Top Banner
KETIDAK JUJURAN DALAM UJIAN NASIONAL: TINJAUAN DARI SUDUT PANDANG ETIKA PENDIDIKAN MAKALAH ( Studi Kasus ) Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ethical Leadership in Education Dosen: Dr. Mahfud Sholihin, M.Acc Oleh: JOKO PRASETIYO NIM: 11/327329/PEK/16768 NO REG: 11 KD 233 MAGISTER MANAJEMEN Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 1
35

Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

May 12, 2015

Download

Education

Joko Prasetiyo

KETIDAK JUJURAN DALAM UJIAN NASIONAL:
TINJAUAN DARI SUDUT PANDANG ETIKA PENDIDIKAN
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

KETIDAK JUJURAN DALAM UJIAN NASIONAL:

TINJAUAN DARI SUDUT PANDANG ETIKA PENDIDIKAN

MAKALAH( Studi Kasus )

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Ethical Leadership in Education

Dosen: Dr. Mahfud Sholihin, M.Acc

Oleh:JOKO PRASETIYO

NIM: 11/327329/PEK/16768NO REG: 11 KD 233

MAGISTER MANAJEMEN MANAJEMEN KEPENGAWASAN PENDIDIKAN

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNISUNIVERSITAS GADJAH MADA

2012

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 1

Page 2: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

KETIDAK JUJURAN DALAM UJIAN NASIONAL:

TINJAUAN DARI SUDUT PANDANG ETIKA PENDIDIKAN

1. PENDAHULUAN

Ujian Nasional atau yang disingkat UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian

kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. UN

diselenggarakan berdasarkan Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UN digelar untuk menilai pencapaian kompetensi

peserta didik secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran

ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil dari UN tersebut digunakan sebagai : (1) pemetaan

mutu program dan/atau satuan pendidikan, (2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan

selanjutnya, (3) penentuan kelulusan peserta didik dari tiap satuan pendidikan, (4) dasar

pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan

mutu pendidikan.

Dalam melakukan penilaian hasil belajar sebagai bagian integral dari proses

pembelajaran, nyatanya tidak diberikan kewenangan sepenuhnya kepada sekolah. Padahal

struktur dominan telah memberikan kewenangan melalui otonomi sekolah dengan manajemen

bebasis sekolahnya, serta kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Teks-teks tersebut

sebenarnya memberi hak dan kewenangan kepada sekolah/ guru untuk melakukan penilaian

secara utuh dan menyeluruh sampai pada penentuan kelulusan siswa, namun faktanya struktur

dominan (negara/ pemerintah) justru ikut bermain dengan membangun teks dalam bentuk

undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang melibatkan struktur dominan secara

teknis dalam penilaian, dengan bentuk produksi ujian nasional (selanjutnya

disebut UN).

Pendidikan sebagai hak asasi manusia yang diamanatkan dalam Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia tahun 1945 memang menjadi tanggungjawab dan tugas struktur

dominan dalam pembangunannya. Pemerintah berkewajiban meningkatkan mutu pendidikan,

yang indikator utamanya adalah pencapaian prestasi siswa. Mutu pendidikan pada satuan

pendidikan dan mutu pendidikan secara nasional bisa dilihat dari pencapaian prestasi UN-nya,

baik pada level satuan pendidikan maupun pada level nasional. Indikator yang paling nyata

untuk mengetahui kualitas pendidikan di Indonesia adalah dilihat dari hasil ujian nasionalnya

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 2

Page 3: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

(Depdiknas, 2009:86). Pembangunan pendidikan nasional tidak bisa lepas dari pengaruh

globalisasi yang becirikan kapitalis dan saintifik. Oleh karenanya dibangun kebijakan UN, dan

dicitrakan sebagai produk yang bisa mendongkrak peningkatan mutu pendidikan. Para siswa

yang berprestasi dalam UN atau sekolah/ pemerintah daerah sebagai dampak ikutannya, tentu

akan memperoleh reward atau penghargaan dari struktur dominan.

Teks-teks yang tersurat dan tersirat dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, peraturam pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Prosedur Operasi Standar (POS) UN sangatlah ideal

dan baik, namun dalam implementasinya terjadi pula bias, karena adanya permainan modal

simbolik atau prestise, seperti: malu tidak lulus atau malu tidak mendapat sekolah yang lebih

tinggi, sehingga terjadilah kecurangan-kecurangan, sebagai suatu praktik ketidak jujuran.

Seperti kasus nyontek masal yang terjadi di SDN Gadel 2 Surabaya. Hasil penelitian

Balitbang Kemendiknas dalam laporan indeks objektivitas menunjukkan bahwa hampir 90%

hasil UN di seluruh Indonesia diperoleh dengan proses curang. Kemudian hasil penelitian

PGRI, jika UN dilakukan secara sportif dan objektif angka kelulusan siswa hanya 40%-50%

(Nusa Bali, 2009).

Menyimak kasus-kasus yang terjadi itu, ibarat gunung es yang tampak, namun yang

tidak terbongkar masih sangat banyak. Kasus itu terjadi sebagai suatu representasi dari efek

domino, bahwa mereka berbuat itu karena mencontoh apa yang mereka lihat dari habitus

struktur dominan atau para aktor dalam praktik-praktik pembelajaran di kelas dan atau pada

praktik-praktik pembelajaran/pendidikan lainnya yang lebih luas di persekolahan, serta dalam

kehidupan yang lebih kompleks dalam aktivitas kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara.

Dengan adanya permainan berbagai struktur dan berperannya berbagai modal ala Bourdieu

secara holistik dan dialektis, antar modal ekonomi, modal budaya, modal sosial dan modal

simbolik, tampak dapat memberi kontribusi terhadap ketidak jujuran dalam pelaksanaan UN,

atau sebaliknya bisa dicapai kejujuran sekaligus prestasi sesuai semboyan Kemendiknas

dalam pelaksanaan UN, yaitu: “ Prestasi yes, Jujur harus”. Permasalahannya adalah

mengapa ketidak jujuran dalam pendidikan terjadi dalam UN ? atau dengan kata lain mengapa

dalam ujian nasional sebagai bagian dari proses pendidikan bisa terjadi praktik ketidak

jujuran?.

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 3

Page 4: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

Berdasarkan pada latar belakang kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia

yang telah penulis kemukakan di atas, penulis mencoba mengangkat sebuah kasus tentang

salah satu modus kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional.

Pada kasus ini menyajikan dilema etika yang berkaitan dengan berbagai aspek

akuntabilitas dalam hubungannya dengan tanggung jawab, juga antara dilemma Care

(kepedulian) dan Rule (aturan).

2. STUDI KASUS

Kasus ini penulis kutip dari Kompasiana.com yang ditulis oleh Mustafa Kamal di

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/02/10/pak-udin-kepsek-baru/, kisah ini penulis

modifikasi berdasarkan pengalaman pribadi penulis sebagai panitia Ujian Nasional Sekolah.

Nama dan tokoh sengaja disamarkan untuk menghindari kesalah pahaman.

Kasus ini menceritakan seorang kepala sekolah baru, sebut saja namanya Pak Joko,

yang mempunyai idealisme yang tinggi dan bertekad Ujian Nasional di sekolahnya harus

benar-benar murni tidak boleh ada kecurangan. Namun ia dihadapkan pada sebuah dilema

antara melaksanakan ujian secara murni tanpa harus membantu siswa, dan tekanan dari

atasannya dan juga kepedulian akan nasib dan masa depan siswa-siswinya.

Pak Joko Kepsek Baru

Pak Joko masih muda. Usianya baru 35 tahun. Baru sepuluh tahun mengabdi menjadi guru bidang studi teknik mesin, namun karena keaktifannya, dia lulus pada Diklat Calon Kepala Sekolah SMK dan menjadi peserta terbaik pada diklat tersebut. Tidak menunggu lama, setahun kemudian dia diangkat menggantikan kepala sekolah yang memasuki masa pensiun. Sekolah tersebut berada di daerah pesisir pantai di wilayah Kepulauan Riau.

Dua bulan lagi akan memasuki masa-masa Ujian Nasional. Pak Joko yang idealis bertekad Ujian Nasional kali ini disekolahnya harus benar-benar Murni tidak boleh ada kecurangan. Membantu anak didik memberikan jawaban Ujian Nasional baginya sama saja mengajarkan generasi muda bahwa kecurangan itu halal !, Maka kelak jika mereka jadi guru juga maka merekapun akan menghalalkan hal yang sama!  Mau jadi apa negeri ini kelak ! pikir Pak Joko.

Mendekati Ujian Nasional Pak Joko mendapat perintah dari Kepala Dinas Pendidikan setempat bahwa Bupati menginginkan kelulusan UN SLTA di daerahnya harus 100%! Jika ada sekolah yang kelulusannya dibawah itu, kepala sekolahnya akan diberhentikan dan dikembalikan menjadi guru biasa serta di mutasi ke daerah terpencil. Pak Joko berpikir kerasa antara idealis, harga diri namun dia juga tidak mau dimutasi kedaerah terpencil, istrinya akan kecewa juga anak-anaknya yang masih kecil. Pak Joko tidak terpisah dari keluarga yang dicintainya.

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 4

Page 5: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

Pak Joko lalu berkonsultasilah dengan mantan kepala sekolah yang sudah pensiun yang pernah menjadi pimpinannya. Mantan kepsek tersebut menganjurkan Pak Joko untuk ikut saja arlur yang sudah berjalan sejak lama di daerah kita. “Demi masa depan anak-anak ! Kebanyakan dari mereka adalah anak nelayan, petani karet, dan buruh-buruh di pabrik, jika tak lulus sekolah dipastikan banyak yang memilih berhenti sekolah, apalagi tidak ada lagi ujian Nasional Ulangan bagi yang tak lulus. Kesempatan mereka hanya satu kali.” Begitu kata mantan Kepseknya. “Pak Joko, yang salah bukan kita, tapi pakar-pakar pendidikan yang di kementerian pusat yang membuat UN itu! Jika ada studi kelayakan maka UN belum layak dilaksanakan di negeri ini! Karena masih terdapat jurang perbedaan yang menganga lebar antara kota dan pedesaan. Tapi orang buta diatas tidak melihat itu! Jadi kitapun buta jugalah! Bantu anak didik kita untuk lulus UN demi masa depan mereka! Itu pesan mantan kepseknya.

Pak Joko pun bimbang di satu sisi apa yang disampaikan mantan Kepseknya benar tapi hati kecilnya masih menolak, sampai kapan ketidakbenaran ini terus berlangsung. Pak Joko berpendapat UN sebaiknya dihapuskan. Kembalikan ke sistem EBTANAS seperti semula, dimana Ujian Akhir Nasional hanya sebatas untuk evaluasi dan pertimbangan bagi Perguruan Tinggi untuk meluluskan seorang calon mahasiswa layak atau tidak layak lulus di Perguruan Tinggi tersebut. Pak Joko tidak setuju UN sebagai penentu kelulusan! Masa, karena satu mata pelajaran di bawah 4 meskipun tiga mata pelajaran lainnya sangat baik, anak tidak lulus. Sebagai contoh, Andi mendapatkan nilai 8 untuk bahasa Indonesia, 9 untuk bahasa Inggris, 7 untuk Matematika, 7 untuk kimia, tetapi hanya 3,5 untuk Fisika. Maka Andi dinyatakan tidak lulus karena salah satu mata pelajarannya tidak mencapai 4 sebagai syarat kelulusan! Padahal bisa saja Andi kondisi badannya tidak sehat ketika ujian Fisika tersebut! Sungguh tidak Adil, Andi anak baik dan termasuk anak berprestasi tidak lulus hanya gara-gara pemerintah bersikeras UN tetap diadakan! Pak Joko larut dalam renungannya sendiri.

Namun, akhirnya Pak Joko sepakat dengan mantan kepseknya, Ya sudahlah kita tinggal di negeri buta, maka butakan saja mata hati kita! Selama UN masih menentukan kelulusan, selama itu pula dia akan membantu anak didik untuk lulus ! Tekad Pak Joko.

Akhirnya Ujian Nasionalpun segera dimulai, Seluruh kepala sekolah berkumpul di ruangan Kepala Dinas pendidikan untuk mensukseskan harapan Bupati 100% kelulusan di daerahnya. Lewat telpon Kepala Dinas berbicara langsung dengan Kapolres setempat tentang besaran "amplop" untuk untuk kelancaran proses pengambilan soal UN nanti di kantor polisi, maka disepakati setiap sekolah mengeluarkan uang amplop Rp 20 juta. Kemudian ada pula "uang rokok" untuk polisi jaga soal UN tersebut, uang rokoknya bervariasi antara Rp. 500 ribu - Rp. 1 juta.

Pak Joko kemudian membentuk “Tim Sukses UN” yang diketuai oleh Pak Faiz selaku Wakil Kepala sekolah Bagian Akademik/Kurikulum. Kemudian diadakanlah rapat yang dihadiri oleh semua wakil kepala sekolah dan semua guru mata pelajaran yang di UN kan. Pada rapat rahasia tersebut Pak Joko menyampaikan “strategi-strategi” untuk mencapai hasil kelulusan sekolah supaya bisa mencapai 100% kelulusan. Pada awalnya beberapa guru menolak untuk melakukan kecurangan UN, namun dengan bujukan dan sedikit pemaksaan, akhirnya para guru pun bersedia membantu siswa mengerjakan soal-soal UN.

Sehari sebelum UN, skenario dimulai. Skenario pertama adalah pengambilan soal UN. Biasanya pengambilan soal dilakukan pada malam hari selepas sholat magrib ke kantor Polres tempat penyimpanan soal UN. Pak Joko menugaskan Pak Faiz, Waka Akademik/kurikulum dan stafnya, dengan membawa uang rokok untuk petugas jaga. Biasanya pengambilan soal ini dipercayakan ke salah satu sekolah saja misalnya yang punya mesin fotocopy, kemudian

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 5

Page 6: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

sekolah itu akan memperbanyak soal dengan mengcopinya dan dibagikan ke seluruh sekolah rekanan melalui Waka kurikulumnya. Biasanya sekolah yang ditunjuk ini saja yang bekerja, nanti kunci jawaban yang sudah dibuat disebarkan dengan SMS ke sekolah-sekolah yang lain. Namun setiap sekolah membuat tim juga untuk berjaga-jaga.

Setelah soal dijemput, diperbanyak dan dibagikan ke seluruh sekolah. Setiap sekolah akan melibatkan seluruh guru mata pelajaran UN untuk menjawab soal sesuai mata pelajarannya. Setiap guru yang mata pelajarannya diujikan esok hari akan berkumpul di rumah salah seorang rekannya pada malamnya menunggu soal dari waka kurikulum. Biasanya lepas isya soal UN sudah ditangan para guru tersebut. Dan mereka akan mengerjakan "gotong royong" soal-soal tersebut karena ada beberapa paket. Selesai mengerjakan soal, kunci jawaban tersebut diantarkan kembali kepada waka kurikulum untuk diperbanyak

Pak Faiz sebagai koordinator “Tim Sukses UN” meneruskan kunci jawaban tersebut kepada Tenaga TU yang sudah standby, tenaga TU tersebut akan memperbanyak dengan menulis dicarik kertas atau diperbanyak dengan difotocopy dan langsung dilipat kecil-kecil sesuai paket soal.

Kemudian dibentuk juga Tim pembagi kunci jawaban. Tim ini biasanya hanya dua orang yaitu Bu Lina selaku Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan dan stafnya. Oleh mereka ini sudah ditentukan siswa-siswa penerima setiap kelasnya, dan siswa tersebutlah yang bertanggungjawab membagikan kepada teman-teman sekelasnya. Siswa-siswa ini disuruh datang cepat sejam atau paling lambat 30 menit sebelum jam 07.00 WIB jam masuk sekolah dan diserahkan di lokasi yang sudah ditentukan tempat paling tersembunyi di sekolah tersebut, atau ada juga subuh-subuh menjemputnya ke rumah Waka kesiswaan. Strategi pembagian jawaban UN ini setiap hari diubah-ubah untuk menghindari kecurigaan dari tim pemantau independen.

Kemudian adalagi tim penerima kunci jawaban. Mereka adalah wakil siswa-siswa setiap ruang ujian. Dalam pelaksanaan ujian ini pengawas silang dari sekolah lain tidak dikhawatirkan karena sudah ada kesepakatan bersama di daerah itu. Lalu siapakah yang ditakuti oleh pihak sekolah ? yaitu Pengawas independen yang berasal dari Perguruan Tinggi terdekat yang tidak dapat diajak kerjasama. Memang ada juga yang dapat diajak kerjasama mereka ini adalah yang kenal dengan kepsek atau guru-guru disekolah itu, siapa guru yang kenal baik akan disuruh melobi oleh kepsek masing-masing. Tapi bagaimana dengan yang tidak bisa dilobi ? Ada lagi tim khusus yaitu Tim ini terdiri atas 2 - 3 orang guru yang ditugaskan untuk mengajak pengawas independen ini ngobrol-ngobrol, dan mengajaknya menjauh dari ruang tempat ujian. Kadang dibawa rekreasi atau makan-makan dan minum kopi selama Ujian berlangsung.

Dan akhirnya seperti yang direncanakan, sekolah Pak Joko lulus 100%! Semua bahagia, bupati, kepala dinas, kepsek dan guru, orangtua serta anak didik pastinya! Seluruh anak didiknya bisa melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi tanpa terjegal oleh UN yang keliru! Pak Joko bersyukur, dan menyerahkan salah benarnya semuanya kepada Tuhan.

2. PERMASALAHAN

Dari kasus yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-

permasalahan antara lain:

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 6

Page 7: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

1. Bagaimana kajian tentang kecurangan Ujian Nasional dalam perspektif pendidikan

kritis dan budaya ?

2. Apa saja dilema etika yang dihadapi oleh Pak Joko sebagai Kepala Sekolah yang baru

mengikuti jejak seniornya dalam melaksanakan kecurangan dalam pelaksanaan Ujian

Nasional ?

3. Bagaimana dilema etika sentral pada kasus ini, para guru yang semula menolak untuk

melakukan kecurangan, tetapi dipaksa oleh kepala sekolahnya untuk melakukan

kecurangan ?

4. Bagaimana solusi kasus ini jika kita melihatnya dalam perspektif etika dan hukum ?

3. PEMBAHASAN

3.1 Kajian Teori Tentang UN dan Praktek Ketidak Jujuran dalam Pelaksanaan UN

Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan

penilaian pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam

kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi (Peraturan Menteri Pendidikan Dan

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2011). Dalam melaksanakan pengukuran

dan penilaian secara nasional, UN telah didisain sedemikian rupa (seperti: kualitas soal,

kriteria pelulusan, independensi pelaksanaan UN, jadwal ujian, paket soal dan kegunaan hasil

UN), sehingga UN cenderung dapat digunakan sebagai metode yang ideal dalam menilai

pencapaian kompetensi lulusan secara nasional, lebih masif lagi UN dicitrakan sebagai

metode untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Berbicara mutu pendidikan tidak saja dilihat dari indikator prestasi akademik melalui

capaian nilai UN (bersifat tangible), namun juga unsur-unsur yang bersifat intangible (seperti:

jujur, berakhlak baik, disiplin, bertanggung jawab, toleran, dan berdedikasi) sebagai bangunan

holistik dalam menentukan mutu pendidikan. Di balik capaian prestasi yang bersifat tangible,

ternyata UN dapat pula membuat produk yang bersifat intangible, atau testing kejujuran dari

para aktor yang terlibat UN. Sehingga terjadilah pertarungan antara perolehan prestasi UN

dengan kejujuran sebagai satu pilar pendidikan karakter.

UN dalam perjalanannya mengalami dinamika serta pro kontra, sehingga setiap

tahunnya mengalami perubahan. Perubahan terjadi pada kriteria lulusan, ujian ulangan, Tim

Pemantau Independen serta jumlah paket soal. BSNP menyatakan perubahan itu terjadi untuk

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 7

Page 8: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

mengadopsi hasil evaluasi UN dari masyarakat, seperti kondisi dan kualitas sekolah yang

sangat bervariasi, serta masukan konstruktif dari lapangan dan pemangku kepentingan. UN

yang dicitrakan sebagai metode untuk meningkatkan mutu pendidikan secara nasional adalah

tepat, sesuai dengan tujuan UN yang dicanangkan oleh BSNP yaitu menilai pencapaian

kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata

pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun dibalik kuatnya legalitas yang mendukungnya, kebanggaan atas capaian

prestasi dan prestise yang melekat pada UN menarik dikaji secara dekonstruktif dengan

memakai pendekatan teori pendidikan kritis sebagai satu karakteristik dari Kajian Budaya.

Menurut Atmadja (2010:3-5) teori menjadi kritis, apabila teori itu meneliti realitas sedemikian

rupa sehingga realitas itu sendiri berbicara dan menunjukkan bahwa ia ditentukan oleh

penindasan dan penghisapan, sehingga kepalsuan dan kebohongannya tersingkap. UN sebagai

entitas sosial tidak berada dalam kondisi yang otonom, melainkan terkait dengan struktur yang

lebih besar yang melibatkan berbagai aktor. UN dilihat dari pendekatan semiotika, maka UN

diperlakukan sebagai tanda. Tanda dicari maknanya, tidak saja dalam konteks jalinannya

dengan struktur atau entitas sosial lain yang terkait, tetapi dengan pengembangan penafsiran

melalui mekanisme permainan bebas interpretasi. Berdasarkan perspektif seperti ini

diharapkan muncul gagasan alternative dalam melihat UN sebagai sesuatu yang membagakan

maupun kemungkinan adanya permarginalan bagi kelas bawah sehingga muncul perilaku-

perilaku destruktif yang menyimpang dari pendidikan karakter.

Pendapat yang sama dinyatakan oleh Alwasilah (2008: 109), bahwa teori kritis

memiliki kepedulian terhadap ketidak adilan sosial sebagaimana tercermin dalam sistem

pendidikan atau persekolahan, yang dibalik itu ada minat dan vested interest kelompok serta

ada ideologi yang mendominasi yang perlu dicermati dan dikritisi. Salah satu teori kritis

adalah teori pendidikan kritis (critical pedagogy) atau disebut ”aliran kiri” atau pendidikan

radikal atau pendidikan revolusioner adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya

muatan politik dalam semua aktivitas pendidikan. Mashab ini tidak mempresentasikan suatu

gagasan tunggal dan homogen, tetapi memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi

ketidak adilan sosial. Pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan

tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, kultural, ekonomi dan politik yang lebih luas

(Nuryatno, 2008; Karim, 2009: 123).

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 8

Page 9: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

Pendidikan adalah ajang pertarungan ideologis. Lembaga pendidikan adalah wilayah

yang mana kesadaran diperebutkan oleh kepentingan. Kepentingan untuk menjadikan peserta

didik hanya tunduk pada “kesadaran” yang dapat melanggengkan sistem penindasan dan

menjadikan peserta didik hanya sebagai objek yang menguntungkan kekuasaan. Pendidikan

harus mampu membebaskan manusia dari belenggu ketidak adilan dan penindasan.

Pendidikan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan (dominasi), atau

memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur

yang tidak adil. Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan social

budaya. Pendidikan adalah mengantarkan peserta didik menjadi subjek, melakukan kritik

terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan tertindas untuk

menciptakan sistem social baru yang lebih adil (Karim, 2009: 146; Soyomukti, 2010: 482)

UN dilihat dari perspektif pendidikan kritis, tampaknya tidak bisa dipisahkan dari

konteks sosial, kultural, ekonomi dan politik yang lebih luas. Kebijakan UN tidaklah netral

dan bebas dari pelbagai kepentingan, tetapi justru menjadi bagian dari struktur lain sebagai

ajang pertarungan kepentingan, sehingga mempengaruhi subjektivitas peserta didik. Praktik

UN tampaknya berseberangan dengan nilai-nilai pendidikan kritis, yaitu pembebasan,

pemerdekaan, memanusiakan manusia serta mengantarkan peserta didik menjadi subjek, serta

mengembangkan potensi dirinya menjadi subjek yang memiliki kecerdasan intelektual,

emosional dan spiritual. UN sepertinya mengenyampingkan dialektika antara teks dan realitas

sesuai hakikat pendidikan. UN yang memilah milah mata pelajaran UN dan non UN dengan

kekuatan tes objektifnya, tentu dapat mengkontaminasi penguasaan kompetensi serta

pembentukan karakter siswa. Tujuan belajar di sekolah seakan dibentuk sekedar untuk

mempersiapkan dan menghadapi UN. Spirit pengembangan nalar kritis anak didik seolah

dibatasi. Harapan masa depan anak didik seakan digantungkan hanya pada angka-angka hasil

UN, yang sepertinya semu. Kelulusan murid diserahkan pada komputer atau mesin pemindai

(scanner). Eksistensi siswa sebagai subjek yang dinilai dengan mesin adalah perendahan

martabat siswa sebagai manusia. Pendidikan bukan persoalan kognitif yang dinilai dengan tes

pilihan ganda, namun soal membangun karakter dan keterampilan hidup, sehingga sungguh

tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan moral (Rosyid, 2011).

UN adalah standardisasi kapitalisme serta ada ideologi kompetisi dari neoliberalisme.

Tolok ukur kelulusan siswa merupakan program yang tidak menghargai keunikan pribadi. UN

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 9

Page 10: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

hanya mementingkan capaian kognitif pada mata pelajaran (mapel) tertentu saja, serta

mengabaikan aspek afektif dan psikomotor. UN telah mereduksi kekayaan pribadi menjadi

sekedar barang produksi yang bisa distandarisasi. Akibatnya individu kehilangan nilainya

sebagai pribadi yang unik dan tak tergantikan. UN berpretensi membuat penyamaan, sehingga

menjadi alat penyebaran ketidak adilan. Penguasa tidak mempertimbangkan, bahwa

setiap mapel memiliki standar minimum pencapaian kompetensi yang berbeda. Batas

kelulusan ditentukan sama untuk semua mapel, padahal karakteristik setiap mapel dan

kemampuan siswa tidak sama.

UN yang sepertinya kurang berpihak pada kelas subordinat, maka perlu

didekonstruksi, yakni dengan melakukan penolakan terhadap logosentrisme yang meng-

anggap UN adalah metodologi terbaik dan diutamakan dalam menentukan kualitas pendidikan

nasional, padahal mutu pendidikan yang rendah disebabkan oleh manajemen pendidikan yang

tidak efektif dan tidak efisien (Syafaruddin, 2002: 14; Tilaar, 2006: 198 ; Sagala, 2008;

Nuryatno, 2008: 71; Surakhmad, 2009: 152).

Penilaian kelulusan dengan UN yang hanya berdasarkan pada standarisasi akademis

merupakan pelecehan atas integritas harkat dan martabat manusia. Kemampuan akademis

memang merupakan batu pijakan (corner stone) bagi dunia pendidikan, namun pertumbuhan

karakter adalah fondasi bagi hidup seseorang. Pendidikan semestinya memberikan tolok ukur

penilaian pada sikap dan perilaku yang baik, bukan sekedar mencetak orang-orang sesuai

spesifikasi kuantitatif yang dipaksakan. Akibatnya banyak hal yang bernilai dalam diri

pribadi hilang.

UN merupakan representasi kekuasaan yang mengebiri atau merampas hak sekolah

dan menghegemoni sekolah untuk melaksanakan UN. Adanya pembatasan terhadap skor

kelulusan serta jenis dan jumlah mata pelajaran yang diujikan merupakan satu wujud nyata

dari dominasi kekuasaan pemerintah. Dunia pendidikan telah terkooptasi oleh kekuasaan

hegemoni negara. Kekuasaan yang datang dari atas akan mematikan budaya dan

menghasilkan budaya yang cenderung uniformisme.

Dunia pendidikan dinilai hanya akan melahirkan proses penggiringan, pembodohan,

dan penjinakan warga oleh kepentingan segelintir elit penguasa. Pendidikan yang semestinya

menjadi alat perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 10

Page 11: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

menjadi lumpuh dan tak berdaya. Pendidikan yang idealnya mampu membentuk karakter

bangsa dan menumbuh suburkan nilai budaya pembebasan dalam proses pembelajaran tak

lebih hanya sekadar “kuda tunggangan” demi memenuhi ambisi sekelompok elite yang berada

dalam lingkaran kekuasaan. Ruang kebebasan berekspresi dan alternatif pilihan yang merdeka

bagi setiap warga negara pun nyaris tak bergema dari balik tembok-tembok sekolah. Sampai

terjadi pengambilalihan penentuan kelulusan siswa dari mekanisme sekolah menjadi hak

pemerintah. Dunia pendidikan mestinya harus melepaskan diri dari kekuasaan hegemoni

negara, dan harus mampu menentukan sistem untuk dirinya sendiri (Tuhusetya, 2008; Tilaar,

2009:154 ).

Ujian Nasional Sebagai Praktik Ketidak Jujuran Dalam Pendidikan

UN yang dibangun oleh struktur dominan sebagai alat utuk meningkatkan mutu

pendidikan, tampak dalam implementasinya kontradiktif dengan slogan UN “Prestasi yes,

Jujur harus”. Hal ini bisa terjadi, antara lain karena adanya beberapa faktor yang kontributif

terhadap paraktik UN, baik yang sifatnya internal maupun eksternal, seperti: persiapan dan

kemampuan memahami materi dan soal-soal dirasa belum maksimal, sehingga muncul rasa

takut, kurang percaya diri karena malu atau khawatir tidak lulus, apalagi UN memiliki veto

bisa mentidak luluskan siswa sesuai perangkat hukum yang berlaku, dan dibalik itu ada

pertarungan prestise atau nama baik siswa/ sekolah sehingga menambah akumulasi ketakutan

para aktor yang terlibat langsung dalam UN.

Penggunaan istilah ujian nasional, jika dilihat dari perspektif semeotikan

menimbulkan implikasi bahwa pemakaian istilah ujian nasional, terutama kata nasionalnya

tidak sekedar sebutan, tetapi pula penanda konotatif, sehingga istilah UN mengandung makna

yang lebih dalam dan lebih bergengsi daripada jenis ujian-ujian lainnya yang non nasional,

seperti dilihat dari indicator penilai oleh pihak eksternal sekolah, kualitas dan jumlah soalan,

mata pelajaran yang di-UN-kan, waktu ujian, kriteria pelulusan, aktor yang terlibat,

pencetakan/penggandaan soal, pengawasan, pemeriksaan hasil ujian, pendanaan, serta dampak

dari perolehan hasil UN. Pencapaian prestasi siswa/ sekolah dalam UN sengaja disebarluaskan

ke ruang publik melalui media masa (surat kabar, TV, dan internet) yang dimaksudkan untuk

memotivasi siswa agar memiliki kebanggaan dan menirunya, tetapi pula ada motif laten,

yakni apa yang dicapai sekolah diketahui publik secara luas termasuk orang tua murid,

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 11

Page 12: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

sehingga tidak mengherankan siswa yang memperoleh hasil tertinggi diberikan pujian

(reward) dan penghargaan dari struktur bawah (sekolah) sampai struktur dominan

(Pemerintah). Di balik itu tentu pula terselip motif tersembunyi bahwa apa yang dicapai siswa

pada dasarnya bagian dari keberhasilan para aktor yang terlibat, mulai dari penguasa di

sekolah, daerah, sampai penguasa pusat.

UN yang sengaja dibangun, sebagai entitas yang “prestisius” sehingga para aktor

berusaha mencapai prestasi supaya memperoleh prestise, walaupun dengan cara-cara yang

sifatnya bertentangan dengan nilai-nilai edukasi, etis, dan pendidikan karakter, yang penting

secara instan memperoleh hasil UN yang baik bahkan terbaik. Pertarungan antara prestasi yes

dan jujur harus, ternyata dalam praktiknya mengalami ketidakadilan. Para siswa, orangtua

atau sekolah yang memiliki kemampuan dan kondisi yang serba terbatas mengalami

marginalisasi, sehingga mereka “terpaksa” dengan sadar akan berusaha dengan berbagai cara

ikut bermain, walaupun dengan tidak jujur atau curang sekalipun, seperti: nyontek, mencari

jawaban/bocoran jawaban/ soal-soal, atau dari pihak sekolah/guru membantu memberi

jawaban kepada siswa, atau cara lainnya yang lebih canggih. Slogan UN: “prestasi yes, jujur

harus” yang dicanangkan Kemendikbud tampak dalam praktiknya mengalami metamorphose

menjadi: “prestasi yes, jujur hapus”, dalam artian pencapaian prestasi tidak lagi

memperhatikan nilai-nilai kejujuran, yang penting bisa lulus 100% atau memperoleh skor UN

tinggi. Sedangkan mereka yang berada pada kelas atas dengan modal ekonomi, modal sosial

dan modal budaya yang kuat tentunya relatif tidak mengalami masalah dalam UN, bahkan

memperoleh prestasi dan prestise.

Perilaku-perilaku malpraktik yang berlangsung terus setiap tahun, sehingga menjadi

kebiasaan dan membantu keefektifan dalam mempercepat pembentukan karakter buruk. UN

telah berhasil menjadi ajang pendidikan karakter. Delapan tahun telah berlangsungnya UN

merupakan waktu yang tidak pendek untuk sebuah proses pendidikan, serta rentang waktu

yang cukup dalam pembentukan “karakter baru”. Budaya baru yang dibentuk oleh UN adalah

karakter yang bias, karakter yang sangat kontradiktif dengan pilar pendidikan karakter,

seperti: damai dalam kecurangan, memiliki sifat menolong yang bukan pada tempatnya,

kerjasama dalam hal keburukan, tidak memiliki rasa percaya diri, tidak jujur serta jauh dari

etika kesantunan pendidikan (Mihartini, 2011:4).

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 12

Page 13: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

3.2 Pembahasan Kasus

Pembahasan kasus ketidakjujuran pelaksanaan UN srecara singkat dapat diuraikan

sebagai berikut:

1. Bagaimana kajian tentang kecurangan Ujian Nasional dalam perspektif pendidikan kritis

dan budaya ?

Jawaban:

Kajian tentang kecurangan Ujian Nasional dalam perspektif pendidikan kritis dan

budaya sudah diuraikan secara panjang lebar sub judul sebelumnya yaitu Kajian Tentang

UN dan Praktek Ketidak Jujuran dalam Pelaksanaan UN.

2. Apa saja dilema etika yang dihadapi oleh Pak Joko sebagai Kepala Sekolah yang baru

mengikuti jejak seniornya dalam melaksanakan kecurangan dalam pelaksanaan Ujian

Nasional ?

Jawaban:

Di bawah ini diuraikan dilema etika yang dialami oleh Pak Joko, dengan menggunakan

Framework for analysing tension yang dikemukakan oleh Duignan (2006).

Care Rules

Pada kasus di atas, Pak Joko selaku kepala sekolah baru lebih mengutamakan unsur

Care (kepedulian) dibandingkan dengan Rule (aturan), kepedulian akan nasib dan masa depan

siswa-siswinya nya daripada mengikuti aturan-aturan UN yang sudah ditetapkan oleh

pemerintah. Kepala sekolah dengan sengaja melanggar aturan-aturan demi mencapai target

kelulusan 100%.

Tingkat kelulusan Ujian Nasional juga masih menjadi prestise bagi pihak sekolah,

akibatnya, di lapangan terkadang berbagai cara ditempuh baik oleh pihak sekolah maupun

siswa untuk mencapai tingkat kelulusan 100%, karena itu tidak mengherankan jika di

lapangan hampir setiap tahun ditemukan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oknum

siswa ataupun pihak sekolah agar standar kelulusan yang ditetapkan pihak Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan dapat dicapai. Tingkat kelulusan UN dapat menjadi prestise

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 13

Page 14: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

sekolah dan mendongkak statusnya menjadi sekolah favorit yang diminati di kalangan

masyarakat. Orientasi yang dipakai oleh pihak pengelola sekolah lebih menitikberatkan pada

orientasi bisnis dan kepopuleran sekolah semata, serta mengabaikan nilai-nilai etika dan

kejujuran.

Loyalty Honesty

Menurut Duignan (2006:53) Loyalty is defined as being committed to the organisation,

the person in charge, or collegues. Honesty is speaking truthfully about any person, issue or

situation and refraining from intentionally deceiving or misleading.

Patrick Duignan (2006) dalam bukunya Educational Leadership, menyatakan bahwa

dalam pengambilan sebuah keputusan akan muncul dilema etika antara loyalty (kesetiaan)

dan honesty (kejujuran). Pada kasus di atas, kepala sekolah dan para guru juga mengalami

tekanan dilema etika dalam pelaksanaan UN, di satu sisi ingin melakukan loyalitas terhadap

perintah atasan untuk melakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN, di sisi lain juga muncul

keinginan untuk berbuat jujur, tinggal kecenderungannya mengarah ke loyalty (kesetiaan) atau

ke honesty (kejujuran).

Pada kasus di atas, Kepala sekolah dan guru-guru lebih mengutamakan Loyalty

(kesetiaan/loyalitas) yang salah kepada pimpinan daripada Honesty (kejujuran) pada

pelaksanaan Ujian Nasional.

Salah satu faktor pemicu kecurangan/ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN adalah

karena adanya tekanan politik. Hal itu terjadi ketika Kepala Daerah memberikan instruksi

untuk mencapai hasil UN yang lebih baik dari tahun sebelumnya kepada dinas pendidikan

yang diteruskan kepada sekolah. Meski dasarnya benar, namun pihak dinas pendidikan

maupun sekolah seringkali salah mengartikan instruksi tersebut. Dinas pendidikan atau

sekolah sebagai pelaksana UN akhirnya terpaksa tidak jujur demi untuk memenuhi target dari

kepala daerah, yang dilakukan oleh pihak dinas pendidikan dan sekolah bukannya bekerja

lebih keras melakukan perbaikan mutu pembelajaran untuk mencapai hasil yang maksimal,

karena salah mengartikan malah melakukan penyimpangan pelaksanaan UN dengan cara

menyuruh guru mata pelajaran membantu siswa dengan mengerjakan soal UN dan

membagikan jawaban ke siswa.

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 14

Page 15: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

Long-term Short-term

Dari sudut pandang Long-term and Short-term, apa yang dilakukan oleh kepala

sekolah dan guru-guru dalam membantu siswa mengerjakan soal UN dan menyebarkan

jawaban ke siswa hanyalah berorientasi tujuan jangka pendek saja (short-term), karena hanya

mengejar tujuan jangka pendek (lulus UN 100%) dengan mengorbankan nilai-nilai etika

pendidikan dan kejujuran.

3. Bagaimana dilema etika sentral pada kasus ini, para guru yang semula menolak untuk

melakukan kecurangan, tetapi dipaksa oleh kepala sekolahnya untuk melakukan

kecurangan ?

Jawaban:

Sikap beberapa guru yang menolak untuk melakukan kecurangan UN adalah sudah benar,

karena untuk bisa mencapai kelulusan 100% seharusnya cara yang ditempuh bukan

dengan cara membantu siswa mengerjakan soal UN dan membagikan jawabannya, tetapi

dengan cara meningkatkan kualitas pembelajaran ke siswa, memenuhi 8 standar nasional

pendidikan yaitu: (1) standar isi, (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4)

standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar

pengelolaan; (7) standar pembiayaan dan (8) standar penilaian.

4. Bagaimana solusi kasus ini jika kita melihatnya dalam perspektif etika dan hukum ?

Jawaban:

Ditinjau dari perspektif Etika, tindakan kepala sekolah dan guru jelas tidak etis dan

melanggar kode etik guru dan profesionalisme guru.

Secara aturan (rule) sanksi yang diberikan oleh Kemendikbud sudah jelas dan tegas. Sanksi

bagi yang melanggar peraturan UN seseuai dengan Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional

(POS UN) SMP, SMA dan SMK tahun ajaran 2011/2012:

(1) Peserta UN yang melanggar tata tertib diberi peringatan oleh pengawas ruang UN.

Apabila peserta UN sesudah diberi peringatan tetapi tidak mengindahkan peringatan

tersebut, maka pengawas ruang ujian mencatat dan mengusulkan peserta UN tersebut

untuk dinyatakan gagal ujian dan dimuat dalam berita acara.

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 15

Page 16: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

(2) Pengawas ruang UN yang melanggar ketentuan POS dibebastugaskan dan diganti oleh

yang lain, serta tidak diikutsertakan dalam kegiatan UN berikutnya.

(3) Pengawas satuan pendidikan yang melanggar ketentuan POS dibebastugaskan dan

diganti oleh yang lain, serta tidak diikutsertakan dalam kegiatan UN yang akan datang.

(4) Sekolah/Madrasah penyelenggara UN yang melanggar ketentuan POS diberi sanksi

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Semua pelanggaran yang dilakukan oleh pengawas ruang UN, dan sekolah/madrasah

penyelenggara dilaporkan kepada pimpinan lembaga asal yang bersangkutan.

Sanksi secara hukum juga sudah tegas, kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional bisa

dikenai sanksi pidana.

Dasar hukum pelaksanaan Ujian Nasional (UN) oleh pemerintah juga lemah, karena

Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional,

dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008. Keputusan inni sekaligus menguatkan putusan

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan

pemerintah.

Mahkamah Agung (MA) melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN).

MA menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan putusan

ini, UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Batas waktu

pelarangan UN ini berlaku sejak keputusan ini dikeluarkan dan sebagai konsekuensinya

pemerintah ilegal melaksanakan UN 2010. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN

setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta

akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah.

Opini Penulis

Pro dan kontra tentang Ujian Nasional (UN) Perdebatan kembali mengemuka. Mereka

yang membenarkan tindakan para guru yang membantu murid-muridnya seperti dalam kasus

kecurangan UN berargumen bahwa para guru itu juga murid sebenarnya adalah korban

kebijakan Depdikbud atas UN. Karena UN dijadikan tolok ukur keberhasilan pendidikan di

daerah dan satu-satunya penentu kelulusan siswa, maka baik guru maupun siswa menjadi

tertekan dan berupaya dengan segala cara untuk memenuhi target kelulusan yang ditetapkan.

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 16

Page 17: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

Dari sisi positif, ketertekanan ini telah menjadikan UN sebagai pemacu semangat

belajar. UN menuntut sekolah dan siswa untuk unjuk prestasi. Bimbingan belajar digalakkan,

dan program-program pendukung serupa giat dilaksanakan. Senada dengan fenomena ini,

demikianlah pendapat yang dinyatakan oleh kelompok pendukung UN, yakni bahwa UN

diyakini akan mampu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Namun demikian, aspek negatif dari tekanan target kelulusan UN juga telah banyak

dikemukakan. Suparman, Ketua Federasi Guru Independen Indonesia, di bulan November

tahun lalu menyatakan bahwa UN telah menyebabkan proses belajar di dalam kelas bertambah

kering. Anak didik lebih hanya dilatih untuk menyiasati soal. Guru dan murid kemudian

terperangkap dalam mentalitas instan, lebih mengutamakan hasil akhir dan mengabaikan

proses pembelajaran.

Aktivitas pembelajaran kemudian diarahkan pada upaya agar siswa dapat menjawab

soal-soal UN. Yang demikian ini pada gilirannya kemudian membuat arah pembelajaran

rentan terlepas dari basis kebutuhan siswa yang sebenarnya. Pelajaran Bahasa Inggris di

sebuah SMK jurusan perkapalan, misalnya, kemudian akan lebih difokuskan pada kisi-kisi

soal seperti yang biasa muncul di dalam UN. Padahal, bisa jadi yang lebih dibutuhkan para

siswa sebenarnya adalah pelajaran Bahasa Inggris dengan tema-tema yang berkaitan dengan

dunia perkapalan.

Meski penolakan atas UN cukup gencar, nyatanya UN tetap dilaksanakan. Mungkin

karena yang terjadi demikian, yakni UN tetap digelar, maka mereka yang menolak UN karena

memandangnya sebagai “kekerasan” negara dalam dunia pendidikan, khususnya berkaitan

dengan otorisasi evaluasi mutu pendidikan di tengah kesenjangan yang cukup kentara antara

di kota-kota besar dan daerah merasa menemukan semacam pembenaran untuk membantu

siswa saat siswa dilihat tak mampu menjawab soal-soal ujian.

Sejauh ini, perdebatan tentang pro-kontra UN, yang kemudian juga cukup terkait

dengan kasus pembocoran soal melalui sebuah upaya disengaja untuk membantu siswa, lebih

banyak berfokus pada peranan negara dalam upaya peningkatan mutu pendidikan,

sebagaimana tergambar dalam pemaparan di atas. Kemudian, bagaimana jika kontroversi UN

ini dilihat dari perspektif anak didik, terutama jika UN dilihat sebagai bagian dari seluruh

proses evaluasi pendidikan ?.

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 17

Page 18: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

Terlepas dari setuju atau tidak atas kasus pembocoran kunci jawaban UN dengan

maksud untuk membantu siswa, jika dilihat dari perspektif anak didik, maka di balik kasus ini

sebenarnya terjadi pencederaan atas hakikat pendidikan. Bagaimana para pendidik yang

mestinya menjadi teladan pendidikan itu akan menjelaskan kepada para siswa dan masyarakat

luas sehingga mereka harus melakukan tindakan pembocoran soal UN.

Pada titik ini, guru yang membantu siswa menjawab soal UN berhadapan dengan dilema etis:

apakah dia akan membiarkan siswanya kesulitan menjawab soal-soal UN, dengan konsekuensi

anak didik kemungkinan akan tidak lulus dan kemudian frustrasi, atau dia akan membantu

siswa dengan konsekuensi dia akan memperlihatkan teladan yang secara umum akan

dipandang kurang baik ?.

Berdasarkan fakta kebocoran dan atau kecurangan yang terjadi di lapangan dan

melibatkan unsur sekolah, sebagaimana dilansir berbagai media, dilema etis ini kemudian

terjawab: bahwa lebih baik membantu siswa, agar mereka dapat melanjutkan proses

pendidikan dengan lancar. Pilihan yang diambil semacam ini mungkin dapat dikatakan

sebagai sikap pragmatis. Akan tetapi, dalam situasi yang dilematis, mereka yang memilih

tindakan pembocoran ini mungkin beranggapan bahwa pemenuhan target kelulusan siswa

adalah yang paling utama. Perlu digarisbawahi, fakta kebocoran yang terungkap di media

boleh jadi hanyalah gunung es dari fakta yang lebih luas dan lebih memprihatinkan.

Sampai di sini, dilema etis dan pilihan sikap yang sepertinya relatif cukup banyak

diambil oleh guru dan sekolah kembali menerbitkan implikasi lain yang cukup penting

dikemukakan: dalam konteks proses pendidikan, UN ternyata tak cukup mampu meneguhkan

sekolah sebagai tempat persemaian pendidikan karakter para siswa. Dalam konteks hasil akhir

evaluasi, UN kemudian hanya menjadi semacam seremoni yang sarat dengan unsur formalitas

belaka. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, tekanan kuat UN malah menjadi semacam

teror mental bagi sekolah dan anak didik. Di sisi yang lain, pembocoran jawaban seperti yang

telah terjadi berpotensi untuk kurang menghargai siswa-siswa yang telah belajar dengan tekun

dan cukup berprestasi, sehingga malah berpeluang untuk memupuk iklim malas belajar. Buat

apa belajar, jika nanti saat UN akan ada tim sukses.

Sejalan dengan kerangka pemikiran Mochtar Buchori (2007), evaluasi pendidikan

melalui UN kemudian menjadi sangat simplistik dan sangat jauh untuk dapat memahami diri

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 18

Page 19: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

setiap murid secara utuh sebagai sosok pribadi (person), sehingga potensi masing-masing

anak didik tak dapat dikenali dan dikembangkan secara baik di sekolah.

Implikasi dilema etis pembocoran kunci jawaban UN ini tidak hanya menjadi masalah

bagi mereka yang terlibat dalam tindakan pembocoran tersebut. Ini adalah pekerjaan rumah

bersama yang harus diselesaikan oleh para pendidik di negeri ini. Arah akhirnya adalah

bagaimana sistem evaluasi pendidikan di sekolah dapat membantu mendukung cita-cita

pendidikan yang membebaskan, bahwa sekolah akhirnya dapat berfungsi sebagai tempat

penanaman nilai-nilai dan keteladanan serta pola berpikir yang jernih bagi anak didik, untuk

membentuk generasi yang berkarakter dan tangguh menghadapi tantangan jaman.

Kasus kecurangan dalam UN bukan hanya menyangkut soal moralitas, dan etika

pendidik, dan diangkatnya kasus itu merupakan sebuah tamparan yang tidak mengenakkan

bukan saja bagi mendiknas, melainkan juga bagi banyak orang, terutama guru dan orang tua

murid.  Integritas guru berada dalam pertaruhan, sebab kepada merekalah sasaran kritik media

tertuju.

Banyak pula orang tua murid justru kuatir UN benar-benar dilaksanakan dengan penuh

kejujuran, yang dapat berakibat nilai putera-puterinya jatuh. Banyak masyarakat yang tidak

merasa dirugikan dengan kejahatan pendidikan itu. Bahkan tidak sedikit di antara mereka

yang berterima kasih pada sekolah karena anaknya telah “dibantu” lulus dengan nilai baik.

Sekolah yang berniat jujur dalam UN, hanya dapat menerapkan kejujuran itu di

sekolahnya sendiri. Sudah pasti kejujuran adalah pilihan pahit. Hasil UN siswa potensial

lebih rendah dibanding sekolah lain. Konsekwensinya, siswa sekolah jujur harus siap-siap

tidak diterima di sekolah lanjutan pilihan, karena seleksi masuk SLTP didasarkan atas nilai

Ujian Nasional. Yang jelas, sekolah yang jujur harus siap-siap ditinggalkan

masyarakat. Masyarakat tidak peduli pendidikan dikelola dengan jujur atau tidak, sebab yang

mereka butuhkan adalah anaknya lulus dengan nilai baik.

Penulis masih punya keyakinan bahwa masih banyak sekolah-sekolah yang

melaksanakan Ujian Nasional secara baik dan jujur, kalaupun pelaksanaan UN yang diwarnai

kecurangan/ketidakjujuran yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, itu dilakukan oleh

oknum guru, oknum sekolah, maupun oknum dinas pendidikan. UN bisa tetap terus

dilaksanakan dengan catatan, pemerintah dan semua stakeholder pendidikan harus berusaha

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 19

Page 20: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

memenuhi 8 standar nasional pendidikan. Masih adakah kejujuran dalam pelaksanaan UN ?,

jawabannya : Tentunya masih ada !.

4. KESIMPULAN

1. Ujian Nasional sebagai kebijakan struktur dominan yang memiliki kuasa dalam

pelulusan siswa, secara ideal dibingkai dengan slogan: “Prestasi Yes, Jujur Harus”.

Namun realitanya, terjadi malpraktik. Aktor yang terlibat dalam praktik UN sangat

heterogen kemampuan dan kondisinya sehingga kelompok marginal yang memiliki

keterbatasan akan merasa ketakutan tidak lulus UN sehingga mereka terpaksa dengan

sadar berbuat menyimpang dengan berbagai modus operandinya demi sebuah prestasi

kelulusan UN yang semu. Perilaku ini terus berlangsung sebagai kebiasaan yang saling

menguntungkan dan terus berproses sehingga menjadi budaya atau ”karakter baru”,

yakni kontra produktif dengan pilar pendidikan karakter, seperti: damai dalam

kecurangan/ketidak jujuran, memiliki sifat saling menolong yang tidak pada

tempatnya, kerjasama dalam hal keburukan, tidak memiliki rasa percaya diri dan jauh

dari etika kesantunan pendidikan.

2. Tujuan diadakannya Ujian Nasional adalah baik, yaitu untuk meningkatkan standar

kulalitas pendidikan di Indonesia, namun pada pelaksanaannya kadang terjadi

penyimpangan dari aturan-aturan yang sudah ditetapkan.

Salah satu faktor pemicu kecurangan/ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN adalah

karena adanya tekanan politik. Hal itu terjadi ketika Kepala Daerah memberikan

instruksi untuk mencapai hasil UN yang lebih baik dari tahun sebelumnya kepada

dinas pendidikan yang diteruskan kepada sekolah. Meski dasarnya benar, namun pihak

dinas pendidikan maupun sekolah seringkali salah mengartikan instruksi

tersebut. Dinas pendidikan atau sekolah sebagai pelaksana UN akhirnya terpaksa tidak

jujur demi untuk memenuhi target dari kepala daerah, yang dilakukan oleh pihak dinas

pendidikan dan sekolah bukannya bekerja lebih keras melakukan perbaikan mutu

pembelajaran untuk mencapai hasil yang maksimal, karena salah mengartikan malah

melakukan penyimpangan pelaksanaan UN dengan cara menyuruh guru mata pelajaran

membantu siswa dengan mengerjakan soal UN dan membagikan jawaban ke siswa.

Hal ini yang harus kita perbaiki bersama-sama.

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 20

Page 21: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, AC. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Bandung dan Remaja Rosdakarya.

Atmadja, N. B. 2010. Sekolah (Rintisan) Bertaraf Internasional sebagai Arena Sosial Melanggengkan Ketidak adilan bagi kaum Miskin (Perspektif Teori Kritis). Media Komunikasi. 9 (1).

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2012. Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional (POS UN) SMP, SMA dan SMK tahun ajaran 2011/2012.

Depdiknas. 2009. Pembangunan Pendidikan SMA. Jakarta: Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Duignan, P. 2006. Educational Leadership: Key Challenges and Ethical Tensions. New York: Cambridge University Press.

Kamal, Mustafa. 2012. Pak Udin Kepsek Baru. Kompasiana, Fiksiana. http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/02/10/pak-udin-kepsek-baru/. Diakses tanggal 31 Mei 2012.

Karim, M. 2009. Pendidikan Kritis Transformatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Mihartini. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis UN. Makalah. Diajukan Untuk Mengikuti Lomba Essai Antar Guru se-Bali Dies Natalis ke-5 dan Lustrum ke-1 Undhiksa, Singaraja.

Nusa Bali. 2009. UN SMP Diwarnai Bocoran Kunci Jawaban. 28 April 2009. hlm. 2.

Nuryatno, A. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2011 Tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik Dari Satuan Pendidikan Dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah Dan Ujian Nasional.

Poerwandari, Kristi. 2012. Meneliti Moralitas Diri. Kolom Psikologi Kompas, Minggu, Juni 2012, halaman 18. Jakarta: Kompas

Rohman, A. 2009. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang Mediatama.

Sagala, S. H. 2008. Budaya dan Reinventing Organisasi Pendidikan. Bandung: Afabeta

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 21

Page 22: Ketidakjujuran dalam Pelaksanaan Ujian Nasional: Tinjauan dari Sudut Pandang Etika Pendidikan

Shaphiro, J.P & Stefkovich, J.A. 2011. Ethical Leadership and Decision Making in Education: Applying Theoritical Perspective to Complex Dillemas, 3 rd Edition. New York: Roudledge (Taylor and Francis Group).

Soyomukti, N. 2010. Teori-Teori Pendidikan: Tradisional, Neo Liberal, Marxis Sosialis, Postmodern. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Surakhmad, W.. 2009. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan : Konsep, Strategi, dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.

Tilaar, HAR. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Kajian Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.

Tilaar, HAR. 2009. Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional Dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tuhusetya, S. 2008. Ujian Nasional Dan Kekuasaan Hegemoni Negara. http://sawali.info/2008/02/06/ ujian-nasional-dan-kekuasaanhegemoni- negara/, dikases tanggal 15 Mei 2012.

Joko Prasetiyo | Kasus Ketidakjujuran UN 22