Top Banner
REFRAT “KOMA HEPATIKUM” Oleh : Vania Kezia (2012-061-077) Pembimbing : Dr. Yuda Turana, Sp.S Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya
41

koma hepatikum

Dec 30, 2015

Download

Documents

Cavin Handoko

refrat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: koma hepatikum

REFRAT

“KOMA HEPATIKUM”

Oleh :

Vania Kezia (2012-061-077)

Pembimbing :

Dr. Yuda Turana, Sp.S

Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya

Periode 28 Oktober 2013 – 30 November 2013

Page 2: koma hepatikum

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan

rahmat-Nya sehingga kami dapat menyusun referat ini yang berjudul “Koma Hepatikum”.

Adapun referat ini berjudul “Koma Hepatikum” yang disusun untuk menyelesaikan salah

satu tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf. Penulis berharap agar referat ini dapat

berguna sebagai bahan untuk pembelajaran bersama baik bagi mahasiswa tingkat preklinik

maupun tingkat klinik mengenai semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.

Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Budi Riyanto W., Sp.S dan

dr.Yuda Turana, Sp.S selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan

arahan dalam pembuatan referat ini, serta kepada semua pihak yang terlibat.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Penulis mohon maaf

apabila terdapat beberapa kesalahan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan ide, saran

dan kritik demi kelengkapan referat ini.

Jakarta, 25 November 2013

Penulis

Page 3: koma hepatikum

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

Daftar Tabel............................................................................................................iii

Daftar Gambar.........................................................................................................iv

BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................1

I.1. Latar Belakang....................................................................................1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3

II.1.Koma...................................................................................................3

II.2.Definisi dan Patogenesis Ensefalopati Hepatikum.............................4

II.3.Manifestasi Klinis.............................................................................12

II.4.Diagnosis...........................................................................................13

II.5.Tatalaksana.......................................................................................15

II.6.Prognosis...........................................................................................17

BAB III. KESIMPULAN.......................................................................................18

Daftar Pustaka..........................................................................................................v

Page 4: koma hepatikum

DAFTAR TABEL

Tabel II.1........Perbandingan Gambaran Klinis Antara Koma Metabolik dan Koma

Struktural..................................................................................................................4

Tabel II.2. Tatanama Ensefalopati Hepatikum.........................................................6

Tabel II.3. Rasio Konsentrasi Amonia Otak-Darah : Efek dari Gagal Hati.............8

Tabel II.4. Klasifikasi West-Haven........................................................................13

Tabel II.5. Diagnosis Banding dari Ensefalopati Hepatikum.................................15

Tabel II.6. Faktor Presipitasi dari Ensefalopati Hepatikum...................................16

Tabel II.7. Tingkat Uji Hubung Angka (UHA)......................................................17

Tabel II.6. Tingkat Kuantitas dari Elektroensefalografi (EEG).............................18

Page 5: koma hepatikum

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1. Perubahan Neuropatologi pada Astrosit akibat Gagal Hati Akut dan

Gangguan Hati Kronis.....................................................................................................7

Gambar II.2. Patogenesis Terjadinya Pembengkakan Astrosit pada Hiperammonemia

9

Gambar II.3. Diagram Mengenai Hubungan Inflamasi dan Aliran Darah ke Otak

Terhadap Manifestasi Klinik Ensefalopati Hepatikum.................................................11

Gambar II.4. Pendekatan pada Pasien dengan Ensefalopati Hepatikum.......................14

Gambar II.5. Tes Hubung Angka..................................................................................17

Page 6: koma hepatikum

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam prakteknya, sekitar satu persen dari pasien yang datang ke Instalasi

Gawat Darurat datang dengan penurunan kesadaran. Pasien yang datang dalam

keadaan koma yang tidak diketahui etiologinya merupakan kelompok yang memiliki

resiko tinggi, dimana penentuan diagnosis dan terapi yang cepat merupakan hal yang

sangat penting dalam memperbaiki kualitas hidup mereka.1 Keadaan koma

merupakan suatu keadaan dimana seorang pasien terlihat seperti tertidur dan pasien

tidak dapat dibangunkan baik oleh stimulus dari luar maupun dari dalam diri pasien

tersebut.2 Berdasarkan etiologinya, koma dapat dibagi menjadi koma struktural dan

koma metabolik. Kurang lebih 65 persen dari keadaan koma disebabkan oleh

gangguan metabolik, sedangkan sisanya disebabkan oleh gangguan struktural (33%)

dan gangguan psikiatri (2%).2 Koma metabolik umumnya terjadi pada pasien koma

dengan usia dibawah 50 tahun dan pada pasien laki-laki. Sebaliknya, koma struktural

biasanya ditemukan pada pasien dengan usia di atas 50 tahun dan biasanya disertai

dengan gejala neurologis fokal.1

Adanya gangguan pada hati dapat menyebabkan terjadinya koma metabolik,

yaitu koma hepatikum. Koma hepatikum ditemukan pada 1,7 persen dari

keseluruhan koma metabolik.2 Koma hepatikum biasanya diawali dengan adanya

ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepatikum merupakan gangguan otak yang

terjadi secara global yang menyebabkan adanya gangguan neurologis. Ensefalopati

hepatikum terjadi pada 30 persen sampai 45 persen penderita sirosis hepatis dan

dapat disebabkan oleh gangguan hati akut.3 Pada perjalanan penyakitnya,

ensefalopati hepatikum dapat menyebabkan koma hepatikum. Selain menurunkan

kualitas hidup pasien, ensefalopati hepatikum merupakan suatu faktor prognostik

terjadinya kematian. Sekitar 75 persen dari penderitanya meninggal 3 tahun setelah

pertama kali didiagnosis.4

Pada dasarnya, ensefalopati hepatikum merupakan keadaan yang bersifat

reversibel. Umumnya, terjadinya ensefalopati hepatikum disebabkan oleh faktor-

faktor lain yang memperburuk dan mempercepat perjalan dari penyakit hati kronis

maupun akut. Eliminasi dari faktor tersebut dapat menyebabkan resolusi pada 85%

penderitanya.1 Selain itu, deteksi dan terapi dini sangat penting dalam memperbaiki

1

Page 7: koma hepatikum

kualitas hidup dan menurunkan angka kematian dari penderita ensefalopati

hepatikum.

Untuk itu, penulis ingin membahas lebih lanjut mengenai perjalanan penyakit

pada ensefalopati hepatikum beserta komplikasinya, yaitu koma hepatikum dan

kematian. Selain itu, penulis juga ingin membahas mengenai manifestasi klinis dari

ensefalopati hepatikum beserta kriteria diagnosis serta terapi pada penderita

ensefalopati.

2

Page 8: koma hepatikum

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Koma

Koma didefinisikan sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang

penderitanya tidak dapat dibangunkan, bahkan dengan rangsang yang sangat

kuat.5 Gejala klinis yang ditemukan dalam keadaan koma dapat bervariasi

berdasarkan tingkat kedalaman koma. Pada tingkat terdalam dari koma, tidak

ada reaksi dalam bentuk apapun yang dapat dibangkitkan. Hal ini terlihat dari

hilangnya berbagai refleks, seperti refleks kornea, pupil, faring, dan tendon,

serta hilangnya tonus otot anggota gerak.2 Pada tingkat yang lebih ringan,

reflex biasanya dapat dibangkitkan dengan berbagai tingkat, seperti refleks

pupil, refleks gerakan bola mata, refleks kornea, dan berbagai refleks batang

otak. Selain itu, tonus otot biasanya meningkat dan respirasi dapat menjadi

lambat atau cepat, periodik, dan mengikuti pola tertentu.

Koma terjadi akibat adanya gangguan pada sistem reticular activating

system (RAS) yang mengatur kesadaran manusia. Menurut penyebabnnya

koma dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu koma yang disebabkan karena

adanya lesi pada RAS (koma struktural) dan koma yang disebabkan oleh

gangguan metabolik sehingga menekan aktivitas neuron (koma metabolik).

Lesi yang menyebabkan gangguan kesadaran dapat disebabkan karena tiga

jenis lesi. Jenis lesi yang pertama adalah lesi dengan masa yang cukup

bermakna. Lesi ini biasanya hanya mengenai sebagian dari korteks dan

substansia alba sedangkan bagian cerebrum lainnya berada dalam keadaan

intak. Akan tetapi, lesi ini dapat mengganggu fungsi otak bagian lainnya

melalui pergeseran struktur yang lebih dalam ke arah lateral. Kadang-kadang,

lesi dapat disertai oleh herniasi dari lobus temporal melalui celah di tentorium

sehingga menekan otak tengah dan RAS pada regio subtalamik.1

Jenis lesi yang kedua adalah lesi yang secara anatomi berada pada RAS,

yaitu talamus dan otak tengah. Lesi ini mengganggu fungsi neuron pada RAS

secara langsung. Lesi yang ketiga merupakan lesi yang bersifat difus dan luas

pada kedua bagian korteks dan substansia alba. Koma terjadi karena adanya

3

Page 9: koma hepatikum

interupsi dari impuls talamokortikal atau dikarenakan adanya destruksi luas

pada akson korteks.1

Berdasarkan studi epidemiologi, pasien yang datang dalam keadaan

koma metabolik ditemukan lebih sering dibandingkan dengan koma struktural.

Sekitar dua dari tiga kasus kejadian koma merupakan jenis koma metabolik.

Karakteristik penderita koma metabolik berbeda dibandingkan dengan

penderita koma struktural. Manifestasi klinis, usia, tekanan darah, dan temuan

pada pemeriksaan neurologi merupakan salah satu faktor penentu yang kuat

dalam menentukan jenis koma yang dialami pasien.1

Tabel II.1. Perbandingan Gambaran Klinis Antara Koma Metabolik dan Koma

Struktural. 1

II.2. Definisi dan Patogenesis Ensefalopati Hepatikum

Hati merupakan organ yang memegang peran detoksifikasi yang sangat

penting dalam tubuh. Hati memiliki peranan dalam menetralisasi zat-zat kimia

yang berbahaya bagi tubuh, baik yang diserap dari sistem pencernaan maupun

yang dihasilkan oleh metabolisme dalam tubuh. Sebagian besar dari zat-zat

tersebut mencapai hati melalui sistem vena porta. Kemudian, hepatosit yang

4

Page 10: koma hepatikum

berada di sinusoid hepatik akan menyerap dan mendetoksifikasi zat-zat

tersebut menjadi zat-zat yang aman bagi tubuh.

Pada perburukan dari proses fibrosis hati dan perjalanan penyakit sirosis,

peningkatan tekanan hepatik mendesak darah untuk mengalir melalui

portosystemic shunt. Portosystemic shunt merupakan suatu keadaan dimana

darah yang berasal dari organ abdomen langsung dialirkan langsung ke aliran

sistemik tanpa melalui sinusoid hepatik. Hal ini menyebabkan terjadinya

penumpukan zat-zat racun di dalam aliran darah sistemik yang sebagian

mencapai otak dan organ-organ tubuh lainnya. Selain itu, terdapat pula

pengurangan jumlah sel hepatosit yang dapat berfungsi dengan baik secara

signifikan sehingga perburukan dapat dengan mudah terjadi pada penumpukan

sedikit zat toksin dalam keadaan sirosis.3

Otak yang normal membutuhkan struktur anatomi yang intak, produksi

energi yang cukup, dan neurotransmisi yang efisien antar sinaps. Ketiga hal ini

terganggu pada keadaan ensefalopati hepatikum. Menurut Kamus Kedokteran

DORLAND, ensefalopati hepatikum atau ensefalopati portal-sistemik

merupakan suatu keadaan yang biasanya terjadi akibat penyakit hati lanjut,

tetapi juga ditemukan dalam perjalanan setiap penyakit berat atau pada pasien

dengan pirau portokava. Keadaan ini ditandai dengan gangguan kesadaran

yang berlanjut sampai koma dalam (koma hepatik), berbagai taraf perubahan

psikiatrik, flapping tremmor, dan fetor hepatikus.5

Ensefalopati hepatikum memiliki gambaran gejala neuropsikiatrik yang

luas. Untuk itu, dikembangkan suatu konsensus untuk mengklasifikasikan

ensefalopati hepatikum oleh World Congress of Gastroenterology.

Berdasarkan konsensus ini, ensefalopati hepatikum dibagi menjadi tiga tipe,

yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C. Tipe A merupakan ensefalopati hepatikum

yang berhubungan dengan gagal hati akut. Ensefalopati hepatikum menentukan

prognosis dari gagal hati akut. Kurang lebih 30 persen dari pasien dengan

ensefalopati hepatikum tipe A meninggal karena herniasi serebri yang

disebabkan karena adanya edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial.

Tipe B merupakan tipe yang disebabkan karena adanya portosystemic shunt

tanpa disertai adanya kelainan intrinsik pada hati. Sedangkan tipe C merupakan

tipe yang dihubungkan dengan adanya sirosis dan peningkatan tekanan vena

porta atau adanyaportosystemic shunt.3,6 Pada ensefalopati hepatikum akibat

5

Page 11: koma hepatikum

gangguan hati kronis, pasien biasanya megalami berbagai gangguan

neuropsikiatri, termasuk gangguan psikomotorik, gangguan memori,

abnormalitas pada sensorik, dan gangguan konsentrasi. Pada gangguan yang

lebih berat, pasien dapat berada dalam keadaan konfusi, stupor, koma, bahkan

kematian.

Tabel II.2. Tatanama Ensefalopati Hepatikum.6

Tipe

Ensefalopati

Hepatikum (HE)

Tatanama Subkategori Subdivisi

A Ensefalopati yang

berhubungan dengan

acute liver failure

B Ensefalopati yang

berhubungan dengan

portal-systemic bypass

dan tidak disertai

penyakit intrinsik

hepatoselular

C Ensefalopati yang

berhubungan dengan

sirosis (cirrhosis) dan

hipertensi portal/atau

portal systemic shunts.

HE Episodik

HE Persisten

HE Minimal

Precipitasi

Spontan

Rekurensi

Ringan

Berat

Treatment-dependent

Terdapat perbedaan neuropatologi pada ensefalopati hepatikum yang

disebabkan karena adanya gagal hati akut dan ensefalopati hepatikum yang

disebabkan karena gangguan hati kronis. Pada gagal hati akut, terjadi

pembengkakan astrosit dan pasien mengalami edema serebri sitotoksik. Onset

dari pembengkakan astrosit tersebut terjadi secara akut progresif. Hal ini

6

Page 12: koma hepatikum

menyebabkan adanya peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi secara

tiba-tiba sehingga dapat menyebabkan kematian akibat herniasi serebri. Kadar

amonia otak meningkat dan dapat mencapai kadar 4 mM.

Berbeda dengan perubahan yang terjadi pada gagal hati akut, astrosit

pada gangguan hati kronis menunjukkan gambaran morfologi yang khas, yaitu

astrositosis Alzheimer tipe II. Astrosit menunjukkan adanya perbesaran dan

pembengkakan pada nukleus, penonjolan pada nukleolus, penepian dari pola

kromatin, dan pembesaran dari sitoplasma yang disebabkan karena adanya

proliferasi dari organel dalam sitoplasma akibat pemaparan amonia secara

kronis.

Gambar II.1. Perubahan Neuropatologi pada Astrosit akibat Gagal Hati Akut

dan Gangguan Hati Kronis.8

Banyak faktor yang mempengaruhi patogenesis dari ensefalopati

hepatikum. Berikut akan dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat keparahan dari ensefalopati hepatikum. Sampai saat ini, peningkatan

kadar amonia dalam darah dianggap sebagai pemegang peranan terpenting

dalam patogenesis dari ensefalopati hepatikum. Selain itu, adanya gangguan

pada neurotransmitter akibat peningkatan dari γ-aminobutyric acid (GABA),

penurunan jumlah glutamate, dan peingkatandari benzodiazepin endogen serta

neurosteroid juga memegang peranan dalam patogenesis ensefalopati

7

Page 13: koma hepatikum

hepatikum. Amonia dianggap turut memegang peranan dalam menyebabkan

gangguan neurotransmitter tersebut.

1. Amonia

Amonia memegang peranan penting dalam menentukan tingkat

keparahan dari ensefalopati hepatik. Hal ini terbukti dari beberapa

penelitian yang menunjukkan tingginya tingkat amonia dalam darah pada

pasien dengan ensefalopati hepatik. Selain itu, level amonia yang tertinggi

ditemukan pada pasien yang berada dalam keadaan koma.

Tabel II.3. Rasio Konsentrasi Amonia Otak-Darah : Efek dari Gagal Hati.7

[Amonia]otak/[Amonia]darah

Normal 2

Gagal Hati Kronis 3-4

Gagal Hati Akut 8

Amonia merupakan zat yang dihasilkan melalui penyerapan glutamin

di intestinal. Glutamin yang diserap kemudian diubah menjadi glutamat

dan amonia melalui kerja enzim glutaminase. Amonia yang dihasilkan

akan diubah menjadi urea oleh hepatosit periportal dan glutamin oleh

hepatosit perivenous. Pada keadaan normal, hati dapat membersihkan

hampir semua amonia dalam aliran vena porta, sehingga amonia tidak

masuk ke dalam aliran sistemik.

Pada keadaan gangguan hati, pembentukan urea di hati tidak berjalan

dengan baik. Selain itu, pada keadaan sirosis, amonia yang dibawa dari

sistem pencernaan tidak dialirkan melalui vena porta, namun dibawa

langsung ke dalam sirkulasi sistemik melalui portosystemic shunt . Hal ini

menyebabkan terjadinya hiperammonemia. Untuk mengkompensasi

peningkatan kadar amonia dalam darah, otak mengambil peranan sebagai

tempat utama dalam detoksifikasi amonia.

Bagian dari otak yang memegang peranan terpenting dalam proses

detoksifikasi amonia adalah astrosit. Astrosit merupakan sel paling banyak

ditemukan pada korteks serebri dan berfungsi dalam regulasi ion dalam

otak, regulasi neurotransmiter, pengaturan sawar darah otak, dan

penyediaan nutrisi bagi neuron. Amonia dieliminasi melalui proses amidasi

8

Page 14: koma hepatikum

glutamat menjadi glutamin. Penumpukan glutamin di astrosit menyebabkan

terjadinya peningkatan tekanan osmosis sehingga terjadi pembengkakan

dari astrosit. Dampak dari hiperammonemia juga dipengaruhi oleh

kemampuan astrosit dalam mempertahankan keseimbangan osmotik

dengan pengeluraran osmolit, seperti myo-inositol sebagai respon dari

penumpukan glutamin. Oleh karena itu, pasien dengan hiponatremia

maupun hiperammonemia kronis lebih sensitif terhadap peningkatan kadar

amonia secara mendadak.

Gambar II.2. Patogenesis Terjadinya Pembengkakan Astrosit pada

Hiperammonemia.8

Selain itu, amonia dalam konsentrasi yang tinggi dalam darah

memiliki efek samping terhadap sistem saraf pusat. Hiperammonemia

mempengaruhi pengaturan neurotransmitter, baik inhibitor maupun

eksitator. Dalam keadaan gagal hati akut, terjadi alkalinisasi dari sitosil

yang menyebabkan pelepasan glutamat pada sinaps. Glutamat merupakan

suatu neurotransmiter utama yang bersifat eksitator pada otak. Pelepasan

glutamat menyebabkan overaktivasi dari reseptor glutamat ionotropik,

reseptor N-methyl-D-aspartat. Hal ini dihubungkan dengan kejang yang

terjadi pada ensefalopati hepatikum pada gagal hati akut.

9

Page 15: koma hepatikum

Sebaliknya, pada penyakit hati kronis terjadi perubahan

keseimbangan neurotransmitter dimana neurotransmitter inhibitor

mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan

jumlah glutamat dan reseptor glutamat pada neuron post-sinaptik sehingga

terjadi penurunan neuroeksitasi. Selain itu, beberapa hipotesis menyatakan

terjadinya peningkatan tonus GABAergik pada pasien dengan ensefalopati

hepatikum. GABA merupakan salah satu neurotransmitter yang berfungsi

sebagai inhibitor. Hiperammonemia diketahui dapat menghambat

pengambil GABA oleh astrosit, peningkatan muatan klorida neuron dengan

kerja langsung pada kompleks reseptor GABAA, dan potensiasi ikatan pada

reseptor GABAA.

Percobaan dengan tikus menunjukkan bahwa gangguan hati kronis dan

hiperammonemia menyebabkan gangguan dari glutamate-nitric oxide

cGMP pathway yang diaktivasi oleh reseptor NMDA dan penting dalam

proses belajar. Hal ini menyebabkan adanya gangguan pada memori jangka

pendek pada pasien dengan ensefalopati hepatikum yang minimal.

2. Inflamasi

Faktor presipitasi dari manifestasi akut pada gangguan hati kronis

yang sering ditemukan adalah sepsis. Hati merupakan pertahanan pertama

terhadap agen infeksius yang dibawa dari saluran pencernaan. Darah yang

mengandung agen infeksius dibawa melalui parenkim hati sehingga

memungkinkan untuk sel-sel imun menangkap sebagian besar mikroba di

sistem vena portal. Sirosis dan portosystemic shunt menyebabkan adanya

perubahan dari sistem hemodinamik tersebut. Hal ini menyebabkan

banyaknya mikroba yang dapat memasuki sirkulasi darah sistemik

sehingga menyebabkan adanya endotoksinemia dan inflamasi yang kronis.

Selain itu, pembengkakan dari astrosit yang terjadi akibat adanya

hiperammonemia juga menyebabkan adanya gangguan dari aliran darah ke

otak. Astrosit merupakan sel yang berperan penting dalam pembentukan

sawar darah otak dan pengaturan sistem serebrovaskular.

10

Page 16: koma hepatikum

Gambar II.3. Diagram Mengenai Hubungan Inflamasi dan Aliran Darah ke

Otak Terhadap Manifestasi Klinik Ensefalopati Hepatikum.8

Astrosit dan sel-sel mikroglia merupakan penghasil sitokin sebagai

respon terhadap kerusakan atau inflamasi yang terjadi di otak. Sitokin yang

pertama kali dihasilkan adalah tumor necrosis factor α (TNF-α). Hal ini

terlihat dengan ditemukan adanya peningkatan dari serum inflamasi, seperti

(TNF-α), interleukin-1 beta (IL-1 β), IL-6, dan IL-18 pada ensefalopati

hepatikum. Mediator-mediator inflamasi ini menyebabkan adanya

potensiasi dari efek amonia pada sistem saraf pusat sehingga adanya

peningkatan level glutamine, penurunan myoinositol otak, dan peningkatan

kandungan cairan dalam otak. Selain itu, TNF-α memiliki efek terhadap

permeabilitas sel endotelial yang berpotensi menyebabkan gangguan dari

fungsi sawar darah otak.

3. Mangan

Mangan merupakan salah satu neurotoksin yang kuat pada manusia dan

primata. Zat ini ditemukan di otak pada ensefalopati menggunakan MRI

dan memiliki korelasi terhadap keadaan psikometrik dan fatique.

Peningkatan serum mangan pada penderita gagal hati disebabkan karena

adanya penurunan dari ekskresi bilier. Hal ini menyebabkan penumpukan

mangan pada daerah-daerah yang memiliki aliran darah yang tinggi, seperti

basal ganglia. Menurut beberapa postulat dinyatakan bahwa mangan

11

Page 17: koma hepatikum

memiliki efek neurotoksin yang sinergis dengan amonia dan menyebabkan

tingginya radikal bebas serta gangguan pada integritas selular astrosit.

II.3. Manifestasi Klinis

Gambaran Ensefalopati hepatikum dapat ditemukan dengan berbagai

manifestasi klinis berdasarkan tingkat keparahannya. Pada dasarnya, gambaran

klinis dari ensefalopati hepatikum dapat dilihat dari perubahan stastus mental,

perubahan neuromuskular, dan perubahan tingkah laku serta mood. Pada

pasien dengan ensefalopati hepatik yang minimal, gejala klinis biasanya hanya

dapat ditemukan melalui penilaian neuropsikiatri dan psikomotor. Sedangkan

pasien dengan ensefalopati hepatikum yang berat dapat ditemukan dalam

keadaan koma. Untuk mempermudah klasifikasinya, ensefalopati hepatikum

dibagi menjadi empat tingkat berdasarkan status mentalnya menggunakan

klasifikasi West Haven. Klasifikasi ini sangat penting pada kasus ensefalopati

hepatikum yang bersifat akut, namun kurang efektif jika dipakai dalam

perjalanan penyakit yang kronis. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan

neurologis, seperti gejala ekstrapiramidal dan demensia, yang biasanya muncul

pada ensefalopati hepatikum kronis.9

Ensefalopati hepatikum yang bersifat akut dapat ditemukan pada pasien

dengan hepatitis virus, hepatitis toksik obat (halotan, asetaminofen),

perlemakan hati akut pada kehamilan, dan kerusakan parenkim hati yang

fulminan tanpa adanya faktor pencetus. Pada perjalanan penyakit biasanya

ditemukan gejala yang eksplosif dan ditandai dengan delirium, kejang, disertai

dengan edema otak.10 Sedangkan pada ensefalopati hepatikum yang kronis

biasanya perjalanan penyakit tidak bersifat progresif sehingga gejala

neuropsikiatri terjadi secara perlahan dan dicetuskan oleh beberapa faktor

presipitasi, seperti azotemia, perdarahan gastrointestinal, infeksi, alkalosis

metabolik, gangguan keseimbangan cairan, dan pemakaian diuretik.10

Awalnya, gambaran ensefalopati hepatikum biasanya ditandai dengan

gambaran gangguan mental, seperti gangguan dalam pengambilan keputusan

dan gangguan konsentrasi. Keadaan ini dapat dinilai dengan uji psikomotor

atau pada pasien dengan intelektual cukup dapat dites dengan membuat

gambar-gambar atau dengan uji hubung angka (UHA). Selain itu, manifestasi

klinis yang dapat ditemukan sebagai gejala awal pada ensefalopati hepatikum

12

Page 18: koma hepatikum

adalah perubahan pola tidur diurnal. Perubahan ini disebabkan karena adanya

perubahan pada sekresi melatonin pada ensefalopati hepatik.

Pada perjalanan penyakit yang lebih jauh dapat ditemukan gejala

neurologis berupa bradikinesia, asterixis, hiperefleksia, dan postur deserebrasi

yang samar. Asterixis merupakan gejala yang sering ditemukan pada

ensefalopati hepatik, namun bukan merupakan gejala yang spesifik. Asterixis

dapat ditemukan pada ensefalopati metabolik lainnya, seperti uremia, gagal

napas dan keracunan barbiturat.

Tabel II.4. Klasifikasi West-Haven.9,11

Tingkat

Ensefalopati

Kesadaran Fungsi Intelektual Kepribadian dan

Tingkah Laku

Abnormalitas

Neuromuskular

Tingkat 0

Normal

Tidak terganggu Tidak terganggu Tidak terganggu Tidak terganggu

Tingkat 1

Gangguan

ringan

Hipersomnia

Insomnia

Perubahan pada

pola tidur

Gangguan ringan

pada kalkulasi

Hilangnya atensi

Perilaku berlebihan

Euforia/ depresi

Logorrhoea

Iritabilitas

Tremor metabolik

Inkoordinasi muskular

Gangguan dalam

menulis

Tingkat 2

Gangguan

sedang

Melambatnya

respon

Letargi

Disorientasi

minimal

Disorientasi waktu

Gangguan kalkulasi

yang berat

Amnesia mengenai

peristiwa yang baru

terjadi

Penurunan inhibisi

Perubahan nyata pada

perilaku

Anxietas/apatis

Perilaku yang tidak

adekuat

Asterixis

Bicara kacau

Hiporefleks

Ataxia

Tingkat 3

Gangguan

berat

Somnolen

Konfusi

Semi-stupor

Disorientasi tempat

Amnesia total

Tidak mampu

melakukan kalkulasi

Perilaku yang aneh

Paranoid/pemarah

Mengamuk

Hiperrefleks

Nistagmus

Babinski, mioklonus

Rigiditas

Tingkat 4

Koma

Stupor

Tidak sadar

Disorientasi terhadap

orang

Tidak memiliki None

Dilatasi pupil

Opistotonus

Koma

13

Page 19: koma hepatikum

intelektual

II.4. Diagnosis

Pada dasarnya, tidak ada pemeriksaan yang dapat dijadikan gold

standard dalam mendiagnosis ensefalopati hepatikum. Pada ensefalopati

hepatikum diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan

detail. Hal ini disebabkan karena banyaknya penyakit yang bisa menjadi

diagnosis banding dari ensefalopati hepatikum, baik gangguan vaskular,

gangguan metabolik, gangguan intrakranial, maupun gangguan neuropsikiatrik.

Selain itu, gejala klinis yang ditemukan pada ensefalopati hepatikum tidak ada

yang bersifat spesifik untuk penyakit ini. Dalam anamnesis, perlu diketahui

ada tidaknya riwayat maupun gejala klinis dari gangguan hati. Selain itu, perlu

diketahui juga faktor-faktor lain menjadi pencetus pada ensefalopati

hepatikum.

Dalam pendekatan diagnosis ensefalopati hepatikum, perlu dilakukan

eksklusi penyebab lain dari ensefalopati, mengidetifikasikan faktor-faktor

pencetus yang dapat menyebabkan ensefalopati hepatikum, dan memulai terapi

empirik untuk ensefalopati hepatikum. Respon yang baik terhadap terapi

empirik dapat menegakkan diagnosis ensefalopati hepatikum, akan tetapi jika

tidak ada respon dalam 72 jam mengindikasikan perlunya terapi lebih jauh.12

Gambar II.4. Pendekatan pada Pasien dengan Ensefalopati Hepatikum.12

14

Page 20: koma hepatikum

Diagnosis ensfalopati hepatikum merupakan suatu diagnosis eksklusi.

Penyebab lain yang mungkin menyebabkan ensefalopati metabolik, seperti

defisensi vitamin B1, hipoglikemia, dan hipotiroid perlu disingkirkan terlebih

dahulu. Selain itu, adanya lesi intraserebral yang dapat muncul bersamaan

dengan sirosis dan ensefalopati hepatikum juga perlu dieksklusikan. Sebagai

contoh ialah hematoma subdural yang dapat terjadi akibat koagulopati pada

pasien sirosis atau trauma kepala akibat jatuh pada pasien dengan ensefalopati

hepatikum. Penyebab ensefalopati metabolik lain atau gangguan otak lain perlu

dicurigai jika tidak terdapat peningkatan kadar amonia dalam darah atau jika

tidak ada perbaikan walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat.11

Selain menyingkirkan penyakit lain yang dapat menyerupai, identifikasi

dari penyebab-penyebab yang memicu terjadinya ensefalopati hepatikum juga

perlu dilakukan dalam mendiagnosis ensefalopati hepatikum. Pada penyakit

hati kronis, biasanya terdapat minimal satu faktor pemicu yang dapat

menginduksi episode dari ensefalopati hepatikum.

Tabel II.5. Diagnosis Banding dari Ensefalopati Hepatikum

Gangguan Metode Diagnosis

Ensefalopati metabolik

Hipoglikemia

Gangguan elektrolit

Hipoksia

Narcosis karbon dioksida

Azotemia

Ketoasidosis

Analisa Kimia Darah

Ensefalopati toksik

Alkohol

Intoksikasi akut

Sindrom withdrawal

Sindrom Wernicke-Korsakoff

Obat-obatan psikotropik

Logam berat

Pemeriksaan kandungan alkohol darah

Respon terhadap tiamin

Deteksi kadar toksik

Lesi intrakranial

Perdarahan (subdural, subaraknoid,

15

Page 21: koma hepatikum

intraserebral)

Infark

Tumor

Abses

Meningitis

Ensefalitis

Epilepsi atau ensefalopati post-seizure

Gangguan neuropsikiatrik

CT scan, MRI, arteriografi

Pungsi Lumbar

Serologi

Elektroensefalografi

Tes neuropsikologi

Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi penyakit hati yang

mendasari juga perlu dilakukan. Pemeriksaan yang dilakukan adalah

pemeriksaan fungsi hati secara lengkap. Pada ensefalopati hepatikum biasanya

didapat hasil yang abnormal pada pemeriksaan fungsi hati, seperti peningkatan

kadar bilirubin, alanine aminotransferese (ALT), aspartate aminotransferese

(AST), dan alkaline phosphatase, serta penurunan kadar albumin serum.

Pemeriksaan kadar amonia dalam darah pada ensefalopati hepatikum biasanya

meningkat pada pasien dengan pasien dengan ensefalopati hepatikum. Akan

tetapi, pemeriksaan ini masih kontroversial karena pengambilan sampel

amonia masih dianggap belum akurat dan sangat dipengaruhi oleh teknik

pengambilan. Selain itu, peningkatan kadar amonia dalam darah juga dianggap

kurang menunjukkan tingkat keparahan dari ensefalopati hepatikum.3,13,14

Tabel II.6. Faktor Presipitasi dari Ensefalopati Hepatikum9

Perdarahan gastrointestinal

Infeksi/ systemic inflammatory response syndrome

Gagal ginjal/ gangguan elektrolit

Obat-obatan psikotropik

Peningkatan konsumsi protein

Konstipasi

Tidak diketahui pada 20-30% kasus

Ensefalopati hepatikum ditandai dengan perlambantan fungsi

psikomotorik. Untuk itu, tes hubung angka (THA) dapat digunakan untuk

16

Page 22: koma hepatikum

mengevaluasi kemampuan kognitif dan motorik. THA sempat digunakan

sebagai salah satu pemeriksaan yang paling sensitif untuk mendeteksi

ensefalopati hepatikum. Namun beberapa penelitian menunjukkan banyaknya

faktor-faktor yang mempengaruhi hasil dari THA, seperti usia pasien,

gangguan visual, serta gangguan konsentrasi pada penderita ensefalopati

hepatikum.11

Gambar II.5. Tes Hubung Angka.

Tabel II.7. Tingkat Uji Hubung Angka (UHA).10

Tingkat Ensefalopati Hasil Uji Hubung Angka (UHA)

dalam detik

Normal 15-30

Tingkat I 31-50

Tingkat II 51-80

Tingkat III 81-120

Tingkat IV >120

17

Page 23: koma hepatikum

Pemeriksaan penunjang lain yang dalam dilakukan adalah pemeriksaan

dengan elektroensefalografi (EEG). Pada pemeriksaan EEG terlihat adanya

peninggian amplitudo, munculnya gelombang triphasic, dan menurunnya

jumlah siklus per detik. Selain itu, terjadi juga penurunan frekuensi dari

gelombang normal Alfa (8-12 Hz). Abnormalitas pada EEG tersebut bersifat

tidak spesifik karena dapat ditemukan pada ensefalopati metabolik lainnya.11

Tabel II.8. Tingkat Kuantitas dari Elektroensefalografi (EEG).10

Tingkat Ensefalopati Frekuensi Gelombang EEG

Tingkat 0 Frekuensi alfa (8,5-12 Hz)

Tingkat 1 7-8 siklus/detik

Tingkat 2 5-7 siklus/detik

Tingkat 3 3-5 siklus/detik

Tingkat 4 3 siklus/detik atau negatif

Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan, namun tidak memberikan

gambaran khusus dalam mendiagnosis ensefalopati hepatikum. Pemeriksaan

Computed Tomography scanning (CT scan) dapat menunjukkan adanya edema

serebri, namun hal tersebut tidak signifikan dalam penegakkan diagnosis

ensefalopati hepatikum. Pemeriksaan CT scan perlu dilakukan untuk

mengeksklusikan kemungkinan lain yang dapat menyebabkan gangguan

neurologis, seperti perdarahan subdural atau epidural.9,x Pemeriksaan MRI

menunjukkan gambaran abnormal pada pasien dengan sirosis hepatikum. Hasil

MRI T1-weighted menunjukkan adanya hiperintensitas yang simetris pada

pallidum, substansia nigra, dan nukleus dentata. Namun, hasil pemeriksaan

dengan MRI tidak menunjukkan tingkat keparahan dari ensefalopati

hepatikum, melainkan lebih menunjukkan keparahan dari portosystemic

shunts.

II.5. Tatalaksana

Patofisiologi dari ensefalopati hepatikum merupakan peristiwa yang

kompleks dan multifaktorial. Tatalaksana dari ensefalopati mencangkup

beberapa hal, yaitu mengobati penyakit dasar hati, mengidentifikasikan dan

menghilangkan faktor-faktor pencetrus, mengurangi pembentukan influks

18

Page 24: koma hepatikum

toksin nitrogen ke jaringan otak, serta mengatasi komplikasi yang mungkin

ditemui.10

Pada pasien dengan gagal hati akut, ensefalopati hepatikum terjadi secara

cepat dan progresif, serta biasanya disertai komplikasi berupa edema serebri.

Pasien dengan gagal hati akut dan ensefalopati hepatikum tingkat 3 dan 4

sebaiknya dimonitor tekanan intrakranialnya. Pemberian manitol dengan dosis

0,5 gram per kilogram berat badan secara bolus berulang masih merupakan

terapi farmakologi utama dalam menangani edema serebri pada kasus ini.14

Terapi yang berbeda diberikan pada penderita ensefalopti hepatikum

pada gangguan hati kronis. Menurunkan absorpsi amonia dan neurotoxin

lainnya di intestinal merupakan tatalaksana pada kasus ini. Hal ini dicapai

dengan menurunkan jumlah konsumsi nitrogen dari makan, konsumsi

disakarida yang tidak dapat diserap dan dengan konsumsi antibiotik yang tidak

dapat/sedikit diserap. Antibiotik yang biasa digunakan adalah neomisin,

paromomisin, dan rifaximin. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan

antibiotik lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan disakarida. Selain

menggunakan disakarida dan antibiotik yang sukar diserap, pemberian bakteri

urease-negative dalam jumlah besar dapat diberikan untuk memanipulasi

produksi amonia di usus. Bakteri yang biasanya diberikan adalah Lactobacillus

acidophilus dan Enterococcus faecium. Akan tetapi, terapi berikut masih

membutuhkan investigasi lebih lanjut.

Pemberian obat-obatan yang bekerja pada siklus urea juga dapat

diberikan pada penderita ensefalopati hepatikum. Hal ini termasuk dengan

pemberian ornithine-aspartate yang menyediakan substrat untuk pembentukan

urea dan glutamin. Pemberian zinc juga dapat meningkatkan pembentukan

urea karena zinc merupakan kofaktor dari berbagai enzim yang digunakan

dalam siklus urea.

Obat lain yang dapat diberikan pada penderita ensefalopati hepatikum

adalah antagonis dari benzodiazepine. Pemberian antagonis benzodiazepine,

seperti flumazenil, dapat memberikan sedikit perbaikan. Namun,

sesungguhnya efektifitas dari obat-obatan antagonis benzodiazepine terbukti

rendah dalam mengatasi ensefalopati hepatikum. Penggunaan obat ini dapat

dipakai sebagai cara untuk mengeksklusikan penggunaan benzodiazepine

sebagai penyebab dari ganggaun neurologik pada pasien tersebut. Agonis

19

Page 25: koma hepatikum

dopaminergik, seperti bromocriptine dan L-dopa, dapat digunakan untuk

mengatasi gejala ekstrapiramidal dari ensefalopati hepatikum yang kronis.

Restriksi protein sebaiknya tidak dilakukan karena dapat memperburuk

status gizi dari pasien dan dapat mengurangi pembuangan amonia melalui otot.

Untuk itu, pada pasien dengan ensefalopati hepatik dapat diberikan diet

normoprotein. Pada pasien ensefalopati hepatikum, diet yang diberikan dapat

diperkaya dengan asam amino rantai ganda. Penggunaan suplemen asam

amino rantai ganda dapat diberikan sebagai terapi ensefalopati hepatikum akut

maupun pada ensfalopati hepatikum kronik dimana pasien memikiki

intoleransi terhadap protein.

Tindakan operatif dapat dilakukan untuk mengurangi portosystemic

shunts. Tindakan ini memiliki resiko perdarahan akibat peningkatan tekanan

portal setelah tindakan operatif ini dilakukan. Tindakan invasif lain yang bisa

dilakukan adalah embolisasi terhadap arteri splenikus dan kolektomi total.

Tindakan tersebut hanya dilakukan pada ensefalopati hepatikum kronik yang

resistant dengan tindakan lain. Tindakan invasif yang paling radikal adalah

transplantasi hati. Pada tindakan ini, evaluasi terhadap periode dan jenis

ensefalopati perlu dilakukan secara kritis. Transplantasi hati pada pasien

dengan perjalanan penyakit yang kronis dapat hanya memberikan sedikit

perbaikan dan bahkan tidak memberikan perbaikan sama sekali.9

BAB III

20

Page 26: koma hepatikum

KESIMPULAN

III.1. KESIMPULAN

Koma hepatikum merupakan suatu komplikasi yang ditimbulkan oleh

ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepatikum sendiri dapat disebabkan oleh

hiperamonemia akibat penyakit hati,baik yang bersifat akut maupun kronis.

Keduanya memberikan gambaran klinis yang bervariasi dan luas. Pada gagal

hati akut, biasanya gejala yang ditimbulkan merupakan dampak dari edema

serebri akibat hiperamonemia. Sedangkan gejala yang ditimbulkan pada

gangguan hati kronis biasanya disebabkan karena adanya faktor-faktor

pencetus. Adanya ensefalopati hepatikum pada penyakit hati kronis

memberikan prognosis yang buruk. Diagnosis dan tatalaksana sedini mungkin

dapat memperbaiki prognosis dari ensefalopati hepatikum. Gambaran klinik

pasien merupakan perangkat diagnostik terbaik dan tidak ada pemeriksaan

penunjang yang menjadi gold standard untuk menegakkan diagnosis. Untuk

itu, anamnesis dan pemeriksaan fisik secara komprehensif merupakan hal yang

sangat penting untuk dilakukan.

Tatalaksana dari ensefalopati hepatikum, baik pada penyakit hati kronis

maupun akut, memiliki tujuan sebagai berikut : (1) mengobati penyakit dasar

hati, (2) mengidentifikasikan dan menghilangkan faktor-faktor pencetus, (3)

mengurangi pembentukan influks toksin nitrogen ke jaringan otak, serta (4)

mengatasi komplikasi yang mungkin ditemui.

DAFTAR PUSTAKA

21

Page 27: koma hepatikum

1. Forsberg S, Hojer J, Ludwigs U, Nyström H. Metabolic vs structural coma in the

ED-an observational study. Am J Emerg Med 2012;30:1986-90.

2. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s principle neurology. United States

of America: McGraw-Hill;2005.

3. Bleibel W, Al-Osaimi A. Hepatic enchepalopathy. Saudi J Gastroenterol

2012;18:301-9.

4. Hassanein T, Hilsabeck P, Perry W. Introduction to the hepatic enchepalopathy

scoring algorithm (HESA). Dig Dis Sci 2008;53:529-38.

5. Dorland WAN. Kamus kedokteran Dorland. 29th ed. Jakarta:EGC;2002.

6. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei A.T, et al.

Hepatic encephalopathy–definition, nomenclature, diagnosis, and quantification:

final report of the working party at the 11th world congresses of

gastroenterology. Hepatology 2002;35:716-21.

7. Butterworth, Roger F. Pathophysiology of hepatic encephalopathy: a new look

at amonia. Metab Brain Dis 2002;17;221-27.

8. Shawcross D, Jalan R. The pathophysiologic basis of hepatic encephalopathy:

central role for amonia and inflamation. Life Sci 2006;62:2295-304.

9. Mas, Antoni. Hepatic encephalopathy: from pathophysiology to treatment.

Digestion 2006;73:86-93.

10. Zubir, Nasrul. Koma hepatik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.V.Jakarta :

InternaPublishing;2009:451-3.

11. Guillen J.C.Q, Gutierrez J.M.H. Diagnostic methods in hepatic encephalopathy.

Clin Chim Acta 2006;365:1-8.

12. Prakash R, Mullen K.D. Mechanisms, diagnosis, and management of hepatic

encephalopathy. Nat Rev Gastroenterol Hepatol 2010;7:515-25.

13. Lockwood A.H. Blood amonia levels and hepatic encephalopathy. Metab Brain

Dis 2004;19:345-49.

14. Riordan S.M, Williams R. Treatment of hepatic encephalopathy. N Engl J M

2010;337:473-79.

15. Weissenborn, Karin. Diagnosis of encephatopathy. Digestion 1998;59:22-24.

22