Top Banner
Kondisi politik -september 1965 TENTANG PERISTIWA GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 Posted on February 29, 2012 | 1 Comment By: Harsa Permata Pendahuluan Peristiwa G-30-S adalah peristiwa yang sangat berpengaruh dalam sejarah masyarakat Indonesia. Paska peristiwa ini pluralitas ideologi di Indonesia mulai dibatasi. Tidak hanya pembatasan terhadap pluralitas ideologi (terutama ideologi Marxisme-Leninisme yang dilarang untuk dipelajari dan disebarkan), pembantaian jutaan manusia yang dituduh sebagai kader/simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) juga terjadi pascaperistiwa tersebut. Bahkan, di dunia akademik diskursus tentang Marxisme juga dibatasi sesuai dengan isi dari TAP MPRS No.XXV/1966. Di dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 terdapat beberapa pasal yang membatasi pluralitas ideologi, khususnya di dunia akademik, pertama: “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang” (Pasal 2 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). “Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme- Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan” (Pasal 3 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). Keterbatasan ini menyebabkan kurangnya pemikiran alternatif untuk memperkaya studi ilmiah, terutama studi tentang ilmu sejarah, dan filsafat sejarah. Konsep materialisme dialektika historis yang menjadi inti Marxisme, paska diberlakukannya pelarangan terhadap ideologi Marxisme- Leninisme menjadi tidak bisa dipahami secara utuh, karena adanya keterbatasan untuk mempelajarinya. Selain itu, keluarga dari orang-orang yang dituduh sebagai kader/simpatisan PKI mengalami hidup yang sangat sulit. Bahkan, mereka juga menemui keterbatasan di dalam mencari pekerjaan, dengan adanya “syarat bebas G-30- S” sebagai salah satu persyaratan dalam mencari pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI. Itulah beberapa akibat kongkrit dari peristiwa G-30-S, oleh karena itu maka studi filsafat sejarah terhadap peristiwa G-30-S adalah sangat penting. Dengan mempelajari peristiwa ini dengan menggunakan sudut pandang filsafat sejarah Marxisme, maka diharapkan sebuah kebenaran tersembunyi bisa terungkap. Ragam Versi Peristiwa G-30-S
26

KETAHANAN NASIONAL

Dec 05, 2014

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KETAHANAN NASIONAL

Kondisi politik

-september 1965

TENTANG PERISTIWA GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965Posted on February 29, 2012 | 1 CommentBy: Harsa PermataPendahuluanPeristiwa G-30-S adalah peristiwa yang sangat berpengaruh dalam sejarah masyarakat Indonesia. Paska peristiwa ini pluralitas ideologi di Indonesia mulai dibatasi. Tidak hanya pembatasan terhadap pluralitas ideologi (terutama ideologi Marxisme-Leninisme yang dilarang untuk dipelajari dan disebarkan), pembantaian jutaan manusia yang dituduh sebagai kader/simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) juga terjadi pascaperistiwa tersebut.

Bahkan, di dunia akademik diskursus tentang Marxisme juga dibatasi sesuai dengan isi dari TAP MPRS No.XXV/1966. Di dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 terdapat beberapa pasal yang membatasi pluralitas ideologi, khususnya di dunia akademik, pertama: “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang” (Pasal 2 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). “Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan” (Pasal 3 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966).

Keterbatasan ini menyebabkan kurangnya pemikiran alternatif untuk memperkaya studi ilmiah, terutama studi tentang ilmu sejarah, dan filsafat sejarah. Konsep materialisme dialektika historis yang menjadi inti Marxisme, paska diberlakukannya  pelarangan terhadap ideologi Marxisme-Leninisme menjadi tidak bisa dipahami secara utuh, karena adanya keterbatasan untuk mempelajarinya.

Selain itu, keluarga dari orang-orang yang dituduh sebagai kader/simpatisan PKI mengalami hidup yang sangat sulit. Bahkan, mereka juga menemui keterbatasan di dalam mencari pekerjaan, dengan adanya “syarat bebas G-30-S” sebagai salah satu persyaratan dalam mencari pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI.

Itulah beberapa akibat kongkrit dari peristiwa G-30-S, oleh karena itu maka studi filsafat sejarah terhadap peristiwa G-30-S adalah sangat  penting. Dengan mempelajari peristiwa ini dengan menggunakan sudut pandang filsafat sejarah Marxisme, maka diharapkan sebuah kebenaran tersembunyi bisa terungkap.

Ragam Versi Peristiwa G-30-SAda berbagai versi tentang G-30-S, pertama adalah versi Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Menurut versi ini, PKI adalah dalang sekaligus pelaku G-30-S. Oleh karena itu maka Orde Baru menamai peristiwa ini dengan G-30-S/PKI. Versi Orde Baru ini bahkan difilmkan lewat film yang berjudul “Pengkhianatan G-30-S/PKI”. Secara keseluruhan isi film ini adalah kisah kekejian PKI, yang menyiksa dan membantai para Jenderal Angkatan Darat. Semua organisasi/kelompok yang terlibat, baik itu Cakrabirawa, Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain, menurut versi ini, berada di bawah pengaruh PKI.

John Roosa, di dalam bukunya yang berjudul, “Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September”, mengatakan bahwa Pusat Penerangan Angkatan telah mempublikasikan tiga jilid buku, dari bulan Oktober sampai Desember 1965, dengan tujuan untuk membuktikan bahwa PKI secara organisasional adalah dalang G-30-S. Bukti utama yang diulas dalam buku tersebut adalah pengakuan Untung, yang ditangkap di Jawa Tengah tanggal 13 Oktober, dan Latief, yang ditangkap tanggal 11 Oktober di Jakarta. Kedua pengakuan ini merupakan dokumentasi laporan interogasi terhadap kedua orang ini. Akan tetapi pada tahun 1978, Latief mengemukakan bahwa pengakuannya terkait perannya dalam G-30-S yang merupakan kesukarelaan, dan untuk kepentingan PKI, adalah disampaikan dalam kondisi setengah sadar, dan sedang mengalami infeksi luka akibat tusukan bayonet di kaki kirinya. Dalam sidang-sidang Mahmilub, keduanya, baik Untung maupun Latief, menyangkal

Page 2: KETAHANAN NASIONAL

laporan-laporan interogasi mereka, dan menyatakan bahwa G-30-S berada di bawah kepemimpinan mereka, sementara PKI diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuan saja (Roosa, 2008 : 94-95).

Versi kedua mengenai G-30-S adalah berasal dari “analisa awal” Bennedict Anderson, dan Ruth Mc Vey. Di dalam analisa ini dijelaskan bahwa karena tidak ada bukti-bukti yang kuat mengenai keterlibatan PKI seperti yang dituduhkan dalam berita-berita pers, dan pernyatan-pernyataan Angkatan Darat, maka yang lebih masuk akal adalah menjelaskan G-30-S sebagai suatu konflik internal Angkatan Darat (Roosa, 2008 : 95-96).

Ben Anderson dan Ruth McVey berpendapat bahwa, G-30-S adalah sebuah pemberontakan dalam Angkatan Darat dari perwira-perwira muda yang berasal dari Jawa Tengah. Alasan pemberontakan adalah karena jijik terhadap kemerosotan gaya hidup, dan garis politik pro-Barat dari para Jenderal SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) di Jakarta. G-30-S adalah sebuah usaha untuk mengubah Angkatan Darat menjadi lebih merakyat. Jaringan perwira Jawa Tengah ini menurut Anderson dan McVey, bertujuan untuk membersihkan Angkatan Darat dari para Jenderal yang korup dan konservatif, juga untuk memberi keleluasaan pada Soekarno untuk menjalankan berbagai kebijakannya (Roosa, 2008 : 102-103).

Versi ketiga adalah versi Harold Crouch. Menurut Crouch, G-30-S, adalah persekutuan antara perwira-perwira muda dengan PKI. Inisiatif awal G-30-S adalah berasal dari perwira-perwira muda ini. PKI terlibat, akan tetapi bukan sebagai kelompok inti yang merencanakan dan mengeksekusi. Versi ini sama dengan versi Sudisman (anggota Dewan Harian Politbiro CC PKI yang selamat, sisanya yaitu Aidit, Lukman, dan Nyoto dieksekusi secara rahasia oleh TNI). Sudisman berpendapat bahwa G-30-S adalah peristiwa internal Angkatan Darat. Ia mengakui bahwa beberapa pimpinan PKI terlibat, akan tetapi PKI sebagai institusi tidak terlibat (Roosa, 2008 : 106).

Versi kelima adalah pendapat W.F Wertheim. Menurutnya, G-30-S adalah konspirasi antara Soeharto dengan teman-temannya yaitu Latief, Sjam, dan Untung (tim inti G-30-S). (Roosa, 2008 : 112). Beberapa pimpinan PKI terlibat G-30-S, karena mereka ditipu oleh Sjam, dan komplotan perwira anti-PKI yang ingin menghancurkan PKI dan menggulingkan Soekarno (Roosa, 2008 : 116).

Filsafat Sejarah Peristiwa G-30-SMarx dan Engels, di dalam Manifes Partai Komunis paragraf pertama, mengatakan:

“Sejarah dari semua masyarakat yang ada sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan” (Marx dan Engels, 1964 : 50).

Peristiwa G-30-S adalah manifestasi dari konflik antar kelas-kelas dalam masyarakat, seperti pendapat Marx bahwa sejarah masyarakat adalah sejarah kelas-kelas yang saling bertentangan. Apa saja kelas-kelasnya? Apakah hanya borjuis dan proletar? Untuk kasus G-30-S, kelompok-kelompok yang bertentangan sangat rumit, dan sulit dijelaskan posisi keberpihakan tiap kelompok pada suatu kelas.

PKI adalah partai proletar yang telah menjadi kekuatan politik yang cukup diperhitungkan ketika itu. Ini bisa dilihat dari perolehan suara yang didapat PKI pada pemilu tahun 1955, yaitu sebanyak 6.176.914 suara. Dengan ini, PKI mendapatkan 39 kursi di parlemen (Ricklefs, 2010 : 520).

Akan tetapi dengan banyaknya jumlah kursi yang dimiliki PKI, tidak disertai dengan dominasi dalam politik. Pembatasan  terhadap distribusi Koran PKI, Harian Rakyat, pelarangan rapat umum, dan demonstrasi massa PKI oleh Pimpinan TNI (Tentara Nasional Indonesia), yang dalam hal ini adalah Nasution. Pembatasan dan pelarangan ini bersandar pada Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB), yang memberi kekuasaan besar pada militer (Pour, 2011 : 221).

Page 3: KETAHANAN NASIONAL

Posisi kuat militer (TNI) dalam politik ditentukan oleh kuatnya posisi mereka dalam ekonomi. Hukum darurat militer tahun 1957, memosisikan para perwira militer sebagai pengelola perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah dinasionalisasi. Ini kemudian memunculkan kelas baru, yaitu kelas borjuis militer (Caldwell & Utrecht, 2011 : 246).

Konsep demokrasi terpimpin adalah hasil konsesi Soekarno dengan militer (TNI) yang menolak demokrasi liberal. Demokrasi terpimpin yang bermula semenjak dekrit presiden 5 Juli 1959 diumumkan oleh Soekarno, adalah sejalan dengan keinginan elit militer yang ingin membatasi pengaruh partai-partaai politik, khususnya PKI. Dengan digantinya UUDS 1950 dengan UUD 1945 yang memberi kekuasaan yang lebih besar kepada presiden, maka dengan ini menteri-menteri tidak bertanggung jawab pada parlemen lagi, tetapi kepada presiden. Parlemen yang berisikan wakil-wakil partai politik, tidak bisa lagi dengan leluasa memecat para menteri, dan dengan ini maka pengaruhnya menjadi terbatas. (Caldwell & Utrecht, 2011 : 218-219). Selama masa Demokrasi Terpimpin, militer telah mengendalikan 60 persen pos-pos utama dalam administrasi sipil (Caldwell & Utrecht, 2011 : 247).

Jadi, konflik antara borjuis dan proletar, seperti pendapat Marx tentang sejarah masyarakat, memang terjadi pada masa sebelum Orde Baru. Konflik ini memuncak pada peristiwa G-30-S, beberapa pimpinan PKI terlibat dalam peristiwa itu. Selain PKI, perwira-perwira Angkatan Darat juga terlibat, seperti Untung, Latief, dan Supardjo, selain itu ada satu orang perwira Angkatan Udara yang terlibat, yaitu Soejono.

Keterlibatan para perwira militer dalam G-30-S membuat peta konflik kelas menjadi agak bias. Perwira militer yang terlibat, secara politik adalah pendukung Soekarno, dan telah melakukan konspirasi dengan Biro Chusus PKI dalam merencanakan aksi G-30-S. Keberpihakan para perwira militer pelaku G-30-S ini adalah pada Soekarno, karena awalnya para Jenderal yang dihabisi dalam peristiwa G-30-S akan dihadapkan secara hidup-hidup pada Soekarno, untuk dimintai pertanggungjawaban terkait dengan isu Dewan Jenderal (Roosa, 2008: 311).

Kemenangan borjuis militer, yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto dalam konflik antarkelas ini, adalah dikarenakan kesalahan PKI dalam mempraktekkan prinsip-prinsip Marxisme. Dalam prinsip Marxisme, revolusi adalah perjuangan kelas tertindas yang terorganisir untuk merebut kekuasaan. Sementara itu, aksi G-30-S adalah aksi konspirasi antara beberapa perwira Angkatan Bersenjata pro-Soekarno dengan divisi rahasia PKI (Biro Chusus). Keterlibatan proletar yang dalam hal ini buruh dan tani, dikatakan tidak ada. PKI memiliki organisasi underbouw buruh dan tani, yaitu SOBSI dan BTI, yang memiliki banyak anggota. Akan tetapi, pada peristiwa tersebut organisasi-organisasi ini tidak dilibatkan sama sekali.Soekarno secara ideologi adalah seorang sosialis. Bahkan, ia meng-Indonesiakan Marxisme dengan konsep Marhaenismenya. Akan tetapi secara politik, Soekarno memiliki kecendrungan membiarkan dominasi politik tentara professional dalam kekuasaan, walaupun kemudian dia juga memberi tempat pada pimpinan PKI dalam kabinetnya. Namun demikian, para menteri dari pimpinan PKI tidak ada yang memiliki jabatan strategis. Kekuasaan Negara pada zaman Demokrasi terpimpin secara keseluruhan dipegang oleh militer dengan adanya UUKB.

Peristiwa G-30-S pada tahun 1965 memakan korban jiwa terbunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat dan satu perwira pertama. Peristiwa ini kemudian memicu para Jenderal Angkatan Darat untuk mendesak Soekarno agar memberi wewenang khusus pada Soeharto. Wewenang khusus lewat Supersemar kemudian diberikan oleh Soekarno. Soeharto lalu membubarkan PKI sebagai konsekuensi dari kewenangan yang diberikan oleh Soekarno lewat Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret adalah fondasi awal kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Dengan manipulasi politik lewat Dekrit Presiden  No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966, dengan dalih “atas perintah presiden”, Soeharto membubarkan PKI dan organisasi komunis lainnya (Caldwell dkk, 2011 : 282).

Soeharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk mengambilalih kekuasaan dengan cara kudeta merangkak. Dikatakan sebagai kudeta merangkak adalah karena usaha kudeta dilakukan lewat selubung tindakan pencegahan terhadap sebuah aksi yang dituduh sebagai kudeta. Soeharto kemudian membesar-besarkan G-30-S sebagai sebuah aksi pengkhianatan dan kejahatan akibat dari kesalahan yang besar dalam pemerintahan Soekarno. Dengan dalih ini, Soeharto menuduh PKI sebagai dalang G-30-S. Selanjutnya, Soeharto menangkap sekitar satu setengah juta orang yang dituduh terlibat dalam G-30-S. Ratusan ribu kemudian dibantai oleh

Page 4: KETAHANAN NASIONAL

Angkatan Darat (Roosa, 2008 : 5). Menurut pengakuan Sarwo Edhie Wibowo, sebagai komandan pembantaian, terdapat tiga juta orang yang telah dibantai (Pour, 2011:273).

Pandangan Marxisme yang mengatakan bahwa kontradiksi melahirkan perubahan memang terjadi di dalam peristiwa 1965. Secara politik memang terjadi pergantian kekuasaan dari Soekarno kepada borjuis militer Soeharto. Secara ekonomi juga terjadi perubahan dari yang sebelumnya menutup diri dari dominasi asing, bahkan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing, kemudian pada masa Orde Baru modal asing bisa bergerak leluasa di Indonesia (Caldwell & Utrecht, 2011 : 287).

Selain itu, secara politik terjadi perubahan dengan diselenggarakannya pemilu, walaupun masih bersifat manipulatif. Hal ini berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin yang meniadakan pemilu. Akan tetapi persamaannya adalah pada kekuasaan presiden yang besar, bahkan legislatif pada masa Orde Baru, tunduk pada presiden.

Sistem ekonomi liberal yang diterapkan Orde Baru, kemudian memaksa sistem politik otoriter Orde Baru jatuh. Ini ditandai dengan pengunduran diri Soeharto sebagai presiden pada tahun 1998, setelah gelombang aksi-aksi massa menuntut penggulingan Soeharto dan kerusuhan sebagai akibat dari krisis ekonomi pada tahun 1998.***

*Penulis adalah mahasiswa program Master (S2) Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada

1.Latar BelakangDemokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya

mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Berawal dari kemenangan Negara-negara Sekutu (Eropah Barat dan Amerika Serikat) terhadap Negara-negara Axis (Jerman, Italia & Jepang) pada Perang Dunia II (1945), dan disusul kemudian dengan keruntuhan Uni Soviet yang berlandasan paham Komunisme di akhir Abad XX , maka paham Demokrasi yang dianut oleh Negara-negara Eropah Barat dan Amerika Utara menjadi paham yang mendominasi tata kehidupan umat manusia di dunia dewasa ini.

Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi demokrasi, untuk di Asia Tenggara Indonesia adalah negara yang paling terbaik menjalankan demokrasinya, mungkin kita bisa merasa bangga dengan keadaan itu.Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya

BAB IIPEMBAHASAN

Perjalanan sejarah sistem politik dan penegakan hukum Indonesia selama ini menunjukkan suatu bukti bahwa semata-mata konstitusi dalam wujud UUD tidak dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan sistem politik yang demokratis maupun penegakan hukum.

UUD 1945 telah berlaku di empat periode kepemerintahan, masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998-Sekarang). Semuanya ternyata menunjukkan corak dan karakter kepemerintahan yang berbeda satu periode dengan periode lainnya.

Di masa kemerdekaan, meski berlaku tiga macam UUD (1945, RIS dan 1950) namun kehidupan sistem demokrasi dapat berjalan dan hukum dapat ditegakkan. Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali berlaku dan dinyatakan penggunaan sistem Demokrasi Terpimpin, namun yang berlaku sistem otoritarian (Hatta, Demokrasi Kita, 1960). Buktinya, terjadi pembubaran partai politik yang tidak sejalan dengan keinginan

Page 5: KETAHANAN NASIONAL

pemerintah (yaitu, Masyumi dan PSI), media massa yang kritis dibredel, penangkapan dan penawanan lawan politik pemerintah tanpa proses hukum termasuk para pendiri partai mantan-mantan Perdana Menteri, mantan-mantan menteri, pemimpin ormas juga ulama. Sehingga hukum didominasi penguasa tunggal di masa itu.

Masa itu kemudian beralih kepada masa pemerintahan Orde Baru tahun 1966. Awal permulaan masa ini membawa dan menumbuhkan harapan baru sistem demokrasi dan penegakan hukum setelah rakyat bersama mahasiswa dan pelajar secara bergelombang turun ke jalan menentang kesewenang-wenagan PKI. Rakyat dan pemerintah bekerjasama menjalankan pemerintahan yang demokratis dan menegakan hukum dengan semboyan “kembali ke UUD 1945 dengan murni dan konsekuen”.

Suasana harmonis itu ternyata tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya UU No. 15 dan 16 Tahun 1969, tentang Pemilu dan tentang Susunan dan Kedudukan Lembaga Negara. Dari sini mulai nampak keinginan politik elit penguasa untuk menghimpun kekuatan dan meraih kemenganan mutlak pada pemilu yang sedianya akan diselenggarakan pada tahun 1970 ternyata baru dapat dilaksanakan tahun 1971, karena usaha penggalangan kekuatan lewat Golongan Karya (GOLKAR) memerlukan waktu cukup lama.

Akhirnya telah tercatat dalam sejarah, dari pemilu ke pemilu, kemenagan mutlak diraih oleh GOLKAR sebagai mesin politik pemerintah Orde Baru yang dikawal oleh ABRI. Seluruh Lembaga Negara, baik tinggi maupun tertinggi telah dikuasai, dari Presiden, Panglima Tertinggi sampai ke lurah dan kepala desa, bahkan sampai RT, RW.

Masa sekarang, Era Reformasi yang diawali dengan perubahan mendadak dari sistem politik otoriter ke sistem demokrasi. Saat pemerintahan transisi di bawah presiden BJ Habibie, sendi-sendi demokrasi berubah 180 derajat. Kebebasan membentuk partai politik, Lembaga-lembaga perwakilan bebas berbicara, Pers yang sebelumnya tercekam oleh ancaman pencabutan SIUP mendadak sontak dibebaskan tanpa SIUP. Rakyat bebas menyampaikan aspirasinya lewat demonstrasi.

Akibat kebebasan yang begitu tiba-tiba terjadilah euphoria politik di lingkungan elit politik baru dan lama. Terjadi kebebasan yang hampir-hampir berakibat tindakan-tindakan anarkis di kalangan masyarakat. Demokrasi tanpa persiapan dengan perangkat hukum yang melandasinya. Pengamat ada yang menyebut, di era Reformasi ini, sepertinya yang nampak masyarakat, sedangkan pemerintah tenggelam. Adapun di zaman Orde Baru yang tampak pemerintah sedangkan rakyatnya tenggelam.

Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasar UUD 1945 sebelum Diamandemen.Sistem pemerintahan ini tertuang dalam penjelasan UUD 1945 tentang 7 kunci pokok sistem pemerintahan. Yaitu :• Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)• Sistem Konstitusional.• Kekuasaan tertinggi di tangan MPR• Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR.• Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.• Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR.• Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Berdasarkan tujuh kunci pokok tersebut, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial.Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Suharto.Ciri dari sistem pemerintahan presidensial ini adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan.Pada saat sistem pemerintahan ini, kekuasaan presiden berdasar UUD 1945 adalah sebagai berikut :

• Pemegang kekuasaan legislative.• Pemegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan.• Pemegang kekuasaan sebagai kepala Negara.• Panglima tertinggi dalam kemiliteran.• Berhak mengangkat & melantik para anggota MPR dari utusan daerah atau golongan.• Berhak mengangkat para menteri dan pejabat Negara.• Berhak menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.• Berhak mengangkat duta dan menerima duta dari Negara lain.• Berhak memberi gelaran, tanda jasa, dan lain – lain tanda kehormatan.• Berhak memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.

Page 6: KETAHANAN NASIONAL

BAB IIIKESIMPULAN

A.Dampak negatif dari sistem presidensil yang dijalankan oleh pemerintah IndonesiaDampak negatif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini adalah sebagai

berikut :

• Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden.• Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah.• Pejabat – pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk loyal dan mendukung      kelangsungan kekuasaan presiden. • Kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan orang – orang yang dekat presiden.• Menciptakan perilaku KKN.• Terjadi personifikasi bahwa presiden dianggap Negara.• Rakyat dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden.

B.Dampak Positif dari sistem Presidensil yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia

Dampak positif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini adalah sebagai berikut :

• Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan.• Presiden mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid.• Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti.• Konflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.

Kondisi Politik Menjelang G 30 S / PKI

Kondisi Politik Menjelang G 30 S / PKI

        

Doktrin Nasakom yang dikembagkan oleh Presiden Soekarno memberi  keleluasaan PKI  untuk memperluas pengaruh. Usaha PKI 

untuk mencari pengaruh dukungan oleh kondisi ekonomi bangsa yang semakin memprihatinkan. Dengan adanya nasakomisasi tersebut, 

PKI menjadi salah satu kekuatan yang penting pada masa Demokrasi Terpimpin bersama Presiden Soekarno dan Angkatan Darat.

Pada akhir tahun 1963, PKI melancarkan sebuah gerakan yang disebut “aksi sepihak”. Para petani dan buruh, dibantu para kader PKI, 

mengambil alih tanah penduduk, melakukan aksi demonstrasi dan pemogokan.

Untuk  melancarkan   kudeta,  maka  PKI  membentuk  Biro  Khusus   yang  diketuai   oleh   Syam  Kamaruzaman.  Biro  Khusus   tersebut 

mempunyai tugas – tugas berikut.

a.       Menyebarluaskan pengaruh dan ideology PKI ke dalam tubuh ABRI.

b.      Mengusahakan agar  stiap anggota ABRI  yang telah bersedia menjadi  anggota PKI  dan telah disumpah dapat  membina anggota ABRI 

lainnya.

Page 7: KETAHANAN NASIONAL

c.       Mendata dan mencatat para anggota ABRI agar sewaktu – waktu dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya.

Memasuki tahun 1965 pertentangan antara PKI dengan Angkatan darat semakin meningat. D.N. Aidit sebagai pemimpin PKI beserta 

Biro Khusus, mulai meletakkan siasat – siasat untuk melawan komando puncak AD. Berikut ini siasat – siasat yang ditempuh oleh Biro  

Khusus PKI.

a.       Memojokkan dan mencemarkan komando AD dengan tuduhan terlibat dalam persekongkolan menentang RI, karena bekerja sama dengan 

Inggris dan Amerika Serikat.

b.      Menuduh komando puncak AD telah membentuk “Dewan Jenderal” yang tujuannya menggulingkan Presiden Soekarno.

c.       Mengorganisir perwira militer yang tidak mendukung adanya “Dewan Jendral”.

d.      Mengisolir komando AD dari angkatan – angkatan lain.

e.       Mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari para buruh dan petani yang dipersenjatai.

Ketegangan politik antara PKI dan TNI AD mencapai puncaknya setelah tanggal 30 September 1965 dini hari atau awal tanggal 1 

Oktober 1965. Pada saat itu terjadi panculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat.

Page 8: KETAHANAN NASIONAL

Kondisi sosial budaya

ANALISIS KONDISI DEMOKRASI DI INDONESIA

Artikel

ANALISIS KONDISI DEMOKRASI DI INDONESIA

2.1 Indikator keberhasilan demokrasi

Dalam suatu sistem atau kehidupan demokratis, terkadang kita merasa terbebani dengan tuntutan untuk bisa

hidup secara demokratis, begitupun negara. Menurut UNESCO (Miriam, 2008, 106) “hampir 80% negara di

dunia ini memakai nama demokrasi dalam menjalankan roda kehidupan negaranya. Lantas apa yang menjadi

indikator dari keberhasilan kehidupan demokrasi di tiap-tiap negara?, dalam latar belakang, Alamond

menjelaskan bahwa ada 11 ciri dari suatu bentuk demokrasi, yang disebut soko guru demokrasi atau pilar-pilar

demokrasi, dan itu adalah yang menjadi indikator bagi kita untuk menilai keberhasilan dari suatu negara dalam

menjalankan demokrasinya.

Soko Guru Demokrasi atau pilarnya Demokrasi merupakan tiang-tiang untuk membangun suatu tatanan yang

demokratis, dimana tiang-tiang atau soko guru demokrasi tersebut akan menopang berdirinya demokrasi.

Inilah yang menjadi indikator bagi penilaian sejauh mana demokrasi berhasil ditegakkan. Tidak ada demokrasi

jika tiang-tiang atau pilarnya tidak ditegakkan. Menurut Alamund (Sri Wuryan, 2006: 84-85) soko guru dari

demokrasi adalah: 

1. Kekuasaan Mayoritas

Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat. Rakyat yang memilih langsung wakilnya dalam

pemerintahan. Karena seluruh model demokrasi memakai sistem pemilihan umum yang dalam pelaksanaannya

rakyat berhak memilih langsung perwakilannya atau partai dalam pemerintahan, maka pemenang pemilihan

umum dapat dikatakan sebagai kekuasaan mayoritas dalam pemerintahan karena telah dipilih oleh suara

mayoritas rakyat dalam pemilihan umum. Kekuasaan mayoritas sebagai pemerintahan dan kaum minoritas

sebagai pengkritik pemerintah yang dipegang atau di jalankan kaum mayoritas.

Dalam kehidupan bangsa Indonesia, bisa dikatakan bahwa kita baru saja menerapkan atau

mengimplementasikan pilar demokrasi ini ke dalam sistem pemerintahan. Jika kita lihat sejarah masa lalu,

dimana jarang sekali ada pemilihan umum, dan jika ada pun ada, biasanya mereka bersaing secara tidak sehat

untuk mendapatkan kekuasaan itu. 

2. Hak-Hak Minoritas

Jika kita berbicara mengenai hak-hak minoritas dalam sebuah sistem demokrasi, tentunya sangat banyak orang

atau pihak yang merasa dirinya terasingkan atau dengan kata lain, merasa kurang mendapat perhatian yang

lebih dari pihak yang mendominasi. Akan tetapi, di dalam konteks demokrasi yang hampir secara umum sudah

Page 9: KETAHANAN NASIONAL

banyak negara-negara di dunia yang menggunakannya sebagai suatu sistem pemerintahan yang menurutnya

lebih stabil dalam segala aspek yang ada. Namun, pada kenyataannya secara faktual pihak atau golongan yang

lebih sedikit (minoritas) hanya sedikit mengalami suatu pengakuan dan perhatian yan diperoleh dari pihak-

pihak yang lebih dominan (lebih besar). Sehingga, golongan minoritas yang kalah hanya memiliki ruang gerak

yang terbatas pada hal-hal yang kecil saja. Kemudian, hal tersebut mau tidak mau harus mau untuk mengikuti

setiap aturan dan kesepakatan yang telah disepakati oleh golongan mayoritas. Dalam hal ini, Alamund

berpendapat bahwa :

“Suatu demokrasi yang dianut dan dijalankan oleh banyak negara yang ada, merupakan suatu cara atau

langkah yang diambil oleh negara untuk melindungi hak-hak yang ada. Sehingga, apabila terjadi suatu

kekalahan pada salah satu pihak (minoritas), diharapkan dapat menerima dan mau mengikuti setiap aturan

yang telah menjadi kesepakatan bersama”. (Wuryan, 2006: 87)

3. Kedaulatan Rakyat

Pengertian demokrasi yang sederhana berkembang seiring perkembangan politik dan ilmu politik sebagaimana

dikemukakan oleh Abraham Licoln bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk

rakyat. Demokrasi memiliki arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya karena dalam sistem

demokrasi ada jaminan bagi masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi Negara. Demokrasi

sebagai dasar hidup bernegara memberikan pengertian bahwa rakyat dapat menentukan sendiri apa yang jadi

kehendaknya, termasuk mempengaruhi kebijakan Negara yang menyangkut kehidupan rakyat. Karena seorang

presiden mendapatkan kekuasaanya dari rakyat jadi yang mempunyai kekuasaan tertinggi adalah rakyat maka

dari itu rakyatlah yang berdaulat. Presiden hanya merupakan pelaksana dari apa yang telah diputuskan atau

dikehemdaki oleh rakyat. Teori kedaulatan rakyat juga diikuti oleh Immanuel Kant yaitu:

“tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan daripada warga negaranya.

Dalam pengertian kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas perundang-undangan, sedangkan undang-

undang disini yang berhak membuat adalah rakyat itu sendiri. Maka dari itu undang-undang adalah merupakan

penjelmaan daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi atau

kedaulatannya”. (Soehino, 2005: 161)

4. Pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah 

Dalam melakukan segala aktivitasya, negara diharuskan meminta persetujuan terlebih dahulu kepada yang

diperintahnya, bisa juga dengan dilibatkannya yang diperintah dalam membuat suatu kebijaksanaan. Seperti

contoh dalam membuat Undang-Undang, dilibatkanlah para wakil-wakilnya di legislatif. Ataupun dalam

melakukan kegiatan kenegaraan, itu harus mendapatkan persetujuan dari rakyat, atau wakil-wakil rakyat.

Artinya, bahwa di dalam berdemokrasi setiap suatu keputusan yang diambil oleh pemerintah, sebenarnya

memang sudah menjadi suatu keharusan yang mesti diambil dan dilaksanakan. Hal ini dilakukan, bertujuan

agar antara pemerintah dengan para lembaga-lembaga yang dibentuknya mengalami suatu kesesuaian yang

harmonis dalam menjalankan setiap program-program yang dicanangkan.

Page 10: KETAHANAN NASIONAL

Dengan kata lain, di dalam mengambil sebuah keputusan maupun kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah

harus bisa saling berkesinambungan antara satu sama lain. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Finley:

“Tidak ada batas teoritis, dari kekuasaan negara, tidak ada aktivitas, tidak ada lingkungan mengenai prilaku

manusia, yang tidak dapat dicampuri oleh negara secara sah, asalkan saja setiap keputusan itu diambil

menurut yang semestinya, dengan alasan apapun juga yang dianggap sah oleh majelis” . (Robert: 1972: 22)

Dari maksud kutipan yang kami ambil, bahwa setiap pemerintahan yang berkuasa pasti mempengaruhi dan

mencampuri setiap aspek dengan mengikutsertakan atau melibatkan setiap lembaga-lembaganya, dalam

menjalankan suatu program yang nantinya akan direalisasikan di masyarakat umum.

5. Jaminan Hak Asasi Manusia

Menurut Maurice Cranston dan R. S. Downie (Carol. 1993: 195) Hak Asasi Manusia adalah hak asasi yang

terbatas pada hak sipil dan politik dan tidak mencakup hak ekonomi dan kesejahteraan”. Tetapi Henry Shue

dan para teoritis Inggris (Hamid 2000: 20) berpendapat bahwa “apa saja yang dibutuhkan untuk bersubstensi

atau untuk mempertahankan hidup adalah hak asasi paling pokok”. Tentu apabila kita melihat dari definisi hak

asasi manusia menurut para pakar diatas tersebut, ada suatu hal yang sangat kontradiktif dimana Downie

mengatakan bahwa HAM itu hanya hak sipil dan politis saja, sedangkan henry shue dan teoritis Inggris

mengatakan bahwa HAM itu mencakup apa saja yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan

kehidupannya. 

Hak asasi manusia dalam konsep demokrasi, demokrasi sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia karena

rakyat sebagai manusia, rakyat juga yang berkuasa, maka dalam pelaksanaannya negara harus menjamin hak-

hak asasi/dasar yang dimiliki oleh manusia. Seperti hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, hak untuk

berbicara, hak untuk beragama, hak untuk memperoleh pekerjaan, hak untuk terhindar dari rasa takut, dan

lain-lain.

Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia tentu banyak sekali pelanggaran atau kejahatan HAM yang

terjadi di Indonesia. Terbukti dari semakin meningkatnya jumlah pelanggaran yang terjadi saat ini, seperti

maraknya pembunuhan, korupsi, dan lain-lain. Ini mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia kurang

mengamalkan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

6. Pembatasan pemerintahan secara konstitusionil

Konstitusi atau undang-undang dasar merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik ketika negara akan

didirikan atau ketika konstitusi itu disusun. Pihak pemerintah menjalankan roda pemerintahan harus

berdasarkan konstitusi yang berlaku dalam Negara tersebut. Pemerintah mempunyai batasan-batasan dalam

menjalankan roda pemerintahan. Sebagaimana konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi

Negara Indonesia mengatur batasan-batasan dalam menjalankan pemerintahan. Meskipun secara prinsip UUD

1945 menganut demokrasi namun UUD ini tidak membentuk pagar-pagar pengaman yang kuat untuk

membatasi kekuasaan agar

demokrasi bisa terbangun. 

Page 11: KETAHANAN NASIONAL

7. Nilai- Nilai Toleransi, Pragmatisme, Kerja Sama, dan Mufakat

Dalam melaksanakan konsep demokrasi, manusia diharuskan memiliki nilai-nilai toleransi yang tinggi dalam

mengarungi kehidupan yang beranekaragam ini, dan juga harus memiliki nilai-nilai pragmatisme atau selaras

dengan kenyataan, mampu bekerjasama dengan baik, dan mencapai sesuatu dengan cara yang mufakat.

Sedikit penjelasan yang diutarakan di atas, merupakan hanya sebagian kecil saja dari sekian banyak nilai-nilai

yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, serta mufakat,

merupakan unsur-unsur yang paling mendasar yang harus dimasukan didalamnya. 

8. Persamaan didepan Hukum

Didalam kehidupan demokrasi, atau yang sering disebut dengan negara demokratis, hukum diciptakan oleh

rakyat atau perwakilan dari rakyat agar terjadi ketertiban, dan keamanan dalam kehidupan bernegara. Oleh

karena itu hukum harus dipatuhi oleh setiap warganegara. Dalam hal ini, siapapun dia, atas keinginan rakyat

agar hidupnya menjadi tertib, aman, nyaman, hukum harus menjadi sesuatu yang paling tinggi dalam

masyarakat/warga negara dan tiada perbedaan dalam penegakkan hukum. Dalam kacamata indonesia saat ini,

kita masih menemukan banyak sekali perbedaan pelayanan hukum dikehidupan sehari-hari. Seperti contoh

“pada kasus pencurian 3 bibit kakao atau coklat yang berujung pada vonis 3 bulan penjara, sedangkan banyak

para koruptor seperti Arthalita dan Aulia Pohan, yang di vonis ringan padahal dia mencuri uang rakyat

bermilyar-milyar”. (okezone.com) 

Di Indonesia, uang memang masih sangat vokal untuk menyuarakan keputusan ataupun sesuatu. Banyak

sekali contoh yang tidak mengenakkan terkait penegakkan hukum di Indonesia. Terlebih yang sedang gencar-

gencarnya dibicarakan sekarang yaitu markus yang sedang diburu oleh polisi, yang memang sangat

menyengsarakan dan memalukan proses penegakkan hukum di Indonesia.

9. Proses Hukum yang Wajar

Dalam kehidupan yang demokratis, proses hukum haruslah sewajar dan menjunjung tinggi nilai-nilai

manusiawi. Maksudnya dalam penyelidikan dan penyidikan sampai dengan selesai suatu perkara, si tersangka

harus diperlakukan secara manusiawi, berlandaskan kepada kemanusiaan. Seperti adanya asas-asas, contoh

ada asas praduga tak bersalah, dan lain-lain. Dalam proses hukum juga tidak boleh membeda-bedakan

background seseorang, apakah dia tukang becak atau presiden tetapi ketika dalam proses hukum, status dia

adalah seorang tersangka/terdakwa.

Banyak sekali catatan buruk negeri kita terkait dengan cara polisi memecahkan suatu kasus. Seperti contoh

banyak sekali kekerasan dalam penyelidikan yang membuat si tersangka merasa tidak tahan dengan siksaan

yang diberikan oleh oknum polisi tersebut. Tentu ini menjadi catatan buruk bagi bangsa Indonesia ini dalam hal

penerapan proses hukum yang wajar dan demokratis, sehingga akan mencoreng martabat para penegak

hukum.

Page 12: KETAHANAN NASIONAL

10. Pemilihan yang Bebas dan Jujur

Pemilihan umum adalah salah satu tiang dalam mencapai suatu pemerintahan rakyat atau demokrasi.

Apabila dalam pelaksanaannya terdapat kecurangan-kecurangan, tentu itu akan berdampak negatif terhadap

jalannya demokrasi tersebut. Seperti sabotase suara, dan lain-lain. Pentingnya menjaga agar pemilihan umum

itu berjalan dengan bebas dan jujur dalam artian tidak ada intervensi dari pihak partai untuk memaksa

seseorang yang akan memilih, karena ketika pemilihan sudah tidak independen, maka pemilihan tersebut

sudah sangat kisruh dan tidak akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas.

11. Pluralisme Sosial, Ekonomi, dan Politik

Pluralisme berasal dari kata plural, yang artinya beragam/banyak. Dalam kehidupan demokrasi, berlandaskan

pada hak asasi manusia, diwajarkan masyarakatnya sangat beranekaragam, baik itu dalam sosial budaya,

ekonomi dan politik. Maka dari itu tidak boleh ada diskriminasi baik itu dalam pemerintahan, maupun dalam

kehidupan bermasyarakat terhadap keberagaman tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia,

nilai-nilai pluralisme ini sudah bisa dirasakan dan masyarakat pun sudah mengerti dan toleran terhadap

perbedaan yang ada.

Terbukti dahulu pada zaman sukarno, dimana para etnis china dilarang hidup di bumi pertiwi ini, karena

adanya PP no 23 tahun 1964 mengenai larangan etnis China yang bertempat tinggal di Indonesia

(www.kapanlagi.co.id). Padahal mereka juga adalah manusia yang mempunyai hak hidup yang sama. Tetapi

pada masa Gusdur, PP tersebut di cabut atau tidak diberlakukan kembali, untuk menghormati hak asasi

manusia.

2.2 Penegakkan demokrasi di Indonesia

Apabila kita melihat kepada pembahasan diatas, sangat jelas bahwa Indonesia belum secara penuh

mengamalkan soko guru yang diatas. Dengan banyaknya pelanggaran dan belum ditegakkannya secara penuh

apa yang menjadi pilar demokrasi tersebut, maka belum pantas jika indonesia disebut sebagai negara

demokratis, mungkin akan lebih pantas apabila Indonesia disebut sebagai negara yang berjuang menjadi

negara yang demokratis.

Memang apabila kita lihat bahwa sampai saat ini belum ada satu negara pun yang benar-benar menerapkan

demokrasi dalam kehidupannya, mereka yang kita anggap sudah demokratis pun apabila kita tinjau dan telaah

kembali, ternyata hanya sedikit ataupun hanya mendekati negara yang demokratis, sungguh berat memang

suatu konsep negara demokrasi itu, menginginkan suatu konsep yang benar-benar baik untuk diterapkan

berarti menginginkan suatu yang harus secara benar untuk diperjuangkan.

Page 13: KETAHANAN NASIONAL

BAB IPENDAHULUAN

 A. Latar Belakang

Negara Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 hingga saat ini (Mei 2010) masih termasuk dalam Negara Dunia Ketiga. Istilah Dunia Ketiga dimaksudkan sebagai sebutan untuk kelompok negara – negara yang terbelakang. Istilah ini mulai populer sejak tahun 1960-an sebagai hasil rumusan dalam berbagai pertemuan Politik Internasional seperti Konferensi Bandung (1955) dan Konferensi Belgrado (1961). Dunia pada saat itu dilihat dari pola kemajuannya yang ditandai dengan klasifikasi tiga kelompok negara yaitu : Dunia Pertama (Dunia Bebas atau Blok Antlantik meliputi Eropa Non Komunis dan Amerika Utara), Dunia Kedua (meliputi negara– negara Eropa Timur dan Blok Uni Sovyet), dan Dunia Ketiga (meliputi Asia, Afrika dan Amerika Latin). Dunia Pertama dan Kedua bersama–sama berpenduduk 30% dari jumlah penduduk seluruh dunia

Page 14: KETAHANAN NASIONAL

(15 milyard, 2001) dan menghuni 40% daratan dunia seluruhnya (total luas bumi 510.074.600 km2, daratan 148.940.540 km2 atau 30% dan lautan 361.134.060 km2 atau 70%). Selebihnya 60% adalah sejumlah besar negara merdeka yang pada umumnya baru melepaskan diri dari penjajahan (tercatat dalam atlas tahun 1991 jumlah negara dunia 206 negara). Ada beberapa nama tambahan yang diberikan kepada negara–negara yang termasuk Dunia Ketiga (the third world) antara lain, negara terbelakang (backward countries), negara yang belum maju termasuk Indonesia saat ini (under developed countries), negara selatan, dan nama negara–negara miskin (un-developing countries). Umumnya nama yang diberikan memiliki tiga ciri umum yaitu 3K, Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan yang diukur dari indikator GNP per kapita, pendapatan bersih per kapita, jumlah pemakaian energi per kapita, pendapatan bersih per kapita, jumlah pemakaian energi per kepala, tingkat melek huruf, tingkat kematian bayi dan ukuran – ukuran sosial lainnya.Indonesia di masa Orde Lama (Soekarno, 1945 – 1966) lebih banyak konflik politiknya daripada agenda ekonominya yaitu konflik kepentingan antara kaum borjuis, militer, PKI, parpol keagamaan dan kelompok – kelompok nasionalis lainnya. Kondisi ekonomi saat itu sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966.Indonesia sejak tahun 1967, dibawah pemerintahan militer (Soeharto, 1965 - 1998), menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow dalam melakukan pembangunan ekonominya. Dalam teori ini, ada lima tahap pertumbuhan ekonomi yaitu, tahap pertama ‘Masyarakat Tradisional’ (The Traditional Society), tahap kedua ‘Pra Kondisi untuk Tinggal Landas’ (The Preconditions for Take-off), tahap ketiga ‘Tinggal Landas’ (The Take-off), tahap keempat ‘Menuju Kedewasaan’ (The Drive to Maturity) dan tahap kelima ‘Konsumsi Massa Tinggi’ (The Age of High Mass-Consumption). Pembangunan di Indonesia dilaksanakan secara berkala untuk waktu lima tahunan yang dikenal dengan PELITA (Pembangunan Lima Tahunan). PELITA I (1 April 1969 – 31 Maret 1974) memprioritaskan sektor pertanian dan industri, PELITA II (1 April 1974 – 31 Maret 1979) memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan dititikberatkan pada sektor pertanian dan peningkatan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. PELITA III (1 April 1979 – 31 Maret 1984) memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi dalam rangka menyeimbangkan struktur ekonomi Indonesia. PELITA IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989) memperioritaskan pembangunan ekonomi dengan titikberat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri yang menghasilkan mesin – mesin industri berat dan ringan, pembangunan bidang politik, sosbud, pertahanan dan keamanan seimbang dengan pembangunan ekonomi. PELITA V (1 April 1989 – 31 Maret 1999) memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian serta industri yang menghasilkan barang ekspor, menyerap tenaga kerja, pegolahan hasil pertanian dan menghasilkan mesin – mesin industri, meningkatkan pembangunan bidang politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Namun pada tanggal 21 Mei 1998, Indonesia mengalami Krisis Moneter yang membuat Soeharto lengser (runtuhnya rezim Orde Baru). Indonesia belum sempat tinggal landas malah kemudian meninggalkan landasannya

Page 15: KETAHANAN NASIONAL

hingga lupa pijakan ekonominya rapuh dan mudah hancur.Periode Orde Reformasi (1998 – 2007/sekarang) berjalan tak jelas arahnya. Masa tahun 1998 – 2004 adalah masa transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang ditandai dengan silih bergantinya Presiden Republik Indonesia dalam waktu relatif singkat. Dari B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) kemudian Megawati (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004), semuanya belum menunjukkan pembangunan ekonomi yang berarti. Pembangunan ekonominya berjalan terseok – terseok sebagai akibat kebijakan Rezim yang lalu (Orde Baru) yang membuat pijakan/pondasi ekonominya sangat rapuh dan mudah hancur tersebut, disambut dengan gegap gempita euforia politik rakyat Indonesia yang selama masa Orde Baru dikekang kemudian menjadi bebas lepas di masa Orde Reformasi ini. Dalam masa ini, Indonesia masih mencari jati dirinya kembali dengan mencoba menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata sangat mahal biayanya. Praktis, dana pembangunan banyak teralokasikan untuk pembiayaan pesta demokrasi tersebut, mulai dari Pemilihan Presiden (PILPRES, periode 2004 - 2009) langsung oleh rakyat, yang menghasilkan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hingga berbagai Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang masih berlangsung silih berganti hingga saat ini di berbagai daerah di wilayah nusantara ini.

 B. Batasan Masalah dan Tujuan PenulisanProses pembangunan di Indonesia sudah dilakukan selama 64 tahun, namun masih banyak rakyatnya yang miskin, kebodohan masih banyak ditemui terutama di wilayah pedesaan, pengangguran dimana–mana, nilai rupiah terhadap dolar terpuruk, dan sebagainya. Sebenarnya apa yang salah dalam proses pembangunan di Indonesia? Mengapa semua itu terjadi? Pertanyaan ini menarik untuk dikaji dan dianalisis. Dan dengan maksud itulah tulisan ini dibuat.

BAB IIPEMBAHASAN

 

A. Ekonomi Politik yang Ideal

Good Governance adalah cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan dan

administrasinya bertanggung jawab pada publik (Meier, 1991:299-300). Dan dalam pemerintahan seperti ini mekanisme pasar merupakan

pertimbangan utama dalam proses pembuatan keputusan mengenai alokasi sumber daya. Dua tipe ideal ekonomi yang diletakkan dalam 2 kutub

berlawanan, yakni:

1.Kutub “Laissez-Faire, cenderung penciptaan “good governance”; 

2.Kutub Dirigisme / Hegemoni, negara intervensi penuh dalam ekonomi. 

Dalam kutub LAISSEZ-FAIRE, negara membiarkan mekanisme dan lembaga-lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dikendalikan

oleh swasta. Dan dalam Dirigisme/hegemoni, negara mengendalikan sepenuhnya mekanisme dan lembaga-lembaga itu. Dua kutub “laissez-faire” –

“hegemoni“ adalah gambaran yang ideal . 

Tidak ada negara yang sepenuhnya bersifat “laissez-faire” ataupun “hegemoni”. Artinya tidak ada negara yang sepenuhnya berlepas tangan,

sebaliknya juga tidak ada yang mampu sepenuhnya mengendalikan segala segi kegiatan ekonomi masyarakatnya. Semua negara bersifat

campuran. Contoh kasus dalam konteks ini, “Debirokratisasi” berarti proses menjauhi kutub “hegemoni” dan mendekati kutub “laissez-faire”. Secara

lebih spesifik kita bisa menunjukkan sifat peran negara itu dengan melihat bekerjanya mekanisme dan lembaga pembuatan dan penerapan

Page 16: KETAHANAN NASIONAL

keputusan ekonomi dalam negara itu. Lebih jelas lihat tabel di bawah ini.

Tabel 1. Dimensi – dimensi Sistem Ekonomi

No. Pertanyaan Kutub

Laisser-Faire Dirigisme

1 Siapa pembuatan keputusan investasi, produksi, dan distribusi?

Desentralisasi (individu) Sentralisasi (negara)

2 Bagaimana transaksi informasi alokasi sumberdaya dan koord. keputusan dilakukan?

Pasar Proses administrasi

3 Siapa berhak memiliki faktor produksi dan menentukan penggunaannya?

Pemilikan Pribadi Pemilikan kolektif

4 Bgmn mekanisme memotivasi individu & prshn? Insentif Ekonomi Komando

5 Bagaimana sifat interaksi aktor-2 ekonomi? Kompetitif Non-kompetitif

6 Bagaimana interaksi ekonomi domestik dengan sistem internasional?

Internasionalis Nasionalis

 B. Analisa Politik Ekonomi IndonesiaDalam rangka menganalisis kondisi ekonomi politik di Indonesia, kondisinya dibagi dalam 3 periode yaitu periode Orde Lama (1945 – 1966), periode Orde Baru (1966–1998), dan periode Reformasi (1998 – 2007). Analisis per periode sebagai berikut:

1. Periode Orde Lama (1945 – 1966)Pandangan strukturalis tentang pembangunan berlaku dari tahun 1940-an hingga awal tahun 1960-an. Pandangan ini berasumsi negara – negara sedang berkembang ditandai oleh kelompok budaya, sosial dan kelembagaan yang menghambat atau mencegah perubahan, sumber daya cenderung mandek (persediaan barang dan jasa tidak elastis). Pandangan ini juga mementingkan kuantitas manajemen dibandingkan harga. Umumnya mengalami kegagalan, kadang – kadang target tercapai namun sering pelaksanaannya buruk dan prestasi yang kurang baik. Bank Dunia memberikan pinjaman pertamanya kepada negara di luar Eropa pada tahun 1948. Saat itu banyak negara yang sedang berkembang sudah sibuk dalam beberapa bentuk perencanaan ekonomi terpusat. Pada tahun 1950-an, gelombang antusiasme mencapai puncaknya dalam rangka perencanaan yang komprehensif. Sedangkan yang terjadi di Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pemimpin yang ada saat itu terdiri dari kaum elit yang berpendidikan Barat dan orang – orang militer yang dilatih Jepang. Secara ekonomi, Belanda masih menguasai perusahaan – perusahaan di sektor perkebunan dan menguasai perdagangan internasional {Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949}. Periode 1945 – 1949 adalah periode Indonesia berjuang untuk status negara merdeka dan diakui oleh dunia yang ditandai dengan pengakuan Belanda di KMB dengan syarat perusahaan Belanda di Indonesia tidak dinasionalisasikan. Demokrasi Terpimpin (1959–1965), Dekrit Presiden 1959 (yang mendapat dukungan dari militer dan PKI) adalah upaya Soekarno menggeser dominasi politisi kelas menengah ke atas dan sekaligus upaya mengembalikan kekuasaan Presiden yang selama ini dipegang Perdana

Page 17: KETAHANAN NASIONAL

Menteri dan DPR. Pada masa ini, Soekarno menguasai penuh birokrasi negara. Pada tahun 1957, perusahaan–perusahaan Belanda dinasionalisasikan, setelah tahun 1959, proses nasionalisasi perusahaan asing makin meluas. Pada tahun 1963, perusahaan–perusahaan Inggris juga diambil alih, milik Amerika Serikat juga diambil alih di tahun 1965. Kondisi ekonomi sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965–1966. Jadi periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya, sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.

2. Periode Orde Baru (1966 – 1998) Pemerintah didukung kuat Militer dan kemudian mencari dukungan dari kelompok borjuasi (elit politik kelas menengah ke atas). Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dukungan dari Barat dan Jepang juga mengalir melalui bantuan/pinjaman. Modal asing mulai masuk sehingga industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde Baru mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Stabilitas politik dilakukan kaum militer dengan membuat “Golongan Karya” (Golkar) yang tidak berkoalisi dengan partai politik yang ada dan memaksa parpol bergabung hingga hanya ada dua yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia.Pada tahun 1970-an, negara Orde Baru Rente terbentuk sehingga negara menduduki posisi investor terbesar, disusul pengusaha non pribumi (Cina) dan pengusaha pribumi di posisi ketiga. Perusahaan negara banyak yang merugi namun pengelolanya bertambah kaya. Pengusaha Cina terus berkembang melalui koneksi dengan pejabat tinggi negara. Pengusaha pribumi berkembang melalui fasilitas negara karena hubungan kekeluargaan dengan petinggi negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang saja. Dampak negatif kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru antara lain, ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas) dan ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri.Akhir 1970-an, proses pembangunan di Indonesia mengalami “non market failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama disebabkan oleh “market failure”. Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi kegagalan pemerintah (lembaga non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme kinerjanya terhadap dinamika pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kemerosotan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal 1980-an. Kebijakan pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan “structural adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut :1. Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan dalam bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan tujuan menurunkan tingkat permintaan agregat. 2. Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan efisiensi dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat pengendalian harga, pajak, subsidi dan

Page 18: KETAHANAN NASIONAL

berbagai hambatan perdagangan, tarif maupun non tarif. 3. Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan tabungan dan investasi. 4. Kebijakan menciptakan lingkungan legal dan institusional yang bisa mendorong agar mekanisme pasar beroperasi efektif termasuk jaminan hak milik dan berbagai tindakan pendukungnya seperti reformasi hukum dan peraturan, aturan main yang menjamin kompetisi bebas dan berbagai program yang memungkinkan lingkungan seperti itu. Pemberlakuan Undang – Undang Hak Cipta dan Hak Milik Intelektual juga merupakan bagian dari berbagai paket di atas (Pangestu, 1989:3-8, dan 1992:196-197; Nelson, 1990:3-5).Reformasi besar – besaran dalam mekanisme kerja administrasi negara Indonesia seperti yang disebutkan di atas, menimbulkan dampak positif terhadap pertumbuhan sektor industri ekspor dan pertumbuhan ekonomi pada umumnya. Dalam ekonomi mikro terjadi penurunan hambatan masuk ke pasar (entry barrier), pelonggaran kendala terhadap kegiatan sektor bisnis dan swastanisasi terbatas yaitu perpindahan pemilikan BUMN dari pemerintah ke swasta. (Nasution, 1991:14-17)

3. Periode Orde Reformasi (1998 – 2007)Tahun 1998 adalah tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di ASIA yang dampaknya sangat terasa di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali lipat penurunan nilai rupiah terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,- sebelum tahun 1998 senilai dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi hanya 100 US$. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah hutang komersial swasta). Pembangunan ekonomi periode Orde Reformasi (1998 – 2004) berjalan tak jelas arahnya. Masa tahun 1998 – 2004 adalah masa transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang ditandai dengan silih bergantinya Presiden RI dalam waktu relatif singkat. Dari B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) kemudian Megawati (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004). Pembangunan ekonominya berjalan terseok – terseok, disambut dengan gegap gempita euforia politik rakyat Indonesia yang selama masa Orde Baru dikekang kemudian menjadi bebas lepas di masa Orde Reformasi ini. Dalam masa ini, Indonesia masih mencari jati dirinya kembali dengan mencoba menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata sangat mahal biayanya. Praktis, dana pembangunan banyak teralokasikan untuk pembiayaan pesta demokrasi tersebut, mulai dari Pemilihan Presiden (PILPRES, periode 2004 - 2009) langsung oleh rakyat, yang menghasilkan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hingga berbagai Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang masih berlangsung silih berganti hingga saat ini di berbagai daerah di wilayah nusantara ini. Kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dan terkendali setelah dua tahun masa

Page 19: KETAHANAN NASIONAL

pemerintahan SBY. Sedikit demi sedikit dana subsidi MIGAS ditarik oleh pemerintah mulai dari Bensin, Solar kemudian Minyak Tanah yang selama ini membebani pemerintah. Pemerintah cenderung menyerahkan harga barang pada mekanisme pasar. Interaksi ekonomi domestiknya berwawasan internasional dan mengikuti sistem ekonomi internasional. Secara ekonomi memang menunjukkan kondisi membaik, namun rakyat Indonesia masih banyak yang miskin, pengangguran belum bisa diatasi pemerintah, nilai rupiah masih sekitar 9.000-an per 1 US$, kemampuan daya beli masyarakat Indonesia masih rendah, korupsi masih tinggi tercatat Indonesia termasuk dalam peringkat kelima negara terkorup di dunia (TEMPO, 20 Oktober 2004), dan sebagainya.Secara politis, kondisi Indonesia memasuki periode Orde Reformasi semakin membaik. Demokrasi bisa berjalan baik, seluruh rakyat Indonesia mendapatkan haknya untuk memilih dan dipilih dengan bebas tanpa tekanan dari siapapun serta dijamin keamanannya di masa reformasi ini. Partai politik tumbuh subur, tercatat sebanyak 42 partai politik peserta pemilu tahun 2004, yang kemudian bertambah lagi dari tahun ke tahun. Setiap warga negara bebas berbicara dan menyampaikan pendapatnya baik melalui media massa maupun aksi – aksi demonstrasi dengan dibingkai aturan hukum yang berlaku. Semua itu tidak didapat di rezim Orde Baru. Proses otonomi daerah (desentralisasi kekuasaan) sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sudah dilaksanakan dengan proses pemilihan kepala daerah melalui PILKADA, praktek nepotisme sedikit demi sedikit berkurang sehingga aktor ekonominya berusaha secara kompetitif. Jadi periode Orde Reformasi lebih kuat transaksi informasi alokasi sumber daya diserahkan pada pasar, aktor ekonominya kompetitif (berusaha menghapuskan nepotisme), desentralisasi, internasionalis, melalui insentif ekonomi dan kepemilikan individu dijamin, sehingga bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “ Dirigisme/hegemoni” dan mendekati kutub “ Laissez-Faire”.

BAB IIIPENUTUP

 A. KesimpulanDari hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :1.Periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya, sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”. 2.Periode Orde Baru yang dipimpin Soeharto lebih kuat peran pemerintah/proses administrasinya, aktor ekonominya nepotisme/non kompetitif, sentralisasi, nasionalismenya, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.3.Periode Orde Reformasi lebih kuat transaksi informasi alokasi sumber daya diserahkan pada pasar, aktor ekonominya kompetitif (berusaha menghapuskan nepotisme), desentralisasi, internasionalis, melalui insentif ekonomi dan kepemilikan individu dijamin bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “ Dirigisme/hegemoni” dan mendekati kutub “ Laissez-Faire”.4.Di masa reformasi inilah harapan bergantung, meskipun masih banyak kekurangan demi

Page 20: KETAHANAN NASIONAL

kekurangan terjadi, namun proses demokrasi sudah berjalan dengan baik. Yang masih menjadi penghambat proses reformasi adalah sisa – sisa kekuatan Orde Baru yang masih memiliki pengaruh baik dalam proses politik maupun dalam bidang ekonomi. Mereka hanya berubah bajunya saja namun gerakan maupun pemikiran – pemikirannya masih sama baik dari kaum borjuis, militer maupun dari kalangan birokrasinya. Salah satu solusi agar proses reformasi di Indonesia berjalan dengan baik adalah mengurangi peran sisa – sisa kekuatan Orde Baru baik di bidang ekonomi maupun politik dengan tidak mengabaikan hak – hak politik mereka. Hal ini bisa terjadi jika Presiden Indonesia atau para Kepala Daerah adalah seorang ”reformis sungguhan” bukan ”reformis gadungan”. Semua pimpinan sekarang dipilih melalui proses demokrasi, artinya alam demokrasi telah dibuka lebar – lebar sehingga pemegang kekuasaan adalah rakyat Indonesia. Mendidik rakyat Indonesia menjadi rakyat yang cerdas berpolitik dan menguasai perekonomian adalah bagian solusi agar proses reformasi berjalan di relnya.