Top Banner
Kisah Pembantaian 40.000 Orang di di SULSEL Oleh Kapten Westerling dan Kotroversinya Tuesday, August 17, 2010 Dalam buku berjudul Westerling, 'De Eenling' (1982), buku yang ditulis oleh Westerling sendiri bersama Dominique Venner, bab yang mengisahkan tindakannya di Sulawesi Selatan diberinya judul Kesengsaraan Rakyat. Buku itu merupakan versi rombakan dari otobiografinya, yang semula terbit dalam bahasa Prancis (1952), dan buku karya Dominique Venner, ahli sejarah militer berkebangsaan Prancis (1977). Dalam buku itu, Westerling, yang selain jago tembak juga seorang pengisah ulung, menceritakan tahap demi tahap rencana pembunuhannya di Sulawesi dengan penuh detail. Arsip dan dokumen memberi gambaran lebih jelas tentang suasana sekitar peristiwa itu. Namun dalam buku itu Westerling tidak memberikan angka pasti berapa jumlah korban jatuh oleh ulahnya.
19

Kisah Pembantaian 40.docx

Aug 08, 2015

Download

Documents

Irna Amilia
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kisah Pembantaian 40.docx

Kisah Pembantaian 40.000 Orang di di SULSEL Oleh Kapten Westerling dan KotroversinyaTuesday, August 17, 2010

Dalam buku berjudul Westerling, 'De Eenling' (1982), buku yang ditulis oleh Westerling sendiri bersama Dominique Venner, bab yang mengisahkan tindakannya di Sulawesi Selatan diberinya judul Kesengsaraan Rakyat.

Buku itu merupakan versi rombakan dari otobiografinya, yang semula terbit dalam bahasa Prancis (1952), dan buku karya Dominique Venner, ahli sejarah militer berkebangsaan Prancis (1977). Dalam buku itu, Westerling, yang selain jago tembak juga seorang pengisah ulung, menceritakan tahap demi tahap rencana pembunuhannya di Sulawesi dengan penuh detail. Arsip dan dokumen memberi gambaran lebih jelas tentang suasana sekitar peristiwa itu. Namun dalam buku itu Westerling tidak memberikan angka pasti berapa jumlah korban jatuh oleh ulahnya.

Dalam Challange to Terror, otobiografinya yang diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh Waverley Root, Raymond 'Turk' Westerling menulis: Orang-orang Republik Jawa itu bilang korban yang jatuh di Sulawesi ada 15.000. Ini masih mending. Belakangan tambah lagi jadi 20.000 dan tambah lagi jadi 30.000 dan akhirnya jadi 42.000. mereka mau supaya orang mencaciku, sampai-sampai PBB diberi tahu. Yang betulnya: kurang

Page 2: Kisah Pembantaian 40.docx

dari 600 'teroris' yang mati, dan dari pihakku 3 orang. Bukankah maksudku sekedar menindas 'teror' dan menghalau Jawa-Jawa itu dari Sulawesi?"

Kamis, 5 Desember 1946 (ada juga versi yang menyebut 6 Desember), Pasukan Khusus Baret Hijau mendarat di Makassar di bawah pimpinan Letnan Satu Westerling. Sebelumnya, pertengahan November, Pembantu Letnan Vermeulen telah tiba di Makassar guna mencari sasaran, agar tugas Westerling lancar. Di Sulawesi Selatan inilah pangkat pimpinan Baret Hijau dinaikkan menjadi kapten oleh Kolonel De Vries, Komandan Teritorial Borneo dan Timur Besar.

Belum lima hari di Makassar, Westerling memulai gerakannya. Dinihari 11 Desember, Makassar timur mendapat giliran pertama. Pilihan daerah operasi ini karena diduganya dua pimpinan gerakan perjuangan bersembunyi di kampung Batua. Yakni Robert Wolter Monginsidi dan Ali Malakka.

Pasukan Baret Hijau, jumlah sekitar 130 orang, dipecah dua. Tugasnya jelas dan gamblang: mengumpulkan penduduk kampung, mencari senjata. Bila di sebuah rumah kedapatan senjata, langsung rumah itu dibakar.Kepada orang-orang yang dikumpulkan, Westerling berpidato bahwa tindakannya bukan tindakan politik, demikian kata Willem Ijzereef, sejarawan Belanda, dalam bukunya De Zuid-Celebes Affaire, Kapitein Westerling en de standrechtelijk executies (Peristiwa Sulawesi Selatan, Kapten Westerling dan Pembunuhan dalam Keadaan Hukum Perang). Dan segera saja yang disebutkannya sebagai bukan tindakan politik itu terwujud. Seorang ditembak mati. Kelompok Baret Hijau yang lain melihat sekelompok lelaki bersenjata. Segera tujuh orang tergeletak tak bernyawa.

Page 3: Kisah Pembantaian 40.docx

Hari itu sekitar 3.000 penduduk dikumpulkan dari Batua dan sekitarnya. Laki-laki dipisahkan dari wanita dan anak-anak. Kemudian Westerling membacakan 74 nama yang dicari, yang disebutnya 'pemimpin gerakan perlawanan, pembunuh, dan perampok.' Setelah mengintimidasi sambil memberikan contoh nasib orang yang tak mau menunjukkan nama-nama itu (langsung ditembak di tempat) diperolehlah 32 nama dari 74 yang dicari. 32 orang itu begitu saja dinyatakan bersalah, lalu diberondong senapan. Belum cukup. Kampung Batua lalu dihujani mortir, kemudian dibakar. Dilaporkan operasi dari pukul setengah empat pagi sampai setengah satu siang itu menelan 42 korban.

Esoknya, 12 Desember, daerah delta Sungai Jeneberang pun dioperasi. Diduga di situlah perdagangan senjata 'kaum ekstremis' dilakukan. Sebuah kampung dibakar. Sekitar 1.500 penduduk dikumpulkan. Sebuah perahu yang kebetulan lewat, tiga penumpangnya langsung dihabisi.

Page 4: Kisah Pembantaian 40.docx

Dengan interogasi kilat dari 1.500 orang yang dikumpulkan diperoleh 61 nama yang langsung dihukum mati. Jumlah korban hari itu 80-an. Setelah dua kali operasi Westerling mendapat pujian dari Kolonel De Vries. Penguasa teritorial itu pun memuji-muji cara Westerling bertindak.

Kampung Kalukuang, jadi sasaran hari berikutnya. Terjadi sedikit perlawanan. Tapi kedua belas yang melawan itu tewas seluruhnya. Penduduk kampung lalu dikumpulkan di suatu tempat. Delapan orang mencoba melarikan diri, semuanya ditembak mati. Seorang perempuan meninggal.

Pengusutan pun segera dilakukan. Ditemukanlah Letnan Tentara Rakyat Indonesia Abdul Latief dan sejumlah anggota pasukannya. Abdul Latief tak ikut ditembak mati karena bisa bahasa Belanda. Ia cuma ditawan. Hal itu diakui Westerling sendiri kemudian."Ya, nasionalis Abdul Latief dan Hamzah, mereka itu nasionalis. Saya berkeyakinan dia pemimpin yang baik dan muda, jujur, dan banyak menyusahkan saya, tapi saya tidak membunuhnya. Juga Wolter Monginsidi, dia pintar berkelahi tapi dia bukan penjahat. Saya pernah bertempur melawan dia," (Ekspres, 22 Agustus 1970). Operasi dari pukul tiga pagi sampai pukul empat seperempat sore itu menelan nyawa 83 orang.

Operasi demi operasi Westerling terus menjumpai kebandelan penduduk. Dan 'upacara' mengambil seorang dari penduduk yang telah dikumpulkan, lalu memintanya menunjukkan yang mana 'kaum ektremis', selalu makan korban. Seorang atau dua orang yang dicomot biasanya tetap membisu. Dan maut pun datang. Kalau sudah begitu, baru ada yang menunjuk-nunjuk, entah yang ditunjuknya benar pejuang atau bukan.

Dalam buku Willem Ijzereef itu pula dibandingkan jumlah korban di Sulawesi Selatan menurut Westerling dan menurut pihak militer Belanda sendiri, selama 11 Desember 1946 sampai dengan 5 Maret 1947. Operasi militer sampai dengan 17 Februari menurut Westerling ia hanya membunuh 350 orang. Sementara itu, pihak militer Belanda sendiri mencatat korban Westerling sampai hari itu sekitar 1.000 orang.

Page 5: Kisah Pembantaian 40.docx

Teror kemudian diteruskan ke Parepare, Mandar, dan Bantaeng. Di tiga daerah ini dikabarkan hampir 700 orang kena bantai. Jumlah itu semua belum termasuk korban yang oleh Westerling disebut "perampok" yakni sekitar 2.660 orang. Lalu mereka yang tak sempat menyelamatkan diri ketika kampung dibakar, lebih dari 550 orang. Dengan data yang dikemukakan Ijzereef, secara kasar korban Westerling sekitar 5.000 orang.

Berbagai versi jumlah korbanMenurut De Jong, jumlah korban sesungguhnya, jika ingin mencoba obyektif memandang sejarah bukanlah 40 ribu melainkan 4 ribu orang. Adapun angka 40.000 yang populer itu, menurut Sekretaris Corps Hasanuddin yang diwawancarai Harian Ekspres pada tahun 1970 itu berawal pada peringatan korban teror Westerling di Yogyakarta, 1949, Kahar Muzakkar berpidato di Kepatihan Yogyakarta, di hadapan Presiden Soekarno. Di situlah angka 40.000 mulai disebut-sebut. (Tempo, 12/12/1987)

Tak pernah ada angka pasti tentang jumlah korban yang jatuh. Angka-angka itu terus jadi misteri, sebuah sengkarut.

Satu hal yang pasti, di Makassar sebuah jalan diberi nama Jalan Korban 40.000 Jiwa dan di sana dibangun sebuah monumen 'peti mati' untuk mengenang tragedi itu. Monumen itu memang berbentuk peti mati berukuran 6 x 6 x 12 meter dengan bagian ujungnya agak mengecil. Peti mati itu diusung beberapa patung lelaki di atas kolam yang diibaratkan rawa-rawa. Sebelum Monumen itu dibangun di sana, di tempat pembantaian itu, memang ada rawa-rawa yang kemudian ditimbun. Tepat 28 tahun setelah pistol-pistol anak-buah Westerling membunuh rakyat di tempat itu, 11 Desember 1974, Walikota Makassar, M Patompo meresmikan monumen itu. (Tempo, 11/01/1975)

Oleh Pemerintah Kota Makassar, Monumen Korban 40.000 Jiwa (sering juga disebut Monumen 11 Desember) kini dijadikan salah satu obyek wisata sejarah dan budaya. Namun meskipun telah ditetapkan sebagai obyek wisata, tempat itu tak pernah ramai dikunjungi. Banyak orang yang tinggal di sekitar monumen itu bahkan tak lagi tahu mengapa ada bangunan seperti itu di sana—seperti juga mengapa nama jalan yang menjadi alamat rumah mereka Jalan Korban 40 Ribu Jiwa.

Setelah 60 bulan Desember berlalu, tampaknya orang-orang tak lagi peduli dan tak mau tahu tragedi pembantaian Westerling itu.

*Citizen reporter M.Aan Mansyur dapat dihubungi melalui email [email protected]

Sumber : panyingkul.com

Page 6: Kisah Pembantaian 40.docx

http://www.daengrusle.net/menakar-jumlah-korban-westerling/

Menakar Jumlah Korban WesterlingPosted on December 11, 2011 by daengrusle

Kapten Raymond Westerling

Siapa yang tak kenal Raymond Westerling? Kapten tentara kerajaan

Belanda KNIL kelahiran Turki itu pernah menjadi jagal berseragam

militer Belanda yang paling ditakuti di Sulsel tahun 1946 dengan 40,000

korban jiwa dan sempat2nya melancarkan pemberontakan APRA di

Bandung tahun 1950.

Di setiap tempatnya bertugas sebagai kepala pasukan

anti-teror/detasemen pasukan khusus atau disebut DST (Special Forces

Depot) atau Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus), ia

selalu menerapkan metode pembersihan yang cenderung membabi-buta,

mencontoh kisah sukses Gestapo, polisii rahasia NAZI yang dibesut

Hitler di era Perang Dunia II. Meski kejam, tapi pemerintah colonial

Page 7: Kisah Pembantaian 40.docx

Belanda kala itu menghargai ‘upaya’ sang Jagal berjuluk “The Turk” itu

sebagai metoda efektif untuk meredam perlawanan gerilyawan Indonesia

kala itu.

Namun,  betulkah kabar yang tertulis di buku-buku sejarah bahwa dial ah

yang paling bertanggung jawab menghilangkan nyawa sejumlah 40,000

jiwa di Sulawesi Selatan tanggal 11 December 2011?

Mitos angka korban 40ribu Jiwa?

Konon sejarah juga punya sisi hiperbolik, demi untuk menarik simpati

generasi setelahnya, ia digambarkan dengan berlebihan.

Masih ingat film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang saban tahun disiarkan

pemerintah OrdeBaru setiap tanggal 30 September? Di film itu betapa

kekejaman PKI termasuk underbownya Gerwani digambarkan secara

dramatis, sampai dikatakan menyilet dan memotong kemaluan para

jendral. Kesaksian beberapa dokter forensik rupanya tidak

mengkonfirmasi adanya penyiksaan fisik yang terjadi saat itu. Jadi ada

beberapa versi adegan film garapan Arifin C Noer yang dibuat tahun

1984 itu berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Tapi demi kepentingan

propaganda penguasa Orde Baru, adegan-adegan horror itu diciptakan

seolah-olah adalah benar adanya dan menggugah emosi bagi para

penontonnya.

Demikian juga dengan data jumlah korban pembantaian Westerling dan

pasukan KST-nya yang menyebutkan 40,000 jiwa melayang dibantai sang

jagal. Meski persitiwa ini setiap tahun diperingati oleh pemerintah

Sulawesi Selatan sebagai hari Korban 40ribu Jiwa, dibuatkan monumen

khusus lengkap dengan nama Jalan Korban 40ribu Jiwa di utara

Makassar, namun beberapa sejarahwan, baik asing maupun sejarahwan

Indonesia sangat meragukan jumlah yang terkesan hiperbolik tersebut.

Berbeda dengan versi buku sejarah Indonesia yang menyebut jumlah

korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947

sekitar 40,000 jiwa, pemerintah Belanda sendiri menengarai jumlah

korban ‘hanya’ sejumlah antara 3000-5000 jiwa. Westerling sendiri

dalam memoir nya di dua buku, otobiografi berjudul Memoires yang

terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982, hanya

menyebutkan jumlah korban sekitar 400-600 jiwa. Menurut Petrik

Matanasi, sejarahwan yang menetap di Yogyakarta, korban Westerling

Page 8: Kisah Pembantaian 40.docx

dalam peristiwa Pembantaian di Sulsel hanya berkisar pada ribuan dan

tidak sampai puluhan ribu.

 

Darimana angka 40ribu itu?

Angka 40ribu jiwa sejatinya memiliki keganjilan. Prosesi pembantaian

Westerling yang dimulai pada subuh hari tanggal 11 Desember 1946 di

desa Batua Makassar, dari 3000 jiwa yang dikumpulkan di lapangan

terbuka, ada 44 lelaki yang dianggap “teroris” kemudian dieksekusi di

tempat, termasuk 9 pemuda yang mencoba melarikan diri. Dua hari

kemudian, 12-13 desember 1946 korban Westerling bertambah 81 orang,

dengan menembaki membakar hangus desa-desa di Tanjung Bunga dan

sekitarnya. Tanggal 14-15 desember 1946, ada 23 orang dibunuh oleh

tentara Westerling, kemudian tanggal 16-17 desember 1946 ada 33

penduduk Sulsel yang dianggap gerilyawan dibunuh . Yang paling parah

adalah periode dari tanggal 26 Desember 1946 hingga 3 Januari 1947,

ada 257 orang yang dibunuh pasukan DST pimpinan Westerling di

daerah Gowa.

Foto Yang Dianggap Prosesi Eksekusi Pasukan Westerling

Page 9: Kisah Pembantaian 40.docx

Aksi Westerling baru berakhir di 16-17 Februari 1947 di Mandar dengan

korban 364 jiwa, dan benar-benar berhenti tanggal 21 Februari 1947

dimana Belanda kemudian menarik penuh pasukan DST dari Sulawesi

Selatan, lebih dikarenakan bnerita kebrutalan pasukan ini sudah

menyebar luas ke luar negeri. Kalau dihitung rata-rata korban perhari

yang dibunuh Westerling, tarohlah sekitar 40-100 orang perhari, maka

dari tanggal 11-Desember 1946 hingga 17 Februari 1947 yang memiliki

rentang 68 hari sekira tanpa jeda, Westerling telah membunuh rakyat

Sulawesi Selatan sekitar 2700 – 6800 jiwa. Angka ini jauh dari anggapan

yang diyakini  masyarakat saat ini dan kemudian dicetak resmi dalam

buku-buku sejarah: 40,000 jiwa!

Seharusnya memang para penulis sejarah berhati-hati merilis angka

korban, dan berusaha bijak dalam memaparkannya. Angka 40ribu jiwa

memang akan mengoyak sisi emosionalitas dan menjadi perekat

masyarakat Indonesia di masa-masa awal perjuangan, tapi apakah angka

itu juga ampuh menarik simpati generasi muda yang lahir puluhan tahun

kemudian? Alih-alih menimbulkan simpati pada generasi muda, mereka

yang kritis dan tak begitu punya keterkaitan emosional pasti akan

semakin menganggap bahwa kejadian itu hanya mitos yang tak punya

dasar sejarah yang jelas.

Belum lagi rasa harga diri yang mempertanyakan, “Kemana para pejuang

Indonesia yang katanya gagah berani bersenjatakan bambu runcing, saat

penduduk sipil dibantai secara membabi buta selama 68 hari dari

Makassar hingga Mandar? Apakah mereka tiba-tiba menjadi lemah

ketakutan mendengar nama Westerling sang Jagal dari Turki? Bukankah

kita mengenal nama-nama Wolter Monginsidi, Emmy Saelan yang kelak

dipahlawankan? Tak mampu kah mereka menahan laju pembunuhan

yang dilakukan Westerling dan DST dari subuh hingga siang hari tanpa

jeda?

Meski demikian, berapapun angka tepatnya korban yang jatuh di masa

keberingasan Westerling tahun 1946-1947 di Sulawesi- Selatan, tetap

bahwa peristiwa itu merupakan lembaran kelam sejarah penjajahan

Belanda di Indonesia. Kekacauan pemerintahan dan dibiarkannya hukum

rimba berlaku saat itu mengakibatkan seorang jagal bernama Westerling

leluasa membunuh penduduk sipil tanpa didahului proses pengadilan

Page 10: Kisah Pembantaian 40.docx

yang benar. Rakyat Indonesia, khususnya keluarga korban pembantaian

Westerling berhak untuk mendapatkan keadilan dari pemetintah

Belanda, yang hingga saat ini sepertinya menganggap bahwa kekejaman

Westerling dapat dimaklumi karena dalam keadaan darurat perang.

Karenanya, pengadilan Belanda di tahun 1954 menyatakan Westerling

tidak menanggung kesalahan apapun atas perbuatannya semasa perang.

Makam Westerling di Amsterdam. Pahlawan Belanda?

Westerling sendiri di masa akhir hidupnya bekerja sebagai penjaga

pantai di Amsterdam, setelah sempat meniti karir sebagai penyanyi tenor

namun gagal tahun 1958 di Breda namun gagal. Westerling, sang jagal

yang dikenal tak punya rasa takut itu akhirnya mati terbunuh oleh

jantungnya sendiri di tahun 1987, dalam usia 68-tahun. Sepanjang

hidupnya, ia tidak pernah mau mengakui kejahatan perang yang

dilakukannya, ia berkilah bahwa metode pembersihan itu wajar dalam

masa revolusi, dengan melakukan terror untuk menghentikan terror

dianggapnya efektif meredam perlawanan rakyat. Hal yang sama

mungkin di-amini oleh pembesar-pembesar militer NICA/KNIL kala itu,

tapi bagaimana dengan nasib korban penduduk sipil yang tak bersalah?

Mari kita saksikan roda sejarah, kemana akan memihak. Akankah

keluarga korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan tahun

1946, juga di Medan dan Bandung tahun 1950 (Pemberontakan APRA)

akan menerima imbal kerugian akibat aksi brutal Westerling

sebagaimana yang sudah diterima oleh masyarakat Rawa Gede yang jadi

korban tahun 1947?

Page 11: Kisah Pembantaian 40.docx

http://www.tuanguru.net/2011/12/reinterpretasi-nilai-sejarah-dari.html

 Reinterpretasi Nilai Sejarah dari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan

Sebelas Desember setiap tahun diperingati sebagai hari berkabung rakyat Sulawesi Selatan. Peringatan tersebut dimaksudkan untuk mengenang kembali peristiwa jatuhnya korban yang tidak terhitung jumlahnya dari rakyat Sulawesi Selatan akibat tindakan teror tentara Belanda yang beranggotakan 123 orang di bawah pimpinan Kapten KNIL Reymond Paul Pierre Westerling.1)

Peristiwa teror itu dimulai pada tanggal 11 Desember 1946 setelah Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook memaklumkan keadaan darurat perang di sebahagian besar daerah Sulawesi Selatan, meliputi kotapraja Makassar, Afdeling Makassar, Bonthain, Pare-Pare dan Mandar.2)

Atas perintah Jenderal S. Poor, Panglima KNIL di Jakarta, maka Komandan KNIL di Sulawesi Selatan, Kolonel H.J. de Vries mengeluarkan surat perintah harian pada tanggal 11 Desember 1946 kepada seluruh jajaran tentara Belanda di bawah komandonya agar serentak menjalankan operasi pasifikasi atau pengamanan. Operasi pasifikasi berdasarkan keadaan darurat perang dengan melakukan tindakan tegas, cepat dan keras, tanpa kenal ampun dengan melaksanakan standrecht atau tembak di tempat tanpa proses.3)

Peristiwa biadab tersebut berlangsung selama kurang lebih lima bulan, yaitu sampai ditariknya kembali pasukan Westerling dari Sulawesi Selatan pada tanggal 22 Mei 1947.4) Ditaksir sekitar 40.000 rakyat Sulawesi Selatan terbunuh, sehingga peristiwa itu disebut Peristiwa Korban 40.00 Jiwa di Sulawesi Selatan.

Peringatan hari Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan setiap tanggal 11 Desember, bertujuan antara lain, agar kita semua yang masih hidup, terutama generasi muda, memahami dan menyadari bahwa rakyat Sulawesi Selatan telah memberikan korban yang amat besar bagi tegaknya kemerdekaan Republik Indonesia. Kesadaran dan pemahaman tersebut, diharapkan pada gilirannya akan mempertebal semangat kebangsaan terhadap bangsa dan tanah air Indonesia, serta kemerdekaan yang merupakan warisan tak ternilai harganya dari para pejuang yang telah memberikan pengorbanannya.

Terdapat perbedaan persepsi antara generasi ’45 dengan generasi sesudahnya mengenai peristiwa teror tersebut. Para pejuang (generasi ’45) memandang peristiwa tersebut sebagai klimaks dari proses perjuangan rakyat Sulawesi Selatan untuk menegakkan kemerdekaan. Hal itu dibuktikan dengan besarnya korban yang meninggal, dibanding dengan korban-korban perjuangan pada masa sebelum dan sesudahnya. Mereka memberi nilai yang tinggi pada peristiwa itu berdasarkan pengorbanan. Sebaliknya pendapat kedua memandang peristiwa tersebut sebagai anti klimaks dari proses perjuangan rakyat Sulawesi Selatan. Alasannya, Westerling beserta anak buahnya dapat leluasa menjalankan aksinya terhadap rakyat, karena sudah makin lemahnya perlawanan. Mereka memandang peristiwa tersebut dari sudut perlawanan dan kepahlawanan.

Page 12: Kisah Pembantaian 40.docx

Perbedaan persepsi itu merefleks pada sikap terhadap penamaan peristiwa tersebut. Para pejuang, pelaku sejarah, dan saksi mata pada umumnya, menerima angka 40.000 jiwa korban keganasan Westerling sebagai angka atau jumlah yang faktual. Hamzah Dg. Mangemba mengatakan, “Tetapi fakta telah berbicara. Dalam waktu 160 hari (dari 11 Desember 1946 s.d. 22 Mei 1947) Belanda telah membantai 40.000 jiwa korban mulai dari pesisir barat Sulawesi Selatan di Laut Flores (Afdeling Mandar, Pare-Pare, Makassar, dan Bonthain”.5)

Generasi yang lebih muda menolak anggapan 40.000 itu adalah faktual. Angka tersebut dinilai tidak rasional, seperti yang dikemukakan oleh Yusuf Kalla, “Kalau angka 40.000 jiwa atau setiap hari 330 jiwa tewas. Tentu jumlah ini tidak mungkin. Rakyat Sulawesi Selatan tidak semudah itu untuk ditembaki 330 orang per hari.6)

Yusuf Kalla bukannya tidak setuju peringatan hari Korban 40.000 Jiwa, tapi menurutnya yang harus ditonjolkan adalah perjuangannya, bukan pengorbanannya. Dia mengatakan, “Di Surabaya, 10 Nopember adalah sejarah kepahlawanan, sedangkan di Sulawesi Selatan 11 Desember adalah hari pengorbanan. Padahal Westerling yang memimpin pasukan khusus dikirim ke Sulawesi Selatan adalah untuk memadamkan perjuangan heroik rakyat Sulawesi Selatan yang tidak bisa lagi diatasi oleh tentara biasa. Pejuang kita sebenarnya gagah berani, tapi mengapa tidak ditonjolkan?”7)

Dalam tulisan lainnya di Pedoman Rakyat, dia menjelaskan kerugian bagi daerah Sulawesi Selatan apabila peringatan 11 Desember lebih menonjolkan aspek pengorbanannya. Katanya, “Janganlah sifat atau jiwa berkorban terlalu besar yang menjadi warisan kita. Karena apabila sifat berkorban terlalu besar menjiwai kita, maka berakibat pada masa depan kita. Pengalaman setelah 40.000, maka dalam bidang politik demikian juga. Dengan segala cara, termasuk cara buldozernya Pemilu-pemilu yang lalu khususnya tahun-tahun 70-80-an dimenangkan 90%, tapi hasil politiknya untuk daerah, kecil. Begitu pula pengorbanan di bidang ekonomi. Dengan segala pengorbanan pada rakyat kita, Sulawesi Selatan menjadi lumbung pangan untuk memberi makan daerah-daerah lain sehingga pernah suatu saat komoditi-komoditi yang berharga dibabat untuk padi. Tetapi secara ekonomi pendapatan masyarakat kita jauh lebih rendah dibanding daerah-daerah yang dibantunya.8) Akhirnya dia berseru, “Sudah waktunya kita menjadi pahlawan, karena itu pengorbanan kita terhormat.”9)

Pendapat yang dilontarkan oleh Yusuf Kalla tersebut mengudang reaksi yang keras dari kalangan pejuang di Sulawesi Selatan, sehingga beliau menarik kembali pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf.

Timbulnya perbedaan persepsi mengenai aksi teror Westerling di Sulawesi Selatan berawal dari persoalan angka 40.000. Oleh sebab itu dalam tulisan ini akan diuraikan sejarah penamaan peristiwa tersebut.

Dalam buku SOB 11 Desember 1946 sebagai hari korban 40.000 Sulawesi Selatan, dikemukakan:

“Pimpinan-pimpinan kelasykaran, TRI/ALRI yang sampai ke Yogyakarta dengan melaporkan situasi pertempuran di Sulawesi Selatan, yang seterusnya langsung dilaporkan ke presiden RI Soekarno, pada akhir tahun 1947 oleh sebuah delegasi yang dipimpin oleh komandan TRIPS, Letkol Kahar Muzakkar, M. Saleh Lahade, K.S. Mas’ud, M. Saleh Sahban dan seorang dari Markas Besar Tentara di

Page 13: Kisah Pembantaian 40.docx

Yogyakarta. Pada saat itu dicetuskan istilah korban 40.000 rakyat di Sulawesi Selatan yang diucapkan oleh Kahar Muzakkar”.10)

Pernyataan Kahar Muzakkar tersebut dilontarkan sebagai nada protes karena pada waktu itu Presiden Soekarno selalu menggembar-gemborkan korban gerbong maut, seperti tergambar dalam kutipan berikut ini:

“Dimana bersamaan waktunya dengan peristiwa terjadinya penggulingan sebuah gerbong barang yang tertutup rapat di mana memuat tawanan TRI diangkut dari Bondowoso pada tanggal 23 Nopember 1947 menuju Surabaya sejumlah 100 orang dan digulingkan ke dalam kali menyebabkan gugurnya 46 orang di antaranya, sehingga oleh Kahar Muzakkar dengan emosional mengucapkan kata-kata bahwa dengan korban hanya 40 orang Bung Karno telah ribut, sedangkan korban 4000 orang bahkan 40.000 orang di Sulawesi Selatan tidak diributkan yang menyebabkan Bung Karno sangat terharu dan menerima baik laporan tersebut serta menjanjikan untuk memenuhi permintaan bantuan pasukan dan senjata para pimpinan TRIPS tersebut.”11)

Keterangan yang sedikit berbeda, dikemukakan dalam buku Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan, sebagai berikut: “Taksiran demi taksiran diambil, baik oleh para pejuang Sulawesi Selatan maupun pimpinan TRI Ekspedisi yang berada di Jawa. Setelah ditimbang dan disesuaikan dengan sejumlah laporan para pejuang yang hijrah ke Jawa (Maret 1947), Letkol Kahar Muzakkar menetapkan angka korban 40.000 jiwa. Angka itu diulangi oleh Presiden Soekarno dalam suatu pertemuan. Maka terpatrilah angka korban tersebut dalam dada setiap pejuang kemerdekaan di daerah Sulawesi Selatan.”12)

Tentang jumlah korban teror Westerling di Sulawesi Selatan, Barbara S. Harvey dengan mengutip berbagai sumber, termasuk dari Westerling sendiri, antara lain mengungkapkan: “Westerling mengaku bahwa ia bertanggung jawab langsung atas pembunuhan kurang dari 600 orang teroris. Pemerintah Belanda telah mengakui bahwa sekitar 2.000 orang terbunuh selama kampanye pasifikasi.13)

Meskipun dari semula disadari, bahwa angka 40.000 itu bukanlah angka faktual, namun tetap dipopulerkan karena memiliki nilai strategis politik dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ketika masalah sengketa Indonesia-Belanda sedang dibicarakan di Dewan Keamanan PBB sebagai reaksi badan tersebut terhadap agresi militer Belanda pada Juli 1947, maka isu korban 40.000 jiwa rakyat Sulawesi Selatan dipergunakan oleh Indonesia untuk menyudutkan Belanda. Upaya Indonesia berhasil menarik simpati dunia internasional terhadap perjuangan rakyat Indonesia. PBB mendesak Belanda untuk maju ke meja perundingan. Dengan demikian upaya Belanda untuk meyakinkan PBB bahwa sengketa Indonesia-Belanda semata-mata masalah dalam negeri Belanda mengalami kegagalan. Belanda terpaksa mematuhi resolusi DK PB tanggal 1 Agustus 1947. Di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN) diadakanlah perundingan Indonesia-Belanda di atas kapal Renville pada tanggal 8 Desember 1947.

Selain nilai politis, istilah korban 40.00 jiwa waktu itu mengandung nilai psikologis kultural. Dengan semangat korban 40.000 jiwa, rakyat Sulawesi Selatan khususnya dan rakyat Indonesia umumnya, digugah siri’ dan paccena agar meningkatkan perjuangan menuntut bela atas korban kekejaman Westerling.

Page 14: Kisah Pembantaian 40.docx

Pada hakikatnya panarikan nilai suatu peristiwa sejarah merupakan proses subyektifikasi, yaitu pemberian interpretasi terhadap suatu peristiwa sejarah dalam kaitannya dengan kebutuhan masa kini. Demikian pula halnya dengan makna episode sejarah teror Westerling di Sulawesi Selatan.

Periode perang kemerdekaan dalam sejarah Indonesia memiliki ciri khas, yaitu sarat dengan semangat, emosi, keberanian, kerelaan berkorban dan irasional. Semboyan yang sangat populer pada masa itu adalah “Merdeka atau Mati”. Semboyan ini menunjukkan bahwa semangat pengorbananlah yang mengemuka saat itu yang kemudian menjiwai peringatan Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan pada masa itu.

Setelah bangsa Indonesia berhasil menegakkan kemerdekaannya, tantangan pun berubah. Bangsa Indonesia dihadapkan pada masalah bagaimana mengisi kemerdekaan itu dengan menggalakkan pembangunan di segala bidang dan bagaimana menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa merdeka sejajar dengan bangsa lain dalam menghadapi arus globalisasi dunia. Tentu yang ingin ditonjolkan bukan lagi semboyan “Merdeka atau Mati”, tetapi lebih tepat apabila semua pihak melakukan introspeksi diri: “Apa yang telah kita perbuat untuk bangsa dan negara ini?”

Daftar Referensi:

1) Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra Kerjasama Kodam XIV Hasanuddin,

Unhas dan IKIP Ujung Pandang, SOB 11 Desember Sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi

Selatan, hal. 5

2) Ide Anak Agung Gde Agung. 1985. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia

Serikat. Gajah Mada University Press, hal. 130

3) Ibid., hal. 130

4) Ibid., hal. 131

5) H. Hamzah Dg. Mangemba. Makassar Bersinar Antara Logika dan Kebenaran. Pedoman

Rakyat, Kamis 26 Desember 1991, hal. 4

6) Pedoman Rakyat, Tahun XLV No. 277, Jumat 13 Desember 1991, hal. 1

7) Pedoman Rakyat, Tahun XLV No. 295, Kamis 2 Januari 1992, hal. 10

8) Pedoman Rakyat, Jumat 13 Desember 1991, op.cit., hal. 10

9) Ibid, hal. 10

10) Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra, op.cit., hal. 67-68

11) Ibid., hal. 68

12) Drs. Sarita Pawiloy, 1987. Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan, hal. 356

13) Barbara Sillars Harvey, 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta:

Page 15: Kisah Pembantaian 40.docx

Grafiti Pers, hal. 136

Artikel Terkait dengan Sejarah

• Peranan Pemuda dalam Sejarah Perjuangan Bangsa

• Asas dan Bentuk Perjuangan Organisasi Perhimpunan Indonesia

• Pengaruh Sumpah Pemuda terhadap Pergerakan Nasional Indonesia

• Perkembangan Majapahit

• Pergeseran Kekuasaan dari Majapahit ke Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (abad ke-16)

• Keruntuhan Majapahit

• Perjuangan Islam dalam Melawan Imperialisme Belanda di Indonesia

• Terbentuknya Kolonialisme Belanda di Indonesia

• Pengaruh Pan Islamisme Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia

• Peranan Falatehan dalam Penyebaran Islam di Jawa Barat

• Wayang Kulit Sebagai Media Penyebaran Islam

• Pengaruh Gagalnya November Belofte Terhadap Perhimpunan Indonesia

• November Belofte (1918)

• Metodologi Penelitian Sejarah

• Sejarah Terbentuknya Angkatan Perang Republik Indonesia

• Biografi Singkat Tan Malaka

• Politik Luar Negeri Jepang Setelah Kegagalan Ekspansinya ke Cina

• Latar Belakang Imperialisme Jepang

• Proses Rasionalisasi dan Reorganisasi Angkatan Perang RI

• Latar Belakang Rasionalisasi dan Reorganisasi Angkatan Perang RI

• Akibat Praktek Kolonial Daendels dan Raffles

• Praktek Kolonial Daendels dan Raffles

Label: Sejarah