1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan umat Kristen dalam ibadah tidak dapat dilepaskan dari nyanyian rohani. Nyanyian rohani atau biasanya disebut Kidung Rohani memegang peran penting (Abineno, 1966.105) di samping kotbah dan doa. Nyanyian rohani merupakan ungkapan pujian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun, nyanyian rohani tidak saja sebagai pujian atas keagungan Tuhan, artinya relasi atas-bawah antara Tuhan dan manusia (baca, umat), tetapi nyanyian rohani dalam liturgi juga berfungsi sebagai panggilan atau ajakan kepada sesama umat untuk datang beribadah. Dalam hal ini, nyanyian rohani berfungsi sebagai relasi antarumat. Selain dua fungsi di atas, nyanyian rohani juga dapat berfungsi sebagai ungkapan penyesalan umat atas segala dosa-dosanya. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa nyanyian rohani mempunyai dimensi dan fungsi yang beragam dalam relasi antarumat serta antara umat dan Tuhan Sang Pencipta. Nyanyian rohani dalam sejarah perkembangan agama Kristen dapat ditelusuri jauh sebelum agama Kristen muncul sebagai satu agama. Perlu ditambahkan bahwa sebagai agama, kekristenan adalah sekte dari agama Yahudi. Dalam kitab Injil Agama Kristen, dikenal ada lima kitab Taurat, yaitu Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Dalam kitab Taurat itu, sudah ditemukan nyanyian rohani yang dinyanyikan oleh umat baik sebagai ungkapan keagungan Allah Yang Maha Kuasa atau sebagai ungkapan penyesalan akan
153
Embed
Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehidupan umat Kristen dalam ibadah tidak dapat dilepaskan dari nyanyian
rohani. Nyanyian rohani atau biasanya disebut Kidung Rohani memegang peran
penting (Abineno, 1966.105) di samping kotbah dan doa. Nyanyian rohani
merupakan ungkapan pujian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun, nyanyian
rohani tidak saja sebagai pujian atas keagungan Tuhan, artinya relasi atas-bawah
antara Tuhan dan manusia (baca, umat), tetapi nyanyian rohani dalam liturgi juga
berfungsi sebagai panggilan atau ajakan kepada sesama umat untuk datang
beribadah. Dalam hal ini, nyanyian rohani berfungsi sebagai relasi antarumat. Selain
dua fungsi di atas, nyanyian rohani juga dapat berfungsi sebagai ungkapan
penyesalan umat atas segala dosa-dosanya. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa
nyanyian rohani mempunyai dimensi dan fungsi yang beragam dalam relasi
antarumat serta antara umat dan Tuhan Sang Pencipta.
Nyanyian rohani dalam sejarah perkembangan agama Kristen dapat
ditelusuri jauh sebelum agama Kristen muncul sebagai satu agama. Perlu
ditambahkan bahwa sebagai agama, kekristenan adalah sekte dari agama Yahudi.
Dalam kitab Injil Agama Kristen, dikenal ada lima kitab Taurat, yaitu Kitab
Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Dalam kitab Taurat itu, sudah
ditemukan nyanyian rohani yang dinyanyikan oleh umat baik sebagai ungkapan
keagungan Allah Yang Maha Kuasa atau sebagai ungkapan penyesalan akan
2
kesalahan dan dosa umat kepada Tuhan. Contohnya dapat dilihat dalam kitab
Keluaran 15 ayat 1 - 18 yang disebut sebagai nyanyian Musa dan umat Israel.
Nyanyian rohani tersebut adalah pujian dan ungkapan syukur karena Tuhan
melepaskan mereka dari tangan tentara Mesir. Dalam Kitab Suci Kristen pada bagian
Perjanjian Lama, bahkan ditemukan satu kitab yang isi keseluruhannya adalah
nyanyian rohani, yaitu Kitab Mazmur. Mazmur artinya nyanyian. Kitab Mazmur
ditulis sebagian besar oleh Raja Daud dan beberapa bagian lain ditulis oleh penulis
yang lain. Nyanyian rohani Mazmur di atas tidak dapat lagi dilagukan oleh umat
kristen pada zaman sekarang ini. Namun demikian, nyanyian rohani Mazmur tetap
dipakai dalam liturgi ibadah umat Kristen, tetapi tidak lagi dinyanyikan akan tetapi
dibaca secara litani yaitu membaca secara bersahut-sahutan antara pemimpin
ibadah dan umat.
Nyanyian rohani baik yang diciptakan pada zaman dahulu maupun pada
zaman sekarang adalah sebuah ungkapan dari penciptanya, yaitu ketika penciptanya
merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam kehidupannya. Salah satu
contoh adalah ungkapan Raja Daud dalam Mazmur 23 ayat 1 – 4 :
“Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku dipadang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang, Iamenyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karenanamaNya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman aku tidak takutbahaya sebab Engkau besertaku, gadamu dan tongkat Mu itulah yangmenghibur aku”
Teks nyanyian rohani di atas adalah ungkapan dari Raja Daud. Sebagai
seorang Raja, ia merasakan penyertaan dan kehadiran Tuhan layaknya seperti seorang
gembala yang menjaga kawanan ternaknya dari ancaman bahaya.
3
Dalam perkembangan liturgi selanjutnya, umat Kristen tidak hanya memakai
nyanyian rohani yang sudah ada, yaitu ciptaan dari umat pada masa lampau seperti
nyanyian rohani di atas , tetapi nyanyian rohani sebagai ungkapan iman umat terus
diciptakan sesuai dengan perkembangan dan pergumulan umat. Artinya, nyanyian
rohani terus berkembang sesuai dengan perkembangan umat Kristen. Bahkan,
nyanyian rohani juga berkembang ke dalam berbagai bahasa di mana umat Kristen
ada dan berkembang, termasuk di Bali
Gereja Kristen Protestan di Bali (kemudian disebut GKPB) adalah gereja yang
lahir dari perjalanan panjang sejarah zendeling di Bali. Zendeling pertama datang
ke Bali pada tahun 1846 (Wijaya, 2003, 26 ; Ayub, 1999: 21). Namun, secara de
facto GKPB baru lahir pada abad 20-an, yaitu pada tanggal 11 November 1931 dan
berbadan hukum nomor 8, tanggal 11 Agustus 1949 berdasarkan Staadblad nomor
214 (Tata Gereja GKPB 2002, vii). GKPB sebagai gereja yang lahir dari zendeling
menganut sistem Presbyterial-Sinodal dan beraliran Calvinistik. GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang yang berkedudukan di Desa Canggu, Kecamatan
Kuta Utara adalah bagian dari gereja yang disebutkan di atas. Sebagai sebuah gereja
yang lahir dan berkembang di Bali, GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang juga menyerap unsur-unsur budaya Bali dalam mengungkapkan imannya.
Coe (1992: 14-15) mengatakan bahwa pemribumian atau kontekstualisasi harus
dilakukan manakala Injil bergerak dari satu lahan budaya ke dalam budaya lainnya
dan mesti diterjemahkan ulang, ditafsirkan ulang, dan diungkapkan secara segar
dalam budaya yang baru. Diadopsinya unsur-unsur budaya Bali dapat dilihat dari segi
4
arsitektur bangunan gereja, cara berpakaian, kegiatan keagamaan termasuk juga
liturgi, dan nyanyian rohani dalam ibadah. Umat Kristen GKPB yang sebagian besar
(90%) adalah orang Bali tetap memakai bahasa Bali baik sebagai percakapan sehari-
hari maupun dalam ibadah. Salah satu contoh dapat dilihat dari nama GKPB Marga
Pakerti yang artinya jalan menuju keselamatan adalah nama yang diambil dari
bahasa Bali.
Nyanyian rohani berbahasa Bali juga telah dipakai oleh umat Kristen di Bali
sejak awal perkembangannya. Salah satu nyanyian rohani berbahasa Bali dalam
perkembangan awal GKPB dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja. Lihatlah Sang Hyang
Isah, pujilah Sang Hyang Isah, Sang Hyang kabentang di Golgota, pujilah Ida Sang
Hyang Yesus”. Nyanyian rohani di atas dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja pada tahun
1931 (Wijaya, 2003: 159). Dalam perkembangan selanjutnya, nyanyian rohani
berbahasa Bali menjadi nyanyian yang memegang peran penting dalam liturgi umat
GKPB, termasuk di dalamnya GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang.
Sampai akhir tahun 1990-an, paling tidak ada tiga buku nyanyian rohani
berbahasa Bali yang diterbitkan baik secara pribadi maupun secara lembaga oleh
GKPB. Buku pertama, nyanyian rohani berbahasa Bali hasil terjemahan dari
nyanyian rohani dari abad ke-15 sampai dengan abad ke-19, yang diterjemahkan
adalah nyanyian rohani berbahasa Belanda, Jerman, Inggris maupun bahasa lainya.
Nyanyian rohani ini dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Kidung Pamuji yang
terdiri atas 109 nyanyian rohani. Kidung Pamuji ini dipakai secara luas oleh jemaat-
5
jemaat GKPB, baik dalam ibadah minggu maupun ibadah- ibadah lain yang dilakukan
oleh umat. Selain itu, pada tahun 1964, Pendeta Made R. Ayub juga menulis
geguritan yang didokumentasikan dalam buku Marga Pakerti (Ayub, 1964).
Selain nyanyian rohani berbahasa Bali di atas, juga ada kumpulan nyanyian
rohani berbahasa Bali yang diciptakan oleh umat atau rohaniwan GKPB misalnya
buku Tembang-tembang Kaula, Seri Lagu-Lagu Rohani Baru ; Bernada dan
Berbahasa Bali, (Yohanes, 1993) yang diciptakan oleh Pdt. I Nyoman Yohanes, S,Th.
Kumpulan nyanyian rohani ini terdiri atas 17 nyanyian rohani berbahasa Bali.
Nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut diciptakan sepanjang tahun 1990 sampai
dengan 1993.
Pada tahun 1990-an, muncul ciptaan-ciptaan nyanyian rohani berbahasa Bali
yang baru. Tercatat ada satu buku nyanyian rohani berbahasa Bali yang terbit dengan
judul Gita Suksma. Buku Gita Suksama adalah kumpulan nyanyian rohani Bali dari
beberapa pencipta. Buku nyanyian rohani ini diterbitkan oleh Divya Pradana Bhakti,
Biro Seni dan Komunikasi GKPB (1999). Nyanyian rohani berbahasa Bali tidak
hanya berkembang dalam bentuk buku, tetapi juga dalam bentuk kaset di antaranya
kaset nyanyian rohani Bali dengan judul Putra Surga yang direkam oleh Apel
Studio. Kaset ini beredar luas di kalangan umat GKPB. Kaset kedua, nyanyian rohani
berbahasa Bali yang dikeluarkan oleh GKPB jemaat Tirta Amerta Pelambingan
dengan judul Tangkil. Kaset ini direkam oleh Midi Quest Studio.
Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali
mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai dengan tahun 1980-an. Dari segi
6
pemakaiannya dalam liturgi, sampai dengan akhir tahun 1980-an, nyanyian rohani
berbahasa Bali menjadi nyanyian utama dalam liturgi minggu dan ibadah-ibadah
lainnya. Hal itu secara sepintas dapat dijelaskan demikian, sejak tahun 1940 hingga
1970-an akhir, dalam liturgi gereja, nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai lebih
dominan daripada nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Dalam satu bulan, kalau
dihitung ada empat hari minggu, maka dalam tiga kali ibadah dipakai nyanyian
rohani berbahasa Bali dan satu kali bahasa Indonesia.
Sejak tahun 1980-an, secara perlahan nyanyian rohani berbahasa Bali mulai
terpinggirkan, tergeser oleh nyayian rohani berbahasa Indonesia. Jika diamati secara
sepintas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dipengaruhi oleh “banjirnya”
nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Pertama, terbitnya buku nyanyian rohani
berbahasa Indonesia yaitu buku Kidung Jemaat yang terbit pertama kali tahun 1984.
Buku kedua yang telah terbit lebih dulu yaitu tahun 1975 tetapi baru dipakai di GKPB
sejak tahun 2000-an adalah buku Nyanyikanlah Kidung Baru. Buku-buku nyanyian
rohani tersebut dengan cepat diterima dan dipakai oleh gereja-gereja yang ada di
Indonesia termasuk juga GKPB. Namun demikian, ada faktor yang jauh lebih dalam
dari sekedar faktor-faktor yang dipaparkan di atas, yaitu apa yang disebut sebagai
pengaruh globalisasi. Seiring dengan perkembangan zaman, meluasnya globalisasi
menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupan manusia, termasuk di dalamnya
runtuhnya batas-batas kebudayaan. Masyarakat hidup dalam dunia yang kehilangan
Yen kakutang antuk reramaHyang Yesus matininginYening tinilar olih sawitraIda tan nilarin, pagehang kahyunneJanten Ida matininginMatiningin iraga, saumur iraga
60
Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
Jangan takut dengan kesulitanTuhan Yesus menjagaDi sana ada tempat perlindunganIa yang menjaga, kuatkan hatiSebab Ia yang menjagaMenjaga kita semua, selama hidup kita
Jika dibuang oleh orang tuaTuhan Yesus menjagaJika ditinggal oleh sahabatIa tidak meninggalkan kita, kuatkan hatiSebab Ia yang menjagaMenjaga kita semua, selama hidup kita.
Syair nyanyian rohani berbahasa Bali di atas menggambarkan keadaan dan
situasi yang dihadapi oleh jemaat pada masa itu. Mereka ditinggalkan oleh orang tua
yang mereka kasihi. Mereka ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya. Namun
demikian, pengarangnya mengajak jemaat untuk tetap kuat dan teguh, sebab
pengharapan mereka ada di dalam Tuhan Yesus yang menjaga kehidupan mereka.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh I Gede Trisna Putra, seorang mantan majelis
jemaat dengan mengatakan sebagai berikut.
“Nyanyian rohani berbahasa Bali sangat kental dengan masa lalu, sejarahmasa lalu, yaitu tentang lahirnya Gereja Bali. Yang dimaksud adalah padamasa kelahiran gereja di Bali, gereja mengalami banyak kesulitan, gerejabanyak mengalami tantangan. Orang-rang yang mengalami tantangan dankesulitan itu menuangkan perasaannya dalam nyanyian” (Wawancara, 8Agustus 2012)
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dapat
dilepaskan dari keadaan dan situasi sosial yang dialami oleh pengarangnya.
61
Dalam konteks yang lain, munculnya nyanyian rohani berbahasa Bali adalah
ketika jemaat mengalami kesulitan ekonomi dalam pengertian keseluruhan. Mereka
merupakan orang-orang miskin yang mengalami masalah sandang, papan, dan
pangan. Pada masa itu, lazim disebut sebagai masa malaise. Masa malaise dialami
oleh hampir sebagian besar penduduk Bali, termasuk di dalamnya orang-orang Bali
yang beragama Kristen (Puspitha, 2012: 44). Salah satu contoh nyanyian rohani
berbahasa Bali yang mengungkapkan situasi tersebut adalah nyanyian rohani no. 63
dalam buku Kidung Pamuji dengan judul, Sang Hyang Widi Ngempu Titiang. Syair
nyanyian tersebut sebagai berikut:
Sang Hyang Widi ngempu titiangTitiang sami druwen IdaJanten nenten kekirangan.Reh kapiara antuk IdaDiastu ngentap jurang bayaNenten wenten sumangsayaReh Ida ne nantan titiangTur ngicen pikukuh manah
Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah sebagi berikut.
Tuhan yang memelihara hidup sayaKami semua adalah milikNyaTidak akan kekuranganSebab Ia yang memeliharaBiarpun menyebrangi bahayaTidak pernah merasa raguSebab Ia yang menuntun sayaDan memberi kekuatan.
Syair nyanyian rohani berbahasa Bali di atas menggambarkan bahwa mereka ada di
dalam masa-masa sulit. Namun demikian, mereka tidak merasa takut karena mereka
62
dipelihara dan dituntun oleh Tuhan. Tuhan yang mereka percayai akan memberikan
dan mencukupkan apa yang mereka perlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam realitas kehidupan umat Krsiten pada masa 1930-an sampai dengan
1960-an, nyanyian rohani berbahasa Bali sangat menolong umat Kristen untuk
membangkitkan semangat dan membangun iman. Seperti yang diungkapkan oleh I
Nyoma Ruja, seorang anggota jemaat yang lahir tahun 1947. Sebagai warga jemaat
generasi kedua dan mantan majelis jemaat, ia mengatakan sebagai berikut.
“Saya masih ingat bagaimana nyanyian rohani berbahasa Bali, ketika masihdipakai secara penuh dalam setiap ibadah, baik ibadah minggu, ibadah hariraya, maupun penguburan untuk jemaat yang meninggal. Dulu ketika kamiberjalan dari rumah duka ke kuburan, kami menyanyikan lagu-lagu pujianmenggunakan bahasa Bali. dan kadang-kadang saya menangis dan tidakdapat menyanyi, mulut saya terkunci, karena apa yang dinyanyikan sangatmeresap dalam hati saya. Saya merasa dikuatkan dalam menghadapi situasisulit ketika itu” (Wawancara, 9 Agustus 2012)
Dari ungkapan di atas, dapat dikatakan bahwa jemaat, khususnya mereka yang
melalui masa tahun 1940-an sampai dengan 1980-an, sangat merasakan dan
menikmati nyanyian rohani berbahasa Bali. Begitu kuatnya nyanyian rohani
berbahasa Bali merasuki hati mereka sehingga mereka menitikkan air mata ketika
menyanyikan nyanyian tersebut. Hal ini menunjukan bahwa nyanyian rohani
berbahasa Bali meresap dalam kehidupan mereka.
Apa yang diungkapakan oleh Nyoman Ruja dan Gede Trisna Putra di atas,
berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Piter Kristianus anggota GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang dari generasi ketiga. Piter Kristianus yang
lahir tahun 1980-an, seorang pemuda jemaat mengatakan sebagai berikut.
63
“Setiap kali ibadah minggu memakai bahasa dan nyanyian rohani berbahasaBali, saya banyak tidak nyambungnya. Saya tidak tahu apa makna darisyair-syair nyanyian rohani berbahasa Bali itu, lagi pula, lagunya sedih danmendayu. Kadang saya hanya bengong. Apalagi kalau kotbahnya memakaibahasa Bali, hampir-hampir saya tidak mengerti apa yang dikatakan olehpendeta. Jadi saya sering memilih tidak ikut ibadah. Saya berpikir toh nantiada waktu lain” (Wawancara, 7 Agustus 2012)
Sebagai warga jemaat generasi ketiga, Piter Kristianus tidak lagi memahami
apa makna dan arti nyanyian rohani berbahasa Bali, ketika nyanyian itu dinyanyikan
dalam ibadah. Hal ini menjadi wajar terjadi dalam diri Piter Kristianus, yang
mewakili warga jemaat generasi ketiga.
Apa yang melatarbelakangi hal di atas adalah perbedaan konteks antara
generasi pertama dan generasi ketiga yang disebabkan oleh adanya perubahan sosial.
Kehidupan warga jemaat generasi pertama sangat kental dengan kesulitan dan
tekanan. Hal ini berbeda dengan generasi ketiga, yang hidup dalam kecukupan secara
materi dan tidak mengalami tekanan secara sosial. Salah satu contoh nyanyian
berbahasa Indonesia yang mengungkapkan sukacita sebagai berikut:
Kasih Allah tak berkesudahan,Selalu baru setiap hariRahmatNya pun tak pernah berakhirSeumur hidupkuDengan sukacita aku akan menariDengan sorak-sorai memujiKunaikkan pujian haleluyaNyanyi bagi Dia sang RajaNyanyi bagi Dia sang Raja selamanya
Nyanyian rohani seperti di atas, mengungkapkan akan kasih dan rahmat Allah yang
tidak pernah berhenti. Allah sebagai sumber berkat memberikan apa yang dibutuhkan
dan memberikan dengan berkelimpahan.
64
Perubahan konteks sosial dari generasi pertama dengan generasi ketiga
menimbulkan sebuah krisis (Koentjaraningrat 1990: 112). Dalam krisis tersebut
generasi pertama yang pro terhadap kebudayaan tradisional akan menolak sebaliknya
generasi kedua dan ketiga yang pro kepada kebudayaan masa kini menginginkan
perubahan.
Perbedaan konteks sosial antara generasi pertama dan ketiga menimbulkan
berbagai persoalan lainya. Salah satu persoalan adalah semakin berkurangnya warga
jemaat yang memahami dan dapat berbahasa Bali dengan baik. Wawancara dengan
Nengah Yakobus Wirasa, tanggal 26 Agustus 2012, yang termasuk golongan
generasi kedua mengatakan bahwa jumlah warga jemaat di tahun 2012 yang dapat
dan memahami bahasa Bali tidak lebih dari 10 sampai 15 orang saja dari 260 warga
jemaat. Itu artinya hanya satu persen saja dari keseluruhan warga jemaat memahami
bahasa Bali yang lainnya lebih memahami bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Bali.
Hal di atas terjadi karena generasi pertama maupun kedua tidak mengajarkan
bahasa maupun nyanyian rohani berbahasa Bali kepada generasi ketiga. Hampir
semua informan yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka tidak mengajarkan
bahasa Bali kepada anak-anak mereka. Mereka memakai bahasa Indonesia ketika
berkomunikasi dengan anak-anak. Alasanya adalah bahwa bahasa Indonesia lebih
dibutuhkan ketika mereka bersekolah dan nantinya masuk dalam dunia kerja. Seperti
diungkapkan oleh seorang informan warga jemaat dari generasi ke tiga Nyoman
Daud Sunarka dalam wawancara demikian.
“Saya tidak mengajarkan bahasa Bali kepada anak saya sebab di sekolahmereka, ibu dan bapak gurunya memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa
65
pengantar. Saya takut anak saya tidak dapat mengikuti pelajaran. Dan jugaketika di rumah, saya coba memakai bahasa Bali ketika komunikasi dengananak, sering kali anak saya menjawab apa ta (ungkapan dari anak bahwa iatidak memahami apa yang dikatakan oleh bapaknya). Dia tidak maumenjawab, sehingga saya lebih memilih memakai bahasa Indonesia”(Wawancara, 30 Juli 2012)
Ungkapan di atas menggambarkan bahwa ada alasan yang masuk akal mengapa
orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa Bali kepada anak-anak mereka. Pertama,
karena alasan bahasa pengantar di sekolah yang memakai bahasa Indonesia. Kedua,
ada rasa enggan dari pihak anak yang tidak mau memakai bahasa Bali. Anak tidak
mau merespon apa yang dikatakan oleh bapaknya. Namun secara tidak langsung,
informan di atas mengatakan bahwa telah terjadi perubahan sosial di tengah
kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Perubahan sosial
tersebut berdampak kepada pemakaian bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari.
Kellner (2010:19) mengatakan bahwa sejak tahun 1960-an, telah terjadi serangkaian
perubahan menakjubkan dalam budaya dan masyarakat di seluruh dunia. Tahun 1960-
an merupakan era kekacauan sosial yang panjang, yang ditandai oleh menjamurnya
berbagai gerakan sosial baru yang menantang berbagai bentuk masyarakat dan
budaya yang mapan dan menghasilkan budaya tandingan baru dan berbagai bentuk
alternatif dari kehidupan sehari-hari. Era ini disebutnya sebagai era “perang budaya”.
Perubahan sosial di atas, menyentuh secara langsung hampir semua sendi
kehidupan. Tourane (dalam Piliang, 2010: 176) mengatakan bahwa kehidupan sosial
kini telah kehilangan kesatuannya dan kini tidak lebih dari sebuah arus perubahan
yang tidak henti-hentinya yang di dalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif
66
tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai ataupun norma sosial. Hal seperti itu tidak
hanya melanda masyarakat perkotaan, akan tetapi juga masyarakat yang hidup di
pedesaan termasuk di dalamnya GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang.
Pada tahun 1940-an, ketika kehidupan mereka belum banyak berinteraksi
dengan masyarakat luar, terutama yang berbeda suku bangsa, mereka masih
menganggap bahasa Bali sudah cukup. Hal yang berbeda terjadi ketika warga jemaat
memasuki tahun 1980-an, di mana pada tahun itu, Bali mengalami “ledakan”
pariwisata. Jalan-jalan mulai dibangun dan diperbaiki dengan pengaspalan, sehingga
desa-desa yang dulu terisolir menjadi desa yang terbuka, termasuk Banjar Padang
Tawang yang mengalami perubahan dalam berbagai bidang. Seperti tampak pada
gambar di bawah ini (Gambar 5.1).
Gambar 5.1 Jalan Utama Banjar Padang Tawang(Dok. :Parwita, 2012)
Gambar 5.1 di atas menunjukkan jalan utama Banjar Padang Tawang yang
dahulunya sempit, mulai diperlebar dan diaspal. Hal ini menjadikan Banjar Padang
Tawang terbuka, bahkan menjadi sangat dekat dengan dua tempat pariwisata yang
67
terkenal, yaitu Kuta dan Tanah Lot. Perubahan tersebut juga telah mengubah cara
berpikir warga jemaat, seperti yang dikatakan oleh seorang informan I Ketut Sadrah
sebagai berikut.
“Sejak Banjar Padang Tawang mulai terbuka yang ditandai dengan diperlebardan diaspalnya jalan, membuat pola pikir dan cara pandang warga banjarberubah. Salah satu contohnya adalah pandangan orang tua terhadap anak-nak. Orang tua beranggapan kalau jaman sekarang anak-anak tidak bisaberbahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia maka, ia dianggapkuno”(Wawancara tanggal 8 Agustus 2012)
Dengan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa dengan berlalunya waktu
telah terjadi perubahan sosial. Berdasarkan sifatnya, perubahan sosial terjadi bukan
hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Ada
kalanya perubahan sosial yang terjadi berlangsung demikian cepat sehingga
membingungkan manusia yang menghadapinya (Ningsing: 2006:3). Perubahan sosial
merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena
perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan komposisi penduduk,
ideologi, ataupun karena adanya penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat.
Perubahan sosial menunjuk pada berbagai modifikasi yang terjadi dalam pola
kehidupan manusia (Samuel Koening dalam Ningsing, 2006: 3).
Perubahan sosial yang dialami masyarakat merupakan faktor penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan budaya. Perubahan sosial dan kebudayaan
merupakan dua bidang yang saling berkaitan. Menyitir apa yang dikatakan oleh
Kingsley Davis, bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan
kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yaitu kesenian,
ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya. Hal yang sama diungkapkan
68
oleh Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001:342) bahwa perubahan-perubahan sosial
dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua-duanya bersangkut-
paut dengan penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu
masyarakat memenuhi kebutuhannya.
Berdasarkan pada pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial
yang terjadi di tengah-tengah kehidupan jemaat menjadi latarbelakang keterpinggiran
nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang. Ketika kehidupan sosial berubah, jemaat tidak lagi melihat dan
merasakan nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah sarana yang dapat
memenuhi kebutuhan jemaat dalam melaksanakan ibadah. Jemaat menolak nyanyian
rohani berbahasa Bali dan memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Inggris
karena menganggap nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sesuatu yang kuno dan
nyanyian rohani berbahasa Indonesia atau Inggris lebih modern. Hal ini sesuai
dengan pendapat Atmaja (, 2010: 69) mengatakan bahwa konsep modern yang
berlaku pada masyarakat Bali yang memposisikan kemajuan identik dengan
kebudayaan putih, di mana salah satu unsurnya adalah bahasa Inggris.
5.2. Perubahan Lingkungan
Berbicara tentang lingkungan maka dalam hal ini ada dua hal yang dapat
dijelaskan, yaitu lingkungan dalam skala kecil dan skala luas. Lingkungan kecil
adalah lingkungan rumah tangga di mana para anggota masyarakat atau keluarga
dapat berkumpul kesehariannya. Keluarga merupakan faktor pertama yang
69
mempengaruhi pertumbuhkembangan anak. Dalam lingkungan kecil di atas, juga
diwariskan kebudayaan atau tradisi kepada generasi penerusnya.
Sebuah kebudayaan atau tradisi akan dapat diwariskan kepada generasi
berikutnya jika generasi yang lebih tua mengajarkan budaya atau tradisi tersebut.
Ada berbagai cara atau media yang dapat digunakan untuk mewariskan budaya atau
sebuah tradisi kepada generasi yang lebih muda. Pada jaman dahulu, orang tua
mengajarkan secara lisan tradisi-tradisi nenek moyang kepada anak-anaknya.
Transmisi budaya dilakukan dengan cerita-cerita pada waktu menjelang tidur oleh
ibu atau bapak kepada anak-anak atau oleh kakek atau nenek kepada cucu-cucunya.
Saat ini, pemindahan nilai-nilai budaya secara lisan sudah sangat jarang
dilakukan, bahkan dapat dikatakan tidak ada lagi. Orang tua seakan-akan tidak lagi
perduli dengan keberlanjutan tradisi yang menjadi ciri khas etniknya. Secara tidak
disadari, orang tua lebih mempercayakan kepada media televisi untuk membimbing
dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan daripada mengajarkan secara langsung, seperti
yang diungkapkan oleh seorang informan I Nyoman Rubin umur 62 tahun, yang
mengatakan sebagai berikut.
“Jangankan untuk mengajarkan nyanyian rohani, bertemu saja kami jarang.Saya cukup sibuk dengan tugas saya sebagai pegawai. Anak-anak juga sibukdengan kegiatannya sendiri, kalaupun kami bertemu lalu ibadah di rumahdan kami memakai nyanyian rohani berbahasa Bali, anak-anak tidak maumenyanyi, dari pada begitu kami memilih nyanyian rohani berbahasaIndonesia. Kami memberikan fasilitas seperti video di mana mereka dapatbelajar secara mandiri” (Wawancara, 27 Juli 2012).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ada rasa enggan dari orang tua untuk
mengajarkan nyanyian rohani berbahasa Bali kepada anak-anak. Selain karena
70
alasan kesibukan dan jarang bertemu, generasi muda jemaat GKPB Marga Pakerti di
Banjar Padang Tawang tidak lagi mengetahui dan memahami nyanyian rohani
berbahasa Bali. Hal ini terjadi oleh karena orang tua sebagai generasi yang
bertanggungjawab untuk meneruskan tradisi, tidak mentransmisikan tradisi dan
budaya kepada generasi muda.
Ketertarikan anak-anak muda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang terhadap tradisi, khususnya nyanyian rohani berbahasa Bali semakin hari
semakin berkurang. Ada indikasi bahwa 5 – 10 tahun mendatang, nyanyian rohani
berbahasa Bali akan betul-betul ditinggalkan. Seorang informan Ketut Yusuf umur
45 tahun, seorang guru Sekolah Minggu, mengatakan sebagai berikut.
“Nyanyian rohani berbahasa Bali memang perlu dilestarikan, tetapi olehkarena desakan kebutuhan dan perubahan jaman nampaknya nyanyianrohani berbahasa Bali tidak lagi dapat menjawab tantangan jaman.Sekarang misalnya, seperti anak saya sama sekali tidak dapat menyanyikannyanyian rohani berbahasa Bali selain juga mereka tidak memahaminya.Di rumah yang mereka putar adalah nyanyian-nyanyian rohani populerberbahasa Indonesia” (Wawancara, 29 Juli 2012).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kondisi nyanyian rohani berbahasa Bali yang
menjadi identitas lokal bagi gereja sedang mengalami tantangan. Tantangan itu
datang dari dua pihak, yaitu generasi tua yang enggan mentransmisikan budaya dan
tradisi kepada generasi muda dan di lain pihak, generasi muda lebih tertarik kepada
yang berbau modern. Abdullah (2006: 52) mengatakan bahwa proses semacam itu
disebut sebagai proses “eklusi sosial”. Suatu kelompok cenderung membangun
wilayah simboliknya sendiri yang membedakan diri dari orang lain. Hal inilah yang
dilakukan oleh generasi muda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
71
Tawang. Generasi muda lebih condong mempelajari sesuatu yang berbau modern
dan tidak tertarik dengan tradisi. Bhaba (dalam Gandhi, 2006: viii) mengatakan
bahwa seluruh pernyataan dan sistem kultural dikonstruksikan dalam sebuah tempat
yang disebut “tempat pengucapan ketiga”. Artinya, identitas kultural selalu berada
dalam wilayah kontradiksi dan ambivalensi sehingga klaim terhadap sebuah hirarki
kemurnian budaya tidak dapat dipertahankan lagi.
Dalam lingkungan yang luas, yang menjadi latar belakang terpinggirkannya
nyanyian rohani berbahasa Bali adalah kurangnya pengetahuan generasi muda
GKPB jemaat Marga Pakerti tentang nyanyian rohani berbahasa Bali. Generasi
muda adalah mereka yang diharapkan akan melanjutkan dan menjaga tradisi-tradisi
nenek moyang. Namun, tidak adanya pengetahuan dan minimnya minat generasi
muda untuk mempelajari nyanyian rohani berbahasa Bali menyebabkan harapan
untuk lestarinya tradisi menjadi sirna. Tradisi, dalam hal ini nyanyian rohani
berbahasa Bali cenderung terpinggirkan. Sztomka (2004: 57) menyatakan bahwa
dalam era mondial tempat terjadinya pertarungan antara nilai-nilai tradisi dan nilai-
nilai global, diharuskan perubahan tradisi menjadi suatu yang bermakna bagi
masyarakat pendukungnya. Jika tidak demikian, maka tradisi masyarakat pribumi
dipengaruhi dan bahkan disapu bersih oleh globalisasi.
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, Kecamatan Kuta
Utara sedang menghadapi tantangan globalisasi. Generasi muda GKPB jemaat
Marga Pakerti lebih cenderung mempelajari hal-hal yang menurut mereka baru dan
72
bersifat modern (Gambar 5.2). Hal-hal yang baru dan modern, yang menurut
anggapan mereka, lebih bergengsi dan dapat menjadikan mereka populer.
Gambar 5.2 Anak-anak Muda GKPB Jemaat Marga Pakerti Bermain Band(Dok. :GKPB Marga Pakerti, 2011)
Gambar 5.3 Anak-anak Muda GKPB Jemaat Marga PakertiSedang Berlatih Band(Dok. :Parwita, 2012)
Gambar 5.3 di atas menunjukkan bahwa anak-anak sebagai generasi muda
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang di Banjar Tawang, lebih memilih
73
memainkan alat-lat musik modern daripada alat musik tradisional. Mereka memilih
belajar memainkan musik band dan menyanyikan nyanyian rohani populer berbahasa
Indonesia daripada belajar memainkan musik tradisi seperti angklung bambu. Mereka
berpikir bahwa dengan mahir memainkan alat musik band dan menyanyikan
nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia, mereka dapat menjadi populer dan
tidak dikatakan “jadul” (jaman dulu). Itu merupakan sebuah istilah yang sering
dipakai oleh anak-anak muda untuk mengatakan kepada seseorang yang tidak
mengerti tentang teknologi atau budaya modern.
Gambar 5.4 di bawah ini menunjukkan bahwa peminat musik tradisi adalah
mereka dari kalangan generasi tua.
Gambar 5.4 Sekehe Angklung Bambu Melakukan Latihan(Dok. :GKPB Jemaat Marga Pakerti, 2011)
Pemikiran di atas merasuki pemikiran anak-anak muda GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang. Seorang informan Wayan Suartha penatua
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang mengatakan sebagai berikut.
74
“Anak-anak seperti anak saya banyak kosa kata bahasa Bali tidak merekamengerti. Mereka sering bertanya kalau misalnya mereka mendengar kosakata yang baru. Anak-anak muda sekarang nampaknya lebih suka belajarhal-hal yang modern. Contohnya seperti di gereja, gereja menyediakanangklung bambu lengkap dengan harapan semua anggota jemaat termasukanak muda yang berminat mau belajar supaya nanti dapat dipakai untukmengiringi ibadah. Tetapi kita lihat alat musik itu sekarang nongkrong digudang sampai berdebu, mungkin juga sekarang sudah rusak, sepertinyaanak-anak menganggap tidak gaul kalau belajar atau memakai musikangklung“ (Wawancara, 29 Juli 2012)
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ada kesan bahwa anak-anak muda
tidak berminat belajar atau memakai sesuatu yang bersifat tradisi. Generasi muda
cenderung menyukai hal-ahal yang berbau modern. Kalau hal ini dibiarkan terus
tidak tertutup kemungkinan bahwa tradisi, dalam hal ini nyanyian rohani berbahasa
Bali, akan musnah. Dengan meminjam istilah yang dikatakan oleh Storey (2007: 54),
globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan
menggiring masyarakat ke persamaan atau homogenitas budaya serta menentang
nilai-nilai dan identitas kelompok.
Dengan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang ada dalam situasi atau masa transisi. Transisi yang
dimaksud adalah peralihan dari tradisi lama kepada tradisi baru. Pada satu sisi,
tradisi lama masih dijalani oleh generasi tua dan pada saat yang sama ditolak oleh
generasi muda. Dalam masa transisi, akan terjadi tarik menarik antara mereka yang
pro dan kontra perubahan (Koentjaraningrat, 1990: 112). Fenomena seperti inilah
yang terjadi dalam kehidupan GKPB jemaat Marga pakerti di Banjar Padang
Tawang.
75
5.3. Peningkatan Pendidikan .
Pendidikan baik yang bersifat formal maupun nonformal dapat menjadi
sebuah sarana untuk meningkatkan sumber daya manusia. Perkembangan pendidikan
di era informasi yang begitu cepat telah mengubah dan mengembangkan berbagai
macam pendidikan. Beragamnya jenis pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah-
sekolah maupun lembaga-lembaga pendidikan membuka kesempatan bagi warga
masyarakat untuk memilih jenis pendidikan yang diminati.
Anak-anak muda yang telah menamatkan pendidikan menengah atas dapat
memilih melanjutkan ke perguruan tinggi atau mengikuti kursus-kursus singkat yang
menawarkan kompetensi. Namun, harus diakui bahwa pendidikan formal dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dituntut untuk
mengikuti kurikulum yang sudah diatur sedemikian rupa menjadi paket-paket untuk
kepentingan tertentu tanpa memperhatikan kondisi, kepentingan, kebutuhan, atau
spesifikasi sekolah atau daerahnya (Wibowo, 2007: 52)
Fenomena di atas juga terjadi di Banjar Padang Tawang karena beragamnya
jenis pendidikan berpengaruh terhadap meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat.
Dibandingkan dengan dua puluh atau tiga puluh tahun sebelumnya, tingkat
pendidikan anggota GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang hanya Sekolah
Dasar, tetapi sekarang tingkat pendidikan anggota GKPB jemaat Marga Pakerti di
Banjar Padang Tawang sudah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) (lihat Tabel
4.2). Bahkan, beberapa anggota jemaat Marga Pakerti Padang Tawang sudah
mencapai tingkat magister.
76
Meningkatnya tingkat pendidikan warga jemaat GKPB Marga Pakerti Padang
Tawang tentu saja mempengaruhi pola pikir dan cara pandang terhadap realitas
sosial dan kehidupan. Generasi tua yang rata-rata tingkat pendidikan formalnya
rendah dalam kehidupan kesehariannya masih memegang tradisi dan budaya dengan
kuat. Mereka beranggapan bahwa tradisi dan budaya yang diwariskan oleh nenek
moyang mereka harus dijaga dan dilestarikan. Tradisi dan budaya tersebut dipahami
sebagai sesuatu yang keramat, kalau tidak dijaga dan diindahkan akan berdampak
pada kehidupan sosial mereka.
Pemahaman generasi tua di atas tentu saja bertolak belakang dengan generasi
muda yang memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Tradisi dan budaya
bukan sebagai sesuatu yang keramat tetapi tradisi dan budaya dipahami sebagai
tradisi yang berkembang di masa lalu dan tidak selalu harus dipakai dan dilestarikan.
Menurut Abdullah (2009: 172), kebudayaan atau tradisi sebagi sesuatu yang
“dipilih” bukan “diterima”. Abdullah juga melihat bahwa orientasi nilai yang
berubah dalam masyarakat pada dasarnya menjadi basis munculnya perbedaan sosial
yang kemudian menjadi basis struktural dalam pendefinisian budaya. Kebudayaan
menjadi lain artinya pada kalangan menengah dan pada kelompok “anak baru gede”
(ABG) atau kelompok profesional. Pemikiran ini kalau diterapkan dalam fenomena
di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, maka ada perbedaan
dalam cara pandang terhadap budaya atau tradisi yang ada. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh perbedaan tingkat pendidikan di antara keduanya. Seorang informan
77
Ferdi Nugroho seorang pemuda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang umur 27 tahun mengatakan sebagai berikut ini.
“Nyanyaian rohani berbahasa Bali adalah bagian dari masa lalu yang tidakcocok lagi dengan situasi atau keadaan pada jaman kami. Kami hidup dizaman yang berbeda dengan orang tua, kakek dan nenek kami. Kami punyapemikiran dan budaya yang berbeda. Walaupun dalam keseharian kamimemakai bahasa Bali untuk berkomunikasi tetapi ketika ibadah memakainyanyian rohani berbahasa Bali, kami tidak memahami nyanyian rohanitersebut. Lagunya seperti orang sedih dan menderita, sedangkan kami inginlagu-lagu yang lebih semangat dan lebih gembira. Ibadah menurut kamiadalah mengungkapkan rasa syukur dan nyanyian yang dipakai harusnyayang bernuansa gembira” (Wawancara, 7 Agustus 2012).
Penuturan Ferdi Nugroho di atas menunjukkan bahwa anak-anak muda yang
mempunyai pendidikan yang lebih tinggi adalah lebih terbuka. Sebagai anak-anak
muda, mereka menginginkan hal-hal yang baru, dibandingkan melanjutkan tradisi
yang diwariskan oleh orang tuanya. Sebagai anak-anak muda, mereka tidak merasa
perlu atau berkepentingan untuk mempertahankan tradisi nenek moyang mereka.
Mereka beranggapan bahwa tradisi yang lalu adalah milik orang tua yang tidak cocok
dengan budaya dan gaya hidup mereka pada masa kini. Keterbukaan yang
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dapat menyebabkan landasan budaya seseorang
menjadi sangat terbuka jika dibandingkan dengan sebelumnya, sehingga “budaya
asal” tidak dikenal atau tidak diinginkan. Mereka kehilangan identitas terhadap
budaya yang lalu (Abdullah, 2009: 173).
Faktor pendidikan telah mengambil peran yang menyebabkan berubahnya
cara pandang jemaat terhadap tradisi dan budaya yang seharusnya mereka wariskan.
Jika fenomena yang dialami oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang di atas disoroti dari pemikiran Giddens, maka hal itu sangat sesuai. Giddens
78
(2003: 8) mengatakan bahwa kehancuran budaya lokal diakibatkan oleh masyarakat
lokal itu sendiri yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengimbangi derasnya
arus globalisasi yang melanda tradisi lokal. Fenomena inilah yang sedang dihadapi
oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang yang melatarbelakangi
keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang.
5.4. Perkembangan Media dan Teknologi
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang adalah jemaat yang
sebagian besar anggotanya (93%) dari etnis Bali (lihat Tabel 4.4). Sebagai orang Bali,
dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang masih memegang tradisi dan budaya Bali. Budaya dalam konteks
norma dan sistem sosial masyarakat masih tercermin dalam semua segi kehidupan.
Akan tetapi, saat ini GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang sedang
mengalami berbagai perubahan oleh karena derasnya perkembangan media dan
teknologi.
Nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah warisan budaya telah dipakai
oleh jemaat sebagai sarana atau media untuk menyembah dan mengungkapkan
keagungan Tuhan. Nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai dalam seluruh
ibadah, baik ibadah minggu maupun ibadah keluarga. Sebagai sebuah sarana,
nyanyian-yanyian rohani berbahasa Bali sangat menolong umat untuk
mengungkapkan segala rasa syukur dan hormat kepada Tuhan. Hal seperti ini masih
79
dirasakan oleh generasi kedua jemaat, seperti yang dikatakan oleh Wayan Gama
umur 61 tahun dan mantan anggota majelis jemaat, sebagai berikut.
“Saya hapal semua lagu-lagu rohani berbahasa Bali yang ada di dalamKidung Pamuji. Saya suka menyanyikannya karena nyanyian itumenguatkan iman saya. Kalau saya sedang susah atau sedih dan kadangdalam masalah, saya menyanyikan lagu-lagu itu, apa lagi ibu saya,sekalipun sudah tua tetapi masih selalu menyanyikan kidung Bali.Rasanya saya dekat sekali dengan Tuhan ketika menyanyikan kidungrohani Bali” (Wawancara, tanggal 27 Juli 2012).
Dari ungkapan di atas tersirat, bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sangat
mempengaruhi kehidupan kerohanian umat GKPB Jemaat Marga Pakerti. Namun
demikian, hal seperti di atas tidak lagi dirasakan oleh anak-anak muda GKPB
jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Kehidupan generasi mudanya telah
terkontaminasi dan termodifikasi oleh berbagai gaya hidup. Hal ini terjadi oleh
karena pengaruh media dan teknologi, baik media elektronik seperti televisi, internet
maupun media cetak seperti surat kabar. Selain itu, media telekomunikasi seperti
telpon genggam telah mengubah gaya hidup jemaat khususnya dalam pergaulan
antarsesama.
Televisi sebagai media elektronik, dengan berbagai macam tayangan
programnya, memberikan berbagai macam pilihan gaya hidup modern yang berbeda
dengan gaya hidup yang diwariskan oleh orang tua mereka. Dengan kata lain, televisi
secara langsung telah mentransformasikan sistem nilai yang berbeda dengan sistem
nilai yang dianut oleh pemirsanya, sehingga mengaburkan batas-batas budaya.
Menyitir apa yang dikatakan oleh Abdullah (2009: 55-56), televisi sesungguhnya
telah mengaburkan batas-batas fisik dan budaya sehingga menciptakan
80
deteritorialisasi, yaitu suatu dunia yang baru dengan batas-batas wilayah dan nilai
yang bersifat relatif. Dengan demikian, hendak dikatakan bahwa kehadiran televisi
sebagai media elektronik di tengah-tengah keluarga telah mendorong perubahan
budaya semakin cepat. Hal itu diungkapkan oleh seorang informan Ketut Sadrah.
“Televisi sekarang telah menguasai kehidupan anak-anak. Setiap keluargasekarang punya televisi dan jika dibandingkan dengan saya dulu yanghanya mendengar cerita dari orang tua anak-anak sekarang diceritai olehtelevisi. Film kartun misalnya jauh lebih menarik daripada mendengarcerita orang tua. Anak-anak betah berjam-jam di depan televisi tentu sajatanpa disadari oleh orang tua anak-anak perlahan-lahan mengikuti gayadan apa yang ditonton di televisi. Singkatnya anak-anak kita sudahkebarat-baratan” (Wawancara, 8 Agustus 2013)
Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah
budaya yang dapat menjadi media untuk mentransformasikan nilai-nilai kehidupan
secara perlahan terpinggirkan. Televisi sebagai media elektronik dengan berbagai
macam program tayangannya tidak mendorong keberlangsungan hidup sebuah
budaya, tetapi sebaliknya mematikan budaya yang sudah dianut sebelumnya.
Kondisi ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Storey (2003: 54) bahwa
globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisioanl dan
menggiring umat manusia pada pola persamaan budaya atau homogenitas budaya
yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini mengakibatkan atau
mengancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya
lokal menuju kepunahan.
Besarnya pengaruh televisi dan teknologi modern terhadap perubahan budaya
jemaat tercermin dari apa yang dikatakan oleh seorang informan, Piter Kristianus
81
seorang anggota pemuda GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang, umur 25
tahun demikian.
“Kalau ibadah di gereja memakai nyanyian rohani berbahasa Bali sayaseperti orang kuno. Saya lebih senang dan merasa enjoy kalau ibadahmemakai lagu rohani populer, bila perlu sedikit nge- rock karena lebihhidup, tidak melempem seperti lagu-lagu rohani Bali. Seperti di televisi,ibadah diiringi dengan musik band dan kita dapat menyanyi denganekspresi bebas, mau berdiri, bertepuk tangan atau berjingkrak-jingkrakboleh-boleh saja” (Wawancara, tanggal 7 Agustus 2012).
Ungkapan Pieter di atas menunjukkan bahwa anak-anak muda GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang lebih memilih nyanyian rohani yang berbau pop
atau rock, seperti yang mereka saksikan di televisi. Mereka tidak menyukai nyanyian
rohani berbahasa Bali seperti yang sudah ada karena nyanyian rohani berbahasa Bali
cenderung tenang, lambat, dan kurang bersemangat.
Pengaruh televisi terhadap kehidupan anak-anak muda tidak terbatas pada
pilihan nyanyian rohani yang ingin mereka pakai, tetapi juga menyangkut pilihan
gaya dan style yang ditampilkan di layar televisi. Ketika seorang artis di televisi
menyanyikan sebuah lagu dengan bergoyang, berjingkrak menggerakkan seluruh
badannya dan menyanyikan lagunya sambil berteriak mengacungkan jari tangan
mereka sebagai simbol-simbol, gaya seperti itulah yang diadopsi oleh anak-anak
muda ketika melakukan ibadah. Menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Hal itu dapat dilihat pada saat anak-anak muda ketika berjumpa dengan
teman-temanya. Mereka memberi salam dengan mengacungkan dua jari tangannya,
jari telunjuk dan jari tengah dan mengepalkan jari yang lainnya lalu mengatakan
peace . Tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan dengan kata-kata dan simbul
82
seperti itu. Anak-anak muda melihat dan meniru dari para selebritis di televisi yang
melakukan hal yang sama. Mereka meniru, mengadopsi, dan menjadikan sebagai
gaya hidup mereka. Cara-cara seperti itu mereka tafsirkan sebagai gaya hidup
modern yang cocok dengan style anak muda.
Dalam proses perubahan gaya hidup di atas, menyitir yang dikatakan oleh
Abdullah (2009: 58), bahwa dalam proses kehidupan dewasa ini, sistem nilai
tradisional mulai digantikan oleh sistem nilai modern. Sistem nilai tidak lagi berkiblat
pada tradisi, tetapi pada nilai-nilai modernitas dengan logika berpikir yang berbeda.
Lebih lanjut, Abdullah mengatakan bahwa berubahnya nilai dalam masyarakat,
ketika kehidupan bukan hanya melanjutkan naluri masa lalu tetapi telah menjadi
arena negosiasi berbagai tata nilai yang tidak hanya lokal dan nasional, bahkan juga
global sifatnya. Media dan teknologi memegang peranan yang sangat penting dalam
terjadinya perubahan.
Pilihan gaya hidup yang sangat dipengaruhi oleh televisi seperti di atas juga
mempengaruhi pilihan mereka terhadap apa yang mereka pelajari dan apa yang
mereka tolak untuk dipelajari. Mereka tidak tertarik untuk mempelajari alat-alat
musik Bali dan nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali. Mereka memilih untuk
mempelajari alat-alat musik gitar dan perangkat alat musik band yang dipersepsikan
sebagai yang modern. Mereka menganggap bisa bermain gitar dan menyanyikan
nyanyian pop lebih bergengsi dan dapat menjadi populer daripada menyanyikan
nyanyian rohani berbahasa Bali dan bermain alat musik angklung bambu. Life style
yang memungkinkan mereka populer dan dianggap bergengsi lebih diutamakan
83
daripada belajar tradisi atau budaya Bali yang lebih menekankan pada ajaran norma
dan nilai-nilai kehidupan.
Pilihan gaya hidup di atas sejalan dengan pemikiran Hall (1977: 140) yang
mengatakan bahwa televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif
pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di mana seseorang mempersepsikan “dunia”,
realitas yang dijalani orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan yang
ada, yang sudah dijalani selama ini. Analisis di atas, jika dikaitkan dengan realitas
sekarang, khususnya yang terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang sangat tepat. Kehidupan jemaat dan khususnya anak-anak muda yang
terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang telah banyak
mengalami pergeseran dari tradisi ke modern. Pergeseran kebiasaan ini tidak
terlepas dari pengaruh media massa sebagai model yang mereka tiru.
Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan
totalitas, kesatuan nilai budaya lokal. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya
lokal ke dalam tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi
basis dalam pembentukan sub-subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan
kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan
dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal
dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan
mengalami redefinisi dan diferensiasi yang terjadi secara meluas dan menunjukkan
sifat relatif suatu praktik sosial. Kleden (2000: 138) mengatakan bahwa kondisi
seperti itu disebut sebagai kondisi masyarakat yang mengalami perubahan. Perubahan
84
tersebut mencakup hampir semua segi kehidupan termasuk di dalamnya perubahan
budaya.
Globalisasi juga telah membuat cara-cara mempraktikkan ajaran nenek
moyang, khususnya tradisi menyanyikan nyanyian rohani berbahasa Bali mengalami
perubahan. Kondisi ini diakibatkan oleh cara berpikir masyarakat yang selalu
menginginkan sesuatu yang baru. Iklim yang kondusif bagi perbedaan-perbedaan cara
hidup tersebut telah melahirkan proses individualisasi yang meluas, menjauhkan
manusia dari konteks hidup kesehariannya (Simmel, 1991: 17). Pandangan Simmel di
atas sejalan dengan fenomena yang terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang yang selalu menginginkan kebaruan.
5.5. Kemajuan Ekonomi
Ekonomi juga membawa dampak keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali. Hal ini tidak terlepas dari prilaku atau dorongan keinginan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan keinginan itu, manusia terus berusaha
dengan berbagai cara dan upaya agar terpenuhi kebutuhannya. Sifat manusia yang
selalu ingin meningkatkan kehidupannya merupakan kenyataan bahwa manusia
adalah mahkluk ekonomi (homo economicus). Homo ‘manusia’, economicus ‘yang
hidup menurut kepentingan diri sendiri’. Manusia sebagai mahkluk ekonomi berarti
manusia dalam upayanya mencari dan memperoleh kemakmuran selalu ingin
melepaskan diri dari faktor moral dan bertindak sebagai mahkluk ekonomi saja
(Nurdin, 2008: 63). Berkaitan dengan penelitian ini, faktor ekonomi yang
menyebabkan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali adalah ekonomi
85
kapitalisme di mana pariwisata menjadi ujung tombaknya. Berikut ungkapan seorang
informan Nengah Yakobus Wirasa :
“Dalam kenyataan sekarang, anggota jemaat tidak dapat dilepaskan daripengaruh pariwisata. Ekonomi jemaat sebagian besar bergantung pada‘kucuran dolar’ sektor pariwisata. Pengaruh itu sesungguhnyamempengaruhi keseluruhan kehidupan jemaat. Coba kita perhatikan polapikir dan tindak jemaat, orientasi mereka adalah uang. Apapun yangmereka lakukan maka pertanyaannya adalah apakah hal itu memberikankeuntungan atau tidak. Itulah sebabnya ketika anak saya menyelasaikanSMA-nya, saya anjurkan masuk jurusan sastra Inggris karena tanpamengusai bahasa Inggris kita akan kalah bersaing” (Wawancara, 26 Juli2012)
Gerakan globalisasi yang paling nyata dirasakan oleh masyarakat khususnya
di Bali adalah aktivitas pariwisata yang semakin meningkat. Pariwisata sebagai
sebuah aktivitas telah mendatangkan berbagai keuntungan ekonomi bagi masyarakat
di sekitarnya. Masyarakat banjar Padang Tawang yang sangat dekat dengan pusat-
pusat pariwisata yang ada di Kabupaten Badung juga menikmati keuntungan-
keuntungan yang diberikan oleh pariwisata. Catatan kependudukan berkaitan dengan
pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar angkatan kerja produktif Banjar
Padang Tawang berkecimpung di bidang pariwisata (Tabel 4.1).
Dalam kegiatan pariwisata, terjadi berbagai aktivitas yang tidak terbatas pada
ruang dan waktu, tetapi juga melibatkan manusia dari berbagai belahan dunia.
Mereka saling berinteraksi satu sama lain sesuai dengan bidang pekerjaannya. Dalam
sistuasi seperti ini, akan timbul proses akulturasi. Menurut Poespowardoyo (1989:
122), proses akulturasi dapat mendatangkan dominasi dan integrasi kebudayaan. Jika
akulturasi mendatangkan dominasi kebudayaan asing, itu akan menimbulkan
keterpinggiran budaya lokal yang menjadi cermin budaya setempat. Pendapat
86
Poespowardoyo di atas, juga dialami oleh Jemaat GKPB Marga Pakerti. Seorang
informan, Gede Trisna Putra mantan majelis Jemaat mengatakan:
“Pariwisata yang berkembang sekarang ini, identik dengan bahasa Inggris.Kalau kita tidak memahami bahasa Inggris, maka kita akan ketinggalankereta. Sementara itu, harus kita akui bahwa secara ekonomi, kita diBali sangat tergantung pada pariwisata. Coba bayangkan kalaupariwisata tidak ada, atau tidak berkembang pesat seperti sekarang ini,siapa yang akan membeli produk-produk pertanian seperti sayur danlain-lainnya. Siapa yang akan mendanai kegiatan-kegiatan budaya atauupacara-upacara yang begitu banyak. Tidak ada! Itu artinya kita sangattergantung dengan pariwisata, sehingga kalau kita tetap ingin eksis dalamdunia pariwisata, kita harus dapat berkomunikasi dan memahami bahasaInggris” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
Ungkapan di atas mengatakan bahwa bahasa Inggris unggul terhadap bahasa yang
lain. Bahasa Inggris menjadi bahasa yang dominan dan bahkan harus dipahami oleh
orang-orang yang mengambil bagian dalam kegiatan pariwisata. Pendapat di atas
dapat diakui kebenarannya. Namun demikian, secara tidak sadar telah meminggirkan
budaya lokal, dalam hal ini bahasa Bali.
Benturan antara budaya lokal dan global bersama berkembangnya pariwisata
memberi peluang terpuruknya budaya lokal dalam derasnya budaya global. Bagus
(1989: 106) mengatakan bahwa turisme dapat mengubah inti kebudayaan Bali,
pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan, dan hingga bentuk-bentuk sosial yang
telah terbukti mampu menopang integritas mayarakat Bali. Namun demikian,
pariwisata tetap dibutuhkan dalam perkembangan ke depan dengan meminimalisasi
dampak buruk dari pariwisata sehingga budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai
tidak terpinggirkan.
87
Pariwisata sebagai kegiatan global yang tumbuh dan berkembang di tengah-
tengah masyarakat Bali adalah bagian dari globalisasi ekonomi di mana kapitalisme
ada di dalamnya. Hal ini mengandung arti bahwa memahami pariwisata tidak dapat
dipisahkan dari kapitalisme (Prasiasa, 2011: 56). Berkaitan dengan hal itu, dampak
yang ditimbulkan oleh pariwisata yang diboncengi oleh kapitalisme adalah
dikembangkannya daerah-daerah pariwisata yang baru untuk meningkatkan
pertumbuhan yang berujung pada meningkatnya keuntungan.
Dikembangkannya daerah-daerah pariwisata dengan segala pendukungnya
seringkali tidak mempertimbangkan dampak sosial atau dampak terhadap tradisi dan
budaya lokal. Prasiasa (2011: 62) mengatakan bahwa pengembangan pariwisata yang
berorientasi pada upaya mengejar pertumbuhan dengan mengandalkan modal dari
kaum kapitalis dan menempatkan pariwisata dalam konteks kapitalisme akan banyak
dihadapkan pada apa yang dinamakan dominasi. Akibatnya, masuknya pariwisata
yang menekankan pertimbangan ekonomi menggusur segala sesuatu yang berbau
lokal termasuk budaya dan tradisi di dalamnya.
Interaksi antara masyarakat lokal dengan para wisatawan tanpa disadari telah
melahirkan perubahan-perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk
di dalamnya berubahnya cara pandang masyarakat terhadap tradisi dan budaya.
Perubahan cara pandang terhadap tradisi seperti itu juga dialami oleh jemaat GKPB
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Menyitir pernyataan Baudrillard tentang
masyarakat konsumen (consumer society), dikatakan bahwa industri apapun dapat
menyebabkan terjadinya pergeseran dan keterputusan zaman yang mengakibatkan
88
munculnya totalitas sosial baru dengan berbagai pengorganisasian dan prinsip-
5.6. Heterogenitas Jemaat: Daerah Asal, Etnik, Budaya, dan Bahasa
Kemajuan teknologi, khususnya teknologi transportasi menyebabkan
mobilitas penduduk semakin lancar. Pada zaman sekarang, orang membutuhkan
waktu hanya dalam hitungan jam untuk pergi dari satu belahan dunia ke belahan
dunia lainnya. Kemajuan teknologi transportasi telah membuat jarak semakin pendek.
Selain kemajuan teknologi transportasi, kemajuan teknologi media dengan televisi
dan internet membuat orang dapat mengetahui satu peristiwa di belahan dunia yang
lain pada saat yang bersamaan. Dua kemajuan di atas telah membuat manusia tertarik
untuk bepergian ke satu daerah lain baik untuk berwisata maupun untuk menetap di
daerah yang baru.
Saat ini di beberapa daerah di Bali, dalam satu daerah tertentu masyarakat
tidak lagi hidup berdampingan hanya dengan sesama satu suku atau bahasa, tetapi
mereka berdampingan dengan orang-orang yang berasal dari suku dan bahasa
berbeda. Sejak tahun 2000-an, tumbuh dan berkembang rumah-rumah yang
ditempati oleh kaum pendatang dari luar negeri. Rumah-rumah itu lazim disebut vila.
Sampai tahun 2012, ada sekitar 20 vila yang ada di sekitar Banjar Padang Tawang.
89
Gambar 5.5. Vila yang Ada di Sekitar Banjar Padang Tawang(Dok. :Parwita, 2010)
Mereka yang tinggal di vila tersebut adalah orang-orang asing dari berbagai
negara. Vila tersebut mereka kontrak untuk jangka panjang, rata-rata 20 sampai 25
tahun. Mereka tinggal dan menetap untuk jangka waktu yang cukup panjang.
Biasanya mereka tinggal untuk tiga bulan dan akan melanjutkan pada bulan
berikutnya. Karena itu, dalam setahun mereka akan pergi dan pulang berulang-
ulang. Kehadiran mereka mau tidak mau juga menimbulkan perjumpaan dengan
masyarakat lokal di sekitarnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan dengan kehadiran vila-vila tersebut adalah
kehadiran kaum urban dari berbagai pelosok yang dipekerjakan di vila-vila tersebut.
Kebanyakan di antara mereka adalah anak-anak muda yang datang dari daerah
Indonesia bagian timur, seperti Nusa Tenggara Timur atau Barat (lihat Tabel 4.4).
Mereka rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan tidak mempunyai
kemampuan yang cukup dalam bidangnya. Minimnya kemampuan atau kompetensi
yang dimiliki menjadikan mereka bersedia mengambil pekerjaan serabutan. Mereka
adalah tenaga-tenaga kerja yang dibayar dengan murah.
90
Kehadiran orang asing dan kaum urban dari berbagai daerah mau tidak mau
juga menimbulkan interaksi budaya. Perjumpaan antarsuku dan bahasa yang berbeda
akan menimbulkan perjumpaan budaya. Perjumpaan budaya yang berbeda kerap kali
menimbulkan budaya hibrid, yaitu persilangan gaya hidup melalui penciptaan
berbagai bentuk hibriditas dan hibridisasi gaya hidup yang menghasilkan berbagai
gaya hidup hibrid. Hibridisasi, menurut Ihab Hassan (dalam Piliang, 2010: 242)
adalah proses penciptaan atau replikasi bentuk-bentuk muatan melalui perkawinan
silang, yang menghasilkan entitas campuran yang tidak lagi utuh, meskipun di
dalamnya masih tersisa sebagian identitas diri dari dua unsur yang dikawinsilangkan.
Hal seperti itu sering kali terjadi dalam lingkup perumahan-perumahan yang tumbuh
dan menjamur di berbagai daerah di Bali. Muhallim
(blogspot.com/2007/11/hibriditas-kosmopolitanisme) mengatakan bahwa
membiaknya hibrida budaya adalah merupakan konsekuensi nyata dari proses
globalisasi. Lebih lanjut, Muhallim mengatakan bahwa hibrida budaya bukan
sekedar konsekuensi globalisasi belaka, tetapi merupakan “mega proyek” di balik
imajinasi globalisasi. Artinya, globalisasi telah memfasilitasi pertukaran dan
penyebaran nilai-nilai budaya dan sekaligus mempercepat pembiakan percampuran
budaya melalui berbagai cara seperti lewat teknologi informasi, media massa, wisata,
mode, dan berbagai instrumen gaya hidup modern lainnya.
Hal di atas juga mempengaruhi kehidupan bergereja GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang. Kalau dibandingkan dengan tahun sebelum 1990-
an, anggota gereja hampir seratus persen dari suku Bali, tetapi dalam perjalanan
91
selanjutnya, keanggotaan gereja semakin heterogen. Pengunjung dan anggota gereja
tidak lagi dari suku Bali semata, tetapi telah bercampur dengan etnis, budaya, dan
bahasa lainnya. Kehadiran mereka sebagai anggota gereja mau tidak mau akan
mewarnai kehidupan gereja. Hal ini diungkapkan oleh seorang informan, I Gede
Trisna Putra dengan berkata demikian.
“GKPB Marga Pakerti Padang Tawang dekat dengan daerah pariwisata danjuga dekat dengan pusat kota Denpasar, di mana begitu banyak adapendatang-pendatang dari suku-suku lain. Mereka tidak hanya menetap dikantong-kantong perumahan di kota, tetapi juga di desa-desa yang ada disekitar kota seperti PadangTawang. Oleh karena itu semakin hari semakinbanyak pendatang tinggal di Banjar Padang Tawang dan banyak di antaramereka beragama Kristen. Mau tidak mau gereja harus memperhatikan danmelayani mereka” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
Ungkapan di atas memberikan gambaran bahwa pergerakan atau mobilitas penduduk
antarpulau semakin meningkat. Terlebih lagi Bali dan khususnya kota Denpasar dan
Kabupaten Badung menjadi daerah yang paling banyak menampung kaum urban.
Alasan bahwa banyak anggota jemaat yang berasal dari luar etnis Bali termasuk
orang-orang asing dari berbagai negara yang mengunjungi ibadah GKPB Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang diungkapkan oleh informan Nyoman Daud
Sunarka, seorang anggota majelis jemaat:
“Sekarang pengunjung ibadah gereja tidak hanya dari banjar Padang Tawangdan Babakan, tetapi banyak dari anak-anak NTT (Nusa Tenggara Timur)dari Batak yang tinggal di sekitar sini. Nah, bagaimana gereja akanmelayani mereka, tentu mereka tidak mengerti bahasa Bali, oleh karena itusaya setuju kalau ibadah gereja memakai bahasa Indonesia saja, toh kita jugamengerti bahasa Indonesia” (Wawancara, 30 Juli 2010)
Ungkapan di atas menggambarkan komposisi anggota jemaat yang dulunya
homogen mengalami perubahan menjadi heterogen. Berubahnya komposisi anggota
92
jemaat tentu saja menimbulkan pergeseran tradisi, cara pandang, dan cara hidup
umat. Appadurai dan Henners (dalam Abdullah, 2009: 43) menegaskan keberadaan
seseorang dalam lingkungan tertentu di satu pihak mengharuskan menyesuaikan diri
yang terus menerus untuk dapat menjadi bagian dari sistem yang lebih luas. Sejalan
dengan mobilitas manusia yang demikian padat, Appadurai menyebutkan bahwa
batas-batas wilayah (kebudayaan) tidak lagi menjadi penting karena suatu kelompok
tidak selalu terikat pada batas wilayah kebudayaan yang berbeda yang bahkan
cenderung berubah-ubah pada saat orang berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh perjumpaan etnik, budaya,
bahasa, dan tradisi yang sebelumnya homogen kemudian menjadi heterogen inilah
yang melatarbekangi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali.
5.7. Menurunnya Minat Jemaat Terhadap Nyanyain Rohani Berbahasa Bali
Memasuki tahun 1990-an, dengan masuknya nyanyian rohani populer
berbahasa Indonesia, terjadi perubahan menyangkut pemakaian nyanyian rohani
berbahasa Bali dan bahasa pengantar yang dipakai dalam ibadah. Nyanyian rohani
berbahasa Bali bukan lagi menjadi nyanyian rohani yang utama dalam ibadah. Dalam
satu bulan di mana ada empat kali ibadah minggu, nyanyian rohani berbahasa Bali
hanya dipakai satu kali yaitu pada minggu pertama. Pada minggu kedua sampai
keempat dan kelima, ibadah lebih banyak memakai nyanyian rohani berbahasa
Indonesia. Berikut penuturan informan I Wayan Gama umur 61 tahun dan seorang
mantan majelis jemaat :
“Nyanyian rohani berbahasa Bali sudah dipakai sejak tahun 1930-an, baikdalam ibadah umum di gereja, maupun dalam ibadah-ibadah rumah tangga.
93
Nyanyian rohani berbahasa Bali dan bahasa pengantar bahasa Bali dipakaisecara penuh dalam ibadah-ibadah setiap minggu. Namun kemudian, kira-kira mulai tahun 1980-an secara perlahan terus mengalami kemunduran danpuncaknya tahun 1990-an nyanyian rohani berbahasa Bali mulaiditinggalkan. Sekitar tahun 1980-an masih dipakai dua kali sebulan tetapisekarang hanya sekali saja itupun masih diselingi dengan bahasa dannyanyian rohani berbahasa Indonesia” (Wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ada bentuk tindakan dan perlakuan
yang berubah terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali yang dimulai sejak tahun
1980-an, yaitu dengan meninggalkan atau tidak lagi memakai secara penuh. Pada
awalnya, nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai secara penuh dalam setiap ibadah
gereja, tetapi dalam perkembangan secara perlahan mengalami keterpinggiran.
Perlakuan dan tindakan seperti di atas juga terjadi dalam ibadah keluarga,
ibadah kategorial kaum bapak, kaum ibu, maupun ibadah kaum muda. Nyanyian
rohani hanya kadang-kadang dinyanyikan tergantung siapa yang memimpin ibadah.
Apabila yang memimpin ibadah suka dan bisa menyanyikan nyanyian rohani
berbahasa Bali, biasanya dari kalangan generasi tua, maka diselipkan satu atau dua
nyanyian rohani berbahasa Bali, sebaliknya jika tidak maka dapat dipastikan yang
dipakai adalah nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Berikut ini apa yang dikatakan
oleh Wayan Gama umur 61 tahun salah satu generasi tua jemaat GKPB Marga
Pakerti Padang Tawang :
“Yen tiang diminta jadi liturgos (liturgos adalah istilah yang diberikankepada orang yang ditunjuk untuk menyiapkan dan memimpin puji-pujiandalam ibadah keluarga) tiang nu demenan nganggen kidung pamuji (kidungpamuji adalah buku kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali) daripadanganggen kidung jemaat (kidung jemaat adalah buku kumpulan nyanyianrohani berbahasa Indonesia) ngujang krana keta, nu lebih ngresep kidungBali yen bandingan kading kidung ane lenan” (Terjemahan bahasa Indonesia“Kalau saya diminta jadi liturgos saya lebih senang menggunakan kidung
94
pamuji daripada menggunakan kidung jemaat, mengapa demikian, lebihmeresap nyanyian Bali jika dibandingkan dengan nyanyian yang lain”)(Wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kaum generasi tua masih menyukai nyanyian
rohani berbahasa Bali. Berbeda dengan kalangan generasi muda yang lebih memilih
nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
Menurunnya minat anggota jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali
dalam semua pelaksanaan ibadah juga diungkapkan oleh informan lain, seperti yang
diungkapkan oleh I Nyoman Ruja lahir 1947 dan mantan majelis jemaat, yang
mengatakan sebagai berikut.
“ Sekarang jemaat sudah jarang menyanyikan nyanyian rohani berbahasa Balidalam ibadah minggu atau ibadah keluarga. Jemaat engsap inget kadingkidung Bali (jemaat sudah lupa-lupa ingat dengan nyanyian rohaniberbahasa Bali). Harapan tiange lebih sering dan lebih banyak kidung Balidipakai dalam ibadah sekalipun dalam ibadah minggu yang memakaibahasa Indonesia, masukkan juga kidung Bali, sehingga dengan lebih seringdipakai, jemaat lebih ingat kidung Bali” (Wawancara, 9 Agustus 2012)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan I Ketut Sadrah sebagai berikut:
“Ke depan jemaat harus lebih banyak memberikan porsi kepada nyanyianrohani berbahasa Bali dalam ibadah-ibadah jemaat, jangan seperti yang terjadisekarang, nyanyian rohani berbahasa Bali hanya menjadi semacam selingandalam ibadah. Kita tidak dapat lepas dari latar belakang kita sebagai orangBali yang seharusnya mempertahankan bahasa dan juga nyanyian rohaniberbahasa Bali” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
Ungkapan di atas mempertegas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali yang
sedang dihadapi oleh jemaat GKPB Marga Pakerti. Nyanyian rohani berbahasa Bali
dalam realitas ibadah GKPB Jemaat Marga di Pakerti Padang Tawang hanya sebagai
selingan. Artinya, nyanyian rohani berbahasa Bali hanya dipakai sewaktu-waktu dan
95
tidak secara rutin. Dengan kata lain, minat jemaat terhadap nyanyian rohani
berbahasa Bali telah mengalami penurunan.
Menurunnya minat anggota jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali
oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Padang Tawang tidak terlepas dari perubahan-
perubahan yang sedang terjadi dalam kehidupan umat. Pergeseran budaya dari
budaya lama kepada budaya dan tradisi yang baru, penguasaan bahasa Bali yang
cenderung semakin menurun di kalangan anak muda, anggapan bahwa bahasa Bali
sebagai sesuatu yang kuno dan tidak modern (Atmadja, 2010: 69) mendorong
anggota jemaat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih kepada
nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Fenomena inilah yang melatarbelakangi
keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang.
5.8. Kurangnya Usaha Menciptakan Nyanyian Rohani Berbahasa Bali yangBaru
Salah satu ciri jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang jika
dibandingkan dengan denominasi gereja yang ada di Bali lainnya adalah pemakaian
nyanyian rohani berbahasa Bali. Hal ini tidak terlepas dari upaya jemaat GKPB
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang melakukan kontekstualisasi sehingga agama
Kristen “tertanam” (embeded) dalam budaya Bali. Abdullah (2009: 107)
mengatakan bahwa agama mengalami kontekstualisasi dalam masyarakat setempat,
sehingga agama tidak hanya dipengaruhi oleh budaya setempat, sebaliknya budaya
setempat juga dipengaruhi oleh agama itu sendiri.
96
Dalam konteks di atas, bentuk dan usaha gereja melakukan kontekstualisasi
adalah menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali atau menerjemahkan nyanyian-
nyanyian rohani berbahasa Inggris, Jerman, dan Indonesia ke dalam bahasa Bali.
Usaha lain yang dilakukan GKPB dalam rangka kontekstualisasi adalah merekam
nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali hasil ciptaan yang baru dalam pita kaset
atau compact disk. Dengan cara demikian, diharapkan gereja dapat menyatu dengan
konteks Bali.
Usaha-usaha untuk menciptakan dan menerjemahkan nyanyian rohani ke
dalam bahasa Bali sudah dilakukan sejak awal agama Kristen berkembang di Bali.
Dalam rentang tahun 1940 sampai dengan 1980, tercatat ada dua buku nyanyian
rohani yang diterbitkan baik oleh GKPB maupun secara perseorangan. Nyanyian
rohani berbahasa Bali tersebut adalah Kidung Pamuji (Gambar 5.7).
Gambar 5.7. Buku Kidung Pamuji(Dok. :Parwita, 2012)
97
Kidung Pamuji adalah kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali hasil terjemahan
dari nyanyian rohani berbahasa asing seperti Jerman, Inggris, Latin, dan lainnya.
Nyanyian rohani yang kedua, yaitu nyanyian rohani berbahasa Bali Marga
Pakerti Gaguritan diciptakan oleh Pendeta Made R. Ayub pada Tahun 1964 (Gambar
5.8).
Gambar 5.8. Buku Marga Pakerti Gaguritan(Dok. :Parwita, 2012)
Diterbitkannya kedua buku di atas, (Gambar 5.7 ; 5.8), menunjukkan belum
ada usaha-usaha yang cukup untuk mengkontekstualisasikan agama Kristen dalam
budaya Bali, khususnya berkaitan dengan nyanyian rohani berbahasa Bali, seperti
yang diungkapkan oleh seorang informan I Gede Trisna Putra sebagai berikut:
“Apa yang saya saksikan dan rasakan selama ini berkaitan dengannyanyian rohani berbahasa Bali, tidak ada nyanyian-nyanyian yang baru,kalaupun hanya ada satu atau dua saja, misalnya karangan Pdt. Yohanes,itupun masih belum dipakai secara luas di GKPB entah apa yang menjadialasannya. Coba perhatikan nyanyian rohani berbahasa Indonesia, kitaseperti “dibanjiri”. Ada ribuan nyanyian rohani yang diciptakan dandikemas dalam kaset atau compact disk begitu bagus, dan bagi anak-anakmuda kita, nyanyian rohani itu enak dinyanyikan dan lebih menyentuh
98
kehidupan mereka, oleh karena itu ke depan gereja harus lebih mendorongseniman-seniman GKPB untuk menghasilkan nyanyian rohani yang baruyang lebih sesuai dengan konteks kekinian” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
Ungkapan di atas mengindikasikan bahwa tidak begitu banyak nyanyian
rohani berbahasa Bali yang diciptakan.
Memasuki tahun 1990-an, terbit dua buku nyanyian rohani berbahasa Bali.
Yang pertama, yaitu buku Tembang-Tembang Kaulan, diciptakan oleh Pendeta
Nyoman Yohanes, S,Th. Kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali ini terdiri atas 17
nyanyian (Gambar 5.9).
Gambar 5.9. Buku Tembang-Tembang Kaulan(Dok. :Parwita, 2012)
Kedua, yaitu buku Gita Suksma yang terbit tahun 1999. Buku Gita Suksma
merupakan kumpulan nyanyian dari 10 pencipta yaitu Nyoman Darsana, Putu
Nyanyian lain yang sering dinyanyikan oleh jemaat pada masa awal perkembangan
gereja di Bali adalah nyanyian rohani bercampur bahasa Indonesia yang
dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja tahun 1931 demikian.
Lihatlah Sang Hyang IsahPujilah Sang Hyang IsahSang Hyang kabentang di GolgotaPujilah Ida Sang Hyang Yesus
Dalam perjalanan selanjutnya, perkembangan nyanyian rohani berbahasa Bali
ditandai dengan terbitnya buku nyanyian rohani berbahasa Bali dengan judul Kidung
Pamuji. Buku Kidung Pamuji adalah nyanyian rohani yang berisi kumpulan nyanyian
rohani berbahasa Bali yang berasal dari terjemahan bahasa Indonesia, Inggris,
Belanda, dan Jerman. Nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut di atas, menjadi
nyanyian rohani yang dipakai dalam setiap peribadatan umat, baik dalam ibadah
minggu maupun ibadah yang dilakukan di rumah tangga maupun dalam kelompok
lainnya. Wayan Gama seorang mantan majelis jemaat menuturkan demikian.
104
“Nyanyian rohani berbahasa Bali sudah dipakai sejak tahun 1930-an olehGKPB Jemaat Marga Pakerti. Nyanyian itu baik dipakai dalam ibadah-ibadahumum maupun ibadah keluarga. Nyanyian rohani berbahasa Bali sepertiSuryane Sampun Surup (salah satu judul nyanyian rohani berbahasa Bali dalamKidung Pamuji) adalah nyanyian rohani yang selalu dinyanyikan ketika soremenjelang petang, ketika warga jemaat sudah pulang dari sawah dan mauistirahat. Bukan hanya itu saja, pendeta yang memimpin ibadah minggu jugamemakai bahasa pengantar bahasa Bali. dan pada waktu itu belum banyakdikenal nyanyian rohani berbhasa Indonesia” (Wawancara, tanggal 27 Juli2012).
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa nyanyian rohani pada awal
perkembangan gereja dipakai secara penuh dalam peribadatan umat di GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Artinya, ibadah umum yang dilaksanakan
setiap hari minggu memakai secara penuh baik nyanyian rohani berbahasa Bali
maupun liturgi berbahasa Bali, tanpa diselingi atau disisipi nyanyian rohani
berbahasa Indonesia. Sebagai contoh, dalam satu kali ibadah umum jemaat, jemaat
menyanyikan enam buah nyanyian rohani, maka semua nyanyian rohani tersebut
adalah nyanyian rohani berbahasa Bali. Hal yang sama juga diungkapkan oleh I
Nyoman Ruja, lahir tahun 1947, termasuk salah seorang generasi pertama umat
kristen di GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang demikian.
“Tiang (saya) masih ingat bagaimana kidung berbahasa Bali dipakai dalamsetiap ibadah, jarang sekali, jemaat memakai kidung berbahasa Indonesia.Jarang jemaat yang tahu kidung berbahasa Indonesia dan saya kirabanyak jemaat ketika itu yang tidak bisa berbahasa Indonesia sehinggasetiap ibadah jemaat memakai kidung rohani Bali dan itu berlangsungkira-kira sampai tahun 1960-an setelah itu baru sedikit-demi sedikitnyanyian rohani berbahasa Indonesia dipakai dalam ibadah jemaat”(Wawancara, tanggal 9 Agustus 2012)
Dengan ungkapan di atas dapat dikatakan bahwa jemaat khususnya mereka yang
melalui masa tahun 1940 hingga 1950-an, merasakan dan menyaksikan bagaimana
105
nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai secara penuh dalam ibadah jemaat. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa usaha GKPB Marga Pakerti melakukan
kontekstualisasi berjalan dengan baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Coe (1992:
14-15) bahwa agama harus melakukan kontekstualisasi atau “pemribumian”
manakala agama bergerak dari satu budaya ke budaya yang lainnya. Pendapat Coe
ini terealisasi dalam perkembangan sejarah agama Kristen GKPB Marga Pakerti
Padang Tawang. Pendapat Coe di atas sejalan dengan apa yang dikatakan oleh
Abdullah (2009: 107) yang mengatakan bahwa agama mengalami kontekstualisasi
dalam masyarakat setempat; bukan hanya agama yang dipengaruhi oleh budaya
setempat, tetapi sebaliknya budaya setempat juga dipengaruhi oleh agama. Ketika
agama dipengaruhi oleh budaya lokal dan sebaliknya budaya lokal dipengaruhi oleh
agama, maka agama akan embedded dalam masyarakat lokal (Abdullah, 2009: 107).
Hal inilah yang dialami oleh nyanyian rohani berbahasa Bali dalam perkembangan
agama Kristen di Bali. Nyanyian rohani berbahasa Bali yang diadopsi dari budaya
Bali dengan segera dapat diterima dalam agama Kristen dan dipakai dalam ibadah-
ibadah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam masa tahun 1930 hingga
1960-an nyanyian rohani berbahasa Bali dapat diterima dengan baik dan dipakai
dalam setiap ibadah umat.
6.2. Pemakaian Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Tahun 1960 hingga 1980-an:Nasionalisasi Nyanyian Rohani Bahasa Indonesia.
Bahasa memegang peran penting dalam hubungan antarmanusia dan antara
manusia dengan Tuhan. Dengan bahasa, manusia dapat saling berkomunikasi dan
saling memahami. Dalam kehidupan beragama yaitu hubungan manusia dengan
106
Tuhan, bahasa juga memiliki peran yang penting. Dengan bahasa, manusia
menyampaikan maksud dan keinginannya kepada Tuhan. Dengan bahasa juga, Tuhan
menyampaikan firman-Nya kepada manusia.
Menyadari hal di atas, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang sejak
awal perkembangannya memakai bahasa Bali dalam semua aspek kehidupan. Bahasa
Bali dipakai dalam komunikasi sehari-hari, dalam acara-acara resmi seperti
peminangan maupun dalam ibadah-ibadah gereja. Dalam ibadah, GKPB Marga
Pakerti Padang di Banjar Padang Tawang selain memakai liturgi bahasa Bali juga
memakai nyanyian rohani berbahasa Bali.
Seiring dengan perubahan jaman dan berjalannya waktu, nyanyian rohani
berbahasa Bali sedikit demi sedikit telah mengalami keterpinggiran. Gereja dalam
ibadah-ibadahnya lebih mengutamakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Ada
beberapa alasan yang diungkapkan oleh jemaat mengapa ibadah lebih mengutamakan
nyanyian rohani berbahasa Indonesia, yaitu anak-anak muda jemaat GKPB Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang banyak yang tidak dapat memahami bahasa Bali.
Seperti ungkapan informan Ketut Sadrah sebagai berikut.
“Bahasa Bali seperti barang langka sekarang. Anak-anak muda jarang yangmau memakai bahasa Bali, mungkin mereka malu dan gengsi kalau memakaibahasa Bali tetapi itulah realitas kita sekarang. Gereja seperti menghadapibuah simalakama, kalau gereja terus berjalan dan tidak memperhatikanperkembangan ini bagaimana anak-anak muda itu bisa berkembang dalamkerohaniannya. Dapat saja gereja terus memakai bahasa Bali tetapi sayatakut generasi muda akan menjadi anak-anak yang tidak mengalamipertumbuhan dalam kerohaniannya” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
107
Ungkapan yang sama diungkapkan oleh Nyoman Daud Sunarka demikian.
“Saya contohkan dengan anak saya, dia tidak mengerti bahasa Bali, otomatisketika ada ibadah keluarga saya memakai bahasa Indonesia dan memakainyanyian rohani berbahasa Indonesia supaya dia juga dapat mengerti apa yangdikatakan ketika ibadah. Jadi saya setuju kalau gereja memakai nyanyianrohani berbahasa Indonesia” ( Wawancara, 30 Juli 2012)
Ungkapan di atas menggambarkan realitas bahwa anak-anak muda anggota jemaat
banyak yang tidak lagi memahami bahasa Bali. Hal ini juga berimplikasi pada
pemilihan penggunaan nyanyian rohani berbahasa Indonesia dari pada nyanyian
rohani berbahasa Bali.
Ketidakpahaman anak-anak muda terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali
dan ‘banjirnya’ nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia seakan menjadi
kesempatan bagi anak-anak muda untuk beralih menggunakan nyanyian rohani
berbahasa Indonesia. Dari sifatnya, memang nyanyian rohani populer berbahasa
Indonesia lebih dinamis dan energik. Di samping itu, ada anggapan dari anggota
jemaat bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai nyanyian yang tidak mengikuti
jaman (kuno).
Nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dapat mengungkapkan pergumulan dan
persoalan-persoalan anggota jemaat di masa kini. Dengan alasan tersebut, umat
meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian
rohani berbahasa Indonesia. Salah satu buku nyanyian rohani berbahasa Indonesia
yang terbit tahun 1974 ditunjukkan dalam gambar di bawah (Gambar 6.1)
108
Gambar 6.1. Buku Nyanyikanlah Kidung Baru, Terbit 1974(Dok. :Parwita, 2013)
Selain alasan di atas, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali juga
tidak terlepas dari usaha pemerintah dan gereja untuk menasionalisasikan bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa selayaknya dipahami
dan dipakai oleh semua orang Indonesia, termasuk di dalamnya anggota gereja.
Upaya memperbanyak nyanyian rohani berbahasa Indonesia secara tidak
langsung menjadi sebuah upaya gereja untuk menasionalisasikan bahasa Indonesia.
Namun demikian, proses nasionalisasi tidak selalu bermakna positif. Nasionalisasi,
termasuk di dalamnya nasionalisasi bahasa Indonesia menyebabkan pengabaian
terhadap keberadaan kebudayaan (nyanyian rohani berbahasa Bali) yang beragam
(Abdullah, 2009: 71).
Dalam perkembangan seperti di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali mulai
terpinggirkan. Dalam rentang waktu 1980 hingga 1990-an, nyanyian rohani
berbahasa Bali hanya dipakai satu kali dalam sebulan, yaitu dalam ibadah minggu
pertama. Di luar itu, ibadah dilayani dalam bahasa Indonesia dan nyanyian yang
109
dipakai adalah nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh
seorang informan Wayan Gama demikian.
“Kira-kira mulai tahun 1980-an, secara perlahan nyanyian rohani berbahasaBali terus mengalami kemunduran dan puncaknya tahun 1990-an nyanyianrohani berbahasa Bali mulai ditinggalkan. Sekitar tahun 1980-an, masihdipakai dua kali sebulan tetapi sekarang hanya sekali saja, itupun masihdiselingi dengan bahasa Indonesia dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia”(Wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa sejak tahun 1980-an jemaat secara perlahan
telah meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan
nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
Gambaran situasi di atas dapat disebut sebagai masa peralihan atau masa
transisi. Pada satu sisi, nyanyian rohani masih digunakan dalam liturgi tetapi pada
saat yang sama ada penolakan khususnya dari generasi muda dan nyanyian rohani
mulai ditinggalkan. Piliang (2010: 67) mengatakan bahwa dalam masa transisi akan
terjadi persaingan antara informasi keagamaan dengan budaya populer dalam menarik
perhatian dan mengendalikan pikiran setiap orang. Dalam skala tertentu, informasi
budaya populer cenderung memenangkan persaingan. Hal itu disebabkan karena
budaya populer lebih menampilkan ide atau gagasan yang lebih menyenangkan, lebih
menarik, lebih membebaskan, lebih progresif, dan lebih kreatif.
Dalam proses di atas, sejak tahun 1970-an secara perlahan tetapi pasti
nyanyian rohani berbahasa Bali mulai ditinggalkan dan jemaat beralih menggunakan
nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
110
Selain hal di atas, tahun 1964 GKPB juga menerbitkan liturgi berbahasa
Indonesia. Liturgi dalam peribadatan agama Kristen memegang peran yang penting.
Liturgi mengatur pelaksanaan ibadah, baik dalam urutan pelaksanaan, maupun apa
yang harus diucapkan oleh seorang pemimpin ibadah dan umat yang menjadi peserta
ibadah. Dalam liturgi, sudah dicantumkan secara lengkap hal-hal yang berkaitan
dengan ucapan pemimpin ibadah, tugas majelis, respon jemaat, dan hal-hal yang
dilakukan oleh setiap jemaat peserta ibadah, sehingga pelaksanaan ibadah berjalan
dengan lancar.
Salah satu contoh urut-urutan liturgi berbahasa Bali, yang dipakai pada
minggu pertama setiap bulan adalah seperti di bawah ini. Liturgi seperti di bawah ini
adalah liturgi baku yang sudah ditetapkan pemakaiannya oleh Sinode GKPB.
1. PacawisanMajelis : Nuntun pasamuan makidungPasamuan : Ngadeg saha makidung
2. PangengkabPandita : Nguncarang votum miwah salamPandita : Sameton pasamuan, Ida Sang Hyang Widhi
Wasa ledang rauh pabuat iraga. Sane mangkiniraga wenten ring ayun Idane. Ngiring ja iragangasorang dewek ring ayun Idane, lanngangken saha sasarengan inucap:
Pendeta/Pasamuan : Pitulungan iragane rauh saking Ida Sang HyangWidhi Wasa, sane ngawentenang akasa miwahpratiwi. Ida tetep setia ngantos selamin-laminipun.
Pandita : Sutrepti rahayu saking Ida Sang Hyang WidhiWasa: Sang Aji, Sang Putra, miwah Ida SangHyang Roh Suci pabuat semeton.
12. PamuputPasamuan : MakidungPandita : Sameton Pasamuan, mawali ja sameton saha
rahayu, tur tampi ja mertan Ida Sang HyangWidhi wasa; Sih panugrahan Ida Sang HyangWidhi Wasa, samaliha patunggilan Ida SangHyang Yesus, Sang Hyang Roh Suci, dumadaknunggil ring semeton sareng sami.
5. Doa Syukur dan Pengakuan DosaPendeta : Menaikan doa syukur dan pengakuan dosaJemaat : Menaikan nyanyian pengakuan dosa
6. Berita AnugerahPendeta : Menyampaikan berita anugerahJemaat : Berdiri
7. Petunjuk Hidup BaruPendeta : Membaca petunjuk hidup baruJemaat : Menaikan nyanyian sambutan
8. Pemberitaan FirmanPendeta : Menaikkan doaMajelis : Membaca AlkitabPendeta : Menyampaikan kotbahJemaat : Menyambut dengan menaikan pujian atau
melakukan saat teduh9. Pengakuan Iman (biasanya dipakai nyanyian rohani)10. Doa Syafaat11. Persembahan Syukur
Pendeta : Membaca satu ayat dari AlkitabJemaat : Menaikan pujian dan mengumpulkan persembahanMajelis : Menaikkan doa persembahan
12. Penutup IbadahJemaat : Nyanyian penutupPendeta : Jemaat sekalian, sekarang kembalilah dengan sejahtera,
terimalah berkat Tuhan. Anugerah dari Allah Bapa,persekutuan dengan Tuhan Yesus Kristus dan RohKudus kiranya menyertai saudara-saudara kini sampaiselama-lamanya.
Jemaat : Haleluya....... amin.
Pelaksanaan urut-urutan liturgi di atas dijelaskan sebagai berikut. Pada bagian
pecawisan (pembukaan), pendeta, majelis, dan beberapa orang yang ambil bagian
dalam ibadah melaksanakan arak-arakan. Seorang majelis yang berjalan paling depan
113
membawa sebuah lilin yang menyala sebagai simbol kehadiran Allah. Majelis kedua
membawa Alkitab, diikuti oleh pendeta dan majelis yang lainnya.
Sementara arak-arakan berjalan memasuki gedung gereja, seorang majelis
yang lain mengajak jemaat berdiri dan menaikkan nyanyian pembukaan. Setelah tiba
di depan altar, semua peserta arak-arakan berdiri menghadap ke altar dan pendeta
yang memimpin ibadah naik ke mimbar menyampaikan votum dan salam, selanjutnya
dan memimpin ibadah sampai akhir (Gambar 6.2).
Gambar 6.2. Pendeta I Made Dana, S.Th. MenyampaikanVotum dan Salam
(Dok. :GKPB Marga Pakerti, 1989)
Contoh liturgi di atas menunjukkan urut-urutan pelaksanaan ibadah. Setiap
peserta ibadah baik pendeta, majelis, dan jemaat yang mengikuti ibadah mengikuti
urut-urutan dalam liturgi tersebut dengan tertib (Gambar 6.3).
114
Gambar 6.3 Suasana Ibadah Minggu untuk Jemaat Dewasa(Dok. :Parwita, 2012)
Selain liturgi berbahasa Bali yang sudah dipakai oleh jemaat seperti di atas,
pada tahun 1964 juga telah selesai disusun liturgi berbahasa Indonesia dan pada tahun
yang sama ditetapkan pemakaiannya dalam ibadah-ibadah resmi di semua jemaat
GKPB. Liturgi ini kemudian direvisi kembali pada tahun 1992 (Gambar 6.4).
Gambar 6.4 Liturgi atau Tata Ibadah Berbahasa Indonesia(Dok. :Parwita, 2012)
115
Penyusunan liturgi berbahasa Indonesia ini tidak terlepas dari upaya jemaat
menjawab perubahan jaman. Dalam kehidupan jemaat yang semakin majemuk,
liturgi berbahasa Bali dirasa sangat ekslusif. Liturgi berbahasa Bali hanya dapat
dimengerti oleh jemaat yang berasal dari etnis Bali dan berbahasa Bali, sementara
anggota jemaat yang berasal dari etnis, bahasa lain tidak memahami bahasa Bali.
Seperti yang dituturkan oleh informan I Wayan Suarta sebagai berikut:
“Liturgi memegang peranan penting dalam ibadah. Liturgi selain mengaturjalannya ibadah, sesungguhnya menjadi ungkapan dan respon jemaatterhadap karya Tuhan, oleh karena itu liturgi juga harus dipahamai olehanggota jemaat yang memiliki bahasa yang berbeda. Bukan saja anggotajemaat dari etnis yang berbeda, kenyataan sekarang banyak anak-anak darianggota jemaat yang dari Bali tidak mengerti bahasa Bali. Menjawabperkembangan jaman yang demikian maka menyusun liturgi dalam bahasaIndonesia sudah menjadi keharusan jemaat, karena anggota jemaat bukansaja dari etnis Bali” (Wawancara, 29 Agustus 2012)
Pernyataan di atas mengungkapkan bahwa penyusunan liturgi dalam bahasa
Indonesia sudah menjadi kebutuhan yang mendesak mengingat perkembangan jemaat
yang sangat pesat.
Usaha jemaat untuk menyusun sebuah liturgi yang baru berbahasa Indonesia
sesungguhnya tidak terlepas dari usaha untuk menjawab dan mengantisipasi
perubahan-perubahan baik yang terjadi dengan cepat atau pun lambat. Dalam
kehidupan umat, setidaknya ada dua perubahan yang nampak, yaitu pergantian
generasi dari generasi tua kepada generasi muda dan komposisi anggota jemaat dari
yang dulunya homogen menjadi heterogen. Kedua perubahan itu juga akan
menimbulkan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda. Sebagai contoh, ketika jemaat
masih homogen, liturgi dan nyanyian rohani berbahasa Bali dapat dipahami oleh
116
semua jemaat yang mengikuti ibadah. Akan tetapi, ketika anggota jemaat menjadi
heterogen, maka dibutuhkan liturgi dan nyanyian rohani yang dapat dipahami oleh
semua umat yang mengikuti ibadah. Dalam hal ini, keputusan untuk menyusun
liturgi berbahasa Indonesia dan mengganti nyanyian rohani berbahasa Bali dengan
nyanyian rohani berbahasa Indonesia menjadi semacam simbol yang dapat dibaca
dan dipahami oleh etnik dan budaya yang berbeda. Abdullah (2009: 83) mengatakan
bahwa dalam lingkungan yang multietnis yang memiliki ekspresi etnisitas yang
berbeda-beda dengan asal-usul yang berbeda pasti memiliki suatu simbol universal
yang dapat dikode atau dibaca, paling tidak, oleh kelompok etnis tersebut.
6.4. Pemakaian Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Tahun 1990 hingga 2012-an .
Sejak akhir tahun 1980an, Banjar Padang Tawang mengalami perubahan
yang cukup drastis baik dalam bidang sarana dan prasarana, ekonomi, maupun sosial
budaya. Dalam bidang sarana dan prasarana khususnya transportasi, perubahan
ditandai dengan perbaikan akses jalan yang melewati banjar Padang Tawang. Jalan
yang sebelumnya masih jalan tanah dan terkadang becek pada musim hujan, pada
akhir tahun 1980-an telah diaspal dan dapat dilalui oleh kendaraan bermotor (lihat
Gambar 5.1). Semakin baiknya sarana jalan mendorong anggota masyarakat
memiliki kendaraan roda dua maupun roda empat. Selain itu, perubahan juga
ditandai dengan masuknya sarana telekomunikasi seperti telepon, televisi, dan
internet. Perubahan-perubahan di atas juga mempengaruhi kehidupan ekonomi
masyarakat di Banjar Padang Tawang secara keseluruhan, termasuk di dalamnya
umat GKPB Jemaat Marga Pakerti.
117
Berubah dan berkembangnya kehidupan masyarakat, mau tidak mau juga
mengubah kehidupan sosial dan budaya umat GKPB Jemaat marga Pakerti Padang
Tawang. Dalam konteks di atas, termasuk pemakaian nyanyian rohani berbahasa Bali.
Dalam kondisi yang terus mengalami perubahan seperti di atas, nyanyian rohani
berbahasa Bali yang pada era sebelumnya telah embeded kini mulai ditinggalkan
oleh pemakainya dengan kata lain dapat dikatakan telah mengalami keterpinggiran.
Seorang informan I Ketut sadrah mengatakan demikian.
“Ada pengaruh yang sangat besar antara keadaan sebelum tahun 1970-andengan keadaan sekarang tahun 1990-an. Dulu keadaan tidak sepertisekarang, jalan belum diaspal jemaat belum banyak yang punya televisi,kendaraan hanya beberapa orang yang punya, tapi sekarang semua itulumbrah. Saya percaya hal ini mempengaruhi cara pandang jemaat terhadapsegala sesuatu, termasuk apa yang kita pakai di gereja. sekarang Gerejasudah dilengkapi dengan LCD, sound system yang bagus alat-alat musikband jadi wajar juga kemudian jemaat meninggalkan apa yang berbau kuno (Nyanyian rohani berbahasa Bali)” (Wawancara 8 Agustus 2012)
Hal yang sama juga dikatakan oleh informan Nyoman Ruja demikian.
“Kalau perkiraan saya tidak salah, nyanyian rohani berbahasa Bali mulaidigeser oleh nyanyian rohani berbahasa Indonesia sekitar tahun 1980-an.Awalnya nyanyian rohani berbahasa indonesia hanya dipakai sekali dalamsebulan pada waktu ibadah minggu, tetapi sekarang sudah terbalik, bahkanakhir-akhir ini hampir tidak pernah. Hal ini tergantung pendetanya. Kalaupendetanya bukan orang dari Bali, maka dapat dipastikan tidak ada bahasaBali” (wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ditinggalkannya nyanyian rohani
berbahasa Bali oleh umat GKPB Marga Pakerti sudah mulai sejak tahun 1980-an dan
kemudian mencapai puncaknya memasuki tahun 1990-an hingga sekarang.
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang yang sebelumnya
menganut budaya agraris di mana sebagian besar penduduknya bertani, kini bergerak
118
ke arah budaya modern. Kehidupan sosial seperti itu menurut Touraine (Piliang,
2010: 1760) disebut sebagai masyarakat yang telah kehilangan kesatuannya, dan
kini tak lebih dari sebuah arus perubahan yang tak henti-hentinya. Dalam masyarakat
seperti itu, aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan
nilai-nilai dan norma-norma sosial akan tetapi mengikuti strateginya masing-masing.
Dalam konteks itu, maka budaya tradisional yang diwakili nyanyian rohani
berbahasa Bali mengalami persaingan dengan budaya modern yang diwakili oleh
nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Seperti dikatakan oleh Piliang (2010: 67),
dalam kebudayaan, informasi keagamaan bersaing dengan informasi budaya populer
dalam menarik perhatian dan mengendalikan pikiran setiap orang. Dalam skala
tertentu, informasi budaya populer cenderung memenangkan persaingan, disebabkan
budaya populer lebih menampilkan ide dan gagasan yang lebih menyenangkan. Jika
pemahaman di atas dikaitkan dengan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali
dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti, dapat dikatakan bahwa keterpinggiran
terjadi oleh karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
Banjar Padang Tawang. Dalam proses perubahan-perubahan tersebut, nyanyian
rohani tidak dapat dipertahankan lagi sebagai nyanyian rohani yang dipakai dalam
liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti; dengan kata lain, nyanyian rohani berbahasa
Bali terpinggirkan.
119
BAB VII
IMPLIKASI KETERPINGGIRAN NYANYIAN ROHANI BERBAHASABALI DALAM LITURGI GEREJA KRISTEN PROTESTAN BALI JEMAAT
MARGA PAKERTI DI BANJAR PADANG TAWANG
Proses perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia di bawah
bayang-bayang globalisasi menimbulkan berbagai implikasi terhadap kehidupan.
Implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dapat diamati, yaitu
pelaksanaan liturgi yang tidak utuh, berkurangnya peran pendeta dalam pelaksanaan
ibadah, gereja terbuka bagi semua orang, beragamnya unsur budaya etnik dalam
liturgi gereja, dan terjadi kelompok etnik multikultural, berkurangnya nuansa budaya
Bali dalam liturgi, memperkuat persekutuan, dan penghayatan iman yang kontekstual.
7.1. Kurang Utuhnya Pelaksanaan Liturgi
Dalam sejarah perkembangan gereja, munculnya liturgi seperti yang dimiliki
oleh jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang telah melewati proses
panjang. Pada awalnya, ibadah gereja berjalan bebas dan tidak diatur dalam sebuah
liturgi. Setiap orang yang datang bebas untuk berdoa, menyanyi, dan membaca
Alkitab, sehingga terjadi kekacauan dalam pelaksanaan liturgi. Jemaat yang hadir
tidak dapat mengikuti ibadah dengan khusuk dan khidmat karena pada saat yang
bersamaan ada yang berdoa sementara yang lainnya menyanyikan pujian. Liturgi
atau yang sering disebut tata ibadah, mengatur dan menuntun jalannya ibadah
sehingga ibadah berjalan dengan teratur dan tertib. Contoh liturgi yang lengkap dan
5. Doa Syukur dan Pengakuan DosaPendeta : Menaikkan doa syukur dan pengakuan dosaJemaat : Menaikkan nyanyian pengakuan dosa
6. Berita AnugerahPendeta : Menyampaikan berita anugerahJemaat : Berdiri
7. Petunjuk Hidup BaruPendeta : Membaca petunjuk hidup baruJemaat : Menaikan nyanyian sambutan
8. Pemberitaan FirmanPendeta : Menaikkan doaMajelis : Membaca AlkitabPendeta : Menyampaikan kotbahJemaat : Menyambut dengan menaikan pujian atau
melakukan saat teduh9. Pengakuan Iman (biasanya dipakai nyanyian rohani)10. Doa Syafaat11. Persembahan Syukur
Pendeta : Membaca satu ayat dari AlkitabJemaat : Menaikan pujian dan mengumpulkan persembahanMajelis : Menaikkan doa persembahan
12. Penutup IbadahJemaat : Nyanyian penutupPendeta : Jemaat sekalian, sekarang kembalilah dengan sejahtera,
terimalah berkat Tuhan. Anugerah dari Allah Bapa,persekutuan dengan Tuhan Yesus Kristus dan Roh
121
Kudus kiranya menyertai saudara-saudara kini sampaiselama-lamanya.
Jemaat : Haleluya........., amin.
Semua pokok-pokok yang ada dalam liturgi dijalankan secara teratur dan
lengkap. Namun, dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia
atau Inggris, dan terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali, mengubah
pelaksanaan liturgi di GKPB jemaat Marga Pakerti menjadi tidak utuh. Tidak
utuhnya pelaksanaan liturgi dapat dilihat dalam beberapa hal, yaitu dihapusnya
pembacaan Mazmur, dihapusnya penyampaian berita anugerah, dan pembacaan
petunjuk hidup baru oleh pendeta, dan pengakuan iman rasuli. Hal itu dilakukan
karena dianggap tidak relevan. Selain itu, dalam liturgi yang baku, nyanyian rohani
yang dinyanyikan dalam satu ibadah ada enam nyanyian rohani sedangkan dalam
liturgi bentuk barunya nyanyian rohani yang dipakai dalam keseluruhan ibadah
maksimal hanya empat. Dalam liturgi yang baku, masing-masing nyanyian rohani
dinyanyikan sekali, sedangkan dalam liturgi yang telah diubah, nyanyian rohani
dinyanyikan dengan cara berulang-ulang. Contoh liturgi yang tidak lengkap sebagai
berikut.
o Pembawa acara membuka ibadah dalam doao Nyanyian penyembahan (dinyanyikan berulang-ulang)o Doa pengakuan dosao Nyanyian menyambut firman Tuhano Pendeta berdoa, membaca Alkitab dan berkotbaho Nyanyian Sambutan (dinyanyikan berulang-ulang)o Nyanyian Syukur (dinyanyikan berulang-ulang)o Doa penutup
Contoh liturgi di atas menunjukan liturgi yang tidak utuh. Pelaksanaan liturgi
yang tidak utuh sebagaimana yang telah dibakukan mempengaruhi cara jemaat
122
beribadah dan suasana ibadah. Jemaat dalam mengikuti ibadah tidak lagi beribadah
dengan tenang dan khidmat tetapi lebih banyak berdiri dan bergerak mengikuti
irama nyanyian dan musik yang dimainkan. Seperti yang dituturkan oleh informan I
Wayan Gama mantan majelis jemaat:
“Dulu jika ibadah dilaksanakan memakai bahasa Bali, jemaat beribadahdengan tenang dan khidmat. Jemaat tidak bertepuk tangan, tidak ada yangberbicara sendiri-sendiri, semuanya sudah diatur tetapi sekarang ketikaibadah tidak lagi mengikuti pola yang baku (yang dimaksud liturgi yangbaku) saya merasa terganggu. Apa lagi kalau ada orang bertepuk tangan dantertawa, rasanya tidak cocok dengan suasana ibadah seperti itu. Saya rasa inidipengaruhi oleh gaya ibadah gereja-gereja “karismatik” yang sekarangbanyak berkembang di Bali ” (Wawancara, 27 Juli 2012).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa masuknya nyanyian rohani berbahasa
Indonesia dan terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali berimplikasi pada
perasaan jemaat yang mengikuti ibadah. Implikasi yang dimaksud bisa berarti
menguatkan atau melemahkan penghayatan iman jemaat, bisa berarti jemaat
semakin khusuk dalam ibadah atau sebaliknya mengurangi kekhusukan ibadah.
Bagi generasi muda, perubahan seperti itu dianggap sebagai suatu yang bersifat
dinamis, seperti yang diungkapkan oleh Gede Trisna Putra demikian:
“Perubahan bentuk liturgi sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar. Liturgiyang kita pakai sampai sekarang ini sudah disusun sejak abad pertengahan,yaitu ketika gereja berkembang di negara-negara Eropa dan Amerika, tetapidunia terus berkembang dan sekarang sudah jauh berubah, gereja harusnyamenyesuaikan diri termasuk juga menyesuaikan liturginya. Bagaimanapunkonteks sekarang berbeda dengan abad pertengahan di mana dulu gerejaberkembang. Seharusnya liturgi bersifat dinamis, mengikuti perkembanganjaman” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
123
Ungkapan di atas condong melihat pelaksanaan liturgi yang tidak utuh sebagai
sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini didasarkan pada perkembangan zaman dan
kebutuhan umat yang juga terus berubah dan berkembang.
Tindakan jemaat untuk melakukan penyesuaian terhadap pelaksanaan liturgi
di atas tidak lepas dari sebuah upaya adaptasi. Perubahan terhadap lingkungan baik
yang terjadi dengan cepat maupun lambat akan mempengaruhi penghuninya. Karena
itu, manusia akan berusaha melakukan adaptasi terhadap perubahan itu
(Soemarwoto, 1977: 48). Selanjutnya, Bennet (1976: 257) menyebutkan bahwa
adaptasi manusia tidak semata-mata ditentukan oleh keinginan, kebutuhan, dan
tujuannya, tetapi ditentukan pula oleh situasi lingkungan setempat. Dalam konsep
adaptasi di atas, lingkungan yang dimaksudkan adalah budaya modern dengan segala
aspeknya yang melanda kehidupan umat.
7.2. Berkurangnya Peran Pendeta Dalam Pelaksanaan Liturgi
Dalam liturgi yang sudah ditetapkan dan disahkan oleh Sinode GKPB,
pendeta memegang peran yang utama. Seorang pendeta akan memimpin ibadah dari
awal sampai akhir dan beberapa bagian tertentu dibantu oleh majelis jemaat. Oleh
karena itu, seorang pendeta harus menguasai nyanyian rohani yang dipakai dan
menghafalkan semua urutan-urutan liturgi. Artinya, seorang pendeta yang sedang
memimpin ibadah harus menguasai jalannya ibadah dan mempersiapkan secara
matang apa yang akan dikatakan. Pendeta harus dalam kondisi sehat, karena selama
memimpin ibadah harus berdiri dan berbicara selama lebih kurang 1,5 sampai 2 jam.
124
Dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia dan
dihilangkannya beberapa bagian liturgi, maka peranan pendeta dalam ibadah juga
semakin berkurang. Pendeta hanya berperan dalam pembacaan Alkitab dan
menyampaikan kotbah. Ibadah lebih banyak dipimpin dan diarahkan oleh pembawa
acara atau yang sering disebut master of ceremony (mc). Pembawa acaralah yang
menentukan apa yang harus dilakukan dan apa yang dikatakan ketika ibadah
dilaksanakan. Dengan kata lain, pembawa acaralah yang lebih dominan dalam
melaksanakan jalannya ibadah.
Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah sangat erat berkaitan dengan
trand perkembangan gereja akhir-akhir ini. Gereja-gereja tersebut dalam ibadahnya
memakai nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia. Sesuai dengan catatan
Pembina Masyarakat Kristen (Pembimas) Propinsi Bali tahun 2010, ada sekitar 64
denominasi gereja yang ada di Bali; sebagain besar dari gereja tersebut beraliran
kharismatik. Aliran gereja kharismatik yaitu gereja-gereja baru yang memisahkan
diri dari gereja arus utama seperti protestan dan katolik. Dalam melaksanakan
ibadahnya, gereja-gereja kharismatik tidak berpatokan pada liturgi baku seperti yang
ada pada gereja-gereja arus utama, tetapi pelaksanaan ibadah diserahkan sepenuhnya
kepada pembawa acara. Pendeta hanya bertugas membaca Alkitab dan
menyampaikan kothbah. Trand seperti itulah yang berkembang akhir-akhir ini, yang
diikuti oleh gereja-gereja arus utama termasuk jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang.
125
Dalam buku Tata Gereja GKPB tahun 2006, Bab XIII, pasal 83 ayat 1,
dinyatakan bahwa, pendeta adalah jabatan gerejawi yang ditetapkan secara khusus
untuk melaksanakan tugas pelayanan firman, sakramen, pastoral, dan pelayanan-
pelayanan gerejawi lainnya. Isi tata gereja di atas dengan tegas telah mengatur tugas
dan wewenang seorang pendeta. Seorang pendeta selain bertugas dan
bertanggungjawab terhadap pembangunan iman jemaat juga bertanggung jawab
terhadap kegiatan ibadah. Artinya, selain mempersiapkan ibadah, pendeta juga diberi
wewenang untuk memimpin jalannya ibadah. Hal yang sama juga dipertegas kembali
dalam buku Panduan Bergereja (Departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB:
19-20) bahwa tugas dan wewenang pendeta adalah melaksanakan pelayanan firman,
sakramen dan melayankan kebaktian-kebaktian. Artinya, tugas untuk memimpin
sebuah ibadah diberikan kepada seorang pendeta bukan pembawa acara. Pembawa
acara dan bersama dengan majelis jemaat dapat membantu pada bagian-bagian
tertentu bukan mengambil-alih tugas yang sudah ditetapkan.
Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah tentu saja berpengaruh juga
kepada kekhusukan jalannya ibadah dan berubahnya perasaan umat yang mengikuti
ibadah. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan Nengah Yakubus Wirasa
sebagai berikut.
“ Kalau ibadah minggu atau ibadah lainnya dipimpin oleh oyang yang bukanpendeta, saya merasa tidak pas, seperti yang sering terjadi kalau ibadahmemakai liturgi “lepas” ( liturgi yang tidak mengikuti seperti liturgi yangsudah disahkan). Ibadah dipimpin oleh seorang mc (master of ceremony)apalagi ia bukan seorang majelis jemaat, saya rasa kok tidak cocok,idealnya pendetalah yang memimpin ibadah” (Wanwancara, 26 Juli 2012)
126
Ungkapan di atas memberikan penegasan bahwa kalau ibadah-badah dipimpin oleh
orang awam atau bukan pendeta, ada rasa penolakan oleh jemaat yang mengikuti
ibadah, sekalipun umat tidak secara langsung mengungkapkan penolakannya.
Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah umat tidak lepas dari upaya
penyesuaian yang dilakukan oleh jemaat untuk mencapai tujuan. Jemaat
menginginkan ibadah tetap dapat menarik bagi anak-anak muda anggota jemaat dan
ibadah dapat dinikmati oleh semua golongan yang mengikuti ibadah. Hal ini selaras
teori adaptasi Bennet ( 1976: 145) bahwa penyesuaian-penyesuaian yang dilakuan
oleh umat adalah sebuah adaptasi yang mengandung arti ganda, yaitu manusia
(anggota jemaat) menyesuaikan keinginannya atau kehidupannya dengan situasi atau
lingkungan yang berubah. Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan
lingkungan dengan keinginan dan tujuannya. Dengan melakukan penyesuaian atau
adaptasi anggota jemaat GKPB Marga Pakerti berharap kehidupan umat khususnya
dalam ibadah dapat terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Ibadah
tetap dapat dikuti oleh semua golongan dan dapat meningkatkan kerohanian umat
khususnya generasi muda dalam perkembangan zaman yang semakin maju. Hal inilah
yang yang terjadi dalam kehidupan umat GKPB Marga Pakerti dalam menyikapi dan
menginterpretasi perubahan-perubahan zaman.
7.3. Semakin Terbukanya Gereja Bagi Semua Orang
Agama Kristen bukan milik etnis atau bangsa tertentu. Seperti agama-agama
yang lainnya, agama Kristen adalah milik penganut-penganutnya yang tidak dibatasi
oleh sekat-sekat suku, bahasa, dan bangsa. Artinya tidak ada satu suku atau bangsa
127
yang dapat mengklaim bahwa agama tertentu milik etnis atau bangsanya. Dengan
demikian, agama seharusnya bersifat terbuka bagi siapa saja yang percaya dan mau
memeluknya. Dalam hal ini, termasuk GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang.
Dalam perkembangan, ketika agama berkembang di satu etnis atau daerah
tertentu, seringkali agama itu diklaim menjadi milik etnis itu. Agama Kristen ketika
berkembang di Amerika atau Eropa sering diasosiasikan sebagi milik orang Eropa
atau Amerika, padahal seharusnya tidak demikian. Agama seharusnya bersifat
terbuka terhadap siapa pun. Demikian juga halnya dengan agama Kristen yang
berkembang di Bali. Agama Kristen bukan saja untuk orang-orang dari etnis Bali,
tetapi untuk semua orang yang tinggal di Bali.
Bali sebagai daerah pariwisata banyak “dibanjiri” oleh kaum urban dari
berbagai suku atau etnis yang ada di Indonesia, bahkan juga orang-orang asing dari
berbagai negara. Hal yang sama juga terjadi di Banjar Padang Tawang. Memasuki
tahun 1990-an, cukup banyak kaum urban yang tinggal dan menetap di Banjar
Padang Tawang. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang beragama Kristen.
Seorang informan Ketut Sadrah anggota GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang, umur 51 tahun, menyatakan :
“Anggota jemaat sekarang tidak saja orang-orang Padang Tawang (yangdimaksudkan adalah etnis Bali) sejak beberapa tahun belakangan inibanyak dari saudara-saudara kita dari jauh datang beribadah di sini. Kalaukita tetap kukuh memakai nyanyian rohani berbahasa Bali dalam ibadah,bagaimana mereka bisa mengerti, oleh karena itu pelayanan gerejaseharusnya memperhatikan mereka” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
128
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa anggota GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang tidak lagi dapat dikatakan homogen, tetapi seiring
dengan perjalanan waktu telah bercampur dengan etnis-etnis yang lain.
Berkembangnya keanggotaan gereja yang dulunya homogen dan sekarang
menjadi heterogen harus disikapi oleh lembaga gereja. Lembaga gereja sebagai
sebuah lembaga keagamaan tidak dapat menutup diri hanya melayani etnis Bali,
tetapi harus juga melayani atau merangkul dari etnis lain yang berbeda. Wayan
Suartha umur 52 tahun seorang anggota majelis jemaat, mengenai hal itu
menyatakan :
“Gereja seperti yang dikatakan dalam Alkitab, harus menjadi “terang” dan“garam” bagi dunia di sekitarnya. Untuk menjadi “terang” dan “garam”,gereja tidak dapat menutup diri hanya untuk orang-orang Bali, tetapigereja pada jaman sekarang harus terbuka juga melayani orang-oranglain yang berbeda latarbelakang suku dan bangsa. Apalagi melihatperkembangan ke depan, Bali akan didatangi oleh banyak orang dariberbagai etnis, bangsa, dan latarbelakang. Apakah gereja akanmengabaikan kehadiran mereka?” (Wawancara, 29 Agustus 2012).
Pernyataan di atas mengungkapkan bahwa perkembangan zaman dan karena
berbagai pengaruh, gereja sebagai sebuah lembaga agama dan juga lembaga sosial,
harus terbuka dalam pelayanannya. Gereja harus melayani mereka yang berasal dari
etnis yang berbeda.
Keterbukaan gereja akan menjadikan anggota-anggotanya dapat
memetik nilai-nilai positif yang ditimbulkan oleh keterbukaan. Secara sosial
kemasyarakatan, gereja akan dikenal oleh lingkungan sekitarnya, sehingga gereja
dapat berperan secara aktif dalam membangun kehidupan masyarakat sesuai dengan
visi dan misinya untuk menjadi “garam” dan “terang” bagi masyarakat.
129
“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakahia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidakmungkin tersembunyi” (Kitab Matius 5: 13-14)
Keberadaan gereja sebagai bagian dari masyarakat diumpamakan seperti garam dan
terang. Gereja harus berbaur dengan masyarakat sekitarnya dan dapat memberikan
tuntunan yang baik, sehingga bersama dengan masyarakat, gereja bertumbuh dalam
berbagai aspeknya.
7.4. Beragamnya Unsur Budaya Etnik dalam Liturgi Gereja
Tak pelak lagi, globalisasi telah membawa konsekuensi multidimensional
terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Peran media dan kemajuan
teknologi, pendidikan, dan ilmu pengetahuan memacu lebih cepat terjadinya
percampuran budaya. Fenomena seperti ini kemudian merujuk pada proses
inkulturasi budaya asing dengan budaya lokal yang sudah ada di masyarakat. Saling
mempengaruhi antarbudaya adalah suatu yang biasa terjadi dalam perjumpaan
antarmasyarakat.
Inkulturasi budaya yang terjadi, dalam hal ini dalam kehidupan GKPB
jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang memberikan dampak positif bagi
kehidupan anggotanya. Masuknya budaya asing telah membawa inovasi-inovasi
baru bagi kehidupan bergereja dan bermasyarakat di GKPB jemaat Marga Pakerti di
Banjar Padang Tawang. Sebagai contoh, masuknya nyanyian rohani populer baik
yang berbahasa Indonesia maupun Inggris menjadikan kehidupan ibadah GKPB
jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang semakin bergairah. Ibadah tidak
130
berjalan monoton tetapi penuh semangat. Hal ini terjadi oleh karena pelaksanaan
ibadah didukung dengan perangkat elektronik sound system dan teknologi media
dengan menggunakan LCD (Gambar 7.1) yang menampilkan gambar-gambar.
Selain itu, perangkat musik untuk mengiringi ibadah juga semakin beragam.
Penggunaan alat musik band, organ dan angklung bambu memberikan keragaman
yang dapat dipilih oleh jemaat.
Gambar 7.1. Layar LCD untuk Mendukung Ibadah(Dok. :Parwita, 2012)
Dengan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa dengan masuknya budaya
asing, yaitu budaya-budaya yang sebelumnya tidak dikenal oleh anggota jemaat,
selain memberikan keragaman terhadap budaya dengan terbentuknya budaya-budaya
baru, juga memberikan pilihan-pilihan kepada jemaat khususnya bagi anak-anak
muda jemaat yang memiliki selera dan gaya yang berbeda. Linton (dalam
Koentjaraningrat, 1990: 97) mengatakan bahwa dalam proses perubahan budaya di
mana di dalamnya terjadi akulturasi, ada unsur-unsur kebudayaan yang mudah
131
berubah bila diperhadapkan dengan pengaruh asing. Dengan demikian,
perkembangan yang terjadi dalam kehidupan jemaat dapat dikatakan sebagai suatu
hal yang wajar terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Gede Trisna Putra seorang
informan ketika ditanya pendapatnya mengenai fenomena di atas, mengatakan:.
“Anak-anak muda yang ada di GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawangsekarang berbeda dengan kita. Mereka secara pendidikan lebih tinggi dandalam kehidupan sehari-hari mereka banyak dipengaruhi oleh kehidupanmodern, mereka banyak bekerja dan berinteraksi di daerah pariwisatadengan orang-orang asing. Coba kita lihat dalam ibadah-ibadah, kalauminggu pertama mereka kebanyakan tidak hadir, karena minggu pertamakita memakai bahasa Bali. Hal ini harus kita sikapi, tidak dapat kita biarkan.Oleh karena itu beberapa tahun yang lalu saya mengusulkan supaya gerajamemakai band dan memasukkan nyanyian-nyanyian rohani populer.Supaya anak-anak kita juga mau dan betah mengikuti ibadah (Wawancara, 8Agustus 2012).
Apa yang dikatakan oleh informan di atas menegaskan bahwa kehadiran budaya-
budaya dari luar gereja tidak serta merta mendapat penolakan dan tidak serta merta
menimbulkan efek negatif. Masuknya budaya luar seringkali juga memperkaya
tradisi dan budaya lokal yang sudah ada. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali juga berdampak pada hilangnya budaya atau tradisi yang sudah ‘tertanam’
(embeded) dalam satu komunitas. Hilangnya satu budaya tidak terjadi begitu saja,
tanpa campur tangan masyarakat yang pedukung budaya tersebut. Masyarakat
pendukung mengambil satu keputusan apakah akan terus melestrarikan budaya
tersebut atau membuangnya. Hal itu merupakan sebuah pilihan yang dilakukan oleh
pendukung budaya. Apakah mereka akan tetap memakai budaya yang lama atau
memilih budaya baru, kedua-duanya memiliki konsekuensi bagi kehidupan mereka.
132
Ada berbagai alasan ketika satu budaya ditinggalkan oleh pendukungnya,
antara lain, budaya tersebut sudah tidak cocok dengan situasi dan keadaan zaman.
Artinya, budaya tersebut tidak lagi dapat menjawab atau memenuhi rasa nyaman
pendukungnya. Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001:342) mengatakan bahwa
perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua-
duanya bersangkut-paut dengan penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan
dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Seperti yang diungkapkan
oleh seorang informan Wayan Suartha seorang penatua GKPB jemaat Marga Pakerti
dengan berkata :
“Dulu memang nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai penuh dalam liturgipada hari minggu bahkan juga dalam ibadah keluarga. Tetapi nampaknyapengaruh televisi dan keadaan zaman sekarang yang tidak memungkinkanlagi, anak-anak lebih memilih nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia.Nampaknya mereka malu dan menganggap nyanyian rohani berbahasa Baliitu kuno dan tidak mengikuti jaman dan tidak memenuhi selera mereka”(Wawancara, 29 Agustus 2012)
Penuturan di atas hendak mengungkapkan bahwa pilihan anak-anak muda untuk
meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dipengaruhi oleh perasaan. Mereka
merasa nyanyian rohani berbahasa Bali identik dengan kuno dan ketinggalan zaman.
Sebagai sebuah budaya, nyanyian rohani berbahasa Bali mengandung nilai-
nilai luhur yang sudah terbukti mampu menjaga kehidupan umat. Nyanyian rohani
berbahasa Bali sesungguhnya mengandung ajaran-ajaran kebenaran yang diambil
dari Alkitab. Ajaran-ajarannya mengajak jemaat untuk tetap memiliki pengharapan
dan percaya kepada Tuhan. Artinya, nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali ketika
133
diresapi oleh jemaat sesungguhnya meneruskan dan menanamkan ajaran Kristiani
yang bersumber pada Alkitab.
Meneruskan dan mengajarkan ajaran-ajaran Kristiani yang bersumber pada
Alkitab sesungguhnya merupakan sebuah perintah yang harus ditaati oleh umat
untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Meneruskan dan mengajarkan ajaran-
ajaran Kristiani dalam kitab Injil dikatakan sebagai berikut:.
“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini, haruslah engkauperhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepadaanak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu,apabila engkau sedang ada di dalam perjalanan, apabila engkau berbaring,dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannyasebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang didahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmudan pada pintu gerbangmu” (Kitab Ulangan 6:6-10)
Ungkapan di atas hendak memberikan penegasan kepada jemaat bahwa apa yang
menjadi tradisi dan mengandung nilai-nilai kebenaran tidak dapat ditinggalkan
begitu saja. Sebaliknya, jemaat mempunyai tanggung jawab untuk meneruskan
dengan mengajarkan kepada generasi berikutnya.
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa nyanyian rohani berbahasa
Bali sebagai sebuah budaya memiliki nilai-nilai kebenaran, tetapi dengan berbagai
macam pengaruh yang berkembang mulai terpinggirkan. GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang yang menjadi pendukung budaya tersebut tidak
meneruskan atau mewariskan budaya tersebut kepada generasi berikutnya. Pada sisi
yang lain, karena berbagai pengaruh, generasi muda juga tidak tertarik untuk
memakai budaya tersebut. Sebagai generasi muda, mereka memiliki alasan yang
134
kuat bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali itu tidak sesuai lagi dengan konteks
hidup mereka.
Sebagai generasi muda yang berbeda konteks hidupnya dengan orang tuanya,
mereka memiliki pilihan-pilihan yang dapat mereka pilih untuk mereka terima
sebagai budaya mereka sendiri. Mereka memilih budaya modern dalam hal ini
nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia, yang mereka anggap lebih cocok dan
pas dengan hidup mereka daripada memilih nyanyian rohani berbahasa Bali yang
sudah melekat dalam kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang di masa yang lalu.
Persoalan memilih budaya modern dan meningggalkan tradisi nenek moyang
adalah sebuah pilihan yang sah-sah saja. Akan tetapi, pilihan yang mereka lakukan
juga memiliki konsekuensi punahnya budaya lokal. Seorang informan, Nengah
Yakobus Wirasa ketika ditanyai tentang keberadaan nyanyian rohani ke depan
memberikan jawaban sebagaiberikut.
“Jika diamati semakin hari bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Balisemakin hari semakin berkurang. Ada kemungkinan ke depan nyanyianrohani berbahasa Bali akan hilang atau tidak dikenal oleh anak-anak kita.Sekarang saja dipakai hanya sekali dalam sebulan, itupun masih dicampur-campur dengan bahasa Indonesia. Ke depan mungkin saja dihapus, apalagikalau suatu saat yang ditugaskan sebagai pendeta di jemaat ini adalahpendeta yang bukan dari etnis Bali” (Wawancara, 26 Juli 2012).
Pernyataan di atas mengungkapkan sebuah kekhawatiran bahwa dengan melihat
situasi sekarang, nyanyian rohani berbahasa Bali akan mengalami kepunahan atau
tidak dikenal oleh generasi muda yang akan datang. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh informan lainnya, Gede Trisna Putra yang berkata:
135
“Gereja harus berupaya lebih keras dan serius, supaya nyanyian rohaniberbahasa Bali sebagai warisan budaya tetap dapat diterima oleh anak-anak muda kita. Selain dengan tetap mempertahankan pemakaian bahasaBali pada minggu pertama setiap bulan, gereja juga dapat menyelipkan satunyanyian rohani berbahasa Bali setiap kali ibadah. Atau gereja dapatmendorong para seniman menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yangbaru yang sesuai dengan konteks anak-anak muda sekarang, dengan iramayang lebih nge-pop sehingga anak-anak muda kita bisa menerima danmerasakan makna nyanyian-nyanyian tersebut dan ke depan nyanyian rohaniberbahasa Bali tetap dikenal oleh generasi berikut” (Wawancara, 8 Agustus2012)
Wawancara di atas memberikan gambaran bahwa sekalipun anak-anak muda
memiliki pilihan-pilihan, usaha-usaha untuk melestarikan nyanyian rohani berbahasa
Bali harus terus diupayakan. Ada kekhawatiran bahwa jika anggota gereja tidak
melakukan satu upaya yang serius, maka nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai
warisan budaya cepat atau lambat akan mengalami kepunahan. Ditinggalkannya
nyanyian rohani berbahasa Bali mengindikasikan juga bahwa tradisi gereja yang
sudah tertanam dalam kehidupan gereja juga ditinggalkan.
7.5. Terjadinya Kelompok Sosial Multikultural
Masuknya nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Inggris ke tengah-tengah
kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang menimbulkan
perjumpaan antarbudaya yang berbeda. Anggota GKPB jemaat Marga Pakerti yang
sebelumnya belum banyak mengenal budaya luar dapat belajar dan mengetahui
budaya yang berbeda dengan budaya yang selama ini mereka anut. Perjumpaan
budaya ini sering disebut interaksi antarbudaya atau lebih dikenal dengan sebutan
komunikasi antarbudaya
136
Dalam kenyataan sosial, ketika budaya lokal bertemu dengan budaya luar
akan terjadi komunikasi antarbudaya. Alo Liliweri (2002: 43), sorang pakar
komunikasi antarbudaya mengatakan bahwa salah satu tuntutan globalisasi yang
semakin tidak terkendali seperti saat ini mendorong masyarakat untuk terjadinya
sebuah interaksi lintas budaya, lintas kelompok, serta lintas sektoral. Belum lagi
perubahan-perubahan global lainnya, yang semakin deras dan menjadi bukti nyata,
bahwa semua orang harus mengerti karakter komunikasi antarbudaya secara
mendalam.
Masuknya budaya luar ke tengah-tengah kehidupan GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang mengurangi terjadinya kesenjangan antaranggota
jemaat yang berbeda budaya dan latar belakang. Anggota jemaat yang berasal dari
luar etnis Bali dapat berinteraksi dan hidup bersama-sama dalam satu gereja.
Fenomena seperti ini terjadi dalam kehidupan keseharian anggota GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang seperti yang diungkapkan oleh seorang
informan Nyoman Rubin, umur 62 tahun dengan berkata :
“ Bagus sekali kalau kita sering memberi kesempatan kepada saudara-saudara kita yang dari Toraja, Sulawesi untuk tampil dalam ibadahminggu, seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu merekamempersembahkan pujian dengan diiringi pompang (pompang adalahalat musik tiup khas Toraja-Mamasa yang dibuat dari bambu denganberbagai ukuran dan dimainkan oleh 20 sampai 30 orang). Hal itumemberi variasi dalam beribadah dan yang lebih penting, wawasan barukepada jemaat pang sing kaden nak anen iraga gen ane paling luhung(supaya kita tidak berpikir bahwa apa yang kita miliki yang paling baik)”(Wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa jemaat menerima dan dapat
berkomunikasi dengan anggota jemaat yang berbeda etnis. Hal seperti ini sangat
137
penting dalam kehidupan jemaat, yaitu untuk menghilangkan kecurigaan sehingga
warga jemaat dapat bertumbuh dalam iman dan kehidupan sosial secara umum.
7.6. Berkurangnya Nuansa Budaya Bali dalam Liturgi
Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang atau kelompok
karena orang atau kelompok itu merupakan anggota dari satu kelompok tertentu.
Sedyawati (2003: 3) mengungkapkan bahwa istilah identitas budaya dapat dipahami
sebagai sebuah himpunan ciri-ciri yang menandai suatu himpunan masa tertentu
yang seringkali disebut dengan kelompok etnik. Dalam konteks di atas, nyanyian
rohani berbahasa Bali dapat dikatakan sebagai ciri dan identitas GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang jika bandingkan gereja-gereja lain yang ada di Bali.
Sebagai sebuah identitas, nyanyian rohani dipakai oleh jemaat baik dalam ibadah
minggu maupun dalam ibadah-ibadah lainnya. Hal itu diungkapkan oleh seorang
informan yaitu Gede Trisna Putra salah seorang mantan majelis jemaat, dengan
berkata :
“Ketika GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang hidup danberkembang di antara gereja-gereja lain yang ada di Bali, maka yangmenjadi ciri GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang adalah bahasaBali dan nyanyian rohani berbahasa Balinya. Nyanyian rohani berbahasaBalilah yang membedakannya. Kalau sekarang bahasa Bali dan nyanyianrohani tidak dipakai lagi, maka GKPB tidak GKPB lagi (GKPBkepanjangan dari Gereja Kristen Bali, kata “Bali” menekankan padaidentitas etnik GKPB), GKPB sama saja seperti GKI (Gereja KristenIndonesi) atau GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat) yangtentu saja tidak memiliki identitas etnik. Itulah juga sebabnya GKPBhanya ada di Bali, berbeda dengan GPIB dan GKI yang ada di seluruhpelosok Indonesia” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Ketut Sadrah ketika ditanyakan pertanyaan
yang sama berkata :
138
“Kalau nyanyian rohani berbahasa Bali suatu saat tidak dipakai lagi dalamibadah-ibadah dan diganti sepenuhnya dengan nyanyian rohani bahasaIndonesia atau Inggris seperti yang sedang berkembang sekarang, laluapa yang menjadi ciri GKPB sebagai gereja yang sebagian besarumatnya adalah orang Bali. Saya rasa GKPB akan kehilangan identitaske-Balian-nya. Dan lebih jauh, GKPB tidak akan mengakar dalambudaya Bali. Kalau hal ini benar terjadi di masa yang kan datang sulitsaya membayangkan, karena selama ini GKPB sudah dikenal dengangereja yang sangat kontekstual dalam budaya Bali” (Wawancara, 8Agustus 2012 )
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sudah
menjadi ciri dan identitas yang dikenal dan diketahui oleh kalangan gereja maupun
masyarakat umum lainnya. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali tentu
akan berakibat negatif terhadap ciri dan identitas GKPB jemaat Marga Pakerti di
Banjar Padang Tawang.
Sebagai sebuah agama yang berkembang dan hidup di Bali, GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang tidak dapat dilepaskan dari budaya dan
tradisi Bali yang sudah melekat dalam dirinya. Namun demikian, perkembangan
jaman yang ditandai dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia
mendorong jemaat melakukan adaptasi atau penyesuaian. Suparlan (1981: 9)
mengatakan bahwa adaptasi dapat dikatakan sebagai suatu proses untuk mengatasi
berbagai masalah yang ada dalam lingkungan fisik guna kelangsungan hidup.
Sehubungan dengan hal itu, maka adaptasi yang dilakukan oleh manusia berproses
dalam dimensi lingkungan yang amat luas. Manusia berhubungan dengan dunia
secara kritis. Mereka memahami data yang ada dilingkungannya. Mereka menyadari
temporalitasnya. Manusia tidak terkungkung dalam satu dimensi waktu yaitu,
139
kemarin atau pun hari ini, sehingga oleh kesadaran itu, manusia melakukan apa yang
disebut adaptasi (Freire, 1984: 3-4).
Dalam pengertian di atas, umat GKPB Jemaat Marga Pakerti melakukan
perubahan-perubahan dengan cara meninggalkan budaya dan tradisi yang dipandang
tidak cocok dengan situasi dan keadaan di masa kini, selanjutnya mengadopsi budaya
yang baru yang lebih sesuai dengan keadaan di masa kini.
7.7. Penghayatan Iman yang Kontekstual
Nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah sarana untuk
mengungkapkan iman, lahir dari konteks dan pengalaman hidup beriman orang-orang
Kristen. Namun demikian, nyanyian rohani berbahasa Bali hasil ciptaan para
pengarangnya, tidak dapat dilepaskan dari ajaran-ajaran firman Tuhan yang ada
dalam kitab suci. Ketika pengarang mengalami satu peristiwa dalam hidupnya, baik
itu berupa hambatan maupun kesulitan, mereka mengimani bahwa Tuhan tidak
meninggalkan mereka sendirian. Mereka mengimani bahwa dalam kesulitan dan
hambatan, Tuhan akan memberikan pertolongan. Hal itu diungkapkan oleh Gede
Trisna Putra mantan majelis jemaat, dengan berkata :
“Nyanyian rohani memang mempunyai konteks atau latar belakang darimasa lalu yaitu orang kristen generasi pertama. Mereka merespon dalamimannya, apa yang mereka rasakan, alami, dan yang mereka lihat. Hal ituseperti yang saya baca dalam sejarah gereja Bali. Sebagai orang Kristenyang baru beralih agama mereka mengalami banyak kesulitan, baiksecara ekonomi, sosial, maupun politik. Contohnya lagu sampunangajrih kakewuhan (Sebuah judul nyanyian rohani berbahasa Bali yangcukup sering dinyanyikan dalam ibadah minggu berbahasa Bali. Dalambahasa Indonesia artinya jangan menyerah dengan kesulitan). Pengakuanseperti itu sangat sesuai dengan firman Tuhan yang mengatakan “ Jangantakut Aku menyertai engkau” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
140
Sikap religius seperti di atas tentu saja tidak muncul begitu saja. Sikap
religius seperti itu tumbuh dan berkembang melalui pengalaman-pengalaman hidup
sehari-hari yang mereka alami di masa yang lalu. Dengan kata lain, Tuhan yang
tidak dapat dilihat dengan mata jasmani, diyakini ada berdasarkan pengalaman
hidup yang nyata setiap hari. Generasi tua GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang, yaitu mereka yang merasakan sulitnya kehidupan di masa lalu dan
banyaknya hambatan, dimaknai bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali bukan
sekedar nyanyian-nyanyian ungkapan kegembiraan semata, tetapi nyanyian rohani
berbahasa Bali yang lahir dari pergumulan seperti di atas, memiliki makna dan nilai-
nilai kebenaran. Nilai-nilai kebenaran yang disarikan dari ajaran Alkitab. Nilai-nilai
kebenaran yang dapat dipakai sebagai dasar dan landasan bagi jemaat dalam
menjalani hidup, menumbuhkan, dan memperkuat kerohanian.
Realitas yang terjadi sesuai dengan perkembangan waktu adalah
berbahasa Bali tidak serta-merta dapat menjadi tanda menurunnya kerohanian umat.
Bagi generasi tua yaitu mereka yang nota bene adalah orang Bali dan menggunakan
bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari, ketika melakukan ibadah dengan
menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia merasa tidak dapat menikmati
ibadah. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan I Nyoman Ruja, salah
satu anggota jemaat dari generasi pertama :
“Tidak dipakainya nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi, bagi sayasangat mempengaruhi kehidupan kerohanian saya. Seperti yang sayarasakan dalam setiap ibadah di gereja rasanya hambar tidak khusuk. Tidakada rasa suka cita dan ujung-ujungnya ibadah tidak menjadikan kerohanian
141
saya semakin bertumbuh dan kuat tetapi sebaliknya, kerohanian sayasemakin menurun dan mengalami kekosongan” (Wawancara, 2013)
Bagi generasi tua, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali bisa jadi memiliki
relevansi terhadap menurunnya kerohanian umat dalam menghayati ajaran agama
Kristen. Dengan memakai nyanyian rohani berbahasa Indonesia, kebenaran-
kebenaran iman yang dulu dirasakan dan ditemukan lewat nyanyian rohani
berbahasa Bali tidak dirasakan dan tidak ditemukan oleh umat. Pernyataan responden
di atas tentu saja tidak berlaku untuk semua anggota jemaat. Pemahaman bahwa
keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai menurunnya kerohanian
hanya dirasakan dan dimaknai oleh anggota jemaat yang sudah tua, yaitu mereka
yang memahami nyanyian berbahasa Bali.
Agama sebagai satu persekutuan hidup, baik dalam lingkup yang sempit atau
luas yang unsur konstruktif utamanya adalah nilai-nilai atau ajaran agama, tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat (Hendropuspito, 1983: 9). Pernyataan di atas
mengandung arti bahwa ajaran agama tidak akan berkembang dan lestari kalau tidak
ada masyarakat pendukungnya. Pada sisi lain, masyarakat akan menjadi masyarakat
yang tidak terkontrol kalau ajaran-ajaran agama tidak memberikan nilai-nilai dan
patokan-patokan yang dapat diikuti. Kedua-duanya saling membutuhkan dan saling
melengkapi. Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali memiliki makna
dan nilai yang mendalam dalam kehidupan sosial jemaat GKPB Marga Pakerti di
Banjar Padang Tawang, yaitu menjaga persekutuan antarumat. Seperti yang
diungkapkan oleh Nengah Yakobus Wirasa dengan mengatakan sebagai berikut.
142
“Bagaimanapun perkembangan situasi sekarang ini, nyanyian rohaniberbahasa Bali yang sarat dengan nilai-nilai kebenaran terbukti dapatmenjaga kehidupan persekutuan jemaat. Tidak saja di masa lalu, sayapercaya pada masa kini juga, telah menjaga persekutuan hidup jemaatdalam menghadapi tantangan. Dalam pergaulan hidup dengan masyarakatkhususnya di Banjar Padang Tawang, jemaat tidak terpecah-pecah dan tidakterkotak-kotak” (Wawancara, 26 Juli 2012)
Ungkapan di atas memberikan penegasan bahwa nyayian rohani berbahasa Bali
memiliki makna yaitu menjaga hubungan antaranggota jemaat. Nyanyian rohani
berbahasa Bali dengan nilai-nilai kasih yang terkandung di dalamnya menjadi
patokan dan dasar yang kuat dalam interaksi sosial antarjemaat. Bagaimanapun
modern dan majunya kehidupan seseorang, budaya dan tradisi tidak dapat betul-betul
terpisahkan dari dirinya. Seseorang ada dan hidup seperti sekarang adalah hasil dari
budaya dan tradisi yang dijalaninya di masa lalu.
Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi ciri dan
identitas ke-Balian GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Dalam
perkembangan waktu kemudian, nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dipakai lagi,
maka ke-Balian GKPB jemaat Marga Pakerti sebagai gereja yang berkembang di
Bali menjadi kabur. Sebagai mana yang dikatakan oleh informan I Wayan Suartha :
“Dalam kehidupan masyarakat multikultur sekarang ini, identitas dan ciri kitasebagai orang Kristen Bali akan nampak kalau ibadah-ibadah dan nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi masih dipertahankan. Identitaske Balian GKPB akan menjadi kuat kalau jemaat mau dan suka memakainyanyian rohani berbahasa Bali. Realitasnya sekarang hal itu tidak terjadi;jemaat lebih banyak memakai nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Ya..kita sama saja dengan gereja-gereja yang lain tidak lagi ada identitas yangkhas Bali” (Wawancara, 29 Agustus 2013).
Ungkapan Wayan Suartha di atas menggambarkan bahwa keterpinggiran nyanyian
rohani berbahasa Bali dimaknai sebagai kehilangan identitas ke-Balian gereja.
143
Memaknai keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai kehilangan
identitas ke-Balian tentu saja menjadi makna sempit dan terbatas pada umat yang
antiperubahan. Dalam realitasnya, identitas dapat dilihat dari berbagai segi.
Refleksi
Sejak berkembangnya agama Kristen di Bali, Nyanyian rohani berbahasa Bali
telah menjadi bagian dalam kehidupan ibadah umat. Sebagai sebuah sarana,
nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai untuk mengungkapkan syukur, menyatakan
pujian, menyatakan keagungan, dan mengungkapkan doa umat kepada Tuhan. Hal
ini, tidak terlepas dari usaha kontekstualisasi yang dilakukan oleh gereja. Sebagai
agama yang berkembang di Bali dan umat adalah orang Bali yang menggunakan
bahasa Bali, maka budaya Bali termasuk di dalamnya bahasa Bali, menjadi sarana
yang efektif untuk mengungkapkan penghayatan iman umat.
Dalam perkembangan dari tahun 1930-an sampai sekitar tahun 1980-an,
nyanyian rohani berbahasa Bali yang telah “tertanam” dalam budaya Bali, perlahan-
lahan mulai ditinggalkan oleh umat. Umat tidak lagi memakai nyanyian rohani
berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
Pengalihan ini tentu saja tidak lepas dari perkembangan jaman yang sangat pesat.
Kehidupan sosial yang berubah, perkembangan teknologi dan media, dan ekonomi
yang semakin meningkat, mendorong pengalihan itu semakin cepat. Bagi generasi tua
yang merasakan dan mengerti konteks nyanyian rohani berbahasa Bali, pengalihan
ini tentu saja menjadi persoalan. Mereka tidak dapat lagi merasakan sukacita ibadah
144
sebagaimana dulu ketika ibadah memakai nyanyian rohani berbahasa Bali.
Sebaliknya, anak-anak muda yang berbeda konteks hidup dengan generasi tua
menikmati ibadah dengan suka cita.
Dalam realitas dunia yang terus berubah, tentu saja tidak bijaksana kalau umat
terus-menerus berpaling ke masa lalu. Umat harus bersikap realistis melihat
perubahan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, realitas keterpinggiran
nyanyian rohani berbahasa Bali harus disikapi dan dilihat oleh umat bukan sebagai
kemunduran tetapi sebaliknya sebagai kemajuan. Umat seharusnya bersifat dinamis
terhadap situasi dan keadaan yang sedang terjadi. Dengan bersifat dinamis umat
dapat melihat keterpinggiran nyanyian rohani sebagai kesempatan untuk menghayati
iman Kristen dengan lebih kontekstual sehingga umat dapat menjawab tantangan
zaman.
Namun demikian, dengan alasan perkembangan zaman yang semakin maju
tidak, hal itu sertamerta membuat umat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa
Bali yang sarat dengan nilai-nilai ajaran Kristen. Sebaliknya, nyanyian rohani
berbahasa Bali tetap harus diajarkan dan disosisaliasikan kepada generasi muda,
supaya generasi muda juga mengerti pergumulan umat di masa lalu dan kemudian
dapat mengambil pelajaran. Selain itu, dengan tetap mengajarkan nyanyian rohani
berbahasa Bali generasi muda tidak melupakan budaya-budaya masa lalu sehingga
mereka tidak kehilangan jejak dan nyanyian rohani berbahasa Bali tidak mengalami
kepunahan.
145
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1. Simpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
Faktor-Faktor yang menyebabkan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, adalah
karena terjadinya perubahan sosial, lingkungan, meningkatnya pendidikan,
perkembangan ekonomi, media dan teknologi, heterogenitas jemaat, menurunnya
minat jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali, dan kurangnya usaha untuk
menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yang baru. Perubahan-perubahan di atas
terjadi tidak lepas dari meluasnya globalisasi. Globalisasi dengan segala bentuknya,
mengubah bukan saja tatanan masyarakat yang sudah mapan (budaya dan tradisi)
tetapi juga mengubah polapikir dan polatindak masyarakat.
Proses keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB
jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, yaitu tahun 1930 hingga 1960-an
masa-masa di mana GKPB melakukan usaha kontekstualisasi dengan mengadopsi
budaya Bali dan nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi nyanyian utama dalam
liturgi. Tahun 1960 hingga 1980-an mulai terpinggirkannya nyanyian rohani
berbahasa Bali. Pada masa ini, ada usaha pemerintah untuk melakukan nasionalisasi
bahasa Indonesia, terbitnya nyanyian rohani berbahasa Indonesia, dan mulai
dipakainya liturgi berbahasa Indonesia. Tahun 1990 hingga 2012-an, nyanyian
rohani berbahasa Bali sudah terpinggirkan.
146
Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang mempunyai implikasi terhadap
pelaksanaan liturgi dan kerohanian umat. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali berimplikasi pada pelaksanaan liturgi yang tidak utuh, peran pendeta yang
semakin berkurang dalam pelaksanaan liturgi, Geraja semakin terbuka bagi semua
orang, berkurangnya unsur budaya Bali dalam liturgi, terjadinya kelompok sosial
multikultural, dan beragamnya unsur budaya dalam liturgi, dan penghayatan iman
yang kontekstual. Implikasi seperti di atas, dalam realitasnya adalah sebuah
penyesuaian-penyesuaian (adaptasi) yang dilakukan oleh umat. Untuk tetap dapat
eksis dalam zaman yang terus mengalami perubahan, umat dengan sadar melakukan
penyesuaian-penyesuaian.
8.2. Saran
Untuk mencegah punahnya budaya dan tradisi dalam hal ini nyanyian rohani
berbahasa Bali, gereja dan juga anggota jemaatnya dapat melakukan upaya-upaya
yang lebih serius, agar nyanyian rohani berbahasa Bali tetap dikenal oleh generasi
muda di kemudian hari.
Pertama, kepada institusi gereja dalam hal ini Gereja Kristen Protestan Bali.
Institusi gereja agar mendorong para pendeta bersama dengan majelis jemaat,
untuk tetap memakai nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi, baik dalam
ibadah minggu maupun dalam ibadah keluarga. Dengan tetap memakai nyanyian
rohani berbahasa Bali, diharapkan tumbuh rasa memiliki dan keinginan dari generasi
muda untuk mempelajari nyanyian rohani berbahasa Bali.
147
Institusi Gereja memberikan kesempatan dan dorongan kepada para seniman-
seniman gereja untuk menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yang sesuai
dengan konteks masa kini. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan lomba-lomba
menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali atau kontes nyanyian rohani berbahasa
Bali. Selanjutnya, yang lebih penting adalah tetap dipakainya hasil ciptaan mereka
dalam ibadah-ibadah gereja, sehingga nyanyian rohani berbahasa Bali semakin
dicintai dan dipahami.
Gereja membuat keputusan atau aturan yang lebih tegas dan ketat, supaya
jemaat-jemaat GKPB secara umum tetap memasukkan nyanyian rohani berbahasa
Bali dan menetapkan dalam satu kali sebulan memakai bahasa dan nyanyian rohani
berbahasa Bali. Dengan demikian, bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Bali
menjadi lebih dikenal dan dicintai.
Kedua, kepada anggota jemaat.
Keluarga-keluarga jemaat sebagai komponen terkecil dari gereja terus menerus
berupaya mentranmisikan budaya dan tradisi dalam hal ini nyanyian rohani berbahasa
Bali kepada anak-anak sebagai generasi penerus. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara tetap memakai dan mengajarkan bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Bali
dalam ibadah-ibadah keluarga. Dengan demikian, diharapkan anak-anak akan belajar
dan mau menerima budaya dan tradisi Bali. Keluarga-keluarga jemaat tetap
menanamkan rasa bangga khususnya terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali dan
umumnya pada bahasa Bali, sehingga nyanyian rohani berbahasa Bali tetap disukai
148
dan dicintai oleh generasi muda gereja. Bagaimanapun kelestarian budaya dan tradisi
juga merupakan tanggungjawab keluarga-keluarga jemaat.
149
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2009. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset.
Abineno, J.L.Ch. 1996. Unsur-Unsur Liturgia. Jakarta: Badan Penerbit Kristen.
Agger, B. 2003. Mazhab Frankfurt Karl Marx Cultural Studies Teori FeminisDerrida Post Modernitas Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan danImplikasinya (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.n
Anonim. 1960. Kidung Pamuji dan Mazmur Nyanyian Rohani. Semarang: SatyaWacana.
Anonim. 2000. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Anonim. 2011. Profil Desa Canggu. ____________
Anonim. 2010. Buku Induk Penduduk Banjar Padang Tawang.___________
Ardika, I Wayan. 2007. “Kebudayaan Lokal, Multikultural dan Politik Identitasdalam Refleksi Hubungan Antar Etnis, Antara Kearifan Lokal denganWarga Cina di Bali”, dalam Jurnal Lembaga Kebudayaan. UMM.Edisi Maret Tahun 2007.
Gereja Kristen Protestan Bali. 2002. Tata Gereja Tahun 2002. Denpasar.
Gereja Kristen Indonesia. 2005. Nyanyikanlah Kidung Baru. Jakarta: BPK GunungMulia.
Giddens, A. 2003. Masyarakat Post Tradisional. Yogyakarta: IRCiSoD
Gie, The Liang. 2006. Bahasa Estetika Postmodernisme. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada..
GKPB Marga Pakerti Padang Tawang. 2012. Laporan Pelaksanaan Program 2011dan Program 2012. Badung.
151
Hall, S. 1977. The Media Culture and The Idiological Effect, dalam J. Curran, M.Gurevilch dan J. Woollacott (ed). Mass Comunications and Society.London. Edwar Arnold.
Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius
Hoed, Benny. H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: KomunitasBambu.
Hunter, David. E dan Phillip Whitten. 1976. Encyclopedia of Antrophology. NewYork: Harper and Row Publisher.
Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. (terj. Landung Simatupang). Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset.
Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media, Cultural Studies, Identitas dan Politik:Antara Medern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra
Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakrta: UI-Press.
Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:LkiS.
Mantra, Ida Bagus. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Merti, Ni Made. 2006. “Pemertahanan Bahasa Bali dalam Masyarakat Multikulturaldi Kota Denpasar”, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar.
Miles, Matthew. A Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI.Press.
Moleong, Lexy. J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja RosdaKarya.
Nawawi, H. 1992. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada UniversityPress.
Ningsing, Y. 2006. Sosiologi, Tentang Standar Isi. Jawa Tengah: Cermat
Nurmala, 2005. “Eksistensi Lagu Pop Minangkabau di Sumatera Barat: PerspektifKajian Budaya” Tesis, Universitas Udayana, Denpasar.
152
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-BatasKebudayaan. Bandung: Matahari.
Prasiasa, Dewa Putu Oka. 2011. Wacana Kontemporer Pariwisata. Jakarta: SalembaHumanika.
Puspitha, Tjatra. 2012.”Pulau Bali sebagai Tempat Pelayanan GKPB” dalamDinamika GKPB dalam Perjalanan Sejarah. Jakarta: PT BPK GunungMulia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Kajian Budaya dan Ilmu Sosial HumanioraPada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sedyawati, E. 2006. Budaya Indonesia. Jakarta: Raja Gresindo Persada.
Sinode Am GKI. 2005. Nyanyikanlah Kidung Baru. Jkarta: BPK Gunung Mulia
Soekamto, S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soemarwoto, O. 1997. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:Jembatan.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.
Suarningsih. 2004. “Lagu Pop Bali Anak-anak: Perspektif Kajian Budaya” Tesis,Universitas Udayana, Denpasar.
Suparlan, P. 1981. “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Perspektif AntropologiBudaya” dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, No.2, Jilid IX.Jakarta: Fak. Sastra Universitas Indonesia.
Sztompka, P. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. (terj. Alimandan). Jakarta: Prenada.
Tan, Mely G. 1993. “Masalah Perencanaan Penelitian” dalam Koentjaraningrat (ed),Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
Wahyudi, Ibnu. (editor). 2004. Menyoal Sastra Marginal. Jakarta Selatan : WedantaWidya Sastra.
153
Waspada, I Ketut Siaga. 2012. “Penginjilan di Pulau Bali Hingga Lahirnya GerejaBali” dalam Dinamika GKPB dalam Perjalanan Sejarah. Jakarta: PTBPK Gunung Mulia.
Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat Perubahan Sikap, Prilaku Serta Sikapyang Tidak Berkebudayaan. Yogyakarta: Pinus Book Publiher.
Wijaya, Nyoman. 2003. Serat Salib Dalam Lintas Bali, Menapak Jejak PengalamanKeluarga GKPB (Gereja Kristen Protestan di Bali) 1931 – 2001.Denpasar: CV. Krinan.
Yamuger. 1984. Kidung jemaat. Jakarta: Yayasan Musik Gereja Indonesia.
Yohanes, I Nyoman. 1993. Tembang-Tembang Kaulan. Denpasar