Kejang Demam 12.12 Edit This 0 Comments BAB IPENDAHULUAN
Kejang bukan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau
beberapa penyakit, yang merupakan manifestasi dari lepasnya muatan
listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak oleh karena
terganggu fungsinya. Kejang demam pada anak merupakan kelainan
neurologik yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Kejang
demam adalah tipe kejang yang paling sering terjadi pada anak.
Walaupun telah dijelaskan oleh bangsa Yunani , baru pada abad ini
kejang demam dibedakan dengan epilepsy. 1,2Kejang merupakan salah
satu darurat medik yang harus segera diatasi.2 Kejang didefinisikan
sebagai gangguan fungsi otak paroksismal yang dapat dilihat sebagai
kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan
perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi autonom.1,2Kejang demam
adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu badan
yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial
(ekstrakranial : ekstra = di luar, kranium : rongga tengkorak.
Ekstrakranial : di luar rongga tengkorak).1Serangan kejang demam
pada anak yang satu dengan yang lain tidak sama, tergantung dari
nilai ambang kejang masing-masing. Setiap serangan kejang pada anak
harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat apalagi pada kasus
kejang yang berlangsung lama dan berulang. Karena keterlambatan dan
kesalahan prosedur akan mengakibatkan gejala sisa pada anak atau
bahkan menyebabkan kematian.2Jumlah penderita kejang demam
diperkirakan mencapai 2-4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika
Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya
lebih tinggi. Sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami
kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti.
Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih
banyak menyerang anak laki-laki. Penderita pada umumnya mempunyai
riwayat keluarga (orang tua atau saudara kandung) penderita kejang
demam.2
BAB IITINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. DefinisiKejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 380c) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi
pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 tahun. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk
dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang
dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur
kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi SSP,
atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
2.2. EpidemiologiA. Frekuensi Amerika SerikatAntara 2% sampai 5%
anak mengalami kejang demam sebelum usianya yang ke 5. Sekitar 1/3
dari mereka paling tidak mengalami 1 kali rekurensi.
InternasionalKejadian kejang demam seperti di atas serupa di Eropa.
Kejadian di Negara lain berkisar antara 5 sampai 10% di India, 8.8%
di Jepang, 14% di Guam, 0.35% di Hong Kong, dan 0.5-1.5% di
China.
B. Mortalitas/Morbiditas Kejang demam biasanya tidak berbahaya.
Anak dengan kejang demam memiliki resiko epilepsy sedikit lebih
tinggi dibandingkan yang tidak (2% : 1%). Faktor resiko untuk
epilepsy di tahun-tahun berikutnya meliputi kejang demam kompleks,
riwayat epilepsy atau kelainan neurologi dalam keluarga, dan
hambatan pertumbuhan. Pasien dengan 2 faktor resiko tersebut
mempunyai kemungkinan 10% mendapatkan kejang demam.
C. RasKejang demam terjadi pada semua ras.
D. Jenis kelaminBeberapa penelitian menunjukkan kejadian lebih
tinggi pada pria.
E. UsiaKejang demam terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5
tahun.
2.3. EtiologiHingga kini etiologi kejang demam belum diketahui
dengan pasti. Demam sering disebabkan oleh : infeksi saluran
pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan
infeksi saluran kemih.Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang
tinggi. Kadang-kadang yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan
kejang.3Penyebab lain kejang disertai demam adalah penggunaan
obat-obat tertentu seperti difenhidramin, antidepresan trisiklik,
amfetamin, kokain, dan dehidrasi yang mengakibatkan gangguan
keseimbangan air-elektrolit.4
2.4. Faktor ResikoSedangkan faktor yang mempengaruhi kejang
demam adalah :111. Umura. 3% anak berumur di bawah 5 tahun pernah
mengalami kejang demam.b. Insiden tertinggi terjadi pada usia 2
tahun dan menurun setelah 4 tahun, jarang terjadi pada anak di
bawah usia 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.c. Serangan pertama
biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun dengan
bertambahnya umur.
2. Jenis kelaminKejang demam lebih sering terjadi pada anak
laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini
mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih cepat pada
perempuan dibandingkan pada laki-laki.
3. Suhu badanKenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya
kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada saat timbul serangan merupakan
nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak,
berkisar antara 38,3C 41,4C. Adanya perbedaan ambang kejang ini
menerangkan mengapa pada seorang anak baru timbul kejang setelah
suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak yang lain
kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi.
Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang
demam akan lebih sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang
rendah.
4. Faktor keturunanFaktor keturunan memegang peranan penting
untuk terjadinya kejang demam. Beberapa penulis mendapatkan bahwa
25 50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota keluarga (
orang tua, saudara kandung ) yang pernah mengalami kejang demam
sekurang-kurangnya sekali.
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.6
Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit
dengan demam atau pada waktu demam tinggi.7
Faktor faktor lain diantaranya: riwayat kejang demam pada orang
tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa
neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium
rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami
satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3
kali rekurensi atau lebih. Risiko rekurensi meningkat dengan usia
dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam,
dan riwayat keluarga epilepsi.
Sekitar 1/3 anak dengan kejang demam pertamanya dapat mengalami
kejang rekuren.o Faktor resiko untuk kejang demam rekuren meliputi
berikut ini: Usia muda saat kejang demam pertama Suhu yang rendah
saat kejang pertama Riwayat kejang demam dalam keluarga Durasi yang
cepat antara onset demam dan timbulnya kejango Pasien dengan 4
faktor resiko ini memiliki lebih dari 70% kemungkinan rekuren.
Pasien tanpa faktor resiko tersebut memiliki kurang dari 20%
kemungkinan rekuren.2.5. PatofisiologiKelangsungan hidup sel otak
memerlukan energi yang didapat dari metabolisme glukosa melalui
suatu proses oksidasi. Dimana dalam proses oksidasi tersebut
diperlukan oksigen yang disediakan dengan perantaraan paru-paru.
Oksigen dari paru-paru ini diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskular.11,12,13Suatu sel, khususnya sel otak atau neuron
dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari
membran permukaan dalam dan membran permukaan luar. Membran
permukaan dalam bersifat lipoid, sedangkan membran permukaan luar
bersifat ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dengan mudah dilalui ion Kalium ( K+ ) dan sangat sulit dilalui
oleh ion Natrium ( Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion
Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
di luar neuron, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut
potensial membran neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang
terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran tadi
dapat berubah oleh adanya :
1. perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler2. rangsangan
yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi, atau
aliran listrik dari sekitarnya3. perubahan patofisiologi dari
membran sendiri karena penyakit atau keturunan11,12,13Pada keadaan
demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada
seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.
Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat mengakibatkan
adanya perubahan keseimbangan membran neuron dan dalam waktu
singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium melalui membran
tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya
muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke membran sel tetangga dengan perantaraan
neurotransmiter sehingga terjadilah kejang. Tiap anak memiliki
ambang kejang yang berbeda, dan tergantung dari tinggi rendahnya
nilai ambang kejang, seorang anak menerita kejang pada kenaikan
suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
serangan kejang telah terjadi pada suhu 38C, sedangkan pada anak
dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi pada suhu
40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa
berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan ambang
kejang yang rendah. Sehingga dalam penanggulangan anak dengan
ambang kejang demikian perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa
anak tersebut akan mendapat serangan. 11,12,13Kejang demam yang
berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi pada kejang lama (lebih dari 15
menit) biasanya disertai terjadinya apneu, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan
oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat
disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian tadi adalah faktor
penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan
peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan neuron. 11,12,13 Kerusakan anatomi dan fisiologi yang
bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis
setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga
kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
epilepsi.Berdasarakan referensi lain, mekanisme kejang yang tepat
belum diketahui, tampak ada beberapa faktor fisiologis yang
menyebabkan perkembangan kejang. Untuk memulai kejang, harus ada
kelompok neuron yang mampu menimbulkan ledakan discharge (rabas)
yang berarti dan sistem hambatan GABAergik. Perjalanan discharge
(rabas) kejang akhirnya tergantung pada eksitasi sinaps glumaterik.
Bukti baru-baru ini menunjukkan bahwa eksitasi neurotransmiter asam
amino (glutamat, aspartat) dapat memainkan peran dalam menghasilkan
eksistasi neuron dengan bekerja pada reseptor sel tertentu.
Diketahui bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron
dan bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan
bahwa daerah otak ini dapat meningkatkan perkembangan sinaps
hipereksitabel baru yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya, lesi
pada lobus temporalis (termasuk glioma tumbuh lambat hematoma,
gliosis, dan malformasi arteriovenosus) menyebabkan kejang. Dan
bila jaringan abnormal diambil secara bedah. Kejang mungkin
berhenti. Lebih lanjut, konvulsi dapat ditimbulkan pada binatang
percobaan dengan fenomena membangkitkan. Pada model ini, stimulasi
otak subkonvulsif berulang (misal, amigdala) akhirnya menyebabkan
konvulsi berulang (misal, amigdala) akhirnya menyebabkan terjadinya
epilepsi pada manusia pasca cedera otak. Pada manusia telah diduga
bahwa aktivitas kejang berulang-ulang dari lobus temporalis normal
kontralateral dengan pemindahan stimulus melalui korpus
kallosum.Kejang adalah lebih lazim pada bayi dan binatang percobaan
imatur. Kejang tertentu pada populasi pediatri adalah spesifik umur
(misal spasme infantil) , yang menunjukkan bahwa otak yang kurang
berkembang lebih rentan rerhadap kejang spesifik daripada anak yang
lebih tua atau orang dewasa. Faktor genetik menyebabkan setidaknya
20% dari semua kasus epilepsi. Penggunaan analisis kaitan, lokasi
kromosom beberapa epilepsi. Penggunaan analisis kaitan, lokasi
kromosom beberapa epilepsi famili telah dikenali, termasuk konvulsi
neonatus benigna (20q), epilepsi mioklonik juvenil (6p), dan
epilepsi mioklonik progresif (21q22.3), Adalah amat mungkin bahwa
dalam waktu dekat dasar molekular epilepsi tambahan, seperti
epilepsi rolandik benigna dan kejang-kejang linglung, akan
dikenali. Juga diketahui bahwa substansia abu-abu memegang peran
integral pada terjadinya kejang menyeluruh. Aktivitas kejang
elektrografi menyebar dalam substansia abu-abu, menyebabkan
peningkatan pada ambilan 2 deoksiglukosa pada binatang dewasa,
tetapi ada sedikit atau tidak ada aktivitas metabolik dalam
substansia abu-abu bila binatang imatur mengalami kejang. Telah
diduga bahwa imaturitas fungsional substansia abu-abu dapat
memainkan peran pada peningkatan substansia abu-abu dapat memainkan
peran pada peningkatan kerentanan kejang otot imatur. Lagipula,
neuron pars retikulata substansia abu-abu (substantia nigra pars
reticulata (SNR) sensitif-asam gama aminobutirat (GABA) memainkan
peran pada pencegahan kejang. Agaknya bahwa saluran aliran keluar
substansia abu-abu mengatur dan memodulasi penyebaran kejang tetapi
tidak menyebabkan mulainya kejang. Penelitian eksitabilitas neuron,
mekanisme hambatan tambahan, pencairan mekanisme non-sipnapsis
perambatan kejang dan kelainan seseptor GABA.5
2.6. KlasifikasiKejang demam terjadi pada 2-4% anak dengan umur
berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun, insidens tertinggi pada
umur 18 bulan.Kejang demam dibagi atas :
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure).5,6
Berlangsung singkat (< 15 menit) dan umumnya akan berhenti
sendiri. Kejang berbentuk umum (bangkitan kejang tonik dan atau
klonik), tanpa gerakan fokal. Kejang hanya sekali / tidak berulang
dalam 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh
kejang demam.2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)5,6
Berlangsung lama (> 15 menit). Kejang fokal atau parsial satu
sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang
berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan
kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8 % bangkitan
kejang demam.Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau
kejang umum yang didauhului kejang parsial.Kejang berulang adalah
kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang
anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% diantara anak yang
mengalami kejang demam.
2.7. Manifestasi KlinikKejang yang terkait dengan kenaikan suhu
yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai
30oC atau lebih. Kejang khas menyeluruh, tonik-tonik lama beberapa
detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat
pascakejang. Kejang demam yang menetap lebih lama 15 menit
menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik dan
memerlukan pengamatan menyeluruh. Ketika demam tidak lagi ada pada
saat anak sampai di rumah sakit, tanggung jawab dokter yang paling
penting adalah menentukan penyebab demam dan mengesampingkan
meningitis. Jika ada keragu-raguan berkenaan dengan kemungkinan
meningitis, pungsi lumbal dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis
(CSS) terindikasi. Infeksi virus saluran pernapasan atas, roseola
dan otitis media akut adalah penyebab kejang demam yang paling
sering.Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti
untuk sesaat anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali
tanpa ada kelainan neurologi.A. Anamnesisv Adanya kejang, jenis
kejang, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval,
pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP.v Riwayat Kelahiran,
perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam keluarga
(kakak-adik, orang tua).v Singkirkan dengan anamnesis penyebab
kejang yang lainnya.
B. Pemeriksaan Fisik Kesadaran suhu tubuh tanda rangsang
meningkat tanda peningkatan tekanan intracranial seperti: kesadaran
menurun, muntah proyektil, fontanel anterior menonjol, papiledema
tanda infeksi di luar SSP. Tanda ifeksi diluar SSP misalnya otitis
media akut, tonsilitis, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain1
C. Pemeriksaan Nervi KranialisUmumnya tidak dijumpai adanya
kelumpuhan nervi kranialis
2.8. Kriteria DiagnosisKejang demam terjadi pada 2-4% anak
berusia 6 bulan - 5 tahun. Kejang disertai demam pada bayi 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain seperti
infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang saat
demam, tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang didahului oleh demam Pasca kejang anak sadar kecuali
kejang lebih dari 15 menit Pemeriksaan punksi lumbal normal
Pengamatan kejang tergantung pada banyak faktor, termasuk umur
penderita, tipe dan frekuensi kejang, dan ada atau tidak adanya
temuan neurologis dan gejala yang bersifat dasar. Pemeriksaan
minimum untuk kejang tanpa demam pertama pada anak yang lainnya
sehat meliputi glukosa puasa, kalsium, magnesium, elektrolit serum
dan EEG. Peragaan discharge (rabas) paroksismal pada EEG selama
kejang klinis adalah diagnostik epilepsi, tetapi kejang jarang
terjadi dalam laboratorium EEG. EEG normal tidak mengesampingkan
diagnosis epilepsi, karena perekaman antar-kejang normal pada
sekitar 40% penderita. Prosedur aktivasi yang meliputi
hiperventilasi, penutupan mata, stimulasi cahaya, dan bila
terindikasi, penghentian tidur dan perempatan elektrode khusus
(misal hantaran zigomatik), sangat meningkatkan hasil positif,
discharge (rabas) kejang lebih mungkin direkam pada bayi dan anak
daripada remaja atau dewasa.Memonitor EEG lama dengan rekaman video
aliran pendek dicadangkan pada penderita yang terkomplikasi dengan
kejang lama dan tidak responsif. Monitor EEG ini memberikan metode
yang tidak terhingga nilainya untuk perekaman kejadian kejang yang
jarang diperoleh selama pemeriksaan EEG rutin. Tehnik ini sangat
membantu dalam klasifikasi kejang karena ia dapat secara tepat
menentukan lokasi dan frekuensi discharge (rabas) kejang saat
perubahan perekaman pada tingkat yang sadar dan adanya tanda
klinis. Penderita dengan kejang palsu dapat dengan mudah dibedakan
dari kejang epilepsi sejati, dan tipe kejang (misal, kompleks
parsial vs menyeluruh) dapat lebih dikenali dengan tepat, yang
adalah penting pada pengamatan anak yang mungkin merupakan calon
untuk pembedaan epilepsi.Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan
kejang adalah kontroversial. Hasilnya pada penggunaan rutin
tindakan ini pada penderita dengan kejang tanpa demam pertama dan
pemeriksaan neurologis normal adalah dapat diabaikan. Pada
pemeriksaan anak dengan gangguan kejang kronis, hasilnya adalah
serupa. Meskipun sekitar 30% anak ini menunjukkan kelainan
struktural (misal atrofi korteks setempat atau ventrikel dilatasi),
hanya sedikit sekali manfaat dari intervensi aktif sebagai akibat
dari skenning CT dengan demikian, skenning CT atau MRI harus
dicadangkan untuk penderita yang pemeriksaannya neurologis
abnormal. Kejang sebagian yang lama, tidak mempan dengan terapi
antikonvulsan, defisit neurologis setempat, dan bukti adanya
kenaikan tekanan intrakranial merupakan indikasi untuk pemeriksaan
pencitraan saraf.Pemeriksaan CSS terindikasi jika kejang
berkemungkinan terkait dengan proses infeksi, perdarahan
subaraknoid, atau gangguan demielinasi. Uji metabolik spesifik
digambarkan pada seksi mengenai kejang neonatus dan status
epileptikus.
2.9. Pemeriksaan PenunjangA. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain, misalnya gastroenteritis
dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya : darah perifer, elektrolit dan gula darah.
Lumbal pungsi :Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko
terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.Meningitis dapat
menyertai kejang, walupun kejang biasanya bukan satu-satunya tanda
meningitis.Factor resiko meningitis pada pasien yang datang dengan
kejang dan demam meliputi berikut ini:Kunjungan ke dokter dalam 48
jamAktivitas kejang saat tiba di rumah sakitKejang fokal, penemuan
fisik yang mencurigakan (seperti merah-merah pada kulit, petekie)
sianosis, hipotensiPemeriksaan saraf yang abnormal Pada bayi kecil
seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena
itu pungsi lumbal dianjurkan pada :- Bayi kurang dari 12 bulan
sangat dianjurkan dilakukan- Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan-
Bayi > 18 bulan tidak rutin Bila yakin bukan meningitis secara
klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
B. Pencitraan Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti computed
tomography scan (CT-Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI)
jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi
seperti :- Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)-
Paresis Nervus VI- Papiledema CT scan sebaiknya dipertimbangkan
pada pasien dengan kejang demam kompleks.
C. Tes lain (EEG) Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak
dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan
kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh
karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG dapat dilakukan
pada kejang demam tak khas; misalnya pada anak usia > 6 tahun
atau kejang demam fokal. EEG tidak diperlukan pascakejang demam
sederhana karena rekamannya akan membuktikan bentuk Non-epileptik
atau normal dan temuan tersebut tidak akan mengubah manajemen. EEG
terindikasi untuk kejang demam atipik atau pada anak yang berisiko
untuk berkembang epilepsi. Kejang demam atipik meliputi kejang yang
menetap selama lebih dari 15 menit, berulang selama beberapa jam
atau hari, dan kejang setempat. Sekitar 50% anak menderita kejang
demam berulang dan sebagian kecil menderita kejang berulang
berkali-kali. Faktor resiko untuk perkembangan epilepsi sebagai
komplikasi kejang demam adalah riwayat epilepsi keluarga positif,
kejang demam awal sebelum umur 9 bulan, kejang demam lama atau
atipik, tanda perkembangan yang terlambat, dan pemeriksaan
neurologis abnormal. Indidens epilepsi adalah sekitar 9% bila
beberapa faktor risiko ada dibanding dengan insiden 1% pada anak
yang menderita kejang demam dan tidak ada faktor resiko.
2.10. Diagnosis BandingPenyebab lain kejang yang disertai demam
harus disingkirkan, khususnya meningitis atau ensefalitis. Adanya
sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis,
dan jika pasien telah mendapatkan antibiotika maka perlu
pertimbangan pungsi lumbal.3Adapun diagnosis banding kejang pada
anak dan bayi adalah gemetar, apnea dan mioklonus nokturnal
benigna.Kejang pada anak merupakan suatu gejala dan bukan suatu
penyakit. Gangguan primer mungkin terdapat intrakranium atau
ekstrakranium. Berbagai penyakit intra serebral dan gangguan
metabolik yang juga dapat menyebabkan kejang antara lain :
1. Kelainan intrakranium- Meningitis- Ensefalitis- Infeksi
subdural dan epidural- Abses otak- Trauma kepala- Stroke dan AVM-
Cytomegalic inclusion disease
2. Gangguan metabolik- Hipoglikemi- Defisiensi vitamin B-6-
Gangguan elektrolit seperti hiponatremia, hipokalsemia, porfiria-
Keracunan
3. EpilepsiEpilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan
berbagai macam etiologi, yang dicirikan oleh timbulnya serangan
paroksismal yang berkala, akibat lepas muatan listrik neuron-neuron
serebral secara eksesif.
MENINGITIS6Meningitis merupakan peradangan selaput otak yang
disebabkan oleh bakteri patogen. Ditandai dengan peningkatan jumlah
sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya
bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.
Manifestasi klinisa. AnamnesisMeningitis bakterialis pada anak
seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas atau
pencernaan seperti demam, batuk, pilek, diare dan muntah. Demam,
nyeri kepala dan meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran
merupakan hal yang sangat sugestif meningitis. Banyak gejala
meningitis berkaitan dengan usia; anak berusia kurang dari tiga
tahun jarang mengeluh nyeri kepala.b. Pemeriksaan fisik Gangguan
kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau iritabel Dapat juga
ditemukan ubun-ubun yang menonjol, kaku kuduk atau tanda rangsang
meningeal lain, kejang dan defisit neurologist fokal. Tanda
rangsang meningeal mungkin tidal ditemukan pada anak kurang dari
satu tahun.Kriteria diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan
manifetasi klinis dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang Darah perifer lengkap, gula darah,
elektrolit darah, biakan darah. Pungsi lumbal : jumlah sel
100-10.000/l, dengan hitung jenis sel polimorfonuklear, protein
200-500mg/dl, glukosa < 40mg/dl, pewarnaan gram, biakan dan uji
resistensi, identifikasi antigen (aglutinasi latex) Pada kasus
berat pungsi lumbal harus ditunda (dengan pemberian antibiotika
empiris, penundaan 2-3 hari tidak mengubah niulai diagnostik
kecuali untuk identifikasi kuman Pemeriksaan CT atau MRI kepala
(pada kasus berat) Pemeriksaan eletroensefaligrafi bila ada
kejangENSEFALITIS6Ensefalitis ialah infeksi jaringan otak oleh
berbagai macam mikroorganisme, misalnya bakteri, ptozoa, cacing,
spichaeta, atau virus. Penyebab yang tersering dan terpenting
adalah virus. Pada banyak pasien sering terjadi keterlibatan
leptomeningeal (meningoensefalitis), sedangkan ensefalomielitis
menunjukkan keterlibatan medulla spinalis. Manifestasi klinis
bervariasi mulai dari demam tidak tinggi disertai sakit kepala,
sampai keadaan berat, koma, kejang dan kematian. Awitan ensefalitis
dapat secara tiba-tiba atau gradual. Komplikasi yang dapat terjadi
termasuk kenaikan tekanan intrakranial, edema otak dan syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) secretion. Ensefalitis
dapat menyebabkan gejala sisa neurologis seperti kejang/ epilepsi,
tuli, atau buta.
Manifestasi klinis Gejala khas berupa suhu naik mendadak, dapat
sampai hiperpireksi, nyeri kapala, muntah dan perubahan tingkah
laku Kedaran menurun Kejang umum dan/atau fokal atau hanya
twitching saja. Pada kejang fokal dicurigai penyebab virus herpes
simpleks Gejala serebral lainnya dapat berupa ataksis, paresis,
paralisis, afasia dan sebagainya. Gerakan involunter (bila terkena
ganglia basalis)Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan LCS, biasanya
jernih dengans el normal, atau sedikit meningkat 50-500 per mm3,
hitung jenis didominasi sel limfosit. Banyak pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan namun jarang bersifat diagnostik. Darah tepi
lengkap, dapat menunjukkan polimorfonuklear ringan atau
leukositosis mononuklear. Pemeriksaan cairan serebrospinal :
biasanya cairan jernih, jumlah sel normal aqtau sedikit meningkta
terutama limfosiy, sedikit peningkatan protein, kadar gula normal
atau sedikit menurun. Biakan darah. Elektrolit lengkap. Pemeriksaan
serologik darah. MRI/CT scan kepala biasanya hanya memperlihatkan
edema otak baik umum maupun fokal. EEG biasanya menunjukkan
gambaran abnormal berupa aktivitas gelombang lambat umum.
2.11. PenatalaksanaanAda 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu(1)
pengobatan fase akut ;(2) mencari dan mengobati penyebab ; dan (3)
pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
1. Pengobatan fase akutPenatalaksanaan saat kejang :Sering kali
kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang, yang perlu diperhatikan
adalah ABC (Airway, Breathing,Circulation). Perhatikan juga keadaan
vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi
jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air
hangat dan pemberian antipiretik.Obat yang paling cepat
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan Intravena (IV).
Dosis diazepam IV 0,3-0,5 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1-2
mg/menit dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maks 20 mg.Obat yang
praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atu dirumah adalah
diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis
diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg dengan
berat diatas 10 kg. dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun dan
dosis 7,5 mg diatas 3 tahun.Bila setelah pemberian diazepam rektal
kejang belum terhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis
yang sama dengan interval 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian
diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit.
Dirumah sakit dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,3 -0,5
mg/kg.Bila kejang tetap belum berhenti berikan fenitoin dengan
dosis awal 10-20 mg/kgbb IV perlahan-lahan 1 mg/kgbb/menit atau
kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya
adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila
dengan fenitoin kejang tidak berhenti juga maka pasien harus
dirawat diruang intensif. Setelah pemberian fenitoin, harus
dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin
bersifat basa dan dapat menyebabkan iritasi vena.Bila kejang telah
berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
resikonya.
Pemberian Antipiretik :Pemberian antipiretik tidak ditemukan
bukti bahwa penggunaan obat ini mengurangi resiko terjadinya kejang
demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III,
rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15
mg/kg/kali diberikan dalam 4 kali pemberian per hari dan tidak
lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen adalah 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali
sehari. Asam asetilsalisilat tidak dianjurkan karena kadang dapat
menyebabkan sindrom Reye pada anak kurang dari 18 bulan.
Pemberian Antikonvulsan :Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg
setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulang kejang pada
30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg
setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC (level I, rekomendasi
A)Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam (level II, rekomendasi E)
Pemberian obat rumat :Pemberian obat rumat hanya diberikan
dengan indikasi berikut: Kejang lama >15 menit Adanya kelainan
neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retatdasi mental,
hidrosefalus. Kejang fokal Pengobatan rumatan dipertimbangkan
bila:o Kejang berulang 2 X atau lebih dalam 24 jamo Kejang demam 4
X atau lebih pertahunSebagian besar peneliti setuju bahwa kejang
demam > 15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelaian
neurologis tidak nyata misalkan keterlambatan perkembangan ringan
bukan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi
umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat :Pemberian obat
fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulang kejang (level I). berdasarkan bukti
ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat
menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi
D).Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Dosis asam
valproat pada anak anak adalah 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis,
dan dosis fenobarbital 3-4mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.
Lama Pengobatan Rumat :Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas
kejang, kemudian diberhentikan secara bertahap selama 1-2
tahun.
2. Mencari dan mengobati penyebab.Pemeriksaan LCS dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien
kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter
melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai
meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang
demam berlangsung lama.
3. Pengobatan profilaksisAda 2 cara profilaksis, yaitu :(1)
profilaksis intermiten saat demam dan(2) profilaksis terus-menerus
dengan antikonvulsan setiap hariUntuk profilaksis intermiten
diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5mg/kgbb/hari
dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula
diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB10kg)
setiap pasien menunjukan suhu >38,5oc. Efek samping diazepam
adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.Profilaksis terus-menerus
berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat
menyebabkan kerusakan otak tapi dapat mencegah terjadinya epilepsi
di kemudian hari. Digunakan fenobarbital 4-5 mg/kgbb/hari dibagi
dalam 2 dosis atau obat lain seperti asam valproat dengan dosis
15-40 mg/kgbb/hari. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus
diberikan selama 1-2 tahun setalah kejang terakhir dan dihentikan
bertahap selama 1-2 bulan.Profilaksis terus-menerus dapat
dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu
:1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis
atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)2.
Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap3. Ada riwayat kejang tanpa demam
pada orang tua atau saudara kandung.4. Bila kejang demam terjadi
pada bayi berumur dari 100 kesatuan Todd)o Mulai meningkat pada 1-3
minggu pertama, mencapai puncak pada 3-5 minggu berikutnya, dan
kembali normal pada minggu ke 6o Anti streptolysin type O (ASTO)
tidak berhubungan dengan berat, lama dan prognosis dari penyakit
ginjalo Peningkatan titer anti streptolision O (ASTO) dapat
menyatakan adanya antibodi terhadap organisme streptokokus.
Komplemen (C1, C3, C4 dan CH50); pada GNAPS C3 menurun < 50
mg/dl. Antibodi DN-ase B meningkat Sedimen eritrosit biasanya
meningkat Kreatinin plasma atau urin lebih dari 40 g/dL Kultur
darah :o Pada pasien dengan demam, imunosupresi, ada riwayat
penggunaan obat IV, kateter.o Pada kultur darah bisa ditemukan
hipertriglyceridemia, penurunan laju filtrasi glomerolus, atau
anemia.
Pencitraan Radiografi :o Foto thorak diperlukan pada pasien
dengan batuk, dengan atau tanpa hemoptysis.o Foto abdomen
diperlukan pada suspek abses viseral, atau abses dada.
Echocardiografi pada pasien dengan murmur, atau positif adanya
endokarditis pada kultur darah atau efusi perikardial.
Ultrasonografi ginjal untuk mengevaluasi ukuran ginjal, untuk
mengetahui adanya fibrosis. Ukuran ginjal kurang dari 9 cm
menandakan adanya luka dan kemungkinan kecil untuk kembali seperti
semula.
DiagnosisDasar Diagnosis :1. SNA hipokomplemenemia :a. Hematuria
(makroskopik atau mikroskopik), proteinuria, silinderuria (terutama
silinder eritrosit) dengan atau tanpa edema, hipertensi, oligouria
yang timbul secara mendadak disertai merendahnya kadar sejumlah
komplemen.b. SNA hipokomplemenemia asimtomatikHanya menunjukan
kelainan urinalisis minimal (hematuria mikrokopik, silinder
eritrosit, proteinuria trace atau +1) tanpa gejala lain.c. SNA
dengan hipokomplemenemia simtomatikAdanya kelainan urinalisis yang
nyata dengan gejala-gejala.
2. SNA dengan normokomplemenemiaAdanya gejala-gejala nefritis
akut dengan kadar komplemen normal.
Diagnosis Bandingo Hematuria idiopatiko Nefropati IgAo
Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akuto Nefritis hereditero
Sistemik Lupus Eritematosuso Henoch-Scholein Purpura
Langkah DiagnostikCari penyebab dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang :1. Penyebab SNA dengan
hipokomplemenemia :a. GNAPSDicurigai sebagai penyebab SNA tanpa
gejala bila pada anamnesis dijumpai riwayat kontak dengan keluarga
yang menderita GNAPS (pada suatu epidemi). Kelainan urinalisis
minimal. ASTO > 200 IU. Titer C3 rendah (80mg/dL). Dicurigai
sebagai penyebab SNA dengan gejala bila ditemukan riwayat ISPA atau
infeksi UTI seperti cucian daging, dengan atau tanpa disertai
oligouria. Sembab pada muka sewaktu bangun tidur, kadang-kadang ada
keluhan sakit kepala.Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya
edema, hipertensi, kadang-kadang gejala kongestif vaskuler (sesak,
edema paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan sistem saraf
pusat (penglihatan kabur, kejang, penurunan kesadaran). Hasil
urinalisis menunjukan hematuria, proteinuria (2+), silinderuria.
Gambaran kimia darah menunjukan kadar BUN, kreatinin serum, dapat
normal atau meningkat; Elektrolit darah (Na, K, Ca, P, Cl) dapat
normal atau sedikit rendah; Kadar Globulin biasanya
normal.Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan apusan
tenggorok / keropeng kulit positif untuk kuman Streptococcus Beta
Hemolyticus atau ASTO > 200 IU. Hematuria, proteinuria, dan
silinderuria. Kadar CH50 dan C3 rendah (95 %) mengalami penyembuhan
yang sempurna, tetapi 5% diantaranya mengalami perjalanan penyakit
yang memburuk dengan cepat. Diuresis akan menjadi normal kembali
pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit dengan menghilangnya sembab
dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali.
Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan
menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Potter dan kawan-kawan
menemukan kelainan sediment urine yang menetap (proteinuria dan
hematuria) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17
tahun di Trinidad.Gejala fisis menghilang dalam minggu ke 2 atau ke
3, kimia darah menjadi normal pada minggu ke 2 dan hematuria
mikroskopik atau makroskopik dapat menetap selama 4-6 minggu. LED
meninggi terus sampai kira-kira 3 bulan, protein sedikit dalam
urine dan dapat menetap untuk beberapa bulan.
Eksaserbasi kadang-kadang terjadi akibat infeksi akut selama
fase penyembuhan, tetapi umumnya tidak mengubah proses penyakitnya.
Penderita yang tetap menunjukkan kelainan urine selama 1 tahun
dianggap menderita penyakit glomerulonefritis kronik, walaupun
dapat terjadi penyembuhan sempurna. LED digunakan untuk mengukur
progresivitas penyakit ini, karena umumnya tetap tinggi pada
kasus-kasus yang menjadi kronis. Diperkirakan 95 % akan sembuh
sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari penyakit ini dan 2%
menjadi glomerulonefritis kronis.
1. SNA dengan hipokomplemenemia tergantung pada penyebabnya :a.
GNAPS. Prognosis baik, 95% sembuh sempurna, 3% meninggal karena
komplikasi, 2% berkembang menjadi GGK.b. Nefritis yang berhubungan
dengan endokarditis bakterialis akut/subakut. Prognosis baik bila
pengobatan terhadap penyebab dilakukan secara intensif dengan
antibiotika yang cocok dan kadar komplemen kembali normal. Bila
pengobatan terlambat, dapat terjadi gagal ginjal.c. Shunt
Nephritis. Prognosis umumnya baik, 50% dari kasus dilaporkan
sembuh, bila shunt yang mengalami infeksi segera diangkat dan
antibiotika yang cocok segera diberikan, 20% meninggal disebabkan
oleh penyakit neurologik primer, atau komplikasi pembedahan,
sisanya dengan gejala sisa berupa gangguan faal ginjal, hematuria
dan proteinuria.d. Nefritis Lupus Eritematosus Sistemik (NEFLES).
Prognosis berkorelasi dengan presentasi klinik saat serangan dan
kelainan histologi dari glomeruli. Penderita NEFLES dengan kelainan
minimal, tanpa gagal ginjal, dan gambaran glomeruli normal atau
proliferatif mesangial ringan biasanya prognosis baik. Penderita
dengan nefritis berat (urine nefritik, hipertensi dan gagal ginjal)
dengan kelainan glomeruli proliferasi difus memiliki prognosis
buruk. Prognosis lebih buruk lagi bila terjadi pula sindroma
nefritik-nefrotik, gagal ginjal berat dengan gambaran biopsi ginjal
berupa GN proliferatif difus dengan bulan sabit.
2. SNA dengan normokomplemenemia :a. Nefritis Henoch Schonlein
(NHS)Prognosis bergantung pada berat dan luasnya keterlibatan
ginjal saat serangan penyakit. Pada anak dengan hematuria
dengan/tanpa proteinuria ringan, prognosis baik, dimana kelainan
yang dijumpai pada pemeriksaan urinalisis akan menghilang sekitar
2-4 bulan, meskipun pengamatan jangka panjang menunjukan 5-10% dari
penderita timbul gagal ginjal kronik.Penderita dengan gambaran SNA
dengan sindroma nefrotik saat serangan, kelainan urinalisis terus
berlanjut, atau berkembang menjadi gagal ginjal kronik stadium
lanjut. Setengahnya dapat terjadi GGK dalam beberapa bulan pertama
dari onset, setengahnya lagi dapat terjadi GGK pada sekitar 5
sampai 15 tahun pengamatan. Indikator buruknya prognosis meliputi :
dijumpainya sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal saat
serangan dan terdapatnya gambaran Glomerular Crescents (bulan
sabit) pada biopsi ginjal.
b. Nefritis IgAPrognosis umumnya baik. Pada pengamatan dalam
jangka waktu yang singkat tidak pernah dijumpai terjadinya gagal
ginjal progresif, meskipun kelainan urine, termasuk hematuria
berulang biasanya menetap. Pada pengamatan jangka panjang yang
dilakukan dari 1 sampai 15 tahun, angka kejadian gagal ginjal
kronik dijumpai antara 5-9%, dikaitkan dengan dijumpainya gambaran
Glomerular Crescents pada biopsi ginjal.
BAB IIIKESIMPULAN Sindrom Nefritis Akut (SNA) /
Glomerulonefritis Akut (GNA) adalah suatu sindrom yang ditandai
dengan gejala hematuria, hipertensi, edema, dan berbagai derajat
insufisiensi ginjal. SNA disebabkan oleh faktor infeksi (paling
sering diakibatkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus),
penyakit multisistemik (vaskulitis, SLE, Henoch-Schonlein
Purpura,dll), penyakit ginjal lain dan Nefropati IgA. Penyakit ini
timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada
kulit, sehingga pencegahan dan pengobatan infeksi saluran
pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan kejadian penyakit ini.
Dengan perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit ini
dapat dikurangi. Gejala : edema di wajah terutama kelopak mata,
tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat,
berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena
mengandung darah, tekanan darah bisa meningkat. Gejala tidak
spesifik seperti letargi, demam, nyeri abdomen, dan malaise.
Pemeriksaan penunjang :o Laboratorium : Darah lengkap, Urinalisa,
ASTO meningkat, antibodi Dn-ase meningkat, C3 menurun, elektrolit,
BUN, kreatinino Radiografi : foto thorax, EKG, USG ginjal Dasar
Diagnosiso SNA hipokomplemenemia : Hematuria (makroskopik atau
mikroskopik), proteinuria, silinderuria terutama silinder
eritrosit, dengan atau tanpa edema, hipertensi, oliguria yang
timbul secara mendadak disertai merendahnya kadar sejumlah
komplemen.o SNA dengan normokomplementemia : Gejala-gejala nefritis
akut dengan kadar komplemen normal. Terapi :o Umum : Istirahat di
tempat tidur pada fase akut, misalnya bila terdapat GGA, hipertensi
berat, payah jantung.o Diet rendah garam dan rendah protein jika
bila kadar ureum di atas 50 gram/dlo Diuretik untuk edema dan
hipertensi ringan, antihipertensi untuk hipertensi sedang- berat,
Antibiotik ; Penisilin prokain 50.000 U/kgBB/kali i.m. 2
x/hari,atau Penisilin V 50 mg /kgBB/hari p.o. dibagi dalam 3 dosis
untuk infeksi aktif. Untuk anak-anak 95 % akan sembuh sempurna,
tetapi 5% diantaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk
dengan cepat.
Pengobatan Sindrom Nefritis berat :
Sindroma Nefrotik yang berkembang dengan cepat
(Glomerulonefritis yang berkembang dengan cepat) adalah suatu
penyakit yang jarang terjadi, dimana sebagian besar glomeruli
mengalami kerusakan parsial sehingga terjadi gagal ginjal yang
berat disertai proteinuria (protein dalam air kemih), hematuria
(darah dalam air kemih) dan gumpalan Sel Darah Merah dalam air
kemih.
Jika hasil biopsi menunjukan bahwa penyakitnya berat, maka
segera dimulai pemberian obat.
Kortikosteroid dosis tinggi biasanya diberikan secara intravena
selama 1 minggu dan selanjutnya diberikan per oral. Dosis : 15
mg/KgBB metilprednisolone (tidak boleh melebihi 1 gram) perinfus
sekitar 60-90 menit setiap hari selama 5-6 hari. Perlu dipantau :
TTV dan kadar elektrolit. Lanjutkan dengan metilprednisolon oral 2
mg/KgBB/hari selama 1 bulan. Lalu dosis prednisolone diberikan
secara alternate 2 mg/KgBB/2 hari selama 1 bulan, kemudian
dilanjutkan separuh dosis dengan interval 1 bulan, setelah itu
diberikan 0,2 mg/Kg/2 hari selama 1 bulan, lalu obat
dihentikan.
Bisa juga diberikan Obat Sitostatik yang bersifat imunusupresan
(Obat untuk menekan aktivitas sistem kekebalan).
Siklofosfamido Secara umum, siklofosfamid mengurangi respon imun
humoral dan meningkatkan respon imun seluler. Siklofosfamid, selain
pada bedah cangkok juga digunakan pada artritis reumatoid, sindrom
nefrotik (terutama pada anak), dan granulomatosis Wegener.
o Siklofosfamid mempertahankan remisi yang lebih lama
dibandingkan dengan kortikosteroid dengan dosis : 2 3 mg/KgBB/hari
selama 8 minggu. Alternatif : Siklofosfamid 2 mg/KgBB/hari ditambah
30 mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan (maks 6
bulan).o Efek samping : Depresi sum sum tulang; leukopenia berat
terjadi pada hari ke 10-12 setelah pengobatan dan pemulihan pada
hari 17-21; Sistitis hemoragik (20% pada anak); alopesia yang
bersifat reversible; anoreksia; mual dan muntah; amenorea;
infertilitas bila diberikan > 6 bulan; stomatitis;
hiperpigmentasi kulit; enterokolitis; ikterus; hipoprotrombinemia;
miokarditis pada pemberian dosis tinggi (100 mg/KgBB); bersifat
teratogenik.
Siklosporin Ao Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang
relaps setelah diberi siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa
remisi setelah pemberian kortikosteroid.o Dosis : 3 5 mg/KgBB/hari
selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25%
setiap 2 bulan).o Siklosporin A dapat juga digunakan dalam
kombinasi dengan prednisolon pada kasus Sindrom Nefritis yang
gagal.o Efek samping : obat ini tidak menekan sum sum tulang;
hiperplasia ginggival; hipertrikosis; hiperurisemia; hipertensi;
nefrotoksik.
Selain itu, bisa dilakukan tindakan plasma feresis, yaitu suatu
prosedur untuk membuang antibodi dari darah penderita.
Jika penyakit berkembang lebih lanjut, maka satu-satunya
pengobatan yang efektif adalah dengan dialisa. Dialisa dilakukan
bila terdapat komplikasi berupa adanya tanda Gagal Ginjal :
(140 Umur) x Berat BadanLFG (ml/menit/1.73 m2) =72 x Kreatinin
Plasma (mg/dL)Rumus menghitung Laju Filtrasi Glomerolus dengan
rumus Kockcroft-Gault :
Tabel 1 : stadium gagal ginjal berdasarkan GFR :STADIUM DARI
GAGAL GINJALStadiumDeskripsiGFR
(mL/mnt/1.73 m2)1Kerusakan Ginjal dengan 90
GFR Normal atau
2Kerusakan Ginjal dengan60-89
GFR ringan
3Kerusakan Ginjal dengan30-59
GFR sedang
4Kerusakan Ginjal dengan15-29
GFR berat
5Gagal Ginjal