Top Banner
KETERKAITAN HARGA LAHAN TERHADAP LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI HULU SUNGAI CILIWUNG KABUPATEN BOGOR DESI IRNALIA ASTUTI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
86

Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian Di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor

Nov 24, 2015

Download

Documents

Edhy Jun Adhy
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • i

    KETERKAITAN HARGA LAHAN TERHADAP LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN

    DI HULU SUNGAI CILIWUNG KABUPATEN BOGOR

    DESI IRNALIA ASTUTI

    DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

    FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2011

  • i

    RINGKASAN

    DESI IRNALIA ASTUTI. Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. Dibimbing Oleh PINI WIJAYANTI

    Harga lahan merupakan alasan utama penduduk dalam menjual lahan pada Kecamatan Cisarua. Penjualan lahan dilakukan karena penduduk tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aktivitas penjualan lahan tersebut juga diikuti oleh perubahan penggunaan lahan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan. Perubahan tata guna lahan yang sangat tinggi di hulu Sungai Ciliwung meningkatkan peluang terjadinya banjir pada daerah hilir. Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk memberikan informasi mengenai pengaruh harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu Sungai Ciliwung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Sedangkan, tujuan khusus dari penelitian ini yaitu: (1) mengidentifikasi laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua, (2) menganalisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan, (3) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi lahan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua. Penelitian ini dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan Kecamatan Cisarua merupakan hulu Sungai Cilwung. Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret-April 2011. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden melalui kuisioner. Data sekunder diperoleh melalui pengumpulan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung, Kecamatan Cisarua, Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua. Data sekunder yang diperlukan merupakan data time series dari tahun 2001-2010, meliputi data harga lahan per meter persegi, jumlah penduduk, vila, obyek wisata, luas konversi lahan, serta studi literatur atau referensi lainnya berupa jurnal dan penelusuran data melalui internet. Laju konversi lahan dianalisis dengan persamaan laju parsial dan kontinu, pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan menggunakan metode linier berganda, sedangkan pengaruh harga lahan terhadap laju konversi lahan menggunakan metode korelasi Pearson. Pengolahan data dilakukan secara manual serta komputer dan melalui program Microsoft Office Excel 2007, SPSS 15, dan Minitab.

    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tren laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua tahun 2001-2010 terus meningkat. Konversi lahan tertinggi terjadi pada tahun 2006. Laju konversi lahan pertanian dan pemukiman masing-masing sebesar 2.28 % dan 3.94 %. Keterkaitan harga lahan di tingkat Kecamatan Cisarua pada tahun 2001-2010 berhubungan positif terhadap konversi lahan. Laju konversi lahan semakin tinggi karena kenaikan harga lahan di Kecamatan Cisarua lebih murah dibandingkan dengan daerah asal pembeli yaitu Jakarta. Faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk pada tingkat rumah tangga dalam mengkonversi lahan adalah harga lahan, jumlah tanggungan, pendapatan, dan luas lahan yang dimiliki saat menjual.

    Kata kunci : Konversi lahan, Harga lahan, Laju parsial, dan Laju kontinu

  • ii

    KETERKAITAN HARGA LAHAN TERHADAP LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN

    DI HULU SUNGAI CILIWUNG KABUPATEN BOGOR

    DESI IRNALIA ASTUTI

    H44070024

    Skripsi sebagai salah satu syarat untuk

    memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

    DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

    FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2011

  • ii

    Judul Skripsi : Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor.

    Nama : Desi Irnalia Astuti NRP : H44070024

    Disetujui

    Pini Wijayanti, SP, M.Si Nuva, SP, M.Sc Pembimbing I Pembimbing II

    Diketahui

    Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen

    Tanggal Lulus: 24 Juni 2011

  • iii

    PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Keterkaitan Harga Lahan terhadap

    Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor adalah

    karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam

    bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal

    atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

    disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

    skripsi ini.

    Bogor, Juni 2011

    Desi Irnalia Astuti H44070024

  • iv

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

    memberi bantuan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi ini, terutama

    kepada:

    1. Ayah (Muchlis Abbas), Ibu (Mami Kustini, AMa), dan kakak-kakak penulis

    (Deni Oktarian, Edi Candra, SH, Risma Feny, SPd dan Ade Christi) atas

    segala dukungan, doa, semangat, dan kasih sayang.

    2. Pini Wijayanti, SP, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi I yang telah

    meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, dan motivasi dalam

    penyusunan skripsi ini.

    3. Nuva, SP, M.Sc, selaku dosen pembimbing skripsi II yang telah meluangkan

    waktu untuk memberikan bimbingan, saran, dan motivasi dalam penyusunan

    skripsi ini.

    4. Ir. Nindyantoro, M.Sp, selaku dosen penguji utama.

    5. Adi Hadianto, SP, M.Si, selaku dosen perwakilan departemen dan

    pembimbing akademik.

    6. Kecamatan Cisarua, Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua atas data dan

    informasinya.

    7. Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung, Badan Pusat Statistik Kabupaten

    Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, dan Dinas Tata

    Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor atas data dan informasinya.

    8. Rekan satu bimbingan, Andrian Irwansyah, Andika Lesmana, Dina Berina,

    dan Nasya Fathiras atas bantuan, semangat, dan motivasinya.

    9. Teman-teman ESL 44 atas kebersamaannya selama ini.

  • v

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

    memberikan rahmat serta karunia-Nya. Skripsi ini disusun sebagai salah satu

    syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi

    Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut

    Pertanian Bogor.

    Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

    keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di Kecamatan

    Cisarua Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kajian yang dilakukan meliputi

    tren laju konversi lahan dengan persamaan laju parsial dan kontinu dan analisis

    keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian dengan metode

    korelasi Pearson. Selain itu, juga dilakukan analisis mengenai faktor-faktor yang

    mempengaruhi konversi lahan sawah, perkebunan, dan hutan dengan metode

    linier berganda.

    Penulis menyadari bahwa skripsi jauh dari sempurna. Akhir kata, semoga

    skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, khususnya pihak yang

    terkait dengan penelitian ini.

    Bogor, Juni 2011

    Desi Irnalia Astuti

  • vi

    DAFTAR ISI

    Halaman

    RINGKASAN ........................................................................................... i

    HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii

    HALAMAN PERNYATAAN ................................................................... iii

    UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... iv

    KATA PENGANTAR ............................................................................... v

    DAFTAR ISI .............................................................................................. vi

    DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................. ix

    DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. x

    I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

    1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 6 1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 6 1.5 Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 6

    II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 8

    2.1 Konversi Lahan .......................................................................... 8 2.2 Fungsi Utama Lahan .................................................................. 9 2.3 Harga Lahan ............................................................................... 10 2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ................. 11 2.5 Dampak Konversi Lahan ............................................................ 12

    III. KERANGKA PENELITIAN ........................................................... 14

    3.1 Kerangka Teoritis ...................................................................... 14 3.1.1 Laju Konversi Lahan ........................................................ 14 3.1.2 Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian ................................................................. 15 3.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ........ 15 3.1.4 Hipotesis ........................................................................... 17

    3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .............................................. 18

    IV. METODE PENELITIAN ................................................................. 20

    4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 20 4.2 Jenis dan Sumber Data .............................................................. 21 4.3 Metode Pengambilan Sampel .................................................... 22 4.4 Metode dan Prosedur Analisis ................................................... 22

    4.4.1 Laju Konversi Lahan ........................................................ 23 4.4.1.1 Model Laju Konversi Lahan ................................ 23

    4.4.2 Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju

  • vii

    Konversi Lahan Pertanian ................................................ 25 4.4.3 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi

    Lahan ................................................................................. 27

    V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN ............................................. 31

    5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ........................................... 31 5.2 Karakteristik Umum Responden ............................................. 32

    5.2.1 Jenis Kelamin dan Usia ................................................. 32 5.2.2 Pendidikan Formal Responden ...................................... 33 5.2.3 Luas dan Status Kepemilikan Lahan ............................. 34 5.2.4 Tingkat Pendapatan ....................................................... 35 5.2.5 Lama Menetap di Lokasi ................................................ 36

    VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 38

    6.1 Laju Konversi Lahan .................................................................. 37 6.2 Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian ..................................................................................... 47 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ................. 50

    VII. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 57

    7.1 Kesimpulan ................................................................................ 57 7.2 Saran .......................................................................................... 57

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 59

    LAMPIRAN ................................................................................................ 62

    RIWAYAT HIDUP ................................................................................... 77

  • viii

    DAFTAR TABEL

    Nomor Halaman

    1 Matriks Metode Analisis Data . ......................................................... 23

    2 Luas Pemukiman dan Jalan di Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010 .......................................................................................... 46

    3 Hasil Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian Tahun 2001-2010 dengan Korelasi Pearson ........... 47

  • ix

    DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman

    1 Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 1961dan 2010 ............. 3

    2 Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur Tahun 2005 2010 ............................................................................ 5

    3 Diagram Alur Berpikir ...................................................................... 19

    4 Peta Guna Lahan Kecamatan Cisarua Tahun 2000 dan 2009 ........... 20

    5 Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2011 ....................................................... 34

    6 Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan Lama Menetap Tahun 2011 .............................................................. 36

    7 Laju Luasan Lahan Pemukiman dan Lahan Pertanian di Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010 ............................................. 37

    8 Tren Jumlah Penduduk Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010 ......................................................................................... 44

    9 Harga Lahan Rata-Rata Kecamatan Cisarua dan Jakarta Tahun 20012010 .............................................................................. 49

  • x

    DAFTAR LAMPIRAN

    Nomor Halaman

    1. Kuisioner Penelitian ............................................................................. 63

    2. Data Jumlah Penduduk Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010 ............................................................................................ 66

    3. Data Luasan Lahan Pertanian Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010 ................................................................................. 66

    4. Data Luasan Pemukiman Kecamatan Cisarua Tahun 2001- 2010 ..................................................................................................... 67

    5. Data Harga Lahan Rata-Rata Kecamatan Cisarua dan Jakarta Tahun 2001-2010 .................................................................... 67

    6. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penduduk dalam Mengkonversi Lahan ........................................................................... 68

    7. Laju Luasan Lahan Pertanian dan Pemukiman Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010 ................................................................... 72

    8. Laju Konversi Lahan Kontinu Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010 ........................................................................................... 72

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dikonversi menjadi lahan non RTH

    akan menimbulkan dampak negatif dalam berbagai aspek. Namun, potensi

    dampak konversi lahan tersebut seringkali kurang disadari, sehingga masalah

    konversi lahan tidak menjadi perhatian masyarakat dan upaya pengendalian

    konversi lahan terkesan terabaikan. Sala et al. (2000) menyatakan bahwa konversi

    lahan terjadi di berbagai jenis lahan. Konversi lahan bisa terjadi di lahan sawah

    dan hutan, dataran rendah maupun dataran tinggi dengan risiko yang berbeda-

    beda. Dataran tinggi atau pun area puncak memiliki risiko yang cukup besar,

    khususnya di hulu sungai dimana konversi lahan berdampak pada peningkatan

    aliran dari dataran tinggi dan volume run off.

    Kegiatan konversi lahan yang sangat tinggi di hulu sungai meningkatkan

    peluang terjadinya banjir di daerah hilir. Salah satu bentuk konversi lahan adalah

    pembangunan di daerah resapan air. Semakin banyak ruang RTH yang dikonversi

    menjadi non RTH mengakibatkan semakin rendahnya daya resap air di daerah

    tersebut. Bertambahnya wilayah terbangun (built up area) menyebabkan muka

    tanah yang merupakan peresapan akan jauh berkurang luasannya (Achard et al.

    1987) dalam (Barbier 1999). Rendahnya daya resapan air menyebabkan

    peningkatan aliran permukaan. Tingginya tingkat aliran permukaan tersebut

    memicu peningkatan volume air yang menyebabkan terjadinya banjir.

    Penyebab tingginya aliran permukaan di antaranya adalah hilangnya fungsi

    hutan sebagai penahan aliran permukaan akibat adanya curah hujan di daerah

    hulu. Salah satu kejadian banjir akibat curah hujan di daerah hulu Sungai

  • 2

    Ciliwung yang mengakibatkan banjir di daerah Jakarta. Curah hujan di hulu

    Sungai Ciliwung terjadi pada bulan April tahun 2006, yaitu 268 mm dalam satu

    bulan. Hal ini terbukti pada bulan April 2006 penduduk Jakarta yang terkena

    dampak banjir sebanyak 7 340 Kepala Keluarga atau setara dengan 27 281 jiwa.

    Jumlah pengungsi terbanyak dan berasal dari Jakarta Timur yaitu sebanyak 1 558

    jiwa dengan ketinggian banjir paling parah mencapai 250 cm. Ketinggian banjir di

    Kotamadya Jakarta Timur merupakan yang tertinggi1. Hal ini membuktikan

    bahwa konversi lahan di daerah hulu akan mengakibatkan dampak hingga ke hilir.

    Salah satu faktor yang menyebabkan konversi lahan yaitu adanya laju

    pertumbuhan penduduk. Perubahan penggunaan lahan ditandai dengan

    pertumbuhan jumlah penduduk dan konversi lahan yang signifikan, kedua proses

    tersebut saling terkait (Barbier 1999). Adanya jumlah penduduk yang meningkat

    menyebabkan konversi lahan di Kabupaten Bogor mayoritas untuk perumahan,

    usaha, vila, dan lain-lain. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor cenderung

    mengalami peningkatan. Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa

    jumlah penduduk Kabupaten Bogor adalah 3 508 826 jiwa sedangkan angka

    sementara pada sensus penduduk tahun 2010 jumlahnya mencapai 4 763 209 jiwa.

    Namun, pada tahun 1990 ke tahun 2000 terjadi penurunan jumlah penduduk

    dikarenakan adanya pemekaran wilayah Kabupaten Bogor menjadi Kota Bogor

    pada tahun 1995 berdasarkan PP No. 02/1995 dan Kota Depok di tahun 1999

    berdasarkan UU RI No. 15/1999.

    Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor dalam kurun

    waktu sepuluh tahun adalah 3.13. Artinya, pertambahan penduduk di Kabupaten

    1http://www.bnpb.go.id/website/ asp/index.asp. diakses tanggal 4 Januari 2011

  • 3

    Bogor setiap tahun rata-rata meningkat sebesar 3.13 persen. Pertambahan tersebut

    akan menimbulkan pengaruh terhadap konversi lahan. Adapun gambaran tren

    peningkatan jumlah penduduk Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 1

    berikut ini.

    Sumber: BPS, 2010 Gambar 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 1961-2010

    Pertambahan penduduk di Kabupaten Bogor mempengaruhi penggunaan

    tata guna lahan yang ada, khususnya di daerah hulu Sungai Ciliwung. Perubahan

    tata guna lahan dapat menaikkan ataupun mengurangi volume run off dan waktu

    konsentrasi suatu area (Viessman 1977). Faktor yang paling besar mempengaruhi

    volume aliran adalah laju infiltrasi dan tampungan permukaan. Berdasarkan data

    BPS (2006), jenis penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2001 berupa

    pemukiman, jasa, dan industri sebesar 314 658 ha dan pada tahun 2006 meningkat

    menjadi 319 862 ha. Seiring adanya pertumbuhan penduduk maka penggunaan

    lahan untuk pemukiman dan sektor industri di daerah hulu Sungai Ciliwung juga

    meningkat.

    Sektor industri yang sangat diminati di daerah hulu Sungai Ciliwung

    adalah industri pariwisata. Daerah dataran tinggi di hulu sungai ini memiliki

    pesona alam yang indah. Kondisi udara yang sejuk dan jauh dari keramaian kota

    sangat menarik minat pengunjung. Hal ini terlihat dari banyaknya wisatawan

    0100000020000003000000400000050000006000000

    1961 1971 1980 1990 2000 2010

    Jiw

    a

    Tahun

    jumlah penduduk

  • 4

    domestik yang datang untuk berlibur bersama keluarga, teman, maupun kerabat.

    Terdapat berbagai macam obyek wisata yang tersedia, di antaranya kebun

    binatang, wahana outbond, rumah makan, dan tempat wisata lainnya. Selain itu

    masih banyak terdapat objek wisata alam lainnya. Banyaknya wisatawan yang

    datang menarik minat investor untuk mendirikan penginapan seperti vila, hotel,

    dan wisma di daerah tersebut sebagai sumber investasi. Hal tersebut diduga

    termasuk menjadi salah satu penyebab konversi lahan.

    1.2. Perumusan Masalah

    Konversi lahan terjadi seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang

    semakin meningkat setiap tahun. Salah satu wilayah yang mengalami

    pertambahan jumlah penduduk yang tinggi adalah Kabupaten Bogor. Jumlah

    penduduk yang tinggi terlihat lebih signifikan jika dibandingkan dengan dua

    kabupaten lain yaitu Sukabumi dan Cianjur. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor

    pada tahun 2005 mencapai 4 256 980 jiwa, sedangkan jumlah penduduk

    Kabupaten Sukabumi 2 300 640 jiwa, dan jumlah penduduk Kabupaten Cianjur

    sebesar 2 118 120 jiwa. Adapun perbandingan jumlah penduduk Kabupaten

    Bogor, Sukabumi, dan Cianjur dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

    Sumber: BPS, 2010 Gambar 2. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur

    Tahun 2005-2010

    0

    2000000

    4000000

    6000000

    8000000

    10000000

    12000000

    2005 2006 2007 2008 2009

    Jiw

    a

    Tahun

    Cianjur

    Sukabumi

    Bogor

  • 5

    Laju pertambahan penduduk Kabupaten Bogor rata-rata sebesar 165 535

    jiwa setiap tahun. Kabupaten Sukabumi rata-rata sebesar 44 668 jiwa per tahun

    dan Kabupaten Cianjur sebesar 29 878 jiwa per tahun. Pertumbuhan penduduk

    Kabupaten Bogor yang tinggi menyebabkan penyebaran pemukiman di berbagai

    wilayah DAS. Kabupaten bogor dilalui dua wilayah DAS, yaitu Ciliwung dan

    Cisadane. Wilayah DAS yang menjadi perhatian khusus dalam hal

    menyumbangkan debit air pada peristiwa banjir di Jakarta adalah DAS Ciliwung.

    Daerah yang mempunyai peran penting dalam peristiwa ini adalah daerah hulu.

    Hulu Ciliwung terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, tepatnya

    di Desa Tugu Utara sedangkan Kelurahan Cisarua merupakan daerah yang

    memiliki pemukiman yang padat. Daerah tersebut memiliki tingkat kegiatan

    konversi RTH menjadi non RTH yang tinggi. Konversi lahan ini didukung dengan

    pertambahan penduduk setiap tahun yang mengakibatkan kebutuhan pemukiman

    yang tinggi. Penduduk di daerah hulu menjual lahan yang ada kepada pembeli,

    kemudian pembeli menggunakan wilayah tersebut untuk membangun usaha

    tempat tinggal sebagai tempat bermukim, hotel, vila, rumah makan, dan tempat

    usaha lainnya. Hal lain yang diindikasikan sebagai penyebab konversi adalah daya

    tarik lokasi penelitian sebagai daerah tujuan wisata. Berdasarkan uraian tersebut

    beberapa masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

    1. Bagaimana laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua?

    2. Bagaimana keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian?

    3. Faktorfaktor apakah yang mempengaruhi penduduk Desa Tugu Utara dan

    Kelurahan Cisarua dalam mengkonversi lahan?

  • 6

    1.3. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini

    adalah:

    1. Mengidentifikasi laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua.

    2. Menganalisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di

    Kecamatan Cisarua.

    3. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi

    lahan di hulu sungai.

    1.4. Manfaat Penelitian

    Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka hasil penelitian ini diharapkan

    dapat bermanfaat bagi:

    1. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan para pengambil keputusan dalam

    menentukan kebijakan penggunaan lahan yang dikonversi dan melakukan

    perbaikan tata guna lahan di Kabupaten Bogor pada umumnya dan Kecamatan

    Cisarua pada khususnya.

    2. Para pengguna lahan dan pemilik lahan untuk memperoleh gambaran mengenai

    prospek dan peluang pemanfaatan lahan di Kabupaten Bogor pada umumnya

    dan Kecamatan Cisarua pada khususnya.

    3. Para akademisi sebagai bahan tambahan dan bahan rujukan untuk penelitian

    selanjutnya.

    1.5. Ruang Lingkup Penelitian

    Penelitian ini akan menghadapi keterbatasan sebagai berikut:

    1. Faktor pendorong terjadinya konversi lahan hanya pada level mikro pada

    tingkat rumah tangga yang sudah pernah menjual lahan yang dimiliki.

  • 7

    2. Konversi lahan yang dibahas dalam penelitian ini hanya dilihat dari luasan

    sawah, perkebunan dan hutan.

    3. Variabel-variabel yang diteliti pada penelitian ini berupa data harga lahan

    setiap meter, luasan lahan hijau (sawah, hutan, dan perkebunan), pemukiman,

    penduduk masing-masing desa, DAS hulu Ciliwung, serta data konversi lahan

    berupa lahan hijau dan pemukiman di hulu Ciliwung.

    4. Dampak konversi lahan terhadap lingkungan hanya dilihat dari hilangnya lahan

    hijau menjadi pemukiman dan hilangnya daya resapan air yang dapat

    mengakibatkan banjir.

  • 8

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Konversi Lahan

    Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

    kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi

    lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi

    lahan tersebut. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian

    penggunaan disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi

    keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah

    jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik

    (Utomo et al. 1992). Menurut Houghton (1991) terdapat tujuh tipe perubahan tata

    guna lahan dalam perubahan stok karbon, yaitu konversi ekosistem alami menjadi

    ladang, konversi ekosistem alami menjadi lahan pertanian budidaya, ladang

    terbengkalai, peternakan terbengkalai, hutan produksi kayu, dan daerah

    penghijauan.

    Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi

    lahan pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke

    lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dijelaskan bahwa

    konversi lahan dipengaruhi dua faktor utama, yaitu:

    1. Faktor pada aras makro yang meliputi perubahan industri, pertumbuhan

    pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan kemiskinan

    ekonomi.

    2. Faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur

    ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi

    rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga.

  • 9

    Perubahan penggunaan RTH menjadi non RTH berlangsung dengan cepat

    tanpa dilakukan upaya pengendalian. Artinya, peraturan atau kebijakan yang

    ditetapkan tidak mampu menekan laju perubahan penggunaannya, tujuan

    pemanfaatan lahan untuk mencapai optimalisasi produksi, keseimbangan

    penggunaan, dan kelestarian pemanfaatan lahan akan terancam.

    2.2. Fungsi Utama Lahan

    Jayadinata (1999) memaparkan bahwa tanah berarti bumi, sedangkan

    lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukan dan umumnya ada pemiliknya.

    Luas lahan dipengaruhi oleh pendapatan individu. Utomo et al. (1992)

    menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan

    kehidupan, memiliki dua fungsi dasar, yaitu:

    1. Fungsi kegiatan budidaya, memiliki makna suatu kawasan yang dapat

    dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, perkebunan,

    perkotaan maupun pedesaan, hutan produksi, dan lain-lain.

    2. Fungsi lindung, memiliki makna suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi

    utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang

    mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, nilai sejarah, dan budaya

    bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.

    Aturan-aturan dalam penggunaan lahan dijalankan berdasarkan pada

    beberapa kategori antara lain kepuasan, kecendrungan dalam tata guna lahan,

    kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi dan pemanfaatan atau

    pengaturan estetika (Munir 2008). Sehubungan dengan hal yang telah dijelaskan

    sebelumnya, maka Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori

    yaitu:

  • 10

    1. Nilai keuntungan, dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai

    dengan jual beli lahan di pasaran bebas.

    2. Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk

    masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat

    3. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan yang dinyatakan

    oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi,

    kepercayaan, dan sebagainya.

    Fungsi lahan yaitu digunakan untuk pemukiman, perkebunan, industri,

    perkotaan maupun pedesaan, serta sebagai nilai budaya dan kelestarian

    lingkungan. Kategori lahan berupa nilai keuntungan, nilai kepentingan umum, dan

    nilai sosial. Ketiga kategori tersebut menunjukan bahwa alasan setiap individu

    menggunakan lahan dipengaruhi oleh tujuan yang berbeda-beda.

    2.3. Harga Lahan

    Nilai lahan secara definisi diartikan sebagai kekuatan nilai dari lahan untuk

    dipertukarkan dengan barang lain yang dapat didefinisikan sebagai harga (diukur

    dalam satuan uang) yang dikehendaki oleh penjual dan pembeli. Nilai lahan

    merupakan harga lahan yang diukur dalam satuan uang per meternya (Michalski

    et al. 2010)

    Pesatnya perkembangan suatu kota dan tingginya laju pertumbuhan jumlah

    penduduk, secara langsung membuat kebutuhan lahan akan menjadi tinggi.

    Ketersediaan lahan yang semakin terbatas dan jumlahnya relatif tetap membuat

    nilai lahan juga akan meningkat pula. Nilai lahan juga menentukan penggunaan

    lahan, karena penggunaan lahan ditentukan oleh kemampuan untuk membayar

    lahan yang bersangkutan. Peningkatan nilai lahan terjadi di pusat kota dan

  • 11

    mengalami penurunan secara teratur menjauhi pusat kota (Berry 2008) dalam

    (Yunus 2006).

    Penelitian Jamal (2001), di Kabupaten Karawang Jawa Barat, harga jual

    lahan yang diterima petani dalam proses alih fungsi lahan secara signifikan

    dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di lahan tersebut,

    jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau

    pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan peubah lain tidak

    berpengaruh signifikan.

    Faktor-faktor penentu harga lahan antara lain adalah kondisi dan lokasi

    lahan. Kondisi lahan dapat menentukan tingkat harga lahan, semakin baik kondisi

    lahan yang ada, semakin mahal harga lahan tersebut. Lokasi juga menentukan

    harga lahan yang ditentukan oleh jarak lokasi lahan terhadap akses umum seperti

    pusat perbelanjaan, rumah sakit, tempat wisata, dan lain-lain.

    2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

    Proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan

    oleh dua faktor, yaitu: sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat

    dan pemerintah, dan sistem non kelembagaan yang berkembang secara alamiah

    dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan

    pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa

    peraturan mengenai konversi lahan.

    Konversi lahan erat kaitannya dengan kepadatan penduduk yang semakin

    meningkat. Rusli (2005) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah

    penduduk, rasio antara manusia dan lahan menjadi semakin besar, sekali pun

    pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan

  • 12

    kebudayaan suatu masyarakat. Pertumbuhan penduduk menyebabkan persediaan

    lahan semakin kecil.

    Persediaan lahan akan semakin kecil seiring dengan adanya alih fungsi

    lahan yang terus terjadi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ismail

    (2010) mengenai konversi lahan di Kota Medan, diketahui bahwa konversi lahan

    mengakibatkan: (1) penurunan luas lahan pertanian di Kota Medan dari tahun

    2001 sampai 2008 sebesar 4 088 ha atau berkurang sebesar 36.5 % dari luas lahan

    pertanian tahun 2001, (2) hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang

    secara signifikan mempengaruhi keputusan petani dalam menjual lahan mereka

    adalah produktivitas dan proporsi pendapatan dengan derajat kepercayaan 5 %,

    sedangkan untuk variabel yang tidak signifikan adalah harga jual lahan dan luas

    lahan, sedangkan untuk faktor kebijakan dan pajak tidak langsung mempengaruhi

    keputusan petani dalam mengkonversi lahannya.

    Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan lahan yang

    semakin meningkat. Hal ini mendorong penjualan lahan yang dilakukan oleh

    penduduk dan petani. Faktor utama yang mendorong penduduk dan petani

    menjual lahan yang dimiliki karena produktivitas hasil pertanian yang dihasilkan

    terlalu kecil sehingga pendapatan yang diperoleh petani menjadi rendah dan tidak

    dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga petani tertarik untuk mengubah

    fungsi dan menjual lahan yang dimiliki.

    2.5. Dampak Konversi Lahan

    Konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan

    penguasaan lahan. Perubahan penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi

    bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi

  • 13

    indikator kesejahteraan masyarakat desa. Antara (2002) menyatakan bahwa

    konversi lahan sawah untuk kepentingan non pertanian (pariwisata, pemukiman,

    industri kecil, dan prasarana bisnis) saat ini sudah berada pada titik yang sangat

    mengkhawatirkan. Tahun 1977 luas lahan sawah di Bali 98 000 ha dan tahun

    1998 tinggal 87 850 ha. Ini berarti dalam kurun waktu 20 tahun terjadi

    penyusutan lahan seluas 10 150 ha, atau 11.5 %. Bahkan selama lima tahun

    terakhir, penyusutan seluas 727 ha/tahun.

    Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula

    akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian

    sehingga menjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non pertanian (sektor

    informal). Hal ini menjadi ancaman bagi keberadaan budaya pertanian.

  • 14

    III. KERANGKA PENELITIAN

    3.1. Kerangka Teoritis

    Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini berisi landasan teori yang

    menjadi dasar dalam menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang diuraikan

    meliputi konsep dasar dari faktor-faktor pengaruh konversi lahan, laju konversi

    lahan, dan keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan. Selain itu, berisi

    penjelasan mengenai keterkaitan antara ketiga tujuan tersebut.

    3.1.1. Laju Konversi Lahan

    Panuju (2009) menjelaskan konversi lahan memiliki tingkat pertumbuhan

    yang berbeda setiap tahun. Hal ini dinyatakan dengan laju konversi lahan. Laju

    konversi lahan merupakan perbandingan tingkat perubahan luas penggunaan lahan

    tertentu terhadap penggunaan lahan sebelumnya, dimana pertambahan tersebut

    berbanding lurus dengan pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan luas

    wilayah dapat diwakilkan dengan pertambahan jumlah penduduk. Laju konversi

    lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju konversi secara parsial dan

    kontinu (Sutandi 2009). Adapun laju konversi secara parsial dapat dijelaskan

    sebagai berikut:

    V=LLL

    100%.............................................................................................(3.1)

    dimana:

    V = Laju konversi lahan (%)

    Lt = Luas lahan saat ini/tahun ke-t (ha)

    Lt-1 = Luas lahan tahun sebelumnya (ha)

    Laju konversi lahan secara kontinu dapat dihitung dengan menggunakan

    persamaan:

  • 15

    y(t) = a + b t

    y(t) = a ebt > ln y(t) = ln a + b t...........(3.2) dimana:

    y(t) = Luas lahan yang dikonversi pada tahun ke-t (ha)

    a = Nilai intersep (ha)

    t = Tahun

    b = Laju konversi lahan

    e = Error term

    Besarnya laju konversi lahan dapat dilihat dari persentase nilai yang

    diperoleh. Berdasarkan nilai yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa semakin

    besar nilai persentase, maka semakin tinggi tingkat konversi lahan yang terjadi di

    wilayah tersebut.

    3.1.2. Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian

    Keterkaitan antara harga lahan dengan laju konversi lahan merupakan

    gambaran tentang dugaan kegiatan konversi yang dipengaruhi variabel-variabel.

    Irianto (2008) menyatakan bahwa model statistik merupakan alat bantu untuk

    memberikan gambaran atas suatu kejadian melalui bentuk yang sederhana, baik

    berupa angka-angka maupun grafik-grafik.

    3.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

    Kegiatan konversi lahan sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor yang

    mempengararuhi tindakan tersebut. Faktor konversi lahan terdiri dari dua jenis

    yaitu faktor makro dan mikro. Faktor makro berupa data yang diperoleh dari

    kecamatan Cisarua terkait perubahan industri, pertumbuhan jumlah penduduk,

    harga lahan, jumlah vila, jumlah obyek wisata, dan luas konversi lahan. Faktor

    kedua yaitu faktor mikro, berupa data dari kepala rumah tangga yaitu harga jual

  • 16

    lahan yang dimiliki, tingkat pendapatan, lama menetap, dan luas lahan yang

    dimiliki.

    Perubahan industri merupakan salah satu faktor makro yang berkembang

    pesat di daerah hulu Sungai Ciliwung yaitu industri pariwisata. Pemanfaatan lahan

    oleh industri pariwisata cukup besar. Hal ini terbukti dari bertambahnya jumlah

    vila akhir-akhir ini. Tingginya tingkat permintaan pariwisata secara tidak

    langsung mempengaruhi sektor lain, seperti penginapan, tempat makan,

    peristirahatan, dan lain-lain.

    Faktor makro lainnya yaitu pertumbuhan penduduk yang dapat

    menyebabkan perubahan tata guna lahan. Peningkatan jumlah penduduk

    menyebabkan bertambahnya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Secara tidak

    langsung ruang terbuka hijau yang ada di wilayah tersebut dikonversi menjadi

    tempat tinggal. Selain itu, kemiskinan ekonomi juga merupakan faktor makro

    yang mempengaruhi konversi lahan. Kemiskinan ekonomi dalam hal ini

    disebabkan karena kesejahteraan petani cukup rendah. Produktivitas petani sangat

    rendah, sehingga petani beralih profesi dan berusaha mendapatkan modal dengan

    cara menjual lahan pertanian sebagai modal untuk berusaha di bidang lain.

    Faktor mikro merupakan faktor yang mempengaruhi konversi lahan dalam

    skala kecil berupa nilai ekonomi rumah tangga. Nilai ekonomi rumah tangga

    diperoleh dari penghasilan masing-masing kepala keluarga. Besar kecilnya

    penghasilan kepala keluarga akan menentukan seberapa besar tingkat konversi

    yang dilakukan oleh individu kepala keluarga tersebut. Apabila nilai ekonomi

    keluarga tersebut sangat rendah, maka kemungkinan untuk melakukan tindakan

    konversi lahan akan semakin besar.

  • 17

    3.1.4. Hipotesis

    Berdasarkan persamaan regresi sederhana di atas, maka hipotesis dalam

    penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Harga lahan berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Apabila harga lahan

    semakin tinggi, maka pemilik lahan akan semakin tertarik untuk menjual lahan

    yang dimiliki, akibatnya konversi lahan akan semakin tinggi.

    2. Lama menetap berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Semakin lama

    pemilik lahan tinggal di daerah tersebut maka kebutuhan rumah tangga tersebut

    akan meningkat dikarenakan adanya pertambahan anggota keluarga maupun

    adanya peningkatan keperluan hidup sehari-hari. Sehingga kecenderungan

    untuk menjual lahan menjadi besar dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan

    keluarga, akibatnya konversi lahan menjadi tinggi.

    3. Jumlah tanggungan berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Semakin

    banyak jumlah tanggungan dalam keluarga maka konversi lahan akan semakin

    tinggi.

    4. Tingkat pendapatan berpengaruh negatif terhadap konversi lahan. Apabila

    tingkat pendapatan suatu rumah tangga tinggi, maka konversi lahan semakin

    rendah.

    5. Luas lahan yang dimiliki berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Semakin

    besar luas lahan yang dimiliki maka lahan yang dijual semakin tinggi.

    3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

    Hulu sungai merupakan salah satu penyumbang aliran air ke daerah hilir.

    Adanya konversi lahan di daerah hulu dapat mengakibatkan berbagai macam

    ancaman, terutama peristiwa banjir di hilir. Tidak adanya penyerapan akibat lahan

  • 18

    terbuka hijau yang telah rusak merupakan salah satu penyebab kejadian tersebut.

    Selain itu, pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya pembangunan luas

    pemukiman juga diduga menjadi pemicu kurangnya daya resapan air di daerah

    hulu sehingga menyebabkan debit air yang dialirkan ke hilir menjadi semakin

    besar.

    Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini adalah keterkaitan

    antara tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan penelitian. Peneliti

    melakukan analisis laju konversi lahan dari data konversi lahan yang diperoleh

    dari Kecamatan untuk menjawab tujuan pertama dalam penelitian ini. Kajian

    mengenai laju konversi lahan tersebut bertujuan untuk melihat persentase untuk

    mengetahui seberapa besar lahan yang dikonversi. Berikutnya peneliti melakukan

    analisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu

    sungai yang merupakan daerah resapan air. Analisis menggunakan salah satu

    model statistik yaitu metode korelasi Pearson.

    Tahapan selanjutnya dan merupakan tahapan terakhir yang dilakukan

    peneliti untuk menjawab tujuan ketiga dalam penelitian ini adalah menganalisis

    faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi lahan dengan

    metode survei dengan unit analisis penduduk hulu sungai. Kajian ini bertujuan

    untuk mengetahui hal apa saja yang mendorong penduduk melakukan konversi

    lahan. Selanjutnya dari hasil penelitian ini dirumuskan rekomendasi kebijakan

    bagi pemerintah setempat dalam mengatur tata guna lahan di hulu sungai.

    Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka alur kerangka berpikir

    terkait dengan rencana penelitian tersaji pada Gambar 3.

  • 19

    Gambar 3. Diagram Alur Berpikir

    Pembangunan Pemukiman dan Vila

    Konversi Lahan di Daerah Hulu

    Potensi Banjir di Daerah Hilir

    Perubahan Tutupan Lahan

    Pertambahan Jumlah Penduduk yang

    Semakin Meningkat

    Kecamatan Cisarua sebagai Tujuan Wisata

    Peningkatan Aliran Permukaan

    (run-off)

    Perubahan Tata Guna Lahan

    Keterkaitan Harga Lahan terhadap Konversi Lahan

    Diperlukan Kajian Secara Komprehensif

    Faktor-Faktor Pengaruh Konversi

    Lahan

    Laju Konversi Lahan

    Rekomendasi Kebijakan

  • 20

    IV. METODE PENELITIAN

    4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua,

    Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

    dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan Kecamatan Cisarua

    merupakan letak hulu Sungai Ciliwung. Lokasi tersebut saat ini telah mengalami

    konversi lahan dan diduga menjadi salah satu penyebab banjir di daerah hilir.

    Pengambilan data primer dilakukan pada bulan Maret hingga April 2011. Data

    diperoleh melalui survei lapang dan wawancara yang dilakukan terhadap

    penduduk dan aparat kecamatan dan aparat kedua wilayah tersebut. Ada pun

    perubahan tata guna lahan di kawasan Cisarua pada tahun 2000 ke tahun 2009

    dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

    Tahun 2000 Tahun 2009

    Sumber: Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung, 2010 Gambar 4. Peta Guna Lahan Kecamatan Cisarua Tahun 2000 dan

    Tahun 2009

  • 21

    Peta guna lahan menunjukkan perubahan yang cukup signifikan dari tahun

    2000 hingga tahun 2009. Warna hijau tua pada gambar menunjukkan luas hutan

    yang ada, sedangkan warna hijau muda menunjukkan kawasan perkebunan.

    Berdasarkan gambar tersebut, luas perkebunan dari tahun 2000 ke tahun 2009

    mengalami penurunan. Hal ini diduga disebabkan oleh peningkatan jumlah

    penduduk yang dapat menyebabkan tingginya pemukiman yang didirikan.

    Warna merah pada gambar tersebut menunjukkan pemukiman dan

    bangunan yang terdapat di kawasan Kecamatan Cisarua. Berdasarkan gambar

    tersebut dapat dilihat bahwa jumlah pemukiman di Kecamatan Cisarua cenderung

    bertambah. Hal ini ditunjukkan oleh kawasan berwarna merah yang semakin

    meluas di tahun 2009. Perubahan tersebut menunjukkan telah terjadi konversi

    lahan di Kecamatan Cisarua dan hal tersebut menjadi latar belakang dari

    penelititan ini.

    4.2. Jenis dan Sumber Data

    Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data

    sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden melalui

    kuisioner. Data primer meliputi data mengenai faktor-faktor yang menjadi alasan

    utama penduduk mengkonversi lahan serta data lainnya yang diperlukan dalam

    penelitan. Data sekunder diperoleh melalui pengumpulan data dari Badan Pusat

    Statistik (BPS) RI Jakarta, BPS Provinsi Jawa Barat, dan BPS Kabupaten Bogor,

    Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung, Kecamatan Cisarua, Desa Tugu Utara

    dan Kelurahan Cisarua. Data sekunder yang diperlukan merupakan data time

    series dari tahun 2001-2010, meliputi data harga lahan per meter persegi, jumlah

  • 22

    penduduk, jumlah vila, jumlah obyek wisata, luas jalan, dan luas konversi lahan

    yang diperoleh dari pemerintah dan aparat di Kecamatan Cisarua.

    4.3. Metode Pengambilan Sampel

    Penentuan desa dilakukan secara purposive, sedangkan untuk penentuan

    lokasi pengambilan data primer yaitu rukun warga (RW) dilakukan dengan cara

    justified. RW yang dipilih di Desa Tugu Utara merupakan tempat terdekat dengan

    stasiun pengamatan aliran sungai (SPAS) yang memantau besarnya debit air

    sungai. Sedangkan untuk Kelurahan Cisarua dipilih RW yang memiliki jumlah

    penduduk terpadat yang menjadi salah satu penyumbang debit air pada DAS hulu

    Sungai Ciliwung.

    Penentuan responden dilakukan dengan stratified random sampling, yaitu

    membagi populasi dalam kelompok yang homogen lebih dahulu, atau dalam

    strata. Anggota sampel ditarik dari setiap strata (Nazir 1988). Sampling frame dari

    penelitian adalah penduduk yang pernah menjual lahan yang dimiliki. Responden

    telah menetap lebih dari lima tahun, pernah menjual lahan yang dimiliki, serta

    dapat berkomunikasi dengan baik. Hal ini dilakukan agar peneliti memperoleh

    responden yang berpengalaman sehingga diperoleh informasi yang mendalam

    mengenai laju konversi lahan serta hubungannya terhadap harga lahan. Responden

    diambil sebanyak 40% persen dari sampling frame tersebut.

    4.4. Metode dan Prosedur Analisis

    Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kualitatif dan

    kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual serta komputer

    dan melalui program Microsoft Office Excel 2007, SPSS 15, dan MiniTab. Tabel

  • 23

    1 menyajikan keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan metode

    analisis data.

    Tabel 1. Matriks Metode Analisis Data No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data 1 Mengidentifikasi laju

    konversi lahan di Kecamatan Cisarua

    Data sekunder Persamaan laju konversi lahan (parsial dan kontinu)

    2 Menganalisis pengaruh harga lahan terhadap laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua

    Data sekunder Metode Korelasi Pearson

    3 Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk mengkonversi lahan

    Data primer (wawancara menggunakan kuisioner)

    Analisis regresi linier berganda

    4.4.1. Laju Konversi Lahan

    Terdapat tiga tahapan dalam menentukan laju konversi lahan. Tahap

    pertama mengidentifikasi luas wilayah pada tahun ke-t yang berarti tahun saat

    terjadinya konversi lahan. Tahap kedua, mengidentifikasi luas wilayah pada

    kondisi awal atau kondisi sebelum tahun ke-t-1. Tahap terakhir adalah

    mengkalkulasikan perubahan luas wilayah lahan dengan melihat perbandingan

    antara perubahan luas wilayah lahan tahun ke-t terhadap luas wilayah lahan tahun

    ke-t-1.

    4.4.1.1. Model Laju Konversi Lahan

    Laju konversi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju

    konversi secara parsial dan kontinu (Sutandi 2009). Analisis dengan persamaan ini

    dapat melihat persentase laju konversi lahan yang terjadi di Kecamatan Cisarua

    setiap tahunnya dari tahun 2001 hingga 2010. Laju konversi lahan tertinggi

    selama 10 tahun dapat dilihat dengan menggunakan metode ini.

  • 24

    Laju konversi parsial:

    V=LLL

    x100%........................................................................................(4.2)

    dimana:

    V = Laju konversi lahan ( %)

    Lt = Luas lahan saat ini/ tahun ke-t (ha)

    Lt-1 = Luas lahan tahun sebelumnya (ha)

    Laju konversi lahan (%) dapat ditentukan dengan nilai selisih luas lahan

    pada tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya, dibagi luas lahan tahun

    sebelumnya, kemudian dikalikan dengan 100 %. Apabila laju konversi lahan yang

    akan di analisis pada tahun 2002, maka luas lahan pada tahun 2002 dikurangi

    dengan luas lahan tahun 2001, kemudian dibagi dengan luas lahan pada tahun

    2001, lalu dikalikan dengan 100 %. Hal ini dapat dilakukan pada tahun-tahun

    berikutnya, dengan demikian kita dapat memperoleh hasil bahwa pada tahun

    berapa yang terjadi laju konversi lahan tertinggi terjadi.

    Selain laju konversi lahan secara parsial, analisis juga dapat dilakukan

    dengan melihat laju konversi secara kontinu. Metode ini berfungsi untuk melihat

    laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua selama 10 tahun. Sehingga apabila hasil

    analisis ini diperoleh maka dapat diketahui bagaimana perkembangan tata guna

    lahan dari wilayah tersebut.

    Metode laju konversi lahan secara kontinu dapat ditentukan dengan

    menggunakan persamaan (Nazir 1988):

    y(t) = a + b t

    y(t) = a ebt > ln y(t) = ln a + b t...........(4.3) dimana:

    y(t) = Luas lahan yang dikonversi pada tahun ke-t (ha)

  • 25

    a = Nilai intersep (ha)

    t = Tahun

    b = Laju konversi lahan

    e = Error term

    4.4.2. Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian

    Korelasi Pearson merupakan salah satu ukuran korelasi yang digunakan

    untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan linier dari dua variabel. Dua

    variabel dikatakan berkorelasi apabila terjadi perubahan variabel satu terhadap

    variabel lainnya, baik dalam arah yang sama maupun sebaliknya.

    Metode korelasi Pearson digunakan untuk melihat korelasi harga lahan

    terhadap laju konversi lahan secara makro di Kecamatan Cisarua. Korelasi

    Pearson merupakan metode yang digunakan untuk melihat korelasi antara

    variabel-variabel yang terkait. Metode ini menggunakan data-data interval

    maupun rasio. Pengambilan sampel dari populasi harus random, dengan variasi

    yang skor kedua variabel yang akan dicari memiliki korelasi sama, dan diduga

    memiliki hubungan linier. Korelasi Pearson dapat dihitung dengan rumus

    (Santoso 2007):

    ...(4.4)

    Atau dapat dihitung dengan rumus Pearson yang lain, yaitu:

    .....(4.5)

    dimana: = Rata-rata data variabel X

    X = Data variabel X = Rata-rata data variabel Y

    Y = Data variabel Y

  • 26

    Hasil perhitungan korelasi di atas berada pada selang -1 r 1, yang

    dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar. Pertama, korelasi positif kuat,

    terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati +1 atau sama dengan +1. Hal ini

    berarti bahwa setiap kenaikan skor atau nilai pada variabel X akan diikuti dengan

    kenaikan skor atau nilai variabel Y. Sebaliknya, jika variabel X mengalami

    penurunan, maka akan diikuti dengan penurunan variabel Y. Kedua, korelasi

    negatif kuat, terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati -1 atau sama dengan -

    1. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan skor atau nilai pada variabel X akan

    diikuti dengan penurunan skor atau nilai variabel Y. Sebaliknya, jika variabel X

    mengalami penurunan, maka akan diikuti dengan kenaikan variabel Y. Ketiga,

    tidak ada korelasi, terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati 0 atau sama

    dengan 0. Hal ini berarti bahwa naik turunnya skor atau nilai satu variabel tidak

    mempunyai kaitan dengan naik turunnya skor atau nilai variabel yang lainnya.

    Apabila skor atau nilai variabel X naik tidak selalu diikuti dengan naik atau

    turunya skor atau nilai variabel Y, demikian juga sebaliknya.

    Hal lain yang harus diperhatikan yaitu standarisasi. Salah satu keterbatasan

    kovarian sebagai ukuran kekuatan hubungan linier adalah arah/besarnya gradien

    yang tergantung pada satuan dari kedua variabel tersebut. Misalnya, kovarian

    antara serapan N (%) dan hasil padi (ton) akan jauh lebih besar apabila satuan %

    (1/100) kita konversi ke ppm (1/sejuta). Agar nilai kovarian tidak tergantung

    kepada unit dari masing-masing variabel, maka kita harus membakukannya

    terlebih dahulu yaitu dengan cara membagi nilai kovarian tersebut dengan nilai

    standar deviasi dari kedua variabel tersebut sehingga nilainya akan terletak antara

    -1 dan +1. Ukuran statistik tersebut dikenal dengan Pearson product moment

  • 27

    correlation yang mengukur kekuatan hubungan linier (garis lurus) dari kedua

    variabel tersebut. Koefisien korelasi linear kadang-kadang disebut sebagai

    koefisien korelasi Pearson untuk menghormati Karl Pearson (1857-1936), yang

    pertama kali mengembangkan ukuran statistik ini.

    Variabel-variabel yang akan dilihat hubungannya antara lain harga lahan

    per meter persegi, jumlah penduduk, jumlah vila, jumlah obyek wisata, dan luas

    konversi lahan tahun 2001 hingga 2010. Melalui variabel-variabel tersebut kita

    dapat melihat bagaimana hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain.

    Interpretasi hasil perhitungan Pearson meyatakan jika hasil tersebut negatif,

    positif, maupun nol akan menunjukan pola hubungan antar variabel tersebut,

    apakah saling mempengaruhi atau tidak.

    4.4.3. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

    Analisis data yang digunakan dalam mengkaji faktor-faktor pengaruh

    konversi lahan adalah analisis regresi linier berganda. Tujuannya adalah membuat

    suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat

    mengenai fakta-fakta. Analisis regresi linier berganda melalui beberapa tahapan

    dalam menentukan nilai a dan b pada koefisien-koefisien di atas maka digunakan

    perumusan sebagai berikut:

    Y = a + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5X5 + ..(4.1)

    dimana:

    Y = Luas lahan yang dikonversi (Ha)

    a = Intersep

    X1 = Variabel harga lahan yang dijual (Rp/m2)

    X2 = Variabel lama menetap (tahun)

    X3 = Variabel jumlah tanggungan dalam keluarga (orang)

    X4 = Variabel pendapatan (Rp/bulan)

  • 28

    X5 = Variabel luas lahan yang dimiliki (m2)

    1, 2, 5 = Koefisien regresi

    = Error term

    Analisis regresi linier berganda merupakan alat untuk memperoleh suatu

    prediksi di masa lalu maupun yang akan datang dengan dasar keadaan saat ini.

    Prediksi dalam hal ini bukanlah merupakan hal yang pasti, namun mendekati

    kebenaran. Tahapan penentuan nilai a dan b dapat dicari dengan teknik eliminasi

    dimana dilakukan dengan cara menghilangkan satu demi satu bagian sehingga

    diperoleh nilai pernilai.

    Regresi linier sederhana dengan variabel ganda adalah analisis statistik

    yang mencakup hubungan banyak variabel. Apabila dijumpai satu variabel terikat

    yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas dalam mempengaruhi variabel

    terikat itu bermacam, sehingga bentuk hubungannya pun tentunya berbeda-beda.

    Sifat hubungan berjenjang sering kali terjadi dalam kajian ilmu sosial. Variabel

    lain menjembatani pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat tersebut

    dengan variabel antara. Variabel bebas itu sendiri mempunyai pola hubungan

    yang tidak tetap. Artinya bisa benar-benar bebas, berkorelasi tetapi tidak

    signifikan atau mempunyai hubungan yang tidak erat.

    Metode regresi linier berganda memiliki beberapa asumsi. Asumsi model

    regresi dikaitkan dengan pengujian parameter model dimana pengujian dikatakan

    sah jika asumsi pengujian dipenuhi. Asumsi tersebut menyangkut sifat dari

    distribusi residual. Residual harus menyebar di sekitar 0, memiliki varians konstan

    (identik) dan independen (tidak berkorelasi satu sama lain). Salah satu syarat

    untuk mencapai ini yaitu data tidak bersifat time series. Regresi linier berganda

    dibutuhkan kondisi antar variabel X tidak saling berkorelasi (independent).

  • 29

    Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa model

    yang telah dihasilkan adalah baik. Menurut Sutandi (2009), model yang baik

    haruslah memenuhi beberapa uji asumsi pelanggaran, seperti:

    1. Kriteria Ekonomi

    Model yang diuji berdasarkan kriteria ekonomi akan dilihat tandan dan besaran

    tiap koefisien dugaan yang telah diperoleh. Kriteria ekonomi mensyaratkan tanda

    dan besaran yang terdapat pada tiap koefisien dugaan sesuai dengan teori

    ekonomi. Apabila model tersebut memenuhi kriteria ekonomi, maka model

    tersebut dapat dikatakan baik secara ekonomi, namun, apabila kriteria tersebut

    tidak memenuhi standar ekonomi maka model tersebut tidak dapat dikatakan baik

    secara ekonomi.

    2. Kriteria Statistik dan Ekonometrika

    Ada beberapa uji yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian model

    regresi yang telah didapatkan secara statistika dan ekonometrika. Uji tersebut

    adalah sebagai berikut:

    a. Uji Normalitas

    Uji Normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah error term dari data atau

    observasi yang jumlahnya kurang dari 60 mendekati sebaran normal sehingga

    statistik t dapat dikatakan sah. Uji yang dapat dilakukan adalah uji Kolmogorov-

    Smirnov. Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan

    perbedaan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat yang lain.

    Penerapan pada uji Kolmogorov Smirnov adalah bahwa jika signifikansi di atas 5

    % bearti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara data yang akan diuji

    dengan data normal baku, artinya data tersebut normal.

  • 30

    b. Uji Multikolinieritas

    Model yang melibatkan banyak peubah bebas sering terjadi masalah

    Multikolinieritas, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar peubah bebas. Masalah

    ini dapat dilihat langsung melalui output komputer, dimana apabila nilai Varian

    Inflaction Factor (VIF) < 10 maka tidak ada masalah multikolinieritas. Hal ini

    berarti bebas uji asumsi pelanggaran dan persamaan yang digunakan merupakan

    persamaan yang baik dan tidak terdapat pelanggaran.

    c. Uji Heteroskedastisitas

    Salah satu asumsi metode penggunaan kuadrat terkecil adalah Homoskedastisitas,

    yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi

    Homoskedastisitas adalah Heteroskedastisitas. Masalah Heteroskedastisitas dapat

    dideteksi dengan uji glejser. Uji glejser dilakukan dengan meregresikan variabel-

    variabel bebas terhadap nilai absolut residualnya. Jika nilai signifikannya dari

    hasil uji gletser lebih besar dari (5 %) maka tidak terdapat Heteroskedastisitas.

    d. Uji Autokorelasi

    Uji autokolerasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan diantara galat

    dalam persamaan regresi yang diperoleh. Jika kita mengabaikan adanya

    autokorelasi, maka akan berdampak terhadap pengujian hipotesis dan proses

    peramalan. Uji paling sering digunakan dalam mendeteksi adanya autokolerasi

    dalam suatu model adalah uji DW (Durbin Watson Test), dan jika hasilnya

    mendekati 2 maka tidak ada autokolerasi (Sutandi 2009).

  • 31

    V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN

    5.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

    Kecamatan Cisarua terletak di kaki Gunung Gede-Pangrango tepatnya di

    selatan wilayah Kabupaten Bogor pada 06o 42 LS dan 106o 56 BB. Ketinggian

    dari permukaan laut antara 6501 400 m dpl dengan curah hujan rata-rata 3 178

    mm/th dan suhu udara antara 17.85o C 23.91o C. Secara administratif Kecamatan

    Cisarua terdiri atas sembilan desa dan satu kelurahan, 33 dusun, 73 RW, dan 260

    RT, dengan luas wilayah 6 373.62 ha. Batas wilayah Kecamatan Cisarua sebelah

    utara dan barat adalah Kecamatan Megamendung, sebelah selatan dan timur

    berbatasan dengan Kabupaten Cianjur.

    Kecamatan Cisarua merupakan wilayah yang menjadi salah satu obyek

    wisata nasional. Kecamatan ini dekat dengan lokasi wisata andalan Provinsi Jawa

    Barat, seperti Puncak, Taman Wisata Matahari, dan Taman Safari Indonesia.

    Wilayah ini memiliki kondisi alam yang masih asri, udara yang sejuk, dan

    pemandangan yang indah. Hal ini menimbulkan minat wisatawan untuk

    menjadikan wilayah ini sebagai tempat peristirahatan dan rekreasi. Banyaknya

    wisatawan yang datang ke wilayah tersebut mengakibatkan tingginya

    pembangunan tempat-tempat peristirahatan seperti vila, perhotelan, dan rumah

    singgah. Wilayah yang menjadi lokasi pengambilan contoh dalam penelitian ini

    adalah Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara.

    Kelurahan Cisarua terletak di 6.07979o LS dan 106.93435o BT dengan luas

    wilayah sebesar 200 ha. Batas wilayah Kelurahan Cisarua sebelah utara yaitu

    Desa Leuwimalang atau Jogjogan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa

  • 32

    Cibeureum, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Citeko dan sebelah timur

    berbatasan dengan Desa Batulayang. Keempat wilayah tersebut masih berada

    dalam kawasan Kecamatan Cisarua. Curah hujan sebesar 3 330 mm/tahun,

    kelembaban dengan suhu rata-rata 26oC-14oC, serta bentuk wilayah yang berbukit.

    Kelurahan Cisarua merupakan wilayah yang paling padat penduduknya di antara

    desa yang ada di Kecamatan Cisarua,

    Letak geografis Desa Tugu Utara terletak pada 6.67o LS dan 106.97o BT

    dengan luas wilayah sebesar 1 703 ha. Wilayah ini terletak paling dekat dengan

    hulu Sungai Ciliwung jika dibandingkan dengan wilayah lain yang ada di

    Kecamatan Cisarua. Batas wilayah sebelah utara dan barat berbatasan dengan

    Desa Batulayang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tugu Selatan, dan

    sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciloto. Desa ini terletak di ketinggian 650-

    1 200 m dari permukaan laut. Suhu maksimum/minimum 23.91oC17.85oC.

    Curah hujan rata-rata 3 178 mm/tahun.

    5.2. Karakteristik Umum Responden

    Karakteristik umum responden di Kecamatan Cisarua diperoleh

    berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 50 orang penduduk asli yang sudah

    pernah menjual lahan yang dimiliki. Karakteristik umum responden ini dilihat dari

    beberapa variabel meliputi jenis kelamin dan usia, pendidikan formal, luas lahan,

    dan status kepemilikan lahan, tingkat pendapatan, serta lama menetap di lokasi.

    5.2.1. Jenis Kelamin dan Usia

    Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 50 orang

    yang berasal dari dua wilayah yaitu Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua.

    masing-masing sebanyak 25 responden. Responden yang diambil dari Desa Tugu

  • 33

    Utara terdiri dari 52 % pria dan 48 % wanita sedangkan di Kelurahan Cisarua

    terdiri dari 44 % pria dan 56 % wanita.

    Responden memiliki tingkat usia yang bervariasi. Kisaran usia tersebut

    dimulai dari 23 hingga 85 tahun. Ada pun usia rata-rata responden secara

    keseluruhan adalah 51 tahun. Dominics (2009) menyatakan bahwa kategori usia

    dibagi tiga, yaitu usia muda (0-35 tahun), usia paruh baya (35-58 tahun), dan usia

    tua (>58 tahun). Responden dengan tingkat usia paruh baya sangat mendominasi

    di kedua wilayah tersebut. Kelurahan Cisarua dengan tingkat usia paruh baya

    sebanyak 76 %, usia tua sebanyak 20 %, dan sisanya 4 % tingkat usia muda.

    Sedangkan Desa Tugu Utara berusia paruh baya sebanyak 56 %, usia tua

    sebanyak 36 %, dan usia muda sebanyak 8 %.

    5.2.2. Pendidikan Formal Responden

    Tingkat pendidikan responden di kedua wilayah berbeda-beda. Responden

    di Desa Tugu Utara memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah jika

    dibandingkan dengan Kelurahan Cisarua. Hal ini ditunjukkan oleh responden di

    Desa Tugu Utara yang tidak bersekolah sebanyak 16 %, berpendidikan SD

    sebanyak 60 %, dan berpendidikan SLTP dan SLTA masing-masing sebanyak 4

    % dan 20 %, sedangkan tidak ada yang berpendidikan hingga tingkat perguruan

    tinggi. Sementara itu di Kelurahan Cisarua semua responden bersekolah, hal ini

    ditunjukkan dengan responden yang berpendidikan SD sebanyak 40 %, SLTP dan

    SLTA masing-masing sebanyak 12 % dan 36 %, serta perguruan tinggi sebanyak

    12 %. Berdasarkan tingkat pendidikan tersebut dapat dilihat bahwa Kelurahan

    Cisarua memiliki sumberdaya manusia yang lebih baik dibandingkan dengan desa

    Tugu Utara. Persentase tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 5.

  • 34

    Desa Tugu Utara Kelurahan Cisarua Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 5. Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan

    Tingkat Pendidikan Tahun 2011

    Tingkat pendidikan responden di kedua wilayah berbeda disebabkan

    karena perbedaan tingkat usia dan pendapatan rumah tangga yang cukup jauh.

    Tingkat pendapatan responden di Desa Tugu Utara jauh lebih kecil dibandingkan

    dengan Kelurahan Cisarua. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan responden

    untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Adanya responden

    yang tidak bersekolah di Desa Tugu Utara disebabkan karena pada saat responden

    berusia sekolah belum tersedia sarana pendidikan di wilayah tersebut, mengingat

    pada saat itu responden berada pada zaman penjajahan Belanda.

    5.2.3. Luas dan Status Kepemilikan Lahan

    Luas lahan yang dimiliki oleh responden saat menjual lahan sangat

    bervariasi. Kisaran luas lahan yang dimiliki responden Desa Tugu Utara mulai

    dari 0.0049 sampai dengan satu hektar dengan rata-rata kepemilikan lahan sebesar

    0.2114 ha. Persentase penduduk yang memiliki luas lahan di bawah rata-rata

    sebesar 72 %. Sementara kepemilikan lahan di Kelurahan Cisarua jauh lebih

    sedikit dibandingkan di Desa Tugu Utara yaitu mulai dari 0.0035 sampai 0.1600

    ha dengan rata-rata kepemilikan lahan seluas 0.0191 ha. Sebanyak 84 %

    responden memiliki lahan di bawah 0.0191 ha. Umumnya luas lahan yang

    TidakSekolah

    SD

    SMP

    SLTA

    SD

    SMP SLTA

    Perguruan Tinggi

  • 35

    dimiliki responden di Tugu Utara lebih luas jika dibandingkan dengan

    kepemilikan lahan yang dimiliki responden di Kelurahan Cisarua. Hal ini

    disebabkan karena lahan yang dimiliki responden Desa Tugu Utara merupakan

    lahan pengalihan dari lahan pemerintah menjadi lahan garapan milik rakyat.

    Sebanyak 76 % dari responden memiliki tanah dengan status garapan dan sisanya

    telah memiliki surat tanah. Selain itu, sebanyak 80 % responden di Kelurahan

    Cisarua memiliki status lahan berupa girik dan sisanya memiliki surat tanah.

    5.2.4. Tingkat Pendapatan

    Tingkat pendapatan responden di kedua wilayah termasuk rendah.

    Pendapatan penduduk per bulan di Desa Tugu Utara rata-rata sebesar Rp 754

    600.00 dan Kelurahan Cisarua sebesar Rp 2 044 000.00. Pendapatan penduduk di

    Desa Tugu Utara cenderung lebih rendah mengingat banyak penduduk yang tidak

    memiliki mata pencaharian tetap. Selain itu banyak responden yang tidak

    mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup untuk mendapatkan

    penghasilan lebih.

    Rendahnya penghasilan responden di Desa Tugu Utara disebabkan oleh

    rendahnya pilihan lapangan kerja. Hal tersebut menyebabkan responden yang

    pada mulanya bekerja sebagai pemillik lahan, menjual lahan yang dimiliki.

    Setelah lahan dijual, responden berganti pekerjaan menjadi penjaga vila yang

    dibangun di lahan yang telah dijual tersebut.

    Tingkat pendapatan responden di Kelurahan Cisarua lebih tinggi jika

    dibandingkan dengan Desa Tugu Utara. Hal ini disebabkan oleh banyaknya

    responden yang mengikuti tingkat pendidikan formal dari SMP hingga perguruan

    tinggi. Tingkat pendidikan yang tinggi menjadi latar belakang responden

  • 36

    memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih layak. Responden di Desa Tugu Utara

    pada umumnya bekerja sebagai penjaga vila dan di Kelurahan Cisarua sebagian

    besar responden bekerja sebagai wiraswasta.

    5.2.5. Lama Menetap di Lokasi

    Responden sebagian besar merupakan penduduk asli yang sudah sejak

    lahir tinggal di kedua wilayah tersebut dan merupakan penduduk asli. Responden

    di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua sebagian besar telah menetap selama

    41 hingga 85 tahun, masing-masing sebesar 48 % dan 40 %, sisanya telah

    menetap di bawah 40 tahun. Persentase lama menetap dapat dilihat pada Gambar

    6 berikut ini.

    Desa Tugu Utara Kelurahan Cisarua

    Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 6. Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan

    Lama Menetap Tahun 2011

    4185tahun

    2140tahun

  • 37

    VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

    6.1. Laju Konversi Lahan

    Penelitian ini dilakukan pada tingkat makro dengan menggunakan data

    sekunder mengenai harga lahan rata-rata pada Kecamatan Cisarua dari tahun 2001

    hingga 2010. Analisis dilakukan untuk mengetahui laju konversi lahan di

    Kecamatan Cisarua secara parsial dan secara kontinu. Laju secara parsial

    merupakan analisis yang memperlihatkan perubahan penggunaan lahan yang dari

    tahun ke tahun dimana perubahan tersebut mengacu pada penggunaan lahan di

    tahun sebelumnya. Perubahaan laju tertinggi dapat dilihat pada laju parsial.

    Sedangkan laju secara kontinu merupakan analisis yang digunakan untuk melihat

    perubahan laju secara keseluruhan dari tahun yang ada, sehingga perubahan yang

    terjadi pada daerah tersebut dapat diamati pada daerah tersebut. Laju konversi

    lahan dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.

    Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan dan Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten

    Bogor Tahun 2011 Gambar 7. Laju Luasan Lahan Pemukiman dan Lahan Pertanian di

    Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010

    Secara parsial, laju konversi lahan sawah, perkebunan, dan hutan yang

    paling tinggi selama 10 tahun terakhir terjadi pada tahun 2006 dan tahun 2010.

    Terdapat perambahan sawah, perkebunan, dan hutan yang terjadi pada tahun

    0

    1000

    2000

    3000

    4000

    5000

    Lua

    s Lah

    an (H

    a)

    Tahun

    Lahan Hijau (Sawah, Hutan, Perkebunan)Pemukiman

  • 38

    2006. Pembeli yang telah membeli lahan di Kecamatan Cisarua langsung

    membangun usaha di atas lahan yang dimiliki dan mengalihkan fungsi lahan

    tersebut, baik dengan membangun vila maupun tempat usaha lainnya. Kurangnya

    kesadaran pembeli lahan akan fungsi lingkungan membuat pembeli lahan

    langsung mendirikan bangunan di daerah resapan air tanpa berpikir tentang

    dampak yang akan ditimbulkan. Pembangunan yang dilakukan akan menyebabkan

    penebangan dan pengurangan lahan sawah serta perkebunan. Penebangan

    dilakukan di wiilayah yang pada awalnya merupakan sawah, perkebunan, dan

    hutan. Setelah fungsinya berubah segera didirikan bangunan untuk kepentingan

    pribadi masing-masing pemilik lahan.

    Penurunan jumlah luasan lahan sawah, perkebunan, dan hutan diikuti

    dengan pertambahan luas pemukiman. Gambar 7 menunjukkan bahwa pada tahun

    2006 jumlah luasan pemukiman meningkat hingga 8.06 % dari tahun sebelumnya.

    Selain itu terjadi perpindahan penduduk yang cukup besar pada tahun tersebut.

    Hal ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan tempat tinggal seperti pemukiman

    dan vila di lokasi tersebut.

    Pemerintah belum cukup memperhatikan penerapan regulasi mengenai

    kegiatan dan oknum pembangunan liar di wilayah Kecamatan Cisarua. Hal ini

    dibuktikan dengan sekitar 1 300 bangunan tidak memiliki Izin Mendirikan

    Bangunan (IMB). Lahan sawah, perkebunan, dan hutan juga berkurang drastis

    pada tahun 2010. Selain disebabkan oleh tingginya pembangunan pemukiman,

    alih fungsi lahan dari lahan sawah, perkebunan, dan hutan menjadi lahan kedap air

    juga disebabkan oleh pembangunan jalan yang tidak memperhatikan drainase.

  • 39

    Kecamatan Cisarua memiliki wilayah terbangun yang pada awalnya

    merupakan wilayah pertanian. Daerah sawah, perkebunan, dan hutan banyak

    dihilangkan untuk tujuan para developer sebagai tempat penginapan, areal parkir,

    maupun areal rekreasi dengan tujuan mendapatkan pemandangan yang indah bagi

    para wisatawan. Hal ini belum sesuai dengan ketentuan yang dibuat dalam

    Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 yang mengatur penyusunan RTRW

    dan pengendalian pemanfaatan ruang.

    Pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi masalah

    pembangunan liar tersebut. Kebijakan tersebut antara lain seperti pembongkaran

    vila-vila yang berdiri pada wilayah lindung dan yang tidak memiliki IMB,

    memperketat perizinan pembangunan wilayah di Kecamatan Cisarua, dan

    menetapkan pajak yang tinggi untuk pembangunan tempat wisata.

    Besarnya pajak untuk tempat wisata tersebut mencapai 15 % dari total

    jumlah pemasukan yang diperoleh tempat wisata tersebut. Meskipun pajak yang

    berlaku terbilang tinggi, hal tersebut tidak menghalangi niat investor untuk

    membangun daerah wisata mengingat banyaknya wisatawan yang datang

    berkunjung ke Kecamatan Cisarua. Hal ini dibuktikan dengan munculnya banyak

    obyek wisata pada wailayah Kecamatan Cisarua seperti dibangunnya kawasan

    obyek wisata Taman Wisata Matahari. Tempat ini merupakan objek wisata yang

    paling luas di Kecamatan Cisarua.

    Keinginan investor menanamkan modalnya dengan membuka tempat

    wisata dilandasi karena motif keuntungan ekonomi yang cukup tinggi. Hal ini

    disebabkan karena Puncak merupakan wilayah yang mempunyai suasana

    pegunungan dengan infrastruktur yang baik seperti jalan dan sarana pendukung

  • 40

    lainnya. Kawasan Puncak merupakan kawasan yang bersuasana pegunungan yang

    dapat diakses dengan mudah oleh berbagai asal pengunjung terutama pengunjung

    yang berasal dari wilayah Jabodetabek. Jarak yang relatif tidak terlalu jauh dari

    pusat ibu kota menimbulkan dampak kemacetan lalu lintas di hari libur.

    Umumnya kendaraan yang memasuki kawasan puncak pada hari libur mencapai

    angka 40 000. Hal tersebut membuktikan bahwa puncak sebagai wilayah yang

    baik dan tepat untuk pengmbangan pariwisata. Akibatnya, jumlah lahan pertanian

    berkurang dan pembangunan pemukiman semakin tinggi.

    Selain pajak, kebijakan perizinan yang diterapkan oleh pemerintah berupa

    pembongkaran vila-vila yang berada pada kawasan lindung dan tidak memiliki

    IMB menjadi suatu solusi. Namun masih terdapat banyak kekurangan yang

    mengakibatkan kebijakan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Kekurangan

    tersebut meliputi tidak tegasnya pemerintah dalam mengeksekusi lahan. Hal ini

    tergambar pada masih banyaknya bangunan yang tidak memiliki IMB yang tidak

    dibongkar oleh pemerintah. Sekitar 400 bangunan vila yang tidak memiliki IMB,

    dan baru 42 vila yang dibongkar pada tahun 2007.

    Vila yang tidak dibongkar tersebut merupakan salah satu bukti ketidak

    tegasan pemerintah dalam menjalankan kebijakannya secara baik. Namun lain hal

    nya dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan

    pembongkaran bangunan liar lainnya yang luasannya relatif lebih kecil. Sebanyak

    50 bangunan liar yang terletak sepanjang Jalan Cisarua-Puncak telah dibongkar

    oleh pemerintah. Padahal bangunan tersebut berdiri di sepanjang wilayah yang

    memang bukan wilayah lindung. Prioritas pemerintah kurang tepat dalam hal

  • 41

    tersebut. Kebijakan lainnya adalah dengan penetapan pajak yang tinggi sebesar

    10% dari harga beli bangunan tersebut.

    Laju konversi lahan terhadap luasan pemukiman tertinggi terjadi pada

    tahun 2006 dan tahun 2010. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembangunan

    besar-besaran baik dari sektor pariwisata maupun tempat peristirahatan.

    Perkembangan jumlah vila sepanjang tahun 2001 hingga 2010 terus bertambah.

    Jumlah vila di kawasan ini pada tahun 2002 yaitu sebanyak 112 unit, dan

    meningkat menjadi sekitar 400 vila pada tahun 2006. Laju konversi ini juga

    diperparah dengan perkembangan jumlah obyek wisata di wilayah tersebut terus

    bertambah. Mulanya pada tahun 2001 hanya terdapat obyek wisata Puncak dan

    Taman Safari Indonesia, namun pada tahun 2006 bertambah satu obyek wisata

    baru.

    Salah satu contoh obyek wisata baru yaitu didirikannya obyek wisata

    Taman Wisata Matahari. Tempat tersebut dibangun sebelum tahun 2006 dan telah

    selesai dibangun pada tahun 2007 dengan luas areal mencapai 30 ha. Saat ini

    obyek wisata tersebut menjadi obek wisata favorit wisatawan yang datang dan

    menjadi salah satu obyek wisata andalan di daerah tersebut.

    Perubahan alih fungsi lahan yang biasanya dijadikan lahan

    terbangun/pemukiman ini akan sulit ditata ulang karena pelestarian fungsi

    lingkungannya yang tidak tergantikan. Konversi lahan bisa mempengaruhi kadar

    buangan air yang seharusnya bisa terserap tanah. Misalnya yang tadinya lahan

    pertanian dapat menyerap 70 % air hujan, karena beralih menjadi pemukiman,

    bisa berkurang daya penyerapannya hingga 30 % (Arsyad 2010). Hal ini

    dibuktikan dengan adanya kejadian banjir yang terjadi pada wilayah Jakarta pada

  • 42

    tahun 2007. Tingginya tingkat pembangunan pemukiman di wilayah Cisarua

    menyebabkan rendahnya resapan air pada kantung-kantung resapan yang ada pada

    wilayah Cisarua.

    Peristiwa banjir di Jakarta tahun 2007 merupakan bencana banjir yang

    terparah sepanjang 10 tahun terakhir. Hal ini selain disebabkan oleh sistem

    drainase yang buruk pada wilayah Jakarta dan juga disebabkan oleh banjir kiriman

    dari wilayah Bogor Puncak Cianjur yang mengalir melalui DAS Ciliwung. Banjir

    kiriman ini mengakibatkan 60 % wilayah Jakarta tergenang dengan kedalaman

    banjir hingga lima meter di beberapa titik. Pantauan di 11 pos pengamatan hujan

    milik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan

    hujan yang terjadi mencapai 235 mm, hal ini merupakan tingkat curah hujan

    tertinggi selama kurun waktu 10 tahun. Banjir kiriman ini memakan korban

    sedikitnya 80 orang tewas baik karena terseret arus, tersengat listrik maupun sakit.

    Kerugian materi mencapai 4.3 triliun rupiah. Warga yang mengungsi mencapai

    320 000 orang. Hal ini lebih parah dibandingkan dengan kejadian banjir yang

    terjadi pada tahun 20022. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya tingkat alih

    fungsi lahan merupakan salah satu penyebab rendahnya daya resap air yang dapat

    memicu terjadinya banjir kiriman dari daerah puncak.

    Tahun 2007 ditemukan berbagai penyimpangan yang terjadi di Kecamatan

    Cisarua. Wilayah Desa Tugu Utara terdapat 400 vila liar yang seharusnya sudah

    diratakan dengan tanah. Namun pada saat itu hanya kurang dari 70 vila yang

    sudah dibongkar. Hal ini tidak sesuai dengan keputusan wakil presiden Jusuf

    2id.wikipedia.org/wiki/banjir_Jakarta_2007 diakses 28 Mei 2011

  • 43

    Kalla pada saat itu3. Pemerintah mengharapkan agar bangunan yang tidak

    memiliki izin dapat dibongkar karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

    Laju konversi lahan sawah, perkebunan, dan hutan berkurang akibat

    adanya penghijauan di wilayah tersebut. Kementerian Negara Lingkungan Hidup

    Indonesia (KNLH) menggagas penghijauan untuk menyelamatkan bumi pada

    tahun 2004. Salah satu tempat yang menjadi sasaran penghijauan adalah kawasan

    hulu Sungai Ciliwung yang terletak di Kecamatan Cisarua4. Seiring dengan

    dilakukannya penghijauan, maka pada tahun 2004 luasan wilayah pertanian

    menjadi bertambah yang pada mulanya seluas 1 986 ha menjadi 2 126 ha. Hal ini

    sangat dirasakan manfaatnya karena pohon yang ditanam dapat membentuk

    resapan air untuk mencegah risiko curah hujan yang berlebih di wilayah hulu.

    Analisis laju konversi lahan selain diperoleh dengan cara parsial dapat

    juga dilakukan secara kontinu. Sepanjang tahun 2001 hingga 2010 laju secara

    kontinu konversi dari lahan sawah, perkebunan, dan hutan menjadi wilayah

    terbangun terjadi penurunan sebesar 2.28 % dari kondisi awal pada tahun 2001.

    Hal ini berarti pada Kecamatan Cisarua telah terjadi perubahan fungsi tata guna

    lahan akibat perambahan maupun penebangan liar sebanyak 2.28 % dari luasan

    lahan tahun 2001 hingga 2010. Konversi lahan tersebut tidak hanya diakibatkan

    oleh pembangunan pemukiman namun juga bisa terjadi akibat pembangunan

    materi-materi non pemukiman lainnya, seperti jalan, lapangan, dan lain-lain. Hasil

    analisis laju konversi lahan pertanian dapat dilihat pada persamaan berikut ini.

    Ln Y = 54.1 0,0228 t...(6.2)

    3 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/05/21/LU/mbm.20070521.LU124012.id.html diakses tanggal 4 Mei 2011 4www1.menlh.go.id/serasi/serasi2009_edisi_2.pdf diakses tanggal 27 Mei 2011

  • 44

    Laju konversi lahan terhadap luasan pemukiman secara kontinu terjadi

    sebesar 3.94 %. Hal ini berarti selama 10 tahun terakhir telah terjadi penambahan

    wilayah terbangun (pemukiman) sebesar 3.94 %. Hasil analisis laju konversi lahan

    terhadap luasan pemukiman dapat dilihat pada persamaan berikut ini.

    Ln Y = -71.5 + 0.0394 t......(6.3)

    Penambahan wilayah pemukiman tersebut dipicu oleh peningkatan jumlah

    penduduk yang berlangsung secara terus-menerus. Tahun 2001 jumlah penduduk

    Kecamatan Cisarua adalah sebanyak 86 758 jiwa dan meningkat mencapai 113

    833 jiwa pada tahun 2010. Peningkatan ini terjadi seiring bertambahnya jumlah

    penduduk dari luar yang datang untuk mencari mata pencaharian di wilayah

    tersebut. Tren pertumbuhan jumlah penduduk dapat dilihat pada Gambar 8

    berikut.

    Sumber: BPS, 2010 Gambar 8. Tren Jumlah Penduduk Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010

    Jumlah penduduk Kecamatan Cisarua mengalami pertambahan yang

    signifikan pada tahun 2005 hingga 2006, yaitu mencapai 21 054 jiwa. Hal ini

    diakibatkan oleh tingginya angka kelahiran dan pendatang yang berasal dari luar

    wilayah Kecamatan Cisarua. Tingginya angka kelahiran tersebut dapat dilihat dari

    perubahan angka rata rata pertambahan penduduk yaitu sebanyak 3 000 jiwa per

    020000400006000080000

    100000120000140000

    Jiw

    a

    Tahun

    jumlah penduduk

  • 45

    tahun. Tingginya pertambahan penduduk tahun 2005 hingga tahun 2006

    merupakan salah satu dampak dari meningkatnya wilayah obyek wisata pada

    daerah Cisarua. Peningkatan obyek wisata ini membuka peluang pekerjaan baru

    sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan ini

    diakibatkan oleh adanya pendatang baru yang bekerja pada obyek wisata tersebut

    maupun di luar obyek wisata tersebut, seperti pedagang kaki lima dan pemandu

    wisata, serta tempat jajanan dan sarana pendukung lainnya yang banyak menyerap

    tenaga kerja. Penyebab lain adalah pemikiran penduduk yang mempunyai

    pemahaman banyak anak banyak rezeki menjadi salah satu penyebab tingginya

    angka pertambahan penduduk.

    Penurunan jumlah penduduk terjadi pada tahun 2004 hingga 2005.

    Penurunan jumlah penduduk terjadi akibat kematian dan perpindahan penduduk

    keluar wilayah baik untuk kepentingan pekerjaan maupun pindah permanen.

    Menurut data yang diperoleh melalui Kecamatan Cisarua, pada tahun tersebut

    banyak penduduk yang keluar dari wilayah tersebut untuk mencari pekerjaan baru

    seperti menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan kontrak kerja selama dua

    tahun. Peningkatan jumlah penduduk terjadi kembali pada tahun 2006.

    Peningkatan penduduk ini merupakan salah satu dampak dari kembalinya

    penduduk yang menjadi TKI