Asuhan Gizi IV Patofisiologi Stres Metabolik Dosen Pengampu: Ahmad Syauqi, S.Gz, MPH dr. Enny Probosari, M.Si.Med Disusun oleh: Daniel Adi Charisma 22030113130136 Daniel Korre 22030113120046 Farah Fauziyah 22030113120028 Gita Ramayani 22030113140118 Monikasari 22030113140100 Nur Rochmah 22030113120068 Nur Shibrina 22030113130084 Rahma Hardianti 22030113120010 Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Asuhan Gizi IVPatofisiologi Stres Metabolik
Dosen Pengampu:
Ahmad Syauqi, S.Gz, MPH
dr. Enny Probosari, M.Si.Med
Disusun oleh:
Daniel Adi Charisma 22030113130136
Daniel Korre 22030113120046
Farah Fauziyah 22030113120028
Gita Ramayani 22030113140118
Monikasari 22030113140100
Nur Rochmah 22030113120068
Nur Shibrina 22030113130084
Rahma Hardianti 22030113120010
Program Studi Ilmu Gizi
Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Semarang
2016
A. Kelaparan dan Stres Metabolik
Gizi kurang dapat dialami seseorang ketika tidak mendapatkan asupan makanan yang
adekuat, pemanfaatan zat gizi yang tidak optimal, atau meningkatnya kebutuhan akan zat
gizi. Kelaparan atau puasa dan stres metabolik sama-sama dapat menyebabkan gizi kurang.
Akan tetapi, ada perbedaan mendasar antara kelaparan atau puasa dengan stres metabolik.
Perbedaan inilah yang akan menentukan pemberian asuhan gizi1.
Dalam kondisi kelaparan atau puasa, tubuh akan berusaha beradaptasi. Adaptasi yang
dilakukan tubuh adalah penurunan laju metabolisme basal dan pemecahan cadangan energi
seperti glikogen dan lemak untuk dipakai sebagai sumber energi. Penurunan laju metabolisme
dimaksudkan untuk menurunkan pengeluaran energi oleh tubuh sehingga keseimbangan
energi negatif tidak terlalu besar. Selain menurunkan laju metabolisme basal, tubuh juga akan
memecah cadangan energi yang ada. Pemecahan cadangan energi yang pertama adalah
glikogen. Apabila kadar glukosa darah terus menurun, maka tubuh akan berganti sumber.
Tubuh akan melakukan lipolisis untuk menghasilkan benda keton yang dapat dimanfaatkan
untuk mencegah terjadinya proteolisis1.
Lantas, apa yang membedakan kondisi kelaparan atau puasa dengan stres metabolik? Pada
orang yang mengalami stres metabolik, pengeluaran energi justru meningkat untuk
memperbaiki jaringan yang rusak dan pemanfaatan zat gizi pun tidak optimal akibat dari
perubahan yang terjadi selama stres metabolik1.
B. Stres metabolik
Stres metabolik adalah suatu kondisi hipermetabolik pada seseorang sebagai respon
pertahanan tubuh akibat adanya luka atau penyakit. Ketika terjadi luka atau penyakit, tubuh
akan merespon melalui tiga mekanisme, yaitu respon kardiovaskuler, respon imunologi, dan
respon metabolik. Ketiga mekanisme ini dimaksudkan untuk menjaga homeostatis di dalam
tubuh. Respon atau dampak yang terjadi pada orang dengan stres metabolik antara lain
pelepasan hormon, sintesis protein fase akut, hipermetabolisme, peningkatan aktivitas
glukoneogenesis, terganggunya keseimbangan cairan, dan penurunan volume urin.
Terkadang, respon yang diberikan tubuh tidak tepat dan memicu sindrom gangguan multi
organ. Adanya sindrom gangguan multi organ akan memperparah kondisi dan meningkatkan
mortaliats. Hal inilah yang menjadi alasan bahwa seseorang dengan gangguan fungsi organ
harus segera ditangani1.
Stres metabolik terdiri dari 3 fase, yaitu fase ebb, fase flow, dan fase pemulihan. Fase ebb
merupakan fase pertama dan dimulai segera setelah terjadi stres (2-48 jam). Periode ini
ditandai dengan penurunan laju metabolisme, penurunan suhu tubuh, terjadinya syok yang
berdampak pada hipovolemia dan hipoksia jaringan. Terjadinya kedua hal ini akan memicu
penurunan luaran jantung dan urine. Oleh karena itu, terapi yang diberikan ditujukan untuk
menghentikan perdarahan, menjaga keseimbangan cairan, dan mempertahankan status
oksigen di jaringan1.
Apabila pasien dapat melewati fase ebb, maka fase flow pun dimulai. Pada fase ini terjadi
peningkatan konsumsi oksigen, hipertemia, peningkatan ekskresi nitrogen, dan peningkatan
aktivitas katabolisme. Respon imun dan hormonal tubuh juga akan berubah sehingga
hipermetabolisme dan reaksi katabolik terjadi. Pelepasan glukagon, kortisol, epinefrin,
neoepinefrin, dan respon imun akan memicu proses glikogenolisis, glukoneogenesis,
mobilisasi asam lemak, dan penurunan sintesis protein. Dalam usaha untuk menaikkan kadar
gula darah, proses glukoneogenesis yang terjadi membutuhkan alanin dan glutamin sebagai
substrat. Penggunaan alanin dan glutamin sebagai bahan baku dapat bermasalah. Alanin
diperoleh dari katabolisme sel otot rangka dan glutamin dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan enterosit dan limfosit T. Tidak hanya itu, sintesis asam amino cenderung
menurun akibat dari pelepasan hormon tersebut. Selain perubahan metabolik, protein fase
akut pada plasma juga meningkat. Hal ini dipicu oleh peningkatan produksi sitokin, IL-1, IL-
6, leukotrien, TNF, dan interferon akibat adanya cedera. Peningkatan produksi sitokin akan
menurunkan nafsu makan, demam, radang, dan kelainan metabolisme yang ada hubungannya
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya1. Oleh karena itu, terapi yang diberikan pada fase
ini lebih ditujukan untuk mengatasi infeksi atau trauma yang terjadi sehingga kondisi
hipermetabolik dapat teratasi. Terapi gizi yang diberikan hanya untuk memenuhi kebutuhan.
Aksis hipotalamus–hifofisis–adrenal (HPA) ikut berperan dalam mekanisme timbulnya
respons metabolik. Mekanisme yang memulai, mengatur, dan mempertahankan respon ini
belum sepenuhnya dipahami. Pasien yang mengalami trauma akan ditemukan hormon kontra
insulin seperti kortisol, glukagon dan katekolamin yang meningkat. Kadar insulin juga
meningkat tapi tidak mampu mengatasi hiperglikemia yang terjadi, selain hormon kontra
insulin yang ada hormon pertumbuhan, aldosteron dan vasopresin juga meningkat.
Mekanisme peningkatan hormon ini diduga sebagian melalui impuls saraf. Impuls dari saraf
aferen akan merangsang sekresi corticotropin releasing factor (CRF) dan vasoactive intestinal
peptide (VIP) yang akan merangsang hipofisis mengeluarkan prolaktin, vasopressin, hormon
pertumbuhan dan propoiomelanocortin yang akan diubah menjadi adrenocorticotropic
hormone (ACTH).
Kadar vasopresin akan meningkat pada berbagai kondisi stres seperti tindakan pembedahan,
pneumonia, infark miokard dengan atau tanpa gagal jantung dan terapi elektrokonversi.
Setelah tindakan pembedahan vasopresin akan meningkat dan menetap sampai beberapa hari
kemudian, lama dan kadar dalam darah sesuai dengan beratnya tindakan pembedahan.
Corticotropin releasing factor bekerja sinergistik dengan vasopresin merangsang sekresi
propiomelanocortin kelenjar hipofisis. Propiomelanocortin kemudian dimetabolisme menjadi
ACTH dan b-endorphin, yang menandakan ada hubungan antara opiod endogen dengan
HPA aksis. Selain itu ACTH juga merangsang kelenjar adrenal mengeluarkan katekolamin
dan enkefalin.
Peran prolaktin dalam stres tidaklah begitu jelas. Sekresinya diduga melalui rangsangan VIP.
Hormon lain seperti thyroid stimulating hormon (TSH), follicle stimulating hormon (FSH)
dan luteinizing hormone (LH) tidaklah terpengaruh akan tetapi LH dan FSH biasanya
menurun pada hari pertama operasi.
1. Katekolamin
Kadar katekolamin baik itu norepinefrin, epinefrin maupun dopamin meningkat pada
berbagai keadaan stres antara lain kecemasan, hipotensi, hipotermia, hiperkarbia dan
trauma. Katekolamin yang beredar bisa berupa kadar bebas atau terikat dalam bentuk
konjugasi sulfat yang mencapai 60-90% dari total katekolamin. Pada sakit kritis
proporsi antara kadar bebas terhadap kadar total tetap.
Epinefrin dilepas ke dalam sirkulasi dari kelenjar adrenal akibat rangsangan saraf
simpatis sedangkan norepinefrin masuk ke dalam plasma setelah lepas dari ujung
saraf simpatis. Sistem saraf simpatis diatur oleh hipotalamus yang juga mengatur
aksis HPA sehingga terjadi juga pelepasan CRF yang mengatur pelepasan hormon.
Kenaikan kadar epinefrin dan norepinefrin tidaklah selalu sebanding. Pada trauma
berat kadar epinefrin plasma meningkat hanya sampai 48 jam pertama sedangkan
norepinefrin bertahan sampai 8–10 hari. Tergantung juga pada lokasi pembedahan,
pada operasi abdomen dan jantung kedua katekolamin meningkat sebanding tetapi
operasi pelvis yang meningkat hanya epinefrin. Kadar plasma epinefrin
mencerminkan intensitas rangsangan pada korteks adrenal sedangkan kadar plasma
elemen seluler terutama leukosit ke lokasi infeksi. Kompleks interaksi endotel-
leukosit merupakan prekursor penting untuk mempertahankan respon inflamasi yang
diatur oleh urutan waktu pada ekspresi molekuler.
3. Leukosit-endotel adhesi dan migrasi
Marginasi leukosit awal dan yang berjalan sepanjang dinding endotel diatur oleh
glikoprotein yang dikenal sebagai selectins pada kedua permukaan endotel (P- dan E-
selectins) dan leukosit (L-selectin). Proses ini dipicu oleh berbagai mediator
proinflamasi termasuk TNF-α, interleukin 1 (IL-1), histamin, komplemen, leukotrien
dan radikal bebas. Kekuatan adhesi leukosit-endotel diikuti dengan transmigrasi
leukosit keluar dari pembuluh darah ke jaringan yang berada dibawahnya (dinding
pos-kapiler venula). Migrasi ini juga didukung oleh karena permeabilitas pembuluh
darah yang meningkat dan edema lokal.
4. Respon Endotel dan Jaringan Lokal
Sitokin pro-inflamasi dan neutrofil yang disekresikan ke dalam endotel pembuluh
darah akan menginduksi apoptosis (kematian sel terprogram) dalam sel-sel endotel,
aktivasi neutrofil menyebabkan kerusakan oleh kaskade kejadian yang mengarah pada
pembentukan radikal bebas oksigen O2 dan OH dalam sel endotel. Sehingga dari
interaksi endotel-leukosit menghasilkan cidera jaringan yang terjadi pada tingkat sel
endotel maupun jaringan bawahnya.
Pada sepsis, respon inflamasi mengalami istirahat dari anti-inflamasi sehingga dapat
meluas dan menyebabkan kerusakan sistemik.
5. Nitrat oksida dan efek potensial terhadap respirasi sel pada sepsis
NO dihasilkan dari L-arginin oleh aksi sitase nitrogen oksida enzim (NOS). Ada tiga
isoform dari NOS, yaitu : e NOS ditemukan di endothelium, n NOS ditemukan di
neuron, i NOS ditemukan di beberapa lokasi seperti makrofag, otot polos dan
endotelium. e NOS dan n NOS adalah enzim konstitutif yang dikelompokkan di
dalam c NOS. Sebaliknya, i NOS diinduksi oleh beberapa rangsangan yang
berhubungan dengan peradangan da jumlah i NOS yang dihasilkan jauh lebih besar
dari c NOS.
NO berfungsi mengatur respirasi sel dengan bertindak pada oksidase sitokrom C
mitokondria (kompleks IV) untuk mengurangi penggunaan oksigen.
Dalam sepsis rangsangan pro-inflamasi menyebabkan induksi i NOS selama beberapa
jam, sehingga menyebabkan produksi NO yang berlebihan. Dalam hal ini, ada O2
yang cukup untuk menggantikan NO dari kompleks IV. Akibatnya, rantai pernafasan
menjadi berkurang. O2 akan bereaksi dnegan NO bebas untuk membentuk anion
peroxynitrite (ONOO). ONOO menyebabkan kerusakan permanen pada kompleks I
dan III, sehingga menyebabkan inisiasi terjadinya apoptosis, yang dibuktikan dengan
adalanya disfungsi mitokondria di sejumlah jaringan selama sepsis, termasuk monosit,
mukosa usus, hati dan otot rangka. Tingkat disfungsi sesuai dengan tingkat keparahan
dari sepsis.
Multiorgan Distress Syndrome (MODS) yang sering disebut juga sebagai kegagalan organ
multisistem. Istilah lain yang sering digunakan adalah kondisi dari komplikasi sepsis dan
SIRS. MODS/MOSF termasuk disfungsi jantung, pernapasan dan sistem ginjal.
Kondisi patologis sepsis berat atau syok sepsis dapat mempengaruhi setiap komponen sel
mikro sirkulasi, termasuk sel endotel, sel otot polos, lekosit, eritrosit dan jaringan. Mikro
sirkulasi menentukan ketersediaan oksigen untuk setiap sel dan jarigan, yang menjamin organ
dapat berfungsi dengan baik, jika tidak ditangani dengn baik dapat menyebabkan distress
respirasi pada jaringan dan sel, yang lebih lanjut akan menyebabkan disfungsi sirkulasi
makro dan akan menyebabkan kegagalan organ dan kegagalan multi organ.
Selain mengganggu konsumsi oksigen pada tingkat sel atau mitokondria, sepsis juga dikaitka
dengan gangguan beberapa organ, seperti :
A. Kardiovaskuler
Pada sistem kardiovaskuler sepsis dikaitkan dengan gangguan bruto fungsi
kardiovaskuler, seperti :
- Penurunan kontrol vasomotor
Pada sepsis terjadi vasodilatasi dan kehilangan reaktifitas katekolamin yang
berkaitan dengan gangguan dalam regulasi NO. NO memainkan peran penting
dalam regulasi vasomotor endotelium dan hemodinamik, maka dalam kondisi
fisiologis normal terjadi sintesis basal dan pelepasan NO oleh sel endotel.
Selanjutnya NO akan berdifusi ke sel-sel otot halus dan mengaktifkan enzim
guanylate cyclase yang menyebabkan peningkatan guanosin 3’, 5’-monofosfat
siklik (c GMP). Selama keadaan sepsis produksi NO yang berlebihan
menyebabkan vasodilatasi sistemik yang luas, yang dapat mengurangi suplai
oksigen ke jaringan.
- Disfungsi jantung
Terjadi disfungsi miokard yaitu penurunan tingkat kontraksi jantung dan relaksasi
sebagai respon terhadap sepsis. Hal ini berhubungan dengan absorbsi dan release
Ca2+ dari retikulum sarkoplasma melalui saluran Ca2+ di sarcolemma atau reseptor
ryanodine. Penurunan jumlah reseptor dalam fase hipodinamik dari sepsis
menyebabkan berkurangnya release Ca2+ dari retikulum sarkoplasma, sehingga
terjadi pembatasan interaksi dengan protein kontaktil miokard selama fase sistol,
sedangkan penurunan tingkat reuptake Ca2+ ke retikulum sarkoplasma akan
menyebabkan penundaan timbulnya fase relaksasi diastole. Mekanisme yang
mendasari pengurangan jumlah aliran Ca2+ berhubungan dengan mediator TNF-α
dan NO.
B. Hematologis
Keadaan sepsis menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (KID) akut dengan
penurunan trombosit < 100.000/mm3, waktu untuk pemebkuan darah memanjang dan
hipofibrinogenaemia yang mengarah ke komplikasi perdarahan dan trombotik.
Mikrovaskuler trombosis dapat meluas, karena terjadi penurunan sistem koagulan
(antithrombin III dan thrombomodulin). Pemeberian protein C teraktivasi telah
terbukti mengurangi angka kematian pada beberapa pasien sepsis dan sedang menjani
uji klinis lebih lanjut.
C. Hati
Disfungsi hati ditandai dengan hepatomegali dan hiperbilirubinemia serta kenaikan
enzim hati ringan hal tersebut merupakan tanda umum pada sepsis. Kerusakan hati
terjadi jika aliran darah ke hati tidak mencukupi untuk kebutuhan oksigen yang
meningkat pada jaringan regional atau disfungsi hati tidak flow-dependent.
D. Paru-paru
Cidera paru akut atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang terjadi
dalam 60-70% pasien sepsis. Disfungsi endotel disebabkan oleh infiltrasi neutrofil
pada paru-paru merupakan proses utama yang mengarah ke peningkatan protein dan
ekstravasasi cairan ke dalam interstitium paru-paru dan ruang alveolar. Gejala sisa
termasuk rusaknya alveolar, shunting paru, hipoksemia, penurunan kapasitas residu
fungsional dan peningkatan kerja pernafasan. Peningkatan IL-8 diproduksi oleh
makrofag alveolar berhubungan dengan cidera paru-paru pada pasien sepsis.
E. Renal
Ginjal hiperfusi pada sepsis terutama disebabkan oleh vasodilatasi sistemil dan
hipovolemik relatif. Faktor neurohumeral lain termasuk endotelin, A2 tromboksan dan
masuknya bahan seluler (misalnya neutrofil dan faktor koagulasi) juga penting dan
mengakibatkan berbagai tingkat gangguan ginjal. Peningkatan kreatinin >0,3 mg/dl
dari nilai sebelumnya atau peningkatan >50%, serta oliguri <0,5 cc/kgbb/jam lebih
dari 6 jam menandakan gangguan gagal ginjal akut.
F. Sistem saraf pusat, ensenfelopati sepsis
Jika sumber infeksi di luar central nervous system (CNS), maka gangguan neurologik
yang terjadi dianggap sebagai ensefelopati septik. Beberapa kondisi lainnya dapat
menambah efek sekunder seperti hipoksemia, gangguan metabolik dan elektrolit, serta
hipertensi serebral keadaan syok. Gejala dapat bervariasi mulai dari agitas,
confussion, delirium, dan koma.
G. Traktus Gastrointestinal
Dapat terjadi iskemia splanchnis dan asidosis intramukosa selama sepsis. Tanda klinis
mencakup perubahan fungsi otot alus dan terjadinya diare. Pendarahan GIT
dikarenakan adanya stress ulcer yang juga merupakan manifestasi dari sepsis.
Monitoring pH intramukosa lambung yang digunakan untuk mengenali dan
merupakan petunjuk dari resusitasi. Peningkatan paCO2 intramural merupakan tanda
adanya iskemia jaringan dan asidosis mukosa.
Tingkat mortalitas kasus sepsis adalah 16%, dan meningkat menjadi 20% pada sepsis berat dan
46% pada kasus septik syok. Tingkat kematian pada anak-anak kurang dari 10%, namun
meningkat hampir empat kali (38,4%) pada kelompok usia ≥ 85tahun, dan laki-laki sedikit lebih
tinggi (29,3%) dibandingkan dengan perempuan (27,9%).
Lebih dari 750.00 kasus sepsis teridentifikasi pada tahun 2008. Di negara Durthaler bahwa
sepsos menyumbang lebih banyak kematian dibandingkan dengan kanker payudara, AIDS,
dan gagal jantung kongestif.
Dari seluruh kasus yang terjadi bakteri memegang presentasi terbanyak penyebab sepsis,
dengan bakteri jenis gram-positif sebanyak 30-50%, bakteri gram-negatif sebanyak 25-30%,
polimikroba sebanyak 11-19%, serta 1-4 % adalah jamur, virus dan parasit.
Tanda-tanda utama awal sepsis meliputi peningkatan jumlah sel darah putih (>12.000 mm3),
peningkatan denyut jantung (>90 denyut jantung per menit) dan respirasi (>20 napas/menit),
dan demam (>380c) atau hipotermia (<360c). C-reactive protein, fibrinogen, melengkapi
protein, dan protein fase akut lainnya yang berhubungan. Nilai laboratorium lain yang juga
merupakan maniestasi klinis adalah adanya peningkatan serum laktat dan serum glukosa.
Pengobatan sepsis akan berpusat pada pengobatan sumber infeksi atau trauma dan
mendukung pasien dengan ventilasi paru-paru, dengan konsumsi antibiotik, dengan
hemodinamik dan penyakit ginjal. Terapi metabolisme intensif insulin,agen antimikroba,
koagulasi-modulasi obat (seperti vitamin C (drotrecogin alfa diaktifkan)) dan dukungan
semua nutrisi yang masuk dalam protokol medis dan mewakili langkah-langkah penting
dalam pengobatan yang efektif dari sepsis.
Terapi gizi untuk sepsis
Dukungan nutrisi merupakan langkah penting dalam pengobatan dan perubahan kondisi dari
sepsis. Memenuhi kebutuhan asupan pasien dengan sakit kritis terdapat banyak tantangan
seperti terjadi kelainan metabolisme, susah memperkirakan atau mengukur kebutuhan zat
gizi, pembatasan cairan, dan adanya multi-disfungsi organ.
D. Luka Bakar
Luka bakar merupakan luka yang terjadi pada jaringan kulit, otot, maupun tulang akibat
paparan panas, bahan kimia, radiasi, atau listrik. Tulang, otot, pembuluh darah, lapisan
dermal, dan epidermal dapat mengalami kerusakan akibat luka bakar dan nyeri akibat cedera
pada saraf. Apabila tidak ditangani segera, luka bakar akan menimbulkan berbagai
komplikasi seperti syok, infeksi, ketidakseimbangan elektrolit, dan kegagalan nafas
tergantung pada lokasi luka bakar, luas area, dan kedalaman luka. Usia, status gizi, dan faktor
komorbiditas lainnya mempengaruhi respon fisiologi terhadap luka, perawatan, dan
pemulihan. Berikut merupakan karakteristik luka bakar berdasarkan kedalaman luka.
Klasifikasi Penyebab Karakteristik
Penampakan Sensasi Waktu Bekas Luka
Sembuh
Superfisial Sinar ultraviolet,
paparan api
Kering dan memerah
atau memutih jika
ditekan
Nyeri 3-6 hari Tidak ada
Superficial
partial-
thickness
Air panas (tumpa-
han atau percikan),
paparan api
Melepuh, lunak,
berair, dan memerah
atau memutih jika
ditekan
Nyeri
karena
udara dan
suhu
7-20 hari Terkadang;
berpotensi
menimbulkan
perubahan
pigmen
Deep
partial-
thickness
Air panas (tum-
pahan), paparan api,
minyak, pelumas
Melepuh, mudah
terkelupas; basah atau
lembab; warna
bervariasi (belang,
putih, merah); tidak
memutih jika ditekan
Hanya
peka
terhadap
tekanan
>21 hari Beresiko tinggi
(hipertropik)
akan
contracture
Full-
thickness
burn
Air panas (teren-
dam), api, uap,
minyak, pelumas,
bahan kimia, listrik
bervoltase tinggi
Putih hingga keabu-
abuan hingga hangus
dan hitam; kering dan
inelastis; tidak
memutih jika ditekan
Hanya
peka
terhadap
tekanan
yang kuat
Permanen
(jika area
luka bakar
>2% total
area tubuh)
Selain komplikasi klinis, luka bakar juga dapat menyebabkan gangguan psikologis dan emosi
akibat dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama, bekas luka, dan kecacatan yang
terjadi1.
Etiologi luka bakar yang paling sering adalah paparan langsung dari sumber panas seperti
terbakar api dan terkena air panas1. Selain itu, luka bakar dapat terjadi karena paparan bahan
kimia dan sengatan listrik. Pada sengatan listrik, kerusakan pada jaringan tubuh terjadi ketika
aliran listrik menjalar melalui jaringan dan tulang. Tingkat keparahan dari luka bakar
bergantung pada jumlah volt listrik, lokasi kontak di tubuh, dan lama waktu sengatan listrik
berlangsung. Sedangkan luka bakar akibat paparan zat kimia terjadi ketika tubuh terpapar
langsung oleh cairan asam atau alkali2.
Usia dari seseorang juga terkadang menentukan penyebab dari luka bakar yang dialami. Pada
usia anak-anak, 70% luka bakar terjadi akibat sikap hiperaktif dan kontak dengan air panas.
Pada usia remaja dan dewasa muda, penyebab utama luka bakar ialah kecerobohan saat
menangani api dan cairan yang mudah terbakar. Sedangkan pada usia dewasa, luka bakar
akibat api menempati urutan pertama dengan 1/3 kejadian tersebut terjadi di tempat kerja.
Ada metode untuk menentukan besarnya area tubuh yang terkena luka bakar. Metode ini
disebut Rules of "Nines". Pada metode ini, tubuh dibagi dalam proporsi 9 atau turunan dari 9.
Perkiraan luas area yang terbakar membantu assesment dari tingkat keparahan luka, dan
membantu memperkirakan cairan yang dibutuhkan dan obat-obatan yang diperlukan.
Perubahan lokal pada area luka bakar dibagi manjadi 3 zona oleh Jackson. Zona koagulasi
pada bagian sentral luka atau jaringan yang paling lemah/rusak. Bagian paling luar atau
paling perifer disebut zona hiperemia. Zona hiperemia memiliki karakteristik yaitu adanya
vasodilatasi, serta terjadi tanda-tanda inflamasi namun tidak terjadi perubahan struktur.
Diantara zona koagulasi dan zona
hyperemia terdapat zona stasis. Zona
stasis merupakan zona yang mengalami
luka dermal sedang hingga luka dermal
dalam. Pada zona ini terjadi vaskular
stasis dan iskemia. Jaringan pada zona
ini memiliki potensi untuk sembuh,
namun dapat berubah menjadi lesi yang
lebih tebal. Progresi luka bakar diduga
terjadi akibat kegiatan apoptosis pada zona stasis.
Paparan panas dengan suhu lebih besar dari 40 derajat menyebabkan denaturasi protein pada
kulit yang menyebabkan hilangnya integritas membran plasma. Proses ini terjadi secara cepat
Gambar 1. The rules of nine
Gambar 2. Zona Jackson
dan hanya membutuhkan beberapa detik jika terpapar suhu lebih tinggi dari 60 derajat.
Mediator lokal yang dilepaskan adalah histamin, serotonin, bradykinin, nitrit oksida, oxygen-
free radicals, prostaglandin, tromboksan, TNF, dan interleukin. Histamin merupakan
mediator yang paling berperan untuk meningkatkan permeabilitas mikrovaskular pada fase
awal luka bakar terjadi. Histamin menyebabkan pembesaran celah endotelial sementara.
Perubahan patofisiologi setelah luka bakar mempengaruhi berbagai organ dan sistem tubuh
yang dapat menyebabkan syok, gangguan pencernaan, pernafasan, gagal ginjal, dan
imunosupresi. Sebagian besar luka bakar terkait dengan hipermetabolisme ekstrim dan
katabolisme yang terjadi ketika sadar dari fase syok luka bakar.
Sistem pencernaan akan terganggu oleh influks neutrofil dan pembengkakan pada lamina
propia (hari pertama setelah luka bakar), peningkatan myeloperoksidase usus (hari ketiga
setelah luka bakar), penurunan proliferasi sel epitel, migrasi dan ekspresi Ecadherin (hari
ketiga setelah luka bakar), peningkatan translokasi bakteri Efaecalis (hari ketiga setelah luka
bakar), apoptosis masif, dan nekrosis moderat/sedang. Kondisi-kondisi ini disebabkan oleh
dua hal utama, yaitu peningkatan stres oksidatif akibat hipoperfusi maupun perfusi yang
terlambat dan peningkatan produksi TNF-alpha yang diinduksi oleh makrofag yang diinduksi
oleh gamma delta sel T setelah terjadinya luka bakar. Iskemia yang terjadi memicu stres
oksidatif kepada produksi mediator molekular yang menyebabkan nekrosis dan apoptosis
jaringan. Mediator molekular yang diproduksi mencakup mukosal atau turunan makrofag
berupa monosit radikal oksigen sintase (ROS) dan NO sintase (NOS) yang mendorong
produksi H2O2 dan NO yang bersifat racun bagi enterosit.
Luka bakar juga mempengaruhi sistem imun seseorang. Pasien luka bakar parah mengalami
deplesi sel T dan sebagian menyebabkan terganggunya respon imun normal terhadap antigen
tertentu (anergy). Leptin menunjukan efek protektif terhadap apoptosis. NO, selain bertindak
sebagai imunoregulator dan proinflamator, juga memiliki efek cytostatic, apoptotic dan
nektrotik pada sel T aktif. Supresi imun awal (hari ketiga setelah luka bakar) menstimulasi
hiperrespons dari CD8(+) sel T. Heat shock proteins (HPs) melindungi sel dari berbagai stres
yang terjadi. Sebagian besar luka bakar menyebabkan peningkatan ekspresi HSPs di neutrofil
bersamaan dengan peningkatan aktivitas oksidatif dan penurunan apoptosis.
Pada pasien luka bakar, otot rangka akan melemah. Pasien dengan luka bakar yang parah
(TBSA >30%) memiliki tonus otot yang lemah hingga beberapa tahun setelah trauma.
Perubahan morfologis pada otot akibat luka bakar yang terjadi mencakup kerusakan
mitokondrial dan akumulasi lipid intraselular.
Sistem endokrin tubuh juga mengalami gangguan. Peningkatan hormon stres yang bersifat
proinflamasi seperti kortisol, glukokortikoid dan katekolamin lain yang diproduksi oleh
medula dan korteks adrenal. Hormon-hormon tersebut memiliki efek katabolik, namun
intensitasnya bergantung pada luas TBSA yang dialami2.
Pada pasien dengan luka bakar yang parah, hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan
fisik. Kontributor utama bagi hepatomegali yang terjadi adalah timbunan droplet besar lemak
intrahepatositik dalam hepatosit dan adanya kolestasis. Setelah kejadian luka bakar, terjadi
depresi kardiak output. Terjadi hipovolemia, berkurangnya volume plasme, dan berkurangnya
darah yang kembali melalui vena kemudian berpengaruh terhadap kardiak output. Meskipun
volume plasma telah meningkat dan terkanan arterial serta output urin telah normal,
penurunan jumlah kardiak output tetap ada. Ketika luka bakar, cardiomyocytes memproduksi
TNF-alpha, IL-1beta dan IL-6, yang kemudian sitokin-sitokin tersebut berpengaruh terhadap
disfungsi kardiak. Sebagian besar luka bakar juga mengganggu fluks ion kalsium diantara
retikulum sarkoplasma dan sitoplasma. Endotoksin dan lipopolisakarida menginduksi
terjadinya apoptosis yang dapat menyebabkan disfungsi kardiak 2.
Dalam 24 jam setelah luka bakar yang parah, hampir seluruh pasien mengalami oedema.
Terjadi oedema paru-paru akan mengganggu pertukaran gas dan mengurangi keleluasaan
bernafas. Disamping vasokonstriksi pada mikrosirkulasi, oedema pada paru-paru juga terjadi
akibat hipoproteinemia. Selain menyebabkan penurunan tekanan onkotik, hipoproteinemia
juga mengganggu matriks intestinal sehingga terjadi perpindahan cairan ke kapiler
endotelium dan menyebabkan intestinal oedema2.
E. Operasi
Operasi merupakan suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mendiagnosis dan
memperbaiki organ atau jaringan, sehingga operasi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat
keseriusannya, kebutuhan, ataupun tujuannya.
Berdasarkan tingkat keseriusannya, operasi dibedakan menjadi operasi mayor dan minor.
Operasi mayor bersifat selektif dan untuk kebutuhan mendesak dan darurat. Operasi ini
dilakukan pada area kepala, leher, dada dan perut (abdomen). Biasanya, operasi mayor
membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan pasien dapat rawat inap untuk perawatan
intensif. Selain waktu yang lama, operasi mayor memiliki risiko tinggi untuk terjadi
komplikasi setelah dilakukan tindakan. Pada anak-anak, yang termasuk operasi major yaitu
operasi tumor otak, mengkoreksi malformasi tulang tengkorak dan wajah, transplantasi
organ, memperbaiki cacat usus, operasi kelainan tulang belakang dan pengobatan cedera
serius. Operasi minor adalah operasi yang secara umum bersifat selektif. Waktu pemulihan
hasil operasi cenderung pendek dan dapat kembali beraktivitas seperti biasa dengan cepat.
Operasi ini paling sering dilakukan pada pasien rawat jalan dan dapat pulang pada hari yang
sama. Komplikasi dari jenis operasi ini jarang terjadi. Contohnya operasi minor antara lain
pencabutan gigi, pengangkatan kutil, dan mengkoreksi patah tulang1.
Berdasarkan kebutuhan, operasi dibedakan menjadi operasi elektif (pilihan) dan darurat.
Operasi elektif tidak berarti operasi opsional, melainkan suatu prosedur yang direncanakan
terlebih dahulu. Contoh operasi elektif seperti penghapusan tanda lahir dan melakukan fusi
tulang belakang untuk memperbaiki kelengkungan parah tulang belakang. Operasi mendesak
atau darurat dilakukan pada kebutuhan medis yang mendesak, seperti mengkoreksi cacat
jantung bawaan yang mengancam jiwa atau perbaikan organ internal cedera setelah
kecelakaan mobil1.
Umumnya, tindakan operasi tidak menimbulkan permasalahan gizi yang signifikan dengan
orang berstatus gizi normal. Pada orang dengan malnutrisi, tindakan operasi akan
menimbulkan proses metabolisme yang berbeda dan dapat memperparah status gizi pasien.
Selain status gizi sebelum operasi, usia juga dapat berdampak pada status gizi pasca operasi.
Malnutrisi dapat meningkatkan risiko komplikasi umum pasca operasi, termasuk wound
dehisence (pembukaan luka setelah penutupan dengan jahitan) dan infeksi. Jika pasien
berstatus gizi buruk sebelum operasi, maka akan berisiko lebih besar untuk menderita
pneumonia atau infeksi luka lainnya yang disertai demam sebagai akibat dari sintesis protein
yang menurun. Hal ini dikarenakan kebutuhan energi tubuh akan dipenuhi
dari sumber endogen jika sumber eksogen tidak tersedia atau tidak memadai. Salah satu
sumber endogen yang dipakai adalah protein dari otot. Apabila protein otot terus dipakai,
maka protein otot interkostal, contohnya, dapat habis dan mengakibatkan pneumonia. Tidak
hanya itu, asam amino yang ada tidak memadai untuk mensintesis antibodi yang mengarah
pada gangguan respon imun pada infeksi akibat dari penggunaan asam amino yang tinggi
untuk glukoneogenesis. Oleh sebab itu, perlu dilakukan skrining dan uji prognostik untuk
mengidentifikasi pasien yang paling mungkin mengalami risiko gizi. Perubahan pra operasi
seperti berat badan, albumin, dan C-reactive protein dapat diukur untuk memprediksi hasil
operasi. National VA Surgical Risk Study, mengevaluasi hubungan banyak karakteristik
komplikasi dan angka kematian pada lebih dari 50.000 pasien. Hasil evaluasi menunjukan
bahwa albumin pra-operasi merupakan prediktor lebih baik untuk memperkirakan komplikasi
dan kematian daripada karakteristik lain seperti usia, merokok, dan nilai-nilai laboratorium
lainnya1.
Pasien diminta untuk puasa makan atau minum setidaknya selama dua belas jam sebelum
operasi. Pasien akan menerima anastesi umum, epidural, atau lokal. Pasca operasi, pasien
dapat menggunakan tabung nasogastrik untuk menghilangkan sekresi lambung dan kateter
urin untuk membuang urin sampai kontrol dalam buang air kecil kembali normal. Hal lain
yang menjadi perhatian pada pasien meliputi pemeliharaan fungsi dan sirkulasi pernapasan,
pencegahan infeksi, penyembuhan luka, dan kontrol nyeri1.
Anestesi umum dapat mengakibatkan postoperative ileus (kurangnya motilitas), yaitu
kelumpuhan general pada saluran pencernaan. Resolusi ileus umumnya terjadi dalam waktu
24-48 jam, tergantung pada jenis operasi. Secara tradisional, pasien diminta untuk tidak
makan atau minum sampai ileus selesai dan produksi gas atau bowel movement adalah tanda
resolusi ileus. Karena masih sulit untuk memastikan waktu saat fungsi GI kembali.1
Banyak pasien tidak dapat mencegah kehilangan berat badan bila telah melakukan operasi
dengan adanya kekurangan gizi. Penurunan berat badan lebih lanjut dapat meningkatkan
kemungkinan komplikasi dan memperpanjang waktu tinggal di rumah sakit.
Merekomendasikan pasien untuk makan segera setelah operasi bila memungkinkan dan aman
untuk dilakukan1.
F. Asuhan Gizi
I. Sepsis dan SIRS Fase Ebb
A. Pengkajian Gizi
DOMAIN DATA IDENTIFIKASI MASALAHFOOD/NUTRITION-Related HISTORY (FH)
FH-1.1.1.1 Total Asupan Energi Terjadi penurunan total asupan energi, cairan dan elektrolis (hypovolemia).FH-1.2.1.1 Asupan Cairan
Data Antropometri (AD)
AD-1.1.4 Perubahan berat badan Biasanya terjadi penurunan berat badan.
Biochemical Data (BD)
BD-1.2.2 Kreatinin Serum kreatinin ≥ 2 kali batas normal
Terkait dengan penurunan fungsi ginjal dan hypovolemia
BD-1.5.1 Glukosa Darah Puasa (GDP)
<110 mg/dL Kadar insulin menurun karena peningkatan kadar glukagon
BD-1.10.1 Hemoglobin (rendah, range normal
14-17)
Berisiko terjadi hipoksia
BD-1.11.3 Transferin (rendah, range normal
215-365 mg/dL)
BD-1.12.5 Volume urin Penurunan volume urin
Physical Findings / Penampakan Fisik yang berhubungan dengan gizi (PD)
PD-1.1.1 Kenampakan keseluruhan Lemas, pucat, demam
PD-1.1.3 Kardiovaskuler, system pulmo
- Denyut Nadi < 90 x / menit
- Frekuensi Pernafasan< 20 x / menit
Penurunan cardiac output
PD-1.1.9 Tanda Vital - Tekanan Darah- Suhu tubuh
- Tekanan darah menurun (hipotensi)
- < 36 0C (hipotermia)
B. Diagnosis Gizi
Excessive fluid intake (NI-3.1) berkaitan dengan keadaan stress metabolik ditandai
dengan penurunan berat badan, penurunan volume urin, demam, dan hipotensi.
C. Intervensi Gizi
1. Tujuan
Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit untuk membantu tubuh dalam bertahap
hidup.
2. Preskripsi
a. Modifikasi jumlah kalori
Pada kondisi awal (fase ebb) tidak diberikan energi dalam jumlah tinggi karena
terjadi peningkatan stress hormon, resistensi terhadap insulin dan hiperglikemia.
b. Modifikasi jumlah cairan dan elektrolitPada kondisi awal (fase ebb) terjadi hypovolemia sehingga rekomendasi resusitasi
cairan dan elektrolit diberikan untuk intervensi. Pemberian cairan sebanyak 600 ml
dengan 6 kali pemberian dimana setiap pemberian sebesar 100 ml.
3. Implementasi
a. Pemberian makanan dan zat gizi
Fase ebb merupakan fase pertama yang dialami oleh tubuh setelah mengalami
keadaan stress metabolik yang berlangsung 12-24 jam pertama. Dalam fase ini
metabolisme tubuh menurun karena focus perhatian tubuh pada upaya betahan
hidup. Peningkatan kadar katekolamin dan glucagon akan meningkatkan
penguraian glikogen (glikogenolisis) dan sintesis glukosa dari asam-asam amino
(gluconeogenesis) sehingga timbul keadaan hiperglikemia.
II. Sepsis dan SIRS Fase Flow
A. Pengkajian Gizi
DOMAIN DATA IDENTIFIKASI MASALAHFOOD/NUTRITION-Related HISTORY (FH)
FH-1.1.1.1 Total Asupan Energi Terjadi penurunan total
asupan energi dan cairan karena terjadi penurunan nafsu makan.
FH-1.2.1.1 Asupan Cairan
FH-1.5.2.1 Total Asupan Protein Terjadi proteolisis
Data Antropometri (AD)
AD-1.1.4 Perubahan berat badan Biasanya terjadi penurunan berat badan.
Biochemical Data (BD)
BD-1.1.3 Tekanan parsial CO2
pada arteri (PaCO2)Tekanan CO2 < 32 mmHg
Hiperventilasi
BD-1.2.2 Kreatinin Serum kreatinin ≥ 2 kali batas normal
Penurunan fungsi ginjal
BD-1.4.2 Alanine aminotransferase (ALT)
(tinggi, range normal 4-
36 U/L)
Penurunan fungsi hati
BD-1.4.3 Aspartate aminotransferase (AST)
(tinggi, range normal 0-
35 U/L)
BD-1.5.1 Glukosa Darah Puasa (GDP)
>110 mg/dL Hiperglikemia
BD-1.6.1 C-reactive protein (tinggi, normal < 1mg/dl) Meningkat karena adanya inflamasi
BD-1.10.1 Hemoglobin (tinggi, range normal
14-17)
Konsumsi oksigen meningkat
BD-1.10.2 Hematokrit (tinggi, range normal 40-
54%)
BD-1.11.1 Albumin (rendah, range normal
3,5-5 g/dL)
Hipoalbuminemia
BD-1.11.2 Prealbumin (rendah, range normal
16-35 mg/dL)
Menurun
BD-1.11.3 Transferin (rendah, range normal
215-365 mg/dL)
Menurun
BD-1.11.7 Antibody level Leukosit (>12.000 mm3)
Meningkat karena adanya inflamasi
Physical Findings / Penampakan Fisik yang berhubungan dengan gizi (PD)
PD-1.1.3 Kardiovaskuler, system pulmo
- Denyut Nadi- Frekuensi Pernafasan
Nadi > 90 x / menitPernapasan > 20 x / menit (Tachypnea)
PD-1.1.8 Kulit Terdapat selulitis
PD-1.1.9 Tanda Vital - Tekanan Darah- Suhu tubuh
- Tekanan darah meningkat (hipertensi)
- > 38 0C (demam) atau < 36 0C (hipotermia)
B. Diagnosis Gizi
1. Peningkatan energi ekspenditur (NI-1.1) berkaitan dengan keadaan stress metabolik ditandai dengan dengan penurunan berat badan 5% dalam tiga bulan atau 10% dalam 6 bulan.
2. Perubahan fungsi GI (NC 1.4) berkaitan dengan keadaan stress metabolik ditandai dengan penurunan napsu makan, mual, muntah, dan diare.
3. Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi (NC-2.2) berkaitan dengan keadaan
stress metabolik yang ditandai dengan meningkatnya jumlah leukosit (> 12.000 mm3),
meningkatnya denyut jantung (>90 kali/menit) dan meningkatnya respirasi (>20
kali/menit), demam (>38oC) atau hipotermia (<36oC).
C. Intervensi Gizi
Sasaran intervensi gizi adalah etiologi (akar masalah). Namun pada kondisi stress metabolik
etiologi tidak dapat dirubah oleh praktisi gizi/dietisien, maka intervensi gizi ditujukan untuk
mengurangi tanda & gejala.
1. Tujuan
a. Memenuhi kebutuhan metabolik yang tinggi akibat kondisi stress metabolik.
b. Memenuhi total kebutuhan protein untuk mencegah terjadinya Kurang Energi
Protein (KEP) akibat proteolysis dan peningkatan katabolisme protein.
c. Memenuhi kebutuhan defisiensi zat gizi tertentu seperti vitamin dan mineral.
d. Mencegah terjadinya retensi natrium dan cairan.
4. Preskripsi
a. Modifikasi asupan energi
Tidak diberikan full kalori atau > 35 kcal/kg/24 jam pada 7 hari pertama, tetapi
hanya mencapai 70% dari total kebutuhan kalori. Hal ini dikarenakan dapat
menimbulkan hiperglikemia dan meningkatnya produksi CO2. Rekomendasi
asupan energi sebesar 2000 kkal melalui oral karena pasien tidak mengalami
gangguan menelan maupun masalah pencernaan.
b. Modifikasi jumlah karbohidrat.Pemberian karbohidrat juga diketahui dapat menurunkan proses
proteolisis.Karbohidrat diberikan 55% dari total kalori tanpa melebihi 5
mg/kgbb/menit baik pasien dewasa ataupun pasien anak, atau sama dengan 7
g/kgbb/hari pada pasien dewasa. Dampak metabolisme dari pemberian karbohidrat
yang berlebihan meliputi intoleransi glukosa, peningkatan produksi karbon
dioksida, peningkatan sintesis lemak, dan infiltrasi lemak hati. Jenis karbohidrat
yang diberikan yaitu karbohidrat kompleks dan indeks glikemik rendah karena
pasien mengalami hiperglikemia.
c. Modifikasi jumlah dan jenis protein dan asam amino spesifikDiberikan tinggi protein sebesar 20% dari total kalori atau 1.2-2 gram/kg BB/hari
untuk perbaikan jaringan karena pada kondisi stress metabolik terjadi peningkatan
katabolisme otot dan proteolisis. Pemberian protein yang optimal sangat penting,
karena dapat meningkatkan ketahanan hidup dengan diet tinggi protein. Asam
amino yang diberikan berupa glutamin. Glutamine merupakan jenis asam amino
yang menjadi berguna pada kasus stress metabolik karena merupakan substrat yang
dipilih oleh limfosit dan enterosit. Pada saat ini, dosis glutamine yang
direkomendasikan adalah 0,3 g/kgbb/hari yang diberikan selama 5-10 hari. Namun
pada sebuah penelitian menunjukkan pemberian glutamine kurang dari 3 hari pada
pasien anak dengan luka bakar tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.
d. Modifikasi jumlah dan jenis lemak
Lemak merupakan nutrien yang tinggi kalori sehingga penambahan kalori tanpa
peningkatan osmolaritas dapat dicapai. Lemak yang diberikan adalah 25% dari
total energi dengan jenis asam lemak omega 3 sebagai anti inflamasi. Sumber
lemak yang dianjurkan adalah lemak tak jenuh seperti kacang, selai kacang,
alpukat, minyak zaitun, dan ikan. Bahan makanan tinggi kandungan omega 3 ialah
minyak ikan, ikan tuna, ikan bandeng, daging sapi, telur ayam, dan kacang walnut.
e. Modifikasi bahan makanan tinggi antiinflamasi dan antioksidan.
Pemberian suplementasi vitamin dan mineral yang tinggi antioksidan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh karena terjadi inflamasi. Asupan vitamin dan
mineral yang diberikan seperti vitamin C, vitamin E, dan selenium. Vitamin C 100
mg setiap 8 jam, 400 µg IV selenium setiap hari, 1500 IU vitamin E setiap 12 jam
selama 7 hari atau sampai pasien keluar dari ICU. Vitamin C dan selenium
diberikan secara intravena selama dua hari pertama kemudian diberikan secara
enteral untuk hari berikutnya.
f. Modifikasi jumlah cairan
Kehilangan kalium dan nitrogen lewat urin meningkat sehingga terjadi retensi
natrium dan cairan. Pemberian cairan dilakukan berdasarkan jumlah cairan yang
hilang dengan ditambah jumlah keluaran urine serta feses dan insensible water
lose. Pada dasarnya setiap orang akan memerlukan cairan sebesar 1,5 – 2 liter per
hari sehingga apabila terjadi kondisi stress metabolik akan diperlukan penambahan
cairan yang bisa dicapai lewat pemberian infus, plasma atau darah.
g. Rekomendasi pemberian makan enteral atau parenteral
Pemberian nutrisi enteral dapat memperbaiki fungsi saluran gastro intestinal dan
mencegah atrofi villi usus. Sedangkan pemberian nutrisi parenteral biasanya karena
pasien tidak bisa makan dengan sonde karena tractus gastro intestinal tak berfungsi
atau tidak bisa digunakan untuk memberikan istirahat usus post reseksi.
5. Implementasi
a. Pemberian Makanan dan Zat Gizi
Pasien yang mengalami stress metabolik akan menimbulkan respons
hipermetabolik yang panjang yang bergantung kepada derajat keparahan dari
penyakit, yang mana respons hipermetabolik ini disebabkan oleh respons stres
endokrin dan respons inflamasi (mediator multiple).
Pemberian menu diet disesuaikan dengan kebutuhan energi dan kondisi pasien.
Bila usus masih berfungsi dengan baik mutlak pemberian nutrisi haruslah peroral
kalau tidak bisa makan karena koma, mual muntah maka alternatif adalah
perenteral (pipa lambung). Pemberian nutrisi enteral secara dini (6-12 jam setelah
kejadian) maupun pemberian makanan dengan konsistensi cair atau lunak dapat
memberikan manfaat secara klinis dan biologis antara lain memperkecil respons
1) Memberikan asupan energi sesuai dengan estimasi kebutuhan, agar dapat
mempertahankan dan meningkatkan status gizi pasien post surgery
2) Mencegah terjadinya penurunan berat badan
b. Preskripsi
1) Modifikasi rute pemberian makan sesuai kemampuan pasien
2) Modifikasi jumlah energi
3) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian protein
4) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian vitamin C
c. Implementasi
1) Modifikasi rute pemberian makan
Sebelum memberikan makanan kepada pasien paska operasi, harus
diperhatikan kondisi hemodinamik (denyut nadi, tekanan darah, suhu tubuh
dan respiratory rate) pasien harus stabil. Enhanced recovery of patients after
surgery (ERAS) menjadi fokus penting dalam manajemen perioperatif. Hal ini
bertujuan untuk memghindari periode puasa panjang paska operasi,
mengenalkan dini makanan melalui oral, mengontrol metabolisme tubuh
misalnya mengontrol glukosa darah, dan mengurangi faktor yang dapat
memicu memperburuk kondisi pasien1.
Makanan enteral dapat diberikan melalui oral maupun menggunakan tube
feeding memberikan kemungkinan pasien dapat memenuhi kebutuhan
energinya. Makanan enteral diindikasikan kepada pasien yang tidak dapat
mengkonsumsi makanan secara oral diatas 60% dari asupan yang
direkomendasikan, sehingga dalam hal ini diperlukan nutrition support.
2) Modifikasi jumlah energi
Pemberian jumlah asupan energi diseuaikan dengan kebutuhan pasien.
Estimasi kebutuhan energi pasien dapat dihitung menggunakan rumus Harris
–Benedict x 1,3-1,5 (faktor stres) atau dapat menggunakan estimasi 25-30
kkal/kgBB2.
3) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian protein
Branched chain amino acid (BCAA) karena dapat meningkatkan kemampuan
tubuh untuk mensintesis protein dan perbaikan otot, mengangut energi ke otot
dan mencegah kerusakan jaringan otot3. Sebuah studi menunjukkan bahwa,
suplementasi asam amino dapat membantu proses pemulihan paska operasi4.
Jenis asam amino esensial yang dapat diberikan kepada pasien paska operasi
adalah glutamin. Dalam sebuah studi menunjukan bahwa, dengan pemberian
glutamin dapat meningkatkan laju sintesis protein pada sel enterosit5.
Penelitian lain menyebutkan, umumnya pemberian suplementasi glutamin
secara enteral kemungkinan meningkatkan glutamin plasma kecil, namun
berbeda dengan suplementasi parenteral, lebih memungkinkan meningkatkan
keseimbangan nitrogen. Intake protein dibawah 0,15 g N/kg/hari (1 g N = 6,25
g protein) dapat mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh.7 Pemberian
suplementasi glutamin pada pasien paska operasi berpengaruh terhadap
penurunan kejadian komplikasi karena infeksi di rumah sakit dan waktu
lamanya dirumah sakit. Sedangkan pada pasien critically ill menunjukkan
adanya penurunan komplikasi dan kematian6.
4) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian vitamin C
Penurunan konsentrasi Vitamin C dalam darah saat operasi karena
peningkatan kebutuhan disebabkan redistribusi dan stres oksidatif. Vitamin C
sangat penting untuk kesehatan sistem imun, penyembuhan luka dan
antioksidan. Penurunan konsentrasi terjadi signifikan selama 7 hari setelah
operasi dan semakin terus menurun dengam adanya komplikasi. Asupan
harian yang direkomendasikan diatas kebutuhan untuk menormalkan
konsentrasi vitamin C plasma dan jaringan. Tubuh tidak dapat mensistesis
vitamin C sehingga diperlukan konsumsi asupan sumber vitamin C dari buah,
sayur dan makanan dari tumbuhan. Rata-rata suplemen multivitamin di US
mengandung 200 mg vitamin C.Pada pasien yang melakukan operasi
uncomplicated sulementasi vitamin C lebih dari 500 mg/hari dapat dibutuhkan
untuk membantu mempercepat penyembuhan luka.8
Daftar Pustaka
Nelms MN. Metabolic Stress and the Critically Ill. In: Cossio Y, editor. Nutrition Therapy & Pathophysiology. 2nd ed. Cengage Learning; 2010. p. 682.
Evers LH, Bhavsar D, Mailänder P. The biology of burn injury. Exp Dermatol. 2010;19(9):777–83.
Weimann A, Braga M, Harsanyi L, et al. ESPEN Guidelines on ENteral NutritionL Surgery including Organ Transpalntation. 2006;25(2):224-244.
ASPEN Nutrition Support Practice Manual. 2nd ed.Amino Acid Supplements Help Surgery Recovery. http://aminoacidstudies.org/amino-acid-
supplements-help-surgery-recovery/.Dreyer HC, Strycker LA, Senesac HA, et al. Essential Amino Acid Supplementation in
Patients Following Total Knee Arthroplasty. J Clin Invest. 2013. http://www.jci.org/articles/view/70160.
Bacquer L, Nasih H, Blottiere H, Meynal-Denis D, Laboisse C, Darmaun D. Effects of Glutamine Deprivation on Protein Synthesis in A Model of Human Enterocytes in Culture. Am J Physiol. 2001;281:G1340-G1347.
Novak F, Heyland D, Avenell A, Drover J, Su X. Glutamine Supplementation in Serious Illnes: A Systematic Review of Evidence. Crit Care Med. 2002;30:2022-2029.
Stroud M, Duncan H, Nightingale j. Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients. Gut 2003;52(Suppl VII):vii1–vii12.
Forte. Pre-Op & Post Op:Science-based, Targeted Nutritional Support for the Surgical Patient. Utah; Forte Element.
Connolly S. Clinical Practice Guidelines : Burn Patient Management ACI Statewide Burn Injury Service Produced by : 2011;(August):33.
Haberal M, Abali AES, Hamdi Karakayali. Fluid management in major burn injuries. Indian J Plast Surg [Internet]. 2010;43(Suppl):S29–36. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3038406/
Warden GD. Burn shock resuscitation. World J Surg. 1992;16(1):16–23. Grodner. Nutrition & Medication and Metabolic Stress. p. 1–26. Available from:
Wanek S, Wolf SE. Metabolic response to injury and the role of anabolic hormones. Current Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic Care 2007;10(3):272–7.
Deitch EA. Nutritional support of the burn patient. Critical Care Clinics 1995;11(3):735–50.Waymack JP, Herndon DN. Nutritional support of burned patients. World J Surg
1992;16:80–6.Rousseau A-F, et al. ESPEN endorsed recommendations: Nutritional Therapy in Major