Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Respirasi merupakan proses ganda, yaitu terjadinya pertukaran gas didalam jaringan (pernapasan dalam) dan yang terjadi didalam paru- paru(pernapasan luar). Dengan bernapas setiap sel dalam tubuh menerima persediaan oksigennya dan pada saat yang sama melepaskan produk oksidasinya. Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dari jaringan, memunginkan setiap sel sendiri-sendiri melangsungkan proses metabolismenya, yang berarti pekerjaan selesai dan hasil buangan dalam bentuk karbondioksida dan air dihilangkan. (Djojodibroto, Darmanto R. 2009) Sistem respirasi pada manusia terdiri dari jaringan dan organ tubuh yang merupakan parameter kesehatan manusia. Jika salah satu sistem respirasi terganggu maka secara sistem lain yang bekerja dalam tubuh akan terganggu. Hal ini dapat menimbulkan terganggunya proses humeostasis dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. (Djojodibroto, Darmanto R. 2009) 1
91

kelainan Napas

Dec 17, 2015

Download

Documents

Fajar Muhammad

kelainan napas
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar belakangRespirasi merupakan proses ganda, yaitu terjadinya pertukaran gas didalam jaringan (pernapasan dalam) dan yang terjadi didalam paru-paru(pernapasan luar). Dengan bernapas setiap sel dalam tubuh menerima persediaan oksigennya dan pada saat yang sama melepaskan produk oksidasinya. Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dari jaringan, memunginkan setiap sel sendiri-sendiri melangsungkan proses metabolismenya, yang berarti pekerjaan selesai dan hasil buangan dalam bentuk karbondioksida dan air dihilangkan. (Djojodibroto, Darmanto R. 2009)Sistem respirasi pada manusia terdiri dari jaringan dan organ tubuh yang merupakan parameter kesehatan manusia. Jika salah satu sistem respirasi terganggu maka secara sistem lain yang bekerja dalam tubuh akan terganggu. Hal ini dapat menimbulkan terganggunya proses humeostasis dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. (Djojodibroto, Darmanto R. 2009)Gangguan sistem respirasi merupakan gangguan yang menjadi masalah besar didunia khususnyadiantaranya adalah penyekit pneumonia, TBC, dan asma. Menurut laporan WHO pada tahun 2006, indonesia merupakan negara dengan tingkat kejadian pneumonia tertinggi ke 6 diseluruh dunia. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (SKRT) pada tahun 2001, pneumonia merupakan urutan terbesar penyebab kematian pada balita. Pneumonia dapat mengenai anak diseluruh dunia, bla diumpamakan kematian anak-anak diseluruh dunia akibat pneumonia, maka setiap jam anak-anak sebanyak 1 pesawat jet penuh (230 anak) meninggal akibat pneumonia yang menjapai hampir 1 dari 5 kematian balita diseluruh dunia. (Djojodibroto, Darmanto R. 2009)1.2 Tujuan dan Manfaat :Berdasarkan latar belakang di atas,dapat diambil beberapa tujuan dan manfaat yang sesuai dengan topik yang akan dibahas. Tujuan dan manfaat yang didapat diantaranya :

I.2.1 Tujuan Umum :Untuk menjelaskanpendekatan terhadap keluhan nafas berbunyi, macam kelainan bunyi nafas dan mekanisme, patofisiologi terkait dengan organ yang berperan, penyakit yang menimbulkan nafas berbunyi dan penegakan diagnosisnya, serta pentalaksanaan secara konferhensif dan mekanisme farmakologik terapi medikamentosa.

1.2.2 Manfaat :Memberikan wawasan kepada pembaca, mahasiswa dan penulis setelah mempelajari referat ini mahasiswa, pembaca dan penulis lebih memahami.

BAB IIPEMBAHASANII.1 Anatomi saluran napas atasII.1.2 Sistem respirasi bagian atas : Hidung / nasal-nasal berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru, sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru-paru. Nasal terdiri atas bagian eksternal dan internal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago, dilindungi otot otot dan kulit, serta dilapisi oleh membran mukosa. (Moore, 2002)Nasal eksternal berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah (Moore, 2002) :1. Pangkal hidung (bridge) 2. Dorsum nasi 3. Puncak hidung 4. Ala nasi 5. Kolumela6. Lubang hidung (nares anterior). Batas atas nasal eksternal melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh: Superior : os frontal, os nasal, os maksilaInferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan kartilago alaris minor. Bagian nasal internal adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum. Nasal internal terletak pada inferior tulang tengkorak dan daerah superior bagian mulut. Nasal internal bagian anterior bergabung dengan nasal eksternal, sedangkan bagian posterior nasal berhubungan dengan faring. Pada anterior ronga nasal bagian dalam disebut vestibulum yang di lapisi oleh sel submukosa sebagai proteksi. Dinding samping bagian dalam dibentuk oleh etmoid, maxillae, lakrimal, palatine, dan tulang konka nasal inferior. (Moore, 2002)Faring-Faring terletak antara internal nares sampai kartilago krikoid dan memiliki panjang kurang kebih 13 cm dan berfungsi sebagai saluran respirasi dan saluran pencernaan. (Moore, 2002)Faring terdiri dari : Nasofaring adalah faring yang berbatasan dengan rongga hidung. Nasofaring mempunyai 4 saluran (2 saluran ke internal nares dan 2 saluran ke tuba eustahius). Nasofaring adalah tempat bertukarnya partikel udara melalui tuba eustachius untuk keseimbangan tekanan udara faring dan telinga tengah. Orofaring adalah faring yang berbatasan dengan mulut. Terletak dibelakang rongga mulut dekat soft palate. Laringofaring adalah faring yang berbatasan dengan laring. Letaknya dimulai dari hioid bone ke esophagus dan laring. (Moore, 2002)II.2 Histologi saluran napas atasII. 2.1 Komponen Sistem PernapasanSistem pernapasan terdiri atas paru dan banyak saluran udara dengan berbagai ukuran yang masuk dan keluar dari masing-masing paru. Selain itu, sistem terdiri atas bagian konduksi dan bagian respirasi. (Fawcett, Don W. 2002)Bagian konduksi sistem pernapasan terdiri atas saluran pernapasan di luar (ekstrapulmonal) maupun di dalam (intrapulmonal) paru yang menghantarkan udara untuk pertukaran gas ke dan dari paru. Sebaliknya, bagian respiratorik terdiri dari saluran pernapasan di dalam paru yang tidak hanya menghantarkan udara, tetapi juga memungkinkan berlangsungnya respirasi atau pertukaran gas. (Fawcett, Don W. 2002).Saluran pernapasan ekstrapulmonal, yang mencakup trakea, bronkus, dan bronkiolus besar, dilapisi oleh epitel bertingkat semu bersilia (epitelium pseudostratifikatum siliatum) yang mengandung banyak sel goblet. Sewaktu saluran ini masuk ke paru, bronkus membentuk banyak percabangan dan diameternya secara progresif mengecil. Demikian juga, tinggi epitel, jumlah silia, dan jumlah sel goblet berkurang secara bertahap di saluran ini. Bronkiolus merupakan bagian akhir dari saluran konduksi. Bronkiolus kemudian membentuk bronkiolus respiratorius (bronkiolus respiratorius), yaitu zona transisi antara bagian konduksi dan bagian respiratorik. (Fawcett, Don W. 2002)Bagian respiratorik terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli. Pertukaran gas di paru-paru berlangsung di alveoli, yaitu kantung udara terminal pada sistem pernapasan. Di alveoli, sel goblet tidak ada dan epitelnya adalah epitel selapis gepeng. (Fawcett, Don W. 2002)a. Epitel OlfaktoriusUdara yang masuk ke paru-paru mula-mula melewati bagian atap atau superior rongga hidung. Di atap hidung terdapat epitel yang sangat khusus, yaitu epitel olfaktorius, yang mendeteksi dan meneruskan bau-bauan. Epitel ini terdiri dari tiga jenis sel: sel penyokong atau sustentakular (epiteliokitus sustenans), sel basal (epiteliokitus basalis), dan sel olfaktorius (sensorik). Di bawah epitel di jaringan ikat terdapat kelenjar olfaktorius serosa. (Fawcett, Don W. 2002)Sel olfaktorius (epiteliokitus sensorius) adalah neuron bipolar sensorik yang tersebar di antara sel penyokong di bagian yang lebih apikal dan sel basal epitel olfaktorius. Sel olfaktorius terentang di seluruh ketebalan epitel dan berakhir di permukaan epitel olfaktorius berupa bulbus bulat yang kecil yaitu vesikel olfaktorius. Silia olfaktorius nonmotil yang panjang dan terletak sejajar dengan permukaan epitel, terjulur dari setiap vesikel olfaktorius; silia nonmotil ini berfungsi sebagai reseptor bau. Berbeda dari epitel respiratorik (epitelium respiratorium), epitel olfaktorius tidak memiliki sel goblet atau silia motil. (Fawcett, Don W. 2002)Di jaringan ikat tepat di bawah epitel olfaktorius terdapat saraf olfaktorius (nervi olfaktori) dan kelenjar olfaktorius (glandula olfaktoria). Kelenjar olfaktorius (Bowman) menghasilkan cairan serosa yang membasahi silia olfaktorius dan berfungsi sebagai pelarut molekul bau untuk dideteksi oleh sel olfaktorius. (Fawcett, Don W. 2002)II. 2.2 Bagian Konduksi Sistem PernapasanBagian konduksi sistem pernapasan terdiri atas rongga hidung, faring, laring, trakea, bronkus ekstra-pulmonal, dan serangkaian bronkus dan bronkiolus intrapulmonal dengan diameter yang semakin kecil yang berakhir sebagai bronkiolus terminalis. Untuk menjamin agar saluran napas yang lebih besar selalu terbuka, maka saluran ini ditunjang oleh tulang rawan hialin (kartilago hialina). Trakea dilingkari oleh cincin tulang rawan hialin bentuk-C yang tidak utuh. Serat elastik dan otot polos, yang disebut otot trakealis, menghubungkan ruang di antara ujung-ujung tulang rawan hialin. Cincin tulang rawan trakea menghadap ke posterior dan terletak berbatasan dengan esofagus. (Fawcett, Don W. 2002)Setelah trakea bercabang menjadi bronkus yang lebih kecil dan bronkus kemudian masuk ke dalam paru-paru, maka cincin tulang rawan hialin diganti oleh lempeng tulang rawan hialin tidak beraturan yang mengelilingi bronkus. Sewaktu bronkus terus bercabang dan berkurang ukurannya, jumlah dan ukuran lempeng tulang rawan ini juga berkurang. Saat diameter bronkiolus mengecil kira-kira 1 mm, lempeng tulang rawan seluruhya menghilang dari saluran udara bagian konduksi. Jadi, bagian konduksi saluran pernapasan yang terkecil adalah bronkiolus terminalis dengan diameter antara 0,5-1,0 mm. Terdapat 20-25 generasi percabangan sebelum saluran pernapasan mencapai ukuran bronkiolus terminalis. (Fawcett, Don W. 2002)Bronkiolus yang lebih besar dilapisi oleh epitel bertingkat semu bersilia, seperti pada trakea dan bronkus. Seiring dengan berkurangnya ukuran saluran, epitel ini berangsur memendek sampai menjadi epitel selapis bersilia (epitelium simplek siliatum). Epitel bronkiolus yang lebih besar juga mengandung banyak sel goblet. Jumlah sel ini berangsur berkurang seiring dengan berkurangnya ukuran saluran, dan sel goblet tidak terdapat di epitel bronkiolus terminalis. (Fawcett, Don W. 2002)Bronkiolus yang lebih kecil hanya dilapisi oleh epitel selapis kuboid (epitelium simplek kuboideum). Pada bronkiolus terminalis dan bronkiolus respiratorius, terdapat jenis sel lainnya, pengganti sel goblet, yaitu sel Clara (exokrinokitus kalikiformis). Sel Clara adalah sel kuboid tanpa silia yang jumlahnya bertambah seiring dengan berkurangnya sel-sel bersilia. (Fawcett, Don W. 2002)a. Bagian Respiratorik Sistem PernapasanBagian respiratorik sistem pernapasan adalah lanjutan distal bagian konduksi dan dimulai dengan saluran pernapasan tempat berlangsungnya pertukaran gas atau respirasi. Bronkiolus terminalis bercabang menjadi bronkiolus respiratorius, yang ditandai oleh adanya kantung-kantung udara berdinding tipis yaitu alveoli, tempat berlangsungnya respirasi. Bronkiolus respiratorius adalah zona peralihan antara bagian konduksi dan bagian respirasi atau pertukaran gas. (Fawcett, Don W. 2002)

Respirasi hanya dapat berlangsung di dalam alveoli karena sawar antara udara yang masuk ke dalam alveoli dan darah vena dalam kapiler sangat tipis. Struktur intrapulmonal lainnya tempat berlangsungnya respirasi adalah duktus alveolaris dan sakus alveolaris (sakulus alveolaris). Selain sel-sel di saluran pernapasan, terdapat jenis sel lainnya di dalam paru. Alveoli mengandung dua jenis sel. Sel yang paling banyak adalah sel alveolus gepeng atau pneumosit tipe I (pneumokitus typus I). Sel gepeng ini melapisi seluruh permukaan alveolus. Di antara sel-sel alveolus gepeng ini terselip pneumosit tipe II (pneumokitus tipus II) baik tunggal maupun dalam kelompok kecil. Makrofag paru, berasal dari monosit darah, juga ditemukan di jaringan ikat dinding alveolus atau septum interalveolaris (makropagokitus alveolaris) dan di alveoli (sel debu). Di dalam septum interalveolaris juga terdapat banyak anyaman kapiler, arteri pulmonalis, vena pulmonalis, duktus limfe, dan saraf. (Fawcett, Don W. 2002)II. 2.3 Mukosa Olfaktorius dan Konka Superior (Pandangan Menyeluruh)Mukosa olfaktorius terletak di atap rongga hidung, di kedua sisi septum hidung, dan di permukaan konka superior (l), salah satu struktur bertulang di dalam rongga hidung.(Fawcett, Don W. 2002)Epitel olfaktorius dikhususkan untuk menerima rangsang bau. Akibatnya, epitel ini berbeda dari epitel repiratorik. Epitel olfaktorius adalah epitel bertingkat semu silindris tinggi tanpa sel goblet dan tanpa silia motil, berbeda dari epitel respiratorik.(Fawcett, Don W. 2002)Lamina propria di bawahnya mengandung kelenjar olfaktorius (Bowman) tubuloasinar bercabang. Kelenjar ini menghasilkan sekret serosa, berbeda dari sekret campuran mukosa dan serosa yang dihasilkan oleh kelenjar di bagian lainnya di rongga hidung. Saraf kecil yang terdapat di lamina propria, yaitu saraf olfaktorius (nervi olfaktori). Saraf olfaktorius menggambarkan kumpulan akson aferen yang meninggalkan sel-sel olfaktorius dan berlanjut ke dalam rongga tengkorak, tempat saraf ini bersinaps dengan saraf olfaktorius (kranialis). (Fawcett, Don W. 2002)

Gambar 1. Mukosa olfaktorius dan konka superior di rongga hidung (Eroschenko, 2009)a. Mukosa Olfaktorius: Rincian Daerah TransisiDi daerah transisi, perbedaan histologik kedua epitel ini tampakjelas. Epitel olfaktorius (l) adalah epitel bertingkat semu silindris tinggi, terdiri atas tiga jenis sel berbeda: sel penyokong, sel basal, dan sel olfaktorius neuroepitelial. Bentuk masing-masing sel sukar dibedakan pada sediaan histologik rutin; namun, lokasi dan bentuk inti menjadi petunjuk untuk mengidentifikasi jenis sel. (Sloane, Ethel. 2010.)

Sel penyokong atau sel sustentakular (epiteliokitus sustenans) (3) memanjang, dengan inti lonjong yang terletak lebih apikal atau superficial di epitel. Sel olfaktorius (epiteliokitus sensorius) (4) memiliki inti lonjong atau bulat yang terletak di antara inti sel penyokong (3) dan sel basal (epiteliokitus basalis) (5). Apeks dan basis sel olfaktorius (4) langsing. Permukaan apikalis sel olfaktorius (4) mengandung mikrovili nonmotil halus yang terjulur ke dalam mukus (2) yang menutupi permukaan epitel. Sel basal (5) adalah sel pendekyang terletak di basis epitel di antara sel penyokong (3) dan sel olfaktorius (4). (Fawcett, Don W. 2002)Dari basis sel olfaktorius (4) terjulur akson yang berjalan ke dalam lamina propria (6) berupa berkas saraf olfaktorius tidak bermielin atau fila olfactoria (14). Saraf olfaktorius (14) meninggalkan rongga hidung dan masuk ke dalam bulbus olfaktorius di dasar otak. (Fawcett, Don W. 2002)Transisi dari epitel olfaktorius (l) menjadi epitel respiratorik (9) terjadi secara tiba-tiba. Epitel respiratorik (9) adalah epitel bertingkat semu silindris dengan silia (10) dan banyak sel goblet (ll). Di daerah transisi, ketinggian epitel respiratorik (9) tampaknya sama dengan epitel olfaktorius (l). Di bagian saluran pernapasan lainnya, ketinggian epitel respiratorik (9) lebih rendah dibandingkan dengan epitel olfaktorius (l). (Fawcett, Don W. 2002)

Gambar 1.2 Mukosa olfaktorius: rincian daerah transisi. Pulasan: hematoksilin dan eosin. Pembesaran kuat. (Eroschenko, 2009)

Gambar 1.3 Mukosa olfaktorius dalam hidung: daerah transisi. Pulasan: Mallory-azan. 80 X (Eroschenko, 2009)

Lamina propria (6) di bawahnya mengandung banyak kapiler, pembuluh limfe, arteriol (8), venula (13) dan kelenjar olfaktorius (Bowman) (7) tubule asinar serosa yang bercabang. Kelenjar olfaktorius (7) mencurahkan sekretnya melalui duktus (12) eksretorius kecil yang menembus epitel olfaktorius (1). Sekret dari kelenjar olfaktorius (7) membasahi permukaan epitel, melarutkan molekul zat yang berbau, dan merangsang sel olfaktorius (4). (Fawcett, Don W. 2002)b. Mukosa Olfaktorius dalam Hidung: Daerah TransisiDi bagian atas rongga hidung, epitel respiratorik tiba-tiba berubah menjadi epitel olfaktorius, seperti diperlihatkan di fotomikrograf pembesarankuat ini. (Fawcett, Don W. 2002)Epitel respiratorik dilapisi oleh silia (l) motil dan mengandung sel goblet (2). Epitel olfaktorius tidak memiliki silia (l) dan sel goblet (2), tetapi memiliki inti sel penyokong (5) di dekat permukaan epitel, inti sel olfaktorius (6) yang menerima rangsang bau, yang terletak di bagian tengah epitel, dan sel basal (7) yang berada di dekat membrane basalis (3). (Fawcett, Don W. 2002).Di bawah epitel olfaktorius di jaringan ikat lamina propria (4) terdapat pembuluh darah (9), saraf olfaktorius (10), dan kelenjar olfaktorius (Bowman) (8). (Fawcett, Don W. 2002)c. Epiglotis (Potongan Longitudinal)Epiglotis adalah bagian superior laring yang menonjol ke atas dari dinding anterior laring.Struktur ini memiliki permukaan lingualis dan laringeal. (Fawcett, Don W. 2002)Kerangka epiglotis dibentuk oleh tulang rawan elastik epiglotis (3) di bagian tengah. Mukosa lingual (2) (sisi anterior) dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk (l). Lamina propria di bawahnya menyatu dengan jaringan ikat perikondrium (4) tulang rawan elastik epiglotis (3). (Fawcett, Don W. 2002)Mukosa lingual (2) dengan epitel berlapis gepeng (l) melapisi apeks epiglotis dan sekitar separuh dari mukosa laringeal (7) (sisi posterior). Ke arah basis epiglotis di permukaan laringeal (7), epitel berlapis gepeng (l) berubah menjadi epitel bertingkat semu silindris bersilia (8). Di bawah epitel di lamina propria (6) pada sisi laringeal (7) epiglotis terdapat kelenjar seromukosa (6) tubuloasinar. (Fawcett, Don W. 2002Selain lidah, kuncup kecap (5) dan nodulus limfoid soliter mungkin terlihat di epitel lingualis (2) atau epitel laringeal (7). (Fawcett, Don W. 2002)

Gambar 1.4 Epiglotis (potongan longitudinal). Pulasan: hematoksilin dan eosin. Pembesaran lemah. Sisipan: pembesaran kuat (Eroschenko, 2009)

II.3 Fisiologi saluran napas atasFungsi utama paru adalah menyelenggarakan pengambilan oksigen oleh darah dan pembuangan karbondioksida. Terdapat 4 tahap respirasi, yaitu:a. VentilasiVentilasi adalah sirkulasi keluar masuknya udara atmosfer dan alveoli. Proses ini berlangsung di sistem pernapasan. (Sloane, Ethel. 2010)b. Espirasi eksternalRespirasi eksternal mengacu pada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida antara lingkungan eksternal dan sel tubuh. Proses ini terjadi di sistem pernapasan.(Sloane, Ethel. 2010)c. Transpor gasTranspor gas adalah pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah dan jaringan tubuh. Poses ini terjadi di sistem sirkulasi. (Sloane, Ethel. 2010) d. Respirsi internalRespirasi internal adalah pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel. Proses ini berlangsung di jaringan tubuh. (Sloane, Ethel. 2010)Sistem respirasi dibagi menjadi 2 bagian yaitu (Hood Alsagaaff, 2006) :a. Bagian konduksi yang terdiri dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan bronkhiolus terminalis. Bagian ini relatif kaku dan terbuka, merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan paru. Fungsi dari bagian konduksi adalah mengalirkan udara dan sebagai penyaring, penghangat, dan melembabkan udara sebelum sampai bagian respirasi. (Hood Alsagaaff, 2006)b. Bagian respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, saccus alveolaris, dan alveolus. Bagian respirasi merupakan tempat terjadinya pertukaran udara dai lingkungan luar dan dalam tubuh . Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah yaitu menurunin gradien. Terdapat 3 tekanan yang penting pada proses pertukaran udara yaitu : Tekanan atmosferTekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan ketinggian di atas permukaan laut karena kolon udara di atas permukaan bumi menurun. (Hood Alsagaaff, 2006)Tekanan intra alveolusTekanan inilah yang mengatur aliran udara karena tekanannya dapat berubah sesuai dengan perkiraan pernapasan. (Hood Alsagaaff, 2006)c. Tekanan intra pleuraMerupakan tekanan di dalam kantung pleura atau disebut juga tekanan intra toraks yaitu tekanan yang terjadi di luar paru dan di dalam rongga toraks. (Hood Alsagaaff, 2006)II.4 Suara Dasar ParuSuara dasar paru secara tradisional digolongkan menjadi 4 yaitu suara yaitu trakeal,bronkial, bronkovesikuler, dan vesikuler. (Djojodibroto, Darmanto R. 2009)a. Suara trakheal mempunyai ciri suara dengan frekuensi tinggi, kasar, disertai dengan masa istirahat (pause) antara fase inspirasi dan ekspirasi, dengan komponen ekspirasi terdengar sedikit lebih lama. Suara nafas trakeal dapat ditemukan dengan menempelkan membran diafragma pada bagian lateral leher atau pada fossa suprasternal. Sumber bunyinya adalah turbulensi aliran cepat pintu glottis. Suara nafas bronchial mempunyai bunyi yang juga sama kasar, frekuensi tinggi, dengan fase inspirasi sama dengan fase ekspirasi. Suara ini terdapat pada saluran nafas dengan diameter 4mm atau lebih, misalnya pada bronkus utama. Suara nafas bronkial dapat didengarkan pada daerah antara kedua skapula. (Djojodibroto, Darmanto R. 2009)b. Suara nafas bronkovesikulersedikit berbeda dari suara trakeobronkial, terdengar lebih distal dari jalan nafas. Bunyinya kurang keras, lebih halus, frekuensi lebih rendah dibandingsuara bronkial,tetapi dengan komponen inspirasi dan ekspirasi yang masih sama panjang. Bunyi nafas ini pada orang normal dapat didengar pada segitiga auskultasi (area di bagian posterior rongga dada yang dibatasi oleh m.trapezius, mlatissimus dorsi, dan m.rhomboideus mayor dan lobus otot kanan paru). Lebih distal, dengan karakteristiknya halus, lemah, dengan fase inspirasi merupakan bagian yang dominan, sedangkan fase ekspirasi hanya terdengar sepertiganya. (Djojodibroto, Darmanto R. 2009)c. Suara vesikulerberasal dari jalan nafas lobar dan segmental, ditransmisikan melalui parenkim paru normal. Bila terdapat konsolidasi atau atelektasis pada saluran nafas distal, maka suara yang normalnya vesikuler, akan menjadi suara bronkovesikuler atau trakeobronkial. Ini terjadi karena penghantaran udara yang bertambah karena adanya pemadatan pada jaringan paru. Ada pula yang berpendapat hal ini terjadi karena suara vesikuler yang menurun pada daerah auskultasi, sehingga yang masih terdengar adalah suara dari bronkus (suara bronkial). (Wodick GR, 1997)

Suara vesikuler yang diperlemah didapatkan pada keadaan fungsi paruyang menurun, (misalnya Schwarte, fibrosis pulmonum, emfisema) ataupada gangguan penghantaran suara karena adanya cairan (efusi pleura) atau udara di pleura (pneumothorax). Keadaan ini juga bisa didapati pada anak yang gemuk atau atletyang mempunyai lapisan otot yang tebal. Fase ekspirium suara vesikuler jugabisa diperpanjang pada keadaan dimanaterdapat kesulitan mengelurkan udara waktu ekspirasi, seperti padakeadaan asma bronkiale atau bronkiolitis. Kesulitan inidisebabkan oleh banyaknya sekret, edema mukosa bronkus, dan konstriksi dari saluran nafasbawah. Ekspirasi yang memanjang sangat berhubungan dengan bunyi tambahan paru yaitu wheezing dan dapat didengarkan dengan telinga telanjang. (Wodick GR, 1997)Selain keempat diatas, ada tiga tambahan lain darisuara napas dasar yaitu: suara napas amforik, cog-wheel breath sounddan metamorphosing breath sound. Suara napas amforikialah suara napas sangat menyerupai bunyi tiupan di atas mulut botol kosong, dapat didengar pada kaverne. Cog-wheel breath sounddipakai untuk menyatakan terdapatnya suara napas yang terputus-putus, tidak kontinu, baik pada fase inspirasi maupun fase ekspirasi. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh adhesi pleura atau kelainan bronkus kecil. Terdapat misalnya pada tuberculosis ini.Metamorphosingbreathsound dimulai dengan suara yang halus kemudian mengeras, atau dimulai dengan vesicular kemudian berubah menjadi bronchial. (Wodick GR. 1997)

II.5 Jenis suara nafas normal yaitu terdiri dari :1. Bronchial : sering juga disebut dengan tubular sound karena suara ini dihasilkan oleh udara yang melalui suatu tube (pipa), suaranya terdengar keras, nyaring, dengan hembusan yang lembut. Fase ekspirasinya lebih panjang daripada inspirasi dan tidak ada jeda diantara kedua fase tersebut. normal terdengar diatas trachea atau daerah lekuk suprasternal. (Djojodibroto, 2009)2. Brokovesikular : merupakan gabungan dari suara nafas bronchial dan vesikular. Suaranya terdengar nyaring dengan intensitas sedang. Inspirasi sama panjang dengan ekspirasi. Suara ini terdengar didaerah dada dimana bronchus tertutup oleh dinding dada. (Djojodibroto, 2009)3. Vesikuler : terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi. Inspirasi lebih panjang daripada ekspirasi, ekspirasi terdengar seperti tiupan. (Djojodibroto, 2009)

II. 6 Jenis suara nafas tambahanSuara nafas tambahan disebut juga suara nafas tidak normal, suara ini disebabkan karena adanya penyempitan jalan nafas atau obstruksi. Menurut lamanya bunyi suara nafas tambahan dibedakan menjadi suara yang terdengar kontinyu dan suara yang terdengar tidak kontinyu. (Djojodibroto, 2009)Suara tambahan bisa dibedakan menjadi empat bunyi yaitu :0. Stridor yaitu suara yang terdengar kontinyu tidak (terputus-putus) yang bernada tinggi yang terjadi baik pada saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi dapat terdengar meskipun tanpa menggunakan stetoskop bunyinya ditemukan pada saluran atas (laring) atau trakhea. Disebabkan karena adanya penyempitan pada saluran nafas tersebut. Pada orang dewasa keadaan ini mengarah kepada dugaan adanya edema laring, kelumpuhan pita suara, tumor laring, stenosis laring yang biasanya disebabkan oleh tindakan trakeostomi atau dapat juga akibat pipa endotrakeal. (Djojodibroto, 2009)0. Ronchi basah yaitu suara yang terdengar kontinyu. Ronchi adalah suara nafas tambahan bernada rendah sehingga bersifat sonor, terdengar tidak menegakkan (raspi) terjadi pada saluran nafas besar seperti trakhea bagian bawah dan bronkus utama. Disebabkan karena udara melewati penyempitan terjadi pada saat inspirasi atau ekspirasi. (Djojodibroto, 2009)0. Suara mengi atau (wheezing), suara yang terdengar lebih kontinyu nadanya lebih tinggi dibandingkan suara yang lainnya, sifatnya musikal disebabkan karena adanya penyempitan saluran nafas kecil (bronkus perifer dan bronkiolus), karena udara mengalami suatu penyempitan, mengi terjadi baik pada saat inspirasi atau ekspirasi. Penyempitan jalan nafas bisa terjadi karena sekresi berlebihan, kontriksi otot polos, edema mukosa, tumor atau benda asing. (Djojodibroto, 2009)0. Ronchi kering (Rales atau crackles) yang terdengar diskontinyu (terputus-putus) disebabkan karena adanya cairan disaluran nafas dan kolapsnya saluran udara bagian distal dan alveoli. Ada tiga macam ronchi kering yaitu halus (fine rales), sedang (medium rales) dan kasar (coarse rales). (Djojodibroto, 2009)

Penyakit paruBunyi napasBunyi paru tambahanResonansi Perkusi

PneumoniaTrakeobronkhial Krepitasi Bronkofoni, egofoniRedup

Asma Vesikuler menurunWheezing Hilang Hipersonor

Atelektasis Trakeobronkhial Ronki basah halusBronkofoni Redup

Bronchitis Vesikuler Ronki basah kasar Noral Normal

Pneumothoraks Vesikuler hilang Tidak adaHilang Hipersonor

Efusi pleuraVesikuler melemah Tidak adaHilang Redup

Edema paruVesikuler melemahRonki basah halus basalMenurun Hipersonor

Bronkhiolitis Vesikuler Wheezing, ekspirasi diperpanjangNormal atau hilangHipersonor

Tabel 1. Karakteristik penyakit paru dari pemeriksaan fisik (Wodick GR. 1997)

II.7 Macam-macam penyakit pada saluran nafas bagian atas :0. BronkitisBronkitis adalah peradangan atau inflamasi pada mukosa bronkus. Parenkim paru normal atau tidak terinfeksi. Manifestasi klinik yang tampak berasal dari hipersekresi dan terjadinya eksudat. Dahak yang terbentuk mula-mula kental, setelah beberapa hari berubah menjadi agak encer. Etiologi bronkitis dapat dibagi menjadi: (Wodick GR. 1997)1. Fisik:udara dingin/panas, asap, debu. 2. Bahan kimia. 3. Alergi 4. Infeksi: paling sering adalah virus, penyebab yang lain adalah bakteri, jamur, parasit. Melihat etiologi di atas dapat dimengerti bahwa demam tidaklah selalu menyertai bronkitis. Bronkitis biasanya tidak menimbulkan gejala klinis yang berat, dan biasanya tidak disertai sesak nafas maupun sianosis. Pada pemeriksaan paru,biasanya hanya didapatkan ronki basah kasar tanpa perubahan suara dasar nafas vesikuler. Pada perkusi maupun palpasi tidakdidapatkan kelainan. (Wodick GR. 1997)

Gambar 1.5 Bronkhitis (Medicine, 2006)

1. Asma BronkialeAsma adalah satu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan bronkus yang berulang namun reversibel, dan diantara episode penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal. Keadaan ini pada orang-orang yang rentan terkena asma mudah ditimbulkan oleh berbagai rangsangan yang menandakan suatu keadaan hipereaktivitas bronkus yang khas. (Price, 2005)Perubahan jaringan pada asma tanpa komplikasi terbatas pada bronkus dan terdiri dari spasme otot polos, edema mukosa, dan infiltrasi sel-sel radang yang menetap dan hipersekresi mukus yang kental. Penyempitan saluran pernapasan dan pengelupasan sel epitel siliaris bronkus kronis yang dalam keadaan normal membantu membersihkan mukus dapat menghambat mobilisasi sekresi lumen. (Price, 2005)Asma merupakan penyakit paru obstruktif kronik episodik yang ditandai oleh hiperreaktivitas bronkus (menyebabkan bronkokonstriksi) dan inflamasi saluran nafas. Pada asma terjadi kesulitan bernafas terutama saat ekspirasi. Pasien lebih nyaman dalam keadaan tiduran setengah duduk atau bilaserangan berat penderita akan menempatkan diri pada posisi tripod (kedua tangan berpegangan pada tepi tempat tidur supaya otot-otot pernafasan aksila bisa membantu pernafasan). Perabaan nadi pada serangan asma berat dapat didapatkan pulsus paradoksus. Pada inspeksi tampak penderita menggunakan otot-otot bantuan nafas, mungkin dengan posisi tripod. Bila berat dapat didapatkan sianosis dan nafas cuping hidung. Pada dada terdapat retraksi, dada berbentuk emfisematosa (penambahan diameter antero-posterior). Hipersonor didapatkan pada perkusi. Pada auskultasi didapatkan suara vesikuler dengan ekspirasi diperpanjang, ronki basah kasar, wheezing, dan ronki kering. Kadang-kadang juga didapatkan ronki basahhalus dan krepitasi. Pada serangan berat wheezing tidak terdengar karena penyempitan bronkus yang hebat. (Djojodibroto, 2009)Patofisiologi Keadaan yang dapat menimbulkan serangan asma menstimulasi terjadinya bronkhospasme melalui salah satu dari 3 mekanisme, yaitu: 0. Degranulasi sel mast dengan melibatkan immunoglobulin E (IgE).0. Degranulasi sel mast tanpa melibatkan IgE degranulasi sel mast menyebabkan terlepasnya histamine, yaitu suatu slow reacting substance of anaphylaxis, dan kinin yang menyebabkan bronkokonstriksi.0. Stimulasi langsung otot bronchus tanpa melibatkan sel mast.Episode bronkospastik berkaitan dengan fluktuasi konsentrasi c-GMP (cyclic guanosinemonophosphate) atau konsentrasi c-AMP (cyclic adenosine monophosphate), atau konsentrasi didalam otot polos bronchus dan sel mast. Peningkatan konsentrasi c-GMP dan penurunan konsentrasi c-AMP intrasellular berkaitan dengan konsentrasi c-GMP dan peningkatan konsentrasi c-ANP menyebabkan bronkodilatasi. Produksi IgE spesifik memerlukan sensitisasi terlebih dahulu. (Djojodibroto, 2009)Penurunan aliran udara ekspirasi tidak hanya diakibatkan oleh bronkokonstriksi saja, tetapi juga oleh adanya edema muka dan sekresi lendir yang berlebihan. (Price, 2005)

Manifestasi Klinis :Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan napas dapat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain : (Mansjoer, 1999)1. Bising mengi (wheezing) yang terdengar atau tanpa stetoskop.2. Batuk produktif, sering pada malam hari.3. Napas atau dada seperti tertekan.

1. PneumoniaPneumonia adalah inflamasi atau peradangan yang terjadi pada parenkim paru atau alveoli. Pneumonia biasanya diawali dengan infeksi saluran nafas atas yang menimbulkan komplikasi. Sebab lain adalah tirah baring lama, sepsis, atau aspirasi. Perjalanannya tidakberlangsung tiba-tiba. Sarang-sarang radang merupakan infiltrat kecil-kecil di parenkim paru, lebih kurang mengikuti percabangan bronkus. (Sudoyo, 2009)Infiltrat-infiltrat ini dapat membentukkonsolidasi. Pneumonia lobaris terjadi bila radang paru mengenai satu lobus paru tertentu. Pneumonia merupakan sebab kematian tersering pada anak di negara berkembang selain diare. Pada pemeriksaan didapatkan sesak nafas, yang ditandai dengan adanya nafas cepat dan atau retraksi. Retraksi subkostal lebih spesifik untuk penanda pneumonia. Bila berat dapat dijumpai sianosis. Palpasi taktil meningkat, demikian juga resonansi vokal meningkat (bronkofoni atau egofoni) karena adanya infiltrat dan konsolidasi yang meningkatkan penghantaran suara. Perkusiakan terdengar redup. Pada auskultasi didapatkan suara bronchial pada daerah paru yang terkena, karena adanya konsolidasi. Suara tambahan yang didapatkan adalah ronki basah halus yang timbul saat akhirinspirasi (krepitasi). (Price,2005.)

Gambar 1.6 Red Hepatization Pneumonia (Price, 2005)

1. BronkiolitisBronkiolitis adalah peradangan pada bronkiolus, ditandai dengan adanya penyempitanjalannafassekunderkarenapenumpukanselselradang.Bronkiolitismerupakanpenyakit paru yang hanya diderita anak umur kurang dari 2 tahun (tersering adalah 6 bulan-2tahun), karena diameter bronkiolus yang relatif masih kecil, sehingga peradangan sedikit saja dapat menimbulkan sesak nafas. Penyebab utamanya adalah infeksi oleh RSV (Respiratory Syncitial Virus). Pemeriksaan fisik pada bronkiolitis serupa pada asma bronkiale, karena patofisiologinya hampir mirip, yaitu adanya penyempitan saluran nafas. Bedanya dengan asma adalah bahwa bronkiolitis tidak berespon terhadap pemberian inhalasi beta agonis atau adrenalin. (Pasterkamp H, 2005)

1. EmfisemaPada emfisema pulmonum, alveoli amat melebar. Jaringan intra alveolar tipis atau malahan ada yang hilang. Jadi paru berbentuk lebih gembung dan lebih banyak mengandung udara, tetapi luas permukaan alveoli sangatberkurang.Ini menyebabkan pengembangan paru terbatas, sehingga terjadi sesak nafas. Pada inspeksi didapatkan bentuk dada emfisematosa, berbentuk tong, dengan ukuran lebar relatif lebih besar dibanding panjangnya, dengan posisi kosta mendatar. Pada perkusi didapatkan hipersonor, batas jantung sukar ditentukan. Pada auskultasi didapatkan vesikuler diperlemah. (Djojodibroto, 2009)Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang. Meskipun beberapa bentuk morfologik telah diperkenalkan, ada dua bentuk yang paling penting sehubungan dengan COPD. Emfisema sentrilobular (CLE), secara selektif hanya menyerang bagian bronkiolus respiratorius dan duktus alveolaris. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang sewaktu dinding-dinding mengalami integrasi. Mula-mula duktus alveolaris dan sakus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan. CLE sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru, tetapi akhirnya cenderung tersebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan pada wanita. Biasanya berhubungan dengan bronkitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang jarang merokok. (Price, 2005)Emfisema vanlobular (PLE) atau emfisema panasinar, merupakan bentuk morfologi yang lebih jarang, alveolus yang terletak distal dari bronkiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata; mengenai bagian asinus yang sentral dan perifer. Bersamaan dengan penyakit yang lebih parah semua komponen asinus sedikit demi sedikit menghilang sehingga akhirnya hanya tertinggal hanya beberapa lembar jaringan, yang biasanya berupa pembuluh-pembuluh darah, PLE mempunyai gambaran khas yaitu : tersebar merata diseluruh paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah. PLE, tapi tidak CLE, juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer. Jenis emfisema ini ditandai dengan peningkatan resistensi jalan napas yang berlangsung lambat tanpa adanya bronkhitis kronik, mual timbulnya dini dan biasanya memperlihatkan gejal-gejala pada usia antara 30 dan 40 tahun. Di Inggris tercatat kurang dari 6% penderita COPD dengan emfisema primer, dan angka kekerapannya sama baik pada wanita maupun pria. Penyebab emfisema bentuk ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya familial yang berkaitan dengan defisiensi enzim alfa1-antiprotease. (Price, 2005)

Gambar 1.7 Emfisema (Medicine, 2006)

6. Pneumothorax Pneumothorax berarti ada udara di rongga pleura. Dalam keadaan normal, rongga pleura hampa udara, hanya terdapat sedikit sekali cairan di dalamnya. Pneumothorax dapat terjadi pada asma berat, emfisema, trauma dinding dada, atau efek samping dari ventilator. Pada umumnya pneumothorax bersifat akut dan unilateral. Penderita lebih senang berbaring pada sisi yang sakit karena paru yang sehat akan lebih mengembang sehingga dapat mengkompensasi paru sakit. Pada inspeksi didapatkan sela iga mencembung dan ada ketinggalan gerak. Pada palpasi leher didapatkan trakea bergeser ke arah yang sehat. Perkusi paru sakit didapatkan hipersonor. Pada auskultasi didapatkan vesikuler diperlemah. (Djojodibroto, 2009)

7. Fibrosis pulmonumPada fibrosis pulmonum, jaringan paru sehat diganti oleh jaringan ikat. Biasanya terjadi pada proses kronik seperti pada tuberkulosis post primer dan pneumonia yang berlangsung lama. Adanya jaringan ikat padaparu akan membatasi pengembangan paru . Pada inspeksi didapatkan retraksi pada paru yang sakit dan ketinggalan gerak. Sela juga mencekung dan menyempit. Pada paruyang fibrosis didapatkan perkusi yang redup, dengan batas jantung bergeser ke arah paru yang sakit. Pada auskultasi didapatkan vesikuler yang melemah (Pasterkamp H, 2005)

8. Pleuritis eksudativa dan SchwartePleuritis adalah peradangan pada pleura, dapat berlangsung akut maupun kronis. Pada inspeksi didapatkan penderita tampak nyeri, mungkin didapatkan ketinggalan gerak, redup absolute didapatkan pada perkusi. Dari auskultasi didapatkan vesikuler melemah. Schwarte adalah penebalan jaringan pleura karena terbentuknya jaringan ikat, merupakan akibat dari pleuritis eksudativa, atau bila ada pyothorax dan hematothorax. Pada Schwarte pleura menebal dan mengkerut, karena itu waktu diam saja sudah nampak sebagai retraksi. Pleura yang kaku akan menahan pengembangan paru sehingga waktu inspirasitampak retraksi dan ketinggalan gerak. Pada pemeriksaan auskultasididapatkan vesikuler melemah. (Pasterkamp H, 2005)

9. Edema paruEdema paru merupakan timbunan cairan dalam alveoli, terjadi pada keadaan gagaljantung, overhidrasi, dan pneumonia. Gejala yang muncul adalahsesak nafasdan batuk. Pada pemeriksaan fisik khas didapatkan ronki basah halus di bagian basal paru dengan suara vesikuler diperlemah. (Pasterkamp H, 2005)

10. AtelektasisAtelektasis berarti kolapsnya alveoli paru sebagai akibat dari adanya cairan di rongga pleura yang banyak atau adanya sumbatan pada bronkus (misalnya pada sekresi lendir yang kental yang menyumbat bronkus). Pada pemeriksaan fisik didapatkan trakea bergeser ke arah paru yang sakit, ada ketinggalan gerak, perkusi redup, dan vesikuler diperlemah. (Djojodibroto, 2009)

Gambar 1.8 Atelektasis (Djojodibroto, 2009)

II.8Gejala klinis a. Rhinitis (radang selaput lender hidung)Peradangan selaput hidung dengan tanda-tanda pembengkakan (oedema), vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) selaput lender .Penyebabnya yaitu : virus, bakteri dan alergi.Gejalanya yaitu : berinus dan hidung tersumbat, bersin, gatal pada hidung, dan mata. (Pasterkamp H, 2005 )

b. Laryngitis Penyebabnya yaitu : mikroorganisme atau asap rokok pada perokok.Gejalanya yaitu : suara parau karena pembengkakan pita suara. Perokok berpeluang palaryngitis kronis lalu kan kelaryng. (Pasterkamp H, 2005)c. Dipteria Suatu penyakit menular akut, pembentukan pseudomembran fibrin pada mukosa saluran pernapasan bagian atas. Dapat menimbulkan bengkak dan dapat merusak sel-sel jantung dan saraf toksin bakteri.Penyebabnya yaitu : corynebacterium diphtheriaGejalanya yaitu : sakit tenggorokan, demam, sakit kepala dan muntah-muntah. (Pasterkamp H, 2005)d. ParingitisParyngitis yaitu peradangan bronkus atau bronkhiolus. Terjadi dimukosa atau submukosa menimbulkan over produksi lender disertai pengelupasan sel mati dan pengeluaran leukosit.Penyebabnya yaitu : infeksi bakteri yang menyerang setelah influenza.Gejalanya yaitu : reflek batuk untuk mengeluarkan dahak. (Djojodibroto, 2009)e. Asma bronkhialeAsma bronchial reaksi saluran pernapasaan terhadap rangsangan khas berupa spasme dari otot polos bronkus, bronkhiolus ditambah peradangan dan sekresi lendir berlebihan dari mukosa. Gejalanya yaitu : napas tersumbat, sesak dan berusaha bernapas dalam-dalam sehingga timbul bunyi (mengi), sewaktu udara yang mengali rmenggetarkan lender pada bronkus yang menyempit. (Djojodibroto, 2009)f. Bronchus carcinoma (kankerparu-paru)Berasal dari sel-sel epithelium bronchus.Penyebabnya yaitu : polusi udara pernapasaan.Gejalanya yaitu : batuk kronis dengan dahak yang sering berdahak, napas sering berbunyi karena penyumbatan dan infeksi paru-paru. (Pasterkamp H, 2005)

g. PneumothoraxTerdapat udara bebas di dalam rongga pleura.Penyebabnya yaitu : tekanan rongga pleura naik menjadi 760 mmHg, paru-paru menjadi kollaps, pleura viseralis robek.Gejalanya yaitu : sakit dada, sesak napas, dan batuk-batuk. (Djojodibroto, 2009)h. Penyakit dekompressiYaitu terbentuknya gelombang gas N2 didalam cairan tubuh, darah dan jaringan lainnya. Gelembung gas ini mengganggu peredaran darah dilokasi tersebut.Penyebabnya : menyelam dalam dibawah permukaan air / laut atau bekerja dalam ruangan bertekanan tinggi.Gejalanya yaitu : sakit-sakit pada sendi lengan dan sendi kaki, lesu, mabuk, lumpuh, pingsan sampai mati. (Pasterkamp H, 2005)i. Coryza (coryzal syndrome) Yaitu pengeluaran cairan nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis ringan. Sakit tenggorokan, rasa kering pada bagian posterior pallatum mole danovula, sakit kepala, malaise, nyeri otot, lesu serta rasa kedinginan tetapi demam jarang terjadi.Penyebabnya yaitu : berbagai jenis virus yang menginfeksi saluran pernapasan bagian atas.Gejalanya yaitu : lesu, pilek, dan perasaan tak enak di tenggorokan. (Djojodibroto, 2009)j. Influenza (flu)Penyebabnya yaitu : myxovirus, suatu virus RNA, tipe A, B, C Gejalanyayaitu : demam tinggi (39.5 C) sakit kepala, pegal linu, lesu, nyeri otot menyeluruh, menggigil, batuk. (Pasterkamp H, 2005)k. SinusitisPenyebabnya yaitu : peradangan sinus paranasalis.Gejalanya yaitu : hidung tersumbat, ingus berbau berwarna kuning hijau, dan sakit di daerah sinus yang terserang. (Pasterkamp H, 2005)

l. Pneumonia Penyebabnya yaitu : infeksi dan peradangan dari alveoli paru-paru dan jaringan interstitial karena berbagai macam mikroorganisme.Gejalanya yaitu : demam, sakit dada, batuk, sesak dan dahak dengan warna kerat. (Djojodibroto, 2009)m. TBC paru-paruInfeksi yang merusak jaringan paru-paru sehingga paru-paru berongga (caverne) dan terbentuk jaringan ikat.Penyebabnya yaitu : infeksi jaringan paru-paru oleh bakteri mykobakterium tuberkullosum.Gejalanya yaitu : berat badan turun drastis, lesu, batuk-batuk berdahak, sesak napas, sakit dada, dan sering berkeringat di malam hari. Djojodibroto, 2009)n. EmpisemaYaitu alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus terisi udara meskipun setelah ekspirasi.Penyebabnya yaitu : polusi udara dan asap rokok.Gejalanya yaitu : rongga dada tetap banyak terisi udara meski telah ekspirasi, pertukaran udara terganggu. (Djojodibroto, 2009)

II.9 Penegakan Diagnosis1. Tuberkulosis parua. Diagnosis 1. Anamnesis dan pemeriksanaan fisik2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)3. Foto toraks PA dan lateralGambaran toraks yang menunjang diagnosis TB, yaitu: Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah Bayangan berawan (patchy) atau berbecak (nodular) Adanya kavitas, tunggal atau ganda Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru Adanya kalsifikasi Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian Bayangan milier (Mansjoer Arif, 1999)4. Pemeriksaan sputum BTAPemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru, namun pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30-70% pasien TB yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini. (Mansjoer Arif, 1999)5. Tes PAP (Peroksidae Anti Peroksidase) Merupakan uji serologi imunoperoksidae memakai alat histogen imunoperoksidae staining untuk menentukan asanya IgG spesifik terhadap basil TB. (Mansjoer Arif, 1999)6. Tes Mantoux/Tuberkulin7. Teknik polymerase chain reactionDeteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat mendeteksi adanya resistensi. (Mansjoer Arif, 1999)8. Becton Dickinson Diagnoatic Instrumen System (BACTEC)Deteksi growth index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh M.tuberculosis. (Mansjoer Arif, 1999)9. Enzyme Linked Immunosorbent AssayDeteksi respons humoral, berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat menetap dalam waktu lama sehingga menimbulkan masalah. (Mansjoer Arif, 1999)10. MycodotDeteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah. (Mansjoer Arif, 1999)

2.10 Penatalaksanaan 1. Tuberkulosis ParuObat anti TB (OAT)OAT harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. (Sudoyo, 2009)Tujuan pemberian OAT, antara lain: Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negatif secepat mungkin melalui kegiatan bakterisid. Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan dengan kegiatan sterilisasi Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan daya tahan imunologis.Maka pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu:a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisid untuk memusnahkan populasi kuman yang membelah dengan cepat.Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan jangka pendek atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan konvensional. (Sudoyo, 2009)

b. OAT yang bisa digunakan antara lain isoniazid (INH), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan streptomisin (S) yang bersifat bakterisid dan etambutol (E) yang bersifat bakteriostatik. (Sudoyo, 2009)

Penilaian kebersihan pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis, radiologi, dan klinis. Kesembuhan TB paru yang baik akan memperhatikan sptum BTA (-), adanya perbaikan radiologi, dan menghilangnya gejala. (Sudoyo, 2009)Panduan OATKlasifikasi & Tipe penderita Fase awalFase lanjutan

Kategori 1 BTA (+) baru Sakit berat: BTA (-) luar paru2HRZS (E)2RHZS (E)4RH4R3H3

Kategori 2Pengobatan ulang : Kambuh BTA (+) Gagal 2RHZES/1RHZE2RHZES/1RHZE5RHE5R3H3

Kategori 3 TB paru BTA (-) TB luar paru2RHZ2RHZ/2R3H3Z34RH4R3H3

Keterangan 2 HRZ = tiap hari selama 2 bulan4 RH = tiap hari selama 4 bulan4 H3R3 = 3 kali seminggu selama 4 bulan

Tabel 1. Panduan OAT pada TB paru (WHO 1993)

Obat Setiap hari Dua kali/mingguTiga kali/minggu

Isoniazid 5 mg/kg Maks. 300 mg15 mg/kgMaks. 900 mg15 mg/kgMaks. 900 mg

Rifampisin 10 mg/kgMaks. 600 mg10 mg/kgMaks. 600 mg10 mg/kgMaks.600 mg

Pirazinamid 15-30 mg/kgMaks. 2 g50-70 mg/kgMaks. 4 g50-70 mg/kgMaks. 3 g

Etambutol*15-30 mg/kgMaks. 2,5 g50 mg/kg25-30 mg/kg

Streptomisin 15 mg/kgMaks. 1 g25-30 mg/kgMaks. 1,5 g25-30 mg/kgMaks. 1 g

*Etambutol tidak dianjurkan untuk anak-anak usia 70 % Jika respons tidak baik terhadap terapi awal maka pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit. (Sudoyo, 2009)Terapi asma kronik adalah sebagai berikut:1. Asma ringan : agonis 2 inhalasi bila perlu atau agonis 2 oral sebelum exercise atau terpapar alergen.Asma sedang : antiinflamasi setiap hari dan agonis 2 inhalasi bila perlu. (Sudoyo, 2009)2. Asma berat : steroid inhalasi setiap hari, teofilin slow release atau agonis 2 long acting, steroid oral selang sehari atau dosis tunggal harian dan agonis 2 inhalasi sesuai kebutuhan. (Sudoyo, 2009)

3. PneumothoraksTindakan pengobatan pneumotoraks tergantung dari luasnya pneumotoraks. Tujuan dari penatalaksanaan tersebut yaitu untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi, British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan pneumotoraks. Prinsip-prinsip penanganan .pneumotoraks adalah: Observasi dan pemberian tambahan oksigen. (Sudoyo, 2009) Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau tanpa pleurodesis Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau bulla. (Sudoyo, 2009)a. Torakotomi0. Observasi Dan Pemberian Tambahan OksigenTindakan ini dilakukan apabila luas pneumotoraks < 15% dari hemitoraks. Apabila fistula dari alveoli ke rongga pleura telah menutup, udara dalam rongga pleura perlahan-lahan akan diresorbsi. Laju resorbsinya diperkirakan 1,25% dari sisi pneumotoraks per hari. Laju resorbsi tersebut akan meningkat jika diberikan tambahan oksigen. Pemberian oksigen 100% pada kelinci percobaan yang mengalami pneumotoraks ternyata meningkatkan laju resorbsi enam kali lipat. Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan foto dada serial tiap 12-24 jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien dirawat di rumah sakit dianjurkan untuk memberikan tambahan oksigen. Pasien dengan luas pneumotoraks kecil unilateral dan stabil, tanpa gejata diperbolehkan berobat jalan dan dalam 2-3 hari pasien harus kontrol lagi. (Sudoyo, 2009)4. Aspirasi dengan Jarum dan Tube TorakostomiTindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien pneumotoraks yang luasnya > 15%. Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi). Tindakan dekompresi dapat dilakukan dengan cara : 1). Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut. 2).Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil, yaitu dengan (Sudoyo, 2009) : Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura, kemudian ujung pipa plastik di pangkal saringan tetesan dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem dibuka, maka akan timbul gelembung-gelembung udara di dalam botolOne-botfe system

Bottle initisHy primedwtlfi about 200 ml salinefor water sealGambar 4. Aspirasi udara dari rongga pleura {Sumber: Netter, 1979. Respiratory system. The Ciba Collection of Medical Illustration, vol. 7.

Jarum abbocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin dicabut, dihubungkan dengan pipa infuse set, selanjutnya dikerjakan seperti : (Sudoyo, 2009)(a). Water Sealed Drainage (WSD) : pipa khusus (kateter urine) yang steril dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit. Sebelum trokar dimasukkan ke rongga pleura, terlebih dahulu dilakukan insisi kulit pada ruang antar iga ke enam pada linea aksilaris media. Insisi kulit juga bias dilakukan pada ruang antar iga kedua pada linea mid-klavikula. Sebelum melakukan insisi kulit, daerah tersebut harus diberikan cairan disinfektan dan dilakukan injeksi anestesi lokal dengan xilokain atau prokain 2% dan kemudian ditutup dengan kain duk steril. (Sudoyo, 2009)Setelah trokar masuk ke dalam rongga pleura, pipa khusus (kateter urine) segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian trokar dicabut sehingga hanya pipa khusus tersebut yang masih tertinggal di ruang pleura. Pemasukan pipa khusus tersebut diarahkan ke atas apabila lubang insisi kulit di ruang antar iga keenam dan diarahkan ke bawah jika lubang insisi kulitnyaada di ruang antar iga kedua. Pipa khusus atau kateter tersebut kemudian dihubungkan dengan pipa yang lebih panjang dan terakhir dengan pipa kaca yang dimasukkan ke dalam air di dalam botol. Masuknya pipa kaca ke dalam air sebaiknya 2 cm dari permukaan air, supaya gelembung udara mudah keluar. Apabila tekanan rongga pleura masih tetap positif, perlu dilakukan penghisapan udara secara aktif (continuous suction) dengan memberikan tekanan -10 cm sampai 20 cm H2O agar supaya paru cepat mengembang. (Sudoyo, 2009)Apabila paru sudah mengembang penuh dan tekanan rongga leura sudah negatif, maka sebelum dicabut dilakukan uji coba dengan menjepit pipa tersebut selama 24 jam. Tindakan selanjutnya adalah melakukan evaluasi dengan foto dada, apakah paru mengembang dan tidak mengempis lagi atau tekanan rongga pleura menjadi positif lagi. Apabila tekanan di dalam rongga pleura menjadi positif lagi maka pipa tersebut belum dapat dicabut. Di RS Persahabatan, setelah WSD diklem selama 1 -3 hari dibuat foto dada. Bila paru sudah mengembang maka WSD dicabut. Pencabutan WSD dilakukan waktu pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal. Pada wanita muda dengan alasan kosmetika maka insisi kulit dapat dilakukan pada ruang antar iga empat atau lima linea mid-klavikula. Pemasangan WSD tersebut bisa dengan sistem 2 botol atau 3 botol. (Sudoyo, 2009)Apabila akan dilakukan pleurodesis, dari pipa tersebut dapat diinjeksikan suatu derivat dari tetrasiklin sehingga risiko untuk kambuh dapat dikurangi. Pada sebuah penelitian secara random pada 229 PSP, ternyata tingkat kekambuhan pada kelompok yang dilakukan pleurodesis sebesar 25%, sedangkan pada kelompok kontrol tingkat kekambuhannya 41 %. (Sudoyo, 2009)Menurut Asril penatalaksanaan pneumotoraks spontan dibagi dalam: PSP, yang terjadi pada usia muda dengan fungsi paru normal, maka akan sembuh sendiri. Evaluasi selanjutnya perlu berhali-hati sampai pengembangan paru sempuma. PSP ukuran besar, bila pada aspirasi pipa kecil tidak mengembang dalam 24-48 jam, perlu dipasang pipa interkostal bcsar, dengan Water Sealed Drainage (WSD) atau pongisapan secara perlahan-lahan memakai katup flutter (continuous suction). Bila paru sudah mengembang, biarkan pipa rongga pleura di tempatnya dengan diklem alirannya dan dievaluasi selama 24 jam. Apabila udara masih menetap dalam rongga pleura selama 1 minggu, perlu dilakukan torakotomi. (Sudoyo, 2009) PSS : sebelum melakukan pemasangan pipa rongga pleura, perlu diyakini lagi adanya pneumotoraks pada pasien-pasien emfisorm, karena tindakan tersebut dapat berakibat fatal. Pengeluaran udara biasanya secara terus-menerus (continuous suction) sampai beberapa hari hingga fistula bronkopleura (Broncho Pleural Fistel = BPF) menghilang. Bila gagal mengembang sempurna, dr.pat dipasang pipa rongga pleura kedua dan bila gagal juga mengembang setelah 1 minggu, perluoperasi torakotomi. (Sudoyo, 2009)Untuk mengetahui adanya BPF dapai dilakukan cara-cara sebagai berikut: Mengukir PO2 dan PCO2 gas yang berpindah, Bila PO2 > 50 ton dan PCO2 < 40 ton-, tersangka ada BPF persisten. Bila PO2 < 40 ton dan PCO2 > 45 ton, BPF menghilang. (Sudoyo, 2009) Mengukur tekanan udara intrapleura. Pada keadaan normal tekanan udara pada rongga pleura adalah negatif dan pada akhir ekspirasi tekanan udaranya masih di bawah atmosfir. Bila ada BPF artinya tekanan intrapleura pada akhir ekspirasi sama dengan tekanan dalam alveolar yang berarti sama dengan tekanan atmosfir. (Sudoyo, 2009) Mengukur jumlah udara yang dikeluarkan selama aspirasi. Pada keadaan normal BPF negatif artinya udara yang keluar jumlahnya terbatas, BPS positif artinya udara yang keluar jumlahnya tidak terbatas. (Sudoyo, 2009)b. TorakoskopiTorakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu torakoskop. Torakoskopi dilakukan pertama kali oleh Dr. Hans Christian Jacobeus dari Stockholm Swedia pada tahun 1919, dengan menggunakan alat sistoskop. Pada waktu itu torakoskopi dilakukan untuk memotong adhesi pleura (pneumolisis) dan menghasilkan pneumotoraks artifisial pada pasien tuberkulosis paru oleh karena belum ada obat antituberkulosis (Embran, 2001).Torakoskopi yang dipandu dengan video (Video Assisted Thoracoscopy Surgery = VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi operator maupun pasiennya karena akan diperoleh lapangan pandang yang lebih luas dan gambar yang lebih bagus. Tindakan ini sangat efektif dalam penanganan PSP dan mencegah berulangnya kembali. Dengan prosedur ini dapat dilakukan reseksi bulla atau bleb dan juga bisa dilakukan untuk pleurodesis. (Sudoyo, 2009)

Tindakan ini dilakukan apabila: Tindakan aspirasi maupun WSD gagal Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tubetorakostomi Terjadinya fistula bronkopleura Timbulnya kembali pneumotoraks setelah tindakan pleurodesisPada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah kambuh kembali seperti pada pilot dan penyelam (Light, 2003).Tindakan torakoskopi yang dikerjakan pada 25 pasien pneumotoraks spontan yang berulang, menunjukkan di parunya terdapat bleb di daerah apek paru serta pemah dilakukan pleurektomi apikal, setelah dievaluasi lebih dari 2,5 tahun ternyata hanya didapatkan angka komplikasi 3% dan hanya terbatas sekitar Iuka tersebut. (Light, 2003).Pengambilan bleb atau bulla dengan torakoskopi disertai pleurodesis pada 82 pasien pneumotoraks spontan yang berulang atau persisten, ternyata yang mengalami komplikasi hanya 6 pasien (7,3%), terdiri 3 pasien (4%) dengan kelainan para berupa bulla yang merata dan mengalami intubasi yang cukup lama (berturut-turut 9, 11 dan 12 hari), 2 pasien (3%) mengalami kebocoran udara yang menetap berlangsung sekitar 10-14 hari, dan 1 pasien mengalami kerusakan parenkim paru setelah batuk kuat 2 hari. Pada 69 pasien (83%) ternyata pada parunya didapatkan bleb atau bulla. Hasil tindakan tersebut menunjukkan pengembangan paru yang cukup baik setelah operasi dan setelah 22 bulan pengamatan tidak mengalami kekambuhan. Video Assisted Thoracoscopy Surgery (VATS) masih merupakan pilihan yang tepat untuk pneumotoraks spontan, lamanya operasi sekitar 45 menit, rasa tak enak setelah operasi sangat minimal dan lamanya rawat inap di rumah sakit setelah operasi rata-rata 4-6 hari. Rata-rata rawat inap pasien pneumotoraks spontan di rumah sakit setelah dilakukan torakoskopi video dengan pleurodesis talk sekitar 5,7 hari dan jika dengan bullektomi sekitar 6 hari. (Light, 2003).Pasien dengan luas pneumotoraks > 20% biasanya membutuhkan waktu > 10 hari untuk berkembangnya paru kembali. Pada pasien PSP sekitar 50% akan mengalami kekambuhan. Tindakan torakoskopi atau torakostomi yang disertai dengan abrasi pleura akan mencegah kekambuhan hampir 100%. Pada hampir semua pasien PSS akhirnya diterapi dengan torakostomi disertai pemberian obat sklerosing. Pasien-pasien PSP maupun PSS yang diketahui ada udara yang persisten di rongga pleura dan parunya belum mengembang setelah 6 hari pemasangan pipa torakostomi, maka diharuskan torakotomi terbuka. (Sudoyo, 2009)Jika didapatkan adanya bleb atau bulla, maka yang bisa dilakukan adalah: Lesi ukuran kecil, bleb atau bulla < 2 cm, dikoagulasi dengan pleurodesis talk. Bleb atau bulla > 2 cm, reseksi torakoskopi dengan suatu alat EndoGIA, kemudian diikuti skarifikasi (electroco- agulation) pada pleura parietalis. Pada 43 pasien yang dikerjakan tersebut ternyata didapatkan 15 kasus (34%) tidak dijumpai bleb/bulla, 6 kasus (14%) hanya bleb < 2 cm, 23 kasus (52%) dijumpai bleb/bulla > 2 cm. Pada 44 kasus tersebut, 21 kasus (48%) dikerjakan pleurodesis talk dan 23 kasus (52%) dikerjakan bullektomi. Hasil semua tindakan di atas sebagian besar tanpa komplikasi. (Sudoyo, 2009)

c. TorakotomiTindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi. Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat di apek paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut. (Sudoyo, 2009)d. Pneumonia Komunitas Indikasi PerawatanAntibiotik empirik. Pasien pada awalnya diberikan terapi empirik yang ditujukan pada patogen yang paling mungkin menjadi penyebab seperti tercantum pada bagan 1. Bila telah ada hasil kultur dilakukan penyesuaian obat. Di luar negeri terhadap semua pasien dianjurkan kemungkinan terapi patogen atipik yang berdasarkan faktor risikonya disertai/tanpa AB lain. Pada pasien rawat inap AB harus diberikan dalam 8 jam pertama di rawat di RS. Stratifikasi kelompok ini menjadi dasar dari pengarahan pemberian terapi pada PK. (Sudoyo, 2009)Pada prinsipnya terapi utara pneumonia adalah pemberian antibiotik (AB) tertentu terhadap kuman tertentu pada sesuatu tipe dari ISNBA baik pneumonia ataupun bentuk lain, dan AB ini dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman penyebab termasuk. Berdasarkan perbedaan tempat perawatan (rawat jalan, rawat ruang umum dan di ruang intensif), adanya penyakit kardiopulmoner dan "faktor perubah" (modifying factor) maka PK terbagi atas 4 grup dengan kuman penyebab yang berbeda. (Sudoyo, 2009)

Faktor- faktor yang dipertimbangkan pada pemilihan AB: (Sudoyo, 2009)a. Faktor PasienYaitu urgensi/cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat sakit ISNBA dan keadaan urnum/ kesadaran, mekanisme imunologis, unsur, defisiensi genetik/organ, kehamilan, alergi. Pasien berobat jalan dapat diberikan obat oral, pasien sakit berat diberikan obat intravena. (Sudoyo, 2009)b. Faktor AntibiotikTidak mungkin mendapatkan 1 jenis antibiotik yang ampuh untuk semua jenis kuman. Karena itu penting dipahami berbagai aspek tentang AB untuk efisiensi pemakaian AB. Secara praktis dipilih AB yang ampuh dan secara empirik telah terbukti merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi kuman penyebab yang paling mungkin pada pneumonia atau bentuk lain ISNBA berdasarkan data anti biogram mikrobiologi dalam 6-12 bulan terakhir. Efektivitas AB tergantung kepada kepekaan kuman terhadap AB ini, penetrasinya ke tempat lesi infeksi, toksisitas, Interaksi dengan obat lain dan reaksi pasien misalnya alergi atau intoleransi. (Sudoyo, 2009)c. Faktor FarmakologisFarmakokinetik AB mempertimbangkan proses bakterisidal dengan Kadar Hambat Minimal (MIC) yang sama dengan Kadar Bakterisidal Minimal (KBM), dan bakteriostatik dengan KBM yang jauh lebih tinggi daripada KHM. Untuk mencapai efektivitas optimal, obat yang tergolong mempunyai sifat dose dependent (misalnya sefalosporin) perlu diberikan dalam 3-4 pemberian/hari sedangkan golongan concentration dependent (misalnya aminoglikosida, kuinolon) cukup 1-2 kali sehari namun dengan dosis yang lebih besar. Farmakodinamik menilai kemampuan AB untuk melakukan penetrasi ke lokasi infeksi di jaringan dan keampuhannya AB hingga obat ini ampuh untuk dipakai terhadap patogen penyebab. Obat dengan kadar intraselular yang tinggi seperti makrolid akan lebih efektif dalam membunuh kuman intraselular. AB dengan Cmax/MIC Rasio >8- 10, atau AUC; MIC Ratio yahg semakin >25 semakin efektif dan bila AUC: MIC Ratio di atas 100, akan dapat menekan terjadinya perkembangan resistensi patogen. Hal ini penting terutama pada pengobatan pasien dengan imunokompromais. (Sudoyo, 2009)

Tabel 3 Stratifikasi untuk terapi. (Sudoyo, 2009) Cara Pemilihan ABPilihan AB dapat berupa: 1. AB tunggal Dipilih yang paling cocok diberikan pada pasien PK yang asalnya sehat dan gambaran klinisnya sugestif disebabkan oleh tipe kuman tertentu yang sensitif. (Sudoyo, 2009)b. Kombinasi AB Diberikan dengan maksud untuk mencakup spektrum kuman-kuman yang dicurigai, untuk meningkatkan aktivitas spektrum, dan pada infeksi jamak. Bila perlu diusahakan pula perbaikan penetrasi obat, misalnya drainase sputum pada bronkiektasis terinfeksi. Bila telah didapat basil kultur dan tes kepekaan maka hasil ini dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan AB yang lebih terarah atau monoterapi. (Sudoyo, 2009)Dalam rangka pemberian terapi PK dimasukkan statifikasi atas 4 kelompok berdasarkan kepada tempat perawatan (rawat jalan, rawat inap biasa atau ICU), adanya penyakit penyerta kardiopulmonal (PPOK penyakit jantung kongestif), dan berdasarkan "faktor perubah" (modifying factor) yang mencakup adanya faktor risiko terhadap pneumokokkus resisten, infeksi patogen gram negatif dan infeksi Ps. aeruginosa. (Sudoyo, 2009) Kelompok IPasien berobat jalan tanpa riwayat penyakit jantung paru dan tanpa adanya " faktor perubah" (faktor risiko untuk Str. Pneumonia resisten AB. Atau Gram negatif. (Sudoyo, 2009) Kelompok IIPasien berobat jalan dengan penyakit jantung paru, dengan/tanpa "faktor perubah". (Sudoyo, 2009) Kelompok III aPasien rawat RS diluar ICU, yang menderita penyakit jantung-paru dan/atau faktor "perubah".RS. (Sudoyo, 2009) Kelompok III b Pasien tidak disertai penyakit jantung paru atau faktor perubah lainnya, IV. Pasien dirawat di ICU :a. Tanpa risiko untuk Ps. Aeruginosab. Dengan risiko terhadap Ps. Aerugininoca. Pada pendekatan stratifikasi ini acuan terapi adalah cerminan dari beratnya sakit, indikasi rawat inap atau rawat di ICU. Pada prinsipnya sistim ini menunjukkan patogen yang umum dijumpai secara berurutan. Kelompok I. Pasien Rawat jalan tanpa riwayat penyakit kardiopulmonal dan 'faktor perubah'. (Sudoyo, 2009)AB yang diberikan adalah AB dengan spektrum luas, yang kemudian sesuai hasil kultur dirubah menjadi AB spektrum sempit. Lama pemberian terapi ditentukan berdasarkan adanya penyakit penyerta dan/atau bakteriemi, beratnya penyakit pada onset terapi dan perjalanan penyakit pasien. Umumnya terapi diberikan selama 7-40 hari. Untuk infeksi M. pneumonias dan C. pneumonide selama 10-14 hari, sedangkan pada pasien dengan terapi steroid jangka panjang selama 14 hari atau lebih. (Sudoyo, 2009)Pada terapi PK rawat inap, proses perbaikan akan terlihat 3 tahap yaitu tahap 1. pada saat peraberian ABIV selama 3 hari akan terlihat pasien stabil secara klinik; kemudian terlihat perbaikan kelainan dan tanda fisik serta nilai laboratorium. Pada fase ke 3 terlihat penyembuhan dan resolusi penyakit. Keterlambatan perbaikan klinik dapat disebabkan patogen yang resisten atau bakteriemi. Di samping itu faktor inang berupa usia tua, penyakit penyerta jamak atau progresifitas penyakit. Dapat pula disebabkan oleh alkoholik, pneumonia multilober, atau empiema. Bila keadaan klinik membaik dengan berkurangnya batuk, afebril dalam 2x8 jam berturutan, lekositosis menurun dan fungsi saluran cerna membaik, maka dilakukan alih terapi ke AB per oral yang dianggap cocok dengan patogen penyebabnya. Kepulangan pasien dari rawat inap tergantung juga kepada kondisi pasien dan adanya penyakit penyerta. (Sudoyo, 2009)Bila belum ada respons yang baik daiam 72 jam (terjadi pada 10% pasien), lakukan evaluasi terhadap adanya kemungkinan patogen yang resisten, komplikasi atau penyakitnya bukan pneumonia. Revaluasi ditujukan kepada faktor predisposisi dari terjadinya infeksi. (Sudoyo, 2009)Telah diketahui bahwa kuman penyebab berbeda pada pneumonia komunitas dengan pneumonia nosokomial, dan antara satu kasus dengan kasus lainnya. Dengan demikian tidak ada patokan tetap dalam pemilihan jenis AB. Berdasarkan pengetahuan dan perkiraan jenis kuman penyebab tingkat berat sakit PK atau PN dapat dipilih terapi awal jenis AB, yang kemudian diikuti pemberian AB lanjutan dengan mempertimbangkan hasil bakteriologi dan respons klinis. (Sudoyo, 2009)Ketentuan untuk memberikan makrolid pada pasien PK berat di daerah Asia perlu diteliti lebih lanjut. Penelitian di Malaysia terhadap pasien PK yang diberikan makrolid dan tidak diberikan makrolid tidak didapat perbedaan manfaat yang bermakna khususnya mengenai mortalitas, penggunaan venltilator, ataupun lamanya rawat inap. Hal ini berkaitan dengan perbedaan jenis dan kepekaan patogen penyebab PK. (Sudoyo, 2009)d. Pneumonia NosokomialStrategi terapi pada PN berdasarkan keadaan klinik dan bakteriologik pasien seperti tercantum pada Bagan 1. Berdasarkan pertimbangan ada/tidak adanya onset lambat > 5 hari dan adanya faktor risiko patogen MDR, diberikan terapi empirik awal dengan terapi AB spektrum terbatas atau spektrum luas AB untuk patogen MDR. Dosis untuk dapat dilihat pada. Terapi segera diberikan karena keterlambatan terapi dapat mengakibatkan peningkatan mortalitas. Pasien diberikan terapi empirik didasarkan kepada risiko infeksi MDR dan gram negatif dalam bentuk kombinasi, dan monoterapi bila tidak ada risiko MDR. Hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi patogen pada saat terapi terhadap P. Aeruginosa, dan pada saat memberikan sefalosporin gen ke-3 terhadap Enterobakter. Diberikan terapi jangka pendek dalam 7 hari bila didapat respons yang baik, dan penyebabnya bukan P. Aeruginosa. (Sudoyo, 2009)

Tabel 4. Strategi tatalaksana suspek PN, PBV, atau PPK. (Sudoyo, 2009)Pada umumnya spektrum aktivitas AB apapun tidak mencakup semua kuman penting yang biasa menjadi penyebab PN, kecuali serpirom dan karbapenem. Setpirom merupakan sefalosporin generasi ke-4 yang spektrumnya mencakup sebagian besar kuman penyebab infeksi nosokomial di ruangan umum/ICU termasuk Staphylococcus aureus dan Staphylococcus coagulase negatif. Seperti halnya sefalosporin lain dan karbapenem, serpirom kurang aktif terhadap Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Untuk MRSA yang diperkirakan terjadi pada 20% dari infeksi Staphylococcus dapat dipergunakan vankomisin atau linezolid. (Sudoyo, 2009)

Tabel 5. Terapi empirik antibiotik awal untuk pneumonia nosokomial atau pneumonia. Berhubungan dengan ventilator yang tidak disertai faktor resiko. (sudoyo, 2009)Pada PN dengan imunitas yang normal terapi AB biasanya diberikan selama 2 minggu, dapat diperpanjang bila terdapat gangguan daya tahan tubuh. Pasien ini biasanya menyelesaikan terapi AB parenteral di RS dan tidak ada kesempatan untuk dilakukan pengalihan obat (switch therapy) kepada bentuk oral. (Sudoyo, 2009)Modifikasi AB perlu dilakukan bila telah didapat hasil bakteriologik dari bahan sputum atau darah. Respons terhadap AB di evaluasi dalam 72 jam. Kegagalan terapi dapat disebabkan kesalahan diagnosis, kesalahan sangkaan patogen, atau komplikasi. Kesalahaan diagnosis karena terdapat penyakit lain berupa atelektasis, emboli paru, ARDS, penyakit dasar neoplasma. Patogen penyebab mungkin berupa MDR (bakteri, mikobakteri, virus, jamur) atau karena salah terapi misalnya dosis yang tak adekuat atau cara pemberian yang salah. Komplikasi yang mungkin terjadi misalnya empiema, abses paru, superinfeksi atau demam akibat obat (drug fever). Dapat juga karena faktor inang berupa berupa respons imun yang menurun, obstimaksi saluran napas. (Sudoyo, 2009)Bila telah ada hasil kultur, AB dimodifikasi bila didapatkan kuman yang resisten yang tidak tercakup dalam spektrum AB yang sedang diberikan, atau sebaliknya dipakai AB dengan spektrum yang lebih sempit atau lebih ringan bila Ps. Aeruginosa dan Asino bakteri tidak ditemukan. (Sudoyo, 2009) Meminimalkan Resistensi PatogenSecara teoritis pemilihan AB berdasarkan farmakodinamik akan meningkatkan eradikasi kuman dan dengan demikian membatasi timbulnya resistensi patogen. Pencegahan resistensi AB berdasarkan tes DNA merupakan cara yang memberikan harapan. Di samping itu perlu dilaksanakan program penelitian dan pengawasan resistensi patogen terhadap AB. (Sudoyo, 2009)a. Terapi suportif. 1). Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah; 2). Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme; 3). Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan pengeluaran CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan; 4).. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak diperkenankan; 5). Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septik; 6). Pertimbangkan obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal; 7). Ventilasi mekanis. Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah: a). Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan menggunakan masker. Konsentrasi 02 yang tinggi. menyebabkan penurunan kompliens paru hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50% atau lebih rendah; b). Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan CO2 didapat asidosis, henti napas, retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif. 8). Drainase empiema bila ada; 9). Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi yang cukup kalori terutama didapatkan dari lemak (50%), hingga dapat dihindari produksi CO2 yang berlebihan. (Sudoyo, 2009)b. KomplikasiDapat terjadi komplikasi pneumonia ekstrapulmoner, misalnya pada pneumonia pneumokokkus dengan bakteriemi dijumpai pada 10% kasus berupa meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis dan empiema. Terkadang dijumpai komplikasi ekstrapulmoner non infeksius bisa dijumpai yang memperlambat resolusi gambaran radiologi paru, antara lain gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru atau infark paru, dan infark miokard akut Dapat terjadi komplikasi lain berupa acute respiratory distress syndrome (ARDS), gagal organ jamak, dan komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial. (Sudoyo, 2009)4. Bronkitis Pengobatan COPDPengobatan untuk pasien dengan bronkitis kronik dan emfisema obstruktif berupa tindakan-tindakan untuk menghilangkan obstruksi saluran napas kecil. Meskipun kolaps saluran napas akibat emfisema bersifat ireversibel, banyak pasien mengalami bronkospasme, retensi sekret, dan edema mukosa dalam derajat tertentu yang masih dapat ditanggulangi dengan pengobatan yang sesuai. Yang penting adalah berhenti merokok dan menghindari bentuk polusi udara lain, atau alergen yang dapat memperberat gejala yang dialami. (Sudoyo, 2009)Berhenti merokok saja sering dapat mengurangi gejala dan memperbaiki ventilasi. Infeksi harus segera diobati dan pasien yang mudah terkena infeksi pernapasan dapat langsung diberi antibiotik profilaksis. Pasien diinstruksikan untuk segera mencari pengobatan bila timbul gejala dispnea atau bila jumlah sputum bertambah. Streptococcus pnettmoniae dan Haemophilus influenzae adalah organisme penyebab tersering. Sehingga seringkali pilihan antibiotika yang digunakan adalah antibiotika yang dapat diterima oleh kedua organisme tersebut. Semua pasien harus mendapatkan vaksin influensa dan pneumococcus. (Sudoyo, 2009)Tindakan lain untuk mengurangi obstruksi saluran napas adalah dengan memberikan hidrasi yang memadai untuk mengencerkan sekret bronkus; ekspektoran dan bronkodilator untuk meredakan spasme otot polos. (Sudoyo, 2009)

Tabel 6. Dosis intravena awal antibiotika untuk empirik pada pneumonia nosokomial, pneumonia yang berhubungan yang berhubungan dengan ventilator, dan pneumonia pada perawatan kesehatan pada pasien onset lanjut atau dengan faktor resiko patogen residen antibiotik jamak. (sudoyo, 2009) Biasanya diberikan obat-obatan simpatomimetik seperti albuterol, terbutalin, dan xantin (seperti aminofilin). tpratropium bromida (Atrovent), yaitu suatu agen antikolinergik dalam inhalasi dosis terukur, adalah bronkodilalor yang efektif untuk pasien dengan bronkitis kronik. Pasien-pasien dengan sekret yang banyak, dilakukan perkusi dan drainase postural untuk membuang sekret yang menyumbat, yang dapat menjadi predisposisi infeksi. Latihan bernapas dapat juga membantu. Pasien diajarkan untuk mengeluarkan napas dengan perlahan dan tenang melalui bibir yang dikerutkan. Latihan ini mencegah kolaps bronkiolus-bronkiolus kecil serta mengurangi jumlah udara yang terperangkap. (Sudoyo, 2009)Pengobatan tambahan yang penting adalah pemberian suplemen oksigen (O2) kepada pasien COPD yang mengalami hipoksia bermakna (O2 arteri [PaO2] 55 hingga 60 mm Hg atau kurang). Aliran udara rendah dengan O2 sebesar 1 hingga 2 L/menit yang diberikan dengan sungkup hidung mengalirkan O2 sebesar 24% hingga 28% ,dan nilai tersebut cukup efektif dan dapat ditoleransi. Beberapa studi teiah memperlihatkan keuntungan efek pemberian O, sebagai pengobatan unluk pasien COPD. Telah diketahui bahwa pemberian O2 sebagai pengobatan secara terus menerus lebih menguntungkan daripada bila O2 hanya diberikan selama 12 jam pada malam hari. (Sudoyo, 2009)Beberapa efek yang paling penting adalah meringankan hipertensi pulmonal dan kor pulmonal serta meningkatkan toleransi kerja fisik (hipoksemia menyebabkan vasokonstriksi paru, yang akan mengarah ke hipertensi pulmonal dan kor pulmonal. Pengobatan O3 juga menurunkan frekuensi polisilemia (hematokrit >50%) pada pasien COPD. Polisitemia merupakan kompensasi dari hipoksemia kronik pada COPD, namun mengakibatkan peningkatan viskositas darah dan memperburuk hipertensi pulmonal. Program kerja fisik, seperti berjalan, berakibat peningkatan toleransi kerja fisik dan rasa nyaman tapi tidak meningkatkan fungsi paru. (Sudoyo, 2009)5. Efusi Pleura Etiologi : 1. Neoplasma, seperti neoplasma bronkogenik dan metastatik2. Kardiovaskular, seperti gagal jantung kongestif, embolus pulmonar, dan perikarditis.3. Penyakit pada abdomen, seperti pankreatitis, asites, abses, dan sindrom meigs.4. Infeksi yang disebabkan bakteri, virus, jamur, mikobakterial dan parasit.5. Trauma6. Lain-lain, seperti lupus eritematosus sistemik, reumatoid, artritis, sindrom nekrotik dan uremia. (Mansjoer, 1999)Diagnosis : 1. Anamnesis : adanya keluhan nyeri dada dan dispnea2. Pemeriksaan fisik : pada daerah efusi, premitus tidak ada, perkusi redup, suara napas berkurang.3. Pemeriksaan laboratorium : analisis cairan efusi, yang di ambil lewat torakosentesis.4. Pemeriksaan radiologi :Dalam foto thorax terlihat hilangnya sudut kostoprenikus dan akan terlihat permukaan yang melengkung jika jumlah cairan efusi lebih dari 300 ml, pergeseran mediastinum kadang ditemukan. (Mansjoer, 1999)Komplikasi :Infeksi dan fibrosis paru. (Mansjoer, 1999)Penatalaksanaan :1. Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subjektif seperti nyeri, dispnea dan lain-lain. Cairan efusi sebanyak 1-1,5 liter perlu dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru, jika jumlah cairan efusi paru lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutnya baru dapat dilakukan 1 jam kemudian.2. Antibiotik, jika terdapat empiema3. Pleurodesis4. Operatif. (Mansjoer, 1999)

BAB IIIPENUTUP

3.1 KesimpulanRespirasi merupakan proses ganda, yaitu terjadinya pertukaran gas didalam jaringan (pernapasan dalam) dan yang terjadi didalam paru-paru (pernapasan luar). Sistem respirasi pada manusia terdiri dari jaringan dan organ tubuh yang merupakan parameter kesehatan manusia. Jika salah satu sistem respirasi terganggu maka secara sistem lain yang bekerja dalam tubuh akan terganggu. Anatomi saluran napas atas terdiri dari rongga hidung, nasofaring, orofaring, laryngofaring. Suara dasar paru secara tradisional digolongkan menjadi 4 yaitu suara yaitu trakeal,bronkial, bronkovesikuler, dan vesikuler. Menurut lamanya bunyi suara nafas tambahan dibedakan menjadi suara yang terdengar kontinyu dan suara yang terdengar tidak kontinyu yaitu suara stridor, ronki basah, ronki kering dan wheezing. Penyebab dari kelainan suara bisa terjadi dari infeksi, tumor, asma, ataupun trauma. Penegakkan diagnosisnya dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanannya dari obat anti asma dan terapi.

3.2 Saran Memungkinkan kita untuk mengetahui lebih dalam dan lebih banyak lagi tentang pendekatan terhadap keluhan nafas berbunyi, macam kelainan bunyi nafas dan mekanisme, patofisiologi terkait dengan organ yang berperan, penyakit yang menimbulkan nafas berbunyi dan penegakan diagnosisnya, serta pentalaksanaan secara konprehensif dan mekanisme farmakologik terapi medikamentosa.

DAFTAR PUSTAKA

Djojodibroto, D. R. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). EGC. JakartaDorland, W.A.N.2010. Kamus Kedokteran Dorland.Ed 31.EGC. Jakarta. 636 hal.Fawcett, D. W. 2002. Buku Ajar Histologi Edisi 12.EGC. JakartaJanqueira, C. L dan Carneiro J. 2007. Histologi Dasar:teks dan atlas.EGC. JakartaMoore, K.L.dan Agur A.M.R. Agur.2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta. 22-24 hal.Pasterkamp H, Kramann SS, Wodick GR. 2005.Respiratory Sounds. American Journal Of Respiratory and Critical MedicinePrice, S.A dan Wilson L.M .2005.Patofisiologi :konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6. Vol 1.EGC. Jakarta. 60, 120 hal.Sloane, E. 2010. Anatomi Fisiologi Untuk Pemula. EGC. JakartaSnell, R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.Ed 5. EGC. Jakarta. Mansjoer, A. 1999. Kapita Selekta Kedokteran.Ed 3. Media Aesculapius. FKUI. Jakarta.Sudoyo, A.W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Ed. 5. Interna Publishing. FKUI. Jakarta.26