Kegagalan mengurai akar masalah industri migas Kalau kita
cermati Industri migas mancanegara, tata kelola sektor migas
terdiri dari tiga fungsi, yaitu: kebijakan (policy), regulasi
(regulatory) dan komersial (commercial). Perbedaannya hanya pada
bagaimana negara tersebut memisahkan atau tidak memisahkan fungsi
tersebut. Mark Thurber dan kawan kawan dari Universitas Stanford
(2011) mengkaji sejauh mana pengaruh pengaturan fungsi tersebut
terhadap kinerja sektor hulu migas. Ada negara yang secara tegas
memisahkan tiga fungsi tersebut, seperti: Norwegia, Brazil,
Aljazair, Meksiko dan Nigeria. Ada negara yang tidak memisahkan
fungsi tersebut, dalam arti fungsi regulasi dirangkap dengan fungsi
komersial, atau fungsi regulasi jadi satu dengan fungsi kebijakan.
Arab Saudi, Malaysia, Angola, Russia, dan Venezuela termasuk negara
yang tidak secara tegas memisahkan fungsi fungsi tersebut.
Terlepas apakah tiga fungsi tersebut secara tegas dipisahkan
atau tidak, fungsi komersial selalu dilakukan oleh Perusahaan migas
milik negara (state-owned NOC). Untuk negara maju, seperti UK, USA,
Australia, Kanada dan lain lain, karena NOC sudah tidak ada lagi
karena sebelumnya sudah di privatisasi, maka fungsi komersial
dilakukan oleh pihak swasta atau perusahaan minyak internasional
(IOC).
Dalam hal ini jelas bahwa fungsi komersial, artinya keterlibatan
langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas hanya bisa
dilakukan oleh perusahaan (NOC) dan atau bersama sama dengan
IOC.
Di Indonesia, fungsi komersial, dalam konteks keterlibatan
langsung pemerintah dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas
jelas hanya dapat dilakukan oleh Pertamina. Timbulnya permasalahan
migas di tanah air ini, menurut pendapat penulis lebih disebabkan
oleh fakta bahwa Pertamina sebagai NOC sejauh ini memiliki
kontribusi produksi terhadap produksi nasional yang relatif kecil
dibandingkan NOC di negara lain.
Kecilnya bagian produksi Pertamina kemudian memberikan kesan
bahwa NOC kita inferior di negeri sendiri, dalam bahasa pengamat
kedaulatan migas jatuh ke tangan asing. Kenapa hal ini dapat
terjadi?, bisa jadi selama beberapa dekade industri migas,
Pemerintah sudah merasa nyaman menikmati posisi sebagai juragan
yang hanya menerima bagi hasil dari kontraktor (IOC) tanpa mau
terlibat langsung dalam arti ikut berinvestasi besar besaran di
sektor migas melalui NOC (Pertamina).
Ikut berinvestasi di sektor hulu migas ini yang dilakukan di
semua negara produsen migas di dunia, sehingga bagian produksi NOC
mereka menjadi sangat besar. Jadi disini kata kuncinya adalah
investasi atau terlibat langsung, bukan dengan mengutak atik
pilihan untuk memisahkan atau menggabungkan fungsi tersebut. Sejak
UU 8/1971, Pertamina pernah merangkap peran komersial dan
regulasi/supervisi, kenyataan menunjukkan bagian produksinya sangat
kecil terhadap produksi nasional. Kenapa? karena pemerintah
kelihatannya tidak berniat untuk investasi langsung di sektor hulu
(penerimaan hasil migas tidak di investasikan kembali secara
signifikan ke sektor hulu migas melalui Pertamina atau dikenal
dengan istilah plough back). Sejak UU migas 22/2001 sebenarnya ada
peningkatan bagian produksi Pertamina terhadap total produksi migas
nasional, namun masih belum cukup besar.
Sejarah menunjukkan, Pertamina sudah pernah memainkan kedua
peran tersebut (yang sering disebut wasit merangkap pemain melalui
UU 8/1971) dan peran pemisahan (UU 22/2001). Sekarang kita akan
membuat UU Migas baru (merevisi UU lama?). Percayalah permasalahan
akan terulang kalau hanya bertujuan agar NOC sebagai pihak yang
berkontrak langsung dengan IOC tanpa ada niat Pemerintah untuk
meningkatkan investasi sektor hulu. Tentu kurang fair membandingkan
dengan Petronas yang didukung penuh oleh Pemerintah untuk melakukan
ekspansi di sektor hulu migas. Apabila selama ini, investasi hulu
migas Pertamina didukung penuh khususnya dari aspek finansial oleh
Pemerintah, saya kira kesan awam bahwa industri migas nasional
dijajah asing tidak akan terjadi.
Terkait ribut ribut apakah kontrak Business to Business (B2B)
atau Business to Government (B2G). Pada dasarnya dua hal tersebut
bisa saja dilakukan. PSC di India, Oman, Yaman dan Jordania yang
berkontrak adalah Pemerintah (Kementrian) dengan perusahaan migas
internasional (B2G), di Malaysia yang berkontrak Petronas dan IOC
(B2B), di Brazil yang berkontrak Pemerintah (diwakili ANP yang
berada dibawah Kementrian) dengan perusahaan migas (B2G). Kontrak
kesepakatan LNG Papua Nugini berlangsung antara Pemerintah dengan
Perusahaan migas Esso (B2G) dan lain lain. Apakah betul negara
tersebut merasa posisinya jatuh karena berkontrak langsung dengan
Perusahaan asing? Apakah betul IOC tidak mau berkontrak dengan
Badan pemerintah yang tidak punya aset? Apakah kalau B2B menjamin
bahwa Pemerintah kebal dari tuntutan investor asing?.
Investor asing itu tentu saja tidak bodoh, mereka punya proteksi
berlapis, tidak hanya melalui dokumen kontrak (concession agremeent
maupun production sharing agreement). Katakanlah kontraknya adalah
B2B, ketika ada sengketa diantara pihak yang berkontrak, disamping
menuntut BUMN yang berkontrak dengan mereka, investor asing juga
bisa menyeret Pemerintah yang bersangkutan ke arbitrase
internasional melalui jalur lain, dalam ini Bilateral Investment
Treaty (BIT). Hal ini terjadi dalam kasus ExxonMobil vs. PDVSA (NOC
milik Pemerintah Venezuela), mereka berdua yang berkontrak (B2B),
namun ketika terjadi sengketa, oleh ExxonMobil, Pemerintah
Venezuela pun diseret ke arbitrase internasional (ICSID,
International Centre for Settlement of Investment Disputes) melalui
mekanisme BIT tersebut.
Dengan demikian, tidak tepat saat ini kalau ada yang mengatakan
bahwa Pemerintah akan bebas dari tuntutan ke arbitrase
internasional dengan pilihan B2B. Apapun pilihannya, selama itu
melibatkan investor asing, resiko ini tetap terbuka. Jangan sampai
nanti masyarakat awam kecewa dan terheran heran ketika suatu saat
Pemerintah dituntut oleh investor asing ke arbitrase internasional
sementara bisnisnya menggunakan B2B.
Mari kita kawal agar UU Migas baru ini merupakan bagian dari
solusi terhadap akar permasalahan (bukan produk trial & error),
dan bukan pula hanya mendengarkan opini segelintir pengamat yang
senang membungkusnya dengan embel embel kemakmuran rakyat.Kisruh
Migas dan Keberpihakan Pemerintah
Industri hulu migas tidak pernah lepas dari headline media
nasional belakangan ini, mulai dari isu cost recovery, pengaturan
blok migas yang akan berakhir, seperti: Blok Mahakam dan puncaknya
pembubaran BPMIGAS berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Latar BelakangIndonesia dikenal sebagai pelopor penggunaan
Production Sharing Contract (PSC) yang dimulai pada awal tahun
60-an. Pada era yang sama di mancanegara, negara negara produsen
minyak juga sedang mencari pola pengaturan fiskal dalam kontrak
migas yang lebih berimbang bagi negara sebagai pemilik sumber daya
alam, termasuk sebagian diantaranya melakukan nasionalisasi.
PSC di Indonesia di adopsi dari sistem paron yang biasa
dilakukan dalam penggarapan sawah, yang intinya berbagi hasil
antara pemilik dan penggarap dengan porsi tertentu (misal: 50% -
50%). Di Negara Timur Tengah, negara produsen, tetap menggunakan
mekanisme konsesi, namun ditambahkan hak partisipasi progresif
dimana porsi bagian pemerintah (diwakili perusahaan minyak milik
negara/ National oil Company/NOC) terus meningkat dengan
berjalannya waktu. Bahkan akhirnya ada yang mencapai 100% seperti
Saudi Aramco.
Peran NOCSekedar perbandingan, bagian NOC terhadap total
produksi nasional untuk NOC dari negara negara anggota OPEC,
seperti: Aramco (Saudi Arabia), NIOC (Iran), KOC (Kuwait), PDVSA
(Venezuela) dan QP (Qatar) mencapai lebih dari 90% produksi
domestik. Sedangkan NOC dari negara non-OPEC yang menguasai 90%
produksi nasional, antara lain: Pemex (Meksiko) dan Petrobras
(Brazil). LNOC (Libya) dan Sonatrach (Aljazair) menguasai 80%
produksi domestik. Petronas (Malaysia), NNPC (Nigeria), ADNOC (UAE)
dan CNPC (China) menguasai lebih dari separuh produksi nasional.
Bahkan Sonangol (Angola) yang masih terhitung NOC yang muncul
belakangan, bagiannya dari total produksi nasionalnya sudah
mencapai sekitar 40%. Sementara Pertamina tidak lebih dari 25%
produksi nasional.
Kalau kita melihat perspekstif sejarah, tampaknya visi dan
keberpihakan negara terhadap NOC dapat dikatakan masih minimal.
Partisipasi pemerintah melalui NOC pada PSC Indonesia hanya berupa
pilihan opsi untuk berpartisipasi sebesar 10%, dimana besaran
tersebut tetap (tidak progresif).
PSC secara konsep adalah ide yang brilian karena mengatur
bagaimana negara dan investor berbagi imbal hasil yang
proporsional, sementara resiko sepenuhnya ditanggung investor.
Namun demikian, dari sisi peningkatan peran NOC, kelihatannya
sejauh ini belum di optimalkan. Rupanya kita masih terpaku pada
sistem paron, yang secara tegas membedakan mana pemilik dan mana
penggarap, jangan jangan memang tidak pernah terpikirkan bahwa
kelak suatu saat (seharusnya) NOC sendirilah yang akan menjadi
penggarap utama. Jadi kalau saat ini kontribusi Pertamina masih
dibawah 25%, tentu bukan suatu yang mengherankan.
Tata Kelola MigasTerkait dengan hubungan antara tata kelola
industri migas dan kinerja sektor hulu migas, Mark Thurber dan
kawan kawan dari Universitas Stanford melakukan studi (2011) sejauh
mana pengaruh pemisahan tiga fungsi (kebijakan, regulasi dan
komersial) terhadap kinerja produksi migas di beberapa negara
eksportir minyak. Negara yang dipilih sebagai sampel adalah:
Aljazair, Brazil, Meksiko, Nigeria dan Norwegia yang mewakili
negara yang memisahkan ketiga fungsi tersebut. Sementara: Angola,
Malaysia, Russia, Saudi Arabia dan Venezuela, mewakili negara yang
tidak melakukan pemisahan. Kesimpulan studi menunjukkan sedikit
korelasi, dimana hanya dua negara, yaitu: Norwegia dan Brazil yang
secara meyakinkan menunjukkan bahwa pemisahan tiga fungsi tersebut
berkorelasi positif terhadap kinerja sektor hulu migas. Sebaliknya,
Saudi Arabia dan Malaysia, yang tidak memisahkan ketiga fungsi
diatas, ternyata juga mempunyai kinerja sektor hulu migas yang
baik. Negara negara yang juga melakukan pemisahan ketiga fungsi
tersebut, seperti: Nigeria dan Aljazair sejauh ini dianggap kurang
berhasil karena pemisahan tersebut hanya formalitas dan banyak
menghadapi tantangan internal. Sementara Meksiko berpotensi untuk
melakukan perbaikan kinerja sektor hulu, namun efektivitas
pemisahan fungsi masih harus diuji mengingat fungsi regulasi
(Komisi Hidrokarbon Nasional) baru dibentuk pada tahun 2008. Perlu
dicatat bahwa dari sepuluh negara yang dijadikan sampel pada studi
ini, semua NOC nya mempunyai bagian yang sangat besar terhadap
produksi minyak domestik mereka.
Model tata kelola dari negara lain ini tentunya dapat dijadikan
pembelajaran. Keinginan untuk mensterilkan Pemerintah dari
kemungkinan tuntutan di arbitrase internasional ketika terjadi
sengketa bisnis dengan tidak terlibat langsung sebagai pihak yang
berkontrak perlu dikaji dengan seksama. Perkembangan belakangan
menunjukkan bahwa model Business to Business (B 2 B) tidak selalu
menjamin bahwa Pemerintah bisa sama sekali steril. Hal ini dapat
dilihat ketika terjadi sengketa antara ExxonMobil vs. PDVSA untuk
salah satu blok di Venezuela dimana Pemerintah Venezuela juga
dituntut oleh Exxon Mobil, padahal Pemerintah bukan pihak yang
berkontrak. Perkembangan sengketa migas internasional belakangan
sebaiknya di observasi sebagai bahan pertimbangan nantinya.
Gejala dan akar masalahSalah satu penyebab maraknya berbagai isu
migas ditanah air adalah kegagalan memahami perbedaan antara gejala
dan akar permasalahan. Ketika isu cost recovery muncul, banyak yang
serta merta menuding bahwa PSC adalah akar masalahnya sehingga
harus dicari sistem atau mekanisme baru. Padahal masalah cost
recovery ini tidak terjadi di industri migas di negara lain.
Seandainya ada masalah mark-up dan semacamnya, yang tentu saja
dapat terjadi pada model kontrak migas selain PSC (konsesi dan
service contract), bukankah oknumnya yang harus ditindak?. Kenapa
memaksakan penggunaan mekanisme lain yang bisa jadi malah
mengakibatkan penurunan penerimaan bagian negara (Government
Take)?.
Dalam satu kesempatan workshop dalam rangka pertukaran informasi
dan pengalaman dengan negara produsen migas terkait pelaksanaan
kontrak migas di masing masing negara. Penulis sempat mengangkat
ramainya isu cost recovery di tanah air. Para pakar ekonomi migas
dari negara lain tersebut cukup heran, mereka mengatakan: kami
tidak ada masalah dengan cost recovery, kalau ada indikasi
penggelembungan biaya dan terbukti, tentu kami kirim ke penjara.
Sementara di tanah air, permasalahan ini dijawab dengan mencari
cari model kontrak migas lain. Siapa yang menjamin tidak akan
terjadi masalah yang sama?. Rupanya kita lebih memilih membakar
lumbungnya ketimbang membunuh oknum tikusnya.
Kisruh migas nasional ini sebenarnya dapat dicegah seandainya
keberpihakan pemerintah terhadap NOC (dalam hal ini Pertamina)
terus di prioritaskan dalam rangka meningkatkan bagian produksi
Pertamina terhadap produksi nasional. Ada beberapa keuntungan
apabila Pertamina mempunyai partisipasi signifkan dalam suatu blok
migas, antara lain: adanya jaminan pasokan energi untuk keperluan
domestik dan isu cost recovery akan dapat diminimalkan. Disamping
itu, meningkatnya produksi dan cadangan Pertamina akan berpengaruh
terhadap posisi tawar menawar mereka di kancah bisnis hulu migas
internasional. Adapun tantangan opsi ini yang paling utama adalah
masalah keperluan pendanaan yang tentunya tidak sedikit.
Selama ini kisruh cost recovery antara pihak pemerintah dan
perusahaan migas internasional lebih disebabkan oleh adanya
informasi yang tidak berimbang (asymetric information) antara orang
dalam (perusahaan migas internasional) dan pemerintah sebagai orang
luar. Dengan terlibatnya NOC pada suatu blok sebagai mitra
perusahaan asing, maka isu cost recovery otomatis akan berkurang
karena Pertamina sebagai kepanjangan tangan Pemerintah seyogyanya
ikut mengawasi penggunaan biaya dari dalam (internal) sehingga
diharapkan tidak ada lagi masalah informasi yang tidak berimbang
tersebut. Mungkin hal ini pulalah yang menyebabkan kenapa isu cost
recovery hampir tidak terdengar di negara produsen minyak lain di
mancanegara yang juga menggunakan mekanisme PSC.
Semoga kisruh hulu migas nasional ini menjadi pembelajaran
bersama dan sebagai bahan intropeksi bagi semua pihak dalam rangka
menuju pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik pada masa
yang akan dating.Pajak Perusahaan Migas dan Traktat Pajak Kenapa
Ribut? Beberapa bulan yang lalu, kita melihat di mass media isu
mengenai masalah pembayaran pajak perusahaan minyak. Karena masalah
pajak sendiri mungkin bermacam macam, maka dalam tulisan ini, kita
fokuskan saja tinjauan yang ada kaitannya dengan ketidaksepahaman
(dispute) mengenai Branch Profit Tax atau pajak atas bunga dividen
dan royalti (PBDR) akibat adanya Tax treaty (Traktat pajak).
Berita di mass media, saya kira tidak saja membingungkan bagi
orang awam, buat orang migas dan pajak pun kelihatan sama sama
bingung. Mari kita kutip berita yang simpang siur:
Harian Kontan (3 Agustus 2011) Direktur Jenderal Pajak Fuad
Rahmany, mengatakan,porsi bagi hasil yang benar-benar diterima
pemerintah hanya sekitar 79%. Sekitar 6% hingga 6,5% jatah
pemerintah berkurang karena ada Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (tax treaty) yang mengatur pajak bunga dividen dan royalti
(PBDR) yang diteken Pemerintah Indonesia dengan negara asal
perusahaan migas asing. Di dalam perjanjian tersebut, tarif PBDR
lebih kecil dari yang berlaku di Indonesia yakni sebesar 20%.
Perjanjian dengan negara-negara yang menganut hukum Inggris,
misalnya, tarifnya cuma sebesar 10% dan Malaysia 12,5%.
Harian Kontan ( 22 Agustus 2011) - Menurut IPA (Indonesian
Petroleum Association), bagi hasil sebesar 85%:15% tidak pernah ada
di dalam kontrak yang disebut production sharing contract (PSC)
antara pemerintah dan kontraktor migas.
"Selama ini persepsi 85%:15% salah, bagi basil itu sudah tidak
ada lagi. Pembagian tersebut berlaku pada tahun 1978. Sedangkan
sekarang, kontrak yang berlaku adalah yang mencantumkan split gross
sebelum pajak," kata Vice President IPA Sammy Hamzah, Jumat (19/8).
Berdasarkan perjanjian yang tertera di PSC, bagi basil antara
penterintah dan kontraktor migas ialah 71,1538 % untuk BP Migas
mewakili pemerintah dan 28, 8462% untuk kontraktor migas.
IPA menyatakan, tidak ada aturan yang dilanggar oleh kontraktor,
dari sisi perundangan-undangan pajak maupun ketentuan kontrak
kerjasama"Seharusnya penerapan tarif pajak di dalam treaty oleh
kontraktor juga dihormati," ajar Hamzah
Wajar saja bapak bapak diatas membela institusi dan organisasi
masing masing, sekarang mari kita lihat bagaimana cerita ini, dari
mana (dan apa benar?) angka angka yang dirilis diatas.
Latar belakang PSC Indonesia.
Prinsip PSC generasi pertama (1966 1975) adalah :
1. Cost Recovery dibatasi sebesar 40% dari total pendapatan per
tahun.
2. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost
Recovery (60%) dibagi antara Pertamina dan Kontraktor sebesar 65% :
35% (dimana 65% bagian Pemerintah sudah termasuk pajak
Kontraktor).
3. Kontraktor diwajibkan memasok 25% dari bagian produksinya
untuk keperluan DMO dengan harga USD 0.20/barrel.
Pada PSC generasi pertama, aspek perpajakan belum jelas
pengaturannya, bagian Pemerintah sebesar 65% dianggap sudah
termasuk pajak yang dibayar oleh Kontraktor. Perubahan PSC term
menjadi PSC generasi kedua ini dilakukan untuk mengakomodasi
perubahan yang terjadi di negara asal Kontraktor. Perubahan
tersebut adalah tidak diakuinya pajak penghasilan Kontraktor di
Indonesia oleh kantor pajak negara asal, dengan demikian tax credit
Kontraktor tidak diizinkan lagi. Oleh karena itu PSC term perlu
dimodifikasi sehingga tidak merugikan Kontraktor dalam rangka
memanfaatkan fasilitas tax credit di negara asalnya.
Perubahan yang dilakukan pada PSC generasi kedua (1976 1988) ini
adalah sebagai berikut :
1. Cost recovery tidak lagi dibatasi dan didasarkan pada
Generally Accepted Acounting principle (GAAP).
2. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost
Recovery, Kemudian dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor masing
masing sebesar 65.91% : 34.09% (minyak) 31.82% : 68.18% (gas).
3. Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56%
(terdiri dari 45% pajak pendapatan dan 20% pajak dividen), dengan
demikian pembagian bersih setelah pajak adalah : 85% : 15% (minyak)
dan 70% : 30% (gas).
4. Dengan adanya undang undang pajak tahun 1984 dimana total
pajak turun dari 56% menjadi 48%, maka untuk mempertahankan
pembagian (share) diatas, pembagian produksi sebelum kena pajak
diubah menjadi : 71.15% : 28.85% (minyak) dan 42.31% : 57.69%
(gas).
5. Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi
sebesar 20% dari pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi.
6. Pengeluaran kapital dapat didepresiasi selama 7 tahun dengan
metoda Double Declining Balance (DDB).
Anjloknya harga minyak menjadi masalah bagi Pemerintah mengingat
minyak menyumbang kontribusi besar bagi APBN. Untuk lapangan
lapangan yang sudah mulai menurun produksinya, minyak yang akan
dibagi sudah tinggal sedikit, dengan tidak dibatasinya Cost
Recovery, bisa jadi sudah tidak ada lagi minyak yang dibagi, hal
ini bertentangan dengan semangat berbagi produksi (production
sharing) itu sendiri.
Perlunya jaminan pendapatan bagi Pemerintah melandasi lahirnya
PSC generasi 3 (PSC generasi 3 dimulai sejak 1988). Untuk itulah
pada PSC generasi 3 diperkenalkan istilah First Tranche Petroleum
(FTP) yang besarnya 20%. Ini berarti 20% dari produksi (sebelum
dikurangi Cost Recovery) akan dibagi antara Pemerintah dan
Kontraktor.
Perpajakan PSC Indonesia
Besarnya tingkat pajak perusahaan (Corporate tax) terus
mengalami perubahan (lihat Tabel-1 dibawah). Branch profit tax atau
PDBR besarnya 20%, untuk menghitung PDBR = 20% x (1-corporate tax).
Total Tax = Corporate tax + PDBR (Tabel -1)
Tabel -1
Sejak PSC generasi kedua, supaya tidak menimbulkan masalah pajak
bagi kontraktor, maka bagian pemerintah yang 85% sudah termasuk
pajak (after tax). Untuk mengetahui berapa besar keuntungan sebelum
pajak (before tax) bagi kontraktor, maka dilakukan perhitungan
gross up, yang mana: before tax = after tax/ (1 total tax). Angka
angka (before tax) inilah yang kemudian muncul didalam kontrak
PSC.
Tabel 2
Apa yang terjadi dengan adanya Tax treaty yang ternyata lebih
rendah dari 20%, misalnya UK = 10%, maka tentu saja PDBR akan
turun, begitu pula total tax-nya (Tabel 3)Tabel 3
Sekarang mari kita lihat komentar bapak bapak diatas:
Dirjen Pajak: ..hasil yang benar-benar diterima pemerintah hanya
sekitar 79%. Sekitar 6% hingga 6,5% jatah pemerintah berkurang
karena ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax
treaty..)
Disini kelihatannya beliau mengacu ke PSC (1985-1994), yang mana
PDBR turun sebesar 6.5% (Tabel 3). Namun yang membingungkan adalah
ketika beliau menyimpulkan bahwa bagian yang benar benar diterima
pemerintah hanya sebesar 79% (kelihatannya ini pengurangan: 85% -
6.5% = 78.5%).
Menurut saya ini tidak benar: angka 85% diperoleh dari: share
government before tax + (total tax x contractor before tax).
Jadi untuk PSC (1985 1994) : 71.1538% + (48% x 28.8462%) =
85%
Perhitungan yang sama apabila PDBR = 10%, dimana total tax =
41.5% (lihat Tabel 3)
Jadi: 71.1538% + (41.5% x 28.8462%) = 83.1%
Dengan demikian, total bagi hasil pemerintah turun dari dari 85%
menjadi 83.1%, bukan 78.5%
Bagaimana pula komentar IPA
IPA: Berdasarkan perjanjian yang tertera di PSC, bagi basil
antara penterintah dan kontraktor migas ialah 71,1538 % untuk BP
Migas mewakili pemerintah dan 28,8462% untuk kontraktor
migas...
Sama dengan Dirjen pajak, disini IPA mengacu ke PSC (1985 1994),
memang betul bahwa di kontrak hanya disebutkan before tax split
yang angkanya sebesar diatas (hal ini berlaku sejak PSC generasi
kedua untuk mengakomodasi masalah perpajakan kontraktor). Tapi
anehnya, IPA terkesan mengangap bahwa angka angka aneh tersebut
(71.1538%) dan (28.8462%) seolah olah berasal dari langit. Padahal
angka angka itu ada asal muasalnya, yaitu: perhitungan Gross-up
dengan asumsi corporate tax 35% dan PDBR 20% (lihat Tabel 2).
Kalau seandainya ada tax treaty yang mengatakan PDBR kurang dari
20% (misal seperti dengan UK = 10%), konsekuensinya, perhitungan
gross up mesti diubah seperti Tabel 4, berikut:
Tabel 4
Silahkan saja menggunakan Tax treaty lebih rendah dari 20%, tapi
bagian kontraktor sebelum pajak pun harus di-adjust untuk
mempertahankan angka keramat 85% : 15%. Dalam hal ini, untuk KKKS
tersebut (kasus PSC 1985- 1994), seharusnya bagiannya bukan
28.8462% tetapi diturunkan menjadi 25.6410%. Apabila hal ini tidak
dilakukan, maka kontrak bagi hasil nya selama ini bukanlah 85:15,
melainkan 83:17.
Migas Non-Konvensional dan Geopolitik Energi di Masa Depan
Di industri migas, adanya migas non-konvensional, seperti: shale
oil, oil sand, shale gas, tight sand dan coal-bed methane (gas
metana batubara), sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Potensi
migas non-konvensional yang kaya organik di beberapa perusahaan
migas selama ini sudah teridentifikasi namun relatif diabaikan
karena sangat rendahnya permeabilitas yang mencerminkan kesulitan
untuk mengalirkan migas tersebut.
Sumber daya migas non-konvensional ini sangat besar, berbeda
dengan migas konvensional, dimana keberhasilan eksplorasi menjadi
salah satu kunci sukses utama. Pada migas non-konvensional karena
lokasi sumber daya sudah teridentifikasi, isu utamanya adalah
apakah cukup ekonomis memproduksikan akumulasi lapisan tersebut.
Aplikasi teknologi perekahan (fracturing) dan pemboran horizontal
yang umum digunakan pada sumur migas konvensional, merupakan
terobosan dalam rangka memproduksikan akumulasi migas
non-konvensional.
Di Amerika Serikat (AS), sejak tahun 2006 produksi shale gas
meningkat luar biasa. Hal ini berakibat turunnya harga gas secara
dramatis disana. Harga gas spot Henry-Hub, tahun 2006 mencapai 13 $
per mmbtu, saat ini hanya berharga antara 2 - 3 $ per mmbtu.
Adanya revolusi gas non-konvensional ini sedikit banyak akan
mempengaruhi geopolitik energi. Tambahan produksi gas
non-konvensional pada masa yang akan datang akan berpengaruh
terhadap rute perdagangan LNG global. Majalah Petroleum Economist
(edisi April 2012) menulis ancaman serius shale gas dari AS akan
dirasakan oleh LNG Australia yang sedang melakukan investasi besar
besaran. Impor LNG dari shale gas di AS diperkirakan akan lebih
murah karena harganya mengacu kepada Henry- Hub yang merupakan
harga patokan gas di Amerika Serikat. Sementara harga LNG
tradisional umumnya mengacu kepada harga minyak.
Sementara untuk minyak non-konvensional, tambahan pasokan
berasal dari shale/tight oil di AS dan oil sand/tar sand di Kanada.
Akibatnya, sebagaimana diperkirakan oleh pakar migas Leonardo
Maugeri, produksi minyak AS dalam satu dekade kedepan akan
mendekati 12 juta barel per hari, nomor dua di dunia setelah Saudi
Arabia. Begitu pula dengan Kanada, tambahan produksi minyak akibat
kegiatan migas non-konvensional akan meningkat signifikan, mereka
akan menjadi salah satu dari 5 besar produsen minyak dunia.
Sementara Brazil pada dekade kedepan, melalui produksi dari wilayah
Laut Dalam, produksi minyak (konvensional) mereka akan sedikit
diatas 4 juta barel per hari, meningkat 100% dari produksi saat
ini.
Tambahan produksi minyak dunia kedepan akan di dominasi oleh
empat negara, tiga dari wilayah Amerika (AS, Kanada dan Brazil),
ditambah Irak yang mewakili wilayah klasik Timur Tengah melalui
tambahan produksi dari sumur sumur minyak yang di rehabilitasi
akibat kerusakan pada masa perang. Meningkatnya aktivitas minyak
non-konvensional di AS ini akan secara dramatis mengurangi
kebutuhan impor minyak negara tersebut.
Dari beberapa seminar internasional yang dihadiri penulis satu
tahun terakhir, tidak sedikit pengamat minyak internasional
terkenal berpendapat bahwa implikasi dari tambahan produksi minyak
non-konvensional dapat menekan harga minyak. Namun demikian,
keekonomian pengembangan migas non-konvensional secara global, pada
saat ini memerlukan harga minyak paling tidak sekitar 70 $ per
barel. Dibawah harga ini, sebagian proyek migas non-konvensional
khususnya diluar AS menjadi kurang menarik.
Sumber daya (resources) migas non-konvensional di dunia sangat
melimpah, pertanyaannya: apakah kesuksesan pengembangannya di AS
dan Kanada dapat dengan mudah di copy paste oleh negara lain?
Jawabannya: tidak, khususnya dalam jangka pendek. Kesuksesan
industri migas non-konvensional di kedua negara tersebut disamping
tersedianya sumber daya migas non-konvensional yang sangat besar,
juga didukung oleh adanya akses terhadap sistem pipanisasi lokal,
faktor jarak yang relatif dekat antara lokasi proyek dengan
konsumen, ditambah lagi dengan banyaknya perusahaan penyedia jasa
untuk kegiatan hulu migas dan ketersediaan infrastruktur. Adanya
kompetisi sesama perusahaan yang terlibat dalam pengembangan gas
non-konvensional mendorong terjadinya penurunan biaya. Disamping
itu di AS agak unik, berbeda dengan negara lain dimana migas
merupakan kekayaan yang dikuasai negara, di AS, migas merupakan
kepemilikan privat (private ownerhip of mineral rights). Tentu saja
faktor harga gas domestik yang tinggi selama periode 2005 - 2008
juga menjadi pendorong sehingga proyek menjadi ekonomis.
Isu lingkungan
Sejauh ini, tantangan yang dihadapi pada saat pengembangan migas
non-konvensional adalah isu lingkungan. Penggunaan teknologi
fracturing yang sangat intensif melalui injeksi air dan zat kimia
tambahan ke dasar sumur dengan volume yang besar besaran diyakini
beberapa pihak akan menyebabkan kerusakan dan kontaminasi air tanah
serta masalah lingkungan lainnya. Beberapa negara khususnya di
daratan Eropa sangat serius menangani isu lingkungan ini. Perancis
mengeluarkan larangan kegiatan fracturing untuk eksploitasi shale
gas sampai ada teknologi yang dianggap lebih akrab lingkungan.
Eksploitasi minyak non-konvensional, seperti: oil sand juga
menghadapi tantangan serupa, mengingat emisi karbon relatif lebih
besar dihasilkan oleh minyak non-konvensional. Pada saat ini, isu
lingkungan sedang dicarikan solusinya, termasuk kajian seberapa
jauh kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan
fracturing.
Pembelajaran
Dalam satu dekade kedepan, diperkirakan peta geopolitik energi
akan berubah, salah satu faktor penyebabnya tak lain adalah
revolusi pada industri migas non-konvensional. Pembelajaran apa
sekiranya dapat kita petik dari negara yang diperkirakan akan
memberikan tambahan pasokan minyak secara signifikan pada masa
datang, seperti: Brazil dan AS.
Dari pengalaman negara tersebut, tampaknya diperlukan suatu
pemicu agar suatu kebijakan energi secara umum dan terobosan
peningkatan produksi migas secara khusus akan berhasil pada masa
depan. Sebagai ilustrasi: kisah sukses industri migas di Brazil
berangkat dari keprihatinan dimana berdasarkan hasil survey di
darat tahun 1960-an, tidak banyak ditemukan cadangan minyak disana.
Menyadari sebagai negara miskin minyak, pemerintah mengeluarkan
kebijakan yang intinya mencari cara supaya minyak digunakan secara
lebih efisien dan sedapat mungkin beralih dari minyak. Dalam rangka
mengurangi pengeluaran untuk impor minyak, pemerintah memutuskan
membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang diharapkan
dapat mengurangi kebutuhan minyak pada pembangkit listrik di masa
yang akan datang, membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA)
dan meluncurkan program bahan bakar ethanol. Pajak bahan bakar
minyak ditingkatkan untuk mendorong efisiensi energi dan
menghindari pemborosan bahan bakar minyak.
Pemerintah pada saat yang sama mendorong perusahaan minyak
nasional (Petrobras) untuk mempercepat program pemenuhan kebutuhan
minyak domestik. Tahun 1995 terjadi deregulasi untuk sektor migas.
Petrobras di privatisasi, hak monopolinya kemudian dicabut.
Pemerintah mendirikan National Petroleum Agency (ANP) yang
bertanggung jawab terhadap urusan penawaran wilayah kerja dan
mengatur kegiatan baik hulu maupun hilir. Deregulasi ini bertujuan
agar Petrobras terbiasa berkompetisi, meningkatkan transparansi
fiskal dan mengundang investor asing di sektor migas. Kegiatan
eksplorasi meningkat sehingga terjadi banyak temuan cadangan minyak
besar pertengahan tahun 2000-an dari lokasi laut dalam. Prinsip
bersakit sakit dahulu ini berbuah sukses. Padahal 32 tahun yang
lalu, produksi minyak di Brazil hanya 200 ribu barel per hari,
sementara konsumsi minyak pada saat itu mencapai 1.2 juta barel per
hari. Saat ini, Brazil menjadi negara net eksporter minyak dan
produksinya akan cenderung terus meningkat dekade ke depan dengan
berproduksinya lapangan lapangan baru dari lokasi laut dalam
tersebut. Terobosan shale gas di AS tidak terlepas dari pemicu yang
membuat mereka menderita, yaitu: tingginya harga gas pada tahun
2005 serta kekhawatiran impor LNG akan terus meningkat pada saat
itu. Padahal dari sisi insentif pajak, sejak tahun 1990-an sudah
ada insentif untuk pengembangan migas non-konnvensional. Insentif
saja rupanya tidak cukup, perlu pemicu yang membuat orang menjadi
was was sehingga terpaksa menjadi kreatif dengan terobosan aplikasi
teknologi dan lain lain.
Belajar dari pengalaman diatas, untuk kasus di tanah air,
kelihatannya sekedar himbauan penghematan dan lain lain, rasanya
akan kurang effektif. Untuk urusan kebijakan energi, bangsa ini
perlu pemicu yang mungkin pada awalnya tidak terlalu nyaman. Dalam
posisi yang kepepet, dorongan kreativitas dan optimalisasi sumber
daya dan usulan kebijakan seharusnya bukan lagi pada tatanan wacana
tetapi sudah menjadi kewajiban yang mau tidak mau harus
dilaksanakan. Sehingga kita tidak hanya menjadi penonton dan
semakin sangat tergantung terhadap impor energi di masa depan.