Top Banner
40 KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH 1 Saptana dan Valeriana Darwis Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161 PENDAHULUAN Perubahan lingkungan strategis seperti globalisasi ekonomi dan otonomi daerah menuntut perubahan cara beroperasi kelembagaan-kelembagaan, termasuk kelembagaan penanggulangan kemiskinan di tingkat daerah. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai oleh pengangguran, keterbelakangan dan keterpurukan. Kemiskinan dapat menghambat pencapaian demokrasi, persatuan, dan keadilan, sehingga penanggulangan kemiskinan diperlukan dalam rangka memperkuat landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai dengan pengangguran, keterbelakangan dan keterpurukan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas terhadap kegiatan sosial-ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, sehingga tertinggal jauh dari kelompok masyarakat lain yang mempunyai potensi yang lebih baik. Kemiskinan dapat menghambat pencapaian demokrasi, persatuan dan keadilan, sehingga penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu kebijakan utama yang diperlukan untuk memperkuat landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Berkaitan erat dengan hal ini, maka penanggulangan kemiskinan: (1) merupa- kan masalah yang tidak dapat ditunda; (2) harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan; (3) sesuai dengan prinsip keadilan dalam mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan; dan (4) merupakan komitmen nasional yang harus dilakukan secara sistematis, lintas sektor, lintas pelaku, terpadu, dan berkelanjutan. Dalam upaya penanggulangan kemiskinan pemerintah memiliki keterbatasan baik dari segi organisasi, managemen teknis dan operasional, serta keuangan atau pendanaan. Melalui KEPPRES No. 124 Tahun 2001 jo No. 8 Tahun 2002 pemerintah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara khusus menyele- nggarakan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia dengan melibatkan seluruh stakeholders pada semua tingkatan (pemerintah, swasta, LSM dan kelompok masyara- 1 Makalah disampaikan pada seminar :”Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Daerah”, Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 24 September 2004.
25

KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

Mar 11, 2019

Download

Documents

ngodat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

40

KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGIPENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH1

Saptana dan Valeriana Darwis

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl. A. Yani 70 Bogor 16161

PENDAHULUAN

Perubahan lingkungan strategis seperti globalisasi ekonomi dan otonomi daerah menuntut perubahan cara beroperasi kelembagaan-kelembagaan, termasuk kelembagaan penanggulangan kemiskinan di tingkat daerah. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai oleh pengangguran,keterbelakangan dan keterpurukan. Kemiskinan dapat menghambat pencapaian demokrasi, persatuan, dan keadilan, sehingga penanggulangan kemiskinan diperlukan dalam rangka memperkuat landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai dengan pengangguran, keterbelakangan dan keterpurukan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas terhadap kegiatan sosial-ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, sehingga tertinggal jauh dari kelompok masyarakat lain yang mempunyai potensi yang lebih baik. Kemiskinan dapat menghambat pencapaian demokrasi, persatuan dan keadilan, sehingga penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu kebijakan utama yang diperlukanuntuk memperkuat landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Berkaitan erat dengan hal ini, maka penanggulangan kemiskinan: (1) merupa-kan masalah yang tidak dapat ditunda; (2) harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan; (3) sesuai dengan prinsip keadilan dalam mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan; dan (4) merupakan komitmen nasional yang harus dilakukan secara sistematis, lintas sektor, lintas pelaku, terpadu, dan berkelanjutan.

Dalam upaya penanggulangan kemiskinan pemerintah memiliki keterbatasan baik dari segi organisasi, managemen teknis dan operasional, serta keuangan atau pendanaan. Melalui KEPPRES No. 124 Tahun 2001 jo No. 8 Tahun 2002 pemerintah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara khusus menyele-nggarakan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia dengan melibatkan seluruh stakeholders pada semua tingkatan (pemerintah, swasta, LSM dan kelompok masyara-

1 Makalah disampaikan pada seminar :”Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Daerah”, Deputi Bidang

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 24 September 2004.

Page 2: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

41

kat). KPK menjalankan fungsi sebagai forum koordinasi, mediasi, dan fasilitasi agar lebih terpadu, terarah, dan berkesinambunangan.

Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang di atas maka tulisan ini bertujuan untuk :

1. Melihat gambaran makro dan mikro kemiskinan serta beberapa faktor penye-bab kemiskinan;

2. Mengidentifikasi beberapa faktor penyebab kemiskinan dan pentingnya aspek gender dalam penanggulangan kemiskinan;

3. Evaluasi kinerja program dan sistem koordinasi penanggulangan kemiskinan dalam perspektif otonomi daerah;

4. Merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan di daerah;

5. Mengetahui keefektifan koordinasi kelembagaan penaggulangan kemiskinan di daerah;

6. Mengetahui strategi dan langkah nyata yang diperlukan dalam peningkatan dan atau mempertahankan keefektifan kelembagaan penanggulangan kemis-kinan di daerah.

KERANGKA PEMIKIRAN

Pada awal tahun 1970-an Hayami dan Rutan menggulirkan pemikiran mereka dengan apa yang disebut Induced Innovation Model, yang terkenal itu. Dalam model tersebut dijelaskan adanya keterkaitan antara empat faktor, yaitu: (1) resource endowment, (2) cultural endowment, (3) technology, dan (4) institutions. Dalam kontekspenanggulangan kemiskinan dipandang sangat tepat bahwa pelaksanaan berbagai program yang selama ini cenderung melalui entry point teknologi dan bantuan modal perlu dilengkapi dengan pendekatan kelembagaan, terutama melalui koordinasi antar-kelembagaan penanggulangan kemiskinan di daerah.

Ada tiga pilar yang menopang kehidupan masyarakat tercakup dalam hal ini komunitas masyarakat miskin yaitu kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas lokal atau tradisional (voluntary sector), kelembagaan pasar (private sector) sejalan dengan keterbukaan ekonomi, dan kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector).

Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, maka keberhasilan pemberda-yaan masyarakat miskin melalui pengembangan ekonomi baik di tingkat daerah maupun di tingkat lokal akan bergantung kepada ketiga bentuk utama kelembagaan tersebut. Didasari pendapat tersebut, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986) mengklasi-

Page 3: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

42

fikasikan kelembagaan lokal ke dalam enam kategori, yaitu: administrasi lokal, peme-rintah lokal, organisasi-organisasi yang beranggotakan komunitas masyarakat, organi-sasi kerjasama usaha, organisasi-organisasi pelayanan, dan bisnis swasta. Penguatan kelembagaan ekonomi di tingkat daerah dan di tingkat lokal dengan sasaran kelompok masyarakat miskin harus mampu mendorong berkembangnya sistem jaringan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada sumberdaya lokal dalam memasuki pasar, baik lokal, regional, maupun global. Diharapkan pemberdayaan ekonomi rakyat pada kelompok masyarakat miskin secara bertahap dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik lokal, regional, dan global. Kerangka pemikiran pengkajian ini ini diilustrasikan dengan Gambar 1.

GAMBARAN MAKRO KEMISKINAN NASIONAL DAN PENYEBAB KEMISKINAN

Gambaran Makro Kemiskinan

Masyarakat miskin secara umum ditandai dengan ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam hal: (1) memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan basic needs dalam kehidupan; (2) melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness); (3) menjangkau akses sumberdaya sosial dan ekonomi (inaccessibility); (4) menentukan nasibnya sendiri dan senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik (vulnerability); dan (5) membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor) seperti dikemukakan Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2002.

Harus diakui bahwa sejak dilaksanakan pembangunan di Indonesia, jumlah penduduk miskin selama periode (1976-1996) telah mengalami penurunan secara drastis. Sebagai ilustrasi: periode (1976-1981) turun dari 54,2 juta jiwa (40,1%) menjadi 40,6 juta jiwa (26,9%); pada tahun 1990 turun lagi menjadi 27,2 juta jiwa (15,1%); pada tahun 1996, jumlah penduduk miskin tinggal 22,5 juta jiwa atau (11,2%). Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan jumlah penduduk miskin melonjak kembali, tahun 1998 jumlah penduduk miskin tercatat menjadi 49,5 juta jiwa (24,23%) dan sedikit menurun pada tahun 1999 menjadi 47,9 juta jiwa atau mencapai 23,4 persen dari total jumlah penduduk.

Perkembangan jumlah penduduk miskin memberikan beberapa gambaran sebagai berikut: (1) Hingga periode sebelum terjadinya krisis moneter jumlah penduduk miskin telah mengalami penurunan secara signifikan, persentasi penurunan jumlah penduduk miskin di desa lebih besar dibandingkan penurunan penduduk miskin di kota; (2) Namun begitu terjadi krisis moneter jumlah penduduk miskin baik di desa maupun di kota meningkat lebih dari dua kali lipat; (3) Sementara itu, jumlah penduduk miskin pada periode (2002-2003) relatif tinggi, di desa 25,1 juta dan di kota (12,2-13,3 juta) jiwa,

Page 4: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

43

Page 5: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

44

meskipun secara relatif pada periode tersebut sedikit telah mengalami penurunan; dan (4) Dari aspek gender jumlah penduduk miskin laki-laki mencapai 18,81 juta dan perempuan mencapai 18,53 juta jiwa, hal ini menunjukkan tidak bias gender dalam hal perbandingan jumlah penduduk miskin (Tabel 1 dan 2).

Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1990-2003

Laki-Laki PerempuanNo. Tahun

Jumlah (Jiwa) % Jumlah (Jiwa) %1. 1999 24.000.260 23,42 23.974.340 23,31

2. 2000 18.765.670 19,07 18.491.230 18,83

3. 2001 18.555.580 18,37 18.552.820 18,42

4. 2002 17.759.100 17,49 17.921.380 17,66

5. 2003 18.811.700 17,47 18.527.700 17,40Sumber : Kementerian Negara Kesejahteraan Rakyat, 2004

Tabel 2. Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Menurut Wilayah Desa-Kota, Tahun 1990-2003

Penduduk MiskinDesa Kota Desa+KotaNo. Tahun

(Juta Jiwa) (Juta Jiwa) %1. 1990 9,4 17,8 27,2 15,1

2. 1996 7,2 15,3 22,5 11,3

3. 1999 15,6 32,3 47,9 23,3

4. 2002 25,1 13,3 38,4 18,2

5. 2003 25,1 12,2 37,3 17,4Sumber : Kementerian Negara Kesejahteraan Rakyat, 2004

Distribusi penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan bahwa lebih dari 59 persen jumlah penduduk miskin berada di Pulau Jawa-Bali, 16 persen di Sumatera, dan 25 persen di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya. Pemusatan kantong kemiskinan di Jawa-Bali erat kaitannya dengan konfigurasi sebaran penduduk, yang sebagian besar terkonsentrasi di Jawa-Bali (BPS, 2003).

Terdapat keterkaitan antara Gross Regional Domestic Bruto (GRDB)) dengan Human Development Index (HDI), meskipun tidak selalu sejalan (BPS-Statistic Indonesia, Bappenas, and UNDP, 2004). Sebagai ilustrasi di wilayah kajian Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada tahun 2002 masing dengan GRDB sebesar Rp. 2.357.000 dan Rp. 1.714.000 per kapita per tahun atau masing-masing secara nasional berada pada urutan ke-7 dan ke-16, sementara itu HDI masing-masing 68.8 dan 67.5.

Page 6: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

45

Posisi HDI di kedua lokasi penelitian termasuk pada tingkat yang moderat, sebagai pembanding di DKI dengan GRDB Rp. 7.705.000 per kapita per tahun dengan HDI yang tertinggi yaitu dengan nilai indeks 75,6 dan posisi terendah ditempati Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan GDRB Rp. 2.290.000 per kapita per tahun dan dengan nilai HDI 57.8.

Terdapat keterkaitan antara pangsa pengeluaran pangan dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka pangsa pengeluaran pangan semakin kecil, demikian juga sebaliknya semakin rendah tingkat pendapatan semakin besar pangsa pengeluaran pangan. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2002, pangsa pengeluaran pangan pada kelompok strata pendapatan rendah, sedang, dan tinggi di desa masing-masing 67,00; 64,90; dan 55,80 persen; sedangkan di kota pada strata pendapatan rendah, sedang, dan tinggi masing-masing 57,10; 51,70; dan 36,00 persen (BPS Statistik Indonesia, Bappenas, and UNDP, 2004). Semakin tinggi pangsa pengeluaran untuk pangan maka makin rendah tingkat kesejahteraannya.

Rekapitulasi jumlah penduduk miskin menurut kabupaten-kota baik di tingkat provinsi maupun kabupaten-kota di seluruh Indonesia dapat disimak pada Tabel 3. Tabel tersebut memberikan beberapa gambaran pokok sebagai berikut:

1. Data yang terkumpul menunjukkan bahwa dari 417 kabupaten dan kota yang tersebar di Indonesia terdapat 329 kecamatan yang telah mengirimkan data KK miskin (78,90 %) dan terdapat 84 kabupaten dan kota yang belum mengirimkan data KK miskin ke Direktorat Jenderal Departemen Dalam Negeri.

2. Dari 4.887 kecamatan yang telah mengirimkan data, diperoleh informasi jumlah penduduk sebesar 282.046.789 jiwa dan 78.446.009 KK, atau dengan kata lain jumlah anggota rumah tangga per KK dari data yang masuk rata-rata 3,60 jiwa/KK.

3. Dari 78.446.009 KK tersebut jumlah KK yang miskin mencapai 16.277.925 KK (20,75 %). Dengan proksi bahwa setiap KK terdiri dari 3,6 jiwa maka dapat diperkirakan jumlah penduduk miskin berdasarkan data yang telah masuk mencapai 58.600.530 jiwa atau jauh lebih besar dibandingkan jumlah pendu-duk miskin pada tahun puncak krisis 1998 yang hanya sebesar 49,5 juta jiwa.

4. Secara berturut-turut sebaran KK miskin menurut provinsi adalah sebagai berikut: (1) Jawa Tengah sebesar 2.664.575 KK (16.37 %); (2) Jawa Barat sebesar 2.334.574 KK (14,34 %); (3) D. I. Yogyakarta sebesar 2.228.991 KK (13,69 %); (4) Sulawesi Tengah sebesar 1.272.713 KK (7,82 %); (5) Kalimantan Barat sebesar 697.318 KK (4,28 %); (6) Sumatera Selatan sebesar 644.328 KK (3,96 %); (7) 613.032 KK (3,77 %); (8) Lampung sebesar 544.127 KK (3,34 %); (9) Banten sebesar 516.756 KK (3,17 %); (10) Sumatera Utara sebesar 505.128 KK (3,10 %); dan sisanya tersebar di provinsi-provinsi lain. Sementara itu Provinsi Sumatera Barat sebagai salah satu Provinsi contoh jumlah KK miskin sebesar 182.976 KK (1,12 %) dari seluruh KK miskin di Indonesia yang datanya telah masuk.

Page 7: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

46

Tabel 3. Rekapitulasi Data Kemiskinan dan Pembentukan KPK Provinsi, Kabupaten/Kota di Seluruh Indonesia, Per April 2004

Jumlah kab/kota yang sudah mengirim data KK miskinNo. Provinsi Kab/

KotaBelum Sudah Kec Penduduk KK KK miskin

1 NAD 20 2 18 217 4.524.533 980.141 613.0322 SumateraUtara 23 4 19 269 10.713.361 2.261.202 505.1283 SumateraBarat 16 5 11 144 4.351.299 661.950 182.9764 Riau 11 1 15 151 4.564.472 986.866 278.8125 Kep.Riau 5 40 1.156.1326 Jambi 10 10 68 2439.793 553.250 138.9347 Sumatera Sel 11 2 9 152 6241.365 1.383.494 644.3288 BangkaBelitung 7 5 2 36 332.829 85.691 24.2749 Bengkulu 7 4 3 56 1.216.601 304.654 113.669

10 Lampung 10 2 8 155 5.974.005 1.564.882 544.12711 DKI Jakarta 6 1 5 44 8.018.559 2.327.619 185.53512 Banten 6 6 116 7.877.111 2.101.238 516.75613 Jawa Barat 25 3 22 520 117.630.345 38.515.524 2.344.57414 Jawa Tengah 35 2 34 551 32.236.292 7.699.510 2.664.57515 DI Yogyakarta 5 5 78 3.216.196 805.327 262.12616 Jawa Timur 38 38 629 34.834.879 9.446.563 2.228.99117 KalimantanBart 10 2 8 134 2.964.621 659.804 697.31818 KalimantanTgh 14 8 6 91 1.812.497 410.894 137.77319 KalimantanSel 13 11 113 265.657 719.923 177.97420 KalimantanTmr 13 2 12 92 2.581.678 600.111 129.56821 Sulawesi utara 8 1 5 86 1.964.898 516.064 163.91322 Sulawesi Tgh 10 6 3 84 1.022.213 250.500 1.272.71323 Gorontalo 5 3 3 34 969.303 242.733 66.54524 Sulawesi Tgr 7 6 93 1.701.048 400.148 213.02425 Sulawesi Sel 28 6 22 288 6.055.286 1.356.028 437.93026 Bali 9 9 53 3.025.794 7.794.645 96.08227 NTB 8 8 96 4.022.647 1.137.205 573.42128 NTT 16 1 14 166 3.719.323 797.008 574.08729 Maluku 5 5 40 1.135.628 361.105 154.54330 Maluku Utara 8 5 3 34 768.828 169.166 97.71231 Irja Barat 9 74 564.885 .32 Papua 19 19 9 183 1.774.711 367.945 237.485

Jumlah 417 84 329 4887 282.046.789 78.446.009 16.277.925Sumber : Ditjen PMD, April 2004

Gambaran Kemiskinan di Wilayah Kajian Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara dan Sawahlunto Sijunjung, Sumatera Barat

Gambaran umum kemiskinan di Kabupaten Tanah Karo dapat disimak pada Tabel 4 yakni tentang deskripsi keluarga miskin di Kabupaten Tanah Karo dan Tabel 5,tentang klasifikasi keluarga prasejahtera dan sejahtera I. Total KK miskin di Kabupaten Tanah Karo mencapai 7.250 KK, jika diasumsikan jumlah anggota rumah tangga limamaka jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tanah Karo mencapai 36.250 jiwa atau

Page 8: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

47

13.19 persen dari total penduduk yang jumlahnya mencapai 274.284 jiwa di bawah rata-rata penduduk miskin di Sumatera Utara atau pun di tingkat nasional.

Tabel 4. Deskripsi Keluarga Miskin di Kabupaten Karo, Tahun 2003

No. KecamatanJumlah

pendudukJumlah

KKJumlah KK

miskin1.2.3.4.5.6.7.8.9.

10.11.12.13

Tiga BinangaJuharMunteTiga PanahBarus JaheKaban JaheSimpang EmpatPayungKuta BuluhLaubalengBerastagiMardindingMerek

16.24712.22516.74028.25519.96240.89835.62520.94310.66015.88929.83513.82813.677

4.2763.8164.2617.4585.3729.5569.2305.7842.7893.8346.8473.2983.096

470481568718349346792406376631660214

1.119Jumlah 274.784 69.977 7.250

Sumber : BPS, Kabupaten Tanah Karo (2003)

Tabel 5. Klasifikasi Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I, di Kabupaten Tanah Karo,Tahun 2003

No. KecamatanJumlah

pendudukJumlah

KKJumlah KK

prasejahteraJumlah KK sejahtera I

1.2.3.4.5.6.7.8.9.

10.11.12.13

Tiga BinangaJuharMunteTiga PanahBarus JaheKaban JaheSimpang EmpatPayungKuta BuluhLaubalengBerastagiMardindingMerek

16.24712.22516.74028.25519.96240.89835.62520.94310.66015.88929.83513.82813.677

4.2763.8164.2617.4585.3729.5569.2305.7842.7893.8346.8473.2983.096

046814513634831

11744520

19

470435487673356283744375259587608214

1.100Jumlah 274.784 69.977 559 6.691

Sumber : BPS, Kabupaten Tanah Karo (2003)

Page 9: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

48

Seperti terlihat pada Tabel 6, jumlah pnduduk miskin di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada tahun 2002 terjadi sedikit penurunan. Tahun 2001 jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 67.400 jiwa atau sekitar 21,48 persen dari total penduduk dan pada tahun 2002 tercatat sebanyak 67.307 orang atau 21,04 persen dari total penduduk Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Jika dilihat menurut kecamatan tampak bahwa Kecamatan Sijunjung memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Sawahlunto/Sijunjung. Tahun 2001 jumlah penduduk miskin di Kecamatan Sijunjung tercatat sebanyak 10.748 jiwa dan tahun 2002 hanya terjadi sedikit penurunan menjadi sebanyak 10.741 jiwa.

Sementara itu, di Kecamatan Kupitan menunjukkan jumlah penduduk miskin terendah dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Sawahlunto/Sijunjung. Tahun 2001 jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 1.951 jiwa sedangkan pada tahun 2002 hanya tercatat sebanyak 1.948 orang. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa kemiskinan tidak hanya karena alasan ekonomi, namun dapat juga disebabkan oleh alasan nonekonomi. Karakteristik dari penduduk miskin yang disebabkan oleh alasan nonekonomi dapat dilatarbelakangi oleh beberapa hal, misalnya budaya malas, kurangnya dorongan dari keluarga/orang tua, kurang mampu berorganisasi dan lain-lain.

Kaitannya dengan kegiatan pendataan keluarga yang dilakukan oleh kantor BKKBN kemiskinan karena faktor nonekonomi menghasilkan data keluarga prasejahtera karena alasan nonekonomi. Tahun 2002 jumlah keluarga prasejahtera yang diakibatkan oleh alasan nonekonomi tercatat sebanyak 2.260 keluarga.

Tabel 6. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Kabupaten Sawahlunto, Tahun 2001-2002

Jumlah penduduk Penduduk miskin % Penduduk miskin thd jumlah pendudukKecamatan

2001 2002 2001 2002 2001 20021. Sungai Rumbai 36.426 37.224 6.593 6.564 18,10 17,632. Koto Baru 47.846 48.837 5.422 5.406 11,33 11,073. Sitiung 29.831 30.352 9.975 9.908 33,44 32,644. Pulau Punjung 29.940 30.459 2.478 2.468 8,28 8,105. Kamang Baru 32.843 33.497 4.197 4.194 12,78 12,526. Tanjung Gadang 20.692 21.029 5.799 5.804 28,03 27,607. Sijunjung 35.013 35.692 10.748 10.741 30,70 30,098. Lubuak Tarok 12.532 12.762 4.874 4.869 38,89 38,159. IV Nagari 10.666 10.834 3.163 3.151 29,65 29,0810. Kupitan 10.688 10.844 1.951 1.948 18,25 17,9611. Koto VII 26.491 27.078 8.270 8.287 31,22 30,6012. Sumpur Kudus 20.840 21.266 3.930 3.967 18,86 18,65Jumlah 313.808 319.874 67.400 67.307 21,48 21,04

Sumber : BPS, Penduduk Miskin di Sumatera Barat Tahun 2001 dan 2002

Page 10: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

49

Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah keluarga prasejahtera karena alasan nonekonomi pada tahun 2002 tercatat sebanyak 2.260 keluarga atau sekitar 40,42 persen dari seluruh keluarga prasejahtera. Angka ini mengindikasikan bahwa penyebab dari banyaknya keluarga prasejahtera di Sawahlunto/Sijunjung yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tidak hanya disebabkan oleh alasan ekonomi saja, tetapi banyak juga yang disebabkan oleh alasan nonekonomi.

Tabel 7. Jumlah dan Perserntase Keluarga Prasejahtera Berdasarkan Penyebab Kemiskinan, di Kabupaten Sawahlunto, Tahun 2002

Jumlah keluarga prasejahtera Persentase keluarga prasejahteraKecamatan Alasan

ekonomiAlasan

nonekonomiJumlah Alasan

ekonomiAlasan

nonekonomiJumlah

1. Sungai Rumbai 636 399 1.035 61,45 38,55 1002. Koto Baru 610 370 980 62,24 37,76 1003. Sitiung 566 325 891 63,52 36,48 1004. Pulau Punjung 184 128 312 58,97 41,03 1005. Kamang Baru 115 66 181 63,54 36,46 1006. Tanjung Gadang 436 572 1.008 43,25 56,75 1007. Sijunjung 26 32 58 44,83 55,17 1008. Lubuak Tarok 96 21 117 82,05 17,95 1009. IV Nagari 36 15 51 70,59 29,41 10010. Kupitan 86 79 165 52,12 47,88 10011. Koto VII 288 215 503 57,26 42,74 10012. Sumpur Kudus 252 38 290 86,90 13,10 100

Jumlah: -2002 -2001 -2000

3.3313.1143.399

2.2602.4112.197

5.5915.5255.596

59,5856,3660,74

40,4243,6439,26

100100100

Sumber : Kantor BKKBN Kabupaten Sawahlunto, Tahun 2002 (Data Diolah)

Berbagai Penyebab Kemiskinan dan Masalah Kemiskinan

Berdasarkan penyebabnya kemiskinan, dapat dibedakan menjadi kemiskinan natural-kultural dan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan faktor alamiah, seperti cacat, sakit, dan lanjut usia. Kemiskinan kultural disebabkan faktor budaya, seperti malas, tidak disiplin, kurang menghargai waktu, boros, dan kurang memiliki rasa malu. Sementara itu, kemiskinan struktural disebabkan faktor buatan manusia, seperti distribusi aset produktif yang tidak merata (distribusi lahan dan modal), kebijaksanaan ekonomi yang diskriminatif (hanya menguntungkan segelintir orang, misalnya konglomerat), korupsi dan kolusi baik di pusat maupun di daerah, serta tatanan perekonomian dunia yang cenderung menguntungkan kelompok tertentu.

Sebab-sebab kemiskinan struktural: (1) Kurangnya demokrasi, sehingga me-ngurangi partisipasi; (2) Kurangnya akses dan kontrol terhadap sumberdaya; (3) Ketimpangan akumulasi dan distribusi aset produktif baik lahan maupun modal; (4) Kebijakan berorientasi memenuhi pasar asing daripada pasar domestik; (5) Pengikisan peran pemerintah dalam meminimalkan ketimpangan sosial dan swastanisasi yang yang

Page 11: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

50

berlebihan; (6) Eksploitasi berlebihan terhadap SDA yang berdampak kepada orang miskin; (7) Kebijaan-kebijakan yang menyebabkan monopolisasi ekonomi dan polarisasi masyarakat.

Beberapa faktor penyebab kemiskinan yang terjadi di wilayah kajian antara lain disebabkan oleh : (1) makin terbatasnya penguasaan lahan pertanian; (2) rendahnya ketersediaan dan akses terhadap program kredit pemerintah; (3) terbatasnya kesempatan kerja di sektor nonpertanian; (4) tingginya tingkat pengangguran; (5) rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya tingkat kesakitan penduduk; (6) masih lambatnya laju pertumbuhan ekonomi; (7) masih bertahannya struktur ekonomi terhadap penciptaan PDRB; (8) masih rendahnya Nilai Tukar Petani; dan (9) masih tingginya tingkat inflasi.

Pentingnya Aspek dan Kesetaraan Gender Dalam Penanggulangan Kemiskinan

Gender yang berasal dari bahasa latin yaitu genus yang berarti tipe atau jenis. Gender dapat didefinisikan sebagai perbedaan peluang, peran, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil kontruksi sosial dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat (Hatmadji, 2004). Dengan demikian aspek gender lebih pada sosiological term, sedangkan sex lebih pada biological term.

Selanjutnya dikatakan bahwa gender erat kaintannya dengan pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Dalam konteks demikian gender juga erat kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Dalam aspek ekonomi, seringkali ditemukan bias gender baik dalam hal kesempatan kerja, jam kerja, tingkat upah/gaji, serta dalam akses dalam memanfaatkan pasar tenaga kerja, sebagai ilustrasi adanya bias gender : (1) pada tahun 2002 terdapat jumlah tenaga kerja laki-laki sebesar 69.837.799 orang dan perempuan sebesar 71.333.006 orang, namun jumlah tenaga kerja laki-laki sebesar 55.439.063 orang, sedangkan tenaga kerja perempuan hanya sebesar 34.398.667 orang; (2) tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan (85,6-85,8% VS 50,1-51,8%); (3) tingkat pengangguran terbuka (TPT) kaum perempuan lebih tinggi dibandingkan kaum laki-laki (10,6-11,8% VS 6,6-7,5%); dan (4) upah tenaga kerja laki-laki di pedesaan lokasi penelitian berkisar antara Rp. 20.000-25.000 per hari, sedangkan upah tenaga kerja perempuan hanya sebesar Rp. 15.000 per hari dengan jam kerja yang sama.

Aspek pendidikan pada periode (2000-2002) memberikan gambaran sebagai berikut : (1) persentase penduduk buta huruf untuk perempuan berkisar antara (12,7-13,3%), sedangkan untuk laki-laki lebih kecil, yaitu dengan proporsi (5,8-6,5%); (2) semakin tinggi kelompok umur, maka tingkat partisipasi sekolah untuk jenis kelamin laki-laki makin tinggi dibandingkan perempuan; (3) semakin tinggi tingkat pendidikan maka tingkat partisipasi laki-laki makin tinggi dibandingkan perempuan.

Dalam aspek kesehatan memberikan gambaran sebagai berikut: (1) persen-tase balita yang pernah mendapat imunisasi menurut jenis kelamin (1997-1999)

Page 12: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

51

menunjukkan tidak ada bias gender, di mana peluang mendapatkan imunisasi relatif sama yang berkisar antara 91,1-98,8 persen baik untuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan; (2) persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan menurut jenis kelamin relatif sama, yang berkisar antara 25,9-26,8 persen untuk perempuan dan untuk jenis kelamin laki-laki berkisar 25,6-26,2 persen.

Berdasarkan paparan di atas dalam perencanaaan dan pelaksanaan pemba-ngunan, termasuk dalam program pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan perlu memperhatikan aspek gender dan kesetaraan gender. Kesetaraan gender dapat didefinisikan sebagai persamaan peluang kesempatan, dan akses untuk meraih kemajuan dan peran baik di sektor domestik maupun sektor publik antara laki-laki dan perempuan (Hadmadji, 2004). Dalam konteks ini, strategi pengintegrasian program pemberdayaan perempuan dalam berbagai program pemberdayaan dan penanggula-ngan kemiskinan baik sektoral, regional, dan daerah penting memperhatikan aspek gender dan kesetaraan gender. Artinya baik perempuan dan laki-laki harus mempunyai peluang dan kesempatan yang sama dalam aspek kegiatan sosial-ekonomi, pendidikan dan kesehatan, karena ketiga aspek tersebut akan menentukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

EVALUASI KINERJA PROGRAM DAN SISTEM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH

Evaluasi Kinerja Program Penanggulangan Kemiskinan

Upaya penanggulangan kemiskinan oleh Pemerintah Indonesia pada awal pembangunan yang dilakukan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat telah dimulai sejak tahun 1960-an melalui Penasbede, namun usaha tersebut kandas ditengah jalan akibat krisis politik yang terjadi pada tahun 1965. Pemerintah selanjutnya melakukan upaya-upaya terpadu dan bertahap yang telah dimulai kembali sejak tahun 1970-an melalui Pelita, khususnya pada Pelita I-IV. Jalur pembangunan ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional dan tergolong berhasil, baik dalam peningkatan produksi pertanian serta pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

Melalui Inpres Nomor 3 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan melalui Koordinasi antar program pembangunan. Pada Pelita V-VI dibuka program khusus penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus, yaitu melalui pendekatan kelompok sasaran dan mensinergikan antara program reguler sektoral dengan program regional, Upaya selama Pelita V-VI pada awalnya menunjukkan keberhasilan terutama dalam mengurangi jumlah dan proporsi penduduk miskin.

Upaya penanggulangan kemiskinan juga telah dikoordinasikan Bank Indonesia melalui berbagai Program Pengembangan Keuangan Mikro (microfinance) bersama bank-bank pembangunan daerah (BPD) dan bank-bank perkreditan rakyat (BPR) bekerja-sama dengan lembaga-lembaga keuangan milik masyarakat seperti Lembaga

Page 13: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

52

Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Selain itu, beberapa lembaga keuangan milik BUMN maupun milik swasta atas inisiatif sendiri juga menyelenggarakan pula Program Keungan Mikro dengan berbagai variasi dan kekhasan masing-masing lembaga keuangan tersebut. Demikian pula kalangan usaha nasional nonlembaga keuangan, baik milik pemerintah (BUMN) maupun milik swasta telah mengambil inisiatif melakukan upaya penanggulangan kemiskinan melaui berbagai program, mulai dari bantuan sosial hingga bantuan ekonomi. Beragam upaya penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan keuangan mikro ini cukup strategis, mengingat salah satu penyebab masalah kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan adalah lemahnya permodalan kelompok masyarakat miskin, serta tidak aksesnya kelompok ini pada kelembagaan keuangan formal, sementara itu kelembagaan informal yang dapat diakses oleh kelompok ini, semakin memarjinalkan kehidupan mereka, karena tingkat suku bunga yang tinggi.

Hasil penelitian Syahyuti (1995) menyimpulkan bahwa secara umum implementasi kelompok-kelompok yang berupa organisasi atau asosiasi ke tengah masyarakat melalui program dan proyek menunjukkan kegagalan. Kegagalan tersebut disebabkan pendekatan yang bersifat top-down planning serta tidak tumbuhnya partisipasi dari masyarakat kelompok sasaran.

Selanjutnya untuk mengatasi dampak krisis yang lebih buruk telah dibentuk Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Kepres Nomor 190 Tahun 1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan JPS. Upaya-upaya tersebut juga belum memberikan hasil optimal, meskipun sudah sangat membantu kelompok miskin, namun bersifat program jangka pendek. Kondisi tersebut menyebab-kan tingkat pengangguran tetap tinggi karena terbatasnya kesempatan kerja dan tingginya tingkat pemutusan hubungan kerja, anak putus sekolah tetap tinggi, tingkat status gizi masyarakat tetap rendah, serta tersumbatnya pasar ekspor.

Upaya kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan di masa yang lalu perlu dilakukan beberapa koreksi mendasar, antara lain: (1) masih berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi makro; (2) kebijakan yang bersifat sentralistis dan cenderung homogen; (3) cenderung bersifat sektoral dan diskontinyu; (4) memposisikan kelompok masyarakat miskin sebagai objek dan bukan subjek; (5) memandang kemiskinan cenderung dari sudut pandang ekonomi; (6) kurang memperhatikan sistem kelembagaan lokal dan keragaman budaya; (7) pendekatan bersifat top down planning, sehingga tidak menumbuhkan partisipasi dari kelompok masyarakat miskin; (8) terjadinya tumpang tindih antarprogram penanggulangan kemiskinan, sehingga belum terpadu, merata, dan kurang berkesimbanungan; (9) peranan kelembagaan pemerintah yang besar kurang melibatkan kelembagaan kelembagaan ekonomi setempat dan kelembagaan komunitas-lokal; dan (10) kebijakan yang bersifat sektoral dan kurang dikoordinasikan dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan.

Beberapa langkah konkrit yang penting untuk dilakukan adalah: (1) meningkat-kan akses masyarakat terhadap aset produktif, (2) memperkuat posisi (bargaining

Page 14: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

53

position) petani dalam transaksi dan dalam bermitra usaha, (3) peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan, (4) pengembangan industri di pedesaan dalam rangka memperkuat industri rakyat, dan (5) mendorong tumbuhnya jiwa kewirausahaan. Namun demikian berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program atau proyek pembangunan di pedesaan dalam rangka penanggulangan kemiskinan banyak menunjukkan kekurangberhasilan.

Sistem Koordinasi Antarkelembagaan ke Arah Keterpaduan Program

Seperti yang telah diungkap dalam kerangka pemikiran kajian ini bahwa ada tiga pilar kelembagaan yang menjadi pendukung kehidupan suatu masyarakat, yaitu: (1) kelembagaan komunitas atau masyarakat; (2) kelembagaan ekonomi atau pelaku ekonomi swasta; dan (3) kelembagaan pemerintah atau politik. Dalam kaitan ini Pemerintah melalui SE Mendagri Nomor: 412.6/1648/5J membuat forum lintas pelaku yang diwadahi dalam Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah ( KPK Daerah).

KPK memiliki peran dan fungsi melakukan (Sekretariat Penanggulangan Kemiskinan, 2002): (1) koordinasi identifikasi masalah kemiskinan di daerahnya; (2) koordinasi penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD); (3) koordinasi penentuan sasaran (targeting); (4) melakukan koordinasi sistem penyampaian (delivery system); (5) koordinasi vertikal dan horizontal dengan instansi terkait; (6) memfasilitasi penajaman penggunaan DAU dan APBD serta sumber dana lainnya dalam penanggulangan kemiskinan; (7) memantau, mengendalikan, serta melakukan monev pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di daerah; (8) melaporkan secara berkala kerja KPK Daerah kepada Menteri Dalam Negeri selaku Koordinator Asistensi Program KPK; dan (9) KPK daerah juga akan menjadi sebuah media untuk melakukan komunikasi antar pelaku, sekaligus sebagai media pembelajaran bagi para pelaku dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Dari masyarakat ada beberapa unsur yang harus dilibatkan dalam forum tersebut, yaitu: (1) kelompok masyarakat miskin; (2) tokoh masyarakat; (3) tokoh agama; (4) organisasi nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat; dan (5) akademisi (perguruan tinggi). Beberapa peran penting kelembagaan kemasyarakatan ini antara lain adalah: (1) Bagaimana membangun kelompok masyarakat miskin menjadi individu dan kelompok masyarakat yang berkualitas sehingga mampu mengembangkan dirinya keluar dari lingkaran kemiskinan; (2) Kelompok masyarakat miskin mampu melakukan transformasi menjadi kelompok masyarakat yang produktif; (3) Dapat meningkatkan disiplin diri dan menghargai waktu untuk berbagai kegiatan produktif; (4) Mendorong kelompok masyarakat miskin untuk memiliki etos kerja yang bagus; (5) Meningkatkan kebersamaan dalam wadah kelompok usaha ekonomi produktif.

Kelembagaan Ekonomi atau Pelaku Ekonomi di antaranya meliputi: (1) BUMD/BUMN; (2) kelembagaan keuangan baik bank maupun nonbank; (3) kelembagaan koperasi dan KUD; dan (4) pelaku usaha swasta. Peran BUMD/BUMN diantaranya adalah: (1) Pada proses pembuatan kebijakan yang menyangkut

Page 15: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

54

perusahaan BUMD/BUMN diharapkan dapat menyerap tenaga kerja khususnya pada kelompok tenaga kerja miskin; (2) Memberikan masukan tentang kebijakan dan program terutama dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan dan keswadayaan kelompok masyarakat miskin; dan (3) Memberikan masukan berupa Pendapatan Asli Daerah, yang mempengaruhi kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan pemba-ngunan serta penanggulangan kemiskinan.

Peran swasta diantaranya adalah: (1) Pada proses pembuatan kebijakan swasta diharapkan dapat terlibat untuk memberikan masukan tentang berbagai hal dalam bidang kerjanya yang berhubungan dengan masalah kemiskinan, baik yang mendukung maupun yang menghambat jalan usahanya, serta memberikan alternatif pemecahannya; dan (2) Pada implementasi kebijakan, banyak peran yang dapat dimainkan oleh pihak swasta, misalnya terlibat dalam investasi pada sektor-sektor strategis yang mempunyai dampak signifikan terhadap masalah pengangguran, pengurangan kemiskinan, membangun kemitraan yang melibatkan partisipasi kelompok masyarakat miskin.

Peran yang dapat dijalankan kelembagaan pemerintah-politik, di antaranya adalah: (1) Membuat berbagai kebijakan dan program yang berpihak pada masyarakat miskin; (2) Dalam penyusunan anggaran memiliki keberpihakan pada kaum miskin (pro poor budgeting), baik untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan, dan kesehatan; (3) Menjadi mediasi dan fasilitator yang menghubungkan antara kepentingan Swasta dengan kepentingan masyarakat, terutama masyarakat miskin, sehingga tercipta hubungan kerja yang saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan.

Dengan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, terjadi berbagai perubahan pada kelembagaan politik di tingkat kabupaten dan kota. Namun hasil kajian di lapang baik di Sumatera Utara maupun Sumatera Barat menunjukkan bahwa perubahan tersebut masih berupa pergulatan administratif, misalnya perubahan struktur kelembagaan pemda berdasarkan PP No. 8 Tahun 2003 tentang struktur kelembagaan pemerintah daerah. Penyusunan tugas pokok dan fungsi masing-masing bagian serta sistem koordinasi yang harus dijalankan masih lemah, khususnya kelembagaan pemerintah yang terkait dalam penanggulangan kemiskinan.

Kinerja Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Simpul Kritis Lemahnya Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan di Daerah

Pada masa datang upaya penanggulangan kemiskinan baik yang dilakukan melalui jalur sektoral, regional, dan khusus dihadapkan pada tekanan faktor-faktor berikut: Pertama, arus globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan. Kedua, sema-kin terbatasnya anggaran pembangunan untuk program penanggulangan kemiskinan. Ketiga, meningkatnya kelangkaan sumberdaya dan degradasi sumberdaya alam, khususnya lahan. Hal ini tampak lebih nyata pada kelompok masyarakat miskin. Keempat, pelaksanaan otonomi daerah, yang membawa implikasi desentralisasi dalam sistem penyelenggaraan pembangunan, di mana ada kecenderungan pemerintah

Page 16: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

55

daerah mengejar pembangunan sektor-sektor yang menghasilkan PAD. Berdasarkan kondisi di atas dan meningkatnya jumlah KK dan penduduk miskin maka perlu mengkoordinasikan kelembagaan penanggulangan kemiskinan yang ada di daerah.

Pemberian otonomi pada pemerintah atau masyarakat daerah seharusnya dapat mendekatkan kedaulatan rakyat dalam akses dan kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya ekonomi setempat. Berdasarkan kajian di dua provinsi tersebut tampak jelas otonomi di tingkat kabupaten/kota dalam memberdayakan kelompok masyarakat miskin masih “nggantungnya”. Jarak politik antara pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat di desa-desa miskin masih jauh, sehingga belum ada link and match antara potensi, kendala, dan kebutuhan masyarakat dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah.

Dilihat dari segi manajemen sosial, otonomi belum memberikan garansi nyata pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya kelompok masyarakat miskin di pedesaan. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa alasan (Saptana et al., 2003): (1) Keputusan politik (misalnya dalam bentuk Perda) lebih banyak didasarkan pada rasionalitas ekonomi jangka pendek-terfokus pada peningkatan PAD; (2) Masyarakat miskin yang sebagian besar adalah petani di perdesaan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik di tingkat kabupaten; (3) Hasil keputusan politik di tingkat kabupaten/kota di satu sisi memang memberikan kesempatan besar bagi peningkatan kesejahteraan para elit politik dan pejabat pemerintahnya, namun di sisi lain masih mengabaikan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan, khususnya kelompok masyarakat miskin; dan (4) Banyak ditemukan bahwa hampir setiap peraturan atau keputusan lembaga publik/pemerintah di tingkat kabupaten/kota cenderung dianggap final.

Beberapa simpul kritis yang menunjukkan masih lemahnya sistem kelemba-gaan, yaitu: (1) Sistem produksi, umumnya masih dicirikan oleh orientasi bahan mentah pertanian bernilai tambah rendah; (2) Sistem ekonomi kerakyatan di pedesaan hingga saat ini belum dijadikan visi ekonomi oleh pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif); (3) Tatanan politik dan pemerintahan dalam pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan dan pemberdayaan kelompok masyarakat miskin masih lemah; (4) Sistem manajemen dan keorganisasian usaha kelompok masyarakat miskin atau usaha ekonomi rakyat di pedesaan masih lemah; (5) Sistem penyelenggaraan pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan masih didasarkan pada kepemimpinan formal dari atas desa (belum dengan strong local leadership), dukungan infrastruktur publik dan upaya penyehatan agroekosistem yang lemah.

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH

Strategi dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Wilayah Kajian

Beberapa ciri penduduk miskin adalah : (1) memiliki pendidikan yang rendah sehingga pengetahuan dan wawasan sangat terbatas; (2) penguasaan aset produktif

Page 17: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

56

khususnya lahan garapan dan modal yang sangat terbatas, sehingga mengandalkan hidupnya dengan tenaganya; (3) Kondisi fisik perumahan yang sangat memprihatinkan; (4) Keterbatasan sarana dan prasarana (transportasi, telekomunikasi, dan informasi); dan (5) kondisi kesehatan keluarga yang memprihatinkan, serta (6) pola pengeluaran rumah tangga didominasi untuk pangan, terutama bahan pangan pokok.

Program penanggulangan kemiskinan harus dilakukan dengan pemberdayaan, yaitu bagaimana membantu keluarga miskin itu sendiri agar mampu mengentaskan diri dan keluarganya dari kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Dalam kontekspemberdayaan masyarakat miskin, maka penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan peningkatan pendidikan, pelatihan-pelatihan praktis, pemberian kesempatan kerja dan berusaha, bantuan teknis produksi, bantuan permodalan, dan membantu mengakses pasar. Upaya memperkuat dan memperluas jaringan ekonomi rakyat atau kelompok masyarakat miskin akan memberikan kesempatan kepada keluarga dan anggotanya mengembangkan dirinya sesuai kesempatan (peluang) dan pilihan yang ada untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian.

Untuk ini perlu adanya keterpaduan antarkelembagaaan di daerah kabupaten-kota hingga tingkat desa, yaitu; antara kelembagaan pemerintah-politik, kelembagaan ekonomi-dunia usaha/swasta dan kelembagaan masyarakat. Kelembagaan pemerintah, bagaimana kebijakan dan program pemerintah dapat diarahkan pada pemberdayaan ekonomi rakyat, sehingga masyarakat banyak (rakyat), dapat memiliki akses dan kontrol terhadap sumberdaya setempat dan dalam sistem pengambilan keputusan. Kelemba-gaan ekonomi, didorong untuk menciptakan sistem ekonomi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya usaha ekonomi produktif bagi kelompok miskin. Sementara itu, kelembagaan masyarakat ditujukan untuk memperkuat kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat yang tumbuh dan berkembang. Di samping ke tiga kelembagaan tersebut kelembagaan Lembaga Swadaya Masyarakat dapat difungsikan sebagai katalisator dan fasilitator dari pelaksanaan pembangunan ekonomi rakyat.

Strategi jangka pendek, antara lain adalah: (1) identifikasi masalah kemiskinan; (2) mengkaji potensi yang dimiliki baik SDA, SDM, teknologi, dan kelembagaan yang ada; (3) identifikasi kendala dan permasalahan pokok dalam penanggulangan kemiskinan baik kendala teknis, ekonomi, maupun sosial kelembagaan; (4) identifikasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dari ketiga kelembagaan yang ada; (5) koordinasi dan sinkronisasi program antardinas atau instansi pemerintah terkait baik secara vertikal maupun secara horisontal; (6) konsistensi antara program/kegiatan dengan alokasi anggaran; (7) pembagian peran antara ketiga kelembagaan; (8) menentukan kelompok sasaran dan merumuskan perencanaan, pelaksanaan, dan melakukan monev program pembangunan yang dilaksanakan secara partisipatif.

Strategi jangka panjang: (1) membentuk KPK di daerah yang mempertemukan ketiga kelembagaan yang saling terkait; (2) melakukan kajian bersama tehadap masalah kemiskinan yang terjadi di daerah dan kajian kebijakan penanggulangan kemiskinan;dan (3) merumuskan, merencanakan, dan melaksanakan program jangka panjang,

Page 18: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

57

sehingga program tersebut berkelanjutan dan berhasil memberdayakan kelompok masayarakat miskin menjadi kelompok masyarakat yang maju, produktif, dan mandiri.

Menyimak dua pola pendekatan di atas, diperlukan metode atau langkah kerja bersama yang sekaligus mampu menjawab strategi jangka pendek maupun jangka panjang. Langkah-langkah yang kemudian diambil diarahkan dalam lima strategi pokok sebagai berikut: (1) kepemimpinan yang visioner; (2) koordinasi unit-unit kerja birokrasi; (3) pengembangan sistem inovasi baru untuk kelompok masyarakat miskin; (4) pengembangan berbagai usaha ekonomi produktif yang didasarkan atas potensi yang dimiliki kelompok masyarakat miskin; dan (5) pengembangan unit-unit pelayanan di daerah hingga di pelosok desa.

Pengembangan kapasitas dan kompetensi SDM baik kepemimpinan, kelemba-gaan pelaksana, serta sasaran program menjadi sangat vital, karena akan menentukan keberhasilan program penanggulangan kemiskinan di daerah. Melalui keterpaduan antara unsur kepemimpinan, pelaksana, dan kelompok sasaran, maka diharapkan kelompok masyarakat miskin mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi dan dengan kualitas yang baik. Dengan demikian produk-produk yang dihasilkan kelompok ini mampu diintegrasikan ke dalam sistem perekonomian pasar, baik pasar lokal, regional, maupun global.

Pilihan Strategi Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Miskin ke Depan

Walaupun telah banyak program pembangunan ekonomi rakyat dan pember-dayaan masyarakat miskin, namun tetap saja bahaya kemiskinan menghantui kehidupan masyarakat miskin. Kemiskinan merupakan suatu kondisi keterbelakangan yang ditunjukkan adanya gejala kualitas hidup manusia (“masyarakat”) yang jauh dari cukup diukur dari kebutuhan hidup normal. Masalah keterbelakangan yang ditunjukkan oleh kemiskinan yang masih cukup tinggi di berbagai daerah di Indonesia terjadi seiring dengan klaim keberhasilan pembangunan, dengan menganut pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi makro.

Pilihan strategi pemberdayaan kelompok masyarakat miskin dapat ditempuh antara lain dengan (Bobo, 2003): (1) pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis kelembagaan lokal; (2) pengembangan pertanian rakyat dengan kebudayaan industrial; (3) pengembangan agroindustri berbasis bahan baku setempat; dan (4) pengembangan teknologi tepat guna dan bersifat spesifik lokasi; serta (5) penyediaan permodalan melalui program kredit mikro untuk pengembangan usaha ekonomi produktif yang secara khusus ditujukan pada kelompok masyarakat miskin.

Di samping beberapa strategi di atas Tri Pranadji (2003) memberikan beberapa alternatif strategi yang bisa dipertimbangkan untuk pemberdayaan masyarakat miskin, antara lain adalah: (1) Strategi Charitas (SC), yaitu suatu strategi yang diarahkan langsung untuk menutupi gejala ketidakberdayaan masyarakat, seperti mengatasi gejala kurang pangan dan gizi pada anak balita dan ibu menyusui dengan pemberian materi

Page 19: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

58

pangan yang sesuai berharga murah atau gratis; (2) Strategi Produksi (SP), yaitu suatu strategi yang diarahkan untuk memproduksi bahan pangan sendiri (seperti: padi atau jagung); (3) Strategi Ekonomi (SE), yaitu suatu strategi yang diarahkan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya setempat di suatu wilayah; (4) Strategi Perbaikan Agroekosistem (SPA), yaitu suatu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki kondisi agroekosistem yang rusak dan tidak sehat; (5) Strategi Sosio Budaya (SB), yaitu suatu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki tatanan masyarakat berpenghasilan rendah secara khusus dan masyarakat luas dalam arti lebih umum.

Keefektifan Sistem Koordinasi Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan

Pembangunan merupakan proses multidimensional yang memerlukan berbagai perubahan mendasar terhadap struktur sosial-ekonomi masyarakat, perubahan pola sikap dan perilaku, perubahan sistem koordinasi antarkelembagaan, di samping per-cepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, serta penanggulangan kemiskinan. Tuntutan perubahan struktur itu memiliki makna bahwa pembangunan adalah suatu proses yang sifatnya struktural dan harus dilaksanakan bersama-sama antarunsur kelembagaan yang terlibat di dalamnya melalui Kelembagaan KPK-Daerah.

Kelompok masyarakat miskin sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek pembangunan harus ikut serta dalam pembangunan, menikmati hasil pembangunan, dan turut berpartisipasi secara aktif dalam melestarikan proses pembangunan, khususnya penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu, proses pembangunan secara alamiah seyogyanya dilaksanakan oleh masyarakat luas dan dunia usaha, dilaksanakan oleh masyarakat termasuk kelompok masyarakat miskin dan dunia usaha, dan hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat dan dunia usaha secara adil. Sementara itu pemerintah daerah berperan sebagai koordinator, katalisator, dan pengendali pembangunan. Secara skematis sistem koordinasi kelembagaan penanggulangan kemiskinan di daerah yang ditawarkan dapat disimak pada Gambar 2.

Untuk melakukan program penanggulangan kemiskinan diperlukan adanya pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesempatan kerja secara simultan. Dengan pertumbuhan, pemerataan, dan sistem koordinasi yang efektif diharapkan dapat dilakukan peningkatan pengeluaran untuk infrastruktur publik (public social infrastructur), khususnya dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi produktif secara merata. Di samping itu, adanya sistem koordinasi antarkelembagaan yang efektif, baik pada skala nasional maupun skala lokal atau daerah akan dapat mentransformasikan kelompok masyarakat miskin menjadi kelompok masyarakat yang produktif, sehingga kegiatan ekonomi produktif yang dijalankan dapat menghasilkan produk yang berdaya saing. Dengan demikian ekonomi kelompok masyarakat miskin secara bertahap dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik lokal, regional, maupun ekspor.

Page 20: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

59

Gambar 2. Diagram Sistem Koordinasi Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan

Pada akhirnya keefektifan sistem koordinasi dalam penanggulangan kemis-kinan di daerah sangat tergantung pada harmonisasi hubungan antarempat kelemba-gaan tersebut (KPK-daerah, Kelembagaan masyarakat/masyarakat, Kelembagaan dunia usaha-swasta, dan Kelembagaan pemerintah daerah) baik melalui koordinasi internal dan koordinasi eksternal. Perlu adanya kelembagaan daerah berkompeten dalam mengkoordinasikan program penanggulangan kemiskinan di daerah, kelembagaan tersebut secara struktur keorganisasian memang punya wewenang untuk melakukan koordinasi antarinstansi dan sekaligus memiliki kedekatan dengan masyarakat dan dunia usaha. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka BAPPEDA dan Asisten Pembangunan menjadi dua alternatif pilihan sebagai koordinator pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di daerah.

Koordinasi harus dilakukan dari tahap penyusunan identifikasi penyebab dan masalah kemiskinan, master plan program penanggulangan kemiskinan, perancangan atau perencanaan program, sosialisasi program melalui proses sosial yang matang, pelaksanaan dan implementasi program di lapangan, serta dalam kegiatan monotoring dan evaluasi. Di samping itu koordinasi yang harmonis dari tahap awal hingga akhir diharapkan memperoleh umpan balik dari masyarakat dan pelaku usaha guna penyem-purnaan berbagai program penanggulangan kemiskinan ke depan.

Kelembagaan pemerintah

Komnas-PK, KPK-ProvKPK-Daerah

Kelembagaan masyarakat/masyarakat

Kelembagaan dunia usaha

Page 21: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

60

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Sejak dilaksanakan pembangunan di Indonesia, jumlah penduduk miskin secara bertahap telah berhasil diturunkan secara signifikan. Namun dengan terjadinya krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan jumlah penduduk miskin melonjak kembali. Upaya terpadu pemberdayaan kelompok masyarakat miskin dan penanggulangan kemiskinan yang telah dimulai kembali sejak tahun 1970-an melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita), khususnya pada Pelita I-IV hingga kini masih menghadapi hambatan. Kelembagaan sistem koordinasi dan pendukung tidak dikembangkan dengan baik, karena dilakukan melalui pendekatan keproyekan, kurang melalui proses sosial yang matang, bersifat sektoral-melalui dinas teknis, jangka pendek dan diskontinyu.

Ada tiga pilar utama kelembagaan penanggulangan kemiskinan di daerah, yaitu: kelembagaan masyarakat (voluntary sector), kelembagaan ekonomi atau pasar (private sector), dan kelembagaan pemerintah-politik (public sector). Kinerja kelem-bagaan tersebut di daerah baik di tingkat kabupaten-kota dan di tingkat pedesaan cenderung lemah yang diindikasikan dengan kapasitas kelembagaan yang rendah. Implikasi dari kondisi di atas adalah sulitnya melakukan pemberdayaan kelompok masyarakat miskin serta lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan dalam perencanaan serta pelaksanaan pembangunan, sehingga menyebabkan alokasi penggunaan sumberdaya belum optimal.

Beberapa peran penting yang dapat dilakukan kelembagaan masyarakat miskin ini antara lain, adalah: (1) membangun kelompok masyarakat miskin menjadi individu dan kelompok masyarakat yang berkualitas sehingga mampu mengembangkan dirinya keluar dari lingkaran kemiskinan; (2) mampu melakukan transformasi pada kelompok masyarakat miskin menjadi kelompok masyarakat yang produktif; (3) meningkatkan disipilin diri dan menghargai waktu pada kelompok masyarakat miskin untuk berbagai kegiatan produktif; (4) mendorong kelompok masyarakat miskin untuk memiliki etos kerja yang bagus; (5) meningkatkan kebersamaan dalam wadah kelompok usaha ekonomi produktif.

Peran swasta diantaranya adalah: (1) memberikan masukan tentang berbagai hal dalam bidang kerjanya yang berhubungan dengan masalah kemiskinan; (2) dalam investasi pada sektor-sektor strategis yang mempunyai dampak signifikan terhadap pengurangan kemiskinan; (3) mencari, menemukan, dan menciptakan peluang usaha yang dapat diakses oleh kelompok masyarakat miskin; (4) mampu menegakkan etika bisnis dan memiliki kepekaan terhadap kelompok masyarakat miskin; (5) membayar pajak dan retribusi lain sebagai masukan PAD Daerah yang berguna pemberdayaan masyarakat miskin; (6) menciptakan kesempatan/lapangan kerja dan peluang berusaha bagi kelompok masyarakat miskin; dan (7) melakukan Community Development dan kemitraan usaha yang ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat kelompok masyarakat miskin.

Page 22: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

61

Peran yang dapat dijalankan pemerintah di antaranya adalah: (1) membuat berbagai kebijakan dan program yang berpihak pada masyarakat miskin; (2) menjadi perantara yang menghubungan antara kepentingan swasta dengan kepentingan masyarakat, terutama masyarakat miskin; (3) menerjamahkan kebijakan ekonomi di tingkat daerah secara tepat yang didasarkan atas potensi dan permasalahan yang dihadapi daerah; (4) membangun iklim dunia usaha di daerah yang sehat dan kondusif; (5) Melaksanakan good governance dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah yang efektif.

Pilihan strategi pemberdayaan kelompok masyarakat miskin dapat ditempuh antara lain dengan: (1) pengembangan kelembagaan lokal pendukung perekonomian rakyat di pedesaan; (2) pengembangan pertanian rakyat dengan budaya industrial; (3) pengembangan agroindustri berbasis bahan baku setempat; dan (4) pengembangan teknologi tepat guna dan bersifat spesifik lokasi. Melalui strategi tersebut diharapkan kelompok miskin mampu menghasilkan produk-produk pertanian maupun nonpertanian bernilai ekonomi dan dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik lokal, regional maupun global.

Di samping beberapa strategi di atas terdapat beberapa alternatif strategi yang bisa dipertimbangkan untuk pemberdayaan masyarakat miskin yang dalam beberapa hal terdapat kesamaan dengan strategi yang dikemukakan di atas, alternatif strategi tersebut antara lain adalah : (1) Strategi Charitas (SC), yaitu suatu strategi yang diarahkan langsung untuk menutupi gejala ketidakberdayaan masyarakat; (2) Strategi Produksi (SP), yaitu suatu strategi yang diarahkan untuk memproduksi bahan pangan sendiri; (3) Strategi Ekonomi (SE), yaitu suatu strategi yang diarahkan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya setempat di suatu wilayah; (4) Strategi Perbaikan Agroekosistem (SPA), yaitu suatu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki kondisi agroekosistem yang rusak dan tidak sehat; (5) Stratetgi Sosio Budaya (SSB), yaitu suatu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki tatanan masyarakat berpenghasilan rendah secara khusus dan masyarakat luas dalam arti lebih umum.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 1976. Penduduk Miskin di Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta

________. 1993. Penduduk Miskin di Indonesia. Hasil Sensus Penduduk. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

________. 2001. Penduduk Miskin di Indonesia. Hasil Sensus Penduduk. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

________. 2002. Penduduk Miskin di Indonesia. Hasil Sensus Penduduk. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Page 23: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

62

BPS. 2001. Penduduk Miskin Sumatera Barat. Hasil Sensus Penduduk. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. Padang.

________. 2002. Penduduk Miskin Sumatera Barat. Hasil Sensus Penduduk. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. Padang.

BPS. 2001. Penduduk Miskin Sawah Lunto. Hasil Sensus Penduduk. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sawah Lunto. Sijunjung.

________. 2002. Penduduk Miskin Sawah Lunto. Hasil Sensus Penduduk. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sawah Lunto. Sijunjung.

BPS. 2001. Penduduk Miskin Sumatera Utara. Hasil Sensus Penduduk. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Uatara. Medan.

________. 2002. Penduduk Miskin Sumatera Utara. Hasil Sensus Penduduk. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Uatara. Medan.

________. 2003. Penduduk Miskin dan Fakir Miskin, Sumatera Uatara Tahun 2003. Berita Resmi Statistik. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Uatara. Medan.

BPS. 2001. Penduduk Miskin Tanah Karo. Hasil Sensus Penduduk. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Karo. Kabanjahe.

BPS-Statistic Indonesia, Bappenas, and UNDP. 2004. The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. BPS-Statistic Indonesia, Bappenas, and UNDP.

Binswanger, H. P. and V. W. Ruttan. 1978. Induced Innovation: Technology, Institution, and Development. The Johns Hopkins University Press. Baltimore and London.

Bobo, Julius. 2003. Transformasi Ekonomi Rakyat. PT Pustaka CIDESINDO. Jakarta.

Ditjen PMD, Depdagri. 2004. Rekapitulasi Pembentukan KPK Provinsi, Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa. Departemen Dalam Negeri. Jakarta.

Etzioni, A. 1961. A Comparative Analysis of Complex Organizations: On Power, Involvement, and Their Correlates. The Free Press of Glencoi, Inc. New York.

Hatmadji, Sri H. 2004. Aspek Gender dalam Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia. Makalah dalam Seminar : “Aspek Kependudukan dalam Perencanaan Kebijakan dan Pengambilan Keputusan” Hotel Aryaduta, 16 September 2004. Jakarta.

Kantor Menteri Nergara Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 1999. Laporan Pelaksanaan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Selama Kabinet Reformasi. Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan. Jakarta.

Kantor Menteri Nergara Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 2004. Draft : Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional. TKP3KPK. Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan. Jakarta.

Kantor Menteri Nergara Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 2004. Informasi Dasar Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD). Tim Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan. Jakarta.

Page 24: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

63

Keppres No. 124 Th 2001 Jo. No. 8 Th 2002. Tentang Pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan. Kantor Sekretariat Negara Republik Indonesia.

BAPPEDA, Sawah Lunto. 2003. Kajian Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Sawah Lunto/Sijunjung. Badan Perencanaan Daerah Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Ekonomi Regional, Universitas Andalas.

Sekretariat Penanggulangan Kemiskinan. 2002. Buku Pedoman Komite Penanggulangan Kemiskinan. Sekretariat Komite Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia. Jakarta.

Saptana, Tri Pranadji, Syahyuti, dan Roosgandha. 2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional Untuk Menunjang Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan (Studi Kasus di Provinsi Bali dan Bengkulu). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Syahyuti, 1995. Pendekatan Kelompok dalam Pelaksanaan Program/Proyek Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Suatu Tinjauan Kelembagaan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.13 No.2, Desember 1995. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertania. Bogor.

Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan : Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

TKP3KPK. 2003. Buku Panduan Kerja TKP3KPK, Gugus Tugas dan Technical Advisor Penyususn Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Tim Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Jakarta.

Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical With Cases. Rural Develomment Committee, Cornell University. Kumarian Press. United States Of America.

Page 25: KEEFEKTIFAN KOORDINASI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_25_2004_3.pdf · membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang secara

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Peningkatan Koordinasi Antarkelembagaan Penanggulangan Kemiskinan

Kelembagaan politik/

pemerintah

Kelembagaan pasar/

ekonomi

Kelembagaan komunitas/

lokal

Kelembagaan koordinasi penanggulangan kemiskinan/komite penanggulangan kemiskinan

Jaringan ekonomi kerakyatan pada kelompok masyarakat miskin: tradisional, subsisten, parsial, jangka pendek, tidak berkelanjutan

Penguatan kelembagaan kelompok masyarakat miskin: (1) Struktur(2) Fungsi(3) Koordinasi

Program penanggulangan kemiskinan :1. produktif2. efisien3. berdaya saing4. Jumlah dan persentase

penduduk miskinberkurang

Jaringan ekonomi kerakyatan pada kelompok masyarakat miskin: ekonomi produktif maju, komersial, terintegrasi dengan permintaan pasar

Keterpaduan program sektoral

Keterpaduan program khusus

Keterpaduan program regional