KEWARISAN MASYARAKAT ADAT SAMONDO MANDAILING NATAL DAN RELEVANSINYA DENGAN ‘URF SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : DESI PURNAMA 1150440000008 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/1440 H
85
Embed
KEWARISAN MASYARAKAT ADAT SAMONDO MANDAILING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · dalam fiqh Islam, yang disebut fiqh mawaris atau ilmu faroidh. Dalam bagian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEWARISAN MASYARAKAT ADAT SAMONDO MANDAILING
NATAL DAN RELEVANSINYA DENGAN ‘URF
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
DESI PURNAMA
1150440000008
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
iv
ABSTRAK
Adat samondo merupakan penggabungan diri seorang suami kepada keluarga
istri setelah terjadinya pernikahan. Permasalahan utama yang terdapat penelitian ini
adalah setelah adanya ikatan pernikahan akan menimbulkan kewarisan dan
bagaimana sebenarnya sistem pembagian adat samondo dikecamatan Muarasipongi
dan bagaimana tanggapan tokoh adat Samondo Muarasipongi Mandailing Natal ini
terhadap sitem pembagian warisannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
sitem pembagian kewarisan Adat Samondo yang ada dikecamatan Muarasipongi
Mandailing Natal apakah sistem pembagiannya sesuai dengan hukum Islam atau
bertentangan dengan hukum Islam.
Metode penelitian yang di gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Penulisan
skripsi ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan metode pendekatan
hukum normatif yaitu pendekatan penelitian menggunakan sumber dari data primer
dan sekunder. Adapun yang menjadi data primer adalah hasil wawancara dengan
ketua tokoh adat atau yang dinamakan dengan ninik mamak dan data sekunder yang
berasal dari buku-buku yang berhubungan dengan skripsi ini diuraikan dan
dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam praktiknya perempuan di
kecamatan Muarasipongi ini mendapatkan harta waris yang lebih banyak
dibandingkan laki-laki. Penerapan kewarisannya adat samondo ini tercermin dari
ketentuan adat yang menetapkan pembagian warisan yang dilakukan dengan jalan
mengedepankan perdamaian dan mufakat dengan seorang datuk. Pembagian warisan
dalam adat samondo ini masuk kedalam ‘urf yang fasid atau urf yang salah, karena
sistem pembagiannya bertentangan dengan hukum Islam
Kata Kunci : Samondo, Waris, Adat
Pembimbing : Hotnidah Nasution S.Ag.,M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1973-2017
v
KATA PENGANTAR
هللا الرحمن الر حيمبسم
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan dan Rahmat-Nya atas nikmat yang berlimpah bagi seluruh mahluk, kepada-
Nya kita meminta pertolongan dan ampunan, kepada-Nya kita mmemohon
perlindungan. Sholawat dan salam kita haturkan kepada Nabi dan Rasul junjungan
ummat Islam, yakni Baginda Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga beliau,
sahabat dan seluruh pejuang ummat Islam, yang selalu di muliakan oleh Allah SWT.
Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul’’ Kewarisan Masyarakat Adat Samondo Mandailing Natal dan Relevansinya
Dengan ‘Urf’’ dapat di selesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk
memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana S1, Sarjana Hukum pada
prodi Hukum Keluarga di Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam peroses pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan
yang dialami penulis, baik yang berhubungan dengan pengaturan waktu,
pengumpulan data-data maupun sebagainya. Namun berkat bantuan dan motivasi
berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan ini dapat diatasi tentunya dengan
izin Allah SWT oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak, terutama pada:
1. Prof.Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A.
vi
3. Ketua dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag
dan Ahmad Chairul Hadi, M.A yang telah memberikan fasilitas dan dorongan
yang sangan berharga bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Hotnidah Nasution, S.AG., M.A. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya yang selalu memberikan
pengarahan dan bimbingan kepada penulis guna menyelesaikan tugas skripsi
ini.
5. Bapak dan Ibu dosen Hukum Keluarga yang telah membekali penulis dengan
ilmu yang berharga. Seluruh Staf dan karyawan perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan yang baik.
6. Ibu tersayang Nur Intan terima kasih telah memberi kasih sayang yang tak
terhingga untuk penulis serta bantuan dalam bentuk meteril, doa, dukungan,
dan semuanya yang terus menerus tanpa lelah.
7. Keluarga yang di rumah Khususnya buat abang ku Rahmad Lubis S.H., M.H.
yang selalu memberikan dukungan berupa materil selama kuliah dan
dukungan juga agar penulis bisa menyelesaikan kuliah mulai dari awal sampai
selesai.
8. Terimakasih penulis ucapkan kepada semua keluarga di rumah buat kakak,
adek, abang ipar, dan juga semua keluarga yang turut mendukung dan selalu
memberi motivasi buat penulis.
9. Teman-teman dekat yang jadi tempat pelampiasan keluh kesah penulis,
teman-teman seperjuangan Khususnya buat Tiyas Puji Istanti, Nurdiana
Ramadhan, Ilham Ramadhan, Muhammad Iqbal dan semua teman-teman yang
seperjuangan lainnya yang sudah memberikan motivasi buat penulis.
10. Teman yang selalu memberi masukan saat penulis mengalami kesulitan
skiripsi ini yaitu makasih buat abang Zukfikar Siregar, S.T sebagai
penyemangat dan pendorong motivasi buat penulis.
11. Pihak perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia terimakasih telah
vii
menyediakan buku-buku yang lumayan lengkap sehingga penulis tidak
kebingungan mencari referensi .
12. Penulis artikel, skripsi, opini, dan yang lainnya yang membantu penulis dalam
peroses penulisan.
13. Seluruh pihak yang secara langsung dan tidak langsung sudah membantu,
menyemangati, dan mendoakan penulis.
Atas seluruh bantuan dari pihak material maupun immaterial, penulis berdoa
semoga Allah memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Jakarta, 26 Juli 2019
DESI PURNAMA
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………..…………..…… i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI …………………………………………. ii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………..……………..…. iii
ABSTRAK …………………………………………………..…………………..…. iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….….. v
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….…. viii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………………………………………...
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….……………..... 1
B. Identifikasi Masalah ……………………………………………………….… 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………………….…. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………………………………… …………... 6
E. Kajian (Review) Studi Terdahulu ……………………………………….…... 6
F. Metode Penelitian …………………………………....…………………..…...7
G. Sistematika Penulisan ……………………………………………………….. 9
BAB II ‘URF DAN KEWARISAN ISLAM
A. ‘URF
1. Defenisi ‘Urf Secara Bahasa Dan Istilah ………………...………… 10
„‟Ibnu Mas'ud pernah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda
kepadaku: Hendaklah kalian belajar ilmu, dan ajarkanlah kepada manusia, pelajarilah
ilmu fara`idl dan ajarkanlah kepada manusia, pelajarilah Al Qur`an dan ajarkanlah kepada
manusia, karena aku seorang yang akan dipanggil (wafat), dan ilmu senantiasa akan
berkurang sedangkan kekacauan akan muncul hingga ada dua orang yang akan berselisih
pendapat tentang (wajib atau tidaknya) suatu kewajiban, dan keduanya tidak
mendapatkan orang yang dapat memutuskan antarakeduanya."(HR.ad-Darimi)‟‟17
17
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris IslamDalam Pendekatan Teks&Konteks, (Depk: PT
Raja Grafindo Persada, 2013), h. 27.
20
3. Rukun Dan Syarat Kewarisan
a. Rukun Mewarisi
Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam hal waris-mewarisi, tiap-tipa unsur
tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fiqh di
namakan rukun, dan persayaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap rukun.
Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi pembahasan.
Pembahasan ini tidak sempurna, jika salah satu rukun tidak ada misalnya wali dalam
salah satu rukun perkawinan.
Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun waris-
mewarisi ada tiga, yaitu sebagai berikut:
1) Harta Peninggalan
Harta peninggalan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit
yang akan di pusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk
biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat. Harta
peninggalan dalam kitab fiqh biasa di sebut tirkah, yaitu apa-apa yang di
tinggalkan oleh orang meninggal dunia berupa harta secara mutlak. Jumhur
fuqaha berpendapat bahwa tirkah ialah segala apa yang menjadi milik
seseorang, baik harta benda maupun hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh
ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Jadi, disamping harta benda, juga
hak-hak, termasuk hak kebendaan maupun bukan kebendaan yang dapat
berpindah kepada ahli warisnya. Seperti hak menarik hasil dari sumber air,
piutang, benda-benda yang digadaikan oleh simayit, barang-barang yang telah
dibeli simayit sewaktu masih hidup yang harganya sudah dibayar, tetapi
barangya belum diterima, barang yang dijadikan maskawin untuk istrinya
yang belum di serahkan sampai ia meninggal, dan lain-lain.
2) Orang Yang Meninggalkan Harta Warisan
Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris.
Didalam kasus di Indonesia disebut‟‟Pewaris‟‟ sedangkan dalam kitab fiqh
disebut muarrits.
Bagi muwarrits berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan
miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik
21
menurut kenyataan baik menurut hukum. Kematian muwarist menurut para
ulama fiqh di bedakan menjadi 3 macam, yaitu:
a) Mati haqiqy (sejati)
b) Mati hukmy (berdasarkan keputusan hakim)
c) Mati taqdiry (menurut dugaan)
Mati haqiqy ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu
telah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indra dan
dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Sebagai akibat dari kematian
seluruh harta ditinggalkannya setelah dikurangi untuk memenuhi hak-hak
yang bersangkutan dengan harta peninggalannya, beralih dengan sendirinya
kepada ahli waris yang masih hidup disaat kematian muwarist, dengan syarat
tidak terdapat salah satu halangan mempusakai.
Mati hukmy, suatu kematian yang disebabkan oleh adanya vonis hakim,
baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam dua
kemungkinan antara hidup dengan mati.
Mati taqdiry, yaitu suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy,
tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian
seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut
ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun. Kematian tersebut hanya
semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain,
namun kuatnya perkiraan atas akibat perbuatan semacam itu.
3) Ahli Waris atau Waarist
Waarist adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si
muarrist lantara mempuyai sebab-sebab untuk mewarisi.Pengertian ahli warist
disini ialah orang yang mendapat harta waris, karena memang haknya dari
lingkungan pewaris. Namaun tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan
(termasuk ahli waris). Demikian pula orang yang berhak menerima
(mendapat) harta waris mungkin saja diluar ahli waris.18
b. Syarat-Syarat Mewarisi
18
Moh Wahibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011), h.56-61
22
Selain harus memenuhi rukun waris, kewarisan itu juga memiliki syarat-syarat yang
harus dipenuhi:
1). Matinya Pewaris
Seseorang diketahui sebagai pewaris apabila ia telah mati. Kematiannya
dapat diketahui secara pasti melalui informasi yang didukung oleh fakta atau
mungkin melalui peroses hukum, apabila alternatif ini tidak dapat maka calon
pewaris masih dinyatakan hidupnya.19
2). Hidupnya Ahli Waris Disaat Kematian Pewaris
Kepastian hidup pewaris ketika wafat orang yang mewariskan, orang yang
sudah meninggal harus dianggap masih hidup, karena orang mati tidak
mungkin untuk menguasai harta apalagi mengalihkannya kepada yang lain
(ahli waris).20
3). Tidak Ada Penghalang Kewarisan
Walaupun kedua syarat diatas telah ada pada pewaris dan ahli waris,
namun salah satu dari mereka tidak dapat mewariskan harta peninggalannya
kepada yang lain atau mewarisi harta peninggal dari yang lain selama masih
terdapat dari salah satu empat penghalang kewarisan yaitu perbudakan,
pembunuhan, perbedaan agama, dan perbedaan negara. Hal-hal yang dapat
menyebabkan terhalangnya waris anatara lain adalah sebab membunuh
pewaris, sebab berlainan agama, sebab perbudakan.21
4. Sebab-Sebab Dan Penghalang Kewarisan
Sebab-Sebab dapat saling mewarisi sesuai hukum kewarisan Islam:
a. Perkawinan
19
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), h.66 20
Muhammad Ali Ash-Shobuni di terjemahkan oleh A. M. Basalamah, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran
Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), h.33 21
Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris Menurut Imam Ja’far Shadiq, (Jakarta:PT Lantera
Basritama,2001), h.70
23
Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah menurut ummat
Islam, perkawinan dikatakana sah apabila syarat dan rukunnya terpenuhi sesuai
syariat Islam, sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 (1) UU RI No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan yang maksudnya bahwa; perkawinan yang dapat
dinyatakan sah, apabila perkawinan itu dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya yang kedua mempelai anut. Apabila
salah seorang seorang suami atau istri ada meninggal dunia yang
perkawinannya masih dalam keadaan utuh atau talak raj‟i yang masih dalam
keadaan iddah, maka dia berhak untuk saling mewarisi sebagaimana yang telah
di tetapkan oleh Allah SWT dalam QS an-nisa ayat 12. 22
b. Kekerabatan
Hubungan kekerabatan bersifat adanya hubungan nasabiah (genetik) antara
pewaris dengan para ahli waris. Hubungan tersebut baik bersifat lurus kebawah
(furu’iyyah) yakni anak keturunan, ataupun keatas atau (ushuliyyah) yakni para
saudara pewaris. Walaupun demikian dalam pembagian kekerabatan, ada
klasifikasi-klasifikasi tertentu yang menjadi perbedaan antar ulama yang
berakibat sejumlah orang tidak memperoleh bagian waris dan sebaliknya
orang-orang tertentu akan mendapatkan bagian dalam situasi tertentu.23
c. Wala
Wala itu hak mendapat warisan karena memerdekakan hamba. Jelasnya
apabila seseorang memerdekakan hamba kemudian hamba itu mati dengan tidak
meninggalkan ‘ashabah laki-laki, maka orangtuannya itu dapat bagian.24
Di anatara ahli waris, ada yang tidak mendapat warisan, karena beberapa
sebab:
1) Pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang
dibunuhnya. Rasulullah SAW bersabda:
س ىيقا ذو مه اىمشا ز ش ء )سي اىىا ئ تا سىادصذخ( ه
22
Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan Dalam Hukum Islam dan
Implementasinya Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 63-64 23
Sukris Sarnadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transpormatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), h. 28. 24
A. Hassan, Al-Fara’id Ilmu Pembagian Waris, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1988), h.43
24
Artinya: „‟Tidak berhak si pembunuh mendapat sesuatupun dari harta
warisan‟‟(H.R An-Nasai dengan isnad yang shohih).
Mengenai masalah ini ada beberapa pendapat:
a) Segolongan kecil berpendapat, bahwa si pembunuh tetap memiliki hak
warisan, selaku ahli waris.
b) Kemudian golongan lain memisahkan sifat pembunuhan itu. Pembunuhan
yang disengaja dan yang tersalah. Siapa yang melakukan pembunuhan
dengan sengaja, dia tidak memiliki hak warisan sama sekali. Siapa yang
melakukan pembunuhan karena tersalah, dia tetap memiliki hak warisan.
Pendapat ini di anut oleh Malik bin Anas dan pengikutnya.25
c) Orang yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang
beragama Islam, demikian pula sebaliknya.26
d) Berlainan tempat (Negeri), ialah berlainan pemerintahan yang diikuti oleh
warits dan muwarrits (yang mewariskan). Umpamanya waris menjadi
rakyat bagi suatu negara yang merdeka, Sedang muwarrits menjadi rakyat
bagi negara merdeka yang lain. Semua Ulama sependapat menetapkan
bahwasanya berlainan tempat tidak menjadi penghalang bagi pusaka
mempusakai antara sesama Islam, karena negeri-negeri Islam walaupun
berbilang-bilang pemerintahannya, dan jauh-jauh jarak yang satu dan yang
lainnya, serta berbeda pula tata aturan pemerintahannya, namun dipandang
sebagai suatu negara dengan ijma’ segenap fuqaha Islam.27
5. Macam-Macam Ahli Waris dan Hak Masing-Masing
Macam-macam ahli waris yaitu: Ahli waris dari kalangan laki-laki secara
terperinci ada 15 yaitu:
a. bapak
b. Kakek
c. Suami
d. Saudara Laki-laki seibu
25
M.Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1973), h. 13-14
26
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Prespektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2007), h. 23 27
Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) h. 64-65.
25
e. Anak laki-laki
f. Cucu laki-laki
g. Saudara Laki-laki sekandung
h. Saudara laki-laki sebapak
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
j. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
k. Saudara ayah yang sekandung
l. Saudara ayah yang sebapak
m. Anak laki-laki dari saudara ayah yang sekandung
n. Anak laki-laki dari saudara ayah yang sebapak
o. Seorang laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya.
Ahli Waris dari kalangan perempuan secara terperinci ada 10
a. Anak perempuan
b. Anak perempuan dari anak laki-laki, dan seterusnya kebawah
c. Ibu
d. Nenek dari pihak ibu, dan seterusnya keatas
e. Nenek dari pihak bapak, dan seterusnya keatas
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan sebapak
h. Saudara perempuan seibu
i. Istri
j. Seorang perempuan yang memerdekakan hamba sahayanya.28
Bagian dari masing-masing ahli waris:
1. Istri/janda
Bagian istri/janda mendapat ¼ jika suami tidak mempunyai far’u waris baik laki-
laki maupun perempuan. Dan istri mendapat 1/8 jika suami mempunyai far’u
waris, laki-laki maupun perempuan.
2. Suami
28
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Tuntunan Praktis Hukum Waris Lengkap dan Padat Menurut Al-
Qur’an dan As-Sunnah Yang Shahih, (Bogor: Pustaka Ibnu „Umar, 2010), h. 21
26
Dalam mempusakai harta istri, suami nendapat ½ apabil istri tidak mempunyai
far’u waris laki-laki maupun perempuan. Suami mendapat ¼ apabila meninggalkan
atau mempunyai far’u waris laki-laki atau perempuan.
3. Anak perempuan
Anak perempuan mendapat ½ apabila ia sendirian atau seorang saja, dan tidak
bersama anak laki-laki. Dan mendapat 2/3 apabila ia dua orang atau lebih dan tidak
bersama anak laki-laki. Anak perempuan mendapat ashabah jika ia bersama dengan
anak laki-laki baik keduanya sendiri-sendiri atau lebih dari satu. Dalam
pembagiannya anak laki-laki mendapat 2 bagian dan anak perempuan mendapat 1
bagian.
4. Anak laki-laki
Bagian anak laki-laki ketika ayahnya meninggal dunia maka bagian anak laki-laki
adalah Ashabah. Hanya saja jika anak laki-laki bersama dengan anak perempuan
maka bagian anak laki-laki 2 bagian dan anak perempuan 1 bagian.
5. Cucu perempuan
½ bila ia sendiran dan tidak bersama dengan cucu laki-laki atau tidak bersama
dengan anak perempuan atau anak laki-laki. 2/3 apabila ia dua orang atau lebih dan
ia tidak bersama dengan cucu laki-laki, serta tidak bersama dengan anak laki-laki
atau perempuan. Ashabah bila ia mewarisi bersama dengan cucu laki-laki. 1/6
adalah bagian cucu sebagai penyampuran bagian 2/3 bila ia bersama dengan anak
perempuan.
6. Cucu laki-laki
Cucu laki-laki adalah termasuk far’u waris yang statusnya sama dengan anak turun
sampai beberapa derajat menurunnya. Pusaka cucu laki-laki dari anak laki-laki
mendapat bagian Ashabah selamanya dengan syara: Jika simayit tidak mempunyai
anak laki-laki. Jika bersama dengan cucu perempuan maka bagiannya menurut
perbandingan 2 untuk laki-laki dan 1 untuk perempuan.29
7. Ibu
1/6 apabila ia mewarisi bersama-sama far’u waris ( anak/cucu maupun laki-laki
atau perempuan). Atau apabila ia bersama 2 orang atau lebih saudara
perempuan/laki-laki sekandung seayah, atau seibu. Baik ketika mereka termasuk
tidak termahjub baik dia satu kelompok saja maupun campuran. 1/3 jika ia tidak
bersama dengan far’u waris atau tidak bersama dengan 2 orang atau lebih
saudara/saudari secara mutlak baik sekandung, seayah, seibu. Meski
saudara/saudari tersebut termahjub oleh keluarga lain.1/3 sisa harta peninggalan
jika ibu bersama dengan suami/istri dan ayah. Masalah ini disebut dengan masalah
29
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), h. 164-165.
27
gharawwin yang mana ibu akan mendapat 1/3 sisa, ayah dapat bagian Ashabah dari
suami 1,2 atau istri ¼.30
8. Ayah
1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu. Mendapat sisa harta bila bersamanya tidak
ada anak atau cucu laki-laki. 1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila
bersamanya ada anak atau cucu perempuan.
9. Kakek
1/6 apabila bersamanya ada anak atau cucu. Mendapat sisa harta bila bersamanya
tidak ada anak atau cucu laki-laki. 1/6 kemudian sisa harta apabila bersamanya ada
anak atau cucu perempuan.31
10. Saudara perempuan kandung
½ bila dia seorang saja. 2/3 apabila 2 orang atau lebih dan tidak bersamanya
saudara laki-laki. Mengambil sisa harta bila bersamanya ada anak perempuan.
11. Saudara Perempuan Seayah
½ Bila dia seorang saja. 2/3 bila 2 orang atau lebih apabila tidak bersamanya
saudara laki-laki. 1/6 apabila bersama dengan seorang saudara perempuan kandung.
Mengambil sisa harta apabila bersama dengan anak perempuan.
12. Saudara Perempuan Seibu
1/6 bila dia sendiri. 1/3 untuk 2 orang atau lebih.
13. Saudara Laki-laki Seibu
1/6 apabila dia sendiri. 1/3 untuk 2 orang atau lebih.32
Menurut hukum Islam, ahli waris dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Asabah dan Zawl Al-Furud
Secara bebas, arti logawi zawl al-furud adalah orang-orang yang mempunyai
saham (bagian) pasti. Lebih kurang demikian pulalah arti teknis (istilah) yang di
kandung istilah tersebut, yaitu ahli waris yang sahamnya telah ditentukan secara
terperinci ( seperdua, sepertiga, seperempat, seperenam, atau seperdelapan dari
warisan). Menurut jumhur ulama mereka ini adalah: Istri, Suami, Anak Perempuan,
Ibu, Nenek, Ayah, Kakek, Saudara Seibu laki-laki atau perempuan, Saudara
perempuan kandung atau seayah.33
Suami dan istri disebut ashhabul furudh as-sababiyyah yang memperoleh bagian
tertentu karena satu sebab. Sebab pewarisan mereka adalah pernikahan bukan sebab
30
M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), h. 40 31
Syarifuddin Arief, Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta:
Darunnajah Production House), h.18 32
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), h.
62 33
Abu Bakar, Al Yasa, Ahli Waris Sepertlian Darah, (Jakarta: Inis, 1998), h. 140.
28
kekerabatan. Sementara yang lainnya disebut ashhabul furudh an-nasabiyyah
kalangan yang berhak memperoleh bagian warisan tertentu dengan kekerabatan.34
2. Dzawil Arham
Secara harfiah, istilah ini berarti orang yang mempunyai hubungan darah. Secara
teknis ulama fikih mendefenisikannya sebagai anggota kerabat yang tidak menjadi
dzawil furud dan ashabah.35
Hal-hal yang terkait dengan asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat
hukum kewarisan serta sunnah nabi Muhammad SAW. Asas-asas dapat diklasifikasi sebagai
berikut:36
Asas Ijbari (Paksaan)
Dalam hukum Islam, peralihan harta seseorang yang telah meninggal
dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup berlaku dengan sendirinya
menurut ketetapan Allah, tanpa digantungkan kepada usaha dan kehendak
pewaris maupun ahli warisnya. Cara peralihan seperti ini disebut asas ijbari.
Atas dasar ini, pewaris tidak perlu merencanakan penggunaan dan pembagian
harta peninggalannya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan
kematiannya harta yang ia miliki otomatis akan berpindah kepada ahli
warisnya dengan peralihan yang sudah ditentukan. Kata ijbari secara
refleksikan mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu diluar
kehendaknya sendiri. Unsur paksaan (ijbari) ini terlihat dari segi ahli waris
yang berhak menerima harta warisan beserta besarnya penerimaan yang diatur
dalam ayat-ayat Al-Quran yaitu surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176. Bentuk
ijbari dari segi jumlah yang diterima, tercermin dari kata mafrudan, bagian
yang telah di tentukan. Istilah ijbari di refleksikan sebagai hukum mutlak.
Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan
Islam adalah seorang menerima hak kewarisan bersumber dari kedua
belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun
keturunan laki-laki.37
Asas kebilateralan itu mempunyai dua dimensi saling
mewarisi dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176, yaitu(1)
antara anak dan orangtuanya, (2) antara orang yang bersaudara bila
34
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim di terjemahkan oleh Darwis, Shahih Fikih Sunnah Jilid 4, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2017), h. 618.
35 Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 63
36 Suharawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1995), h. 37 37
Suhrawardi Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, (Cetakan Kedua,
h. 40.
29
pewaris tidak mempunyai anak dan orangtua. Hal ini diuraikan sebagai
beriku:38
Pertama, dimensi saling mewarisi antara anak dengan orangtuanya.
Dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 7 ditegaskan bahwa laki-laki dan
perempuan berhak mendapat harta warisan dari ibu-ayahnya. Demikian
juga dalam garis hukum surah An-Nisa ayat 11 ditegaskan bahwa anak
perempuan berhak menerima warisan dari orangtuanya sebagaimana
halnya dengan anak laki-laki dengan perbandingan bagian seorang anak
laki-laki sama dengan perempuan. Dengan demikian juga dalam garis
hukum surah An-Nisa ayat 11 ditegaskan bahwa ayah dan ibu mendapat
warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar
seperenam, bila pewaris meninggalkan anak.39
Kedua: Dimensi saling mewarisi antara orang yang bersaudara
juga terjadi bila pewaris tidak mempunyai keturunan atau orang tua.
Kedudukan saudara sebagai ahli waris dal Al-Quran Surah An-Nisa ayat
12, ditentukan bahwa bila seorang laki-laki mati punah dan mempunyai
saudara, maka saudaranya (saudara laki-laki atau perempuan) berhak
mendapat harta warisannya. Demikian juga dalam Al-Quran surah An-
Nisa ayat 12, bila pewaris yang mati punah seorang perempuan dan
mempunyai saudara, maka saudaranya laki-laki atau perempuan berhak
menerima harta warisannya. Selain itu, dalam Al-Quran Surah An-Nisa
ayat 176 menegaskan bahwa seorang anak laki-laki yang tidak mempunyai
keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, saudaranya yang
perempuan itulah yang berhak menerima warisannya. Demikian juga bila
seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia
mempunyai saudara laki-laki, saudaranya yang laki-laki itulah yang
berhak menerima harta warisannya.40
Asas Individual
Asas individual adalah setiap ahli waris secara individu berhak atas
bagian yang didapatkannya tanpa terikat kepada ahli waris lainnya
sebagaimana halnya dengan pewaris kolektif yang dijumpai ketentuan
dalam hukum adat. Seperti adat msayarakat Minangkabau di Sumatra
Barat.41
Dengan demikian, bagian yang diperoleh ahli waris dari harta
pewaris dimiliki secara perorangan, dan ahli waris yang lainnya tidak
ada sangkut paut sama sekali dengan bagian yang diperolehnya
38
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, h. 54.
39
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, h. 55-54. 40
Suhrawardi Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, Cetakan Kedua, h.
40. 41
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, h. 34-35.
30
tersebut, sehingga individu masing-masing ahli waris bebas menetukan
atas bagian yang diperolehnya.
Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan yang dimaksud harus ada keseimbangan antara hak
yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau
beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan
perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan
kewajiban yang dipikulnya masing-masing kelak dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung
jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak
dan istrinya sesuai Al-Quran 2: 233 dengan kemampuannya.
Tanggung jawab merupakan kewajban yang harus dilaksanakan,
terepas dari persoalan apakah istri mampu atau tidak, anak-anaknya
memerlukan bantuan atau tidak.42
42
Sahrawardi Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, Cetakan Kedua, h.
31
BAB III
KEWARISAN ADAT SAMONDO DAN WILAYAH PENELITIAN
A. Kewarisan Adat Samondo
1. Pengertian Adat Samondo
Adat samondo Muarasipongi yaitu adalah adat yang lahir jika seorang laki-laki
menikahi perempuan salah satu dari warga Muarasipongi dan laki-laki tersebut
menggabungkan dirinya ke rumah istrinya dan menetap tinggal di rumah istrinya
setelah adanya pernikahan.Adat Muarasipongi ini adalah salah satu suku yang
mendiami wilayah kabupaten Mandailing Natal tepatnya kecamatan
Muarasipongi.Berdasarkan cerita dari para orang tua terdahulu, suku ulu berasal dari
Rao, Sumatra Barat. Sampai dengan tulisan ini dibuat belum ada penelitian lebih
lanjut terkait dengan asal usul dari suku ulu ini. Tak ada bukti tertulis tentang asal
usul dari suku ulu ini. Salah satu informasi tentang asal usul atau sejarah tanah ulu
bersumber dari cerita lisan yang dituturkan oleh orang- orang tua terdahulu, menitik
beratkan bahwasanya suku ulu ini berasal dari Rao, Sumatra Barat.Orang ulu
muarasipongi mempunyai tiga suku besar yaitu Mondoiligh ( Mandailing), Pungkik (
Pungkut), Kandang Kepuh ( Kandang Kapuh). Tiga suku besar di atas hanya di temui
di daerah Muarasipongi, Rao, Rokan Hulu dan Sumatra Barat. 1
Istilah Sumando itu yaitu bahasa tersendiri berbeda dengan bahasa Batak,
Mandailing maupun bahasa-bahasa lain yang ada di wilayah Mandailing Natal dan
Tapanuli Selatan.Apabila di perhatikan bahasa ulu ini bernuansa melayu, tetapi lebih
tua dari bahasa Melayu nya sendiri dan juga menyerap penbendaharaan kata dari
bahasa Mandailing, walaupun terjadi perubahan penglafalan bunyi yang
menyesuaikan dialek suku ulu.
Secara tidak langsung letak geografis ini mempengaruhi aspek kehidupan
masyarakat Muarasipongi termasuk di dalamnya dalam penerapan hukum Islam. Adat
samondo di Muarasipongi ini terhimpit antara adat Mandailing dan Adat Sumatra
Barat, ini merupakan salah satu keunikan dari adat samondo ini. Masyarakat
Muarasipongi memiliki toleransi yang begitu kuat sehingga tidak ada yang merasa
mendominasi dan di dominasi. Dalam pernikahan masyarakat Muarasipongi
1Burhanuddin Datuk Rimambang, Tokoh Adat, Wawancara pribadi, Pasar Muarasipongi 19 Juni 2019
32
mengambil unsur kebudayaan Mandailing yaitu mempelai laki-laki sebagai pihak
yang memiliki kewajiban memberikan mahar. Namun dalam hal kewarisan
masyarakat Muarasipongi mengambil kebudayaan Minang yang mengutamakan hak-
hak kaum perempuan.
Masyarakat Muarasipongi menjalankan bentuk perkawinan Samondo.Bentuk
perkawinan samondo adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur dari pihak
pria kepada pihak wanita.Bagi keluarga istri, suami merupakan orang datang kerumah
istrinya.Oleh karena itulah perkawinan masyarakat adat samondo itulah bersifat
matrilokal yaitu istri tidak ikut kerumah suami dan tidak pula masuk sebagai anggota
keluarga dalam keluarga suaminya namun si suamilah yang berdiam diri di rumah
istri. Pengertian ‘’berdiam di rumah istri’’ di dalam perkawinan samondo, sebenarnya
suami tidak menetap di rumah istrinya tapi ia menetap di rumah keluarga asalnya. 2
Masyarakat matrilineal mengenal pula bentuk perkawinan eksogami, dengan
beberapa perbedaan dengan masyarakat patrilineal.Misalnya perkawinan samondo
ini, kedudukan suami semata-mata berstatus sebagai tamu, yang bertandang ke
keluarga istrinya.Ia tidak berhak atas anaknya, harta benda istri, dan segala hal yang
bersangkutan dengan rumah tangga. Harta kekayaan yang di hasilkan suami hanya
untuk dirinya sendiri, ibunya, saudara-saudaranya, dan anak-anaknya (harta
suarang).3
2. Gambaran Kewarisan Adat Samondo
Pada umumnya, bentuk harta warisan dalam waris adat yaitu harta warisan
berwujud dan tidak berwujud.Harta warisan berwujud seperti sawah, kebun, tanah,
bangunan rumah dan hewan ternak.Harta warisan tidak berwujud seperti gelar adat,
kedudkan dan jabatan adat.Gelar-gelar adat dalam masyarakat masih tetap di
pertahankan hingga kini.
Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat kecamatan Muarasipongi yang
beragama islam ternyata masih menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang mereka hadapi termasuk dalam bidang waris. Ketika
penulis menayakan hukum manakah yang digunakan untuk menyelesaikan
2Burhanuddin Datuk Rimambang, Tokoh Adat, Wawancara pribadi, Pasar Muarasipongi 19 Juni 2019 3 Dewi Sulastri, Pengantar Hukum Adat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), h. 113
33
pembagian harta waris, tanpa ada keraguan sedikitpun para informan menjawab
hukum adat.Ketika pertanyaan ini dilanjutkan, mengapa harus hukum adat kenapa
tidak dengan hukum Islam?Jawaban yang di kemukakan informan sangat sederhana
menyatakan bahwa hukum adatlah yang pertama hadir di kecamatan Muarasipongi
ini.Lalu kemudian Islam datang dengan pranata hukumnya.Artinya sejak lama
mereka telah tunduk pada hukum adat.4
Adat Samondo Muarasipongi ini menempatkan bahwa laki-laki dan perempuan
dalam posisi yang tidak seimbang. Anak perempuan sebagai pembawa marga
mendapatkan kehormatan-kehormatan di dalam pelbagai peristiwa adat, termasuk di
dalamnya dalam peroses harta waris.Kedudukannya yang tinggi juga menempatkan
sebagai orang yang harus didahulukan dan diutamakan. Menariknya laki-laki
Muarasipongi ini sangat menyadari posisi yang tidak seimbang tersebut. Oleh sebab
itu, ekspresi inferirioritas ditunjukkan dengan sikap mengalah, tidak menuntut harta
waris, dan merelakan harta warisan orang tuanya jatuh kepada saudara yang
perempuan.
Disamping itu, perempuan Muarasipongi ini juga menyadari aturan-aturan adat
yang menempatkan mereka sebagai mahluk kelas pertama.Pada satu sisi, anak
perempuan biasanya menjadi tempat orang tua mengadukan pelbagai hal.Anak
perempuan menjadi teman berbagai cerita.Bahkan ketika orang tua sakit, anak
perempuanlah yang mengurusnya.Ini dipandang sebagai kewajiban.Bahkan tidak
jarang, anak perempuan bukan hanya sekedar mengurus tetapi juga menanggung
biaya pengobatannya.Dalam kenyatannya, orang tua pun merasa lebih nyaman tinggal
dengan anak perempuannya ketimbang dengan anak laki-lakinya (bersama menantu
perempuannya). Namun dalam sisi lain, pada saat pembagian harta waris, mereka
mendaptkan harta warisan yang lebih besar di banding dengan bagian dari saudara
laki-lakinya.
3. Sistem Pembagian Kewarisan Dalam Adat Samondo
Penulis menemukan pola pembagian harta waris yang berkembang pada
masyarakat Muarasipongi ini dalam kaitannya dengan harta warisan untuk anak
perempuan.Pola tersebut yaitu anak perempuan mendapat harta warisan lebih besar di
4Syahrul, Masyarakat, Wawancara Pribadi, Kotoboru 18 Juni 2019
34
bandingkan anak laki-laki.Penelitian ini menujukkan bahwa diantara informan
ternyata masih ada yang melaksanakan hukum adat secara utuh. Hal ini sebagaimana
yang ditunjukkan oleh beberapa informan bahwa selaku anak perempuan ia mendapat
warisan yang lebih dibandingkan dari saudara laki-lakinya. Adapula informan
mengatakan bahwa disebabkan harta waris yang sedikit, saudara laki-lakinya rela
untuk tidak mendapatkan apapun dari harta warisan tersebut. Tidak kalah menariknya
bahwa saudara laki-laki tidak menuntut apapun dari harta warisan tersebut di pahami
bahwa sebagai bentuk kesadaran dan kepatuhan saudara laki-laki tersebut terhadap
hukum adat.5
Hukum waris menurut hukum adat Muarasipongi senantiasa menjadi masalah
aktual dalam berbagai pembahasan.Seperti telah dikemukakan, bahwa sistem
kekeluargaan di Muarasipongi adalah sistem menarik garis keturunan ibu, yakni
saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik
laki-laki mapun perempuan.
Mengenai warisan dalam adat samondo ini yaitu ada yang dinamakan dengan
harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah, dimana yang dimaksud dengan harta
pusaka tinggi yaitu harta yang turun temurun dari nenek moyang yang perempuan
dan kemudian turun ke ibu dan seterusnya ke keturunan dari kaum perempuan dan
jelas pasti untuk anak perempuan. Dan mengenai harta pusaka tinggi ini yaitu dia
berupa harta yang sangat tidak bisa dibagi atau dijual Seperti dalam contohnya
pusaka tinggi itu yaitu ada yang namanya rumah gedak ( rumah harta peninggalan)
maka rumah tersebut didiami oleh keturunan perempuan.Sedangkan harta pusaka
rendah adalah harta yang didapatkan setelah terjadinya pernikahan, yaitu berupa
harta bersama.
Harta pusaka di Muarasipongi menjadi milik kaum perempuan, karena sistem
kekerabatan di Muarasipongi di susun berdasarkan garis ketururnan dari ibu.Sistem
inilah yang di sebut dengan sistem matrilineal.
5Syafei, Camat Muarasipongi,Wawancara pribadi, Kantor Camat Muarasipongi 19 Juni 2019
35
Alasan berlakunya sistem matrilineal dalam urusan harta pusaka adalah karena
harta di Muarasipongi adalah milik kaum perempuan.Dengan demikian, segala hak
terhadap harta pusaka berada pada pihak perempuan.6
Tujuan lain dari sistem ini adalah untuk keselamatan hidup kaum perempuan. Hal
ini dikarenkan menurut kodrat, kaum perempuan bertulang lemah. Meskipun seorang
perempuan tidak lagi mempunyai seorang suami, ia masih tetap bisa menghidupi
dirinya dan anak-anaknya, karena harta pusaka yang menjadi miliknya. Oleh karena
itulah pewarisan harta dilakukan berdasarkan sistem matrilineal.
Ciri-ciri khas sistem matrinileal yang memebedakan dari sistem patrilineal adalah
sebagai berikut:7
1) Ketururnan ditelusuri melalui garis wanita.
2) Anggota kelompok keturunan di rekrut melalui garis ketururnan wanita.
3) Pewarisan harta pusaka dan suksesi politik melalui garis wanita.8
Sturuktur Organisasi Ninik Mamak/ Pemangku Adat
Tanah Ulu Muarasipongi
6 Yulfian Azrial, Budaya Alam Minangkabau, (Padang: Angkasa Raya, 2008), h. 40
7 Jurnal Adat dan Budaya Minangkabau, Edisi Kedua/Vol.2/Maret-Mei/Jakarta: 2004, h. 12
8Burhanuddi Datuk Rimambang, Tokoh Adat,Wawancara pribadi, Pasar Muarasipongi18 Juni 2019
Urak Tuo Adet
Datuk Urak Samondo Tuo Bapak Datuk/ Endek
Datuk
Mamak Rumah Mamak Rumah Mamak Rumah
36
Ket: 1). Urak Tuo Adet yaitu orang tua yang diangkat sebagai orang yang terlebih
dahulu menangani masalah keluarga sebelum menyelesaikan adatnya ke seorang
Datuk. 2). Datuk yaitu orang yang diangkat sebagai pemangku adat atau disebut
dengan tokoh adat. 3). Mamak rumah yaitu keluarga dari seorang istri yang laki-laki
baik itu abang atau adek istri. 4). Urak Samondo Tuo yaitu seseorang yang
melakukan adat samondo atau seorang suami yang sudah melakukan adat samondo.
5). Bapak Datuk/ Endek Datuk yaitu bapak atau ibu atau yang sering di sebut dengan
orang tua yang mengerti adat di dalam desa.
Kewarisan dalam adat samondo ini dibagi langsung oleh seorang Datuk didalam
suatu suku itu, dimana dalam satu suku ada yang dinamakan datuk atau disebut juga
dengan ketua adat, datuk inilah yang berperan sebagai pembagi warisan ditengah-
tengah keluarga dan didepan mamak rumah. Datuklah yang melihat kepada siapa
harta pusaka tinggi ini cocok diberikan dan siapa yang paling berhak untuk
mendapatkan harta pusaka tinggi ini.
Masyarakat adat Samondo ini memiliki asas-asas hukum waris yang bersandar
pada sistem kemasyarakatan dan bentuk perkawinannya. Asas-asas hukum waris adat
Samondo yaitu:
1. Asas Unilateral
Artinya, hak kewarisannya didasarkan hanya pada satu garis keturunan yaitu
garis ibu (matrilineal) dan harta warisannya adalah harta warisan yang
diturunkan dari nenek moyang melalui garis ibu, diteruskan kepada anak
cucu-cucu melalui anak perempuan.
2. Asas Kolektif
Asas kolektif berarti bahwa harta pusaka tersebut di warisi bersama-sama oleh
para ahli waris dan tidak dapat dibagi-bagi kepemilikannya kepada masing-
masing ahli waris.Yang dapat dibagikan hanyalah hak penggunannya.
3. Asas Keutamaan
Asas keutamaan atau garis pokok keutamaan ialah suatu garis yang
merupakan lapisan keutamaan antara golongan-golongan yang satu lebih di
37
utamakan diantara golongan yang lainnya.Akibatnya adalah sesuatu golongan
belum boleh dimasukkan dalam perhitungan jika masih ada golongan yang
lebih utama.9
B. Deskripsi Wilayah Penelitian
1. Letak dan Kondisi Geografis
Kecamatan Muarasipongi adalah salah satu kecamatan dari kabupaten Mandailing
Natal, yang masih jauh dari ibu kota kabupaten Mandailing Natal berjarak lebih
kurang 13 km. Kecamatan ini terletak di awal dari permulaan provinsi Sumatra Utara
atau bisa disebut perbatasan antara Sumatra Utara dengan Provinsi Sumatra Barat.
Kecamatan Muarasipongi ini memiliki 16 desa.
Kecamatan Muarasipongi merupakan daerah yang terletak didaerah kawasan
pegunungan, berbukit, dan suram sekali yang datar, sehingga rata-rata mata
pencaharian penduduk kecamatan Muarasipongi adalah bertani.Karena itu, sektor
pertanian menjadi andalan masyarakat di daerah ini, disamping sektor lainnya.
Batas wilayah kecamatan Muarasipongi ialah sebagai berikut:
Utara : Kec. Kotanopan
Selatan : Prov. Sumatra Barat
Barat : Kecamatan Kotanopan
Timu : Prov. Sumatra Barat
2. Demografis Masyarakat
a. Penduduk
Kecamatan Muarasipongi ini mempunyai beberapa desa yang di pinpin
atau di kepalai oleh seorang kepala desa dan dibantu oleh perangkat desa yang
lainnya. Luas wilayah kecamatan Muarasipongi ini lebih kurang 13.149 Ha.
Jumlah penduduk saat ini adalah laki-laki 5214 jiwa, dan perempuan 5272 jiwa,
sebagai jumlah penduduk pada tahun 2019 ini sebanyak 10486 jiwa.
Pada tahun 2019 mutasi penduduk terjadi dengan gambaran
Lahir : 4 orang
9 Burhanuddin Datuk Rimambang, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Pasar Muarasipongi 18 Juni 2019
38
Pindah : 0 orang
Meninggal : 0 orang
Datang : 0 orang
Mayoritas kecamatan Muarasipongi dari etnis Batak Mandailing, yang
masih kental dengan adat dan budayanya.Hal ini tercermin dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, misalnya dalam masalah waris. Masyarakat disini
memakai sistem matrilineal diantara ahli waris., karena menurut mereka sudah
adil dalam pembagian seperti itu.
b. Pendidikan
Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting bagi bangsa dan
merupakan sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan
manusia.Untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas.Baik
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat secara keseluruhan. Pembangunan
yang sedang di laksanakan di Indonesia tidak akan terwujud bila sumber daya
manusianya tidak disiapkan dengan baik.Di sisi lain, pendidikan merupakan
sarana yang ampuh dalam mempersiapkan tenaga kerja yang professional.
Dengan tingkat pendidikan yang semakin baik, setiap orang akan dapat secara
langsung memeperbaiki tingkat kehidupan yang layak, sehingga kesejahtraan
masyarakat akan semakin cepat diwujudkan.
Sarana pendidikan didaerah ini mulai dari pendidikan taman kanak-kanak,
Sampai tingkat menengah atas, baik yang berstatus negeri, maupun yang di
kelola oleh swasta, dapat dilihat pada table dibawah ini:
Komposisi Jumlah Sarana Pendidikan Di Kecamatan Muarasipongi
No Nama
Desa
TK SD SLTP MTS SLTA MA PT
1 Ranjo
Batu
1 1 0 0 0 0
39
2 Kampung
Pinang
1 0 0 0 0 0
3 Simpang
Mandepo
1 0 0 0 0 0
4 Bandar
Panjang
1 0 0 0 0 0
5 Pasar
Muara
Sipongi
2 0 0 0 0 0
6 Sibinail 1 1 0 0 0 0
7 Koto
Beringin
0 0 0 0 0 0
8 Tanjung
Alai
1 0 0 0 0 0
9 Limau
Manis
1 0 0 0 0 0
10 Bandar
Panjang
Tuo
1 0 0 0 0 0
11 Tamiang
Mudo
1 0 0 0 0 0
12 Tanjung
Medan
0 0 0 0 0 0
13 Aek
Botung
1 0 0 0 0 0
14 Koto
Boru
1 1 0 0 0 0
15 Muara
Kumpulan
1 0 0 1 0 0
40
16 Tanjung
Larangan
0 0 O 0 0 0
Sumber data: Dinas pendidikan Kab. Mandailing Natal
c. Sosial Ekonomi
Komposisi penduduk masyarakat kecamatan Muarasipongi
Petani : 745 orang
Pedagang : 320 orang
PNS/TNI/Polri : 39 orang
Buruh : 456 orang
Sumber utama kehidupan masyarakat adalah pertanian, selain pedagang, menjadi
PNS, dan buruh.Secara umum dapat dirinci dalam presentase keadaan lahan
pertanian, industri, dan perdagangan.10
d. Keagamaan
Kecamatan Muarasipongi ini dikenal juga sebagai desa yang agamis
karena di kecamatan ini banyak terdapat alumni-alumni pondok pesantren.
Mayoritas penduduk kecamatan Muarasipongi ini adalah Islam, pemeluk agama
lain adalah minoritas. Hubungan antara ummat beragama baik.Di kecamatan ini
terdapat banyak masjid dan tempat ibadah lainnya.11
Secara faktual kehidupan agama di kecamatan Muarasipongi ini berjalan
dengan lancer.Hal ini dapat di perhtikan dalam realita kehidupan masyarakat yang
aman, damai, dan sejahtra.Masyarakat Muarasipongi termasuk penganut agama
yang taat, hal ini dapat dilihat bahwa hampir setiap kampung atau nagari
mempunyai beberapa masjid dan mushalla yang di jadikan sebagai tempat ibadah
dan upacara-upacara keagamaan lainnya.Mesjid dan mushalla juga berfungsi
sebagai tempat pertemuan dan musyawarah dalam membicarakan perbaikan
kampung setempat.
10
Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Muarasipongi Dalam Angka 2018,
(Mandailing Natal: CV Rilis Grafika, 2018), h. 61 11
Syahrul, Ulama Muarasipongi, Wawancara Pribadi, Kotoboru 19 Juni 2019
41
Bnyaknya rumah ibadah menurut jenisnya dan desa/ kelurahan
No Desa Mesjid Surau Gereja Kuil Vihara Jumlah
1 Ranjo Batu 3 2 0 0 0 5
2 Kampung
Pinang
1 0 0 0 0 1
3 Simpang
Mandepo
1 0 0 0 0 1
4 Bandar
Panjang
1 0 0 0 0 1
5 Pasar
Muarasipo
ngi
4 5 1 0 0 10
6 Sibinail 2 1 0 0 0 3
7 Koto
Beringin
1 4 0 0 0 5
8 Tanjung
Alai
2 1 0 0 0 3
9 Limau
Manis
1 1 0 0 0 2
10 Bandar
Panjang
Tuo
2 0 0 0 0 2
11 Tamiang
Mudo
1 0 0 0 0 1
12 Tanjung
Medan
1 0 0 0 0 1
13 Aek
Botung
2 0 0 0 0 2
14 Koto Boru 3 0 0 0 0 3
42
15 Muara
Kumpulan
1 1 0 0 0 2
16 Tanjung
Larangan
1 0 0 0 0 1
Sumber data: Kantor Camat Muarasipongi
43
BAB IV
PEMBAGIAN WARIS DALAM ADAT SAMONDO MANDAILING NATAL
A. Pembagian Waris Adat Samondo Mandailing Natal
1. Pembagian Waris Dalam Hal Yang Meninggal Istri
Meninggalnya istri menimbulkan adanya pembagian kewarisan, pembagiannya
baik itu hak anak maupun hak suami.Adapun mengenai pembagian kewarisan setelah
isrinya meninngal terlebih dahulu datuk didalam desa ini melihat harta yang
ditinggalkan terlebih dahulu, baik itu harta pusaka tinggi atau harta pusaka
rendah.Harta pusaka tinggi terlebih dahulu dipisah dari harta pusaka rendah, dimana
harta pusaka tinggi ini tidak bisa dibagikan kepada ahli waris dan hanya diturunkan
atau dipindah alihkan kepada anak perempuan atau saudara perempuan dari istri.
Dan selanjutnya dilakukan pembagian harta pusaka rendah kepada ahli warisnya,
terlebih dahulu warisannya dibagi kepada suami yaitu ¼ jika tidak mempunyai
keturunan dan 1/8 jika ia mempunyai keturunan. Menurut penuturan bapak
Burhanuddin bahwa apabila meninggal seorang istri maka suami juga mendapatkan
warisan seperti halnya jikalau suami yang meninggal.1
Apabila seorang istri meninggal maka akan ada pembagian harta peninggalan
setelah selesai semua dilaksanakan kepentingan yang menyangkut kepada si mayit,
maka sebelum pembagian harta warisan kepada masing-masing ahli waris, terlebih
dahulu harta bersama dibagi dua, kemudian mengenai bagian suami seharusnya
mendapat 1/4 apabila bersama dengan anak laki-laki dan perempuan dan ½ apabila
tidak bersama dengan anak laki-laki dan perempuan, akan tetapi kalau ada
kesepakatan bahwa suami tidak mendapatkan lagi harta yang sudah dibagi dua,
diperbolehkan apabila ada persetujuan diantara ahli waris yang lain.
Bagian Yang didapatkan oleh suami setelah harta bersama dibagi dua yaitu lebih
sedikit dibanding dengan bagian istri.Kemudian Bapak Burhanuddin menambahkan
bahwa selain suami mendapatkan harta bersama, dia juga masih ber hak katas bagian
seorang istri, tetapi apabila ada hasil musyawarah atau hasil kesepakatan diantara ahli
waris, maka suami boleh tidak mendapatkan selain harta bersama, karena menurut
1Burhanuddin Datuk Rimambang, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Pasar Muarasipongi 18 Junil 2019
44
beliau kesepakatan lebih diutamakan dalam pembagian warisan untuk mempererat
hubungan kekeluargaan.Kalau tidak ada kesepakatan diantara ahli waris, maka
pembagian warisan dilaksanakan sesuai dengan hukum adat.2
Dalam pembagian waris dalam adat Samondo ini bagian dari perempuan lebih
besar dibanding dengan bagian laki-laki, bagian ahli waris laki-laki yaitu 1 dan
bagian ahli waris perempuan 2. Demikian juga Bapak Sahrul menambahkan apabila
yang meninggal seorang istri dan mempunyai ahli waris selain anak maka akan
mendapatkan bagian apabila ada terlebih dahulu kesepakatan para ahli waris, dan
kalau tidak ada kesepakatan maka ahli waris selain anak akan mendapatkan bagian
sesuai dengan hukum adat yang berlaku.3
Menurut keterangan dari para tokoh adat (Hatobangon), apabila seorang istri
meninggal dan meninggalkan suami dengan meninggalkan dua orang anak laki-laki
dan satu orang anak perempuan, maka dalam pembagian waris suami akan
mendapatkan 1/8 dari harta yang ditinggalkan istri, Dan bagian dari anak laki-laki
lebih sedikit dibanding dengan anak perempuannya.4
2. Pembagian waris dalam hal yang meninggal suami
Kasus pembagian waris dari salah satu masyarakat desa Muarasipongi yang
bernama bapak haji, Meninggal setelah beberapa bulan yang lalu, Beliau
meninggalkan anak laki-laki 2 orang dan anak perempuan 2 orang, adapun yang
beliau tinngalkan berupa kebun dan sawah.
Dalam kasus pembagian waris ini masing-masing ahli waris baik anak laki-laki
maupun anak perempuan mendapatkan bagiannya masing-masing sesuai dengan
hukum adat waris yang berlaku yaitu untuk bagian anak laki-laki 1 dan untuk bagian
anak perempuan 2, begitu juga dengan bagian istri mendapatkan ¼ sesuai dengan
hukum adat waris yang berlaku didesa ini. Karena sebelum dibagikan kepada anaknya
terlebih dahulu diberikan kepada istri harta bersama yang didapatkan selama
perkawinan.5
2Syafei, Camat Muarasipongi, Wawancara Pribadi, Pasar Muarasipongi 18 Juni 2019