Page 1
KONTRIBUSI SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP
PEREKONOMIAN DAERAH: STUDI KASUS DI PROVINSI JAWA
TIMUR
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Oleh
Indah Pertiwi Tanjung
NIM: 1113084000027
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
Page 6
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
1. Nama Lengkap : Indah Pertiwi Tanjung
2. Tempat, Tgl. Lahir : Jakarta, 23 Juli 1995
3. Alamat : Jl. Nambi RT 011 RW 003 Petukangan Utara
Jakarta Selatan
4. Telepon : 082114741401
5. Email : [email protected]
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. 2001-2007 : SD Negeri Gunung 01 Jakarta
2. 2007-2010 : SMP Negeri 29 Jakarta
3. 2010-2013 : SMA Negeri 32 Jakarta
4. 2013-2017 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
III. PENGALAMAN EKSTRAKULIKULER
Palang Merah Remaja (SMP), 2008
English Club (SMA), 2010
IV. PENGALAMAN KERJA
Event Pameran Inacraft JCC Senayan brand fashion Tandamata
Event Launching Grabhitch Grab Indonesia
Event Fitbar Kalbe Farma Goes To Hospital
Page 7
ii
V. SEMINAR DAN WORKSHOP
Seminar penanggulangan HIV/AIDS “Let’s Avoid HIV/AIDS with Legal
Relationship” diselenggarakan oleh BEM FEB UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2013.
Pelatihan Karya Tulis Ilmiah “Mewujudkan Regenerasi Mahasiswa
Ekonomi yang Berprestasi dalam Bidang Akademik” diselenggarakan oleh
HMJ IESP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Kunjungan ke Museum Bank Indonesia, diselenggarakan dalam mata
kuliah Sosiologi Ekonomi, 2014.
Page 8
iii
ABSTRACT
The research was conducted to analyze the contribution of estate crops sub sector
for the economy of East Java 2010-2015. Location quotient and shift share
methods were used to analyze this research. The result showed that sugar cane and
tobacco were the only superior commodity, not just for the area but also for
production context. Tobacco was the best commodity yet nutmeg was the
opposite. East Java’s estate crop was not superior sub sector and didn’t always
had good proportional shift and so is the differential shift. However, East Java’s
estate crop was the sub sector that was classified as a progressive sub sector so
that means East Java’s estate sub sector had good contribution for the economy of
East Java.
Keywords: Agriculture, Estate Crops, Area, Production, GDP, Location Quotient,
Shift Share
Page 9
iv
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kontribusi sub sektor perkebunan
terhadap perekonomian Jawa Timur periode 2010-2015. Penelitian ini
menggunakan analisis location quotient dan shift share. Hasil menunjukkan
bahwa hanya tebu dan tembakau yang menjadi komoditas unggulan baik pada
konteks luas areal dan produksi. Tembakau merupakan komoditas paling unggul
sedangkan pala merupakan komoditas paling tidak unggul. Perkebunan
merupakan sub sektor non unggulan serta tidak selalu memiliki pertumbuhan
proporsional dan daya saing yang cepat. Namun, perkebunan Jawa Timur
merupakan sub sektor yang tergolong progresif yang berarti berkontribusi secara
baik terhadap perekonomian Jawa Timur.
Kata Kunci : Pertanian, Perkebunan, Luas Areal, Produksi, PDRB, PDB, Location
Quotient, Shift Share
Page 10
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang senantiasa
memberikan segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Kontribusi Sub Sektor Perkebunan
Terhadap Perekonomian Daerah: Studi Kasus Di Provinsi Jawa Timur.
Salawat serta Salam tidak lupa penulis panjatkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW semoga kita mendapat syafa’atnya di hari akhir.
Dengan selesainya skripsi ini penulis juga ingin menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Mamah dan Papah atas segala pengorbanan dan curahan kasih sayang yang
begitu besar dan tulus serta doa-doa yang dipanjatkan kepada-Nya.
2. Bapak Djaka Badranaya, M.E selaku dosen pembimbing yang senantiasa
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Dr. Arief Mufraini Lc.,M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Bapak Arief Fitrijanto, M.Si dan Bu Najwa Khairina selaku Ketua dan
Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan serta jajaran dosen yang tanpa
pamrih memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat.
4. Sahabat-sahabat kuliah baik suka maupun duka Ita, Deya, Retno, Yunita,
Anjeng, Cytha, Kiki, Mella dan Devina atas segala canda tawa dan
supportnya.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan
dalam skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dalam
skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Wasalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 22 September 2017
Indah Pertiwi Tanjung
Page 11
vi
DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ABSTRACT
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
i
iii
iv
v
vi
ix
xii
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Indonesia Sebagai Negara Agraris
2. Pertanian di Negara Berkembang
3. Transformasi Sektor Pertanian
4. Profil Sektor Pertanian di Indonesia
5. Sub Sektor Pertanian
6. Sub Sektor Pertanian; Perkebunan
7. Profil Perkebunan di Jawa Timur
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
1
1
1
2
3
4
6
10
12
17
18
Page 12
vii
D. Manfaat Penelitian 18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Transformasi Struktural
a. Masa Peralihan
b. Hollis B Chenery
c. WW Rostow
2. Pertanian dalam Pertumbuhan Ekonomi
3. Kebijakan Pertanian
4. Indikator Pertumbuhan Ekonomi
5. Perkebunan dan Peranannya
B. Penelitian Terdahulu
C. Logical Frame Thinking
D. Hipotesis
19
19
19
19
19
20
21
31
36
38
40
45
46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
B. Ruang Lingkup Penelitian
C. Sampel dan Metode Penentuan Sampel
D. Data dan Metode Penentuan Data
E. Metode Analisis Data
1. Analisis Location Quotient
2. Analisis Shift Share
F. Operasional Variabel Penelitian
47
47
48
48
50
51
51
55
57
Page 13
viii
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Profil Jawa Timur
B. Gambaran Perkebunan Jawa Timur; Konteks Luas Areal dan
Tingkat Produksi
C. Kontribusi Perkebunan Terhadap Perekonomian Jawa Timur
D. Kebijakan Pemerintah Daerah
59
59
62
71
75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
82
82
83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
84
89
Page 14
ix
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
1.1. Tenaga Kerja Berusia 15 Tahun Ke Atas Menurut Lapangan
Pekerjaan Utama 1990-2015
1
1.2 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Menurut
Lapangan Usaha 1960-2015 (Dalam Milyar Rupiah)
4
1.3 Produk Domestik Regional Bruto Pertanian (ADHK)
Menurut Provinsi 2010-2015 (Dalam Juta Rupiah)
5
1.4 Produk Domestik Bruto Pertanian (ADHK) Menurut Sub
Sektor 2010-2015 (Dalam Milyar Rupiah)
10
1.5 Produk Domestik Regional Bruto Perkebunan (ADHK)
Menurut Provinsi 2010-2015 (Dalam Juta Rupiah)
11
1.6 Luas Areal Perkebunan Jawa Timur 2010-2015 (Dalam Ha) 13
1.7 Produksi Perkebunan Jawa Timur 2010-2015 (Dalam Ton) 13
1.8 Provinsi Pemilik Areal Tebu 2010-2015 (Dalam Ha) 14
1.9 Provinsi Penghasil Tebu 2010-2015 (Dalam Ton) 15
1.10 Provinsi Pemilik Areal Tembakau 2010-2015 (Dalam Ha) 16
1.11 Provinsi Penghasil Tembakau 2010-2015 (Dalam Ton) 16
3.1 Variabel Penelitian 57
4.1. Luas Wilayah Jawa Timur Menurut Kabupaten/Kota 2015 59
4.2 Jumlah Penduduk Jawa Timur 2015 61
4.3 PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan Tahun Dasar 61
Page 15
x
2010 Menurut Lapangan Usaha 2010-2015 (Milyar Rupiah)
4.4 Hasil Perhitungan Location Quotient Perkebunan Jawa
Timur 2010-2015
62
4.5 Perkebunan Cengkeh, Jambu Mete, Kelapa dan Kopi
Menurut Luas Areal dan Produksi di Jawa Timur 2010-2015
(dalam ha dan ton)
64
4.6 Perkebunan Kapas Menurut Luas Areal 2010-2015 (dalam
ha)
65
4.7 Perkebunan Kapas Jawa Timur Mneurut Luas Areal dan
Produksi 2010-2015 (dalam ha dan ton)
66
4.8 Perkebunan Nilam Jawa Timur Menurut Luas Areal dan
Produksi 2010-2015 (dalam ha dan ton)
67
4.9 Perkebunan Kakao, Karet, Lada, Pala dan Teh Menurut Luas
Areal dan Produksi di Jawa Timur dan Indonesia 2010-2015
(dalam ha dan ton)
68
4.10 Perkebunan Tebu dan Tembakau Menurut Luas Areal dan
Tingkat Produksi 2010-2015 (dalam ha dan ton)
70
4.11 Perkebunan Tembakau dan Pala Menurut Luas Areal,
Tingkat Produksi dan Persentase Kontribusi Terhadap
Perkebunan Indonesia (dalam ha dan ton)
71
4.12 Hasil Perhitungan Location Quotient Perkebunan dan
Lapangan Usaha Lainnya di Jawa Timur 2010-2015
72
4.13 Hasil Perhitungan Shift Share Perkebunan Jawa Timur 2010- 74
Page 16
xi
2015
4.14 Produksi dan Produktivitas Perkebunan Jawa Timur 2010-
2015
79
4.15 Nilai Tukar Petani Sub Sektor Perkebunan Jawa Timur
2010-2015
80
Page 17
xii
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
2.1 Logical Frame Thinking 45
Page 18
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Halaman
1 Lampiran 1 Tabel Hasil Analisis Location Quotient 89
2 Lampiran 2 Tabel Hasil Analisis Shift Share 90
Page 19
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Indonesia Sebagai Negara Agraris
Secara umum negara agraris adalah negara yang jumlah
penduduknya sebagian besar bermata pencaharian pada sektor pertanian.
Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari tahun ke tahun
sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian pada sektor pertanian.
Tabel 1.1. Tenaga Kerja Berusia 15 Tahun Ke Atas Menurut
Lapangan Pekerjaan Utama 1990-2015
Lapangan Pekerjaan 1990 2000 2010 2015
Pertanian 40285307 40676713 41494941 37748228
Pertambangan dan Penggalian 511452 451931 1254501 1320466
Industri 7459143 11641756 13824251 15255099
Listrik, Gas, dan Air Minum 134716 70629 234070 288697
Konstruksi 2042740 3497232 5592897 8208086
Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa
Akomodasi 10827988 18489005 22492176 25686342
Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 2300652 4553855 5619022 5106817
Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha
Persewaan, Jasa Perusahaan 477221 882600 1739486 3266538
Jasa Kemasyarakatan, Sosial Perorangan 8949638 9574009 15956423 17938926
Belum Jelas Batasannya 115681 0 0 0
Lainnya 0 0 0 0
Tak Terjawab 0 0 0 0
Total 73104538 89837730 108207767 114819199
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Perekonomian tidak terlepas dari supply dan demand. Pertanian
merupakan sektor strategis yang dapat menopang perekonomian karena
dari segi supply, pertanian mempunyai lahan yang dilansir dari data world
Page 20
2
bank seluas 570000 km2 atau 31,464% dari jumlah daratan Indonesia yang
seluas 1811570 km2. Dari segi demand berdasarkan data dari world bank
Indonesia mempunyai 258 juta penduduk di mana semua penduduk
membutuhkan produk-produk pertanian untuk kebutuhan hidup. Jadi
pangsa pasar pertanian begitu luas.
2. Pertanian di Negara Berkembang
Menurut Todaro dan Smith (2006) pola atau sistem-sistem
pertanian yang ada di dunia ini dapat dibagi menjadi dua pola yang
berbeda yaitu pola pertanian di negara-negara maju yang memiliki tingkat
efisiensi yang tinggi dengan kapasitas produksi dan rasio output per tenaga
kerja juga tinggi sehinggga dengan jumlah petani yang sedikit dapat
menyediakan bahan pangan bagi seluruh penduduk serta pola pertanian
yang tidak atau kurang efisien yang umumnya terdapat di negara-negara
berkembang.
Karena pola di negara berkembang yang kurang efisien pastinya
tingkat produktivitasnya begitu rendah. Hasil yang diperoleh jangankan
untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk daerah perkotaan untuk
keperluan sehari-hari para petani saja hasil-hasil pertanian yang ada tidak
memadai.
Dalam Todaro dan Smith (2006), lahan yang subur semakin
terbatas terutama di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Lahan juga terbatas
di berbagai daerah di Amerika Latin dan Afrika. Pertumbuhan penduduk
Page 21
3
yang cepat telah menyebabkan semakin bertambahnya jumlah orang yang
mengandalkan hidupnya dari lahan yang sama sedangkan metode dan
teknologi produksinya tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Dengan teknologi pertanian dan penggunaan masukan (input) tradisional
di luar tenaga kerja manusia (cangkul, garpu sederhana, bajak dengan
hewan penarik, bibit tradisional dan lain-lain) yang sama, kita mengetahui
dari prinsip perolehan hasil yang semakin menurun (diminishing return)
bahwa jika semakin banyak orang yang mengerjakan sebidang lahan maka
tingkat produktivitas marjinal dan rata-ratanya semakin menurun. Hasilnya
standar hidup petani pedesaan di negara-negara dunia ketiga terus
memburuk.
Indonesia pun sama seperti negara berkembang lainnya dalam
penjelasan di atas di mana lahan yang digarap semakin terbatas. Menurut
Daryanto (2012) Indonesia sebagai negara transforming countries
sebagian besar petaninya menggarap kurang dari setengah hektar lahan
serta menurut Saragih (2004) sebagian besar penduduk Indonesia berada
di wilayah pedesaan dan sebagian besar dari mereka hidupnya tergantung
pada sektor pertanian serta sebagian besar dari mereka masih berada dalam
cengkraman kemiskinan. Tingkat produktivitas di Indonesia juga rendah
terbukti dari banyaknya impor di negeri ini.
3. Transformasi Sektor Pertanian
Awalnya, pertanian merupakan sektor dengan penyumbang Produk
Domestik Bruto terbesar. Seiring berjalannya waktu, kontribusi pertanian
Page 22
4
terhadap Produk Domestik Bruto semakin kecil. Indonesia sedang dalam
masa peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Hal ini
dapat dilihat pada tabel Produk Domestik Bruto atas dasar harga konstan
(ADHK).
Tabel 1.2 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan
Menurut Lapangan Usaha 1960-2015 (Dalam Milyar Rupiah)
Lapangan Usaha 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2015
Pertanian. Kehutanan dan Perikanan 210.4 270.7 3424.9 22356.9 216831.5 304777.1 1171578.7
Pertambangan dan Penggalian 14.4 32.2 1034.6 17531.7 167692.2 187152.5 767327.2
Industri Pengolahan 32.6 51.1 1704.6 22336.9 385597.9 597134.9 1934533.2
Listrik. Gas. dan Air Minum 1.1 3 77.9 725.7 8393.8 18050.2 94894.8
Konstruksi 7.9 15.2 639.3 6672.9 76573.4 150022.4 879163.9
Perdagangan. Hotel. dan Restoran 55.8 100.2 1851.9 18568.6 224452.2 400474.9 1207751.1
Pengangkutan dan Komunikasi 14.5 17.4 609.4 6 367.9 65012.1 217980.4 421741.4
Keuangan. Real Estate. Jasa Perusahaan 11.6 19.8 543.6 7 892.6 115463 221024.2 762683.7
Jasa-jasa 41.9 61.3 1283 12764.1 129753.8 217842.2 525385.5
Produk Domestik Bruto 390.2 571 11169 115217 1389770 2314459 8982511
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Berdasarkan teori transformasi struktural yaitu perubahan
permintaan konsumen dari yang berfokus pada makanan dan keperluan
dasar ke permintaan barang manufaktur dan jasa yang beragam maka
pertanian mulai tergerus oleh industri. Transformasi ini dapat dilihat pada
tabel di atas.
4. Profil Sektor Pertanian di Indonesia
Perkembangan pertanian dalam indikator ekonomi tidak hanya
dapat dilihat dari Produk Domestik Bruto yang melihat pertumbuhan
Page 23
5
ekonomi negara saja, namun kita juga dapat melihat pertanian dari Produk
Domestik Regional Bruto yang melihat pertumbuhan ekonomi wilayah
seperti Provinsi atau Kabupaten/Kota. Semua provinsi di Indonesia
berkontribusi dalam menyumbang Produk Domestik Regional Bruto untuk
pertanian.
Tabel 1.3 Produk Domestik Regional Bruto Pertanian (ADHK)
Menurut Provinsi 2010-2015 (Dalam Juta Rupiah)
Provinsi 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Aceh 25579574.5 26515484.4 27685114.3 28980433.4 29690561.7 31155374.8
Sumatera Utara 85561144 90592547.1 95405416.9 99894566.3 104262829.8 109962980.4
Sumatera Barat 27277723.9 28535019.9 29284904.6 30372991 32151489.7 33551976.4
Riau 91152767 94307398.4 97910954.9 102216742.9 108498089.3 108969037.3
Jambi 23627242 24744879.4 26429045.1 28070963 31145428.6 32771193.3
Sumatera Selatan 38067014 40120773 42557299 44794971 46612030 48287680.6
Bengkulu 9343955.4 9734666.6 10272888.7 10687209.5 10950441.6 11197978.9
Lampung 52038767.5 54841031 56997473.2 59636487.8 61595153.7 63718622
Kep. Bangka Belitung 6097691.3 6642800.3 7072887.4 7557660.3 8254342.1 8747275.3
Kepulauan Riau 4506560.8 4683473.6 4794169.9 5000008.6 5378146.9 5689215.6
D K I Jakarta 1275625.4 1277277.9 1319309.5 1353560.2 1359954.5 1375424.1
Jawa Barat 89088260.2 88386512.4 88409460 92390134.9 92653584.2 92802799
Jawa Tengah 99572441.1 103389332.9 106536703.1 108832110.6 107793380.9 113826299
D I Yogyakarta 7252595.2 7134678.9 7500728.2 7670026.2 7508980.3 7667601.7
Jawa Timur 133504559 138870090.2 146002574.5 150463721.7 155783955.1 160907332.8
Banten 16737606.9 17242080.5 17793375.5 18990915.9 19456954.4 20726695.6
Bali 16092721.6 16258738.6 16969879.8 17343285 18151208.6 18644987.5
Nusa Tenggara Barat 16407442.3 16946742.7 17702366.1 18924911.8 19295328.7 18644987.5
Nusa Tenggara Timur 14669948.1 15069630.2 15613952.5 16144605 16504069.3 18644987.5
Kalimantan Barat 21485406 22292710.1 23201406.8 24401601 24967378.3 25572667.7
Kalimantan Tengah 13935356 14165405.2 14536577.4 15028377.5 16080172.5 16940493.2
Kalimantan Selatan 13701548.8 14052457.4 14490150.7 14967328 15636188.7 16018961.8
Kalimantan Timur 27403133.6 28969171.9 31121785 25535674.7 27267197 28506913.6
Kalimantan Utara - - - 7496932.4 8021340.2 8574016.3
Sulawesi Utara 12281006.7 12154187.8 12918080.9 13765299.1 14243121.1 14606345.9
Sulawesi Tengah 19523494.2 20711363.1 21923492.9 23163934.7 24728724.1 26297815.4
Page 24
6
Sulawesi Selatan 39598909.4 42325570.3 44263477.4 46446728.3 51101681.2 54071396.5
Sulawesi Tenggara 13741144.5 14007464.2 14625406.6 15508217.4 16952307.8 16958461.9
Gorontalo 5977734.8 6321225.6 6763846.4 7232594.6 7698324 8024613.5
Sulawesi Barat 7486608.8 8115114.7 8709502.4 9207147.9 9753263.9 10313438.3
Maluku 4825716.6 4972596.7 5282613 5500920.1 5835441 5908217.5
Maluku Utara 3936693.2 4105563.7 4371355.3 4525958.5 4662502.2 4740319.4
Papua Barat 4889557.5 4583190.7 4785624.2 5090415.3 5343515.9 5482571.9
Papua 11681131.9 12133258.4 12883697.4 13661800.8 14432993.6 15303259.6
Sumber : Kementerian Pertanian
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Jawa Timur merupakan
Provinsi penyumbang Produk Domestik Regional Bruto pertanian terbesar
di Indonesia dari tahun 2010-2015 dengan Jawa Tengah dan Riau sebagai
Provinsi penyumbang Produk Domestik Regional Bruto pertanian terbesar
kedua dan ketiga. Hal ini dapat disebabkan karena lahan pertanian yang
begitu luas dan diiringi dengan tingkat produksi yang tinggi.
Sedangkan DKI Jakarta merupakan Provinsi penyumbang Produk
Domestik Regional Bruto pertanian terkecil di Indonesia dari tahun 2010-
2015 dengan Maluku Utara dan Papua Barat sebagai Provinsi penyumbang
Produk Domestik Regional Bruto pertanian terkecil kedua dan ketiga. Hal
ini dapat disebabkan karena minimnya bahkan ketiadaan lahan pertanian
sehingga akan diiringi dengan tingkat produksi yang minim atau bahkan
tidak adanya produksi.
5. Sub Sektor Pertanian
Menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2015 Badan
Pusat Statistik, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan masuk ke dalam
Page 25
7
kategori A. Kategori ini mencakup semua kegiatan ekonomi/lapangan
usaha, yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, hortikultura,
peternakan, pemanenan hasil hutan (kehutanan) dan penangkapan dan
budidaya ikan/biota air (perikanan).
Kegiatan pertanian tidak mencakup kegiatan pengolahan dari
komoditas pertanian, termasuk dalam kategori C yaitu industri
pengolahan. Kegiatan konstruksi lahan seperti pembuatan petak-petak
sawah, irigasi saluran pembuangan air, serta pembersihan dan perbaikan
lahan untuk pertanian tidak termasuk dalam kategori pertanian tetapi
tercakup pada kategori F yaitu konstruksi. Penjelasan dari kategori A
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tanaman pangan mencakup pertanian padi dan bukan padi. Pertanian
padi mencakup pertanian padi, termasuk pertanian padi organik dan
padi yang sudah dimodifikasi termasuk kegiatan pembibitan dan
pembenihan tanaman padi. Pertanian serealia (bukan padi) mencakup
pertanian serealia (gandum, jagung, sorgum, gandum untuk membuat
bir/barley, gandum hitam/rye), oats, millet dan serealia lainnya), aneka
kacang palawija (kacang kedelai, kacang tanah dan kacang hijau),
aneka kacang hortikultura (buncis, buncis besar, kacang panjang, cow
peas, miju-miju, lupin, kacang polong, pigeon peas dan tanaman aneka
kacang lainnya), biji-bijian penghasil minyak (biji kapas, biji castor,
biji rami, biji mustard, niger seeds, rapeseed/canola, biji wijen,
Page 26
8
safflower seeds, biji bunga matahari dan tanaman penghasil minyak
lainnya) dan tidak mencakup jagung (maize) untuk makanan ternak.
b. Pertanian sayuran, buah dan aneka umbi/hortikultura. Hortikultura
mencakup hortikultura sayuran (asparagus, kol, kembang kol dan
brokoli, selada dan chicory, bayam, tumbuhan yang bunganya dimakan
sebagai sayur, dan sayuran daun dan batang lainnya), hortikultura buah
(semangka, blewah, labu buah, melon dan sejenisnya), aneka umbi
hortikultura (kentang, kentang manis, wortel, lobak cina, bawang
putih, bawang bombay atau bawang merah, bawang perai dan sayuran
alliaceous lainnya), aneka umbi palawija (ubi kayu, ubi jalar, talas,
ganyong, irut, gembili dan tanaman aneka umbi palawija lainnya),
buah yang dipakai sebagai sayuran (mentimun, terung, tomat,
belimbing sayur dan labu sayur dan lainnya), jamur dan truffle, bibit
sayuran kecuali bibit tanaman bit, bit gula dan sayuran lainnya.
c. Perkebunan. Mencakup usaha perkebunan mulai dari kegiatan
pengolahan lahan, penyemaian, pembibitan, penanaman, pemeliharaan
dan pemanenan jika menjadi satu kesatuan kegiatan tanaman
tembakau, pembibitan dan pembenihan tanaman (kelapa, jambu mete,
kakao, cengkeh, tembakau, karet, kopi, lada, kelapa sawit, tebu, teh,
kapas dll)
d. Peternakan. Mencakup budidaya dan pembibitan hewan ternak,
unggas, serangga, binatang melata/reptil, cacing, hewan peliharaan
Page 27
9
termasuk budidaya hewan untuk diambil hasilnya seperti bulu, telur,
susu, madu dan lilin lebah dan kepompong ulat sutera.
e. Perburuan, penangkapan dan penangkaran tumbuhan/ satwa liar.
Mencakup kegiatan perburuan dan penangkapan hewan dengan
perangkap baik binatang untuk dimakan maupun tidak dan
pengambilan hasil hewan seperti kulit dan bulu binatang dari hasil
perburuan dan penangkapan termasuk kegiatan penangkaran
tumbuhan/satwa liar baik darat maupun laut.
f. Kehutanan dan pemanenan kayu dan hasil hutan selain kayu.
Mencakup pemanenan pohon untuk diambil kayunya serta
pengambilan dan pemungutan hasil hutan selain kayu yang tumbuh
liar. Di samping menghasilkan kayu, Kegiatan kehutanan
menghasilkan produk melalui proses sederhana, seperti kayu bakar,
Arang kayu, serbuk kayu, serpih kayu dan kayu bulat dalam bentuk
yang belum diolah (misalnya pitprops/kayu untuk bahan atap, bubur
kayu dan lain-lain). Kegiatan ini dapat dilakukan di hutan alam yang
belum diusahakan atau di hutan yang sudah diusahakan termasuk juga
pemanenan pohon bakau.
g. Perikanan. Mencakup penangkapan dan budidaya ikan, jenis crustacea
(seperti udang, kepiting) mollusca, dan biota air lainnya di laut, air
payau dan air tawar. Tidak termasuk pemancingan untuk rekreasi.
Dalam beberapa sub sektor yang ada dalam pertanian itu sendiri,
masing-masing memiliki kontribusi dalam Produk Domestik Bruto
Page 28
10
pertanian yang di mana tentunya akan berdampak pada Produk Domestik
Bruto Indonesia.
Tabel 1.4 Produk Domestik Bruto Pertanian (ADHK) Menurut Sub
Sektor 2010-2015 (Dalam Milyar Rupiah)
Sub Sektor Pertanian 2010 2011 2012 2013 2014 2015
a. Tanaman Pangan 253326.6 250787.4 263076.2 268268.2 268426.9 280018.8
b. Tanaman Hortikultura 110395.3 120079.3 117424.5 118207.7 124300.9 127110
c. Tanaman Perkebunan 268207.3 281465 301019.5 319532.6 338502.2 345164.9
d. Peternakan 108399.9 113603.3 119249.8 125302.3 132221.1 136936.4
e. Jasa Pertanian dan Perburuan 14105.3 14646.1 15534.4 16452.9 16938.4 17574.4
f. Kehutanan dan Penebangan Kayu 58125.9 58731 58872 59228.8 59573.5 60757.4
g. Perikanan 143559.4 154545.2 164264.3 176149.3 189089.7 204016.8
Pertanian, Kehutanan & Perikanan 956119.7 993857.3 1039440.7 1083141.8 1129053 1171579
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perkebunan memiliki Produk
Domestik Bruto terbesar di antara sub sektor-sub sektor lainnya selama
tahun 2010-2015 disusul dengan tanaman pangan sebagai penyumbang
terbesar kedua sedangkan jasa pertanian dan perburuan menyumbang
Produk Domestik Bruto terkecil selama tahun 2010-2015.
6. Sub Sektor Pertanian; Perkebunan
Sama halnya dengan pertanian, perkembangan perkebunan sebagai
sub sektor terbesar tidak hanya dapat dilihat dari Produk Domestik Bruto
yang melihat pertumbuhan ekonomi negara saja, namun kita juga dapat
melihat pertanian dari Produk Domestik Regional Bruto yang melihat
pertumbuhan ekonomi wilayah seperti Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Page 29
11
Tabel 1.5 Produk Domestik Regional Bruto Perkebunan (ADHK)
Menurut Provinsi 2010-2015 (dalam Juta Rupiah)
Provinsi 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Aceh 6800938.3 6985191.8 7226499.9 7639063.7 7942266.9 8407631.4
Sumatera Utara 43341054 46711168.3 50177611.2 53339088.3 56621225.5 59648230.2
Sumatera Barat 7578292.2 7851210.6 8240186.6 8564089 9064919.1 9389697.3
Riau 55991002.1 57955150.4 61361036 65270598.7 70707173.2 70355294.2
Jambi 14614737.3 15312622.1 16419119.1 17516647 19682044 20979911.4
Sumatera Selatan 15068122 16199902 17552342 18692934 19452304.4 19519378
Bengkulu 1400997.9 1500949.6 1610827.8 1739209.8 1832411.2 1901472.7
Lampung 12376795.1 12865867.4 13505553.4 13801344.2 14464769.8 15090554.6
Kep. Bangka Belitung 2513293 2786351.5 3010969.1 3270248 3696957.8 3995982.2
Kepulauan Riau 982399.3 1023826.6 1027548.9 1046053.2 1075155.6 1098980.1
D K I Jakarta 0 0 0 0 0 0
Jawa Barat 7928725.3 8217385.9 8560161.6 8844809.9 8541102.1 8468757.6
Jawa Tengah 8744397.9 9461889.3 10005483.6 10416387.3 10987201.2 11430893.5
D I Yogyakarta 189047.9 193833.5 198374.8 208138.8 209146.1 201222.5
Jawa Timur 20785147.7 22121036.4 23452398.6 23877691.7 25064594.4 25379047.4
Banten 1854228 1903121.2 1961567.3 2091631.5 2226141.1 2325377.3
Bali 1571733.6 1569715.3 1635780.8 1670988.9 1693338.4 1883655.6
Nusa Tenggara Barat 1222470.4 1269443.9 1296540.3 1314800.8 1325399.6 1883655.6
Nusa Tenggara Timur 1256496.5 1284728.5 1303304.1 1392531 1459275 1883655.6
Kalimantan Barat 10753398.6 11222638.3 11681905.1 12344680 12833560.8 13355525.6
Kalimantan Tengah 8420370.6 8628470.7 8800959.6 9185431.4 9995013.4 10550618.7
Kalimantan Selatan 4324479.7 4445012.8 4639070.9 4864232.4 5173899.9 5140608.1
Kalimantan Timur 8579081.6 9702730.4 11217451.2 11591496.1 12835098.2 13720644.3
Kalimantan Utara - - - 1000582.5 1132843.2 1265986.4
Sulawesi Utara 3754160.4 3358211.4 3636540.6 3887901.9 4032613.9 4444152.1
Sulawesi Tengah 8235566.7 8756898.1 9335395.6 9921150.6 10847318.1 11643844.6
Sulawesi Selatan 8811536.7 9354716.9 9264885.3 9486335.4 10205850.7 10830885.4
Sulawesi Tenggara 3843860.6 3708089.3 4061836.3 4304435.5 4668327.2 4707392.1
Gorontalo 518552 534248.7 567105.5 600225.3 629570.1 669987.2
Sulawesi Barat 3619496.9 4059360.7 4417369.7 4721287.5 5037358.1 5297977.9
Maluku 673074.9 704075.1 712681.3 740138 763603.1 791810.8
Maluku Utara 1791372.8 1876214.9 2041015 2123923.5 2225937.3 2331306.8
Papua Barat 490457.8 517126.2 463175.1 442863.4 456779.2 480872.8
Papua 735571.9 798202.2 873832.4 942026.9 1022156.5 1072024.1
Sumber : Kementerian Pertanian
Page 30
12
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa Riau merupakan Provinsi
penghasil Produk Domestik Regional Bruto perkebunan terbesar di
Indonesia, Sumatera Utara penghasil Produk Domestik Regional Bruto
perkebunan terbesar kedua dan Jawa Timur penghasil Produk Domestik
Regional Bruto perkebunan terbesar ketiga di Indonesia dari tahun 2010-
2015. Hal ini dapat disebabkan karena lahan pertanian yang begitu luas
dan diiringi dengan tingkat produksi yang tinggi.
Sedangkan DKI Jakarta merupakan Provinsi penyumbang Produk
Domestik Regional Bruto perkebunan terkecil di Indonesia dari tahun
2010-2015 dengan Yogyakarta dan Papua Barat sebagai Provinsi
penyumbang Produk Domestik Regional Bruto perkebunan terkecil kedua
dan ketiga. Hal ini dapat disebabkan karena minimnya bahkan ketiadaan
lahan pertanian sehingga akan diiringi dengan tingkat produksi yang
minim atau bahkan tidak adanya produksi.
7. Profil Perkebunan di Jawa Timur
Dari tabel 1.2 dan dari tabel 1.4 dapat dilihat bahwa Jawa Timur
berkontribusi paling besar dalam Produk Domestik Regional Bruto
pertanian serta berkontribusi terbesar ketiga dalam Produk Domestik
Regional Bruto perkebunan dari tahun 2010-2015. Dalam dua tabel
tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa Jawa Timur merupakan provinsi
yang potensial dalam pertanian dan perkebunan. Jawa Timur memiliki
beberapa tanaman dalam perkebunan yaitu.cengkeh, jambu mete, kakao,
kapas, karet, kelapa, kopi, lada, nilam, pala, tebu, tembakau dan teh.
Page 31
13
Tabel 1.6 Luas Areal Perkebunan Jawa Timur 2010-2015 (Dalam Ha)
Komoditas 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Cengkeh 41964 43876 46902 47065 45085 45474
Jambu Mete 48284 51234 52903 52243 48626 48316
Kakao 60057 69191 63040 65432 51072 54211
Kapas 1705 1702 632 659 336 394
Karet 25699 25983 25993 26060 25126 25562
Kelapa 293750 297206 297631 295363 287334 286423
Kopi 95266 99122 100845 102657 102213 103809
Lada 1016 1021 1006 896 838 834
Tebu 200131 192587 196391 211454 219111 201937
The 2453 2455 2455 2455 4008 4001
Tembakau 109426 130824 153561 95818 119206 108524
Pala 34 34 34 34 32 32
Nilam 0 6742 6757 6460 4968 4978
Sumber : Kementerian Pertanian, diolah
Dalam tabel di atas dapat dilihat bahwa kelapa merupakan
komoditas dengan areal terluas di Jawa Timur dari tahun 2010-2015. Tebu
merupakan komooditas dengan areal terluas kedua di Jawa Timur.
Tabel 1.7 Produksi Perkebunan Jawa Timur 2010-2015 (Dalam Ton)
Komoditas 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Cengkeh 10213 6807 10164 10784 9804 9879
Jambu Mete 10492 12361 12599 12645 12849 13555
Kakao 24199 24788 28575 30364 24871 24803
Kapas 376 200 198 113 88 75
Karet 23577 26754 26816 24904 24957 25918
Kelapa 257890 268328 277120 269275 252672 259502
Kopi 56200 37396 54189 56986 58135 65961
Lada 0 400 10164 298 296 309
Tebu 1017003 1051872 1241799 1236824 1260632 1207333
The 4169 4135 3958 3771 6879 6902
Tembakau 53228 114816 135747 73998 108137 99743
Pala 7 19 18 7 7 8
Nilam 0 687 706 200 151 110
Sumber : Kementerian Pertanian, diolah
Page 32
14
Kebalikan dari areal, dari konteks produksi tebu merupakan
komoditas dengan produksi terbanyak di Jawa Timur dari tahun 2010-
2015. Kelapa merupakan komooditas dengan produksi terbanyak kedua di
Jawa Timur.
Dari data-data di atas dapat disimpulkan bahwa tebu merupakan
komoditas yang potensial. Namun tidak semua provinsi-provinsi di
Indonesia mempunyai areal tebu. Beberapa provinsi yang memiliki areal
tebu antara lain Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,
Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Nusa
Tenggara Timur. Ternyata Jawa Timur memiliki areal tebu terluas di
Indonesia.
Tabel 1.8 Provinsi Pemilik Areal Tebu 2010-2015 (Dalam Ha)
Provinsi 2010 2011 2012 2013 2014 2015
DI Yogyakarta 3463 3576 3479 3577 3424 3354
Gorontalo 5620 8291 7487 6793 7301 7719
Jawa Barat 23343 21444 21646 21818 22017 20483
Jawa Tengah 61792 65519 62479 66515 68877 54338
Jawa Timur 200131 192587 196391 211454 219111 201937
Lampung 118088 117405 113871 116197 117453 120814
Maluku Utara 0 0 0 0 0 10
Nusa Tenggara Barat 0 0 0 0 0 4995
Nusa Tenggara Timur 0 0 72 0 0 0
Sulawesi Selatan 11376 13171 12478 11746 10588 10500
Sulawesi Tengah 0 0 0 0 0 10
Sumatera Selatan 21663 19749 22325 21592 20871 22251
Sumatera Utara 8651 100460 11028 9535 8467 7758
Sumber : Kementerian Pertanian, diolah
Page 33
15
Sama halnya dengan luas areal, tidak semua provinsi-provinsi di
Indonesia memproduksi tebu. Beberapa provinsi yang memproduksi tebu
antara lain Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Nusa Tenggara
Timur. Sama halnya dengan luas areal, Jawa Timur merupakan provinsi
dengan produksi tebu terbanyak di Indonesia.
Tabel 1.9 Provinsi Penghasil Tebu 2010-2015 (Dalam Ton)
Provinsi 2010 2011 2012 2013 2014 2015
DI Yogyakarta 17327 16573 15848 15868 11873 12171
Gorontalo 27412 32521 31849 27926 38025 49059
Jawa Barat 110543 81923 102648 92063 78195 84899
Jawa Tengah 233430 249452 289775 270873 262056 231662
Jawa Timur 1017003 1051872 1241799 1236824 1260632 1207333
Lampung 759684 678090 754619 744911 768948 743883
Sulawesi Selatan 27241 19210 33715 31340 26633 34805
Sumatera Selatan 66451 91124 79924 93882 100384 104506
Sumatera Utara 31025 471220 41505 37340 32427 29680
Sumber : Kementerian Pertanian, diolah
Selain memiliki areal tebu terluas, Jawa Timur ternyata juga
memiliki areal tembakau terluas di Indonesia. Namun sama seperti tebu,
tidak semua provinsi mempunyai areal tembakau. Beberapa provinsi yang
mempunyai areal tembakau diantaranya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Page 34
16
Tabel 1.10 Provinsi Pemilik Areal Tembakau 2010-2015 (Dalam Ha)
Provinsi 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Aceh 1103 941 1501 2262 2370 3035
Sumatera Utara 3376 2906 2975 2959 2902 1017
Sumatera Barat 1405 1405 1410 1080 1404 1427
Jambi 281 317 517 550 569 654
Sumatera Selatan 125 124 50 53 355 332
Lampung 463 736 941 959 634 493
Jawa Barat 9002 9188 10329 9977 10149 9731
Jawa Tengah 49358 45932 53019 43014 46540 52470
Daerah Istimewa Yogyakarta 2150 2083 2180 1376 1749 2059
Jawa Timur 109426 130824 153561 95818 119206 108524
Bali 1128 1132 972 838 680 782
Nusa Tenggara Barat 34699 29434 37055 28356 24611 23760
Nusa Tenggara Timur 339 1149 2803 2987 2049 2160
Sulawesi Tengah 0 42 42 30 125 167
Sulawesi Selatan 3416 2557 2936 2551 2521 2484
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
Jawa Timur juga merupakan provinsi dengan produksi tembakau
terbanyak di Indonesia. Tidak semua provinsi di Indonesia memproduksi
tembakau. Beberapa provinsi yang memproduksi tembakau diantaranya
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan,
Lampung, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Selatan.
Tabel 1.11 Provinsi Penghasil Tembakau 2010-2015 (Dalam Ton)
Provinsi 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Aceh 902 951 814 1983 2340 1919
Sumatera Utara 3458 2320 2393 2426 2425 765
Sumatera Barat 1185 1299 1306 1002 1349 1337
Jambi 68 109 171 193 233 285
Page 35
17
Sumatera Selatan 80 101 10 38 302 256
Lampung 386 620 1180 892 862 519
Jawa Barat 7658 8086 9195 8872 8146 8471
Jawa Tengah 26530 39411 43386 30972 32542 40564
Daerah Istimewa Yogyakarta 467 1428 1561 686 1097 1565
Jawa Timur 53228 114816 135747 73998 108137 99743
Bali 992 1671 1713 975 937 1024
Nusa Tenggara Barat 38894 40992 59988 38529 37067 34449
Nusa Tenggara Timur 71 182 1393 1535 1304 1324
Sulawesi Tengah 0 47 47 27 32 35
Sulawesi Selatan 1759 2491 1915 2321 1537 1535
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
Berdasarkan data-data di atas dapat dilihat bahwa Jawa Timur
merupakan provinsi penyumbang Produk Domestik Regional Bruto
terbesar pada sektor pertanian serta penyumbang Produk Domestik
Regional Bruto terbesar ketiga pada sub sektor perkebunan. Oleh karena
itu penulis tertarik ingin meneliti perkebunan di Jawa Timur serta
kontribusinya di Jawa Timur pada tahun 2010-2015.
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini terdapat tiga rumusan masalah. Rumusan
masalah yang dimaksud adalah:
1. Bagaimana gambaran perkebunan Jawa Timur dalam konteks luas areal
dan tingkat produksi?
2. Bagaimana kontribusi perkebunan terhadap perekonomian Provinsi Jawa
Timur?
3. Bagaimana kebijakan pemerintah daerah pada sub sektor perkebunan di
Jawa Timur?
Page 36
18
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis peran perkebunan
terhadap perekonomian di Jawa Timur dengan menggunakan variabel-variabel
yang sudah ditentukan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi banyak pihak yaitu:
1. Bagi para akademisi penelitian ini dapat menjadi bahan literature bagi
personal ataupun institusi yang ingin melakukan penelitian tentang
perkebunan di Jawa Timur
2. Bagi publik penelitian ini dapat menjadi informasi keadaan perkebunan di
Jawa Timur
3. Bagi pemerintah daerah penelitian ini dapat menjadi acuan untuk
mengembangkan daerahnya di masa mendatang
Page 37
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Transformasi Struktural
a. Masa Peralihan
Indonesia tergolong negara yang masih “muda” yang sedang dalam
proses pertumbuhan atau dengan kata halus disebut “sedang
membangun” atau “development country”. Dunia ekonomi kita masih
dalam masa transisi (peralihan) dari masyarakat tradisional menuju
masyarakat industri modern. Ciri-ciri masa peralihan juga terlihat dari
cara berproduksi. Sudah ada sejumlah pabrik yang serba modern
dengan mesin dan peralatan yang canggih serta teknik produksi
mutakhir. Tetapi, sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat masih
berlangsung di desa dan atau di sektor informal (pertanian,
pertukangan, perdagangan kaki lima) dengan cara kerja yang
tradisional dan hampir belum ada pemisahan antara urusan keluarga
dan urusan “usaha”. Ternyata sebagian besar tenaga kerja kita justru
tertampung dalam sektor informal. (T. Gilarso, 2004)
b. Hollis B. Chenery
Model perubahan struktural yang terkenal ternyata kebanyakan
didasarkan atas karya empiris pakar ekonomi Harvard bernama Hollis
B. Chenery dan rekan-rekannya yang mengkaji pola pembangunan
banyak negara berkembang selama periode pasca perang. Studi
Page 38
20
empiris yang mereka lakukan yang bersifat lintas-bagian (cross-
sectional di antara sejumlah negara pada waktu tertentu) maupun
rangkaian-waktu (time series, selama waktu tertentu yang panjang)
terhadap negara-negara yang berada pada tingkat pendapatan yang
berbeda menghasilkan beberapa karateristik proses pembangunan.
Karateristik-karateristik ini mencakup pergeseran dari produksi
pertanian ke produksi industri, berlanjutnya akumulasi modal fisik dan
manusia, perubahan permintaan konsumen dari yang berfokus pada
makanan dan keperluan dasar ke permintaan barang manufaktur dan
jasa yang beragam, pertumbuhan kota dan industri perkotaan ketika
orang-orang berpindah dari pertanian dan kota-kota kecil, serta
menurunnya ukuran keluarga dan pertumbuhan penduduk karena anak-
anak tidak lagi dilihat dari sisi nilai ekonomi dan para orang tua lebih
menekankan kualitas (pendidikan) ketimbang kuantitas anak.
(Todaro&Smith, 2013)
c. W.W. Rostow
W.W. Rostow mengemukakan suatu teori yang membagi
pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahapan yaitu: (Arsyad, 1999)
1) Masyarakat Tradisional (The Traditional Society)
Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang perekonomiannya
masih bertumpu pada pertanian dan memiliki fungsi produksi yang
terbatas dan relatif primitif yang kehidupannya sangat dipengaruhi
nilai-nilai yang turun-menurun dan cenderung kurang rasional.
Page 39
21
2) Tahap Prasyarat Lepas Landas (The Precondition For Take Off)
Dalam kondisi ini, merupakan transisi untuk mencapai
pertumbuhan yang mempunyai kekuatan untuk berkembang.
Segala sesuatunya dipersiapkan untuk mencapai pertumbuhan
dengan kekuatan sendiri termasuk ilmu pengetahuan yang akan
menghasilkan penemuan baru.
3) Tahap Lepas Landas (The Take Off)
Berlakunya perubahan yang sangat besar dalam masyarakat
misalnya tercipta kemajuan yang pesat dalam inovasi, revolusi
politik dan sebagainya.
4) Tahap Menuju Kedewasaan (The Drive To Maturity)
Dalam kondisi ini masyarakat sudah secara efektif menggunakan
teknologi modern pada sebagian besar faktor produksi. Munculnya
pemimpin baru yang bercorak lebih kepada perkembangan
teknologi, kekayaan alam dan lain-lain.
5) Tahap Konsumsi Tinggi (The Age Of High Mass Consumption)
Konsumsi masal yang tinggi dimana perhatian masyarakat lebih
menekankan kepada permasalahan yang berkaitan dengan
konsumsi dan kesejahteraan masyarakat.
2. Pertanian dalam Pertumbuhan Ekonomi
Peranan sektor pertanian selama ini dalam perekonomian nasional
secara tradisional kerap hanya dilihat melalui sejauh mana kontribusinya
dalam pembentukan PDB, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan
Page 40
22
pendapatan masyarakat dan perolehan devisa. Peranan baru sektor
pertanian sekarang ini dapat diletakkan dalam kerangka ”3 F contribution
in the economy”, yaitu food (pangan), feed (pakan), dan fuel (bahan
bakar). (Daryanto, 2009)
Peranan pertanian kaitannya dengan ”food” adalah sektor pertanian
menjadi leading sector dalam pembangunan ketahanan pangan. Artinya
peranan sektor pertanian sangat menentukan terwujudnya sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas melalui ketersediaan dan kecukupan
pangan baik nabati maupun hewani. Kaitannya dengan “feed”, sektor
pertanian memiliki peranan sebagai pemasok terbesar bahan baku utama
pakan ternak. Jagung merupakan komoditas pertanian terbesar yang
digunakan untuk pakan ternak unggas. Pakan ternak unggas menggunakan
bahan baku yang berasal dari jagung sebesar ± 60 persen. Selama beberapa
tahun terakhir ini, jagung digunakan sebagai penghasil sumber energi
terbarukan (renewable) untuk keperluan bahan bakar (fuel). (Daryanto,
2012)
Bagi banyak negara di dunia yang pendapatan per kapitanya
kurang dari US $ 2500.00 (dua ribu limaratus dollar AS) pertanian masih
menjadi sektor yang sangat penting bagi perekonomian nasionalnya. Bagi
negara-negara tersebut pertanian menjadi tulang punggung bagi tegaknya
suatu ekonomi negara. Pertanian tidak saja menyediakan kebutuhan
pangan penduduknya tetapi juga sebagai sumber pendapatan ekspor
(devisa) dan sebagai pendorong dan penarik bagi tumbuhnya industri
Page 41
23
nasionalnya. (Saragih, 2004)
Pertanian memiliki peranan yang sangat strategis dalam kehidupan
sepanjang kehidupan manusia. Xenophon, filsuf dan sejarawan Yunani
yang hidup 425-355 SM mengatakan bahwa “Agriculture is the mother
and nourishes of all other arts”, Pertanian adalah ibu dari segala budaya.
“Jika pertanian berjalan dengan baik, maka budaya- budaya lainnya akan
tumbuh dengan baik pula, tetapi manakala sektor pertanian diterlantarkan,
maka semua budaya lainnya akan rusak”. Pentingnya pertanian juga
dinyatakan oleh filsuf terkenal Lao Tze, yang hidup sekitar 600 tahun SM.
Dikatakan bahwa “There is nothing more important than agriculture in
governing people and serving the Heaven”. Tidak ada suatu pun yang
lebih penting di dunia ini selain pertanian, jika ingin masuk surga.
Walaupun kedua pernyataan tersebut telah berusia lebih dari dua
milenium, pernyataan ini masih relevan dengan kondisi yang dihadapi
Indonesia dewasa ini. Bahkan di banyak negara, pernyataan ini masih
dipegang, termasuk di negara-negara yang industrinya sudah maju.
Bahkan banyak yang meyakini prinsip bahwa tidak ada negara maju yang
tidak diawali oleh pertanian yang kuat. (Daryanto, 2012)
Perpaduan antara komersialisasi usaha tani dan modernisasi
teknologi membuat perolehan dan harga sarana produksi maupun pproduk
pertanian semakin tergantung pada kondisi pasar dunia. Apabila kita
sepakati bahwa komersialisasi dan penggunaan teknologi mutakhir adalah
dua ciri utama modernisasi pertanian dan modernisasi pertanian
Page 42
24
merupakan arah pembangunan pertanian yang kita tempuh maka tidak
dapat dielakkan lagi, semakin kita memacu pembangunan pertanian maka
semakin besar pula ketergantungan sektor agribisnis pada pasar dunia.
Jelas bahwa ketergantungan sektor agribisnis pada pasar dunia adalah
salah satu proses normal yang mesti dipandang sebagai kesempatan untuk
lebih memacu pembangunan pertanian. (Simatupang, 2004)
Pengeluaran terbesar penduduk dunia adalah untuk barang-barang
pangan (makanan dan minuman), sandang (pakaian), papan (bahan
bangunan dari kayu, kertas), energi serta produk farmasi dan kosmetika.
Kelima kelompok produk tersebut merupakan kebutuhan dasar bagi
masyarakat dunia. Sebagian besar dari kelompok produk tersebut
dihasilkan dari agribisnis. Bahkan melihat kecenderungan perubahan di
masa depan, agribisnis merupakan satu-satunya harapan untuk
menyediakan kelima kelompok produk tersebut. (Saragih, 2001)
Konsep agribisnis pertama kali diperkenalkan oleh John H. Davis
pada tahun 1955 dalam suatu makalah yang disampaikan pada Boston
Conference on Distribution di Amerika Serikat. Dua tahun kemudian
konsep agribisnis dimasyarakatkan kembali oleh orang yang sama dalam
buku yang berjudul A Conception of Agribusiness di Harvard University.
Tahun 1957 ini dianggap sebagai tahun kelahiran agribisnis. Seiring
perkembangan pengetahuan, konsep agribisnis berkembang sehingga saat
ini memliki ruang lingkup yang sangat luas. Agribusiness is the sum total
of all operation in the manufacture and distribution of farm, production
Page 43
25
operation on the farm, and the storage processing and distribution of farm
commodities and items made from them (Davis and Golberg, 1957).
Agroindustri berasal dari dua kata agricultural dan industri yang
berarti suatu industri yang menggunakan hasil pertanian sebagai bahan
baku utamanya atau suatu industri yang menghasilkan suatu produk yang
digunakan sebagai sarana atau input dalam usaha pertanian. Definisi
agroindustri dapat dijabarkan sebagai kegiatan industri yang
memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang, dan
menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut, dengan
demikian agroindustri meliputi industri pengolahan hasil pertanian,
industri yang memproduksi peralatan dan mesin pertanian, industri input
pertanian (pupuk, pestisida, herbisida dan lain-lain) dan industri jasa
sektor pertanian. (Udayana, 2011)
Sektor agroindustri Indonesia sudah memiliki keunggulan
komparatif yaitu sumber daya alam yang melimpah dan tenaga kerja yang
banyak dan murah. Perlu dilakukan research and development (R & D)
agar keunggulan komparatif tersebut menjadi keunggulan kompetitif
sehingga menguntungkan bagi devisa negara. Sasaran yang harus dicapai
adalah menghasilkan final product yang bernilai tambah tinggi. (Nihayah,
2012)
Apabila dilihat dari sistem agribisnis, agroindustri merupakan
bagian (subsistem) agribisnis yang memproses dan mentranformasikan
bahan-bahan hasil pertanian (bahan makanan, kayu dan serat) menjadi
Page 44
26
barang-barang setengah jadi yang langsung dapat dikonsumsi dan barang
atau bahan hasil produksi industri yang digunakan dalam proses produksi
seperti traktor, pupuk, pestisida, mesin pertanian dan lain-lain. Dari
batasan diatas, agroindustri merupakan sub sektor yang luas yang meliputi
industri hulu sektor pertanian sampai dengan industri hilir. (Udayana,
2011)
Industri hulu adalah industri yang memproduksi alat-alat dan
mesin pertanian serta industri sarana produksi yang digunakan dalam
proses budidaya pertanian. Sedangkan industri hilir merupakan industri
yang mengolah hasil pertanian menjadi bahan baku atau barang yang siap
dikonsumsi atau merupakan industri pasca panen dan pengolahan hasil
pertanian. (Saragih, 2004)
Kegiatan agribisnis vertikal mulai dari hulu hingga hilir
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam menentukan
keberhasilan pemasaran suatu komoditas. Misalnya jika usaha tani ubi
kayu (agribisnis hulu) mengganggu kelestarian alam maka ekspor gaplek
(agribisnis hilir) akan menderita sanksi ekonomi dari masyarakat
internasional. Oleh karena itu agar usahanya dapat berhasil maka tidak ada
pilihan lain, eksportir gaplek haruslah melakukuan koordinasi dengan
seluruh pelaku agribisnis yang ada pada alur vertikalnya hingga ke hulu
(usaha tani ubi kayu). Dengan perkataan lain, globalisasi nilai-nilai sosial
yang diikuti oleh humanisasi pasar mengharuskan pengusaha agribisnis
kita untuk menganut strategi koordinasi vertikal hulu-hilir. (Simatupang,
Page 45
27
2004)
Untuk meningkatkan daya saing produk-produk pertanian
diperlukan pengembangan industri hilir maupun hulunya. Pendalaman
sruktur industri ke hulu dilakukan dengan mempercepat pengembangan
industri pembibitan/perbenihan seluruh komoditas agribisnis potensial
Indonesia, pengembangan industri agro otomotif yang menghasilkan
mesin dan peralatan yang diperlukan baik pada subsistem on farm
agribisnis, maupun pada subsistem agribisnis hilir (industri pengolahan),
serta pengembangan industri agrokimia, seperti industri pupuk, industri
pestisida dan industri obat-obatan/vaksin hewan. Pendalaman struktur
industri agribisnis ke hilir dilakukan dengan mengembangkan industri-
industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan,
baik produk antara (intermediate product), produk semi akhir (semi
finished product) dan terutama produk akhir (final product).
Pengembangan industri perbenihan/pembibitan ini sangat mendesak
sebagai sumber pertumbuhan produktivitas usahatani. Saat ini, industri
perbenihan atau pembibitan merupakan salah satu mata rantai sistem
agribisnis yang lemah. Dalam pada itu, dengan keanekaragaman hayati
yang dimiliki Indonesia merupakan modal dasar yang dapat
didayagunakan untuk membangun suatu industri pembenihan atau
pembibitan di Indonesia. (Saragih, 2004)
Agroindustri dapat menghemat biaya dengan mengurangi
kehilangan produksi pasca panen dan menjadikan mata rantai pemasaran
Page 46
28
bahan makanan juga dapat memberikan keuntungan nutrisi dan kesehatan
dari makanan yang dipasok kalau pengolahan tersebut dirancang dengan
baik. Kegiatan agroindustri mempunyai keterkaitan ke depan dan ke
belakang yang sangat besar (backward dan forward linkages). Simatupang
(1997) secara ekstrim menggambarkan keterkaitan berspektrum luas
bahwa agroindustri sebetulnya tidak hanya dengan produk sebagai bahan
baku tapi juga dengan konsumsi, investasi dan fiskal. (Udayana, 2011)
Besarnya keterkaitan ke depan dan ke belakang bagi kegiatan
agroindustri, sehingga apabila dihitung berdasarkan impact multiplier
secara langsung dan tidak langsung terhadap perekonomian diprediksi
akan sangat besar. Hal inilah yang menjadi pendekatan dalam
memposisikan agroindustri berpeluang besar menjadi sistem unggulan
(Simatupang, 1997).
Besarnya linkage dari berkembangnya sektor agribisnis ini
terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya dapat diindikasikan dari multiplier
effect yang ditimbulkan dari pengembangan agroindustri meliputi semua
industri dari hulu sampai pada industri hilir. Produk agroindustri pada
umumnya bersifat cukup elastis, sehingga dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat yang berdampak semakin luasnya pasar, khususnya pasar
domestik. (Saragih, 2004)
Efek multiplier yang ditimbulkan dari pengembangan agroindustri
meliputi semua industri dari hulu sampai pada industri hilir. Hal ini
disebabkan karena karakteristik dari agroindustri yang memiliki kelebihan
Page 47
29
dibandingkan dengan industri lainnya, antara lain: (a) memiliki keterkaitan
yang kuat baik dengan industri hulunya maupun ke industri hilir, (b)
menggunakan sumberdaya alam yang ada dan dapat diperbaharui, (c)
mampu memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif baik di pasar
internasional maupun di pasar domestik, (d) dapat menampung tenaga
kerja dalam jumlah besar, (e) produk agroindustri pada umumnya bersifat
cukup elastis sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang
berdampak semakin luasnya pasar khususnya pasar domestik. (Udayana,
2011)
Isu krisis pangan dunia pada saat ini memberi peluang bagi
pengembangan agribisnis Indonesia. Kita memiliki ruang gerak dalam
pengembangan agribisnis terutama bahan pangan dan serat (tekstil,
barang-barang karet, kertas, bahan bangunan dan kayu) yang
menguntungkan Indonesia ke depan. Kesadaran masyarakat dunia semakin
meningkat akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup sehingga
mendorong masyarakat dunia mengkonsumsi barang-barang yang bersifat
bio-degradable. Hal ini akan menggeser penggunaan produk petro-fiber
baik dalam industri tekstil maupun dalam industri barang-barang dari karet
akan digantikan oleh bio-fiber (serat tanaman) seperti rayon. (Nainggolan
& Aritonang, 2012)
Di bidang energi juga sedang terjadi perubahan yang fundamental,
dimana sumber energi utama dunia adalah sumberdaya mineral
(petroleum). Namun cadangan minyak dunia makin tipis, sementara
Page 48
30
alternatif energi seperti energi nuklir terbukti beresiko tinggi (kasus Rusia,
Jepang). Kelangkaan energi dunia ini memberi kesempatan untuk
mengembangkan bio-energi seperti palmoil-diesel (dari minyak sawit),
ethanol (dari tebu). Hal ini memberi prospek baru bagi Indonesia sebagai
salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia. Kelangkaan petro-
energi tersebut juga akan berdampak pada industri-industri yang berbasis
pada petro kimia, seperti pupuk, pestisida, detergent. Industri petro-
pesticida akan bergeser kepada bio-pesticide, industri petro-detergent
akan beralih pada bio-detergent dan industri petro-fertilizer akan beralih
kepada bio-fertilizer (Saragih, B. 2001).
Industri etanol (biofuel) di Amerika Serikat (AS) meningkat tajam,
dari 166 pabrik pada tahun 2006, sekarang meningkat tajam menjadi 429
pabrik biofuel. Naiknya harga minyak dunia mendorong riset dan
pembangunan pabrik biofuel menjadi feasible. Pasar jagung dunia telah
mengindikasikan bahwa alokasi jagung bagi kebutuhan pakan ternak akan
berkurang karena tersedotnya jagung untuk keperluan bahan baku etanol
(biofuel). Konsumsi jagung yang meningkat untuk pengembangan biofuel
sebagai salah satu alternatif bahan bakar di negara-negara maju, terutama
Amerika Serikat (AS) akan mengurangi pasokan jagung untuk pakan
ternak. AS telah mengalokasikan 55 juta ton jagung untuk industri etanol
(biofuel) dalam negeri pada tahun 2006 dan diperkirakan tahun 2008
meningkat menjadi 82 juta ton. Perkembangan industri biofuel akan diikuti
oleh China yang memasok 20 persen jagung dunia. Kecenderungan
Page 49
31
permintaan jagung yang meningkat baik untuk pemenuhan industri pakan
ternak maupun pengembangan energi alternatif bahan bakar (biofuel) akan
diikuti oleh naiknya harga jagung di pasar dunia. Peluang pasar ini
tentunya dapat ditangkap untuk pengembangan jagung baik di daerah
sentra produksi lama maupun daerah pengembangan baru. (Daryanto,
2012)
Untuk bidang farmasi dan kosmetika juga sedang terjadi proses
perubahan yang menguntungkan negara-negara agribisnis seperti
Indonesa. Kebutuhan hidup akan kebugaran (fitness), hidup sehat dan
cantik, akan meningkatkan permintaan akan produk-produk farmasi,
toiletries (sabun kecantikan; shampo, detergent). Indonesia yang memiliki
kekayaan keragaman biofarmasi terbesar seperti tanaman, obat-obatan,
tanaman minyak atsiri dan penghasil minyak olein (minyak sawit, minyak
kelapa) cenderung akan menjadi satu global player pada industri bio-
farmasi dan kosmetika. (Nainggolan & Aritonang, 2012)
3. Kebijakan Pertanian
Menurut Simatupang (2004) struktur agribisnis kita saat ini dapat
digolongkan sebagai tipe dispersal yang dicirikan oleh tiadanya hubungan
organisasi fungsional diantara setiap tingkatan usaha. Jaringan agribisnis
praktis hanya diikat dan dikoordinir oleh mekanisme pasar (harga).
Hubungan diantara sesama pelaku agribisnis praktis bersifat tidak
langsung dan impersonal. Dengan demikian setiap pelaku agribisnis hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri dan tidak menyadari bahwa mereka
Page 50
32
saling membutuhkan. Bahkan hubungan diantara pelaku agribisnis
cenderung berkembang menjadi bersifat eksploitatif yang pada akhirnya
menjurus ke kematian bersama.
Lebih lanjut dalam Simatupang (2004), akibat dari hubungan
impersonal-eksploitatif dan tiadanya asosiasi agribisnis vertikal
menyebabkan kualitas produk (komoditas) pertanian tidak dapat
disesuaikan dan dijamin seperti yang diinginkan oleh konsumen. Beberapa
alasan agribisnis dispersal tidak baik diterapkan adalah:
a. Informasi tentang karakteristik produk yang diinginkan konsumen
tidak sampai dengan cepat dan tepat ke seluruh tingkatan agribisnis
mulai dari hilir hingga ke hulu (petani)
b. Kegiatan setiap tahapan agribisnis tidak terpadu secara vertikal
sehingga kualitas produk akhir yang dihasilkanpun tidak dapat dijamin
c. Pasar cenderung terdistrosi sehingga tidak ada insentif untuk
meningkatkan mutu produk. Jelaslah bahwa struktur agribisnis
dispersal tidak sesuai dengan tuntunan perubahan fundamental dalam
pasar global saat ini, lebih-lebih pada masa mendatang. Kiranya tidak
berlebihan untuk mengatakan bahwa inilah salah satu yang
menyebabkan daya saing agribisnis Indonesia pada umumnya masih
lemah.
d. Dari segi transfer teknologi atau modernisasi yang paling mengetahui
dan akses terhadap perkembangan teknologi modern adalah kelompok
agribisnis yang berada pada kutub hilir (eksportir/agroindustri). Kutub
Page 51
33
hulu (petani) berada di pedesaan sehingga kurang akses terhadap
informasi maupun pasokan teknologi modern. Oleh karena itu, apabila
struktur agribisnis vertikal tidak terkoordinasi dengan baik maka
modernisasi teknologi pertanian pun akan semakin lambat.
Untuk memecahkan masalah ekonomi yang begitu kompleks,
Indonesia memerlukan penajaman (focusing) strategi pembangunan
ekonomi yang diharapkan mampu memberi solusi atas persoalan yang ada,
tanpa menimbulkan persoalan baru. Oleh karena itu, strategi yang dipilih
hendaknya memiliki karakteristik (attributes) sebagai berikut: (Saragih,
2001)
a. strategi yang dipilih haruslah memiliki jangkauan kemampuan
memecahkan masalah ekonomi yang luas sedemikian rupa, sehingga
sekali strategi yang bersangkutan diimplementasikan, sebagian besar
persoalan ekonomi dapat terselesaikan
b. strategi yang dipilih untuk diimplementasikan tidak mengharuskan
penggunaan pembiayaan eksternal (pinjaman luar negeri dan impor)
yang terlalu besar, sehingga tidak menambah utang luar negeri yang
telah besar saat ini
c. strategi yang dipilih hendaknya tidak dimulai dari nol, melainkan dapat
memanfaatkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya, sehingga selain
tidak menimbulkan kegamangan di dalam masyarakat, juga hasil-hasil
pembangunan sebelumnya tidak menjadi sia-sia
Page 52
34
d. strategi yang dipilih untuk diimplementasikan mampu membawa
perekonomian Indonesia ke masa depan yang lebih cerah, di mana
Indonesia mampu menjadi saling sinergis (interdepency economy)
dengan perekonoian dunia dan bukan perekonomian yang tergantung
(dependency economy) pada negara lain.
Menurut Saragih (2001) di antara pilihan-pilihan strategi
pembangunan ekonomi yang ada, strategi pembangunan yang memenuhi
karakteristik di atas adalah pembangunan agribisnis (Agribusiness Led
Development) yakni suatu strategi pembangunan ekonomi yang
mengintegrasikan pembangunan pertanian termasuk di dalamnya
perkebunan, peternakan, perikanan serta kehutanan dengan pembangunan
industri hulu dan hilir pertanian serta sektor-sektor jasa yang terkait di
dalamnya.
Menurut Simatupang (2004) industrialisasi pertanian tersebut
merupakan strategi pembangunan pertanian nasional dalam era globalisasi.
Industrialisasi pertanian ialah suatu proses transformasi struktur agribisnis
dari pola dispersal menjadi pola industrial. Berbeda dengan pola dispersal,
dalam agribisnis pola industrial, setiap perusahaan agribisnis tidak lagi
berdiri sendiri atau bergabung dalam asosiasi horisontal, tetapi
memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yang bergerak dalam
seluruh bidang usaha yang ada pada satu alur produk vertikal (dari hulu
hingga hilir) dalam satu kelompok usaha yang selanjutnya disebut sebagai
Unit Agribisnis Industrial (UIB).
Page 53
35
Adapun karakteristik utama dari UIB dalam Simatupang (2004)
tersebut adalah seluruh fungsi yang diperlukan dalam menghasilkan,
mengolah dan memasarkan produk pertanian hingga ke konsumen akhir
(alur produk vertikal) dapat dipenuhi, seluruh komponan atau anggota
melaksanakan fungsinya secara harmonis dan dalam satu kesatuan tindak,
hubungan diantara seluruh komponen atau anggota terjalin langsung
melalui ikatan institusional (non pasar), kelangsungan hidup dan
perkembangan setiap komponen atau anggota saling tergantung satu sama
lain; dan kooperatif yang berarti bahwa setiap komponen atau anggota
saling membantu satu sama lain demi untuk kepentingan bersama.
Karakteristik tersebut sangat sesuai dengan tuntutan perubahan
fundamental pasar dan teknologi global dan karena itulah, industrialisasi
pertanian merupakan strategi yang tepat untuk agribisnis dan
pembangunan pertanian pada PJP-II dalam era globalisasi.
Menurut Departemen Pertanian RI (1994) dalam Simatupang
(2004) sesungguhnya ide tentang industrialisasi pertanian sudah ada dalam
benak para perencana pembangunan pertanian. Hal ini terbukti dari adanya
satu kalimat dalam naskah Repelita VI yang mengandung istilah
industrialisasi pertanian, yaitu pada halaman 81: “Pembangunan pertanian
Repelita VI sebagai tahap awal PJP-II diarahkan sebagai peletakan dasar
untuk meningkatkan sumber daya manusia, menumbuhkan sikap
kemandirian, dan mengembangkan pertanian yang mengarah pada
industrialisasi pertanian.
Page 54
36
4. Indikator Pertumbuhan Ekonomi
Untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat
menggunakan Produk Domestik Bruto atau jika ingin melihat
pertumbuhan ekonomi wilayah maka kita dapat gunakan Produk Domestik
Regional Bruto.
Menurut Badan Pusat Statistik, untuk menghitung angka-angka
Produk Domestik Regional Bruto ada tiga pendekatan yang dapat
digunakan. Secara konsep ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan
angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah
barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah
pendapatan untuk faktor-faktor produksi. Produk Domestik Regional
Bruto yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai Produk Domestik
Regional Bruto atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup
pajak tak langsung neto. Tiga pendekatan tersebut yaitu:
a. Menurut Pendekatan Produksi
Produk Domestik Regional Bruto adalah jumlah nilai tambah atas
barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah
suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-
unit produksi tersebut dalam penyajian ini dikelompokkan menjadi 9
lapangan usaha (sektor) yaitu :
1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
2) Pertambangan dan Penggalian
3) Industri Pengolahan
Page 55
37
4) Listrik, Gas dan Air Bersih
5) Konstruksi
6) Perdagangan, Hotel dan Restoran
7) Pengangkutan dan Komunikasi
8) Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan
9) Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. Setiap sektor
tersebut dirinci lagi menjadi sub-sub sektor.
b. Menurut Pendekatan Pendapatan
Produk Domestik Regional Bruto merupakan jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses
produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu
tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji,
sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum
dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam
definisi ini, Produk Domestik Regional Bruto mencakup juga
penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung
dikurangi subsidi).
c. Menurut Pendekatan Pengeluaran
Produk Domestik Regional Bruto adalah semua komponen permintaan
akhir yang terdiri dari :
1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba
2) pengeluaran konsumsi pemerintah
3) pembentukan modal tetap domestik bruto
Page 56
38
4) perubahan inventori, dan
5) ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor).
5. Perkebunan & Peranannya
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2004
pasal 1, perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman
tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang
sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut,
dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta
manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha
perkebunan dan masyarakat.
Ketangguhan perkebunan teruji manakala krisis moneter melanda
Indonesia. Kekuatan gelombang krisis bisa dibayangkan, karena mampu
menghancurkan perekonomian Indonesia. Namun justru di atas krisis
itulah perkebunan memberikan manfaat terbesar bagi pelakunya. Tidak
saja diperoleh manfaat dadakan dari ekspor (windfall profit) sebagai akibat
pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Perkebunan menjadi
salah satu penopang penting bangsa Indonesia dalam menghadang krisis
moneter. Dan kini terbukalah cakrawala baru perkebunan Indonesia.
Akumulasi sejarah telah menunjukkan kekuatan modal, manajemen,
penelitian dan penemuan benih unggul, pendidikan khusus, hingga
pemasaran, untuk menegakkan perkebunan lebih kokoh. Kini pengokoh
tersebut dilengkapi dengan demokratisasi di dalam dan sekitar
perkebunan. Demokratisasi ini melahirkan serangkaian konsekuensi
Page 57
39
pengaturan sekaligus manfaat tersendiri. Demokratisasi membutuhkan
jaringan hubungan yang simetris dan setara di antara semua pihak yang
terkait dengan perkebunan: Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan
Besar Swasta (PBS), Perkebunan Rakyat (PR), pemerintah, konsumen di
dalam dan luar negeri, lembaga pendukung penelitian dan pengembangan,
lembaga pendanaan, input produksi, pemasaran. (Direktorat Jenderal
Perkebunan)
Kemudian dalam UU RI No. 18 tahun 2004 pasal 3 dijelaskan
tujuan perkebunan, yaitu:
a. meningkatkan pendapatan masyarakat;
b. meningkatkan penerimaan negara;
c. meningkatkan penerimaan devisa negara;
d. menyediakan lapangan kerja;
e. meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing;
f. memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri;
g. mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Dalam UU RI No. 18 tahun 2004 pasal 4 dijelaskan fungsi
perkebunan secara ekonomi yaitu peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan
nasional.
Tidak mengherankan pengembangan perkebunan masa kini
ditegaskan di atas pengembangan jaringan hubungan antar pihak. Peran
penting perkebunan akan semakin meningkat di masa depan. Krisis energi
Page 58
40
dunia telah menempatkan posisi perkebunan pada tingkat yang sangat
penting. Perkebunan tak lagi hanya terkait masalah pangan, tetapi kini
perkebunan berada di persimpangan kepentingan antara food, feed dan
fuel. Seluruh dinamika sejarah perkebunan menarik perhatian terutama
dalam meletakkan dan meningkatkan peran di masa mendatang. Sejak
awal kemerdekaan sudah terpampang kuat hasrat untuk menyejahterakan
rakyat sebagai pekebun, pekerja perkebunan, maupun yang memperoleh
manfaat tidak langsung dari usaha perkebunan. Di atas itu semua
perkebunan masih tetap dan akan terus menjadi sumber kemakmuran
bangsa ini. (Direktorat Jenderal Perkebunan)
B. Penelitian Terdahulu
Dian Siti Hartati (2014) dalam skripsinya meneliti tentang Peranan
Perkebunan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bondowoso tahun
2003-2012. Kesimpulan dari penelitian ini adalah subsektor tanaman
perkebunan merupakan sektor unggulan di Kabupaten Bondowoso dengan
nilai Location Quontient (LQ) tertinggi diantara subsektor maupun sektor
ekonomi lainnya, yaitu 4,40 tahun 2012. Komoditi unggulan tanaman
perkebunan di Kabupaten Bondowoso adalah Kopi, Tebu dan Tembakau.
Dalam penelitiannya subsektor tanaman perkebunan memiliki
pertumbuhan yang lambat dan daya saing yang baik serta peran
subperkebunan yang memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Bondowoso adalah Produk Domestik Regional Bruto
Perkebunan per kecamatan dan produksi kopi. Produksi tembakau
Page 59
41
berpengaruh signifikan, namun bernilai negatif. Sedangkan luas perkebunan
dan produksi tanaman tebu tidak berpengaruh signifikan terhadap Produk
Domestik Regional Bruto per kecamatan.
Kedua, Zainal Abidin (2015) dalam makalahnya menganalisis
tentang aplikasi analisis shift share pada transformasi sektor pertanian dalam
perekonomian wilayah di Sulawesi Tenggara. Sesuai judulnya Zainal Abidin
menggunakan analisis shift share untuk mengetahui bagaimana hasil
penelitiannya tersebut. Penelitian menggunakan data PDB Indonesia, PDRB
Sulawesi Tenggara dan PDRB Kab/Kota di Sulawesi Tenggara tahun 2003
dan 2013 berdasarkan harga konstan (tahun 2000).
Kesimpulannya adalah sektor ekonomi di Sulawesi Tenggara
secara positif dipengaruhi oleh pertumbuhan nasional. Pertumbuhan sektor
pertanian tergolong lambat, namun memiliki keunggulan kompetitif. Sektor
pertanian secara agregat menunjukkan pergeseran bersih sebesar Rp.
144.868,720 juta. Sektor pertanian memiliki keunggulan kompetitif dan
spesialisasi serta efek alokasi.
Dalam penelitiannya subsektor pertanian yang memiliki
keunggulan kompetitif adalah tanaman pangan, peternakan dan hasil-hasilnya,
kehutanan serta perikanan, sementara yang memiliki spesialisasi adalah
subsektor perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, kehutanan serta
perikanan, dan yang memiliki efek alokasi adalah peternakan dan hasil-
hasilnya, kehutanan serta perikanan. Sektor pertanian juga memiliki
Page 60
42
keterkaitan yang kuat dengan sektor lainnya, dan memberikan pengaruh
positif terhadap pertumbuhan output wilayah secara keseluruhan.
Ketiga, Dony Hidayat (2006) dalam thesisnya menganalisis tentang
peranan perkebunan kelapa sawit di provinsi Riau dalam era otonomi daerah.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif menunjukkan perkebunan kelapa sawit
mempunyai potensi sangat besar terlihat dari luas dan produksi yang
dihasilkan.
Berdasarkan analisis struktur permintaan dan penawaran
menunjukkan output perkebunan kelapa sawit sebagian besar dialokasikan
untuk permintaan akhir dan hanya sebagian kecil dialokasikan untuk
permintaan antara. Analisis pengganda perkebunan dalam penelitian Dony
Hidayat menunjukkan besarnya peran perkebunan kelapa sawit dalam
meningkatkan pendapatan rumah tangga dan penyerapan tenaga kerja
sehingga sektor ini bisa diprioritaskan dalam investasi pembangunan ekonomi
dalam era otonomi daerah walaupun mempunyai elastisitas yang rendah.
Sedangkan berdasarkan analisis simulasi kebijakan menunjukkan
pengembangan perkebunan dalam era otonomi daerah mempunyai efek yang
lebih besar dalam meningkatkan kinerja sektor selain perkebunan kelapa sawit
dalam perekonomian Riau. Hal ini menunjukkan kebijakan pengembangan
perkebunan kelapa sawit berdampak pada sebahagian besar sektor dalam
perekonomian Riau.
Page 61
43
Keempat, Istiko Agus Wicaksono (2011) dalam jurnalnya berjudul
analisis location quotient sektor dan subsektor pertanian pada kecamatan di
kabupaten Purworejo. Sesuai judul jurnal, pada penelitiannya Istiko
menggunakan analisis Location Quotient dengan menggunakan data sekunder
dari tahun 2000-2009.
Kesimpulan yang pertama dari penelitian tersebut adalah sebagian
besar kecamatan di Kabupaten Purworejo sektor pertanian dan subsektornya
merupakan sektor dan subsektor basis. Kecamatan yang paling banyak
memiliki subsektor basis adalah Kecamatan Bruno dan Kecamatan Bener
sdangkan subsektor yang menjadi subsektor basis di sebagian besar kecamatan
di Kabupaten Purworejo adalah subsektor tanaman bahan makanan.
Kesimpulan yang kedua sekaligus terakhir adalah Seluruh
kecamatan di Kabupaten Purworejo sebagian kecil tingkat spesialisasi sektor
pertanian dan subsektornya menurun. Kecamatan yang paling banyak
memiliki sektor dan subsektor yang spesialisasinya menurun adalah
Kecamatan Purworejo sedangkan subsektor yang telah mengalami reposisi
terbanyak dan tidak bisa diharapkan untuk menjadi subsektor basis di masa
yang akan datang adalah subsektor tanaman bahan makanan.
Terakhir, Fransina F Kesaulija, Bernadetta MG Sadsoeitoebeon,
Hans FZ Peday, Max J Tokede, Heru Komarudin, Rubeta Andriani dan
Krystof Obidzinski dalam jurnal internasional berjudul Oil Palm Estate
Development And Its Impact On Forests And Local Communities in West
Page 62
44
Papua (A case study on the Prafi Plain) pada tahun 2014 dalam CIFOR
(Center for International Forestry Research).
Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di
dunia dan berencana untuk memperbesar produksi menjadi 40 juta ton setiap
tahunnya di tahun 2020. Papua dan Papua Barat merupakan provinsi dengan
lahan perkebunan kelapa sawit yang mempunyai angka rendah jika
dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Namun demikian
perkebunan kelapa sawit tetap tumbuh dengan stabil.
Studi kasus untuk lokasi adalah PTPN II Kebun Prafi di Masni,
Prafi dan Warmare di Manokwari, Papua Barat. Kelapa sawit berdampak
negatif terhadap lingkungan yaitu berkurangnya hutan, tanah longsor, polusi
air, berkurangnya jumlah dan kualitas air serta menambah penyakit namun
mempunyai dampak positif dari segi ekonomi sebagaimana dijelaskan dalam
kesimpulan dari jurnal ini yaitu perkebunan Parfi tidak diragukan lagi
kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi dengan menyerap tenaga kerja
dan peluang bagi pemodal untuk meningkatkan standar kehidupan.
Page 63
45
C. Logical Frame Thinking
Gambar 2.1. Logical Frame Thinking
Kontribusi Sub Sektor Perkebunan Terhadap Perekonomian Daerah: Studi
Kasus di Provinsi Jawa Timur
Evaluasi Hasil Analisis
Kesimpulan dan Saran
Analisis Location Quotient Analisis Shift Share
Teori-teori memperkuat latar
belakang penelitian
Data-data sebagai latar belakang
penelitian
Page 64
46
D. Hipotesis
1. Location Quotient (Konteks Komoditas dan Konteks Sektor/Lapangan
Usaha)
a. LQ > 1 = Unggulan / basis (sumber pertumbuhan, memiliki
keunggulan komparatif, dapat memenuhi kebutuhan provinsi bahkan
dapat melakukan ekspor)
b. LQ < 1 = Non unggulan / non basis (kebalikan dari nilai LQ > 1)
c. Tingginya nilai LQ berbanding lurus dengan potensi keunggulan
konteks penelitian.
2. Shift Share
a. Nij positif = kebijakan nasional berpengaruh terhadap pertumbuhan
perkebunan
b. Mij positif = pertumbuhan perkebunan wilayah tergolong cepat
c. Cij positif = perkebunan mempunyai daya saing yang baik
d. Dij positif = secara keseluruhan perkebunan tergolong progresif
(terdapat kontribusi)
Page 65
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif menurut W. Gulö (2000) didasarkan
pada ketidakpuasan bila hanya mengetahui apa masalahnya secara eksploratif
(tidak ada penarikan sampel, hanya seputar “apa”) tetapi ingin mengetahui
juga bagaimana peristiwa itu terjadi.
Dalam W. Gulö (2000) juga diungkapkan bahwa temuan-temuan
dari penelitian deskriptif lebih luas dan lebih terperinci daripada penelitian
eksploratif karena yang diteliti tidak hanya masalahnya sendiri tetapi juga
variabel-variabel lain yang berhubungan dengan masalah itu dan lebih
terperinci karena variabel-variabel diuraikan atas faktor-faktor dan dilakukan
dengan menarik sampel.
Menurut Priyono (2016), penelitian ini bisa juga dikatakan sebagai
kelanjutan dari penelitian eksploratif di mana penelitian ekploratif telah
menyediakan gagasan dasar sehingga penelitian deskriptif mengungkapkan
secara lebih detail. Tujuan dari penelitian ini yaitu menggambarkan
mekanisme sebuah proses dan menciptakan seperangkat kategori atau pola.
Sedangkan pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif. Menurut Sugiyono (2009) penelitian kuantitatif dapat diartikan
sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme yang
Page 66
48
digunakan untuk meneliti pada populasi dan sampel, pengumpulan data
menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif dengan
tujuan untuk menguji hipotesis yang telah diterapkan di mana tujuan
penelitian kuantitatif adalah menunjukkan hubungan antara variabel, menguji
teori dan mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediktif.
Ciri-ciri penelitian menurut Subana & Sudrajat (2005) antara lain
penelitian digunakan untuk menguji teori, meyajikan fakta atau
mendeskripsikan statistik, menjelaskan hubungan antar variabel, bersifat
mengembangkan konsep, menyajikan proposal yang lengkap, rinci, literatur
lengkap dan memiliki hipotesis.
B. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas perkebunan sebagai sub sektor dari
pertanian dengan perannya terhadap perekonomian di Jawa Timur dengan
menggunakan indikator perkebunan yaitu luas areal perkebunan dan produksi
perkebunan serta menggunakan indikator ekonomi yaitu Produk Domestik
Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto.
C. Sampel dan Metode Penentuan Sampel
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah Produk Domestik
Bruto, Produk Domestik Regional Bruto, luas areal dan produksi. Sampel
terbatas pada periode di mana sampel yang di ambil dari tahun 2010-2015
serta terbatas pada wilayah yaitu Jawa Timur dan Indonesia.
Alasan beberapa sampel ini digunakan karena relevan dengan
penelitian yang sedang dikerjakan yaitu perkebunan. Sub sektor dari salah satu
Page 67
49
sektor lapangan usaha yaitu pertanian ini tentu saja tidak bisa lepas dari areal,
tempat bercocok tanam apalagi luasnya areal berpengaruh positif karena
semakin luas areal tersebut dan dimanfaatkan dengan baik maka akan
berpengaruh pada kualitas serta kuantitas hasil produksi perkebunan.
Selain luas areal produksi juga merupakan sampel dalam penelitian
ini. Kualitas dan kuantitas dari produksi akan mempengaruhi perkebunan itu
seperti apa. Semakin baik kuantitas dan kualitas dari produksi perkebunan
maka akan berdampak positif pada kemajuan perkebunan.
Sampel berikutnya adalah Produk Domestik Bruto di mana Produk
Domestik Bruto bertujuan untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Dalam Produk Domestik Bruto dapat dilihat pula pertumbuhan ekonomi suatu
negara berdasarkan lapangan usaha maupun pengeluaran.
Sampel terakhir adalah Produk Domestik Regional Bruto yang
hampir sama dengan Produk Domestik Bruto namun bedanya Produk
Domestik Regional Bruto berfokus pada wilayah di bawah Negara seperti
Kabupaten/Kota atau Provinsi.
Pemilihan sampel pada penelitian ini yaitu dengan cara judgement
sampling atau purposive sampling. Menurut Eriyanto (2007) dalam teknik
penarikan purposive, sampel yang diambil didasarkan pada pertimbangan
tertentu dari peneliti. Sesuai namanya, pemilihan sampel didasarkan pada
alasan atau tujuan tertentu. Dengan demikian, peneliti secara sengaja
mengambil sampel dengan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Page 68
50
D. Data dan Metode Pengumpulan Data
Data-data yang digunakan adalah data sekunder di mana data
sekunder menurut Hamdi&Bahruddin (2014) merupakan data yang diperoleh
dari lembaga yang berpengaruh dengan penelitian, buku pustaka dan
sebagainya seperti studi kepustakaan (library study), pengambilan data dari
lembaga sekitar tempat penelitian dan data-data dari Kabupaten, Kecamatan
dan dinas pendidikan setempat yang mendukung penelitian.
Data sekunder digunakan dalam penelitian ini karena data sekunder
mempunyai daya cakup yang lebih luas di mana daya cakupnya berskala
nasional bahkan internasional dan tidak membuang waktu.
Data-data yang digunakan juga dapat diklarifikasikan sebagai data
panel di mana data panel merupakan gabungan antara data cross-section atau
data silang dengan data time-series atau data runtut waktu.
Dalam penelitian ini digunakan data panel bukan tanpa sebab
melainkan dimaksudkan kombinasi time-series dan cross-section ini dapat
memberikan informasi yang lebih lengkap, lebih beragam, lebih efisien dan
lebih efektif dalam melihat perubahan yang dinamis dan perubahan yang lebih
kompleks.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan mencari sumber data
yang relevan dengan data yang akan digunakan sebagai penelitian. Data-data
Page 69
51
yang ingin diolah bersumber dari Kementerian Pertanian dan Badan Pusat
Statistik.
Dalam penelitian ini dilakukan studi kepustakaan untuk membuat
dasar-dasar teoritis yang kuat dan diperlukan dengan menggunakan buku-buku
dan paling banyak dilakukan studi kepustakaan dengan menggunakan jurnal-
jurnal ilmiah.
E. Metode Analisis Data
Untuk penelitian ini digunakan dua metode analisis data yaitu
location quotient dan shift share. Analisis location quotient digunakan untuk
melihat komoditas-komoditas unggulan dari perkebunan Jawa Timur serta
melihat komoditas paling unggul di Jawa Timur baik dari konteks luas areal
maupun produksi. Selain itu, location quotient digunakan untuk melihat
sektor-sektor unggulan di Jawa Timur.
Analisis shift share digunakan untuk melihat daya saing, pengaruh
kebijakan nasional dan pertumbuhan perkebunan Jawa Timur. Setelahnya
dapat kita lihat bagaimana sub sektor tersebut secara keseluruhan. Penjelasan
lengkap dari kedua analisis tersebut adalah sebagai berikut:
1. Analisis Location Quotient
Menurut Hendayana (2003) berbagai pendekatan dan alat analisis
telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan,
menggunakan beberapa kriteria teknis dan non teknis dalam kerangka
memenuhi aspek penawaran dan permintaan di mana pendekatan memiliki
Page 70
52
kelebihan dan kelemahannya, sehingga dalam memilih metode analisis
untuk menentukan komoditas unggulan ini perlu dilakukan secara hati-hati
dan bijaksana. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
menginisiasi komoditas unggulan adalah metode location quotient (LQ).
Teknik location quotient menurut Hendayana (2003) banyak
digunakan untuk membahas kondisi perekonomian, mengarah pada
identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur konsentrasi
relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penetapan
sektor unggulan sebagai leading sector suatu kegiatan ekonomi (industri).
Dasar pembahasannya sering difokuskan pada aspek tenaga kerja dan
pendapatan. Setiap metode analisis memiliki kelebihan dan kekurangan
begitu pula halnya dengan metode location quotient.
Kelebihan metode location quotient menurut Hendayana (2003)
dalam mengidentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya
sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang
rumit. Penyelesaian analisis cukup dengan spread sheet dari Excel atau
program Lotus, bahkan jika datanya tidak terlalu banyak kalkulator pun
bisa digunakan.
Kekurangan location quotient menurut Hendayana (2003) adalah
karena demikian sederhananya pendekatan location quotient ini, maka
yang dituntut adalah akurasi data. Sebaik apapun hasil olahan location
quotient tidak akan banyak manfaatnya jika data yang digunakan tidak
Page 71
53
valid. Oleh karena itu sebelum memutuskan menggunakan analisis ini
maka validitas data sangat diperlukan. Di samping itu untuk menghindari
bias musiman dan tahunan diperlukan nilai rata-rata dari data series yang
cukup panjang, sebaiknya tidak kurang dari 5 tahun.
Menurut Hendayana (2003), kekurangan lainnya adalah
mengumpulkan data yang panjang ini sering mengalami hambatan.
Keterbatasan lainnya dalam deliniasi wilayah kajian. Untuk menetapkan
batasan wilayah yang dikaji dan ruang lingkup aktivitas, acuannya sering
tidak jelas. Akibatnya hasil hitungan location quotient terkadang aneh,
tidak sama dengan apa yang kita duga. Misalnya suatu wilayah provinsi
yang diduga memiliki keunggulan di sektor non pangan, yang muncul
malah pangan dan sebaliknya. Oleh karena itu data yang dijadikan sumber
bahasan sebelum digunakan perlu diklarifikasi terlebih dahulu dengan
beberapa sumber data lainnya, sehingga mendapatkan gambaran tingkat
konsistensi data yang mantap dan akurat.
Dalam metode ini ada tiga hasil dari pengolahan data itu sendiri
yaitu jika nilai location quotient < 1 di mana sub sektor/komoditas yang
diolah tidak termasuk ke dalam komoditas unggulan. Jika nilai location
quotient = 1 atau bahkan nilai location quotient > 1 maka komoditas
merupakan komoditas unggulan.
Nilai location quotient tidak hanya dilihat dari ketiga kriteria itu
saja tetapi juga dapat dilihat dari besaran angka location quotient itu
Page 72
54
sendiri. Semakin besar nilai location quotient maka semakin unggul pula
suatu komoditas.
Rumus dari location quotient itu sendiri untuk mengetahui
komoditas unggulan adalah:
LQ = 𝒑𝒊/𝒑𝒕
𝑷𝒊/𝑷𝒕
di mana:
pi : luas areal/produksi sektor/sub sektor i provinsi
pt : total luas areal/produksi sektor/sub sektor i provinsi
Pi : luas areal/produksi sektor/sub sektor i nasional
Pt : total luas areal/produksi sektor/sub sektor i nasional
Sedangkan rumus dari location quotient untuk mengetahui sektor
unggulan adalah:
LQ = 𝒑𝒊/𝒑𝒕
𝑷𝒊/𝑷𝒕
di mana:
pi : PDRB sektor/sub sektor i provinsi
pt : PDRB provinsi
Pi : PDB sektor/sub sektor i nasional
Pt : PDB nasional
Page 73
55
Pengolahan data dengan menggunakan metode location quotient
menggunakan Microsoft Office Excel. Cara mengolah data dengan metode
ini yaitu menyisipkan data ke dalam spreadsheet dengan format kolom dan
baris.
Data yang dimasukkan ke dalam spreadsheet yaitu indikator
sektor/sub sektor lapangan usaha yang digunakan pada suatu wilayah yg
diuji serta total indikator tersebut. Kemudian data yang dibutuhkan adalah
indikator sektor/sub sektor lapangan usaha yang digunakan pada suatu
wilayah di atas wilayah yg diuji serta totalnya.
2. Analisis Shift Share
Menurut Arsyad (2010) dalam Zainal Abidin (2015) analisis shift
share bertujuan untuk menentukan kinerja perekonomian daerah dan
menurut Tarigan (2009) dalam Zainal Abidin (2015) analisis shift share
membandingkan perbedaan laju pertumbuhan berbagai sektor (industri) di
daerah dengan nasional.
Dalam analisis shift share menurut Arsyad (2010), Tarigan (2007),
Widodo (2006) dan Puspitawati (2013) dalam Zainal Abidin (2015),
analisis shift share membagi pertumbuhan sebagai perubahan (D) suatu
variabel di wilayah provinsi seperti PDRB, nilai tambah, pendapatan atau
output, selama kurun waktu tertentu menjadi pengaruh-pengaruh:
pertumbuhan nasional (N), pertumbuhan proporsional (M) dan keunggulan
kompetitif (C).
Page 74
56
Pertumbuhan nasional (N) merupakan komponen di mana
komponen ini menggambarkan perubahan output suatu wilayah yang
disebabkan oleh perubahan kebijakan ekonomi secara nasional.
Pertumbuhan proporsional (M) merupakan komponen di mana
komponen ini menggambarkan tingkat pertumbuhan produksi suatu
wilayah lebih cepat atau lebih lambat dari pertumbuhan produksi nasional
dan hal ini dapat terjadi misalnya karena teknologi atau ketersediaan bahan
baku.
Keunggulan kompetitif atau daya saing (C) merupakan komponen
di mana komponen ini menggambarkan daya saing sektor di suatu wilayah
dibandingkan dengan pertumbuhan sektor yang sama di wilayah lain dan
hal ini dapat terjadi karena peningkatan atau penurunan output di suatu
wilayah yang disebabkan oleh keunggulan komparatif. Rumus shift share
adalah sebagai berikut:
Dij = Nij + Mij + Cij
di mana:
Dij = Y*ij - Yij
Nij = Yij. rn
Mij = Yij (rin - rn)
Cij = Yij (rij - rin)
rij = (Y*ij - Yij) / Yij
rin = (Y*in - Yin) / Yin
Page 75
57
rn = (Y*n – Yn) / Yn
Yij dan Y*ij = PDRB sektor/sub sektor i di wilayah provinsi
Yin dan Y*in = PDB sektor/sub sektor i di tingkat nasional
Yn dan Y*n = PDB di tingkat nasional
Sama halnya dengan metode location quotient, perhitungan dan
pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft
Excel. Cara mengolah data dengan metode shift share antara lain dengan
menyisipkan data yang akan digunakan ke dalam spreadsheet dengan
format kolom dan baris.
Data yang disisipkan tentunya adalah indikator ekonomi sektor
lapangan usaha suatu wilayah yang diuji pada tahun dasar dan tahun akhir
analisis, indikator ekonomi sektor lapangan usaha di atas wilayah yang
diuji pada tahun dasar dan tahun akhir analisis serta indikator ekonomi
total wilayah di atas wilayah yang diuji pada tahun dasar dan akhir
analisis.
F. Operasional Variabel Penelitian
Tabel 3.1 Variabel Penelitian
Variabel Wilayah Sumber Metode
Luas Areal Perkebunan Jawa Timur Kementerian Pertanian Location Quotient
Produksi Perkebunan Jawa Timur Kementerian Pertanian Location Quotient
Luas Areal Perkebunan Indonesia Kementerian Pertanian Location Quotient
Produksi Perkebunan Indonesia Kementerian Pertanian Location Quotient
Produk Domestik Regional Bruto
Sektor-Sektor (ADHK) Jawa Timur Badan Pusat Statistik Location Quotient
Produk Domestik Regional Bruto Jawa Timur Badan Pusat Statistik Location Quotient
Page 76
58
(ADHK)
Produk Domestik Bruto Sektor-
Sektor (ADHK) Indonesia Badan Pusat Statistik Location Quotient
Produk Domestik Bruto (ADHK) Indonesia Badan Pusat Statistik Location Quotient
Produk Domestik Regional Bruto
Perkebunan (ADHK) Jawa Timur Badan Pusat Statistik Shift Share
Produk Domestik Bruto
Perkebunan (ADHK) Indonesia Badan Pusat Statistik Shift Share
Produk Domestik Bruto (ADHK) Indonesia Badan Pusat Statistik Shift Share
Semua data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tahun
2010-2015. Tujuan penggunaan luas areal dan produksi adalah untuk melihat
gambaran perkebunan Jawa Timur sedangkan tujuan penggunaan Produk
Domestik Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto adalah untuk melihat
kontribusi perkebunan di Jawa Timur.
Page 77
59
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Profil Jawa Timur
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
berada di pulau Jawa yang terdiri dari 29 Kabupaten. Kabupaten-kabupaten
tersebut antara lain Madiun, Magetan, Pacitan, Ponorogo, Ngawi, Trenggalek,
Tulungagung, Blitar, Nganjuk, Bojonegoro, Tuban, Mojokerto, Kediri,
Jombang, Lamongan, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember,
Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Sidoarjo, Gresik, Bangkalan, Sampan,
Pamekasan dan Sumenep.
Provinsi Jawa Timur terdiri dari 9 Kota diantaranya Madiun,
Blitar, Mojokerto, Kediri, Malang, Batu, Pasuruan, Probolinggo dan Surabaya.
Jawa Timur memiliki luas wilayah 47799,75 km2.
Tabel 4.1. Luas Wilayah Jawa Timur Menurut Kabupaten/Kota 2015
Kabupaten/Kota Luas(km2) Persentase
Kabupaten/Regency
1. Pacitan 1389.92 2.91
2. Ponorogo 1305.7 2.73
3. Trenggalek 1147.22 2.4
4. Tulungagung 1055.65 2.21
5. Blitar 1336.48 2.8
6. Kediri 1386.05 2.9
7. Malang 3530.65 7.39
8. Lumajang 1790.9 3.75
9. Jember 3092.34 6.47
10. Banyuwangi 5782.4 12.1
11. Bondowoso 1525.97 3.19
12. Situbondo 1669.87 3.49
Page 78
60
13. Probolinggo 1696.21 3.55
14. Pasuruan 1474.02 3.08
15. Sidoarjo 634.38 1.33
16. Mojokerto 717.83 1.5
17. Jombang 1115.09 2.33
18. Nganjuk 1224.25 2.56
19. Madiun 1037.58 2.17
20. Magetan 688.84 1.44
21. Ngawi 1295.98 2.71
22. Bojonegoro 2198.79 4.6
23. Tuban 1834.15 3.84
24. Lamongan 1782.05 3.73
25. Gresik 1191.25 2.49
26. Bangkalan 1001.44 2.1
27. Sampang 1233.08 2.58
28. Pamekasan 792.24 1.66
29. Sumenep 1998.54 4.18
Kota/Municipality
1. Kediri 63.4 0.13
2. Blitar 32.57 0.07
3. Malang 145.28 0.3
4. Probolinggo 56.67 0.12
5. Pasuruan 35.29 0.07
6. Mojokerto 16.47 0.03
7. Madiun 33.92 0.07
8. Surabaya 350.54 0.73
9. Batu 136.74 0.29
Jawa Timur 47799.75 100
Sumber: Badan Pusat Statistik 2015
Provinsi Jawa Timur mempunyai kepadatan penduduk di Jawa
Timur pada tahun 2015 yaitu 813 jiwa/km2 dengan jumlah penduduk sebanyak
38 juta jiwa.
Page 79
61
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Jawa Timur 2015
Kelompok Umur Jenis Kelamin
Laki-Laki Perempuan Jumlah
0‒4 1493678 1436212 2929890
5‒9 1553737 1479468 3033205
10‒14 1556318 1490163 3046481
15‒19 1577605 1516423 3094028
20‒24 1492757 1484485 2977242
25‒29 1416020 1447582 2863602
30‒34 1434519 1504960 2939479
35‒39 1465804 1530977 2996781
40‒44 1457061 1513488 2970549
45‒49 1387973 1463304 2851277
50‒54 1237112 1312159 2549271
55‒59 1047331 1065029 2112360
60‒64 790742 791423 1582165
65+ 1261953 1639278 2901231
Jumlah 19172610 19674951 38847561
Sumber: Badan Pusat Statistik 2015
Dari segi indikator ekonomi yaitu PDRB, di Jawa Timur industri
merupakan lapangan usaha dengan kontribusi terbesar. Perdagangan
menyumbang kontribusi terbesar kedua sedangkan pertanian menyumbang
kontribusi terbesar ketiga.
Tabel 4.3 PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan Tahun Dasar
2010 Menurut Lapangan Usaha 2010-2015 (Milyar Rupiah)
Kategori PDRB 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 133504.56 138870.09 146002.57 150463.72 155783.96 160907.33
Pertambangan dan Penggalian 54020.53 58140.33 58287.95 59049.99 60862.35 65707.01
Industri Pengolahan 292708.39 306072.36 326681.77 345794.56 372316.29 393272.95
Pengadaan Listrik dan Gas 4491.98 4404.97 4259.04 4380.34 4545.12 4455.27
Page 80
62
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang 1075.88 1171.31 1182.01 1231.05 1234.13 1299.27
Konstruksi 89693.03 95157.73 102250.92 110485.45 116498.23 120688.27
Perdagangan Besar dan Eceran;
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 174755.5 190771.67 206433.67 219246.07 230225.81 243014.66
Transportasi dan Pergudangan 27082.43 29399.87 31528.72 34241.21 36461.76 38896.63
Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum 47096.42 51667.02 54601.23 57684.94 62807.8 67657.04
Informasi dan Komunikasi 47548.21 51881.62 58299.18 65313.95 69155.1 73639.96
Jasa Keuangan dan Asuransi 22070.51 24088.32 26668.02 30348.35 32399.64 34730.26
Real Estate 16306.3 17737.71 19153.83 20565.06 21998.29 23092.64
Jasa Perusahaan 7774.01 8156.66 8416.88 9044.15 9815 10349.05
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib 26534.09 27823.81 28210.09 28564.75 28729.58 30236.25
Jasa Pendidikan 24944.81 26494.05 28789.37 31265.46 33164.9 35330.67
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 5408.94 6353.04 7033.06 7592.82 8212.85 8743.34
Jasa lainnya 15633.25 16211.2 16666.33 17517.93 18473.7 19374.39
PDRB 990648.8 1054401.8 1124464.6 1192790 1262685 1331395
Sumber: Badan Pusat Statistik
B. Gambaran Perkebunan Jawa Timur; Konteks Luas Areal dan Tingkat
Produksi
Untuk melihat keadaan perkebunan di Jawa Timur; komoditas
unggulan dan non unggulan di Jawa Timur maka digunakan metode analisis
location quotient dalam penelitian ini dengan menggunakan variabel luas areal
beserta tingkat produksi perkebunan.
Selain melihat komoditas unggulan serta non unggulan, dalam
penelitian ini juga menggunakan location quotient dalam menentukan
komoditas paling unggul serta paling non unggul dalam perkebunan Jawa
Timur.
Page 81
63
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Location Quotient Perkebunan Jawa Timur
2010-2015
Komoditas Luas Areal Tingkat Produksi
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Cengkeh 1.24 1.22 1.26 1.28 1.2 1.18 0.74 0.64 0.62 0.62 0.49 0.44
Jambu Mete 1.17 1.2 1.22 1.29 1.25 1.29 0.65 0.73 0.66 0.69 0.6 0.61
Kakao 0.51 0.54 0.47 0.51 0.4 0.44 0.2 0.23 0.23 0.27 0.21 0.23
Kapas 2.32 2.23 0.87 1.03 1.25 0.9 0.85 0.59 0.41 0.38 0.71 0.61
Karet 0.1 0.1 0.1 0.1 0.09 0.1 0.06 0.06 0.05 0.05 0.05 0.05
Kelapa 1.09 1.06 1.04 1.1 1.08 1.11 0.58 0.57 0.53 0.56 0.52 0.55
Kopi 1.09 1.08 1.08 1.13 1.13 1.18 0.58 0.4 0.48 0.53 0.56 0.64
Lada 0.08 0.08 0.07 0.07 0.07 0.07 0 0.03 0.7 0.02 0.02 0.02
Tebu 6.12 5.73 5.77 6.15 6.24 6.32 3.15 3.13 2.92 3.07 3.01 2.98
Teh 0.28 0.27 0.27 0.27 0.46 0.48 0.19 0.19 0.17 0.16 0.27 0.32
Tembakau 7.02 7.69 7.53 6.79 7.52 7.24 2.78 3.61 3.17 2.85 3.36 3.18
Pala 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0 0 0 0
Nilam 0 3.17 2.87 3.13 3.27 3.73 0 1.62 1.62 0.61 0.44 0.34
Dari hasil analisis location quotient di atas kita dapat melihat
gambaran perkebunan Jawa Timur dalam konteks luas areal dan tingkat
produksi komoditas-komoditas perkebunan.
Cengkeh, jambu mete, kelapa dan kopi merupakan komoditas
perkebunan di mana dalam analisis LQ konteks luas areal mempunyai nilai
LQ >1 yang berarti bahwa komoditas-komoditas tersebut dalam konteks luas
areal merupakan komoditas unggulan (sumber pertumbuhan, memiliki
keunggulan komparatif, dapat memenuhi kebutuhan provinsi bahkan dapat
diekspor).
Namun kebalikannya pada hasil analisis LQ dalam konteks tingkat
produksi di mana cengkeh, jambu mete, kelapa dan kopi tersebut mempunyai
Page 82
64
nilai LQ < 1 yang berarti bahwa komoditas-komoditas tersebut merupakan
komoditas non unggulan (bukan sumber pertumbuhan ekonomi, tidak
memiliki keunggulan komparatif, tidak dapat memenuhi kebutuhan wilayah
yang memungkinkan diperlukannya impor).
Cengkeh, jambu mete, kelapa dan kopi dalam hasil analisis LQ
menjadi komoditas unggulan pada luas areal namun tidak menjadi komoditas
unggulan pada tingkat produksi dikarenakan luas areal yang luas tetapi tidak
dimanfaatkan dengan baik sehingga tingkat produksinya rendah bahkan jauh
lebih rendah dari luas areal komoditas-komoditas tersebut. Hal ini dapat
dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Perkebunan Cengkeh, Jambu Mete, Kelapa dan Kopi Menurut
Luas Areal dan Tingkat Produksi di Jawa Timur 2010-2015 (dalam ha
dan ton)
Tahun
Cengkeh Jambu Mete Kelapa Kopi
Luas
Areal
Tingkat
Produksi
Luas
Areal
Tingkat
Produksi
Luas
Areal
Tingkat
Produksi
Luas
Areal
Tingkat
Produksi
2010 41964 10213 48284 10492 293750 257890 95266 56200
2011 43876 6807 51234 12361 297206 268328 99122 37396
2012 46902 10164 52903 12599 297631 277120 100845 54189
2013 47065 10784 52243 12645 295363 269275 102657 56986
2014 45085 9804 48626 12849 287334 252672 102213 58135
2015 45474 9879 48316 13555 286423 259502 103809 65961
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
Kapas merupakan komoditas perkebunan di mana dalam analisis
LQ konteks luas areal mempunyai nilai LQ < 1 pada tahun 2012 dan 2015
yang berarti bahwa kapas pada tahun 2012 dan 2015 merupakan komoditas
Page 83
65
non unggulan (bukan sumber pertumbuhan ekonomi, tidak memiliki
keunggulan komparatif, tidak dapat memenuhi kebutuhan wilayah yang
memungkinkan diperlukannya impor).
Namun pada tahun 2010, 2011 dan 2013 kapas mempunyai nilai
LQ > 1 yang berarti bahwa kapas dalam konteks luas areal merupakan
komoditas unggulan (sumber pertumbuhan, memiliki keunggulan komparatif,
dapat memenuhi kebutuhan provinsi bahkan dapat diekspor). Hal ini mungkin
dikarenakan luas areal kapas menurun drastis pada tahun 2012, 2014 dan
2015. Namun LQ bernilai > 1 pada tahun 2014 karena pada tahun 2014 luas
areal Indonesia juga menurun drastis pada 2014. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 4.6
Tabel 4.6 Perkebunan Kapas Menurut Luas Areal 2010-2015 (dalam ha)
Tahun Kapas
Jawa Timur Indonesia
2010 1705 10194
2011 1702 10238
2012 632 9565
2013 659 8738
2014 336 3670
2015 394 6118
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
Sedangkan dalam konteks tingkat produksi, kapas mempunyai nilai
LQ < 1 dari tahun 2010-2015 yang berarti bahwa kapas merupakan komoditas
non unggulan (bukan sumber pertumbuhan ekonomi, tidak memiliki
Page 84
66
keunggulan komparatif, tidak dapat memenuhi kebutuhan wilayah yang
memungkinkan diperlukannya impor).
Kapas dalam hasil analisis LQ menjadi komoditas non unggulan
pada konteks tingkat produksi dikarenakan kapas mempunyai tingkat produksi
yang rendah dan jauh lebih rendah ketimbang luas areal. Seharusnya jika luas
areal kapas dapat dimanfaatkan dengan baik maka tingkat produksi kapas
tidaklah rendah. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7 Perkebunan Kapas Jawa Timur Menurut Luas Areal dan
Tingkat Produksi 2010-2015 (dalam ha dan ton)
Tahun Luas Areal Tingkat Produksi
2010 1705 376
2011 1702 200
2012 632 198
2013 659 113
2014 336 88
2015 394 75
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
Nilam merupakan komoditas perkebunan di mana dalam analisis
LQ konteks luas areal mempunyai nilai LQ < 1 pada tahun 2010 yang berarti
bahwa nilam pada tahun 2010 merupakan komoditas non unggulan (bukan
sumber pertumbuhan ekonomi, tidak memiliki keunggulan komparatif, tidak
dapat memenuhi kebutuhan wilayah yang memungkinkan diperlukannya
impor).
Namun pada tahun 2011-2015 nilam mempunyai nilai LQ > 1 yang
berarti bahwa nilam pada tahun 2011-2015 dalam konteks luas areal
Page 85
67
merupakan komoditas unggulan (sumber pertumbuhan, memiliki keunggulan
komparatif, dapat memenuhi kebutuhan provinsi bahkan dapat diekspor). Hal
ini dikarenakan luas areal nilam 0 pada tahun 2010. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 4.8.
Sedangkan pada konteks tingkat produksi nilam memiliki nilai LQ
> 1 hanya pada tahun 2011 dan 2012 yang berarti bahwa nilam menjadi
komoditas unggulan (sumber pertumbuhan, memiliki keunggulan komparatif,
dapat memenuhi kebutuhan provinsi bahkan dapat diekspor) hanya pada tahun
2011 dan 2012. Ini dikarenakan pada tahun 2010 nilam memiliki tingkat
produksi 0 (sama dengan luas areal nilam) dan mulai pada tahun 2013 tingkat
produksi nilam menurun drastis. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8 Perkebunan Nilam Jawa Timur Menurut Luas Areal dan
Tingkat Produksi 2010-2015 (dalam ha dan ton)
Tahun Luas Areal Tingkat Produksi
2010 0 0
2011 6742 687
2012 6757 706
2013 6460 200
2014 4968 151
2015 4978 110
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
Kakao, karet, lada, pala dan teh merupakan komoditas yang
mempunyai nilai LQ < 1 baik pada konteks luas areal maupun tingkat
produksi yang berarti bahwa komoditas-komoditas tersebut merupakan
komoditas non unggulan baik pada konteks luas areal maupun tingkat
Page 86
68
produksi (bukan sumber pertumbuhan ekonomi, tidak memiliki keunggulan
komparatif, tidak dapat memenuhi kebutuhan wilayah yang memungkinkan
diperlukannya impor).
Kakao, karet, lada, pala dan teh dalam hasil analisis LQ menjadi
komoditas non unggulan baik dalam luas areal maupun tingkat produksi
dikarenakan besar luas areal beserta tingkat produksi antara komoditas-
komoditas tersebut di Jawa Timur sangat rendah serta bila dibandingkan
antara luas areal serta tingkat produksi dari komoditas-komoditas tersebut di
Jawa Timur terhadap perkebunan komoditas-komoditas tersebut di Indonesia
terbilang kecil. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.9.
Tabel 4.9 Perkebunan Kakao, Karet, Lada, Pala dan Teh Menurut Luas
Areal dan Tingkat Produksi 2010-2015 (dalam ha dan ton)
Komoditas Konteks Wilayah 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Kakao
Luas
Areal
Jawa
Timur 60057 69191 63040 65432 51072 54211
Indonesia 1650621 1732641 1774463 1740612 1727437 1709284
Tingkat
Produksi
Jawa
Timur 24199 24788 28575 30364 24871 24803
Indonesia 837918 712231 740513 720862 728414 656817
Karet
Luas
Areal
Jawa
Timur 25699 25983 25993 26060 25126 25562
Indonesia 3445415 3456128 3506201 3555946 3606245 3621102
Tingkat
Produksi
Jawa
Timur 23577 26754 26816 24904 24957 25918
Indonesia 2734854 2990184 3012254 3237433 3153186 3145398
Lada
Luas
Areal
Jawa
Timur 1016 1021 1006 896 838 834
Indonesia 179318 177490 177787 171920 152751 167590
Tingkat
Produksi
Jawa
Timur 0 400 10164 298 296 309
Indonesia 83662 87089 87841 91037 87448 81501
Teh Luas
Areal
Jawa
Timur 2453 2455 2455 2455 4008 4001
Page 87
69
Indonesia 122898 123938 122206 122035 118899 117268
Tingkat
Produksi
Jawa
Timur 4169 4135 3958 3771 6879 6902
Indonesia 156604 150776 145575 145460 154460 132615
Pala
Luas
Areal
Jawa
Timur 34 34 34 34 32 32
Indonesia 118345 122396 134709 140424 158326 168904
Tingkat
Produksi
Jawa
Timur 7 19 18 7 7 8
Indonesia 15793 22252 25321 28167 32729 33711
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
Tebu dan tembakau merupakan komoditas yang mempunyai nilai
LQ > 1 baik pada konteks luas areal maupun tingkat produksi yang berarti
bahwa kedua komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan baik pada
konteks luas areal maupun tingkat produksi (sumber pertumbuhan, memiliki
keunggulan komparatif, dapat memenuhi kebutuhan provinsi bahkan dapat
diekspor).
Tebu dan tembakau dalam hasil analisis LQ menjadi komoditas
unggulan baik dalam luas areal maupun tingkat produksi dikarenakan luas
areal dari kedua komoditas tersebut begitu luas dan tingkat produksi kedua
komoditas tersebut tinggi serta bila dibandingkan antara luas areal serta
tingkat produksi dari komoditas-komoditas tersebut di Jawa Timur terhadap
perkebunan komoditas-komoditas tersebut di Indonesia terbilang besar. Hal
ini dapat dilihat pada tabel 4.10.
Page 88
70
Tabel 4.10 Perkebunan Tebu dan Tembakau Menurut Luas Areal dan
Tingkat Produksi 2010-2015 (dalam ha dan ton)
Tahun
Luas Areal Tingkat Produksi
Tebu Tembakau Tebu Tembakau
Jawa
Timur Indonesia
Jawa
Timur Indonesia
Jawa
Timur Indonesia
Jawa
Timur Indonesia
2010 200131 454111 109426 216271 1017003 2290116 53228 135678
2011 192587 451788 130824 228770 1051872 2267887 114816 214524
2012 196391 451255 153561 270290 1241799 2591687 135747 260818
2013 211454 469228 95818 192809 1236824 2551024 73998 164448
2014 219111 478108 119206 215865 1260632 2579173 108137 198301
2015 201937 445520 108524 209095 1207333 2497997 99743 193790
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
Tembakau merupakan komoditas dengan nilai LQ tertinggi baik
pada konteks luas areal maupun tingkat produksi yang berarti bahwa
tembakau merupakan komoditas paling unggul pada konteks luas areal
maupun tingkat produksi.
Hal ini dikarenakan perkebunan tembakau Jawa Timur memiliki
areal yang sangat luas dan tingkat produksi yang tinggi serta kontribusi luas
areal serta tingkat produksi perkebunan tembakau Jawa Timur terhadap
perkebunan tembakau Indonesia terbilang besar.
Berbeda halnya dengan tembakau, pala merupakan komoditas
dengan nilai LQ terendah baik pada konteks luas areal maupun tingkat
produksi yang berarti bahwa pala merupakan komoditas paling tidak unggul
pada konteks luas areal maupun tingkat produksi.
Page 89
71
Hal ini dikarenakan perkebunan pala Jawa Timur memiliki areal
yang sangat sempit dan tingkat produksi yang rendah serta kontribusi luas
areal serta tingkat produksi perkebunan pala Jawa Timur terhadap perkebunan
pala Indonesia terbilang sangat kecil. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.11.
Tabel 4.11 Perkebunan Tembakau dan Pala Menurut Luas Areal,
Tingkat Produksi dan Persentase Kontribusi Terhadap Perkebunan
Indonesia (dalam ha dan ton)
Tahun
Tembakau Pala
Luas
Areal Kontribusi
Tingkat
Produksi Kontribusi
Luas
Areal Kontribusi
Tingkat
Produksi Kontribusi
2010 109426 51% 53228 39% 0 0% 7 0%
2011 130824 57% 114816 54% 34 0% 19 0%
2012 153561 57% 135747 52% 34 0% 18 0%
2013 95818 50% 73998 45% 34 0% 7 0%
2014 119206 55% 108137 55% 32 0% 7 0%
2015 108524 52% 99743 51% 32 0% 8 0%
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
C. Kontribusi Perkebunan Terhadap Perekonomian Jawa Timur
Kita dapat menggunakan alat analisis location quotient untuk
melihat sektor-sektor unggulan di suatu wilayah. Untuk analisis data dengan
menggunakan location quotient dalam penelitian ini digunakan variabel
PDRB sektor-sektor atau lapangan usaha beserta totalnya di Jawa Timur serta
PDB sektor-sektor atau lapangan usaha beserta totalnya di Indonesia dengan
PDB dan PDRB yang digunakan atas dasar harga konstan 2010. Tujuan
analisis ini adalah untuk melihat apakah perkebunan merupakan sub sektor
Page 90
72
unggulan dan membandingkannya dengan sektor-sektor lainnya atau
lapangan usaha yang ada di Jawa Timur.
Tabel 4.12 Hasil Perhitungan Location Quotient Perkebunan dan
Lapangan Usaha Lainnya di Jawa Timur 2010-2015
Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
Sub sektor - Perkebunan
0.967
0.537
0.965
0.543
0.965
0.535
0.949
0.511
0.936
0.502
0.926
0.496
Pertambangan dan Penggalian 0.521 0.537 0.519 0.51 0.52 0.578
Industri Pengolahan 1.341 1.316 1.322 1.334 1.362 1.372
Pengadaan Listrik dan Gas 0.429 0.397 0.347 0.337 0.328 0.317
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang 1.275 1.322 1.283 1.287 1.216 1.19
Konstruksi 0.991 0.962 0.965 0.978 0.956 0.926
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor 1.311 1.301 1.328 1.339 1.326 1.358
Transportasi dan Pergudangan 0.765 0.765 0.761 0.769 0.756 0.752
Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum 1.629 1.669 1.644 1.618 1.652 1.697
Informasi dan Komunikasi 1.287 1.273 1.267 1.279 1.22 1.178
Jasa Keuangan dan Asuransi 0.638 0.649 0.652 0.679 0.687 0.675
Real Estate 0.57 0.574 0.574 0.576 0.582 0.584
Jasa Perusahaan 0.544 0.521 0.497 0.493 0.483 0.471
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib 0.708 0.696 0.687 0.675 0.658 0.658
Jasa Pendidikan 0.858 0.852 0.85 0.855 0.853 0.842
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 0.564 0.605 0.617 0.614 0.61 0.605
Jasa lainnya 1.072 1.024 1 1 1 1
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat 5 lapangan usaha
yang merupakan sektor unggulan di Jawa Timur dari tahun 2010-2015 yaitu
industri pengolahan; pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur
ulang; perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor;
Page 91
73
penyediaan akomodasi dan makan minum; informasi dan komunikasi; dan
jasa lainnya. Sektor-sektor selebihnya merupakan sektor non unggulan.
Ini artinya bahwa 5 sektor unggulan di Jawa Timur merupakan
sumber pertumbuhan ekonomi, memiliki keunggulan komparatif, dapat
memenuhi kebutuhan provinsi serta dapat melakukan ekspor sedangkan 12
sektor non unggulan di Jawa Timur tidak.
Industri pengolahan merupakan sektor paling unggul di Jawa
Timur dari tahun 2010-2015. Hal ini dapat dikarenakan PDRB industri
pengolahan merupakan PDRB tertinggi di Jawa Timur. Pengadaan listrik dan
gas merupakan sektor paling non unggul di Jawa Timur dari tahun 2010-
2015. Hal ini dapat dikarenakan PDRB pengadaan listrik dan gas merupakan
PDRB terendah di Jawa Timur.
Perkebunan merupakan sub sektor non unggulan di Jawa Timur
dari tahun 2010-2015. Hal ini berarti bahwa perkebunan bukan merupakan
sumber pertumbuhan ekonomi, tidak memiliki keunggulan komparatif, tidak
dapat memenuhi kebutuhan provinsi serta sulit untuk melakukan ekspor.
Untuk analisis dengan menggunakan shift share digunakan
variabel PDRB sub sektor perkebunan Jawa Timur, PDB sub sektor
perkebunan se-Indonesia beserta PDB secara keseluruhan se-Indonesia atas
dasar harga konstan tahun dasar 2010. Tujuannya adalah untuk melihat daya
saing, pertumbuhan proporsional, pengaruh kebijakan nasional serta
pergeseran bersih perkebunan Jawa Timur.
Page 92
74
Tabel 4.13 Hasil Perhitungan Shift Share Perkebunan Jawa Timur 2010-
2015
Tahun
Proportional Shift
Mij
Differential Shift
Cij
Regional Share
Nij
Pergeseran Bersih
Dij
2010-2011 -254.97 308.58 1282.39 1336
2011-2012 202.93 -205.83 1333.91 1331
2012-2013 139.04 -1016.33 1303.29 426
2013-2014 222.07 -230.56 1195.49 1187
2014-2015 -728.88 -179.30 1222.23 314.05
Untuk komponen proportional shift dari tahun 2010-2011 dan
tahun 2014-2015 bernilai negatif sedangkan tahun 2011-2012, 2012-2013 dan
2013-2014 bernilai positif. Artinya, pada tahun 2010-2011 dan 2014-2015
pertumbuhan proporsional perkebunan Jawa Timur terbilang lambat
sedangkan pada tahun 2011-2012, 2012-2013 dan 2013-2014 pertumbuhan
proporsional perkebunan Jawa Timur terbilang cepat.
Untuk komponen differential shift atau daya saing, hanya pada
tahun 2010-2011 yang bernilai positif, tahun selebihnya tidak. Artinya, hanya
pada tahun 2010-2011 perkebunan Jawa Timur memiliki daya saing atau
keunggulan kompetitif yang baik.
Untuk komponen regional share atau pengaruh kebijakan nasional,
baik pada tahun 2010-2011, 2011-2012, 2012-2013, 2013-2014 dan 2014-
2015 menghasilkan hasil yang sama yaitu positif di mana artinya bahwa
kebijakan nasional berpengaruh terhadap perkebunan Jawa Timur.
Sub sektor perkebunan secara keseluruhan dapat kita lihat pada
keseluruhan jumlah ketiga komponen di atas yaitu Dij atau pergeseran bersih.
Page 93
75
Dapat dilihat bahwa pergeseran bersih atau Dij bernilai positif pada semua
tahun. Artinya bahwa pada tahun 2010-2015, perkebunan Jawa Timur secara
keseluruhan merupakan sub sektor yang tergolong progresif atau perkebunan
Jawa Timur secara positif berkontribusi dalam perekonomian daerah Jawa
Timur.
D. Kebijakan Pemerintah Daerah
1. Kebijakan Pembangunan Perkebunan di Jawa Timur
Dalam Renstra Dinas Perkebunan Jawa Timur berpijak pada
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Timur
Tahun 2005 - 2025 kebijakan-kebijakan pembangunan perkebunan di Jawa
Timur adalah sebagai berikut:
a. Kebijakan Umum
Memberdayakan di hulu dan memperkuat di hilir guna
menciptakan nilai tambah dan daya saing usaha perkebunan melalui
pemberian insentif, penciptaan iklim usaha yang kondusif dan
meningkatkan partisipasi masyarakat perkebunan serta penerapan
organisasi modern yang berlandaskan kepada penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
b. Kebijakan Peningkatan Produksi dan Produktivitas
1) Dilakukan terhadap komoditi perkebunan secara umum dengan
prioritas pada komoditi tebu, kopi, kakao, tembakau, cengkeh,
kelapa, jambu mete, tetapi tetap memperhatikan komoditi lain yang
Page 94
76
berkembang di Jawa Timur, baik komoditi unggulan lainnya
maupun komoditi minor dan spesifik lokasi
2) Upaya peningkatan produksi, dilakukan melalui pelestarian
terhadap existing areal perkebunan; dan pengembangan areal baru
pada lahan yang belum termanfaatkan secara optimal, lahan-lahan
pekarangan, lahan tidur dan lahan marginal; serta peningkatan
produktivitas kebun.
3) Peningkatan produktivitas, yakni produksi yang dihasilkan per
satuan luas (kg/ha), dilakukan melalui intensifikasi, rehabilitasi dan
diversifikasi.
4) Menerapkan paket teknologi budidaya tanaman perkebunan
melalui intensifikasi, rehabilitasi, ekstensifikasi dan diversifikasi;
5) Pengembangan kebun demplot sebagai media percontohan bagi
petani dengan penerapan teknologi budidaya yang baik dan sesuai
anjuran teknis
6) Fasilitasi terhadap kebutuhan sarana dan prasarana produksi
7) Penyiapan benih/bibit unggul dan bermutu, melalui kegiatan
pembenihan dan pembibitan serta penggunaan benih/bibit
bersertifikat
8) Memperkecil kehilangan produksi akibat gangguan usaha,
utamanya serangan hama penyakit, anomali iklim, melalui upaya
pengendalian hama penyakit, informasi prakiraan cuaca dan
teknologi budidaya pada keadaan cuaca basah dan kering.
Page 95
77
9) Mendorong pengembangan komoditas unggulan nasional dan
regional Jawa Timur sesuai dengan peluang pasar, karakteristik
dan potensi wilayah dengan penerapan teknologi budidaya yang
baik dan benar;
10) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, seperti lahan
pekarangan, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan, dengan
pengembangan cabang usaha tani lain yang sesuai;
11) Memfasilitasi pengembangan usaha budidaya tanaman perkebunan
untuk mendukung penumbuhan sentra-sentra kegiatan ekonomi di
daerah;
12) Penerapan sistem pertanian konservasi pada wilayah-wilayah
perkebunan sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air;
13) Meningkatkan penerapan teknologi pemanfaatan limbah usaha
perkebunan yang ramah lingkungan
c. Kebijakan Peningkatan Mutu Produk Perkebunan untuk Meningkatkan
Nilai Tambah
1) Peningkatan mutu produk, melalui penerapan teknologi budidaya
yang baik dan penanganan pasca panen (GAP dan GHP)
2) Fasilitasi sarana dan prasarana pasca panen dan pengolahan hasil
perkebunan
3) Fasilitasi terhadap terbentuknya perlindungan kawasan komoditi
yang memiliki kekhasan tertentu, untuk mendapatkan sertifikat
indikasi geografis (IG)
Page 96
78
4) Fasilitasi, advokasi dan bimbingan memperoleh kemudahan akses
penanganan pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan;
5) Mengembangkan sistem pelayanan prima, jaminan kepastian dan
keamanan berusaha;
6) Mendorong pengembangan aneka produk (products development)
perkebunan dan upaya peningkatan mutu untuk memperoleh nilai
tambah;
d. Kebijakan Peningkatan Pemberdayaan Kelembagaan Petani
Perkebunan
1) Meningkatkan kemampuan dan kemandirian petani untuk
mengoptimalkan usaha secara berkelanjutan;
2) Memfasilitasi dan mendorong kemampuan petani untuk dapat
mengakses berbagai peluang usaha dan sumberdaya dalam
memperkuat dan mempertangguh usaha taninya;
3) Menumbuhkan kebersamaan dan mengembangkan kemampuan
petani dalam mengelola kelembagaan petani dan kelembagaan
usaha serta menjalin kemitraan.
4) Mengembangkan sistem informasi, mencakup kemampuan
memperoleh dan menyebarluaskan informasi mengenai peluang
usaha perkebunan untuk mendorong dan menumbuhkan minat
petani dan masyarakat;
5) Mengembangkan sistem pelayanan prima, jaminan kepastian dan
keamanan berusaha;
Page 97
79
6) Memfasilitasi peningkatan kemampuan dan kemandirian
kelembagaan petani untuk menjalin kerjasama usaha dengan mitra
terkait;
7) Mendorong terbentuknya kelembagaan komoditas perkebunan
yang tumbuh dari bawah;
8) Mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, saling
menghargai, saling bertanggung jawab, saling memperkuat dan
saling ketergantungan antara petani, pengusaha, karyawan dan
masyarakat sekitar perkebunan.
2. Pengaruh Kebijakan Terhadap Perkebunan
Pengaruh dari kebijakan Pemerintah Daerah terhadap perkebunan
dapat dilihat dari pencapaian target yaitu meningkatnya produksi,
meningkatnya produktivitas serta meningkatnya kesejahteraan petani.
Dilihat dari produksi dan produktivitas, perkebunan Jawa Timur dari
2010-2015 terkadang naik dan terkadang turun. Artinya, perkebunan tidak
mengalami peningkatan-peningkatan dari tahun ke tahun yang signifikan.
Hal ini dapat dilihat dalam tabel 4.14.
Tabel 4.14 Produksi dan Produktivitas Perkebunan Jawa Timur
2010-2015
Komoditas Produksi (Ton) Produktivitas (Kg/Ha)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Cengkeh 10213 6807 10164 10784 9804 9879 367 252 344 417 1282 392
Jambu Mete 10492 12361 12599 12645 12849 13555 692 725 701 625 706 665
Kakao 24199 24788 28575 30364 24871 24803 884 841 885 891 854 457
Page 98
80
Kapas 376 200 198 113 88 75 221 168 318 171 262 214
Karet 23577 26754 26816 24904 24957 25918 1407 1474 1474 1563 1571 1558
Kelapa 257890 268328 277120 269275 252672 259502 3168 3683 3695 1410 1377 1355
Kopi 56200 37396 54189 56986 58135 65961 798 547 756 759 754 836
Lada 0 400 10164 298 296 309 743 755 729 626 634 584
Tebu 1017003 1051872 1241799 1236824 1260632 1207333 5248 5462 6323 5851 5753 5979
Teh 4169 4135 3958 3771 6879 6902 1817 1801 1716 1718 1835 1841
Tembakau 53228 114816 135747 73998 108137 99743 690 878 938 887 911 927
Pala 7 19 18 7 7 8 320 860 860 7000 800 950
Nilam 0 687 706 200 151 110 0 0 116 0 136 101
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
Terakhir, pengaruh kebijakan dapat dilihat dari kesejahteraan
petani. Menurut Badan Pusat Statistik, indikator proxy kesejahteraan
petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan perbandingan
antara indeks harga yg diterima petani (It) dengan indeks harga yg dibayar
petani (Ib). Bila NTP > 100 berarti petani mengalami surplus, NTP = 100,
berarti petani mengalami impas dan NTP < 100, berarti petani mengalami
defisit.
Tabel 4.15 Nilai Tukar Petani Sub Sektor Perkebunan Jawa Timur
2010-2015
Tahun NTP
2010 92.51
2011 95.68
2012 96.61
2013 94.30
2014 103.61
2015 101.28
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Page 99
81
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari tahun 2010-2013 NTP
perkebunan Jawa Timur kurang dari 100 yang artinya petani mengalami
defisit (kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan
kenaikan harga barang konsumsinya, pendapatan petani turun/lebih kecil
dari pengeluarannya). Sedangkan pada tahun 2014 dan 2015 NTP
perkebunan Jawa Timur lebih dari 100 yang artinya petani mengalami
surplus (harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya,
pndapatan petani naik/lebih besar dari pengeluarannya).
Dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa
kebijakan hanya berpengaruh kepada kesejahteraan petani pada tahun
2014 dan 2015 sedangkan dalam pengaruhnya terhadap indikator
perkebunan (produksi dan produktivitas), kebijakan belum berpengaruh
dengan baik.
Dilihat dari hasil analisis LQ di mana tebu dan tembakau
merupakan komoditas unggulan baik dalam konteks luas areal maupun
konteks tingkat produksi, hendaknya kebijakan-kebijakan diarahkan untuk
kedua komoditas tersebut agar kuantitas produksi dapat terus meningkat serta
didukung oleh kualitas yang mumpuni. Peningkatan kualitas serta kuantitas
ini dapat menjadikan perkebunan Jawa Timur menjadi sub sektor unggulan di
mana hal ini akan membawa perkebunan Jawa Timur menguasai persaingan
pasar domestik bahkan internasional.
Page 100
82
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi sub sektor
perkebunan terhadap perekonomian daerah di mana daerah yang diteliti adalah
Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010-2015. Berdasarkan pengujian yang
telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Perkebunan Jawa Timur mempunyai dua komoditas unggulan baik dalam
konteks luas areal maupun produksi yaitu tebu dan tembakau. Tembakau
merupakan komoditas paling unggul sedangkan pala merupakan
komoditas paling tidak unggul.
2. Walaupun perkebunan merupakan sub sektor non unggulan di Jawa Timur,
memiliki pertumbuhan proporsional yang lambat tahun 2010-2011 dan
2014-2015 serta daya saing yang tidak baik pada 2011-2014, secara
keseluruhan perkebunan Jawa Timur selalu menjadi sub sektor yang
progresif yang artinya perkebunan Jawa Timur berkontribusi secara positif
terhadap perekonomian Jawa Timur.
3. Ditinjau dari perkembangan produksi dan produktivitas komoditas serta
perkembangan kesejahteraan petani yang dilihat dari Nilai Tukar Petani
dapat disimpulkan bahwa kebijakan Pemerintah Daerah hanya
berpengaruh dengan baik pada kesejahteraan petani tahun 2014 dan 2015.
Page 101
83
B. Saran
Penggunaan IPTEK yang modern biasanya tidak dilakukan pada
kutub hulu (petani), hanya dilakukan pada kutub hilir (eksportir). Alhasil,
kualitas dan kuantitas dari komoditas-komoditas yang dihasilkan tidaklah baik
sehingga impor diandalkan dalam sub sektor perkebunan serta kesejahteraan
petani yang kurang karena minimnya pendapatan.
Optimalisasi IPTEK pada kutub hulu merupakan langkah yang
tepat karena dapat menghasilkan output komoditas yang tinggi kuantitas dan
kualitas. Optimalisasi ini juga dapat meningkatkan pendapatan petani.
Bahkan, dengan keunggulan komparatif yang Indonesia punya yaitu sumber
daya alam yang melimpah, bila dilakukan pengembangan perkebunan dengan
baik seperti optimalisasi IPTEK, Indonesia dapat menguasai pasar domestik
dan pasar internasional.
Page 102
84
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2015. Aplikasi Analisis Shift Share Pada Transformasi Sektor
Pertanian Dalam Perekonomian Wilayah di Sulawesi Tenggara. Informatika
Pertanian Vol. 24 No.2:165 – 178.
Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi
Daerah. Yogyakarta: BPFE.
Badan Pusat Statistik. 2015. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan
Jenis Kelamin di Provinsi Jawa Timur 2015. Diakses di
https://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/342 pada tanggal 31 Maret 2017.
Badan Pusat Statistik. 2015. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2015.
Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2015. Luas Wilayah Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi,
2015. Diakses di https://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/333 pada tanggal
31 Maret 2017.
Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: BPS
Badan Pusat Statistik. 2016. [Seri 2010] PDB Triwulanan Atas Dasar Harga
Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2010-2013. Diakses
melalui https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1135 pada tanggal 31
Maret 2017.
Badan Pusat Statistik. 2017. [Seri 2010] PDB Triwulanan Atas Dasar Harga
Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2014-2017. Diakses
melalui https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/827 pada tanggal 31
Maret 2017.
Page 103
85
Badan Pusat Statistik. 2016. PDRB Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga
Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010-2016 (Milyar Rupiah). Diakses
melalui https://jatim.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/35 pada tanggal 31
Maret 2017.
Badan Pusat Statistik. 2016. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut
Lapangan Pekerjaan Utama, 1986-2016. Diakses melalui
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/970 pada tanggal 31 Maret 2017.
Badan Pusat Statistik. 2017. Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi 2000-2015.
Diakses melalui https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/842 pada
tanggal 31 Maret 2017.
Budiharsono, Sugeng. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan
Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita.
Daryanto, A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press.
Daryanto, A. 2012. Memposisikan Secara Tepat Pembangunan Pertanian Dalam
Perspektif Pembangunan Nasional. IPB Press.
Davis, H. J. and R.A. Golberg. 1957. A Concept of Agribusiness. Harvard
Graduate School of Business Administration. Boston, Massachusets.
Dinas Perkebunan Jawa Timur. Kebijakan Pembangunan Perkebunan. Diakses di
http://www.disbun.jatimprov.go.id/kebijakanpembangunan.php pada 1 September
2017.
Page 104
86
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Perkebunan dalam Lintasan Zaman.
Diakses di http://ditjenbun.pertanian.go.id/statis-7-sejarah.html pada 20 Maret
2017.
Eriyanto. 2007. Teknik Sampling Analisis Opini Publik. Yogyakarta: LKiS.
Gilarso, T. 2004. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro. Yogyakarta: Kanisius.
Gulö, W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.
Hamdi, Asep Saepul dan E. Bahruddin. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif
Aplikasi Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Deepublisher.
Hendayana, Rachmat. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) Dalam
Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian Volume 12.
Kementerian Pertanian. Basis Data Pertanian. Diakses melalui
http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/ pada tanggal 31 Maret 2017.
Kementerian Pertanian. Basis Data Produk Domestk Regional Bruto. Diakses
melalui http://aplikasi2.pertanian.go.id/pdrb/ pada tanggal 31 Maret 2017.
Kementerian Pertanian. Data Lima Tahun Terakhir Sub Sektor Perkebunan
(Estate Crops Sub Sector). Diakses melalui
http://www.pertanian.go.id/ap_pages/detil/10/2014/08/06/10/18/36/Data-Lima-
tahun-Terakhir- pada tanggal 31 Maret 2017.
Nainggolan, Hotden Leonardo dan Johndikson Aritonang. 2012. Pengembangan
Sistem Agribisnis Dalam Rangka Pembangunan Pertanian Berkelanjutan.
Universitas HKBP Nommensen Medan
Page 105
87
Nihayah, Dyah Maya. 2012. Kinerja Daya Saing Komoditas Sektor Agroindustri
Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE)
Priyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif. Surabaya: Zifatama.
Saragih, B. 2001. Pembangunan Sistem Agribisnis di Indonesia dan Peranan
Public Relation. Makalah Seminar Peranan Public Relation dalam Pembangunan
Pertanian. Program Pascasarjana PS. KMP-IPB, Bogor.
Saragih, B. 2004. Pembangunan Pertanian dengan Paradigma Sistem dan Usaha
Agribisnis. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Simatupang, P. 2004. Pengembangan Pertanian Industrial dengan Pendekatan
Kuasi Organisasi Agribisnis. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Bogor.
Subana, M dan Sudrajat. 2005. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: CV.
Pustaka Setia.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Todaro, Michael dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi edisi
kesembilan. Jakarta: Erlangga.
Todaro, Michael dan Stephen C. Smith. 2013. Pembangunan Ekonomi edisi
kesebelas. Jakarta: Erlangga.
Udayana, Gusti Bagus. 2011. Peran Agroindustri dalam Pembangunan Pertanian.
Singhadwala edisi 44.
Page 106
88
World Bank. 2014. Agricultural Land (% of Land Area). Diakses melalui
https://data.worldbank.org/indicator/AG.LND.AGRI.ZS?locations=ID pada
tanggal 31 Maret 2017.
World Bank. 2014. Agricultural Land (sq. km). Diakses melalui
https://data.worldbank.org/indicator/AG.LND.AGRI.K2?locations=ID pada
tanggal 31 Maret 2017.
World Bank. 2016. Land area (sq. km). Diakses melalui
https://data.worldbank.org/indicator/AG.LND.TOTL.K2?locations=ID pada
tanggal 31 Maret 2017.
World Bank. 2016. Population, total. Diakses melalui
https://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL?locations=ID pada tanggal
31 Maret 2017.
Page 107
89
LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel Hasil Analisis Location Quotient
Tabel Hasil Analisis Komoditas Perkebunan
Komoditas Luas Areal Produksi
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Cengkeh 1.24 1.22 1.26 1.28 1.2 1.18 0.74 0.64 0.62 0.62 0.49 0.44
Jambu Mete 1.17 1.2 1.22 1.29 1.25 1.29 0.65 0.73 0.66 0.69 0.6 0.61
Kakao 0.51 0.54 0.47 0.51 0.4 0.44 0.2 0.23 0.23 0.27 0.21 0.23
Kapas 2.32 2.23 0.87 1.03 1.25 0.9 0.85 0.59 0.41 0.38 0.71 0.61
Karet 0.1 0.1 0.1 0.1 0.09 0.1 0.06 0.06 0.05 0.05 0.05 0.05
Kelapa 1.09 1.06 1.04 1.1 1.08 1.11 0.58 0.57 0.53 0.56 0.52 0.55
Kopi 1.09 1.08 1.08 1.13 1.13 1.18 0.58 0.4 0.48 0.53 0.56 0.64
Lada 0.08 0.08 0.07 0.07 0.07 0.07 0 0.03 0.7 0.02 0.02 0.02
Tebu 6.12 5.73 5.77 6.15 6.24 6.32 3.15 3.13 2.92 3.07 3.01 2.98
Teh 0.28 0.27 0.27 0.27 0.46 0.48 0.19 0.19 0.17 0.16 0.27 0.32
Tembakau 7.02 7.69 7.53 6.79 7.52 7.24 2.78 3.61 3.17 2.85 3.36 3.18
Pala 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0 0 0 0
Nilam 0 3.17 2.87 3.13 3.27 3.73 0 1.62 1.62 0.61 0.44 0.34
Tabel Hasil Analisis Lapangan Usaha Jawa Timur
Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
Sub sektor - Perkebunan
0.967
0.537
0.965
0.543
0.965
0.535
0.949
0.511
0.936
0.502
0.926
0.496
Pertambangan dan Penggalian 0.521 0.537 0.519 0.51 0.52 0.578
Industri Pengolahan 1.341 1.316 1.322 1.334 1.362 1.372
Pengadaan Listrik dan Gas 0.429 0.397 0.347 0.337 0.328 0.317
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah
dan Daur Ulang 1.275 1.322 1.283 1.287 1.216 1.19
Konstruksi 0.991 0.962 0.965 0.978 0.956 0.926
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil
dan Sepeda Motor 1.311 1.301 1.328 1.339 1.326 1.358
Transportasi dan Pergudangan 0.765 0.765 0.761 0.769 0.756 0.752
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 1.629 1.669 1.644 1.618 1.652 1.697
Informasi dan Komunikasi 1.287 1.273 1.267 1.279 1.22 1.178
Jasa Keuangan dan Asuransi 0.638 0.649 0.652 0.679 0.687 0.675
Page 108
90
Real Estate 0.57 0.574 0.574 0.576 0.582 0.584
Jasa Perusahaan 0.544 0.521 0.497 0.493 0.483 0.471
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan
Jaminan Sosial Wajib 0.708 0.696 0.687 0.675 0.658 0.658
Jasa Pendidikan 0.858 0.852 0.85 0.855 0.853 0.842
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 0.564 0.605 0.617 0.614 0.61 0.605
Jasa lainnya 1.072 1.024 1 1 1 1
Lampiran 2 Tabel Hasil Analisis Shift Share
Tahun
Proportional Shift
Mij
Differential Shift
Cij
Regional Share
Nij
Pergeseran Bersih
Dij
2010-2011 -254.97 308.58 1282.39 1336
2011-2012 202.93 -205.83 1333.91 1331
2012-2013 139.04 -1016.33 1303.29 426
2013-2014 222.07 -230.56 1195.49 1187
2014-2015 -728.88 -179.30 1222.23 314.05