayam’
72
*/babuy/ /bavu/ /bawu/ ‘babi’
*/batu/ /vatu/ /watu/ ‘batu’
*/sakay-an/ /sakaya/ /sakaya/ ‘sampan’
Akhir */apa/ /nuapa/ /apa/ ‘apa’
*/tama/ /toma/ /tuama/ ‘ayah’
*/cerita/ /nojarita/ /mojarita/ ‘berbicara’
*/buŋa/ /vuŋa/ /wuŋa/ ‘bunga’
Seperti terlihat pada data-data di atas, fonem PAN */a/ terwaris linear
secara teratur pada BK /a/ dan BU /a/ pada posisi awal, tengah, dan akhir.
Bedasarkan tabulasi data fonem PAN */a/ yang terwaris secara linear BK /a/ dan
BU /a/ pada posisi awal ditemukan tujuh dari 200 pasangan cognat, fonem PAN
*/a/ yang terwaris linear BK /a/ dan BU /a/ pada posisi tengah ditemukan dua
puluh delapan dari 200 pasangan cognat, dan fonem PAN */a/ yang terwaris
secara linear BK /a/ dan BU /a/ pada posisi akhir ditemukan empat belas dari 200
pasangan cognat. Jelasnya dapat dilihat pada lampiran 5.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fonem PAN */a/
memiliki daya awat yang tinggi, karena fonem PAN */a/ tidak ditemukan terwaris
mengalami perubahan pada BK dan BU. Jadi, fonem PAN */a/ dengan teratur
tetap mempertahankan ciri-ciri fonetis fonem protonya.
73
5.2 Pewarisan Fonem Konsonan PAN pada BK dan BU
5.2.1 PAN */b/ > BK /b/, BU /b/
Fonem PAN */b/ terwaris linear BK /b/ dan BU /b/ seperti tampak pada
data-data yang dicontohkan di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */baqen/ /baku/ /boku/ ‘bekal’
*/binatan/ /binata/ /binata/ ‘binatang’
*/buDbud/ /buburu/ /bubur/ ‘bubur’
*/bulud/ /bulu/ /bulu/ ‘bukit’
Tengah */jibu/ /jobu/ /jobu/ ‘seribu’
*/kalibaŋbaŋ/ /kalibamba/ /kalibama/ ‘kupu-
kupu’
*/ləbiq/ /nelabi/ /melabi/ ‘lebih’
*/tebus/ /tobusi/ /tebusi/ ‘menebus’
Akhir - - -
Berdasarkan pada data-data di atas, fonem PAN */b/ terwaris linear
dengan teratur BK /b/ dan BU /b/ pada posisi awal dan tengah. Bedasarkan
tabulasi data fonem PAN */b/ yang terwaris linear BK /b/ dan BU /b/ pada posisi
awal ditemukan delapan belas dari 200 pasangan cognat, fonem PAN */b/ yang
terwaris secara linear BK /b/ dan BU /b/ pada posisi tengah ditemukan empat dari
200 pasangan cognat, dan fonem PAN */b/ yang terwaris secara linear BK /b/ dan
BU /b/ pada posisi akhir tidak ditemukan. Jelasnya dapat dilihat pada lampiran 6.
74
Selain fonem PAN */b/ terwaris linear BK /b/ dan BU /b/, ditemukan juga
korespondensi fonemis lain yiatu */b/ > /v/ - /w/. Dapat dijelaskan bahwa fonem
PAN */b/ memiliki korespondensi dengan fonem BK /v/ dan BU /w/. Jelasnya,
perhatikan data di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */bəŋəl/ /voŋo/ /woŋo/ ‘tuli’
*/bibir/ /vivi/ /wiwi/ ‘bibir’
*/bala/ /vala/ /wala/ ‘kandang’
*/batu/ /vatu/ /watu/ ‘batu’
*/bulan/ /vula/ /wula/ ‘bulan’
*/bulu/ /vulu/ /wulu/ ‘bulu’
*/buŋa/ /vuŋa/ /wuŋa/ ‘bunga’
*/baRa/ /viŋa/ /wiŋa / ‘bahu’
Tengah */abu/ /avu/ /awu/ ‘abu'
*/ləbu/ /sovu/ /awu/ ‘debu’
*/tu(m)buh/ /natuvu/ /tu:wu/ ‘tumbuh’
*/təbu/ /tovu/ /towu/ ‘tebu’
Akhir - - -
Seperti terlihat pada contoh di atas, perubahan fonem PAN */b/ yang
menurunkan fonem BK /v/ dan BU /w/ pada posisi awal ditemukan sembilan dari
200 pasangan cognat, dan fonem PAN */b/ yang menurunkan fonem BK /v/ dan
BU /w/ pada posisi tengah ditemukan empat dari 200 pasangan cognat, sedangkan
75
pewarisan fonem PAN */b/ yang menurunkan fonem BK /v/ dan BU /w/ pada
posisi akhir tidak ditemukan. Perubahan fonem PAN */b/ yang menurunkan
fonem BK /v/ dan BU /w/ terjadi karena fonem PAN */b/ diikuti oleh bunyi vokal
tinggi yaitu fonem /i/ dan /u/. Hal ini dapat dikaidahkan sebagai berikut.
/v/ V */b/ /w/ [+tinggi]
Pada data di atas juga terlihat bahwa perubahan fonem PAN */b/ yang
menurunkan BK /v/ dan BU /w/ bukan karena diikuti oleh vokal tinggi, melainkan
didahului oleh vokal rendah, yaitu fonem /a/, seperti pada data di bawah ini.
PAN BK BU
*/batu/ /vatu/ /watu/ ‘batu’
Disini dapat dihipotesiskan bahwa korespondensi fonemis */b/ > /v/ - /w/
yang dipengaruhi oleh fonem /a/ merupakan proses analogi. Hal ini dapat
dibuktikan dengan ditemukan data sebagai berikut.
PAN BK BU
*/babuy/ /bavu/ /bawu/ ‘babi’
*/baqen/ /baku/ /boku/ ‘bekal’
Dengan demikian dapat dibuktikan, bahwa perubahan fonem PAN */b/
yang menurunkan fonem BK /v/ dan BU /w/ bukan karena diikuti oleh vokal
rendah, melainkan diikuti oleh vokal tinggi. Jadi, berdasarkan analisis di atas
dapat disimpulkan bahwa fonem PAN */b/ akan mengalami perubahan bila
didahului oleh fonem tinggi, yaitu fonem /a/ dan fonem, /i/.
76
5.2.2 PAN */p/ > BK /p/, BU /p/
Fonem PAN */p/ terwaris linear BK /p/ dan BU /p/ seperti tampak pada
data-data yang dicontohkan di bawah ini
Posisi PAN BK BU
Awal */ponuq/ /ponu/ /ponu/ ‘penuh’
*/pinter/ /pante/ /pante/ ‘cerdas’
*/panaq/ /pana/ /pana/ ‘panah’
Tengah */apa/ /nuapa/ /apa/ ‘apa’
*/apuy/ /apu/ /apu/ ‘api’
*/sipa/ /sepa/ /sepa/ ‘tendang’
*/sampulu/ /sapuluh/ /hampulu/ ‘sepuluh’
*/lipan/ /lipa/ /lipa/ ‘lipan’
Akhir - - -
Seperti terlihat pada data-data di atas, fonem PAN */p/ terwaris linear
dengan teratur BK /p/ dan BU /p/ pada posisi awal dan tengah. Bedasarkan
tabulasi data fonem PAN */p/ yang terwaris secara linear BK /p/ dan BU /p/ pada
posisi awal ditemukan delapan dari 200 pasangan cognat, fonem PAN */p/ yang
terwaris linear BK /p/ dan BU /p/ pada posisi tengah ditemukan lima dari 200
pasangan cognat, dan fonem PAN */p/ yang terwaris secara linear BK /p/ dan BU
/p/ pada posisi akhir tidak ditemukan. Jelasnya dapat dilihat pada lampiran 7.
Fonem PAN */p/ khususnya dalam BK dan BU pada posisi akhir
mengalami peluluhan bunyi. Perhatikan contoh data di bawah ini.
77
PAN BK BU
*/atəp/ /ataØ/ /ataØ/ ‘atap’
*/alap/ /alaØ/ /alaØ/ ‘ambil’
Setiap fonem konsonan pada posisi akhir pada BK dan BU akan
mengalami peluluhan bunyi sebagai tanda dari bahasa vokalis. Peluluhan bunyi
pada posisi akhir dikenal dengan istilah apocope.
5.2.3 PAN */m/ > BK /m/, BU /m/
Fonem PAN */m/ terwaris linear BK /m/ dan BU /m/ seperti tampak pada
data-data di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */manuk/ /manu/ /manu/ ‘ayam’
*/madu/ /madu/ /madu/ ‘madu’
*/mata/ /mata/ /mata/ ‘mata’
*/ma(n)taq/ /mata/ /mata/ ‘mentah’ */matay/ /namate/ /mate/ ‘mati’
Tengah */harimaw/ /harimaw/ /harimaw/ ‘harimau’
*/lima/ /alima/ /lima/ ‘lima’
*/ome/ /ome/ /ome/ ‘telan’
*/timun/ /kantimu/ /ntimu/ ‘ketimun’
*/timah/ /tima/ /timah/ ‘timah’
*/tama/ /toma/ /tuama/ ‘bapak’
Akhir - - -
78
Berdasarkan pada data-data di atas, fonem PAN */m/ terwaris linear
dengan teratur BK /m/ dan BU /m/ pada posisi awal dan tengah. Bedasarkan
tabulasi data fonem PAN */m/ yang terwaris linear BK /m/ dan BU /m/ pada
posisi awal ditemukan lima dari 200 pasangan cognat, fonem PAN */m/ yang
terwaris secara linear BK /m/ dan BU /m/ pada posisi tengah ditemukan enam dari
200 pasangan cognat, dan fonem PAN */m/ yang terwaris secara linear BK /m/
dan BU /m/ pada posisi akhir tidak ditemukan, tatapi fonem PAN */m/ pada posisi
akhir ditemukan mengalami peluluhan bunyi seperti pada data di bawah ini.
Jumlahnya sangat terbatas.
PAN BK BU
*/jarum/ /jaruØ/ /jaruØ/ ‘jarum’
*/tadəm/ /natadaØ/ /motajaØ/ ‘tajam’
Jadi, setiap fonem konsonan pada posisi akhir pada BK dan BU akan
mengalami peluluhan bunyi sebagai tanda dari bahasa vokalis.
5.2.4 PAN */d/ > BK /d/, BU /d/
Fonem PAN */d/ terwaris linear BK /d/ dan BU /d/ seperti tampak pada
data-data di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */dusah/ /dosa/ /dosa/ ‘dosa’
*/dala/ /dara/ /dara/ ‘merpati’
*/dilaq/ /dila/ /dila/ ‘lidah’
79
Tengah */landak/ /landa/ /landa/ ‘landak’
*/madu/ /madu/ /madu/ ‘madu’
*/sedia/ /sadia/ /sadia/ ‘menyediakan’
*/tanda/ /tandana/ /tanda/ ‘pertanda’
Akhir - - -
Seperti terlihat pada data-data di atas, fonem PAN */d/ terwaris linear
dengan teratur BK /d/ dan BU /d/ pada posisi awal dan tengah. Bedasarkan
tabulasi data fonem PAN */d/ yang terwaris linear BK /d/ dan BU /d/ pada posisi
awal ditemukan tiga dari 200 pasangan cognat, fonem PAN */d/ yang terwaris
secara linear BK /d/ dan BU /d/ pada posisi tengah ditemukan empat dari 200
pasangan cognat, dan fonem PAN */d/ yang terwaris secara linear BK /d/ dan BU
/d/ pada posisi akhir tidak ditemukan, tatapi fonem PAN */d/ pada posisi akhir
ditemukan mengalami peluluhan bunyi seperti pada data di bawah ini. Jumlahnya
sangat terbatas.
PAN BK BU
*/bulud/ /buluØ/ /buluØ/ ‘bukit’
Jadi, setiap fonem konsonan pada posisi akhir pada BK dan BU akan
mengalami peluluhan bunyi sebagai tanda dari bahasa vokalis. Di sisi lain fonem
PAN */d/ juga ditemukan mengalami perubahan. Perhatikan data di bawah ini.
PAN BK BU
*/di/ /ri/ /ri/ ‘di’
*/bayad/ /bayari/ /bayari/ ‘membayar’
80
Seperti yang terlihat pada data di atas, bahwa fonem PAN */d/
menurunkan fonem BK /r/ dan BU /r/. Perubahan fonem PAN */d/ yang
menurunkan fonem BK /r/ dan BU /r/ karena fonem PAN */d/ diikuti oleh fonem
/i/. hal ini dapat dikaidahkan sebagai berikut.
V +tinggi */d/ /r/ -belakang
Jadi, dapat dijelaskan bahwa fonem PAN */d/ akan menjadi /r/ bila diikuti
oleh bunyi /i/ pada posisi akhir.
Pada data berikut ini perlu juga untuk dijelaskan bahwa fonem PAN */d/
ditemukan mengalami perubahan yang spodaris. Jelasnya, perhatikan data di
bawah ini.
PAN BK BU
*/daga/ /jagai/ /jaga/ ‘menjaga’
*/uda/ /uja/ /uda/ ‘hujan’
*/ade/ /ade/ /aje/ ‘dagu’
Berdasarkan pada data-data di atas, fonem */d/ PAN mengalami
perubahan yang spodaris pada posisi awal dan tengah. jumlahnya sangat terbatas.
5.2.5 PAN */t/ > BK /t/, BU /t/
Fonem PAN */t/ terwaris linear BK /t/ dan BU /t/ seperti tampak pada
data-data yang dicontohkan di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
81
Awal */tama/ /toma/ /tuama/ ‘ayah’
*/timah/ /tima/ /tima/ ‘timah’
*/tau/ /tona/ /tauna/ ‘orang’
Tengah */batu/ /vatu/ /watu/ ‘batu’
*/itik/ /titi/ /titih/ ‘itik’ */kutu/ /kutu/ /kutu/ ‘kutu’ */mata/ /mata/ /mata/ ‘mata’ */matay/ /namate/ /mate/ ‘mati’
Akhir - - -
Seperti terlihat pada data-data di atas, fonem PAN */t/ secara linear
terwaris teratur BK /t/ dan BU /t/ pada posisi awal dan tengah. Bedasarkan
tabulasi data fonem PAN */t/ yang terwaris linear BK /t/ dan BU /t/ pada posisi
awal ditemukan dua puluh tiga dari 200 pasangan cognat, fonem PAN */t/ yang
terwaris secara linear BK /t/ dan BU /t/ pada posisi tengah ditemukan dua puluh
dari 200 pasangan cognat, dan fonem PAN */t/ yang terwaris secara linear BK /t/
dan BU /t/ pada posisi akhir tidak ditemukan. Jelasnya dapat dilihat pada lampiran
8.
Di sisi lain fonem PAN */t/ pada posisi akhir ditemukan mengalami
peluluhan bunyi seperti pada data di bawah ini. Jumlahnya sangat terbatas.
PAN BK BU
*/surat/ /suraØ/ /suraØ/ ‘surat’
*/laŋit/ /laŋiØ/ /laŋiØ/ ‘angit’
82
*/ləŋat/ /naleniØ/ /moleŋiØ/ ‘lembab’
*/kilat/ /kilaØ/ /kila:Ø/ ‘kilat’
Jadi, setiap fonem konsonan /t/ pada posisi akhir pada BK dan BU akan
mengalami peluluhan bunyi sebagai tanda dari bahasa vokalis.
5.2.6 PAN */n/ > BK /n/, BU /n/
Fonem PAN */n/ terwaris linear BK /n/ dan BU /n/ seperti tampak pada
data-data yang dicontohkan di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal - - -
Tengah */manuk/ /manu/ /manu/ ‘ayam’
*/bənaŋ/ /bana/ /bana/ ‘benang’
*/kuniŋ/ /kuni/ /mokuni/ ‘kuning’
*/tunu/ /notunu/ /tunu/ ‘panggang’
Akhir - - -
Seperti terlihat pada data-data di atas, fonem PAN */n/ terwaris linear BK
/n/ dan BU /n/ pada posisi tengah. Bedasarkan tabulasi data fonem PAN */n/ yang
terwaris linear BK /n/ dan BU /n/ pada posisi tengah ditemukan dua puluh satu
dari 200 pasangan cognat. Jelasnya dapat dilihat pada lampiran 9.
Selain fonem PAN */n/ dengan teratur menurunkan fonem BK /n/ dan BU
/n/ pada posisi tengah, juga ditemukan fonem PAN */n/ pada posisi akhir
83
mengalami peluluhan bunyi seperti pada data di bawah ini. Jumlahnya sangat
terbatas.
PAN BK BU
*/bulan/ /vulaØ/ /wulaØ/ ‘bulan’
*/lipan/ /lipaØ/ /lipaØ/ ‘lipan’
*/timun/ /kantimuØ/ /ntimuØ/ ‘ketimun’
Jadi, setiap fonem konsonan /n/ pada posisi akhir pada BK dan BU akan
mengalami peluluhan bunyi sebagai tanda dari bahasa vokalis.
5.2.7 PAN */ŋ/ > BK /ŋ/, BU /ŋ/
Fonem PAN */ŋ/ terwaris linear BK /ŋ/ dan BU /ŋ/ seperti tampak pada
data-data di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */ŋisi/ /ŋisi/ /ŋihi/ ‘gigi’
Tengah */taliŋa/ /taliŋa/ /tiliŋa/ ‘telinga’
*/laŋit/ /laŋi/ /laŋi/ ‘angit’
*/ləŋat/ /naleŋi/ /moleŋi/ ‘lembab’
*/buŋa/ /vuŋa/ /wuŋa/ ‘bunga’
*/bəŋəl/ /voŋo/ /woŋo/ ‘tuli’
*/boŋi/ /naboŋi/ /mobeŋi/ ‘malam’
Akhir - - -
84
Seperti terlihat pada data-data di atas, fonem PAN */ŋ/ secara linear
terwaris teratur BK /ŋ/ dan BU /ŋ/ pada posisi awal dan tengah. Bedasarkan
tabulasi data fonem PAN */ŋ/ yang terwaris linear BK /ŋ/ dan BU /ŋ/ pada posisi
awal ditemukan satu dari 200 pasangan cognat, fonem PAN */ŋ/ yang terwaris
secara linear BK /ŋ/ dan BU /ŋ/ pada posisi tengah ditemukan enam dari 200
pasangan cognat, dan fonem PAN */ŋ/ yang terwaris secara linear BK /ŋ/ dan BU
/ŋ/ pada posisi akhir tidak ditemukan, tetapi ditemukan mengalami peluluhan
bunyi seperti pada data di bawah ini.
PAN BK BU
*/bənaŋ/ /banaØ/ /banaØ/ ‘benang’
*/dagiŋ/ /dagiØ/ /dagiØ/ ‘daging’
*/kuniŋ/ /kuniØ/ /mokuniØ/ ‘kuning’
*/kalibaŋbaŋ/ /kalibambaØ/ /kalibamaØ/ ‘kupu-kupu’
*/u(n)tuŋ/ /nauntuØ/ /mo untuØ/ ‘untung’
*/tu(ŋ)kaŋ/ /tukaØ/ /tukaØ/ ‘tukang’
Jadi, setiap fonem konsonan /ŋ/ pada posisi akhir pada BK dan BU akan
mengalami peluluhan bunyi sebagai tanda dari bahasa vokalis.
5.2.8 PAN */j/ > BK /j/, BU /j/
Fonem PAN */j/ terwaris linear BK /j/ dan BU /j/ seperti tampak pada
data-data di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */jara/ /jara/ /jara/ ‘kuda’
85
Tengah */baju/ /baju/ /baju/ ‘baju’
Akhir - - -
Seperti terlihat pada data-data di atas, fonem PAN */j/ secara linear
terwaris teratur BK /j/ dan BU /j/ pada posisi awal dan tengah. Bedasarkan
tabulasi data fonem PAN */j/ yang terwaris linear BK /j/ dan BU /j/ pada posisi
awal ditemukan satu dari 200 pasangan cognat, fonem PAN */j/ yang terwaris
secara linear BK /j/ dan BU /j/ pada posisi tengah juga ditemukan satu dari 200
pasangan cognat, dan fonem PAN */j/ yang terwaris secara linear BK /j/ dan BU
/j/ pada posisi akhir tidak ditemukan, tetapi ditemukan mengalami peluluhan
bunyi seperti pada data di bawah ini.
PAN BK BU
*/bulaj/ /nabulaØ/ /bulaØ/ ‘putih’
Jadi, setiap fonem konsonan /j/ pada posisi akhir pada BK dan BU akan
mengalami peluluhan bunyi sebagai tanda dari bahasa vokalis.
5.2.9 PAN */k/ > BK /k/, BU /k/
Fonem PAN */k/ terwaris linear BK /k/ dan BU /k/ seperti tampak pada
data-data yang dicontohkan di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
86
Awal */kai (nN)/ /kae/ /kai/ ‘kain’
*/kaju/ /kayu/ /kaju/ ‘kayu’
*/kilat/ /kila/ /kila:/ ‘kilat’
*/kalibaŋbaŋ/ /kalibamba/ /kalibama/ ‘kupu-
kupu’
Tengah */sakay-an/ /sakaya/ /sakaya/ ‘sampan’
*/pakay/ /pake/ /pake/ ‘memakai’
*/aku/ /yaku/ /aku/ ‘saya’
Akhir - - -
Seperti terlihat pada data-data di atas, fonem PAN */k/ secara linear
terwaris teratur BK /k/ dan BU /k/ pada posisi awal dan tengah. Bedasarkan
tabulasi data fonem PAN */k/ yang terwaris linear BK /k/ dan BU /k/ pada posisi
awal ditemukan delapan dari 200 pasangan cognat, fonem PAN */k/ yang terwaris
secara linear BK /k/ dan BU /k/ pada posisi tengah ditemukan tujuh dari 200
pasangan cognat, dan fonem PAN */k/ yang terwaris secara linear BK /k/ dan BU
/k/ pada posisi akhir tidak ditemukan. Jelasnya dapat dilihat pada lampiran 10.
Di sisi lain fonem PAN */k/ pada posisi akhir ditemukan mengalami
peluluhan bunyi seperti pada data di bawah ini.
PAN BK BU
*/anak/ /anaØ/ /anaØ/ ‘anak’
*/təkik/ /tokeØ/ /tokeØ/ ‘tokek’
*/tusuk/ /tosuØ/ /tohuØ/ ‘tusuk’
87
*/landak/ /landaØ/ /landaØ/ ‘landak’
*/manuk/ /manuØ/ /manuØ/ ‘ayam’
Jadi, setiap fonem konsonan /k/ pada posisi akhir pada BK dan BU akan
mengalami peluluhan bunyi sebagai tanda dari bahasa vokalis.
5.2.10 PAN */g/ > BK /g/, BU /g/
Fonem PAN */g/ terwaris linear BK /g/ dan BU /g/ seperti tampak pada
data-data di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */gazi/ /gaji/ /gaji/ ‘gergaji’
Tengah */daga/ /nojagai/ /rajaga/ ‘menjaga’
Akhir - - -
Seperti terlihat pada data-data di atas, fonem PAN */g/ secara linear
terwaris teratur BK /g/ dan BU /g/ pada posisi awal dan tengah. Bedasarkan
tabulasi data fonem PAN */g/ yang terwaris linear BK /g/ dan BU /g/ pada posisi
awal ditemukan satu dari 200 pasangan cognat, fonem PAN */g/ yang terwaris
secara linear BK /g/ dan BU /g/ pada posisi tengah juga ditemukan satu dari 200
pasangan cognat, dan fonem PAN */g/ yang terwaris secara linear BK /k/ dan BU
/g/ pada posisi akhir tidak ditemukan.
Di sisi lain fonem PAN */g/ pada posisi akhir ditemukan mengalami
peluluhan bunyi seperti pada data di bawah ini.
88
PAN BK BU
*/kunig/ /kuni/ /kuni/ ‘kunyit’
*/laləg/ /lali/ /dali/ ‘lalat’
Jadi, setiap fonem konsonan /k/ pada posisi akhir pada BK dan BU akan
mengalami peluluhan bunyi sebagai tanda dari bahasa vokalis.
5.2.11 PAN */l/ > BK /l/, BU /l/
Fonem PAN */l/ terwaris linear BK /l/ dan BU /l/ seperti tampak pada
data-data yang dicontohkan di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */laŋit/ /laŋi/ /laŋi/ ‘langit’
*/lipan/ /lipa/ /lipa/ ‘lipan’
*/lana/ /lana/ /lana/ ‘minyak’
Tengah */ular/ /ule/ /ule/ ‘ular’
*/bulud/ /bulu/ /bulu/ ‘bukit’
*/bulan/ /vula/ /wula/ ‘bulan’
*/bulu/ /vulu/ /wulu/ ‘bulu’
Akhir - - -
Fonem PAN */l/ terwaris secara linear BK /l/ dan BU /l/. Pewarisan linear
PAN */l/ terjadi secara teratur BK /l/ dan BU /l/ pada posisi awal dan tengah.
Bedasarkan tabulasi data fonem PAN */l/ yang terwaris secara linear BK /l/ dan
BU /l/ pada posisi awal ditemukan delapan dari 200 pasangan cognat, fonem PAN
89
*/l/ yang terwaris secara linear BK /l/ dan BU /l/ pada posisi tengah ditemukan
tujuh belas dari 200 pasangan cognat, dan fonem PAN */l/ yang terwaris secara
linear BK /l/ dan BU /l/ pada posisi akhir tidak ditemukan, tatapi fonem PAN */l/
pada posisi akhir ditemukan mengalami peluluhan bunyi seperti pada data di
bawah ini. Jumlahnya sangat terbatas.
PAN BK BU
*/bəŋəl/ /voŋoØ/ /woŋoØ/ ‘tuli’
Jadi, berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa fonem PAN
*/l/ memiliki daya awat yang tinggi. Terlihat fonem PAN */l/ sebagian besar
terwaris secara linear dengan teratur tetap mempertahankan ciri-ciri fonetis fonem
protonya pada posisi awal dan tengah pada BK dan BU. Jelasnya dapat dilihat
pada lampiran 11.
5.2.12 PAN */r/ > BK /r/, BU /r/
Fonem PAN */r/ terwaris linear BK /r/ dan BU /r/ seperti tampak pada
data-data di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */rasa/ /rasai/ /rasa/ ‘mencicipi’
*/rantay/ /rante/ /rante/ ‘rantai’
*/rano/ /rano/ /rano/ ‘danau’
*/rusu/ /rusu/ /ruhu/ ‘rusuk’
90
Tengah */cerita/ /nojarita/ /mojarita/ ‘berbicara’
*/dara/ /ra/ /ra:/ ‘darah’
*/harimaw/ /harimaw/ /harimaw/ ‘harimau’
*/maturu/ /naturu/ /turu/ ‘tidur’
*/surat/ /sura/ /sura/ ‘surat’
Akhir - - -
Seperti terlihat pada data-data di atas, fonem PAN */r/ secara linear
terwaris teratur BK /r/ dan BU /r/ pada posisi awal dan tengah. Bedasarkan
tabulasi data fonem PAN */r/ yang terwaris linear BK /r/ dan BU /r/ pada posisi
awal ditemukan empat dari 200 pasangan cognat, fonem PAN */r/ yang terwaris
secara linear BK /r/ dan BU /r/ pada posisi tengah ditemukan lima dari 200
pasangan cognat, dan fonem PAN */r/ yang terwaris secara linear BK /r/ dan BU
/r/ pada posisi akhir tidak ditemukan, tetapi di sisi lain fonem PAN */k/ pada
posisi akhir ditemukan mengalami peluluhan bunyi seperti pada data di bawah ini.
PAN BK BU
*/bibir/ /viviØ/ /wiwiØ/ ‘bibir’
*/ular/ /uleØ/ /uleØ/ ‘ular’
*/təlur/ /ntaluØ/ /ntoluØ/ ‘telur’
*/pinter/ /panteØ/ /panteØ/ ‘cerdas’
Jadi, dapat disimpulkan bahwa fonem PAN */r/ memiliki daya awat yang
tinggi. Terlihat fonem PAN */r/ sebagian besar terwaris secara linear dengan tetap
mempertahankan ciri-ciri fonetis fonem protonya pada posisi awal dan tengah
91
pada BK dan BU, kecuali pada posisi akhir PAN */r/ akan mengalami peluluhan
bunyi seperti pada pola-pola sebelumnya.
5.2.13 PAN */s/ > BK /s/, BU /s/
Fonem PAN */s/ terwaris linear BK /s/ dan BU /s/ seperti tampak pada
data-data yang dicontohkan di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal */sakay-an/ /sakaya/ /sakaya/ ‘sampan’
*/salaq/ /nasala/ /sala/ ‘keliru’
*/susu/ /susu/ /susu / ‘payudara’
*/seDia/ /sadia/ /sadia/ ‘menyediakan’
*/sumbuq/ /sumbu/ /sumpu/ ‘sumbu’
*/surat/ /sura/ /sura/ ‘surat’
*/sia/ /sasio/ /sio/ ‘sembilan’
*/sala/ /nasala/ /sala/ ‘salah’
*/sipa/ /sepa/ /sepa/ ‘tendang’
Tengah */dusah/ /dosa/ /dosa/ ‘dosa’
*/rasa/ /perasai/ /perasa/ ‘mencicipi’
Akhir - - -
Seperti terlihat pada data-data di atas, fonem PAN */s/ secara linear
terwaris teratur BK /s/ dan BU /s/ pada posisi awal dan tengah. Bedasarkan
tabulasi data fonem PAN */s/ yang terwaris linear BK /s/ dan BU /s/ pada posisi
92
awal ditemukan sembilan dari 200 pasangan cognat, fonem PAN */s/ yang
terwaris secara linear BK /s/ dan BU /s/ pada posisi tengah ditemukan dua dari
200 pasangan cognat, dan fonem PAN */s/ yang terwaris secara linear BK /s/ dan
BU /s/ pada posisi akhir tidak ditemukan, tetapi jika fonem PAN */s/ berada pada
posisi akhir pada BK dan BU maka fonem PAN */s/ akan ditambahkan dengan
fonem /i/. Perhatikan data di bawah ini.
PAN BK BU
*/tebus/ /notobusi/ /retebusi/ ‘menebus’
Data di atas menjelaskan bahwa BK dan BU adalah bahasa vokalis yang
menolak kehadiran fonem konsonan pada posisi akhir. Hal ini dapat dikaidahkan
sebagai berikut.
Ø /i/ /s/ #
Pada data berikut ini juga perlu untuk dijelaskan bahwa selain fonem PAN
*/s/ secara linear menurunkan BK /s/ dan BU /s/, fonem PAN */s/ secara khusus
ditemukan mengalami perubahan yang spodaris pada BU, yaitu fonem PAN */s/
secara sporadis menurunkan fonem /h/ pada BU. Jelasnya, perhatikan data di
bawah ini.
PAN BK BU
*/sa(m)pulu/ /sapuluh/ /hampulu/ ‘sepuluh’
*/siku/ /siku/ /hiku/ ‘siku’
*/ŋisi/ /ŋisi/ /ŋihi/ ‘gigi’
*/rusa/ /rusa/ /ruha/ ‘rusa’
93
*/rusu/ /rusu/ /ruhu/ ‘rusuk’
Berdasarkan pada data-data di atas, fonem */s/ PAN mengalami perubahan
secara spodaris pada BU pada posisi awal dan tengah. jumlahnya sangat terbatas.
5.3 Pewarisan Diftong PAN pada BK dan BU
5.3.1 PAN */ay/ > BK /e/, BU /e/
Diftong PAN */ay/ terwaris mengalami perubahan BK /e/ dan BU /e/
seperti tampak pada data-data yang dicontohkan di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal - - -
Tengah - - -
Akhir */binay/ /mombine/ /tobine/ ‘istri’
*/rantay/ /rante/ /rante/ ‘rantai’
*/matay/ /namate/ /mate/ ‘mati’
*/pakay/ /nompake/ /mopake/ ‘memakai’
Seperti terlihat pada data di atas, diftong PAN */ay/ terwaris dengan
perubahan pada BK /e/ dan BU /e/ pada posisi akhir. Berdasarkan tabulasi data
diftong PAN */ay/ yang terwaris menjadi monoftong BK /e/ dan BU /e/ pada
posisi akhir ditemukan empat dari 200 pasang kognat.
Perubahan diftong PAN */ay/ menjadi monoftong BK /e/ dan BU /e/ pada
posisi akhir, karena BK dan BU adalah bahasa yang tergolong bahasa vokalis, jadi
94
konsekuensinya, setiap silabel pada posisi akhir akan mengalami peluluhan bunyi,
begitu juga halnya dengan diftong akan menjadi monoftong.
5.3.2 PAN */uy/ > BK /u/, BU /u/
Diftong PAN */uy/ terwaris menjadi monoftong BK /u/ dan BU /u/ seperti
tampak pada data-data yang dicontohkan di bawah ini.
Posisi PAN BK BU
Awal - - -
Tengah - - -
Akhir */apuy/ /apu/ /apu/ ‘api’
*/babuy/ /bavu/ /bawu/ ‘babi’
Demikian pula dengan diftong PAN */ay/, diftong PAN */uy/ juga
terwaris menjadi monoftong BK /u/ dan BU /u/ pada posisi akhir. Berdasarkan
tabulasi data diftong PAN */uy/ yang terwaris menjadi monoftong BK /u/ dan BU
/u/ pada posisi akhir ditemukan dua dari 200 pasang kognat. Perubahan diftong
PAN */uy/ menjadi monoftong BK /u/ dan BU /u/ pada posisi akhir, karena setiap
silabel pada posisi akhir pada BK dan BU akan mengalami proses monoftongisasi.
Jadi diftong PAN */uy/ akan menjadi monoftong /u/ pada posisi akhir pada BK
dan BU.
95
5.4 Tipe-Tipe Perubahan Bunyi
Berdasarkan gambaran pewarisan fonem-fonem PAN pada BK dan BU di
atas, dapat diuraikan kembali tipe-tipe perubahan fonem PAN pada BK dan BU.
Tipe-tipe perubahan fonem tersebut dijelaskan berikut ini.
5.4.1 Perengkahan (split)
*/ə/ > /a/ PAN BK BU
*/bənaŋ/ /bana/ /bana/ ‘benang’
*/ləbiq/ /nelabi/ /melabi/ ‘lebih’
*/ə/ > /e/ PAN BK BU
*/ləŋat/ /naleni/ /moleŋi/ ‘lembab’
*/ə/ > /o/ PAN BK BU
*/bəŋəl/ /voŋo/ /woŋo/ ‘tuli’
*/təbu/ /tovu/ /towu/ ‘tebu’
*/təkik/ /toke/ /toke/ ‘tokek’
*/ə/ > /a/ - /o/ PAN BK BU
*/təlur/ /ntalu/ /ntolu/ ‘telur’
/a/
Jadi : */ə/ /e/
/o/
Berdasarkan data-data di atas, fonem PAN */ə/ yang memiliki fitur
[+silabis, +sonoran, +bersuara] mengalami perengkahan atau pecah menjadi tiga
fonem yaitu fonem /e/, /a/, dan /o/.
96
Fonem /a/ yang mewarisi semua fitur protonya yaitu [+silabis, +sonoran,
+bersuara], fonem /o/ juga mewarisi semua fitur protonya yaitu [+silabis,
+sonoran, +bersuara], dan fonem /e/ yang juga mewarisi semua fitur protonya
yaitu [+silabis, +sonoran, +bersuara]. Proses ini terbukti merupakan proses
perengkahan kerena masing-masing fonem mewarisi beberapa fitur protonya.
Pecahnya fonem PAN */ə/ yang menurunkan beberapa fonem pada BK
dan BU, karena fonem /ə/ tidak dimiliki oleh BK dan BU. Jadi, fonem PAN */ə/
diganti dengan fonem-fonem yang lain yang berada pada satu tempat artikulasi.
Perangkahan fonem PAN yang lain juga ditemukan pada BK dan BU,
perhatikan data di bawah ini.
*/i/ > /e/ PAN BK BU
*/bile/ /beli/ /beli/ ‘juling’
*/[l]intaq/ /parenta/ /parenta/ ‘memerintah’
*/sipa/ /sepa/ /sepa/ ‘tendang’
*/bintaŋ/ /betue/ /betue/ ‘bintang’
*/itu(h)/ /etu/ /etu/ ‘itu’
*/i/ > /o/ PAN BK BU
*/jibu/ /jobu/ / jobu/ ‘seribu’
*/i/ > /a/ PAN BK BU
*/pinter/ /pante/ /pante/ ‘cerdas’
*/i/ > /i/, jelasnya dapat dilihat pada lampiran 3.
97
/e/
Jadi : */i/ /o/
/a/
/i/
Proses ini juga terbukti merupakan proses perengkahan atau pecahnya
suatu fonem proto menjadi beberapa fonem pada bahasa turunannya, karena setiap
fonem pada bahasa turunannya yaitu BK dan BU mewarisi beberapa fitur dari
fonem protonya. Fonem PAN */i/ yang memiliki fitur [+silabis, +sonoran,
+bersuara, +depan], mengalami perengkahan atau pecah menjadi empat buah
fonem yaitu; fonem /i/ yang mewarisi semua fitur protonya yaitu [+silabis,
+sonoran, +bersuara], fonem /e/ yang juga mewarisi beberapa fitur protonya yaitu
[+silabis, +sonoran, +bersuara], fonem /o/ yang juga mewarisi beberapa fitur
protonya yaitu [+silabis, +sonoran, +bersuara], dan fonem /a/ yang juga mewarisi
beberapa fitur protonya yaitu [+silabis, +sonoran, +bersuara].
Perengkahan fonem PAN */i/ yang menurunkan tiga fonem pada BK dan
BU disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, fonem PAN */i/ jika diikuti oleh
fonem /t/, /r/, dan /p/ pada BK dan BU maka fonem PAN */i/ akan menjadi fonem
BK/e/ dan BU /e/, lebih jelasnya perhatihan kaidah di bawah ini.
K +konsonantal /e/ -lateral */i/ K +konsonantal /e/ - malar +anterior
98
Kedua, fonem PAN */i/ secara sporadis menurunkan fonem /o/ dan /a/
dengan jumlah yang sangat terbatas.
5.4.2 Peleburan (merger)
*/ay/ > /e/ PAN BK BU
*/binay/ /mombine/ /tobine/ ‘istri’
*/rantay/ /rante/ /rante/ ‘rantai’
*/matay/ /namate/ /mate/ ‘mati’
*/pakay/ /nompake/ /mopake/ ‘memakai’
*/uy/ > /u/ PAN BK BU
*/apuy/ /apu/ /apu/ ‘api’
*/babuy/ /bavu/ /bawu/ ‘babi’
Jadi: */a/ /e/
*/y/
*/u/ /u/
*/y/
Fonem PAN */a/ yang berfitur [+silabis, +sonoran, +bersuara, +rendah],
fonem PAN */u/ yang berfitur [+silabis, +sonoran, +bersuara, +belakang, -bulat],
dan fonem PAN */y/ yang berfitur [+sonorant, +bersuara, +tinggi]. Pada data-data
di atas terlihat diftong PAN */ay/ melebur menjadi monoftong BK /e/ dan BU/e/
pada posisi akhir. Ini merupakan proses peleburan karena fonem /e/ mewarisi
beberapa fitur protonya yaitu [+silabis, +sonoran, +bersuara]. Di sisi lain diftong
99
PAN */uy/ juga mengalami peleburan pada BK /u/ dan BU /u/ pada posisi akhir.
Sama halnya dengan fonem /e/, fonem /u/ pada BK dan BU juga mewarisi
beberapa fitur protonya yaitu [+silabis, +sonoran, +bersuara, +belakang].
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, setiap diftong pada BK dan
BU pada posisi akhir akan mengalami proses monoftongisasi, yaitu suatu gejala
perubahan bunyi, dari diftong menjadi monoftong. Hal ini dapat diilustrasikan
sebagai berikut.
*/ay/ /e/ _____#
*/uy/ /u/ _____#
5.4.3 Peluluhan bunyi (Phonemic lose)
Sistem fonem BK dan BU yang tergolong bahasa vokalis, maka sebagian
besar konsonan pada posisi akhir mengalami peluluhan bunyi pada BK dan BU.
Peluluhan bunyi yang ditemukan pada BK dan BU adalah sebagai berikut.
Posisi PAN BK BU
Awal - - -
Tengah - - -
Akhir */alap/ /alaØ/ /alaØ/ ‘ambil’
*/jarum/ /jaruØ/ /jaruØ/ ‘jarum’
*/bulud/ /buluØ/ /buluØ/ ‘bukit’
*/laŋit/ /laŋiØ/ /laŋiØ/ ‘angit’
*/bulan/ /vulaØ/ /wulaØ/ ‘bulan’
100
*/bənaŋ/ /banaØ/ /banaØ/ ‘benang’
*/bulaj/ /nabulaØ/ /bulaØ/ ‘putih’
*/manuk/ /manuØ/ /manuØ/ ‘ayam’
*/kunig/ /kuniØ/ /kuniØ/ ‘kunyit’
*/bəŋəl/ /voŋoØ/ /woŋoØ/ ‘tuli’
*/təlur/ /ntaluØ/ /ntoluØ/ ‘telur’
*/dilaq/ /dilaØ/ /jilaØ/ ‘lidah’
Berdasarkan pada data-data di atas, dapat dikaidahkan sebagai berikut.
*/p/,*/t/,*/d/,*/l/,*/m/,*/n/,*/ŋ/,*/j/,*/q/,*/k/,*/g/,*/r/ Ø ____ #
Fonem PAN */p/,*/t/,*/d/,*/l/,*/m/,*/n/,*/ŋ/,*/j/,*/q/,*/k/,*/g/,*/r/ pada
posisi akhir pada BK dan BU mengalami peluluhan bunyi menjadi Ø. Hal ini
merupakan gejala aferesis, yaitu hilangnya fonem pada posisi akhir, yang
menandakan, bahwa BK dan BU merupkan bahasa yang tergolong bahasa vokalis.
5.4.4 Penggantian (shift)
*/b/ > /v/-/w/ PAN BK BU
*/abu/ /avu/ /awu/ ‘abu’
*/babuy/ /bavu/ /bawu/ ‘babi’
*/bibir/ /vivi/ /wiwi/ ‘bibir’ */təbu/ /tovu/ /towu/ ‘tebu’
*/batu/ /vatu/ /watu/ ‘batu’
101
/w/
*/b/ /v/
Dalam pewarisan fonem PAN pada BK dan BU, ditemukan juga proses
penggantian atau substitusi, yaitu satu fonem diganti dengan fonem yang lain.
Fonem PAN */b/ mengalami penggantian atau substitusi dalam BK dan BU.
Fonem PAN */b/ diganti menjadi fonem BK /v/ dan BU /w/. perhatikan kaidah
berikut ini.
/v/ V */b/ /w/ [+tinggi]
Fonem PAN */b/ menjadi BK /v/ dan BU /w/ bila fonem PAN */b/
didahului oleh fonem vokal tinggi yaitu fonem /i/ dan /u/.
5.4.5 Metatesis
PAN BK BU
*/bile/ /beli/ /beli/ ‘juling’
*/diki/ /kodi/ /kedi/ ‘kecil’
*/luqa/ /kula/ /kula/ ‘jahe’
*/tia/ /tai/ /tai/ ‘perut’
Berdasarkan pada data-data di atas, terlihat tidak ada penyisipan,
peluluhan ataupun perubahan bunyi yang khusus (disyarati oleh suatu lingkungan
tertentu). Jadi, unsur-unsur PAN yang terwaris pada BK dan BU dengan pola
perubahan di atas mutlak merupakan proses metatesis. Perubahan metatesis ini
102
tidak biasa, jadi tidak bisa dikaidahkan secara umum. Perubahan metatesis ini
disebabkan oleh salah pengucapan.
103
BAB VI
KORESPONDENSI FONEM PROTO-AUSTRONESIA PADA
BAHASA KAILI DAN BAHASA UMA
Sehubungan dengan perubahan dan perkembangan bahasa, ditemukan
adanya perubahan-perubahan yang teratur (dalam arti perubahan itu terjadi karena
disyarati oleh lingkungan linguistik tertentu) antara fonem-fonem PAN dengan
BK dan BU, serta ditemukan juga perubahan-perubahan yang tidak teratur.
Perubahan bunyi yang tidak teratur ini bersifat sporadis (dalam arti tidak disyarati
oleh lingkungan linguistik tertentu) (Bynon 1979: 29 - 30; Crowley 1987: 25 - 47;
Hock 1988: 62- 116).
6.1 Perangkat Korespondensi Fonemis
Secara singkat, pertalian fonem vokal PAN pada BK dan BU dapat di
gambarkan sebagai berikut.
PAN BK/BU
*/i/ /e/ - /e/
/a/ - /a/
/o/ - /o/
*/ə/ /a/ - /a/
/o/ - /o/
/e/ - /e/
103
104
Selanjut, pertalian fonem konsonan PAN dapat BK dan BU dapat di
gambarkan sebagai berikut.
PAN BK/BU
*/b/ /v/ - /w/
*/d/ /r/ - /r/
*/p/
*/t/
*/l/
*/m/
*/n/ Ø #
*/ŋ/
*/j/
*/q/
*/k/
*/g/
*/r/
Selanjutnya, pertalian diftong PAN pada BK dan BU dapat di gambarkan
sebagai berikut.
PAN BK/BU
*/ay/ /e/ - /e/
*/uy/ /u/ - /u/
105
6.2 Rekurensi Fonemis
Setiap korespondensi yang didapat harus diperkuat dengan sejumlah
rekurensi fonemis (phonetic recurrence) yaitu prosedur untuk menemukan
perangkat bunyi yang muncul secara berulang-ulang dalam sejumlah pasang kata.
Hasil proses rekurensi pada pasangan-pasangan kata mengindikasikan
korenspondensi fonemis pada PAN dengan BK dan BU.
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /i/ > /e/-/e/.
PAN BK BU
*/[l]intaq/ /parenta/ /parenta/ ‘memerintah’
*/sipa/ /sepa/ /sepa/ ‘tendang’
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /ə/ > /a/-/a/.
PAN BK BU
*/bənaŋ/ /bana/ /bana/ ‘benang’
*/ləbiq/ /nelabi/ /melabi/ ‘lebih’
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /ə/ > /o/-/o/.
PAN BK BU
*/təbu/ /tovu/ /towu / ‘tebu’
*/bəŋəl/ /boŋo/ /boŋo/ ‘tuli’
*/təkik/ /toke/ /toke/ ‘tokek’
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /b/ > /v/-/w/.
PAN BK BU
*/abu/ /avu/ /awu / ‘abu’
*/babuy /bavu/ /bawu / ‘babi’
106
*/bibir/ /vivi/ /wiwi/ ‘bibir’
*/batu/ /vatu/ /watu/ ‘batu’
*/bulan/ /vula/ /wula/ ‘bulan’
*/bulu/ /vulu/ /wulu/ ‘bulu’
*/buŋa/ /vuŋa/ /wuŋa/ ‘bunga’
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /p/ > /Ø/-/Ø/.
PAN BK BU
*/alap/ /alaØ/ /alaØ/ ‘ambil’
*/atəp/ /ataØ/ /ataØ/ ‘atap’
*/pene/ /Øane/ /Øane / ‘jika’
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /t/ > /Ø/-/Ø/.
PAN BK BU
*/laŋit/ /laŋiØ/ /laŋiØ/ ‘langit’
*/ləŋat/ /naleniØ/ /moleŋiØ/ ‘lembab’
*/binit/ /viviØ/ /wiwiØ/ ‘pinggir’
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /q/ > /Ø/-/Ø/.
PAN BK BU
*/ma(n)taq/ /mataØ/ /mataØ/ ‘mentah’
*/ləbiq/ /nelabiØ/ /melabiØ/ ‘lebih’
*/tariq/ /nomanariØ/ /menariØ/ ‘menari’
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /n/ > /Ø/-/Ø/.
PAN BK BU
*/cincin/ /sinjiØ/ /hinciØ/ ‘cincin’
*/lipan/ /lipaØ/ /lipaØ/ ‘lipan’
107
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /k/ > /Ø/-/Ø/.
PAN BK BU
*/tusuk/ /tosuØ/ /tohuØ/ ‘tusuk’
*/təkik/ /tokeØ/ /tokeØ / ‘toket’
*/anak/ /anaØ/ /anaØ/ ‘anak’
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /g/ > /Ø/-/Ø/.
PAN BK BU
*/kunig/ /kuniØ/ /kuŋiØ/ ‘kunyit’
*/laləg/ /laliØ/ /daliØ/ ‘lalat’
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /r/ > /Ø/-Ø/.
PAN BK BU
*/təlur/ /ntaluØ/ /ntoluØ/ ‘telur’
*/bibir/ /viviØ/ /wiwiØ/ ‘bibir’
*/ular/ /uleØ/ /uleØ/ ‘ular’
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /ay/ > /e/-/e/.
PAN BK BU
*/binay/ /mombine/ /tobine/ ‘perempuan’
*/rantay/ /rante/ /rante/ ‘rantai’
*/matay/ /namate/ /mate/ ‘mati’
*/pakay/ /nompake/ /mopake/ ‘memakai’
Rekurensi Fonemis PAN, BK dan BU /uy/ > /u/-/u/.
PAN BK BU
*/apuy/ /apu/ /apu/ ‘api’
108
*/babuy/ /bavu/ /bawu/ ‘babi’
Dengan demikian, berdasarkan perangkat korespondensi fonemis diatas
yang telah dibuktikan oleh perangkat rekurensi fonemis.
6.3 Pasangan Kognat
Aspek bahasa yang paling cocok untuk dijadikan bahan studi
perbandingan adalah bentuk. Kesamaan atau kemiripan bentuk dan makna yang
dapat dikembalikan ke dalam bentuk protonya yang disebut kata-kata kognat
(cognat set) karena setiap bahasa memiliki bentuk-bentuk tertentu yang dikaitkan
dengan maknanya untuk memudahkan referensi (Keraf, 1996: 33-34).
Pasangan kognat di sini dapat dimengerti bahwa kognat bisa berasal dari
bahasa Proto-Austronesia maupun dari bahasa Proto yang lebih rendah dari itu. Di
dalam bab ini hanya membicarakan beberapa contoh yang perlu dijelaskan saja,
sedangkan pasangan-pasangan kognat yang dianggap sudah jelas tidak
dibicarakan lagi. Contoh dari kognat yang sudah jelas adalah */susu/ yang
menurunkan /susu/ pada BK dan BU. Contoh lain adalah */alap/ yang
menurunkan BK /ala/ dan BU /ala/.
A. */vada/ ‘ada’
BK /ria/ ‘ada’, dan BU /ria/ ‘ada’. Kedua bentuk ini masih dapat dianggap
sebagai kognat karena ditemukan korespondensi */d/ > /r/ - /r/ contohnya pada
kata *di > ri - ri. Maka *vada > ria - ria merupakan pasangan kognat.
109
B. * /bara/ ‘bahu’
BK /viŋa/ ‘sekali’, dan BU /wiŋa/ ‘sekali’. Dari pasangan tersebut terlihat
korespondensi */b/ > /v/ - /w/, contoh pertalian ini dapat juga dilihat pada
pasangan berikut ini.
PAN BK BU
*/abu/ /avu/ /awu / ‘abu’
*/babuy/ /bavu/ /bawu / ‘babi’
*/bibir/ /vivi/ /wiwi/ ‘bibir’
*/bulan/ /vula/ /wula/ ‘bulan’
*/bulu/ /vulu/ /wulu/ ‘bulu’
*/buŋa/ /vuŋa/ /wuŋa/ ‘bunga’
Dengan demikian, kedua bentuk tersebut masih dapat dianggap sebagai
kognat. Pasangan-pasangan kognat yang lainnya dapat dilihat pada lampiran 2.
110
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan kajian dan gambaran tentang pertalian fonem PAN pada BK
dan BU, diatas, dapatlah disimpulkan bahwa PAN memiliki seperangkat pertalian
bunyi pada BK dan BU. Pertalian itu dapat diperincikan sebagai berikut:
1) Sebagian besar fonem PAN terwaris secara linear pada BK dan BU.
Fonem-fonem PAN yang tetap terwaris secara linear pada BK dan BU
adalah fonem vokal: */i/, */u/, */a/ dalam setiap distribusi (awal, tengah,
dan akhir), konsonan: */b/, */p/, */t/, */d/, */n/, */ŋ/, */j/, */k/, */l/, */r/,
*/s/, */g/, */q/ dalam distribusi awal dan tengah, dan khusus untuk
konsonan nasal */m/ pada posisi tengah.
2) Beberapa fonem PAN terwaris mengalami perubahan. Perubahan-
perubahan fonem PAN yang ditemukan ada yang disyarati oleh suatu
lingkungan tertentu, dan ada juga yang tidak disyarati oleh suatu
lingkungan tertentu atau sering disebut sebagai perubahan yang bersifat
sporadis. Perubahan-perubahan vokal PAN yang ditemukan sebagai
berikut:
PAN */i/ > BK /e/, BU /e/, fonem PAN */i/ menurunkan fonem BK /e/ dan
BU /e/ bila fonem PAN */i/ diikuti oleh fonem /t/, /r/, dan /p/ pada BK dan
BU.
110
111
PAN */ə/ > BK /a/, BU /a/; PAN */ə/ > BK /o/, BU /o/; PAN */ə/ > BK /e/,
BU /e/, fonem PAN */ə/ menurunkan fonem /e, o, a/ pada BK dan BU
karena fonem PAN */ə/ tidak dimiliki oleh BK dan BU. Jadi, fonem PAN
*/ə/ dapat disimpulkan tidak memiliki daya awet yang tinggi, dengan kata
lain, fonem PAN */ə/ mempunyai kecendrungan berubah atau digantikan
dengan fonem yang lain.
Konsonan-konsonan yang berubah adalah:
PAN */b/ > BK /v/, fonem PAN */b/ menurunkan fonem BK /v/ dan BU
/w/ bila fonem PAN */b/ didahului oleh fonem vokal tinggi yaitu fonem /i/
dan /u/.
PAN */d/ > BK /r/, BU /r/, fonem PAN */d/ menurunkan fonem BK /r/ dan
BU /r/ bila fonem PAN */d/ didahului oleh fonem /i/.
Diftong-diftong yang berubah adalah:
PAN */ay/ > BK /e/, BU /e/, diftong PAN */ay/ menjadi monoftong BK /e/
dan BU /e/ pada posisi akhir.
PAN */uy/ > BK /u/, BU /u/, diftong PAN */uy/ menjadi monoftong BK
/u/ dan BU /u/ pada posisi akhir.
3) Beberapa fonem PAN terwaris mengalami peluluhan bunyi pada posisi
akhir, dalam hal ini dikenal dengan istilah apocop. Ini menunjukkan
bahwa BK dan BU adalah bahasa vokalis. Fonem-fonem yang mengalami
peluluhan bunyi adalah: */p/, */t/, */d/, */l/, */m/, */n/, */ŋ/, */j/, */q/, */k/,
*/g/, */r/.
112
4) Tipe-tipe perubahan fonem PAN pada BK dan BU yang ditemukan adalah
sebagai berikut: perengkahan (split), peleburan (merger), peluluhan bunyi
(phonemic lose), penggantian (shift) dan metatesis (metathesis).
Selanjutnya, berdasarkan bukti-bukti kuantitatif dan kualitatif ditemukan
saling menguatkan. Bukti-bukti kualitatif ditemukan memperkuat dan
mempertegas hubungan dan jenjang kekerabatan. Dengan demikian, pertalian
keseasalan (genetis) antara BK dan BU dapat dibuktikan baik secara kuantitatif
maupun kualitatif.
Dengan demikian, berdasarkan ciri-ciri linguistik yang dipunyai bersama-
sama, maka dapat disimpulkan bahwa BK dan BU pada masa yang lalu pernah
mengalami sejarah perkembangan bersama, pada suatu masa yang lebih muda dari
masa perkembangan bahasa Austronesia. Di dalam pohon keluarga bahasa
Austronesia, BK dan BU diturunkan dari Proto-Melayu Polinesia Barat.
7.2 Saran
Berdasarkan kajian di atas, penelitian LHK dalam pelbagai segi
kelinguistikan dapat dikatakan masih langka, kiranya penelitian segi-segi
kebahasaan yang merupakan salah satu dasar misalnya penelitian fonem BK dan
BU serta perubahannya sangat perlu ditangani secara lebih mendalam. Di sisi lain,
masalah-masalah sejarah perbandingan bahasa di Indonesia kiranya perlu
dihimpun kembali untuk kemudian dapat diutamakan masalah-masalah yang
mendesak demi perkembagan ilmu LHK, sebagaimana dalam hal ini yang perlu
untuk dilakukan adalah merekonstruksi protobahasanya.
113
DAFTAR PUSTAKA
Antilla, Raimo. 1972. An Introduction to Historical and Comparative Linguistics. New York: Macmillan.
Arlotto, Anthony. 1939. Introduction to Historical Linguistic. New York: Harvard
University. Barr, Donald F. 1979. Languages of Central Sulawesi: Checklist, preliminary
classification, language maps, wordlists. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.
Blust, R. A 1981. The Soboyo Reflexes of Proto Austronesia. In Historical Linguistics in Indonesia. R. A. Blust (ed). Part 1. NUSA 10:21-30. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri Nusa.
Bynon, Theodora. 1979. Historical Linguistics. London: Cambridge
University Press.
Crowley, Terry. 1987. An Introduction to Historical Linguistics. Papua New Guinea: University of Papua New Guinea Press.
Dempwolff, Otto. 1956, Perbendaharaan Kata-kata dalam Berbagai Bahasa Polinesia, Terjemahan Sjaukat Djajadiningrat. Jakarta: Pustaka Rakyat.
Dyen, Isidore. 1953. The Proto-Malayo-Polynesian Laringals. Baltimore:
Linguistic Society of America. Erawati, Ratna Ni Ketut. 2002. Pewarisan Afiks-Afiks Bahasa Jawa Kuno Dalam
Bahasa Jawa Modern. Denpasar: Program Studi Magister Linguistik, Universitas Udayana.
Greenberg, J.H. 1974. Language Typology: A Historical and Analytic Overview.
Den Haag: Mouton Hock, H. H. 1988. Principle of Historical Linguistics. Amsterdam: dc Gruyter. Jeffers, R.J. and I Lehiste. 1979. Principles and Methods for Historical
Linguistics.Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
2003. Kamus Kaili-Ledo Indonesia Inggris. Jakarta: P.T. Sehati Prima Sejahtera.
Kasseng, Syaharudin, dkk. 1978. Pemetaan Bahasa-Bahasa di Sulawesi Tenggara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
114
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Lauder, Multamia, dkk. 2000. Penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-
Bahasa Daerah Di Indonesia: Provinsi Sulawesi Tenggara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Lehmann, Winfred P. 1975. Historical Linguistics: An Introduction. New York:
Holt, Rinehart, and Winston.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT RajaGrafindo Perdasa.
Mbete, Aron Meko. 1990. “Rekonstruksi Proto-Bali-Sasak-Sumbawa”. Disertasi. Program Pascasarjan UI Jakarta.
Mead, David. 1995. The Bungku-Tolaki Languages of Southeastern Sulawesi, Indonesia. Disertasi Pacific Linguistics.
Mithun, Marrianne. 1993. “Switch-reference”: clause combining in Central Pomo. International Journal of American Linguistics 59:119-36.
Muhidin. 2006. Pengelompokan Genetis Bahasa Muna, Kambowa, dan Busoa di Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Pascasarjana Unud Denpasar.
Pike, K.L.1978. Phonetics: A Tehnique for Reducing Languages to Writing. Ann arbor: The University of Michigan Press.
Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Terjemahan J.S. Badudu.
Seri ILDEP. Yogyakarta: Kanisius. Schane, Sanford A. 1973. Generative Phonology. San Diego: The University of
California
SIL. 2002 Speech Analyzer: A Speech Analysis Tool Version 2.5. SIL International Allrights Reserved e-mail [email protected].
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Swadesh, Morris. 1955. The Origin and Diversification of Language. London:
Routledge & Kegan Paul.
Lampiran 2: Daftar Kognat PAN BK BU */abu/ /avu/ /awu/ ‘abu' */apa/ /nuapa/ /apa/ ‘apa’ */apuy/ /apu/ /apu/ ‘api’ */aRiw/ /vuri/ /wuri/ ‘arang’ */atu/ /naŋaku/ /ra akui/ ‘mengaku’ */aku/ /yaku/ /aku/ ‘saya’ */alap/ /ala/ /ala/ ‘ambil’ */anak/ /ana/ /ana/ ‘anak’ */ane/ /ane/ /ane/ ‘rayap’ */atəp/ /ata/ /ata/ ‘atap’ */ade/ /ade/ /aje/ ‘dagu’ */babuy/ /bavu/ /bawu/ ‘babi’ */batu/ /vatu/ /watu/ ‘batu’ */baqen/ /baku/ /boku/ ‘bekal’ */bənaŋ/ /bana/ /bana/ ‘benang’ */binatan/ /binata/ /binata/ ‘binatang’ */buDbud/ /buburu/ /bubur/ ‘bubur’ */bulud/ /bulu/ /bulu/ ‘bukit’ */bulan/ /vula/ /wula/ ‘bulan’ */bulu/ /vulu/ /wulu/ ‘bulu’ */buŋa/ /vuŋa/ /wuŋa/ ‘bunga’ */bile/ /beli/ /beli/ ‘juling’ */bayad/ /nombayari/ /mobayari/ ‘membayar’ */bəlaq/ /nobela/ /mobika/ ‘membelah’ */bibir/ /vivi/ /wiwi/ ‘bibir’ */bala/ /bala/ /bala/ ‘pagar’ */bulaj/ /nabula/ /bula/ ‘putih’ */buke/ /buku/ /buku/ ‘tulang’ */bəŋəl/ /voŋo/ /woŋo/ ‘tuli’ */ba la/ /vala/ /wala/ ‘kandang’ */baju/ /baju/ /baju/ ‘baju’ */bənaŋ/ /bana / /bana / ‘benang’ */bacaq/ /mobaca/ /mobasa/ ‘baca’ */binit/ /vivi/ /wiwi/ ‘pinggir’ */bela/ /nabelo/ /belo/ ‘ramah’
*/baRbaR/ /boba/ /baba/ ‘pukul’ */bintaŋ/ /betue/ /betue/ ‘bintang’ */binay/ /mombine/ /tobine/ ‘istri’ */baRu/ /nabaru/ /bou/ ‘baru’ */balik/ /negoli/ /boli/ ‘belok’ */boŋi/ /naboŋi/ /mobeŋi/ ‘malam’ */buka/ /nobuka/ /buka / ‘membuka’ */bala/ /vala/ /wala/ ‘kandang’ */baRa/ /viŋa/ /wiŋa / ‘bahu’ */cerita/ /nojarita/ /mojarita/ ‘berbicara’ */cincin/ /sinji/ /hinci/ ‘cincin’ */dagiŋ/ /dagi/ /dagi/ ‘daging’ */dara/ /ra:/ /ra:/ ‘darah’ */di/ /ri/ /ri/ ‘di’ */dusaq/ /dosa/ /dosa/ ‘dosa’ */daga/ /nojagai/ /rajaga/ ‘menjaga’ */daRum/ /jaru/ /jaru/ ‘jarum’ */dikiq/ /nakodi/ /kedi/ ‘kecil’ */dala/ /dara/ /dara/ ‘merpati’ */dilap/ /dilapi/ /jilai/ ‘jilat’ */dilaq/ /dila/ /jila/ ‘lidah’ */gazi/ /gaji/ /gaji/ ‘gergaji’ */ŋasu/ /raŋasu/ /raŋahu/ ‘asap’ */ŋisi/ /ŋisi/ /ŋihi/ ‘gigi’ */(h)alu/ /nalu/ /alu/ ‘alu’ */jara/ /jara/ /jara/ ‘kuda’ */harimaw/ /harimaw/ /harimaw/ ‘harimau’ */(h)ajan/ /saŋa/ /haŋa/ ‘nama’ */i-koe/ /iko/ /iko/ ‘kamu’ */itəm/ /moeta/ /moeta/ ‘hitam’ */itik/ /titi/ /titih/ ‘itik’ */ina/ /ina/ /ina/ ‘ibu’ */itu(h)/ /tu/ /etu/ ‘itu’ */iNsaŋ/ /saŋani/ /haŋkani/ ‘sekali’ */jibu/ /jobu/ /jobu/ ‘seribu’ */kai (nN)/ /kae/ /kai/ ‘kain’ */kaju/ /kayu/ /kaju/ ‘kayu’ */kuniŋ/ /kuni/ /mokuni/ ‘kuning’
*/kalibaŋbaŋ/ /kalibamba/ /kalibama/ ‘kupu-kupu’ */kutu/ /kutu/ /kutu/ ‘kutu’ */kilat/ /kila/ /kila:/ ‘kilat’ */kaju/ /kayu apu/ /kaju apu/ ‘kayu api’ */kunig/ /kuni/ /kuni/ ‘kunyit’ */karanza/ /karanji/ /karanja/ ‘keranjang’ */kulit/ /kuli/ /kuluma/ ‘kulit’ */luqa/ /kula/ /kula/ ‘jahe’ */landak/ /landa/ /lanta/ ‘landak’ */laŋit/ /laŋi/ /laŋi/ ‘angit’ */ləbiq/ /nelabi/ /melabi/ ‘lebih’ */ləŋat/ /naleni/ /moleŋi/ ‘lembab’ */lima/ /alima/ /lima/ ‘lima’ */lipan/ /lipa/ /lipa/ ‘lipan’ */lu (ŋ) ka/ /baka/ /waka/ ‘luka’ */(la) laŋu/ /nalaŋu/ /molaŋu/ ‘mabuk’ */lana/ /lana/ /lana/ ‘minyak’ */laləg/ /lali/ /dali/ ‘lalat’ */luan/ /naluo/ /luo/ ‘lebar’ */ləbu/ /sovu/ /awu/ ‘debu’ */lua/ /notulua/ /tilua/ ‘muntah’ */[l]intaq/ /parenta/ /parenta/ ‘memerintahkan’ */makumpu/ /tupu/ /kumpu/ ‘cucu’ */manuk/ /manu/ /manu/ ‘ayam’ */madu/ /madu/ /madu/ ‘madu’ */mata/ /mata/ /mata/ ‘mata’ */matay/ /namate/ /mate/ ‘mati’ */mate/ /nompatesi/ /mopatehi/ ‘memadamkan’ */məla/ /nalei/ /molei/ ‘merah’ */ma(n)taq/ /mata/ /mata/ ‘mentah’ */mudah/ /naŋura/ /moŋura/ ‘mudah’ */(mu)buni/ /netabuni/ /ŋahuni / ‘sembunyi’ */maturu/ /nature/ /turu/ ‘berbaring’ */manis/ /namomi/ /momi/ ‘manis’ */maturu/ /naturu/ /turu/ ‘tidur’ */mauri/ /boli/ /raboli/ ‘simpan’ */ma-tua/ /natua/ /motua/ ‘tua’ */masuk/ /nesua/ /mi sua/ ‘masuk’
*/mposu/ /bosu/ /bohu/ ‘kenyang’ */nei/ /risi:/ /hi rei/ ‘di sini’ */oso/ /noisi/ /ra ihi/ ‘mengisi’ */ome/ /ome/ /ome/ ‘telan’ */ono/ /aono/ /ono/ ‘enam’ */pipi/ /kalimpi/ /kilimpi/ ‘pipi’ */ponuq/ /ponu/ /ponu/ ‘penuh’ */pakay/ /nompake/ /mopake/ ‘memakai’ */pahit/ /napai/ /mopai/ ‘pahit’ */pitu/ /papito/ /pitu/ ‘tujuh’ */palu/ /padu/ /pado/ ‘tumit’ */pinter/ /napante/ /pante/ ‘cerdas’ */panaq/ /pana/ /pana/ ‘panah’ */puluq/ /sapulu/ /hampulu/ ‘sepuluh’ */pene/ /ane/ /ane/ ‘jika’ */piliq/ /pelisi/ /pilihi/ ‘memilih’ */atey/ /ate/ /ate/ ‘hati’ */ro/ /roso/ /roho/ ‘kokoh’ */rasa/ /rasai/ /rasa/ ‘mencicipi’ */rantay/ /rante/ /rante/ ‘rantai’ */Ratu/ /satu/ /ha.atu/ ‘seratus’ */Rusa/ /rusa/ /ruha/ ‘rusa’ */rano/ /rano/ /rano/ ‘danau’ */ribu/ /sanjobu/ /hanjobu/ ‘seribu’ */rusu/ /rusu/ /uhu/ ‘rusuk’ */sakay-an/ /sakaya/ /sakaya/ ‘sampan’ */salaq/ /nasala/ /sala/ ‘keliru’ */susu/ /susu/ /susu / ‘payudara’ */seDia/ /pakasadia/ /raposadia/ ‘menyediakan’ */sa(m)pulu/ /sapuluh/ /hampulu/ ‘sepuluh’ */siku// /siku/ /hiku/ ‘siku’ */sumbuq/ /sumbu/ /sumpu/ ‘sumbu’ */surat/ /sura/ /sura/ ‘surat’ */susu/ /susu/ /susu/ ‘susu’ */sai/ /sema/ /hema/ ‘siapa’ */sia/ /sasio/ /sio/ ‘sembilan’ */sala/ /nasala/ /sala/ ‘salah’ */sipa/ /sepa/ /sepa/ ‘tendang’
*/timun/ /kantimu/ /ntimu/ ‘ketimun’ */tio/ /kio/ /kio/ ‘memanggil’ */tebus/ /notobusi/ /retebusi/ ‘menebus’ */tambaq/ /notambai/ /tabai/ ‘menambah’ */tarih/ /nomanari/ /menari/ ‘menari’ */tau/ /tona/ /tauna/ ‘orang ‘ */tanda/ /tandana/ /tanta/ ‘pertanda’ */tia/ /tai /ta.i/ ‘perut’ */tudi/ /ladi/ /ladi/ ‘pisau’ */tanaq/ /tana/ /tana/ ‘tanah’ */təbu/ /tovu/ /towu/ ‘tebu’ */taliŋa/ /taliŋa/ /tiliŋa/ ‘telinga’ */təlur/ /ntalu/ /ntolu/ ‘telur’ */tolu/ /tatalu/ /tolu/ ‘tiga’ */tu(ŋ)kaŋ/ /tuka/ /tuka/ ‘tukang’ */təkik/ /toke/ /toke/ ‘tokek’ */tu (m) buq/ /natuvu/ /tu:wu/ ‘tumbuh’ */tunu / /notunu / /ntunu / ‘bakar’ */tapu/ /notagi/ /tagi/ ‘melarang’ */tida/ /geira/ /hira/ ‘mereka’ */tasi/ /tasi/ /tahi/ ‘laut’ */(ta) telu/ /ka tatalu/ /ka tolu/ ‘ketiga’ */tusuk/ /tosu/ /tohu/ ‘tusuk’ */tama/ /toma/ /tuama/ ‘bapak’ */tu(m)buq/ /natuvu/ /motuwu/ ‘bertumbuh’ */tau/ /tona/ /tauna/ ‘orang’ */tia/ /tai/ /tai/ ‘perut’ */tadəm/ /natada/ /motaja/ ‘tajam’ */təbu/ /tovu/ /towu/ ‘tebu’ */tano/ /tana/ /tana/ ‘tanah’ */uda/ /uja/ /uda/ ‘hujan’ */uso/ /puse/ /puhe/ ‘tali pusar’ */ular/ /ule/ /ule/ ‘ular’ */u(n)tuŋ/ /nauntu/ /mo untu/ ‘untung’ */urat/ /uva/ /ua/ ‘urat’ */vua/ /uva/ /wua/ ‘buah’ */valu/ /uvalu/ /walu/ ‘delapan’ */vada/ /naria/ /ria/ ‘ada’
*/vanan/ /ŋgana/ /ka'ana/ ‘kanan’ */wanai/ /hamai/ /hi re mai/ ‘di sana’ */waRo/ /kaloro/ /koloro/ ‘tali’
Lampiran 3: Fonem PAN */i/ terwaris secara linear pada BK /i/, BU /i/
Posisi PAN BK BU Jml
Awal */i-koe/ /iko/ /iko/ ‘kamu’
*/ina/ /ina/ /ina/ ‘ibu’
2
Tengah */binatan/ /binata/ /binata/ ‘binatang’
*/bibir/ /vivi/ /wiwi/ ‘bibir’
*/binit/ /vivi/ /wiwi/ ‘pinggir’
*/binay/ /mombine/ /tobine/ ‘istri’
*/cerita/ /nojarita/ /mojarita/ ‘berkata’
*/cincin/ /sinji/ /hinci/ ‘cincin’
*/dilap/ /dilapi/ /jilai/ ‘jilat’
*/dilaq/ /dila/ /jila/ ‘lidah’
*/harimaw/ /harimaw/ /harimaw/ ‘harimau’
*/itik/ /titi/ /titih/ ‘itik’
*/kalibaŋbaŋ/ /kalibamba/ /kalibama/ ‘kupu-
kupu’
*/kilat/ /kila/ /kila:/ ‘kilat’
*/kuniŋ/ /kuni/ /kuni/ ‘kuning’
*/laŋit/ /laŋi/ /laŋi/ ‘angit’
*/ləbiq/ /nelabi/ /melabi/ ‘lebih’
*/lima/ /alima/ /lima/ ‘lima’
*/lipan/ /lipa/ /lipa/ ‘lipan’
*/pitu/ /papito/ /pitu/ ‘tujuh’
*/pitu/ /papitu/ /pitu/ ‘ketujuh’
*/piliq/ /pelisi/ /pilihi/ ‘memilih’
*/siku/ /siku/ /hiku/ ‘siku’
26
*/sia/ /sasio/ /sio/ ‘sembilan’
*/seDia/ /sadia/ /sadia/ ‘menyediakan’
*/taliŋa/ /taliŋa/ /tiliŋa/ ‘telinga’
*/timah/ /tima/ /timah/ ‘timah’
*/tio/ /kio/ /kio/ ‘memanggil’
Akhir */boŋi/ /naboŋi/ /mobeŋi/ ‘malam’
*/di/ /ri/ /ri/ ‘di’
*/gazi/ /garagaji/ /garagaji/ ‘gergaji’
*/ŋisi/ /ŋisi/ /ŋihi/ ‘gigi’
*/pipi/ /kalimpi/ /kilimpi/ ‘pipi’
*/tudi/ /ladi/ /ladi/ ‘pisau’
*/tasi/ /tasi/ /tahi/ ‘laut’
*/tari/ /manari/ /menari/ ‘menari’
8
Lampiran 4: Fonem PAN */u/ terwaris secara linear pada BK /u/, BU /u/
Posisi PAN BK BU Jml Awal */uda/ /uja/ /uda/ ‘hujan’ 4
*/ular/ /ule/ /ule/ ‘ular’ */u(n)tuŋ/ /untu/ /untu/ ‘untung’ */urat/ /uva/ /ua/ ‘urat’
Tengah */buDbud/ /buburu/ /buburu/ ‘bubur’ 19 */bulan/ /vula/ /wula/ ‘bulan’ */buŋa/ /vuŋa/ /wuŋa/ ‘bunga’ */bulaj/ /nabula/ /bula/ ‘putih’ */buke/ /buku/ /buku/ ‘tulang’ */buka/ /nobuka/ /buka / ‘membuka */kuniŋ/ /kuni/ /mokuni/ ‘kuning’ */kunig/ /kuni/ /kuŋi/ ‘kunyit’ */kulit/ /kuli/ /kuluma/ ‘kulit’ */(mu)buni/ /netabuni/ /ŋahuni / ‘sembunyi */maturu/ /naturu/ /turu/ ‘tidur’ */Rusa/ /rusa/ /ruha/ ‘rusa’ */ma-tua/ /natua/ /motua/ ‘tua’ */rusu/ /rusu/ /uhu/ ‘rusuk’ */susu/ /susu/ /susu / ‘payudara’ */surat/ /sura/ /sura/ ‘surat’ */susu/ /susu/ /susu/ ‘susu’ */tebus/ /notobusi/ /retebusi/ ‘menebus’ */tu(ŋ)kaŋ/ /tuka/ /tuka/ ‘tukang’
Akhir */abu/ /avu/ /awu/ ‘abu' 25 */aku/ /yaku/ /aku/ ‘saya’ */batu/ /vatu/ /watu/ ‘batu’ */bulu/ /vulu/ /wulu/ ‘bulu’ */baju/ /baju/ /baju/ ‘baju’ */baRu/ /nabaru/ /bou/ ‘baru’ */ŋasu/ /raŋasu/ /raŋahu/ ‘asap’ */(h)alu/ /nalu/ /alu/ ‘alu’ */itu/ /tu/ /etu/ ‘itu’ */jibu/ /sanjobu/ /han jobu/ ‘seribu’ */kaju/ /kayu/ /kaju/ ‘kayu’ */kutu/ /kutu/ /kutu/ ‘kutu’ */(la) laŋu/ /nalaŋu/ /molaŋu/ ‘mabuk’ */ləbu/ /sovu/ /awu/ ‘debu’
*/madu/ /madu/ /madu/ ‘madu’ */mposu/ /bosu/ /bohu/ ‘kenyang’ */ponu/ /naponu/ /ponu/ ‘penuh’ */siku/ /siku/ /hiku/ ‘siku’ */tunu/ /notunu/ /tunu/ ‘panggang’ */təbu/ /tovu/ /towu/ ‘tebu’ */tolu/ /tatalu/ /tolu/ ‘tiga’ */tunu / /notunu / /ntunu / ‘bakar’ */(ta) telu/ /ka tatalu/ /ka tolu/ ‘ketiga’ */təbu/ /tovu/ /towu/ ‘tebu’ */valu/ /valu/ /walu/ ‘delapan’
Lampiran 5: Fonem PAN */a/ terwaris secara linear pada BK /a/, BU /a/
Posisi PAN BK BU Jml Awal */abu/ /avu/ /awu/ ‘abu' 7
*/apuy/ /apu/ /apu/ ‘api’ */alap/ /ala/ /ala/ ‘ambil’ */anak/ /ana/ /ana/ ‘anak’ */ane/ /ane/ /ane/ ‘rayap’ */atəp/ /ata/ /ata/ ‘atap’ */ade/ /ade/ /aje/ ‘dagu’
Tengah */binatan/ /binata/ /binata/ ‘binatang’ 27 */bayad/ /nombayari/ /mobayari/ ‘membayar’ */bala/ /bala/ /bala/ ‘pagar’ */badu/ /baju/ /baju/ ‘baju’ */babuy/ /bavu/ /bawu/ ‘babi’ */batu/ /vatu/ /watu/ ‘batu’ */baqen/ /baku/ /baku/ ‘bekal’ */panaq/ /pana/ /pana/ ‘panah’ */rantay/ /rante/ /rante/ ‘rantai’ */Ratu/ /satu/ /ha.atu/ ‘seratus’ */sa(m)pulu/ /sapuluh/ /hampulu/ ‘sepuluh’ */tasi/ /tasi/ /tahi/ ‘laut’ */tanaq/ /tana/ /tana/ ‘tanah’ */kaju/ /kayu/ /kaju/ ‘kayu’
*/kalibaŋbaŋ/ /kalibamba/ /kalibama/ ‘kupu- kupu’
*/landak/ /landa/ /lanta/ ‘landak’ */laŋit/ /laŋi/ /laŋi/ ‘angit’ */valu/ /uvalu/ /walu/ ‘delapan’ */ma(n)taq/ /mata/ /mata/ ‘mentah’ */pakay/ /pake/ /pake/ ‘memakai’ */palu/ /padu/ /pado/ ‘tumit’ */laŋu/ /nalaŋu/ /molaŋu/ ‘mabuk’ */lana/ /lana/ /lana/ ‘minyak’ */manuk/ /manu/ /manu/ ‘ayam’ */madu/ /madu/ /madu/ ‘madu’ */mata/ /mata/ /mata/ ‘mata’ */matay/ /namate/ /mate/ ‘mati’
Akhir */apa/ /nuapa/ /apa/ ‘apa’ 14 */bala/ /bala/ /bala/ ‘kandang’ */buŋa/ /vuŋa/ /wuŋa/ ‘bunga’
*/cerita/ /nojarita/ /mojarita/ ‘berbicara’ */Rusa/ /rusa/ /ruha/ ‘rusa’ */sala/ /nasala/ /sala/ ‘salah’ */sipa/ /sepa/ /sepa/ ‘tendang’ */taliŋa/ /taliŋa/ /tiliŋa/ ‘telinga’ */tama/ /toma/ /tuama/ ‘bapak’ */uda/ /uja/ /uda/ ‘hujan’ */lima/ /alima/ /lima/ ‘lima’ */dara/ /ra/ /ra:/ ‘darah’ */dala/ /dara/ /dara/ ‘merpati’ */ina/ /ina/ /ina/ ‘ibu’
Lampiran 6: Fonem PAN */b/ terwaris secara linear pada BK /b/, BU /b/
Posisi PAN BK BU Jml Awal */babuy/ /bavu/ /bawu/ ‘babi’ 18
*/baqen/ /baku/ /boku/ ‘bekal’ */bənaŋ/ /bana/ /bana/ ‘benang’ */binatan/ /binata/ /binata/ ‘binatang’ */buDbud/ /buburu/ /bubur/ ‘bubur’ */bulud/ /bulu/ /bulu/ ‘bukit’ */bilep/ /beli/ /beli/ ‘juling’ */bayad/ /bayari/ /bayari/ ‘membayar’ */bulaj/ /bula/ /bula/ ‘putih’ */buke/ /buku/ /buku/ ‘tulang’ */badu/ /baju/ /baju/ ‘baju’ */bacaq/ /baca/ /basa/ ‘baca’ */bela/ /belo/ /belo/ ‘ramah’ */baRbaR/ /boba/ /baba/ ‘pukul’ */bintaŋ/ /betue/ /betue/ ‘bintang’ */binay/ /bine/ /bine/ ‘istri’ */boŋi/ /boŋi/ /beŋi/ ‘malam’ */buka/ /buka/ /buka / ‘membuka’
tengah */jibu/ /jobu/ /jobu/ ‘seribu’ 4 */kalibaŋbaŋ/ /kalibamba/ /kalibama/ ‘kupu-kupu’ */ləbiq/ /nelabi/ /melabi/ ‘lebih’ */tebus/ /tobusi/ /tebusi/ ‘menebus’
Akhir - - - 0
Lampiran 7: Fonem PAN */p/ terwaris secara linear pada BK /p/, BU /p/
Posisi PAN BK BU Jml Awal */ponu (q)/ /ponu/ /ponu/ ‘penuh’ 8
*/pakay/ /pake/ /pake/ ‘memakai’ */pahit/ /napai/ /mopai/ ‘pahit’ */pitu/ /papito/ /pitu/ ‘tujuh’ */palu/ /padu/ /pado/ ‘tumit’ */pinter/ /pante/ /pante/ ‘cerdas’ */panaq/ /pana/ /pana/ ‘panah’ */piliq/ /pelisi/ /pilihi/ ‘memilih’
Tengah */lipan/ /lipa/ /lipa/ ‘lipan’ 5 */apa/ /nuapa/ /apa/ ‘apa’ */sa(m)pulu/ /sapuluh/ /hampulu/ ‘sepuluh’ */sipa/ /sepa/ /sepa/ ‘tendang’ */apuy/ /apu/ /apu/ ‘api’
Akhir - - - 0
Lampiran 8: Fonem PAN */t/ terwaris secara linear pada BK /t/, BU /t/
Posisi PAN BK BU Jml Awal */timun/ /timu/ /timu/ ‘ketimun’ 23
*/tebus/ /tobusi/ /tebusi/ ‘menebus’ */tambaq/ /tambai/ /tabai/ ‘menambah’ */tanda/ /tandana/ /tanda/ ‘pertanda’ */tia/ /tai /ta.i/ ‘perut’ */tunu/ /tunu/ /tunu/ ‘panggang’ */tanaq/ /tana/ /tana/ ‘tanah’ */təbu/ /tovu/ /towu/ ‘tebu’ */taliŋa/ /taliŋa/ /tiliŋa/ ‘telinga’ */təlur/ /ntalu/ /ntolu/ ‘telur’ */tolu/ /talu/ /tolu/ ‘tiga’ */timah/ /tima/ /timah/ ‘timah’ */tu(ŋ)kaŋ/ /tuka/ /tuka/ ‘tukang’ */təkik/ /toke/ /toke/ ‘tokek’ */tu (m) buh/ /tuvu/ /tu:wu/ ‘tumbuh’ */tunu / /tunu / /tunu / ‘bakar’ */tasi/ /tasi/ /tahi/ ‘laut’ */(ta) telu/ /talu/ /tolu/ ‘ketiga’ */tusuk/ /tosu/ /tohu/ ‘tusuk’ */tama/ /toma/ /tuama/ ‘bapak’ */tu(m)buq/ /tuvu/ /tuwu/ ‘bertumbuh’ */tia/ /tai/ /ta.i/ ‘perut’ */təbu/ /tovu/ /towu/ ‘tebu’
Tengah */atəp/ /ata/ /ata/ ‘atap’ 20 */batu/ /vatu/ /watu/ ‘batu’ */binatan/ /binata/ /binata/ ‘binatang’ */bintaŋ/ /betue/ /betue/ ‘bintang’ */cerita/ /nojarita/ /mojarita/ ‘berbicara’ */itik/ /titi/ /titih/ ‘itik’ */itu(h)/ /etu/ /etu/ ‘itu’ */kutu/ /kutu/ /kutu/ ‘kutu’ */[l]intaq/ /parenta/ /parenta/ ‘memerintahkan’ */mata/ /mata/ /mata/ ‘mata’ */matay/ /namate/ /mate/ ‘mati’ */mate/ /nompatesi/ /mopatehi/ ‘memadamkan’ */ma(n)taq/ /mata/ /mata/ ‘mentah’ */maturu/ /naturu/ /turu/ ‘tidur’
*/ma-tua/ /natua/ /motua/ ‘tua’ */pitu/ /papito/ /pitu/ ‘tujuh’ */pinter/ /pante/ /pante/ ‘cerdas’ */atey/ /ate/ /ate/ ‘hati’ */rantay/ /rante/ /rante/ ‘rantai’ */Ratu/ /satu/ /ha.atu/ ‘seratus’
Akhir - - - 0
Lampiran 9: Fonem PAN */n/ terwaris secara linear pada BK /n/, BU /n/
Posisi PAN BK BU Jml Awal - - - 0 Tengah */anak/ /ana/ /ana/ ‘anak’ 21
*/ane/ /ane/ /ane/ ‘rayap’ */binatan/ /binata/ /binata/ ‘binatang’ */binay/ /mombine/ /tobine/ ‘istri’ */cincin/ /sinji/ /hinci/ ‘cincin’ */ina/ /ina/ /ina/ ‘ibu’ */kuniŋ/ /kuni/ /mokuni/ ‘kuning’ */kunig/ /kuni/ /kuni/ ‘kunyit’ */lana/ /lana/ /lana/ ‘minyak’ */manuk/ /manu/ /manu/ ‘ayam’ */ono/ /aono/ /ono/ ‘enam’ */ponu (q)/ /naponu/ /ponu/ ‘penuh’ */pinter/ /pante/ /pante/ ‘cerdas’ */panaq/ /pana/ /pana/ ‘panah’ */rantay/ /rante/ /rante/ ‘rantai’ */rano/ /rano/ /rano/ ‘danau’ */tanda/ /tandana/ /tanda/ ‘pertanda’ */tunu/ /notunu/ /tunu/ ‘panggang’ */tanaq/ /tana/ /tana/ ‘tanah’ */tunu / /notunu / /ntunu / ‘bakar’ */untuŋ/ /untu/ /untu/ ‘untung’
Akhir - - - 0
Lampiran 10: Fonem PAN */k/ terwaris secara linear pada BK /k/, BU /k/
Posisi PAN BK BU Jml Awal */kai (nN)/ /kae/ /kai/ ‘kain’ 8
*/kaju/ /kayu/ /kaju/ ‘kayu’ */kuniŋ/ /kuni/ /kuni/ ‘kuning’ */kalibaŋbaŋ/ /kalibamba/ /kalibama/ ‘kupu-kupu’ */kutu/ /kutu/ /kutu/ ‘kutu’ */kilat/ /kila/ /kila:/ ‘kilat’ */kunig/ /kuni/ /kuŋi/ ‘kunyit’ */kulit/ /kuli/ /kuluma/ ‘kulit’
Tengah */pakay/ /pake/ /pake/ ‘memakai’ 7 */sakay-an/ /sakaya/ /sakaya/ ‘sampan’ */siku/ /siku/ /hiku/ ‘siku’ */tukaŋ/ /tuka/ /tuka/ ‘tukang’ */aku/ /yaku/ /aku/ ‘saya’ */buke/ /buku/ /buku/ ‘tulang’ */buka/ /buka/ /buka / ‘membuka’
Akhir - - - 0
Lampiran 11: Fonem PAN */l/ terwaris secara linear pada BK /l/, BU /l/
Posisi PAN BK BU Jml Awal */landak/ /landa/ /landa/ ‘landak’ 8
*/laŋit/ /laŋi/ /laŋi/ ‘angit’ */ləbiq/ /labi/ /labi/ ‘lebih’ */ləŋat/ /leŋi/ /leŋi/ ‘lembab’ */lima/ /alima/ /lima/ ‘lima’ */lipan/ /lipa/ /lipa/ ‘lipan’ */laŋu/ /nalaŋu/ /molaŋu// ‘mabuk’ */lana/ /lana/ /lana/ ‘minyak’
Tengah */alap/ /ala/ /ala/ ‘ambil’ 17 */bulud/ /bulu/ /bulu/ ‘bukit’ */bulan/ /vula/ /wula/ ‘bulan’ */bulu/ /vulu/ /wulu/ ‘bulu’ */bile/ /nabeli/ /beli/ ‘juling’ */bala/ /bala/ /bala/ ‘pagar’ */bulaj/ /nabula/ /bula/ ‘putih’ */dilaq/ /dila/ /jila/ ‘lidah’ */kilat/ /kila/ /kila:/ ‘kilat’ */kulit/ /kuli/ /kuluma/ ‘kulit’ */puluh/ /sapulu/ /hampulu/ ‘sepuluh’ */salaq/ /nasala/ /sala/ ‘keliru’ */taliŋa/ /taliŋa/ /tiliŋa/ ‘telinga’ */təlur/ /ntalu/ /ntolu/ ‘telur’ */tolu/ /tatalu/ /tolu/ ‘tiga’ */ular/ /ule/ /ule/ ‘ular’ */valu/ /uvalu/ /walu/ ‘delapan’
Akhir - - - - 0
Lampiran 12: Daftar Informan
I. Bahasa Kaili
1. Nama : Iqda Nursanti
Jenis kelamin : Wanita
Usia : 41 tahun
Pendidikan : Sarjana Ekonomi
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Alamat : Jl. Dewi Sartika II no. 133, Palu Selatan
2. Nama : Paula Rosita Lenak
Jenis kelamin : Wanita
Usia : 42 tahun
Pendidikan : Sarjana Ekonomi
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Alamat : Jl. Tanggul Utara no. 43, Palu Selatan
3. Nama : Reni. L. Tumu
Jenis kelamin : Wanita
Usia : 46 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Biromuli, Palu Selatan
II. Bahasa Uma
1. Nama : Andrias Golawa
Jenis kelamin : Laki-Laki
Usia : 45 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Petani
Alamat : kantewu, Sigi
2. Nama : Yerce Djaru’u
Jenis kelamin : Wanita
Usia : 42 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Pipikoro, Sigi
3. Nama : Erinne Patrawati
Jenis kelamin : Wanita
Usia : 41 tahun
Pendidikan : Sarjana Hukum
Pekerjaan : Pegawai BRI
Alamat : Pipikoro, Sigi