Top Banner
Ketahanan Pangan Versus Kedaulatan Pangan Dalam sebuah laporan yang dibuat oleh Badan Urusan Penduduk PBB pada tahun 2011 yang berjudul The State of Population 2011 , bahwa pada tanggal 31 Oktober 2011 jumlah penduduk dunia akan mencapai jumlah 7 Milyar jiwa, dimana 60% penduduk hidup di Asia dan 15% hidup di Afrika, namun jumlah penduduk Afrika berkembang dua kali percepatan pertumbuhan penduduk Asia. Studi tersebut melacak tren jumlah penduduk dan demografi di sembilan negara, yaitu Tiongkok, Mesir, Ethiopia, Finlandia, India, Meksiko, Mozambique, Nigeria dan negara bekas Yugoslavia, Republik Macedonia. 1 Masih menurut data d ari PBB tersebut, Indonesia menempati urutan ke empat dengan jumlah penduduk sebesar 237.414.5 juta orang. Sementara itu, BPS mencatat bahwa besaran jumlah penduduk Indonesia tidaklah jauh berbeda dari pendataan PBB tersebut, dan dapat dilihat dalam tabel dibawah ini: 1 , diakses pada tanggal 3 April 2012 pukul 22.45, Bogor
4

Ketahanan Pangan Versus Kedaulatan Pangansawitwatch.or.id/download/lain-lain/kedaulatan Panga by Carlo.pdf · jumlah konsumsi bahan pangan dan bahan pokok masyarakat. Maka seharusnya,

Mar 12, 2019

Download

Documents

lamminh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Ketahanan Pangan Versus Kedaulatan Pangansawitwatch.or.id/download/lain-lain/kedaulatan Panga by Carlo.pdf · jumlah konsumsi bahan pangan dan bahan pokok masyarakat. Maka seharusnya,

Ketahanan Pangan Versus Kedaulatan Pangan

Dalam sebuah laporan yang dibuat oleh Badan Urusan Penduduk PBB pada tahun 2011 yang berjudul The State of Population 2011, bahwa pada tanggal 31 Oktober 2011 jumlah penduduk dunia akan mencapai jumlah 7 Milyar jiwa, dimana 60% penduduk hidup di Asia dan 15% hidup di Afrika, namun jumlah penduduk Afrika berkembang dua kali percepatan pertumbuhan penduduk Asia. Studi tersebut melacak tren jumlah penduduk dan demografi di sembilan negara, yaitu Tiongkok, Mesir, Ethiopia, Finlandia, India, Meksiko, Mozambique, Nigeria

dan negara bekas Yugoslavia, Republik Macedonia.1 Masih menurut data dari PBB tersebut, Indonesia menempati urutan ke empat dengan jumlah penduduk sebesar 237.414.5 juta orang. Sementara itu, BPS mencatat bahwa besaran jumlah penduduk Indonesia tidaklah jauh berbeda dari pendataan PBB tersebut, dan dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

1 , diakses pada tanggal 3 April 2012 pukul 22.45, Bogor

Page 2: Ketahanan Pangan Versus Kedaulatan Pangansawitwatch.or.id/download/lain-lain/kedaulatan Panga by Carlo.pdf · jumlah konsumsi bahan pangan dan bahan pokok masyarakat. Maka seharusnya,

Dari data yang di keluarkan oleh Badan Pusat Statistik tersebut, telah terjadi peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Besarnya jumlah penduduk Indonesia tersebut berimplikasi pada kenaikan jumlah konsumsi bahan pangan dan bahan pokok masyarakat. Maka seharusnya, laju produksi pangan Nasional diatas atau setidaknya sama dan seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun, sehingga keamanan dan ketersediaan suplai bahan pangan dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Bahkan jika terdapat kelebihan stok pangan dalam negeri, Indonesia mampu menciptakan swasembada pangan nasional yang selama ini selalu di cita-citakan.

Dalam upaya menciptakan kestabilan dan ketersedian stok pangan nasional, pemerintah telah mengeluarkan payung hukum dalam menjamin ketersedian pangan dan perlindungan terhadap lahan pertanian dengan UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. Harapannya, lahan-lahan pertanian produktif terutama pada daerah-daerah yang selama ini menjadi lumbung pangan nasional, serta melakukan pengembangan dan pencetakan lahan-lahan pertanian terutama sawah di wilayah-wilayah lainnya.

Praktek pengelolaan yang terjadi ternyata berbeda, di banyak tempat dan daerah telah terjadi penurunan dan penyusutan luas lahan pertanian produktif secara signifikan. Penyusutan lahan pertanian tersebut terutama terjadi akibat maraknya konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Pulau Jawa misalnya, lahan pertanian rata-rata diubah peruntukannya menjadi perumahan, kawasan industri, areal pengembangan daerah, proyek pengadaan dan pelebaran jalan, dan lain sebagainya. Sementara pada daerah di luar pulau Jawa, lahan pertanian tersebut banyak yang diubah menjadi lahan perkebunan skala besar, terutama kelapa sawit.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik Nasional, sepanjang tahun 2010 telah terjadi penyusutan lahan panen padi nasional sebesar 12,63 ribu Ha atau 0,1 persen dari luas lahan keseluruhan, dan tiap tahunnya terjadi penurunan dan penyusutan lahan pertanian sebesar 27.000 Ha per tahun. Bahkan Badan Ketahanan Pangan Nasional mencatat bahwa sepanjang tahun 2009 telah terjadi alih fungsi lahan pertanian seluas 110.000 Ha, sementara kemampuan pemerintah untuk mencetak lahan pertanian dan persawahan baru hanya seluas 50.000 Ha per tahun. Hal ini tidak hanya terjadi pada komoditi padi saja, namun juga pada komoditi pertanian lainnya.

Solusi “ala” Pemerintah

Menghadapi situasi dan kerentanan pangan yang terjadi, pemerintah telah berupaya dan mengusulkan beberapa solusi dan jalan keluar. Ternyata solusi dan jalan keluar yang ditawarkan oleh Pemerintah ini sangatlah pragmatis,

Page 3: Ketahanan Pangan Versus Kedaulatan Pangansawitwatch.or.id/download/lain-lain/kedaulatan Panga by Carlo.pdf · jumlah konsumsi bahan pangan dan bahan pokok masyarakat. Maka seharusnya,

menggampangkan, bahkan terkesan menyepelekan persoalan yang terjadi. Dalam sudut pandang lain bahkan terkesan plin-plan. Adapun beberapa strategi yang dilakukan pemerintah antara lain:

1. Kebijakan “Ketahanan VS Kedaulatan” Pangan Nasional

Ketahanan pangan nasional adalah sebuah wacana yang terus dihembuskan oleh pemerintah dalam rangka untuk membumikan dan merasionalisasikan berbagai kebijakan turunannya.

Secara kontekstual, ketahanan pangan dapat diartikan sebagai kemampuan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan pangan dan kebutuhan pokok masyarakat. Makna menyediakan ini tidak sama dengan memproduksi bahan pangan sebagaimana yang dimaksudkan dalam kedaulatan pangan. Maka menjadi sah dan legitimate kebijakan impor pangan yang dilakukan dilakukan pemerintah.

Menteri Pertanian Suswono mengatakan bahwa “Produksi kita masih surplus sekarang, konsumsi kita 33,5 juta ton per tahun, surplus empat juta, di 2014 diharapkan surplus 10 juta ton. Jadi tidak terlalu riskan, tak perlu impor, harga stabil”.2

Menurut catatan BPS, pada awal tahun 2012 saja Indonesia telah melakukan impor 355,9 ribu ton beras dengan nilai US$ 205,1 juta dengan urutan Vietnam, Thailand, India, Pakistan, dan China. Belum lagi rencana impor beras dari Kamboja yang akan segera ditandatangani kontraknya sebanyak 20.000 ton beras dengan nilai tidak kurang dari US$ 8 juta atau sekitar 73.120 trilyun rupiah. Sebuah harga yang cukup fantastis bagi Indonesia yang berjuluk negara agraris.

2. Revitalisasi Pertanian Berbasis Korporasi

Anggapan pemerintah yang menuding bahwa petani tidak mampu dan tidak cakap dalam melakukan pengolahan lahan pertanian yang mengakibatkan tidak maksimalnya hasil produksi pertanian, menjadi alasan bagi pemerintah untuk kemudian BUMN sebagai mitra strategis petani. Mitra strategis disini dimaknai bahwa BUMN kemudian yang akan mengambil alih seluruh rantai produksi, mulai dari penyediaan pupuk, obat-obatan, sampai dengan alat-alat pertanian. Dimana petani hanya berperan sebagai penggarap dan akan mendapat pembagian keuntungan dari hasil panen yang diperoleh. Dengan kata lain, proses ini akan menggeser posisi petani menjadi buruh tani.

3. Sistem Pertanian Terpadu

2 , diakses 4 April 2012 pukul 00:44, Bogor

Page 4: Ketahanan Pangan Versus Kedaulatan Pangansawitwatch.or.id/download/lain-lain/kedaulatan Panga by Carlo.pdf · jumlah konsumsi bahan pangan dan bahan pokok masyarakat. Maka seharusnya,

Model pertanian terpadu bukan menjadi sebuah wacana baru dari pemerintah, Sistem Pertanian Terpadu atau yang lebih dikenal sebagai Food Estate telah diperkenalkan sejak lama, namun yang paling mendapat sorotan tajam dan penolokan dari berbagai pihak seperti Proyek Padi Sejuta Hektar di Lahan Gambut Kalimantan Tengah, MIFEE (Merauke Food and Energy Estate) di Kabupaten Merauke, serta rencana Food Estate yang dibangun di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.

Skema pengelolaan lahan pertanian terpadu dalam skala luas dan melibatkan korporasi dan modal besar ini, tentu saja jauh dari angan dan kemampuan petani kecil dan tradisional untuk mengaksesnya. Sehingga perlu dipertanyakan, apakah proyek-proyek pangan ini dimaksudkan bagi kemakmuran petani ataukah bagi pengembangan dan ekspansi modal dari korporasi-korporasi besar. Selain itu, makna pertanian sebagai bagian dari budaya bangsa kemudian bergeser menjadi semata-mata berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar semata.

Tidak dapat dipungkiri, berbagai wacana dan rencana yang dilontarkan pemerintah dalam rangka mewujudkan keamanan pangan di negeri ini dinilai tidak serius. Asumsi pemerintah dengan mendorongkan konsep ketahanan pangan dibandingkan kedaulatan pangan menjadi salah satu indikator yang jelas. Penyerahan tugas dan tanggungjawab negara dalam memastikan tercukupinya kebutuhan pangan rakyat kepada korporasi dengan orientasi bisnis dan mengeruk keuntungan besar merupakan bentuk penegasian terhadap kemampuan petani serta pengingkaran terhadap mandat konstitusi.

Agustinus Karlo Lumban Raja,

Staf Bidang Kebijakan dan Pembelaan Hukum

Departemen Inisiatif Mitigasi Resiko Sosial dan Lingkungan