Top Banner
Kegagalan mengurai akar masalah industri migas Kalau kita cermati Industri migas mancanegara, tata kelola sektor migas terdiri dari tiga fungsi, yaitu: kebijakan (policy), regulasi (regulatory) dan komersial (commercial). Perbedaannya hanya pada bagaimana negara tersebut memisahkan atau tidak memisahkan fungsi tersebut. Mark Thurber dan kawan kawan dari Universitas Stanford (2011) mengkaji sejauh mana pengaruh pengaturan fungsi tersebut terhadap kinerja sektor hulu migas. Ada negara yang secara tegas memisahkan tiga fungsi tersebut, seperti: Norwegia, Brazil, Aljazair, Meksiko dan Nigeria. Ada negara yang tidak memisahkan fungsi tersebut, dalam arti fungsi regulasi dirangkap dengan fungsi komersial, atau fungsi regulasi jadi satu dengan fungsi kebijakan. Arab Saudi, Malaysia, Angola, Russia, dan Venezuela termasuk negara yang tidak secara tegas memisahkan fungsi fungsi tersebut. Terlepas apakah tiga fungsi tersebut secara tegas dipisahkan atau tidak, fungsi komersial selalu dilakukan oleh Perusahaan migas milik negara (state-owned NOC). Untuk negara maju, seperti UK, USA, Australia, Kanada dan lain lain, karena NOC sudah tidak ada lagi karena sebelumnya sudah di privatisasi, maka fungsi komersial dilakukan oleh pihak swasta atau perusahaan minyak internasional (IOC). Dalam hal ini jelas bahwa fungsi komersial, artinya keterlibatan langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas hanya bisa dilakukan oleh perusahaan (NOC) dan atau bersama sama dengan IOC. Di Indonesia, fungsi komersial, dalam konteks keterlibatan langsung pemerintah dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas jelas hanya dapat dilakukan oleh Pertamina. Timbulnya permasalahan migas di tanah air ini, menurut pendapat penulis lebih disebabkan oleh fakta bahwa Pertamina sebagai NOC sejauh ini memiliki kontribusi produksi terhadap produksi nasional yang relatif kecil dibandingkan NOC di negara lain.
19

Kegagalan Mengurai Akar Masalah Industri Migas

Sep 12, 2015

Download

Documents

Industri Migas
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Kegagalan mengurai akar masalah industri migas Kalau kita cermati Industri migas mancanegara, tata kelola sektor migas terdiri dari tiga fungsi, yaitu: kebijakan (policy), regulasi (regulatory) dan komersial (commercial). Perbedaannya hanya pada bagaimana negara tersebut memisahkan atau tidak memisahkan fungsi tersebut. Mark Thurber dan kawan kawan dari Universitas Stanford (2011) mengkaji sejauh mana pengaruh pengaturan fungsi tersebut terhadap kinerja sektor hulu migas. Ada negara yang secara tegas memisahkan tiga fungsi tersebut, seperti: Norwegia, Brazil, Aljazair, Meksiko dan Nigeria. Ada negara yang tidak memisahkan fungsi tersebut, dalam arti fungsi regulasi dirangkap dengan fungsi komersial, atau fungsi regulasi jadi satu dengan fungsi kebijakan. Arab Saudi, Malaysia, Angola, Russia, dan Venezuela termasuk negara yang tidak secara tegas memisahkan fungsi fungsi tersebut.

Terlepas apakah tiga fungsi tersebut secara tegas dipisahkan atau tidak, fungsi komersial selalu dilakukan oleh Perusahaan migas milik negara (state-owned NOC). Untuk negara maju, seperti UK, USA, Australia, Kanada dan lain lain, karena NOC sudah tidak ada lagi karena sebelumnya sudah di privatisasi, maka fungsi komersial dilakukan oleh pihak swasta atau perusahaan minyak internasional (IOC).

Dalam hal ini jelas bahwa fungsi komersial, artinya keterlibatan langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas hanya bisa dilakukan oleh perusahaan (NOC) dan atau bersama sama dengan IOC.

Di Indonesia, fungsi komersial, dalam konteks keterlibatan langsung pemerintah dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas jelas hanya dapat dilakukan oleh Pertamina. Timbulnya permasalahan migas di tanah air ini, menurut pendapat penulis lebih disebabkan oleh fakta bahwa Pertamina sebagai NOC sejauh ini memiliki kontribusi produksi terhadap produksi nasional yang relatif kecil dibandingkan NOC di negara lain.

Kecilnya bagian produksi Pertamina kemudian memberikan kesan bahwa NOC kita inferior di negeri sendiri, dalam bahasa pengamat kedaulatan migas jatuh ke tangan asing. Kenapa hal ini dapat terjadi?, bisa jadi selama beberapa dekade industri migas, Pemerintah sudah merasa nyaman menikmati posisi sebagai juragan yang hanya menerima bagi hasil dari kontraktor (IOC) tanpa mau terlibat langsung dalam arti ikut berinvestasi besar besaran di sektor migas melalui NOC (Pertamina).

Ikut berinvestasi di sektor hulu migas ini yang dilakukan di semua negara produsen migas di dunia, sehingga bagian produksi NOC mereka menjadi sangat besar. Jadi disini kata kuncinya adalah investasi atau terlibat langsung, bukan dengan mengutak atik pilihan untuk memisahkan atau menggabungkan fungsi tersebut. Sejak UU 8/1971, Pertamina pernah merangkap peran komersial dan regulasi/supervisi, kenyataan menunjukkan bagian produksinya sangat kecil terhadap produksi nasional. Kenapa? karena pemerintah kelihatannya tidak berniat untuk investasi langsung di sektor hulu (penerimaan hasil migas tidak di investasikan kembali secara signifikan ke sektor hulu migas melalui Pertamina atau dikenal dengan istilah plough back). Sejak UU migas 22/2001 sebenarnya ada peningkatan bagian produksi Pertamina terhadap total produksi migas nasional, namun masih belum cukup besar.

Sejarah menunjukkan, Pertamina sudah pernah memainkan kedua peran tersebut (yang sering disebut wasit merangkap pemain melalui UU 8/1971) dan peran pemisahan (UU 22/2001). Sekarang kita akan membuat UU Migas baru (merevisi UU lama?). Percayalah permasalahan akan terulang kalau hanya bertujuan agar NOC sebagai pihak yang berkontrak langsung dengan IOC tanpa ada niat Pemerintah untuk meningkatkan investasi sektor hulu. Tentu kurang fair membandingkan dengan Petronas yang didukung penuh oleh Pemerintah untuk melakukan ekspansi di sektor hulu migas. Apabila selama ini, investasi hulu migas Pertamina didukung penuh khususnya dari aspek finansial oleh Pemerintah, saya kira kesan awam bahwa industri migas nasional dijajah asing tidak akan terjadi.

Terkait ribut ribut apakah kontrak Business to Business (B2B) atau Business to Government (B2G). Pada dasarnya dua hal tersebut bisa saja dilakukan. PSC di India, Oman, Yaman dan Jordania yang berkontrak adalah Pemerintah (Kementrian) dengan perusahaan migas internasional (B2G), di Malaysia yang berkontrak Petronas dan IOC (B2B), di Brazil yang berkontrak Pemerintah (diwakili ANP yang berada dibawah Kementrian) dengan perusahaan migas (B2G). Kontrak kesepakatan LNG Papua Nugini berlangsung antara Pemerintah dengan Perusahaan migas Esso (B2G) dan lain lain. Apakah betul negara tersebut merasa posisinya jatuh karena berkontrak langsung dengan Perusahaan asing? Apakah betul IOC tidak mau berkontrak dengan Badan pemerintah yang tidak punya aset? Apakah kalau B2B menjamin bahwa Pemerintah kebal dari tuntutan investor asing?.

Investor asing itu tentu saja tidak bodoh, mereka punya proteksi berlapis, tidak hanya melalui dokumen kontrak (concession agremeent maupun production sharing agreement). Katakanlah kontraknya adalah B2B, ketika ada sengketa diantara pihak yang berkontrak, disamping menuntut BUMN yang berkontrak dengan mereka, investor asing juga bisa menyeret Pemerintah yang bersangkutan ke arbitrase internasional melalui jalur lain, dalam ini Bilateral Investment Treaty (BIT). Hal ini terjadi dalam kasus ExxonMobil vs. PDVSA (NOC milik Pemerintah Venezuela), mereka berdua yang berkontrak (B2B), namun ketika terjadi sengketa, oleh ExxonMobil, Pemerintah Venezuela pun diseret ke arbitrase internasional (ICSID, International Centre for Settlement of Investment Disputes) melalui mekanisme BIT tersebut.

Dengan demikian, tidak tepat saat ini kalau ada yang mengatakan bahwa Pemerintah akan bebas dari tuntutan ke arbitrase internasional dengan pilihan B2B. Apapun pilihannya, selama itu melibatkan investor asing, resiko ini tetap terbuka. Jangan sampai nanti masyarakat awam kecewa dan terheran heran ketika suatu saat Pemerintah dituntut oleh investor asing ke arbitrase internasional sementara bisnisnya menggunakan B2B.

Mari kita kawal agar UU Migas baru ini merupakan bagian dari solusi terhadap akar permasalahan (bukan produk trial & error), dan bukan pula hanya mendengarkan opini segelintir pengamat yang senang membungkusnya dengan embel embel kemakmuran rakyat.Kisruh Migas dan Keberpihakan Pemerintah

Industri hulu migas tidak pernah lepas dari headline media nasional belakangan ini, mulai dari isu cost recovery, pengaturan blok migas yang akan berakhir, seperti: Blok Mahakam dan puncaknya pembubaran BPMIGAS berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Latar BelakangIndonesia dikenal sebagai pelopor penggunaan Production Sharing Contract (PSC) yang dimulai pada awal tahun 60-an. Pada era yang sama di mancanegara, negara negara produsen minyak juga sedang mencari pola pengaturan fiskal dalam kontrak migas yang lebih berimbang bagi negara sebagai pemilik sumber daya alam, termasuk sebagian diantaranya melakukan nasionalisasi.

PSC di Indonesia di adopsi dari sistem paron yang biasa dilakukan dalam penggarapan sawah, yang intinya berbagi hasil antara pemilik dan penggarap dengan porsi tertentu (misal: 50% - 50%). Di Negara Timur Tengah, negara produsen, tetap menggunakan mekanisme konsesi, namun ditambahkan hak partisipasi progresif dimana porsi bagian pemerintah (diwakili perusahaan minyak milik negara/ National oil Company/NOC) terus meningkat dengan berjalannya waktu. Bahkan akhirnya ada yang mencapai 100% seperti Saudi Aramco.

Peran NOCSekedar perbandingan, bagian NOC terhadap total produksi nasional untuk NOC dari negara negara anggota OPEC, seperti: Aramco (Saudi Arabia), NIOC (Iran), KOC (Kuwait), PDVSA (Venezuela) dan QP (Qatar) mencapai lebih dari 90% produksi domestik. Sedangkan NOC dari negara non-OPEC yang menguasai 90% produksi nasional, antara lain: Pemex (Meksiko) dan Petrobras (Brazil). LNOC (Libya) dan Sonatrach (Aljazair) menguasai 80% produksi domestik. Petronas (Malaysia), NNPC (Nigeria), ADNOC (UAE) dan CNPC (China) menguasai lebih dari separuh produksi nasional. Bahkan Sonangol (Angola) yang masih terhitung NOC yang muncul belakangan, bagiannya dari total produksi nasionalnya sudah mencapai sekitar 40%. Sementara Pertamina tidak lebih dari 25% produksi nasional.

Kalau kita melihat perspekstif sejarah, tampaknya visi dan keberpihakan negara terhadap NOC dapat dikatakan masih minimal. Partisipasi pemerintah melalui NOC pada PSC Indonesia hanya berupa pilihan opsi untuk berpartisipasi sebesar 10%, dimana besaran tersebut tetap (tidak progresif).

PSC secara konsep adalah ide yang brilian karena mengatur bagaimana negara dan investor berbagi imbal hasil yang proporsional, sementara resiko sepenuhnya ditanggung investor. Namun demikian, dari sisi peningkatan peran NOC, kelihatannya sejauh ini belum di optimalkan. Rupanya kita masih terpaku pada sistem paron, yang secara tegas membedakan mana pemilik dan mana penggarap, jangan jangan memang tidak pernah terpikirkan bahwa kelak suatu saat (seharusnya) NOC sendirilah yang akan menjadi penggarap utama. Jadi kalau saat ini kontribusi Pertamina masih dibawah 25%, tentu bukan suatu yang mengherankan.

Tata Kelola MigasTerkait dengan hubungan antara tata kelola industri migas dan kinerja sektor hulu migas, Mark Thurber dan kawan kawan dari Universitas Stanford melakukan studi (2011) sejauh mana pengaruh pemisahan tiga fungsi (kebijakan, regulasi dan komersial) terhadap kinerja produksi migas di beberapa negara eksportir minyak. Negara yang dipilih sebagai sampel adalah: Aljazair, Brazil, Meksiko, Nigeria dan Norwegia yang mewakili negara yang memisahkan ketiga fungsi tersebut. Sementara: Angola, Malaysia, Russia, Saudi Arabia dan Venezuela, mewakili negara yang tidak melakukan pemisahan. Kesimpulan studi menunjukkan sedikit korelasi, dimana hanya dua negara, yaitu: Norwegia dan Brazil yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa pemisahan tiga fungsi tersebut berkorelasi positif terhadap kinerja sektor hulu migas. Sebaliknya, Saudi Arabia dan Malaysia, yang tidak memisahkan ketiga fungsi diatas, ternyata juga mempunyai kinerja sektor hulu migas yang baik. Negara negara yang juga melakukan pemisahan ketiga fungsi tersebut, seperti: Nigeria dan Aljazair sejauh ini dianggap kurang berhasil karena pemisahan tersebut hanya formalitas dan banyak menghadapi tantangan internal. Sementara Meksiko berpotensi untuk melakukan perbaikan kinerja sektor hulu, namun efektivitas pemisahan fungsi masih harus diuji mengingat fungsi regulasi (Komisi Hidrokarbon Nasional) baru dibentuk pada tahun 2008. Perlu dicatat bahwa dari sepuluh negara yang dijadikan sampel pada studi ini, semua NOC nya mempunyai bagian yang sangat besar terhadap produksi minyak domestik mereka.

Model tata kelola dari negara lain ini tentunya dapat dijadikan pembelajaran. Keinginan untuk mensterilkan Pemerintah dari kemungkinan tuntutan di arbitrase internasional ketika terjadi sengketa bisnis dengan tidak terlibat langsung sebagai pihak yang berkontrak perlu dikaji dengan seksama. Perkembangan belakangan menunjukkan bahwa model Business to Business (B 2 B) tidak selalu menjamin bahwa Pemerintah bisa sama sekali steril. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi sengketa antara ExxonMobil vs. PDVSA untuk salah satu blok di Venezuela dimana Pemerintah Venezuela juga dituntut oleh Exxon Mobil, padahal Pemerintah bukan pihak yang berkontrak. Perkembangan sengketa migas internasional belakangan sebaiknya di observasi sebagai bahan pertimbangan nantinya.

Gejala dan akar masalahSalah satu penyebab maraknya berbagai isu migas ditanah air adalah kegagalan memahami perbedaan antara gejala dan akar permasalahan. Ketika isu cost recovery muncul, banyak yang serta merta menuding bahwa PSC adalah akar masalahnya sehingga harus dicari sistem atau mekanisme baru. Padahal masalah cost recovery ini tidak terjadi di industri migas di negara lain. Seandainya ada masalah mark-up dan semacamnya, yang tentu saja dapat terjadi pada model kontrak migas selain PSC (konsesi dan service contract), bukankah oknumnya yang harus ditindak?. Kenapa memaksakan penggunaan mekanisme lain yang bisa jadi malah mengakibatkan penurunan penerimaan bagian negara (Government Take)?.

Dalam satu kesempatan workshop dalam rangka pertukaran informasi dan pengalaman dengan negara produsen migas terkait pelaksanaan kontrak migas di masing masing negara. Penulis sempat mengangkat ramainya isu cost recovery di tanah air. Para pakar ekonomi migas dari negara lain tersebut cukup heran, mereka mengatakan: kami tidak ada masalah dengan cost recovery, kalau ada indikasi penggelembungan biaya dan terbukti, tentu kami kirim ke penjara. Sementara di tanah air, permasalahan ini dijawab dengan mencari cari model kontrak migas lain. Siapa yang menjamin tidak akan terjadi masalah yang sama?. Rupanya kita lebih memilih membakar lumbungnya ketimbang membunuh oknum tikusnya.

Kisruh migas nasional ini sebenarnya dapat dicegah seandainya keberpihakan pemerintah terhadap NOC (dalam hal ini Pertamina) terus di prioritaskan dalam rangka meningkatkan bagian produksi Pertamina terhadap produksi nasional. Ada beberapa keuntungan apabila Pertamina mempunyai partisipasi signifkan dalam suatu blok migas, antara lain: adanya jaminan pasokan energi untuk keperluan domestik dan isu cost recovery akan dapat diminimalkan. Disamping itu, meningkatnya produksi dan cadangan Pertamina akan berpengaruh terhadap posisi tawar menawar mereka di kancah bisnis hulu migas internasional. Adapun tantangan opsi ini yang paling utama adalah masalah keperluan pendanaan yang tentunya tidak sedikit.

Selama ini kisruh cost recovery antara pihak pemerintah dan perusahaan migas internasional lebih disebabkan oleh adanya informasi yang tidak berimbang (asymetric information) antara orang dalam (perusahaan migas internasional) dan pemerintah sebagai orang luar. Dengan terlibatnya NOC pada suatu blok sebagai mitra perusahaan asing, maka isu cost recovery otomatis akan berkurang karena Pertamina sebagai kepanjangan tangan Pemerintah seyogyanya ikut mengawasi penggunaan biaya dari dalam (internal) sehingga diharapkan tidak ada lagi masalah informasi yang tidak berimbang tersebut. Mungkin hal ini pulalah yang menyebabkan kenapa isu cost recovery hampir tidak terdengar di negara produsen minyak lain di mancanegara yang juga menggunakan mekanisme PSC.

Semoga kisruh hulu migas nasional ini menjadi pembelajaran bersama dan sebagai bahan intropeksi bagi semua pihak dalam rangka menuju pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik pada masa yang akan dating.Pajak Perusahaan Migas dan Traktat Pajak Kenapa Ribut? Beberapa bulan yang lalu, kita melihat di mass media isu mengenai masalah pembayaran pajak perusahaan minyak. Karena masalah pajak sendiri mungkin bermacam macam, maka dalam tulisan ini, kita fokuskan saja tinjauan yang ada kaitannya dengan ketidaksepahaman (dispute) mengenai Branch Profit Tax atau pajak atas bunga dividen dan royalti (PBDR) akibat adanya Tax treaty (Traktat pajak).

Berita di mass media, saya kira tidak saja membingungkan bagi orang awam, buat orang migas dan pajak pun kelihatan sama sama bingung. Mari kita kutip berita yang simpang siur:

Harian Kontan (3 Agustus 2011) Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany, mengatakan,porsi bagi hasil yang benar-benar diterima pemerintah hanya sekitar 79%. Sekitar 6% hingga 6,5% jatah pemerintah berkurang karena ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) yang mengatur pajak bunga dividen dan royalti (PBDR) yang diteken Pemerintah Indonesia dengan negara asal perusahaan migas asing. Di dalam perjanjian tersebut, tarif PBDR lebih kecil dari yang berlaku di Indonesia yakni sebesar 20%. Perjanjian dengan negara-negara yang menganut hukum Inggris, misalnya, tarifnya cuma sebesar 10% dan Malaysia 12,5%.

Harian Kontan ( 22 Agustus 2011) - Menurut IPA (Indonesian Petroleum Association), bagi hasil sebesar 85%:15% tidak pernah ada di dalam kontrak yang disebut production sharing contract (PSC) antara pemerintah dan kontraktor migas.

"Selama ini persepsi 85%:15% salah, bagi basil itu sudah tidak ada lagi. Pembagian tersebut berlaku pada tahun 1978. Sedangkan sekarang, kontrak yang berlaku adalah yang mencantumkan split gross sebelum pajak," kata Vice President IPA Sammy Hamzah, Jumat (19/8). Berdasarkan perjanjian yang tertera di PSC, bagi basil antara penterintah dan kontraktor migas ialah 71,1538 % untuk BP Migas mewakili pemerintah dan 28, 8462% untuk kontraktor migas.

IPA menyatakan, tidak ada aturan yang dilanggar oleh kontraktor, dari sisi perundangan-undangan pajak maupun ketentuan kontrak kerjasama"Seharusnya penerapan tarif pajak di dalam treaty oleh kontraktor juga dihormati," ajar Hamzah

Wajar saja bapak bapak diatas membela institusi dan organisasi masing masing, sekarang mari kita lihat bagaimana cerita ini, dari mana (dan apa benar?) angka angka yang dirilis diatas.

Latar belakang PSC Indonesia.

Prinsip PSC generasi pertama (1966 1975) adalah :

1. Cost Recovery dibatasi sebesar 40% dari total pendapatan per tahun.

2. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery (60%) dibagi antara Pertamina dan Kontraktor sebesar 65% : 35% (dimana 65% bagian Pemerintah sudah termasuk pajak Kontraktor).

3. Kontraktor diwajibkan memasok 25% dari bagian produksinya untuk keperluan DMO dengan harga USD 0.20/barrel.

Pada PSC generasi pertama, aspek perpajakan belum jelas pengaturannya, bagian Pemerintah sebesar 65% dianggap sudah termasuk pajak yang dibayar oleh Kontraktor. Perubahan PSC term menjadi PSC generasi kedua ini dilakukan untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi di negara asal Kontraktor. Perubahan tersebut adalah tidak diakuinya pajak penghasilan Kontraktor di Indonesia oleh kantor pajak negara asal, dengan demikian tax credit Kontraktor tidak diizinkan lagi. Oleh karena itu PSC term perlu dimodifikasi sehingga tidak merugikan Kontraktor dalam rangka memanfaatkan fasilitas tax credit di negara asalnya.

Perubahan yang dilakukan pada PSC generasi kedua (1976 1988) ini adalah sebagai berikut :

1. Cost recovery tidak lagi dibatasi dan didasarkan pada Generally Accepted Acounting principle (GAAP).

2. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery, Kemudian dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor masing masing sebesar 65.91% : 34.09% (minyak) 31.82% : 68.18% (gas).

3. Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak pendapatan dan 20% pajak dividen), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak adalah : 85% : 15% (minyak) dan 70% : 30% (gas).

4. Dengan adanya undang undang pajak tahun 1984 dimana total pajak turun dari 56% menjadi 48%, maka untuk mempertahankan pembagian (share) diatas, pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71.15% : 28.85% (minyak) dan 42.31% : 57.69% (gas).

5. Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20% dari pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi.

6. Pengeluaran kapital dapat didepresiasi selama 7 tahun dengan metoda Double Declining Balance (DDB).

Anjloknya harga minyak menjadi masalah bagi Pemerintah mengingat minyak menyumbang kontribusi besar bagi APBN. Untuk lapangan lapangan yang sudah mulai menurun produksinya, minyak yang akan dibagi sudah tinggal sedikit, dengan tidak dibatasinya Cost Recovery, bisa jadi sudah tidak ada lagi minyak yang dibagi, hal ini bertentangan dengan semangat berbagi produksi (production sharing) itu sendiri.

Perlunya jaminan pendapatan bagi Pemerintah melandasi lahirnya PSC generasi 3 (PSC generasi 3 dimulai sejak 1988). Untuk itulah pada PSC generasi 3 diperkenalkan istilah First Tranche Petroleum (FTP) yang besarnya 20%. Ini berarti 20% dari produksi (sebelum dikurangi Cost Recovery) akan dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor.

Perpajakan PSC Indonesia

Besarnya tingkat pajak perusahaan (Corporate tax) terus mengalami perubahan (lihat Tabel-1 dibawah). Branch profit tax atau PDBR besarnya 20%, untuk menghitung PDBR = 20% x (1-corporate tax). Total Tax = Corporate tax + PDBR (Tabel -1)

Tabel -1

Sejak PSC generasi kedua, supaya tidak menimbulkan masalah pajak bagi kontraktor, maka bagian pemerintah yang 85% sudah termasuk pajak (after tax). Untuk mengetahui berapa besar keuntungan sebelum pajak (before tax) bagi kontraktor, maka dilakukan perhitungan gross up, yang mana: before tax = after tax/ (1 total tax). Angka angka (before tax) inilah yang kemudian muncul didalam kontrak PSC.

Tabel 2

Apa yang terjadi dengan adanya Tax treaty yang ternyata lebih rendah dari 20%, misalnya UK = 10%, maka tentu saja PDBR akan turun, begitu pula total tax-nya (Tabel 3)Tabel 3

Sekarang mari kita lihat komentar bapak bapak diatas:

Dirjen Pajak: ..hasil yang benar-benar diterima pemerintah hanya sekitar 79%. Sekitar 6% hingga 6,5% jatah pemerintah berkurang karena ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty..)

Disini kelihatannya beliau mengacu ke PSC (1985-1994), yang mana PDBR turun sebesar 6.5% (Tabel 3). Namun yang membingungkan adalah ketika beliau menyimpulkan bahwa bagian yang benar benar diterima pemerintah hanya sebesar 79% (kelihatannya ini pengurangan: 85% - 6.5% = 78.5%).

Menurut saya ini tidak benar: angka 85% diperoleh dari: share government before tax + (total tax x contractor before tax).

Jadi untuk PSC (1985 1994) : 71.1538% + (48% x 28.8462%) = 85%

Perhitungan yang sama apabila PDBR = 10%, dimana total tax = 41.5% (lihat Tabel 3)

Jadi: 71.1538% + (41.5% x 28.8462%) = 83.1%

Dengan demikian, total bagi hasil pemerintah turun dari dari 85% menjadi 83.1%, bukan 78.5%

Bagaimana pula komentar IPA

IPA: Berdasarkan perjanjian yang tertera di PSC, bagi basil antara penterintah dan kontraktor migas ialah 71,1538 % untuk BP Migas mewakili pemerintah dan 28,8462% untuk kontraktor migas...

Sama dengan Dirjen pajak, disini IPA mengacu ke PSC (1985 1994), memang betul bahwa di kontrak hanya disebutkan before tax split yang angkanya sebesar diatas (hal ini berlaku sejak PSC generasi kedua untuk mengakomodasi masalah perpajakan kontraktor). Tapi anehnya, IPA terkesan mengangap bahwa angka angka aneh tersebut (71.1538%) dan (28.8462%) seolah olah berasal dari langit. Padahal angka angka itu ada asal muasalnya, yaitu: perhitungan Gross-up dengan asumsi corporate tax 35% dan PDBR 20% (lihat Tabel 2).

Kalau seandainya ada tax treaty yang mengatakan PDBR kurang dari 20% (misal seperti dengan UK = 10%), konsekuensinya, perhitungan gross up mesti diubah seperti Tabel 4, berikut:

Tabel 4

Silahkan saja menggunakan Tax treaty lebih rendah dari 20%, tapi bagian kontraktor sebelum pajak pun harus di-adjust untuk mempertahankan angka keramat 85% : 15%. Dalam hal ini, untuk KKKS tersebut (kasus PSC 1985- 1994), seharusnya bagiannya bukan 28.8462% tetapi diturunkan menjadi 25.6410%. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka kontrak bagi hasil nya selama ini bukanlah 85:15, melainkan 83:17.

Migas Non-Konvensional dan Geopolitik Energi di Masa Depan

Di industri migas, adanya migas non-konvensional, seperti: shale oil, oil sand, shale gas, tight sand dan coal-bed methane (gas metana batubara), sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Potensi migas non-konvensional yang kaya organik di beberapa perusahaan migas selama ini sudah teridentifikasi namun relatif diabaikan karena sangat rendahnya permeabilitas yang mencerminkan kesulitan untuk mengalirkan migas tersebut.

Sumber daya migas non-konvensional ini sangat besar, berbeda dengan migas konvensional, dimana keberhasilan eksplorasi menjadi salah satu kunci sukses utama. Pada migas non-konvensional karena lokasi sumber daya sudah teridentifikasi, isu utamanya adalah apakah cukup ekonomis memproduksikan akumulasi lapisan tersebut. Aplikasi teknologi perekahan (fracturing) dan pemboran horizontal yang umum digunakan pada sumur migas konvensional, merupakan terobosan dalam rangka memproduksikan akumulasi migas non-konvensional.

Di Amerika Serikat (AS), sejak tahun 2006 produksi shale gas meningkat luar biasa. Hal ini berakibat turunnya harga gas secara dramatis disana. Harga gas spot Henry-Hub, tahun 2006 mencapai 13 $ per mmbtu, saat ini hanya berharga antara 2 - 3 $ per mmbtu.

Adanya revolusi gas non-konvensional ini sedikit banyak akan mempengaruhi geopolitik energi. Tambahan produksi gas non-konvensional pada masa yang akan datang akan berpengaruh terhadap rute perdagangan LNG global. Majalah Petroleum Economist (edisi April 2012) menulis ancaman serius shale gas dari AS akan dirasakan oleh LNG Australia yang sedang melakukan investasi besar besaran. Impor LNG dari shale gas di AS diperkirakan akan lebih murah karena harganya mengacu kepada Henry- Hub yang merupakan harga patokan gas di Amerika Serikat. Sementara harga LNG tradisional umumnya mengacu kepada harga minyak.

Sementara untuk minyak non-konvensional, tambahan pasokan berasal dari shale/tight oil di AS dan oil sand/tar sand di Kanada. Akibatnya, sebagaimana diperkirakan oleh pakar migas Leonardo Maugeri, produksi minyak AS dalam satu dekade kedepan akan mendekati 12 juta barel per hari, nomor dua di dunia setelah Saudi Arabia. Begitu pula dengan Kanada, tambahan produksi minyak akibat kegiatan migas non-konvensional akan meningkat signifikan, mereka akan menjadi salah satu dari 5 besar produsen minyak dunia. Sementara Brazil pada dekade kedepan, melalui produksi dari wilayah Laut Dalam, produksi minyak (konvensional) mereka akan sedikit diatas 4 juta barel per hari, meningkat 100% dari produksi saat ini.

Tambahan produksi minyak dunia kedepan akan di dominasi oleh empat negara, tiga dari wilayah Amerika (AS, Kanada dan Brazil), ditambah Irak yang mewakili wilayah klasik Timur Tengah melalui tambahan produksi dari sumur sumur minyak yang di rehabilitasi akibat kerusakan pada masa perang. Meningkatnya aktivitas minyak non-konvensional di AS ini akan secara dramatis mengurangi kebutuhan impor minyak negara tersebut.

Dari beberapa seminar internasional yang dihadiri penulis satu tahun terakhir, tidak sedikit pengamat minyak internasional terkenal berpendapat bahwa implikasi dari tambahan produksi minyak non-konvensional dapat menekan harga minyak. Namun demikian, keekonomian pengembangan migas non-konvensional secara global, pada saat ini memerlukan harga minyak paling tidak sekitar 70 $ per barel. Dibawah harga ini, sebagian proyek migas non-konvensional khususnya diluar AS menjadi kurang menarik.

Sumber daya (resources) migas non-konvensional di dunia sangat melimpah, pertanyaannya: apakah kesuksesan pengembangannya di AS dan Kanada dapat dengan mudah di copy paste oleh negara lain? Jawabannya: tidak, khususnya dalam jangka pendek. Kesuksesan industri migas non-konvensional di kedua negara tersebut disamping tersedianya sumber daya migas non-konvensional yang sangat besar, juga didukung oleh adanya akses terhadap sistem pipanisasi lokal, faktor jarak yang relatif dekat antara lokasi proyek dengan konsumen, ditambah lagi dengan banyaknya perusahaan penyedia jasa untuk kegiatan hulu migas dan ketersediaan infrastruktur. Adanya kompetisi sesama perusahaan yang terlibat dalam pengembangan gas non-konvensional mendorong terjadinya penurunan biaya. Disamping itu di AS agak unik, berbeda dengan negara lain dimana migas merupakan kekayaan yang dikuasai negara, di AS, migas merupakan kepemilikan privat (private ownerhip of mineral rights). Tentu saja faktor harga gas domestik yang tinggi selama periode 2005 - 2008 juga menjadi pendorong sehingga proyek menjadi ekonomis.

Isu lingkungan

Sejauh ini, tantangan yang dihadapi pada saat pengembangan migas non-konvensional adalah isu lingkungan. Penggunaan teknologi fracturing yang sangat intensif melalui injeksi air dan zat kimia tambahan ke dasar sumur dengan volume yang besar besaran diyakini beberapa pihak akan menyebabkan kerusakan dan kontaminasi air tanah serta masalah lingkungan lainnya. Beberapa negara khususnya di daratan Eropa sangat serius menangani isu lingkungan ini. Perancis mengeluarkan larangan kegiatan fracturing untuk eksploitasi shale gas sampai ada teknologi yang dianggap lebih akrab lingkungan. Eksploitasi minyak non-konvensional, seperti: oil sand juga menghadapi tantangan serupa, mengingat emisi karbon relatif lebih besar dihasilkan oleh minyak non-konvensional. Pada saat ini, isu lingkungan sedang dicarikan solusinya, termasuk kajian seberapa jauh kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan fracturing.

Pembelajaran

Dalam satu dekade kedepan, diperkirakan peta geopolitik energi akan berubah, salah satu faktor penyebabnya tak lain adalah revolusi pada industri migas non-konvensional. Pembelajaran apa sekiranya dapat kita petik dari negara yang diperkirakan akan memberikan tambahan pasokan minyak secara signifikan pada masa datang, seperti: Brazil dan AS.

Dari pengalaman negara tersebut, tampaknya diperlukan suatu pemicu agar suatu kebijakan energi secara umum dan terobosan peningkatan produksi migas secara khusus akan berhasil pada masa depan. Sebagai ilustrasi: kisah sukses industri migas di Brazil berangkat dari keprihatinan dimana berdasarkan hasil survey di darat tahun 1960-an, tidak banyak ditemukan cadangan minyak disana. Menyadari sebagai negara miskin minyak, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang intinya mencari cara supaya minyak digunakan secara lebih efisien dan sedapat mungkin beralih dari minyak. Dalam rangka mengurangi pengeluaran untuk impor minyak, pemerintah memutuskan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang diharapkan dapat mengurangi kebutuhan minyak pada pembangkit listrik di masa yang akan datang, membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan meluncurkan program bahan bakar ethanol. Pajak bahan bakar minyak ditingkatkan untuk mendorong efisiensi energi dan menghindari pemborosan bahan bakar minyak.

Pemerintah pada saat yang sama mendorong perusahaan minyak nasional (Petrobras) untuk mempercepat program pemenuhan kebutuhan minyak domestik. Tahun 1995 terjadi deregulasi untuk sektor migas. Petrobras di privatisasi, hak monopolinya kemudian dicabut. Pemerintah mendirikan National Petroleum Agency (ANP) yang bertanggung jawab terhadap urusan penawaran wilayah kerja dan mengatur kegiatan baik hulu maupun hilir. Deregulasi ini bertujuan agar Petrobras terbiasa berkompetisi, meningkatkan transparansi fiskal dan mengundang investor asing di sektor migas. Kegiatan eksplorasi meningkat sehingga terjadi banyak temuan cadangan minyak besar pertengahan tahun 2000-an dari lokasi laut dalam. Prinsip bersakit sakit dahulu ini berbuah sukses. Padahal 32 tahun yang lalu, produksi minyak di Brazil hanya 200 ribu barel per hari, sementara konsumsi minyak pada saat itu mencapai 1.2 juta barel per hari. Saat ini, Brazil menjadi negara net eksporter minyak dan produksinya akan cenderung terus meningkat dekade ke depan dengan berproduksinya lapangan lapangan baru dari lokasi laut dalam tersebut. Terobosan shale gas di AS tidak terlepas dari pemicu yang membuat mereka menderita, yaitu: tingginya harga gas pada tahun 2005 serta kekhawatiran impor LNG akan terus meningkat pada saat itu. Padahal dari sisi insentif pajak, sejak tahun 1990-an sudah ada insentif untuk pengembangan migas non-konnvensional. Insentif saja rupanya tidak cukup, perlu pemicu yang membuat orang menjadi was was sehingga terpaksa menjadi kreatif dengan terobosan aplikasi teknologi dan lain lain.

Belajar dari pengalaman diatas, untuk kasus di tanah air, kelihatannya sekedar himbauan penghematan dan lain lain, rasanya akan kurang effektif. Untuk urusan kebijakan energi, bangsa ini perlu pemicu yang mungkin pada awalnya tidak terlalu nyaman. Dalam posisi yang kepepet, dorongan kreativitas dan optimalisasi sumber daya dan usulan kebijakan seharusnya bukan lagi pada tatanan wacana tetapi sudah menjadi kewajiban yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Sehingga kita tidak hanya menjadi penonton dan semakin sangat tergantung terhadap impor energi di masa depan.