Top Banner
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang CTEV (Congenital Talipes Equino Varus) atau biasa disebut sebagai kaki pengkor atau clubfoot adalah suatu kelainan pada kaki bayi yang merupakan kelainan bawaan sejak lahir. Clubfoot yang terbanyak merupakan kombinasi dari beberapa posisi dan angka kejadian yang paling tinggi adalah tipe Talipes Equino Varus (TEV) dimana kaki posisinya melengkung ke bawah dan ke dalam dengan berbagai tingkat keparahan. Unilateral clubfoot lebih umum terjadi dibandingkan tipe bilateral dan dapat terjadi sebagai kelainan yang berhubungan dengan sindroma lain seperti aberasi kromosomal, artrogriposis (imobilitas umum dari persendian), cerebral palsy atau spina bifida (Our Life, 2012). Insidens CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin. Insidens CTEV di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup. Perbandingan kasus laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral didapatkan pada 30-50% kasus (Cahyono, 2012). CTEV atau kaki pengkor dapat terjadi karena beberapa hal. Cahyono (2012) menyatakan club foot dapat terjadi karena faktor herediter; defek primer pada muskuloskeletal | 1
34

Kelompok 1 _ CTEV

Dec 19, 2015

Download

Documents

Edy Rmc

silakan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kelompok 1 _ CTEV

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

CTEV (Congenital Talipes Equino Varus) atau biasa disebut sebagai

kaki pengkor atau clubfoot adalah suatu kelainan pada kaki bayi yang

merupakan kelainan bawaan sejak lahir. Clubfoot yang terbanyak merupakan

kombinasi dari beberapa posisi dan angka kejadian yang paling tinggi adalah

tipe Talipes Equino Varus (TEV) dimana kaki posisinya melengkung ke

bawah dan ke dalam dengan berbagai tingkat keparahan. Unilateral clubfoot

lebih umum terjadi dibandingkan tipe bilateral dan dapat terjadi sebagai

kelainan yang berhubungan dengan sindroma lain seperti aberasi

kromosomal, artrogriposis (imobilitas umum dari persendian), cerebral palsy

atau spina bifida (Our Life, 2012).

Insidens CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin.

Insidens CTEV di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran

hidup. Perbandingan kasus laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan

bilateral didapatkan pada 30-50% kasus (Cahyono, 2012).

CTEV atau kaki pengkor dapat terjadi karena beberapa hal. Cahyono

(2012) menyatakan club foot dapat terjadi karena faktor herediter; defek

primer pada jaringan neurogenik, sel otot, dan sel plasma; gangguan

vaskularisasi, dan faktor mekanik intrauteri. Hal tersebut dapat menyebabkan

perkembangan fetus terhambat, sehingga akan mempengaruhi pembentukan

tulang, sendi, dan ligamen. Dengan adanya kelainan pada tulang, sendi, dan

ligamen akan menyebabkan terjadi deformitas pada ankle. Deformitas ini

dapat berupa inversi atau membengkok ke dalam, atau lebih dikenal dengan

talipes varus. Karena terjadi saat janin masih dalam kandungan maka disebut

dengan Congenital Talipes Equino Varus.

Untuk mengatasi penyakit yang berhubungan dengan deformitas pada

tungkai, perlu dilakukan penatalaksanaan untuk mencegah terjadinya

komplikasi. Selain itu, agar penyakit dapat sembuh sehingga dapat

meningkatkan kualitas hidup klien. Asuhan keperawatan diperlukan untuk

muskuloskeletal | 1

Page 2: Kelompok 1 _ CTEV

menyelesaikan segala masalah yang dapat timbul akibat CTEV serta masalah

yang diperkirakan akan timbul akibat penyakit tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari CTEV?

2. Apakah etiologi dari CTEV?

3. Apakah manifestasi klinis dari CTEV?

4. Bagaimana patofisiologi dari CTEV?

5. Apa sajakah pemeriksaan penunjaang untuk CTEV?

6. Bagaimana penatalaksanaan dari CTEV?

7. Apakah komplikasi dari CTEV?

8. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan untuk CTEV?

9. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan CTEV?

1.3 Tujuan

Tujuan Umum

Menjelaskan tentang konsep penyakit CTEV serta pendekatan asuhan

keperawatannya.

Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mengerti definisi dari CTEV

2. Mahasiswa mengerti etiologi dari CTEV

3. Mahasiswa mengerti manifestasi klinis dari CTEV

4. Mahasiswa mengerti patofisiologi dari CTEV

5. Mahasiswa mengerti pemeriksaan penunjaang untuk CTEV

6. Mahasiswa mengerti penatalaksanaan dari CTEV

7. Mahasiswa mengerti komplikasi dari CTEV

8. Mahasiswa mengerti pencegahan yang dapat dilakukan untuk CTEV

9. Mahasiswa mengerti a asuhan keperawatan klien dengan CTEV

muskuloskeletal | 2

Page 3: Kelompok 1 _ CTEV

1.4 Manfaat

Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit CTEV serta mampu

menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan CTEV dengan

pendekatan Student Centre Learning.

muskuloskeletal | 3

Page 4: Kelompok 1 _ CTEV

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau biasa disebut Clubfoot

merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan deformitas

umum dimana kaki berubah dari posisi normal yang umum terjadi pada anak-

anak. CTEV adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki,

inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia

(Priciples of Surgery, Schwartz). Talipes berasal dari kata talus (ankle) dan

pes (foot), menunjukkan suatu kelainan pada kaki (foot) yang menyebabkan

penderitanya berjalan pada ankle-nya. Sedang Equinovarus berasal dari kata

equino (mengkuda) dan varus (bengkok ke arah dalam/medial).

Congenital talipes equinovarus atau kaki pengkor adalah fiksasi kaki

pada posisi adduksi, supinasi dan varus. Tulang kalkaneus, navikular, dan

kuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus, dan tertahan dalam posisi

adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai tambahan, tulang

metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar (Cahyono, 2012).

CTEV adalah salah satu anomali ortopedik kongenital yang sudah lama

dideskripsikan oleh Hippocrates pada tahun 400 SM (Miedzybrodzka, 2002).

Gambar.1 Perbedaan kaki normal dan CTEV pada bayi

2.2 Klasifikasi

Menurut Staheli (2009), klasifikasi kaki pengkor dapat berubah dengan

berjalannya waktu tergantung pada penanganannya. Berikut adalah kalsifikasi

CTEV :

muskuloskeletal | 4

Page 5: Kelompok 1 _ CTEV

1. Typical Clubfoot, merupakan kaki pengkor klasik, hanya menderita kaki

pengkor saja tanpa disertai kelainan lain. Umumnya dapat dikoreksi

setelah lima kali pemasanagan gips, dan dengan manajemen Ponseti

mempunyai hasil jangka panjang yang baik atau memuaskan, yang

termasuk typical clubfoot yaitu :

a. Positional Clubfoot, sangat jarang ditemukan, sangat fleksibel dan

diduga akibat jepitan intrauterin. Pada umumnya koreksi dapat dicapai

dengan satu atau dua kali pemasangan gips

b. Delayed Treated Clubfoot, ditemukan pada anak berusia 6 bulan atau

lebih

c. Recurrent Typical Clubfoot, dapat terjadi baik pada kasus yang awalnya

ditangani dengan metode Ponseti maupun dengan metode lain. Relaps

lebih jarang terjadi dengan metode Ponseti dan umumnya diakibatkan

pelepasan brace yang terlalu dini. Rekurensi supinasi dan equinus

paling sering terjadi. Awalnya bersifat dinamik namun dengan

berjalannya waktu menjadi fixed

d. Alternatively treated typical clubfoot, termasuk kaki pengkor yang

ditangani secara operatif atau pengegipan dengan metode non-Ponseti

2. Atypical clubfoot, biasanya berhubungan dengan penyakit yang lain.

Penanganan dimulai dengan metode Ponseti, koreksi pada umumnya lebih

sulit. Yang termasuk atypical clubfoot yaitu :

a. Rigid atau Resistant atypical clubfoot, dapat kurus atau gemuk. Kasus

dengan kaki yang gemuk lebih sulit ditangani. Kaki tersebut

umumnya kaku, pendek, gemuk dengan lekukan kulit yang dalam

pada telapak kaki dan dibagian belakang pergelangan kaki, terdapat

pemendekan metatarsal pertama dengan hiperekstensi sendi

metatarsophalangeal

b. Syndromic clubfoot, selain kaki pengkor ditemukan juga kelainan

kongenital lain. Jadi kaki pengkor merupakan bagian dari suatu

sindroma. Metode Ponseti tetap merupakan standar penanganan, tetapi

mungkin lebih sulit dengan hasil kurang dapat diprediksi

c. Tetralogic clubfoot, seperti pada congenital tarsal synchondrosis

muskuloskeletal | 5

Page 6: Kelompok 1 _ CTEV

d. Neurogenic clubfoot, berhubungan dengan kelainan neurologi seperti

meningomyelocele

e. Acquired clubfoot, seperti pada Streeter dysplasia.

2.3 Etiologi

Sampai saat ini penyebab utama terjadinya kaki bengkok (CTEV) tidak

diketahui secara pasti. Mihran (2008) dan Hita (2008) menjelaskan beberapa

teori penyebab terjadinya CTEV/kaki pengkor :

1. Teori embrionik, antara lain defek  primer yang terjadi pada sel

germinativum yang dibuahi yang mengimplikasikan perubahan bentuk.

Terjadi antara masa konsepsi dan pada  minggu ke-12 usia kehamilan

2. Perkembangan fetus terhambat

3. Teori neurogenik, yaitu teori yang menjelaskan bahwa defek  primer

terjadi pada jaringan neurogenik, terjadi perubahan inervasi intrauterin

karena penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung oleh insiden

CTEV pada 35% bayi spina bifida.

4. Teori amiogenik, yang menjelaskan bahwa defek  primer terjadi pada

jaringan otot dan terjadi penebalan kapsul fibrosa sendi

5. Faktor keturunan, adanya faktor poligenik mempermudah fetus terpapar

faktor-faktor eksternal, seperti infeksi Rubella dan pajanan talidomid

(Wynne dan Davis)

6. Cairan amnion dalam ketuban yang terlalu sedikit pada waktu hamil

(oligohidramnion) : mempermudah terjadinya penekanan dari luar karena

keterbatasan gerak fetus

7. Vaskular : Atlas dkk. (1980) menemukan abnormalitas vaskulatur berupa

hambatan vaskular setinggi sinus tarsalis pada kasus CTEV. Pada bayi

dengan CTEV didapatkan muscle wasting di bagian ipsilateral, mungkin

karena berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior selama masa

perkembangan.

8. Kadang kala ditemukan bersamaan dengan kelainan lain seperti Spina

Bifida atau displasia dari rongga panggul.

muskuloskeletal | 6

Page 7: Kelompok 1 _ CTEV

2.4 Patofisiologi

Penyebab pasti dari clubfoot sampai sekarang belum diketahui.

Beberapa ahli mengatakan bahwa kelainan ini timbul karena posisi abnormal

atau pergerakan yang terbatas dalam rahim. Ahli lain mengatakan bahwa

kelainan terjadi karena perkembangan embrionik yang abnormal yaitu saat

perkembangan kaki ke arah fleksi dan eversi pada bulan ke-7 kehamilan.

Pertumbuhan yang terganggu pada fase tersebut akan menimbulkan

deformitas dimana dipengaruhi pula oleh tekanan intrauterin.

Kaki pengkor atau club foot bukan merupakan malformasi

embrionik. Kaki yang pada mulanya normal akan menjadi pengkor selama

trimester kedua kehamilan. Kaki pengkor jarang terdeteksi oleh ultrasonografi

pada janin yang berumur dibawah 16 minggu. Oleh karena itu, seperti

developmental hip dysplasia dan idiophatic scoliosis, kaki pengkor

merupakan deformasi pertumbuhan (developmental deformation) (Staheli,

2009). Berikut adalah perubahan yang terjadi pada kaki pengkor atau club

foot :

1. Jaringan Lunak 

a. Otot gastroknemius mengecil

b. Tendon Achiles memendek dengan arah mediokaudal dan

menyebabkan varus; begitu pula tendon halucis longus dan digitorum

komunis

c. Tendon tibialis anterior dan posterior memendek, sehingga kaki bagian

depan (forefoot) menjadi aduksi

d. Ligamen antara talus, kalkaneus, naviculare menebal dan memendek.

Fasia plantaris menebal dan memendek, dengan kuat menahan kaki

pada posisi equines dan membuat navicular dan calcaneus dalam posisi

adduksi dan inversi.

2. Tulang dan Sendi

Sebagian besar deformitas terjadi di tarsus. Pada saat lahir, tulang

tarsal, yang hampir seluruhnya masih berupa tulang rawan, berada dalam

posisi fleksi, adduksi, dan inversi yang berlebihan. Talus dalam posisi

plantar fleksi hebat, collum melengkung ke medial dan plantar, dan kaput

muskuloskeletal | 7

Page 8: Kelompok 1 _ CTEV

berbentuk baji. Navicular bergeser jauh ke medial, mendekati malleolus

medialis, dan berartikulasi dengan permukaan medial caput talus.

Calcaneus adduksi dan inversi dibawah talus. Baik pada kaki yang normal

ataupun kaki pengkor, tidak ada sumbu gerak tunggal (seperti mitered

hinge) dimana talus berotasi pada sumbu tersebut. Sendi-sendi tarsal

secara fungsional saling tergantung (interdependent). Pergerakan satu

tulang tarsal akan menyebabkan pergeseran tulang tarsal disekitarnya

secara bersamaan. Pergerakan sendi ditentukan oleh kelengkungan

permukaan sendi dan oleh orientasi dan struktur ligamen yang

mengikatnya. Tiap-tiap sendi mempunyai pola pergerakan yang khas

(Staheli, 2009).

Bentuk sendi-sendi tarsal relatif berubah karena perubahan posisi

tulang tarsal. Forefoot yang pronasi, menyebabkan arcus plantaris menjadi

lebih konkaf (cavus). Tulang-tulang metatarsal tampak fleksi dan makin ke

medial makin bertambah fleksi. Pada kaki pengkor, terjadi tarikan yang

kuat dari tibialis posterior dan gastrosoleus serta fleksor hallucis longus.

Ukuran otot-otot itu lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan kaki

normal. Di ujung distal gastrosoleus terdapat peningkatan jaringan ikat

yang kaya akan kolagen, yang menyatu ke dalam tendon achilles dan

fascia profundus. Pada kaki pengkor, ligamen-ligamen pada sisi lateral dan

ankle medial serta sendi tarsal sangat tebal dan kaku, yang dengan kuat

menahan kaki pada posisi equinus dan membuat navicular dan calcaneus

dalam posisi adduksi dan inversi. Ukuran otot-otot betis berbanding

terbalik dengan derajat deformitasnya. Pada kaki pengkor yang sangat

berat, gastrosoleus tampak sebagai otot kecil pada sepertiga atas betis.

Sintesis kolagen yang berlebihan pada ligamen, tendon dan otot terus

berlangsung sampai anak berumur 3-4 tahun dan mungkin merupakan

penyebab relaps (kekambuhan) (Staheli, 2009).

Secara histologi dibawah mikroskop, berkas serabut kolagen

menunjukkan gambaran bergelombang yang dikenal sebagai crimp

(kerutan). Kerutan ini menyebabkan ligamen mudah diregangkan.

Peregangan ligamen pada bayi, yang dilakukan dengan gentle, tidak

muskuloskeletal | 8

Page 9: Kelompok 1 _ CTEV

membahayakan. Kerutan akan muncul lagi beberapa hari berikutnya, yang

memungkinkan dilakukan peregangan lebih lanjut. Inilah sebabnya

mengapa koreksi deformitas secara manual mudah dilakukan (Staheli,

2009).

2.5 Manifestasi Klinis

1. Pada Talipes Equinovarus didapatkan telapak kaki bayi yang mengarah ke

dalam (sulit untuk diluruskan), dengan tumit yang berputar ke dalam, dan

otot kaki (betis) yang lebih kecil.

2. Positional equinovarus, yaitu terpuntirnya kaki kearah dalam karena posisi

bayi pada saat didalam kandungan (Our Life, 2012)

3. Deformitas serupa terlihat pada myelomeningocele and arthrogryposis.

Ankle equinus dan kaki supinasi (varus) dan adduksi (normalnya kaki bayi

dapat dorso fleksi dan eversi, sehingga kaki dapat menyentuh bagian

anterior dari tibia). Dorso fleksi melebihi 90° tidak memungkinkan (Our

Life, 2012)

4. Tumit tampak kecil dan kosong; pada perabaan tumit akan terasa lembut

(seperti pipi) (Cahyono, 2012)

5. Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan

mudah teraba di sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh tulang

navikular dan badan talus (Cahyono, 2012)

6. Maleolus medialis menjadi sulit diraba dan pada umumnya menempel

pada tulang navikular. Jarak yang normal terdapat antara tulang navikular

dan maleolus menghilang (Cahyono, 2012)

7. Tulang tibia sering mengalami rotasi internal (Cahyono, 2012).

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Kelainan ini mudah didiagnosis, dan biasanya terlihat nyata pada

waktu lahir (early diagnosis after birth). Pada bayi normal dengan

equinovarus postural, kaki dapat mengalami dorsofleksi dan eversi hingga

jari-jari kaki menyentuh bagian depan tibia (Our Life, 2012).

muskuloskeletal | 9

Page 10: Kelompok 1 _ CTEV

Gambaran radiologis CTEV adalah adanya kesejajaran tulang talus

dan kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis sangat

penting. Posisi anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi terhadap

plantar sebesar 30º dan posisi tabung 30° dari keadaan vertikal. Posisi lateral

diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º. Gambaran AP dan

lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan plantar fleksi

penuh. Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan kalkaneus

dan mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. Garis lateral

digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan tulang talus serta

sepanjang dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50°, sedang

pada CTEV nilainya berkisar antara 35° dan negatif 10°. Garis AP dan lateral

talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular dan metatarsal

pertama. Sudut dari dua sisi (AP and lateral) ditambahkan untuk menghitung

indeks talokalkaneus; pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai

lebih dari 40°. Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan

pada posisi maksimal dorsofleksi adalah metode yang paling dapat

diandalkan untuk mendiagnosis CTEV yang tidak dikoreksi (Cahyono, 2012).

2.7 Penatalaksanaan

Tindakan operatif, sekitar 90-95% kasus CTEV bisa tangani dengan

tindakan non-operatif. Penatalaksanaan non-operatif, pertumbuhan cepat

selama periode infant memungkinkan untuk penanganan

remodelling. Penanganan dimulai saat kelainan didapatkan dan terdiri dari

tiga tahap yaitu koreksi dari deformitas, mempertahankan koreksi sampai

keseimbangan otot normal tercapai, observasi dan follow up untuk mencegah

kembalinya deformitas (Our Life, 2012).

Penanganan non operatif antara lain :

1. Splint, dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan koreksi yang akan

dilakukan adalah adduksi kaki depan (forefoot), supinasi kaki depan, dan

ekuinus. Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi ekuinus di awal masa

koreksi dapat mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya

rockerbottom foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan

muskuloskeletal | 10

Page 11: Kelompok 1 _ CTEV

koreksi. Tempatkan kaki pada posisi terbaik, kemudian pertahankan posisi

ini dengan menggunakan “strapping” yang diganti tiap beberapa hari, atau

menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Cara ini

dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat

lagi dilakukan koreksi selanjutnya. Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini

kemudian dipertahankan selama beberapa bulan. Tindakan operatif harus

dilakukan sesegera mungkin saat tampak kegagalan terapi konservatif,

yang antara lain ditandai dengan deformitas menetap, deformitas berupa

rockerbottom foot, atau kembalinya deformitas segera setelah koreksi

dihentikan. Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui

apakah jenis deformitas CTEV mudah dikoreksi atau resisten. Hal ini

dikonfirmasi menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan

penghitungan orientasi tulang. Tingkat kesuksesan metode ini 11-58%

(Cahyono, 2012).

2. Metode Ponsetti

Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas

Iowa, dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik yang

dilakukan oleh dr. Ponseti. Metode ini dilakukan secepatnya setelah

kelahiran pada usia 7-10 hari. Lebih dari dekade terakhir metode Ponseti

telah diterima diseluruh dunia sebagai metode penanganan kaki pengkor

yang paling efektif dan paling murah. Kaki yang ditangani dengan metode

ini terbukti kuat, fleksibel dan bebas nyeri, sehingga memungkinkan untuk

menjalani kehidupan yang normal. Deformitas utama yang terjadi pada

kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang kalkaneus ke arah intenal

(adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki berada dalam posisi adduksi dan

plantar pedis mengalami fleksi pada sendi subtalar.

Kebanyakan kaki pengkor dapat dikoreksi dengan manipulasi

singkat dan gips dalam koreksi maksimal. Setelah kira-kira 5 kali

pengegipan cavus, adduktus, dan varus dapat terkoreksi. Tenotomi

Achilles perkutan dilakukan pada hampir semua kasus untuk

menyempurnakan koreksi equinus, kemudian kaki di gips selama 3

minggu. Koreksi ini dipertahankan dengan foot abduction brace yang

muskuloskeletal | 11

Page 12: Kelompok 1 _ CTEV

dipakai malam hari sampai anak berumur 2-4 tahun. Pemasangan gips di

mulai dari bawah lutut lebih dulu kemudian lanjutkan gips sampai paha

atas. Kaki yang ditangani dengan metode ini terbukti kuat, fleksibel dan

bebas nyeri, sehingga memungkinkan untuk menjalani kehidupan yang

normal.

Gambar.2 Metode Ponseti

3. Bracing

Pada akhir pemasangan gips, kaki dalam posisi sangat abduksi,

sekitar 60-70o (tight-foot axis). Setelah tenotomi, gips terakhir dipakai

selama 3 minggu. Protokol Ponseti selanjutnya adalah memakai brace

(bracing) untuk mempertahankan kaki dalam posisi abduksi dan

dorsofleksi. Brace berupa bar (batang) logam direkatkan pada sepatu yang

bertelapak kaki lurus dengan ujung terbuka (straight-last open-toe shoes).

Abduksi kaki dengan sudut 60-70o ini diperlukan untuk mempertahankan

abduksi calcaneus dan forefoot serta mencegah kekambuhan (relaps).

Jaringan lunak pada sisi medial akan tetap teregang hanya jika dilakukan

bracing setelah pemasangan gips. Dengan brace, lutut tetap bebas,

sehingga anak dapat ”menendangkan” kaki kedepan sehingga

meregangkan otot gastrosoleus. Abduksi kaki dalam brace, ditambah

dengan bar yang sedikit melengkung, akan membuat kaki dorsofleksi. Hal

ini membantu mempertahankan regangan pada otot gastrocnemius dan

tendon achilles.

Brace harus dipakai sepanjang hari selama 3 bulan pertama sejak

gips terakhir dilepas. Setelah itu anak harus memakai brace ini selama 12

muskuloskeletal | 12

Page 13: Kelompok 1 _ CTEV

jam pada malam hari dan 2-4 jam pada siang. Sehingga total pemakaian

14-16 jam dalam sehari sampai anak berusia 3-4 tahun.

Gambar.3 Bracing

Penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan operasi,

indikasi dilakukan operasi adalah jika terapi dengan gips gagal dan pada

kasus Rigid Clubfoot pada umur 3-9 bulan.

Operasi dilakukan dengan melepasakan jaringan lunak yang

mengalami kontraktur maupun dengan osteotomi. Osteotomi biasanya

dilakukan pada kasus clubfoot yang neglected/ tidak ditangani dengan

tepat. Kasus yang resisten paling baik dioperasi pada umur 8 minggu,

tindakan ini dimulai dengan pemanjangan tendon achiles, namun jika

masih ada equinus, dilakukan posterior release dengan memisahkan

seluruh lebar kapsul pergelangan kaki posterior, dan jika perlu, kapsul

talokalkaneus. Varus kemudian diperbaiki dengan melakukan release

talonavikularis medial dan pemanjangan tendon tibialis posterior. Pada

umur > 5 tahun dilakukan bone procedure osteotomy. Diatas umur 10

tahun atau kalau tulang kaki sudah mature, dilakukan tindakan artrodesis

triple yang terdiri atas reseksi dan koreksi letak pada tiga persendian, yaitu

art. talokalkaneus, art. talonavikularis, dan art. kalkaneokuboid (Our Life,

2012).

2.8 Komplikasi

Menurut Cahyono (2012), komplikasi yang dapat terjadi akibat CTEV antara

lain :

1. Infeksi, dapat terjadi pada beberapa tindakan operasi

muskuloskeletal | 13

Page 14: Kelompok 1 _ CTEV

2. Kekakuan dan keterbatasan gerak, kekakuan yang muncul awal

berhubungan dengan hasil yang kurang baik

3. Nekrosis avaskular talus, sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus

muncul pada teknik kombinasi pelepasan medial dan lateral

4. Overkoreksi, mungkin karena pelepasan ligamen interoseum dari

persendian subtalus, perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah

lateral, adanya perpanjangan tendon.

2.9 WOC

muskuloskeletal | 14

Perkembangan fetus terhambat

Defek primer (di otot, jaringan

neurogenik, sel otot)

Oligohidramnion Hambatan vaskular

setinggi sinus tarsalis Gerak fetus

terhambat

Perkembangan embrionik abnormal (saat perkembangan kaki ke arah fleksi dan eversi pada bulan ke-7 kehamilan)

Deformitas

Otot gastroc-nemius mengecil; Tendon tibialis anterior dan

posterior memendek, kaki bagian depan (forefoot) aduksi; Tendon Achiles memendek (arah medio-

kaudal)

Tulang dan sendi

Tulang tarsal (hampir seluruhnya masih berupa tulang rawan) dalam posisi fleksi, adduksi, dan inversi

yang berlebihan.

Faktor keturunan (faktor poligenik

mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksternal, seperti infeksi

Rubella dan pajanan talidomid)

Jaringan lunak

Muscle wasting di

bagian ipsilateral

Perfusi arteri tibialis anterior

berkurang selama masa

perkembangan

Perkembang-an tulang abnormal

Page 15: Kelompok 1 _ CTEV

muskuloskeletal | 15

Ligamen antara talus, kalkaneus, navicular

menebal dan memendek

Fasia plantaris menebal dan memendek

Fasia plantaris menahan kaki pada

posisi equines

CTEV/Club Foot

Talus dalam posisi plantar fleksi hebat, collum

melengkung ke medial dan plantar, kaput berbentuk

baji

Navicular bergeser jauh ke medial, mendekati malleolus medialis, dan berartikulasi dengan

permukaan medial caput talus,

Tulang-tulang metatarsal tampak fleksi dan makin ke

medial makin bertambah fleksi

Forefoot pronasi

Arcus plantaris menjadi lebih konkaf (cavus)

Tulang melengkung ke dalam

Navikular dan kalkaneus adduksi dan inversi dibawah talus.

Perubahan fungsi sistem muskuloskeletal

MK : Hambatan Mobilitas Fisik

Kelainan anatomi talus, tarsal, kalkaneus, navicular

Kelainan bentuk kaki

MK : Ansietas

Osteotomi

Prosedur invasif

Luka insisi

Port de entry kuman

MK : Resiko Infeksi

Ibu cemas

Page 16: Kelompok 1 _ CTEV

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Contoh Kasus

Ny. A membawa anak perempuannya, An. X usia 9 bulan (infant) ke Poli

Ortopedi Rumah Sakit Pendidikan Unair. Ny. A mengatakan bahwa kaki An.X

perngkor, tidak seperti anak-anak lainnya, sehinggan An.X kesulitan saat belajar

berjalan. Dan merasa bentuk kaki anaknya berbeda Saat datang ke rumah sakit

kondisi pasien baik dan TTV normal (suhu tubuh 36,5°C, RR 22x/menit, nadi

110x/menit ). Ny. A melahirkan secara normal dengan berat janin yang normal

pula. Tidak ada riwayat minum obat dan penyakit tertentu selama kehamilan.

3.2 Pengkajian

1. Data demografi

Identitas anak :

Nama : An.x

Tanggal lahir : 6 September 2012

Jenis kelamin : perempuan

Alamat : Surabaya

Diagnosa medis : CTEV/ Clubfoot

Identitas orang tua :

Nama ayah : Tn. T

Nama ibu : Ny. A

Pekerjaan ayah/ibu : wiraswasta/ ibu rumah tangga

Pendidikan ayah/ibu : SMA/SMA

Agama : Islam

Alamat : Surabaya

2. Riwayat Sakit dan Kesehatan

a. Keluhan utama : kaki pengkor / CTEV

b. Riwayat penyakit saat ini: klien kesulitan dalam melakukan aktivitas

belajar berjalan. Kaki klien tidak mengalami perubahan bentuk yaitu

tetap melengkung kedalam walaupun sudah berusia 9 bulan

c. Riwayat kesehatan sebelumnya: -

muskuloskeletal | 16

Page 17: Kelompok 1 _ CTEV

d. Riwayat kesehatan masa lalu: batuk pilek

e. Riwayat penyakit keluarga: Anggota keluarga yang lain tidak ada

yang menderita kelainan seperti ini.

f. Riwayat nutrisi

Nafsu makan baik, pola makan 3x/hari, minum susu 800cc/hari, air

putih 120cc/hari, tidak ada pantangan makanan, menu makanan

bubur+sayur+lauk pauk.

g. Riwayat pertumbuhan

BB saat ini = 8,5 kg TB = 70 cm, Lingkar kepala = 51,5 cm

h. Riwayat perkembangan :

1) Pengkajian DDST : personal sosial (mampu main bola tangan

dengan pemeriksa, menirukan kegiatan, daag-daag tangan,

menyatakan keinginan tanpa menangis, tepuk tangan,

memasukkan biskuit kedalam mulut, berusaha mencari mainan),

adaptif-motor halus (membenturkan dua kubus, memegang

dengan ibu jari dan jari, mengambil dua kubus, memindahkan

kubus ke tangan lain, menaruh kubus dicangkir, mencoret-coret),

bahasa (papa/mama spesifik, mengoceh, mengucapkan 1 kata,

mengucapkan 2 kata), motor kasar (tidak dapat berdiri dengan

pegangan, tidak dapat bangkit untuk berdiri, tidak dapat bangkit

terus duduk)

2) Tahap perkembangan psikososial : nyaman terhadap ibu, makan

tidak rewel, berani terhadap lingkungan.

3) Tahap perkembangan psikoseksual : dekat dengan ibu,

memasukkan benda-benda kemulut.

3. Review of system

a. Keadaan umum

baik, kesadaran kompos mentis, TD = 99/65 mmHg, Nadi =

105x/menit, Suhu = 37oC, RR = 22 x/menit

b. Pernafasan

irama = teratur, suara nafas vesikuler, tidak ada sesak nafas

c. Kardiovaskuler

muskuloskeletal | 17

Page 18: Kelompok 1 _ CTEV

irama jantung = regular, tidak ada nyeri dada, bunyi jantung normal,

CRT = < 3 detik, akral = hangat, kering, merah

d. Persyarafan

- GCS = 456, istirahat/tidur = 12 jam,

- Pupil = isokor, sclera/konjungtiva = normal, tidak ada gangguan

penglihatan

- tidak ada gangguan pendengaran

- bentuk hidung normal, tidak ada gangguan penciuman

e. Perkemihan

bersih, jumlah urin = 200 cc/hari, warna = jernih kekuningan, bau =

khas, tidak memakai alat bantu kateter, kandung kemih normal dan

tidak ada nyeri tekan.

f. Pencernaan

Nafsu makan baik, porsi makan habis, mulut bersih, mukosa lembab,

tidak ada gangguan menelan, abdomen normal, peristaltik = 11x/menit,

tidak ada pembesaran hepar, tidak ada pembesaran lien, BAB teratur

1x/hari.

h. Muskuloskeletal

Pergerakan sendi tangan bebas, pergerakan sendi kaki terbatas, warna

kulit normal, turgor baik, tidak ada odema

i. Endokrin

tyroid tidak membesar, tidak hiperglikemia, tidak hipoglikemia, tidak

ada luka gangrene.

j. Personal Hygiene

Mandi 2x/hari, keramas 1x/hari, sikat gigi 2x/hari, ganti pakaian

2x/hari, memotong kuku jika panjang.

k. Psikososiospiritual

- Ekspresi afek dan emosi tidak rewel saat dilakukan pemeriksaan

- Hubungan dengan keluarga akrab

- Dampak hospitalisasi bagi anak = anak tidak bisa bermain dengan

teman-temannya

- Dampak hospitalisasi bagi orang tua = orang tua tidak bisa bekerja

muskuloskeletal | 18

Page 19: Kelompok 1 _ CTEV

k. Data penunjang

x-ray menunjukkan adanya pembengkokan tulang tarsal dan talus, dan

terjadi deformitas ligament antara talus, kalkaneus, dan navicular

l. Terapi : -

3.3 Analisa Data

DATA ETIOLOGI MASALAH

DS :

ibu klien mengeluhkan

An X kesuliatan saat

belajar berjalan.

DO :

Klien terlihat berulang

kali terjatuh saat

dilakukan tes berdiri

untuk berjalan, hasil x-

ray menunjukkan

kelainan pada talus,

kalkaneus, navicular

CTEV

Kelainan anatomi talus,

tarsal, kalkaneus, navicular

Perubahan sistem

muskuloskeletal

Hambatan

mobilitas fisik 

DS :

ibu klien mengeluhkan

An. X yang pengkor,

sehingga takut jika An.

X tidak akan pernah bisa

berjalan dengan normal.

DO :

Ekpresi Ny A terlihat

gelisah dan sering

memainkan tangannya

seperti orang khawatir.

CTEV

Kelainan anatomi talus,

tarsal, kalkaneus, navicular

Kelainan bentuk kaki

Ibu cemas

Ansietas

muskuloskeletal | 19

Page 20: Kelompok 1 _ CTEV

3.4 Diagnosa Keperawatan

a. Hambatan mobilitas fisik b.d perubahan sistem muskuloskeletal :

deformitas pada talus, tarsal, kalkaneus, navicular

b. Ansietas b.d kelainan bentuk kaki anak

3.5 Intervensi

1. Gangguan imobilisasi fisik b.d perubahan sistem muskuloskeletal :

deformitas pada talus, tarsal, kalkaneus, navicular

Tujuan : Klien dapat berjalan dengan normal

Kriteria hasil :

a. Tidak ada kontraktur

b. Tulang kembali normal sesuai dengan anatomi

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Pengkajian rentan gerak dengan

menggunakan goniometer

2. Pengkajian motorik kasar

Kolaborasi

3. Pemeriksaan radiologi x-ray

4. Perencanaan pemasangan gips

5. Perencanaan tindakan operasi

1. Mengevaluasi terjadi kehilangan

mobilisasi sendi

2. Menggambarkan kemampuan dari

ekstremitas klien

3. Mengetahui adanya kelainan

tulang dan terjadinya kontraktur

pada sendi

4. Imobilisasi tulang

5. Memperbaiki kondisi tulang dan

memperbaiki kontraktur

2. Diagnosa : Ansietas b.d kelainan bentuk kaki anak

Tujuan : Ibu merasa tenang

Kriteria hasil :

a. Ekpresi wajah Ny. A tidak tegang

b. Ny A terlihat tenang

muskuloskeletal | 20

Page 21: Kelompok 1 _ CTEV

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Health education pada ibu tentang

penyakit, penatalaksanaan, dan

prognosis yang baik untuk penyakit

anaknya.

2. Tunjukkan sikap empati sebagai

pendekatan utama dalam

mengurangi rasa takut akibat

prosedur yang menyakitkan

terhadap anaknya.

1. Dapat memberikan ketenangan

jika prognosis untuk

penyembuhan baik.

2. Empati merupakan wujud

kepedulian perawat

3.5 Evaluasi

a. Hambatan mobilitas fisik teratasi

b.Ny. A terlihat tenang dan ansietas teratasi

muskuloskeletal | 21

Page 22: Kelompok 1 _ CTEV

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

CTEV adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki,

inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia

(Priciples of Surgery, Schwartz). Etiologi CTEV antara lain : defek primer

pada sel otot, jaringan neurogenik, perkembangan fetus terhambat, faktor

herediter, dan hambatan vaskularisasi selama dalam kandungan.

Tindakan operatif, sekitar 90-95% kasus CTEV bisa tangani dengan

tindakan non-operatif. Penatalaksanaan non-operatif, pertumbuhan cepat

selama periode infant memungkinkan untuk penanganan

remodelling. Penanganan dimulai saat kelainan didapatkan dan terdiri dari

tiga tahap yaitu koreksi dari deformitas, mempertahankan koreksi sampai

keseimbangan otot normal tercapai, observasi dan follow up untuk mencegah

kembalinya deformitas (Our Life, 2012).

2.2 Saran

Perawat dalam membuat asuhan keperawatan sebaiknya

memperhatikan setiap keluhan dari pasien sehingga komplikasi dapat

dihindari dan dapat meningkatkan kualitas hidup klien. Selain itu, perawat

juga harus berkolaborasi dengan tim medis lain untuk memberi terapi pada

klien serta keluarga sehingga penatalaksanaan dapat dilakukan secara

maksimal, baik secara mandiri dan berkolaborasi.

muskuloskeletal | 22

Page 23: Kelompok 1 _ CTEV

DAFTAR PUSTAKA

Adolescence. The Journal of Bone and Joint Surgery, 77B (5), 733-735.Derscheid, Gary L. dan Terry R. Malone. (1980). Physical Therapy Knee

Disorder. Journal of the American Physical Therapy Association, 60(12), 1582-1589.

Fraser,R.K., D.R.V Dickens, dan W.G Cole. (1995). Medial Physeal Stapling For Primary and Secondary Genu Valgum In Late Childhood and

Hansson, Lars Ingvar dan Mohammed Zayer. (1975). Physiological Genu Varum. Acta Orthop 46(2), 221-229.

Kotwal, Prakash P dan Mayilvahanan Natarajan. 2005. Textboook of Orthopaedics. New Delhi : Elsevier.

Perry, Jacquelin M.D. 1992. Gait Analysis: Normal and Pathological Function. New Jersey : SLACK Inc.

Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGCRezkina, Estetika. (2010). Kaki X alias Genu Valgum?. Diakses tanggal 3 April

2012, dari http://estetikarea.wordpress.com/2010/12/03/kaki-x-alias-genu-valgum/

Scottish Rite Hospital. 1996. Knock-Knees (Genu Valgum). Scottish Rite Hospital. Texas.

Scottish Rite Hospital. 2006. Bowed Legs (Genu Varum) Knock-Knees (Genu Valgum). Scottish Rite Hospital. Texas.

Staheli, Lynn T. 2008. Fundamentals of Pediatric Orthopedics 4th Ed. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins.

Stevens, Peter M. (2010). Genu valgum, Pediatrics. Diakses tanggal 3 April 2012, dari http://emedicine.medscape.com

Stevens, Peter M. Genu varum, Pediatrics. 2010. Diakses tanggal 3 April 2012, dari http://emedicine.medscape.com

muskuloskeletal | 23