BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting
dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya
sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia
lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup
manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum,
biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup
kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang
lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai
anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan
sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu
bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol
maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara
langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika
secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau
berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika
seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa
politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam
interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan
institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah
menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan
pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua
sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan
mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara
terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan
lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat
dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi
masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan
kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku
aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang
memerintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi
dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan
demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik
dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola
pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan politik?
2. Bagaimana partisipasi politik di Indonesia?
3. Apa yang dimaksud dengan partai politik?
4. Bagaimana kerangka politik diIndonesia?
5. Apa saja budaya politik di Indonesia?
6. Bagaimana peranan militer di Indonesia?
7. Bagaimana strategi nasional pada abad ke-20an?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian politik.
2. Untuk mengetahui partisipasi politik di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dimaksud dengan partai politik.
4. Untuk mengetahui kerangka politik diIndonesia.
5. Untuk mengetahui budaya politik di Indonesia.
6. Untuk mengetahui peranan militer di Indonesia.
7. Untuk mengetahui strategi nasional pada abad ke-20an.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Pengertian
Kata politik secara etimologis berasal dari bahsa yunani
politeia, yang akar katanya adalah polis, berarti kesatuan
masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara dan teia, berarti
urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik adalah suatu tangkaian
asas, prinsip, keadaan, jalan, cara, dan alat yang digunakan utuk
mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Dalam bahasa Inggris,
politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, dan
alat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan
tertentu.
Definisi politik sangat variatif, ada yang berpandangan positif
dan ada yang negatif. Pengertian politik secara umum yaitu sebuah
tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi
kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil
keputusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat. Politik
juga sering didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan atau
kewenangan, suatu proses pembuatan keputusan secara kolektif, suatu
alokasi sumberdaya yang langka (the allocation of scarce
resources), atau sebagai arena pertarungan kepentingan yang penuh
muslihat. Tujuan mulia dari politik dapat tercapai bila menekankan
pada kemampuan manusia untuk melakukan collective actions ketimbang
mengutamakan personal self-interest.
Menurut Putri (2010), politik adalah usaha yang ditempuh warga
negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Politik ada karena sifat
alami manusia yaitu manusia memiliki sifat-sifat bawaan sejak lahir
(nature), tetapi juga dipengaruhi oleh pengalaman sosial (nurture);
manusia punya akal dan rasional, tetapi juga punya naluri dan
menggunakan rasa dlm bertindak; manusia bisa bersaing untuk meraih
kepentingannya, tetapi juga bisa bekerjasama dengan insentif
tertentu. Ada lima unsur yang selalu ada dalam definisi tentang
politik, yaitu: kegiatan manusia, berhubungan dengan orang lain
(social activity), muncul karena perbedaan (pendapat, keinginan,
kebutuhan, kepentingan), adanya konflik (ungkapan pendapat yg
berbeda, kompetisi berbagai tujuan, benturan kepentingan yang tidak
dapat dipadukan), keputusan (sebuah keputusan kolektif yang
mengikat sekelompok orang).
Pengertian politik banyak dikemukan oleh para tokoh ahli.
Beberapa diantaranya adalah:
a. Aristoteles: politik adalah Usaha yang ditempuh oleh warga
negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
b. Joice Mitchel: politik adalah pengambilan keputusan kolektif
atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.
c. Roger F. Soltau: politik adalah bermacam-macam kegiatan yang
menyangkut penentuan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan itu.
Menurutnya politik membuat konsep-konsep pokok tentang negara
(state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision
marking), kebijaksanaan (policy of beleid), dan pembagian
(distribution) atau alokasi (allocation).
d. Johan Kaspar Bluntchli: politik adalah Ilmu politik yang
memerhatikan masalah kenagaraan yang mencakup paham, situasi, dan
kondisi negara yang bersifat penting.
e. Hans Kelsen: pengertian politik mempunyai dua arti, yaitu
sebagai berikut:
- Politik sebagai etik, yakni berkenaan dengan tujuan manusia
atau individu agar tetap hidup secara sempurna.
- Politik sebagai teknik, yakni berkenaan dengan cara (teknik)
manusia atau individu untuk mencapai tujuan.
Secara umum politik menyangkut proses penentuan tujuan negara
dan cara melaksankannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan
kebijakan-kebijakan umum (public polies) yang menyangkut
pengaturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada seperti
kekuasaan dan wewenang (authority). Kekuasan dan wewenang ini
memainkan peran yang sangat penting dalam pembinaan kerjasama dan
penyelesaian konflik yang mungkin muncul dalam proses pencapaian
tujuan. Dengan demikian politik membicarakan tentang konsep dasar
politik, yaitu:
Negara
Negara merupakan suatu organisasi dalam satu wilayah yang
memiliki kekuasaan tertinggi yang ditaati oleh rakyatnya. Boleh
dikatakan negara merupakan bentuk masyarakat dan organisasi politik
yang paling utama dalam suatu wilayah yang berdaulat.
Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk
pengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginannya. Dalam politik yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana kekuasaan itu diperoleh, bagaimana mempertahankannya dan
bagaimana melaksanakannya.
Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah aspek utama politik. Dalam
pengambilan keputusan perlu diperhatikan siapa pengambil keputusan
itu dan untuk siapa keputusan itu dibuat. Jadi, politik adalah
pengambilan keputusan melalui sarana umum. Keputusan yang diambil
menyangkut sektor publik dari suatu negara.
Kebijakan Umum
Kebijakan merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh
seseorang atau kelompok politik dalam memilih tujuan dan cara
mencapai tujuan itu. Dasar pemikirannya adalah bahwa masyarakat
memiliki tujuan secara bersama yang ingin dicapai secara bersama
pula, sehingga perlu ada rencana yang mengikat dalam
kebijakan-kebijakan oleh pihak yang berwenang.
Distribusi
Yang dimaksud dengan distribusi adalah pembagian dan
pengalokasian nilai-nilai dalam masyarakat. Nilai adalah suatu yang
diinginkan dan penting. Ia harus dibagi secara adil. Politik
membicarakan bagaimana dan pengalokasian nilai-nilai secara
mengikat.
2.2Partisipasi Politik di Indonesia
Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator
implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah
oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan
mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Semakin tinggi tingkat
partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan
memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan.
Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya
mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat
terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat
partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih
(golput) dalam pemilu.
Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah
menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum (Pemilu) secara
reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,
1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan
pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara
spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999
sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung
secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar
demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga
Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi.
Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah
pesta demokrasi di Indonesia, Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari
penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai
meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu
sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi
96,6% pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai dengan
penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian
dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di
wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga
menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai
41,5%.
Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme
di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan
berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Tentunya potensi
Golput dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya
cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas.
Sebab potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat
berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas
kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi
politik. hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah golput yaitu
: yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk
mengembalikan semangat memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu
maupun pilkada untuk melawan budaya golput. Bisa dilakukan kampanye
besar-besaran, melibatkan semua kelompok dalam masyarakat. Dan
perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi politik kepada pemilih,
khususnya bagi pemula untuk tidak menjadi golput dan memahami arti
pentingnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu.
Meskipun tingginya angka golput menjadi gejala umum dalam Pemilu
Legislatif di banyak wilayah dan kemungkinan fenomena Golput ini
juga akan menjadi gejala umum Pemilu Presiden di masa mendatang
hingga saat ini belum ada penjelasan yang memadai apa yang
menyebabkan seorang pemilih memilih tidak menggunakan hak pilihnya.
Berbagai penjelasan mengenai golput di Indonesia hingga saat ini
masih didasarkan pada asumsi dan belum didasarkan pada riset yang
kokoh. Pengamat dan penyelenggara Pemilu memang kerap melontarkan
pendapat tentang penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih.
Tetapi berbagai penjelasan itu didasarkan pada pengamatan dan bukan
berdasarkan hasil riset.
Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh
para pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya
Golput. Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih
karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak
mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan
sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih
karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari
pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari
pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau
ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak
memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak
memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Keempat,
kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak
pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih.
Pemilu legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa
perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai
dan sebagainya.
2.3Partai Politik
Definisi partai politik adalah:
a.Menurut Carl J. Friedrich, partai politik adalah sekelompok
manusia yang teroragisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut
atau mempertahankan kekuasaan terhadap pemerintahan (bagi pimpinan
partainya), dimana kekuasaan ini akan memberikan manfaat yang
bersifat idiil dan materil kepada anggota partainya.
b.R.H Soltau, partai politik adalah sekelompok warga negara yang
sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan
politik dan yang memanfaatkan kekuasaannya dengan tujuan untuk
menguiasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
c.Sigmun Meuman mengartikan partai politik sebagi organisasi
dari aktivis- aktivis politik yang berusaha untuk mengusai
kekuasaan didalam pemerintahan serta merebut dukungan rakyat, yang
didasari oleh persaingan dengan suatu golongan atau
golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Partai politik mempunyai tujuan dan fungsi. Tujuan partai
politik ada 2 macam yaitu tujuan umum dan tujuan khusus sesuai
dengan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2008, antara
lain:
Tujuan umum:
Mewujudkan cita-cita nasional bangsa
Menjaga dan memelihara keutuhan NKRI
Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila
Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia
Tujuan khusus:
Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam
rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan
Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Adapun fungsi Partai politik yaitu sebagai sarana komunikasi
politik, sebagai sarana sosialisasi politk, sebagai sarana
rekrutmen politik dan sebagai sarana pengatur konflik.
2.4Kerangka Politik
Dipandang dari langkah kerja system politik yang ada, perjalanan
histori politik di Tanah air dapat dibagi jadi sebagian kelompok
yakni:
1. Saat Kerajaan atau Pra Kolonial
Pada saat ini langkah kerja system politik dari orang-orang tak
bisa tersalurkan dengan baik serta pemeliharaan pada system cuma
didasarkan atas kebutuhan penguasa dalam hal semacam ini yaitu
raja. Sedang kemampuan sumber daya alamnya berlimpah, namun
pendistribusiannya kurang rata.
Sumber kekuasaan ada ditangan raja beserta keluarganya, hingga
tingkat partisipasi rakyat dalam membangun negara tergolong rendah.
Diluar itu aparat yang bekerja tak didasarkan atas dedikasi pada
rakyat namun ditujukkan pada raja. Wujud pemerintahannya sendiri
yaitu kerajaan.
2. Saat penjajahan atau kolonial
Keadaan serta langkah kerja system politik pada saat penjajahan
nyaris sama juga dengan masa kerajaan juga pelanggaran HAM atau hak
asasi manusia malah semakin kerap berlangsung. Kekayaan serta
sumber daya alam tak dapat di nikmati oleh rakyat serta dikuasai
seutuhnya oleh pemerintah penjajah.
Hal semacam ini menyebabkan jalinan pemerintah serta orang-orang
tak dapat terjalin dengan baik. Pusat kekuasaan ada di tangan
penjajah serta golongan bangsawan atau elit politikyang bisa
diperalat oleh kolonial. Diluar itu aparat yang bekerja
pengabdiannya ditujukan pada pihak penjajah. Hingga keadaan politik
tak stabil serta kerap berlangsung pemberontakan.
3. Masa demokrasi liberal
Sesudah meraih kemerdekaan, Tanah air sempat alami masa
demokrasi liberal yang dapat ditandai lewat cara kerja system
politik yang dikendalikan orang sipil. Diluar itu, jika ada
tuntutan dapat tersalurkan dengan baik dan tingkat perlindungan HAM
yang tingi. Tingkat partisipasi orang-orang dalam berpolitik
benar-benar tinggi, tetapi sayangnya hal semacam ini malah kerap
menimbulkan perpecahan antar elemen. Keadaan itu karena aparat yang
bekerja loyalitasnya tak ditujukan pada rakyat atau negara tetapi
pada partai atau kelompok.
4. Masa demokrasi terpimpin
Saat masa ini pemeliharaan pada HAM alami penurunan serta ada di
tingkat yang rendah. Walau sekian penyaluran pada tuntutan juga
tinggi, cuma saja tak dapat jalan dengan baik. Kekuasaan cuma
berpusat di pemerintah saja serta partisipasi rakyat dibatasi.
Style pemerintahan hanya memercayakan satu sosok saja yang dikira
memiliki kharisma tinggi. Pada masa ini militer bisa terlibat dalam
system pemerintahan dengan cara segera. Aparat yang bekerja
loyalitasnya ditujukan pada negara serta menimbulkan kestabilan
yang tambah baik.
5. Masa demokrasi pancasila
Awal mulanya waktu masuk langkah kerja system politik pada masa
ini, tuntutan dapat tersalurkan dengan baik tetapi dalam
perubahannya alami kebuntuan. Walau ada perlindungan HAM, namun
pada segi yang lain juga kerap berlangsung pelanggaran HAM. Sekian
juga dengan tingkat partispasi warga dapat jalan dengan baik namun
lama kelamaan jadi benar-benar terbatas. Walau kestabilan
benar-benar terjamin tetapi banyak warga yang terasa kurang nyaman
lantaran kebebasannya juga dibatasi.
6. Masa reformasi
Langkah kerja system politik di masa reformasi alami perubahan
yang benar-benar baik. Satu diantara misalnya tingkat perlindungan
HAM semakin tinggi serta penyaluran dapat terpenuhi. Langkah
pemerintahan berdasar pada otonomi dan didasarkan atas rencana atas
bawah serta sebaliknya. Style politiknya yakni pragmatis serta
tingkat partisipasi orang-orang juga benar-benar tinggi. Cuma saja
kadang-kadang nampak masalah kestabilan walau tetap dapat diatasi.
Diluar itu, keterlibatan militer dalam system pemerintahan
dibatasi. langkah kerja system politik, tradisional, Aristoteles,
dunia politik, sumber daya manusia, sembako, orang-orang,
pemerintah, raja, demokrasi liberal, militer, demokrasi,
reformasi.
Ikuti histori serta langkah kerja system politik di Tanah air
baiknya bukan sekedar menurut pada perubahan sejarahnya saja,
tetapi juga banyak hal yang mempunyai jalinan erat dengan kehidupan
politik itu sendiri. Bila dipandang dari perjalanan sejarahnya itu,
system politik yang ada di Tanah air dapat terdiri dari sebagian
periode atau saat.
2.5Budaya Politik
2.5.1Budaya Politik Parokial
Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah
tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik,
sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.
Pada budaya politik parokial umumnya tingkat partisipasi dan
kesadaran politik masyrakatnya masih sangat rendah. Hal tersebut
disebabkan oleh poleh faktor kognitif, yaitu rendahnya tingkat
pendidikan/pengetahuan seseorang sehingga pemahaman dan kesadaran
mereka terhadap politik masih sangat kecil. Pada budaya politik
ini, kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama sekali
terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai
lapisan masyarakat.
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik
tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih
sangat kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki
tugas. Tetapi peranan yang satu dilakukan secara bersamaan dengan
peranan lain aktivitas dan peranan pelaku politik dilakukan
bersamaan dengan perannya baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun
keagamaan.
Disebabkan sistem politik yang relatif sederhana dan terbatasnya
areal wilayah dan diferensiasinya, tidak terdapat peranan politik
yang bersifat khas dan berdiri sendiri-sendiri. Masyarakat secara
umum tidak menaruh minat begitu besar terhadap objek politik yang
lebih luas tetapi hanya dalam batas tertentu, yakni keterikatan
pada obyek yang relatif sempit seperti keterikatan pada
profesi.
Orientasi parokial menyatakan ketiadaannya harapan-harapan
terhadap perubahan yang dibandingkan dengan sistem politik lainnya.
Dengan kata lain bahwa masyarkat dengan budaya politik parokhial
tidak mengharapkan apa pun dari sistem poltik termasuk
bagian-bagian tehadap perubahan sekalipun. Dengan demikina
parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat
afektif dan orientatif dari pada kognitifnya.
Dalam masyarakat tradisional di indonesia unsur-unsur budaya
parokial masih terdapat, terutama dalam masyarakat pedalaman.
Paranata, tata nilai serta unsur-unsur adat lebih banyak di pegang
teguh daripada persoalan pembagian peran poltik. Pemimpin adat atau
kepala suku dapat dikatakan sebagai pimpinan politik sekaligus
dapat berfungsi sebagai pimpinan agama, pemimpin sosial masyarakat
bagi kepentingan-kepentingan ekonomi. Dengan demikian nyata-nyata
menonjol dalam budaya politik parokial ialah kesadaran anggota
masyarakat akan adanya pusat kewenangan / kekuasaan politik dalam
masyarakat.
Budaya politik parokial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Apatis
Pengetahuan politik rendah
Tidak peduli dan menarik diri terhadap kehidupan politik
Anggota masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek
politik yang luas
Kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan dan
kekuasaan dalam masyarakatnya rendah
Warga negara tidak terlalu berharap dalam sistem politik
Tidak ada peranan politik yang bersifat khusus
Lingkupnya sempit dan kecil
Masyarakatnya sederhana dan tradisional
Contoh budaya politik parokial yakni masyarakat pada suku-suku
pedalaman yang mana mereka belum mengenal betul siapa pemimpin
negara mereka dan tidak ikut serta sama sekali dalam pemilu. Adapun
gambarnya ada dibawah ini:
Gambar 1. Budaya politik parokial
2.5.2Budaya Politik Subjek / Kaula
Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran
terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu
berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa
memberikan input. Pada budaya politik ini, masyarakat yang
bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya,
tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik kaula adalah mereka
yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap
outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial
dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi
dalam struktur input.
Tipe ini memliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem
politiknya, yang perhatian dan frekuensi orientasi terhadap aspek
masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat
rendah. Hal ini berarti bahwa masyarkat dengan tipe budaya subjek
menyadari telah adanya otoritas pemerintah.
Orientasi pemerintah yang nyata terlihat dari kebanggaan
ungkapan saling, baik mendukung atau permusuhan terhadap sistem.
Namun demikian, posisinya sebagai subjek (kaula) mereka pandang
sebagai posisi pasif. Diyakini bahwa posisinya tidak akan
menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Mereka beranggapan
bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi
ataupun mengubah sistem. Dengan demikian scara umum mereka menerima
segala keputusan yang diambil dari segala kebijaksanaan pejabat
bersifat mutlak, tidak dapat diubah-ubah. Dikoreksi, apalagi
ditentang. Bagi mereka yang prinsip adalah mematuhi perintahnya,
menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta
kebijaksanaan pimpinannya.
Orientasi budaya politik kaula/subjek yang murni sering terwujud
dalam masyarakat yang tidak dapat struktur masukan yang
deferensiasi. Demikian pula orientasi dalam sistem politik lebih
bersifat normatif dan afektif daripada kognitif. Oleh karena itu,
dapat dipahami bila mereka memiliki sikap yang demikian.
Masyarakat yang memiliki budaya politik seperti itu, bila tidak
menyukai terhadap sistem politik yang berlaku hanyalah diam dan
menyimpannya saja di dalam hati. Sikap itu tidak direalisasi
kedalam bentuk perilaku konkret karena diyakini tidak ada sarana
untuk memanifstasikannya. Lebih-lebih dalam masyarakat yang
berbudaya subjek terdapat pandangan bahwa masyarakat terbentuk dari
struktur hierarkis (vertikal). Sebagai akibatnya individu atau
kelompok digariskan untuk sesuai dengan garis hidupnya sehingga
harus puas dan pasrah pada keadaannya.Biasanya siap-sikap seperti
itu timbul karena diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu seperti
proses kolonisasi dan kidiktatoran.
Budaya politik subjek atau kaula mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
Memiliki pengetahuan dalam bidang politik yang cukup
Partisipasi politik minim
Kesadaran berpolitik rendah
Kehidupan ekonomi warga negara sudah baik
Tingkat pendidikan relatif maju
Masyarakat menyadari otoritas pemerintah sepenuhnya
Warga negara cukup puas untuk menerima apa yang berasal dari
pemerintah
Warga negara menganggap dirinya kurang dapat mempengaruhi sistem
politik
Masyarakat secara pasif patuh pada pejabat, pemerintah, dan
undang-undang
Contoh Budaya Politik Subjek/Kaula yakni masyarakat jawa
(keraton) di jogja. Dimana rakyat sudah ada pemahaman &
kesadaran akan pentingnya berpartisipasi dalam politik, namun
mereka tidak berdaya dan tidak kritis (hanya mengikuti perintah,
tidak memberikan aspirasi).
Gambar 2. Budaya politik subjek/kaula
2.5.3Budaya Politik Partisipan
Budaya politik partisipan, Adalah masyarakat yang terdiri dari
individu-individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan
proses dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai
potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat
keputusan. Pada budaya poltik ini ditandai dengan kesadaran politik
yang tinggi.
Budaya partisipan adalah budaya dimana masyarakat sangat aktif
dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan budaya politik
partisipasi, memiliki orientasi yang secara eksplisit ditujukan
kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses
politik dan administratif. Tegasnya terhadap input maupun output
dari sistem politik itu. Dalam budaya politik itu seseorang atau
orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik,
masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hak-hak politiknya.
Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partsipan tidaklah
menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat
telah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem politik,
meskipun tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan
keadaan ini masyarakat memiliki kesadaran sebagai totalitas,
masukan, keluaran dalam konstelasi sistem politik yang ada.
Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada peranan
pribadi sebagai aktivitas masyarakat, meskipun sebenarnya
dimungkinkan mereka menolak atau menerima.
Budaya politik partisipan mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
Pengetahuan tentang politik tinggi
Kesadaran berpolitik tinggi
Kontrol politik aktif
Warga negara memiliki kepekaan terhadap masalah atau isu-isu
mengenai kehidupan politik
Warga mampu menilai terhadap masalah atau isu politik
Warga menyadari adanya kewenangan atau kekuasaan pemerintah
Warga memiliki kesadaran akan peran, hak, dan kewajiban, dan
tanggung jawabnya
Warga mampu dan berani memberikan masukan, gagasan, tuntutan,
kritik terhadap pemerintah
Warga memiliki kesadaran untuk taat pada peraturan dan kebijakan
yang dikeluarkan tanpa perasaan tertekan
Contoh budaya politik parokial yakni keaktifan masyarakat
terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan politik seperti pemilu,
demonstrasi, dan lain-lain:
Gambar 3. Budaya politik partisipan
2.6Peran Militer
Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak
faktor pendukung. Secara kultur yang dibangun dalam dunia militer
memang menjadikan setiap perwira militer memiliki keunggulan yang
dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang dibangun
Masuknya militer dalam dunia politik membuat kalangan sipil
memikirkan untuk melakukan pengontrolan terhadap militer agar tidak
terjadi kudeta yang bisa mengancam kekuasaan sipil. Oleh karena
itulah dibuat sebuah pemerintahan sipil yang bias mengontrol
militer dengan sebaik-baiknya.
Mengingat begitu pentingnya peranan Militer terhadap stabilitas
bangsa, perlu kiranya dipahami, seperti apakah peranan militer di
Indonesia khususnya pada masa Orde Baru dan di era Reformasi ini.
Hal ini berguna untuk dapat membangun sebuah budaya politik yang
baik dan diharapkan mampu memberikan solusi alternatif tentang
harus bagaimana kekuasaan memposisikan militer dalam peranannya
sebagai sebuah kekuatan.
2.6.1Milier Pada Masa Orde Lama
Sejarah kekuasaan Orde Baru adalah sejarah neo-fasisme
(militer), yaitu suatu dan korporatisme. Ciri dari pemerintahan
neo-fasisme militer ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk
menganhcurkan organisasi-organisasi massa (kekuatan sipil) dan
menghilangkan semua gerakan militant. Bibit-bibitnya telah muncul
sejak masa Demokrasi Terpimpin, dan diaplikasikan nyaris sempurna
pada masa Orde Baru. Meskipun ketetapan bahwa Tentara Nasional
Indonesia (TNI) sebagai kekuatan sosial baru dikukuhkan pada tahun
1982, yaitu melalui UU No. 20/1982, namun prakteknya peran
sosial-politik TNI telah berjalan sejak tahun 1960-an. Terutama,
sejak Soeharto berkuasa pada tahun 1966, peran sosial-politik TNI
semakin membesar. Peran social-politik TNI ini kemudian lebih
dikenal dengan sebutan dwi fungsi ABRI/TNI.
Dwi fungsi TNI ini muncul sebagai refleksi atas pengalaman
politik masa sebelumnya. Sebelum tahun 1952, hamper semua
keputusan-keputusan politik ditentukan oleh politis-sipil,
sementara campur tangan militer di politik sangat minim dan tidak
signifikan. Akibatnya, keberadaan militer menjadi bergantung kepada
kemauan politisi sipil. Ketika kabinet Wilopo melakukan berbagai
penghematan dalam anggaran dan belanja Negara, termasuk memperkecil
anggaran di sektor pertahanan, Menteri Pertahanan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX melakukan rasionalisasi organisasi TNI. Akibatnya
sekitar 80.000 anggota militer terancam di-demobilisasi.
Adapun konsep dwi fungsi ABRI yaitu peringatan ulang tahun
Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958 di Magelang,
dan istilah dwi fungsi diperkenalkan kemudian pada rapat pimpinan
Polri di Porong tahun 1960. Dwi fungsi merupakan istilah untuk
menyebut dua peran militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi Pembina
wilayah atau Pembina masyarakat. Nasution menganggap bahwa, TNI
bukan sekedar sebagai alat sipil sebagaimana terjadi di
Negara-negara Barat dan bukan pula sebagai rezim militer yang
memegang kekuasaan Negara. Dwi fungsi merupakan kekuatan sosial,
kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat
lainnya.
Militer pada masa orde lama mengadakan serangkaian sidang yang
membahas persoalan-persoalan Kementrian Pertahanan dan Angkatan
Perang, khususnya persoalan internal TNI AD. Namun pimpinan TNI AD
menganggap bahwa debat tersebut telah membuka aib TNI AD. Sehingga,
para pimpinan TNI AD, terutama yang berhaluan kanan marah karena
menganggap para politisi sipil telah mencampuri urusan internal TNI
AD.
Meskipun Sukarno berhasil menggagalkan kudeta, namun militer
berhasil mendapatkan bargaining position, di arena politik
nasional. Pada tahun 1957, terjadi pemberontakan di beberapa
daerah, sehingga peran militer semakin dibutuhkan, dan sejak saat
itu, perannya semakin besar pula di bidang politik.
Satu-satunya kelompok sipil yang kritis terhadap militer AD
hanyalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah pemberangusan
partai-partai politik di awal tahun 1960-an, kekuatan politik
nasional hanya terdiri dari tiga, yaitu Sukarno, PKI dan Militer
(AD). Antara PKI dan TNI saling bersaing dan melakukan maneuver
untuk menarik perhatian Sukarno. Sejak tahun 1963, peristiwa demi
peristiwa telah mempengaruhi dinamikan hubungan segitiga kekuasaan
n tersebut. Sebagai missal, pergantian KSAD dari Nasution kepada
Ahmad Yani pada Juni 1962, pencabutan Undang-undang Keadaan Bahaya
(SOB) pada November 1962, dianggap telah menguntungkan PKI. Perihal
diangkatnya Yani tersebut dianggap sebagai kemunduran serius bagi
kelompok Nasution yang mendukung militer sebagai kekuata politik
yang utuh. Setelah dilantik sebagai KSAD, A. Yani segera mengganti
sejumlah Pangima daerah yang berani menentang Sukarno dengan
isu-isu komunis.
Tetapi, ketika Maret 1963 terjadi kerusuhan anti-cina di Jawa
Barat pada saat Sukarno berkunjung ke Cina, kelompok AD dianggap
berhasil mempermalukan Sukarno dan sekaligus memperlemah PKI.
Kerusuhan tersebut disinyalir sengaja dilakukan oleh militer karena
pada saat itu sejumlah komandan militer setempat terlihat
bekerjasama dengan perusuh. Kemudian pada tahun 1965, terjadi
peristiwa controversial G-30-S, yang tidak saja mematikan gerakan
PKI di Indonesia, tetapi juga merubuhkan kekuasaan politik Sukarno.
Sehingga, militer menjadi satu-satunya pemenang, dan segeralah
babak Orde Baru dimulai. Sejak saat itu, militer mendominasi hamper
di seluruh bidang sosial, politik dan ekonomi nasional.
2.6.2 Militer Pada Masa Orde Baru
Agar keberadaan militer di bidang sosial-politik diakui, maka
pemerintah militer Orde Baru melakukan langkah-langkah yuridis
sebagai berikut:
1. Memasukan dwi fungsi ABRI dalam GBHN, tentang ABRI sebagai
modal dasar pembangunan.
2. UU No. 20/1982, tentang pokok-pokok HanKam Negara.
3. UU No. 2/1988.
4. UU No. 1/1989.
Dua produk Undang-undang yang terakhir merupakan penyempurnaan
dari produk UU sebelumnya. Setidak-tidaknya, terdapat tiga peran
militer pada masa orde baru yang berakibat buruk bagi kehidupan
demokrasi.
Pertama adalah menempati jabatan-jabatan politis seperti
menteri, gubenur, bupati, anggota Golkar dan duduk mewakilinya di
DPR. Misalnya, pada tahun 1966, anggota militer yang menjadi
menteri sebanyak 12 orang dari 27 anggota kabinet dan 11 anggota
militer yang menempati jabatan strategis di departemen-departemen
urusan sipil. Di DPR, sebanyak 75 anggota militer duduk mewakili
militer. Di tingkat daerah pada tahun 1968, sebanyak 68 % gubenur
dijabat oleh anggota militer, dan 92 % pada tahun 1970. Sementara,
pada tahun 1968, terdapat sebanyak 59 % bupati di Indonesia berasal
dari anggota militer. Kemudian pada tahun 1973, jumlah militer yang
menjadi menteri sebanyak 13 orang, sebanyak 400 anggota militer
dikaryakan di tingkat pusat, dan 22 dari 27 gubenur di Indonesia
dijabat oleh militer. Hingga tahun 1982, sebanyak 89 %
jabatan-jabatan strategis di tingkat pusat yang berkaitan dengan
persoalan sipil dijabat oleh anggota militer. Kemudian pasca pemilu
1987, sebanyak 80 % anggota DPR dari fraksi ABRI dan sebanyak 34
perwira senior menjadi anggota DPR melalui fraksi Golkar. Kemudian,
120 anggota militer terpilih sebagai pimpinan Golkar daerah dan
hampir 70 % wakil daerah dalam kongres nasional Golkar berasal dari
militer. Jumlah fraksi ABRI di DPR juga meningkat dari 75 menjadi
100. Kenaikan ini dianggap tidak layak, karena jumlah ABRI hanya
500.000 orang ( Cholisin, 2002 dan pakpahan, 1994). Banyaknya
anggota militer yang duduk di parlemen telah mempengaruhi
keputusan-keputusan yang di buat oleh DPR. Misalnya, pengalaman
masa kerja DPR dari 1971-1977, dan 1977-1982, fraksi ABRI terlihat
paling keras menentang penggunaan hak interpelasi dan angket pada
kasus korupsi di Pertamina yang diusulkan oleh F-PP dan F-DI
(pakpahan, 1994:159). Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh F-ABRI
dalam menolak usulan penggunaan hak angket pada kasus pembunuhan
massal di Tanjung Priok.
Kedua adalah menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil. Contoh yang
paling mencolok pada kasus ini adalah pembentukan Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang dapat diartikan sebagai
salah satu upaya mengendalikan kekuatan intelektual (sipil) melalui
sebuah lembaga. Hal ini bertentangan dengan hakikat cendekiawan
yang berpikiran bebas dan kreatif, tetapi diikat dalam suatu wadah
yang bersifat ideologis. Sebelumnya, militer selalu menganggap
bahwa intelektual Indonesia terlalu bias barat. Dengan kelahiran
ICMI, diharapkan intelektual tidak lagi bias barat, tetapi lebih
bersahabat dengan militer. Contoh lain terjadi pada Maret 1997, di
mana Kassospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid mengumpulkan para guru
besar dari seluruh Indonesia di Bogor. Tujuan dari pengumpulan para
profesor tersebut adalah untuk memberi informasi mengenai bahaya
Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan bangkitnya komunisme baru. Rejim
militer orde baru menganggap bahwa PRD dianggap berbahaya selain
karena beraliran kiri dan diasosiasikan dengan komunis dan PKI, PRD
juga dituduh sebagai dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996.
Militer mendikotomikan antara Barat dan Timur secara oposisional.
Barat adalah sesuatu yang berbau asing, sekular dan sangat
bertentangan dengan Timur yang relijius dan menjunjung tinggi
kesantunan. Oleh karena itu, untuk melihat Indonesia maka tidak
dapat dipahami dengan kerangka struktural Barat yang liberal. Hal
tersebut juga berlaku untuk melihat kedudukan militer di Indonesia.
Dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk isu demokratisasi dan
hak asasi manusia, militer selalu mendefinisikan bahwa Indonesia
memiliki keunikan tersendiri sehingga memerlukan penanganan sendiri
sesuai dengan kepentingan militer.
Ketiga adalah melakukan tindakan-tindakan represif terhadap
rakyat. Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah orde baru
melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota PKI dan
pendukung Soekarno, serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses
pengadilan (1966-1971), pembunuhan massal terhadap anggota kelompok
Islam di Tanjung Priok (1984), kasus tanah petani di Jenggawah
(1989), pelaksanaan operasi militer di Aceh ( 1989-1999), Timor
Lorosae (1980-1999), dan Papua (1960-1999), penggusuran dan
intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah (1989), Penembekan
penduduk di sekitar waduk Nipah, Madura (1993), intidimidasi
terhadap pendukung non Golkar menjelang setiap pemilu (1971, 1977,
1982, 1987, 1992, 1997), penyerangan terhadap kantor PDI (1996),
Penculikan aktivis pro demokrasi (1997), penembekan empat mahasiswa
Trisakti (1998), tregedi Semanggi (1998) dan masih banyak lagi
peristiwa-peristiwa lainnya, yang karena terjadi di wilayah
pedalaman dan jumlah korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan
secara luas.
2.6.3 Militer Pada Masa Reformasi
Setelah Soeharto turun dari jabatan presiden pada Mei 1998,
telah terjadi tiga kali pergantian presiden di Indonesia, yaitu
Habibie (1998-1999), Abdurahman Wahid (1999-2000) dan Megawati
(2002-kini). Masa yang oleh sebagian kalangan disebut masa
reformasi ini sempat mendorong para militer TNI untuk meninggalkan
perannya di bidang politik. Menjelang 1998, tekanan yang luar biasa
dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat telah menyebabkan TNI
kehilangan wibawa dan melemahkan bargaining position militer di
arena politik nasional. Tuntutan terhadap TNI untuk meninggalkan
arena politik tersebut nyaris saja terpenuhi. Namun, dorongan itu
tidak terlalu kuat, sehingga lambat laun peranan militer dalam
bidang politik kembali menguat.
Kembalinya militer dalam bidang politik dikarenakan kelompok
sipil terlalu lemah dan cenderung inferior di hadapan militer.
Selain itu, kelompok sipil cenderung menganggap dirinya paling
benar dan paling berjasa atas turunya Soeharto dan bergulirnya
reformasi. Besarnya dukungan rakyat terhadap politisi sipil di DPR
untuk menghilangkan peran politik TNI ditanggapi setengah hati. Hal
tersebut nampat pada TAP MPR No. VII/2000 yang hanya memutuskan
bahwa anggota TNI masih diperkenankan duduk di parlemen hingga
2009. Adapun bunyi TAP tersebut sebagai berikut:
........Keikutsertaan Tentara Nasional dalam menentukan arah
kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan
Rakyat paling lama sampai dengan 2009.
Selain alasan tersebut diatas, ternyata TNI memang tidak
menghendaki perannya di bidang politik berakhir, nyaris hilang.
Pada awal reformasi 1998, kelompok militer politik nyaris kalah
secara politik. Hal ini ditandai dengan digusurnya beberapa perwira
militer dari jabatan strategis. Misalnya, bupati, gubenur, menteri
pertahanan, dan jabatan-jabatan lain diusahakan untuk tidak dijabat
oleh militer lagi. Selain itu, nampak pula kedudukan TNI/Polri
dalam lembaga perwakilan rakyat juga mulai dibatasi.
2.7 Strategi Nasional
2.7.1Masa Orde Lama
Periode Orde Lama dimulai ketika Presiden Soekarno menyatakan
Dekrit 1959 yang berisi tentang pemberlakuan kembali UUD 1945
sebagai konstitusi negara dan menghapus UUD RIS. Akan tetapi secara
teknis, Presiden Soekarno memimpin era ini semenjak kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945. Dengan demikian, ulasan mengenai politik
luar negeri RI pada era Orde Lama tidak bisa hanya dipantau
semenjak tahun 1959 semata, melainkan ditarik semenjak awal
kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945.
Sejarah perjuangan Soekarno dalam merebut kemerdekaan Indonesia
dari kolonialisme Barat telah membentuk pandangan Soekarno menjadi
anti terhadap Barat. Sehingga secara sikap politik pun, Soekarno
nampak cenderung pro terhadap ideologi kiri atau timur. Kedekatan
ini ditunjukan dengan keberpihakan Soekarno terhadap Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang kemudian membawa Soekarno terhadap peristiwa
pidato penyampaian pidato manifesto politik (manipol) yang
mengidentifikasikan imperialis barat sebagai musuh nasional. Hal
ini ditunjukkan secara gamblang dalam ketidaksukaan Soekarno
terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer
kemudian diambil untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika
diplomasi dianggap gagal membuat Belanda angkat kaki dari Irian
Barat. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian didapatkan Soekarno
muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan
Moskow.
Taktik yang konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh
Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia
akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia
pro terhadap imperialisme Barat. Hal ini dianggap mengancam
keberkembangan Nefos (New Emerging Forces) oleh Oldefos (Old
Established Forces), yakni dua kategorisasi negara yang dibentuk
oleh Soekarno. Berbagai kebijakan luar negeri kemudian muncul
dengan landasan kepentingan nasional yang berorientasi pada
penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos. Salah satu tindakan yang
paling terkenal ialah pembentukan poros Jakarta Peking dimana
Indonesia pada saat itu menjadi sangat dekat dengan China. Tidak
hanya sampai di situ,Jakarta pada era tersebut digambarkan sebagai
pusat pemerintahan yang akrab dengan Moskow, Beijing dan Hanoi
serta garang terhadap Washington dan sekutu Barat. Sebagai dampak,
ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi terbatas pada
seputar negar- negara komunis semata. Hal ini pun mencederai
prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas- aktif.
Keberhasilan Politik Luar Negeri pada Era Orde Lama yaitu:
1. Indonesia berhasil merebut kembali Irian Barat dari Belanda
melalui jalur
diplomasi dan militer.
2. Indonesia berhasil menginisiasi berdirinya Gerakan Non- Blok
melalui KTT
Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955.
3. Indonesia berhasil menunjukkan eksistensi yang patut
diperhitungkan oleh
kedua blok raksaksa dunia pada masa itu.
Terdapat sejumlah halangan yang anyak mengusik keberlangsungan
politik luar negeri indonesia pada era orde lama yaitu:
1. Baru terbentuknya NKRI sehingga masih banyak ancaman
disintegrasi nasional.
2. Instabilitas politik dan perekonomian domestik.
3. Situasi Perang Dingin dan terbentuknya dua blok raksaksa
dunia yang saling berusaha mendominasi
4. Infrastruktur yang baru dibangun tidak sesuai dengan ambisi
Soekarno untuk
segera membuat Indonesia menjadi negara adidaya.
2.7.2 Masa Orde Baru
Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan
pada kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945. Penataan dilakukan didalam lingkungan lembaga tertinggi
negara dan pemerintahan. Dikeluarkannya Supersemar berdampak
semakin besarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah karena
Suharto berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan PKI. Munculnya
konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden
sementara Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan. Konflik Dualisme
inilah yang membawa Suharto mencapai puncak kekuasaannya karena
akhirnya Sukarno mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan
pemerintahan kepada Suharto.Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS
menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengukuhkan pengunduran diri
Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai pejabat Presiden
RI.
Perkembangan Politik Dalam Negeri pada Masa Orde Baru sebagai
berikut:
a. Pembentukan Kabinet AMPERA
Pembangunan Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli
1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama
Dwi Darma Kabinet Amper yaitu untuk menciptakan stabilitas politik
dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan
nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet
AMPERA adalah sebagai berikut:
Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan
pangan
Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli
1968.
Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk
kepentingan nasional.
Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam
segala bentuk dan manifestasinya.
b. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai
tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga
dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga
pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi
tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan
tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU,
Parmusi, PSII, danPartai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5
Januari 1973 (kelompok partai politik Islam).
Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI,
Partai Katolik, PartaiMurba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai
politik yang bersifat nasionalis).
Golongan karya (golkar).
2.7.3 Masa Reformasi
Pada masa orde Reformasi demokrasi yang dikembangkan pada
dasarnya adalah demokrasi dengan berdasarkan kepada Pancasila dan
UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi Pancasila pada masa Orde Reformasi
dilandasi semangat Reformasi, dimana paham demokrasi berdasar atas
kerkyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dilaksanakan dengan rahmat Tuhan Yang
Maha Esa serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab, selalu memelihara persatuan Indonesia dan untuk mewujudkan
suatu keadilan sosila bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan
demokasi Pancasila pada masa Reformasi telah banya member ruang
gerak kepada parpol dan komponen bangsa lainnya termasuk lembaga
permusyawaratan rakyat dan perwakilan rakyat mengawasi dan
mengontrol pemerintah secara kritis sehingga dua kepala negara
tidak dapat melaksanakan tugasnya sampai akhir masa jabatannya
selama 5 tahun karena dianggap menyimpang dari garis Reformasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Politik adalah suatu tangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan,
cara, dan alat yang digunakan utuk mencapai tujuan tertentu yang
kita kehendaki.
Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator
implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah
oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan
mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu).
Partai politik mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus.
Budaya politik ada 3 macam yaitu budaya politik paroksial,
budaya politik subjek dan budaya politik partisipan.
Peran militer pada setiap masa berbeda-beda, baik masa orde
lama, orbe baru dan masa reformasi.
Strategi nasional dibedakan berdasarkan masa
pemerintahannya.
3.2 Saran
Dalam berpolitik sebaikya dilakukan menurut kaidah-kaidah dan
aturan-aturan yang sesuai agar tercipta integrasi nasional. Karena
bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, dan
budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1983. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia.
Jakarta; PT Gramedia.
Amos, Abraham. 2005.Sistem Ketatanegaraan Indonesia. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Budiardjo, Miriam, 1997, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Bulkin, Fachan.1988. Analisa Kekuatan Politik di Indonesia.
Jakarta: LP3ES PT. Kincir Buana.
Janowitz, Morris. 1985.Hubungan-Hubungan Sipil Militer
Perspektif Regional. Jakarta: Bina Aksara.
Koirudun. 2004. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi.
Yogyakarta
Muhaimin, A. Yahya.1982. Perkembangan Militer Dalam Politik di
Indonesia 1945-1966.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.:
Pustaka Pelajar.
Parlmutter, Amos. 1984. Militer dan Politik. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Pratomo, Dwi Yulianto. 2005. Militer dan Kekuasaan,.Yogyakarta:
Narasi.
Putri, Vegitya Ramadhani. 2010. Definisi Politik dan Ruang
Lingkup Politik. LLM.
Rahman, Arifin.2002. Sistem Politik Indonesia,.Surabaya:
Penerbit SK.
Soebijono. 1992. Dwifungsi ABRI Perkembangan dan Perannya dalam
Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Soehino.2005. Ilmu Negara. Liberty: Yogyakarta.
28