Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan umat Kristen dalam ibadah tidak dapat dilepaskan dari nyanyian rohani. Nyanyian rohani atau biasanya disebut Kidung Rohani memegang peran penting (Abineno, 1966.105) di samping kotbah dan doa. Nyanyian rohani merupakan ungkapan pujian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun, nyanyian rohani tidak saja sebagai pujian atas keagungan Tuhan, artinya relasi atas-bawah antara Tuhan dan manusia (baca, umat), tetapi nyanyian rohani dalam liturgi juga berfungsi sebagai panggilan atau ajakan kepada sesama umat untuk datang beribadah. Dalam hal ini, nyanyian rohani berfungsi sebagai relasi antarumat. Selain dua fungsi di atas, nyanyian rohani juga dapat berfungsi sebagai ungkapan penyesalan umat atas segala dosa-dosanya. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa nyanyian rohani mempunyai dimensi dan fungsi yang beragam dalam relasi antarumat serta antara umat dan Tuhan Sang Pencipta. Nyanyian rohani dalam sejarah perkembangan agama Kristen dapat ditelusuri jauh sebelum agama Kristen muncul sebagai satu agama. Perlu ditambahkan bahwa sebagai agama, kekristenan adalah sekte dari agama Yahudi. Dalam kitab Injil Agama Kristen, dikenal ada lima kitab Taurat, yaitu Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Dalam kitab Taurat itu, sudah ditemukan nyanyian rohani yang dinyanyikan oleh umat baik sebagai ungkapan keagungan Allah Yang Maha Kuasa atau sebagai ungkapan penyesalan akan
153

Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

Dec 15, 2016

Download

Documents

hoangtuong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kehidupan umat Kristen dalam ibadah tidak dapat dilepaskan dari nyanyian

rohani. Nyanyian rohani atau biasanya disebut Kidung Rohani memegang peran

penting (Abineno, 1966.105) di samping kotbah dan doa. Nyanyian rohani

merupakan ungkapan pujian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun, nyanyian

rohani tidak saja sebagai pujian atas keagungan Tuhan, artinya relasi atas-bawah

antara Tuhan dan manusia (baca, umat), tetapi nyanyian rohani dalam liturgi juga

berfungsi sebagai panggilan atau ajakan kepada sesama umat untuk datang

beribadah. Dalam hal ini, nyanyian rohani berfungsi sebagai relasi antarumat. Selain

dua fungsi di atas, nyanyian rohani juga dapat berfungsi sebagai ungkapan

penyesalan umat atas segala dosa-dosanya. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa

nyanyian rohani mempunyai dimensi dan fungsi yang beragam dalam relasi

antarumat serta antara umat dan Tuhan Sang Pencipta.

Nyanyian rohani dalam sejarah perkembangan agama Kristen dapat

ditelusuri jauh sebelum agama Kristen muncul sebagai satu agama. Perlu

ditambahkan bahwa sebagai agama, kekristenan adalah sekte dari agama Yahudi.

Dalam kitab Injil Agama Kristen, dikenal ada lima kitab Taurat, yaitu Kitab

Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Dalam kitab Taurat itu, sudah

ditemukan nyanyian rohani yang dinyanyikan oleh umat baik sebagai ungkapan

keagungan Allah Yang Maha Kuasa atau sebagai ungkapan penyesalan akan

Page 2: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

2

kesalahan dan dosa umat kepada Tuhan. Contohnya dapat dilihat dalam kitab

Keluaran 15 ayat 1 - 18 yang disebut sebagai nyanyian Musa dan umat Israel.

Nyanyian rohani tersebut adalah pujian dan ungkapan syukur karena Tuhan

melepaskan mereka dari tangan tentara Mesir. Dalam Kitab Suci Kristen pada bagian

Perjanjian Lama, bahkan ditemukan satu kitab yang isi keseluruhannya adalah

nyanyian rohani, yaitu Kitab Mazmur. Mazmur artinya nyanyian. Kitab Mazmur

ditulis sebagian besar oleh Raja Daud dan beberapa bagian lain ditulis oleh penulis

yang lain. Nyanyian rohani Mazmur di atas tidak dapat lagi dilagukan oleh umat

kristen pada zaman sekarang ini. Namun demikian, nyanyian rohani Mazmur tetap

dipakai dalam liturgi ibadah umat Kristen, tetapi tidak lagi dinyanyikan akan tetapi

dibaca secara litani yaitu membaca secara bersahut-sahutan antara pemimpin

ibadah dan umat.

Nyanyian rohani baik yang diciptakan pada zaman dahulu maupun pada

zaman sekarang adalah sebuah ungkapan dari penciptanya, yaitu ketika penciptanya

merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam kehidupannya. Salah satu

contoh adalah ungkapan Raja Daud dalam Mazmur 23 ayat 1 – 4 :

“Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku dipadang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang, Iamenyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karenanamaNya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman aku tidak takutbahaya sebab Engkau besertaku, gadamu dan tongkat Mu itulah yangmenghibur aku”

Teks nyanyian rohani di atas adalah ungkapan dari Raja Daud. Sebagai

seorang Raja, ia merasakan penyertaan dan kehadiran Tuhan layaknya seperti seorang

gembala yang menjaga kawanan ternaknya dari ancaman bahaya.

Page 3: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

3

Dalam perkembangan liturgi selanjutnya, umat Kristen tidak hanya memakai

nyanyian rohani yang sudah ada, yaitu ciptaan dari umat pada masa lampau seperti

nyanyian rohani di atas , tetapi nyanyian rohani sebagai ungkapan iman umat terus

diciptakan sesuai dengan perkembangan dan pergumulan umat. Artinya, nyanyian

rohani terus berkembang sesuai dengan perkembangan umat Kristen. Bahkan,

nyanyian rohani juga berkembang ke dalam berbagai bahasa di mana umat Kristen

ada dan berkembang, termasuk di Bali

Gereja Kristen Protestan di Bali (kemudian disebut GKPB) adalah gereja yang

lahir dari perjalanan panjang sejarah zendeling di Bali. Zendeling pertama datang

ke Bali pada tahun 1846 (Wijaya, 2003, 26 ; Ayub, 1999: 21). Namun, secara de

facto GKPB baru lahir pada abad 20-an, yaitu pada tanggal 11 November 1931 dan

berbadan hukum nomor 8, tanggal 11 Agustus 1949 berdasarkan Staadblad nomor

214 (Tata Gereja GKPB 2002, vii). GKPB sebagai gereja yang lahir dari zendeling

menganut sistem Presbyterial-Sinodal dan beraliran Calvinistik. GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang yang berkedudukan di Desa Canggu, Kecamatan

Kuta Utara adalah bagian dari gereja yang disebutkan di atas. Sebagai sebuah gereja

yang lahir dan berkembang di Bali, GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang juga menyerap unsur-unsur budaya Bali dalam mengungkapkan imannya.

Coe (1992: 14-15) mengatakan bahwa pemribumian atau kontekstualisasi harus

dilakukan manakala Injil bergerak dari satu lahan budaya ke dalam budaya lainnya

dan mesti diterjemahkan ulang, ditafsirkan ulang, dan diungkapkan secara segar

dalam budaya yang baru. Diadopsinya unsur-unsur budaya Bali dapat dilihat dari segi

Page 4: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

4

arsitektur bangunan gereja, cara berpakaian, kegiatan keagamaan termasuk juga

liturgi, dan nyanyian rohani dalam ibadah. Umat Kristen GKPB yang sebagian besar

(90%) adalah orang Bali tetap memakai bahasa Bali baik sebagai percakapan sehari-

hari maupun dalam ibadah. Salah satu contoh dapat dilihat dari nama GKPB Marga

Pakerti yang artinya jalan menuju keselamatan adalah nama yang diambil dari

bahasa Bali.

Nyanyian rohani berbahasa Bali juga telah dipakai oleh umat Kristen di Bali

sejak awal perkembangannya. Salah satu nyanyian rohani berbahasa Bali dalam

perkembangan awal GKPB dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja. Lihatlah Sang Hyang

Isah, pujilah Sang Hyang Isah, Sang Hyang kabentang di Golgota, pujilah Ida Sang

Hyang Yesus”. Nyanyian rohani di atas dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja pada tahun

1931 (Wijaya, 2003: 159). Dalam perkembangan selanjutnya, nyanyian rohani

berbahasa Bali menjadi nyanyian yang memegang peran penting dalam liturgi umat

GKPB, termasuk di dalamnya GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang.

Sampai akhir tahun 1990-an, paling tidak ada tiga buku nyanyian rohani

berbahasa Bali yang diterbitkan baik secara pribadi maupun secara lembaga oleh

GKPB. Buku pertama, nyanyian rohani berbahasa Bali hasil terjemahan dari

nyanyian rohani dari abad ke-15 sampai dengan abad ke-19, yang diterjemahkan

adalah nyanyian rohani berbahasa Belanda, Jerman, Inggris maupun bahasa lainya.

Nyanyian rohani ini dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Kidung Pamuji yang

terdiri atas 109 nyanyian rohani. Kidung Pamuji ini dipakai secara luas oleh jemaat-

Page 5: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

5

jemaat GKPB, baik dalam ibadah minggu maupun ibadah- ibadah lain yang dilakukan

oleh umat. Selain itu, pada tahun 1964, Pendeta Made R. Ayub juga menulis

geguritan yang didokumentasikan dalam buku Marga Pakerti (Ayub, 1964).

Selain nyanyian rohani berbahasa Bali di atas, juga ada kumpulan nyanyian

rohani berbahasa Bali yang diciptakan oleh umat atau rohaniwan GKPB misalnya

buku Tembang-tembang Kaula, Seri Lagu-Lagu Rohani Baru ; Bernada dan

Berbahasa Bali, (Yohanes, 1993) yang diciptakan oleh Pdt. I Nyoman Yohanes, S,Th.

Kumpulan nyanyian rohani ini terdiri atas 17 nyanyian rohani berbahasa Bali.

Nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut diciptakan sepanjang tahun 1990 sampai

dengan 1993.

Pada tahun 1990-an, muncul ciptaan-ciptaan nyanyian rohani berbahasa Bali

yang baru. Tercatat ada satu buku nyanyian rohani berbahasa Bali yang terbit dengan

judul Gita Suksma. Buku Gita Suksama adalah kumpulan nyanyian rohani Bali dari

beberapa pencipta. Buku nyanyian rohani ini diterbitkan oleh Divya Pradana Bhakti,

Biro Seni dan Komunikasi GKPB (1999). Nyanyian rohani berbahasa Bali tidak

hanya berkembang dalam bentuk buku, tetapi juga dalam bentuk kaset di antaranya

kaset nyanyian rohani Bali dengan judul Putra Surga yang direkam oleh Apel

Studio. Kaset ini beredar luas di kalangan umat GKPB. Kaset kedua, nyanyian rohani

berbahasa Bali yang dikeluarkan oleh GKPB jemaat Tirta Amerta Pelambingan

dengan judul Tangkil. Kaset ini direkam oleh Midi Quest Studio.

Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali

mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai dengan tahun 1980-an. Dari segi

Page 6: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

6

pemakaiannya dalam liturgi, sampai dengan akhir tahun 1980-an, nyanyian rohani

berbahasa Bali menjadi nyanyian utama dalam liturgi minggu dan ibadah-ibadah

lainnya. Hal itu secara sepintas dapat dijelaskan demikian, sejak tahun 1940 hingga

1970-an akhir, dalam liturgi gereja, nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai lebih

dominan daripada nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Dalam satu bulan, kalau

dihitung ada empat hari minggu, maka dalam tiga kali ibadah dipakai nyanyian

rohani berbahasa Bali dan satu kali bahasa Indonesia.

Sejak tahun 1980-an, secara perlahan nyanyian rohani berbahasa Bali mulai

terpinggirkan, tergeser oleh nyayian rohani berbahasa Indonesia. Jika diamati secara

sepintas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dipengaruhi oleh “banjirnya”

nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Pertama, terbitnya buku nyanyian rohani

berbahasa Indonesia yaitu buku Kidung Jemaat yang terbit pertama kali tahun 1984.

Buku kedua yang telah terbit lebih dulu yaitu tahun 1975 tetapi baru dipakai di GKPB

sejak tahun 2000-an adalah buku Nyanyikanlah Kidung Baru. Buku-buku nyanyian

rohani tersebut dengan cepat diterima dan dipakai oleh gereja-gereja yang ada di

Indonesia termasuk juga GKPB. Namun demikian, ada faktor yang jauh lebih dalam

dari sekedar faktor-faktor yang dipaparkan di atas, yaitu apa yang disebut sebagai

pengaruh globalisasi. Seiring dengan perkembangan zaman, meluasnya globalisasi

menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupan manusia, termasuk di dalamnya

runtuhnya batas-batas kebudayaan. Masyarakat hidup dalam dunia yang kehilangan

batas (Piliang, 2010: 31; Agger ,2003: 72; Hoed, 2011: 197). Dinyatakan bahwa

globalisasi adalah era di mana bangsa dan wilayah semakin terhubung satu sama

Page 7: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

7

lainnya sehingga mengaburkan perbedaan antara bangsa maju (dunia pertama) dan

bangsa terkebelakang (dunia ketiga). Atmadja (2010: 7) mengatakan bahwa

perubahan sosial budaya tidak dapat dihindarkan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai

faktor, yaitu faktor inovasi yang dilakukan oleh masyarakat, kontak sosial satu

masyarakat dan masyarakat lainnya yang menimbulkan difusi kebudayaan. Globalisasi

dengan kemajuan teknologi transportasi, informasi, dan telekomunikasi telah

mengubah bukan saja tampilan fisik, tetapi juga pola pikir masyarakat. Menghadapi

situasi seperti di atas, ada dua hal yang bisa terjadi dalam kehidupan umat, yaitu

beradaptasi atau melakukan penolakan terhadap situasi yang terjadi. Beradaptasi

berarti menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan. Parsons (dalam Beilharz, 2003:

298) mengatakan bahwa adaptasi merupakan upaya manusiawi yang menghasilkan

keseimbangan yang kompleks antara faktor-faktor yang menghalangi dan yang

memperlancar perubahan.

Dipakainya nyanyian rohani berbahasa Indonesia tentu saja menimbulkan

persoalan bagi kehidupan umat secara keseluruhan. Bagi generasi muda yang tidak

menguasai bahasa Bali dengan baik, digantinya nyanyian rohani berbahasa Bali

dengan nyanyian rohani berbahasa Indonesia menjadikan mereka kehilangan identitas

kebaliannya. Atmadja (2010: 67) mengatakan bahasa sebagai sebuah alat komunikasi

di dalamnya mengandung nilai dan identitas penggunanya. Lebih lanjut, generasi tua

yang terbiasa memakai nyanyian rohani berbahasa Bali mendapatkan kesulitan dalam

memahami dan menghayati nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Padahal, yang

Page 8: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

8

mengikuti ibadah bukan saja dari generasi muda tetapi bercampur dengan generasi

tua.

Berdasarkan pemaparan di atas, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali

menarik untuk diteliti karena nyanyian rohani berbahasa Bali baik sebagai ungkapan

penyembahan, ungkapan syukur, dan doa (komunikasi antara umat dan Tuhan) dalam

liturgi tidak lagi mendapat tempat yang utama. Nyanyian rohani berbahasa Bali

justru terpinggirkan.

Fenomena di atas menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, yang menggugah

peneliti untuk melakukan penelitian. Mengapa umat yang nota bene orang Bali

dengan mudah meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan kemudian beralih

menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Apa yang melatarbelakangi

tindakan tersebut. Apakah dengan meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan

beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia umat dapat menghayati

iman kristen dengan lebih baik. Apakah ada faktor internal maupun eksternal yang

mendorong umat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali. Apakah dengan

ditinggalkannya nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian

rohani berbahasa Indonesia mempengaruhi kehidupan umat. Pertanyaan inilah yang

akan digali dalam penelitian.

Untuk menemukan jawaban terhadap masalah di atas, peneliti menggali

faktor-faktor yang mendorong keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam

liturgi GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Dari faktor-faktor tersebut

dapat ditemukan alasan-alasan, mengapa jemaat meninggalkan nyanyian rohani

Page 9: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

9

berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia.

Selanjutnya, peneliti menggali proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani

berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti. Dengan menggali proses

terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali di atas, dapat diungkapkan

alasan-alasan mengapa jemaat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan

beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia atau Inggris.

Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali tentu mempunyai implikasi terhadap

kerohanian umat. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dapat

menyebabkan kerohanian umat semakin kuat atau sebaliknya kerohanian umat

semakin lemah. Dengan mengetahui implikasi keterpinggiran nyanyian rohani

berbahasa Bali, umat dapat mengambil tindakan yang sesuai untuk kemajuan

kerohanian umat di masa yang akan datang.

Tiga pokok bahasan di atas penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan

fenomena keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi yang terjadi di

GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, Kecamatan Kuta Utara.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dapat ditarik permasalahan yang

kemudian akan dibahas dalam bab-bab berikutnya. Adapun permasalahan tersebut

adalah sebagai berikut.

1. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani

berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang?

Page 10: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

10

2. Bagaimana proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa

Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang ?

3. Bagaimana implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam

liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang?

1.3. Tujuan Penelitian.

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitan ini adalah untuk mengetahui gejala-gejala perubahan

budaya yang terjadi dalam perkembangan liturgi gereja dan sekaligus menghasilkan

sebuah deskripsi analitis tentang perubahan-perubahan tersebut.

1.3.2. Tujuan Khusus

Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan khusus penelitian adalah sebagai

berikut.

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong keterpinggiran nyanyian

rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang.

2. Untuk mengungkap proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani

berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang.

3. Untuk mengetahui implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali

dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang.

Page 11: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

11

1.4. Manfaat Penelitian.

1.4.1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian bertujuan untuk memberikan sumbangan sekaligus

menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam masalah-masalah sosial

dan dalam kehidupan bergereja di Bali, dan lebih khusus lagi mengenai

perkembangan nyanyian rohani berbahasa Bali disoroti dari sisi kajian budaya.

Manfaat teoretis lainnya terkait dengan aplikasi teori-teori kontemporer dalam

menganalisis perubahan-perubahan sosial pada masa kini.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak

berkepentingan, yaitu institusi gereja khususnya para pembuat kebijakan untuk

menjadi masukan berkenaan dengan pembangunan bidang keimanan jemaat dan

dalam mengantisipasi perkembangan zaman dan iman umat ke depan. Masukan

dalam hal ini adalah berupa gagasan atau model strategi pengelolaan atau

penanganan masalah terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai salah

satu sarana membangun iman umat.

Page 12: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,DAN MODEL PENELITIAN.

2.1. Kajian Pustaka

Penelitian maupun pustaka yang berkaitan dengan topik penelitian ini, belum

banyak. Namun demikian, ada beberapa hasil penelitian yang dianggap relevan

dengan judul proposal, yaitu sebagai berikut ini.

Yang pertama adalah, tesis yang ditulis oleh Suarningsih (2004) dengan judul

Lagu Pop Bali Anak-anak dalam Kajian Budaya. Sesuai dengan judulnya, penekanan

tesis ini lebih pada perkembangan lagu pop Bali anak-anak yang dipengaruhi oleh

kemajuan teknologi dan kapitalisme atau industri musik khususnya di Bali.

Suarningsih memberi kesimpulan bahwa perkembangan lagu pop Bali anak-anak

yang berkembang di Bali akhir-akhir ini sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh

industri musik dan teknologi, khususnya televisi.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa batasan objek tesis Suarningsih

hanya pada lagu-lagu pop Bali anak-anak yang dikaitkan dengan perkembangan

industri musik dan televisi, sedangkan penelitian ini mengambil objek penelitian

secara khusus pada nyanyian rohani berbahasa Bali yang dipakai dalam liturgi gereja.

Dalam pembahasannya, Suarningsih tidak menekankan perubahan pemakaian bahasa

dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia akan tetapi lagu-lagu pop Bali anak-anak tetap

memakai bahasa Bali. Perbedaan yang lainnya terletak pada teori-teori yang dipakai

untuk membedah persoalan yang dihadapi oleh peneliti. Penelitian yang dilakukan

Page 13: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

13

Suarningsih memakai tiga teori, yaitu teori estetika, teori komodifikasi, dan teori

budaya populer, sedangkan penelitian ini memakai tiga teori, yaitu teori adaptasi,

teori perubahan budaya, dan teori dekonstruksi. Namun demikian, hasil penelitian

Suarningsih memberikan wawasan dan motivasi untuk melakukan penelitian ini.

Hasil penelitian yang kedua yang cukup relevan dengan judul proposal ini

adalah tesis yang berjudul Eksistensi Lagu Pop Minangkabau di Sumatera Barat

(Perspektif Kajian Budaya) oleh Nurmala (2005). Penelitian ini lebih menekankan

pada perkembangan dan eksistensi lagu-lagu daerah Minangkabau yang juga sangat

dipengaruhi oleh faktor eksternal, baik itu budaya global maupun perkembangan

teknologi.

Penelitian yang dilakukan oleh Nurmala terbatas pada lagu-lagu Minangkabu

yang berkembang di daerah Minangkabau. Artinya penelitian yang dilakukan oleh

Nurmala mempunyai ruang lingkup yang berbeda dengan penelitian dalam tesis ini.

Berkaitan dengan teori yang dipakai untuk membedah masalah yang dihadapi,

Nurmala menggunakan lima teori, yaitu teori perubahan, teori budaya popular, teori

fungsional, teori semiotika, dan teori estetika.

Kajian pustaka ketiga yang cukup relevan dengan penelitian ini adalah

penelitian yang dilakukan oleh I Komang Darmayuda (2006) dengan judul

Dinamika Lagu Pop Bali Periode 1990-2005 (Sebuah Kajian Budaya). Darmayuda

memberikan kesimpulan bahwa oleh karena pengaruh media dan perkembangan alat

musik moderen, lagu pop Bali telah mengalami perubahan. Semula lagu pop Bali

punya identitas yang jelas, tetapi sejalan dengan perubahan yang banyak dipengaruhi

Page 14: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

14

oleh globalisasi, lagu pop Bali cenderung mengarah pada trand musik moderen.

Lebih tegas lagi, Darmayuda menyimpulkan bahwa sejak tahun 1990-an identitas

lagu pop Bali mengalami pengaburan. Artinya, dalam pembahasannya Darmayuda

lebih menekan pada perubahan dan perkembangan lagu pop Bali yang cenderung

mengikuti genre lagu pop Indonesia moderen, tetapi bahasa yang digunakan dalam

lagu pop Bali tetap memakai bahasa Bali. Hal ini tidak terlepas dari trand musik

yang berkembang pada saat itu.

Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Darmayuda dengan

penelitian ini adalah bahwa penelitian ini lebih menekankan pada perubahan

pemakaian bahasa, yaitu dari nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi nyanyian

rohani berbahasa Indonesia atau Inggris. Perubahan ini sangat dipengaruhi oleh

budaya global.

Berkaitan dengan teori, Darmayuda menggunakan lima teori untuk

membedah permasalahannya, yaitu teori estetika, teori struktural fungsional, teori

budaya popular, teori komodifikasi, dan teori hegemoni, sedangkan penelitian ini

menggunakan tiga teori sebagaimana disebutkan di atas.

Kajian pustaka keempat yang cukup relevan dengan penelitian ini adalah

penelitian yang dilakukan oleh Ni Made Merti (2006) dengan judul Pemertahanan

Bahasa Bali dalam Masyarakat Multikultural di Kota Denpasar dalam bentuk tesis.

Tesis ini membahas tentang upaya-upaya pemertahanan bahasa Bali dalam realitas

sehari-hari yang mencakup penggunaan dalam keluarga, pasar tradisional, kegiatan

keagamaan, pementasan kesenian, dan kebijakan pemerintah.

Page 15: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

15

Dari hasil penelitiannya, Merti memberi kesimpulan bahwa bahasa Bali telah

mengalami degradasi dan keterpinggiran khususnya di kota Denpasar.

Keterpinggiran dan degradasi bahasa Bali terjadi baik dalam pemakaian sehari-hari di

keluarga, pasar tradisional, kegiatan keagamaan, dan pementasan kesenian. Dalam

ruang lingkup pemakaian di atas, bahasa Bali seringkali dicampur dengan bahasa

Indonesia, artinya bahasa Bali tidak dipakai secara utuh dan benar.

Tesis yang ditulis oleh Merti dan penelitian ini mempunyai kesamaan dalam

hal sama-sama membahas tentang keterpinggiran, tetapi mempunyai objek dan

lingkup penelitian yang berbeda. Objek penelitian yang dilakukan oleh Merti yaitu

bahasa Bali dalam pemakaian sehari-hari dengan lingkup penelitian di kota Denpasar

sedangkan objek penelitian ini adalah nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi

gereja. Demikian juga halnya berkaitan dengan teori yang dipergunakan untuk

membedah persoalan yang dihadapi; kedua penelitian ini menggunakan teori-teori

yang berbeda. Penelitian Merti menggunakan teori sosiolinguistik, teori perubahan

sosial, dan teori motivasi sedangkan penelitian ini menggunakan teori adaptasi, teori

perubahan budaya, dan teori dekonstruksi.

Jadi, dapat dikatakan bahwa dari penelusuran pustaka di atas, penelitian ini

mempunyai perbedaan baik dari segi objek dan lingkup penelitian maupun dari teori-

teori yang dipergunakan untuk membedah persoalan. Namun demikian, keempat

penelitian di atas memberikan motivasi dan wawasan kepada peneliti dalam

melakukan penelitian.

Page 16: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

16

2.2. Konsep

Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan

secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat

perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, penelitian diharapkan akan dapat membatasi

ruang lingkup pemikiran dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian

yang berkaitan satu dengan lainnya. Peranan konsep dalam penelitian sangat besar

karena konsep adalah yang menghubungkan dunia teori dan dunia observasi, antara

abstraksi dan realitas (Sangarimbun, 1989: 33).

Konsep berarti batasan terhadap sebuah masalah, sehingga memudahkan arti

atau pemikiran, ide serta hal-hal maupun gejala sosial yang digunakan agar pembaca

dengan segera dapat memahami maksudnya sesuai dengan keinginan peneliti dalam

menggunakan konsep tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, konsep yang akan dijelaskan dalam penelitian ini

terdiri atas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali, liturgi Gereja Kristen

Protestan jemaat Marga Pakerti, dan Banjar Padang Tawang Kecamatan Kuta Utara.

2.2.1. Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali

Keterpinggiran mengacu pada suatu posisi yang diperbandingkan dengan

posisi yang lain. Keterpinggiran tidak dapat berdiri sendiri, keberadaannya dan

pengertiannya sangat tergantung pada antitesenya, yakni posisi yang bukan dipinggir

(biasanya disebut “pusat” atau “tengah”). Kontras antara tengah dan pinggir dalam

pengertian keterpinggiran biasanya dikaitkan dengan distribusi kekuasaan atau yang

Page 17: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

17

lebih tepat keberdayaan, yang bergradasi menurun dari pusat ke pinggir. Pusat atau

tengah adalah posisi yang paling berdaya. Mereka yang menduduki tempat tersebut

dianggap penting sebagai inti atau sumber acuan dan karenanya mendapat perhatian.

Sebaliknya, posisi pinggiran paling jauh dari keberdayaan karena dianggap kurang

penting. Keterpinggiran juga dapat diartikan sebagai suatu posisi yang berada pada

perbatasan, yang tidak dimiliki atau memiliki yang berada di tengah karena identitas

yang tidak jelas (Wahyudi, 2004: 87-88).

Dalam kaitan dengan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam

liturgi gereja, dapat dikatakan bahwa pada awalnya nyanyian rohani berbahasa Bali

menduduki tempat yang sentral (tengah) atau yang utama jika dibandingkan dengan

nyanyian rohani berbahasa Indonesia atau Inggris. Tengah atau sentral mengandung

pengertian, bahwa nyanyian rohani dipakai dalam semua liturgi baik itu dalam liturgi

gereja maupun dalam liturgi rumah tangga. Sebagai nyanyian yang utama, nyanyian

rohani berbahasa Bali mempengaruhi kehidupan umat baik dalam hubungan umat

dengan Tuhan maupun hubungan sesama umat.

Nyanyian rohani berbahasa Bali adalah kumpulan nyanyian rohani yang

dipakai oleh umat dalam ibadah, baik untuk penyembahan, ungkapan doa, pengajaran

ajaran agama kepada umat maupun pujian kepada Tuhan. Nyanyian rohani berbahasa

Bali ini beberapa di antaranya adalah terjemahan dari berbagai bahasa seperti bahasa

Jerman, Inggris, Belanda, Latin maupun dari Ibrani. Nyanyian rohani ini telah

dibukukan dalam buku berjudul Kidung Pamuji. Sebagian dari nyayian rohani

berbahasa Bali ini adalah asli ciptaan dari orang-orang Kristen Bali. Nyanyian rohani

Page 18: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

18

ini selain memakai bahasa Bali juga memakai tembang yang khas Bali, misalnya

geguritan. Contohnya adalah geguritan yang dikarang oleh Pendeta Made R. Ayub

(1964). Geguritan ini dikemas dalam Pupuh Durma, Pupuh Sinom, dan Pupuh

Ginada. Selain geguritan yang dikarang Oleh Pendeta Made R. Ayub, nyanyian

rohani berbahasa Bali yang kental dengan tembang Bali banyak dikarang oleh

Pendeta Nyoman Yohanes, STh.

Nyanyian-nyanyian rohani di atas dalam liturgi gereja kini tidak lagi

mendapat tempat yang utama dalam ibadah. Artinya, nyanyian rohani berbahasa

Bali hanya dipakai sebagai selingan. Dengan kata lain, nyanyian rohani tersebut

mengalami keterpinggiran.

2.2.2. Liturgi Gereja Kristen Protestan Jemaat Marga Pakerti

Kata liturgi berasal dari bahasa Yunani leiturgia yang terdiri atas dua kata

yaitu leitos yang berarti umat dan kata ergon yang berarti pekerjaan. Dari dua kata

leitos dan ergon terbentuk kata leiturgia yang berarti melakukan sebuah pekerjaan

atau pelayanan kepada umat. Dalam kitab Injil, kata leiturgia dipakai untuk

menunjuk kepada tugas Imam, Menguraikan pekerjaan Tuhan Yesus sebagai Imam,

menunjuk kepada pekerjaan Rasul dalam pekabaran Injil, menunjuk kepada

pekerjaan Malaikat-Malaikat dalam melayani, menunjuk kepada pekerjaan

pengumpulan persembahan untuk orang miskin, dan menunjuk kepada kumpulan

orang yang berdoa dan berpuasa (Ayub. 2001: i). Dalam ibadah gereja, kata liturgi

telah menjadi istilah teknis untuk menunjuk kepada tata kebaktian umat.

Page 19: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

19

Gereja Kristen Protestan di Bali (disingkat GKPB) Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang adalah gereja yang ada di lingkup Sinode Gereja Kristen Protestan di

Bali. GKPB Marga Pakerti sebagai sebuah gereja lokal adalah gereja yang mandiri.

Gereja tersebut memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan gereja-

gereja lainnya yang ada di bawah sinode GKPB, maupun gereja-gereja lain yang

berbeda aliran (denominasi). GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang adalah gereja yang homogen. Hampir sebagian besar anggotanya adalah dari

suku Bali yang memakai bahasa Bali sebagai bahasa pengantar pergaulan sehari-

hari. Sebagian besar anggotanya tinggal di dua banjar, yaitu Banjar Padang Tawang

dan Babakan. Kedua banjar ini terletak di Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara.

2.2.3. Banjar Padang Tawang Kecamatan Kuta Utara

Banjar Padang Tawang adalah sebuah banjar yang terletak di jalur pariwisata

antara objek wisata Kuta dan Tanah Lot. Padang Tawang termasuk bagian dari Desa

Canggu yang berbatasan langsung dengan Desa Buduk Kecamatan Mengwi. Secara

kependudukan, Banjar Padang Tawang adalah homogen. Sebagian besar

penduduknya adalah etnis Bali yang beragama Kristen, baik Protestan maupun

Katolik.

Dengan penjelasan konsep seperti di atas, maka batasan penelitian ini

menjadi cukup jelas baik dalam cakupan materi penelitian sebagai objek penelitian

dan batasan tempat penelitiannya. Ruang lingkup penelitian ini meliputi materi

penelitian sebagai objek penelitian yaitu keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa

Page 20: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

20

Bali dalam liturgi dan tempat penelitian yaitu di Gereja Kristen Protestan Bali jemaat

Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang.

2.3. Landasan Teori.

Pembahasan penelitian ini menggunakan tiga buah teori, yaitu teori

perubahan budaya, teori dekonstruksi, dan teori adaptasi. Untuk membahas pokok

permasalahan pertama yaitu latarbelakang keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa

Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, penulis

bertumpu pada acuan konsep dan teori perubahan budaya. Keterpinggiran nyanyian

rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang tidak terjadi begitu saja. Ada latarbelakang tertentu yang melatarbelakangi

sehingga jemaat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan memilih nyanyian

rohani berbahasa Indonesia atau Inggris. Oleh karena itu, keterpinggiran nyanyian

rohani berbahasa Bali dapat diduga terjadi karena adanya perubahan budaya dalam

kehidupan anggota jemaat. Dengan teori perubahan budaya, penelitian ini

diharapkan dapat mengungkapkan sejauh mana perubahan budaya tersebut

mempengaruhi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali.

Teori dekonstruksi dipakai untuk membahas pokok permasalahan yang kedua

yaitu proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi

GKPB jemaat Marga Pakerti di banjar Padang Tawang. Dengan terori dekontruksi,

dapat diungkapkan proses keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali di GKPB

jemaat Marga pakerti di Banjar Padang Tawang.

Page 21: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

21

Teori adaptasi, khususnya mengacu pada teori adaptasi Bennet dipakai untuk

membahas pokok permasalahan yang ketiga, yaitu implikasi keterpinggiran

nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang. Setiap perubahan tentu berimplikasi pada kehidupan masyarakat.

Dalam hal ini, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali juga berimplikasi pada

kehidupan umat khususnya di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang. Seperti apa implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali

terhadap kehidupan umat. Dengan teori adaptasi, penelitian ini diharapkan dapat

mengungkapkan implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam

liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang.

Ketiga teori di atas dipakai sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti

dalam menganalisis dan memahami realitas yang ditelitinya. Peneliti mencoba

menganalisis bagaimana latarbelakang keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa

Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Peneliti

menggali bagaimana proses keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam

liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Pada bagian akhir

dari kedua proses di atas, dengan memakai teori adaptasi, penulis mencoba menggali

apa implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali terhadap kerohanian

umat.

2.3.1. Teori Perubahan Budaya

Substansi masalah yang pertama, adalah apa yang menjadi latarbelakang

keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali. Terpinggirkannya nyanyian rohani

Page 22: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

22

berbahasa Bali dan masuknya nyanyian rohani berbahasa Indonesia adalah sebuah

proses yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi proses pengalihan yaitu, menyangkut berubahnya gaya hidup dan

pemikiran jemaat yang mengangggap bahwa nyanyian rohani berbahasa Indonesia

dirasakan lebih modern jika dibandingkan dengan nyanyian rohani berbahasa Bali.

Hal ini sangat erat kaitannya dengan budaya global yang memahami bahasa

Indonesia, Inggris dan lainnya sebagai bahasa yang modern sedangkan bahasa Bali

sebagai bahasa yang tradisional (Atmadja, 2010: 69). Faktor perkembangan

teknologi, media, dan ekonomi global melanda kehidupan umat. Di samping itu,

masuknya nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Inggris nampaknya

lebih cocok dengan selera umat pada jaman sekarang.

Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini mempergunakan teori

perubahan budaya. Linton (dalam Koentjaraningrat, 1990: 97) mengatakan bahwa

dalam proses perubahan budaya di mana di dalamnya terjadi akulturasi, ada unsur-

unsur kebudayaan yang mudah berubah dan ada unsur kebudayaan yang sukar

berubah bila dihadapkan dengan pengaruh asing. Linton menyebut bagian yang sulit

atau lambat berubah disebut sebagai bagian inti (covert culture) dari suatu

kebudayaan. Bagian inti dari suatu kebudayaan menyangkut sistem nilai budaya,

keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adat yang sudah dipelajari

sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, dan beberapa adat

yang mempunyai fungsi yang sangat luas dalam masyarakat. Bagian yang mudah

Page 23: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

23

berubah adalah perwujudan luar (overt culture). Bagian luar yang dimaksud adalah

seperti alat-alat, benda yang berguna, tatacara, dan gaya hidup.

Dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami masa transisi dari

kebudayaan tradisional ke kebudayaan masa kini, tentu akan terjadi tarik menarik

antara mereka yang suka dan tidak suka perubahan, antara yang pro kepada

perubahan dan kontra perubahan. Menurut Koentjaraningrat (1990: 112), mereka

adalah orang-orang yang dapat menyesuaikan diri dan yang tidak dapat

menyesuaikan diri dengan keadaan krisis tersebut. Mereka yang tidak dapat

menyesuaikan diri adalah orang-orang kolot yang tidak suka pada perubahan. Jika

golongan kolot kuat, mereka akan dapat menghambat proses akulturasi untuk

sementara waktu.

Perubahan sosial dan kebudayaan adalah merupakan dua bidang yang saling

berkaitan. Kingsley Davis mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan bagian

dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian,

yaitu kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya. Hal yang sama

diungkapkan oleh Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001 : 342) dengan mengatakan

bahwa perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang

sama, yaitu kedua-duanya bersangkut-paut dengan penerimaan cara-cara baru atau

suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.

Teori perubahan budaya dipakai untuk menganalisis bagian pertama dari

penelitian ini, yaitu berkaitan dengan latarbelakang keterpinggiran nyanyian rohani

berbahasa Bali dalam liturgi gereja.

Page 24: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

24

2.3.2. Teori Dekonstruksi

Istilah dekonstruksi (deconstruction) tidak dapat dilepaskan dari nama

Jacques Derrida. Derrida lahir tahun 1930 di El Biar dekat Aljazair dari orang tua

berdarah Yahudi Sephardic (Beilharz, 2003. 73). Latar belakang pemikiran Derrida

adalah filsafat fenomenologi dan strukturalisme terutama fenomenologi dari Husserl

dan strukturalisme Saussure dan Levi Strause (Santoso, 2010. 248)

Ciri dari dekonstruksi yang dikemukakan oleh Derrida (Ratna, 2006: 222)

adalah penolakan terhadap logosentrisme dan fenosentrisme secara keseluruhan yang

melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir yang bersifat hirarki dikotomis.

Kecenderungan dari oposisi biner (binary opposition) ini adalah anggapan bahwa

unsur-unsur pertama yang menjadi pusat, asal-usul, dan prinsip dengan konsekuensi

logis yang lain menjadi sekunder, marginal, manifestasi, dan padanan lainnya.

Istilah dekonstruksi muncul pertama kali dalam tulisan karya Derrida. Kata

dekonstruksi adalah terjemahan dari dua kata dalam bahasa Jerman yang dipakai oleh

Martin Heidegger dalam tulisannya berjudul Being and Time, yaitu destruction dan

abbau. Menurut kata kerjanya mendekonstruksi berarti membongkar bagian-bagian

dari suatu keseluruhan (Beilharz, 2003. 74-75). Namun demikian, dekonstruksi yang

dimaksudkan di sini bukanlah pembongkaran atau penghancuran yang berakhir

dengan pandangan monisme atau bahkan kekosongan. Dekonstruksi yang dimaksud

juga bukan metode tafsir yang dilengkapi dengan perangkat-perang konseptual yang

serba argumentatif dan koheren, bahkan dekonstruksi justru antimetode,

Page 25: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

25

antiargumentasi dan antikoherensi karena pandangan itu berbau ilmiah dan

positivistik (Santoso, 2010. 252)

Teori dekonstruksi sesungguhnya bertolak dari teori De Saussure tentang

tanda yang berpijak pada relasi antara signifiant dan segi signifie. Namun, bagi

Derrida relasi itu tidak statis, tidak tetap, dan tidak stabil melainkan dapat berubah-

ubah sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu (Hoed, 2011: 77).

Menurut Derrida, dalam kenyataannya, relasi itu dapat ditunda untuk mendapat relasi

yang lain atau baru. Proses ini dikenal sebagai proses dekonstruksi. Dengan

demikian, makna suatu tanda diperoleh tidak sekedar berdasarkan pembedaan

antartanda semata yang hubungan antarpenanda-petandanya bersifat tetap, melainkan

dapat berubah-ubah sesuai kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu. Jadi, makna

suatu tanda tidak hanya terlihat dalam satu kali jadi, melainkan dalam ruang dan

waktu yang berbeda diperoleh makna yang berbeda pula. Bahkan, Derrida

mendorong untuk melakukan penundaan itu secara sadar sebagi suatu tindakan

berpikir kritis. Proses dalam hubungan yang baru ini disebutnya differance (Hoed,

2011: 77).

Differance menurut Derrida bukan kata dan bukan konsep. Differance adalah

segala sesuatu yang mempersoalkan hal-hal yang sudah dianggap mantap. Defferance

dan dekonstruksi adalah berpikir kritis, tidak menerima begitu saja pemikiran-

pemikiran akademis yang sudah menahun dalam pikiran, khususnya dalam hal ini

yang dimaksudkan adalah pemikiran-pemikiran dari para strukturalis (Hoed, 2011:

Page 26: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

26

78). Secara sederhana, dapat dipahami bahwa teori dekonstruksi menyarankan agar

penelitian tetap terbuka terhadap fenomena yang lain.

2.3.3. Teori Adaptasi

Substansi masalah yang ketiga, bagaimana implikasi keterpinggiran nyanyian

rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga Pakerti di banjar Padang Tawang.

Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga Pakerti di

Banjar Padang Tawang tidak terlepas dari adaptasi yang dilakukan oleh umat untuk

menjawab perubahan jaman.

Adaptasi menyangkut upaya penyesuaian yang mengandung arti ganda, yaitu

manusia berusaha menyesuaikan keinginan atau kehidupannya dengan lingkungan

yang berubah. Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan lingkungan dengan

keinginan dan tujuannya. Lingkungan meliputi aspek fisik, biologik, dan sosial

(Bennett, 1976: 145). Dengan demikian, adaptasi manusia dapat berproses dalam

dimensi lingkungan yang sangat luas dan terus berubah.

Mengingat bahwa lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah, maka

dalam upaya mengadaptasinya, manusia akan terus mengikuti, mengamati, dan

menginterpretasi perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Jika

manusia menganggap cara penyesuaian yang dilakukan sebelumnya kurang cocok,

maka cara itu akan digantinya dengan cara yang lebih cocok. Untuk menentukan dan

menetapkan cara-cara penyesuaian yang lebih cocok itulah, manusia memilih cara-

cara berhubungan dengan dan memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi keinginan,

kebutuhan, dan mencapai tujuannya. Namun, adaptasi manusia tidak semata-mata

Page 27: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

27

ditentukan oleh keinginan, kebutuhan, dan tujuannya, tetapi ditentukan pula oleh

situasi lingkungan setempat (Bennett, 1976: 257).

Untuk beradaptasi pada lingkungan yang terus berubah, manusia dituntut

untuk bersifat dinamis. Menurut Bennett (1976: 271-272), ada tiga konsep kunci

untuk membahas dan memahami dinamika kehidupan manusia dalam beradaptasi

dengan perubahan lingkungan. Tiga konsep kunci itu adalah perilaku adaptif,

tindakan strategi, dan strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan bentuk-bentuk

perilaku yang menunjukkan penyesuaian cara-cara mencapai tujuan, melakukan

pilihan, dan menolak untuk melakukan tindakan atau keterlibatan, dengan maksud

untuk beradaptasi. Selanjutnya, strategi tindakan merupakan tindakan-tindakan yang

khusus direncanakan untuk menyelesaikan upaya penyesuaian demi tercapainya

kemajuan-kemajuan yang merupakan tujuan dalam proses pemanfaatan sumber daya.

Dalam pengertian strategi tindakan, tercakup upaya rasionalisasi, mekanisasi,

orientasi pada kemajuan, yang mengutamakan hasil dari perilaku manusia. Lebih

lanjut, konsep strategi adaptif mengacu lebih khusus pada tindakan-tindakan yang

dipilih oleh manusia dalam proses pengambilan keputusannya, karena

keberhasilannya telah dapat diprediksinya.

Serupa dengan di atas, Suparlan (1981: 9) mengatakan bahwa adaptasi dapat

dikatakan sebagai suatu proses untuk mengatasi berbagai masalah yang ada dalam

lingkungan atau fisik guna kelangsungan hidup. Sehubungan degan hal itu, Freire

(1984: 3-4) menyebutkan bahwa adaptasi manusia berproses dalam dimensi

lingkungan yang amat luas. Manusia berhubungan dengan dunia secara kritis. Mereka

Page 28: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

28

memahami data yang ada di lingkungannya. Mereka menyadari temporalitasnya.

Dimensi waktu yaitu kemarin, hari ini, dan esok adalah suatu penemuan yang sangat

mendasar dalam sejarah kebudayaan manusia. Manusia tidak terkungkung dalam

satu dimensi waktu, yaitu kemarin atau pun hari ini. Oleh karena ia menyadari

temporalitasnya dan membebaskan diri dari “hari ini”, maka manusia melakukan apa

yang disebut sebagai adaptasi.

Mengingat lingkungan yang diadaptasi oleh manusia selalu mengalami

perubahan, maka dalam upaya mengadaptasinya, manusia akan terus mengikuti,

mengamati dan menginterpretasi gejala-gejala perubahan yang terjadi di dalam

lingkungan. Oleh karena itu, masing-masing kelompok manusia mempunyai pola

adaptasi yang tertentu dengan memahami secara baik lingkungan fisiknya agar dapat

memberi respon secara stabil (Hunter dan Phillip, 1976: 5).

Adaptasi merupakan suatu proses untuk memenuhi beberapa syarat dasar

tertentu untuk dapat melangsungkan hidupnya. Dalam hal ini ada tiga syarat dasar

yang harus dipenuhi, yaitu syarat biologis, kejiwaan, dan sosial. Dalam usaha untuk

memenuhi ketiga syarat tersebut, manusia menggunakan kebudayaan yang dimiliki

sebagai kerangka dasarnya (Suparlan, 1981: 241-243). Teori adaptasi

memandang perubahan terhadap lingkungan, baik yang terjadi dengan cepat maupun

lambat, orang akan berusaha mengadaptasi dirinya terhadap perubahan itu.

Adakalanya orang tidak berhasil mengadaptasi perubahan itu, sehingga menghasilkan

sifat (perilaku) yang tidak sesuai dengan lingkungan. Jelasnya, jika lingkungan

Page 29: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

29

mengalami perubahan, maka langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi

penghuninya (Soemarwoto, 1997 : 48).

2.4.Model Penelitian

Gambar 2.1 Model Penelitian

Keterangan model penelitian.

Globalisasi merupakan fenomena yang multidimensional dan kompleks.

Globalisasi dengan media massa sebagai salah satu penggeraknya, telah mengubah

tatanan hidup masyarakat termasuk di dalamnya budaya dan tradisi-tradisi lokal

Globalisasi Budaya Lokal

Keterpinggiran Nyanyian RohaniBerbahasa Balidalam Liturgi

Gereja Kristen Protestan BaliJemaat Marga Pakerti di BanjarPadang Tawang Kecamatan Kuta

Utara

Teknologi danmedia

Pendidikan Ekonomi

Tradisi Tingkat

Pendidikan

Implikasiketerpinggiran nyanyian

rohani berbahasa Bali

Proses terjadinyaketerpinggiran nyanyian

rohani berbahasa Bali

Faktor yang mendorongketerpinggiran nyanyian

rohani berbahasa Bali

Keterangan tanda :: Hubungan langsung (searah): Hubungan langsung (dwiarah)

Page 30: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

30

yang sudah ada sebelumnya (Gambar 2.1). Akibatnya, budaya dan tradisi yang

sudah ada sebelumnya secara perlahan terpinggirkan.

Dalam alur pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa nyanyian rohani

berbahasa Bali yang dipakai dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang adalah tradisi yang mengalami keterpinggiran akibat globalisasi.

Sebagai sebuah sarana, nyanyian rohani berbahasa Bali memegang peran yang sangat

penting. Nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan

rasa syukur, untuk mengungkapkan penyembahan, dan juga pujian kepada Tuhan.

Selain itu, sebagai etnis Bali, nyanyian rohani berbahasa Bali juga menjadi identitas

yang bermakna dan bernilai bagi umat. Nyanyian rohani berbahasa Bali sudah

mentradisi dalam ibadah umat Kristen di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang. Namun, karena berbagai faktor, yaitu budaya global, media massa,

dan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia, nyanyian rohani

berbahasa Bali terpinggirkan.

Dengan judul penelitian di atas, maka penelitian ini hendak mengungkapkan

tentang faktor-faktor, tentang proses terjadinya, dan tentang implikasi keterpinggiran

nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang.

Page 31: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

31

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian dengan judul Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali

dalam Liturgi Gereja Kristen Protestan Bali Jemaat Marga Pakerti di Banjar Tawang

Kecamatan Kuta Utara adalah studi kualitatif yang berada dalam wilayah kajian

budaya. Sesuai dengan hakikat ilmu humaniora, objektivitas hasil penelitian tidak

didasarkan atas pembuktian, generalisasi, melainkan pemahaman, sebagai konstruksi

transferabilitas.

Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai objek penelitian ini

dikaji dengan menggunakan pendekatan teori-teori yang sudah ada sebagai teori

formal, tetapi disesuaikan dengan objek penelitian, sebagai teori yang dimodifikasi.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara. Secara geografis, Banjar Padang

Tawang berbatasan di sebelah utara dengan Desa Tuka, di sebelah barat dengan Desa

Buduk, di sebelah selatan dengan Desa Canggu dan di sebelah timur dengan Desa

Pegending. GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang mempunyai

jemaat yang homogen; sebagaian besar (99%) anggotanya berasal dari etnis Bali.

Dalam pergaulan sehari-hari, mereka memakai bahasa pengantar bahasa Bali.

Page 32: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

32

3.3. Jenis dan Sumber Data.

Jenis data penelitian adalah kualitatif dan kuantitatif. Data dinyatakan dalam

bentuk kata-kata, kalimat, narasi, uraian, tabel dan berbagai bentuk pemahaman

lainnya. Secara konkret, data yang dikumpulkan terdiri atas rekaman hasil

wawancara mendalam dengan para informan dan data yang dikumpulkan melalui

observasi dan studi dokumen yang dianggap perlu.

Untuk memperoleh data di atas, penelitian ini menggunakan dua jenis sumber

data, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah para

informan dan objek yang diteliti, sedangkan sumber data sekundernya adalah

berbagai sumber tertulis, misalnya buku, majalah, tesis, dan monografi desa.

3.4. Teknik Penentuan Informan

Berkenaan dengan penelitian ini, informan ditentukan secara purposif, yakni

berdasarkan keahlian, kemampuan, dan pengalaman di bidang masing-masin. Mantra

(2004: 29) mengatakan bahwa ada tiga kelompok informan yaitu informan kunci,

informan ahli, dan informan insendental. Oleh karena itu, ada beberapa informan

yang dapat memberikan keterangan seperti, pendeta, majelis jemaat, penatua jemaat,

anggota jemaat biasa.

Merujuk kepada kelompok informan di atas, maka yang dikelompokkan

sebagai informan kunci antara lain para pendeta yang pernah bertugas di GKPB

Marga Pakerti Padang Tawang, dan para majelis jemaat. Kedua kelompok tersebut

adalah mereka yang terlibat langsung dalam kegiatan jemaat atau mereka yang turut

mengambil bagian dalam membuat keputusan-keputusan jemaat. Informan ahli

Page 33: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

33

adalah mereka yang mempunyai kemampuan menciptakan nyanyian rohani atau

mereka yang tahu tentang seluk- beluk nyanyian rohani berbahasa Bali.

Informan insendental adalah informan yang posisinya di luar kategori di atas

yang juga dianggap pantas memberikan informasi atau keterangan yang terkait

dengan topik penelitian ini. Informan insendental adalah anggota jemaat biasa yang

tidak ikut ambil bagian dalam membuat keputusan-keputusan. Mereka adalah para

pemuda yang berumur rata-rata di bawah duapuluh lima tahun dan anggota jemaat

dewasa tetapi tidak pernah menduduki jabatan di gereja.

3.5. Instrumen Penelitian

Instrumen terpenting dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan

peralatan utama yang disebut sebagai pemahaman. Penelitian ini menggunakan alat

(instrumen) penelitian berupa pedoman wawancara dan didukung dengan kamera dan

alat rekam. Menurut Nawawi (1992: 69), dalam pengumpulan data diperlukan alat

yang tepat agar data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat

dikumpulkan secara lengkap. Lebih lanjut, Nawawi (1992: 74) mengatakan bahwa

dalam melakukan observasi, munculnya fenomena penelitian harus segera dicatat

meskipun dengan cara yang paling sederhana.

3.6. Teknik Pengumpulan Data

Secara garis besar, penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan

data, yaitu teknik wawancara, teknik observasi, dan teknik studi dokumen.

Page 34: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

34

3.6.1. Teknik Wawancara

Teknik wawancara menurut Endaswara (2003: 212) adalah percakapan

dengan tujuan yang khusus. Tujuan utama dilakukan wawancara adalah untuk

menggali pemikiran konstruktif seorang informan yang menyangkut peristiwa,

organisasi, dan sebagainya, serta untuk merekonstruksi ulang pemikiran atau hal-

ikhwal yang dialami oleh informan di masa lalu. Lebih lanjut, tujuan wawancara

adalah untuk menyingkap atau menggali proyeksi pemikiran informan tentang

kemungkinan budaya yang dimilikinya di masa mendatang.

Dari berbagai bentuk teknik wawancara, dalam penelitian ini, digunakan

teknik wawancara mendalam, yang dilakukan secara langsung dengan informan. Hal

ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan gambaran yang lengkap tentang

topik yang diteliti (Bungin, 2001: 145). Wawancara mendalam dilakukan baik dengan

informan kunci, informan ahli, maupun dengan informan insendental.

3.6.2. Teknik Observasi

Teknik observasi atau pengamatan dapat diartikan sebagai pengamatan secara

sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki (Hadi, 2000: 151). Dalam hal

ini, pengamatan dimaksud untuk melakukan pengamatan langsung terhadap objek

penelitian. Pengamatan dilakukan dengan cermat yang disertai dengan pencatatan

hal-hal yang dianggap penting untuk memperkuat observasi data.

3.6.3. Teknik Studi Dokumen

Studi dokumen digunakan untuk memperoleh data yang bersifat konkret. Data

tersebut diperoleh dari buku laporan tahunan jemaat, majalah berkala yang diterbitkan

Page 35: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

35

oleh GKPB, artikel atau literatur yang berkaitan dengan topik yang dibahas, catatan-

catatan dari jemaat, dan juga foto-foto yang menggambarkan kegiatan jemaat. Studi

dokumen digunakan untuk mencari dan mengumpulkan data mengenai hal-hal

tertentu yang ada relevansinya dengan penelitian. Hal ini dilakukan untuk

mendukung hasil penelitian.

3.7. Teknik Analisis Data.

Dalam penelitian ini, digunakan analisis data kualitatif dan interpretatif.

Menurut Moleong (2002: 103), analisis data adalah proses mengorganisasikan dan

mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat

ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh

data. Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data yang terkumpul

(Sangarimbun, 1989: 236), menyajikan secara sistematis kemudian mengolah,

menafsirkan, dan memaknainya. Selanjutnya, dilakukan penarikan simpulan yang

disertai dengan penyajian saran yang diperlukan. Menarik suatu simpulan adalah

suatu kegiatan konfigurasi yang utuh atau tinjauan ulang terhadap catatan-catatan

lapangan. Maksudnya adalah untuk menguji kebenaran, kekokohan, kecocokan, dan

validitas dari makna-makna yang muncul di lokasi penelitian (Miles, dan Huberman,

1992: 16-19)

3.8. Penyajian Hasil Analisis Data

Moleong (2002: 233) mengemukakan bahwa penulisan laporan hasil

penelitian merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, hasil

penelitian ini sebagian besar disajikan secara deskriptif melalui kata-kata, kalimat,

Page 36: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

36

dan bentuk-bentuk narasi lainnya. Untuk mendukung kualitas narasi, penyajian di

atas akan didukung oleh hasil penelitian dalam bentuk tabel, gambar, bagan, foto,

dan peta. Secara keseluruhan, hasil penelitian disajikan dalam delapan bab, dan

dilengkapi dengan indeks dan lampiran-lampiran lain yang diperlukan.

Page 37: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

37

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Dalam bab sebelumnya, sudah dipaparkan bahwa objek penelitian ini adalah

keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi gereja, dan lokasi

penelitian ini adalah di jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang,

Kecamatan Kuta Utara. Sebagai gambaran umum, kiranya perlu dibahas terlebih

dahulu lokasi penelitian tersebut.

4.1. Letak Geografis

Secara geografis, Banjar Padang Tawang adalah bagian dari Desa Canggu,

Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung (Gambar 4.1). Banjar Padang Tawang

berbatasan langsung di sebelah utara dengan Desa Tuka, di sebelah timur dengan

Desa Pegending , di sebelah selatan dengan Banjar Babakan Desa Canggu, Kuta

Utara, dan di sebelah barat Desa Buduk, Mengwi.

Banjar Padang Tawang berada cukup dekat dengan dua pusat

pemerintahan, yaitu Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Pusat pemerintahan

Kabupaten Badung terletak sekitar 5 km ke arah utara dari Banjar Padang Tawang,

sedangkan Kota Denpasar berjarak sekitar 10 km ke arah timur Banjar Padang

Tawang. Selain itu, Banjar Padang Tawang juga berada pada jalur pariwisata Kuta

dan Tanah Lot. Posisi ini memberikan keuntungan secara tidak langsung bagi

Banjar Padang Tawang, yaitu untuk mendapat akses yang lebih luas dalam lapangan

pekerjaan. Dengan posisi itu, Banjar Padang Tawang menjadi daerah penyangga

Page 38: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

38

bagi pusat pemerintahan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, dan menjadi

penyangga bagi kedua daerah pariwisata yaitu Kuta dan Tanah Lot.

4.2. Keadaan Alam

Banjar Padang Tawang beriklim tropis dengan udara yang cukup segar dan

bersih. Curah hujan rata-rata pertahun 2.000 mm, sedangkan suhu udara rata-rata

32º. Banjar Padang Tawang terletak 10-15 m dari permukaan laut (Profil Desa

Canggu, 2011) ( Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Peta Letak Lokasi Penelitian(sumber: maps.google.co.id)

Lingkungan alam Padang Tawang masih tampak asri dan hijau. Hal ini tidak

terlepas dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah desa dan kesadaran penduduk

untuk tidak mengijinkan lingkungan Padang Tawang menjadi perumahan atau

Br.PADANGTAWANG

Page 39: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

39

pemukiman baru ( Gambar 4.2). Mereka tetap mempertahankan tanah-tanah pertanian

sebagai lahan pertanian.

Gambar 4.2 Keadaan Alam Banjar Padang Tawang(Dok. : Parwita, 2011)

Dari gambar di atas (Gambar 4.2) terlihat bahwa daerah Padang Tawang masih

berupa lahan pertanian yang subur dan produktif. Sebagian kecil dari tanah-tanah itu

dipakai untuk pemukiman dan tempat usaha. Pemukiman dan tempat usaha penduduk

Banjar Padang Tawang berdiri mengikuti jalan utama yang membelah Banjar Padang

Tawang dari arah utara ke selatan.

4.3. Mata Pencaharian.

Sebagaimana desa-desa lainnya di Bali, sebelum tahun 1980-an, mata

pencaharian utama penduduk Banjar Padang Tawang adalah pertanian. Sebagian

besar penduduk Banjar Padang Tawang menggarap tanah-tanah yang diwariskan

turun-temurun oleh orang tua mereka. Tanah yang subur, didukung dengan sistem

pengairan yang baik, memungkinkan mereka menggarap, menanam padi, dan

memanen hasil sawah sepanjang tahun tanpa terganggu oleh musim. Biasanya, hasil

panen berupa padi tidak dijual langsung kepada pengijon, sebagaimana lazim

Page 40: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

40

dilakukan oleh petani di daerah lain, tetapi mereka memanen sendiri hasil panennya

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pada dewasa ini, seiring dengan perkembangan pariwisata di Bali, mata

pencaharian penduduk Padang Tawang telah mengalami pergeseran. Pertanian tidak

lagi menjadi mata pencaharian utama penduduk Banjar Padang Tawang tetapi

sebagai sampingan. Anak-anak muda yang telah mengenyam pendidikan yang lebih

tinggi, terutama pendidikan pariwisata, tidak lagi menekuni pertanian sebagai mata

pencaharian tetapi memilih profesi yang lain. Banyak di antara mereka ikut ambil

bagian di sektor pariwisata sebagai pegawai hotel, restoran, dan sektor jasa

pariwisata lainnya (Tabel 4.1). Hal ini tentu saja sangat didukung oleh posisi Banjar

Padang Tawang yang cukup dekat dengan pusat-pusat pariwisata seperti Kuta dan

Tanah Lot.

Tabel 4.1. Jenis Pekerjaan Penduduk Banjar Padang Tawang

No. Jenis Pekerjaan Jumlah(orang)

Persentase(%)

1 Petani 21 9,42 Buruh 6 2,63 Swasta / Karyawan hotel 113 50,04 Wiraswasta 30 13,45 PNS 19 8,56 ABRI 2 0,97 Ibu rumah tangga 37 16,68 Dan lainya 22 9,8

Jumlah 223 100

Sumber : Buku Induk Kependudukan Banjar Padang Tawang 2011

Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa pertanian bukan lagi menjadi mata pencaharian

pokok bagi penduduk Padang Tawang. Pekerjaan sebagai penjual jasa pariwisata dan

Page 41: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

41

pegawai swasta sudah lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya (Tabel 4.1). Hal ini

tentu saja sangat didukung oleh luasnya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata dan

keberadaan Banjar Padang Tawang, yang cukup dekat dengan daerah pariwisata

Kuta dan Tanah Lot dan tingkat pendidikan khususnya bidang pariwisata.

Usaha masyarakat untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi cukup tinggi.

Hal itu ditunjukkan dengan data pada tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4. 2. Data Tingkat Pendidikan

No Keterangan Laki-laki(orang)

Perempun(orang)

1 Sekolah Dasar 24 29

2 Sekolah Menengah Pertama 13 14

3 Sekolah Menengah Atas 49 48

4 Diploma 1 dan 2 14 15

5 Diploma 3 18 6

6 S1 (Sarjana) 29 18

7 S2 (Master) 4 1

Jumlah 151 131

Sumber : Buku Induk Penduduk Br. Padang Tawang 2011

Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Br. Padang Tawang

cukup tinggi. Persentase tingkat pendidikan paling tinggi diduduki oleh mereka yang

mempunyai pendidikan diploma dan sarjana khususnya bidang pariwisata (Tabel 4.2).

Sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.1, hampir setengah (50%) dari angkatan kerja

bekerja di sektor pariwisata. Dengan tingkat pendidikan yang cukup, masyarakat Br.

Padang Tawang memiliki kesempatan yang lebih besar dalam merebut peluang kerja

di sektor pariwisata.

Page 42: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

42

4.4. Sumber-Sumber Ekonomi.

Terkait dengan sumber-sumber ekonomi, Banjar Padang Tawang memiliki

beragam sumber ekonomi, yaitu tanah pertanian, kelompok ternak babi dan unggas,

serta kelompok pengembang kodok dan ikan air tawar. Sumber ekonomi yang

utama adalah tanah pertanian yang subur yang dapat berproduksi tiga kali dalam

setahun. Sebagai daerah pertanian, Banjar Padang Tawang memiliki areal pertanian

yang cukup luas. Hasil pertanian berupa padi, sayur, dan palawija tidak saja dapat

mencukupi kebutuhan mereka, sebagian hasil produksinya dijual ke pasar-pasar

yang ada di sekitar Banjar Padang Tawang

Ada beberapa sumber ekonomi lainnya yang dikembangkan oleh dua

kelompok. Pertama, kelompok ternak babi, selain bibit babi juga mengembangkan

babi untuk penggemukan (konsumsi) (Tabel 4.3). Sebagian besar hasil ternak, baik

berupa babi penggemukan maupun bibit dijual ke pasar-pasar atau pedagang yang ada

di sekitar Banjar Padang Tawang. Kelompok-kelompok ini mengembangkan

peternakan dalam skala kecil (rumah tangga) dan menengah . Rata-rata setiap rumah

tangga memelihara ternak babi antara 5 sampai 10 ekor dan skala menengah yang

memelihara babi antara 50 sampai 100 ekor. Dalam usaha peternakan babi,

masyarakat memanfaatkan sisa-sisa makanan dari rumah -rumah makan dan hotel

yang ada di sekitar daerah pariwisata Kuta. Hal ini sangat menguntungkan, selain

mereka mendapat harga pakan ternak yang murah jika dibandingkan pakan ternak

yang dijual di pasar berupa konsentrat, sisa-sisa makanan yang terbuang dari rumah

Page 43: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

43

makan dianggap memiliki kandungan gizi yang lebih komplit sehingga babi lebih

cepat besar.

Kedua, kelompok pengembang kodok Thailand dan ikan air tawar juga

memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pengembangan ekonomi

masyarakat. Sebagai kelompok pengembang kodok Thailand, kelompok kodok telah

mendapat apresiasi yang cukup baik dari Pemerintah Kabupaten Badung. Kelompok

ini selain menghasilkan kodok untuk konsumsi juga bibit kodok (kecebong) yang

sangat menguntungkan.

Sumber ekonomi yang cukup mempengaruhi perkembangan ekonomi

masyarakat adalah usaha jasa pariwisata. Tercatat ada tiga usaha jasa pariwisata yang

menyediakan sarana transportasi, satu usaha jasa pemotretan, satu koperasi yang

dikembangkan oleh gereja, dan warung-warung kecil yang menyediakan kebutuhan

hidup sehari-hari (Tabel 4.3). Sumber-sumber ekonomi di atas, memberikan

kontribusi yang cukup besar dalam kemajuan ekonomi mayarakat. Dapat dikatakan

bahwa masyarakat Banjar Padang Tawang sudah hidup di atas garis kemiskinan.

Tabel 4.3 Sumber-Sumber EkonomiNo Keterangan Jumlah

1. Jasa Transportasi Pariwisata 3

2 Jasa Pemotretan 1

3 Warung 4

4 Kelompok Pengembang Kodok Thailand 1

5 Kelompok Ternak Babi 1

6 Kelompok Pengembang Ikan Air Tawar 1

7 Koperasi 1

8 Bengkel Las 1

9 Rumah Penginapan (vila) 8

10 Mebel (Mebulair) 1

11 Jasa Pelayanan Makanan untuk Pesta 2

Sumber: Buku Induk Penduduk Br. Padang Tawang 2011

Page 44: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

44

Sarana dan prasarana ekonomi yang ada dapat dikatakan cukup memadai.

Jalan-jalan yang ada, selain cukup lebar dan terawat dengan baik, juga telah

menjangkau hampir semua sudut banjar. Jalan utama yang membelah banjar dari

utara ke selatan sudah dilapisi aspal. Jalan ini menjadi jalan alternatif bagi

masyarakat di sebelah utara Banjar Padang Tawang, yaitu Tuka, Buduk, dan

sekitarnya, untuk bepergian terutama menuju daerah pariwisata Kuta dan Tanah Lot.

Hal ini tentu saja menjadi keuntungan tersendiri bagi perkembangan ekonomi

masyarakat. Banyaknya anggota masyarakat yang melewati Banjar Padang Tawang

membuat warung-warung yang ada di sepanjang jalan utama menjadi hidup dan laris.

4.5. Keadaan Penduduk

Pola perkampungan Banjar Padang Tawang membentuk satu kelompok

dalam satu wilayah. Semua rumah penduduk dibangun di pinggir jalan, yang

melintasi Banjar Padang Tawang, dari arah utara menuju ke selatan. Setiap keluarga

menempati tanah milik sendiri sebagai pekarangan rumah. Rata-rata setiap keluarga

menempati pekarangan rumah yang luasnya antara 3 – 5 are.

Pola pembangunan rumah hampir memiliki kesamaan, yaitu menghadap ke

arah jalan raya dan bagian belakang menjadi teba. Hal ini merupakan campuran

pola pembangunan rumah-rumah tradisional Bali dan modern. Rumah utama terletak

di bagian depan dan tengah, dibangun secara permanen menghadap ke jalan,

sedangkan bagian belakang disebut teba. Sebagian keluarga memanfaatkan teba

Page 45: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

45

untuk memelihara ternak atau kolam ikan, sebagian yang lainnya memanfaatkan

untuk menanam pisang atau tanaman lain yang bermanfaat untuk keluarga.

Menurut data kependudukan Banjar Padang Tawang tahun 20011, jumlah

penduduk Banjar Padang Tawang adalah 378 orang (Tabel 4.4). Sebagian besar (

92 %) adalah penduduk asli Padang Tawang (Bali). Artinya, mereka lahir dan tinggal

di Banjar Padang Tawang sejak dari nenek moyangnya. Sebagian kecil dari mereka

adalah para pendatang yang menetap di Banjar Padang Tawang oleh karena beberapa

sebab, yaitu karena menikah dengan orang Padang Tawang, atau orang asing yang

tinggal sementara di Padang Tawang.

Tabel 4.4. Data Asal Penduduk

NO KETERANGAN JUMLAH(orang)

PERSENTASE(%)

1 Bali 351 92,8

2 Jawa 16 4,2

3 Kalimantan 5 1,4

4 Sulawesi 3 0,7

5 Papua 2 0,5

6 Asing (Belanda) 1 0,2

Jumlah 378 100

Sumber : Buku Induk Penduduk Br. Padang Tawang 2011

Ikatan kekeluargaan masyarakat Padang Tawang sangat erat. Hal ini sangat

dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan di antara anggota banjar yang mekilit.

Menurut wawancara dengan Wayan Sarjana Tarsisius, Kelihan Banjar Padang

Tawang, pada awalnya sebelum terbentuk sebuah banjar, penduduk Banjar Padang

Tawang hanya terdiri atas lima kepala keluarga. Sebelumnya, lima kepala keluarga

Page 46: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

46

ini menetap di perbatasan antara Banjar Padang Tawang sekarang dengan Banjar

Babakan yang ada di sebelah selatan. Oleh karena beberapa sebab, yaitu tempat

tinggal mereka banyak dihuni sarang semut dan keinginan untuk mencari tempat

perumahan yang lebih baik, mereka memutuskan pindah ke tempat yang mereka

tempati sampai sekarang. Dalam perkembangan, keturunan dari beberapa keluarga

ini melakukan perkawinan di antara kelompok sendiri sehingga terbentuk Banjar

Padang Tawang.

Seperti masyarakat Bali pada umumnya, mereka masih menjaga adat dan

tradisi Bali dalam kehidupan sehari-hari. Adat dan tradisi Bali dijaga dan dipakai oleh

masyarakat Banjar Padang Tawang, baik menyangkut fisik maupun dalam hubungan

sosial kemasyarakatan. Secara fisik, pola perkampungan Banjar Padang Tawang

mengikuti adat dan kebiasaan Bali. Tempat ibadah, dalam hal ini gereja, dibangun

pada bagian hulu (utara), balai banjar sebagi pusat kegiatan banjar dibangun di

tengah perkampungan. Demikian juga halnya dalam hubungan sosial

kemasyarakatan, adat, dan tradisi Bali masih dijaga dan dipertahankan, misalnya

dalam hal pernikahan. Pernikahan dimulai dengan ngidih, yaitu keluarga mempelai

laki-laki datang ke rumah mempelai perempuan untuk membicarakan rencana

pernikahan. Selanjutnya, dilakukan upacara mapamit, yang disebut juga ngaba

ketipat bantal, membawa ketupat dan aneka kue ke rumah mempelai perempuan.

Acara pernikahan dilanjutkan dengan pemberkatan nikah di gereja yang diakhiri

dengan pesta pernikahan. Adat dan tradisi Bali lain yang masih dipertahankan, yaitu

tradisi nglawar, membuat dan mempersiapkan masakan khas Bali, baik untuk

Page 47: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

47

pernikahan, maupun upacara hari-hari besar agama Kristen seperti hari Natal dan

hari raya yang lainnya. Semua kegiatan di atas dilakukan dengan bergotong royong.

Tradisi Bali lain yang masih dipertahankan adalah penggunaan kulkul, baik untuk

tanda panggilan kepada masyarakat, maupun untuk tanda kedukaan karena ada

kematian di antara warga banjar.

4.6. Agama.

Sebelum masuknya agama Kristen, sekitar tahun 1937, penduduk Padang

Tawang semuanya menganut agama Hindu. Masuknya agama Kristen ke Bali, yang

dibawa oleh para zendeling Belanda juga mempengaruhi kehidupan beragama

penduduk Padang Tawang. Berawal dari dua warga Banjar Padang Tawang yang

beralih agama, dari agama Hindu menjadi Kristen sekitar tahun 1937, agama

Kristen terus berkembang (Wijaya, 2003: 182). Missi Katholik yang datang

berikutnya juga mempengaruhi penduduk Banjar Padang Tawang, sehingga ada dua

kekristenan yang berkembang di Padang Tawang, yaitu Kristen Protestan yang

dibawa oleh zendeling dan Kristen Katholik yang dibawa oleh missi.

Menurut data kependudukan Banjar Padang tahun 2011, jumlah pemeluk

agama Kristen Protestan adalah 163 orang (43,2%) dan Kristen Katholik berjumlah

207 orang (54,7%) Agama Hindu 5 orang (1,3%) agama Islam 3 orang (0,8%) dari

jumlah penduduk keseluruhan, seperti yang ditunjukan oleh Tabel 4.5 di bawah ini.

Page 48: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

48

Tabel 4.5. Jumlah dan Persentase Pemeluk Agama

No Agama Jumlah(orang)

Persentase(%)

1 Hindu 5 1,32 Kristen Protestan 163 43,23 Kristen Katholik 207 54,74 Islam 3 0,85 Budha 0 0,0

Jumlah 378 100

Sumber : Buku Induk Penduduk Banjar Padang Tawang 2011

4.7. Gambaran Umum Gereja Kristen Protestan Bali Jemaat Marga Pakerti diBanjar Padang Tawang

Dalam pemaparan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa lokasi penelitian ini

adalah di GKPB Marga Pakerti (Gambar 4.3).

Gambar 4.3. Papan Nama GKPB Jemaat Marga Pakertidi Banjar Padang Tawang

(Dok. : Parwita, 2012)

Page 49: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

49

GKPB Marga Pakerti sebagai gereja lokal, adalah sebuah jemaat yang mandiri.

Sesuai dengan Tata Gereja GKPB Tahun 2006, bab XI, pasal 49 dan 50, yang

masing-masing menyebutkan, bahwa jemaat adalah persekutuan orang-orang

percaya yang merupakan penyataan GKPB (pasal 49). Suatu persekutuan

sebagaimana disebutkan dalam pasal 49 di atas, baru dapat menjadi satu jemaat jika

persekutuan itu terdiri atas sekurang-kurangnya 4 (empat) kepala keluarga dan atau

sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang anggota sidi (pasal 50).

Tabel 4.6. Jumlah Anggota Jemaat GKPB Marga PakertiBerdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah(orang)

1 Laki-Laki 125

2 Perempuan 134

Jumlah 259

Sumber : Laporan Pelaksanaan Program GKPB Marga Pakerti Tahun 2011

Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa GKPB Jemaat Marga Pakerti

Padang Tawang yang terdiri atas 79 kepala keluarga dan jumlah anggotanya 259

orang (Majelis Jemaat GKPB Marga Pakerti, 2012: 42-49) dapat disebut sebagai

jemaat yang mandiri (Tabel 4.6).

Satu jemaat dikatakan sebagai sebuah jemaat yang mandiri, selain ditentukan

dari jumlah anggota jemaatnya, juga dilihat dari beberapa kriteria lainnya yaitu,

memiliki tempat ibadah (gedung gereja) yang tetap (Gambar 4.4), melakukan

kegiatan pelayanan seperti ibadah minggu (Gambar 4.7) dan pelayanan lainnya secara

rutin.

Page 50: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

50

Gambar 4.4. Tampak Luar Gedung GKPB Jemaat Marga Pakertidi Banjar Padang Tawang

(Dok. :Parwita, 2012)

Secara organisasi gereja bersama-sama dengan gereja lain yang satu asas,

GKPB Marga Pakerti di Bajar Padang Tawang berada di bawah Sinode GKPB.

Sesuai dengan Tata Gereja GKPB tahun 2006, Bab XV, pasal 90, disebutkan bahwa

sinode merupakan salah satu penjelmaan keesaan gereja dan pemegang wewenang

tertinggi gereja melalui persidangan berdasarkan firman Allah di dalam Alkitab.

Artinya, dalam ber-sinode, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang

bertanggung jawab baik secara moral maupun material kepada Sinode GKPB.

Dalam menjalankan organisasi, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang dipimpin oleh seorang pendeta sebagai ketua jemaat, dan sepuluh orang

majelis jemaat. Seorang pendeta, selain menjadi ketua, juga melaksanakan tugas-

tugas sebagaimana yang telah diatur dalam Tata Gereja GKPB Tahun 2006, Bab XIII,

pasal 83, ayat 1, menyebutkan bahwa pendeta adalah jabatan gerejawi yang

ditetapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pelayanan firman, sakramen,

Page 51: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

51

pastoral, dan pelayanan-pelayanan gereja lainnya. Dalam menjalankan tugas

pelayanan gereja, pendeta dibantu oleh majelis jemaat. Dari sepuluh orang jumlah

majelis jemaat GKPB Marga Pakerti, mereka dibagi dalam tiga kelompok sesuai

dengan tugas-tugas khusus yang harus diemban. Ketiga kelompok itu adalah penatua,

penginjil, dan diaken. Sesuai dengan Tata Gereja GKPB tahun 2006, Bab XIII, ketiga

kelompok di atas dijelaskan sebagai berikut; Penatua adalah jabatan gerejawi yang

ditetapkan secara khusus untuk menyelenggarakan tugas persekutuan di jemaat (pasal

80, ayat 1). Penginjil adalah jabatan gerejawi yang ditetapkan secara khusus untuk

mengupayakan terselenggaranya tugas pemberitaan Injil (pasal 81, ayat 1). Diaken

adalah jabatan gerejawi yang ditetapkan secara khusus untuk mengupayakan

terselenggaranya tugas pelayanan kasih (pasal 82, ayat 1).

Dalam melaksanakan pelayanan gereja, pendeta dan majelis membentuk

pengurus-pengurus sesuai dengan kelompok usia atau jenis kelamin. Pengurus kaum

bapak, pengurus kaum ibu, pengurus usia lanjut, pengurus pemuda dan remaja, dan

pengurus anak-anak. Setiap pengurus melaksanakan kegiatan pelayanan sesuai

dengan kelompoknya masing-masing. Setiap pengurus bertanggung jawab kepada

pendeta dan majelis jemaat.

Sebagai jemaat mandiri, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang

melaksanakan berbagai macam kegiatan ibadah, yaitu ibadah umum dilaksanakan

setiap hari minggu, ibadah keluarga, ibadah kaum muda dan remaja, dan ibadah untuk

anak-anak yang lazim disebut sekolah minggu. Ibadah sekolah minggu adalah ibadah

yang dikhususkan bagi anak-anak umur 0 – 16 tahun. Ibadah umum dilaksanakan di

Page 52: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

52

gedung gereja, yang dipimpin oleh pendeta dan majelis jemaat. Ibadah umum

dikhususkan untuk anggota jemaat dewasa umur 17 tahun ke atas (Tabel 4.7)

Menurut catatan laporan jemaat tahun 2011 anggota jemaat didominasi oleh

kaum muda yang berumur antara 20 – 50 tahun. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh

tabel 4.7, jumlah mereka sekitar 50,6 % dari jumlah keseluruhan anggota jemaat.

Tabel 4.7. Anggota Jemaat Menurut Kelompok Umur

NO Kelompok Umur(tahun)

Jumlah(orang)

Persentase(%)

1 0 - 10 32 12,3

2 11 - 20 39 15,1

3 21 – 30 50 19,3

4 31 - 40 31 11,9

5 41 – 50 50 19,4

6 51 - 60 27 10,4

7 61 – ke atas 30 11,6

Jumlah 259 100,0

Sumber Laporan Pelaksanaan Program GKPB Marga Pakerti 2011

Pelaksanaan ibadah diiringi dengan alat-alat musik, baik tradisional seperti

angklung bambu. Alat musik angklung bambu banyak digunakan untuk mengiringi

nyanyian rohani berbahasa Bali (Gambar 4.5).

Page 53: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

53

Gambar 4.5. Alat Musik Angklung Bambu(Dok. :Parwita, 2012)

Selain menggunakan alat musik tradisional, ibadah juga diiringi dengan alat-alat

musik moderen seperti seperti piano, keyboard maupun alat musik band lengkap

seperti gambar di bawah (Gambar 4.6).

Gambar 4.6. Alat Musik Band(Dok. :Parwita, 2012)

Ibadah menggunakan liturgi dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan

Bali. Pelaksanaan ibadah diatur sebagai berikut, minggu pertama setiap bulan

Page 54: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

54

ibadah menggunakan liturgi dengan pengantar dan nyanyian rohani berbahasa Bali,

sedangkan minggu kedua, ketiga, dan keempat menggunakan bahasa Indonesia

sebagai pengantar dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia.

Gambar 4.7. Ibadah Minggu Anggota Jemaat Dewasa(Dok. :Parwita, 2012)

Rata-rata ibadah umum (ibadah untuk orang dewasa) dihadiri oleh 165 orang

setiap minggu (Gambar 4.7). Ibadah sekolah minggu (ibadah untuk anak-anak) rata-

rata dihadiri oleh 35 orang setiap minggu.

4.8. Sejarah Singkat Gereja Kristen Protestan Bali Jemaat Marga Pakerti diBanjar Padang Tawang

Masuknya agama Kristen ke Banjar Padang Tawang tidak dapat dilepaskan

dari peran I Goesti Poetoe Sanoer. Goesti Poetoe Sanoer adalah salah satu orang

Bali yang dibaptis oleh Pendeta R.A. Jaffray pada tanggal 11 Desember 1931 di

Tukad Yeh Poh, Dalung. Ia dibaptis bersama dengan Pan Loting, Pan Boengkalan,

Pekak Panggih, Pekak Poeter, Pan Soepreg, dan Pekak Rayoe (Wijaya, 2003: 80 ;

Ayub, 1999: 32). Pembaptisan yang pertama di Tukad Yeh Poh menjadi peristiwa

penting dalam penyebaran agama Kristen di Bali. Sejak peristiwa pembaptisan yang

dilakukan di Tukad Yeh Poh, agama Kristen kemudian menyebar ke daerah-daerah di

Page 55: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

55

sekitarnya, seperti Abianbase, Buduk, dan termasuk juga Padang Tawang. Agama

Kristen dibawa oleh I Goesti Poetoe Sanoer masuk ke Padang Tawang sekitar tahun

1937, enam tahun setelah pembaptisan di Tukad Yeh Poh.

I Nyoman Moeg alias Pekak Esti, Pekak Simpang, Pekak Sara, dan Pekak

Seregana adalah empat orang pertama yang beralih agama menjadi pemeluk agama

Kristen di Banjar Padang Tawang. Keempat orang ini telah menjadi murid-murid

dari I Goesti Poetoe Sanoer. Menurut cerita, I Goesti Poetoe Sanoer adalah orang

yang sangat sakti dan menguasai ilmu panengen. Ilmu panengen berlawanan dengan

ilmu pangiwa. Dalam kehidupan orang Bali, Ilmu panengen dikaitkan dengan ilmu

putih, yang berkaitan dengan hal-hal yang baik, seperti ilmu pengobatan, sedangkan

ilmu pangiwa dikaitkan dengan ilmu hitam seperti pangleakan. Ketika I Goesti

Poetoe Sanoer belajar agama Kristen dan kemudian masuk agama Kristen, keempat

muridnya mengikuti jejak langkah gurunya. Guru bagi masyarakat Bali adalah orang

yang patut dihormati, sesuai dengan konsep catur guru dalam tradisi Bali-Hindu.

Apa pun yang dilakukan oleh guru, itulah yang terbaik dan patut diikuti oleh murid-

muridnya. Tidak ada yang berani berkhianat terhadapnya, karena tidak ingin terkena

kutukan. Hal ini sesuai dengan konsep alpaka guru. Jika guru sudah meninggal,

murid wajib meneruskan ilmu kepada generasi penerusnya. Hal inilah yang kemudian

dilakukan oleh keempat orang tersebut (Wijaya, 2003: 182).

Konsep tentang guru, juga dikenal dalam ajaran agama Kristen. Isa Almasih

atau Yesus Kristus juga dikenal sebagai guru, yaitu guru yang mengajar,

membimbing, dan memberi pencerahan kepada murid. Dalam hal ini, I Goesti Poetoe

Page 56: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

56

Sanoer, juga berposisi sebagai guru yang mengajar, membimbing dan memberi

pencerahan tentang agama Kristen kepada keempat orang tersebut. Tampaknya,

hubungan antara guru dan murid inilah kemudian membawa keempat orang itu

beralih agama dengan memeluk agama Kristen. Keempatnya kemudian dibaptis oleh

Mas Darmoadi pada tahun 1937 di Buduk

Perjalanan sejarah terus berlanjut, setelah keempat orang itu menerima

baptisan, mereka mengajak saudara-saudaranya yang lain masuk agama Kristen.

Kewajiban ini, tentu saja sangat berkaitan erat dengan ajaran agama Kristen,

sebagaimana yang tertulis dalam Alkitab (kitab suci agama Kristen). Dalam Injil

Matius pasal 28, ayat 19, tertulis bahwa, Karena itu pergilah, jadikanlah semua

bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus”.

Tentu saja, I Goesti Poetoe Sanoer mengajarkan hal ini kepada keempat muridnya,

kemudian keempat muridnya ini melanjutkan ajaran itu kepada murid berikutnya.

Setelah menerima pembaptisan di Buduk, I Nyoman Moeg mencari saudara

kandungnya Ni Ketoet Perning. Ni Ketoet Perning sendiri sebelumnya sudah

mendengar peristiwa baptisan di Tukad Yeh Poh dan sangat tertarik untuk ikut

beralih agama menjadi agama Kristen, sehingga tidaklah sulit bagi I Nyoman Moeg

untuk mengajak Ni Ketoet Perning untuk beralih agama. Selain saudara kandungnya

I Ketoet Perning, I Nyoman Moeg juga mencari saudaranya yang lain bernama I

Moenting dan Nang Gendol. Kedua orang ini lalu juga mengajak anak-anaknya

masing-masing, sehingga dalam kurun waktu dua tahun jumlah orang kristen di

Padang Tawang menjadi sekitar sepuluh orang.

Page 57: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

57

Seiring berjalannya waktu, jumlah pemeluk agama Kristen terus mengalami

peningkatan. Penambahan jumlah itu terjadi lebih banyak lewat hubungan

kekerabatan, sebagaimana yang dilakukan oleh I Nyoman Moeg. Namun demikian,

bertambahnya jumlah orang kristen, juga terjadi karena pernikahan, sebagaimana

yang dialami oleh I Ketut Rendig. I Ketut Rendig yang dulunya beragama Hindu,

beralih agama menjadi kristen karena menikah dengan Ni Wayan Pimpin yang

sudah lebih dulu memeluk agama Kristen. Pertimbangan I Ketut Rendig mau beralih

agama, karena menganggap menikah dengan cara kristen lebih murah dan mudah

(Wijaya, 2003: 188-189).

Berbeda dengan I Ketoet Rendig yang beralih agama ke agama Kristen karena

pernikahan, I Soeploeg beralih agama karena merasa disembuhkan dari penyakit TBC

yang dideritanya. Ketika I Soeploeg mendengar bahwa orang-orang Kristen dengan

berdoa dapat menyembuhkan penyakit, ia lalu menemui orang-orang Kristen untuk

didoakan. Dengan doa-doa orang Kristen itu, I Soeploeg benar-benar disembuhkan

dari penyakitnya. Dengan alasan itulah, I Soeploeg beralih agama menjadi pemeluk

agama Kristen. Dari empat orang pada tahun 1939, jumlah orang kristen terus

bertambah. Pada tahun 1954 jumlah orang beragama Kristen di Banjar Padang

Tawang, telah mencapai 54 orang.

Page 58: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

58

BAB V

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG KETERPINGGIRANNYANYIAN ROHANI BERBAHASA BALI DALAM LITURGI GEREJA

KRISTEN PROTESTAN BALI JEMAAT MARGA PAKERTI DI BANJARPADANG TAWANG

Faktor-faktor yang mempengaruhi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa

Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang dapat

diungkap melalui kehidupan sosial umat. Kehidupan sosial adalah serangkaian

agregat perbedaan yang saling terkait dan terartikulasi atau terjalin bersama sehingga

kehidupan sosial sangat berpotensi terhadap munculnya perubahan sosial dan masalah

sosial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Laclau dan Mouffe ( dalam Chris Barker

2006: 87) kehidupan sosial meliputi berbagai hal yang terkait dengan kekuasaan dan

antagonisme ketimbang melekat dalam konflik kelas. Bidang kompleks dari berbagai

bentuk kekuasaan, subordinasi dan antagonisme yang tidak dapat direduksi menjadi

bidang atau kontradiksi tunggal.

5.1. Perubahan Sosial

Nyanyian rohani berbahasa Bali sesungguhnya muncul dari pergumulan umat

yang mengalami masa-masa sulit pada awal perkembangan agama Kristen di Bali.

Pengarang nyanyian rohani berbahasa Bali ingin mengungkapkan imannya atau apa

yang dialaminya dalam nyanyian rohani tersebut. Artinya, sebuah nyannyian rohani

berbahasa Bali lahir dari konteks pengarangnya. Apa yang dialami dan dirasakan oleh

pengarang nyanyian rohani tersebut diungkapkan dalam syair-syair nyanyian rohani.

Dalam kaitan tersebut, nyanyian rohani berbahasa Bali lahir dari konteks kehidupan

Page 59: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

59

orang-orang Kristen Bali di akhir tahun 1930-an. Mereka adalah orang-orang yang

baru saja beralih agama, dari sebelumnya memeluk agama Hindu kemudian mereka

memeluk agama Kristen.

Sebagai orang-orang Bali yang baru beralih agama, mereka diperhadapkan

dengan berbagai macam kesulitan. Secara sosial kemasyarakatan, mereka dicap

sebagai orang-orang Bali yang murtad (Waspada, 2012: 176). Orang-orang Kristen

Bali banyak mengalami tekanan dan penolakan, sehingga nyanyian rohani yang

muncul pada saat itu adalah nyanyian rohani yang sangat kental dengan ungkapan

pengharapan atau nyanyian rohani yang mengajak umatnya untuk tetap kuat dan setia

di dalam menghadapi kesulitan. Salah satu contoh nyanyian rohani berbahasa Bali

yang kental mengungkapkan keadaan yang dialami orang-orang Kristen Bali pada

masa itu, seperti nyanyian rohani dalam buku Kidung Pamuji no. 103 dengan judul

Sampunang Ajrih Kakewuhan. Syair nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut sebagi

berikut.

Sampunang ajrih kakewuhanHyang Yesus matininginIrika wenten pasayubanIda matiningin, pagehang kahyuneJanten Ida matininginMatiningin iraga, saumur iraga

Yen kakutang antuk reramaHyang Yesus matininginYening tinilar olih sawitraIda tan nilarin, pagehang kahyunneJanten Ida matininginMatiningin iraga, saumur iraga

Page 60: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

60

Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.

Jangan takut dengan kesulitanTuhan Yesus menjagaDi sana ada tempat perlindunganIa yang menjaga, kuatkan hatiSebab Ia yang menjagaMenjaga kita semua, selama hidup kita

Jika dibuang oleh orang tuaTuhan Yesus menjagaJika ditinggal oleh sahabatIa tidak meninggalkan kita, kuatkan hatiSebab Ia yang menjagaMenjaga kita semua, selama hidup kita.

Syair nyanyian rohani berbahasa Bali di atas menggambarkan keadaan dan

situasi yang dihadapi oleh jemaat pada masa itu. Mereka ditinggalkan oleh orang tua

yang mereka kasihi. Mereka ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya. Namun

demikian, pengarangnya mengajak jemaat untuk tetap kuat dan teguh, sebab

pengharapan mereka ada di dalam Tuhan Yesus yang menjaga kehidupan mereka.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh I Gede Trisna Putra, seorang mantan majelis

jemaat dengan mengatakan sebagai berikut.

“Nyanyian rohani berbahasa Bali sangat kental dengan masa lalu, sejarahmasa lalu, yaitu tentang lahirnya Gereja Bali. Yang dimaksud adalah padamasa kelahiran gereja di Bali, gereja mengalami banyak kesulitan, gerejabanyak mengalami tantangan. Orang-rang yang mengalami tantangan dankesulitan itu menuangkan perasaannya dalam nyanyian” (Wawancara, 8Agustus 2012)

Ungkapan di atas menjelaskan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dapat

dilepaskan dari keadaan dan situasi sosial yang dialami oleh pengarangnya.

Page 61: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

61

Dalam konteks yang lain, munculnya nyanyian rohani berbahasa Bali adalah

ketika jemaat mengalami kesulitan ekonomi dalam pengertian keseluruhan. Mereka

merupakan orang-orang miskin yang mengalami masalah sandang, papan, dan

pangan. Pada masa itu, lazim disebut sebagai masa malaise. Masa malaise dialami

oleh hampir sebagian besar penduduk Bali, termasuk di dalamnya orang-orang Bali

yang beragama Kristen (Puspitha, 2012: 44). Salah satu contoh nyanyian rohani

berbahasa Bali yang mengungkapkan situasi tersebut adalah nyanyian rohani no. 63

dalam buku Kidung Pamuji dengan judul, Sang Hyang Widi Ngempu Titiang. Syair

nyanyian tersebut sebagai berikut:

Sang Hyang Widi ngempu titiangTitiang sami druwen IdaJanten nenten kekirangan.Reh kapiara antuk IdaDiastu ngentap jurang bayaNenten wenten sumangsayaReh Ida ne nantan titiangTur ngicen pikukuh manah

Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah sebagi berikut.

Tuhan yang memelihara hidup sayaKami semua adalah milikNyaTidak akan kekuranganSebab Ia yang memeliharaBiarpun menyebrangi bahayaTidak pernah merasa raguSebab Ia yang menuntun sayaDan memberi kekuatan.

Syair nyanyian rohani berbahasa Bali di atas menggambarkan bahwa mereka ada di

dalam masa-masa sulit. Namun demikian, mereka tidak merasa takut karena mereka

Page 62: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

62

dipelihara dan dituntun oleh Tuhan. Tuhan yang mereka percayai akan memberikan

dan mencukupkan apa yang mereka perlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam realitas kehidupan umat Krsiten pada masa 1930-an sampai dengan

1960-an, nyanyian rohani berbahasa Bali sangat menolong umat Kristen untuk

membangkitkan semangat dan membangun iman. Seperti yang diungkapkan oleh I

Nyoma Ruja, seorang anggota jemaat yang lahir tahun 1947. Sebagai warga jemaat

generasi kedua dan mantan majelis jemaat, ia mengatakan sebagai berikut.

“Saya masih ingat bagaimana nyanyian rohani berbahasa Bali, ketika masihdipakai secara penuh dalam setiap ibadah, baik ibadah minggu, ibadah hariraya, maupun penguburan untuk jemaat yang meninggal. Dulu ketika kamiberjalan dari rumah duka ke kuburan, kami menyanyikan lagu-lagu pujianmenggunakan bahasa Bali. dan kadang-kadang saya menangis dan tidakdapat menyanyi, mulut saya terkunci, karena apa yang dinyanyikan sangatmeresap dalam hati saya. Saya merasa dikuatkan dalam menghadapi situasisulit ketika itu” (Wawancara, 9 Agustus 2012)

Dari ungkapan di atas, dapat dikatakan bahwa jemaat, khususnya mereka yang

melalui masa tahun 1940-an sampai dengan 1980-an, sangat merasakan dan

menikmati nyanyian rohani berbahasa Bali. Begitu kuatnya nyanyian rohani

berbahasa Bali merasuki hati mereka sehingga mereka menitikkan air mata ketika

menyanyikan nyanyian tersebut. Hal ini menunjukan bahwa nyanyian rohani

berbahasa Bali meresap dalam kehidupan mereka.

Apa yang diungkapakan oleh Nyoman Ruja dan Gede Trisna Putra di atas,

berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Piter Kristianus anggota GKPB jemaat

Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang dari generasi ketiga. Piter Kristianus yang

lahir tahun 1980-an, seorang pemuda jemaat mengatakan sebagai berikut.

Page 63: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

63

“Setiap kali ibadah minggu memakai bahasa dan nyanyian rohani berbahasaBali, saya banyak tidak nyambungnya. Saya tidak tahu apa makna darisyair-syair nyanyian rohani berbahasa Bali itu, lagi pula, lagunya sedih danmendayu. Kadang saya hanya bengong. Apalagi kalau kotbahnya memakaibahasa Bali, hampir-hampir saya tidak mengerti apa yang dikatakan olehpendeta. Jadi saya sering memilih tidak ikut ibadah. Saya berpikir toh nantiada waktu lain” (Wawancara, 7 Agustus 2012)

Sebagai warga jemaat generasi ketiga, Piter Kristianus tidak lagi memahami

apa makna dan arti nyanyian rohani berbahasa Bali, ketika nyanyian itu dinyanyikan

dalam ibadah. Hal ini menjadi wajar terjadi dalam diri Piter Kristianus, yang

mewakili warga jemaat generasi ketiga.

Apa yang melatarbelakangi hal di atas adalah perbedaan konteks antara

generasi pertama dan generasi ketiga yang disebabkan oleh adanya perubahan sosial.

Kehidupan warga jemaat generasi pertama sangat kental dengan kesulitan dan

tekanan. Hal ini berbeda dengan generasi ketiga, yang hidup dalam kecukupan secara

materi dan tidak mengalami tekanan secara sosial. Salah satu contoh nyanyian

berbahasa Indonesia yang mengungkapkan sukacita sebagai berikut:

Kasih Allah tak berkesudahan,Selalu baru setiap hariRahmatNya pun tak pernah berakhirSeumur hidupkuDengan sukacita aku akan menariDengan sorak-sorai memujiKunaikkan pujian haleluyaNyanyi bagi Dia sang RajaNyanyi bagi Dia sang Raja selamanya

Nyanyian rohani seperti di atas, mengungkapkan akan kasih dan rahmat Allah yang

tidak pernah berhenti. Allah sebagai sumber berkat memberikan apa yang dibutuhkan

dan memberikan dengan berkelimpahan.

Page 64: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

64

Perubahan konteks sosial dari generasi pertama dengan generasi ketiga

menimbulkan sebuah krisis (Koentjaraningrat 1990: 112). Dalam krisis tersebut

generasi pertama yang pro terhadap kebudayaan tradisional akan menolak sebaliknya

generasi kedua dan ketiga yang pro kepada kebudayaan masa kini menginginkan

perubahan.

Perbedaan konteks sosial antara generasi pertama dan ketiga menimbulkan

berbagai persoalan lainya. Salah satu persoalan adalah semakin berkurangnya warga

jemaat yang memahami dan dapat berbahasa Bali dengan baik. Wawancara dengan

Nengah Yakobus Wirasa, tanggal 26 Agustus 2012, yang termasuk golongan

generasi kedua mengatakan bahwa jumlah warga jemaat di tahun 2012 yang dapat

dan memahami bahasa Bali tidak lebih dari 10 sampai 15 orang saja dari 260 warga

jemaat. Itu artinya hanya satu persen saja dari keseluruhan warga jemaat memahami

bahasa Bali yang lainnya lebih memahami bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Bali.

Hal di atas terjadi karena generasi pertama maupun kedua tidak mengajarkan

bahasa maupun nyanyian rohani berbahasa Bali kepada generasi ketiga. Hampir

semua informan yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka tidak mengajarkan

bahasa Bali kepada anak-anak mereka. Mereka memakai bahasa Indonesia ketika

berkomunikasi dengan anak-anak. Alasanya adalah bahwa bahasa Indonesia lebih

dibutuhkan ketika mereka bersekolah dan nantinya masuk dalam dunia kerja. Seperti

diungkapkan oleh seorang informan warga jemaat dari generasi ke tiga Nyoman

Daud Sunarka dalam wawancara demikian.

“Saya tidak mengajarkan bahasa Bali kepada anak saya sebab di sekolahmereka, ibu dan bapak gurunya memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa

Page 65: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

65

pengantar. Saya takut anak saya tidak dapat mengikuti pelajaran. Dan jugaketika di rumah, saya coba memakai bahasa Bali ketika komunikasi dengananak, sering kali anak saya menjawab apa ta (ungkapan dari anak bahwa iatidak memahami apa yang dikatakan oleh bapaknya). Dia tidak maumenjawab, sehingga saya lebih memilih memakai bahasa Indonesia”(Wawancara, 30 Juli 2012)

Ungkapan di atas menggambarkan bahwa ada alasan yang masuk akal mengapa

orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa Bali kepada anak-anak mereka. Pertama,

karena alasan bahasa pengantar di sekolah yang memakai bahasa Indonesia. Kedua,

ada rasa enggan dari pihak anak yang tidak mau memakai bahasa Bali. Anak tidak

mau merespon apa yang dikatakan oleh bapaknya. Namun secara tidak langsung,

informan di atas mengatakan bahwa telah terjadi perubahan sosial di tengah

kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Perubahan sosial

tersebut berdampak kepada pemakaian bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari.

Kellner (2010:19) mengatakan bahwa sejak tahun 1960-an, telah terjadi serangkaian

perubahan menakjubkan dalam budaya dan masyarakat di seluruh dunia. Tahun 1960-

an merupakan era kekacauan sosial yang panjang, yang ditandai oleh menjamurnya

berbagai gerakan sosial baru yang menantang berbagai bentuk masyarakat dan

budaya yang mapan dan menghasilkan budaya tandingan baru dan berbagai bentuk

alternatif dari kehidupan sehari-hari. Era ini disebutnya sebagai era “perang budaya”.

Perubahan sosial di atas, menyentuh secara langsung hampir semua sendi

kehidupan. Tourane (dalam Piliang, 2010: 176) mengatakan bahwa kehidupan sosial

kini telah kehilangan kesatuannya dan kini tidak lebih dari sebuah arus perubahan

yang tidak henti-hentinya yang di dalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif

Page 66: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

66

tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai ataupun norma sosial. Hal seperti itu tidak

hanya melanda masyarakat perkotaan, akan tetapi juga masyarakat yang hidup di

pedesaan termasuk di dalamnya GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang.

Pada tahun 1940-an, ketika kehidupan mereka belum banyak berinteraksi

dengan masyarakat luar, terutama yang berbeda suku bangsa, mereka masih

menganggap bahasa Bali sudah cukup. Hal yang berbeda terjadi ketika warga jemaat

memasuki tahun 1980-an, di mana pada tahun itu, Bali mengalami “ledakan”

pariwisata. Jalan-jalan mulai dibangun dan diperbaiki dengan pengaspalan, sehingga

desa-desa yang dulu terisolir menjadi desa yang terbuka, termasuk Banjar Padang

Tawang yang mengalami perubahan dalam berbagai bidang. Seperti tampak pada

gambar di bawah ini (Gambar 5.1).

Gambar 5.1 Jalan Utama Banjar Padang Tawang(Dok. :Parwita, 2012)

Gambar 5.1 di atas menunjukkan jalan utama Banjar Padang Tawang yang

dahulunya sempit, mulai diperlebar dan diaspal. Hal ini menjadikan Banjar Padang

Tawang terbuka, bahkan menjadi sangat dekat dengan dua tempat pariwisata yang

Page 67: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

67

terkenal, yaitu Kuta dan Tanah Lot. Perubahan tersebut juga telah mengubah cara

berpikir warga jemaat, seperti yang dikatakan oleh seorang informan I Ketut Sadrah

sebagai berikut.

“Sejak Banjar Padang Tawang mulai terbuka yang ditandai dengan diperlebardan diaspalnya jalan, membuat pola pikir dan cara pandang warga banjarberubah. Salah satu contohnya adalah pandangan orang tua terhadap anak-nak. Orang tua beranggapan kalau jaman sekarang anak-anak tidak bisaberbahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia maka, ia dianggapkuno”(Wawancara tanggal 8 Agustus 2012)

Dengan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa dengan berlalunya waktu

telah terjadi perubahan sosial. Berdasarkan sifatnya, perubahan sosial terjadi bukan

hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Ada

kalanya perubahan sosial yang terjadi berlangsung demikian cepat sehingga

membingungkan manusia yang menghadapinya (Ningsing: 2006:3). Perubahan sosial

merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena

perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan komposisi penduduk,

ideologi, ataupun karena adanya penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat.

Perubahan sosial menunjuk pada berbagai modifikasi yang terjadi dalam pola

kehidupan manusia (Samuel Koening dalam Ningsing, 2006: 3).

Perubahan sosial yang dialami masyarakat merupakan faktor penting bagi

pertumbuhan dan perkembangan budaya. Perubahan sosial dan kebudayaan

merupakan dua bidang yang saling berkaitan. Menyitir apa yang dikatakan oleh

Kingsley Davis, bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan

kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yaitu kesenian,

ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya. Hal yang sama diungkapkan

Page 68: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

68

oleh Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001:342) bahwa perubahan-perubahan sosial

dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua-duanya bersangkut-

paut dengan penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu

masyarakat memenuhi kebutuhannya.

Berdasarkan pada pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial

yang terjadi di tengah-tengah kehidupan jemaat menjadi latarbelakang keterpinggiran

nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang. Ketika kehidupan sosial berubah, jemaat tidak lagi melihat dan

merasakan nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah sarana yang dapat

memenuhi kebutuhan jemaat dalam melaksanakan ibadah. Jemaat menolak nyanyian

rohani berbahasa Bali dan memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Inggris

karena menganggap nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sesuatu yang kuno dan

nyanyian rohani berbahasa Indonesia atau Inggris lebih modern. Hal ini sesuai

dengan pendapat Atmaja (, 2010: 69) mengatakan bahwa konsep modern yang

berlaku pada masyarakat Bali yang memposisikan kemajuan identik dengan

kebudayaan putih, di mana salah satu unsurnya adalah bahasa Inggris.

5.2. Perubahan Lingkungan

Berbicara tentang lingkungan maka dalam hal ini ada dua hal yang dapat

dijelaskan, yaitu lingkungan dalam skala kecil dan skala luas. Lingkungan kecil

adalah lingkungan rumah tangga di mana para anggota masyarakat atau keluarga

dapat berkumpul kesehariannya. Keluarga merupakan faktor pertama yang

Page 69: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

69

mempengaruhi pertumbuhkembangan anak. Dalam lingkungan kecil di atas, juga

diwariskan kebudayaan atau tradisi kepada generasi penerusnya.

Sebuah kebudayaan atau tradisi akan dapat diwariskan kepada generasi

berikutnya jika generasi yang lebih tua mengajarkan budaya atau tradisi tersebut.

Ada berbagai cara atau media yang dapat digunakan untuk mewariskan budaya atau

sebuah tradisi kepada generasi yang lebih muda. Pada jaman dahulu, orang tua

mengajarkan secara lisan tradisi-tradisi nenek moyang kepada anak-anaknya.

Transmisi budaya dilakukan dengan cerita-cerita pada waktu menjelang tidur oleh

ibu atau bapak kepada anak-anak atau oleh kakek atau nenek kepada cucu-cucunya.

Saat ini, pemindahan nilai-nilai budaya secara lisan sudah sangat jarang

dilakukan, bahkan dapat dikatakan tidak ada lagi. Orang tua seakan-akan tidak lagi

perduli dengan keberlanjutan tradisi yang menjadi ciri khas etniknya. Secara tidak

disadari, orang tua lebih mempercayakan kepada media televisi untuk membimbing

dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan daripada mengajarkan secara langsung, seperti

yang diungkapkan oleh seorang informan I Nyoman Rubin umur 62 tahun, yang

mengatakan sebagai berikut.

“Jangankan untuk mengajarkan nyanyian rohani, bertemu saja kami jarang.Saya cukup sibuk dengan tugas saya sebagai pegawai. Anak-anak juga sibukdengan kegiatannya sendiri, kalaupun kami bertemu lalu ibadah di rumahdan kami memakai nyanyian rohani berbahasa Bali, anak-anak tidak maumenyanyi, dari pada begitu kami memilih nyanyian rohani berbahasaIndonesia. Kami memberikan fasilitas seperti video di mana mereka dapatbelajar secara mandiri” (Wawancara, 27 Juli 2012).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ada rasa enggan dari orang tua untuk

mengajarkan nyanyian rohani berbahasa Bali kepada anak-anak. Selain karena

Page 70: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

70

alasan kesibukan dan jarang bertemu, generasi muda jemaat GKPB Marga Pakerti di

Banjar Padang Tawang tidak lagi mengetahui dan memahami nyanyian rohani

berbahasa Bali. Hal ini terjadi oleh karena orang tua sebagai generasi yang

bertanggungjawab untuk meneruskan tradisi, tidak mentransmisikan tradisi dan

budaya kepada generasi muda.

Ketertarikan anak-anak muda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang terhadap tradisi, khususnya nyanyian rohani berbahasa Bali semakin hari

semakin berkurang. Ada indikasi bahwa 5 – 10 tahun mendatang, nyanyian rohani

berbahasa Bali akan betul-betul ditinggalkan. Seorang informan Ketut Yusuf umur

45 tahun, seorang guru Sekolah Minggu, mengatakan sebagai berikut.

“Nyanyian rohani berbahasa Bali memang perlu dilestarikan, tetapi olehkarena desakan kebutuhan dan perubahan jaman nampaknya nyanyianrohani berbahasa Bali tidak lagi dapat menjawab tantangan jaman.Sekarang misalnya, seperti anak saya sama sekali tidak dapat menyanyikannyanyian rohani berbahasa Bali selain juga mereka tidak memahaminya.Di rumah yang mereka putar adalah nyanyian-nyanyian rohani populerberbahasa Indonesia” (Wawancara, 29 Juli 2012).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kondisi nyanyian rohani berbahasa Bali yang

menjadi identitas lokal bagi gereja sedang mengalami tantangan. Tantangan itu

datang dari dua pihak, yaitu generasi tua yang enggan mentransmisikan budaya dan

tradisi kepada generasi muda dan di lain pihak, generasi muda lebih tertarik kepada

yang berbau modern. Abdullah (2006: 52) mengatakan bahwa proses semacam itu

disebut sebagai proses “eklusi sosial”. Suatu kelompok cenderung membangun

wilayah simboliknya sendiri yang membedakan diri dari orang lain. Hal inilah yang

dilakukan oleh generasi muda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Page 71: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

71

Tawang. Generasi muda lebih condong mempelajari sesuatu yang berbau modern

dan tidak tertarik dengan tradisi. Bhaba (dalam Gandhi, 2006: viii) mengatakan

bahwa seluruh pernyataan dan sistem kultural dikonstruksikan dalam sebuah tempat

yang disebut “tempat pengucapan ketiga”. Artinya, identitas kultural selalu berada

dalam wilayah kontradiksi dan ambivalensi sehingga klaim terhadap sebuah hirarki

kemurnian budaya tidak dapat dipertahankan lagi.

Dalam lingkungan yang luas, yang menjadi latar belakang terpinggirkannya

nyanyian rohani berbahasa Bali adalah kurangnya pengetahuan generasi muda

GKPB jemaat Marga Pakerti tentang nyanyian rohani berbahasa Bali. Generasi

muda adalah mereka yang diharapkan akan melanjutkan dan menjaga tradisi-tradisi

nenek moyang. Namun, tidak adanya pengetahuan dan minimnya minat generasi

muda untuk mempelajari nyanyian rohani berbahasa Bali menyebabkan harapan

untuk lestarinya tradisi menjadi sirna. Tradisi, dalam hal ini nyanyian rohani

berbahasa Bali cenderung terpinggirkan. Sztomka (2004: 57) menyatakan bahwa

dalam era mondial tempat terjadinya pertarungan antara nilai-nilai tradisi dan nilai-

nilai global, diharuskan perubahan tradisi menjadi suatu yang bermakna bagi

masyarakat pendukungnya. Jika tidak demikian, maka tradisi masyarakat pribumi

dipengaruhi dan bahkan disapu bersih oleh globalisasi.

GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, Kecamatan Kuta

Utara sedang menghadapi tantangan globalisasi. Generasi muda GKPB jemaat

Marga Pakerti lebih cenderung mempelajari hal-hal yang menurut mereka baru dan

Page 72: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

72

bersifat modern (Gambar 5.2). Hal-hal yang baru dan modern, yang menurut

anggapan mereka, lebih bergengsi dan dapat menjadikan mereka populer.

Gambar 5.2 Anak-anak Muda GKPB Jemaat Marga Pakerti Bermain Band(Dok. :GKPB Marga Pakerti, 2011)

Gambar 5.3 Anak-anak Muda GKPB Jemaat Marga PakertiSedang Berlatih Band(Dok. :Parwita, 2012)

Gambar 5.3 di atas menunjukkan bahwa anak-anak sebagai generasi muda

GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang di Banjar Tawang, lebih memilih

Page 73: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

73

memainkan alat-lat musik modern daripada alat musik tradisional. Mereka memilih

belajar memainkan musik band dan menyanyikan nyanyian rohani populer berbahasa

Indonesia daripada belajar memainkan musik tradisi seperti angklung bambu. Mereka

berpikir bahwa dengan mahir memainkan alat musik band dan menyanyikan

nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia, mereka dapat menjadi populer dan

tidak dikatakan “jadul” (jaman dulu). Itu merupakan sebuah istilah yang sering

dipakai oleh anak-anak muda untuk mengatakan kepada seseorang yang tidak

mengerti tentang teknologi atau budaya modern.

Gambar 5.4 di bawah ini menunjukkan bahwa peminat musik tradisi adalah

mereka dari kalangan generasi tua.

Gambar 5.4 Sekehe Angklung Bambu Melakukan Latihan(Dok. :GKPB Jemaat Marga Pakerti, 2011)

Pemikiran di atas merasuki pemikiran anak-anak muda GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang. Seorang informan Wayan Suartha penatua

GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang mengatakan sebagai berikut.

Page 74: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

74

“Anak-anak seperti anak saya banyak kosa kata bahasa Bali tidak merekamengerti. Mereka sering bertanya kalau misalnya mereka mendengar kosakata yang baru. Anak-anak muda sekarang nampaknya lebih suka belajarhal-hal yang modern. Contohnya seperti di gereja, gereja menyediakanangklung bambu lengkap dengan harapan semua anggota jemaat termasukanak muda yang berminat mau belajar supaya nanti dapat dipakai untukmengiringi ibadah. Tetapi kita lihat alat musik itu sekarang nongkrong digudang sampai berdebu, mungkin juga sekarang sudah rusak, sepertinyaanak-anak menganggap tidak gaul kalau belajar atau memakai musikangklung“ (Wawancara, 29 Juli 2012)

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ada kesan bahwa anak-anak muda

tidak berminat belajar atau memakai sesuatu yang bersifat tradisi. Generasi muda

cenderung menyukai hal-ahal yang berbau modern. Kalau hal ini dibiarkan terus

tidak tertutup kemungkinan bahwa tradisi, dalam hal ini nyanyian rohani berbahasa

Bali, akan musnah. Dengan meminjam istilah yang dikatakan oleh Storey (2007: 54),

globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan

menggiring masyarakat ke persamaan atau homogenitas budaya serta menentang

nilai-nilai dan identitas kelompok.

Dengan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang ada dalam situasi atau masa transisi. Transisi yang

dimaksud adalah peralihan dari tradisi lama kepada tradisi baru. Pada satu sisi,

tradisi lama masih dijalani oleh generasi tua dan pada saat yang sama ditolak oleh

generasi muda. Dalam masa transisi, akan terjadi tarik menarik antara mereka yang

pro dan kontra perubahan (Koentjaraningrat, 1990: 112). Fenomena seperti inilah

yang terjadi dalam kehidupan GKPB jemaat Marga pakerti di Banjar Padang

Tawang.

Page 75: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

75

5.3. Peningkatan Pendidikan .

Pendidikan baik yang bersifat formal maupun nonformal dapat menjadi

sebuah sarana untuk meningkatkan sumber daya manusia. Perkembangan pendidikan

di era informasi yang begitu cepat telah mengubah dan mengembangkan berbagai

macam pendidikan. Beragamnya jenis pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah-

sekolah maupun lembaga-lembaga pendidikan membuka kesempatan bagi warga

masyarakat untuk memilih jenis pendidikan yang diminati.

Anak-anak muda yang telah menamatkan pendidikan menengah atas dapat

memilih melanjutkan ke perguruan tinggi atau mengikuti kursus-kursus singkat yang

menawarkan kompetensi. Namun, harus diakui bahwa pendidikan formal dari

sekolah dasar sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dituntut untuk

mengikuti kurikulum yang sudah diatur sedemikian rupa menjadi paket-paket untuk

kepentingan tertentu tanpa memperhatikan kondisi, kepentingan, kebutuhan, atau

spesifikasi sekolah atau daerahnya (Wibowo, 2007: 52)

Fenomena di atas juga terjadi di Banjar Padang Tawang karena beragamnya

jenis pendidikan berpengaruh terhadap meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat.

Dibandingkan dengan dua puluh atau tiga puluh tahun sebelumnya, tingkat

pendidikan anggota GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang hanya Sekolah

Dasar, tetapi sekarang tingkat pendidikan anggota GKPB jemaat Marga Pakerti di

Banjar Padang Tawang sudah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) (lihat Tabel

4.2). Bahkan, beberapa anggota jemaat Marga Pakerti Padang Tawang sudah

mencapai tingkat magister.

Page 76: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

76

Meningkatnya tingkat pendidikan warga jemaat GKPB Marga Pakerti Padang

Tawang tentu saja mempengaruhi pola pikir dan cara pandang terhadap realitas

sosial dan kehidupan. Generasi tua yang rata-rata tingkat pendidikan formalnya

rendah dalam kehidupan kesehariannya masih memegang tradisi dan budaya dengan

kuat. Mereka beranggapan bahwa tradisi dan budaya yang diwariskan oleh nenek

moyang mereka harus dijaga dan dilestarikan. Tradisi dan budaya tersebut dipahami

sebagai sesuatu yang keramat, kalau tidak dijaga dan diindahkan akan berdampak

pada kehidupan sosial mereka.

Pemahaman generasi tua di atas tentu saja bertolak belakang dengan generasi

muda yang memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Tradisi dan budaya

bukan sebagai sesuatu yang keramat tetapi tradisi dan budaya dipahami sebagai

tradisi yang berkembang di masa lalu dan tidak selalu harus dipakai dan dilestarikan.

Menurut Abdullah (2009: 172), kebudayaan atau tradisi sebagi sesuatu yang

“dipilih” bukan “diterima”. Abdullah juga melihat bahwa orientasi nilai yang

berubah dalam masyarakat pada dasarnya menjadi basis munculnya perbedaan sosial

yang kemudian menjadi basis struktural dalam pendefinisian budaya. Kebudayaan

menjadi lain artinya pada kalangan menengah dan pada kelompok “anak baru gede”

(ABG) atau kelompok profesional. Pemikiran ini kalau diterapkan dalam fenomena

di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, maka ada perbedaan

dalam cara pandang terhadap budaya atau tradisi yang ada. Hal ini sangat

dipengaruhi oleh perbedaan tingkat pendidikan di antara keduanya. Seorang informan

Page 77: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

77

Ferdi Nugroho seorang pemuda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang umur 27 tahun mengatakan sebagai berikut ini.

“Nyanyaian rohani berbahasa Bali adalah bagian dari masa lalu yang tidakcocok lagi dengan situasi atau keadaan pada jaman kami. Kami hidup dizaman yang berbeda dengan orang tua, kakek dan nenek kami. Kami punyapemikiran dan budaya yang berbeda. Walaupun dalam keseharian kamimemakai bahasa Bali untuk berkomunikasi tetapi ketika ibadah memakainyanyian rohani berbahasa Bali, kami tidak memahami nyanyian rohanitersebut. Lagunya seperti orang sedih dan menderita, sedangkan kami inginlagu-lagu yang lebih semangat dan lebih gembira. Ibadah menurut kamiadalah mengungkapkan rasa syukur dan nyanyian yang dipakai harusnyayang bernuansa gembira” (Wawancara, 7 Agustus 2012).

Penuturan Ferdi Nugroho di atas menunjukkan bahwa anak-anak muda yang

mempunyai pendidikan yang lebih tinggi adalah lebih terbuka. Sebagai anak-anak

muda, mereka menginginkan hal-hal yang baru, dibandingkan melanjutkan tradisi

yang diwariskan oleh orang tuanya. Sebagai anak-anak muda, mereka tidak merasa

perlu atau berkepentingan untuk mempertahankan tradisi nenek moyang mereka.

Mereka beranggapan bahwa tradisi yang lalu adalah milik orang tua yang tidak cocok

dengan budaya dan gaya hidup mereka pada masa kini. Keterbukaan yang

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dapat menyebabkan landasan budaya seseorang

menjadi sangat terbuka jika dibandingkan dengan sebelumnya, sehingga “budaya

asal” tidak dikenal atau tidak diinginkan. Mereka kehilangan identitas terhadap

budaya yang lalu (Abdullah, 2009: 173).

Faktor pendidikan telah mengambil peran yang menyebabkan berubahnya

cara pandang jemaat terhadap tradisi dan budaya yang seharusnya mereka wariskan.

Jika fenomena yang dialami oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang di atas disoroti dari pemikiran Giddens, maka hal itu sangat sesuai. Giddens

Page 78: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

78

(2003: 8) mengatakan bahwa kehancuran budaya lokal diakibatkan oleh masyarakat

lokal itu sendiri yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengimbangi derasnya

arus globalisasi yang melanda tradisi lokal. Fenomena inilah yang sedang dihadapi

oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang yang melatarbelakangi

keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang.

5.4. Perkembangan Media dan Teknologi

GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang adalah jemaat yang

sebagian besar anggotanya (93%) dari etnis Bali (lihat Tabel 4.4). Sebagai orang Bali,

dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang masih memegang tradisi dan budaya Bali. Budaya dalam konteks

norma dan sistem sosial masyarakat masih tercermin dalam semua segi kehidupan.

Akan tetapi, saat ini GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang sedang

mengalami berbagai perubahan oleh karena derasnya perkembangan media dan

teknologi.

Nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah warisan budaya telah dipakai

oleh jemaat sebagai sarana atau media untuk menyembah dan mengungkapkan

keagungan Tuhan. Nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai dalam seluruh

ibadah, baik ibadah minggu maupun ibadah keluarga. Sebagai sebuah sarana,

nyanyian-yanyian rohani berbahasa Bali sangat menolong umat untuk

mengungkapkan segala rasa syukur dan hormat kepada Tuhan. Hal seperti ini masih

Page 79: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

79

dirasakan oleh generasi kedua jemaat, seperti yang dikatakan oleh Wayan Gama

umur 61 tahun dan mantan anggota majelis jemaat, sebagai berikut.

“Saya hapal semua lagu-lagu rohani berbahasa Bali yang ada di dalamKidung Pamuji. Saya suka menyanyikannya karena nyanyian itumenguatkan iman saya. Kalau saya sedang susah atau sedih dan kadangdalam masalah, saya menyanyikan lagu-lagu itu, apa lagi ibu saya,sekalipun sudah tua tetapi masih selalu menyanyikan kidung Bali.Rasanya saya dekat sekali dengan Tuhan ketika menyanyikan kidungrohani Bali” (Wawancara, tanggal 27 Juli 2012).

Dari ungkapan di atas tersirat, bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sangat

mempengaruhi kehidupan kerohanian umat GKPB Jemaat Marga Pakerti. Namun

demikian, hal seperti di atas tidak lagi dirasakan oleh anak-anak muda GKPB

jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Kehidupan generasi mudanya telah

terkontaminasi dan termodifikasi oleh berbagai gaya hidup. Hal ini terjadi oleh

karena pengaruh media dan teknologi, baik media elektronik seperti televisi, internet

maupun media cetak seperti surat kabar. Selain itu, media telekomunikasi seperti

telpon genggam telah mengubah gaya hidup jemaat khususnya dalam pergaulan

antarsesama.

Televisi sebagai media elektronik, dengan berbagai macam tayangan

programnya, memberikan berbagai macam pilihan gaya hidup modern yang berbeda

dengan gaya hidup yang diwariskan oleh orang tua mereka. Dengan kata lain, televisi

secara langsung telah mentransformasikan sistem nilai yang berbeda dengan sistem

nilai yang dianut oleh pemirsanya, sehingga mengaburkan batas-batas budaya.

Menyitir apa yang dikatakan oleh Abdullah (2009: 55-56), televisi sesungguhnya

telah mengaburkan batas-batas fisik dan budaya sehingga menciptakan

Page 80: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

80

deteritorialisasi, yaitu suatu dunia yang baru dengan batas-batas wilayah dan nilai

yang bersifat relatif. Dengan demikian, hendak dikatakan bahwa kehadiran televisi

sebagai media elektronik di tengah-tengah keluarga telah mendorong perubahan

budaya semakin cepat. Hal itu diungkapkan oleh seorang informan Ketut Sadrah.

“Televisi sekarang telah menguasai kehidupan anak-anak. Setiap keluargasekarang punya televisi dan jika dibandingkan dengan saya dulu yanghanya mendengar cerita dari orang tua anak-anak sekarang diceritai olehtelevisi. Film kartun misalnya jauh lebih menarik daripada mendengarcerita orang tua. Anak-anak betah berjam-jam di depan televisi tentu sajatanpa disadari oleh orang tua anak-anak perlahan-lahan mengikuti gayadan apa yang ditonton di televisi. Singkatnya anak-anak kita sudahkebarat-baratan” (Wawancara, 8 Agustus 2013)

Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah

budaya yang dapat menjadi media untuk mentransformasikan nilai-nilai kehidupan

secara perlahan terpinggirkan. Televisi sebagai media elektronik dengan berbagai

macam program tayangannya tidak mendorong keberlangsungan hidup sebuah

budaya, tetapi sebaliknya mematikan budaya yang sudah dianut sebelumnya.

Kondisi ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Storey (2003: 54) bahwa

globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisioanl dan

menggiring umat manusia pada pola persamaan budaya atau homogenitas budaya

yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini mengakibatkan atau

mengancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya

lokal menuju kepunahan.

Besarnya pengaruh televisi dan teknologi modern terhadap perubahan budaya

jemaat tercermin dari apa yang dikatakan oleh seorang informan, Piter Kristianus

Page 81: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

81

seorang anggota pemuda GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang, umur 25

tahun demikian.

“Kalau ibadah di gereja memakai nyanyian rohani berbahasa Bali sayaseperti orang kuno. Saya lebih senang dan merasa enjoy kalau ibadahmemakai lagu rohani populer, bila perlu sedikit nge- rock karena lebihhidup, tidak melempem seperti lagu-lagu rohani Bali. Seperti di televisi,ibadah diiringi dengan musik band dan kita dapat menyanyi denganekspresi bebas, mau berdiri, bertepuk tangan atau berjingkrak-jingkrakboleh-boleh saja” (Wawancara, tanggal 7 Agustus 2012).

Ungkapan Pieter di atas menunjukkan bahwa anak-anak muda GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang lebih memilih nyanyian rohani yang berbau pop

atau rock, seperti yang mereka saksikan di televisi. Mereka tidak menyukai nyanyian

rohani berbahasa Bali seperti yang sudah ada karena nyanyian rohani berbahasa Bali

cenderung tenang, lambat, dan kurang bersemangat.

Pengaruh televisi terhadap kehidupan anak-anak muda tidak terbatas pada

pilihan nyanyian rohani yang ingin mereka pakai, tetapi juga menyangkut pilihan

gaya dan style yang ditampilkan di layar televisi. Ketika seorang artis di televisi

menyanyikan sebuah lagu dengan bergoyang, berjingkrak menggerakkan seluruh

badannya dan menyanyikan lagunya sambil berteriak mengacungkan jari tangan

mereka sebagai simbol-simbol, gaya seperti itulah yang diadopsi oleh anak-anak

muda ketika melakukan ibadah. Menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan

sehari-hari. Hal itu dapat dilihat pada saat anak-anak muda ketika berjumpa dengan

teman-temanya. Mereka memberi salam dengan mengacungkan dua jari tangannya,

jari telunjuk dan jari tengah dan mengepalkan jari yang lainnya lalu mengatakan

peace . Tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan dengan kata-kata dan simbul

Page 82: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

82

seperti itu. Anak-anak muda melihat dan meniru dari para selebritis di televisi yang

melakukan hal yang sama. Mereka meniru, mengadopsi, dan menjadikan sebagai

gaya hidup mereka. Cara-cara seperti itu mereka tafsirkan sebagai gaya hidup

modern yang cocok dengan style anak muda.

Dalam proses perubahan gaya hidup di atas, menyitir yang dikatakan oleh

Abdullah (2009: 58), bahwa dalam proses kehidupan dewasa ini, sistem nilai

tradisional mulai digantikan oleh sistem nilai modern. Sistem nilai tidak lagi berkiblat

pada tradisi, tetapi pada nilai-nilai modernitas dengan logika berpikir yang berbeda.

Lebih lanjut, Abdullah mengatakan bahwa berubahnya nilai dalam masyarakat,

ketika kehidupan bukan hanya melanjutkan naluri masa lalu tetapi telah menjadi

arena negosiasi berbagai tata nilai yang tidak hanya lokal dan nasional, bahkan juga

global sifatnya. Media dan teknologi memegang peranan yang sangat penting dalam

terjadinya perubahan.

Pilihan gaya hidup yang sangat dipengaruhi oleh televisi seperti di atas juga

mempengaruhi pilihan mereka terhadap apa yang mereka pelajari dan apa yang

mereka tolak untuk dipelajari. Mereka tidak tertarik untuk mempelajari alat-alat

musik Bali dan nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali. Mereka memilih untuk

mempelajari alat-alat musik gitar dan perangkat alat musik band yang dipersepsikan

sebagai yang modern. Mereka menganggap bisa bermain gitar dan menyanyikan

nyanyian pop lebih bergengsi dan dapat menjadi populer daripada menyanyikan

nyanyian rohani berbahasa Bali dan bermain alat musik angklung bambu. Life style

yang memungkinkan mereka populer dan dianggap bergengsi lebih diutamakan

Page 83: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

83

daripada belajar tradisi atau budaya Bali yang lebih menekankan pada ajaran norma

dan nilai-nilai kehidupan.

Pilihan gaya hidup di atas sejalan dengan pemikiran Hall (1977: 140) yang

mengatakan bahwa televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif

pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di mana seseorang mempersepsikan “dunia”,

realitas yang dijalani orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan yang

ada, yang sudah dijalani selama ini. Analisis di atas, jika dikaitkan dengan realitas

sekarang, khususnya yang terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang sangat tepat. Kehidupan jemaat dan khususnya anak-anak muda yang

terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang telah banyak

mengalami pergeseran dari tradisi ke modern. Pergeseran kebiasaan ini tidak

terlepas dari pengaruh media massa sebagai model yang mereka tiru.

Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan

totalitas, kesatuan nilai budaya lokal. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya

lokal ke dalam tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi

basis dalam pembentukan sub-subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan

kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan

dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal

dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan

mengalami redefinisi dan diferensiasi yang terjadi secara meluas dan menunjukkan

sifat relatif suatu praktik sosial. Kleden (2000: 138) mengatakan bahwa kondisi

seperti itu disebut sebagai kondisi masyarakat yang mengalami perubahan. Perubahan

Page 84: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

84

tersebut mencakup hampir semua segi kehidupan termasuk di dalamnya perubahan

budaya.

Globalisasi juga telah membuat cara-cara mempraktikkan ajaran nenek

moyang, khususnya tradisi menyanyikan nyanyian rohani berbahasa Bali mengalami

perubahan. Kondisi ini diakibatkan oleh cara berpikir masyarakat yang selalu

menginginkan sesuatu yang baru. Iklim yang kondusif bagi perbedaan-perbedaan cara

hidup tersebut telah melahirkan proses individualisasi yang meluas, menjauhkan

manusia dari konteks hidup kesehariannya (Simmel, 1991: 17). Pandangan Simmel di

atas sejalan dengan fenomena yang terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang yang selalu menginginkan kebaruan.

5.5. Kemajuan Ekonomi

Ekonomi juga membawa dampak keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa

Bali. Hal ini tidak terlepas dari prilaku atau dorongan keinginan manusia untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan keinginan itu, manusia terus berusaha

dengan berbagai cara dan upaya agar terpenuhi kebutuhannya. Sifat manusia yang

selalu ingin meningkatkan kehidupannya merupakan kenyataan bahwa manusia

adalah mahkluk ekonomi (homo economicus). Homo ‘manusia’, economicus ‘yang

hidup menurut kepentingan diri sendiri’. Manusia sebagai mahkluk ekonomi berarti

manusia dalam upayanya mencari dan memperoleh kemakmuran selalu ingin

melepaskan diri dari faktor moral dan bertindak sebagai mahkluk ekonomi saja

(Nurdin, 2008: 63). Berkaitan dengan penelitian ini, faktor ekonomi yang

menyebabkan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali adalah ekonomi

Page 85: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

85

kapitalisme di mana pariwisata menjadi ujung tombaknya. Berikut ungkapan seorang

informan Nengah Yakobus Wirasa :

“Dalam kenyataan sekarang, anggota jemaat tidak dapat dilepaskan daripengaruh pariwisata. Ekonomi jemaat sebagian besar bergantung pada‘kucuran dolar’ sektor pariwisata. Pengaruh itu sesungguhnyamempengaruhi keseluruhan kehidupan jemaat. Coba kita perhatikan polapikir dan tindak jemaat, orientasi mereka adalah uang. Apapun yangmereka lakukan maka pertanyaannya adalah apakah hal itu memberikankeuntungan atau tidak. Itulah sebabnya ketika anak saya menyelasaikanSMA-nya, saya anjurkan masuk jurusan sastra Inggris karena tanpamengusai bahasa Inggris kita akan kalah bersaing” (Wawancara, 26 Juli2012)

Gerakan globalisasi yang paling nyata dirasakan oleh masyarakat khususnya

di Bali adalah aktivitas pariwisata yang semakin meningkat. Pariwisata sebagai

sebuah aktivitas telah mendatangkan berbagai keuntungan ekonomi bagi masyarakat

di sekitarnya. Masyarakat banjar Padang Tawang yang sangat dekat dengan pusat-

pusat pariwisata yang ada di Kabupaten Badung juga menikmati keuntungan-

keuntungan yang diberikan oleh pariwisata. Catatan kependudukan berkaitan dengan

pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar angkatan kerja produktif Banjar

Padang Tawang berkecimpung di bidang pariwisata (Tabel 4.1).

Dalam kegiatan pariwisata, terjadi berbagai aktivitas yang tidak terbatas pada

ruang dan waktu, tetapi juga melibatkan manusia dari berbagai belahan dunia.

Mereka saling berinteraksi satu sama lain sesuai dengan bidang pekerjaannya. Dalam

sistuasi seperti ini, akan timbul proses akulturasi. Menurut Poespowardoyo (1989:

122), proses akulturasi dapat mendatangkan dominasi dan integrasi kebudayaan. Jika

akulturasi mendatangkan dominasi kebudayaan asing, itu akan menimbulkan

keterpinggiran budaya lokal yang menjadi cermin budaya setempat. Pendapat

Page 86: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

86

Poespowardoyo di atas, juga dialami oleh Jemaat GKPB Marga Pakerti. Seorang

informan, Gede Trisna Putra mantan majelis Jemaat mengatakan:

“Pariwisata yang berkembang sekarang ini, identik dengan bahasa Inggris.Kalau kita tidak memahami bahasa Inggris, maka kita akan ketinggalankereta. Sementara itu, harus kita akui bahwa secara ekonomi, kita diBali sangat tergantung pada pariwisata. Coba bayangkan kalaupariwisata tidak ada, atau tidak berkembang pesat seperti sekarang ini,siapa yang akan membeli produk-produk pertanian seperti sayur danlain-lainnya. Siapa yang akan mendanai kegiatan-kegiatan budaya atauupacara-upacara yang begitu banyak. Tidak ada! Itu artinya kita sangattergantung dengan pariwisata, sehingga kalau kita tetap ingin eksis dalamdunia pariwisata, kita harus dapat berkomunikasi dan memahami bahasaInggris” (Wawancara, 8 Agustus 2012)

Ungkapan di atas mengatakan bahwa bahasa Inggris unggul terhadap bahasa yang

lain. Bahasa Inggris menjadi bahasa yang dominan dan bahkan harus dipahami oleh

orang-orang yang mengambil bagian dalam kegiatan pariwisata. Pendapat di atas

dapat diakui kebenarannya. Namun demikian, secara tidak sadar telah meminggirkan

budaya lokal, dalam hal ini bahasa Bali.

Benturan antara budaya lokal dan global bersama berkembangnya pariwisata

memberi peluang terpuruknya budaya lokal dalam derasnya budaya global. Bagus

(1989: 106) mengatakan bahwa turisme dapat mengubah inti kebudayaan Bali,

pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan, dan hingga bentuk-bentuk sosial yang

telah terbukti mampu menopang integritas mayarakat Bali. Namun demikian,

pariwisata tetap dibutuhkan dalam perkembangan ke depan dengan meminimalisasi

dampak buruk dari pariwisata sehingga budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai

tidak terpinggirkan.

Page 87: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

87

Pariwisata sebagai kegiatan global yang tumbuh dan berkembang di tengah-

tengah masyarakat Bali adalah bagian dari globalisasi ekonomi di mana kapitalisme

ada di dalamnya. Hal ini mengandung arti bahwa memahami pariwisata tidak dapat

dipisahkan dari kapitalisme (Prasiasa, 2011: 56). Berkaitan dengan hal itu, dampak

yang ditimbulkan oleh pariwisata yang diboncengi oleh kapitalisme adalah

dikembangkannya daerah-daerah pariwisata yang baru untuk meningkatkan

pertumbuhan yang berujung pada meningkatnya keuntungan.

Dikembangkannya daerah-daerah pariwisata dengan segala pendukungnya

seringkali tidak mempertimbangkan dampak sosial atau dampak terhadap tradisi dan

budaya lokal. Prasiasa (2011: 62) mengatakan bahwa pengembangan pariwisata yang

berorientasi pada upaya mengejar pertumbuhan dengan mengandalkan modal dari

kaum kapitalis dan menempatkan pariwisata dalam konteks kapitalisme akan banyak

dihadapkan pada apa yang dinamakan dominasi. Akibatnya, masuknya pariwisata

yang menekankan pertimbangan ekonomi menggusur segala sesuatu yang berbau

lokal termasuk budaya dan tradisi di dalamnya.

Interaksi antara masyarakat lokal dengan para wisatawan tanpa disadari telah

melahirkan perubahan-perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk

di dalamnya berubahnya cara pandang masyarakat terhadap tradisi dan budaya.

Perubahan cara pandang terhadap tradisi seperti itu juga dialami oleh jemaat GKPB

Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Menyitir pernyataan Baudrillard tentang

masyarakat konsumen (consumer society), dikatakan bahwa industri apapun dapat

menyebabkan terjadinya pergeseran dan keterputusan zaman yang mengakibatkan

Page 88: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

88

munculnya totalitas sosial baru dengan berbagai pengorganisasian dan prinsip-

prinsipnya (Baudrillard, 1988: 145). Keterpinggirannya nyanyian rohani berbahasa

Bali di jemaat GKPB Marga Pakerti Padang Tawang, jika dilihat dari konsep di atas

dapat dikatakan bahwa ekonomi kapitalisme dengan pariwisata sebagai ujung

tombaknya mendorong keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali.

5.6. Heterogenitas Jemaat: Daerah Asal, Etnik, Budaya, dan Bahasa

Kemajuan teknologi, khususnya teknologi transportasi menyebabkan

mobilitas penduduk semakin lancar. Pada zaman sekarang, orang membutuhkan

waktu hanya dalam hitungan jam untuk pergi dari satu belahan dunia ke belahan

dunia lainnya. Kemajuan teknologi transportasi telah membuat jarak semakin pendek.

Selain kemajuan teknologi transportasi, kemajuan teknologi media dengan televisi

dan internet membuat orang dapat mengetahui satu peristiwa di belahan dunia yang

lain pada saat yang bersamaan. Dua kemajuan di atas telah membuat manusia tertarik

untuk bepergian ke satu daerah lain baik untuk berwisata maupun untuk menetap di

daerah yang baru.

Saat ini di beberapa daerah di Bali, dalam satu daerah tertentu masyarakat

tidak lagi hidup berdampingan hanya dengan sesama satu suku atau bahasa, tetapi

mereka berdampingan dengan orang-orang yang berasal dari suku dan bahasa

berbeda. Sejak tahun 2000-an, tumbuh dan berkembang rumah-rumah yang

ditempati oleh kaum pendatang dari luar negeri. Rumah-rumah itu lazim disebut vila.

Sampai tahun 2012, ada sekitar 20 vila yang ada di sekitar Banjar Padang Tawang.

Page 89: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

89

Gambar 5.5. Vila yang Ada di Sekitar Banjar Padang Tawang(Dok. :Parwita, 2010)

Mereka yang tinggal di vila tersebut adalah orang-orang asing dari berbagai

negara. Vila tersebut mereka kontrak untuk jangka panjang, rata-rata 20 sampai 25

tahun. Mereka tinggal dan menetap untuk jangka waktu yang cukup panjang.

Biasanya mereka tinggal untuk tiga bulan dan akan melanjutkan pada bulan

berikutnya. Karena itu, dalam setahun mereka akan pergi dan pulang berulang-

ulang. Kehadiran mereka mau tidak mau juga menimbulkan perjumpaan dengan

masyarakat lokal di sekitarnya.

Hal lain yang perlu diperhatikan dengan kehadiran vila-vila tersebut adalah

kehadiran kaum urban dari berbagai pelosok yang dipekerjakan di vila-vila tersebut.

Kebanyakan di antara mereka adalah anak-anak muda yang datang dari daerah

Indonesia bagian timur, seperti Nusa Tenggara Timur atau Barat (lihat Tabel 4.4).

Mereka rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan tidak mempunyai

kemampuan yang cukup dalam bidangnya. Minimnya kemampuan atau kompetensi

yang dimiliki menjadikan mereka bersedia mengambil pekerjaan serabutan. Mereka

adalah tenaga-tenaga kerja yang dibayar dengan murah.

Page 90: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

90

Kehadiran orang asing dan kaum urban dari berbagai daerah mau tidak mau

juga menimbulkan interaksi budaya. Perjumpaan antarsuku dan bahasa yang berbeda

akan menimbulkan perjumpaan budaya. Perjumpaan budaya yang berbeda kerap kali

menimbulkan budaya hibrid, yaitu persilangan gaya hidup melalui penciptaan

berbagai bentuk hibriditas dan hibridisasi gaya hidup yang menghasilkan berbagai

gaya hidup hibrid. Hibridisasi, menurut Ihab Hassan (dalam Piliang, 2010: 242)

adalah proses penciptaan atau replikasi bentuk-bentuk muatan melalui perkawinan

silang, yang menghasilkan entitas campuran yang tidak lagi utuh, meskipun di

dalamnya masih tersisa sebagian identitas diri dari dua unsur yang dikawinsilangkan.

Hal seperti itu sering kali terjadi dalam lingkup perumahan-perumahan yang tumbuh

dan menjamur di berbagai daerah di Bali. Muhallim

(blogspot.com/2007/11/hibriditas-kosmopolitanisme) mengatakan bahwa

membiaknya hibrida budaya adalah merupakan konsekuensi nyata dari proses

globalisasi. Lebih lanjut, Muhallim mengatakan bahwa hibrida budaya bukan

sekedar konsekuensi globalisasi belaka, tetapi merupakan “mega proyek” di balik

imajinasi globalisasi. Artinya, globalisasi telah memfasilitasi pertukaran dan

penyebaran nilai-nilai budaya dan sekaligus mempercepat pembiakan percampuran

budaya melalui berbagai cara seperti lewat teknologi informasi, media massa, wisata,

mode, dan berbagai instrumen gaya hidup modern lainnya.

Hal di atas juga mempengaruhi kehidupan bergereja GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang. Kalau dibandingkan dengan tahun sebelum 1990-

an, anggota gereja hampir seratus persen dari suku Bali, tetapi dalam perjalanan

Page 91: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

91

selanjutnya, keanggotaan gereja semakin heterogen. Pengunjung dan anggota gereja

tidak lagi dari suku Bali semata, tetapi telah bercampur dengan etnis, budaya, dan

bahasa lainnya. Kehadiran mereka sebagai anggota gereja mau tidak mau akan

mewarnai kehidupan gereja. Hal ini diungkapkan oleh seorang informan, I Gede

Trisna Putra dengan berkata demikian.

“GKPB Marga Pakerti Padang Tawang dekat dengan daerah pariwisata danjuga dekat dengan pusat kota Denpasar, di mana begitu banyak adapendatang-pendatang dari suku-suku lain. Mereka tidak hanya menetap dikantong-kantong perumahan di kota, tetapi juga di desa-desa yang ada disekitar kota seperti PadangTawang. Oleh karena itu semakin hari semakinbanyak pendatang tinggal di Banjar Padang Tawang dan banyak di antaramereka beragama Kristen. Mau tidak mau gereja harus memperhatikan danmelayani mereka” (Wawancara, 8 Agustus 2012)

Ungkapan di atas memberikan gambaran bahwa pergerakan atau mobilitas penduduk

antarpulau semakin meningkat. Terlebih lagi Bali dan khususnya kota Denpasar dan

Kabupaten Badung menjadi daerah yang paling banyak menampung kaum urban.

Alasan bahwa banyak anggota jemaat yang berasal dari luar etnis Bali termasuk

orang-orang asing dari berbagai negara yang mengunjungi ibadah GKPB Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang diungkapkan oleh informan Nyoman Daud

Sunarka, seorang anggota majelis jemaat:

“Sekarang pengunjung ibadah gereja tidak hanya dari banjar Padang Tawangdan Babakan, tetapi banyak dari anak-anak NTT (Nusa Tenggara Timur)dari Batak yang tinggal di sekitar sini. Nah, bagaimana gereja akanmelayani mereka, tentu mereka tidak mengerti bahasa Bali, oleh karena itusaya setuju kalau ibadah gereja memakai bahasa Indonesia saja, toh kita jugamengerti bahasa Indonesia” (Wawancara, 30 Juli 2010)

Ungkapan di atas menggambarkan komposisi anggota jemaat yang dulunya

homogen mengalami perubahan menjadi heterogen. Berubahnya komposisi anggota

Page 92: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

92

jemaat tentu saja menimbulkan pergeseran tradisi, cara pandang, dan cara hidup

umat. Appadurai dan Henners (dalam Abdullah, 2009: 43) menegaskan keberadaan

seseorang dalam lingkungan tertentu di satu pihak mengharuskan menyesuaikan diri

yang terus menerus untuk dapat menjadi bagian dari sistem yang lebih luas. Sejalan

dengan mobilitas manusia yang demikian padat, Appadurai menyebutkan bahwa

batas-batas wilayah (kebudayaan) tidak lagi menjadi penting karena suatu kelompok

tidak selalu terikat pada batas wilayah kebudayaan yang berbeda yang bahkan

cenderung berubah-ubah pada saat orang berpindah dari satu tempat ke tempat

lainnya. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh perjumpaan etnik, budaya,

bahasa, dan tradisi yang sebelumnya homogen kemudian menjadi heterogen inilah

yang melatarbekangi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali.

5.7. Menurunnya Minat Jemaat Terhadap Nyanyain Rohani Berbahasa Bali

Memasuki tahun 1990-an, dengan masuknya nyanyian rohani populer

berbahasa Indonesia, terjadi perubahan menyangkut pemakaian nyanyian rohani

berbahasa Bali dan bahasa pengantar yang dipakai dalam ibadah. Nyanyian rohani

berbahasa Bali bukan lagi menjadi nyanyian rohani yang utama dalam ibadah. Dalam

satu bulan di mana ada empat kali ibadah minggu, nyanyian rohani berbahasa Bali

hanya dipakai satu kali yaitu pada minggu pertama. Pada minggu kedua sampai

keempat dan kelima, ibadah lebih banyak memakai nyanyian rohani berbahasa

Indonesia. Berikut penuturan informan I Wayan Gama umur 61 tahun dan seorang

mantan majelis jemaat :

“Nyanyian rohani berbahasa Bali sudah dipakai sejak tahun 1930-an, baikdalam ibadah umum di gereja, maupun dalam ibadah-ibadah rumah tangga.

Page 93: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

93

Nyanyian rohani berbahasa Bali dan bahasa pengantar bahasa Bali dipakaisecara penuh dalam ibadah-ibadah setiap minggu. Namun kemudian, kira-kira mulai tahun 1980-an secara perlahan terus mengalami kemunduran danpuncaknya tahun 1990-an nyanyian rohani berbahasa Bali mulaiditinggalkan. Sekitar tahun 1980-an masih dipakai dua kali sebulan tetapisekarang hanya sekali saja itupun masih diselingi dengan bahasa dannyanyian rohani berbahasa Indonesia” (Wawancara, 27 Juli 2012)

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ada bentuk tindakan dan perlakuan

yang berubah terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali yang dimulai sejak tahun

1980-an, yaitu dengan meninggalkan atau tidak lagi memakai secara penuh. Pada

awalnya, nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai secara penuh dalam setiap ibadah

gereja, tetapi dalam perkembangan secara perlahan mengalami keterpinggiran.

Perlakuan dan tindakan seperti di atas juga terjadi dalam ibadah keluarga,

ibadah kategorial kaum bapak, kaum ibu, maupun ibadah kaum muda. Nyanyian

rohani hanya kadang-kadang dinyanyikan tergantung siapa yang memimpin ibadah.

Apabila yang memimpin ibadah suka dan bisa menyanyikan nyanyian rohani

berbahasa Bali, biasanya dari kalangan generasi tua, maka diselipkan satu atau dua

nyanyian rohani berbahasa Bali, sebaliknya jika tidak maka dapat dipastikan yang

dipakai adalah nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Berikut ini apa yang dikatakan

oleh Wayan Gama umur 61 tahun salah satu generasi tua jemaat GKPB Marga

Pakerti Padang Tawang :

“Yen tiang diminta jadi liturgos (liturgos adalah istilah yang diberikankepada orang yang ditunjuk untuk menyiapkan dan memimpin puji-pujiandalam ibadah keluarga) tiang nu demenan nganggen kidung pamuji (kidungpamuji adalah buku kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali) daripadanganggen kidung jemaat (kidung jemaat adalah buku kumpulan nyanyianrohani berbahasa Indonesia) ngujang krana keta, nu lebih ngresep kidungBali yen bandingan kading kidung ane lenan” (Terjemahan bahasa Indonesia“Kalau saya diminta jadi liturgos saya lebih senang menggunakan kidung

Page 94: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

94

pamuji daripada menggunakan kidung jemaat, mengapa demikian, lebihmeresap nyanyian Bali jika dibandingkan dengan nyanyian yang lain”)(Wawancara, 27 Juli 2012)

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kaum generasi tua masih menyukai nyanyian

rohani berbahasa Bali. Berbeda dengan kalangan generasi muda yang lebih memilih

nyanyian rohani berbahasa Indonesia.

Menurunnya minat anggota jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali

dalam semua pelaksanaan ibadah juga diungkapkan oleh informan lain, seperti yang

diungkapkan oleh I Nyoman Ruja lahir 1947 dan mantan majelis jemaat, yang

mengatakan sebagai berikut.

“ Sekarang jemaat sudah jarang menyanyikan nyanyian rohani berbahasa Balidalam ibadah minggu atau ibadah keluarga. Jemaat engsap inget kadingkidung Bali (jemaat sudah lupa-lupa ingat dengan nyanyian rohaniberbahasa Bali). Harapan tiange lebih sering dan lebih banyak kidung Balidipakai dalam ibadah sekalipun dalam ibadah minggu yang memakaibahasa Indonesia, masukkan juga kidung Bali, sehingga dengan lebih seringdipakai, jemaat lebih ingat kidung Bali” (Wawancara, 9 Agustus 2012)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan I Ketut Sadrah sebagai berikut:

“Ke depan jemaat harus lebih banyak memberikan porsi kepada nyanyianrohani berbahasa Bali dalam ibadah-ibadah jemaat, jangan seperti yang terjadisekarang, nyanyian rohani berbahasa Bali hanya menjadi semacam selingandalam ibadah. Kita tidak dapat lepas dari latar belakang kita sebagai orangBali yang seharusnya mempertahankan bahasa dan juga nyanyian rohaniberbahasa Bali” (Wawancara, 8 Agustus 2012)

Ungkapan di atas mempertegas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali yang

sedang dihadapi oleh jemaat GKPB Marga Pakerti. Nyanyian rohani berbahasa Bali

dalam realitas ibadah GKPB Jemaat Marga di Pakerti Padang Tawang hanya sebagai

selingan. Artinya, nyanyian rohani berbahasa Bali hanya dipakai sewaktu-waktu dan

Page 95: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

95

tidak secara rutin. Dengan kata lain, minat jemaat terhadap nyanyian rohani

berbahasa Bali telah mengalami penurunan.

Menurunnya minat anggota jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali

oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Padang Tawang tidak terlepas dari perubahan-

perubahan yang sedang terjadi dalam kehidupan umat. Pergeseran budaya dari

budaya lama kepada budaya dan tradisi yang baru, penguasaan bahasa Bali yang

cenderung semakin menurun di kalangan anak muda, anggapan bahwa bahasa Bali

sebagai sesuatu yang kuno dan tidak modern (Atmadja, 2010: 69) mendorong

anggota jemaat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih kepada

nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Fenomena inilah yang melatarbelakangi

keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang.

5.8. Kurangnya Usaha Menciptakan Nyanyian Rohani Berbahasa Bali yangBaru

Salah satu ciri jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang jika

dibandingkan dengan denominasi gereja yang ada di Bali lainnya adalah pemakaian

nyanyian rohani berbahasa Bali. Hal ini tidak terlepas dari upaya jemaat GKPB

Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang melakukan kontekstualisasi sehingga agama

Kristen “tertanam” (embeded) dalam budaya Bali. Abdullah (2009: 107)

mengatakan bahwa agama mengalami kontekstualisasi dalam masyarakat setempat,

sehingga agama tidak hanya dipengaruhi oleh budaya setempat, sebaliknya budaya

setempat juga dipengaruhi oleh agama itu sendiri.

Page 96: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

96

Dalam konteks di atas, bentuk dan usaha gereja melakukan kontekstualisasi

adalah menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali atau menerjemahkan nyanyian-

nyanyian rohani berbahasa Inggris, Jerman, dan Indonesia ke dalam bahasa Bali.

Usaha lain yang dilakukan GKPB dalam rangka kontekstualisasi adalah merekam

nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali hasil ciptaan yang baru dalam pita kaset

atau compact disk. Dengan cara demikian, diharapkan gereja dapat menyatu dengan

konteks Bali.

Usaha-usaha untuk menciptakan dan menerjemahkan nyanyian rohani ke

dalam bahasa Bali sudah dilakukan sejak awal agama Kristen berkembang di Bali.

Dalam rentang tahun 1940 sampai dengan 1980, tercatat ada dua buku nyanyian

rohani yang diterbitkan baik oleh GKPB maupun secara perseorangan. Nyanyian

rohani berbahasa Bali tersebut adalah Kidung Pamuji (Gambar 5.7).

Gambar 5.7. Buku Kidung Pamuji(Dok. :Parwita, 2012)

Page 97: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

97

Kidung Pamuji adalah kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali hasil terjemahan

dari nyanyian rohani berbahasa asing seperti Jerman, Inggris, Latin, dan lainnya.

Nyanyian rohani yang kedua, yaitu nyanyian rohani berbahasa Bali Marga

Pakerti Gaguritan diciptakan oleh Pendeta Made R. Ayub pada Tahun 1964 (Gambar

5.8).

Gambar 5.8. Buku Marga Pakerti Gaguritan(Dok. :Parwita, 2012)

Diterbitkannya kedua buku di atas, (Gambar 5.7 ; 5.8), menunjukkan belum

ada usaha-usaha yang cukup untuk mengkontekstualisasikan agama Kristen dalam

budaya Bali, khususnya berkaitan dengan nyanyian rohani berbahasa Bali, seperti

yang diungkapkan oleh seorang informan I Gede Trisna Putra sebagai berikut:

“Apa yang saya saksikan dan rasakan selama ini berkaitan dengannyanyian rohani berbahasa Bali, tidak ada nyanyian-nyanyian yang baru,kalaupun hanya ada satu atau dua saja, misalnya karangan Pdt. Yohanes,itupun masih belum dipakai secara luas di GKPB entah apa yang menjadialasannya. Coba perhatikan nyanyian rohani berbahasa Indonesia, kitaseperti “dibanjiri”. Ada ribuan nyanyian rohani yang diciptakan dandikemas dalam kaset atau compact disk begitu bagus, dan bagi anak-anakmuda kita, nyanyian rohani itu enak dinyanyikan dan lebih menyentuh

Page 98: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

98

kehidupan mereka, oleh karena itu ke depan gereja harus lebih mendorongseniman-seniman GKPB untuk menghasilkan nyanyian rohani yang baruyang lebih sesuai dengan konteks kekinian” (Wawancara, 8 Agustus 2012)

Ungkapan di atas mengindikasikan bahwa tidak begitu banyak nyanyian

rohani berbahasa Bali yang diciptakan.

Memasuki tahun 1990-an, terbit dua buku nyanyian rohani berbahasa Bali.

Yang pertama, yaitu buku Tembang-Tembang Kaulan, diciptakan oleh Pendeta

Nyoman Yohanes, S,Th. Kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali ini terdiri atas 17

nyanyian (Gambar 5.9).

Gambar 5.9. Buku Tembang-Tembang Kaulan(Dok. :Parwita, 2012)

Kedua, yaitu buku Gita Suksma yang terbit tahun 1999. Buku Gita Suksma

merupakan kumpulan nyanyian dari 10 pencipta yaitu Nyoman Darsana, Putu

Widhiana, Pendeta Yatma Pramana, Pendeta Ketut Waspada, Pendeta Wayan Mastra,

Ketut Sudianta, Nengah Rata Artana, Pendeta Ketut Kastu Diyoga, Pendeta Nyoman

Page 99: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

99

Yohanes, dan Pendeta Putu Widhiarsana. Gita Suksma berisi 50 nyanyian rohani

berbahasa Bali (Gambar 5.10).

Gambar 5.10. Buku Gita Suksma(Dok. :Parwita, 2012)

Setelah tahun 2000 tercatat hanya ada dua kaset nyanyian rohani berbahasa

Bali yang diterbitkan oleh jemaat GKPB Tirta Amerta di Desa Pelambingan dan

Divya Pradhana Bhakti GKPB (Gambar 5.11).

Gambar 5.11. Kaset Nyanyian Rohani Berbahasa Bali(Dok. :Parwita, 2012)

Page 100: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

100

Kenyataan bahwa tidak ada cukup banyak nyanyian rohani berbahasa Bali

yang baru membuat jemaat beralih memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Di

samping itu, nyanyian rohani berbahasa Bali dirasakan tidak lagi menjawab

kerinduan dan kebutuhan umat dalam beribadah. Selo Sumarjan (dalam Soekamto,

2001: 342) mengatakan bahwa perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu

aspek yang sama, yaitu kedua-duanya bersangkut-paut dengan penerimaan cara-cara

baru atau suatu perbaikan dalam cara masyarakat memenuhi kebutuhannya. Dengan

demikian, kurangnya ciptaan nyanyian rohani berbahasa Bali yang baru berkaitan

erat dengan cara-cara jemaat untuk memilih sesuatu yang lebih baru daripada yang

lama. Untuk memenuhi kebutuhannya, jemaat mengabaikan menciptakan nyanyian

rohani berbahasa Bali yang baru dan memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia

yang dianggap dapat memenuhi kebutuhannya.

Page 101: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

101

BAB VI

PROSES TERJADINYA KETERPINGGIRAN NYANYIAN ROHANIBERBAHASA BALI DALAM LITURGI GEREJA KRISTEN PROTESTAN

BALI JEMAAT MARGA PAKERTIDI BANJAR PADANG TAWANG

Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang terjadi dalam proses dan rentang waktu yang

cukup panjang. Pada awal perkembangan agama Kristen yaitu tahun 1930-an,

agama Kristen mulai mengadakan kontekstualisasi. Dengan melakukan

kontekstualisasi, GKPB mengadopsi budaya-budaya yang ada di sekitarnya. Salah

satu budaya yang diadopsi oleh GKPB adalah bahasa Bali. Bahasa Bali dipakai

dalam ibadah-ibadah gereja sebagai bahasa pengantar dan juga dipakai dalam

nyanyian rohani. Hal ini dilakukan dengan cara menciptakan nyanyian rohani

berbahasa Bali yang baru maupun dengan menerjemahkan nyanyian rohani dalam

bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, dan Jerman.

Dalam proses tersebut, nyanyian rohani berbahasa Bali dari tahun 1930 hingga

1960-an telah menjadi nyanyian rohani yang selalu dipakai dalam setiap ibadah

GKPB jemaat Marga Pakerti. Namun, seiring dengan perkembangan dan perubahan

jaman, pemakaian nyanyian rohani berbahasa Bali justru mengalami penurunan dan

bahkan menjadi nyanyian rohani yang terpinggirkan.

Dalam bab VI ini, akan dipaparkan proses keterpinggiran nyanyian rohani

berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang dengan

tahapan sebagai berikut : tahun 1960 hingga 1980an. Dalam masa tersebut,

nyanyian rohani berbahasa Bali mulai mengalami keterpinggiran. Dalam rentang

Page 102: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

102

waktu tersebut, kehidupan gereja ditandai dengan beberapa hal yang penting yaitu

diterterbitkannya dan mulai dipakainya secara resmi liturgi berbahasa Indonesia tahun

1964 oleh GKPB. Tahun 1980 hingga 1990-an, nyanyian rohani mulai ditinggalkan

(terpinggirkan) dalam ibadah-ibadah umat. Masa tersebut ditandai dengan terbitnya

buku-buku nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan kemudian dipakai secara luas

oleh gereja-gereja di Indonesia termasuk GKPB Marga Pakerti di banjar Padang

Tawang. Masa 1990 hingga 2000-an adalah rentang waktu di mana nyanyian rohani

berbahasa Bali telah mengalami keterpinggiran.

6.1. Pemakaian Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Tahun 1930 hingga 1960-an

Nyanyian rohani berbahasa Bali yang dipakai oleh GKPB jemaat Marga Pakerti

di Banjar padang Tawang sesungguhnya tidak terlepas dari usaha gereja untuk

melakukan kontekstualisasi. Ketika agama Kristen berkembang di Bali, agama

Kristen kental dengan budaya Eropanya. Hal itu disebabkan karena memang agama

Kristen dibawa oleh misionaris-misionaris dari Eropa. Setelah berkembang di Eropa,

agama Kristen dipengaruhi atau lebih tepatnya agama Kristen mengadopsi budaya-

budaya Eropa yang berkembang pada saat itu. Coe (1992: 14-15) mengatakan bahwa

pemribumian atau kontekstualisasi harus dilakukan manakala Injil bergerak dari satu

lahan budaya ke dalam budaya lainnya dan mesti diterjemahkan ulang, ditafsirkan

ulang, dan diungkapkan secara segar dalam budaya yang baru. Ketika agama Kristen

berkembang di Bali, agama Kristen mengadopsi budaya dan tradisi Bali untuk

mengungkapkan Injil secara segar dalam budaya yang baru.

Page 103: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

103

Salah satu usaha kontekstualisasi yang dilakukan oleh GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang adalah mengadopsi bahasa Bali baik sebagai bahasa

pengantar maupun nyanyian rohani berbahasa Bali yang dipakai dalam peribadatan.

Salah satu nyanyian yang sudah dipakai sejak tahun 1930-an masa-masa awal

perkembangan GKPB adalah.

Ngutang weci sehing YesusNegen salib ngiring IdaPercaya ja depang subaMangda raga polih rahayu

Nyanyian lain yang sering dinyanyikan oleh jemaat pada masa awal perkembangan

gereja di Bali adalah nyanyian rohani bercampur bahasa Indonesia yang

dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja tahun 1931 demikian.

Lihatlah Sang Hyang IsahPujilah Sang Hyang IsahSang Hyang kabentang di GolgotaPujilah Ida Sang Hyang Yesus

Dalam perjalanan selanjutnya, perkembangan nyanyian rohani berbahasa Bali

ditandai dengan terbitnya buku nyanyian rohani berbahasa Bali dengan judul Kidung

Pamuji. Buku Kidung Pamuji adalah nyanyian rohani yang berisi kumpulan nyanyian

rohani berbahasa Bali yang berasal dari terjemahan bahasa Indonesia, Inggris,

Belanda, dan Jerman. Nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut di atas, menjadi

nyanyian rohani yang dipakai dalam setiap peribadatan umat, baik dalam ibadah

minggu maupun ibadah yang dilakukan di rumah tangga maupun dalam kelompok

lainnya. Wayan Gama seorang mantan majelis jemaat menuturkan demikian.

Page 104: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

104

“Nyanyian rohani berbahasa Bali sudah dipakai sejak tahun 1930-an olehGKPB Jemaat Marga Pakerti. Nyanyian itu baik dipakai dalam ibadah-ibadahumum maupun ibadah keluarga. Nyanyian rohani berbahasa Bali sepertiSuryane Sampun Surup (salah satu judul nyanyian rohani berbahasa Bali dalamKidung Pamuji) adalah nyanyian rohani yang selalu dinyanyikan ketika soremenjelang petang, ketika warga jemaat sudah pulang dari sawah dan mauistirahat. Bukan hanya itu saja, pendeta yang memimpin ibadah minggu jugamemakai bahasa pengantar bahasa Bali. dan pada waktu itu belum banyakdikenal nyanyian rohani berbhasa Indonesia” (Wawancara, tanggal 27 Juli2012).

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa nyanyian rohani pada awal

perkembangan gereja dipakai secara penuh dalam peribadatan umat di GKPB jemaat

Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Artinya, ibadah umum yang dilaksanakan

setiap hari minggu memakai secara penuh baik nyanyian rohani berbahasa Bali

maupun liturgi berbahasa Bali, tanpa diselingi atau disisipi nyanyian rohani

berbahasa Indonesia. Sebagai contoh, dalam satu kali ibadah umum jemaat, jemaat

menyanyikan enam buah nyanyian rohani, maka semua nyanyian rohani tersebut

adalah nyanyian rohani berbahasa Bali. Hal yang sama juga diungkapkan oleh I

Nyoman Ruja, lahir tahun 1947, termasuk salah seorang generasi pertama umat

kristen di GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang demikian.

“Tiang (saya) masih ingat bagaimana kidung berbahasa Bali dipakai dalamsetiap ibadah, jarang sekali, jemaat memakai kidung berbahasa Indonesia.Jarang jemaat yang tahu kidung berbahasa Indonesia dan saya kirabanyak jemaat ketika itu yang tidak bisa berbahasa Indonesia sehinggasetiap ibadah jemaat memakai kidung rohani Bali dan itu berlangsungkira-kira sampai tahun 1960-an setelah itu baru sedikit-demi sedikitnyanyian rohani berbahasa Indonesia dipakai dalam ibadah jemaat”(Wawancara, tanggal 9 Agustus 2012)

Dengan ungkapan di atas dapat dikatakan bahwa jemaat khususnya mereka yang

melalui masa tahun 1940 hingga 1950-an, merasakan dan menyaksikan bagaimana

Page 105: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

105

nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai secara penuh dalam ibadah jemaat. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa usaha GKPB Marga Pakerti melakukan

kontekstualisasi berjalan dengan baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Coe (1992:

14-15) bahwa agama harus melakukan kontekstualisasi atau “pemribumian”

manakala agama bergerak dari satu budaya ke budaya yang lainnya. Pendapat Coe

ini terealisasi dalam perkembangan sejarah agama Kristen GKPB Marga Pakerti

Padang Tawang. Pendapat Coe di atas sejalan dengan apa yang dikatakan oleh

Abdullah (2009: 107) yang mengatakan bahwa agama mengalami kontekstualisasi

dalam masyarakat setempat; bukan hanya agama yang dipengaruhi oleh budaya

setempat, tetapi sebaliknya budaya setempat juga dipengaruhi oleh agama. Ketika

agama dipengaruhi oleh budaya lokal dan sebaliknya budaya lokal dipengaruhi oleh

agama, maka agama akan embedded dalam masyarakat lokal (Abdullah, 2009: 107).

Hal inilah yang dialami oleh nyanyian rohani berbahasa Bali dalam perkembangan

agama Kristen di Bali. Nyanyian rohani berbahasa Bali yang diadopsi dari budaya

Bali dengan segera dapat diterima dalam agama Kristen dan dipakai dalam ibadah-

ibadah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam masa tahun 1930 hingga

1960-an nyanyian rohani berbahasa Bali dapat diterima dengan baik dan dipakai

dalam setiap ibadah umat.

6.2. Pemakaian Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Tahun 1960 hingga 1980-an:Nasionalisasi Nyanyian Rohani Bahasa Indonesia.

Bahasa memegang peran penting dalam hubungan antarmanusia dan antara

manusia dengan Tuhan. Dengan bahasa, manusia dapat saling berkomunikasi dan

saling memahami. Dalam kehidupan beragama yaitu hubungan manusia dengan

Page 106: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

106

Tuhan, bahasa juga memiliki peran yang penting. Dengan bahasa, manusia

menyampaikan maksud dan keinginannya kepada Tuhan. Dengan bahasa juga, Tuhan

menyampaikan firman-Nya kepada manusia.

Menyadari hal di atas, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang sejak

awal perkembangannya memakai bahasa Bali dalam semua aspek kehidupan. Bahasa

Bali dipakai dalam komunikasi sehari-hari, dalam acara-acara resmi seperti

peminangan maupun dalam ibadah-ibadah gereja. Dalam ibadah, GKPB Marga

Pakerti Padang di Banjar Padang Tawang selain memakai liturgi bahasa Bali juga

memakai nyanyian rohani berbahasa Bali.

Seiring dengan perubahan jaman dan berjalannya waktu, nyanyian rohani

berbahasa Bali sedikit demi sedikit telah mengalami keterpinggiran. Gereja dalam

ibadah-ibadahnya lebih mengutamakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Ada

beberapa alasan yang diungkapkan oleh jemaat mengapa ibadah lebih mengutamakan

nyanyian rohani berbahasa Indonesia, yaitu anak-anak muda jemaat GKPB Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang banyak yang tidak dapat memahami bahasa Bali.

Seperti ungkapan informan Ketut Sadrah sebagai berikut.

“Bahasa Bali seperti barang langka sekarang. Anak-anak muda jarang yangmau memakai bahasa Bali, mungkin mereka malu dan gengsi kalau memakaibahasa Bali tetapi itulah realitas kita sekarang. Gereja seperti menghadapibuah simalakama, kalau gereja terus berjalan dan tidak memperhatikanperkembangan ini bagaimana anak-anak muda itu bisa berkembang dalamkerohaniannya. Dapat saja gereja terus memakai bahasa Bali tetapi sayatakut generasi muda akan menjadi anak-anak yang tidak mengalamipertumbuhan dalam kerohaniannya” (Wawancara, 8 Agustus 2012)

Page 107: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

107

Ungkapan yang sama diungkapkan oleh Nyoman Daud Sunarka demikian.

“Saya contohkan dengan anak saya, dia tidak mengerti bahasa Bali, otomatisketika ada ibadah keluarga saya memakai bahasa Indonesia dan memakainyanyian rohani berbahasa Indonesia supaya dia juga dapat mengerti apa yangdikatakan ketika ibadah. Jadi saya setuju kalau gereja memakai nyanyianrohani berbahasa Indonesia” ( Wawancara, 30 Juli 2012)

Ungkapan di atas menggambarkan realitas bahwa anak-anak muda anggota jemaat

banyak yang tidak lagi memahami bahasa Bali. Hal ini juga berimplikasi pada

pemilihan penggunaan nyanyian rohani berbahasa Indonesia dari pada nyanyian

rohani berbahasa Bali.

Ketidakpahaman anak-anak muda terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali

dan ‘banjirnya’ nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia seakan menjadi

kesempatan bagi anak-anak muda untuk beralih menggunakan nyanyian rohani

berbahasa Indonesia. Dari sifatnya, memang nyanyian rohani populer berbahasa

Indonesia lebih dinamis dan energik. Di samping itu, ada anggapan dari anggota

jemaat bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai nyanyian yang tidak mengikuti

jaman (kuno).

Nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dapat mengungkapkan pergumulan dan

persoalan-persoalan anggota jemaat di masa kini. Dengan alasan tersebut, umat

meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian

rohani berbahasa Indonesia. Salah satu buku nyanyian rohani berbahasa Indonesia

yang terbit tahun 1974 ditunjukkan dalam gambar di bawah (Gambar 6.1)

Page 108: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

108

Gambar 6.1. Buku Nyanyikanlah Kidung Baru, Terbit 1974(Dok. :Parwita, 2013)

Selain alasan di atas, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali juga

tidak terlepas dari usaha pemerintah dan gereja untuk menasionalisasikan bahasa

Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa selayaknya dipahami

dan dipakai oleh semua orang Indonesia, termasuk di dalamnya anggota gereja.

Upaya memperbanyak nyanyian rohani berbahasa Indonesia secara tidak

langsung menjadi sebuah upaya gereja untuk menasionalisasikan bahasa Indonesia.

Namun demikian, proses nasionalisasi tidak selalu bermakna positif. Nasionalisasi,

termasuk di dalamnya nasionalisasi bahasa Indonesia menyebabkan pengabaian

terhadap keberadaan kebudayaan (nyanyian rohani berbahasa Bali) yang beragam

(Abdullah, 2009: 71).

Dalam perkembangan seperti di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali mulai

terpinggirkan. Dalam rentang waktu 1980 hingga 1990-an, nyanyian rohani

berbahasa Bali hanya dipakai satu kali dalam sebulan, yaitu dalam ibadah minggu

pertama. Di luar itu, ibadah dilayani dalam bahasa Indonesia dan nyanyian yang

Page 109: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

109

dipakai adalah nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh

seorang informan Wayan Gama demikian.

“Kira-kira mulai tahun 1980-an, secara perlahan nyanyian rohani berbahasaBali terus mengalami kemunduran dan puncaknya tahun 1990-an nyanyianrohani berbahasa Bali mulai ditinggalkan. Sekitar tahun 1980-an, masihdipakai dua kali sebulan tetapi sekarang hanya sekali saja, itupun masihdiselingi dengan bahasa Indonesia dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia”(Wawancara, 27 Juli 2012)

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa sejak tahun 1980-an jemaat secara perlahan

telah meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan

nyanyian rohani berbahasa Indonesia.

Gambaran situasi di atas dapat disebut sebagai masa peralihan atau masa

transisi. Pada satu sisi, nyanyian rohani masih digunakan dalam liturgi tetapi pada

saat yang sama ada penolakan khususnya dari generasi muda dan nyanyian rohani

mulai ditinggalkan. Piliang (2010: 67) mengatakan bahwa dalam masa transisi akan

terjadi persaingan antara informasi keagamaan dengan budaya populer dalam menarik

perhatian dan mengendalikan pikiran setiap orang. Dalam skala tertentu, informasi

budaya populer cenderung memenangkan persaingan. Hal itu disebabkan karena

budaya populer lebih menampilkan ide atau gagasan yang lebih menyenangkan, lebih

menarik, lebih membebaskan, lebih progresif, dan lebih kreatif.

Dalam proses di atas, sejak tahun 1970-an secara perlahan tetapi pasti

nyanyian rohani berbahasa Bali mulai ditinggalkan dan jemaat beralih menggunakan

nyanyian rohani berbahasa Indonesia.

Page 110: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

110

Selain hal di atas, tahun 1964 GKPB juga menerbitkan liturgi berbahasa

Indonesia. Liturgi dalam peribadatan agama Kristen memegang peran yang penting.

Liturgi mengatur pelaksanaan ibadah, baik dalam urutan pelaksanaan, maupun apa

yang harus diucapkan oleh seorang pemimpin ibadah dan umat yang menjadi peserta

ibadah. Dalam liturgi, sudah dicantumkan secara lengkap hal-hal yang berkaitan

dengan ucapan pemimpin ibadah, tugas majelis, respon jemaat, dan hal-hal yang

dilakukan oleh setiap jemaat peserta ibadah, sehingga pelaksanaan ibadah berjalan

dengan lancar.

Salah satu contoh urut-urutan liturgi berbahasa Bali, yang dipakai pada

minggu pertama setiap bulan adalah seperti di bawah ini. Liturgi seperti di bawah ini

adalah liturgi baku yang sudah ditetapkan pemakaiannya oleh Sinode GKPB.

1. PacawisanMajelis : Nuntun pasamuan makidungPasamuan : Ngadeg saha makidung

2. PangengkabPandita : Nguncarang votum miwah salamPandita : Sameton pasamuan, Ida Sang Hyang Widhi

Wasa ledang rauh pabuat iraga. Sane mangkiniraga wenten ring ayun Idane. Ngiring ja iragangasorang dewek ring ayun Idane, lanngangken saha sasarengan inucap:

Pendeta/Pasamuan : Pitulungan iragane rauh saking Ida Sang HyangWidhi Wasa, sane ngawentenang akasa miwahpratiwi. Ida tetep setia ngantos selamin-laminipun.

Pandita : Sutrepti rahayu saking Ida Sang Hyang WidhiWasa: Sang Aji, Sang Putra, miwah Ida SangHyang Roh Suci pabuat semeton.

Pesamuan : Sutrepti rahayu taler pabuat sameton. Amin3. Sabda Pamahbah

Pandita : Ngawacen sabdaPasamuan : Nyaurin saha makidung

4. Kidung Mazmur

Page 111: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

111

Pasamuan : Makidung5. Pangastawan Syukur Miwah Pangangken Dosa

Pandita : NgastawaPesamuan : Makidung

6. Orti PanugrahanPandita : Ngawacen orti panugrahanPasamuan : Ngadeg

7. Pituduh Urip AnyarPandita : Ngawacen pituduh urip anyarPasamuan : Makidung

8. Ngawacen Cakepan SuciPandita : NgastawaMajelis : Ngawacen ring sinalih tunggil kitabPandita : Darma WacanaPasamuan : Makidung

9. Pangangken Pangegan Rasuli10. Pangastawan Syafaat11. Aturan Pinyungsung

Pandita : Ngawacen cakepan suciPasamuan : MakidungMajelis : Ngastawa

12. PamuputPasamuan : MakidungPandita : Sameton Pasamuan, mawali ja sameton saha

rahayu, tur tampi ja mertan Ida Sang HyangWidhi wasa; Sih panugrahan Ida Sang HyangWidhi Wasa, samaliha patunggilan Ida SangHyang Yesus, Sang Hyang Roh Suci, dumadaknunggil ring semeton sareng sami.

Pasamuan : Haleluya amin.

Dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

1. PembukaanMajelis : Mengajak jemaat menaikan pujianJemaat : Menaikan nyanyian pembukaan

2. Votum dan SalamPendeta : Sidang jemaat, Tuhan Yesus berkenan hadir dalam

persekutuan kita. Sekarang kita berada di hadapan-Nya. Marilah kita merendahkan diri di hadapan Tuhandan mengaku dengan bersama-sam mengucapkan.

Pendeta/Jemaat : Pertolongan kita datangnya dari Tuhan Yangmenjadikan langit dan bumi. Ia tetap setia untukselama-lamanya.

Page 112: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

112

Jemaat : Salam sejahtera bagi saudara juga. Amin3. Pembacaan Introitus

Pendeta : Membaca ayat mingguJemaat : Menaikan nyanyian sambutan

4. Nyanyian MazmurJemaat : Membaca mazmur

5. Doa Syukur dan Pengakuan DosaPendeta : Menaikan doa syukur dan pengakuan dosaJemaat : Menaikan nyanyian pengakuan dosa

6. Berita AnugerahPendeta : Menyampaikan berita anugerahJemaat : Berdiri

7. Petunjuk Hidup BaruPendeta : Membaca petunjuk hidup baruJemaat : Menaikan nyanyian sambutan

8. Pemberitaan FirmanPendeta : Menaikkan doaMajelis : Membaca AlkitabPendeta : Menyampaikan kotbahJemaat : Menyambut dengan menaikan pujian atau

melakukan saat teduh9. Pengakuan Iman (biasanya dipakai nyanyian rohani)10. Doa Syafaat11. Persembahan Syukur

Pendeta : Membaca satu ayat dari AlkitabJemaat : Menaikan pujian dan mengumpulkan persembahanMajelis : Menaikkan doa persembahan

12. Penutup IbadahJemaat : Nyanyian penutupPendeta : Jemaat sekalian, sekarang kembalilah dengan sejahtera,

terimalah berkat Tuhan. Anugerah dari Allah Bapa,persekutuan dengan Tuhan Yesus Kristus dan RohKudus kiranya menyertai saudara-saudara kini sampaiselama-lamanya.

Jemaat : Haleluya....... amin.

Pelaksanaan urut-urutan liturgi di atas dijelaskan sebagai berikut. Pada bagian

pecawisan (pembukaan), pendeta, majelis, dan beberapa orang yang ambil bagian

dalam ibadah melaksanakan arak-arakan. Seorang majelis yang berjalan paling depan

Page 113: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

113

membawa sebuah lilin yang menyala sebagai simbol kehadiran Allah. Majelis kedua

membawa Alkitab, diikuti oleh pendeta dan majelis yang lainnya.

Sementara arak-arakan berjalan memasuki gedung gereja, seorang majelis

yang lain mengajak jemaat berdiri dan menaikkan nyanyian pembukaan. Setelah tiba

di depan altar, semua peserta arak-arakan berdiri menghadap ke altar dan pendeta

yang memimpin ibadah naik ke mimbar menyampaikan votum dan salam, selanjutnya

dan memimpin ibadah sampai akhir (Gambar 6.2).

Gambar 6.2. Pendeta I Made Dana, S.Th. MenyampaikanVotum dan Salam

(Dok. :GKPB Marga Pakerti, 1989)

Contoh liturgi di atas menunjukkan urut-urutan pelaksanaan ibadah. Setiap

peserta ibadah baik pendeta, majelis, dan jemaat yang mengikuti ibadah mengikuti

urut-urutan dalam liturgi tersebut dengan tertib (Gambar 6.3).

Page 114: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

114

Gambar 6.3 Suasana Ibadah Minggu untuk Jemaat Dewasa(Dok. :Parwita, 2012)

Selain liturgi berbahasa Bali yang sudah dipakai oleh jemaat seperti di atas,

pada tahun 1964 juga telah selesai disusun liturgi berbahasa Indonesia dan pada tahun

yang sama ditetapkan pemakaiannya dalam ibadah-ibadah resmi di semua jemaat

GKPB. Liturgi ini kemudian direvisi kembali pada tahun 1992 (Gambar 6.4).

Gambar 6.4 Liturgi atau Tata Ibadah Berbahasa Indonesia(Dok. :Parwita, 2012)

Page 115: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

115

Penyusunan liturgi berbahasa Indonesia ini tidak terlepas dari upaya jemaat

menjawab perubahan jaman. Dalam kehidupan jemaat yang semakin majemuk,

liturgi berbahasa Bali dirasa sangat ekslusif. Liturgi berbahasa Bali hanya dapat

dimengerti oleh jemaat yang berasal dari etnis Bali dan berbahasa Bali, sementara

anggota jemaat yang berasal dari etnis, bahasa lain tidak memahami bahasa Bali.

Seperti yang dituturkan oleh informan I Wayan Suarta sebagai berikut:

“Liturgi memegang peranan penting dalam ibadah. Liturgi selain mengaturjalannya ibadah, sesungguhnya menjadi ungkapan dan respon jemaatterhadap karya Tuhan, oleh karena itu liturgi juga harus dipahamai olehanggota jemaat yang memiliki bahasa yang berbeda. Bukan saja anggotajemaat dari etnis yang berbeda, kenyataan sekarang banyak anak-anak darianggota jemaat yang dari Bali tidak mengerti bahasa Bali. Menjawabperkembangan jaman yang demikian maka menyusun liturgi dalam bahasaIndonesia sudah menjadi keharusan jemaat, karena anggota jemaat bukansaja dari etnis Bali” (Wawancara, 29 Agustus 2012)

Pernyataan di atas mengungkapkan bahwa penyusunan liturgi dalam bahasa

Indonesia sudah menjadi kebutuhan yang mendesak mengingat perkembangan jemaat

yang sangat pesat.

Usaha jemaat untuk menyusun sebuah liturgi yang baru berbahasa Indonesia

sesungguhnya tidak terlepas dari usaha untuk menjawab dan mengantisipasi

perubahan-perubahan baik yang terjadi dengan cepat atau pun lambat. Dalam

kehidupan umat, setidaknya ada dua perubahan yang nampak, yaitu pergantian

generasi dari generasi tua kepada generasi muda dan komposisi anggota jemaat dari

yang dulunya homogen menjadi heterogen. Kedua perubahan itu juga akan

menimbulkan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda. Sebagai contoh, ketika jemaat

masih homogen, liturgi dan nyanyian rohani berbahasa Bali dapat dipahami oleh

Page 116: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

116

semua jemaat yang mengikuti ibadah. Akan tetapi, ketika anggota jemaat menjadi

heterogen, maka dibutuhkan liturgi dan nyanyian rohani yang dapat dipahami oleh

semua umat yang mengikuti ibadah. Dalam hal ini, keputusan untuk menyusun

liturgi berbahasa Indonesia dan mengganti nyanyian rohani berbahasa Bali dengan

nyanyian rohani berbahasa Indonesia menjadi semacam simbol yang dapat dibaca

dan dipahami oleh etnik dan budaya yang berbeda. Abdullah (2009: 83) mengatakan

bahwa dalam lingkungan yang multietnis yang memiliki ekspresi etnisitas yang

berbeda-beda dengan asal-usul yang berbeda pasti memiliki suatu simbol universal

yang dapat dikode atau dibaca, paling tidak, oleh kelompok etnis tersebut.

6.4. Pemakaian Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Tahun 1990 hingga 2012-an .

Sejak akhir tahun 1980an, Banjar Padang Tawang mengalami perubahan

yang cukup drastis baik dalam bidang sarana dan prasarana, ekonomi, maupun sosial

budaya. Dalam bidang sarana dan prasarana khususnya transportasi, perubahan

ditandai dengan perbaikan akses jalan yang melewati banjar Padang Tawang. Jalan

yang sebelumnya masih jalan tanah dan terkadang becek pada musim hujan, pada

akhir tahun 1980-an telah diaspal dan dapat dilalui oleh kendaraan bermotor (lihat

Gambar 5.1). Semakin baiknya sarana jalan mendorong anggota masyarakat

memiliki kendaraan roda dua maupun roda empat. Selain itu, perubahan juga

ditandai dengan masuknya sarana telekomunikasi seperti telepon, televisi, dan

internet. Perubahan-perubahan di atas juga mempengaruhi kehidupan ekonomi

masyarakat di Banjar Padang Tawang secara keseluruhan, termasuk di dalamnya

umat GKPB Jemaat Marga Pakerti.

Page 117: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

117

Berubah dan berkembangnya kehidupan masyarakat, mau tidak mau juga

mengubah kehidupan sosial dan budaya umat GKPB Jemaat marga Pakerti Padang

Tawang. Dalam konteks di atas, termasuk pemakaian nyanyian rohani berbahasa Bali.

Dalam kondisi yang terus mengalami perubahan seperti di atas, nyanyian rohani

berbahasa Bali yang pada era sebelumnya telah embeded kini mulai ditinggalkan

oleh pemakainya dengan kata lain dapat dikatakan telah mengalami keterpinggiran.

Seorang informan I Ketut sadrah mengatakan demikian.

“Ada pengaruh yang sangat besar antara keadaan sebelum tahun 1970-andengan keadaan sekarang tahun 1990-an. Dulu keadaan tidak sepertisekarang, jalan belum diaspal jemaat belum banyak yang punya televisi,kendaraan hanya beberapa orang yang punya, tapi sekarang semua itulumbrah. Saya percaya hal ini mempengaruhi cara pandang jemaat terhadapsegala sesuatu, termasuk apa yang kita pakai di gereja. sekarang Gerejasudah dilengkapi dengan LCD, sound system yang bagus alat-alat musikband jadi wajar juga kemudian jemaat meninggalkan apa yang berbau kuno (Nyanyian rohani berbahasa Bali)” (Wawancara 8 Agustus 2012)

Hal yang sama juga dikatakan oleh informan Nyoman Ruja demikian.

“Kalau perkiraan saya tidak salah, nyanyian rohani berbahasa Bali mulaidigeser oleh nyanyian rohani berbahasa Indonesia sekitar tahun 1980-an.Awalnya nyanyian rohani berbahasa indonesia hanya dipakai sekali dalamsebulan pada waktu ibadah minggu, tetapi sekarang sudah terbalik, bahkanakhir-akhir ini hampir tidak pernah. Hal ini tergantung pendetanya. Kalaupendetanya bukan orang dari Bali, maka dapat dipastikan tidak ada bahasaBali” (wawancara, 27 Juli 2012)

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ditinggalkannya nyanyian rohani

berbahasa Bali oleh umat GKPB Marga Pakerti sudah mulai sejak tahun 1980-an dan

kemudian mencapai puncaknya memasuki tahun 1990-an hingga sekarang.

GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang yang sebelumnya

menganut budaya agraris di mana sebagian besar penduduknya bertani, kini bergerak

Page 118: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

118

ke arah budaya modern. Kehidupan sosial seperti itu menurut Touraine (Piliang,

2010: 1760) disebut sebagai masyarakat yang telah kehilangan kesatuannya, dan

kini tak lebih dari sebuah arus perubahan yang tak henti-hentinya. Dalam masyarakat

seperti itu, aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan

nilai-nilai dan norma-norma sosial akan tetapi mengikuti strateginya masing-masing.

Dalam konteks itu, maka budaya tradisional yang diwakili nyanyian rohani

berbahasa Bali mengalami persaingan dengan budaya modern yang diwakili oleh

nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Seperti dikatakan oleh Piliang (2010: 67),

dalam kebudayaan, informasi keagamaan bersaing dengan informasi budaya populer

dalam menarik perhatian dan mengendalikan pikiran setiap orang. Dalam skala

tertentu, informasi budaya populer cenderung memenangkan persaingan, disebabkan

budaya populer lebih menampilkan ide dan gagasan yang lebih menyenangkan. Jika

pemahaman di atas dikaitkan dengan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali

dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti, dapat dikatakan bahwa keterpinggiran

terjadi oleh karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat

Banjar Padang Tawang. Dalam proses perubahan-perubahan tersebut, nyanyian

rohani tidak dapat dipertahankan lagi sebagai nyanyian rohani yang dipakai dalam

liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti; dengan kata lain, nyanyian rohani berbahasa

Bali terpinggirkan.

Page 119: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

119

BAB VII

IMPLIKASI KETERPINGGIRAN NYANYIAN ROHANI BERBAHASABALI DALAM LITURGI GEREJA KRISTEN PROTESTAN BALI JEMAAT

MARGA PAKERTI DI BANJAR PADANG TAWANG

Proses perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia di bawah

bayang-bayang globalisasi menimbulkan berbagai implikasi terhadap kehidupan.

Implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dapat diamati, yaitu

pelaksanaan liturgi yang tidak utuh, berkurangnya peran pendeta dalam pelaksanaan

ibadah, gereja terbuka bagi semua orang, beragamnya unsur budaya etnik dalam

liturgi gereja, dan terjadi kelompok etnik multikultural, berkurangnya nuansa budaya

Bali dalam liturgi, memperkuat persekutuan, dan penghayatan iman yang kontekstual.

7.1. Kurang Utuhnya Pelaksanaan Liturgi

Dalam sejarah perkembangan gereja, munculnya liturgi seperti yang dimiliki

oleh jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang telah melewati proses

panjang. Pada awalnya, ibadah gereja berjalan bebas dan tidak diatur dalam sebuah

liturgi. Setiap orang yang datang bebas untuk berdoa, menyanyi, dan membaca

Alkitab, sehingga terjadi kekacauan dalam pelaksanaan liturgi. Jemaat yang hadir

tidak dapat mengikuti ibadah dengan khusuk dan khidmat karena pada saat yang

bersamaan ada yang berdoa sementara yang lainnya menyanyikan pujian. Liturgi

atau yang sering disebut tata ibadah, mengatur dan menuntun jalannya ibadah

sehingga ibadah berjalan dengan teratur dan tertib. Contoh liturgi yang lengkap dan

baku seperti di bawah ini.

Page 120: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

120

1. PembukaanMajelis : Mengajak jemaat menaikkan pujianJemaat : Menaikkan nyanyian pembukaan

2. Votum dan SalamPendeta : Sidang jemaat, Tuhan Yesus berkenan hadir dalam

persekutuan kita. Sekarang kita berada di hadapan-Nya. Marilah kita merendahkan diri di hadapan Tuhandan mengaku dengan bersama-sama mengucapkan.

Pendeta/Jemaat : Pertolongan kita datangnya dari Tuhan Yangmenjadikan langit dan bumi. Ia tetap setia untukselama-lamanya.

Jemaat : Salam sejahtera bagi saudara juga. Amin3. Pembacaan Introitus

Pendeta : Membaca ayat mingguJemaat : Menaikkan nyanyian sambutan

4. Nyanyian MazmurJemaat : Membaca Mazmur

5. Doa Syukur dan Pengakuan DosaPendeta : Menaikkan doa syukur dan pengakuan dosaJemaat : Menaikkan nyanyian pengakuan dosa

6. Berita AnugerahPendeta : Menyampaikan berita anugerahJemaat : Berdiri

7. Petunjuk Hidup BaruPendeta : Membaca petunjuk hidup baruJemaat : Menaikan nyanyian sambutan

8. Pemberitaan FirmanPendeta : Menaikkan doaMajelis : Membaca AlkitabPendeta : Menyampaikan kotbahJemaat : Menyambut dengan menaikan pujian atau

melakukan saat teduh9. Pengakuan Iman (biasanya dipakai nyanyian rohani)10. Doa Syafaat11. Persembahan Syukur

Pendeta : Membaca satu ayat dari AlkitabJemaat : Menaikan pujian dan mengumpulkan persembahanMajelis : Menaikkan doa persembahan

12. Penutup IbadahJemaat : Nyanyian penutupPendeta : Jemaat sekalian, sekarang kembalilah dengan sejahtera,

terimalah berkat Tuhan. Anugerah dari Allah Bapa,persekutuan dengan Tuhan Yesus Kristus dan Roh

Page 121: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

121

Kudus kiranya menyertai saudara-saudara kini sampaiselama-lamanya.

Jemaat : Haleluya........., amin.

Semua pokok-pokok yang ada dalam liturgi dijalankan secara teratur dan

lengkap. Namun, dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia

atau Inggris, dan terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali, mengubah

pelaksanaan liturgi di GKPB jemaat Marga Pakerti menjadi tidak utuh. Tidak

utuhnya pelaksanaan liturgi dapat dilihat dalam beberapa hal, yaitu dihapusnya

pembacaan Mazmur, dihapusnya penyampaian berita anugerah, dan pembacaan

petunjuk hidup baru oleh pendeta, dan pengakuan iman rasuli. Hal itu dilakukan

karena dianggap tidak relevan. Selain itu, dalam liturgi yang baku, nyanyian rohani

yang dinyanyikan dalam satu ibadah ada enam nyanyian rohani sedangkan dalam

liturgi bentuk barunya nyanyian rohani yang dipakai dalam keseluruhan ibadah

maksimal hanya empat. Dalam liturgi yang baku, masing-masing nyanyian rohani

dinyanyikan sekali, sedangkan dalam liturgi yang telah diubah, nyanyian rohani

dinyanyikan dengan cara berulang-ulang. Contoh liturgi yang tidak lengkap sebagai

berikut.

o Pembawa acara membuka ibadah dalam doao Nyanyian penyembahan (dinyanyikan berulang-ulang)o Doa pengakuan dosao Nyanyian menyambut firman Tuhano Pendeta berdoa, membaca Alkitab dan berkotbaho Nyanyian Sambutan (dinyanyikan berulang-ulang)o Nyanyian Syukur (dinyanyikan berulang-ulang)o Doa penutup

Contoh liturgi di atas menunjukan liturgi yang tidak utuh. Pelaksanaan liturgi

yang tidak utuh sebagaimana yang telah dibakukan mempengaruhi cara jemaat

Page 122: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

122

beribadah dan suasana ibadah. Jemaat dalam mengikuti ibadah tidak lagi beribadah

dengan tenang dan khidmat tetapi lebih banyak berdiri dan bergerak mengikuti

irama nyanyian dan musik yang dimainkan. Seperti yang dituturkan oleh informan I

Wayan Gama mantan majelis jemaat:

“Dulu jika ibadah dilaksanakan memakai bahasa Bali, jemaat beribadahdengan tenang dan khidmat. Jemaat tidak bertepuk tangan, tidak ada yangberbicara sendiri-sendiri, semuanya sudah diatur tetapi sekarang ketikaibadah tidak lagi mengikuti pola yang baku (yang dimaksud liturgi yangbaku) saya merasa terganggu. Apa lagi kalau ada orang bertepuk tangan dantertawa, rasanya tidak cocok dengan suasana ibadah seperti itu. Saya rasa inidipengaruhi oleh gaya ibadah gereja-gereja “karismatik” yang sekarangbanyak berkembang di Bali ” (Wawancara, 27 Juli 2012).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa masuknya nyanyian rohani berbahasa

Indonesia dan terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali berimplikasi pada

perasaan jemaat yang mengikuti ibadah. Implikasi yang dimaksud bisa berarti

menguatkan atau melemahkan penghayatan iman jemaat, bisa berarti jemaat

semakin khusuk dalam ibadah atau sebaliknya mengurangi kekhusukan ibadah.

Bagi generasi muda, perubahan seperti itu dianggap sebagai suatu yang bersifat

dinamis, seperti yang diungkapkan oleh Gede Trisna Putra demikian:

“Perubahan bentuk liturgi sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar. Liturgiyang kita pakai sampai sekarang ini sudah disusun sejak abad pertengahan,yaitu ketika gereja berkembang di negara-negara Eropa dan Amerika, tetapidunia terus berkembang dan sekarang sudah jauh berubah, gereja harusnyamenyesuaikan diri termasuk juga menyesuaikan liturginya. Bagaimanapunkonteks sekarang berbeda dengan abad pertengahan di mana dulu gerejaberkembang. Seharusnya liturgi bersifat dinamis, mengikuti perkembanganjaman” (Wawancara, 8 Agustus 2012)

Page 123: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

123

Ungkapan di atas condong melihat pelaksanaan liturgi yang tidak utuh sebagai

sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini didasarkan pada perkembangan zaman dan

kebutuhan umat yang juga terus berubah dan berkembang.

Tindakan jemaat untuk melakukan penyesuaian terhadap pelaksanaan liturgi

di atas tidak lepas dari sebuah upaya adaptasi. Perubahan terhadap lingkungan baik

yang terjadi dengan cepat maupun lambat akan mempengaruhi penghuninya. Karena

itu, manusia akan berusaha melakukan adaptasi terhadap perubahan itu

(Soemarwoto, 1977: 48). Selanjutnya, Bennet (1976: 257) menyebutkan bahwa

adaptasi manusia tidak semata-mata ditentukan oleh keinginan, kebutuhan, dan

tujuannya, tetapi ditentukan pula oleh situasi lingkungan setempat. Dalam konsep

adaptasi di atas, lingkungan yang dimaksudkan adalah budaya modern dengan segala

aspeknya yang melanda kehidupan umat.

7.2. Berkurangnya Peran Pendeta Dalam Pelaksanaan Liturgi

Dalam liturgi yang sudah ditetapkan dan disahkan oleh Sinode GKPB,

pendeta memegang peran yang utama. Seorang pendeta akan memimpin ibadah dari

awal sampai akhir dan beberapa bagian tertentu dibantu oleh majelis jemaat. Oleh

karena itu, seorang pendeta harus menguasai nyanyian rohani yang dipakai dan

menghafalkan semua urutan-urutan liturgi. Artinya, seorang pendeta yang sedang

memimpin ibadah harus menguasai jalannya ibadah dan mempersiapkan secara

matang apa yang akan dikatakan. Pendeta harus dalam kondisi sehat, karena selama

memimpin ibadah harus berdiri dan berbicara selama lebih kurang 1,5 sampai 2 jam.

Page 124: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

124

Dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia dan

dihilangkannya beberapa bagian liturgi, maka peranan pendeta dalam ibadah juga

semakin berkurang. Pendeta hanya berperan dalam pembacaan Alkitab dan

menyampaikan kotbah. Ibadah lebih banyak dipimpin dan diarahkan oleh pembawa

acara atau yang sering disebut master of ceremony (mc). Pembawa acaralah yang

menentukan apa yang harus dilakukan dan apa yang dikatakan ketika ibadah

dilaksanakan. Dengan kata lain, pembawa acaralah yang lebih dominan dalam

melaksanakan jalannya ibadah.

Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah sangat erat berkaitan dengan

trand perkembangan gereja akhir-akhir ini. Gereja-gereja tersebut dalam ibadahnya

memakai nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia. Sesuai dengan catatan

Pembina Masyarakat Kristen (Pembimas) Propinsi Bali tahun 2010, ada sekitar 64

denominasi gereja yang ada di Bali; sebagain besar dari gereja tersebut beraliran

kharismatik. Aliran gereja kharismatik yaitu gereja-gereja baru yang memisahkan

diri dari gereja arus utama seperti protestan dan katolik. Dalam melaksanakan

ibadahnya, gereja-gereja kharismatik tidak berpatokan pada liturgi baku seperti yang

ada pada gereja-gereja arus utama, tetapi pelaksanaan ibadah diserahkan sepenuhnya

kepada pembawa acara. Pendeta hanya bertugas membaca Alkitab dan

menyampaikan kothbah. Trand seperti itulah yang berkembang akhir-akhir ini, yang

diikuti oleh gereja-gereja arus utama termasuk jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang.

Page 125: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

125

Dalam buku Tata Gereja GKPB tahun 2006, Bab XIII, pasal 83 ayat 1,

dinyatakan bahwa, pendeta adalah jabatan gerejawi yang ditetapkan secara khusus

untuk melaksanakan tugas pelayanan firman, sakramen, pastoral, dan pelayanan-

pelayanan gerejawi lainnya. Isi tata gereja di atas dengan tegas telah mengatur tugas

dan wewenang seorang pendeta. Seorang pendeta selain bertugas dan

bertanggungjawab terhadap pembangunan iman jemaat juga bertanggung jawab

terhadap kegiatan ibadah. Artinya, selain mempersiapkan ibadah, pendeta juga diberi

wewenang untuk memimpin jalannya ibadah. Hal yang sama juga dipertegas kembali

dalam buku Panduan Bergereja (Departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB:

19-20) bahwa tugas dan wewenang pendeta adalah melaksanakan pelayanan firman,

sakramen dan melayankan kebaktian-kebaktian. Artinya, tugas untuk memimpin

sebuah ibadah diberikan kepada seorang pendeta bukan pembawa acara. Pembawa

acara dan bersama dengan majelis jemaat dapat membantu pada bagian-bagian

tertentu bukan mengambil-alih tugas yang sudah ditetapkan.

Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah tentu saja berpengaruh juga

kepada kekhusukan jalannya ibadah dan berubahnya perasaan umat yang mengikuti

ibadah. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan Nengah Yakubus Wirasa

sebagai berikut.

“ Kalau ibadah minggu atau ibadah lainnya dipimpin oleh oyang yang bukanpendeta, saya merasa tidak pas, seperti yang sering terjadi kalau ibadahmemakai liturgi “lepas” ( liturgi yang tidak mengikuti seperti liturgi yangsudah disahkan). Ibadah dipimpin oleh seorang mc (master of ceremony)apalagi ia bukan seorang majelis jemaat, saya rasa kok tidak cocok,idealnya pendetalah yang memimpin ibadah” (Wanwancara, 26 Juli 2012)

Page 126: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

126

Ungkapan di atas memberikan penegasan bahwa kalau ibadah-badah dipimpin oleh

orang awam atau bukan pendeta, ada rasa penolakan oleh jemaat yang mengikuti

ibadah, sekalipun umat tidak secara langsung mengungkapkan penolakannya.

Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah umat tidak lepas dari upaya

penyesuaian yang dilakukan oleh jemaat untuk mencapai tujuan. Jemaat

menginginkan ibadah tetap dapat menarik bagi anak-anak muda anggota jemaat dan

ibadah dapat dinikmati oleh semua golongan yang mengikuti ibadah. Hal ini selaras

teori adaptasi Bennet ( 1976: 145) bahwa penyesuaian-penyesuaian yang dilakuan

oleh umat adalah sebuah adaptasi yang mengandung arti ganda, yaitu manusia

(anggota jemaat) menyesuaikan keinginannya atau kehidupannya dengan situasi atau

lingkungan yang berubah. Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan

lingkungan dengan keinginan dan tujuannya. Dengan melakukan penyesuaian atau

adaptasi anggota jemaat GKPB Marga Pakerti berharap kehidupan umat khususnya

dalam ibadah dapat terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Ibadah

tetap dapat dikuti oleh semua golongan dan dapat meningkatkan kerohanian umat

khususnya generasi muda dalam perkembangan zaman yang semakin maju. Hal inilah

yang yang terjadi dalam kehidupan umat GKPB Marga Pakerti dalam menyikapi dan

menginterpretasi perubahan-perubahan zaman.

7.3. Semakin Terbukanya Gereja Bagi Semua Orang

Agama Kristen bukan milik etnis atau bangsa tertentu. Seperti agama-agama

yang lainnya, agama Kristen adalah milik penganut-penganutnya yang tidak dibatasi

oleh sekat-sekat suku, bahasa, dan bangsa. Artinya tidak ada satu suku atau bangsa

Page 127: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

127

yang dapat mengklaim bahwa agama tertentu milik etnis atau bangsanya. Dengan

demikian, agama seharusnya bersifat terbuka bagi siapa saja yang percaya dan mau

memeluknya. Dalam hal ini, termasuk GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang.

Dalam perkembangan, ketika agama berkembang di satu etnis atau daerah

tertentu, seringkali agama itu diklaim menjadi milik etnis itu. Agama Kristen ketika

berkembang di Amerika atau Eropa sering diasosiasikan sebagi milik orang Eropa

atau Amerika, padahal seharusnya tidak demikian. Agama seharusnya bersifat

terbuka terhadap siapa pun. Demikian juga halnya dengan agama Kristen yang

berkembang di Bali. Agama Kristen bukan saja untuk orang-orang dari etnis Bali,

tetapi untuk semua orang yang tinggal di Bali.

Bali sebagai daerah pariwisata banyak “dibanjiri” oleh kaum urban dari

berbagai suku atau etnis yang ada di Indonesia, bahkan juga orang-orang asing dari

berbagai negara. Hal yang sama juga terjadi di Banjar Padang Tawang. Memasuki

tahun 1990-an, cukup banyak kaum urban yang tinggal dan menetap di Banjar

Padang Tawang. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang beragama Kristen.

Seorang informan Ketut Sadrah anggota GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang, umur 51 tahun, menyatakan :

“Anggota jemaat sekarang tidak saja orang-orang Padang Tawang (yangdimaksudkan adalah etnis Bali) sejak beberapa tahun belakangan inibanyak dari saudara-saudara kita dari jauh datang beribadah di sini. Kalaukita tetap kukuh memakai nyanyian rohani berbahasa Bali dalam ibadah,bagaimana mereka bisa mengerti, oleh karena itu pelayanan gerejaseharusnya memperhatikan mereka” (Wawancara, 8 Agustus 2012)

Page 128: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

128

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa anggota GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang tidak lagi dapat dikatakan homogen, tetapi seiring

dengan perjalanan waktu telah bercampur dengan etnis-etnis yang lain.

Berkembangnya keanggotaan gereja yang dulunya homogen dan sekarang

menjadi heterogen harus disikapi oleh lembaga gereja. Lembaga gereja sebagai

sebuah lembaga keagamaan tidak dapat menutup diri hanya melayani etnis Bali,

tetapi harus juga melayani atau merangkul dari etnis lain yang berbeda. Wayan

Suartha umur 52 tahun seorang anggota majelis jemaat, mengenai hal itu

menyatakan :

“Gereja seperti yang dikatakan dalam Alkitab, harus menjadi “terang” dan“garam” bagi dunia di sekitarnya. Untuk menjadi “terang” dan “garam”,gereja tidak dapat menutup diri hanya untuk orang-orang Bali, tetapigereja pada jaman sekarang harus terbuka juga melayani orang-oranglain yang berbeda latarbelakang suku dan bangsa. Apalagi melihatperkembangan ke depan, Bali akan didatangi oleh banyak orang dariberbagai etnis, bangsa, dan latarbelakang. Apakah gereja akanmengabaikan kehadiran mereka?” (Wawancara, 29 Agustus 2012).

Pernyataan di atas mengungkapkan bahwa perkembangan zaman dan karena

berbagai pengaruh, gereja sebagai sebuah lembaga agama dan juga lembaga sosial,

harus terbuka dalam pelayanannya. Gereja harus melayani mereka yang berasal dari

etnis yang berbeda.

Keterbukaan gereja akan menjadikan anggota-anggotanya dapat

memetik nilai-nilai positif yang ditimbulkan oleh keterbukaan. Secara sosial

kemasyarakatan, gereja akan dikenal oleh lingkungan sekitarnya, sehingga gereja

dapat berperan secara aktif dalam membangun kehidupan masyarakat sesuai dengan

visi dan misinya untuk menjadi “garam” dan “terang” bagi masyarakat.

Page 129: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

129

“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakahia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidakmungkin tersembunyi” (Kitab Matius 5: 13-14)

Keberadaan gereja sebagai bagian dari masyarakat diumpamakan seperti garam dan

terang. Gereja harus berbaur dengan masyarakat sekitarnya dan dapat memberikan

tuntunan yang baik, sehingga bersama dengan masyarakat, gereja bertumbuh dalam

berbagai aspeknya.

7.4. Beragamnya Unsur Budaya Etnik dalam Liturgi Gereja

Tak pelak lagi, globalisasi telah membawa konsekuensi multidimensional

terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Peran media dan kemajuan

teknologi, pendidikan, dan ilmu pengetahuan memacu lebih cepat terjadinya

percampuran budaya. Fenomena seperti ini kemudian merujuk pada proses

inkulturasi budaya asing dengan budaya lokal yang sudah ada di masyarakat. Saling

mempengaruhi antarbudaya adalah suatu yang biasa terjadi dalam perjumpaan

antarmasyarakat.

Inkulturasi budaya yang terjadi, dalam hal ini dalam kehidupan GKPB

jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang memberikan dampak positif bagi

kehidupan anggotanya. Masuknya budaya asing telah membawa inovasi-inovasi

baru bagi kehidupan bergereja dan bermasyarakat di GKPB jemaat Marga Pakerti di

Banjar Padang Tawang. Sebagai contoh, masuknya nyanyian rohani populer baik

yang berbahasa Indonesia maupun Inggris menjadikan kehidupan ibadah GKPB

jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang semakin bergairah. Ibadah tidak

Page 130: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

130

berjalan monoton tetapi penuh semangat. Hal ini terjadi oleh karena pelaksanaan

ibadah didukung dengan perangkat elektronik sound system dan teknologi media

dengan menggunakan LCD (Gambar 7.1) yang menampilkan gambar-gambar.

Selain itu, perangkat musik untuk mengiringi ibadah juga semakin beragam.

Penggunaan alat musik band, organ dan angklung bambu memberikan keragaman

yang dapat dipilih oleh jemaat.

Gambar 7.1. Layar LCD untuk Mendukung Ibadah(Dok. :Parwita, 2012)

Dengan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa dengan masuknya budaya

asing, yaitu budaya-budaya yang sebelumnya tidak dikenal oleh anggota jemaat,

selain memberikan keragaman terhadap budaya dengan terbentuknya budaya-budaya

baru, juga memberikan pilihan-pilihan kepada jemaat khususnya bagi anak-anak

muda jemaat yang memiliki selera dan gaya yang berbeda. Linton (dalam

Koentjaraningrat, 1990: 97) mengatakan bahwa dalam proses perubahan budaya di

mana di dalamnya terjadi akulturasi, ada unsur-unsur kebudayaan yang mudah

Page 131: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

131

berubah bila diperhadapkan dengan pengaruh asing. Dengan demikian,

perkembangan yang terjadi dalam kehidupan jemaat dapat dikatakan sebagai suatu

hal yang wajar terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Gede Trisna Putra seorang

informan ketika ditanya pendapatnya mengenai fenomena di atas, mengatakan:.

“Anak-anak muda yang ada di GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawangsekarang berbeda dengan kita. Mereka secara pendidikan lebih tinggi dandalam kehidupan sehari-hari mereka banyak dipengaruhi oleh kehidupanmodern, mereka banyak bekerja dan berinteraksi di daerah pariwisatadengan orang-orang asing. Coba kita lihat dalam ibadah-ibadah, kalauminggu pertama mereka kebanyakan tidak hadir, karena minggu pertamakita memakai bahasa Bali. Hal ini harus kita sikapi, tidak dapat kita biarkan.Oleh karena itu beberapa tahun yang lalu saya mengusulkan supaya gerajamemakai band dan memasukkan nyanyian-nyanyian rohani populer.Supaya anak-anak kita juga mau dan betah mengikuti ibadah (Wawancara, 8Agustus 2012).

Apa yang dikatakan oleh informan di atas menegaskan bahwa kehadiran budaya-

budaya dari luar gereja tidak serta merta mendapat penolakan dan tidak serta merta

menimbulkan efek negatif. Masuknya budaya luar seringkali juga memperkaya

tradisi dan budaya lokal yang sudah ada. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa

Bali juga berdampak pada hilangnya budaya atau tradisi yang sudah ‘tertanam’

(embeded) dalam satu komunitas. Hilangnya satu budaya tidak terjadi begitu saja,

tanpa campur tangan masyarakat yang pedukung budaya tersebut. Masyarakat

pendukung mengambil satu keputusan apakah akan terus melestrarikan budaya

tersebut atau membuangnya. Hal itu merupakan sebuah pilihan yang dilakukan oleh

pendukung budaya. Apakah mereka akan tetap memakai budaya yang lama atau

memilih budaya baru, kedua-duanya memiliki konsekuensi bagi kehidupan mereka.

Page 132: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

132

Ada berbagai alasan ketika satu budaya ditinggalkan oleh pendukungnya,

antara lain, budaya tersebut sudah tidak cocok dengan situasi dan keadaan zaman.

Artinya, budaya tersebut tidak lagi dapat menjawab atau memenuhi rasa nyaman

pendukungnya. Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001:342) mengatakan bahwa

perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua-

duanya bersangkut-paut dengan penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan

dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Seperti yang diungkapkan

oleh seorang informan Wayan Suartha seorang penatua GKPB jemaat Marga Pakerti

dengan berkata :

“Dulu memang nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai penuh dalam liturgipada hari minggu bahkan juga dalam ibadah keluarga. Tetapi nampaknyapengaruh televisi dan keadaan zaman sekarang yang tidak memungkinkanlagi, anak-anak lebih memilih nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia.Nampaknya mereka malu dan menganggap nyanyian rohani berbahasa Baliitu kuno dan tidak mengikuti jaman dan tidak memenuhi selera mereka”(Wawancara, 29 Agustus 2012)

Penuturan di atas hendak mengungkapkan bahwa pilihan anak-anak muda untuk

meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dipengaruhi oleh perasaan. Mereka

merasa nyanyian rohani berbahasa Bali identik dengan kuno dan ketinggalan zaman.

Sebagai sebuah budaya, nyanyian rohani berbahasa Bali mengandung nilai-

nilai luhur yang sudah terbukti mampu menjaga kehidupan umat. Nyanyian rohani

berbahasa Bali sesungguhnya mengandung ajaran-ajaran kebenaran yang diambil

dari Alkitab. Ajaran-ajarannya mengajak jemaat untuk tetap memiliki pengharapan

dan percaya kepada Tuhan. Artinya, nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali ketika

Page 133: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

133

diresapi oleh jemaat sesungguhnya meneruskan dan menanamkan ajaran Kristiani

yang bersumber pada Alkitab.

Meneruskan dan mengajarkan ajaran-ajaran Kristiani yang bersumber pada

Alkitab sesungguhnya merupakan sebuah perintah yang harus ditaati oleh umat

untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Meneruskan dan mengajarkan ajaran-

ajaran Kristiani dalam kitab Injil dikatakan sebagai berikut:.

“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini, haruslah engkauperhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepadaanak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu,apabila engkau sedang ada di dalam perjalanan, apabila engkau berbaring,dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannyasebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang didahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmudan pada pintu gerbangmu” (Kitab Ulangan 6:6-10)

Ungkapan di atas hendak memberikan penegasan kepada jemaat bahwa apa yang

menjadi tradisi dan mengandung nilai-nilai kebenaran tidak dapat ditinggalkan

begitu saja. Sebaliknya, jemaat mempunyai tanggung jawab untuk meneruskan

dengan mengajarkan kepada generasi berikutnya.

Sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa nyanyian rohani berbahasa

Bali sebagai sebuah budaya memiliki nilai-nilai kebenaran, tetapi dengan berbagai

macam pengaruh yang berkembang mulai terpinggirkan. GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang yang menjadi pendukung budaya tersebut tidak

meneruskan atau mewariskan budaya tersebut kepada generasi berikutnya. Pada sisi

yang lain, karena berbagai pengaruh, generasi muda juga tidak tertarik untuk

memakai budaya tersebut. Sebagai generasi muda, mereka memiliki alasan yang

Page 134: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

134

kuat bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali itu tidak sesuai lagi dengan konteks

hidup mereka.

Sebagai generasi muda yang berbeda konteks hidupnya dengan orang tuanya,

mereka memiliki pilihan-pilihan yang dapat mereka pilih untuk mereka terima

sebagai budaya mereka sendiri. Mereka memilih budaya modern dalam hal ini

nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia, yang mereka anggap lebih cocok dan

pas dengan hidup mereka daripada memilih nyanyian rohani berbahasa Bali yang

sudah melekat dalam kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang

Tawang di masa yang lalu.

Persoalan memilih budaya modern dan meningggalkan tradisi nenek moyang

adalah sebuah pilihan yang sah-sah saja. Akan tetapi, pilihan yang mereka lakukan

juga memiliki konsekuensi punahnya budaya lokal. Seorang informan, Nengah

Yakobus Wirasa ketika ditanyai tentang keberadaan nyanyian rohani ke depan

memberikan jawaban sebagaiberikut.

“Jika diamati semakin hari bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Balisemakin hari semakin berkurang. Ada kemungkinan ke depan nyanyianrohani berbahasa Bali akan hilang atau tidak dikenal oleh anak-anak kita.Sekarang saja dipakai hanya sekali dalam sebulan, itupun masih dicampur-campur dengan bahasa Indonesia. Ke depan mungkin saja dihapus, apalagikalau suatu saat yang ditugaskan sebagai pendeta di jemaat ini adalahpendeta yang bukan dari etnis Bali” (Wawancara, 26 Juli 2012).

Pernyataan di atas mengungkapkan sebuah kekhawatiran bahwa dengan melihat

situasi sekarang, nyanyian rohani berbahasa Bali akan mengalami kepunahan atau

tidak dikenal oleh generasi muda yang akan datang. Hal yang sama juga

diungkapkan oleh informan lainnya, Gede Trisna Putra yang berkata:

Page 135: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

135

“Gereja harus berupaya lebih keras dan serius, supaya nyanyian rohaniberbahasa Bali sebagai warisan budaya tetap dapat diterima oleh anak-anak muda kita. Selain dengan tetap mempertahankan pemakaian bahasaBali pada minggu pertama setiap bulan, gereja juga dapat menyelipkan satunyanyian rohani berbahasa Bali setiap kali ibadah. Atau gereja dapatmendorong para seniman menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yangbaru yang sesuai dengan konteks anak-anak muda sekarang, dengan iramayang lebih nge-pop sehingga anak-anak muda kita bisa menerima danmerasakan makna nyanyian-nyanyian tersebut dan ke depan nyanyian rohaniberbahasa Bali tetap dikenal oleh generasi berikut” (Wawancara, 8 Agustus2012)

Wawancara di atas memberikan gambaran bahwa sekalipun anak-anak muda

memiliki pilihan-pilihan, usaha-usaha untuk melestarikan nyanyian rohani berbahasa

Bali harus terus diupayakan. Ada kekhawatiran bahwa jika anggota gereja tidak

melakukan satu upaya yang serius, maka nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai

warisan budaya cepat atau lambat akan mengalami kepunahan. Ditinggalkannya

nyanyian rohani berbahasa Bali mengindikasikan juga bahwa tradisi gereja yang

sudah tertanam dalam kehidupan gereja juga ditinggalkan.

7.5. Terjadinya Kelompok Sosial Multikultural

Masuknya nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Inggris ke tengah-tengah

kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang menimbulkan

perjumpaan antarbudaya yang berbeda. Anggota GKPB jemaat Marga Pakerti yang

sebelumnya belum banyak mengenal budaya luar dapat belajar dan mengetahui

budaya yang berbeda dengan budaya yang selama ini mereka anut. Perjumpaan

budaya ini sering disebut interaksi antarbudaya atau lebih dikenal dengan sebutan

komunikasi antarbudaya

Page 136: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

136

Dalam kenyataan sosial, ketika budaya lokal bertemu dengan budaya luar

akan terjadi komunikasi antarbudaya. Alo Liliweri (2002: 43), sorang pakar

komunikasi antarbudaya mengatakan bahwa salah satu tuntutan globalisasi yang

semakin tidak terkendali seperti saat ini mendorong masyarakat untuk terjadinya

sebuah interaksi lintas budaya, lintas kelompok, serta lintas sektoral. Belum lagi

perubahan-perubahan global lainnya, yang semakin deras dan menjadi bukti nyata,

bahwa semua orang harus mengerti karakter komunikasi antarbudaya secara

mendalam.

Masuknya budaya luar ke tengah-tengah kehidupan GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang mengurangi terjadinya kesenjangan antaranggota

jemaat yang berbeda budaya dan latar belakang. Anggota jemaat yang berasal dari

luar etnis Bali dapat berinteraksi dan hidup bersama-sama dalam satu gereja.

Fenomena seperti ini terjadi dalam kehidupan keseharian anggota GKPB jemaat

Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang seperti yang diungkapkan oleh seorang

informan Nyoman Rubin, umur 62 tahun dengan berkata :

“ Bagus sekali kalau kita sering memberi kesempatan kepada saudara-saudara kita yang dari Toraja, Sulawesi untuk tampil dalam ibadahminggu, seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu merekamempersembahkan pujian dengan diiringi pompang (pompang adalahalat musik tiup khas Toraja-Mamasa yang dibuat dari bambu denganberbagai ukuran dan dimainkan oleh 20 sampai 30 orang). Hal itumemberi variasi dalam beribadah dan yang lebih penting, wawasan barukepada jemaat pang sing kaden nak anen iraga gen ane paling luhung(supaya kita tidak berpikir bahwa apa yang kita miliki yang paling baik)”(Wawancara, 27 Juli 2012)

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa jemaat menerima dan dapat

berkomunikasi dengan anggota jemaat yang berbeda etnis. Hal seperti ini sangat

Page 137: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

137

penting dalam kehidupan jemaat, yaitu untuk menghilangkan kecurigaan sehingga

warga jemaat dapat bertumbuh dalam iman dan kehidupan sosial secara umum.

7.6. Berkurangnya Nuansa Budaya Bali dalam Liturgi

Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang atau kelompok

karena orang atau kelompok itu merupakan anggota dari satu kelompok tertentu.

Sedyawati (2003: 3) mengungkapkan bahwa istilah identitas budaya dapat dipahami

sebagai sebuah himpunan ciri-ciri yang menandai suatu himpunan masa tertentu

yang seringkali disebut dengan kelompok etnik. Dalam konteks di atas, nyanyian

rohani berbahasa Bali dapat dikatakan sebagai ciri dan identitas GKPB jemaat Marga

Pakerti di Banjar Padang Tawang jika bandingkan gereja-gereja lain yang ada di Bali.

Sebagai sebuah identitas, nyanyian rohani dipakai oleh jemaat baik dalam ibadah

minggu maupun dalam ibadah-ibadah lainnya. Hal itu diungkapkan oleh seorang

informan yaitu Gede Trisna Putra salah seorang mantan majelis jemaat, dengan

berkata :

“Ketika GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang hidup danberkembang di antara gereja-gereja lain yang ada di Bali, maka yangmenjadi ciri GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang adalah bahasaBali dan nyanyian rohani berbahasa Balinya. Nyanyian rohani berbahasaBalilah yang membedakannya. Kalau sekarang bahasa Bali dan nyanyianrohani tidak dipakai lagi, maka GKPB tidak GKPB lagi (GKPBkepanjangan dari Gereja Kristen Bali, kata “Bali” menekankan padaidentitas etnik GKPB), GKPB sama saja seperti GKI (Gereja KristenIndonesi) atau GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat) yangtentu saja tidak memiliki identitas etnik. Itulah juga sebabnya GKPBhanya ada di Bali, berbeda dengan GPIB dan GKI yang ada di seluruhpelosok Indonesia” (Wawancara, 8 Agustus 2012)

Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Ketut Sadrah ketika ditanyakan pertanyaan

yang sama berkata :

Page 138: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

138

“Kalau nyanyian rohani berbahasa Bali suatu saat tidak dipakai lagi dalamibadah-ibadah dan diganti sepenuhnya dengan nyanyian rohani bahasaIndonesia atau Inggris seperti yang sedang berkembang sekarang, laluapa yang menjadi ciri GKPB sebagai gereja yang sebagian besarumatnya adalah orang Bali. Saya rasa GKPB akan kehilangan identitaske-Balian-nya. Dan lebih jauh, GKPB tidak akan mengakar dalambudaya Bali. Kalau hal ini benar terjadi di masa yang kan datang sulitsaya membayangkan, karena selama ini GKPB sudah dikenal dengangereja yang sangat kontekstual dalam budaya Bali” (Wawancara, 8Agustus 2012 )

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sudah

menjadi ciri dan identitas yang dikenal dan diketahui oleh kalangan gereja maupun

masyarakat umum lainnya. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali tentu

akan berakibat negatif terhadap ciri dan identitas GKPB jemaat Marga Pakerti di

Banjar Padang Tawang.

Sebagai sebuah agama yang berkembang dan hidup di Bali, GKPB jemaat

Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang tidak dapat dilepaskan dari budaya dan

tradisi Bali yang sudah melekat dalam dirinya. Namun demikian, perkembangan

jaman yang ditandai dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia

mendorong jemaat melakukan adaptasi atau penyesuaian. Suparlan (1981: 9)

mengatakan bahwa adaptasi dapat dikatakan sebagai suatu proses untuk mengatasi

berbagai masalah yang ada dalam lingkungan fisik guna kelangsungan hidup.

Sehubungan dengan hal itu, maka adaptasi yang dilakukan oleh manusia berproses

dalam dimensi lingkungan yang amat luas. Manusia berhubungan dengan dunia

secara kritis. Mereka memahami data yang ada dilingkungannya. Mereka menyadari

temporalitasnya. Manusia tidak terkungkung dalam satu dimensi waktu yaitu,

Page 139: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

139

kemarin atau pun hari ini, sehingga oleh kesadaran itu, manusia melakukan apa yang

disebut adaptasi (Freire, 1984: 3-4).

Dalam pengertian di atas, umat GKPB Jemaat Marga Pakerti melakukan

perubahan-perubahan dengan cara meninggalkan budaya dan tradisi yang dipandang

tidak cocok dengan situasi dan keadaan di masa kini, selanjutnya mengadopsi budaya

yang baru yang lebih sesuai dengan keadaan di masa kini.

7.7. Penghayatan Iman yang Kontekstual

Nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah sarana untuk

mengungkapkan iman, lahir dari konteks dan pengalaman hidup beriman orang-orang

Kristen. Namun demikian, nyanyian rohani berbahasa Bali hasil ciptaan para

pengarangnya, tidak dapat dilepaskan dari ajaran-ajaran firman Tuhan yang ada

dalam kitab suci. Ketika pengarang mengalami satu peristiwa dalam hidupnya, baik

itu berupa hambatan maupun kesulitan, mereka mengimani bahwa Tuhan tidak

meninggalkan mereka sendirian. Mereka mengimani bahwa dalam kesulitan dan

hambatan, Tuhan akan memberikan pertolongan. Hal itu diungkapkan oleh Gede

Trisna Putra mantan majelis jemaat, dengan berkata :

“Nyanyian rohani memang mempunyai konteks atau latar belakang darimasa lalu yaitu orang kristen generasi pertama. Mereka merespon dalamimannya, apa yang mereka rasakan, alami, dan yang mereka lihat. Hal ituseperti yang saya baca dalam sejarah gereja Bali. Sebagai orang Kristenyang baru beralih agama mereka mengalami banyak kesulitan, baiksecara ekonomi, sosial, maupun politik. Contohnya lagu sampunangajrih kakewuhan (Sebuah judul nyanyian rohani berbahasa Bali yangcukup sering dinyanyikan dalam ibadah minggu berbahasa Bali. Dalambahasa Indonesia artinya jangan menyerah dengan kesulitan). Pengakuanseperti itu sangat sesuai dengan firman Tuhan yang mengatakan “ Jangantakut Aku menyertai engkau” (Wawancara, 8 Agustus 2012)

Page 140: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

140

Sikap religius seperti di atas tentu saja tidak muncul begitu saja. Sikap

religius seperti itu tumbuh dan berkembang melalui pengalaman-pengalaman hidup

sehari-hari yang mereka alami di masa yang lalu. Dengan kata lain, Tuhan yang

tidak dapat dilihat dengan mata jasmani, diyakini ada berdasarkan pengalaman

hidup yang nyata setiap hari. Generasi tua GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar

Padang Tawang, yaitu mereka yang merasakan sulitnya kehidupan di masa lalu dan

banyaknya hambatan, dimaknai bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali bukan

sekedar nyanyian-nyanyian ungkapan kegembiraan semata, tetapi nyanyian rohani

berbahasa Bali yang lahir dari pergumulan seperti di atas, memiliki makna dan nilai-

nilai kebenaran. Nilai-nilai kebenaran yang disarikan dari ajaran Alkitab. Nilai-nilai

kebenaran yang dapat dipakai sebagai dasar dan landasan bagi jemaat dalam

menjalani hidup, menumbuhkan, dan memperkuat kerohanian.

Realitas yang terjadi sesuai dengan perkembangan waktu adalah

keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali. Keterpinggiran nyanyian rohani

berbahasa Bali tidak serta-merta dapat menjadi tanda menurunnya kerohanian umat.

Bagi generasi tua yaitu mereka yang nota bene adalah orang Bali dan menggunakan

bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari, ketika melakukan ibadah dengan

menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia merasa tidak dapat menikmati

ibadah. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan I Nyoman Ruja, salah

satu anggota jemaat dari generasi pertama :

“Tidak dipakainya nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi, bagi sayasangat mempengaruhi kehidupan kerohanian saya. Seperti yang sayarasakan dalam setiap ibadah di gereja rasanya hambar tidak khusuk. Tidakada rasa suka cita dan ujung-ujungnya ibadah tidak menjadikan kerohanian

Page 141: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

141

saya semakin bertumbuh dan kuat tetapi sebaliknya, kerohanian sayasemakin menurun dan mengalami kekosongan” (Wawancara, 2013)

Bagi generasi tua, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali bisa jadi memiliki

relevansi terhadap menurunnya kerohanian umat dalam menghayati ajaran agama

Kristen. Dengan memakai nyanyian rohani berbahasa Indonesia, kebenaran-

kebenaran iman yang dulu dirasakan dan ditemukan lewat nyanyian rohani

berbahasa Bali tidak dirasakan dan tidak ditemukan oleh umat. Pernyataan responden

di atas tentu saja tidak berlaku untuk semua anggota jemaat. Pemahaman bahwa

keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai menurunnya kerohanian

hanya dirasakan dan dimaknai oleh anggota jemaat yang sudah tua, yaitu mereka

yang memahami nyanyian berbahasa Bali.

Agama sebagai satu persekutuan hidup, baik dalam lingkup yang sempit atau

luas yang unsur konstruktif utamanya adalah nilai-nilai atau ajaran agama, tidak

dapat dilepaskan dari masyarakat (Hendropuspito, 1983: 9). Pernyataan di atas

mengandung arti bahwa ajaran agama tidak akan berkembang dan lestari kalau tidak

ada masyarakat pendukungnya. Pada sisi lain, masyarakat akan menjadi masyarakat

yang tidak terkontrol kalau ajaran-ajaran agama tidak memberikan nilai-nilai dan

patokan-patokan yang dapat diikuti. Kedua-duanya saling membutuhkan dan saling

melengkapi. Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali memiliki makna

dan nilai yang mendalam dalam kehidupan sosial jemaat GKPB Marga Pakerti di

Banjar Padang Tawang, yaitu menjaga persekutuan antarumat. Seperti yang

diungkapkan oleh Nengah Yakobus Wirasa dengan mengatakan sebagai berikut.

Page 142: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

142

“Bagaimanapun perkembangan situasi sekarang ini, nyanyian rohaniberbahasa Bali yang sarat dengan nilai-nilai kebenaran terbukti dapatmenjaga kehidupan persekutuan jemaat. Tidak saja di masa lalu, sayapercaya pada masa kini juga, telah menjaga persekutuan hidup jemaatdalam menghadapi tantangan. Dalam pergaulan hidup dengan masyarakatkhususnya di Banjar Padang Tawang, jemaat tidak terpecah-pecah dan tidakterkotak-kotak” (Wawancara, 26 Juli 2012)

Ungkapan di atas memberikan penegasan bahwa nyayian rohani berbahasa Bali

memiliki makna yaitu menjaga hubungan antaranggota jemaat. Nyanyian rohani

berbahasa Bali dengan nilai-nilai kasih yang terkandung di dalamnya menjadi

patokan dan dasar yang kuat dalam interaksi sosial antarjemaat. Bagaimanapun

modern dan majunya kehidupan seseorang, budaya dan tradisi tidak dapat betul-betul

terpisahkan dari dirinya. Seseorang ada dan hidup seperti sekarang adalah hasil dari

budaya dan tradisi yang dijalaninya di masa lalu.

Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi ciri dan

identitas ke-Balian GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Dalam

perkembangan waktu kemudian, nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dipakai lagi,

maka ke-Balian GKPB jemaat Marga Pakerti sebagai gereja yang berkembang di

Bali menjadi kabur. Sebagai mana yang dikatakan oleh informan I Wayan Suartha :

“Dalam kehidupan masyarakat multikultur sekarang ini, identitas dan ciri kitasebagai orang Kristen Bali akan nampak kalau ibadah-ibadah dan nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi masih dipertahankan. Identitaske Balian GKPB akan menjadi kuat kalau jemaat mau dan suka memakainyanyian rohani berbahasa Bali. Realitasnya sekarang hal itu tidak terjadi;jemaat lebih banyak memakai nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Ya..kita sama saja dengan gereja-gereja yang lain tidak lagi ada identitas yangkhas Bali” (Wawancara, 29 Agustus 2013).

Ungkapan Wayan Suartha di atas menggambarkan bahwa keterpinggiran nyanyian

rohani berbahasa Bali dimaknai sebagai kehilangan identitas ke-Balian gereja.

Page 143: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

143

Memaknai keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai kehilangan

identitas ke-Balian tentu saja menjadi makna sempit dan terbatas pada umat yang

antiperubahan. Dalam realitasnya, identitas dapat dilihat dari berbagai segi.

Refleksi

Sejak berkembangnya agama Kristen di Bali, Nyanyian rohani berbahasa Bali

telah menjadi bagian dalam kehidupan ibadah umat. Sebagai sebuah sarana,

nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai untuk mengungkapkan syukur, menyatakan

pujian, menyatakan keagungan, dan mengungkapkan doa umat kepada Tuhan. Hal

ini, tidak terlepas dari usaha kontekstualisasi yang dilakukan oleh gereja. Sebagai

agama yang berkembang di Bali dan umat adalah orang Bali yang menggunakan

bahasa Bali, maka budaya Bali termasuk di dalamnya bahasa Bali, menjadi sarana

yang efektif untuk mengungkapkan penghayatan iman umat.

Dalam perkembangan dari tahun 1930-an sampai sekitar tahun 1980-an,

nyanyian rohani berbahasa Bali yang telah “tertanam” dalam budaya Bali, perlahan-

lahan mulai ditinggalkan oleh umat. Umat tidak lagi memakai nyanyian rohani

berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia.

Pengalihan ini tentu saja tidak lepas dari perkembangan jaman yang sangat pesat.

Kehidupan sosial yang berubah, perkembangan teknologi dan media, dan ekonomi

yang semakin meningkat, mendorong pengalihan itu semakin cepat. Bagi generasi tua

yang merasakan dan mengerti konteks nyanyian rohani berbahasa Bali, pengalihan

ini tentu saja menjadi persoalan. Mereka tidak dapat lagi merasakan sukacita ibadah

Page 144: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

144

sebagaimana dulu ketika ibadah memakai nyanyian rohani berbahasa Bali.

Sebaliknya, anak-anak muda yang berbeda konteks hidup dengan generasi tua

menikmati ibadah dengan suka cita.

Dalam realitas dunia yang terus berubah, tentu saja tidak bijaksana kalau umat

terus-menerus berpaling ke masa lalu. Umat harus bersikap realistis melihat

perubahan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, realitas keterpinggiran

nyanyian rohani berbahasa Bali harus disikapi dan dilihat oleh umat bukan sebagai

kemunduran tetapi sebaliknya sebagai kemajuan. Umat seharusnya bersifat dinamis

terhadap situasi dan keadaan yang sedang terjadi. Dengan bersifat dinamis umat

dapat melihat keterpinggiran nyanyian rohani sebagai kesempatan untuk menghayati

iman Kristen dengan lebih kontekstual sehingga umat dapat menjawab tantangan

zaman.

Namun demikian, dengan alasan perkembangan zaman yang semakin maju

tidak, hal itu sertamerta membuat umat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa

Bali yang sarat dengan nilai-nilai ajaran Kristen. Sebaliknya, nyanyian rohani

berbahasa Bali tetap harus diajarkan dan disosisaliasikan kepada generasi muda,

supaya generasi muda juga mengerti pergumulan umat di masa lalu dan kemudian

dapat mengambil pelajaran. Selain itu, dengan tetap mengajarkan nyanyian rohani

berbahasa Bali generasi muda tidak melupakan budaya-budaya masa lalu sehingga

mereka tidak kehilangan jejak dan nyanyian rohani berbahasa Bali tidak mengalami

kepunahan.

Page 145: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

145

BAB VIII

SIMPULAN DAN SARAN

8.1. Simpulan

Dari uraian di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

Faktor-Faktor yang menyebabkan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa

Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, adalah

karena terjadinya perubahan sosial, lingkungan, meningkatnya pendidikan,

perkembangan ekonomi, media dan teknologi, heterogenitas jemaat, menurunnya

minat jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali, dan kurangnya usaha untuk

menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yang baru. Perubahan-perubahan di atas

terjadi tidak lepas dari meluasnya globalisasi. Globalisasi dengan segala bentuknya,

mengubah bukan saja tatanan masyarakat yang sudah mapan (budaya dan tradisi)

tetapi juga mengubah polapikir dan polatindak masyarakat.

Proses keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB

jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, yaitu tahun 1930 hingga 1960-an

masa-masa di mana GKPB melakukan usaha kontekstualisasi dengan mengadopsi

budaya Bali dan nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi nyanyian utama dalam

liturgi. Tahun 1960 hingga 1980-an mulai terpinggirkannya nyanyian rohani

berbahasa Bali. Pada masa ini, ada usaha pemerintah untuk melakukan nasionalisasi

bahasa Indonesia, terbitnya nyanyian rohani berbahasa Indonesia, dan mulai

dipakainya liturgi berbahasa Indonesia. Tahun 1990 hingga 2012-an, nyanyian

rohani berbahasa Bali sudah terpinggirkan.

Page 146: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

146

Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat

Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang mempunyai implikasi terhadap

pelaksanaan liturgi dan kerohanian umat. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa

Bali berimplikasi pada pelaksanaan liturgi yang tidak utuh, peran pendeta yang

semakin berkurang dalam pelaksanaan liturgi, Geraja semakin terbuka bagi semua

orang, berkurangnya unsur budaya Bali dalam liturgi, terjadinya kelompok sosial

multikultural, dan beragamnya unsur budaya dalam liturgi, dan penghayatan iman

yang kontekstual. Implikasi seperti di atas, dalam realitasnya adalah sebuah

penyesuaian-penyesuaian (adaptasi) yang dilakukan oleh umat. Untuk tetap dapat

eksis dalam zaman yang terus mengalami perubahan, umat dengan sadar melakukan

penyesuaian-penyesuaian.

8.2. Saran

Untuk mencegah punahnya budaya dan tradisi dalam hal ini nyanyian rohani

berbahasa Bali, gereja dan juga anggota jemaatnya dapat melakukan upaya-upaya

yang lebih serius, agar nyanyian rohani berbahasa Bali tetap dikenal oleh generasi

muda di kemudian hari.

Pertama, kepada institusi gereja dalam hal ini Gereja Kristen Protestan Bali.

Institusi gereja agar mendorong para pendeta bersama dengan majelis jemaat,

untuk tetap memakai nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi, baik dalam

ibadah minggu maupun dalam ibadah keluarga. Dengan tetap memakai nyanyian

rohani berbahasa Bali, diharapkan tumbuh rasa memiliki dan keinginan dari generasi

muda untuk mempelajari nyanyian rohani berbahasa Bali.

Page 147: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

147

Institusi Gereja memberikan kesempatan dan dorongan kepada para seniman-

seniman gereja untuk menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yang sesuai

dengan konteks masa kini. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan lomba-lomba

menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali atau kontes nyanyian rohani berbahasa

Bali. Selanjutnya, yang lebih penting adalah tetap dipakainya hasil ciptaan mereka

dalam ibadah-ibadah gereja, sehingga nyanyian rohani berbahasa Bali semakin

dicintai dan dipahami.

Gereja membuat keputusan atau aturan yang lebih tegas dan ketat, supaya

jemaat-jemaat GKPB secara umum tetap memasukkan nyanyian rohani berbahasa

Bali dan menetapkan dalam satu kali sebulan memakai bahasa dan nyanyian rohani

berbahasa Bali. Dengan demikian, bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Bali

menjadi lebih dikenal dan dicintai.

Kedua, kepada anggota jemaat.

Keluarga-keluarga jemaat sebagai komponen terkecil dari gereja terus menerus

berupaya mentranmisikan budaya dan tradisi dalam hal ini nyanyian rohani berbahasa

Bali kepada anak-anak sebagai generasi penerus. Hal ini dapat dilakukan dengan

cara tetap memakai dan mengajarkan bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Bali

dalam ibadah-ibadah keluarga. Dengan demikian, diharapkan anak-anak akan belajar

dan mau menerima budaya dan tradisi Bali. Keluarga-keluarga jemaat tetap

menanamkan rasa bangga khususnya terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali dan

umumnya pada bahasa Bali, sehingga nyanyian rohani berbahasa Bali tetap disukai

Page 148: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

148

dan dicintai oleh generasi muda gereja. Bagaimanapun kelestarian budaya dan tradisi

juga merupakan tanggungjawab keluarga-keluarga jemaat.

Page 149: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

149

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2009. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset.

Abineno, J.L.Ch. 1996. Unsur-Unsur Liturgia. Jakarta: Badan Penerbit Kristen.

Agger, B. 2003. Mazhab Frankfurt Karl Marx Cultural Studies Teori FeminisDerrida Post Modernitas Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan danImplikasinya (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.n

Anonim. 1960. Kidung Pamuji dan Mazmur Nyanyian Rohani. Semarang: SatyaWacana.

Anonim. 2000. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Anonim. 2011. Profil Desa Canggu. ____________

Anonim. 2010. Buku Induk Penduduk Banjar Padang Tawang.___________

Ardika, I Wayan. 2007. “Kebudayaan Lokal, Multikultural dan Politik Identitasdalam Refleksi Hubungan Antar Etnis, Antara Kearifan Lokal denganWarga Cina di Bali”, dalam Jurnal Lembaga Kebudayaan. UMM.Edisi Maret Tahun 2007.

Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, DanGlobalisasi. Yogyakarta: Lkis.

Ayub, Ketut Suyaga. 1999. Sejarah Gereja Bali Dalam Tahap Permulaan. Malang:YPII.

Ayub, Made R. 1964. Marga Pakerti “Geguritan”. Denpasar.

Bagus, I Gusti Ngurah. 1990. Akal dan Humor Rakyat Dalam Dongeng Bali.Singaraja : Balai Penelitian Bahasa.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Parktik. (terj. Tim Kunci CulturalStudies Center). Yogyakarta: Bentang

Baudrillard, J. 1988. The Ecstasy of Communication, New York: Semiotex

Page 150: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

150

Beilharz, Peter. 2003. Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para FilosofTerkemuka (terj. Sigit Jatmiko). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bennett. 1976. The Ecological Transition Cultural Anthropology and HumanAdaptation. New York: Pergamon Press.

Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Coe, Shoki. 1992. “Kontekstualisasi Sebagai Jalan Menuju Pembaharuan” dalamDouglas Elwood. (ed). Teologi Kristen Asia,, Jakarta: BPK. GunungMulia.

Darmayuda, I Komang. 2006. “Dinamika Lagu Pop Bali Periode 1990-2005:Perspektif Kajian Budaya”, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar.

Davis, Kingsley. 1960. Humen Society. New York: The Macmillan Comper

Divya Pradana Bakti Biro Seni dan Komunikasi GKPB. 1990. Gita Suksma.Denpasar.

Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: GajahMada University Press.

Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan (terj. Alois A.Nugroho). Jakarta: PT. Gramedia.

Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Gereja Kristen Protestan Bali. 2002. Tata Gereja Tahun 2002. Denpasar.

Gereja Kristen Indonesia. 2005. Nyanyikanlah Kidung Baru. Jakarta: BPK GunungMulia.

Giddens, A. 2003. Masyarakat Post Tradisional. Yogyakarta: IRCiSoD

Gie, The Liang. 2006. Bahasa Estetika Postmodernisme. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada..

GKPB Marga Pakerti Padang Tawang. 2012. Laporan Pelaksanaan Program 2011dan Program 2012. Badung.

Page 151: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

151

Hall, S. 1977. The Media Culture and The Idiological Effect, dalam J. Curran, M.Gurevilch dan J. Woollacott (ed). Mass Comunications and Society.London. Edwar Arnold.

Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius

Hoed, Benny. H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: KomunitasBambu.

Hunter, David. E dan Phillip Whitten. 1976. Encyclopedia of Antrophology. NewYork: Harper and Row Publisher.

Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. (terj. Landung Simatupang). Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset.

Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media, Cultural Studies, Identitas dan Politik:Antara Medern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra

Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakrta: UI-Press.

Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:LkiS.

Mantra, Ida Bagus. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Merti, Ni Made. 2006. “Pemertahanan Bahasa Bali dalam Masyarakat Multikulturaldi Kota Denpasar”, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar.

Miles, Matthew. A Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI.Press.

Moleong, Lexy. J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja RosdaKarya.

Nawawi, H. 1992. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada UniversityPress.

Ningsing, Y. 2006. Sosiologi, Tentang Standar Isi. Jawa Tengah: Cermat

Nurmala, 2005. “Eksistensi Lagu Pop Minangkabau di Sumatera Barat: PerspektifKajian Budaya” Tesis, Universitas Udayana, Denpasar.

Page 152: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

152

Piliang, Yasraf Amir. 2010. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-BatasKebudayaan. Bandung: Matahari.

Prasiasa, Dewa Putu Oka. 2011. Wacana Kontemporer Pariwisata. Jakarta: SalembaHumanika.

Puspitha, Tjatra. 2012.”Pulau Bali sebagai Tempat Pelayanan GKPB” dalamDinamika GKPB dalam Perjalanan Sejarah. Jakarta: PT BPK GunungMulia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Kajian Budaya dan Ilmu Sosial HumanioraPada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sangarimbun, Masri. 1989. Metodologi Penelitian Survai. Jakarta: LP.3ES.

Santoso, Listiyono, dkk. 2010. Epistemologi Kiri, Seri Pemikiran Tokoh.Yogyakarta : AR-RUZZ Media.

Sedyawati, E. 2006. Budaya Indonesia. Jakarta: Raja Gresindo Persada.

Sinode Am GKI. 2005. Nyanyikanlah Kidung Baru. Jkarta: BPK Gunung Mulia

Soekamto, S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Soemarwoto, O. 1997. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:Jembatan.

Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.

Suarningsih. 2004. “Lagu Pop Bali Anak-anak: Perspektif Kajian Budaya” Tesis,Universitas Udayana, Denpasar.

Suparlan, P. 1981. “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Perspektif AntropologiBudaya” dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, No.2, Jilid IX.Jakarta: Fak. Sastra Universitas Indonesia.

Sztompka, P. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. (terj. Alimandan). Jakarta: Prenada.

Tan, Mely G. 1993. “Masalah Perencanaan Penelitian” dalam Koentjaraningrat (ed),Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

Wahyudi, Ibnu. (editor). 2004. Menyoal Sastra Marginal. Jakarta Selatan : WedantaWidya Sastra.

Page 153: Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...

153

Waspada, I Ketut Siaga. 2012. “Penginjilan di Pulau Bali Hingga Lahirnya GerejaBali” dalam Dinamika GKPB dalam Perjalanan Sejarah. Jakarta: PTBPK Gunung Mulia.

Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat Perubahan Sikap, Prilaku Serta Sikapyang Tidak Berkebudayaan. Yogyakarta: Pinus Book Publiher.

Wijaya, Nyoman. 2003. Serat Salib Dalam Lintas Bali, Menapak Jejak PengalamanKeluarga GKPB (Gereja Kristen Protestan di Bali) 1931 – 2001.Denpasar: CV. Krinan.

Yamuger. 1984. Kidung jemaat. Jakarta: Yayasan Musik Gereja Indonesia.

Yohanes, I Nyoman. 1993. Tembang-Tembang Kaulan. Denpasar