Top Banner

of 24

Kisah Sukses TKI

Jul 08, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Kisah Sukses TKIFatkul Muin Melihat penampilan yang parlente dan logat bicara melayunya yang khas saya tidak mengira jika Riyanto ini orang Indonesia , namun setelah lama berbicara tahulah saya jika dia ini asli orang Indonesia dan berasal dari Desa Kedungmutih kecamatan Wedung kabupaten Demak salah satu desa Pesisir pelosok . Bapak satu anak ini telah 7 tahun menjadi TKI dan bekerja di negeri jiran Malasyia bertempat tinggal di Setapak Danau Kotak kota Kualalumpur, yaitu ibu kota Negara Malasyia salah satu kota besar di Asia. Di negeri jiran ini Riyanto bersama 5 saudaranya bekerja di sector kontruksi yaitu pemasangan plat alumunium dan kaca untuk gedung-gedung bertingkat dikota Kualalumpur , baik itu hotel, perkantoran, dan juga pertokoan. Oleh karena lamanya tinggal di sana dia sudah mempunyai IC sehingga dia bebas kemana-mana tanpa takut di tangkap polisi diraja Malasyia dan iapun dapat mencari order pekerjaan dengan leluasa. Bahkan di sana dia juga telah membeli sepeda motor sebagai mobilitas pekerjaannya yang membutuhkan alat transportasi khusus , dan sepeda motornyapun sudah beberapa kali perpanjangan STNK. Kalau tak mikirkan istri di kampung sudah beli awak kereta , tapi tidak begitu pak cik awak beli tambak seharga 150 juta dan buat rumah dulu untuk tabungan besok dikala tua , nanti kalau ada uang lebih baru awak beli kereta , katanya dengan logat Malasyianya. Riyanto mengatakan sebelum sukses seperti sekarang dia pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan di Malasyia, awalnya keberangkatannya ke Malasyia lewat calo . Memang biayanya lebih murah namun demikian sampai di negeri jiran ini dia seperti maling saja , keluarnya hanya pada malam hari dan pagi sampai sore dia bekerja di hutan perkebunan karet dan Kelapa sawit. Gajinya tidak begitu banyak dikurangi ongkos makan kelebihannya tidak begitu banyak , sehingga dua tahun dia bekerja di negeri diraja ini tidak ada perubahan berarti dalam hidupnya. Kemudian kepergiannya yang kedua kali ini dia menggunakan jalur bersih , tidak sembunyi-sembunyi oleh karena itu beaya yang ia keluarkan cukup besar lebih dari 10 juta. Namun setelah sampai di sana dia bisa bebas memilih pekerjaan , dan iapun ikut bos memasang plat aluminium dan kaca untuk gedung-gedung bertingkat di kota Malasyia . Di situ dia juga bekerja dengan tenaga kerja dari Negara lain seperti Banglades , India, Thailand dan dan sejumlah Negara ASEAN . Namun Tenaga kerja Indonesia menurutnya mempunyai kelebihan dibandingkan yang lain , selain rajin bekerjanya juga lebih pintar dalam bekerja sehingga dalam penggajian TKI lebih tinggi gajinya dibandingkan Negara lain. Di Malasyia tenaga kerja Indonesia rata-rata di bayar Rp 35 40 ringgit bahkan kadang lebih , namun selain Indon biasanya gaji mereka mentok di kisaran 35 ringgit . Oleh karena itu banyak pengusaha Malasyia yang masih membutuhkan tenaga kerja Indonesia , mengandakan tenaga kerja Malasyia sendiri jelas tidak mungkin. Warga Malasyia jarang yang terjun menjadi tenaga kerja di sector konstruksi , selain memang berjiwa malas karena telah di berikan berbagai fasilitas olah kerajaan juga tidak mungkin kuat karena tidak terbiasa bekerja berat. Bisa dikatakan kota Kualalumpur bisa megah seperti sekarang dengan gedung-gedung pencakar langit , semua itu yang kerjakan orang Indon, kalau tak ada orang Indon kota

Kualalumpur payah , ujar Riyanto yang mengaku pernah bersalaman dengan Perdana Menteri Malasyia dikala Pesta Kembang Api tahun baru di Kuala Lumpur . Bagi Riyanto yang hanya tamatan SD ( Sekolah dasar ) kota Kualalumpur sudah mengubah kehidupannya , di tahun 2010 ini dia sudah lepas dari sang majikan dan kini dia telah mencari order borongan proyek sendiri dibantu dengan 5 saudaranya yang ia datangkan dari Demak Jawa Tengah . Dengan bekerja sendiri dia bisa lebih mendapatkan hasil , selain itu pula dapat memberi pekerjaan pada saudara-saudaranya di kampung yang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Meski baru dua bulan memborong pekerjaan dia sudah bisa menengok anak istrinya dengan membawa sejumlah uang , untuk keluarga di rumah. Meski jauh dari anak istri hal ini bukan menjadi halangan terus bekerja , karena di desapun saat ini semua sulit , laut sepi , Hasil tambakpun tidak seperti dahulu. Jika dia masih di desa tentu tidak aka nada perubahan pada nasib keluarga nya. Saat ini selain membeli tambak senilai 150 juta , kini dia baru menyelesaikan rumahnya yang menghabiskan biaya 50 juta lebih. Ya kalau ingin kerja di luar negeri resepnya gampang Mas , Pakai jalan resmi bekerja di sana dengan membayar ijin yang jika dirupiahkan saat ini kurang lebih 13 jutaan, mempunyai ketrampilan utamanya misalnya bangunan, listrik , perkebunan dll dan satu lagi harus rajin bekerja jangan malas seperti warga Malasyia , tuturnya menutup perjumpaan Riyanto merupakan salah satu sosok TKI yang sukses di negeri Jiran , selain Riyanto masih banyak TKI lainnya yang merupakan penyumbang devis bagi negeri kita Indonesia . Kesuksesan Riyanto memang perlu di tiru ,apalagi dinegara Indonesia masih banyak pengangguran yang membutuhkan pekerjaan. Meskipun dari desa dan berpendidikan seadanya namun tidak menghambat kesuksesannya. (FM)

Nelson Tansu Amerika memang benar-benar menjadi impian pekerja asal Medan, Nelson Tansu. Mantan finalis Tim Olimpiade Fisika Indonesia ini memulai karirnya ketika mendapat tawaran beasiswa dari Bohns Scholarships untuk kuliah di jurusan matematika terapan, teknik elektro, dan fisika di Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat. Masuk kampus September 1995, laki-laki berdarah Tionghoa ini menyandang gelar bachelor of science hanya dalam tempo dua tahun lebih sembilan bulan. Predikatnya pun summa cum laude. Setelah merampungkan S-1 di bidang applied mathematics, electrical engineering, and physics pada 1998, ia kebanjiran tawaran beasiswa dari berbagai perguruan tinggi top di Amerika. Meski ada tawaran dari universitas yang peringkatnya lebih tinggi, ia memilih tetap tinggal di Universitas Wisconsin, dan meraih gelar doktor di bidang electrical engineering pada Mei 2003. Untuk biaya sekolah di negeri Paman Sam, Nelson mendapatkan beasiswa penuh saat masuk di tingkat doctoral, sehingga praktis orang tua Nelson hanya membiayai hingga tingkat S-1. Biaya kuliah tingkat doktor hingga segala keperluan kuliah dan kehidupannya ditanggung lewat beasiswa universitas. Kuliah dan bekerja sebagai peneliti di kampus memang pekerjaan Nelson sehari-hari. Beasiswa yang saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kuliah dan kebutuhan di universitas, katanya. Selama menggarap program doktor, Nelson terus mengukir prestasi. Berbagai penghargaan berhasil diraihnya, antara lain WARF Graduate University Fellowships dan Graduate Dissertator Travel Funding Award. Bahkan, penelitan doktornya di bidang photonics, optoelectronics, dan semiconductor nanostructires meraih penghargaan tertinggi di departemennya, yakni The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award. Setelah menyandang gelar doktor, Nelson mendapat tawaran bekerja sebagai asisten profesor dari berbagai penjuru universitas di Amerika. Peluang menggiurkan ini menjauhkan minatnya untuk kembali ke Tanah Air. Akhirnya, awal 2003, di usianya yang ke-25, Nelson memilih Lehigh University, dan menyandang gelar asisten profesor di bidang electrical and computer engineering. Di AS, itu merupakan gelar untuk guru besar baru di perguruan tinggi. Walaupun saya adalah profesor di jurusan electrical and computer engineering, riset saya sebenarnya lebih condong ke arah fisika terapan dan quantum electronics, jelasnya. Lehigh University merupakan sebuah universitas unggulan di bidang teknik dan fisika di kawasan East Coast, Negeri Paman Sam. Ia berhasil menyisihkan 300 doktor yang kehebatannya tidak diragukan lagi. Seleksinya ketat sekali, sedangkan posisi yang diperebutkan hanya satu, ujarnya menggambarkan situasi saat itu.

Bangga Berpaspor Garuda Meski sudah hampir satu dekade berada di AS, hingga sekarang Nelson masih memegang paspor hijau berlambang garuda. Pria ganteng kelahiran Medan, 20 Oktober 1977 ini mengaku mencintai Indonesia. Ia tidak malu mengakui bahwa Indonesia adalah tanah kelahirannya. Saya sangat cinta tanah kelahiran saya. Dan saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk Indonesia, katanya serius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Tentu saja jika bangsa kita terus bekerja keras, kata Nelson lagi. Lelaki penggemar buah-buahan dan masakan Padang itu mengaku lega dan beruntung karena dirinya yang terpilih. Menurut Nelson, dari segi gaji dan materi, menjadi profesor di kampus top seperti yang dia alami sekarang sudah cukup lumayan. Berapa sih lumayannya? Sangat bersainglah. Gaji profesor di universitas private terkemuka di Amerika Serikat adalah sangat kompetitif dibandingkan dengan gaji industri. Jadi, cukup baguslah, hehehe, katanya, menyelipkan senyum. Sebagai intelektual muda, dia menjalani kehidupannya dengan tiada hari tanpa membaca, menulis, serta melakukan riset. Tentunya, dia juga menyiapkan materi serta bahan kuliah bagi para mahasiswanya. Kesibukannya itu bertumpu pada tiga hal yakni, learning, teaching, and researching. Boleh jadi, tak ada waktu sedikit pun yang dilalui Nelson dengan santai. Di sana, 24 jam sehari dilaluinya dengan segala aktivitas ilmiah. Waktu yang tersisa tak lebih dari istirahat tidur 4-5 jam per hari. Selama mengajar di kampus, karena wajahnya yang masih muda, tak sedikit insan kampus yang menganggapnya sebagai mahasiswa S-1 atau program master. Dia dikira sebagai mahasiswa umumnya. Namun, bagi yang mengenalnya, terutama kalangan universitas atau jurusannya mengajar, begitu bertemu dirinya, mereka selalu menyapanya hormat: Prof Tansu.

Kisah Basuki, TKI Sukses Asal PonorogoCita-Cita TNI, Kini Juragan Telur

Ponorogo [KMIT-Online] Rentetan kegagalan yang dialami bukan menjadi penghalang menggapai cita-cita. Kendati jalan hidup yang dilalui tidak sesuai cita-cita di kala remaja, menjadi cambuk guna meraih sukses. Lakon ini dialami Basuki, warga Dukuh Mayi, Desa Bedi Kulon, Kecamatan Bungkal, Kabupaten Ponorogo. Setelah enam tahun mengais rezeki di negeri Taiwan sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI), kini hasilnya mulai dirasakan. Basuki bisa membangun rumah di kampung halamannya dan membuka usaha peternakan ayam petelur. Dari hasilnya itu, ia pun bisa membeli lahan kebun sawit di Lampung seluas tiga hektare. Ketika koran ini bertandang di rumahnya (Minggu, 14/9), Basuki masih pergi ke pasar bersama istri dan buah hatinya. Ditunggu sekitar 10 menit, lelaki berambut pendek dengan mengenakan kaos ketat itu, datang menunggang sepeda motor keluaran terbaru. Sepintas, orang bisa mengatakan cukup sangar. Namun, dugaan ini ternyata meleset. Justru dengan ramah Basuki menyambut kedatangan koran ini dan langsung mempersilakan masuk ke ruang tamu rumahnya. ''Silakan masuk. Maaf tadi baru saja mengantar telur pesanan di pasar," katanya sambil bersalaman memperkenalkan diri. Selanjutnya, dia mulai menceritakan kisah hidupnya hingga harus memburu uang hingga ke Taiwan. Ternyata, keputusan menjadi TKI diambil Basuki setelah sempat beberapa kali gagal mengikuti tes di lingkup TNI. Jika dihitung sampai lima kali ia mengadu peruntungan. "Mungkin (menjadi tentara) bukan jalan hidup saya. Beberapa kali sampai tahap pantukir (penentuan tahap akhir) juga tidak lolos," kenangnya. Atas kegagalan tersebut bukan patah semangat atau nglokro. Sebaliknya, Basuki mulai mengambil hikmahnya. Saat itu, tahun 1999, ia terbersit untuk mengadu nasib sebagai TKI dengan tujuan Taiwan. Hanya berbekal ijazah SMA, dia berangkat lewat seorang agen PJTKI PT. Indo Karsa, Jakarta. "Sayang, saat ini, PT tersebut sudah tidak ada lagi. Entah mengapa?" terang bapak satu anak ini. Akibatnya, ijasah SMA yang dimilikinya ikut melayang bersama lenyapnya PT Indo Karsa. Saat itu sistem untuk memberangkatkan TKI masih tertumpu pada uang. Setelah beberapa persyaratan terpenuhi, tak lama kemudian Basuki pun berangkat. Ketika itu, ia harus mengeluarkan kocek sebesar Rp 9 juta. Singkat cerita, Basuki beberapa hari sudah bekerja di sebuah pabrik elektronika di Taiwan. Dengan gaji 15.840 NT setelah dipotong biaya makan dan asuransi, akhirnya tiap bulan hanya menerima 15.000 NT. Atau jika dirupiahkan Rp 4 juta. "Itu belum kalau ada lemburan," tambahnya.

Selama tiga tahun bekerja, Basuki sudah mulai menabung. Uangnya langsung dikirim ke kampung halaman. Agar tidak sia-sia, dia mulai menyelesaikan pembangunan rumah yang dihuni istri dan anaknya. "Saat itu (rumah) memang belum sempurna. Makanya saya hanya sebulan di rumah langsung berangkat lagi ke Taiwan," papar Basuki sambil mengingat keberangkatan ke kedua sekitar tahun 2003. Kali ini biayanya meningkat menjadi Rp 22 juta. Berada di Taiwan tahap kedua, membuat Basuki betah bekerja. Apalagi pembayaran gaji selalu tepat waktu. Tidak terasa kontrak selama tiga tahun sudah dilalui. Pria kelahiran 22 Februari 1977 ini memutuskan untuk pulang. Namun, pikirannya saat itu langsung tertuju membuka usaha peternakan ayam. "Saya sempat akan membuka ternak ayam potong. Tapi, kurang cocok dan saya pilih ayam petelur saja," ungkapnya. Dengan modal yang ada, dia mulai membuka usaha ini dengan sistem mandiri. Artinya tidak tergantung kemitraan dengan pihak ketiga. Biaya pembuatan kandang, bibit ayam hingga pakan dicukupi dengan sistem bayar tunai. Tahap awal, dia membeli 1.500 ekor ayam dulu. "Kami sudah menjalani usaha ini (ayam petelur) selama tiga tahun. Dan hasilnya memang cukup lumayan untuk pengembangan selanjutnya," tegasnya. Memang, melihat lahan kandang ayam yang berada persis di belakang rumahnya dan dipagar tembok, kemungkinan perluasan sangat terbuka. "Untuk perluasan nanti, uangnya saya ambilkan dari keuntungan ayam ini," imbuhnya sambil memperlihatkan kandang ayam petelur dengan sistem baterai tiga tingkat itu. Apalagi, melihat pemasaran yang masih sebatas lokal Kecamatan Bungkal dan sekitarnya berpotensi untuk mengepakkan sayap usahanya ke depan. Sebenarnya, istrinya Suprihatin yang telah memberikan momongan bernama Rian Herdinata, 3 tahun tercatat juga sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi. Selama dua tahun sejak tahun 2002, istrinya mengadu nasib di negeri orang. Dan sekarang kedua pasangan suami istri (pasutri) ini terus menekuni usaha ternak ayam petelur. Sebenarnya, hasil keringat sebagai TKI dan TKW juga digunakan untuk membeli sebidang lahan kelapa sawit seluas tiga hektare seharga Rp 18 juta tahun 2002 di Lampung. "Tapi lahan itu sekarang diolah mertua saya. Mungkin sebentar lagi akan panen," ungkap Basuki tersenyum sebelum mengakhiri obrolannya dengan koran ini. (tya/rif/Radar Madiun)

Enal, Mutiara Expo TKI Purna Padang, BNP2TKI - Kemeriahan dan Kemewahan Ekspo TKI Purna lengkap dengan adanya stand mutiara dari kota Lombok. Lalu Zaenal Abidin yang menampilkan produk aneka disain kreatif dari motif batu mutiara bercampurkan emas dan perak. Enal, sapaan akrab Lula adalah satu diantara 40 TKI Purna yang memamerkan produk unggulannya. Dari jumlah 40 stand itu, 35 bidang usaha di antaranya dikelola mantan TKI yang berdomisili di Sumatera Barat dan mantan TKI dari Malaysia. Sedang sisanya, 5 peserta datang dari Propinsi Banten, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Keempat puluh stand itu menampilkan produk yang beragam, dari mulai produk sembako, ternak ayam, elektronik, jual pulsa handphone, makanan, hingga rajutan khas Minang. Sedang Enal, adalah salah satu peserta dari Lombok, produknya tergolong unik, dan terbilang berkelas, yaitu perhiasan mutiara. Menurut Enal, dari barang-barang yang dibawanya, produk yang paling mahal yaitu cincin bermata 60 buah berlian harganya Rp 7,5 juta, cincin bertabur mutiara seharga Rp 3,7 juta, dan aneka cincin, gelang, liontin, bros yang dijual di bawah Rp 100 ribu. Kaum ibu dan wanita remaja yang paling banyak mengunjungi stand Enal dibanding stand lain. Dari skspo sehari saja, total omset di stand Ena mencapai sekitar Rp 4 juta, di samping itu juga ada pesanan dari pelanggan lama di kota Padang senilai Rp 10 jutaan. "Omset penjualan Rp 150 juta pernah didapat ketika mengikuti pameran Ina Craft tahun 2005 di Jakarta Convention Center," ujar Enal, kepada BNP2TKI.go.id saat ditemui usai Ekspo TKI Purna di kantor Halaman Gubernur Sumatera Barat, Kamis (16/12). Hoki berbisnis Enal kian bertambah ketika Badan Usaha Milik Negara, Jamsostek, membantunya mengucurkan dana pinjaman berbunga lunak sebesar Rp 50 juta. Ke Jepang Cari Modal "Awal berbisnis mutiara ini karena melihat kakak ipar sudah sukses di bisnis ini," ujar Enal. Namun karena bisnis mutiara ini butuh modal besar, maka pilihan bekerja ke Jepang menjadi jalan ke luar selama 3 tahun untuk mengais modal bekal usahanya nanti. Muda menabung, Muda beruntung. Pas 3 tahun bekerja, Enal mampu mengumpulkan modal tabungan Rp 250 juta. Mantan TKI magang di Jepang (2001-2004) ini memilih menekuni usaha asesoris perhiasan dari mutiara air tawar dan laut khas Lombok. Kini Enal yang memilik 7 karyawan, mantap mengembangkan bisnis batu mutiara di tokonya, Sakura, yang terletak di Jalan KH. Ahmad Dahlan, Mataram. Penamaan toko Sakura, yang baru dibelinya 2 minggu lalu sebesar Rp 175 juta, diberikan untuk mengenang pengalamannya bekerja di Jepang.

Ali Asegaf Sukses Di Amerika

(Jakarta, BNP2TKI) Dalam satu menit kita bicara dengan Ali Asegaf (47), selalu terselip bahasa Inggris yang keluar dengan dialek khas Amerikanya. Bukan berarti dia sok ke barat-baratan, tetapi itu lantaran Ali sudah lebih dari 10 tahun tinggal dan bekerja di negara Paman Sam. Kalau kita bicara di telpon dengannya, kita sepertinya akan terkecoh sedang bicara dengan orang bule. Selama 10 tahun berkiprah di Amerika dimanfaatkan betul Ali Assegaf untuk mengembangkan kemampuan diri. Ali yang datang sebagai TKI mandiri ke Amerika Serikat, seperti kebanyakan pendatang di sana, ia terbiasa bekerja serabutan. "Apa saja saya lakukan, yang penting halal dan menghasilkan. Saya sangat yakin, bahwa dengan mulai dari bawah jalan sukses akan lebih kuat dibangun," ujarnya. Pekerjaan mulai dari sopir, kerja pabrik, hingga di restoran pun pernah dilakoninya. Dari pengalaman kerja inilah, Ali Assegaf banyak mengenal masyarakat, termasuk pejabat-pejabat di Konsulat Republik Indonesia di Los Angeles. Karena kemampuan lobi dan pergaulannya yang luas itulah Ali dipercaya untuk menjadi tenaga profesional di Indonesia Tourism Center selama 5 tahun, yaitu lembaga Promosi Pariwisata di bawah Departemen Pariwisata R.I., yang berada di Konsulat Jenderal R.I. di Los Angeles, California. Selain mengurus pariwisata, Ali juga sempat mengelola usaha tiketing dengan istrinya yangberkebangsaan Filipina. Dari perkawinananya ini, ia dikaruniangi 3 orang anak yang lahir di Los Angeles, dan 1 orang lahir di Indonesia. Hampir semua masyarakat Indonesia di Los Angeles mengenal Mamak, sapaan akrab Ali Asegaf. Dan, Bahkan di tahun 90-an, Ali terhitung orang pertama yang membuka usaha

penjualan tiket. Tak heran, mulai dari para pejabat di kantor konsulat jenderal Los Angeles, hingga TKI yang mau pulang ke tanah air, menjadi pelanggannya. Ketika memutuskan untuk pulang ke tanah air tahun 2002, Ali telah mengantongi ijin (licence) bahasa Inggris dari Amerika, yaitu English Language School Center (ELC). Dengan lisensi itu, Ali bisa membuka dan memberikan ijin kepada siapapun yang akan membuka kursus bahasa Inggris dengan kurikulum standar Amerika. Kini sehari-hari Ali mengelola kursus ELC di Jalan Mampang No. 7, Jakarta Selatan. Untuk menjaga kualitas pengajaran bahasa Inggris di lembaga yang dipimpinnya, Ali merekrut tenagatenaga ekspatriat dari negara-negara Baratt menjadi pengajarnya. Pelatihan TKI Kegundahannya melihat nasib TKI membuat Ali tergugah untuk membuat pelatihan peningkatan karir TKI. Ia berencana untuk membuat 3 modul pelatihan TKI, yaitu pelatihan TKI untuk Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT), pelatihan TKI untuk baby sitter, dan pelatihan TKI untuk terapi kesehatan. "TKI yang sudah bekerja selama 2 tahun di luar negeri sebagai PLRT akan kita didik menjadi baby sitter. Dari baby sitter ini akan kita tingkatkan statusnya menjadi tenaga terapi kesehatan dengan produk-produk herbal dari Indonesia," tutur Ali. Jadi diharapkan nantinya TKI yang akan dikirim ke luar negeri naik martabatnya, dan tidak selamanya menjadi PLRT. Dengan peningkatan jenjang karir TKI ini, status mereka pun berubah, yaitu mulanya mereka sebagai TKI informal, ketika menjadi baby sitter, mereka sudah menjadi TKI formal.

TKI yang Tidak SuksesCari kerja susah ,TKI Gagal, Usaha gagal !!

ketika kampung dan Penjara tak jauh beda..

Setelah mengucapkan kalimat itu.. sambil mengepulkan asap rokok ke langit langit tahanan kantor Polisi beberapa kali geraham lelaki 48 tahun ini merapat, mengencangkan otot di kedua pipi, ketika mengeluarkan kata-kata. Sesekali kepalanya ditengadahkan.., rokok disedotnya dalam-dalam sekali lagi untuk kemudian asapnya dimasukkan ke dalam tenggorokan. Sumpah, hanya Tuhan yang tahu. Kalau bukan karena keadaan, tidak mungkin saya mencuri. Saya terlantar di sini, ia menambahkan. Kertas putih rokok di tangan kanannya masih seperempat. Namun jari tangan sebelahnya sudah mengapit lagi sebatang rokok, kemudian menyalakannya dari bara rokok pertama. Tak lama kemudian, asap putih tebal keluar dari hidung dan mulut. Nafasnya menghela panjang. Iwan masih ingat ketika dia meninggalkan kampung halamannya dua tahun lalu. Berbekal Rp2 juta yang dipinjam dari saudaranya, dia bersama empat warga kampungnya dibawa tekong TKI untuk bekerja di Malaysia. Baginya, keputusan itu sudah bulat. Dia ingin seperti beberapa orang yang dilihatnya sukses sekembalinya dari Jiran itu. Dengan begitu, dia berharap bisa menyenangkan keluarga. Kalau tetap di kampung tak ada perkembangan. Mencangkul di kebun, hasilnya berapalah, ini alasan Iwan kenapa ingin jadi TKI. Dari Lombok mereka kemudian ke Pulau Bintan, lalu diselundupkan ke Malaysia melalui Berakit, mengggunakan speedboat bersama sekitar 30 orang lainnya. Berakit yang dimaksud Iwan itu merupakan sebuah tanjung yang wilayahnya masuk dalam Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Jarak ke Tanjungpinang yang merupakan ibu kota provinsi, 64 km, atau sekitar 90 menit perjalanan naik motor. Sementara, jika ke daratan terdekat yang ada di Malaysia, jaraknya hanya sekitar 20 menit tempuh speedboat bermesin 1.000 PK. Jika cuaca bagus, daratan terdekat Malaysia bahkan bisa dinampaki dari perbukitan di sana bernama Bukit Lampu. Mulyadi (62), warga Berakit menjelaskan, speedboat yang menyelundupkan mereka yang akan bekerja gelap ke Malaysia itu idealnya cukup untuk 40 orang. Tapi, tak jarang isinya berlipat ganda. Selama perjalanan mereka ditutupi terpal untuk menghidari patroli TNI Angkatan Laut atau polisi. Tak boleh berisik, apalagi mengeluarkan kepala. Kalau tidak, diketok. Yang bawa speedboat pasti bawa kayu, ujar Mulyadi ketika ditemui POSMETRO beberapa waktu lalu. Menurutnya, hal itu belum seberapa jika dibandingkan pada saat pemberangkatan. Mereka yang akan masuk secara gelap ke Malaysia dihantar tidak sampai ke daratan. Ditinggal begitu saja di tepian laut. Main lempar, tambahnya. Tak jarang ada yang terluka terkena baling-baling, bahkan tenggelam karena tak bisa berenang. Apa yang dikatakan Mulyadi itu juga dibenarkan Iwan. Saat ia diselundupkan, setelah terjun ke

laut, dia bersama yang lainnya mengendap-endap menuju daratan. Di sana sudah ada tekong menunggu untuk kemudian membawa mereka pergi. Ungkapan senada juga dibenarkan M. Jailani. Ia mengalaminya di tahun 2002. Dan, Iwan, Jailani, dan Jhon bernasib sama. Ditangkap pasukan RELA, lalu dipenjara sebulan lebih karena sama sekali tidak memiliki dokumen keimigrasian. Namanya juga berangkat lewat belakang. Tak ada paspor, ujar Iwan. Iwan dideportasi Juli 2009 lalu, kemudian ditempatkan di penampungan TKI deportasi di Jalan Transito, Batu 7, Tanjungpinang. Dari sana mereka sedianya dipulangkan ke kampung halaman masing-masing. Tapi Iwan tak mau pulang. Dia bersama dua orang lainnya berhasil keluar dari penampungan setelah dijemput seorang tekong TKI. Di kampung juga ngapain. Paling kerja nyangkul lagi. Saya juga malu, tak punya duit untuk kembalikan uang pinjaman saya dulu. Setelah empat hari tinggal bersama tekong itu, Iwan dilepas, dibebaskan mau ke mana dan bekerja apa. Dalam kebingungan, lelaki tak pandai membaca yang hanya sekolah cuma kelas 1 sekolah dasar ini mendapat pekerjaan. Bidangnya tak jauh beda ketika ia di kampung dan di Malaysia. Awalnya jadi kuli bangunan, lalu mengambil upah harian dari mencangkul di kebun milik seorang warga Batu 15. Penghasilan dari pekerjaan itu dianggapnya sama sekali tidak mencukupi kebutuhannya. Gaji dari bekerja bahkan tidak cukup untuk mengirim tiga anak dari istri kedua, dan seorang cucu dari istri pertama. Anak dan cucunya itu ada di Lombok. Saya mencuri untuk kebutuhan saya di sini. Apalagi saya baru menikah. Uang mencuri tidak mungkin dikirim ke anak cucu. Saya juga tahu uang mencuri itu haram, ungkap Iwan soal alasan kenekatannya mencuri. Nasib dan pengalaman Iwan tak jauh beda dengan harapan Jailani ketika meninggalkan Sade, Lombok Tengah, tahun 2002. Ia awalnya ingin membantu beban keluarga. Bapak ibunya sakit-sakitan, tak kuat lagi bekerja untuk membiayai dirinya dan seorang adik tiri yang masih kelas 3 SD. Setelah empat tahun di Malaysia, Jailani ditangkap pasukan RELA, dipenjara selama sebulan, dan kemudian dideportasi ke daerah asal. Tahun 2008, Jailani kembali nekat ke Malaysia. Tapi, sesampainya di Tanjungpinang dia kehabisan uang. Hal itu tidak membuatnya patah arang untuk pergi ke negara tempat dia pernah dihukum pecut sebelum dipenjara. Rencana saya mau masuk lewat jalur belakang lagi. Kalau berpura-pura melancong kan mahal. Harus urus paspor. Uang saya tak punya, ujarnya. Untuk memenuhi tujuannya, Jailani kemudian nekat mencuri. Tapi tak lama kemudian ia ditangkap polisi, dan kemudian dihukum 9 bulan oleh pengadilan atas perbuatanya itu.

Jejak BanduSemula kukira menjadi tenaga kerja di Malaysia, pulang membawa perubahan nasib di keluargaku. Karena itu, tatkala lelaki sulungku pamit ingin bekerja di luar negeri, antara melepas dan keberatan, kukabulkan juga. Meskipun aku harus menjual sepetak tanah yang harganya tak seberapa untuk sekadar bekalnya. Ini kesempatan Ubak 1), kapan lagi kalau tak sekarang. Aku sudah bosan menganggur, kata Bandu suatu kesempatan memberi alasan. Aku semakin yakin. Anakku yang sudah berusia 24 tahun itu ingin menunjukkan tanggung jawabnya. Tak mau menjadi benalu di keluarga sendiri. Apalagi kondisiku sekarang: kurus dan batuk-batuk membuatku sering tak kuat ke kebun. Waktu itu aku hanya bilang: Apakah harus ke luar negeri kalau mau cari kerjaan, memangnya di sini sudah tak ada lagi? Kalau mau Ubak, kamu tetap di sini. Makan gak makan kumpul. Ini kesempatan baik, Ubak, tak akan datang dua kali. Lagi pula aku tidak sendiri, percayalah tak akan gagal. Ubak percaya. Tapi Ubak ragu, apa Malaysia ramah buat pendatang yang cari kerja, kataku. Sebenarnya aku ingin mengusik hatinya yang sudah keukeuh itu, dan aku berharap ia bimbang.

Ternyata tidak. Banyak TKI yang berhasil di sana, pulang bawa uang banyak. Hanya tiga tahun, Ubak, setelah itu aku mau berdagang di sini kalau sudah banyak modal. Atau jadi petani kalau aku bisa kebeli tanah, ia menandaskan. Ia ingin aku tidak bimbang melepasnya. Bandu, tak semua TKI dari sana pasti sukses. Banyak malah yang dikejar-kejar polisi kerajaan Malaysia, dicambuk dan dipenjara. Banyak pula yang dipulangkan karena diketahui sebagai pendatang haram, kataku tak mau kalah. Aku tahu itu dari sering mendengar berita di televisi. Aku terkadang khawatir sekaligus sedih saat menyaksikan para tenaga kerja kita yang diburu-buru. Pembantu rumah tangga yang dianiaya majikan hingga tewas, TKW yang membunuh majikannya lantaran tak tahan dianiaya dan ingin diperkosa. Sebuah berita di televisi swasta juga mengabarkan seorang TKW melompat dari lantai 7 sebuah apartemen karena tak tahan menderita. Dan, putra sulungku tetap pada niatnya. Ia harus ke luar negeri sebagai tenaga kerja. Postur lumayan atletis. Ia juga tak bodoh, tapi tak pula terlalu pintar. Sekolahnya berijazah SMP, tak meneruskan karena aku tak mampu membiayainya. Ia ikhlas tak selesai SMA, namun ia sangat berharap padaku agar kedua adiknyaBanu dan Ayujangan sampai berhenti setamat SD. Aku mengabulkan harapannya. Banu sudah di kelas 2 SMP, sedangkan Ayu masih di kelas 6 SD. Bandu membantu mengolah dua petak sawah peninggalan keluarga umaknya 2) hasil warisan, sementara aku juga mendapat warisan sepetak tanah dari abahku yang kugarap sendiri. Bagiku warisan yang diterima istriku bukan hakku, tapi bisa dimanfaatkan oleh anak-anakku. Maka ketika istriku meninggal tiga tahun lalu, aku bersumpah tak akan menjual tanah peninggalan istriku itu. Aku berpikir, lebih baik kujual sepetak tanahku untuk bekal sulungku merantau daripada milik istriku. Tak mau aku dicemooh oleh keluarga istriku gara-gara menjual tanahnya. Bahkan, aku paling takut dirutuk dan dikutuk. Apa kata orangterutama keluarga istrikukalau mereka tahu tanah warisan yang diterima istriku kujual setelah ia meninggal? Pastilah macam-macam tanggapan dan prasangka. Bandon memang ngincer tanah itu. Buktinya ia jual setelah Ayuk Mar meninggal. Pasti buat modal kawin lagi! Ayuk Mar meninggal aneh. Masak gak ada sakit, pagi meninggal. Pasti. Alahh seperti tak tahu saja sifat Bandon. Dia nikahi Ayuk Mar karena berharap kebagian warisan, tak mungkin dia dapat warisan dari keluarganya. Keluarganya tak punya harta. Martinaumak Bandu, Banu, dan Ayukunikahi karena kami saling mencintai. Ia teman permainanku sejak kecil. Ketika berusia 12 tahun aku mencoba bekerja di kota, dan delapan tahun kemudian aku pulang. Martina masih di desa, usianya yang 17 tahun lebih tampak dewasa. Cuma beberapa bulan setelah kunyatakan mencintainya dan ia menerima, aku pun melamarnya. Teman-teman sepermainanku di masa kanak-kanak tak bisa menyembunyikan perasaan irinya karena aku mampu menundukkan hati Martina. Walau rasa iri mereka tidak lantas berbuah dengki. Buktinya mereka tetap mau membantu menyiapkan pesta pernikahan kami. Ketika Ayu duduk di kelas 2 SD, Martina meninggal. Ia ditakdirkan lebih dulu ke pangkuan Tuhan. Aku tak tahu penyakit apa yang dideritanya sehingga istriku meninggal lebih cepat. Hanya, yang pernah kudengar perbincangan seorang dokter dengan suster sewaktu di rumah sakit, Martina mengidap kanker rahim. Terlambat ketahuan, sudah stadium 3. Aku memakluminya, sebab Martina adalah perempuan perkasa. Tak pernah sekalipun ia mengeluhkan rasa sakit. Ia tidak memanjakan penyakit, tak mau ke puskesmas jika terasa badannya agak lain. Martinya hanya meringis sebentar saat ia sulit buang air kecil, bahkan ketika tiga hari tak juga bisa kencing ia tak banyak mengeluh. Sewaktu ia kencing pada hari keempat dan yang keluar adalah air bercampur darah, ia cuma bilang, Aku pendarahan. Saat itu aku tak bisa membiarkan pikiran-pikirannya. Segera kubawa ke rumah sakit di kota. Ia pun diopname selama sepekan. Di rumah sakit ketika berkumpul semua keluarganya, ia memintaku agar menjual tanah miliknya. Kalau tanah itu tak dijual, dari mana uang membayar pengobatanku ini, katanya, ketika ia melihatku menggeleng. Sebenarnya aku akan mencoba cari pinjaman ke keluargaku. Martina tetap bersikeras supaya secepatnya tanahnya itu dijual. Akhirnya aku mengalah. Yang sepetak untuk modal sekolah Banu dan Ayu, kataku padanya. Sisa tanah Martina itu yang kemudian digarap Bandu. Dia tanami singkong dan tanaman lainnya. Ia jual di pasar sepekan sekali. Sementara sepetak tanah warisan keluargaku, kutanami cabai, pisang, dan lainlain tanaman. Dari hasil kebun dua petak tanah milik kami itulah, aku bisa menyekolahkan Banu dan Ayu,

juga untuk makan kami sehari-hari. Walaupun terkadang mengutang dulu di warung Mbok Sinah atau mencari penghasilan lain dengan mengoret rumput tetangga. Sepeninggal Martina, perhatianku sepenuhnya kepada keluarga. Peran yang selama ini dilakukan Martina, aku yang melakukan. Seperti mencuci pakaian, memasak air setiap pagi, dan dibantu Bandu atau Banu kami pun memasak. Soal lauk-pauk cukup mengambil di kebun, juga kalau ingin makan ikan bisa diambil di kolam belakang rumah. Sampai sekarang aku tak punya pikiran ingin mengganti peran Martina bagi ketiga anakku. Aku tidak yakin perempuan lain akan bisa menyamai apa yang telah diperbuat Martina selama ini. Apalagi kekhawatiranku untuk menyerahkan anak-anakkuterutama Ayu yang masih membutuhkan kasih sayang dan manja itukepada ibu tiri. Sekiranya mau, aku yakin, pasti bisa kudapati segera. Tetapi, aku lebih mencintai anak-anakku. Selain itu, inilah saatnya harus kutunjukkan pada keluarga Martina kalau aku bukan menikahi hartanya, tapi karena aku benar-benar mencintai Matina. Dan cinta itu tak dapat terganti oleh siapa pun, begitu Martina meninggal. Bahkan, kalau saja Martina tak berkeras tak akan kujual tanahnya. Aku masih bisa berusaha dengan cara lain untuk mendapatkan uang. Hanya keluarga Martina selalu memandangku sebelah mata. Ia tetap mendugaku negatif. Bandu pernah melapor, Paklik Martono seperti tak yakin kalau aku bisa bertahan menduda. Jangan-jangan ubak kamu sudah beristri jauh sebelum umakmu meninggal, kata Kak Martono seperti disampaikan Bandu. Ya, ampun! Sampai kapan mereka menuduhku seperti itu. Fitnah itu sudah menyebar di warung-warung bahwa aku sudah menjual sepetak tanah Martina untuk menikah lagi. Makanya ia hanya menjual sepetak, karena yang sepetak sudah dijual ketika Martina masih hidup. Untuk apa lagi, kalau bukan buat kawin! Aku balas fitnah keluarga Martina dengan tetap menduda. Kutunjukkan dengan cara memperhatikan sepenuhnya anak-anakkubukankah ketiga anakku adalah keponakan Martono dan cucu dari orang tua Martina?dengan tidak menggantikan perempuan lain menjadi ibu tirinya. Sampai akhirnya, Bandu izin hendak mengubah nasib keluarga kami dengan mencari kerja di Malaysia. Semula tak kuberi izin, karena aku tak mau dianggap tak bertanggung jawab pada anak. Berkali-kali kukatakan pada Bandu, lebih baik tinggal bersama-sama di rumah ini meski harus pontang-panting. Lebih baik hujan batu di sini, ketimbang hujan emas di negeri orang. Entah dari mana kalimat itu kudapat. Sebab, intinya, aku tidak mengizinkan Bandu ke luar negeri sebagai tenaga kerja. Bandu tetap bersikeras. Ia tetap akan bekerja di Malaysia. Sebagai buruh sekalipun. Ia juga sudah menemui paklik Martono dan menjelaskan semua keinginannya. Kak Martono setuju, artinya merestui. Daripada kamu ikut ubakmu jadi petani lagi, paklikmu setuju kau bekerja di Malaysia. Setidaknya kau tahu luar negeri, kamu bisa pintar bahasa Inggris, kata Martono. Tapi jangan lupa oleh-oleh buat paklikmu kalau kamu pulang nanti. Untuk pakcikmu juga jangan pula kaulupa, timpal Pakcik Anwar, adik Martina. Buat Nining 3) cukup baju kurung, kata nenek Bandumertuaku. Bandu hanya mengangguk sekali untuk menjawab ketiga harapan mereka. Sebelum pamit, paklik Martono masih saja sempat mengingatkan, sekiranya aku tak mengizinkannya ke luar negeri segera lapor kepadanya. Paklikmu akan datangi ubakmu. Seharusnya dia berterima kasih kau mau memikirkan keluarga, siapa tahu dengan begitu berubah nasib kalian. Martono bekerja di kelurahan sebagai kepala tata usaha. Ia pegawai negeri sipil. Sedangkan Anwar menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah di kampung kami. Karena itu pula mereka menganggap rendah keluargaku. Ketika Martina masih hidup, tak luput campur tangan mereka di keluargaku. Padahal di hadapannya, kami tak pernah meletakkan tangan di bawah. Bandu akhirnya terbang ke Malaysia. Serombongan dengan tenaga kerja lainnya dari bebagai daerah di Indonesia. Kata Bandu, sekitar 113 TKI baik perempuan maupun lelaki. Setiba di Kualalumpur nanti, jelas Bandu, mereka ditampung dulu sebelum disebar ke berbagai negara bagian. Tetapi Bandu mendapat pekerjaan di Kuala Lumpur. Cuma aku tak tahu Ubak, apa kerjaanku nanti. Tak usah pilih-pilih, yang penting kaucintai setiap pekerjaanmu, kataku. Bandu mengangguk. BULAN keempat, aku menerima paket dari Bandu. Sebuah kardus besar. Beberapa bungkus berisi pakaian sudah ditulis untuk siapa ia berikan. Aku hanya mengeluarkan dari kardus, lalu memisahmisahkan yang untuk kami dan buat keluarga Martina, juga tetangga sebelah. Ketika Banu membawa kiriman Bandu untuk Martono, ia seperti mencurigaiku telah mengambil haknya.

Apa iya Bandu hanya ngasih segini buat paklikmu? Ubakmu mengambilnya ya? tanya Martono sinis seperti diceritakan Banu. Tidak, Paklik. Memang hanya segitu, jawab Banu. Anwar mengangguk lalu menyalak, Aku juga tak percaya Bandu cuma mengirim ini. Untuk apa habishabiskan ongkos untuk mengirim paket kalau isinya begini. Harganya murah lagi. Kiriman Kak Bandu untuk paklik, pakcik, dan nining memang hanya ini. Sudah Kak Bandu tulis namanya, jadi tak mungkin ubak mengambilnya. Kak Bandu juga mengirim untuk Banu, Ayu, ubak, dan tetangga sebelah, jelas Banu ketakutan. Banyak untuk ubak kamu? Seharusnya paklik yang dapat banyak. Paklik yang kasih semangat waktu dia mau pergi. Kalau ubakmu cuma bisa mencegah. Saya tak tahu soal itu, Paklik. Sungguh Pakcik. Aku permisi pulang. Ya. Sampaikan terima kasih Nining pada Bandu dan ubakmu ya, Nining yang menjawab. Sejak kiriman paket dan uang melalui wesel itu, Bandu tak lagi berkabar. Aku berkali-kali mengirim surat ke alamat seperti yang tertulis di paket ataupun wesel, tak pernah ada balasan. Biro tenaga kerja yang mengirim Bandu sudah kuhubungi, mereka pun kehilangan jejak setelah Bandu keluar dari pekerjaannya yang pertama. Kami akan coba hubungi kedutaan besar kita di sana. Setiap warga Indonesia pasti berhubungan dengan KBI di Kuala Lumpur, kata salah satu staf penyalur TKI. Benarkah? Aku tidak tahu soal itu. Biro penyalur TKI itu kemudian mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Mereka menyerah. Alasannya, sudah dihubungi semua biro penyalur dan penampungan TKI, namun tak satu pun yang mengetahui keberadaan Bandu. Apakah dia masih di Kuala Lumpur, sudah menyeberang ke Thailand ataupun Singapura? Itulah kepasrahan yang terakhir kuterima dari pimpinan biro penyalur TKI yang membawa Bandu ke Malaysia. Kini aku benar-benar khawatir. Was-was. Tak tahu di mana Bandu menetap. Tak jelas rimbanya. Martono makin mengipas-ngipas. Ia menakut-nakuti. Ia bilang, mungkin Bandu masuk Malaysia tanpa surat-surat. Akhirnya ditangkap pihak keamanan di sana. Biasanya yang tertangkap kepolisian kerajaan Malaysia, pasti dicambuk sebelum dijebloskan ke tahanan. Kau lihat apa Bandu punya surat-surat sebelum berangkat? tanya Martono ingin menghindar dari tanggung jawabnya. Saya lihat sendiri ia mengurus surat-surat setelah diterima biro penyalur itu, jawabku. Bukan itu maksud saya, potong Martono. Sudah pasti surat-suratnya tidak ketinggalan? Aku mengangguk. Jangan-jangan biro yang membawanya ilegal? Ah. Aku menggeleng-geleng. Mengembus napas setelah kuhirup dalam. Aku tak tahu, apa arti ilegal yang dikatakan Martono. Sebenarnya aku ingin mencari tahu arti itu, namun karena aku sudah enggan berhadapan dengan Martono akhirnya aku diam. Dengan cara itu kuharap ia akan meninggalkan rumahku ini. Harapanku terwujud. Martono dan Anwar pamit. Tetapi, masih juga menyampaikan sesuatu: Bagaimana caranya kau harus bisa ke Malaysia, kau cari tahu keberadaan Bandu. Jangan sampai jejaknya pun tidak pernah kita ketahui. Ingat itu, katanya. Ia tambahkan lagi, Kau tanyakan langsung pada kedutaan besar kita di sana. Sebab aku tidak percaya pada biro TKI, mereka tak akan menolong. Namanya perusahaan, tak akan mau rugi dan susah-susah hanya mengurus seorang TKI. Masih bertumpuk urusan mereka.

Aku terdiam. Wajahku menunduk. Badanku lemas. Mungkin Kak Martono benar. Biro penyalur TKI hanya mengurus kepergian, sedangkan masalah hilang di negeri orang, mati dianiaya, bunuh diri, ataupun berbunuhan sesama TKI bukan lagi urusannya. Setiap biro penyalur TKI hanyalah mencari keuntungan. Dan, itu didapat saat mencari, menyeleksi, dan mengirim para TKI ke negara yang dituju. Setelah itu, masing-masing TKI menanggung sendiri risikonya kalau ada. Termasuk berjuang tentang besar upah yang diterimanya. Berjuang menghadapi kerasnya hidup, dan seterusnya. Ternyata kabar dari Bandu tak juga kunjung tiba. Sampai tahun ketiga aku terus menunggu berita keberadaannya. Kutepis setiap pikiran terburuk tentang Bandu. Mungkin ia terlalu sibuk bekerja, jadi lupa mengirim surat, aku membatin. Benarkah? Barangkali tempat kerjanya jauh dari kota, makanya ia tak sempat mengirim surat, gumamku lagi.

Tetapi kekhawatiran demi kekhawatiran kian menumpuk di hatiku. Sulit sekali kuhilangkan. Berkali-kali kudengar berita di televisi soal para TKI di luar negeri. Seperti mati gantung diri di apartemen, dianiaya majikan, hamil akibat diperkosa anak majikan, ditangkapi polisi karena pendatang haram, sampai perkelahian antara TKI dengan warga asli ataupun pertikaian antar-TKI karena berebut rezeki. Rasa was-was, khawatir, dan takut semacam itu lalu menggumpal. Akhirnya dengan uang tak begitu banyak, kusambangi biro penyalur TKI yang mengirim Bandu. Di hadapan pimpinan biro itu, aku tak sanggup lagi menahan perasaanku itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Kepadanya aku sungguh-sungguh berharap bisa berangkat ke Malaysia untuk menemui Bandu, atau setidaknya tahu nasibnya. Semula keberatan, tapi karena berkali-kali kudesak bahkan mengancam tak akan keluar dari kantor itu sebelum aku diberangkatkan, akhirnya mereka mengurus surat-suratku. Setelah itu aku diantar ke Malaysia. Dengan menyewa taksi dari bandara ke Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, pikiranku makin kalut. Sopir taksi yang juga warga Indonesiaia mengaku dari Pekanbaru, Riauseperti tak akan kering lidahnya bercerita soal nasib TKI di Malaysia. Kali ini aku bukan mendengar dari televisi, tapi langsung dari saksi hidup tentang nasib para TKI. Ia menunjuk perkebunan sawit yang terhampar sepanjang dari kawasan bandara hingga mendekati perkotaan. Di perkebunan sawit yang kita lewati tadi, dulunya kuburan massal. Maksud Bapak? Banyak tenaga kerja kita di sini yang mati, lalu dikubur begitu saja di sana. Ah aku hanya mendesah. Ini bukan cerita kosong, Puan. Perkebunan sawit itu dulunya adalah hutan, ia mulai bercerita lagi. Nah, para tenaga kerja yang mati karena saling berbunuh atau berkelahi ya dikubur di sana. Kerajaan Malaysia tak mau repot-repot mengurus. Ia perintahkan saja para TKI yang melihat agar segera menguburkan di hutan yang ada, sopir taksi itu berhenti sejenak, menunggu respons kami. Pegawai biro penyalur TKI yang menemaniku tak berkomentar. Aku lebih suka ingin mendengar cerita dari sopir taksi itu. Sebenarnya yang paling bengis TKI di sini berasal dari Timur, ujarnya kemudian. Ia tak menyebut suatu daerah tertentu di Tanah Air. Kalau urusan perut mereka terusik atau diganggu, tak segan-segan mereka membunuh. Lalu mayatnya dibuang di hutan. Apa hubungannya dengan perkebunan sawit? pegawai biro penyalur TKI bertanya. Aku diam. Sampai kini pun kebiasaan membuang atau mengubur mayat TKI yang mati dan tidak punya identitas, ya di dalam perkebunan sawit itu setelah hutan di sini dibabat dan ditanami pohon sawit, jawabnya ringan. Biasanya setelah dibunuh seluruh identitas mayat dibuang dulu, supaya dianggap oleh kepolisian sebagai pendatang haram. Dengan begitu tak terlacak, dan mudah sekali untuk dikubur begitu saja di hutan atau di perkebunan sawit 4), cerita sopir taksi itu yang amat fasih berbahasa Melayu. Sopir taksi itu juga bercerita bagaimana perantau dari Indonesia yang mengadu nasib di Chow Kit Roadlidah orang Indonesia di sana menyebut Cokitsebuah kawasan berdagang buah-buahan, baju, dan lain-lain berharga murah. Kehadiran perantau Indonesia di Cokit dianggap telah mengganggu mata pencarian warga asli, sehingga kerap terjadi perkelahian di tempat itu. Persoalan di kawasan itu sampai pula ke Kerajaan Malaysia. Bukan tak mungkin perkelahian di sana menelan korban juga. Hanya saja tak ada kabar dikemanakan mayatnya, cerita tetap berwajah sangat santai, seperti tak begitu penting bagi dia. Sementara bagiku amat sangat penting. Ya. Tiba-tiba seluruh tubuhku menggeremang. Pundakku bergidik. Lunglai. Sepertinya aku tak mampu lagi meneruskan perjalanan ke KBI. Sepertinya aku benarbenar kehilangan kata, jika bertemu staf Kedubes RI untuk urusan TKI di Malaysia. Apa yang akan kutanya lagi tentang Bandu?

TKI di Jepang Seorang pekerja magang Indonesia datang kepada saya, mengeluh, bekerja di sebuah perusahaan Jepang tidak dapat uang lembur. Bahkan, pada saat sebuah jari tangan kirinya putus, kecelakaan akibat mesin pemotong di pabrik tempat kerjanya, dia hanya diberikan obat merah dan dibalut, tanpa dibawa ke rumah sakit. Dia sendiri pekerja ilegal di Jepang, tidak memiliki asuransi dan pemilik perusahaan tak mau ketahuan mempekerjakan tenaga kerja ilegal sehingga tak berani membawa ke rumah sakit. Pekerja lain dari Indonesia mengeluh, paspornya ditahan lembaga penyalur tenaga kerja Jepang, IMM Japan. Hal ini, misalnya, pernah ditulis Sonoko Kawakami, aktivis lembaga swadaya masyarakat JANNI. "Semua pemagang dipaksa menandatangani pernyataan yang meminta paspor mereka boleh ditahan IMM Japan," begitulah tulis Kawakami. Induk perusahaan lembaga penyalur tenaga kerja ini, KSD, Oktober 2000 juga terlibat skandal akunting yang tidak wajar serta skandal keterlibatan penyogokan partai politik besar di Jepang. Bahkan, bos IMM Japan, Koseki, sempat ditahan polisi karena terlibat utang bisnis insentif yang berjumlah 30 juta yen per tahun, demikian tulis Kawakami, yang juga diberitakan berbagai media massa di Jepang. IMM Japan sendiri hingga kini telah memasok sekitar 20.000 tenaga pemagang Indonesia ke Jepang. Lembaga ini mirip lembaga amakudari (pensiunan pejabat tinggi Pemerintah Jepang masuk ke IMM Japan). Hal ini karena KSD, induk perusahaan IMM Japan, sangat dekat dengan beberapa senior politisi Partai Demokrat Liberal. WNI dipenjarakan Apakah benar bekerja di Jepang sangat sulit dan seperti masuk neraka saja? Sampai saat ini semakin banyak orang Indonesia yang ingin ke Jepang. Bahkan, 400-an warga Indonesia ada di penjara Jepang saat ini. Membicarakan tenaga kerja Indonesia ke Jepang, perlu dibagi dua antara wanita dan laki-laki. Hampir semua tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya wanita muda, apalagi cantik, dipastikan akhirnya memasuki dunia hitam. Awalnya dijanjikan bekerja di restoran, bekerja di spa, penari, dan lainnya. Setelah sebulan atau lebih, akan diminta mendampingi om-om dan memasuki dunia prostitusi. Urusan dunia hitam Apalagi kalau paspornya ditahan oleh si penjamin di Jepang, mereka dimintai satu juta yen untuk menebus paspor. Uang sedemikian besar hanya bisa segera diperoleh kalau melakukan prostitusi. Apabila mereka tetap memaksa ingin pulang, tak mendapat paspor, biasanya lari ke Kedutaan

Besar Republik Indonesia dengan segala alasan. Penjamin tempat hiburan di Jepang umumnya terkait dunia hitam. Urusan dunia hitam di Jepang tidak mudah karena sudah pasti dilindungi organisasi kejahatan Jepang (Yakuza), baik Yamaguchigumi maupun kelompok lain. Bahkan, ada wanita Indonesia yang menikah dengan anggota Yakuza tersebut. Lalu, bagaimana pekerja lelaki Indonesia? Cukup banyak tenaga kerja lelaki Indonesia yang ilegal, saat ini sekitar 5.000 orang. Paspor mereka sudah habis, tidak diperpanjang; visa mereka sudah mati, tidak diperpanjang. Mereka ingin bekerja di Jepang, tetapi tak ada penjamin perusahaan Jepang. Kerepotan yang mereka hadapi adalah tidak dapat berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Jepang. Mereka juga tidak belajar budaya Jepang sehingga jalan pikiran orang Jepang tidak pas atau tidak cocok dengan orang asing. Apabila kita dapat berbahasa Jepang dan belajar memahami serta menerapkan budaya Jepang, semua orang pasti akan membantu kita. Apalagi kalau kita berprestasi, semakin banyak dukungan, tidak peduli dia berkulit hitam putih, kuning, coklat. Apabila kita mau melihat persoalan diskriminasi di Jepang, bukanlah pada warna kulit, tetapi pada uang yang didewakan orang Jepang. Jangan heran jika belum lama ada seorang ibu beserta putrinya yang masih berusia sekitar setahun meninggal di emperan toko di Ikebukuro, Tokyo, karena kelaparan. Tragis dan sangat ironis sekali terjadi di ibu kota industri Jepang. Pemintaminta di Jepang pasti tak akan digubris siapa pun, tak akan memperoleh uang apa pun hanya dengan minta-minta. Diskriminasi uang di Jepang sangat kuat. Tak punya uang, kita disingkirkan. Homeless atau peminta-minta Jepang kelihatan semakin banyak di Tokyo. Diskriminasi uang akan sangat kelihatan karena manusia Negeri Sakura sangat memuja uang. Tidak semua orang Indonesia di Jepang gagal. Tidak semua orang Eropa di Jepang gagal. Seorang Indonesia asal Medan berhasil menjadi miliuner di Jepang, menduduki posisi wakil presiden direktur sebuah perusahaan internet. Orang Eropa yang berhasil di Jepang adalah Carlos Ghosn, orang Perancis yang memimpin Nissan Motor dan orang asing pertama dalam sejarah Jepang yang mendapat penghargaan tertinggi bidang bisnis dari Pemerintah Jepang dan Keidanren. Dia berhasil mengangkat Nissan Motor yang hampir bangkrut dalam kurun waktu satu tahun dan kini Nissan menduduki peringkat kedua setelah Toyota Motor. Dengan demikian, pekerjaan dan kehidupan di Jepang sebenarnya kembali kepada kita sendiri. Berada dan bekerja di Jepang sudah pasti harus dapat berbahasa Jepang dan cobalah mengenal dan memahami lebih dalam lagi budaya Jepang ini. Ketentuan hukum yang ada di Jepang sangat mudah. Apabila kita diterima di sebuah perusahaan, biasanya perusahaan itu akan menjadi penjamin kita dan akan menguruskan visa kerja orang asing.

TKI - MENJUAL KEBODOHAN DAN MARTABAT BANGSA

Penyiksaan tenaga kerja (terutama perempuan) dari Indonesia (TKW) di luar negeri terus bermunculan dan berlanjut. Keberlangsungan kejadian ini dari tahun ke tahun membuat banyak orang beranggapan seperti tidak ada tindakan apapun dari pemerintah untuk membela warga negaranya. Pemerintah pasti berkilah karena peraturan perundang-undangan untuk melindungi tenaga kerja Indonesia telah lama dibuat. Tetapi demikianlah faktanya. Kadang kita perlu merenungi bagaimana mungkin orang yang tidak dapat membaca dan menulis dapat lolos sebagai TKW di luar negeri? Mereka yang sering bepergian ke luar negeri terutama ke Malaysia, dan kebetulan bersamaan dengan berangkat atau pulangnya TKW, mungkin pernah dimintai tolong oleh TKW untuk mengisi blanko emigrasi di bandara. Para TKW atau calon TKW ternyata banyak yang tidak dapat membaca dan menulis. Mereka inilah yang dikemudian hari akan menjadi TKW ilegal. Mereka bekerja ke luar negeri tidak melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), melainkan menggunakan visa kunjungan yang hanya berlaku satu bulan. Awalnya mereka menumpang di rumah teman atau Saudaranya yang telah lebih dahulu berstatus sebagai TKW. Setelah visanya habis maka mereka berstatus sebgai pendatang haram di Malaysia. Memang bergerak ke mana pun di muka bumi merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yang tidak boleh dihalang-halangi oleh siapa pun dengan alasan apa pun. Namun kejadian-kejadian yang menyebabkan mereka kemudian berstatus sebagai TKW ilegal ini yang harus dicegah, bahkan ditiadakan. Dengan meminjam ungkapan dari promosi untuk meningkatan pembayar pajak, jaman seperti ini masih ada TKW ilegal, apa kata dunia? Orang kayakah TKI itu? Sebagian besar orang yang pernah ke luar negeri, jika ditanya enak mana di Indonesia dibandingkan dengan di luar negeri? Terutama mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah pasti akan menjawab enak di Indonesia. Terus terang hidup di Indonesia ini sebenarnya uuuenak pool. Kecuali satu hal, yaitu menanggalkan status miskin. Lebih-lebih jika garis kemiskinannya dipatok dengan besarnya penghasilan kurang dari Rp. 200.000,- per kepala/bulan. Nyaman di negeri sendiri, mengapa harus mencari kerja di negeri orang? Jawabannya sederhana ingin bertahan hidup dan keluar dari kemiskinan. Tetapi benarkah dengan bekerja di luar negeri mereka menjadi kaya? Sebuah ilustrasi dari beberapa kondisi tenaga kerja di Malaysia di bawah ini dapat menjadi alat untuk mengevaluasi. Mengapa banyak orang yang mencari pekerjaan di Malaysia? dari beberapa TKI di Malaysia menyatakan bahwa bekerja di Malaysia itu lebih mudah di sebabkan budaya dan bahasa sedikit sama dengan Indonesia, kedua, gaji yang relatif tinggi jika dikurskan dengan rupiah (1 ringgit = 3.300 rupiah), ketiga sarana transportasi dari Indonesia-Malaysia dan sebaliknya mudah

dijangkau dan relatif murah baik itu melalui jalan udara maupun laut. Yani (29 Tahun) salah satu TKW asal Malang Jawa Timur yang bekerja sebagai penjaga toko pakaian di pasar Melaka, menyatakan bahwa bekerja di Malaysia itu gajinya sangat menyenangkan lho..Saya digaji 30 ringgit sehari jadi kalau sebulan saya digaji 900 ringgit atau setara 3 juta rupiah. Mana ada penjaga toko di Indonesia yang digaji segitu besar. Tapi kerjanya juga berat harus mulai kerja dari jam 10 pagi hingga 7 petang. Devi (21 Tahun) asal Padang yang bekerja di Rumah Makan di Kajang Selangor juga menyatakan hal sama, bahwa kerja disini menyenangkan karena gajinya tinggi, di gaji sehari 25 ringgit tapi harus kerja dari pagi hingga malam. Sedangkan Dewi (23 tahun) dari Purbalingga Jawa Tengah bekerja juga sebagai pelayan restoran di Kajang Selangor digaji 20 ringgit sehari dan harus bekerja dari pagi hingga malam. Namun untuk Dewi oleh pemilik restoran telah disediakan tempat tinggal disebuah flat yang dekat dengan restoran, pembayaran flat disubsidi -nya ole pemilik restoran, 3/4 nya dibayar secara kongsi dengan teman-temannya. Berbeda dengan Yani, Devi, dan Dewi, Pak Muljadi asal Lamongan yang bekerja di bengkel las digaji tiap bulan bersih 700 ringgit. Tapi kalau ada lemburan maka juga akan mendapat tambahan sehingga satu bulan bisa mencapai 900 ringgit. Sedangkan untuk penyapu di Universitas Kebangsaan Malaysia, Cleaning Service, Mbak Um dan Mbak Yuli dari Jawa Timur digai 600 RM. Gaji terendah diduduki oleh pembantu Rumah Tangga yakni 400 RM. Makan seharusnya ditanggung pemilik rumah, tetapi tentunya tidak semua majikan berbaik hati mau memberi makanan yang layak. PRT yang bekerja pada orang etnis Cina, sering tidak dapat makan karena mengandung babi pada masakannya. Inilah yang akhirnya membuat PRT akhirnya lari. Jadi dengan gambaran besaran gaji spintas di atas, tidaklah heran jika banyak orang-orang yang lebih memilih bekerja di Malaysia, karena Indonesia belum dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang mampu memperbaikan kehidupan mereka. Meskipun mereka sangat senang karena gaji yang lumayan tinggi, secara umum mereka menyatakan bahwa kalau kehidupan di Malaysia sebenarnya tidaklah menyenangkan. Jika kita tidak dapat menghemat uang hasil kerja kita, maka ya uang ya cepat habis dan tidak bisa mengirim uang ke rumah. Demikian kata Pak Mul. Bayangkan biaya hidup di Malaysia sangatlah tinggi. Untuk sewa rumah kontrakan atau flat, para TKI harus mengeluarkan uang 400 ringgit sampai 500 ringgit untuk sebulan. Sedangkan untuk biaya makan sehari-hari harus mengeluaran antara 8-15 ringgit sehari. Biaya transportasi mencapai 50 RM sebulan. Biasanya para TKI bergabung untuk menyewa rumah atau mengontrak flat yang bisa dihuni oleh 5-6 orang (tergantung besar rumah/flat). Dengan bergabung seperti ini biaya kontrakan bisa ditekan sehingga satu orang hanya akan mengeluarkan 75-100 ringgit sebulan. Belum lagi biaya air, listrik dan depositnya. Deposit di sini maksudnya uang jaminan yang diberikan kepada pemilik rumah terhadap keutuhan kondisi rumah tersebut umumnya total deposit untuk rumah,air dan listrik mencapai 1000 RM (Sekali bayar ketika masuk). Harga bahan-bahan makanan pun relative mahal. Sepotong tempe seharga 1 RM = Rp 3000, 1 potong tahu 30 sen = Rp 1000, membeli sayur pun mesti satu-satu dan ditimbang, sehingga antara membeli makanan matang dan memasak sendiri terutama ikan dan daging, lebih murah membeli matang. Itulah gambaran tingginya biaya hidup yang sebenarnya antara gaji mereka dan biaya hidup di Malaysia relative impas. Jadi, sebenarnya ada kontradiksi antara pandangan mengenai kesuksesan hidup TKI dan kenyataan hidup mereka di sini. Keluarganya di Indonesia menganggap mereka hidup makmur dan menunggu kiriman uang. Padahal kehidupan mereka sendiri di sini sangatlah jauh dari

kelayakan (baik dari segi tempat tinggal maupun sosial). Mereka bekerja dari pagi sampai malam, pulang hanya untuk tidur, subuh sudah berangkat lagi, tidak sempat melakukan hubungan sosial dengan keluarga dan lingkungan. Parahnya, tidak ada hak cuti bagi mereka. Hari Sabtu dan Minggu tetap masuk kerja. Jadi mereka jika meliburkan diri sehari dan itupun potong gaji. (Kecuali penyapu di UKM, mereka bekerja dengan 5-6 hari kerja). Jika ditanya kepada mereka, mana yang lebih nyaman antara hidup di Indoneia dan Malaysia, mereka pasti akan menjawab lebih nyaman di Indonesia, hanya alasan pekerjaan saja yang membuat mereka betah bertahan di Malaysia. Itupun dalam benak mereka terdapat beban mental bahwa mereka mesti berkirim uang atau ketika pulang mesti membawa uang banyak, sehingga motiv hidup mereka di sini adalah bagaimana mencari uang agar dapat sangu untuk pulang. Keberhasilan (berkumpulya uang) baru dapat dirasakan TKI setelah bekerja setidaknya 5 tahun, di bawah itu, mereka masih bergulat degan susahnya kehidupan, dan menyisihkan sedikit-sedikit untuk kehidupan mereka dan tabungannya. Sebagai bahan perbandingan, standard minimal hidup layak di Malaysia untuk bujang (mereka yang tinggal sendiri tanpa keluarga) adalah 1000 RM, sedangkan gaji TKI maksimal 900 RM. Adapun pemerintah Indonesia, melalui program beasiswa Dikti, menetapkan biaya hidup bagi pelajar di Malaysia seorang ialah 1500 RM (bersih, di luar SPP, Biaya buku, dll). Dan angka 1500 RM adalah biaya hidup yang standard dan layak bagi pendatang. Sedangkan untuk peduduk Malaysia sendiri adalah 3000-4000 RM. Untuk ukuran penduduk angka 3000-4000 RM masih ukuran kehidupan normal. Jadi, dengan perbadingan tersebut, sebenarnya gai TKI yang dianggap besarpun, masih jauh posisinya dari nilai kehidupan layak di Malaysia. Bangsa Malaskah Kita? Orang Malaysia sebenarnya banyak yang senang dengan hasil kerja orang-orang Indonesia dibandingkan dengan pekerja asal Bangladesh. TKI di Malaysia memang menempati urutan pertama disusul Bangladesh yang juga banyak mengadu nasib di Malaysia. Tuan Hanif (orang Malaysia 35 Tahun) yang mempunyai pembantu rumah tangga asal Indonesia, menyatakan bahwa orang Indonesia itu rajin dan cekatan. Sedangkan Encik Adnan (pegawai polis 48 tahun) menyatakan bahwa pekerja-pekerja Indonesia yang dibangunan itu juga sangat bagus. Hasil bangunannya pun sangat memuaskan dibandingkan kalau yang mengerjakan pekerja-pekerja asal Bangladesh. Menurut Encik Adnan ada yang membedakan tipikal pekerja asal Indonesia dan Bangladesh yaitu kalau pekerja asal Indonesia itu orang pemberani, cekatan dan hasilnya rapi. Bekerja sebagai apapun pekerja asal Indoneisa itu mau. Ini berbeda dengan pekerja asal Bangladesh yang mau mereka itu bekerja asal ada seragamnya seperti layaknya orang kantoran, meskipun harus bekerja sebagai pembersih jalan asal berseragam mereka mau. Dan pekerja asal Bangladesh kebanyakan memilih-memilih pekerjaan, sehingga banyak yang datang kesini akhirnya tidak bekerja. Encik Adnan juga menambahkan bahwa pekerja-pekerja yang dari Malaysia sendiri tidak seberani pekerja asal Indonesia dan mereka tidak mau kerja-kerja kasaran meskipun lapangan pekerjaan seperti di perkebunan sangat membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Sehingga kalau ada pemasangan benda-benda bangunan yang tinggi-tinggi, orang Indonesialah yang maju pertama kali. Sedangkan Encik Nizam (pelajar asal Malaysia 36 Tahun) sempat melotarkan bahwa bangunan di Malaysia ini meskipun milik Malaysia tapi buatan

Indonesia Rasanya kita keliru dan gagal menghargai potrensi bangsa kita sendiri. Diskriminasi

lho

Kebanyakan TKI yang ada di Malaysia menyatakan tujuan utama mereka ke Malaysia adalah hanya untuk mencari uang semata. Secara kehidupan sosial tetaplah menyenangkan hidup di kampung halaman di Indonesia. Kehidupan sosial di Malaysia tidaklah begitu menyenangkan. Mereka (orang Malaysia) sangat mendiskriminasikan orang-orang dari luar Negara (seperti Indonesia). Misalnya teller di salah satu Bank, tidak memberikan pelayan yang baik jika tahu yang dilayani adalah orang Indonesia. Mereka juga menganggap orang Indonesia yang ke Malaysia adalah sama seperti bibi-bibi (sebutan pembantu asal Indonesia di Malaysia ). Karena memang ada perbedaan yang sangat mencolok antara Indonesia dan Malaysia yang tidak dipahami oleh kebanyakan orang, yaitu pertama sistem hukum yang berbeda, kedua, budaya orang Malaysia meskipun serumpun dengan Indonesia yaitu rumpun melayu, namun karena Malaysia bekas koloni Inggris menyebabkan cara berpikirpun berbeda, seperti sifat individualitik yang sedikit menonjol meskipun masih mempunyai sifat sosialis. Selain itu bahasa yang juga agak berbeda misalnya kata seronok kalau di Malaysia artinya gembira, gampang arti Malaysianya anak haram, punggung arti Malaysianya pantat, kelamin berarti pasangan hidup, dll. Mennyiasati Filter Menurut Dr. Rohani Abdul Rahim dosen Fakultas Hukum UKM yang suaminya juga atase pendidikan Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia, menyatakan bahwa sebelum para TKI itu masuk ke Indonesia, mereka harus mendapatkan sijil (sertifikat) kecakapan untuk lulus dalam bidang Sistem Hukum Malaysia, Budaya dan Bahasa Malaysia serta Kesehatan. Selain itu mereka juga harus dilatih beberapa ketrampilan. Tapi kita juga tidak tahu mengapa TKI yang ada di Malaysia masih ada yang tidak tahu sistem hukum, bahasa dan budayanya. Bahkan ada TKI yang kesehatannya tidak layak namun bisa tetap masuk ke Malaysia. Kondisi ini disebabkan adanya permainan antara agen TKI di Indonesia dan di Malaysia yang mengeluarkan sertifikat kecakapan asli tapi dapat dibeli sebesar RM 500 dan hal ini masih susah dibuktikan baik oleh Malaysia dan Indonesia. Kemiskinan dan Kebodohan Sejarah memberi tahu kepada kita bahwa orang miskin dan orang bodoh selamanya menjadi korban eksploitasi manusia oleh manusia. Selain itu mereka juga menjadi korban kebijakan pemerintah. Orang-orang yang tereksploitasikan biasanya hilang martabatnya. Demi untuk mempertahankan hidup dan hidup yang lebih layak TKI rela mengorbankan kehormatan sebagai bangsa yang beradab. Tragis. Sangat tragis. Negeri yang kaya raya ini belum mampu mewujudkan cita-cita bangsanya meskipun sudah tersurat dalam Undang-undang Dasar dan undang-undang. Namun telah berhasil memasukkan beberapa orang kedalam dalam orang terkaya di dunia. Negeri yang jauh lebih luas ini rela melepas anak-anak bangsanya mencari makan di negeri yang lebih kecil. Sebagian diantaranya dengan cara-cara ilegal. Cara ini mereka

tempuh bukan karena mereka bermental kriminal. Tetapi karena mereka tidak tahu dan tidak berdaya. Akhirnya sebagian diantaranya menjadi korban eksploitasi dan kekerasan. Indikator Kesejahteraan Sosial Indonesia belum mempunyai indikator kesejahteraan sosial resmi yang terintegrasikan dalam satu ketetapan undang-undang. Standar kesejahteraan sosial minimal tentunya tidak sama dengan kebutuhan hidup minimal, upah minimal, ataupun Indeks Pembangunan Manusia termasuk didalamnya harapan hidup. Visi atau misi mungkin sudah terumuskan. Sehingga presiden, bupati/walikota, lebih-lebih legislatif tidak memiliki beban konstitutif yang lebih kuantitatif. Kebanyakan hal-hal yang sudah dikuantifikasikan adalah hal-hal yang bersifat minimal. Kapan kata minimal ini akan dibuang? Sebagai contoh, kita ambil untuk yang terkait dengan TKI. Perlu dikembangkan indikator sebagai berikut dalam lima tahun ke depan semua daerah di Indonesia harus sudah bebas dari pengiriman TKI tidak lulus Sekolah Lanjutan Pertama, kondisi badan tidak sehat, tidak memiliki ketrampilan, tidak memiliki pengetahuan hukum dan bahasa negara tujuan serta dengan cara-cara ilegal. Dengan adanya ketetapan ini maka menjadi tanggung jawab pemerintah kabupten/kota yang bersangkutan jika terdapat penyimpangan atau kasus tentang TKI/W.

30 TKI tertipuRisman Siregar (50) dan istrinya, Hj. Aminah (48), yang mengaku tinggal di Bogor Timur, diburu petugas Polsek Waru Resort Sidoarjo, karena menipu calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Brunei Darussalam.

Informasi yang terhimpun, Jumat (1/8) menyebutkan, calon TKI yang ditipu mencapai 30 orang. Padahal puluhan calon TKI, sudah menyetor uang masing-masing Rp3,5 juta. Emy (46), ibu rumah tangga tinggal di Bungurasih Tengah Kecamatan Waru, Sidoarjo yang melaporkan kasus ini ke Polsek Waru Sidoarjo. Emy yang juga sebagai pengepul calon TKI mengaku dirugikan, karena uang yang terkumpul Rp157,5 juta dari 30 calon TKI, langsung diberikan ke Risman Siregar dan Hj, Aminah, untuk uang transport serta biaya pembuatan paspor dan lainnya. Setelah uang diberikan 20 Juli 2008 lalu, para calon TKI dijanjikan akan diberangkatkan 25 Juli 2008. Namun hingga 31 Juli 2008, para calon TKI tidak diberangkatkan, sehingga akhirnya, para korban, Moch Fauzi dkk, melapor ke Polsek Waru. Selain 30 calon TKI, Emy sebagai pemilik kos kedua tersangka juga ditipu. Kapolsek Waru AKP Darti Setiyowati ketika dikonfirmasi membenarkan adanya laporan tersebut dan untuk sementara yang dimintai keterangan adalah korban Emy. Emy mengatakan, tersangka saat kos di rumahnya berperilaku baik dan sopan. "Kepada para tetangga, mereka mengaku bisa memberangkatkan para calon TKI ke Brunei Darussalam dengan

gaji tinggi, sehingga banyak yang percaya dan diminta cari calon TKI lainnya agar cepat diberangkatkan," katanya. Petugas kesulitan memburu pelaku karena Emy, selaku pemilik kos, hanya mampu menyerahkan foto copy KTP pelaku, yang diragukan aslinya.

Dibunuh, TKI Gagal Pulang Kampung

JOMBANG - Berniat berbagi hasil jerih payah selama enam tahun bekerja di Malaysia, seorang TKI asal Jombang, Mustaqim (28), malah menemui ajalnya. Pemuda asal Desa Badang, Kecamatan Ngoro ini tewas dibunuh orang tak dikenal saat hendak pulang ke kampung halamannnya. Dini hari, jenazah Mutaqim diterima pihak keluarganya. Senin (7/9/2009) jenazah pria berambut panjang bergaya Bob Marley itu dikebumikan di pemakanan desa setempat. Pemakaman Mustaqim disambut isak tangis keluarga dan tetangga yang menyesalkan kejadian tragis yang menimpa korban pembunuhan itu. Sirotin Yeni, salah satu kakak kandung Mutaqim mengatakan, seminggu sebelumnya, dia melakukan kontak dengan adiknya itu melalui telepon. Dalam percakapan singkat itu, korban berjanji akan merayakan lebaran di kampung halamannya, setelah sekian tahun tak menikmati lebaran di rumah bersama keluarga. "Dia janji akan pulang sebelum lebaran ini," kenang Sirotin. Dia mengaku tak memiliki firasat jika adik kandung satu-satunya itu bakalan bernasib tragis sebelum bertemu keluarganya. Minggu 6 September kemarin dia terhenyak saat mendengar kabar jika adiknya ditemukan tewas mengenaskan di Desa Watubonang, Kecamatan Radegan, Kabupaten Ponorogo. "Perwakilan keluarga dan aparat desa langsung menyusul ke sana. Ternyata benar, adik saya sudah dalam kondisi meninggal dunia," tukasnya. Sementara kronologi tewasnya Mustaqim itu diungkapkan Sugeng, Kepala Dusun Watulintang, yang kebetulan ikut menjemput jenazah korban di Ponorogo. Dia menuturkan, sebenarnya Mustaqim tak sendirian dalm musibah perampokan dengan kekerasan itu. Dari Malaysia tiba di Bandara Juanda, Mutaqim ditemani Suwondo (27), yang juga menjadi TKI di Malaysia. "Dari Bandara Juanda, korban bersama Suwondo melanjutkan perjalanan hingga sampai di Terminal Bungurasih dengan naik angkutan umum," terang Sugeng.

Di terminal itulah musibah itu bermula. Keduanya bertemu dengan salah seorang yang mengaku berasal dari Nganjuk. Entah dengan rayuan seperti apa, keduanya ikut bersama orang tak dikenal itu menuju Jombang dengan menggunakan kendaraan pribadi. "Waktu sampai di Krian, Sidorajo, mereka sempat berhenti. Keduanya diberi minuman seperti jamu," kata Sugeng menceritakan ulang yang dikatakan korban Suwondo yang selamat dalam drama perampokan dengan kekerasan itu. Usai minum ramuan yang disangka jamu itulah, kedua korban tak sadarkan diri. Hingga akhirnya, kedua korban ditemukan tergeletak di areal persawahan Desa Watubonang, Kecamatan Radegan, Kabupaten Ponorogo. "Nyawa Suwondo masih bisa diselamatkan. Sementara Mustaqim ditemuka sudah tak bernyawa," katanya. Sugeng menceritakan kondisi Mustaqim setelah ditemukan warga itu, ada beberapa bekas kekerasan yang tampak di tubuh korban. Salah satunya adalah bekas ikatan tali yang masih tampak jelas di dua pergelangan tangan korban. Selain itu, di leher korban juga terlihat bekas cekikan. "Kemungkinan besar, korban dibunuh setelah keduanya diberi ramuan yang membuat tak sadar. Benda berharga milik korban yang dibawa dari Malaysia lenyap dibawa kabur," tuturnya.(Tritus Julan/Koran SI/hri)