Top Banner

of 50

Klasifikasi Tbc_2009 Profil Org

Jul 17, 2015

Download

Documents

Raisa Alvina
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah penting bagi kesehatan karena merupakan salah satu penyebab utama kematian. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang (WHO, 2009). Data terbaru yang dikeluarkan WHO pada bulan Maret 2009 dalam Global TB Control Report 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008, prevalensi TB dunia adalah 5-7 juta kasus, baik kasus baru maupun kasus relaps. Dari prevalensi ini, 2,7 juta diantaranya adalah kasus basil tahan asam (BTA) positif baru, dan 2,1 juta kasus BTA (-) baru. Tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan Cina (Depkes RI, 2006). Menurut WHO dalam Global TB Control Report (2009), prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2008 adalah 296.514 ribu kasus baru maupun relaps. Angka insidensi kasus baru BTA positif TB di Indonesia berdasarkan hasil survei Depkes RI tahun 2007 pada 33 propinsi adalah 104 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008). Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam Depkes RI (2009), menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka temuan kasus baru (Case Detection Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau didapati 166.376 penderita baru dengan BTA positif. Angka kesembuhannya (Success Rate/SR) 89%. Hal ini melampaui target global,

2

yaitu CDR 70% dan SR 85% (Depkes RI, 2009). Sumatera Utara menduduki peringkat kelima dalam CDR TB paru menurut provinsi tahun 2008 (63,7%) setelah Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat (Depkes RI, 2009). Pada tahun 2007 sendiri di Sumatera Utara ditemukan 15.779 penderita TB untuk semua jenis kasus dan 13.369 diantaranya adalah kasus baru Depkes RI, 2008). Berdasarkan data kesehatan Depkes RI tahun 2007, di kota Medan terdapat 9.411 kasus dengan gejala klinis positif TB, 2.367 diobati dengan obat anti tuberkulosis (OAT) dan 1.172 dari kasus dinyatakan sembuh (49,51%). Data ini mewakili penderita TB yang mendatangi 14 Puskesmas dan Rumah Sakit di kota Medan (Depkes RI, 2008). Penyebab paling penting peningkatan TB adalah kemiskinan, ketidakpatuhan terhadap program, diagnosis dan pengobatan yang tidak adekuat, migrasi, endemik Human Immunodefisiency Virus (HIV), dan resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR) (WHO, 2009). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat. Menurut data yang dikeluarkan WHO pada bulan Maret 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008 angka kematian penderita TB adalah 1,1-1,7 juta pada penderita TB dengan HIV(-) dan 0,45-0,62 juta pada penderita TB dengan HIV(+). Pada tahun 2007 diestimasikan terdapat setengah juta kasus MDR (multi drug ressistance). Di Indonesia sendiri pada tahun 2007 terdapat 446 kasus yang terbukti MDR TB (7,5%) (WHO, 2009; USAID/Indonesia 2009). Resistensi obat terjadi karena buruknya kontrol TB dan adanya beberapa penyakit penyerta yang lain

seperti HIV/AIDS dan diabetes melitus (PDPI, 2006). Menurut penelitian yang dilakukan Tanjung (1998) terhadap penderita TB Paru sejak Januari 1992 Desember 1994 di RS Dr. Pirngadi/RS H. Adam Malik Medan, sebanyak 31.65% penderita TB diikuti oleh penyakit penyerta dan yang paling banyak adalah diabetes mellitus, yaitu 11.7%. Berdasarkan data-data di atas, masih banyak permasalahan dalam

menanggulangi TB, begitu juga dengan angka kematian yang masih tinggi. Salah satu penyebab masalah penanggulangan TB di Indonesia adalah terbatasnya data-data

3

epidemiologi (Aditama, 2002). Sejauh ini, belum didapatkan data yang tersedia dan akurat mengenai bagaimana profil dari penderita TB yang mendatangi pusat atau sentra kesehatan seperti RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah Dari permasalahan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitan sebagai berikut: Bagaimana profil penderita Tuberkulosis Paru di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Maret - September 2010?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui profil penderita Tuberkulosis Paru di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Maret - September 2010. 1.3.2. Tujuan Khusus Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui profil sosiodemografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan) pada penderita Tuberkulosis Paru. 2. Mengetahui profil keluhan utama pada penderita Tuberkulosis Paru. 3. Mengetahui profil pemeriksaan hasil sputum (BTA positif, BTA negatif) pada penderita Tuberkulosis Paru. 4. Mengetahui profil berdasarkan kategori pengobatan pada penderita Tuberkulosis Paru. 5. Mengetahui profil tuberkulosis ekstraparu pada penderita Tuberkulosis Paru. 6. Mengetahui profil riwayat penyakit penyerta pada penderita

Tuberkulosis Paru. 7. Mengetahui kejadian MDR (multi drug resistance) pada penderita Tuberkulosis Paru.

4

1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Dinas Kesehatan Kota Medan, sebagai bahan masukan yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan dalam hal program penanggulangan TB Paru. 2. Tenaga kesehatan, sebagai informasi tambahan dalam membantu diagnosis dan menemukan kasus baru penderita TB Paru. 3. Peneliti lain, sebagai bahan informasi untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai TB Paru.

5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Tuberkulosis Paru Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2006). Tuberkulosis merupakan suatu penyakit granulomatosa kronis menular dimana biasanya bagian tengah granuloma tuberkular mengalami nekrosis perkijuan (Kumar, 2007).

2.2. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru adalah: 1. Umur Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada usia dewasa muda, pada usia produktif, yaitu umur 15 44 tahun (Crofton, 2002). Berdasarkan penelitian kohort Gustafon, et all (2004) terdapat suatu efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan meningkatkan risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08. Di Indonesia sendiri diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif (Depkes, 2006). Usia yang lebih tua, melebihi 60 tahun, memiliki 4-5 kali risiko terinfeksi tuberkulosis, karena adanya defisit imun seiring dengan bertambahnya umur (Rao, 2009). Namun, berdasarkan penelitian meta analisis Guzman (1999) tidak ada perbedaan gejala klinis dan evaluasi diagnostik pada penderita TB dengan usia tua (> 60 tahun) dan penderita TB dengan usia muda.

2. Jenis Kelamin

6

Hampir tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas. Namun, menurut penelitian Gustafon P., et al (2004) menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan wanita. Mungkin hal ini berhubungan interaksi sosial. Walaupun insisden tuberkulosis paru pada wanita lebih rendah daripada pria, perkembangan infeksi TB paru menjadi penyakit TB paru pada wanita lebih cepat dibandingkan dengan pria (WHO, 2005). 3. Gizi Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit tuberkulosis. Faktor ini sangat penting, baik pada orang dewasa maupun pada anak (Crofton, 2002). Menurut Hernilla, et all. (2006) dalam Desmon (2006), orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari 90 mg/hari dan mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran, buah-buahan, dan berry, secara signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit tuberkulosis. 4. Kondisi Lingkungan Rumah Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko kejadian infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang masuk, dan kelembapan udara (Crofton, 2002). Persentase rumah tangga di Indonesia yang masih tinggal di rumah yang padat pada tahun 2004 adalah sebesar 20% (Desmon, 2006). Menurut Dahlan (2001) dalam Desmon (2006), orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan yang tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan. Menurut Supriyanto (1997) dalam Desmon (2006), luas lantai yang dibutuhkan oleh 1 orang adalah 8,3 m2. Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan dalam penularan kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap terhadap sinar matahari (Depkes, 2006). Menurut Musadad (2006) dalam Desmon (2006), rumah

7

yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko 3,7 kali untuk menularkan tuberkulosis dibandingkan dengan rumah yang tidak dimasuki sinar matahari. Kelembapan udara mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Menurut Desmon (2006) kelembapan udara dipengaruhi oleh ventilasi yang baik, yaitu minimal 10% dari luas lantai. Menurut Mulyadi (2003) dalam Desmon (2006), rumah yang memiliki kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena infeksi tuberkulosis 10,7 kali dibandingkan dengan rumah yang kelembapannya lebih kecil dari 60%. 5. Pendidikan Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan/sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (Notoatmojo, 1993). Proporsi kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang rendah, dimana kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan pelayanan medis (Desmon, 2006). 6. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada kemampuan menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan makanan yang bergizi (Desmon, 2006). Kemiskinan memudahkan infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk dengan status ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia (Crofton, 2002). Menurut Ibupertiwi (2004) dalam Desmon (2006), orang yang memiliki penghasilan yang rendah memilki risiko 2,4 kali untuk menderita penyakit TB dibandingkan dengan orang yang memiliki penghasilan yang tinggi.

8

7. Riwayat Penyakit Penyerta Beberapa penyakit penyerta tertentu rentan tertular penyakit tuberkulosis seperti penderita penyakit HIV/AIDS, hepatitis akut, kelainan hati kronik, gangguan ginjal, diabetes melitus, dan penderita pengguna kortikosteroid (Depkes, 2006; Zevitz. 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (1998) mendapatkan bahwa dari 733 penderita TB paru, penderita juga menderita diabetes melitus 11,7 %, hipertensi 9,28%, kelainan hati 2,7%, kelainan jantung 1,9%, kelainan ginjal 0,9% dan struma 0,4%. Penderita diabetes melitus memiliki risiko 2-3 kali lebih sering untuk terkena penyakit tuberkulosis paru. Efek hiperglikemi pada penderita diabetes melitus sangat berperan terhadap mudahnya pasien diabetes mellitus terkena infeksi (Crofton, 2002). Pada penderita TB paru dengan diabetes mellitus, kepekaan terhadap kuman TB meningkat, reaktifitas fokus infeksi lama, cenderung lebih banyak kavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif (Utami, 2005). Selain itu, pasien dengan TB dengan diabetes melitus memiliki respon yang rendah terhadap pengobatan OAT dan sering terjadi multi-drug resistant (Rao, 2009). Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS di Indonesia membawa dampak peningkatan insidens TB serta masalah TB lainnya, seperti TB milier, TB ekstraparu, serta MDR-TB. Adanya imunokompromais pada penderita HIV/AIDS menyebabkan mudahnya penderita tersebut terinfeksi kuman TB dan cepatnya perkembangan infeksi TB menjadi penyakit TB (Rahajoe & Setyanto, 2008).

2.3. Etiologi Penyebab tuberkulosis paru adalah Mycobacterium tuberculosis. Mikobakterium adalah organisme berbentuk batang langsing, tidak berspora, tidak berkapsul, dan nonmotil yang tahan asam (yaitu mengandung banyak lemak kompleks dan mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen dan kemudian sulit didekolorisasi) (Kumar, 2007).

9

Bakteri M. tuberculosis (MTB) adalah aerob obligat, oleh karena itu, kompleks MTB sering ditemukan di lobus paru bagian atas. Laju pertumbuhan bakteri ini cukup lambat, sekitar 15-20 jam, dengan bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berkembang baik pada suhu 22-230C (Todar, 2009; Jawetz, 1996). 2.4. Cara Penularan Sumber penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah pasien TB dengan BTA positif. Penularan ini terjadi secara inhalasi, yaitu bila pasien tersebut batuk atau bersin, pasien akan menyebarkan kuman udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali penderita TB BTA (+) batuk, akan dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Depkes RI, 2006). Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Percikan ini dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan ruangan yang gelap dan lembab. Sedangkan ventilasi yang baik, akan dapat mengurangi jumlah percikan, dan sinar matahari langsung dapat membunuh kuman TB (Depkes RI, 2006).

2.5. Patogenesis Tuberkulosis Paru 2.5.1 Tuberkulosis Primer Tuberkulosis primer merupakan bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang belum pernah terpajan kuman TB, dengan sumber organisme adalah eksogen (Kumar, 2007). Tiga ribu droplet nuclei akan dikeluarkan oleh pasien TB dengan BTA (+) yang sedang batuk dan berbicara selama 5 menit. Droplet nuclei ini dapat terinhalasi oleh orang-orang yang ada disekitar penderita ini, sampai kejauhan sekitar 3m. Satu droplet nuclei mengandung 3 basil tuberkulosis (Todar, 2009). Ukuran basil tuberkulosis yang kecil ( 65 thn Total

N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N Frekuensi N % Frekuensi

5.2.7. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur dan MDR TB Tabel 5.8. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur dan MDR TBmulti-drug resistance TB positif negatif 0 65 .0% 25.7% 2 42 0.8% 16.6% 1 39 0.4% 15.4% 0 68 0% 26.9% 1 26 0.4% 10.3% 0 9 0% 3.6% 4 250 1.6% 98.8% Total 65 25.7% 44 17.4% 40 15.8% 68 26.9% 27 10.7% 9 3.6% 253 100.0%

15-24 thn 25-34 thn 35-44 thn umur pasien 45-54 thn 55-64 thn > 65 thn Total

N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi

36

5.2.8. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan MDR TB Tabel 5.9. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan MDR TB multi-drug resistance TB positif negatif 4 169 1.6% 66.8% 0 80 0 31.6% 4 249 1.6% 98.4% Total 173 68.4% 80 31.6% 253 100.0%

jenis kelamin pasien Total

laki-laki perempuan

N % frekuensi N % frekuensi N % frekuensi

5.2.9. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BTA dan MDR TB Tabel 5.10. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BTA dan MDR TB

hasil pemeriksaan BTA Total

positif negatif

N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi

multi-drug resistance TB positif negatif 4 205 1.6% 81.0% 0 44 .0% 17.4% 4 249 1.6% 98.4%

Total 209 82.6% 44 17.4% 253 100.0%

37

5.2.10. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Riwayat Penyakit Penyerta dan MDR TB Tabel 5.11. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Riwayat Penyakit Penyerta dan MDR TBmulti-drug resistance TB positif negatif 0 1 0.0% 0.4% 1 0.4% 0 0.0% 1 0.4% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 2 0.8% 4 1.6% 7 2.8% 4 1.6% 41 16.2% 7 2.8% 2 0.8% 4 1.6% 3 1.2% 3 1.2% 1 0.4% 1 0.4% 2 0.8% 173 68.4% 249 98.4% Total 1 0.4% 8 3.2% 4 1.6% 42 16.6% 7 2.8% 2 0.8% 4 1.6% 3 1.2% 3 1.2% 1 0.4% 1 0.4% 2 0.8% 175 69.2% 253 100.0%

Ca ovarium

Dyspepsia

DM + hipertensi

DM tipe 2

Riwayat penyakit penyerta TB

hepatitis akut

Hipertensi

HIV/AIDS

mikosis paru

NPC

PPOK

tumor paru

ulkus peptikum

tidak ada

Total

N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi

38

5.3. Pembahasan Dari hasil penelitian diperoleh bahwa penderita tuberkulosis paru banyak yang berada pada kelompok umur 45 54 tahun dengan jumlah 68 orang (26,9%). Jumlah ini tidak berbeda jauh dengan kelompok umur 15 24 tahun yaitu 65 orang (25,7%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pedoman yang diungkapkan oleh Depkes RI (2006) bahwa 75% penderita tuberkulosis berada pada usia produktif, yaitu kelompok umur 15 44 tahun. Namun begitu, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian kohort yang dilakukan oleh Gustafon, et al (2004), dimana diungkapkan bahwa terdapat suatu efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan semakin meningkatkan risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08. Hal ini dikarenakan pada penelitian Gustafon, et al dilakukan di negara maju yang memiliki karakteristik umur terbanyak pada usia lanjut. Berdasarkan penelitian Rasmin dkk (2006) di RS Persahabatan, kelompok umur terbanyak yang menderita tuberkulosis paru adalah pada umur 26 36 tahun yaitu 111 orang (42,0%) dan kelompok umur terkecil adalah umur 66 75 tahun yaitu 15 orang (5,7%). Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa mayoritas penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan berjenis kelamin laki-laki yaitu 173 orang (68,4%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gustafon , et al (2004) yang menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan wanita, dimana hal ini mungkin berhubungan dengan interaksi sosial laki laki lebih tinggi dibandingkan wanita sehingga kemungkinan transmisi TB lebih besar. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa subjek penelitian banyak yang memiliki tingkat pendidikan cukup yaitu tamat SMA sebanyak 101 orang (39,9%). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Desmon (2006) yang mengungkapkan bahwa orang dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah memiliki risiko 2,51 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi. Kondisi

39

ini dapat disebabkan oleh kesadaran yang tinggi untuk memeriksakan kondisi kesehatannya pada pasien yang berobat ke Poliklinik Paru di RSUP Haji Adam Malik Medan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar subjek penelitian tidak bekerja yaitu 84 orang (32,2%). Hal ini sejalan dengan penelitian Rusnoto (2006) bahwa proporsi pekerjaan penderita tuberkulosis pada 106 subjek penelitian adalah petani sebanyak 43 orang (43,6%). Berdasarkan teori dalam Crofton (2002), diungkapkan bahwa 90% penderita TB terjadi pada penduduk dengan status ekonomi rendah. Selain itu, menurut penelitian Desmon (2006), orang yang memiliki pendapatan yang lebih kecil dari rata-rata pendapatan per kapita nasional berisiko 1,64 kali untuk menderita TB paru dibandingkan dengan pendapatan yang lebih tinggi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas subjek penelitian memiliki keluhan utama berupa gejala respiratorik yaitu 228 orang (89,7%). Pada subjek penelitian, keluhan yang ditemukan dapat lebih dari satu. Keluhan yang paling banyak dikeluhkan adalah batuk sebanyak 219 orang (86,6%). Menurut penelitian Tanuwiharja (2001) pada 109 subjek penelitian yang memiliki keluhan utama batuk kronik, 79 orang diantaranya (72,5%) adalah penderita TB dengan PCR TB (+). Hal ini juga sesuai dengan teori yang terdapat dalam Crofton (2002) bahwa gejala yang paling banyak dikeluhkan oleh penderita TB adalah batuk kronik (> 3 minggu). Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum BTA, sebagian besar subjek penelitian pada penelitian ini memiliki sputum BTA positif yaitu 209 orang (82,6%). Hal ini sejalan dengan penelitian Rasmin dkk (2006) dimana didapatkan sebanyak 227 orang (86%) yang memiliki BTA positif. Berdasarkan teori Crofton (2002) pasien TB paru yang memiliki sputum BTA positif adalah orang yang sangat infektif menularkan infeksi TB kepada orang lain. Menurut Schoch & Rieder (1996) dalam penelitiannya di Zimbabwe, didapatkan bahwa dari 196 pasien TB dengan sputum BTA (+), 127 orang diantaranya menderita HIV/AIDS (65%). Sehingga pasien TB dengan BTA (+) selain merupakan media transmisi yang paling efektif bagi orang lain disekitarnya,

40

juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya HIV/AIDS positif. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa risiko ini tidak ada perbedaan antara negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi dengan negara dengan prevalensi yang rendah, karena adanya kesamaan karakteristik dan demografi pada penderita TB tersebut. . Dari hasil penelitian, sebagian besar subjek penelitian mendapatkan pengobatan kategori 1 yaitu 202 orang (79,8%). Kategori 1 adalah kategori pengobatan untuk TB paru dengan kasus baru dengan BTA positif atau BTA negatif dengan lesi luas pada gambaran radiologi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rasmin dkk (2006) di RS Persahabatan dengan jumlah sampel 264 orang, dimana didapatkan sebanyak 225 orang (85,2%) mendapatkan pengobatan kategori 1. Dari hasil penelitian, hanya sebagian kecil subjek penelitian yang mendapatkan pengobatan kategori 4 yaitu 4 orang (1,6%). Kondisi ini dapat disebabkan karena di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan banyak didapatkan kasus baru TB dan pasien yang datang memiliki kesadaran untuk mengkonsumsi OAT secara adekuat atau kurangnya pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas. Dari hasil penelitian, mayoritas subjek penelitian tidak mengalami MDR TB yaitu 249 orang (98,4%) dan hanya empat orang (1,6%) subjek penelitian saja yang mengalami MDR TB. Hal ini sejalan dengan penelitian Rasmin dkk (2006) di RS Persahabatan dimana jumlah penderita TB dengan kasus MDR (+) ditemukan sebanyak 12 orang (4,5%) dan jumlah penderita TB dengan kasus MDR (-) ditemukan lebih banyak yaitu 252 orang (95,5%). Namun begitu, hasil ini tidak sejalan dengan penelitan Tanjung (1998) di RS Pirngadi dimana ditemukan 96% TB yang resisten dengan satu atau lebih gabungan OAT. Kejadian MDR TB dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pengobatan yang tidak adekuat, koinfeksi HIV/AIDS, lingkungan dimana banyak yang juga mengalami MDR TB, keadaan imunosupresif dan adanya penyakit penyerta seperti DM tipe 2 (Prasad, 2005). Kondisi ini dapat disebabkan oleh karena pasien TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan memiliki kesadaran yang tinggi untuk menuntaskan pengobatan

41

OAT secara adekuat atau mungkin kurang dilakukannya uji kultur dan sensitivitas pada pasien TB Paru di RSUP Haji Adam Malik Medan. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar subjek penelitian tidak memiliki riwayat penyakit penyerta yang merupakan faktor risiko untuk mendapatkan penyakit tuberkulosis paru, yaitu 175 orang (69,2%). Adapun riwayat penyakit penyerta yang paling banyak diderita pada pasien TB paru adalah diabetes mellitus tipe 2 yaitu 42 orang (16,6%). Hal ini sesuai dengan teori dalam Crofton (2002) bahwa penderita diabetes mellitus memiliki risiko 2-3 kali terkena penyakit tuberkulosis paru. Begitu juga dengan penelitian Tanjung (1998), ada 11,7% penderita tuberkulosis paru dengan riwayat penyakit penyerta diabetes mellitus. Menurut Ljubic, et all (2005), diabetes mellitus tipe 2 memiliki insidensi tinggi untuk terjadinya TB paru, respon OAT yang buruk sehingga rentan untuk terjadinya resistensi OAT dan perkembangan TB yang sangat cepat. Hal ini dikarenakan keadaan hiperglikemia kronik yang membuat respon imun menjadi buruk dan memberikan tempat yang baik bagi perkembangan Mikobakterium tuberkulosis dan juga dikarenakan status nutrisi yang tidak seimbang pada pasien DM tipe 2. Dari data hasil penelitian sebagian besar subjek penelitian tidak menderita tuberkulosis ekstraparu yaitu 202 orang (79,8%). Pada subjek penelitian yang memiliki tuberkulosis ekstraparu, sebagian besar menderita pleuritis TB yaitu 21 orang (8,3%) dan limfadenitis TB 13 orang (5,1%). Hal ini sesuai dengan teori Crofton (2002) bahwa tuberkulosis ekstraparu yang paling sering dialami adalah pleuritis TB dan limfadenitis TB. Peneliti belum menemukan penelitian lain yang mengungkapkan prevalensi tuberkulosis ekstraparu mana yang paling banyak diderita. Dalam suatu statistika, dapat dilakukan suatu distiribusi silang. Dalam distibusi subjek penelitian berdasarkan kelompok umur dan hasil pemeriksaan BTA, kelompok umur terbanyak, yaitu umur 45 54 tahun, terdapat 21% (55 orang) yang memiliki hasil sputum BTA positif. Sama halnya dengan penelitian Rasmin dkk (2006) di RS Persahabatan Jakarta, pada kelompok umur terbanyak pada penelitian

42

tersebut (26 35 tahun) didapatkan sebanyak 88,3% diantaranya (98 orang) adalah BTA positif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian meta analisis Guzman (1999) didapatkan bahwa kelompok umur > 60 tahun lebih banyak mendapatkan hasil sputum BTA positif, dimana hal ini dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun tubuh, namun belum ditemukan penelitian lebih lanjut. Perbedaan ini dikarenakan penelitian tersebut dilakukan pada negara maju dengan angka prevalensi yang rendah dan sebagian besar penderita TB di negara tersebut adalah usia tua. Kejadian MDR TB pada penelitian ini terbanyak pada kelompok umur 25 34 tahun (dua orang dari empat orang yang ditemukan dari seluruh subjek

penelitian). Hal ini sesuai dengan penelitian Munir, Nawas & Sutoyo (2009) pada 101 subjek penelitian dengan MDR TB, didapatkan 36 orang diantaranya (35,6%) berada pada kelompok umur 25 34 tahun. Begitu juga dengan penelitian Rasmin dkk (2006) didapatkan bahwa penderita MDR TB terbanyak pada kelompok umur 26 35 tahun, yaitu tujuh orang (6,3%) dari 12 orang MDR TB yang ditemukan dalam 264 subjek penelitian. Seperti halnya pada TB paru, semua kejadian MDR TB pada penelitian ini terjadi pada jenis kelamin laki-laki, yaitu empat orang (1,6%) dari 169 orang subjek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sejalan dengan penelitian Munir, Nawas & Sutoyo (2009) didapatkan 53 orang (52,5%) dari 101 orang subjek penelitian yang MDR TB adalah laki-laki. Angka kejadian TB baik MDR TB negatif atau MDR TB positif selalu ditemukan lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini selalu dikaitkan dengan tingginya kehidupan sosial laki-laki. Namun belum ditemukan adanya penelitian yang mengungkapkan bagaiman hubungan kejadian TB paru pada laki-laki. Seluruh subjek penelitian yang mengalami MDR TB mempunyai hasil sputum BTA positif. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan dalam penelitian Rasmin dkk (2006) dimana seluruh MDR TB yang ditemukan pada 264 subjek penelitian (12 orang) memiliki hasil sputum BTA positif.

43

Dari hasil penelitian terdapat empat orang subjek penelitian yang mengalami MDR TB, dengan satu diantaranya disertai dengan penyakit penyerta diabetes meliitus, satu orang diantaranya disertai dengan dispepsia, dan dua orang lagi tidak disertai dengan penyakit penyerta. Menurut Prasad (2005) keadaan-keadaan imunokompromais seperti diabetes mellitus, HIV/AIDS, transplantasi, pengobatan kemoterapi, dan lain-lain merupakan faktor risiko yang memudahkan pasien tuberkulosis paru untuk mengalami MDR TB. Selain itu menurut Ljubic, et all (2005) keadaan hiperglikemia kronik pada pasien TB dengan diabetes mellitus tipe 2 membuat respon penderita terhadap OAT buruk dan meningkatkan kerentana pasien terhadap terjadinya MDR TB. Sementara itu berdasarkan penelitian Sembiring

(2008) di RSUP Haji Adam Malik Medan pada 25 orang penderita DM tipe 2 dan 25 orang penderita non DM tipe 2, didapatkan bahwa terjadi perbedaan bermakna (p=0,01) dimana delapan orang (32%) penderita DM tipe 2 mengalami MDR TB dan hanya satu orang (4%) penderita non DM tipe 2 yang mengalami MDR TB.

44

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1

KESIMPULAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru sebagian besar berada di kelompok umur 44 54 tahun (26,9%) dan kelompok umur 15 24 tahun (25,7%). 2. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas berjenis kelamin laki-laki (68,4%). 3. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru sebagian besar memiliki tingkat pendidikan tamat SMA (39,9%). 4. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru sebagian besar bekerja sebagai tidak bekerja (32,2%). 5. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas memiliki keluhan utama gejala respiratorik (89,7%). 6. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas memilik hasil pemeriksaan sputum dengan BTA positif (82,6%). 7. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas mendapatkan pengobatan dengan kategori 1 (79,8%). 8. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di poliklinik penyakit paru sebagian besar tidak memiliki riwayat penyakit penyerta (69,2%). Penderita tuberkulosis dengan riwayat penyakit penyerta sebagian besar menderita diabetes mellitus (16,6%).

45

9. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas tidak mengalami tuberkulosis ekstraparu (79,8%). Penderita dengan tuberkulosis ekstraparu sebagian besar menderita pleuritis TB (8,3%). 10. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas tidak mengalami MDR TB (98,4%).

6.2

SARAN

Beberapa saran yang dapat diberikan oleh peneliti bagi semua pihak yang dapat berperan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Diharapkan kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan, kepada para petugas kesehatan yang berperan dalam pencatatan rekam medis pasien agar dapat menyelaraskan jumlah pasien yang berobat di Poliklinik dengan informasi rekam medis di bagian rekam medis. Hal ini dikarenakan peneliti menjumpai jumlah pasien yang berbeda antara di Poliklinik paru dengan informasi yang diperoleh dari bagian rekam medis. Selain itu peneliti juga menemukan nomor rekam medis pasien yang saling tumpang tindih. Diharapkan kepada pihakpihak yang terlibat memperhatikan rekam medis dan isi rekam medis pasien dengan baik. Peneliti juga mengharapkan agar semua penderita TB Paru dapat dilakukan uji kultur dan uji sensitivitas agar kejadian adanya resistensi OAT pada pasien TB dapat terdeteksi secara dini. 2. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih memperdalam pengetahuannya mengenai tuberkulosis paru, penularan, dan pencegahannya. 3. Bagi penelitian selanjutnya agar lebih memperdalam cakupan penelitiannya mengenai tuberkulosis paru ini. Seperti misalnya penelitian hubungan kejadian tuberkulosis paru pada laki-laki, penelitian mengenai MDR TB secara khusus, dan lain-lain.

46

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. Y., 2002. Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi, & Masalahnya. Edisi 4. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Amin, Z., Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, Aru W et al, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 988993. Bang, E., 2009. Tuberculosis, State University of New York. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/787841-overview. [Accessed 19 April 2010]. Barker, R. D., 2009. Clinical Tuberculosis. Medical Progress, June 2009: 280-284. Crofton, J., Horne, N., Miller, F., 2002. Clinical Tuberculosis. England: TALC IUATLD. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Survei Kesehatan Rumah Tangga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. _________, 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2. Cetakan Pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. _________, 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. _________, 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

47

Desa, Mhd. S., 2008. Pengaruh Sosiodemografi dan Karakteristik Pekerjaan Terhadap Keinginan Pindah Kerja Bidan di Kabupaten Serdang Bedagai. Universitas Sumatera Utara. Dikutip dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6765/1/08E00463.pdf. [Diakses 28 April 2010]. Desmon, F., 2006. Hubungan antara Merokok, Kayu Bakar, dan Kondisi Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru. Fakultas Kedokteran Masyarakat Universitas Indonesia, Dikutip dari: http://www.digilib.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=108418&lokasi=lo kal. [Diakses 12 April 2010]. Gustafon, P., et all. 2004. Tuberculosis in Bissau: incidence and risk factor in an urban community in sub-Saharan Africa. International Journal of Epidemiology 33(1): 24-28. Guzman, C. P., Vargas, M. H., Cruz, A. T., Velarde, H. V., 1999. Does Aging Modify Pulmonary Tuberculosis. CHEST, 116 (4): 961-967. Isa, Mhd., Khairiah, S., 2003. Prevalensi Panderita TB Paru Bagian Rawat Inap Paru RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 1999-2000. DEXA MEDICA. 4 (16): 123-133. Kumar, V., 2007. Tuberkulosis. Dalam: Robbins, Cotran, Kumar ed. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Jakarta: EGC, 544-551. Ljubic, S. et all, 2005. Pulmonary Infections in Diabetes Meliitus. Diabetologia Croatica. 33(4): 203-210. Munir, S.M., Nawas, A., Sutoyo, D., 2009. Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multi Drug Resistant (TB-MDR) di Poliklnik Paru RS Persahabatan. Universitas Indonesia. Dikutip dari: http://www.pulmo-ui.com/tesis/MunirSM.pdf. [Diakses 16 November 2010]

48

Notoatmojo, S., 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Prasad, R., 2005. MDR TB: Current Status. Indian J Tub, 52: 121-131. Rahajoe, N.N., Setyanto, D.B., 2007. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah. Dalam: Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., Setyanto, D.B. ed. Respirologi Anak. Edisi 1. Jakarta: IDAI, 169-177.

Rao, P. V., 2009. TB and Diabetes, Joint Effort tu Eradicate Tuberculosis. Available from: http://www.ourjeet.com/index2.asp. [Accessed 20 April 2010]. Rasad, S., 2009. Radiologi Diagnostik. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Rasmin, dkk, 2006. Profil Penderita Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan JanuariJuli 2005. Jurnal Respirologi Indonesia, 27 (1): 402-408 Rusnoto, Rahmatullah P., Udiono A., 2006. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru Pada Usia Dewasa. Universitas Diponoegoro. Dikutip dari : http://eprints.undip.ac.id/5283/1/Rusnoto.pdf [Diakses 28 April 2010]

Schoch, O.D., Rieder H.L. 1996. Characteristics of sputum smear-positive tuberculosis patients with and without HIV infection in a hospital in Zimbabwe. Eur Respir J, 9: 284287 Sembiring, S., 2008. Multi Drug Resistance (MDR) pada Penderita Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Mellitus. Universitas Sumatera Utara. Dikutip dari:

49

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6406/1/08E00290.pdf. [Diakses 16 November 2010]

Tanjung, A. Dkk, 1998. Masalah Tuberkulosis Paru di Bagian Penyakit Dalam RS Pirngadi Medan. Medika, 48 (10): 804-810 Tanuwiharja, B.Y., 2001. Chronic Cough and Tuberculosis. Jurnal Respirologi Indonesia, 21 (1): 510-514 Todar, K, 2009. Mycobacterium tuberculosis and Tuberculosis. University of Wisconsin. Available from: http://www.textbookofbacteriology.net/tuberculosis.html. [Accessed 12 April 2010]. USAID, 2009. Indonesia Profile of Tuberculosis. Washington DC: USAID. Available from: http://www.usaid.gov/our_work/global_health/id/tuberculosis/countries/asia/ind onesia_profile.html . [Accessed 12 April 2010]. Utami, M. R., 2006. Perbedaan Derajat Lesi Radiologi pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus dan Non-Diabetes Melitus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Universitas Negeri Surakarta. Dikutip dari: http://digilib.uns.ac.id/abstrakpdf_2879_perbedaan-derajat-lesi-radiologi-padapasien-tuberkulosis-paru-dengan-diabetes-melitus-dan-non-diabetes-melitus-dirsud-dr.-moewardi-surakarta.pdf. [Diakses 20 April 2010]. World Health Organization, 2006. The Stop TB Strategy. Geneva: World Health Organization. Available from: http://www.who.int/tb/publications/stoptbstrategy/2006/update/en/index.html. [Accessed 12 April 2010].

50

_______, 2009. Basic TB Facts. Geneva: World Health Organization. Available from: http://www.who.int/mediacentre/basictbfacts/fs104/en/index.html. [Accessed 12 April 2010]. ______, 2009. Global tuberculosis control: a short update to the 2009 report. Geneva: World Health Organization. Available from: http://www.who.int/tb/publications/global_report/2009/update/en/index.html. [Accessed 12 April 2010]. ______, 2005. Gender in Tuberculosis Research. Geneva: World Health Organization. Available from: http://www.who.int/gender/documents/TBlast2.pdf. [Accessed 30 April 2010]. Zevitz, M., Lendhart, R., 2006. Pulmonary Medicine Review. USA: McGraw-Hill