Top Banner
Asuhan Gizi IV Patofisiologi Stres Metabolik Dosen Pengampu: Ahmad Syauqi, S.Gz, MPH dr. Enny Probosari, M.Si.Med Disusun oleh: Daniel Adi Charisma 22030113130136 Daniel Korre 22030113120046 Farah Fauziyah 22030113120028 Gita Ramayani 22030113140118 Monikasari 22030113140100 Nur Rochmah 22030113120068 Nur Shibrina 22030113130084 Rahma Hardianti 22030113120010 Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
62

Kelompok 2_materi Stress Metabolik

Jul 12, 2016

Download

Documents

Rahma Hardianti

Tugas
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

Asuhan Gizi IVPatofisiologi Stres Metabolik

Dosen Pengampu:

Ahmad Syauqi, S.Gz, MPH

dr. Enny Probosari, M.Si.Med

Disusun oleh:

Daniel Adi Charisma 22030113130136

Daniel Korre 22030113120046

Farah Fauziyah 22030113120028

Gita Ramayani 22030113140118

Monikasari 22030113140100

Nur Rochmah 22030113120068

Nur Shibrina 22030113130084

Rahma Hardianti 22030113120010

Program Studi Ilmu Gizi

Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro

Semarang

2016

Page 2: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

A. Kelaparan dan Stres Metabolik

Gizi kurang dapat dialami seseorang ketika tidak mendapatkan asupan makanan yang

adekuat, pemanfaatan zat gizi yang tidak optimal, atau meningkatnya kebutuhan akan zat

gizi. Kelaparan atau puasa dan stres metabolik sama-sama dapat menyebabkan gizi kurang.

Akan tetapi, ada perbedaan mendasar antara kelaparan atau puasa dengan stres metabolik.

Perbedaan inilah yang akan menentukan pemberian asuhan gizi1.

Dalam kondisi kelaparan atau puasa, tubuh akan berusaha beradaptasi. Adaptasi yang

dilakukan tubuh adalah penurunan laju metabolisme basal dan pemecahan cadangan energi

seperti glikogen dan lemak untuk dipakai sebagai sumber energi. Penurunan laju metabolisme

dimaksudkan untuk menurunkan pengeluaran energi oleh tubuh sehingga keseimbangan

energi negatif tidak terlalu besar. Selain menurunkan laju metabolisme basal, tubuh juga akan

memecah cadangan energi yang ada. Pemecahan cadangan energi yang pertama adalah

glikogen. Apabila kadar glukosa darah terus menurun, maka tubuh akan berganti sumber.

Tubuh akan melakukan lipolisis untuk menghasilkan benda keton yang dapat dimanfaatkan

untuk mencegah terjadinya proteolisis1.

Lantas, apa yang membedakan kondisi kelaparan atau puasa dengan stres metabolik? Pada

orang yang mengalami stres metabolik, pengeluaran energi justru meningkat untuk

memperbaiki jaringan yang rusak dan pemanfaatan zat gizi pun tidak optimal akibat dari

perubahan yang terjadi selama stres metabolik1.

B. Stres metabolik

Stres metabolik adalah suatu kondisi hipermetabolik pada seseorang sebagai respon

pertahanan tubuh akibat adanya luka atau penyakit. Ketika terjadi luka atau penyakit, tubuh

akan merespon melalui tiga mekanisme, yaitu respon kardiovaskuler, respon imunologi, dan

respon metabolik. Ketiga mekanisme ini dimaksudkan untuk menjaga homeostatis di dalam

tubuh. Respon atau dampak yang terjadi pada orang dengan stres metabolik antara lain

pelepasan hormon, sintesis protein fase akut, hipermetabolisme, peningkatan aktivitas

glukoneogenesis, terganggunya keseimbangan cairan, dan penurunan volume urin.

Terkadang, respon yang diberikan tubuh tidak tepat dan memicu sindrom gangguan multi

organ. Adanya sindrom gangguan multi organ akan memperparah kondisi dan meningkatkan

mortaliats. Hal inilah yang menjadi alasan bahwa seseorang dengan gangguan fungsi organ

harus segera ditangani1.

Stres metabolik terdiri dari 3 fase, yaitu fase ebb, fase flow, dan fase pemulihan. Fase ebb

merupakan fase pertama dan dimulai segera setelah terjadi stres (2-48 jam). Periode ini

ditandai dengan penurunan laju metabolisme, penurunan suhu tubuh, terjadinya syok yang

berdampak pada hipovolemia dan hipoksia jaringan. Terjadinya kedua hal ini akan memicu

Page 3: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

penurunan luaran jantung dan urine. Oleh karena itu, terapi yang diberikan ditujukan untuk

menghentikan perdarahan, menjaga keseimbangan cairan, dan mempertahankan status

oksigen di jaringan1.

Apabila pasien dapat melewati fase ebb, maka fase flow pun dimulai. Pada fase ini terjadi

peningkatan konsumsi oksigen, hipertemia, peningkatan ekskresi nitrogen, dan peningkatan

aktivitas katabolisme. Respon imun dan hormonal tubuh juga akan berubah sehingga

hipermetabolisme dan reaksi katabolik terjadi. Pelepasan glukagon, kortisol, epinefrin,

neoepinefrin, dan respon imun akan memicu proses glikogenolisis, glukoneogenesis,

mobilisasi asam lemak, dan penurunan sintesis protein. Dalam usaha untuk menaikkan kadar

gula darah, proses glukoneogenesis yang terjadi membutuhkan alanin dan glutamin sebagai

substrat. Penggunaan alanin dan glutamin sebagai bahan baku dapat bermasalah. Alanin

diperoleh dari katabolisme sel otot rangka dan glutamin dibutuhkan tubuh untuk

pembentukan enterosit dan limfosit T. Tidak hanya itu, sintesis asam amino cenderung

menurun akibat dari pelepasan hormon tersebut. Selain perubahan metabolik, protein fase

akut pada plasma juga meningkat. Hal ini dipicu oleh peningkatan produksi sitokin, IL-1, IL-

6, leukotrien, TNF, dan interferon akibat adanya cedera. Peningkatan produksi sitokin akan

menurunkan nafsu makan, demam, radang, dan kelainan metabolisme yang ada hubungannya

seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya1. Oleh karena itu, terapi yang diberikan pada fase

ini lebih ditujukan untuk mengatasi infeksi atau trauma yang terjadi sehingga kondisi

hipermetabolik dapat teratasi. Terapi gizi yang diberikan hanya untuk memenuhi kebutuhan.

Aksis hipotalamus–hifofisis–adrenal (HPA) ikut berperan dalam mekanisme timbulnya

respons metabolik. Mekanisme yang memulai, mengatur, dan mempertahankan respon ini

belum sepenuhnya dipahami. Pasien yang mengalami trauma akan ditemukan hormon kontra

insulin seperti kortisol, glukagon dan katekolamin yang meningkat. Kadar insulin juga

meningkat tapi tidak mampu mengatasi hiperglikemia yang terjadi, selain hormon kontra

insulin yang ada hormon pertumbuhan, aldosteron dan vasopresin juga meningkat.

Mekanisme peningkatan hormon ini diduga sebagian melalui impuls saraf. Impuls dari saraf

aferen akan merangsang sekresi corticotropin releasing factor (CRF) dan vasoactive intestinal

peptide (VIP) yang akan merangsang hipofisis mengeluarkan prolaktin, vasopressin, hormon

pertumbuhan dan propoiomelanocortin yang akan diubah menjadi adrenocorticotropic

hormone (ACTH).

Kadar vasopresin akan meningkat pada berbagai kondisi stres seperti tindakan pembedahan,

pneumonia, infark miokard dengan atau tanpa gagal jantung dan terapi elektrokonversi.

Setelah tindakan pembedahan vasopresin akan meningkat dan menetap sampai beberapa hari

kemudian, lama dan kadar dalam darah sesuai dengan beratnya tindakan pembedahan.

Corticotropin releasing factor bekerja sinergistik dengan vasopresin merangsang sekresi

Page 4: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

propiomelanocortin kelenjar hipofisis. Propiomelanocortin kemudian dimetabolisme menjadi

ACTH dan b-endorphin, yang menandakan ada hubungan antara opiod endogen dengan

HPA aksis. Selain itu ACTH juga merangsang kelenjar adrenal mengeluarkan katekolamin

dan enkefalin.

Peran prolaktin dalam stres tidaklah begitu jelas. Sekresinya diduga melalui rangsangan VIP.

Hormon lain seperti thyroid stimulating hormon (TSH), follicle stimulating hormon (FSH)

dan luteinizing hormone (LH) tidaklah terpengaruh akan tetapi LH dan FSH biasanya

menurun pada hari pertama operasi.

1. Katekolamin

Kadar katekolamin baik itu norepinefrin, epinefrin maupun dopamin meningkat pada

berbagai keadaan stres antara lain kecemasan, hipotensi, hipotermia, hiperkarbia dan

trauma. Katekolamin yang beredar bisa berupa kadar bebas atau terikat dalam bentuk

konjugasi sulfat yang mencapai 60-90% dari total katekolamin. Pada sakit kritis

proporsi antara kadar bebas terhadap kadar total tetap.

Epinefrin dilepas ke dalam sirkulasi dari kelenjar adrenal akibat rangsangan saraf

simpatis sedangkan norepinefrin masuk ke dalam plasma setelah lepas dari ujung

saraf simpatis. Sistem saraf simpatis diatur oleh hipotalamus yang juga mengatur

aksis HPA sehingga terjadi juga pelepasan CRF yang mengatur pelepasan hormon.

Kenaikan kadar epinefrin dan norepinefrin tidaklah selalu sebanding. Pada trauma

berat kadar epinefrin plasma meningkat hanya sampai 48 jam pertama sedangkan

norepinefrin bertahan sampai 8–10 hari. Tergantung juga pada lokasi pembedahan,

pada operasi abdomen dan jantung kedua katekolamin meningkat sebanding tetapi

operasi pelvis yang meningkat hanya epinefrin. Kadar plasma epinefrin

mencerminkan intensitas rangsangan pada korteks adrenal sedangkan kadar plasma

norepinefrin mencerminkan aktivitas rangsangan simpatis.

Pada dosis fisiologis epinefrin menyebabkan glikogenolisis, meningkatnya

glukoneogenesis di hati, penghambatan pelepasan insulin, resistensi insulin di perifer,

dan lipolisis. Epinefrin merupakan stimulator glukoneogenesis yang poten.

2. Glukokortikoid dan Steroid Lainnya

Beberapa peran kortisol antara lain merangsang glukoneogenesis, meningkatkan

proteolisis dan sintesis alanin, meningkatkan sensitivitas jaringan lemak terhadap

rangsangan hormon lipolitik (GH dan katekolamin) dan anti-inflamasi. Selain itu juga

menyebabkan resistensi insulin dengan menurunkan laju uptake glucose di jaringan

melalui aktivitas penghambatan reseptor post-insulin. Sekresi ACTH meningkatkan

kortisol dalam darah yang berdampak umpan balik negatif terhadap sekresi ACTH.

Page 5: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

Pada keadaan stres sekresi kortisol meningkat, pada pasien dengan pemberian

etomidate yang menghambat sekresi adrenal menunjukkan angka kematian yang

tinggi demikian pula pada hewan coba yang dibuang kelenjar adrenalnya atau pada

pasien dengan penyakit Addison menunjukkan angka mortalitas yang tinggi. Hal ini

menunjukkan kortisol merupakan hormon vital karena mampu mensuplai penggunaan

glukosa dari otot ke otak, memudahkan aktivitas katekolamin dan mencegah reaksi

imun yang berlebihan saat terjadi trauma. Konsentrasi kortisol berbanding lurus

dengan lama dan beratnya operasi. Hormon androgen juga terpengaruh saat terjadinya

trauma. Penelitian menunjukkan hormon ini menurun saat pembedahan dan serangan

jantung. Pada penelitian menunjukkan hormon androgen dan estradiol menurun pada

pasien sakit kritis.

3. Glukagon dan Insulin

Glukagon dihasilkan oleh sel alfa pankreas dan insulin dihasilkan oleh sel beta

pankreas kemudian masuk ke vena portal sehingga sel hati sangat terpapar oleh kedua

hormon ini dengan konsentrasi tinggi. Glukagon meningkatkan siklik AMP sel hati

dan meningkatkan glukoneogenesis, pada keadaan kelaparan dan ketoasidosis

diabetik glukagon juga meningkatkan glikogenolisis, lipolisis dan pembentukan benda

keton. Pelepasan glukagon dirangsang oleh hipoglikemia, asupan protein, pemberian

infus asam amino, endorfin, olahraga, GH, epinefrin dan glukokortikoid. Sedangkan

penghambatan sekresi glukagon melalui intake dan infus glukosa, somatostatin dan

insulin.

Insulin mempunyai efek sebaliknya dari glukagon yaitu menurunkan siklik AMP dan

mencegah glukoneogenesis. Insulin mempunyai efek anabolik, meningkatkan transpor

glukosa melalui membran ke sel otot dan sel lemak, merangsang pembentukan

glikogen, menghambat liposisis di jaringan lemak, menghambat ketogenesis di hati,

meningkatkan laju transport asam amino dan sintesis protein di otot, hati dan jaringan

lemak. Rasio glukagon dengan insulin inilah yang menentukan laju glukoneogenis.

Pada keadaan kelaparan rasio ini meningkat (glukagon>insulin) dan glukoneogenesis

meningkat dan sebaliknya pada keadaan maka rasio ini terbalik.

Pada kebanyakan tindakan pembedahan, glukagon pasien meningkat 18–48 jam

setelah pembedahan walaupun kadar puncaknya lebih lambat dibanding kortisol, rasio

glukagon : insulin juga meningkat. Kadar insulin menurun karena meningkatnya

katekolamin dan hilangnya lewat urin, keadaan dengan meningkatnya hormon kontra

insulin dan rendahnya kadar insulin merangsang glukoneogenesis. Pada keadaan

sepsis kondisi ini tidak terjadi sehingga timbul hipoglikemia. Pascaoperasi biasanya

Page 6: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

insulin meningkat baik akibat peningkatan kadar glukosa maupun rangsangan

epinefrin walaupun kadarnya tetap lebih rendah dibandingkan kadar glikemia saat itu.

4. Growth Hormon

Growth Hormon disekresi di kelenjar hipofisis anterior. Hormon ini mempunyai kerja

yang unik, 2–3 jam pertama setelah sekresi bekerja seperti insulin tapi setelah 3 jam

bekerja seperti kontra insulin dan efek anabolik. Hormon ini menyebabkan intoleransi

glukosa, resistensi insulin melalui efek post reseptor, menurunkan uptake glukosa di

hati atau meningkatkan absorbsi di usus. Pada keadaan trauma, luka bakar atau

pembedahan kadar GH meningkat.

C. Sepsis, Sindrom Respon Inflamasi Sistemik (SIRS), dan Kegagalan Organ Multi Sistem

(MSOF/MODS)

Sepsis merupakan respon peradangan yang tidak terkendali karena adanya infeksi atau

trauma, sedangkan SIRS merupakan klasifikasi lain dari sepsis dengan etiologi mikroba.

Tubuh memiliki sistem imunitas bawaan dan imunitas adaptif. Komponen dari imunitas

bawaan termasuk sel fagositik, seperti : neutrofil dan makrofag yang dapat menelan dan

menghilangkan patogen sedangkan imunitas adaptif merupakan imunitas yang spesifik

terhadap patogen dan mempunyai memori imunologik untuk mencegah infeksi ulangan.

- Imunutas bawaan (Innate Immunity)

Merupakan respon awal tubuh terhadap bakteri patogen dengan aktivasi cepat. Sel

neutrofil dan makrofag dalam fase ini memiliki Pattern Recognition Receptors

(PRRs) yang terdapat dalam bakteri gram positif. Mekanisme ini memicu sekresi

berbagai sitokin, salah satunya adalah TNF-α.

Page 7: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

Monosit juga akan mengaktivasi faktor transkripsi seperti PRRs intraselulerm, NOD1

dan NOD2 yang akan mengaktivasi sistem imunitas tubuh melalui NF-KB ketika

berikatan dengan molekul patogen yang difagositnya.

- Imunitas adaptif (Adaptive Immunity)

Imunitas adaptif berfungsi menghasilkan respon yang spesifik terhadap patogen dan

menghasilkan imunitas protektif terhadap re-infeksi oleh organisme yang sama.

Makrofag memfagosit patogen asing seperti bakteri dan virus akan memunculkan

protein permukaan dari mikroorganisme tersebut pada tempat pengikatan Major

Histocompatibilty Complex (MHC) akan menampilkan protein untuk menarik sel T

spesifik yang berperan dalam aktivasi sitokin serta antibodi yang sesuai. Limfosit B

(sel B) menghasilkan berbagai macam antibodi dan pengenalan antigen oleh reseptor

atau menginduksi daya tahan dari sel T yang terlibat sehingga dapat menimbulkan

memori imunologik. Sel T-helper (Th) yang terbagi menjadi 2 tipe (Th1 dan Th 2)

berfungsi untuk melawan infeksi, produksi antibodi (terutama pada respin IgE), dan

patogenesis reaksi hipersensitivitas.

Pada kondisi syok septik, ditemukan adanya peningkatan sel T regulator yang

berfungsi memodulasi pematangan sel imun untuk membatasi respon adaptif serta

apopotosis limfosit dan sel dendritik. Hilangnya sel limfosit dan dendritik akan

menyebabkan kerusakan pada imunitas adaptif. Pada fase awal respon imunitas tubuh,

Th-1 mendominasi karena berkaitan dengan infeksi patogen, selanjutnya terjadi

pergeseran menuju Th-2 ketika makrofag dan sel dendritik memfagosit produk

apoptosis sel imun dan kemudian menghasilkan berbagai sitokin. Pergeseran Th-1

menjadi Th-2 berdampak pada terjadinya imunoparesis.

1. Respon imun terhadap infeksi

Sistem kekebalan tubuh seperti sebuah tim yang melibatkan banyak pemain yang

berbeda-beda dan berinteraksi satu sama lain. Sistem kekebalan tubuh menanggapi

Page 8: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

adanya patogen bergantung pada kedua bawaan dan komponen adaptif. Pertahanan

pertama dalam melawan patogen berupa hambatan fisik seperti kulit, serta lendir pada

membran gastrointestinal, penafasan dan genitourinari. Pertahanan kedua adalah

pertahanan olesh sistem kekebalan tubuh bawaan, seperti protein, sel sentinel fagosit,

dan sel-sel pembunuh alami, yang akan mengaktifkan aktivator dan berperan sebagai

pengendali adaptif sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh bawaan

mempunyai peran penting dalam menandakan adanya inisiasi reaksi immuno-

inflamasi serta infeksi gram-negatif yang dipicu oleh endotoksin dan infeksi gram-

positif yang terjadi akibat produksi eksotoksin atau karena fragmen membran sel.

Lipopolisakarida yang dikomplekskan dengan protein plasma tertentu akan berkaitan

dengan resptor membran (CD14) pada sel efektor seperti makrofag dan sel endotel.

Hal ini merupakan tanda mulainya transduksi sinyal intraseluler melalui mekanisme

reseptor spesifik (TLR).

2. Respon inflamasi terhadap infeksi

Setalah respon inflamasi dipicu, endoteium vaskular orchestrates mengarahkan

elemen seluler terutama leukosit ke lokasi infeksi. Kompleks interaksi endotel-

leukosit merupakan prekursor penting untuk mempertahankan respon inflamasi yang

diatur oleh urutan waktu pada ekspresi molekuler.

3. Leukosit-endotel adhesi dan migrasi

Marginasi leukosit awal dan yang berjalan sepanjang dinding endotel diatur oleh

glikoprotein yang dikenal sebagai selectins pada kedua permukaan endotel (P- dan E-

selectins) dan leukosit (L-selectin). Proses ini dipicu oleh berbagai mediator

proinflamasi termasuk TNF-α, interleukin 1 (IL-1), histamin, komplemen, leukotrien

Page 9: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

dan radikal bebas. Kekuatan adhesi leukosit-endotel diikuti dengan transmigrasi

leukosit keluar dari pembuluh darah ke jaringan yang berada dibawahnya (dinding

pos-kapiler venula). Migrasi ini juga didukung oleh karena permeabilitas pembuluh

darah yang meningkat dan edema lokal.

4. Respon Endotel dan Jaringan Lokal

Sitokin pro-inflamasi dan neutrofil yang disekresikan ke dalam endotel pembuluh

darah akan menginduksi apoptosis (kematian sel terprogram) dalam sel-sel endotel,

aktivasi neutrofil menyebabkan kerusakan oleh kaskade kejadian yang mengarah pada

pembentukan radikal bebas oksigen O2 dan OH dalam sel endotel. Sehingga dari

interaksi endotel-leukosit menghasilkan cidera jaringan yang terjadi pada tingkat sel

endotel maupun jaringan bawahnya.

Pada sepsis, respon inflamasi mengalami istirahat dari anti-inflamasi sehingga dapat

meluas dan menyebabkan kerusakan sistemik.

5. Nitrat oksida dan efek potensial terhadap respirasi sel pada sepsis

NO dihasilkan dari L-arginin oleh aksi sitase nitrogen oksida enzim (NOS). Ada tiga

isoform dari NOS, yaitu : e NOS ditemukan di endothelium, n NOS ditemukan di

neuron, i NOS ditemukan di beberapa lokasi seperti makrofag, otot polos dan

endotelium. e NOS dan n NOS adalah enzim konstitutif yang dikelompokkan di

dalam c NOS. Sebaliknya, i NOS diinduksi oleh beberapa rangsangan yang

berhubungan dengan peradangan da jumlah i NOS yang dihasilkan jauh lebih besar

dari c NOS.

NO berfungsi mengatur respirasi sel dengan bertindak pada oksidase sitokrom C

mitokondria (kompleks IV) untuk mengurangi penggunaan oksigen.

Dalam sepsis rangsangan pro-inflamasi menyebabkan induksi i NOS selama beberapa

jam, sehingga menyebabkan produksi NO yang berlebihan. Dalam hal ini, ada O2

yang cukup untuk menggantikan NO dari kompleks IV. Akibatnya, rantai pernafasan

menjadi berkurang. O2 akan bereaksi dnegan NO bebas untuk membentuk anion

peroxynitrite (ONOO). ONOO menyebabkan kerusakan permanen pada kompleks I

dan III, sehingga menyebabkan inisiasi terjadinya apoptosis, yang dibuktikan dengan

adalanya disfungsi mitokondria di sejumlah jaringan selama sepsis, termasuk monosit,

mukosa usus, hati dan otot rangka. Tingkat disfungsi sesuai dengan tingkat keparahan

dari sepsis.

Multiorgan Distress Syndrome (MODS) yang sering disebut juga sebagai kegagalan organ

multisistem. Istilah lain yang sering digunakan adalah kondisi dari komplikasi sepsis dan

SIRS. MODS/MOSF termasuk disfungsi jantung, pernapasan dan sistem ginjal.

Page 10: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

Kondisi patologis sepsis berat atau syok sepsis dapat mempengaruhi setiap komponen sel

mikro sirkulasi, termasuk sel endotel, sel otot polos, lekosit, eritrosit dan jaringan. Mikro

sirkulasi menentukan ketersediaan oksigen untuk setiap sel dan jarigan, yang menjamin organ

dapat berfungsi dengan baik, jika tidak ditangani dengn baik dapat menyebabkan distress

respirasi pada jaringan dan sel, yang lebih lanjut akan menyebabkan disfungsi sirkulasi

makro dan akan menyebabkan kegagalan organ dan kegagalan multi organ.

Selain mengganggu konsumsi oksigen pada tingkat sel atau mitokondria, sepsis juga dikaitka

dengan gangguan beberapa organ, seperti :

A. Kardiovaskuler

Pada sistem kardiovaskuler sepsis dikaitkan dengan gangguan bruto fungsi

kardiovaskuler, seperti :

- Penurunan kontrol vasomotor

Pada sepsis terjadi vasodilatasi dan kehilangan reaktifitas katekolamin yang

berkaitan dengan gangguan dalam regulasi NO. NO memainkan peran penting

dalam regulasi vasomotor endotelium dan hemodinamik, maka dalam kondisi

fisiologis normal terjadi sintesis basal dan pelepasan NO oleh sel endotel.

Selanjutnya NO akan berdifusi ke sel-sel otot halus dan mengaktifkan enzim

guanylate cyclase yang menyebabkan peningkatan guanosin 3’, 5’-monofosfat

siklik (c GMP). Selama keadaan sepsis produksi NO yang berlebihan

menyebabkan vasodilatasi sistemik yang luas, yang dapat mengurangi suplai

oksigen ke jaringan.

- Disfungsi jantung

Terjadi disfungsi miokard yaitu penurunan tingkat kontraksi jantung dan relaksasi

sebagai respon terhadap sepsis. Hal ini berhubungan dengan absorbsi dan release

Ca2+ dari retikulum sarkoplasma melalui saluran Ca2+ di sarcolemma atau reseptor

ryanodine. Penurunan jumlah reseptor dalam fase hipodinamik dari sepsis

Page 11: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

menyebabkan berkurangnya release Ca2+ dari retikulum sarkoplasma, sehingga

terjadi pembatasan interaksi dengan protein kontaktil miokard selama fase sistol,

sedangkan penurunan tingkat reuptake Ca2+ ke retikulum sarkoplasma akan

menyebabkan penundaan timbulnya fase relaksasi diastole. Mekanisme yang

mendasari pengurangan jumlah aliran Ca2+ berhubungan dengan mediator TNF-α

dan NO.

B. Hematologis

Keadaan sepsis menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (KID) akut dengan

penurunan trombosit < 100.000/mm3, waktu untuk pemebkuan darah memanjang dan

hipofibrinogenaemia yang mengarah ke komplikasi perdarahan dan trombotik.

Mikrovaskuler trombosis dapat meluas, karena terjadi penurunan sistem koagulan

(antithrombin III dan thrombomodulin). Pemeberian protein C teraktivasi telah

terbukti mengurangi angka kematian pada beberapa pasien sepsis dan sedang menjani

uji klinis lebih lanjut.

C. Hati

Disfungsi hati ditandai dengan hepatomegali dan hiperbilirubinemia serta kenaikan

enzim hati ringan hal tersebut merupakan tanda umum pada sepsis. Kerusakan hati

terjadi jika aliran darah ke hati tidak mencukupi untuk kebutuhan oksigen yang

meningkat pada jaringan regional atau disfungsi hati tidak flow-dependent.

D. Paru-paru

Cidera paru akut atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang terjadi

dalam 60-70% pasien sepsis. Disfungsi endotel disebabkan oleh infiltrasi neutrofil

pada paru-paru merupakan proses utama yang mengarah ke peningkatan protein dan

ekstravasasi cairan ke dalam interstitium paru-paru dan ruang alveolar. Gejala sisa

termasuk rusaknya alveolar, shunting paru, hipoksemia, penurunan kapasitas residu

Page 12: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

fungsional dan peningkatan kerja pernafasan. Peningkatan IL-8 diproduksi oleh

makrofag alveolar berhubungan dengan cidera paru-paru pada pasien sepsis.

E. Renal

Ginjal hiperfusi pada sepsis terutama disebabkan oleh vasodilatasi sistemil dan

hipovolemik relatif. Faktor neurohumeral lain termasuk endotelin, A2 tromboksan dan

masuknya bahan seluler (misalnya neutrofil dan faktor koagulasi) juga penting dan

mengakibatkan berbagai tingkat gangguan ginjal. Peningkatan kreatinin >0,3 mg/dl

dari nilai sebelumnya atau peningkatan >50%, serta oliguri <0,5 cc/kgbb/jam lebih

dari 6 jam menandakan gangguan gagal ginjal akut.

F. Sistem saraf pusat, ensenfelopati sepsis

Jika sumber infeksi di luar central nervous system (CNS), maka gangguan neurologik

yang terjadi dianggap sebagai ensefelopati septik. Beberapa kondisi lainnya dapat

menambah efek sekunder seperti hipoksemia, gangguan metabolik dan elektrolit, serta

hipertensi serebral keadaan syok. Gejala dapat bervariasi mulai dari agitas,

confussion, delirium, dan koma.

G. Traktus Gastrointestinal

Dapat terjadi iskemia splanchnis dan asidosis intramukosa selama sepsis. Tanda klinis

mencakup perubahan fungsi otot alus dan terjadinya diare. Pendarahan GIT

dikarenakan adanya stress ulcer yang juga merupakan manifestasi dari sepsis.

Monitoring pH intramukosa lambung yang digunakan untuk mengenali dan

merupakan petunjuk dari resusitasi. Peningkatan paCO2 intramural merupakan tanda

adanya iskemia jaringan dan asidosis mukosa.

Tingkat mortalitas kasus sepsis adalah 16%, dan meningkat menjadi 20% pada sepsis berat dan

46% pada kasus septik syok. Tingkat kematian pada anak-anak kurang dari 10%, namun

meningkat hampir empat kali (38,4%) pada kelompok usia ≥ 85tahun, dan laki-laki sedikit lebih

tinggi (29,3%) dibandingkan dengan perempuan (27,9%).

Lebih dari 750.00 kasus sepsis teridentifikasi pada tahun 2008. Di negara Durthaler bahwa

sepsos menyumbang lebih banyak kematian dibandingkan dengan kanker payudara, AIDS,

dan gagal jantung kongestif.

Dari seluruh kasus yang terjadi bakteri memegang presentasi terbanyak penyebab sepsis,

dengan bakteri jenis gram-positif sebanyak 30-50%, bakteri gram-negatif sebanyak 25-30%,

polimikroba sebanyak 11-19%, serta 1-4 % adalah jamur, virus dan parasit.

Page 13: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

Tanda-tanda utama awal sepsis meliputi peningkatan jumlah sel darah putih (>12.000 mm3),

peningkatan denyut jantung (>90 denyut jantung per menit) dan respirasi (>20 napas/menit),

dan demam (>380c) atau hipotermia (<360c). C-reactive protein, fibrinogen, melengkapi

protein, dan protein fase akut lainnya yang berhubungan. Nilai laboratorium lain yang juga

merupakan maniestasi klinis adalah adanya peningkatan serum laktat dan serum glukosa.

Pengobatan sepsis akan berpusat pada pengobatan sumber infeksi atau trauma dan

mendukung pasien dengan ventilasi paru-paru, dengan konsumsi antibiotik, dengan

hemodinamik dan penyakit ginjal. Terapi metabolisme intensif insulin,agen antimikroba,

koagulasi-modulasi obat (seperti vitamin C (drotrecogin alfa diaktifkan)) dan dukungan

semua nutrisi yang masuk dalam protokol medis dan mewakili langkah-langkah penting

dalam pengobatan yang efektif dari sepsis.

Terapi gizi untuk sepsis

Dukungan nutrisi merupakan langkah penting dalam pengobatan dan perubahan kondisi dari

sepsis. Memenuhi kebutuhan asupan pasien dengan sakit kritis terdapat banyak tantangan

seperti terjadi kelainan metabolisme, susah memperkirakan atau mengukur kebutuhan zat

gizi, pembatasan cairan, dan adanya multi-disfungsi organ.

D. Luka Bakar

Luka bakar merupakan luka yang terjadi pada jaringan kulit, otot, maupun tulang akibat

paparan panas, bahan kimia, radiasi, atau listrik. Tulang, otot, pembuluh darah, lapisan

dermal, dan epidermal dapat mengalami kerusakan akibat luka bakar dan nyeri akibat cedera

pada saraf. Apabila tidak ditangani segera, luka bakar akan menimbulkan berbagai

komplikasi seperti syok, infeksi, ketidakseimbangan elektrolit, dan kegagalan nafas

tergantung pada lokasi luka bakar, luas area, dan kedalaman luka. Usia, status gizi, dan faktor

komorbiditas lainnya mempengaruhi respon fisiologi terhadap luka, perawatan, dan

pemulihan. Berikut merupakan karakteristik luka bakar berdasarkan kedalaman luka.

Klasifikasi Penyebab Karakteristik

Penampakan Sensasi Waktu Bekas Luka

Page 14: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

Sembuh

Superfisial Sinar ultraviolet,

paparan api

Kering dan memerah

atau memutih jika

ditekan

Nyeri 3-6 hari Tidak ada

Superficial

partial-

thickness

Air panas (tumpa-

han atau percikan),

paparan api

Melepuh, lunak,

berair, dan memerah

atau memutih jika

ditekan

Nyeri

karena

udara dan

suhu

7-20 hari Terkadang;

berpotensi

menimbulkan

perubahan

pigmen

Deep

partial-

thickness

Air panas (tum-

pahan), paparan api,

minyak, pelumas

Melepuh, mudah

terkelupas; basah atau

lembab; warna

bervariasi (belang,

putih, merah); tidak

memutih jika ditekan

Hanya

peka

terhadap

tekanan

>21 hari Beresiko tinggi

(hipertropik)

akan

contracture

Full-

thickness

burn

Air panas (teren-

dam), api, uap,

minyak, pelumas,

bahan kimia, listrik

bervoltase tinggi

Putih hingga keabu-

abuan hingga hangus

dan hitam; kering dan

inelastis; tidak

memutih jika ditekan

Hanya

peka

terhadap

tekanan

yang kuat

Permanen

(jika area

luka bakar

>2% total

area tubuh)

Selain komplikasi klinis, luka bakar juga dapat menyebabkan gangguan psikologis dan emosi

akibat dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama, bekas luka, dan kecacatan yang

terjadi1.

Etiologi luka bakar yang paling sering adalah paparan langsung dari sumber panas seperti

terbakar api dan terkena air panas1. Selain itu, luka bakar dapat terjadi karena paparan bahan

kimia dan sengatan listrik. Pada sengatan listrik, kerusakan pada jaringan tubuh terjadi ketika

aliran listrik menjalar melalui jaringan dan tulang. Tingkat keparahan dari luka bakar

bergantung pada jumlah volt listrik, lokasi kontak di tubuh, dan lama waktu sengatan listrik

berlangsung. Sedangkan luka bakar akibat paparan zat kimia terjadi ketika tubuh terpapar

langsung oleh cairan asam atau alkali2.

Usia dari seseorang juga terkadang menentukan penyebab dari luka bakar yang dialami. Pada

usia anak-anak, 70% luka bakar terjadi akibat sikap hiperaktif dan kontak dengan air panas.

Pada usia remaja dan dewasa muda, penyebab utama luka bakar ialah kecerobohan saat

menangani api dan cairan yang mudah terbakar. Sedangkan pada usia dewasa, luka bakar

akibat api menempati urutan pertama dengan 1/3 kejadian tersebut terjadi di tempat kerja.

Page 15: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

Ada metode untuk menentukan besarnya area tubuh yang terkena luka bakar. Metode ini

disebut Rules of "Nines". Pada metode ini, tubuh dibagi dalam proporsi 9 atau turunan dari 9.

Perkiraan luas area yang terbakar membantu assesment dari tingkat keparahan luka, dan

membantu memperkirakan cairan yang dibutuhkan dan obat-obatan yang diperlukan.

Perubahan lokal pada area luka bakar dibagi manjadi 3 zona oleh Jackson. Zona koagulasi

pada bagian sentral luka atau jaringan yang paling lemah/rusak. Bagian paling luar atau

paling perifer disebut zona hiperemia. Zona hiperemia memiliki karakteristik yaitu adanya

vasodilatasi, serta terjadi tanda-tanda inflamasi namun tidak terjadi perubahan struktur.

Diantara zona koagulasi dan zona

hyperemia terdapat zona stasis. Zona

stasis merupakan zona yang mengalami

luka dermal sedang hingga luka dermal

dalam. Pada zona ini terjadi vaskular

stasis dan iskemia. Jaringan pada zona

ini memiliki potensi untuk sembuh,

namun dapat berubah menjadi lesi yang

lebih tebal. Progresi luka bakar diduga

terjadi akibat kegiatan apoptosis pada zona stasis.

Paparan panas dengan suhu lebih besar dari 40 derajat menyebabkan denaturasi protein pada

kulit yang menyebabkan hilangnya integritas membran plasma. Proses ini terjadi secara cepat

Gambar 1. The rules of nine

Gambar 2. Zona Jackson

Page 16: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

dan hanya membutuhkan beberapa detik jika terpapar suhu lebih tinggi dari 60 derajat.

Mediator lokal yang dilepaskan adalah histamin, serotonin, bradykinin, nitrit oksida, oxygen-

free radicals, prostaglandin, tromboksan, TNF, dan interleukin. Histamin merupakan

mediator yang paling berperan untuk meningkatkan permeabilitas mikrovaskular pada fase

awal luka bakar terjadi. Histamin menyebabkan pembesaran celah endotelial sementara.

Perubahan patofisiologi setelah luka bakar mempengaruhi berbagai organ dan sistem tubuh

yang dapat menyebabkan syok, gangguan pencernaan, pernafasan, gagal ginjal, dan

imunosupresi. Sebagian besar luka bakar terkait dengan hipermetabolisme ekstrim dan

katabolisme yang terjadi ketika sadar dari fase syok luka bakar.

Sistem pencernaan akan terganggu oleh influks neutrofil dan pembengkakan pada lamina

propia (hari pertama setelah luka bakar), peningkatan myeloperoksidase usus (hari ketiga

setelah luka bakar), penurunan proliferasi sel epitel, migrasi dan ekspresi Ecadherin (hari

ketiga setelah luka bakar), peningkatan translokasi bakteri Efaecalis (hari ketiga setelah luka

bakar), apoptosis masif, dan nekrosis moderat/sedang. Kondisi-kondisi ini disebabkan oleh

dua hal utama, yaitu peningkatan stres oksidatif akibat hipoperfusi maupun perfusi yang

terlambat dan peningkatan produksi TNF-alpha yang diinduksi oleh makrofag yang diinduksi

oleh gamma delta sel T setelah terjadinya luka bakar. Iskemia yang terjadi memicu stres

oksidatif kepada produksi mediator molekular yang menyebabkan nekrosis dan apoptosis

jaringan. Mediator molekular yang diproduksi mencakup mukosal atau turunan makrofag

berupa monosit radikal oksigen sintase (ROS) dan NO sintase (NOS) yang mendorong

produksi H2O2 dan NO yang bersifat racun bagi enterosit.

Luka bakar juga mempengaruhi sistem imun seseorang. Pasien luka bakar parah mengalami

deplesi sel T dan sebagian menyebabkan terganggunya respon imun normal terhadap antigen

tertentu (anergy). Leptin menunjukan efek protektif terhadap apoptosis. NO, selain bertindak

sebagai imunoregulator dan proinflamator, juga memiliki efek cytostatic, apoptotic dan

nektrotik pada sel T aktif. Supresi imun awal (hari ketiga setelah luka bakar) menstimulasi

hiperrespons dari CD8(+) sel T. Heat shock proteins (HPs) melindungi sel dari berbagai stres

yang terjadi. Sebagian besar luka bakar menyebabkan peningkatan ekspresi HSPs di neutrofil

bersamaan dengan peningkatan aktivitas oksidatif dan penurunan apoptosis.

Pada pasien luka bakar, otot rangka akan melemah. Pasien dengan luka bakar yang parah

(TBSA >30%) memiliki tonus otot yang lemah hingga beberapa tahun setelah trauma.

Perubahan morfologis pada otot akibat luka bakar yang terjadi mencakup kerusakan

mitokondrial dan akumulasi lipid intraselular.

Sistem endokrin tubuh juga mengalami gangguan. Peningkatan hormon stres yang bersifat

proinflamasi seperti kortisol, glukokortikoid dan katekolamin lain yang diproduksi oleh

Page 17: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

medula dan korteks adrenal. Hormon-hormon tersebut memiliki efek katabolik, namun

intensitasnya bergantung pada luas TBSA yang dialami2.

Pada pasien dengan luka bakar yang parah, hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan

fisik. Kontributor utama bagi hepatomegali yang terjadi adalah timbunan droplet besar lemak

intrahepatositik dalam hepatosit dan adanya kolestasis. Setelah kejadian luka bakar, terjadi

depresi kardiak output. Terjadi hipovolemia, berkurangnya volume plasme, dan berkurangnya

darah yang kembali melalui vena kemudian berpengaruh terhadap kardiak output. Meskipun

volume plasma telah meningkat dan terkanan arterial serta output urin telah normal,

penurunan jumlah kardiak output tetap ada. Ketika luka bakar, cardiomyocytes memproduksi

TNF-alpha, IL-1beta dan IL-6, yang kemudian sitokin-sitokin tersebut berpengaruh terhadap

disfungsi kardiak. Sebagian besar luka bakar juga mengganggu fluks ion kalsium diantara

retikulum sarkoplasma dan sitoplasma. Endotoksin dan lipopolisakarida menginduksi

terjadinya apoptosis yang dapat menyebabkan disfungsi kardiak 2.

Dalam 24 jam setelah luka bakar yang parah, hampir seluruh pasien mengalami oedema.

Terjadi oedema paru-paru akan mengganggu pertukaran gas dan mengurangi keleluasaan

bernafas. Disamping vasokonstriksi pada mikrosirkulasi, oedema pada paru-paru juga terjadi

akibat hipoproteinemia. Selain menyebabkan penurunan tekanan onkotik, hipoproteinemia

juga mengganggu matriks intestinal sehingga terjadi perpindahan cairan ke kapiler

endotelium dan menyebabkan intestinal oedema2.

E. Operasi

Operasi merupakan suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mendiagnosis dan

memperbaiki organ atau jaringan, sehingga operasi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat

keseriusannya, kebutuhan, ataupun tujuannya.

Berdasarkan tingkat keseriusannya, operasi dibedakan menjadi operasi mayor dan minor.

Operasi mayor bersifat selektif dan untuk kebutuhan mendesak dan darurat. Operasi ini

dilakukan pada area kepala, leher, dada dan perut (abdomen). Biasanya, operasi mayor

membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan pasien dapat rawat inap untuk perawatan

intensif. Selain waktu yang lama, operasi mayor memiliki risiko tinggi untuk terjadi

komplikasi setelah dilakukan tindakan. Pada anak-anak, yang termasuk operasi major yaitu

operasi tumor otak, mengkoreksi malformasi tulang tengkorak dan wajah, transplantasi

organ, memperbaiki cacat usus, operasi kelainan tulang belakang dan pengobatan cedera

serius. Operasi minor adalah operasi yang secara umum bersifat selektif. Waktu pemulihan

hasil operasi cenderung pendek dan dapat kembali beraktivitas seperti biasa dengan cepat.

Operasi ini paling sering dilakukan pada pasien rawat jalan dan dapat pulang pada hari yang

Page 18: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

sama. Komplikasi dari jenis operasi ini jarang terjadi. Contohnya operasi minor antara lain

pencabutan gigi, pengangkatan kutil, dan mengkoreksi patah tulang1.

Berdasarkan kebutuhan, operasi dibedakan menjadi operasi elektif (pilihan) dan darurat.

Operasi elektif tidak berarti operasi opsional, melainkan suatu prosedur yang direncanakan

terlebih dahulu. Contoh operasi elektif seperti penghapusan tanda lahir dan melakukan fusi

tulang belakang untuk memperbaiki kelengkungan parah tulang belakang. Operasi mendesak

atau darurat dilakukan pada kebutuhan medis yang mendesak, seperti mengkoreksi cacat

jantung bawaan yang mengancam jiwa atau perbaikan organ internal cedera setelah

kecelakaan mobil1.

Umumnya, tindakan operasi tidak menimbulkan permasalahan gizi yang signifikan dengan

orang berstatus gizi normal. Pada orang dengan malnutrisi, tindakan operasi akan

menimbulkan proses metabolisme yang berbeda dan dapat memperparah status gizi pasien.

Selain status gizi sebelum operasi, usia juga dapat berdampak pada status gizi pasca operasi.

Malnutrisi dapat meningkatkan risiko komplikasi umum pasca operasi, termasuk wound

dehisence (pembukaan luka setelah penutupan dengan jahitan) dan infeksi. Jika pasien

berstatus gizi buruk sebelum operasi, maka akan berisiko lebih besar untuk menderita

pneumonia atau infeksi luka lainnya yang disertai demam sebagai akibat dari sintesis protein

yang menurun. Hal ini dikarenakan kebutuhan energi tubuh akan dipenuhi

dari sumber endogen jika sumber eksogen tidak tersedia atau tidak memadai. Salah satu

sumber endogen yang dipakai adalah protein dari otot. Apabila protein otot terus dipakai,

maka protein otot interkostal, contohnya, dapat habis dan mengakibatkan pneumonia. Tidak

hanya itu, asam amino yang ada tidak memadai untuk mensintesis antibodi yang mengarah

pada gangguan respon imun pada infeksi akibat dari penggunaan asam amino yang tinggi

untuk glukoneogenesis. Oleh sebab itu, perlu dilakukan skrining dan uji prognostik untuk

mengidentifikasi pasien yang paling mungkin mengalami risiko gizi. Perubahan pra operasi

seperti berat badan, albumin, dan C-reactive protein dapat diukur untuk memprediksi hasil

operasi. National VA Surgical Risk Study, mengevaluasi hubungan banyak karakteristik

komplikasi dan angka kematian pada lebih dari 50.000 pasien. Hasil evaluasi menunjukan

bahwa albumin pra-operasi merupakan prediktor lebih baik untuk memperkirakan komplikasi

dan kematian daripada karakteristik lain seperti usia, merokok, dan nilai-nilai laboratorium

lainnya1.

Pasien diminta untuk puasa makan atau minum setidaknya selama dua belas jam sebelum

operasi. Pasien akan menerima anastesi umum, epidural, atau lokal. Pasca operasi, pasien

dapat menggunakan tabung nasogastrik untuk menghilangkan sekresi lambung dan kateter

urin untuk membuang urin sampai kontrol dalam buang air kecil kembali normal. Hal lain

Page 19: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

yang menjadi perhatian pada pasien meliputi pemeliharaan fungsi dan sirkulasi pernapasan,

pencegahan infeksi, penyembuhan luka, dan kontrol nyeri1.

Anestesi umum dapat mengakibatkan postoperative ileus (kurangnya motilitas), yaitu

kelumpuhan general pada saluran pencernaan. Resolusi ileus umumnya terjadi dalam waktu

24-48 jam, tergantung pada jenis operasi. Secara tradisional, pasien diminta untuk tidak

makan atau minum sampai ileus selesai dan produksi gas atau bowel movement adalah tanda

resolusi ileus. Karena masih sulit untuk memastikan waktu saat fungsi GI kembali.1

Banyak pasien tidak dapat mencegah kehilangan berat badan bila telah melakukan operasi

dengan adanya kekurangan gizi. Penurunan berat badan lebih lanjut dapat meningkatkan

kemungkinan komplikasi dan memperpanjang waktu tinggal di rumah sakit.

Merekomendasikan pasien untuk makan segera setelah operasi bila memungkinkan dan aman

untuk dilakukan1.

F. Asuhan Gizi

I. Sepsis dan SIRS Fase Ebb

A. Pengkajian Gizi

DOMAIN DATA IDENTIFIKASI MASALAHFOOD/NUTRITION-Related HISTORY (FH)

FH-1.1.1.1 Total Asupan Energi Terjadi penurunan total asupan energi, cairan dan elektrolis (hypovolemia).FH-1.2.1.1 Asupan Cairan

Data Antropometri (AD)

AD-1.1.4 Perubahan berat badan Biasanya terjadi penurunan berat badan.

Biochemical Data (BD)

BD-1.2.2 Kreatinin Serum kreatinin ≥ 2 kali batas normal

Terkait dengan penurunan fungsi ginjal dan hypovolemia

BD-1.5.1 Glukosa Darah Puasa (GDP)

<110 mg/dL Kadar insulin menurun karena peningkatan kadar glukagon

BD-1.10.1 Hemoglobin (rendah, range normal

14-17)

Berisiko terjadi hipoksia

BD-1.11.3 Transferin (rendah, range normal

215-365 mg/dL)

BD-1.12.5 Volume urin Penurunan volume urin

Physical Findings / Penampakan Fisik yang berhubungan dengan gizi (PD)

Page 20: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

PD-1.1.1 Kenampakan keseluruhan Lemas, pucat, demam

PD-1.1.3 Kardiovaskuler, system pulmo

- Denyut Nadi < 90 x / menit

- Frekuensi Pernafasan< 20 x / menit

Penurunan cardiac output

PD-1.1.9 Tanda Vital - Tekanan Darah- Suhu tubuh

- Tekanan darah menurun (hipotensi)

- < 36 0C (hipotermia)

B. Diagnosis Gizi

Excessive fluid intake (NI-3.1) berkaitan dengan keadaan stress metabolik ditandai

dengan penurunan berat badan, penurunan volume urin, demam, dan hipotensi.

C. Intervensi Gizi

1. Tujuan

Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit untuk membantu tubuh dalam bertahap

hidup.

2. Preskripsi

a. Modifikasi jumlah kalori

Pada kondisi awal (fase ebb) tidak diberikan energi dalam jumlah tinggi karena

terjadi peningkatan stress hormon, resistensi terhadap insulin dan hiperglikemia.

b. Modifikasi jumlah cairan dan elektrolitPada kondisi awal (fase ebb) terjadi hypovolemia sehingga rekomendasi resusitasi

cairan dan elektrolit diberikan untuk intervensi. Pemberian cairan sebanyak 600 ml

dengan 6 kali pemberian dimana setiap pemberian sebesar 100 ml.

3. Implementasi

a. Pemberian makanan dan zat gizi

Fase ebb merupakan fase pertama yang dialami oleh tubuh setelah mengalami

keadaan stress metabolik yang berlangsung 12-24 jam pertama. Dalam fase ini

metabolisme tubuh menurun karena focus perhatian tubuh pada upaya betahan

hidup. Peningkatan kadar katekolamin dan glucagon akan meningkatkan

penguraian glikogen (glikogenolisis) dan sintesis glukosa dari asam-asam amino

(gluconeogenesis) sehingga timbul keadaan hiperglikemia.

II. Sepsis dan SIRS Fase Flow

A. Pengkajian Gizi

DOMAIN DATA IDENTIFIKASI MASALAHFOOD/NUTRITION-Related HISTORY (FH)

FH-1.1.1.1 Total Asupan Energi Terjadi penurunan total

Page 21: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

asupan energi dan cairan karena terjadi penurunan nafsu makan.

FH-1.2.1.1 Asupan Cairan

FH-1.5.2.1 Total Asupan Protein Terjadi proteolisis

Data Antropometri (AD)

AD-1.1.4 Perubahan berat badan Biasanya terjadi penurunan berat badan.

Biochemical Data (BD)

BD-1.1.3 Tekanan parsial CO2

pada arteri (PaCO2)Tekanan CO2 < 32 mmHg

Hiperventilasi

BD-1.2.2 Kreatinin Serum kreatinin ≥ 2 kali batas normal

Penurunan fungsi ginjal

BD-1.4.2 Alanine aminotransferase (ALT)

(tinggi, range normal 4-

36 U/L)

Penurunan fungsi hati

BD-1.4.3 Aspartate aminotransferase (AST)

(tinggi, range normal 0-

35 U/L)

BD-1.5.1 Glukosa Darah Puasa (GDP)

>110 mg/dL Hiperglikemia

BD-1.6.1 C-reactive protein (tinggi, normal < 1mg/dl) Meningkat karena adanya inflamasi

BD-1.10.1 Hemoglobin (tinggi, range normal

14-17)

Konsumsi oksigen meningkat

BD-1.10.2 Hematokrit (tinggi, range normal 40-

54%)

BD-1.11.1 Albumin (rendah, range normal

3,5-5 g/dL)

Hipoalbuminemia

BD-1.11.2 Prealbumin (rendah, range normal

16-35 mg/dL)

Menurun

BD-1.11.3 Transferin (rendah, range normal

215-365 mg/dL)

Menurun

BD-1.11.7 Antibody level Leukosit (>12.000 mm3)

Meningkat karena adanya inflamasi

Physical Findings / Penampakan Fisik yang berhubungan dengan gizi (PD)

PD-1.1.3 Kardiovaskuler, system pulmo

- Denyut Nadi- Frekuensi Pernafasan

Nadi > 90 x / menitPernapasan > 20 x / menit (Tachypnea)

Page 22: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

PD-1.1.8 Kulit Terdapat selulitis

PD-1.1.9 Tanda Vital - Tekanan Darah- Suhu tubuh

- Tekanan darah meningkat (hipertensi)

- > 38 0C (demam) atau < 36 0C (hipotermia)

B. Diagnosis Gizi

1. Peningkatan energi ekspenditur (NI-1.1) berkaitan dengan keadaan stress metabolik ditandai dengan dengan penurunan berat badan 5% dalam tiga bulan atau 10% dalam 6 bulan.

2. Perubahan fungsi GI (NC 1.4) berkaitan dengan keadaan stress metabolik ditandai dengan penurunan napsu makan, mual, muntah, dan diare.

3. Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi (NC-2.2) berkaitan dengan keadaan

stress metabolik yang ditandai dengan meningkatnya jumlah leukosit (> 12.000 mm3),

meningkatnya denyut jantung (>90 kali/menit) dan meningkatnya respirasi (>20

kali/menit), demam (>38oC) atau hipotermia (<36oC).

C. Intervensi Gizi

Sasaran intervensi gizi adalah etiologi (akar masalah). Namun pada kondisi stress metabolik

etiologi tidak dapat dirubah oleh praktisi gizi/dietisien, maka intervensi gizi ditujukan untuk

mengurangi tanda & gejala.

1. Tujuan

a. Memenuhi kebutuhan metabolik yang tinggi akibat kondisi stress metabolik.

b. Memenuhi total kebutuhan protein untuk mencegah terjadinya Kurang Energi

Protein (KEP) akibat proteolysis dan peningkatan katabolisme protein.

c. Memenuhi kebutuhan defisiensi zat gizi tertentu seperti vitamin dan mineral.

d. Mencegah terjadinya retensi natrium dan cairan.

4. Preskripsi

a. Modifikasi asupan energi

Tidak diberikan full kalori atau > 35 kcal/kg/24 jam pada 7 hari pertama, tetapi

hanya mencapai 70% dari total kebutuhan kalori. Hal ini dikarenakan dapat

menimbulkan hiperglikemia dan meningkatnya produksi CO2. Rekomendasi

asupan energi sebesar 2000 kkal melalui oral karena pasien tidak mengalami

gangguan menelan maupun masalah pencernaan.

b. Modifikasi jumlah karbohidrat.Pemberian karbohidrat juga diketahui dapat menurunkan proses

proteolisis.Karbohidrat diberikan 55% dari total kalori tanpa melebihi 5

mg/kgbb/menit baik pasien dewasa ataupun pasien anak, atau sama dengan 7

g/kgbb/hari pada pasien dewasa. Dampak metabolisme dari pemberian karbohidrat

Page 23: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

yang berlebihan meliputi intoleransi glukosa, peningkatan produksi karbon

dioksida, peningkatan sintesis lemak, dan infiltrasi lemak hati. Jenis karbohidrat

yang diberikan yaitu karbohidrat kompleks dan indeks glikemik rendah karena

pasien mengalami hiperglikemia.

c. Modifikasi jumlah dan jenis protein dan asam amino spesifikDiberikan tinggi protein sebesar 20% dari total kalori atau 1.2-2 gram/kg BB/hari

untuk perbaikan jaringan karena pada kondisi stress metabolik terjadi peningkatan

katabolisme otot dan proteolisis. Pemberian protein yang optimal sangat penting,

karena dapat meningkatkan ketahanan hidup dengan diet tinggi protein. Asam

amino yang diberikan berupa glutamin. Glutamine merupakan jenis asam amino

yang menjadi berguna pada kasus stress metabolik karena merupakan substrat yang

dipilih oleh limfosit dan enterosit. Pada saat ini, dosis glutamine yang

direkomendasikan adalah 0,3 g/kgbb/hari yang diberikan selama 5-10 hari. Namun

pada sebuah penelitian menunjukkan pemberian glutamine kurang dari 3 hari pada

pasien anak dengan luka bakar tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.

d. Modifikasi jumlah dan jenis lemak

Lemak merupakan nutrien yang tinggi kalori sehingga penambahan kalori tanpa

peningkatan osmolaritas dapat dicapai. Lemak yang diberikan adalah 25% dari

total energi dengan jenis asam lemak omega 3 sebagai anti inflamasi. Sumber

lemak yang dianjurkan adalah lemak tak jenuh seperti kacang, selai kacang,

alpukat, minyak zaitun, dan ikan. Bahan makanan tinggi kandungan omega 3 ialah

minyak ikan, ikan tuna, ikan bandeng, daging sapi, telur ayam, dan kacang walnut.

e. Modifikasi bahan makanan tinggi antiinflamasi dan antioksidan.

Pemberian suplementasi vitamin dan mineral yang tinggi antioksidan untuk

meningkatkan daya tahan tubuh karena terjadi inflamasi. Asupan vitamin dan

mineral yang diberikan seperti vitamin C, vitamin E, dan selenium. Vitamin C 100

mg setiap 8 jam, 400 µg IV selenium setiap hari, 1500 IU vitamin E setiap 12 jam

selama 7 hari atau sampai pasien keluar dari ICU. Vitamin C dan selenium

diberikan secara intravena selama dua hari pertama kemudian diberikan secara

enteral untuk hari berikutnya.

f. Modifikasi jumlah cairan

Kehilangan kalium dan nitrogen lewat urin meningkat sehingga terjadi retensi

natrium dan cairan. Pemberian cairan dilakukan berdasarkan jumlah cairan yang

hilang dengan ditambah jumlah keluaran urine serta feses dan insensible water

lose. Pada dasarnya setiap orang akan memerlukan cairan sebesar 1,5 – 2 liter per

Page 24: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

hari sehingga apabila terjadi kondisi stress metabolik akan diperlukan penambahan

cairan yang bisa dicapai lewat pemberian infus, plasma atau darah.

g. Rekomendasi pemberian makan enteral atau parenteral

Pemberian nutrisi enteral dapat memperbaiki fungsi saluran gastro intestinal dan

mencegah atrofi villi usus. Sedangkan pemberian nutrisi parenteral biasanya karena

pasien tidak bisa makan dengan sonde karena tractus gastro intestinal tak berfungsi

atau tidak bisa digunakan untuk memberikan istirahat usus post reseksi.

5. Implementasi

a. Pemberian Makanan dan Zat Gizi

Pasien yang mengalami stress metabolik akan menimbulkan respons

hipermetabolik yang panjang yang bergantung kepada derajat keparahan dari

penyakit, yang mana respons hipermetabolik ini disebabkan oleh respons stres

endokrin dan respons inflamasi (mediator multiple).

Pemberian menu diet disesuaikan dengan kebutuhan energi dan kondisi pasien.

Bila usus masih berfungsi dengan baik mutlak pemberian nutrisi haruslah peroral

kalau tidak bisa makan karena koma, mual muntah maka alternatif adalah

perenteral (pipa lambung). Pemberian nutrisi enteral secara dini (6-12 jam setelah

kejadian) maupun pemberian makanan dengan konsistensi cair atau lunak dapat

memberikan manfaat secara klinis dan biologis antara lain memperkecil respons

katabolik, mengurangi komplikasi infeksi, memperbaiki toleransi pasien,

mempertahankan integritas usus, mempertahankan integritas/respons imunologis

dan memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu sakit.

Pemberian antibiotik juga dibutuhkan untuk mengeliminasi benda asing atau yang

menyebabkan infeksi.

b. Pemberian Edukasi Gizi

Melatih keterampilan atau membagi pengetahuan yang membantu pasien/keluarga

dalam mengelola atau memodifikasi diet dan perilaku sehingga dapat membantu

prosess penyembuhan. Edukasi ini meliputi edukasi gizi awal/singkat dan edukasi

gizi secara menyeluruh. Materi edukasi yang dapat diberikan meliputi gizi

seimbang untuk kondisi stress metabolik, menu diet yang dapat diterapkan

pasien/keluarga.

c. Pemberian Konseling Gizi

Konseling gizi diberikan sesuai dengan kondisi penyakit pasien. Konselor

mengkaji beberapa data yang diperlukan seperti data riwayat makan dan data

klinis. Berdasarkan diagnosis medis dan diagnosis gizi, konselor menjelaskan

tujuan dan proses konseling gizi sehingga terjadi perubahan perilaku dan pola

Page 25: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

makan pasien. Konselor memberikan gambaran kebutuhan zat gizi pasien dan

beberapa contoh menu untuk memudahkan pasien/keluarga. Melalui konseling gizi

ini diharapkan dapat meringankan keadaan stress metabolik yang dialami pasien.

d. Koordinasi Gizi

Kegiatan konsultasi atau koordinasi dengan tenaga kesehatan atau institusi lain

dalam memberikan asuhan gizi yang dapat membantu atau mengelola masalah

metabolik stress.

III. MSOF/MODS

A. Pengkajian Gizi

DOMAIN DATA IDENTIFIKASI MASALAHFOOD/NUTRITION-Related HISTORY (FH)

FH-1.1.1.1 Total Asupan Energi Terjadi penurunan total asupan energi, cairan dan elektrolit (hypovolemia).

FH-1.2.1.1 Asupan Cairan

FH-1.2.2.5 Variasi Makanan Biasanya variasi menu yang dapat dikonsumsi berkurang

Data Antropometri (AD)

AD-1.1.1 Panjang/tinggi badan Data tinggi dan berat badan diperlukan untuk memperkirakan kebutuhan energi pasien

AD-1.1.2 Berat badan

AD-1.1.4 Perubahan berat badan Biasanya terjadi penurunan berat badan.

Biochemical Data (BD)

BD-1.1.3 PaCO2 Biasanya terjadi peningkatan PaCO2

BD-1.2.2 Kreatinin Serum kreatinin ≥ 2 kali batas normal

Terkait dengan penurunan fungsi ginjal dan hypovolemia

BD-1.4.6 Total bilirubin Biasanya terjadi hiperbilirubinemia

BD-1.5.1 Glukosa Darah Puasa (GDP)

<110 mg/dL Kadar insulin menurun karena peningkatan kadar glukagon

BD-1.10.1 Hemoglobin  (rendah, range

normal 14-17)

Berisiko terjadi hipoksia

BD-1.11.3 Transferin (rendah, range

normal 215-365

mg/dL)

BD-1.12.5 Volume urin <0.3cc/kgBB/jam Penurunan volume urin/oliguri

Physical Findings / Penampakan Fisik yang berhubungan dengan gizi (PD)

Page 26: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

PD-1.1.1 Kenampakan keseluruhan Lemas, pucat, demam

PD-1.1.3 Kardiovaskuler, system pulmo

- Denyut Nadi < 90 x / menit

- Frekuensi Pernafasan

< 20 x / menit

Penurunan cardiac output

PD-1.1.9 Tanda Vital - Tekanan Darah- Suhu tubuh

- Tekanan darah menurun (hipotensi)

- < 36 0C (hipotermia)B. Diagnosis Gizi

a. Kurangnya asupan energi berkaitan dengan MSOF ditandai dengan asupan energi

<80% dari kebutuhan.

b. Penurunan berat badan yang tidak dikehendaki berkaitan kurangnya asupan energi

ditandai dengan penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan

c. Ketidaksiapan untuk merubah diet berkaitan dengan ketidakinginan untuk berubah

ditandai dengan ketidak percayaan pasien terhadap perubahan yang

direkomendasikan.

C. Intervensi Gizi

Intervensi gizi yang diberikan untuk mencegah perkembangan dari penyakit akibat dari masalah gizi yang ada.Tujuan

1. Memenuhi kebutuhan zat gizi

2. Mempertahankan atau memperbaiki status gizi

Preskripsi1. Modifikasi asupan energi

Tidak diberikan full kalori atau > 35 kcal/kg/24 jam pada 7 hari pertama, tetapi hanya

mencapai 70% dari total kebutuhan kalori. Hal ini dikarenakan dapat

menimbulkan hiperglikemia dan meningkatnya produksi CO2. Rekomendasi asupan

energi sebesar 2000 kkal melalui oral karena pasien tidak mengalami gangguan

menelan maupun masalah pencernaan.

2. Modifikasi jumlah karbohidrat

Pemberian karbohidrat juga diketahui dapat menurunkan proses

proteolisis.Karbohidrat diberikan 55% dari total kalori tanpa melebihi 5

mg/kgbb/menit baik pasien dewasa ataupun pasien anak, atau sama dengan 7

g/kgbb/hari pada pasien dewasa. Dampak metabolisme dari pemberian karbohidrat

yang berlebihan meliputi intoleransi glukosa, peningkatan produksi karbon dioksida,

peningkatan sintesis lemak, dan infiltrasi lemak hati. Jenis karbohidrat yang diberikan

Page 27: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

yaitu karbohidrat kompleks dan indeks glikemik rendah karena pasien mengalami

hiperglikemia.

3. Modifikasi jumlah dan jenis protein dan asam amino spesifikDiberikan tinggi protein sebesar 20% dari total kalori atau 1.2-2 gram/kg BB/hari

untuk perbaikan jaringan karena pada kondisi stress metabolik terjadi peningkatan

katabolisme otot dan proteolisis. Pemberian protein yang optimal sangat penting,

karena dapat meningkatkan ketahanan hidup dengan diet tinggi protein. Asam amino

yang diberikan berupa glutamin. Glutamine merupakan jenis asam amino yang

menjadi berguna pada kasus stress metabolik karena merupakan substrat yang dipilih

oleh limfosit dan enterosit. Pada saat ini, dosis glutamine yang direkomendasikan

adalah 0,3 g/kgbb/hari yang diberikan selama 5-10 hari. Namun pada sebuah

penelitian menunjukkan pemberian glutamine kurang dari 3 hari pada pasien anak

dengan luka bakar tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.

4. Modifikasi jumlah dan jenis lemak

Lemak merupakan nutrien yang tinggi kalori sehingga penambahan kalori tanpa

peningkatan osmolaritas dapat dicapai. Lemak yang diberikan adalah 25% dari total

energi dengan jenis asam lemak omega 3 sebagai anti inflamasi. Sumber lemak yang

dianjurkan adalah lemak tak jenuh seperti kacang, selai kacang, alpukat, minyak

zaitun, dan ikan. Bahan makanan tinggi kandungan omega 3 ialah minyak ikan, ikan

tuna, ikan bandeng, daging sapi, telur ayam, dan kacang walnut.

5. Modifikasi vitamin CVitamin C 100 mg setiap 8 jam, Vitamin C diberikan secara intravena selama dua hari

pertama kemudian diberikan secara enteral untuk hari berikutnya.

6. Modifikasi vitamin ASebanyak 600 mcg vitamin A diberikan setiap hari.

7. Modifikasi vitamin C1500 IU vitamin E selama 7 hari atau sampai pasien keluar dari ICU

8. Selenium400 µg selenium setiap hari, selenium diberikan secara intravena selama dua hari

pertama kemudian diberikan secara enteral untuk hari berikutnya.

9. SodiumAsupan sodium dibatasi tidak lebih dari 2g/hari.

10. Merekomendasikan jumlah cairan Kehilangan kalium dan nitrogen lewat urin meningkat sehingga terjadi retensi natrium

dan cairan. Pemberian cairan dilakukan berdasarkan jumlah cairan yang hilang

dengan ditambah jumlah keluaran urine serta feses dan insensible water lose. Pada

dasarnya setiap orang akan memerlukan cairan sebesar 1,5 – 2 liter per hari sehingga

Page 28: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

apabila terjadi kondisi stress metabolik akan diperlukan penambahan cairan yang bisa

dicapai lewat pemberian infus, plasma atau darah.

11. Enteral dan Parenteral jika diperlukan Pemberian nutrisi enteral dapat memperbaiki fungsi saluran gastro intestinal dan

mencegah atrofi villi usus. Sedangkan pemberian nutrisi parenteral biasanya karena

pasien tidak bisa makan dengan sonde karena tractus gastro intestinal tak berfungsi

atau tidak bisa digunakan untuk memberikan istirahat usus post reseksi.

Implementasi a. Pemberian Makanan dan Zat Gizi

Pasien yang mengalami MSOF akan menimbulkan respons hipermetabolik yang

panjang yang bergantung kepada derajat keparahan dari penyakit, yang mana respons

hipermetabolik ini disebabkan oleh respons stres endokrin dan respons inflamasi

(mediator multiple).

Pemberian menu diet disesuaikan dengan kebutuhan energi dan kondisi pasien. Bila

usus masih berfungsi dengan baik mutlak pemberian nutrisi haruslah peroral kalau

tidak bisa makan karena koma, mual muntah maka alternatif adalah perenteral (pipa

lambung). Pemberian nutrisi enteral secara dini (6-12 jam setelah kejadian) maupun

pemberian makanan dengan konsistensi cair atau lunak dapat memberikan manfaat

secara klinis dan biologis antara lain memperkecil respons katabolik, mengurangi

komplikasi infeksi, memperbaiki toleransi pasien, mempertahankan integritas usus,

mempertahankan integritas/respons imunologis dan memberikan sumber energi yang

tepat bagi usus pada waktu sakit.

Pemberian antibiotik juga dibutuhkan untuk mengeliminasi benda asing atau yang

menyebabkan infeksi.

b. Pemberian Edukasi Gizi Melatih keterampilan atau membagi pengetahuan yang membantu pasien/keluarga

dalam mengelola atau memodifikasi diet dan perilaku sehingga dapat membantu

prosess penyembuhan. Edukasi ini meliputi edukasi gizi awal/singkat dan edukasi gizi

secara menyeluruh. Materi edukasi yang dapat diberikan meliputi gizi seimbang untuk

kondisi stress metabolik, menu diet yang dapat diterapkan pasien/keluarga.

c. Pemberian Konseling Gizi Konseling gizi diberikan sesuai dengan kondisi penyakit pasien. Konselor mengkaji

beberapa data yang diperlukan seperti data riwayat makan dan data klinis.

Berdasarkan diagnosis medis dan diagnosis gizi, konselor menjelaskan tujuan dan

proses konseling gizi sehingga terjadi perubahan perilaku dan pola makan pasien.

Konselor memberikan gambaran kebutuhan zat gizi pasien dan beberapa contoh menu

Page 29: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

untuk memudahkan pasien/keluarga. Melalui konseling gizi ini diharapkan dapat

meringankan keadaan stress metabolik yang dialami pasien.

d. Koordinasi Gizi Kegiatan konsultasi atau koordinasi dengan tenaga kesehatan atau institusi lain dalam

memberikan asuhan gizi yang dapat membantu atau mengelola masalah MSOF.

IV. Luka bakar Fase Ebb

a. Pengkajian gizi

Domain Sub Domain Pengkajian Gizi

Anthropometric measurements (AD)

AD-1.1 Body composition/growth/weight history

AD-1.1.1 Height/lengthAD-1.1.2 Weight

AD-1.1.4 Weight changeAD-1.1.5 BMI

Biocemical data, medical test (BD)

BD-1.1 Acid base balance

BD-1.1.3 PaCO2

BD-1.2 Electrolyte and renal profile

BD-1.2.5 SodiumBD-1.2.6 ChlorideBD-1.2.7 PotassiumBD-1.2.8 MagnesiumBD-1.2.9 Calcium, SerumBD-1.2.10 Calcium, iodizedBD-1.2.11 PhosphorusBD-1.2.12 Serum osmolality

BD-1.6 Inflamatory profile

BD-1.6.1 C-reactive protein

BD-1.8 Metabolic rate

BD-1.8.1 Resting metabolic rate, measured

BD-1.8 Nutritional anemia profile

BD-1.10.1 HemoglobinBD-1.10.2 Hematokrit

BD-1.11 Protein profile

BD-1.11.7 Antibody level specific

Nutrition-focused physical finding (PD)-

PD-1.1 Nutrition-focused physical finding

PD-1.1.1 Overall appearancePD-1.1.4 Extremities, muscles, bones

- EdemaPD-1.1.8 Skin

- Terdapat luka bakarPD-1.1.9 Vital sign:

- Tekanan darah- Respiratory rate- Heart rate- Suhu tubuh

Client history (CH) CH-1.1 Personal data CH-1.1.1 Usia

CH-1.1.2 Jenis kelaminCH-2.1 Partient/client OR

CH-2.1.2 Cardiovascular

CH-2.1.3 Endocrine/metabolism

Page 30: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

family nutrition oriented

CH-2.1.3 Excretory

CH-2.1.13 Respiratory

Comparative Standards (CS)

CS-1.1 Estimated energy needs

CS-1.1.1 Total estimated energy needs

b. Diagnosis gizi

Domain Sub Domain Diagnosis GiziIntake (NI) NI-3 Fluid intake NI-3.1 Inadequate fluid

intakeClinical (NC) NC-2 Biochemical NC-2.2 Altered nutrition-

related laboratory values

Kalimat P-E-S1. Peningkatan kebutuhan cairan (NI-2.1) berkaitan dengan adanya luka bakar ditandai

dengan dehidrasi berat yang terjadi.

2. Perubahan nilai laboratorium terkait dengan gizi, Elektrolit dan Profile Ginjal;

Sodium, Potassium, Magnesium, Calcium, dan Phosporus, (NC- 2.2) berkaitan

dengan adanya luka bakar ditandai dengan terganggunya keseimbangan elektrolit.

V. Luka Bakar Fase FlowA. Pengkajian gizi

Domain Sub Domain Pengkajian GiziFood/nutrition-related

history(FH)FH- 2.1.2 Diet Experience

FH- 2.1.2.5 Food AllergiesFH- 2.1.2.6 Food Intolerance

FH- 5.2 Avoidance behavior

FH- 5.2.1 Avoidance

FH- 5.4 Mealtime behavior

FH- 5.4.8 Willingness to try new food

Anthropometric measurements (AD)

AD-1.1 Body composition/growth/weight history

AD-1.1.1 Height/lengthAD-1.1.2 Weight

AD-1.1.4 Weight change

AD-1.1.5 BMI

Biocemical data, medical test (BD)

BD-1.2 Electrolyte and renal profile

BD-1.2.2 CreatinineBD-1.2.3 BUN: Creatinine ratio

BD-1.5 Glucose/endocrine profile

BD-1.5.1 Glucose, fasting

BD-1.8 Metabolic rate BD-1.8.1 Resting metabolic rate, measured

BD-1.8 Nutritional anemia profile

BD-1.10.1 HemoglobinBD-1.10.2 Hematokrit

BD-1.11 Protein profile BD-1.11.1 AlbuminBD-1.11.2 PrealbuminBD-1.11.3 TransferinBD-1.11.7 Antibody level specificPD-1.1.1 Overall appearance

Page 31: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

Nutrition-focused physical finding (PD)

PD-1.1 Nutrition-focused physical finding

PD-1.1.4 Extremities, muscles, bones- Edema

PD-1.1.8 Skin- Terdapat luka bakar

Client history (CH)CH-1.1 Personal data CH-1.1.1 Usia

CH-1.1.2 jenis kelamin

Comparative Standards (CS)

CS-1.1 Estimated energy needs

CS-1.1.1 Total estimated energy needs

CS-2.2 Estimated protein needs

CS-2.2.1 Total estimated protein needs

CS-2.3 Estimated carbohydrate needs

CS-2.3.1 Total estimated carbohydrate needs

B. Diagnosis GiziDomain Sub Domain Diagnosis Gizi

Intake (NI) NI-1 Energy balance NI-1.1 Increased energy expenditure

NI-2 Oral or Nutrition support intake

NI-2.1 Inadequate oral intake

NI-5 Nutrient NI-5.1 Increased nutrient needs

NI-5.3 Inadequate protein-energy intake

Clinical (NC) NC-2 Biochemical NC-2.1 Impaired nutrient utilizationNC-2.2 Altered nutrition-related laboratory values

Kalimat P-E-S1. Peningkatan kebutuhan protein (NI 5.3) berkaitan dengan peningkatan kebutuhan gizi

untuk penyembuhan luka bakar ditandai dengan adanya luka bakar grade II dan kadar

albumin 2,5 gr/dl yang termasuk rendah.

2. Perubahan nilai laboratorium terkait dengan gizi, Albumin (NC- 2.2) berkaitan

dengan adanya luka bakar ditandai dengan asupan protein yang menurun dan kadar

albumin 2,5 gr/dl

C. Intervensi gizi

a) Fase Ebb

Setelah terjadi luka bakar, tubuh mengalami dua fase metabolik. Fase pertama yang

dialami tubuh disebut fase ebb, yaitu fase dimana terjadinya penurunan laju

metabolik.. Fase ebb atau fase awal, langsung terjadi tepat setelah terjadinya luka

bakar, dan berlangsung selama 24-48 jam pertama. Fase ini diantaranya ditandai

dengan penurunan konsumsi oksigen, hipotermia, hipovolemia, syok, hipoksia pada

jaringan, hiperglikemia, dan hipometabolisme.

1. Tujuan

Page 32: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

a. Mencegah terjadinya dehidrasi

b. Mengurangi risiko komplikasi akibat luka bakar

2. Preskripsi

a. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang

Penggantian cairan perlu dilakukan bagi pasien yang mengalami luka bakar >10%

(dewasa) dan 15% (anak). Penggantian cairan disesuaikan dengan usia pasien,

berat badan, dan tingkat keparahan luka. Tingkat keparahan luka diukur melalui

luas bagian tubuh yang terbakar (TBSA), dihitung dengan metode "rule of nines".

Untuk luka yang lebih kecil, hitung persen luka bakar menggunakan telapak

tangan pasien (termasuk jari). Satu telapak tangan mewakili 1% TBSA.1

24 jam pertama:

Perhitungan cairan menggunakan Modified Parkland Formula:

3-4 mL x Berat badan x TBSA

Pada delapan jam pertama, pasien luka bakar harus menerima separuh dari total

jumlah cairan yang diberikan untuk 24 jam pertama. Separuhnya akan diberikan

pada 16 jam selanjutnya. Setelah itu, penggantian cairan harus tetap dilakukan

untuk mencegah dehidrasi dan menggantikan cairan yang hilang dari luka.

Digunakan larutan Lactated Ringer's untuk penggantian cairan. Anak yang

memiliki berat badan di bawah 30 kg membutuhkan tambahan 5% dekstrosa atau

N/2 saline untuk mempertahankan keseimbangan cairan.1–3

24 jam selanjutnya:

Dilakukan infusi koloid yang mengandung 5% albumin 0.3-1 mL/kg

BB/%TBSA/16 per jam2

Laju pemberian cairan:

Laju pemberian cairan disesuaikan dengan output urin. Berapapun kebutuhan

cairan dan apapun formula yang digunakan, output urin harus dipertahankan 0.5-

1.0 mL/kg/jam untuk dewasa, dan 1.0-1.5 mL/kg/jam untuk anak-anak.1,3

Hal yang perlu diperhatikan, pemberian makanan hanya dapat dilakukan jika

pasien sudah terhidrasi.4 Pada pasien luka bakar, pemberian makanan enteral

dalam 24 jam pertama dapat mencegah terjadinya infeksi akibat translokasi

bakteri dan penurunan katabolisme protein.5

3. Implementasi

a. Pemberian Makanan dan Zat Gizi

Pada fase Ebb, penggantian cairan merupakan hal yang sangat penting dilakukan

sebelum pemberian makanan. Penggantian cairan diberikan melalui jaringan yang

tidak terbakar. Penggantian cairan dilaukan untuk rehidrasi cairan yang hilang lewat

Page 33: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

luka bakar. Setelah pasien terhidrasi, dilakukan initial feeding lewat jalur enteral.

Pemberian nutrisi enteral dipilih karena memiliki keuntungan salah satunya yaitu

dapat mencegah translokasi bakteri sehingga menurunkan kemungkinan infeksi.5

b. Koordinasi Gizi

Koordinasi dilakukan oleh ahli gizi dengan berbagai tenaga kesahatan lain yang

terkait dengan pengelolaan masalah pasien dengan luka bakar. Tenaga kesehatan yang

terkait dengan pengelolaan gizi untuk pasien luka bakar fase ebb adalah dokter dan

perawat.

b) Fase Flow

Fase flow yang dibagi menjadi 2 fase, respons akut dan respons adaptif. Fase flow

yang ditandai dengan respons metabolik berupa hipermetabolisme, katabolisme dan

perubahan respons imun serta hormonal, peningkatan cardiac output, konsumsi

oksigen, suhu tubuh, energy expenditure, dan jumlah katabolisme protein tubuh yang

diiikuti resusitasi cairan dan pemulihan transportasi oksigen. Peningkatan fisiologis

terjadi pada produksi glukosa, pelepasan asam lemak bebas, tingkat sirkulasi insulin,

katekolamin, glukagon, dan kortisol. Besarnya respon hormonal tampaknya terkait

dengan keparahan cedera.6

1. Tujuan

a. Untuk penyembuhan luka yang optimal dan pemulihan yang cepat dari

luka bakar

b. Untuk meminimalkan risiko komplikasi, termasuk infeksi selama masa

pengobatan

c. Untuk mencapai dan mempertahankan status gizi normal

d. Untuk meminimalkan gangguan metabolik selama proses pengobatan

e. Menjaga massa tubuh, massa tubuh terutama lemak

2. Preskripsia. Modifikasi jumlah kalori

Modifikasi jumlah kalori pada pasien burn karena adanya peningkatan

permintaan energ disebabkan peningkatan tingkat metabolisme, proses

abnormal dan tidak efisien zat gizi (Karbohidrat dan lemak), hipertermia,

dan glukoneogenesis berlebihan.7

Page 34: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

a. Modifikasi jumlah karbohidrat.

CHO juga dapat menurunkan proteolysis. Pasien diberikan karbohidrat sekitar

60 sampai 70% dari total energi tetapi pemberian tetap hati-hati. jangan

melebihi kemampuan pasien untuk memetabolisme CHO.7

b. Modifikasi jumlah protein

kebutuhan protein meningkat karena peningkatan katabolisme otot, luka dan

perbaikan jaringan. Pemberian protein yang optimal sangat penting karena

ketahanan meningkat dengan diet tinggi protein. Protein sekitar 20% -25%

dari total kalori. Umumnya, orang dewasa akan membutuhkan 1,5-2 g protein

/ kg / hari, dan anak-anak akan membutuhkan 2,5-3,0 g protein / kg / hari.7

c. Modifikasi jumlah dan jenis lemak

Asupan lemak pasien luka bakar harus kurang dari 20% dari total energi.

Terlalu banyak lemak bisa menyebabkan gangguan fungsi sistem kekebalan

tubuh dan meningkatkan risiko resultan infeksi. Namun, omega-3 asam lemak

mungkin mengurangi risiko ini untuk fungsi kekebalan tubuh. Bahkan, asam

lemak omega-3 positif memodulasi respon inflamasi dan imunologi. Hal ini

wajar untuk memberikan 12% -15% dari lemak. Medium-chain triglycerides

(MCT) dioksidasi lebih baik dari trigliserida. Penggunaan MCT

meningkatkan sintesis protein dalam hati, mengurangi katabolisme protein dan

pengeluaran kalori. MCT memiliki keuntungan untuk pasien luka bakar,

karena dioksidasi dengan kecenderungan lebih rendah untuk endapan di

jaringan adiposa atau penggabungan di membran sebagai prekursor

prostanoid. Dalam hal apapun, lemak tidak boleh melebihi 2 g / kg / hari.7,8

d. Modifikasi asupan mikronutrien

Mikronutrien juga harus diperhatikan postburn karena protein dan energi tidak

efektif digunakan jika intake mikronutrien tidak memadai. Elemen seperti

Page 35: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

seng dan tembaga yang hilang dalam eksudat dari luka bakar dan selenium

mungkin hilang selama prosedur bedah seperti eksisi dan grafting.

Kebutuhan vitamin tertentu juga meningkat, misalnya:

Vitamin C diperlukan untuk sintesis kolagen dan fungsi kekebalan tubuh,

vitamin A diperlukan untuk epitelisasi dan pemeliharaan respon imun. Intake

energi tinggi juga menyebabkan peningkatan permintaan untuk vitamin B.

Oleh karena itu vitamin dan mineral tambahan yang diperlukan untuk

penyembuhan luka. Trace elemen adalah mikronutrien penting karena tidak

dapat disintesis dalam tubuh. Trace elemen adalah komponen dari berbagai

enzim yang berperan dalam Stres oksidatif, penyembuhan luka, fungsi

kekebalan. The European Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN)

14 51 merekomendasikan pemberian trace elemen setidaknya9:

7-8 hari untuk luka bakar> 20-40%

2 minggu untuk luka bakar 40 -60%

30 hari untuk luka bakar> 60%

2. Implementasi

a. Pemberian Makanan dan Zat Gizi

Implementasi pemberian makanan pada pasien sesuai dengan preskripsi diet.

kebutuhan gizi setelah luka bakar dapat dipenuhi jika mengikuti manajemen

diet. Namun, jika pasien tersebut kurang gizi, minuman tambahan mungkin

diperlukan serta suplemen mikronutrien tambahan untuk memperbaiki

kekurangan yang sudah ada sebelumnya. Selama pelaksanaan rencana

perawatan gizi, faktor-faktor berikut perlu dipertimbangkan: 1) volume

makanan yang disediakan; 2) kawasan yang terbakar - mengunyah dapat

menyebabkan nyeri pada luka bakar; 3) keadaan psikologis, rasa sakit dan

Page 36: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

kecemasan dapat mempengaruhi nafsu makan dan harus dikontrol secara rutin;

4) pengaruh agama dan budaya perlu dipertimbangkan untuk mengoptimalkan

asupan gizi.

b. Koordinasi Gizi

Pelaksanaan dan pemantauan asupan sangat bergantung pada komitmen tim

perawatan luka bakar untuk memastikan pengiriman yang optimal dari asupan

makanan dan menilai efek faktor psikologis pada asupan makanan. Koordinasi

dilakukan oleh ahli gizi dengan berbagai tenaga kesahatan lain yang terkait

dengan pengelolaan masalah pasien dengan luka bakar. Tenaga kesehatan

yang terkait dengan pengelolaan gizi untuk pasien luka bakar adalah dokter

dan perawat.

VI. Operasi

A. Pengkajian gizi

Domain Sub Domain Pengkajian GiziFood history (FH) Diet history (FH-2.1) FH-2.1.2.5 Food allergies

FH-2.1.2.6 Food intolerance

Beliefs and attitudes (FH-4.2) FH-4.2.12 Food preference)

Mealtime behaviour (FH-5.3) FH-5.3.1 Meal durationAnthropometric measurement (AD)

Body compotition /growth/weight history (AD-1.1)

AD-1.1.1 Tinggi badanAD-1.1.2 Berat badanAD-1.1.4 Weight changeAD-1.1.5 IMT

Biochemical data, medical test and procedures (BD)

Inflamatory profile (BD-1.6) BD-1.6.1 C-reactive protein

Protein profile (BD-1.11) BD-1.11.1 AlbuminNutrition focused physical finding (PD)

Nutrition focused physical finding (PD-1.1)

PD-1.1.1 Overal appearancePD-1.1.5 Digestive systemPD-1.1.9 Vital sign

Client history (CH) Personal data (CH-1.1) CH-1.1.1 UsiaCH-1.1.2 Jenis kelamin

Social history (CH-3.1) CH-3.1.1 Sosioeconomic factors

Tratments or therapy (CH-2.2) CH-2.2.2 Surgical treatment

B. Diagnosis Gizi

Domain Sub Domain Diagnosis GiziIntake (NI) Energy intake (NI-1.1) NI-1.1.1 Increased energy

expenditureNI-1.1.2 Inadequate energy intake

Oral or nutrition support intake (NI-1.2)

NI-1.2.1 Inadequate oral intake

Nutrien (NI-5) NI-5.1 Increased nutrient

Page 37: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

needsClinical (NC) Functional (NC-1) NC-1.1 Swallowing

dificultyNC-1,4 Altered GI function

Biochemical (NC-2) NC-2.1 Impaired nutrient utilizationNC-2.2 Altered nutrition-related laboratory values

C. Intervensi Gizi

a. Tujuan

1) Memberikan asupan energi sesuai dengan estimasi kebutuhan, agar dapat

mempertahankan dan meningkatkan status gizi pasien post surgery

2) Mencegah terjadinya penurunan berat badan

b. Preskripsi

1) Modifikasi rute pemberian makan sesuai kemampuan pasien

2) Modifikasi jumlah energi

3) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian protein

4) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian vitamin C

c. Implementasi

1) Modifikasi rute pemberian makan

Sebelum memberikan makanan kepada pasien paska operasi, harus

diperhatikan kondisi hemodinamik (denyut nadi, tekanan darah, suhu tubuh

dan respiratory rate) pasien harus stabil. Enhanced recovery of patients after

surgery (ERAS) menjadi fokus penting dalam manajemen perioperatif. Hal ini

bertujuan untuk memghindari periode puasa panjang paska operasi,

mengenalkan dini makanan melalui oral, mengontrol metabolisme tubuh

misalnya mengontrol glukosa darah, dan mengurangi faktor yang dapat

memicu memperburuk kondisi pasien1.

Makanan enteral dapat diberikan melalui oral maupun menggunakan tube

feeding memberikan kemungkinan pasien dapat memenuhi kebutuhan

energinya. Makanan enteral diindikasikan kepada pasien yang tidak dapat

mengkonsumsi makanan secara oral diatas 60% dari asupan yang

direkomendasikan, sehingga dalam hal ini diperlukan nutrition support.

2) Modifikasi jumlah energi

Pemberian jumlah asupan energi diseuaikan dengan kebutuhan pasien.

Estimasi kebutuhan energi pasien dapat dihitung menggunakan rumus Harris

–Benedict x 1,3-1,5 (faktor stres) atau dapat menggunakan estimasi 25-30

kkal/kgBB2.

Page 38: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

3) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian protein

Branched chain amino acid (BCAA) karena dapat meningkatkan kemampuan

tubuh untuk mensintesis protein dan perbaikan otot, mengangut energi ke otot

dan mencegah kerusakan jaringan otot3. Sebuah studi menunjukkan bahwa,

suplementasi asam amino dapat membantu proses pemulihan paska operasi4.

Jenis asam amino esensial yang dapat diberikan kepada pasien paska operasi

adalah glutamin. Dalam sebuah studi menunjukan bahwa, dengan pemberian

glutamin dapat meningkatkan laju sintesis protein pada sel enterosit5.

Penelitian lain menyebutkan, umumnya pemberian suplementasi glutamin

secara enteral kemungkinan meningkatkan glutamin plasma kecil, namun

berbeda dengan suplementasi parenteral, lebih memungkinkan meningkatkan

keseimbangan nitrogen. Intake protein dibawah 0,15 g N/kg/hari (1 g N = 6,25

g protein) dapat mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh.7 Pemberian

suplementasi glutamin pada pasien paska operasi berpengaruh terhadap

penurunan kejadian komplikasi karena infeksi di rumah sakit dan waktu

lamanya dirumah sakit. Sedangkan pada pasien critically ill menunjukkan

adanya penurunan komplikasi dan kematian6.

4) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian vitamin C

Penurunan konsentrasi Vitamin C dalam darah saat operasi karena

peningkatan kebutuhan disebabkan redistribusi dan stres oksidatif. Vitamin C

sangat penting untuk kesehatan sistem imun, penyembuhan luka dan

antioksidan. Penurunan konsentrasi terjadi signifikan selama 7 hari setelah

operasi dan semakin terus menurun dengam adanya komplikasi. Asupan

harian yang direkomendasikan diatas kebutuhan untuk menormalkan

konsentrasi vitamin C plasma dan jaringan. Tubuh tidak dapat mensistesis

vitamin C sehingga diperlukan konsumsi asupan sumber vitamin C dari buah,

sayur dan makanan dari tumbuhan. Rata-rata suplemen multivitamin di US

mengandung 200 mg vitamin C.Pada pasien yang melakukan operasi

uncomplicated sulementasi vitamin C lebih dari 500 mg/hari dapat dibutuhkan

untuk membantu mempercepat penyembuhan luka.8

Page 39: Kelompok 2_materi Stress Metabolik

Daftar Pustaka

Nelms MN. Metabolic Stress and the Critically Ill. In: Cossio Y, editor. Nutrition Therapy & Pathophysiology. 2nd ed. Cengage Learning; 2010. p. 682.

Evers LH, Bhavsar D, Mailänder P. The biology of burn injury. Exp Dermatol. 2010;19(9):777–83.

Weimann A, Braga M, Harsanyi L, et al. ESPEN Guidelines on ENteral NutritionL Surgery including Organ Transpalntation. 2006;25(2):224-244.

ASPEN Nutrition Support Practice Manual. 2nd ed.Amino Acid Supplements Help Surgery Recovery. http://aminoacidstudies.org/amino-acid-

supplements-help-surgery-recovery/.Dreyer HC, Strycker LA, Senesac HA, et al. Essential Amino Acid Supplementation in

Patients Following Total Knee Arthroplasty. J Clin Invest. 2013. http://www.jci.org/articles/view/70160.

Bacquer L, Nasih H, Blottiere H, Meynal-Denis D, Laboisse C, Darmaun D. Effects of Glutamine Deprivation on Protein Synthesis in A Model of Human Enterocytes in Culture. Am J Physiol. 2001;281:G1340-G1347.

Novak F, Heyland D, Avenell A, Drover J, Su X. Glutamine Supplementation in Serious Illnes: A Systematic Review of Evidence. Crit Care Med. 2002;30:2022-2029.

Stroud M, Duncan H, Nightingale j. Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients. Gut 2003;52(Suppl VII):vii1–vii12.

Forte. Pre-Op & Post Op:Science-based, Targeted Nutritional Support for the Surgical Patient. Utah; Forte Element.

Connolly S. Clinical Practice Guidelines : Burn Patient Management ACI Statewide Burn Injury Service Produced by : 2011;(August):33.

Haberal M, Abali AES, Hamdi Karakayali. Fluid management in major burn injuries. Indian J Plast Surg [Internet]. 2010;43(Suppl):S29–36. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3038406/

Warden GD. Burn shock resuscitation. World J Surg. 1992;16(1):16–23. Grodner. Nutrition & Medication and Metabolic Stress. p. 1–26. Available from:

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiOsNqM_arLAhWLcY4KHQF4C9QQFgglMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.coursewareobjects.com%2Fobjects%2Fevolve%2FE2%2Fbook_pages%2Fnutrition%2Fpdfs%2FgrodnerCh15.pdf&usg=AFQjCNFh3bVe8MulXjyYbwQScCrXzigT0A&sig2=lUWUNh6yFqg37W6PZ4neHg

Wanek S, Wolf SE. Metabolic response to injury and the role of anabolic hormones. Current Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic Care 2007;10(3):272–7.

Deitch EA. Nutritional support of the burn patient. Critical Care Clinics 1995;11(3):735–50.Waymack JP, Herndon DN. Nutritional support of burned patients. World J Surg

1992;16:80–6.Rousseau A-F, et al. ESPEN endorsed recommendations: Nutritional Therapy in Major

Burns, Clinical Nutrition (2013)